Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH INFORMED CONSENT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Etika Profesi dan Hukum

Dosen Pengampu : Devi Purnamsari, S.Psi., M.K.M

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1) Durratul Syabania (20001017)


2) Dwina Tetiany Fauzi (20001001)
3) Windy Suganda (20001011)

JURUSAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

STIKes AWAL BROS PEKANBARU

2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmat-Nya kepada kami. Tidak lupa shalawat serta salam kami haturkan
kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam yang telah menyampaikan petunjuk
Allah Subhanahua Wa Ta’ala untuk kita semua sebagai umatnya.

Karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga tugas kelompok “MAKALAH


INFORMED CONSENT” dapat kami selesaikan sesuai waktu yang ditargetkan. Makalah ini
kami susun untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai Informed Consent, serta
sebagai bahan penilaian dalam menguji pemaham belajar kami.

Kami menyadari dalam makalah ini terdapat kekurangan ataupun kesalahan, untuk itu
kami mohon kritik demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Atas partisipasinya kami
ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 23 Juni 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 4

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................... 6

2.1 Pengertian Informed Consent .......................................... 6


2.2 Dasar Hukum Informed Consent ........................................ 6
2.3 Fungsi dan Tujuan Informed Consent .............................. 8
2.4 Hubungan Informed Consent dengan
Perjanjian Terapeutik ………………………………........... 9

BAB III PENUTUP …………………………………………….. 11

A. Saran ........................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Informed consent dimuat dalam beberapa peraturan, meskipun demikian


masih diperlukan pengaturan hukum yang lebih lengkap mengenai hal ini, karena
dibutuhkan suatu pengaturan hukum yang tidak hanya melindungi pasien dari
kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi dokter dari
kesewenangan pasien yang melanggar batas – batas hukum dan perundang-undangan.
Persetujuan (Informed Consent) ini sangat penting mengingat tindakan medis tidak
dapat dipaksakan karena tidak ada yang tahu pasti hasil akhir dari pelayanan
kedokteran tersebut.
Pentingnya Informed Consent ini juga dikaitkan dengan adanya Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan, yang bisa saja dituduhkan kepada pihak dokter atau
rumah sakit, terkait tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien. Sebagai contoh,
dengan melakukan operasi, memasukkan atau menggoreskan pisau ke badan
seseorang hingga menimbulkan luka, atau membius orang lain, dapat dikatakan
sebagai suatu penganiayaan.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara
dokter dengan pasien mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan
dokter terhadap pasien. Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis
hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan
penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai
dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Oleh karena itu, pasien berhak untuk
menolak tindakan medis yang dianjurkan, Pasien juga berhak untuk meminta
pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian Informed Consent !


2. Jelaskan dasar hukum pada Informed Consent !
3. Jelaskan fungsi dan tujuan Informed consent !
4. Jelaskan hubungan Informed Consent dengan perjanjian Terapeutik !

4
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika
Profesi dan Hukum serta memberi pengetahuan yang lebih detail mengenai pengertian
Informed Consent, dasar hukum pada Informed Consent, fungsi dan tujuan Informed
Consent, serta mengetahui hubungan Informed Consent dengan perjanjian Terapeutik.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent

Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin.
jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai
pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas
rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi
yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan
yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.
Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai persetujuan
tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang
bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed
Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien
kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan
informasi yang jelas akan tindakan tersebut. Informed Consent menurut Permenkes
No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

2.2 Dasar Hukum pada Informed Consent

Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang –


undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan
tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan
lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara

6
tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang
persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik
atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuat keputusan secara bebas.

Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasienharus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikansecara tertulis
maupun lisan.

7
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.

Pasal 3

1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh


persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.


2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

2.3 Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Fungsi – fungsi Informed Consent sebagai berikut :


1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

8
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan


medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan untuk melindungi
pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktik yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang
memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak
ada alasan medisnya. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan
medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan
medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment”
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti
serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas
tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar
karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya
tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

2.4 Hubungan Informed Consent dengan Perjanjian Terapeutik

Hubungan ini dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai


hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat
superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis, hanya ada kegiatan
pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Pada umumnya mulainya hubungan
perjanjian terapeutik dimulai saat seorang pasien meminta pertolongan kepada dokter
untuk mengobati penyakitnya dan dokter menyanggupinya. Menurut Hukum Perdata,
hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi Berdasarkan
perjanjian (ius contractus) yang berbentuk kontrak Terapeutik secara sukarela antara
dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila
terjadi “wanprestasi”, yakni peningkatan terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar

9
tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang
tidak boleh adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu
yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. Berdasarkan hukum (ius delicto)
berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.

Ajaran mengenai wanprestasi atau cedera janji dalam hukum perdata


dikatakan, bahwa seorang dianggap melakukan wanprestasi apabila :
1. Tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan.
2. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat.
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
4. Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan.

10
BAB III
PENUTUP

A. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat
kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang. Semoga makalah
ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam pembelajaran Etika Profesi Dan Hukum
khususnya tentang Informed Consent.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/44650/3/Hamim_Tohari_22010110110013_Bab2KTI.pdf.
http://repository.radenfatah.ac.id/7039/2/Skripsi%20BAB%20II.pdf.
Diakses pada tanggal 23 Juni.

12

Anda mungkin juga menyukai