Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN


1.3 Latar Belakang

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan alat sebagai sarana perwujudan
kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas,
dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, kita sebagai warga negara yang
baik, harus turut andil untuk mensukseskan Pemilu tersebut, agar apa yang dicita-
citakan bersama yakni terpilihnya wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan
bertanggung jawab.

Mensukseskan Pemilu 2014 adalah cita-cita kita bersama, cita-cita dari semua
lapisan, cita-cita para Calon Legislatif (calon anggota Dewan), cita-cita
Pemerintah, cita-cita Penegak Hukum, serta cita-cita masyarakat indonesia, untuk
menggapai cita-cita tersebut kita harus berperan serta dan berjuang bersama-sama.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pemilu?
2. Apa makna pemilu?
3. Bagaimana mengenai asas pemilu jujur dan adil untuk menggapai
cita-cita bangsa?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami mengenai pemilu.
2. Memahami makna pemilu.
3. Memahami tentang asas jujur dan adil adil untuk menggapai cita-cita
bangsa.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pemilihan Umum

Menurut pendapat Nuruddin Hady dalam Pendidikan Pancasila, dalam suatu
sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil (free and fair)
adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang diterapkan oleh
negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim demokrasi atas sistem
politik yang dibangunnya. Dijelaskan juga, bahwa Pemilihan umum merupakan
mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas
dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga dalam konteks ini sebenarnya
tercermin tanggung jawab warga negara.

Begitu halnya yang diterangkan Bambang Purwoko dalam bukunya Demokrasi
Mencari Bentuk (2006), bahwa bagi mereka yang sehari-hari bergelut dengan
persoalan politik, Pemilu 2004 adalah gerbang emas menuju kehidupan politik
yang demokratis, dan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera. Pemilu adalah
jalan terbaik untuk mewujudkan cita-cita warga negara. Pemilu adalah sarana
untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang semua
kebijakannya ditujukan untuk kemakmuran waarga negara.

Adapun fungsi dari pemilihan umum menurut Arbi Sanit yang dikutip oleh
Nuruddyn Hadi, minimal ada empat fungsi pemilihan umum, yaitu saran
legitimasi politik, perwakilan politik, sirkulasi elit politik, dan sarana pendidikan
politik.
Menurut Eep Saifullah Fatah dalam Pendidikan Pancasila, menempatkan pemilu
sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya
sebagai wahana pembentuk representative government yang jujur, bersih, bebas,
adil, dan kompetitif. Dengan fungsi representatif government itu, maka sistem
pemilihan umum harus memenuhi tiga sistem pokok demokrasi, yakni kedaulatan
rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur.


2.2 Makna Pemilu

Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang
demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang
dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat
dilakukan secara damai dan beradab.

Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam
mengelola kekuasaan. Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona
luar biasa. Siapapun akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi
akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian mempesonanya
daya tarik kekuasaan sehingga tataran apa saja kekuasaan tidak akan diserahkan
oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi.

Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan
daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan
etnis, ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi
merebutkan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam
ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak
kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik, power tends to
corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny.

Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pemilu
mendatang diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk
membangun suatu institusi yang dapat menjamin transfer of power dan power
competition dapat berjalan secara damai dan beradab. Untuk itu, pemilu 2004
harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan etika yang dapat memberi jaminan
agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur dan adil, tetapi juga dapat
menghasilkan wakil-wakil yang kredibel, akuntabel, dan kapabel serta sanggup
menerima kepercayaan dan kehormatan dari rakyat, dalam mengelola kekuasaan
yang dipercayakan kepada mereka untuk mewujudkan kesejahteraan umum.


Agar pemilu 2004 dapat menjadi anggeda pelembagaan proses politik yang
demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak
terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam
memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme
politik harus dibuang jauh-jauh.

Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi bukan
sekedar hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga
kepentingannya. Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu akan
memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan.
Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang merupakan
aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu yang
demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai perkembangan
konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta saran mengenai
regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.

Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen.
Parsyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur.
Harapan itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan
setelah pansus pemilu menyetujui bahwa kondisi pemilihan umum (KPU) benar-
benar menjadi lembaga independen dan berwewenang penuh dalam
menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan:
untuk urusan operasional bertanggung jawab kepada KPU, telah disatukan dalam
struktur yang tidak lagi bersifat dualistik. Struktur yang sama diterapkan pula
ditingkat propinsi serta kabupaten dan kota.

Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan partai-
partai menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan. Sejak
semula, sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan
menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur dengan sendirinya.

Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu
harus menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain
rumit, diperlukan kesabaran melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sebab,
partai politik bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi
juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi politik
kepada masyarakat.

Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif dari
pemilu 2004. Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat
penegak hukum dan KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain itu,
perlu semacam koordinasi diantara lembaga pemantau dan pengawas pemilu
sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan
kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindak lanjuti,
membuat penyilidikan dan memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.

Keempat, Money politics mencegas habis-habisan permainan uang dalam pemilu
mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money
politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih
memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai dibeberapa organisasi sosial dan
kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat.
Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan
sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh
bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD lebih-lebih sumber ilegal dan tentu
saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarannya.

Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi
masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung
unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.


2.3 Pemilih dan Hak Pilih


Persyaratan mendasar dari pemerintahan perwakilan daerah adalah bahwa rakyat
mempunyai peluang untuk memilih anggota dewan yang memegang peranan dan
bertanggung jawab dalam proses pemerintahan. Masken Jie (1961) berpendapat
bahwa pemilihan bebas, walaupun bukan puncak dari segalanya, masih
merupakan suatu cara yang bernilai paling tinggi, karena belum ada pihak yang
dapat mencipatakan suatu rancangan politik yang lebih baik dari cara tersebut
untuk kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam masyarakat manapun. Pertama, pemilihan dapat menciptakan
suatu suasana dimana masyarakat mampu menilai arti dan manfaat sebuah
pemerintahan. Kedua, pemilihan dapat memberikan suksesi yang tertib dalam
pemerintahan, melalui transfer kewenangan yang damai kepada pemimpin yang
baru ketika tiba waktunya bagi pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya,
baik karena berhalanga tetap atau karena berakhirnya suatu periode
kepemimpinan.

Pada sistem pemerintahan nonperwakilan daerah, peranan warga daerah terbatas
pada hal-hal yang relatif tidak terorganisasi dan tidak langsung dalam urusan
pemerintahan daerahnya. Rakyat harus memainkan peranan yang aktif dan
langsung jika pemerintahan perwakilan diinginkan untuk menjadi dinamis dan
bukan merupakan proses statis. Ada banyak kepentingan dan pengaruh warga
daerah untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan daerah, tetapi yang
paling mendasar adalah melalui pemilihan para wakilnya dalam kepemimpinan
daerah.

2.4 Hak untuk Memilih

Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan perwakilan dan
pengembangannya diberbagai negara merupakan fenomena yang paling penting
dalam kaitannya dengan pemerintahan perwakilan daerah yang modern. Pada abad
19, banyak negara belum mempunyai proses pemilihan untuk posisi-posisi pada
pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak untuk memilih seringkali dibatasi
pada sejumlah kecil penduduknya. Namun perkembangan selama satu abad
terakhir ini menunjukan adanya kemajuan yang berarti dalam mengalihkan hak
dari beberapa orang saja menjadi hak bagi semua, atau lebih tepat lagi berupa hak
bagi hampir semua, karena pada sistem hak pilih yang paling luas pun masih ada
beberapa diantaranya yang tidak memenuhi syarat untuk memilih.
Dalam banyak hal, hak untuk memilih bagi perwakilan pada lembaga daerah
terbatas pada satu orang yang merupakan warga daerah tersebut. Namun
pengecualiannya dapat dijumpai pada persemakmuran Inggris yang hukum
kewarganegaraannya menyatakan bahwa warga negara dalam persemakmuran
manapun dapat memilih di Inggris Raya, bila ia dinayatakan memenuhi syarat
(HMSO, 1965). Dewasa ini sudah menjadi fenomena yang umum untuk
memberikan hak pilih kepada seseorang yang sudah mencapai umur yang
bertanggung jawab. Ada dua persyaratan lain yang sering diungkapkan dalam
cara yang agak negatif.

Diketahui bahwa sudah menjadi hal yang biasa disetiap negara untuk menghapus
hal pilih dari mereka yang tidak waras atau catat mental dan mereka yang sedang
menjalani hukuman penjara. Demikian pula, ada beberapa negara yang tidak
membolehkan warganya yang telah menjalani masa tahanan dalam penjara selama
waktu yang cukup lama untuk ikut memilih. Di indonesia, mereka yang dihukum
diatas lima tahun tidak diperkenankanmengikuti pemilihan umum.


2.5 Asas Pemilu

Asas Pemilu yaitu Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang akan diuraikan sebagai
berikut :
1. Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara;
2. Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi
persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan
umum. Warganegara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
berhak dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara
yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi
(pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, dan status sosial;
3. Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga
dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
4. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan
apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak
berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara
dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak
manapun;
5. Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/
pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan
pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat
secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku;
6. Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai
politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari
kecurangan pihak manapun.

2.6 Cita Cita Bangsa Indonesia

Cita-cita bangsa Indonesia sangat sederhana. Bangsa Indonesia hanya ingin
mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Cita-cita bangsa Indonesia itu diformulasikan dengan baik dalam alinea ke-2
Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Formulasi itu berbunyi : Dan
perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur .

Selain itu, Tujuan Nasional Bangsa Indonesia Dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 :
1. Membentuk suatu pemerintahan Negara Republike Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum / bersama
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia
yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial.

2.7 Pemilu Indonesia yang Jujur dan Adil
Asas jujur mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan
aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat
memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang
sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur,
tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Ini sangat jelas bahwa hak pilih
sangat dilindungi, namun pemilu yang berjalan saat ini belum sepenuhnya
menjiwai asas pemilu yaitu jujur.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan
pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau
pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun
peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural
pelaksanaan pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan
penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian
asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan pemilu. Namun asas
adil yang ada, dalam pemilu yang telah lalu belum mencerminkan sebuah keadilan
yang merata terhadap jalannya pemilu. Terbukti dengan adanya warga Indonesia
yang kehilangaan hak pilihnya. Hal ini menjadikan warga yang menganggap
bahwa pemilu belum sepenuhnya sesuai dengan asas pemilu, bahkan masih jauh
dengan asas pemilu itu sendiri.
Dengan terwujudnya asas jujur dan adil pada pemilu di Indonesia ini dapat
memperkokoh system demokrasi Pancasila yang ada. Selain itu jika asa-asas
pemilu ini dapat terwujud dapat menjadi alat untuk mencapai cita-cita bangsa
karena pemimpin yang terpilih berdasarkan kejujuran dan keadilan. Seperti yang
telah diuraikan diatas kejujuran dan keadilan ini harusnya tak hanya diterapkan
saat pemilihan namun pada saat memimpin jabatan yang diembannya agar cita-
cita dan tujuan bangsa Indonesia ini dapat tercapai melalui pemimpin yang
amanah atas apa yang diembannya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemilu merupakan pengejawantahan sinstem demokrasi, untuk memilih wakil
rakyat maupun pejabat tinggi negara.
Pemilu yang jujur dan adil merupakan alat untuk menggapai cita-cita bnagsa.
Dengan terwujudnya asas jujur dan adil pada pemilu di Indonesia ini dapat
memperkokoh sistem demokrasi Pancasila yang ada. Selain itu jika asas-asas
pemilu ini dapat terwujud dapat menjadi alat untuk mencapai cita-cita bangsa
karena pemimpin yang terpilih berdasarkan kejujuran dan keadilan. Karena
keadilan dan kejujuran ini tidak hanya diterapkan sat pemlu, namun digunakan
oleh para wakil rakyat untk melaksanakan amanah yang diembannya.

Daftar Pustaka


Kaelan, dan Zubaidi, Achmad. 2010. Pendidikan Kewarganearaan. Yogyakarta:
Paradigma
http://bagazx.blogspot.com/2012/02/asas-pemilihan-umum-indonesia.html
http://idayoce.blogspot.com/2013/12/pemilihan-umum_4737.html

Anda mungkin juga menyukai