Anda di halaman 1dari 6

Mal Praktek dan Contoh Kasus Dr.

ayu
June 15, 2014 by murnywantis

Malpraktek adalah tindakan profesional yang tidak benar atau kegagalan untuk menerapkan
keterampilan profesional yang tepat oleh profesional kesehatan seperti dokter, ahli terapi fisik,
atau rumah sakit. Malpraktik mengharuskan pasien membuktikan adanya cedera dan bahwa hal
itu adalah hasil dari kelalaian oleh profesional kesehatan. Mal praktek tentunya menjadi masalah
yang sering terjadi antara dokter dan pasien. Kekecewaan dari pasien yang merasa dirugikan
akibat tindakan yang tidak tepat dalam menangani masalah kesehatan, menimbulkan
permasalahan yang berujung pada kasus hukum. Berikut saya akan memaparkan kronologi kasus
mal praktik yang belakangan menjadi sorotan publik yaitu dokter ayu di manado.

Kasus malpraktek yang menimpa dr.Dewa Ayu Sasiary Prawan yang merupakan dokter spesialis
kebidanan dan kandungan yang terjadi pada tahun 2010 di rumah sakit Dr Kandau Manado ,
menimbulkan banyak reaksi dari para dokter di Indonesia. Para dokter melakukan demo di Tugu
Proklamasi, Jakarta dengan menggunakan Ambulans dan juga Metro mini, para dokter tersebut
melakukan demo dengan tuntutan menolak kriminalisasi profesi dokter.

Kasus yang menimpa dokter ayu dan dua orang temanya tersebut berawal dari tuduhan pihak
keluarga korban Julia Fransiska Makatey (25) yang meninggal dunia sesaat setelah melakukan
operasi kelahiran anak pada tahun 2010 yang lalu. Akibat dari kasus tersebut dr ayu dan kedua
temanya divonis oleh MA dengan hukuman 10 bulan penjara.

Berikut ini kronologi kasus penangkapan dokter Ayu dan kedua orang temanya yang juga ikut
dihukum atas tuduhan kasus malpraktek menurut keterangan dari Ketua Umum Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Dr Nurdadi Saleh, SpOG seperti dilansir dari
Liputan6.

Tanggal 10 April 2010


Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya. Ia
masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah
dalam tahap persalinan pembukaan dua.

Namun setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah
muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar
darurat.
Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat
persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar, ujarnya.

Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien
mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda bahwa
pasien kurang oksigen.
Tapi setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin
memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia, ungkap Nurdadi,
seperti ditulis Senin (18/11/2013).

Tanggal 15 September 2011


Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak,
dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik
keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak
bersalah dan bebas murni.

Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara,
sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Emboli
udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN
Manado memutuskan bebas murni, tutur dr Nurdadi.

Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
yang kemudian dikabulkan.

18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian
akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).

11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan
dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK).

Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan
ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah
melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran
(MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam
melakukan operasi pada pasien.

8 November 2013
Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), satu diantara terpidana kasus malapraktik akhirnya
diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan penjara. Ia diciduk di
tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur
(Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejari Manado sekitar pukul 11.04
Wita.

Ketiga dokter yang dijebloskan penjara karena dugaan malapraktik akhirnya dibebaskan. Mereka adalah
dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendi Siagian, dan dr Hendry Simanjuntak. Peninjuaan Kembali (PK)
yang diajukan ketiga dokter ini dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

"Perkara PK atas nama terpidana Dr Ayu dkk dikabulkan," tulis Kepala Biro Hukum dan Humas MA,
Ridwan Mansyur, dalam pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Jumat (6/2/2014).
"Diputus hari ini. Pada pokoknya mengabulkan PK para terpidana pemohon PK. Membatalkan putusan
judex juris. Mengadili kembali, menyatakan putusan PN Manado sudah tepat."

Sidang PK ini dipimpin Ketua majelis Dr M Saleh dan anggota Prof Dr Surya Jaya, Maruap Dohmatiga
Pasaribun, Syarifudin Dan Margono. "Putus barusan, siang ini, 7-2-2014. Pak Surya Jaya (DO) Dissenting
Opinion," katanya lagi.

Selain itu, hakim meminta segera mengeluarkan para terpidana dari LP, memulihkan nama baik dan
harkat martabat ketiga pemohon PK.

"Dasar pertimbangan mengabulkan PK yaitu para terpidana tidak menyalahi SOP dalam penanganann
operasi sectio caesarea sehingga pertimbangan judex facti pada PN sudah tepat benar. Putusan ini
diketok oleh majelis hakim 5 hakim agung yaitu Dr M Saleh, Maruap Dohmatiga Pasaribu, Prof Dr Surya
Jaya Syarifuddin dan Margono. Putusan tidak bulat, Pak Surya Jaya dissenting opinion," katanya lagi.

Seperti diketahui, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dr Hendy Siagian, membantu
proses operasi cesar persalinan korban bernama Julia Siska Makatey (25 tahun) pada Sabtu 10 April
2010 pukul 22.00 Wita di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota
Manado.

Namun, usai operasi korban meninggal dunia karena terjadi emboli (ada gelembung udara) yang masuk
ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Kasus ini pun bergulir ke pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/
PN.MDO tanggal 22 September 2011 memutuskan ketiga dokter tersebut tidak terbukti bersalah.
Dengan putusan bebas tersebut, jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Di tingkat MA, hakim kasasi mengeluarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012
dengan mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado.
MA menyatakan, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr
Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana "perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain" dan menjatuhi hukuman
penjara masing-masing selama 10 bulan penjara.

"Harus dipahami bahwa ilmu kedokteran itu ada ketidakpastian. Sedangkan ahli hukum selalu
menginginkan kepastian. Karena itu konstruksi norma yang dilakukan untuk menjerat ketiga dokter di
Manado itu sebaiknya berlandaskan konsep hukum kesehatan dan hukum kedokteran," katanya di
Surabaya, seperti dikutip dari antara Selasa (10/12/2013).

Di sela-sela Dialog Publik "Paradigma Penyelesaian Sengketa Medis (Studi Kasus dr Dewa Ayu Sasiary
Prawani Sp.OG)" di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, ia menjelaskan pembuktian malapraktik yang
dilakukan dokter bukanlah hal yang mudah, karena itu perlu sidang tim etik.

"Jadi, penghukuman atas dasar pasal-pasal pidana (KUHP) membuktikan bahwa aparat penegak hukum
sesungguhnya tidak memahami filosofi dasar dari hubungan antara penyedia jasa medis dengan
pengguna jasa medis maupun hubungan antara dokter dan pasien," katanya.

Eko yang juga sedang menempuh pendidikan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya dengan bidang kajian Hukum Rumah Sakit itu mengatakan hukum kesehatan mengatur
penentuan nilai moral perihal baik-buruk atau benar-salah harus bertolak pada etika kesehatan, yakni
"biomedical ethics".

Hal itu dibenarkan oleh dr Nurtjahyo SpF SH yang mewakili Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jatim dalam
dialog publik yang dibuka Rektor UHT Surabaya Laksda TNI (Pur) H. Mohamad Jurianto SE itu.

"Dokter dalam melakukan tugasnya mempunyai aturan yang harus ditaati dan apabila melakukan
kesalahan ada kode etik yang menangani. Jadi, jangan langsung dijerat pidana, tapi perlu pertimbangan
tim etik," katanya.

Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Hukum UHT Dr Chomariyah SH MH mengatakan
munculnya kasus dokter Ayu itu memicu perlunya dokter-dokter untuk belajar hukum, termasuk hukum
kesehatan atau hukum kedokteran itu sendiri.

"Belajar hukum ini untuk melindungi diri mereka dari kesalahan dan bisa bertindak sesuai aturan yang
ada. Yang jelas, setiap keilmuan maupun profesi harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan
proporsional. Bila sudah dijalankan dengan benar, maka pemidanaan bisa diminimalkan," katanya.

Lain halnya dengan drg Betty Puspitawati MARS dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). "Sengketa
antara dokter dan pasien biasanya disebabkan kurangnya komunikasi dokter dengan pasien, komunikasi
yang lemah akan membuat pasien membuat interpretasi dan persepsi yang berlainan dan berbeda,
bahkan memojokkan dokter," katanya.

Menurut Zaenal, dengan dibebaskannya ketiga dokter tersebut, ada banyak manfaat yang akan
didapatkan ketimbang ketiganya hanya berdiam diri karena mendekam di balik jeruji besi.

"Dengan dibebaskannya mereka, lebih banyak manfaat yang akan dirasakan semuanya. Mereka bisa
kembali menggunakan ilmu yang dimilikinya untuk membantu pasiennya," kata Zaenal.

"Intinya, mereka akan lebih bermanfaat dengan bekerja, dibanding mereka di penjara," kata Zaenal
menambahkan.

Pihaknya sendiri sudah mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk segera membebaskan
ketiga dokter itu. Walaupun ketiganya dianggap salah, tapi tetap saja di mata IDI apa yang dilakukan
ketiganya sudah sesuai dengan prosedur yang ada.

"Saya yakin mereka tidak salah. Sudah melakukan sesuai prosedur yang berlaku. Selain itu, mereka
merupakan tenaga terampil yang sangat dibutuhkan," kata Zaenal menerangkan.

Kabar kebebasan ketiga dokter ini sendiri didapat Health Liputan6.com dari pesan singkat yang
dikirimkan langsung oleh Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur.

"Perkara PK atas nama terpidana Dr Ayu dkk dikabulkan," tulis Ridwan dalam pesan singkatnya.

"Diputus hari ini. Pada pokoknya mengabulkan PK para terpidaha pemohon PK. Membatalkan putuskan
judez juris. Mengadili kembali, menyatakan putusan PN Manado sudah tepat," tambah dia.

Seperti diketahui, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dr Hendy Siagian, membantu
proses operasi cesar persalinan korban bernama Julia Siska Makatey (25 tahun) pada Sabtu 10 April
2010 pukul 22.00 Wita di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota
Manado.

Namun, usai operasi korban meninggal dunia karena terjadi emboli (ada gelembung udara) yang masuk
ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Kasus ini pun bergulir ke pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/
PN.MDO tanggal 22 September 2011 memutuskan ketiga dokter tersebut tidak terbukti bersalah.
Dengan putusan bebas tersebut, jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Di tingkat MA, hakim kasasi mengeluarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012
dengan mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado.
MA menyatakan, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr
Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana "perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain" dan menjatuhi hukuman
penjara masing-masing selama 10 bulan penjara.

Keputusan Mahkamah Agung yang memvonis 10 bulan penjara terhadap dokter Ayu dan dua rekannya
membuat para dokter dan tenaga medis lain di Tanah Air khawatir niat baik mereka menyelamatkan
pasien berujung di penjara. Sebagian menilai tidak adanya standar pelayanan medik menjadi penyebab
kasus yang mengguncang para dokter Indonesia.

Dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Sabtu (30/11/2013), setelah 3 jam menunggu tanpa mendapat
pelayanan emosi Unik Agus memuncak. Unik yang menderita tumor datang ke Rumah Sakit Dokter
Soetomo, Surabaya, Jawa Timur untuk berobat. Upayanya sia-sia, sebab ratusan dokter tengah
berdemonstrasi.
Para dokter spesialis memang sengaja tidak mengurus pasien tetapi memilih mogok kerja di depan pintu
masuk instalasi rawat jalan. Sejumlah orang sempat berusaha meredakan emosi Unik sambil
membawanya ke dalam rumah sakit.

Mogoknya ratusan dokter spesialis untuk memprotes penahanan dokter Ayu dan rekan-rekannya
memang membuat pelayanan medis terganggu. Sejumlah pasien harus menunggu berjam-jam. Bahkan,
sebagian terpaksa tidur-tiduran di lantai karena lelah menunggu.

Bukan hanya di Surabaya, ribuan dokter di seluruh Indonesia memang tengah berunjuk rasa sebagai
wujud solidaritas menolak putusan majelis hakim Mahkamah Agung. MA menilai 3 dokter di Rumah
Sakit Profesor Kandau, Manado, Sulawesi Utara, lalai saat menangani pasien Fransiska Maketey dan
divonis 10 bulan penjara. Para dokter menilai putusan itu sebagai bentuk kriminalisasi profesi dokter.

Dokter Ayu Swasyari Prawani ditangkap di tempat prakteknya di Rumah Sakit Permata Hati, Balipapan,
lalu ditahan di rumah tahanan Malendeng Manado, Sulawesi Utara, November lalu. Sementara Dokter
Hendry Simanjuntak ditangkap di Siborong-borong, Sumatera Utara. Satu dokter lainnya Hendri Siagian
masih buron.

Ketiganya divonis bersalah oleh majelis hakim di tingkat kasasi, Mahkamah Agung karena telah
melanggar pasal 359 KUHP tentang kealpaan atau kelalaian yang menyebabkan orang meninggal.

Dalam situs makamahagung.go.id disebutkan sejumlah pertimbangan, alasan vonis 10 tahun itu
dijatuhkan.

Pertama, korban Fransiska Makatey dinyatakan dalam keadaan darurat pada pukul 18.30 Wita, padahal
seharusnya dinyatakan darurat sejak ia masuk rumah sakit pada pagi hari. Kedua, sebagian tindakan
medis Ayu dan rekan-rekannya tidak dimasukkan ke rekam medis. Ketiga, Ayu tidak mengetahui
pemasangan infus dan jenis obat infus yang diberikan kepada korban.

Keempat, meski Ayu menugasi Hendy memberi tahu rencana tindakan kepada pasien dan keluarganya,
Hendy tidak melakukannya. Ia malah menyerahkan lembar persetujuan tindakan yang telah
ditandatangani Julia kepada Ayu, tapi ternyata tanda tangan di dalamnya palsu. Kelima tidak ada
koordinasi yang baik dalam tim Ayu saat melakukan tindakan medis. Dan terakhir, tidak ada persiapan
jika korban mendadak mengalami keadaan darurat.

Anda mungkin juga menyukai