Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses
inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion
ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi
ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos
membran neuron.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan
peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena
menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari
narkotik. Di Inggris, satu orang diantara 131 orang menyindap epilepsi. Jadi setidaknya 456.000
penyindap epilepsi di Inggris. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3%
penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima
tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia
mengidap epilepsi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Definisi
Epilepsi adalah salah satu penyakit neurologis yaitu suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik neuron-neuron secara tiba-tiba dan berlebihan yang cenderung untuk mengalami kejang
berulang
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara
mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-
sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.
Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai keadaan yang didapat, kongenital atau
bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak dan beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai
usia. Sindroma epileptik yang spesifik pada anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang
disebabkan kelainan metabolik herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak,
epilepsi yang disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa walaupun hal
ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada usia dewasa. Tumor otak
tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya meduloblastoma), lainnya pada orang dewasa
(meningioma) dan beberapa penyakit hanya terdapat pada usia lanjut (misalnya demensia presenilis dan
penyakit serebrovaskuler). Berbagai keadaan lain terjadi pada anak-anak meupun orang dewasa (misalnya
trauma infeksi otak).

II. 2. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO
(2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka
kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan
psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi
lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan
interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar
terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsy.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, 2 %
dari penduduk dewasa pernah mengalami kejang dan sepeetiga dari kelompok tersebut mengalami kejang.
Walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki
lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.

II. 3. Klasifikasi
Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi:
3.1. Bangkitan Parsial
• Bangkitan parsial sederhana; bangkitan parsial dengan kesadaran tetap normal.
1. Dengan gejala motoric
2. Dengan gejala sometosensorik atau sensoris parsial
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, piloreksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur): disfasia, dimensia, kognitif, afektik,
ilusi dan halusinasi.
• Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
3.2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik
klonik

3.2. Bangkitan umum (konvulsif dan nonkonvulsif)


1. Lena (absence), pada bangkitan ini kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasa bangkitan
ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
2. Mioklonik, terjadi konraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua
otot-otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
3. Klonik, pada bangkitan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelejot, dijumpai
terutama sekali pada anak.
4. Tonik, pada nagkitan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat
pada anak.
5. Tonik-klonik, bangkitan ini dijumpai pada umur diatas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu serangan.
6. Atonik, pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Terutama dijumai pada anak.

3.3 Bangkitan tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, mengigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sementara.
II.4. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 3 kelompok:
• Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak
umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini
makin kecil
• Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya: post trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), kelainan
neurodegeneratif.
• Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah
sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus.

II.5. Patofisiologi
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini:
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls
epileptik secara berlebihan. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA tidak normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi
GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSIs =
inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABAA Gamma amino butyric acid (GABA).
Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi
oleh GABA. Zat ini merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah
rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini
belum ada kesepekatan tentang peran GABA pada epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls
epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal
tapi sistim pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. sampau berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada
orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat
yang berperan pada sinaps perangsang di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954
menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada
epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi.
Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila diberikan
sebelum serangan dimulai.

II. 6. Gejala Klinis


Kejang parsial simplek, dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap
terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal,
tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot
lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus
temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau
sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu
(merasa pernah megalami perasaan seperti sekarang di masa yang lalu.
Kejang Jacksonian gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau kaki)
dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik di otak.
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan
lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya
dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu
memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa
menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan muatan listrik
pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan
menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang
sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai
reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran
sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi,
gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa
mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat
mengingat apa yang terjadi selama kejang.
Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun. Tidak terjadi
kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal. Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau
otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya
tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak-nyentak.
Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak
berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik
didalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang
menetap dan penderita biasa meninggal. Spame Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu
kelompok, akut atau lebih secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan sering disertai dengan teriakan.
Satu dari 3.000 anak terkena serangan ini dan 90% diantaranya terjadi antara usia 3-12 bulan. West
Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik
disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui
penyebabnya. Jenis spasmenya adalah berkelompok (kluster) dan dalam satu kluster bisa mencapai 125
spasme. Biasanya gejala timbul setelah bangun tidur. Pada saat terjadi spasme biasanya anak menangis dan
spasme ini bisa terus berlangsung. Serangan mungkin dicetuskan oleh bunyi atau penanganan (“handling”)
dan dapat terjadi banyak kali sehari. Sering terlihat gambaran EEG yang khas (“hypsarrhythmia”).
Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum memuaskan. ACTH diyakini lebih efektif dibandingkan
penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek
samping ACTH harus diwaspadai. Sedangkan melalui penelitian, topiramate cukup efektif untuk
monoterapi pada anak di atas 2 tahun. Mortalitas spasme infatil sekitar 25 %, yang 50% lagi diikuti dengan
kemunduran atau keterlambatan perkembangan atau gejala sisa neurologis lain dan sekita 50% diantaranya
berkembang menjadi epilepsi kronik. Bila kasus-kasus kriptogenik ditangani segera secara serius, prognosis
akan lebih baik.
Sindrom Lennox-Gastaut, istilah ini digunakan untuk sindrom epileptik pada masa kanak-kanak
dengan ciri keterbelakangan mental dan serangan kejang disertai corak EEG yang khas berupa gelombang
lambat dan paku yang difus. Sindrom lennox-gastaut termasuk dalam bentuk epilepsi general yang
simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-3% dari seluruh kasus epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5
tahun. Secara umum sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang multipel. Tetapi yang paling khas
adalah adanya axial tonic seizure yang menyebabkan cedera. Sedangkan kejang atypical absence, atonic
atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik, juga bisa ditemui. Hasil EEG secara umum lambat
(< 2 Hz). Biasanya penderita memiliki IQ rendah dan ada kemunduran mental. Serangan pertama kali
biasanya terjadi antara usai 1-6 tahun, sering terdapat keterbelakangan mental yang kadang-kadang berat
dan pasien hampir selalu mengalami serangan kejang yang parah berupa campuran serangan tonik, lena
atipik, atonik dan klonik klasik, sering terjadi setiap hari. Serangan ini sukar diatasi dengan obat
antikonvulsan, dan prognosis biasanya buruk. Sindom lennox-gastaut ini dapat terjadi tanpa sebab yang
jelas atau dihubungkan dengan berbagai abnormalitas yang ada sebelumnya (mis : anomali perkembangan,
kelainan metabolik, dan setelah infeksi otak). Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak
bisa disembuhkan. Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan politerapi yaitu kombinasi topiramate,
lamotrigine dan valproate.
II. 7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang
menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada penderita. EEG (elektroensefalogram) merupakan
pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit
dan tidak memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang bisa
diobati.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi)

EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai
akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan
parut dan kerusakan karena cedera kepala. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap
urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sbb:
1. Anamnesis
• Pola atau bentuk bangkitan
• Lama bangkitan
• Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
• Frekuensi bangkitan
• Factor pencetus
• Ada atau tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
• Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
• Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan dan perkembangan bayi atau anak
• Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
• Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis


Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan neurologis. Bila perlu
dikonsulkan ke bagian mata, THT, hematologi, endokrinologi dan sebagainya. Diperiksa keadaan umum,
tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru, perut, hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya. Hal yang perlu
diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya
trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan congenital, gangguan neurologic fokal atau difus,
kecanduan alcohol atau obat terlarang dan kanker. Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran,
kecakapan, motoris dan mental, tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium, fundus okuli,
penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak
terkendali, koordinasi, ataksia), sistem sensorik (parastesia, hipestesia, anastesia), refleks fisiologis dan
patologis.

3. Pemeriksaan penunjang:
• Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG). Merupakan pemeriksaan yang mengukur arus listrik
dalam otak. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi refleks).
• Pemeriksaan pencitraan otak. MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan
sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. MRI dapat mendeteksi sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI
diindikasikan untuk epilepsy yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.
• Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit dan apusan darah
tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi ginjal.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.

II. 8. Diagnosis Banding


Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi kejang, biasanya
dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Diagnosis bandingnya antara lain:
- Sinkop
- Disritmia jantung
- Pseudoseizzure
- Hiperventilasi/serangan panic
- Serangan iskemik transient (TIA)
- Narkolepsi
- Hipoglikemi
- Gangguan vestibular
Dari diagnosis banding ini yang terpenting adalah sinkop dan pseudoseizzure (serangan simulasi
baik tidak sadar, serangan histeris, ataupun sadar, pura-pura)

II.9 Pengobatan
Terapi Medikamentosa
Antikonvulsan profilaksis jarang diresepkan pada kejang tunggal dan terisolasi, dan baru akan
mulai diberikan jika terjadi serangan kedua. Pilihan obat ditentukan oleh tipe syndrome epilepsi. Secara
umum diperlukan control teratur untuk menetapkan dosis minimum efektif dan memantua efek samping
obat. Pengukurank adar antikonvulsan dalam darah dapat membantu pemantauan. Mayoritas pasien epilepsi
(70%) akan terkontrol dengan baik dengan 1 obat. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang membutuhkan
tambahan obat. Pada pasien yang membutuhkan 3 obat atau lebih angka keberhasilan terapinya rendah. 5
Prinsip terapi farmakologik pasien epilepsi anak pada umumnya sama dengan prinsip terapi farmakologik
pasien dewasa yaitu:
a. Obat-obat anti epilepsi mulai diberikan bila:
• Diagnosis epilepsi telah ditegakkan
• Pasien, terutama keluarga pasien (pada pasien anak) telah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
• Pasien maupun keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping obat anti
epilepsi yang akan timbul.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai mencapai dosis efektif.
d. Bila dengan pemberian dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
perlu ditambahkan obat anti epilepsi kedua. Bila obat anti epilepsy telah mencapai kadar terapi
maka obat anti epilepsi pertama diturunkan bertahan (tapering off), perlahan-lahan.
e. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
penggunaan dosis maksimal kedua obat anti epilepsi pertama.
f. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
• Dijumpai fokus epilepsi yang luas pada EEG
• Pada pemeriksaan CT scan atau MRI dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya
neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
• Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak
• Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
• Riwayat bangkitan simptomatik
• Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
• Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Efek samping obat-obat anti epilepsi perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar obat anti epilepsi.

Terapi Bedah
Akhir-akhir ini terapi bedah saraf semakin dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsy yang
terus-menerus, refrakter terhadap dosis maksimal anti konvulsan terutama pada pasien dengan lokasi onset
kejang yang jelas. Sekarang ini dengan pencitraan MR telah dapat di edentifikasi lesi kecil lobus temporal,
skeloris atau kelainan perkembangan (hematoma) yang sebelumnya tidak dapat diidentifikasi dengan CT
scan. Pada pasien lain dimana tidak ada lesi pada pencitraan, maka focus epileptogenik dapat dideteksi dari
elktrofisiologi. Pasien ini dapat menjalani operasi pembedahan untuk menghilangkan jaringan
epileptogenik. Pada kasus simtomatik yang kurang spesifik, prosedur bedah dapt diindikasikan, termasuk
hemisferektomi dan prosedur-prosedur pemutusan hubungan, seperti pemotongan corpus kalosum. Pada
semua kasus, terapi bedah hanya dilakukan pada pasien-pasien terpilih, dinilai oleh pusat study saraf
termasuk penentuan fungsi jaringan yang akan dihilangkan.

Pemakaian Obat Anti Epilepsi pada Anak.


Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa faktor
provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat diprediksi pada
penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula menimbulkan cedera atau
kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi.
Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure).
Golongan obat ini lebih tepat dinamakan anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi
penyakit lain.
Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:
1. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epileptik
2. Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Bagian
terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini.

Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat antiepilepsi
diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang mempengaruhi sistem
inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi mempunyai rumus
dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate,
oksazolidindion dan suksinimid. Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting
dalam pengobatan epilepsi; karbamazepin untuk bangitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan
asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik
klonik.

Penghentian Obat Anti Epilepsi


Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghentikan terapi obat entiepilepsi yaitu:
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian obat antiepilepsi:
o Pasien menjalani terapi secara teratur dan telah bebas dari bangkitan selama minimal dua tahun
o Gambaran EEG normal
o Dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan
o Penghentian dimulai dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama.
2. Kekambuhan setelah penghentian obat antiepilepsi. Kekambuhan setelah penghentian obat
antiepilepsi akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
o Semakin tua usia
o Epilepsi simptomatik
o Gambaran EEG yang abnormal
o Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
o Tergantung banyak sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom epilepsi benigna
dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25% pada epilepsi lena masa kanak-
kanak, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simptomatik, 85-95% pada epilepsy mioklonik pada
anak.
o Penggunaan lebih dari satu obat antiepilepsi
o Masih mendapatkan satu atau lebih bangitan setelah memulai terapi
o Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5
tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis obat anti terapi), kemudian dievaluasi kembali.

II. 10. Prognosis


Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun dan bila lebih
dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami bangkitan lagi, dikatakan
telah mengalami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat
teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapatkan pada bangkitan
tonik-klonik dan bangkitan parsial kompleks. Demikian pula usia muda mudah mengalami relaps sesudah
remisi.

Anda mungkin juga menyukai