AKSIOLOGI
Halaman Sampul.................................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
ii
TUGAS KELOMPOK
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yakni Aksiologi dalam Kebidanan untuk
memenuhi tugas Filsafat Ilmu dan Logika. Tidak lupa pula, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan pengetahuan,
masukan dan referensi dalam menyelesaikan makalah ini.
Tiada gading yang tak retak, kami menyadari betul bahwa makalah ini
belumlah sempurna. Karena itu, kritik dan saran akan senantiasa diterima untuk
perbaikan dimasa dating.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan
sekaligus dapat menambah wawasan.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 2016
kematian ibu dari 100.000 bayi baru lahir disebabkan oleh komplikasi selama
kehamilan dan persalinan. Ada sekitar 303.000 kematian ibu di seluruh dunia.
Negara berkembang menyumbang 90% atau 302.000 kematian ibu. Menurut
Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, tiga tahun kemudian, angka
kematian ibu (AKI) Indonesia mencapai 305/100.000 KH pada tahun 2016.
dan masih di bawah target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs 2030
yaitu 70/100.000 KH (kelahiran hidup).
Persalinan macet merupakan salah satu penyebab langsung kematian
ibu (AKI) pada 5% kasus. Selain partus macet, ada penyebab lain yang dapat
menyebabkan kematian ibu di Indonesia, seperti perdarahan, eklampsia,
infeksi, komplikasi nifas, aborsi, persalinan lama/macet, emboli dan
penyebab lainnya. Faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena
“Tiga Terlambat'' dan “Empat Terlalu”, terkait dengan faktor ekonomi, sosial
budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kurangnya follow-up postpartum ibu nifas
dapat mempengaruhi kemungkinan tidak dilaporkannya morbiditas ibu.
Perawatan nifas yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko komplikasi
postpartum, seperti perawatan payudara untuk mencegah mastitis, mencuci
tangan dengan sabun setelah buang air kecil, dan buang air besar untuk
mencegah infeksi genital.
Sebagian besar dari kematian pada bayi di bawah usia 5 tahun terjadi
pada bayi baru lahir atau neonatus (usia 0-28 hari). Penyakit yang
menyebabkan kematian neonatus antara lain infeksi (32%), asfiksia
ataukesulitanbernafassaatlahir(29%), komplikasi prematuritas (24%),
kelainan kongenital (10%), dan tidak diketahui penyebabnya (5%). Selain itu
masalah anemia juga menjadi salah satu penyebab kematian bayi di
Indonesia, terutama anemia defisiensi besi yang hampir terdapat di seluruh
negara berkembang.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Riffat Jaleel
tahun 2008 terdapat 50% bayi mengalami anemia pada usia 12 bulan.
Masalah anemia defisiensi besi pada bayi merupakan masalah kesehatan
serius karena akan menggangguperkembangan mental dan kognitif untuk
3
perkembangan selanjutnya setelah dewasa. Waktu penjepitan tali pusat
memegang peranan penting dalam menentukan kecukupan zat besi pada bayi
baru lahir. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian
tentang “Pengaruh penundaan penjepitan tali pusat terhadap kadar
hemoglobin bayi baru lahir”
Pemerintah menerapkan kebijakan penempatan bidan di desa untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. Salah satu kompetensi
dari bidan adalah memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan
berat badan rendah dan risiko tinggi yang memerlukan pertolongan pertama
dan tindakan mandiri, dan merujuk ke dokter spesialis jika terjadi komplikasi
tertentu dengan melibatkan klien dan keluarganya untuk menyelamatkanbayi
baru lahir. Bidan tidak hanya memberikan asuhan kegawatdaruratan bayi
baru lahir, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan pada ibu hamil,
pertolongan persalinan, asuhan nifas dan prenatal, serta keluarga berencana.
Bidan diharapkan dapat menurunkan angka kejadian yang berkaitan dengan
resiko kehamilan, persalinan, nifas, perinatal serta KB secara terpadu.
Berdasarkan beberapa penjelasan dan fakta di atas, pelayanan
kebidanan berkelanjutan sangat penting untuk memecahkan masalah yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan keluarga
berencana. Bidan harus secara profesional dan cermat mengevaluasi,
mendiagnosis, merencanakan, mengkomunikasikan, mengevaluasi dan
mendokumentasikan untuk memastikan tidak ada kesalahan yang dapat
berakibat fatal bagi pasien, keluarga, dan keluarga pasien itu sendiri. Dalam
hal ini, kami mencoba menjelaskan filosofi kebidanan dengan aksiologi.
Pendekatan aksiologi dan filosofis dalam memperhatikan dan melaksanakan
tugas bidan. Bidan harus mampu menjadi tenaga medis yang kompeten dan
cakap dibidangnya sesuai dengan ilmu kebidanan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Aksiologi secara umum dan ilmu kebidanan ?
2. Bagaimanakah kode etik dan kode etik kebidanan ?
4
3. Apakah aplikasi aksiologi dalam ilmu kebidanan ?
C. Tujuan
1. Memaparkan tentang aksiologi secara umumdan dalam ilmu kebidanan
2. Menjelaskan bagaimana kode etik dan kode etik kebidanan
3. Menjelaskan tentang aplikasi aksiologi dalam ilmu kebidanan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
bahkan tidak tegak. Etika profesi adalah bagian dari etika sosial yaitu
filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung
jawab manusia sebagai anggota umat manusia. Kode etik sebetulnya
bukan merupakan hal baru, Sudah lama dilakukan usaha-usaha untuk
mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat
melalui ketentuan tertulis sehingga dapat menjadi pegangan pokok
anggota profesi untuk tetap menjalankan hakikat moralitas kegiatan
profesinya.
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima
oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk
kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus
menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Apabila satu
anggota kelompok profesi itu berbuat menyimpang dari kode etiknya,
maka kelompok profesi itu akan tercemar dimata masyarakat.
Etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat, dan ketentuan-
ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut
kalangan profesional. Kode etik profesi adalah seperangkat kaidah
perilaku yang disusun sacara tertulis secara sistematis sebagaipedoman
yang harus dipenuhi dalam mengembangkan suatu profesi bagi suatu
masyarakat profesi. Etika profesi merupakan kaidah yang mengikat kepada
setiap anggota profesi yang membuat kaidah tersebut, dan merupakan
hukum bagi komunitas (masyarakat) profesi yang bersangkutan. Sebagai
hukum ia mempunyai sanksi bagi pelanggarnya.
Etika profesi memiliki kaidah-kaidah pokok yaitu:
a. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, dan oleh karena itu sifat
“tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi;
b. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari
keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur;
c. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat
sebagai keseluruhan;
d. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat, sehingga dapat
8
menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Dapat disimpulkan bahwa kode etik adalah suatu bentuk pesetujuan
bersama yang timbul secara murni dari diri pribadi para anggota atau
dengan kata lain kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan
peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku para
anggota organisasi.
2. Kode Etik Kebidanan
Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986
dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X tahun
1988, sedang petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan
disahkan pada Kongres Nasional IBI ke XII tahun 1998.
Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif
profesi yang menurut bidan melaksanakan praktik kebidanan baik yang
berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat,
profesi dan dirinya. Penetapan kode etik kebidanan harus dilakukan
dalam Kongres Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
Kode etik kebidanan perupakan ciri profesi yang bersumber dari
nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan
komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota
dalam melaksanakan pengabdian profesi.
Kode etik kebidanan terdapat 7 bagian antara lain sebagai berikut:
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
1) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatan dalam melaksankan tugas
pengabdian.
2) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan
memelihara citra bidan.
3) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
berpedoman pada peran, tugas, dan tanggung jawab sesuai
9
dengan kebutuhan klien, keliarga, dan masyarakat.
4) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai nilai yang
dianut oleh klien.
5) Setiap bidan dalam menjalakan tugasnya senantiasa
mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat
dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
6) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan secara
optimal.
b. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
1) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada
klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan
profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga
dan masyarakat.
2) Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai
dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk
mengadakan konsultasi dan/ atau rujukan
3) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang
didapat dan/ atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta
oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan
klien
c. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
1) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk suasana kerja yang serasi.
2) Bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati
baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
d. Kewajiban bidan terhadap profesinya
1) Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi
10
citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi
dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
2) Setiap bidan senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra
profesi.
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
1) Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dalam
melaksanakan tugas profesinya dengan baik
2) Setiap bidan berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air
1) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa
melaksanakan ketentuan ketentuan pemerintah dalam bidang
kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/ KB dan kesehatan
keluarga dan masyarakat.
2) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan
menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintahuntuk
meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan terutama
pelayanan KIA/ KB dan kesehatan keluarga.
g. Penutup
Sesuai dengan kewenangan dan peraturan kebijakan yang
berlaku bagi bidan, kode etik merupakan pedoman dalam tata cara
keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan kebidanan professional.
11
tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan hanya
diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian
pada tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (di Rumah Sakit
Militer Belanda). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada
tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh
seorang militer Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di
rumah sakit juga di masyarakat.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar
dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun
masih berlangsung sampai dengan sekarang yang memberikan kursus adalah
bidan. Perubahan pengetahuan dan ketrampilan tentang pelayanan kesehatan
ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus
tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada
tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar
lain di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di mana bidan sebagai penanggung jawab
pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, post natal dan pemeriksaan bayi dan anak termasuk
imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan luar BKIA, bidan memberikan
pertolongan persalinan di rumah keluarga dan pergi melakukan kunjungan
rumah sebagai upaya tindak lanjut dari pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi
kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam
gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu
dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung
maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar
gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan
terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup empat kegiatan yaitu
12
pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan
kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan
dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan
ini melalui instruksi Presiden secara lisan pada sidang Kabinet Tahun 1992
tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun
tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA,
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas sert
pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi. Bidan
di desa juga menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga
berencana yang pelaksanaannya sejalan dengan tugas utamanya dalam
pelayanan kesehatan ibu.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun
1994 yang menekankan pada reproductive health (kesehatan reproduksi),
memperluas area garapan palayanan bidan. Area tersebut meliputi :
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua/usia lanjut
Era globalisasi menuntut adanya perubahan cara pandang pada segala
bidang termasuk kebidanan. Salah satu tujuan pelayanan kebidanan adalah
meningkatkan kesejahteraan keluarga pada masa childbearing. Ketika proses
childbearing tidak berubah namun masyarakat kita telah berubah, sehingga
bidan harus mampu berfikir kritis, berespon secara tepat terhadap perubahan,
trend dan isu pelaksanaan pelayanan kebidanan.
13
perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim menjadi di
luar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir di semua
sistem (Cunningham, 2012).
2. Bayi Baru Lahir Normal
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram
sampai 4000 gram (Saifudin, 2009). Menurut Rohan (2013) Ciri-ciri bayi
baru lahir normal adalah lahir aterm antara 37 – 42 minggu, berat badan
2500 – 4000 gram, panjang lahir 48 – 52 cm. lingkar dada 30 – 38 cm,
lingkar kepala 33 – 35 cm, lingkar lengan 11 – 12 cm, frekuensi denyut
jantung 120 – 160 kali/menit, kulit kemerah-merahan dan licin karena
jaringan subkutan yang.cukup,.rambut lanugo tidak terlihat dan rambut
kepala biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai
APGAR >7, gerakan aktif, bayi langsung menangis kuat, genetalia pada
laki-laki kematangan ditandai dengan testis yang berada pada skrotum
dan penis yang berlubang sedangkan genetalia pada perempuan
kematangan ditandai dengan vagina dan uterus yang berlubang labia
mayora menutup labia minora, refleks rooting (mencari putting susu)
terbentuk dengan baik, refleks sucking sudah terbentuk dengan baik,
refleks grasping sudah baik, eliminasi baik, urin dan meconium keluar
dalam 24 jam pertama.
3. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
a. Pengertian
WHO telah mengganti istilah preterm baby dengan low birth weight
baby pada tahun 1961, karena tidak semua bayi lahir di bawah 2.500
gram adalah bayi preterm (Cunningham, 2010). Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2.500
gram (Prawirohardjo, 2009). Berat lahir adalah berat bayi yang
ditimbang satu jam setelah lahir (Depkes RI, 2008).
b.Klasifikasi BBLR Menurut Harapan Hidupnya
1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500 – 2499
gram.
14
2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), berat lahir 1000–1499
gram.
3) Bayi berat lahir ekstrem rendah (BBLER),berat lahir < 1000 gram.
15
cukup, kurang atau lebih bulan tetapi beratnya kurang dari 2.500
gram, gerakannya cukup aktif, tangisnya cukup kuat, kulit keriput,
lemak bawah kulit tipis, payudara dan puting sesuai masa
kehamilan, bayi perempuan bila cukup bulan labia mayora
menutupi labia minora, bayi laki-laki testis mungkin telah turun,
rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian, serta menghisap cukup
kuat (Depkes RI, 2008).
16
muntah lebih hebat pada hamil muda. Untuk menegakkan diagnosa
kehamilan dapat dilakukan pemeriksaan kadar Hb (Manuaba, 2012).
4. Pengertian Anemia pada anak
Usia 0-24 bulan merupakan “periode emas” sekaligus “periode
kritis” karena dalam usia ini merupakan tahap pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang sangat pesat. Anemia Defisiensi Besi (ADB)
merupakan jenis kasus anemia yang paling sering terjadi pada anak di
Indonesia, angka kejadiannya berkisar 40- 50%. Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Kementrian Kesehatan (Kemenkes)
pravalens ADB pada anak usia 0-2 tahun menunjukan sekitar 48,1 % atau
paling tinggi dari seluruh kelompok usia2. Sebanyak 80% anemia terjadi
pada anak usia 6-23 bulan. Anemia dominan pada bayi laki-laki,
sedangkan puncak defisiensi besi pada bayi pada umur 9-12 bulan.
Anemia adalah keadaan hemoglobin dibawah normal yang sesuai
dengan jenis kelamin dan usia. Rata-rata kadar hemoglobin normal pada
bayi lahir cukup bulan adalah 17 g/dL. Bayi lahir prematur dengan berat
1200-2500 gram memiliki konsentrasi hemoglobin dan hematokrit jauh
lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan
karena BBLR dan bayi lahir prematur maturasi organ tubuhnya belum
sempurna sehingga dapat menyebabkan disfungsi pada organ dan sistem
tubuh. Disfungsi dapat terjadi pada sistem pernapasan, susunan saraf
pusat, kardiovaskular, hematologi, gastrointestinal, ginjal, dan juga
termoregulasi.Salah satu disfungsi yang umum terjadi pada kelahiran
prematur adalah pada sistem hematologi. Kelainan sistem hematologi ini
mengakibatkan kadar hemoglobin bayi baru lahir dengan kondisi BBLR
dan/atau lahir prematur berkisar antara 14-20 g/dL. Bayi baru lahir dapat
disebut mengalami anemia apabila kadar hemoglobinnya dibawah 14
g/dL.
Kekurangan besi pada lima tahun pertama kehidupan anak dapat
mengganggu tumbuh. Anemia yang berkepanjangan pada anak akan
mengalami beberapa resiko buruk bagi kesehatan dan pertumbuhannya.
17
Efek anemia bagi bayi dan anak adalah pertumbuhan fisik yang
terhambat, menggangu perkembangan neurologis anak yang berakibat
pada berkurangnya kemampuan belajar dan tingkat IQ yang lebih rendah.
Menurut penelitian Hutchon, (2012) diketahui bahwa tindakan
pengkleman tali pusat secepatnya akan mengambil darah bayi 54 – 160
cc, artinya setengah lebih volume darah total bayi. Pengkleman sebelum
bernafas mengakibatkan suplai darah ke paru paru berkurang sehingga
terjadi hipovolemi. Pengkleman tali pusat secepatnya juga meningkatkan
resiko bayi terkena anemia. Penjepitan segera adalah penjepitan tali pusat
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 60 detik setelah bayi lahir.
Sedangkan, definisi penundaan penjepitan tali pusat adalah penjepitan tali
pusat yang dilakukan lebih dari 1 menit setelah kelahiran bayi sampai
dengan lahirnya plasenta
Anemia jika tidak ditangani untuk jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan komplikasi membahayakan. Salah satu masalah yang
timbul adalah pada jantung, seperti detak jantung yang cepat serta tidak
beraturan. Kondisi ini dapat berkembang menjadi kardiomegali ataupun
gagal jantung. Komplikasi jangka panjang yang terjadi pada bayi dengan
anemia adalah gangguan pertumbuhan, selain itu bayi dengan riwayat
anemia cenderung rentan terkena infeksi. Ikatan Dokter Anak Indonesia
merekomendasikan pemberian suplementasi zat besi minimal
2mg/kg/hari mulai usia 1 bulan sampai 12 bulan untuk bayi yang lahir
prematur atau BBLR revalensi anemia di dunia pada anak usia 0-5 tahun
adalah 47,4%. Penelitian melaporkan bahwa prevalensi anemia sebesar
26,5% dari 310 bayi lahir prematur dengan BBLR. Setengah dari bayi
lahir dengan umur kehamilan kurang dari 32 minggu akan mengalami
anemia neonatus. Anemia neonatus biasanya terjadi pada bayi prematur
dan BBLR. Keadaan lain yang sering menyebabkan anemia neonatus
antara lain, produksi erythropoietin (EPO) yang rendah, umur sel darah
merah yang singkat, dan kehilangan darah. Tanda dan gejala anemia
neonatus pada bayi yang umum terjadi dapat berupa pucat, buruknya
18
kenaikan berat badan walaupun asupan kalori yang baik, berkurangnya
aktivitas, dan sulit memberi makan secara oral.
Salah satu cara untuk mencegah kejadian anemia defesiensi besi
pada bayi baru lahir yaitu dengan penundaan pengkleman dan
pemotongan tali pusat. Pengkleman dan pemotongan tali pusat bayi pada
saat lahir merupakan intervensi yang harus dilakukan, tetapi waktu yang
optimal untuk melakukan pengkleman tali pusat tersebut masih
merupakan kontroversi (Rendra, 2008)
5. Penjepitan Tali Pusat
Bayi masih terhubung dengan ibu saat lahir melalui tali pusat yang
merupakan bagian dari plasenta (Baety, 2011; Mc Donald et al, 2014).
Bayi akan terpisah dari plasenta melalui penjepitan dan pemotongan tali
pusat, dan kegiatan ini termasuk dalam manajemen aktif kala III
persalinan. Penjepitan dan pemotongan tali pusat bayi pada saat lahir
merupakan salah satu langkah Asuhan Persalinan Normal (APN) dan
intervensi yang harus dilakukan (Kemenkes RI, 2013), tetapi waktu yang
optimal untuk melakukan penjepitan dan pemotongan tali pusat tersebut
masih merupakan kontroversi dan masih berlangsung hingga kini
(Hutton, Hassan, 2007; Tanmoun, 2013).
Penanganan aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif
mengintervensi proses kala III meliputi: injeksi uterotonika, penjepitan
tali pusat, peregangan tali pusat terkendali dan massage uterus setelah
bayi lahir. Manajemen aktif kala III disini dimaksudkan adalah penjepitan
tali pusat dilakukan segera setelah bayi lahir (Aldos, 2006; Mercer, 2006;
Begley et al, 2015). Arti segera setelah bayi lahir adalah melakukan
penjepitan dan pemotongan tali pusat dalam 1 menit pertama kelahiran
bayi (McDonald et al, 2014).
WHO sejak tahun 2012 merekomendasikan penundaan penjepitan
tali pusat sebagai bagian dari manajemen aktif kala III persalinan.
Setidaknya 1-3 menit setelah kelahiran untuk semua bayi tanpa
memandang usia kehamilan atau berat badan janin dan tidak
19
direkomendasikan penjepitan tali pusat dengan segera (>1 menit) kecuali
jika terjadi asfiksia pada bayi dan memerlukan resusitasi segera (WHO,
2012).
The American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
dan kebanyakan rumah sakit menganjurkan untuk melakukan penjepitan
tali pusat dini/ segera setelah bayi lahir, sementara sumber lain tidak
sependapat. Pada managemen aktif persalinan kala III, World Health
Organization (1998) menganjurkan penjepitan tali pusat dini. Sehingga
sampai saat ini, kapan waktu penjepitan tali pusat setelah bayi lahir
dilakukan, masih menjadi kontroversi. Kejadian anemia maupun
polisitemia pada bayi baru lahir, keduanya merupakan keadaan yang tidak
diinginkan
6. Penundaan Penjepitan Tali Pusat
Secara historis, dalam asuhan kebidanan, tali pusat tidak dijepit
sampai tali pusat berhenti berdenyut. Pada tahun 2007, World Health
Organization (WHO) merekomendasikan bahwa tali pusat seharusnya
tidak diklem lebih awal dari yang seharusnya, tetapi tidak menjelaskan
maksudnya secara spesifik.Beberapa hipotesis menyatakan bahwa
penjepitan tali pusat dini memiliki efek merugikan pada bayi baru lahir.
Penjepitan tali pusat dini mengurangi volume darah substansial yang
diperlukan dan menyebabkan
kerusakan hipovolemik dengan mengalihkan darah dan menghambat
perfusi kapiler, yang mengakibatkan peradangan dan peningkatan risiko
infeksi pada bayi baru lahir. Selain volume darah berkurang, ada juga
penurunan massa sel darah merah, kadar zat besi dan hilangnya sel induk
hematopoietik, serta mengembangkan beberapa gangguan darah dan
diabetes tipe 2. Pada masa bayi baru lahir oksigenasi bayi melalui
plasenta masih berjalan/ berlanjut, darah masih ditransfusikan ke bayi
(disebut transfusi plasental). Hal tersebut dapat mempengaruhi
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), menambah volume darah, mencegah
hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir, sehingga otak tetap
20
mendapat suplai oksigen yang cukup.
Menurut Mercer (2006) waktu yang tepat untuk menunda
pemotongan tali pusat masih diperdebatkan oleh beberapa ahli. Hal ini
berdasarkan fakta bahwa bayi lahir akan mendapat transfusi sebanyak 80
ml darah dalam 1 menit pertama dan 100 ml pada 3 menit pertama.
Volume ini akan mensuplai 40 – 50 mg/kg dan akan mencegah defisiensi
besi pada satu tahun pertama kehidupan dan juga meningkatkan kadar
hemoglobin dan hematokrit dari bayi yang dilakukan penundaan
penjepitan tali pusat selama 2 menit. Penelitian Lubis (2008) menyatakan
bahwa pengkleman tali pusat segera (dalam 5 – 10 detik), bila
dibandingkan dengan pengkleman tali pusat yang ditunda ternayata
menimbulkan penurunan 20 – 40 ml darah perkilogram berat badan yang
setara dengan 30 – 35 mg zat besi. Terdapat peningkatan dari kadar
hemoglobin dan hematokrit dari bayi yang dilakukan penundaan
penjepitan tali pusat selama 2 menit dibandingkan dengan bayi yang
dilakukan penjepitan tali pusat segera.
Penelitian yang dilakukan Nurrochmi E., dkk (2014) bahwa
gambaran rata-rata waktu yang tepat untuk dilakukannya pemotongan tali
pusat pada bayi baru lahir adalah kurang lebih 45 menit atau ditunda
sampai tali pusat berhenti berdenyut. Didapatkan pula gambaran rata-rata
kadar hemoglobin bayi baru lahir sebelum dilakukan pemotongan tali
pusat, pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat dan pemotongan
segera memiliki kadar hemoglobin yang hampir sama antara kadar Hb
dari bayi yang dilakukan penundaan penjepitan tali pusat sampai pulsasi
berhenti dengan bayi yang dilakukan penjepitan tali pusat dengan segera.
Menurut Garland (2017) Bayi akan menerima tambahan 50-100 ml
darah yang dikenal dengan transfusi plasenta jika tali pusat tidak segra
dilakukan pengkleman segera setelah lahir. Darah ini mengandung zat
besi, sel darah merah, sel induk, sel batang dan bahan gizi lain, yang akan
bermanfaat bagi bayi dalam tahun pertama kehidupannya8. Penundaan
penjepitan tali pusat (delayed cord clamping) dapat meningkatkan suplay
21
zat besi sehingga mengurangi kejadian anemia sebesar 60% pada bayi,
mengurangi perdarahan intraventrikuler sebesar 59% pada bayi prematur,
mengurangi enterocolitis nekrotik sebesar 62% pada bayiprematur
mengurangi sepsis, mengurangi kebutuhan transfusi darah pada bayi
prematur.
Sebagai pencegahan terhadap hal yang kritis tersebut, penundaan
pengkleman tali pusat dapat merupakan strategi yang efektif untuk
mencegah anemia dan meningkatkan survival anak.Waktu penjepitan dan
pemotongan tali pusat memegang peranan penting dalam menentukan
kecukupan zat besi pada bayi baru lahir. Penjepitan tali pusat ini tidak
pernah disebutkan konsensus pasti kapan waktu penjepitan yang tepat.
Pengertian segera memotong tali pusat mengacu kepada waktu dari
bayi lahir sampai dengan terpotongnya tali pusat adalah 1 menit dan
menunda penjepitan tali pusat atau penjepitan tali pusat lambat
dimaksudkan bahwa waktu setelah bayi lahir sampai dengan
terpotongnya tali pusat diperkirakan 2–3menit atau sampai tidak ada
denyut di tali pusat. Hasil penelitian didapatkan hasil bahwa nilai rata-rata
hemoglobin bayi 15,543% dan Hematokrit 44,900% pada bayi yang
dilakukan pemotongan tali pusat segera sedangkan pada bayi yang
dilakukan penundaan selama 2-3 menit didapatkan rata-rata nilai
Hemoglobin 17,597% dan Hematokrit 46,467% dengan kesimpulan
didapatkan perbedaan yang bermakna anatara pengkleman dan segera dan
di tunda, hal ini sejalan dengan penelitian lain bahwa bayi yang dilakukan
pemotongan tali pusat secara tertunda memiliki nilai hematologi lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat
secara segera setelah lahir.
7. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, desain penelitian
yang digunakan adalah quasi eksperiment. Rancangan penelitian
menggunakan pendekatan posttest-only with control group design.
Kelompok intervensi dilakukan penundaan penjepitan dan pemotongan
22
tali pusat selama 24 jam dan kelompok kontrol dilakukan penjepitan dan
pemotongan tali pusat segera setelah bayi lahir.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di
Klinik Anny Rahardjo sebagai kelompok intervensi dan di Klinik Annisa
Ciracas & Klinik Tjakra sebagai kelompok kontrol. Teknik pemilihan
sampel menggunakan consecutive sampling. Dalam pemilihan sampel,
peneliti menetapkan kriteria sampel sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi: Ibu hamil sehat tanpa komplikasi kehamilan, usia
gestasi 38 – 42 minggu, bayi tunggal, persalinan normal, Hb ibu ≥10
mg/dl, ibu bersedia menjadi responden;
b. Kriteria Eksklusi: Persalinan lama, persalinan dengan komplikasi
(Ketuban Pecah Dini dengan air ketuban berwarna hijau), Ibu dengan
penggunaan obat (Anti konvulsan, anti depresan, insulin, kemoterapi
atau kortison), bayi baru lahir membutuhkan resusitasi, bayi baru lahir
dengan kelainan kongenital, ibu menolak menjadi responden. Besar
sampel dalam penelitian ini adalah 20 responden per kelompok. Alat
yang digunakan dalam pengumpulan data berupa kuesioner yang
berguna untuk mendapatkan data karakteristik responden, lembar
observasi untuk menilai kadar Hb dan lembar recall untuk mengetahui
lama pelepaasan tali pusat.
1 Lily Suryani Efektifitas waktu Adanya efek yang bermakna antara waktu
(2018) penundaan pemotongan penundaan pemotongan tali pusat pada kedua
tali pusat terhadap kadar kelompok penelitian terhadap kadar hemoglobin
hemoglobin pada bayi bayi. ( Kdar HB pada penundaan waktu 2 menit
baru lahir di RS sebesar 16.5, pada penundaan waktu 3 menit sebesar
Anutapura Kota Palu 18.1 )
Efektivitas waktu Penundaan penjepitan tali pusat memungkinkan Menurut teori bahwa faktor lain yang
penundaan waktu untuk mentransfer darah janin di plasenta mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi
pemotongan tali ke bayi saat kelahiran. Transfusi plasenta ini baru lahir adalah umur kehamilan,
pusat terhadap kadar dapat memberi bayi tambahan volume darah kehamilan ganda, bayi dengan ibu
hemoglobin pada 40% lebih banyak. Manfaat lain untuk neonatal diabetes millitus, berat lahir, bayi
24
bayi baru lahir di RS yang berhubungan dengan peningkagtan KMK, hipertensi, preeklampsi
Anutapura Kota Palu transfusi plasenta ini mencakup konsentrasi /eklampsi. Namun pada penelitian ini
hemoglobin yang lebih tinggi, penambahan zat umur kehamilan tidak berpengaruh
besi dan kurang anemia pada awal masa bayi karena semua ibu hamil dalam
dan adaptasi kardiopulmoner yang lebih baik. penelitian ini termasuk kategori cukup
umur kehamilan dalam melakukan
proses persalinan aterm. Sehingga hasil
dari analisis yang diperoleh tidak
adanya pengaruh umur kehamilan
dengan kadar Hemoglobin
Pengaruh delayed Penundaan pemotongan tali pusat lebih dari 1 Penelitian ini menggunakan teori dan
cord clamping menit direkomendasikan untuk meningkatkan jurnal dengan penundaan waktu
terhadap kadar kesehatan dan nutrisi bayi. Pada bayi aterm pemotongan tali pusat 1-3 menit
hemoglobin(Hb) dan maupun preterm yang tidak membutuhkan sedangkan penelitian ini dilakukan pada
Hematokrit(Ht) pada ventilasi tekanan positif, tali pusat sebaiknya bayi dengan penundaan waktu
bayi. tidak dijepit dalam kurun waktu Kurang dari 1 pemotongan tali pusat 24 jam lalu
menit setelah lahir. Ketika bayi aterm maupun kelompok kontrolnya adalah bayi
preterm membutuhkan ventilasi bertekanan dengan pemotongan tali pusat segera
positif, tali pusat perlu dijepit dan dipotong setelah lahir. Mungkin sebaiknya dapat
supaya bayi segera dapat dilakukan ventilasi menggunakan bayi dengan waktu
tekanan positif. Penundaan penjepitan tali pusat penundaan pemotongan tali pusat 1-3
yang biasanya dilakukan 1-3 menit setelah lahir, menit sebagai kelompok kontrol untuk
direkomendasikan untuk semua kelahiran. Hal dapat melihat keefektivan ditinjau dari
ini dilakukan sebagai perawatan esensial dini segi lama waktu penundaan
neonatal. Penjepitan segera yaitu kurang dari 1 pemotongan tali pusat.
menit setelah kelahiran bayi tidak
direkomendasikan kecuali neonatus asfiksia
sehingga perlu segera dipindahkan untuk
diresusitasi.
9. Nilai aksiologi dalam ilmu kebidanan pada metode penundaan
pengekleman pemotongan tali pusat
a. Nilai eksternal (berkaitan dengan pengetahuan ilmiah)
Dilihat dari kegunaan ilmu kebidanan yang berkaitan dengan
25
kemajuan teknologi terhadap pengguna. Area spesifik kemajuan
teknologi yang mempengaruhi pelayanan kebidanan adalah berkaitan
dengan fertilitas, konseling genetika dan uji diagnostik antenatal dan
intranatal. Salah satu kemajuan ilmu pada intranatal yang telah banyak
menghasilkan jurnal penelitian adalah bahwa dengan meakukan
penundaan pengekleman dan pemotongan tali pusat maka akan
meningkatkan kadar hemoglobin dan hematkorit bayi. Hal tersebut
dapat meningkatkan kualitas hidupnya dikemudian hari. Mengingat
bahwa setiap manusia memiliki hak sehat dan perawtan terbaik maka
kita sebagai tenaga kesehatan wajib memberikan pelayanan terbaik.
Karena sudah menjadi tanggungjawab dalam etika profesi.
b. Nilai sosial (menyangkut pandangan masyarakat)
Budaya adalah sistem kompleks yang melibatkan pengetahuan,
kepercayaan, moral, hukum, nilai, kebiasaan, peran, sikap, dan
perilaku. Budaya diturunkan dari generasi ke generasi baik secara
formal dan informal. Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu
dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari
atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
persepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara
makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,
seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap
kesehatan ibu dan anak.
Dalam hal ini belum banyak ibu melahirkan tahu manfaat dari
penundaan pengekleman pemotongan tali pusat. Sudah banyak jurnal
penelitian terkait penundaan pengekleman pemotongan tali pusat,
namun tidak semua bidan atau fasilitas kesehatan menerapkan metode
ini. Dikarenakan minimnya pengetahuan ibu melahirkan tentang
manfaat metode ini mereka berpikir bahwa setelah bayi yang memang
seharusnya dilakukan adalah segera dipotong tali pusatnya agar bisa
segara dibersihkan dan diberikan kepada keluarga.
26
c. Nilai internal yang berkaitan dengan pemotongan tali pusat
Awalnya pemotongan tali pusat dilakukan segera setelah bayi baru
lahir, padahal sebenarnya masih terdapat aliran darah dari plasenta ke
janin sehingga ada kesan memaksa menghentikan aliran tersebut.
Namun seiring berkembangnya jaman telah dilakukan penelitian
berulang-ulang dan dihasilkan bahwa penundaan pengekleman
pemotongan tali pusat dapat meningkatkan kadar Hb dan hematokrit
bayi sehingga meningkatkan kualitas hidup ke depannya. Beberpa
jurnal menunjukan 2-3 menit penundaan.
Namun, sampai saat ini masih dilakukan penelitian-penelitan
terbaru yang dapat menunjukan metode baru seperti apa yang terbaik
untuk dilakukan. Karena pada dasarnya ilmu bersifat tidak pasti dan
akan selalu berubah berdasarkan evidence based.
27
BAB III
PENUTUP
28
29
DAFTAR PUSTAKA