Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses
inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion
ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi
ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos
membran neuron.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan
peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena
menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari
narkotik. Di Inggris, satu orang diantara 131 orang menyindap epilepsi. Jadi setidaknya 456.000
penyindap epilepsi di Inggris. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3%
penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima
tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia
mengidap epilepsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Epilepsi adalah salah satu penyakit neurologis yaitu suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik neuron-neuron secara tiba-tiba dan berlebihan yang cenderung untuk mengalami kejang
berulang
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara
mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-
sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.
Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai keadaan yang didapat, kongenital atau
bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak dan beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai
usia. Sindroma epileptik yang spesifik pada anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang
disebabkan kelainan metabolik herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak,
epilepsi yang disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa walaupun hal
ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada usia dewasa. Tumor otak
tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya meduloblastoma), lainnya pada orang dewasa
(meningioma) dan beberapa penyakit hanya terdapat pada usia lanjut (misalnya demensia presenilis dan
penyakit serebrovaskuler). Berbagai keadaan lain terjadi pada anak-anak meupun orang dewasa (misalnya
trauma infeksi otak).
II. 2. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO
(2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka
kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan
psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi
lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan
interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar
terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsy.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, 2 %
dari penduduk dewasa pernah mengalami kejang dan sepeetiga dari kelompok tersebut mengalami kejang.
Walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki
lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.
II. 3. Klasifikasi
Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi:
3.1. Bangkitan Parsial
• Bangkitan parsial sederhana; bangkitan parsial dengan kesadaran tetap normal.
1. Dengan gejala motoric
2. Dengan gejala sometosensorik atau sensoris parsial
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, piloreksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur): disfasia, dimensia, kognitif, afektik,
ilusi dan halusinasi.
• Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
3.2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik
klonik
II.5. Patofisiologi
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini:
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls
epileptik secara berlebihan. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA tidak normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi
GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSIs =
inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABAA Gamma amino butyric acid (GABA).
Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi
oleh GABA. Zat ini merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah
rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini
belum ada kesepekatan tentang peran GABA pada epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls
epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal
tapi sistim pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. sampau berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada
orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat
yang berperan pada sinaps perangsang di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954
menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada
epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi.
Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila diberikan
sebelum serangan dimulai.
EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai
akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan
parut dan kerusakan karena cedera kepala. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap
urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sbb:
1. Anamnesis
• Pola atau bentuk bangkitan
• Lama bangkitan
• Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
• Frekuensi bangkitan
• Factor pencetus
• Ada atau tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
• Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
• Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan dan perkembangan bayi atau anak
• Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
• Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan penunjang:
• Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG). Merupakan pemeriksaan yang mengukur arus listrik
dalam otak. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi refleks).
• Pemeriksaan pencitraan otak. MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan
sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. MRI dapat mendeteksi sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI
diindikasikan untuk epilepsy yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.
• Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit dan apusan darah
tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi ginjal.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.
II.9 Pengobatan
Terapi Medikamentosa
Antikonvulsan profilaksis jarang diresepkan pada kejang tunggal dan terisolasi, dan baru akan
mulai diberikan jika terjadi serangan kedua. Pilihan obat ditentukan oleh tipe syndrome epilepsi. Secara
umum diperlukan control teratur untuk menetapkan dosis minimum efektif dan memantua efek samping
obat. Pengukurank adar antikonvulsan dalam darah dapat membantu pemantauan. Mayoritas pasien epilepsi
(70%) akan terkontrol dengan baik dengan 1 obat. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang membutuhkan
tambahan obat. Pada pasien yang membutuhkan 3 obat atau lebih angka keberhasilan terapinya rendah. 5
Prinsip terapi farmakologik pasien epilepsi anak pada umumnya sama dengan prinsip terapi farmakologik
pasien dewasa yaitu:
a. Obat-obat anti epilepsi mulai diberikan bila:
• Diagnosis epilepsi telah ditegakkan
• Pasien, terutama keluarga pasien (pada pasien anak) telah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
• Pasien maupun keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping obat anti
epilepsi yang akan timbul.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai mencapai dosis efektif.
d. Bila dengan pemberian dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
perlu ditambahkan obat anti epilepsi kedua. Bila obat anti epilepsy telah mencapai kadar terapi
maka obat anti epilepsi pertama diturunkan bertahan (tapering off), perlahan-lahan.
e. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
penggunaan dosis maksimal kedua obat anti epilepsi pertama.
f. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
• Dijumpai fokus epilepsi yang luas pada EEG
• Pada pemeriksaan CT scan atau MRI dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya
neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
• Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak
• Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
• Riwayat bangkitan simptomatik
• Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
• Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
Efek samping obat-obat anti epilepsi perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar obat anti epilepsi.
Terapi Bedah
Akhir-akhir ini terapi bedah saraf semakin dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsy yang
terus-menerus, refrakter terhadap dosis maksimal anti konvulsan terutama pada pasien dengan lokasi onset
kejang yang jelas. Sekarang ini dengan pencitraan MR telah dapat di edentifikasi lesi kecil lobus temporal,
skeloris atau kelainan perkembangan (hematoma) yang sebelumnya tidak dapat diidentifikasi dengan CT
scan. Pada pasien lain dimana tidak ada lesi pada pencitraan, maka focus epileptogenik dapat dideteksi dari
elktrofisiologi. Pasien ini dapat menjalani operasi pembedahan untuk menghilangkan jaringan
epileptogenik. Pada kasus simtomatik yang kurang spesifik, prosedur bedah dapt diindikasikan, termasuk
hemisferektomi dan prosedur-prosedur pemutusan hubungan, seperti pemotongan corpus kalosum. Pada
semua kasus, terapi bedah hanya dilakukan pada pasien-pasien terpilih, dinilai oleh pusat study saraf
termasuk penentuan fungsi jaringan yang akan dihilangkan.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat antiepilepsi
diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang mempengaruhi sistem
inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi mempunyai rumus
dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate,
oksazolidindion dan suksinimid. Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting
dalam pengobatan epilepsi; karbamazepin untuk bangitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan
asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik
klonik.
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5
tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis obat anti terapi), kemudian dievaluasi kembali.