ABSTRAK
Informed consent atau persetujuan untuk tindakan medis bukanlah formalitas lembar
persetujuan medis saja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik
Indonesia nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran (informed
consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga yang telah
mendapatkan penjelasan secara lengkap dan rinci mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan. Informed consent sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh hukum dan
berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari. Komponen penting yang
diperlukan dalam informed consent adalah persetujuan/penolakan pasien/keluarga yang
kompeten, informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan,
serta keterangan bahwa persetujuan diberikan tanpa paksaan. Dalam kasus ini, Tn. M
merupakan pasien departemen jantung yang memilih menolak tindakan medic yang akan
dilakukan kepadanya dengan alasan merasa kondisinya sudah stabil.
PENDAHULUAN
Sebagai manusia kita memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Meskipun
hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination) tidak disebutkan secara
eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, namun pada hakikatnya ini
merupakan hak alas bagi hak-hak dasar tertentu, termasuk hak-hak pasien dalam
pelayanan kesehatan. Berdasarkan Hak Asasi Manusia menjadi hak alas atau dasar,
bahwa manusia dalam menerima pelayanan kesehatan, tetap berhak menentukan nasib
sendiri. Menentukan nasib sendiri bisa terwujud dalam hak pasien yang salah satunya hak
Pasien memiliki hak penuh dalam menolak tindakan medis. Pada hakikatnya
persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah informed consent merupakan
alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri9. Informed Consent ini berfungsi
sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan hak pasien dalam menolak tindakan medis
tersebut. Tujuan dibuatnya Informed Consent adalah untuk memberi tahu informasi
mengenai kondisi medis dari pasien dan tindakan medis yang akan dilakukan, yang
kemudian pasien bisa menentukan menerima atau menolak tindakan medis tersebut,
berdasarkan informasi yang sudah diberikan oleh dokter. Persetujuan ini didasarkan oleh
informasi maka dokter harus secara lengkap memberikan informasi mengenai kondisi
medis ataupun tindakan medis yang akan dilakukan (termasuk risiko yang mungkin
Penolakan terhadap nasihat medis dari rumah sakit mungkin memiliki efek
negatif pada kesejahteraan pasien. Dokter sering kali dihadapkan pada keluarga, orangtua
atau pengasuh yang bersikeras pada DAMA meskipun jelas bahwa keputusan tersebut
merugikan kesehatan keluarga mereka, terutama bagi mereka yang dalam kondisi kritis
dengan komplikasi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu perna penting bagi dokter
sangatlah dibutuhkan dalam melakukan edukasi dalam bentuk “Informed Concent” untuk
suatu tindakan medis supaya pasien dapat mengerti bagaimana keaadaan dan perlunya
suatu tindakan.
DESKRIPSI KASUS
Tn. M berusia 68 tahun datang ke UGD RS Karsa Husada pukul 12.00 wib
dengan keluhan nyeri dada. Pasien mengeluh nyeri dada seperti diremas dengan kuat pada
area dada tengah dalam tembus hingga punggung pasien 30 menit SMRS. Keluhan nyeri
dada dirasa sangat sakit setelah melakukan aktivitas berat. Keluhan disertai dengan
berkeringat dingin. Keluhan seperti berdebar, mual, muntah, demam, batuk pilek
disangkal. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien direncanaka untuk tindakan pasang
“Ring Jantung” (PCI) setelah mendapatkan stabilisasi / tata laksana keluhan pasien di
IGD namun pasien dan keluarganya menolak tindakan tersebut karena merasa kondisinya
sudah stabil dan membaik seperti sebelum terjadi keluhan, selain itu pasien juga merasa
takut. Pasien memilih untuk mengonsumsi obat-obatan tanpa dilakukan tindakan PCI.
PERASAAN TERHADAP KASUS
Melihat tindakan suami pasien yang menolak tindakan membuat tim medis mengalami
kebimbangan diantara perasaan takut akan perburukan dari kondisi pasien namun tidak
bisa berbuat apa-apa karena pasien dan keluarganya juga memiliki hak untuk menolak
tindakan medis tersebut meskipun sudah mengetahui risiko terburuknya. Hal ini membuat
saya sebagai tenaga medis sedih dalam mengambil keputusan untuk tidak melakukan
pemasangan PCI dan hanya memberi obat-obatan oral untuk stabilisasi dan mencegah hal
yang tidak diinginkan di kemudian hari pad apasien. Namun hal ini secara tidak langsung
juga menegur kita selaku petugas medis, bahwa kita bukanlah siapa-siapa yang dapat
EVALUASI KASUS
Persoalan yang dihadapi oleh Tenaga medis professional yang bertujuan untuk mengatasi
penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Persoalan dapat berupa
beberapa masalah seperti "seberapa jauh peran keluarga dalam membuat keputusan medis
terhadap pasien?", "apa sikap dokter bila keluarga pasien tidak memedulikan keadaan
pasien yang dapat memengaruhi keadaan pasien kedepannya?" Sehingga tenaga keseatan
professional dapat diharapkan untuk memberikan pilihan yang terbaik untuk pasien sesuai
dengan keaadan dan kemampuan pasien. Dalam hal ini dokter perlu mengetahui prinsip
dari Bioetik Islam sehingga pelayanan kesehatan dapat memadukan antara hak dan
kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, penalaran dan hati nurani, wahyu dan tradisi ,
sosial dan budaya, prinsip serta nilai sehingga dapat terciptanya pelayanan kesehatan
PEMBAHASAN
hubungannya dengan pasien, tenaga medis, dan rumah sakit. Tenaga medis
merupakan pihak pemberi pelayanan kesehatan. Mulai dari dokter, perawat, apoteker,
Menolak tindakan medis menjadi kewajiban dan hak pasien yang harus dipenuhi
oleh penyedia layanan kesehatan atau faskes. Begitu juga rumah sakit, sudah menjadi
kewajiban untuk memenuhi hak pasien dalam menolak tindakan medis. Menolak
tindakan medis menjadi hak mutlak yang harus diperoleh pasien, sebagai bentuk
perlindungan Hak Asasi Manusia. Terkait dengan Hak Asasi Manusia, pasien memiliki
hak dalam menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu pasien memiliki hak untuk menolak
atau menyetujui suatu tindakan medis yang hendak dilakukan terhadapnya sebagai
Secara umum pengaturan terkait hak pasien dalam menolak tindakan medis
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diatur pula mengenai penolakan tindakan medis.
Tepatnya pada Pasal 16 dimana disebutkan bahwa pasien dan/atau keluarga terdekat
persetujuan tindakan medis. Mulai dari syarat, prosedur ataupun hal lainnya. Akan tetapi
penolakan tindakan medis berbeda bentuk dengan persetujuan tindakan medis. Dimana
penolakan tindakan medis harus dinyatakan dalam bentuk tertulis. Hal ini sesuai dengan
Pasal 16 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Persetujuan Tindakan Kedokteran yang
mengatakan bahwa penolakan tindakan medis atau harus dilakukan secara tertulis.
Berbeda dengan persetujuan tindakan medis yang bisa dilakukan secara tertulis
ataupun lisan, bahkan dengan hanya anggukan kepala. Penolakan tindakan medis wajib
atau harus dilakukan secara tertulis. Apabila persetujuan yang diberikan pasien dinilai
dokter meragukan maka dokter berhak meminta persetujuan tersebut dalam bentuk
tertulis. Bentuk tertulis dari penolakan tindakan medis atau persetujuan tindakan medis
adalah pernyataan yang tertuang dalam form yang dibuat khusus untuk hal tersebut. Form
penolakan disebut dengan penolakan tindakan medis dan form persetujuan disebut
kepada pasien menjadi kewajiban dokter. Tanpa adanya permintaan dari pasien, dokter
tetap diwajibkan untuk memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang hendak
dilakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan
lengkap dan jelas. Adapun mengenai isi penjelasan tindakan kedokteran diatur dalam
kurangnya mencakup:
Penjelasan tersebut harus lengkap dan mencakup semua hal-hal yang diperlukan
sesuai peraturan perundangan, dengan tujuan pasien dapat mengerti akan tindakan
kedokteran yang dibutuhkan dan tidak salah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu
pernyataan menolak pun harus dilakukan setelah pasien atau keluarga terdekat
Meskipun pasien memiliki hak mutlak dalam menolak tindakan medis, terdapat
batasan-batasan tertentu bagi pasien dalam menolak tindakan medis. Dapat ditemui pada
Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan, dimana disebutkan bahwa persetujuan atau
penolakan tindakan medis tidak berlaku bagi beberapa pasien, antara lain:
a) Pasien yang menderita penyakit yang dapat cepat menular ke masyarakat luas
Selain itu suatu tindakan medis yang memiliki pengaruh terhadap suami/istri
sebagai kesatuan harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Contohnya
mendapatkan persetujuan dari suami pula; kemudian contoh yang lain adalah
pengangkatan rahim maka istri harus mendapatkan persetujuan pula dari suaminya.
Adapun subyek hukum yang terlibat dalam penolakan tindakan medis tersebut
adalah:
1) Tenaga Kesehatan
dan penuh kepada pasien. Tenaga kesehatan juga memiliki kewajiban untuk
memenuhi hak pasien dalam pelayanan kesehatan. Dalam pemenuhan hak pasien
menolak tindakan kesehatan di Tim medis tidak semua tenaga kesehatan berperan di
dalamnya. Pada form penolakan tindakan medis Tim medis tenaga kesehatan yang
menjadi subyek hukum hanya dokter dan perawat. Jadi tidak semua tenaga kesehatan
(a) Dokter
yang cukup penting. Memberi informasi yang jelas pada pasien mengenai
tindakan medis yang hendak dilakukan, menjadi tanggung jawab dari
dokter.
kesempatan pada pasien untuk bertanya dan / atau berdiskusi. Dokter pun
1. Diagnosis
2. Diferensial Diagnosis
3. Dasar Diagnosis
4. Tindakan Kedokteran
5. Risiko
6. Komplikasi
7. Prognosis
(b) Perawat
dokter mengisi form penolakan tindakan medis menjadi tugas dari perawat.
Perawat menjadi subyek hukum karena perannya dalam membantu
dokter dalam penolakan tindakan medis yang dilakukan pasien. Perawat juga
dapat menjadi saksi dari pasien yang melakukan penolakan tindakan medis.
tindakan medis, hal tersebut bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi
lain atau tidak adanya keluarga yang dapat menjadi saksi, maka perawat dapat
2) Pasien
tindakan medis. Pasien merupakan subyek hukum yang paling penting. Merupakan
pihak yang menyatakan penolakan terhadap tindakan medis yang hendak dilakukan
mengenai berbagai hal terkait tindakan medis yang hendak dilakukan dan kondisi
tubuhnya, serta memberi tanda “√” / paraf pada kolom setiap jenis informasi yang
diberikan dokter atau perawat. Pasien juga harus mengisi pernyataan penolakan
Alasan – alasan pasien dalam menolak tindakan medis berbagai macam antara
lain:
2) salah informasi;
5) biaya, dll.
Setelah pemberian informasi yang jelas pada pasien, pihak pasien / keluarga
dilakukan tersebut. Hal ini menjadi kesempatan bagi pasien untuk berdiskusi dengan
keluarga tentang tindakan medis yang hendak dilakukan, serta merupakan upaya tim
medis memenuhi hak pasien serta memberikan edukasi agar pasien tidak salah
mengambil keputusan. Setelah kesempatan diskusi diberikan maka pasien berhak atas
kemauan dan kemampuannya untuk menyetujui atau menolak tindakan medis yang
hendak dilakukan.
medis, dokter pemberi informasi cukup membubuhkan tanda tangan pada kolom yang
tersedia. Pemberian tanda tangan pada kolom yang tersedia tersebut terdapat pada
form persetujuan atau penolakan tindakan medis. Dokter memberikan tanda tangan
yang jelas dan lengkap sesuai yang tersedia pada form pada pasien. Kemudian pihak
pasien akan memberikan tanda tangan dengan memberi tanda (√) pada kolom yang
tersedia di form penolakan atau persetujuan tindakan medis. Pemberian tanda (√)
tersebut sebagai bukti bahwa pihak pasien telah menerima informasi yang lengkap
dan jelas sesuai yang tersedia pada form tersebut. Pihak pasien yang dimaksud
tersebut dapat berarti pasien itu sendiri / penerima informasi / pemberi persetujuan
atau penolakan.
membubuhkan tanda tangan beserta seorang saksi dari pihak keluarga dan seorang
saksi dari pihak rumah sakit. Dalam membubuhkan tanda tangan tersebut pada form
penolakan atau persetujuan tindakan medis tersebut, menjadi bukti bahwa pihak
pasien tersebut telah menyatakan persetujuan atau penolakan tindakan medis yang
hendak dilakukan. Meskipun saksi pada SPO tersebut dibutuhkan dua orang (saksi
dari pihak keluarga dan saksi dari pihak rumah sakit), dalam form hanya tersedia
kolom untuk satu orang saksi. Dimana saksi tersebut dapat dari pihak keluarga
ataupun dari pihak rumah sakit. Saksi dari pihak keluarga adalah saksi keluarga
terdekat pasien ataupun pihak keluarga lain yang tidak mewakili pasien apabila
pasien tidak sadar atau tidak cakap. Sedangkan saksi dari pihak rumah sakit adalah
perawat.
menandatangani form tersebut disertai saksi sudah dianggap sebagai bukti otentik.
rangka upaya penyelamatan jiwa. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Tim medis,
pertolongan pertama sebagai upaya penyelamatan jiwa pasien terlebih dahulu. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa segenap jajaran dokter tidak akan melakukan
tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari pasien, akan tetapi persetujuan tindakan
keluarga. Karena Tim medis sangat menjunjung tinggi pemenuhan hak pasien
keputusannya dalam menyetujui atau menolak tindakan medis. Dari hasil penelitian,
diketahui bahwa pasien yang pada awalnya melakukan penolakan tindakan medis
kemudian dapat berganti menyetujui dilakukan tindakan medis terhadapnya. Akan
tetapi dalam setiap keputusan pasien tersebut, pasien harus menandatangani form
persetujuan atau penolakan tindakan medis. Jadi pada saat awal pasien melakukan
kemudian pasien menyetujui maka harus memberi tanda tangan pada form
KESIMPULAN
Sebagai pasien dan keluarga, memiliki hak untuk menolak segala tindakan
medis yang akan diberikan dengan konsekuensi yang nantinya akan diterima /
ditanggung oleh baik pasien maupun keluarga pasien. Dalam artian, pada kondisi
tersebut tim medis sudah menjelaskan mengenai prosedur dari awal hingga akhir
mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien, baik secara manfaat pun
kerugian. Namun apabila pasien dan keluarganya tetap menolak, maka sebagai tenaga
medis kita tidak bisa memaksakan kehendak dengan melanggar hak pasien yaitu tetap
tindakan atas kemauan sendiri dengan menerima segala risiko yang terjadi di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Achdiat, Chrisdiono M., 2007, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam
Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Adriana Pakendek, Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan, Jurnal Al-Hikam,
Volume V, Nomor 2, Desember 2010, hlm.315
Ali, Zainuddin, 2015, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Dian Ety Mayasari, Tinjauan Yuridis Tentang Informed Consent Sebagai Hak Pasien
Dan Kewajiban Dokter, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma
Cendika, Volume 13, Nomor 2, Oktober 2017
Dionisius Felendeti, Penegakan Otonomi Pasien Melalui Persetujuan Tindakan
Medis (Informed Consent), Jurnal Biomedis, Volume 1, Nomor 1, Maret
2009, hlm. 35
Endang Wahyati Yustina, Problem Yuridis Pengecualian Informed Consent Dalam
Tindakan Medis Untuk Melaksanakan Program Pemerintah, Jurnal Kisi
Hukum, Volume 13, Nomor 1, Juni 2010, hlm.109
Hadiati, Hermien, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti
Hadjon, Philipus M., 2017, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya: PT. Bina Ilmu
Halim, Ridwan, 1985, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia
Indonesia
Indonesia, Konsil Kedokteran, 2006, Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran,
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia
Komalawati, Veronica, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu
Tinjauan Yuridis, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti
Marzuki, Peter Mahmud, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Jakarta:
Prenadamedia Group
Mertokusumo, Sudikno, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty
Nasution, Bahder Johan, 2013, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Ninik Darmini dan Rizky Septiana Widyaningtyas, Informed Consent Atas Tindakan
Kedokteran Di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta, Jurnal Mimbar
Hukum, Volume 26, Nomor 2, Juni 2014, hlm 234-236
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Seran, Marcel dan Anna Maria Wahyu Setyowati, 2010, Dilema Etika dan Hukum
Dalam Pelayanan Medis, Bandung: CV. Mandar Maju
Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta
Soemitro, Ronny Hanitiyo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimateri,
Jakarta: Ghalia Indonesia
Soerjowinoto, Petrus, 2018, Ilmu Hukum Suatu Pengantar Buku Panduan
Mahasiswa, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata
Soewono, Hendrojono, 2006, Perlindungan Hak-Hak Pasien dalam Transaksi
Terapeutik, Surabaya: Srikandi
Supranto, J., 2003, Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Tengker, Freddy, 2007, Hak Pasien, Bandung: Mandar Maju
Triwibowo, Cecep, 2014, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medisa
Yustina, Endang Wahyati, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: CV Keni
Media.
Zulhasmar, Eric, Implikasi Hukum Penolakan TindakanMedis, Lex Jurnalica, Volume
5, Nomor 2, April 2008, hlm. 84