Anda di halaman 1dari 5

Tugas Filsafat Ilmu

Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Epidemi HIV/AIDS

Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek


sesuatu ilmu pengetahuan, paling sedikit kita pertanyakan (1) apa hakikat
gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau
penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek
itu (landasan aksiologis).

Kajian Ontologi

HIV adalah Human Imunno-deficiency Virus (virus yang melemahkan daya tahan
tubuh manusia). Virus ini adalah ‘retrovirus’ yang menyerang sel-sel pembentuk
sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga fungsinya akan terhalang atau bahkan
hancur. Infeksi HIV menyebabkan kelemahan terus-menerus pada sistem
pertahanan tubuh, atau bisa disebut sebagai “lemahnya kekebalan tubuh”. Dengan
begitu seseorang tidak mempunyai perlindungan lagi berhadapan dengan berbagai
penyakit, yang pada akhirnya tidak dapat dirawat lagi dan menuju pada kematian.

AIDS adalah singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrom. Aquired artinya
didapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan
tubuh, deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan
gejalan. Jadi AIDS merupakan sindrom dari berbagai gejala dan tanda-tanda
penyakit yang terjadi oleh karena lemahnya sistem kekebalan tubuh sebagai akibat
dari infeksi HIV. AIDS adalah fase terakhir dari infeksi HIV dan ditandai melalui
munculnya berbagai infeksi yang merupakan kelanjutan dari gagalnya daya tahan
tubuh.

Jadi, secara ontologis dapat dikatakan bahwa HIV merupakan nama sebuah virus,
sedangkan AIDS adalah deskripsi kondisi kesehatan seseorang akibat terserang
HIV. Virus HIV ini mempunyai kemampuan untuk memproduksi selnya sendiri
(berkembang biak) dalam aliran darah manusia, yaitu pada sel-sel darah putih dan
merusaknya. Oleh karena itu, kekebalan tubuh manusia akan menjadi melemah dan
tidak dapat berfungsi secara normal, sehingga berbagai penyakit akan dengan
mudah masuk akibat lemahnya kekebalan tubuh.

1
Kajian Epistemologi

HIV dapat menular ke siapa saja, tidak peduli agama, suku ataupun ras seseorang,
dan dengan cara yang seringkali tidak disadari oleh korbannya. Kelompok yang
dianggap berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS adalah mereka yang
pekerjaanya terkait dengan hubungan seks (sex related workers) seperti perempuan
dalam pelacuran (protituted woman) bersama varian-variannya, kemudian laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki (homoseks) bersama varian-variannya dan
juga pengguna Narkoba jarum suntik bergantian (injected drug users).

Secara lebih terperinci, jalannya penularan HIV dapat terjadi melalui empat cara
yaitu: hubungan seksual (vaginal, anus, mulut), darah dan produk darah, jarum
suntik dan alat-alat kedokteran, penularan dari ibu ke anak bagi ibu penderita HIV
yang menularkan pada anaknya di masa hamil, pada saat melahirkan, ataupun
melalui ASI. Keempat cara penularan ini berkaitan dengan empat cairan yang dapat
menularkan HIV yaitu darah, ai mani, cairan vagina, dan ASI.

Di Indonesia, kasus-kasus AIDS yang dilaporkan hingga akhir 1990-an kebanyakan


ditularkan melalui hubungan seks. Dan setahun setelah kasus AIDS pertama
dilaporkan, pengujian HIV terhadap pekerja-pekerja seks di Indonesia dilakukan.
Para pekerja seks dan tempat-tempat prostitusi kemudian menjadi sasaran program-
program penanggulangan HIV/AIDS. Resiko akan bertambah besar apabila ada
penyakit kelamin yang diderita pasangannya. Pada kasus penyakit kelamin yang
bernanah, risiko penularannya bisa mencapai 30 kali lipat.

Risiko penularan dari laki-laki kepada perempuan tujuh kali lipat dibandingkan dari
perempuan ke laki-laki. Hal ini disebabkan oleh kondisi anatomi dan fisiologi
perempuan sehingga virus HIV berdiam lebih lama di dalam tubuh seorang
perempuan.

Penggunaan peralatan suntik bekas di kalangan pengguna, sebagai akibat dari


kriminalisasi napza, juga berdampak pada peningkatan penularan HIV di
masyarakat. Penularan tidak hanya terjadi melalui media jarum suntik tapi juga
melalui hubungan seks ke pasangan-pasangan pengguna napza. Ketika mengetahui
bahwa pasangannya mengidap HIV, upaya-upaya pencegahan sebenarnya dapat
dilakukan. Namun terdapat lebih banyak pasangan, kebanyakan perempuan, yang
tidak mengetahui bahwa pasangannya mengidap HIV, bahkan juga tidak mengetahui
penggunaan napza pasangannya.

Secara epistimologis, meskipun HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya,


namun hanya ada empat cara penularannya, yaitu melalui hubungan seks tanpa

2
pelindung dengan pasangan yang terinfeksi HIV, melalui alat suntik atau alat tusuk
lainnya (akupunktur, tato) yang tidak steril, melalui transfusi darah yang tercemar
HIV, dan dari ibu yang terinfeksi kepada bayi selama kehamilan, persalinan dan
pemberian ASI.

Kajian Aksiologi

Di Indonesia yang dikenal begitu menjunjung tinggi budaya dan norma-norma


ketimuran, ternyata HIV/AIDS juga sudah berkembang dan mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang
peningkatan epidemi HIV/AIDS-nya paling cepat di dunia.

Kasus penderita HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia tahun 1987, tepatnya
di Bali. Pada pertengahan tahun 2001 hasil dari perhitungan perkiraan yang
dilakukan pemerintah dan para ahli didapatkan angka 80.000-120.000 infeksi HIV di
Indonesia. Hingga 2002 secara komulatif jumlah penderita infeksi HIV yang
dilaporkan ke Departemen Kesehatan RI sebanyak 1904 dan kasus AIDS sebanyak
671 kasus. Hingga 30 September 2004, perkembangan HIV/AIDS di Indonesia
sudah mencapai angka 5700, yaitu 3337 infeksi HIV dan 2363 kasus AIDS.

Berdasarkan laporan Depkes RI periode Juli - September 2007, penyebaran


HIV/AIDS benar-benar diluar dugaan. Jumlah HIV dan AIDS sebanyak 786 kasus,
dengan kematian sebanyak 169. Jumlah tersebut terdiri dari 91 pengidap infeksi HIV
dan 695 kasus AIDS. Jadi, jika dikomulatifkan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia
sejak pertama kali ditemukan hingga akhir September 2007 ada sebanyak 16288,
yang terdiri dari 5904 infeksi HIV dan 10384 kasus AIDS.

Realitas ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS telah menjadi sebuah fenomena gunung
es, yang pada akhirnya nanti akan menggelembung dan terus menjadi lebih besar di
masa yang akan datang. Angka-angka tersebut adalah buktinya. Padahal angka-
angka tersebut adalah yang tercatat, sementara yang tidak tercatat bisa jadi akan
lebih besar jumlahnya.

Jadi, secara aksiologis dapat dikatakan bahwa HIV/AIDS telah menjadi ancaman
bagi kelangsungan hidup penduduk di dunia dan juga di Indonesia, karena angka
penderitanya dari tahun ke tahun semakin meningkat tajam. Dalam kurun waktu 20
tahun sejak pertama kali ditemukan, sudah tercatat 16288 pengidap HIV/AIDS di
Indonesia.

3
Analisis keadaan Sosial Politik, Sosial Budaya, Sosial Demografi, dan Sosial
Ekonomi

Akhir bulan Oktober 2008 lalu, beberapa media massa cetak memberitakan bahwa
pemerintah kekurangan persediaan obat Antiretroviral (ARV). ARV adalah obat yang
diperuntukkan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Ketidaktersediaan ARV dikuatirkan
akan menghambat proses pengobatan yang selama ini berjalan dan menimbulkan
kematian lebih cepat bagi penderita AIDS.

Kebijakan pemerintah untuk menjamin ketersediaan ARV dan kelancaran distribusi


ke rumah sakit-rumah sakit di daerah sangat penting untuk menjamin kelangsungan
hidup orang yang terinfeksi HIV (ODHA). Sebab bagi ODHA yang telah memulai
minum obat ARV maka dia membutuhkan obat itu seumur hidupnya. Di sinilah letak
pentingnya ketersediaan obat ARV itu.

Kebutuhan ARV di Indonesia memang semakin meningkat seiring dengan semakin


tingginya kasus HIV/AIDS. Banyaknya penderita AIDS yang meninggal sebenarnya
bisa tertolong seandainya memperoleh pengobatan dengan ARV. Oleh sebab itu
pemerintah mesti menyediakan kemudahan bagi ODHA untuk memperoleh
pengobatan ini.

Harga obat yang mahal mungkin menjadi salah satu kendala penyediaan ARV yang
cukup bagi seluruh ODHA. Sehingga persoalan ketersediaan ARV seringkali dialami
oleh negara-negara miskin dan berkembang. Namun dengan akses yang lebih besar
untuk memperoleh obat-obat antiretroviral ini terbukti mampu memperpanjang masa
hidup pasien, memberi pengaruh yang positif, baik kepada pasien sendiri maupun
keluarga dan masyarakat melalui sejumlah fenomena seperti menurunnya angka
kematian karena AIDS dan karena penyakit oportunis (penyertanya). Selain itu, bisa
menurunkan beban biaya untuk penguburan dan perawatan, memungkinkan tenaga
kerja untuk tetap produktif, meningkatnya kesadaran untuk menjaga nutrisi dengan
baik, dan sebagainya. Dengan begitu, semua akibat buruk dari epidemi ini seperti
ketidastabilan masyarakat dan kemiskinan, dapat dihindari atau paling tidak
direduksi.

Pengobatan dengan ARV dapat juga menghindari bahaya penularan HIV/AIDS.


Sebab jika orang mengetahui adanya pengobatan maka orang akan bersedia untuk
melakukan tes HIV. Seperti halnya pada penyakit Lepra dan TBC, maka setelah
orang mengetahui adanya kemungkinan pengobatan, HIV/AIDS dapat dilihat seperti
penyakit lainnya, dengan demikian tidak ada lagi stigma bagi penderitanya.

4
Jadi, secara sosial politik pemerintah mesti punya komitmen untuk menjamin
ketersediaan ARV dengan alokasi anggaran yang memadai. Dari kacamata sosial
budaya, ketersediaan ARV dapat meredam stigma di masyarakat yang selama ini
mendiskriminasikan ODHA. Sedangkan berdasar kajian sosial demografi,
keberadaan ODHA yang tersebar di berbagai wilayah dan seringkali jauh dari rumah
sakit rujukan seringkali menjadi kendala bagi mereka untuk mendapatkan ARV. Dan
secara sosial ekonomi, harga obat ARV yang mahal membuat ODHA belum bisa
membeli sendiri dan masih membutuhkan subsidi dari pemerintah.

Disusun oleh : Sukendri Siswanto

Konsentrasi : AKK

Anda mungkin juga menyukai