Anda di halaman 1dari 20

KERANGKA PEMIKIRAN ANALILIS

KEPENDUDUKAN
MORTALITAS TERHADAP KESEHATAN

PAPER



Disusun oleh :
Risa Kartika Putri 25010113130321
Zahrotul Mahmudari 25010113130347
Putri Nurul Agustiyanti 25010113140349
Istiana Islahul Imaroh 25010113140356
Zakiyah Islamiaty OP 25010113130359

Kelas E

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
Demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah.
Struktur penduduk meliputi: jumlah, persebaran dan komposisi penduduk.
Struktur penduduk ini selalu berubah-ubah, dan perubahan tersebut disebabkan
karena proses demografi, yaitu: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan
mobilitas sosial (perubahan status) (Ida Bagoes Mantra, 2009)
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen
proses demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk selain fertilitas
dan migrasi. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas di suatu daerah tidak hanya
mempengaruhi pertumbuhan penduduk, tetapi juga bisa dijadikan sebagai
barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan di daerah tersebut. Kasus
kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan masalah sosial,
ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian
berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Budi Utomo, 1985).
Salah satu ukuran kematian yang cukup menjadi perhatian adalah jumlah
kematian bayi. Jumlah kematian bayi ini dipublikasikan dengan sebuah indikator
yang disebut angka kematian bayi (IMR). Di Indonesia, IMR telah mengalami
penurunan dari 142 pada 1967-1971 menjadi 46 pada periode 1992-1997.
Penurunan IMR yang drastis ini menyembunyikan perbedaan IMR antar daerah
geografis dan kalangan sosial ekonomi yang berbeda. Data dinas kependudukan
menyebutkan perbedaan IMR antara perkotaan dan pedesaan semakin melebar,
sekitar 42% lebih tinggi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan.
Gwatkin (2000) mengindikasikan bahwa perbedaan IMR di Indonesia
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang diukur dengan tingkat
kekayaan dan rasio penduduk miskin. Kawachi (1994) dalam Poerwanto dkk 2
(2003) mengemukakan bahwa pada kenyatannya kalangan dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sehingga
kebijakan pemerintah dalam memperbaiki fasilitas kesehatan dalam rangka
menurunkan perbedaan sosial ekonomi antar daerah sangat berpengaruh terhadap
penurunan kematian bayi.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan banyak faktor
terutama sosial-ekonomi yang menyebabkan kematian bayi. Penelitian ini akan
lebih focus kepada faktor maternal yang merupakan faktor vital penyebab
kematian bayi. Faktor maternal tersebut antara lain: usia ibu pada saat melahirkan,
jumlah pemeriksaan yang dilakukan oleh ibu pada saat hamil, tingkat pendidikan
ibu, dan tingkat kesejahteraan keluarga. Sedangkan faktor lingkungan yang
dijadikan faktor pendukung adalah jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis,
dan persentase daerah yang berstatus desa.
Tinggi rendahnya angka maternal mortality dapat dipakai mengukur taraf
program kesehatan di suatu negara khususnya program kesehatan ibu dan anak
(Sukarni, 1994). Semakin rendah angka kematian ibu di suatu Negara
menunjukkan tingginya taraf kesehatan negara tersebut. Di Indonesia, tiap tahun
sekitar 14.180 wanita meninggal karena hamil dan melahirkan atau dalam satu
jam terdapat dua orang ibu meninggal saat melahirkan. Jika dikalkulasikan, angka
kematian ibu saat melahirkan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas
mencapai 20 ribu orang per tahun. Angka ini masih merupakan angka yang
tertinggi di Asia Tenggara (Sahrudin, 2008).
Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk menurunkan angka
kematian ibu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka
maternal mortality adalah dengan mengetahui penyebabnya.
Naja (2006) menyebutkan bahwa dalam mewujudkan pembangunan SDM
secara baik, yang menjadi ujung tombak adalah dunia pendidikan. Karena itu,
pola dan sistem pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk dapat
mewujudkan pembangunan SDM yang optimal. Brata dalam Farida (2008)
menyebutkan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
pembangunan manusia. Roza (2007) menyebutkan bahwa pendidikan mempunyai
peran dalam mencetak manusia berkualitas

PEMBAHASAN

Hendrick L.Blum mengemukakan konsep tentang faktor-faktor apa yang
mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat empat faktor yang mempenaruhi
derajat kesehatan masyarakat yaitu genetika (keturunan), pelayanan kesehatan,
perilaku masyarakat, lingkungan. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi satu
dengan lainnya dengan sifat interaksi dapat positif maupun negatif terhadap
derajat kesehatan. Besar kecinya pengaruh dari masing-masing faktor HL. Blum
sangat tergantung dari masalah kesehatan yang sedang dihadapi.

Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen
proses demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk selain fertilitas
dan migrasi. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas di suatu daerah tidak hanya
mempengaruhi pertumbuhan penduduk, tetapi juga bisa dijadikan sebagai
barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan di daerah tersebut. Kasus
kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan masalah sosial,
ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian
berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Budi Utomo, 1985).
Mortalitas atau kematian merupakan keadaan hilangnya semua tanda -
tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran
hidup (World Health Organization). Kematian dapat menimpa siapa saja, tua,
muda, kapan saja dan dimana saja.
Mortalitas terdiri dari kematian dewasa dan kematian bayi dan balita.
Yang paling banyak menjadi perhatian dan sorotan pemerintah adalah kematian
ibu dan kematian bayi. Hal tersebut dikarenakan angka kematian ibu dan bayi
menjadi tolak ukur derajat kesehatan suatu negara.
Jadi dalam hal ini mortalitas ( kematian ) tidak luput dari hal kelahiran.
Dalam tahap peralihan keadaan demografis :
a. Tingkat kelahiran dan kematian tinggi. Penduduk tetap atau naik sedikit,
anggaran kesehatan meningkat, penemuan obat-obatan semakin maju, angka
kelahiran tetap tinggi.
b. Angka kematian menurun, tingkat kelahiran masih tinggi, pertumbuhan
penduduk meningkat, adanya urbanisasi, usia kawin meningkat, pelayanan KB
lebih luas, pendidikan meningkat.
c. Angka kematian terus menurun, angka kelahiran menurun, laju pertumbuhan
penduduk menurun.
d. Kelahiran dan kematian pada tingkat rendah, pertumbuhan penduduk kembali
seperti kategori I yaitu mendekati nol.
Keempat kategori ini akan di alami oleh Negara yang sedang melaksanakan
pembangunan ekonomi, struktur dan persebaran penduduk.
1. Mortalitas Tinggi
Semakin rendah tingkat mortalitas, semakin rendah tingkat reproduksi.
(Michael T. Sadler dan Thomas Doubleday)
Mortalitas tinggi memberi dampak terhadap peningkatan daya reproduksi
berbanding lurus pula dengan peningkatan populasi penduduk dalam suatu
wilayah tersebut. Masyarakat tidak mengalami kelelahan psikologis akan
terjadinya segala bentuk persaingan dalam berbagai bentuk dan tujuan dalam
masyarakat.
Pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya tinggi akibat
dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, akan timbul persaingan antara
penduduk untuk dapat mempertahankan hidup. (Emile Durkheim).
Bermacam-macam indikator mortalitas atau angka kematian yang umum
dipakai adalah:

1. Angka Kematian Kasar (AKK) atau Crude Death Rate (CDR).
Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) adalah angka yang
menunjukkan berapa besarnya kematian yang terjadi pada suatu tahun
tertentu untuk setiap 1000 penduduk. Angka ini disebut kasar sebab belum
memperhitungkan umur penduduk. Penduduk tua mempunyai risiko
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang masih
muda.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan banyak faktor
terutama sosial-ekonomi yang menyebabkan kematian bayi. Penelitian ini
akan lebih focus kepada faktor maternal yang merupakan faktor vital
penyebab kematian bayi. Faktor maternal tersebut antara lain: usia ibu
pada saat melahirkan, jumlah pemeriksaan yang dilakukan oleh ibu pada
saat hamil, tingkat pendidikan ibu, dan tingkat kesejahteraan keluarga.
Sedangkan faktor lingkungan yang dijadikan faktor pendukung adalah
jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis, dan persentase daerah yang
berstatus desa.
Rumus



Susenas 2003 tercatat sebanyak 767.740 kematian, sedangkan
jumlah penduduk pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 214.37.096
jiwa. Sehingga Angka Kelahiran Kasar yang terhitung adalah sebesar 3,58.
Artinya, pada tahun 2003 terdapat 3 atau 4 kematian untuk tiap 1000
penduduk.
2. Angka Kematian Bayi (AKB)
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya kematian bayi
berusia dibawah satu tahun, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun
tertentu (www.datastatistik-indonesia.com, 2014)
Cara Menghitung

Dimana:
AKB = Angka Kematian Bayi / Infant Mortality Rate (IMR)
D 0-<1th =Jumlah Kematian Bayi (berumur kurang 1 tahun)
pada satu tahun tertentu di daerah tertentu.
lahir hidup = Jumlah Kelahiran Hidup pada satu tahun tertentu
di daerah tertentu (lihat modul fertilitas untuk definisi kelahiran hidup).
K = 1000
Angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator untuk
menentukan derajat kesehatan masyarakat. Menurut World Health
Organization (WHO) AKB sebagian besar disebabkan oleh asfiksia (20-
60%), infeksi (25-30%), bayi dengan berat lahir rendah (25-30%), dan
trauma persalinan (5-10%) (Depkes RI, 2008).
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Aceh mencatat angka kematian
bayi di Aceh selama tahun 2013, mencapai 1.034 kasus. Angka tersebut,
naik sekitar lima persen dibandingkan tahun 2012 yang berjumlah 985
kasus. Dari 1.034 kematian bayi tersebut, lebih dari 45 persen meninggal
akibat gizi buruk (http://jogja.tribunnews.com/)
3. Angka Kematian Balita (AKBa 0-5 tahun)
Jumlah kematian anak berusia 0-4 tahun selama satu tahun tertentu
per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu (termasuk
kematian bayi).
Rumusan


Kegunaannya adalah indikator ini terkait langsung dengan target
kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan
lingkungan anak-anak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan
kesehatannya. Angka Kematian Balita kerap dipakai untuk
mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk.
Misalkan perhitungan dari data Susenas 2004 mendapatkan perkiraan
Angka Kematian Balita sebesar 74 per 1000 balita, dengan referensi waktu
Mei 2002. Artinya, pada tahun 2002 setiap 1000 baita (umur 0 sampai 4
tahum 11 bulan 29 hari) pada tahun 2002, 74 anak diantaranya tidak akan
berhasil mencapai umur tepat lima tahun.
4. Angka Kematian Anak (AKA 1-5 tahun)
Yang dimaksud dengan anak (1-4 tahun) disini adalah penduduk yang
berusia satu sampai menjelang 5 tahun atau tepatnya 1 sampai dengan 4
tahun 11 bulan 29 hari.
Angka Kematian Anak mencerminkan kondisi kesehatan lingkungan
yang langsung mempengaruhi tingkat kesehatan anak. Angka Kematian
Anak akan tinggi bila terjadi keadaan salah gizi atau gizi buruk,
kebersihan diri dan kebersihan yang buruk, tingginya prevalensi penyakit
menular pada anak, atau kecelakaan yang terjadi di dalam atau di sekitar
rumah (Budi Utomo, 1985).
Angka Kematian Anak adalah kematian yang terjadi diantara
penduduk berusia yang 1 tahun sampai satu hari menjelang ulang tahun
nya yang kelima
Rumus

5. Angka Kematian IBU (AKI)

Tinggi rendahnya angka maternal mortality dapat dipakai mengukur
taraf program kesehatan di suatu negara khususnya program kesehatan ibu
dan anak (Sukarni, 1994). Semakin rendah angka kematian ibu di suatu
Negara menunjukkan tingginya taraf kesehatan negara tersebut. Di
Indonesia, tiap tahun sekitar 14.180 wanita meninggal karena hamil dan
melahirkan atau dalam satu jam terdapat dua orang ibu meninggal saat
melahirkan. Jika dikalkulasikan, angka kematian ibu saat melahirkan
akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas mencapai 20 ribu orang
per tahun. Angka ini masih merupakan angka yang tertinggi di Asia
Tenggara (Sahrudin, 2008).
Dari data Susenas 2004 diperoleh perkiraan Angka Kematian Anak 1-4
tahun sebesar 18 per 1000 anak Aberusia (1- 4) tahun dengan referensi
waktu Mei 2002. Artinya pada pertengahan 2002 diantara 1000 anak yang
berumur antara 1 sampai 4 tahun, 11 bulan 29 hari, 18 orang diantaranya
tidak dapat mencapai usia tepat 5 tahun.
6. Umur Harapan Hidup (UHH) atau Life Expectancy.
2. Tingkat Reproduksi tinggi
Teori Kependudukan Teori Malthus (Thomas Robert Malthus)
mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari bahan
makanan. Akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara
penduduk dan kebutuhan hidup
Berdasarkan hasil SP 2010 ASFR Indonesia pada kelompok umur 45-49
sebesar 6, artinya wanita yang berusia 45-49 tahun, dalam satu tahun rata-rata
akan melahirkan 0,006 bayi (6 kelhiran untuk setiap 1000 wanita). Tingkat
fertilitas tertinggi terdapat pada usia 25-29 tahun yaitu ASFR sebesar 130.
Sedangkan tingkat fertilitas terendah pada usia 45-49 tahun yaitu ASFRnya
sebesar 6.
Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate / TFR) merupakan rata-rata
jumlah anak yang akan dipunyai seorang wanita selama masa reproduksinya.
TFR
2010
Indonesia:
TFR
2010
= 5 x (41 + 117 + 130 + 105 + 61 + 22 + 6)
= 5 x 482
= 2.410 per seribu wanita usia reproduksi (15-49 tahun).
Berdasarkan data SP 2010, rata-rata jumlah anak yang akan dipunyai oleh
seribu wanita selama masa reproduksinya di Indonesia adalah sebesar 2.410
jiwa. Ini dapat diartikan bahwa wanita di Indonesia pada tahun 2010 rata-rata
akan mempunyai anak sebanyak 2 sampai 3 orang di akhir masa
reproduksinya.
3. Populasi meningkat
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama
dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada
tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025. Walaupun demikian,
pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2000-
2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-2000,
penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun,
kemudian antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen
dan 0,92 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan ini ditentukan oleh
turunnya tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan karena kelahiran
lebih cepat daripada penurunan karena kematian. Crude Birth Rate
(CBR) turun dari sekitar 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15
per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Death Rate
(CDR) tetap sebesar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu yang sama.
Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan
provinsi yang tidak merata. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh
persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun secara perlahan
persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari
sekitar 59,1 persen pada tahun 2000 menjadi 55,4 persen pada tahun 2025.
Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau pulau lain meningkat
seperti, Pulau Sumatera naik dari 20,7 persen menjadi 22,7 persen,
Kalimantan naik dari 5,5 persen menjadi 6,5 persen pada periode yang sama.
Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi
dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan yang mulai
menyebar ke pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi penduduk
4. Angkatan Kerja Meningkat
Semakin tinggi tingkat populasi penduduk, akan mengakibatkan angkatan
tenaga kerja meningkat. Pada suatu wilayah dimana angka kepadatan
penduduknya tinggi akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, akan
timbul persaingan antara penduduk untuk dapat mempertahankan hidup.
(Emile Durkheim). Berarti semakin tinggi tingkat populasi penduduk, akan
mengakibatkan angkatan tenaga kerja meningkat.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan permasalahan
pokok yang terjadi pada tenaga kerja tanah air adalah semakin berkurangnya
daya serap tenaga kerja oleh dunia usaha, khususnya tenaga kerja formal.
Menurut ketua DPN Apindo Hariyadi B Sukamdani menjelaskan, jumlah
angkatan kerja per Agustus 2013 adalah 118,19 juta. Sedangkan untuk
pengangguran terbuka sejumlah 7,93 juta atau sekitar 6,25%.
5. Pendapatan rendah
Lapangan pekerjaan pun semakin terbatas, sehingga banyak orang
kesulitan mendapat pekerjaan yang layak. Dengan demikian pendapatannya
pun rendah.
Pendapatan per kapita Indonesia yang sebesar US$ 4.700 masih jauh
tertinggal dibandingkan negara kawasan lainnya. Thailand sudah pada kisaran
US$ 10.000, Malaysia sudah mencapai US$ 15.000, dan Singapura yang
sudah melebihi US$ 50.000.
"Pendapatan per kapita Indonesia masih rendah dibandingkan Thailand,
hanya separuhnya. Malaysia sudah pada kisaran US$ 15.000. Kalau dengan
Singapura sudah jauh sekali," ungkap Ketua Bidang Ekonomi dan
Kewirausahaan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aunur Rofiq dalam
peluncuran buku Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Restoran Pulau
Dua, Jakarta, Minggu (11/5/2014).
Adapun laporan terakhir, Badan Pusat Statistika (BPS) yang telah
melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret
2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan
kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika
pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
6. Daya beli rendah
Dengan pendapatan yang rendah, dapat dipastikan mereka akan memiliki
daya beli yang rendah pula. Daya beli rendah menyebabkan konsumsi pangan
rendah, karena keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan
dan gizi keluarga, terutama untuk anak balita.
Teori Kependudukan Teori Malthus (Thomas Robert Malthus)
mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari bahan
makanan. Akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara
penduduk dan kebutuhan hidup.
7. Gizi buruk
Daya beli rendah menyebabkan konsumsi pangan rendah, karena keluarga
tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan gizi keluarga,
terutama untuk anak balita. Rendahnya konsumsi pangan atau tidak
seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makan yang bergantung
pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasukan, distribusi dalam
keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan (Almatsier, 2001).
Pada ibu hamil, kekurangan gizi akan berakibat buruk bagi dirinya juga
bayi yang akan dilahirkan. Bayi dan balita yang kekurangan gizi dapat
mengakibatnya terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental
dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen
dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita,
dengan demikian akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya
manusia.
Salah satu indicator gizi adalah dengan mengukur IMT (Indeks Masa
Tubuh), rumusnya adalah
IMT =


Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan
FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan.
Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1-25,0 dan
untuk perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan
tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO
menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan
perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas
laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas
pada perempuan untuk kategorigemuk tingkat berat. Untuk kepentingan
Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalam klinis dan
hasil penelitian dibeberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil
kesimpulan, batas ambang
IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut
1. IMT < 17,0 : keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat
badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat.
2. IMT 17,0 - 18,4 : keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan
berat badan tingkat ringan atau KEK ringan.
3. IMT 18,5 - 25,0 : keadaan orang tersebut termasuk kategori normal.
4. IMT 25,1 - 27,0 : keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan
berat badan tingkat ringan.
5. IMT > 27,0 : keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat
badan tingkat berat
8. Mutu SDM rendah
Sumber daya manusia sangat menentukan kemajuan dan keberhasilan
pembangunan suatu Negara. Terbentuknya sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif
ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah
terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas manusia
yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dalam perhitungannya
menempatkan pengetahuan (pendidikan) sebagai salah satu dimensi dari tiga
dimensi kehidupan yang sangat mendasar. IPM di Indonesia menempati
urutan ke-121 dari 182 negara yang termasuk dalam perhitungan IPM pada
tahun 2013 mencapai 0,629.
9. Pendidikan Rendah
Dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berdampak pula pada
rendahnya SDM. Selain berdampak terhadap sumber daya manusia,
pendidikan juga berdampak langsung terhadap perilaku manusia.
Dimensi pengetahuan (pendidikan) merupakan dimensi yang mempunyai
kontribusi terbesar terhadap IPM. Dimensi ini terdiri dari rata-rata lamanya
bersekolah dan melek huruf yang menurut Badan Pusat Statistik, BPS (2007)
kontribusinya terhadap IPM masing-masing sebesar 73 persen per tahun dan
64 persen per tahun. Jika dilihat dari pencapaian angkanya secara nasional,
rata-rata lama sekolah pada tahun 2006 baru mencapai 7,4 tahun yang berarti
dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan penduduk. Indonesia baru setara
dengan kelas satu sekolah tingkat menengah, sedangkan melek huruf telah
mencapai 91,5 persen
10. Tenaga Kesehatan sedikit
Kurangnya tenaga kesehatan profesional berawal dari tingkat pendidikan
yang rendah di masyarakat. Perlunya keserasian kerja antara daerah dan pusat,
tidak hanya itu, hal ini juga dituntut efektif pada tingkat pemerintah desa dan
daerah. Hal ini dimaksudkan agar program-program yang secara filosofis telah
sempurna pada tingkat pusat, dapat dihantarkan dengan baik pada tingkat
pemerintah daerah dan pemerintah desa tanpa ada reduksi.
11. Pelayanan Kesehatan Rendah
Pelayanan kesehatan meliputi rumah sakit, puskesmas, puskesmas
kelililing, bidan desa, dokter praktek, POLINDES, posyandu. Sumber data dan
informasi dapat diambil dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu
Puskesmas (SP2TP), Sistem Pencatatan Rumah Sakit (SP2RS), SUSENAS,
SKRT, dll.
Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat
tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada
setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan
keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan
kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu
pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan
demikian, untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka
pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan
sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan
kesehatan yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya.
Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan
biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati
oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu
pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standart
yang telah ditetapkan.
12. Kesadaran Masyarakat terhadap kesehatan kurang
Akibat tingkat pendidikan yang rendah juga mempengaruhi kualitas
Kesehatan memiliki kesadaran tentang kesehatan yang masih kurang, karena
pelayanan kesehatan yang di berikan tenaga kesehatan yang masih sedikit
pula. Dengan tenaga kesehatan yang kurang mereka lebih percaya kepada
dukun untuk melakukan persalinan bukan tenaga medis yang professional.
Tingginya angka kematian Ibu berhubungan dengan indikator status kesehatan
reproduksi yang meliputi proses hamil, persalinan dan masa nifas oleh tenaga
kesehatan.
13. Perilaku Buruk
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 mengumpulkan 10 indikator
tunggal Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang terdiri dari enam
indikator individu dan empat indikator rumah tangga. Indikator individu
meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 mendapat ASI
eksklusif, kepemilikan/ Ketersediaan jaminan Pemeliharaan kesehatan,
penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktifitas fisik dan penduduk
cukup mengkonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah Tangga meliputi
rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat,
kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (8m2/orang) dan rumah
tangga dengan lantai rumah bukan tanah.
Secara nasional, penduduk yang telah memenuhi kriteria PHBS baik
sebesar 38,7%. Terdapat lima propinsi dengan pencapaian di atas angka
nasional yaitu DI Yogyakarta (58,2%), Bali (51,7%), Kalimantan Timur
(49,8%), Jawa Tengah (47%), dan Sulawesi Utara (46,9%). Sedangkan
propinsi dengan pencapaian PHBS rendah berturut-turut adalah Papua
(24,4%), Nusa Tenggara Timur (26,8%), Gorontalo (27,8%), Riau (28,1%)
dan Sumatera Barat (28,2%) (RISKESDAS, 2007).
Salah satu contoh perilaku sehat dalam PHBS, adalah menggunakan
jamban keluarga untuk membuang kotoran atau tinja manusia. Dengan
menggunakan jamban keluarga dalam pembuangan kotoran atau tinja
manusia, maka akan melindungi keluarga dan juga masyarakat dari ancaman
penyakit menular berbasis lingkungan seperti diare, penyakit kulit dan
kecacingan, dimana penyakit berbasis lingkungan tersebut merupakan salah
satu penyebab cukup tingginya angka kesakitan dan kematian di Indonesia.
Hal ini terkait erat dengan kondisi lingkungan yang belum memadai (Depkes
RI, 2004).
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru
mencapai 67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang
memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang menggunakan
jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah
satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk.
Kesadaran memiliki jamban sendiri masih sangat kurang karna status
ekonomi penduduk yang rendah ini tentu berpengaruh terhadap status
kesehatan sehingga menyebabkan angka morbiditas yang relative tinggi yang
di tunjukan banyak penduduk yang ,mengalami keluhan kesehatan.
14. Kerusakan Lingkungan
Teori HL.Blum lingkungan menyatakan bahwa lingkungan memiliki
pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan dan
keturunan. Gambaran bahwa kualitas kesehatan yang meliputi akses terhadap
air bersih, sanitasi, dan sarana kesehatan masih rendah karna status ekonomi
penduduk yang rendah ini tentu berpengaruh terhadap status kesehatan
sehingga menyebabkan angka morbiditas yang relatif tinggi yang di tunjukan
banyak penduduk yang mengalami masalah kesehatan.
Kualitas kesehatan yang meliputi akses terhadap air bersih, sanitasi, dan
sarana kesehatan masih rendah. Kesadaran memiliki jamban sendiri masih
sangat kurang karena status ekonomi penduduk yang rendah ini tentu
berpengaruh terhadap status kesehatan sehingga menyebabkan angka
morbiditas yang tinggi
15. Morbiditas Tinggi
A. Insidensi
1. rumus:
a) (kasus baru/individu berisiko) x 1000
2. macam:
a) cummulative incidence
(1) tiap individu di denominator di follow up smp akhir periode
waktu
b) incidence rate
(1) individu di denominator tidak diobservasi scr penuh
(2) tiap individu punya periode obs berbeda
(3) sering diekspresikan dalam bentuk person year
B. Prevalensi
1. rumus:
a) (jumlah kasus/total individu di populasi) x 1000
2. macam:
a) point prevalence
(1) pada satu titik waktu tertentu
b) period prevalence
(1) berapa banyak individu yang pernah kena penyakit
kapan saja selama periode waktu ttt
16. Umur Harapan Hidup rendah
Dengan morbiditas tinggi menyebabkan rendahnya angka harapan hidup.
Umur Harapan Hidup juga merupakan salah satu indikator derajat
kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, dengan adanya peningkatan Umur
Harapan Hidup (UHH) saat lahir dapat diindikasikan adanya keberhasilan
pembangunan pada sektor kesehatan.
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2002 dan 2003, umur harapan hidup
kabupaten Sambas tahun 2002-2003 sebesar 67,15 tahun (pada laki-laki : 65,7
tahun dan pada wanita : 68,6 tahun). Sedangkan berdasarkan Susenas 2004
laporan Indikator Database 2004 BPS Kabupaten Sambas bekerjasama dengan
United Nations Population Fund (UNFA) bahwa umur harapan hidup
penduduk Kab. Sambas tahun 2004 adalah 64,7 tahun untuk laki laki dan
68,84 tahun untuk perempuan.
Dengan morbiditas tinggi menyebabkan rendahnya angka harapan hidup di
Indonesia masih rendah di bandingkan dengan negara lainnya. Menurut data
CIA World Factbook pada tahun 2011 Indonesia menempati urutan ke-108
dari 191 negara berdasarkan data PBB dengan Angka Harapan Hidup 70.76
tahun.
17. Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil
(dampak) dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan
manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun
kadang bisa dicegah atau dihindari. (Notoadmodjo, 2007)
Masalah Kesehatan Masyarakat khususnya negara berkembang termasuk
Indonesia sangat beragam dan harus segera diatasi dengan kerjasama yang kuat
antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri. dalam hal ini pemerintah telah
membentuk badan khusus secara formal yang menangani masalah kesehatan
masyarakat yaitu Kementrian kesehatan sesuai dengan visinya Masyarakat Sehat
Yang Mandiri dan Berkeadilan.
Untuk mempermudah memahami Masalah Kesehatan Masyarakat yang
sering terjadi perlu dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:

Masalah perilaku kesehatan, lingkungan, genetik dan pelayanan
kesehatan yang akan meningkat ke masalah kesehatan ibu dan
anak.
Masalah gizi dan beragam penyakit baik menular atau non
menular.
Masalah Kesehatan ini bisa terjadi pada masyarakat umum atau
kelompok rawan (bayi, balita dan ibu), kelompok lanjut usia dan
para pekerja.
DAFTAR PUSTAKA

Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Purnami, Cahya Tri. 2012. Buku Ajar Ilmu Kependudukan. Semarang : UPT
UNDIP Press Semarang.
Olivia, Firsa.dkk. 2013. Analisis Kependudukan (Mortalitas) Terhadap Faktor
Kesehatan. http://www.slideshare.net/FIRSAOLIVIA2107/analisis-
kependudukan-mortalitas-terhadap-faktor-kesehatan (diakses pada 10
September 2014)
Outlook. Januari 1999. Keselamatan Ibu: Keberhasilan dan Tantangan. Volume
16 Edisi Khusus.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2007. Angka Kematian Ibu
Melahirkan.
Sinta, Yulia. Analisis Hasil Sensus Penduduk. 2010. http://data-by-
iyuta.blogspot.com/2012/11/fertilitas-menurut-hasil-sp-2010.html.
(Diakses pada 19 September 2014)
Simbolon, Citra Alfaputri. Perilaku Buang Air Besar. 2009.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125592-S-5671-Perilaku%20buang-
Pendahuluan.pdf. (Diakses pada 19 September 20014)

Afriyadi, Dwi Achmad. Daya Serap, Masalah Utama Ketenagakerjaan RI. 2014.
http://bisnis.liputan6.com/read/2031841/daya-serap-masalah-utama-
ketenagakerjaan-ri. (Diakses pada 19 September 2014)

Mahathir, Marendra. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. 2014.
http://www.scribd.com/doc/208583548/Angka-Kematian-Ibu-AKI-di-
Indonesia. (Diakses pada 19 September 2014)

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 2014. http://stbm-
indonesia.org/dkconten.php?id=116. (Diakses pada 19 September 2014)
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topik-kesehatan/106-terapkan-10-
indikator-phbs-dalam-lingkungan-keluarga
http://www.datastatistik-indonesia.com
http://www.bappenas.go.id/files/9113/5185/1849/isi2009081411262920152__201
10128110124__2919__2.pdf
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2012/04/Definisi-
Variabel-SIM-Gizi-KIA-Terintegrasi.pdf

Anda mungkin juga menyukai