Anda di halaman 1dari 65

MODUL

PENYIDIKAN WABAH

SUHARYO
SRI ANDRIANI

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO
SEMARANG
2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah. SWT dan dengan segala
rahmat serta ridhlo-Nya sehingga tersusunlah Modul Kuliah Penyidikan Wabah.
Modul ini diharapkan dapat memandu mahasiswa Kesehatan Masyarakat khususnya
Peminatan Epidemiologi dalam malaksanakan perkuliahan sehingga kompetensi yang
diharapkan dapat tercapai dengan baik.
Modul ini berisi tentang prinsip-prinsip penyidikan wabah. Pokok bahasan yang
disajikan dalam mata kuliah ini antara lain Konsep Dasar Wabah, Kejadian Luar
Biasa, Pengamatan KLB, Penyelidikan KLB, Penanggulangan KLB, Sistem Kewaspadaan
Dini, Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan, dan Penyusunan
Laporan KLB.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
rekan sejawat yang telah memberi masukan serta teman-teman mahasiswa yang
juga menyumbangkan saran-saran yang sangat baik.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menambah
pengetahuan bagi pembaca. Penulis juga menerima saran dan kritik dari pembaca
yang sifatnya membangun sehingga penulis dapat lebih baik dalam menulis di lain
waktu.

Semarang, 2019
Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... 2

Daftar Isi... ........................................................................................................ 3

BAB I KONSEP DASAR WABAH........................................................... 4

BAB II KEJADIAN LUAR BIASA........................................................ 12

BAB III PENGAMATAN KLB................................................................... 15

BAB IV PENYELIDIKAN KLB................................................................... 22

BAB V PENANGGULANGAN KLB .......................................................... 29

BAB VI SISTEM KEWASPADAAN DINI............................................. 35

BAB VII PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA

KERACUNAN MAKANAN ........................................................... 48

BAB VIII PENYUSUNAN LAPORAN KLB.................................................. 60

Daftar Pustaka

3
BAB I
KONSEP DASAR WABAH

I. PENDAHULUAN
Penyakit menular merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang penting di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang
tinggi.
Seingkali terjadi peristiwa-peristiwa kesakitan/kematian yang
mengejutkan dan membuat heboh masyarakat yang dapat berupa kejadian
wabah penyakit maupun kejadian keracunan dan kejadian kesakitan lainnya
yang sering disebut wabah atau Kejadian Luar Biasa.

Wabah atau Kejadian Luar Biasa masih sering terjadi di Indonesia.


Kejadian ini mempunyai makna social dan politik tersendiri karena
peristiwanya sering sangat mendadak, terjadi pada banyak orang dan
dapat menimbulkan kematian yang tinggi.Pengambilan keputusan yang
cepat dan tepat sangat dibutuhkan dalam penanggulangan wabah.

II. DASAR HUKUM


1. Epidemie Ordonantie ( Straats blad. 1911 No 299 )
Undang-undang ini dicabut karena tidak sesuai dengan keadaan Negara
dan masyarakat pada waktu itu dan kemudian diganti dengan :
2. Undang-undang No 6 tahun 1962 tanggal 5 Maret 1962 tentang Wabah
Tujuannya adalah untuk mencegah, mengawasi, mengatasi, meluasnya,
memberantas wabah.
Pasal 3 : Wabah meliputi Penyakit Karantina ( UU No.1 tahun 1962
tentang Karantina Laut dan UU No.2 tahun 1962 tentang Karantina
Udara )
Penyakit Karantina antara lain :
- Typus abdominalis
- Para Thypus A,B,C
- Desentri baciler
- Hepatitis infectiose
- Para kolera EltorDifteri
- Kejang tengkuk / meningitis cerebrospiralis
- Polio Anterior Acuta

4
3. Undang-undang No.7 tahun 1968 tentang perubahan pasal 3 UU No.6
tahun 1962.

4. UU RI No 4 tahun 1984 tanggal 22 Juni 1984 tentang Wabah Penyakit


Menular.
Bab III : Jenis Penyakit yang dapat menimbulkan Wabah : Menteri
yang menetapkan jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan
wabah.
Dengan adanya UU ini maka UU No.6 tahun 1962 dan UU No.7 tahun
1968 dicabut.

5. Permenkes RI No. 560/Menkes/Per/VIII/1989 tanggal 23 Agustus


1989 tentang Jenis Penyakit tertentu yang dapat menimbulkan
wabah,Tata cara menyampaikan laporan dan tata cara penanggulangan
seperlunya.
Bab II pasal 2 : Jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan
wabah :
- Kolera
- Demam kuning
- Typhus bercak kuning
- Pes
- Demam bolak balik
- DBD
- Campak
- Influensa
- Typhus perut
- Difteri
- Rabies
- Enchepalitis
- Polio
- Pertusis
- Malaria
- Hepatitis
- Meningitis
- Anthrax
Isi Laporan :
- Nama
- Umur

5
- Alamat kejadian
- Waktu Kejadian
- Jumlah yang sakit/mati
Pasal 10 : Penanggulangan seperlunya antara lain :
- Pemeriksaan
- Pengobatan
- Perawatan
- Isolasi
- Pembentukan dan penggerakan TGC
- Vaksinasi
- Evaluasi
- Penutupan daerah / isolasi
- Dan lain-lain tindakan yang diperlukan

6. Kep.Dir.Jen Penanggulangen PPM PLP No. 451-I/PD.03.04/I/1991


tanggal 31 Januari 1991 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi .
Yang berisi antara lain tentang :
- Batasan/pengertian KLB
- Kriteria kerja KLB
- Klasifikasi KLB
- Tata cara pemeriksaan klinik
- Tata cara pemeriksaan laboratorium
- Pengamatan KLB : pencatatan, pemantauan, pelaporan

7. PP No.40 tahun 1991 tanggal 3 Juli 1991 tentang Penanggulangan


Wabah Penyakit Menular
8. PMK no 1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
yang Menimbulkan Wabah
9. PMK no 82 tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular
10. PMK no 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular

III. PENGERTIAN
WABAH adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
keadaan yang lazim, pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.
Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah
Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.

6
IV. PENYAKIT YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH DAN TANDA-
TANDANYA
1. KOLERA
- Berak mendadak
- Muntah
- Tinja seperti air
- Cepat dehidrasi
- Pemeriksaan laboratorium feces dan muntahan diketemukan
kuman Vibrio kolera
2. PES
- Panas tinggi mendadak
- Lelenjar lympha liquinal dan axilla terjadi pembengkakan ( bubo )
- Batuk + darah mendadak ( tanpa didahului batuk sebelumnya )
- Pemeriksaan darah, cairan bubo,sputum,swab tenggorok
diketemukan kuman Yersenia pestis.
3. DEMAM KUNING
- Demam mendadak
- Kulit kuning
- Sakit kepala
- Lemah
- Lesu
- Mual/muntah
- Nadi lambat/lemah
- Epistaxis
- Perdarahan mulut
- Muntah dan batuk darah
- Pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya virus
4. DEMAM BOLAK BALIK
- Demam 2-9 hari kemudian tanpa demam 3-4 hari, kejadian ini
berulang 2 – 10 kali
- Kadang-kadang bercak merah di kulit selama demam
- Pemeriksaan laboratorium darah ditemukan Borellia recurentis
5. TIFES BERCAK WABAH
- Demam 2 minggu
- Sakit kepala

7
- Menggigil
- Badan lemah
- Kadang-kadang bercak merah timbul di kulit ( erupsi macular )
- Pemeriksaan darah ditemukan Ricketsia prowazki
6. DEMAM BERDARAH DENGUE
- Demam tinggi mendadak 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas
- Lemah,lesu,gelisah
- Nyeri ulu hati
- Bintik merah ( petechiae )
- Ruam ( purpura )
- Lebam ( echymosis )
- Kadang-kadang berak darah
- Kadang-kadang muntah darah
- Pemeriksaan Laboratorium :
Hemoconcentrasi,Thrombocytopeni,antibody
7. CAMPAK
- Panas tinggi
- Sakit kepala
- Batuk
- Pilek
- Conyunctivitis, terjadi fotofobi 3-7 hari
- Timbul rash ( bercak merah ) di kulit, setelah 3 hari timbul
koplik spot = bercak putih pada selaput lender pipi, mula-mula
belakang telinga kemudian muka,dada,dan anggota badan .
Keadaan ini berlangsung 4-6 hari
- Bila koplik spot negative, panas akan menurun setelah bercak
hitam timbul.
- Pemeriksaan lab pada mucosa conyunctiva dan mucosa tenggorok
ditemukan virus.Pemeriksaan darah ditemukan antibody
terhadap virus.
8. POLIO
- Panas
- Pilek
- Batuk
- Lemas
- Muntah
- Diare
- Apabila panas turun, anggota gerak lumpuh asimetri

8
- Pemeriksaan feces dan mukosa tenggorok ditemukan virus
- Pemeriksaan darah terdapat antibody

9. DIFTERI
- Panas kurang lebih 38 derajad Celcius
- Terdapat pseudo membrane putih abu-abu pada pharynx,larynx
dan tonsil
- Tidak mudah lepas
- Mudah berdarah
- Sakit menelan
- Leher bengkak / bull neck oleh karena kelenjar leher bengkak
- Sesak napas dan stridor
- Pemeriksaan jaringan luka ditemukan C.difteri
10. PERTUSIS
- Batuk beruntun
- Akhir batuk terjadi napas panjang terdengar suara “ hup “ (
whoop)
- Biasanya disertai muntah
- Sering terjadi pada waktu malam
- Sputum liat dan kental
- Pada batuk berak terjadi odeim periorbital, perdarahan
conyunctiva
- Lama batuk 1 – 3 bulan
- Pada pemeriksaan laboratorium mucosa tenggorok ditemukan
Bordetella pertusis
11. RABIES
- Demam tinggi
- Sakit kepala hebat
- Terjadi lumpuh tungkai, menjalar ke atas sehingga sulit menelan
- Takut air ( hydrofobi )
- Sulit napas
- Kesadaran menurun
- Terjadi beberapa minggu sampai dengan 1 tahun setelah digigit
anjing, kucing, kera
- Pemeriksaan laboratorium pada otak hewan, kelenjar liur hewan,
air liur hewan, air mata, jaringan otak manusia ditemukan virus
Rabies.
12. MALARIA

9
- Demam,berkeringat,dingin,menggigil. Keadaan ini berlangsung
setiap 1 sampai dengan 3 hari
- Sakit kepala berat
- Lemah
- Muka pucat
- Mual,muntah
- Limpha membesar
- Kejang
- Kesadaran menurun
- Pemeriksaan laboratorium darah ditemukan parasit malaria
13. INFLUENZA
- Demam
- Rasa dingin
- Pilek 1 -6 hari
- Batuk
- Sering sakit kepala dan sakit otot
- Pemeriksaan laboratorium pada darah ditemukan virus influenza
dan antibody
14. HEPATITIS
- Lemas
- Mual
- Cony.icterie
- Urin seperti teh
- Pada pemeriksaan laboratorium pada darah ditemukan virus dan
antibody, pada pemeriksaan urine ditemukan virus.
15. TIFES PERUT
- Panas tinggi lebih dari 7 hari
- Lemah
- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Terjadi obstipasi kadang-kadang diare
- Permukaan lidah kotor pinggir merah
- Pemeriksaan laboratorium pada urine,faeces,sumsum tulang
ditemuka Salmonella typhi
16. MENINGITIS
- Panas
- Kaku kuduk
- Kejang

10
- Kesadaran menurun
- Reflek ptologis positif
- Pemeriksaan laboratorium LCS ditemukan virus

17. ENCEPHALITIS
- Panas tinggi
- Kejang
- Kesadaran menurun
- Reflek patologis positif
- Pemeriksaan laboratorium LCS ditemukan virus
18. DIARE
- Buang air besar lebih dari 3 kali sehari
- Faeces lembek atau cair
- Mulas
- Sakit perut
- Terdapat lendir dengan atau tanpa darah ( disentri )
- Berak cair seperti air cucian beras ( cholera )
19. ANTHRAX
- TYPE KULIT
- Kulit melepuh / vesicle tanpa sebab jelas
- Luka / ulkus
- Pinggir nonjol
- Tengah merah tua kehitaman
- Kadang panas tinggi
- TYPE GASTRO INTESTINAL
- Sakit perut hebat ( beberapa jam setelah makan daging hewan
anthrax )
- Pemeriksaan laboratorium pada :
- Darah
- Lesi kulit
- Rectal swab
- Tulang,daging, alat dalam hewan
- Tanah yang tercemar hewan anthrax
- Ditemukan Bacillus anthrax
20. KERACUNAN
- Sakit mendadak
- Mual
- Muntah

11
- Kejang otot
- Pemeriksaan laboratorium pada muntahan dan faeces ditemukan
penyebab keracunan.
BAB II
KEJADIAN LUAR BIASA

I. PENDAHULUAN
Peristiwa bertambahnya penderita atau kematian yang disebabkan oleh
suatu penyakit di suatu wilayah tertentu, kadang-kadang dapat merupakan
kejadian yang mengejutkan dan membuat heboh masyarakat di wilayah itu.
Secara umum kejadian ini disebut Kejadian Luar Biasa ( KLB ) sedang yang
dimaksud dengan penyakit adalah semua penyakit menular yang dapat
menimbulkan KLB, penyakit yang disebabkan oleh keracunan makanan atau
keracunan lainnya.
Untuk mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit
yang dapat menimbulkan KLB, perlu pengamatan yang dilakukan secara
teratur, teliti dan terus menerus meliputi pengupulan, pengolahan, analisa,
interpretasi, penyajian data dan pelaporan. Apabila hasil pengamatan
menunjukkan adanya kemungkinan KLB, maka perlu dilakukan penyelidikan
epidemiologi yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui
penyebab dan factor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya dan
penyebarluasan KLB tersebut,di samping tindakan penanggulangan
seperlunya.
Hasil penyelidikan epidemiologi akan mengarahkan langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan KLB. Upaya
penanggulangan ini meliputi pencegahan penyebaran KLB, termasuk
pemantauan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit. Upaya
penanggulangan KLB yang dapat direncanakan dengan cermat dan
dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait secara terkoordinasi dapat
menghentikan atau membatasi penyebarluasan KLB, sehingga tidak
berkembang menjadi wabah.

II. DEFINISI KLB


KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/ kematian
yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah
tertentu.

12
III. KRITERIA KERJA KLB
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Timbulnya suatu penyakit / kesakitan yang sebelumnya tidak ada /
tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit / kematian terus menerus selama 3
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (
jam,hari,minggu…………).
3. Peningkatan kejadian /kematian 2 (dua) kali atau lebih dibanding dari
suatu penyakit dibandingkan dengan periode sebelumnya
(jam,hari,minggu,bulan,tahun ).
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikkan dua
kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan
dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan 2
(dua) kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per
bulan dari tahun sebelumnya
6. Case Fatality Rate dari suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu
menunjukkan 50 % atau lebih dibandingkan CFR dari periode
sebelumnya.
7. Propotional Rate ( PR ) penderita baru dari suatu periode tertentu
menunjukkan kenaikkan dua kali atau lebih dibandingkan periode yang
sama dalam kurun waktu / tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, DHF/DSS,SARS,Avian
Flu,Tetanus neonatorum.
 Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya ( pada daerah
endemis )
 Terdapat satu atau lebih penderita baru di mana pada periode 4
( Empat) minggu sebelumnya tidak ada.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 (satu) atau lebih penderita :
 Keracunan makanan
 Keracunan pestisida

IV. KLASIFIKASI KLB


KLB dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Menurut penyebabnya
a. Toxin

13
 Enterotoxin, misalnya yang dihasilkan oleh Stapylococcus
aureus, Vibrio Cholerae,Eschorichia, shigella
 Exotoxin (bakteri), missal yang dihasilkan oleh Clostridium
botulinum, Clostridium perfringens
 Endotoxin
b. Infeksi
 Virus
 Bakteri
 Protozoa
 Cacing
c. Toxin Biologis
 Racun jamur
 Alfa toxin
 Plankton
 Racun ikan
 Racun tumbuh-tumbuhan
d. Toxin kimia
 Zat kimia organik : logam berat(misal air raksa,timah), logam-
logam lain sianida dll.
 Zat kimia anorganik : nitrit, pestisida
 Gas-gas beracun : CO,CO2,HCN,dll
2. Menurut sumbernya KLB dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Sumber dari manusia, misal jalan napas,tenggorokan, tangan, tinja,
air seni, muntahan seperti Salmonella, Shigella, Staphylococcus,
Streptococcus, Protozoa, Virus Hepatitis.
b. Bersumber dari kegiatan manusia , misal toxin biologis dan kimia (
pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan,pencemaran lingkungan,
penangkapan ikan dengan racun ).
c. Bersumber dari binatang seperti binatang peliharaan,ikan,binatang
mengerat,contoh : Leptospira,Salmonella,Rabies,Cacing dan parasit
lainnya,keracunan ikan/plankton.
d. Bersumber dari serangga (lalat,kecoa dan sebagainya),missal :
Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus.
e. Bersumber dari udara ,misal : Salmonella,
Staphylococcus,Virus,pencemaran udara
f. Bersumber dari permukaan benda / alat-alat : Salmonella
g. Bersumber dari air : Vibrio Cholera, Salmonella

14
h. Bersumber dari makanan/ minuman : keracunan singkong, jamur
makanan dalam kaleng.

BAB III
PENGAMATAN KLB

I. PENDAHULUAN
Seringkali terjadi peristiwa-peristiwa kesakitan/kematian yang
mengejutkan dan membuat heboh masyarakat yang sering disebut
Kejadian Luar Biasa.
Kejadian-kejadian tersebut banyak yang belum diketahui etiologi dan
cara-cara penanggulangannya, serta sedikit sekali yang dilaporkan .
Untuk itu diperlukan pengembangan system pengamatan KLB yang
lebih baik, yang berguna untuk pencegahan dan penanggulangan yang tepat
serta perencanaan yang baik.
Pengamatan KLB mencangkup tindakan yang teliti dan terus menerus
terhadap kemungkinan timbulnya KLB, disertai
pengumpulan,pengolahan,analisa, pelaporan dan penyebaran data.
Sumber inormasi/pelaporan ialah masyarkat,aparat kelurahan, dokter
praktek swasta, klinik kesehatan, rumah sakit dan lain-lain.
Setiap laporan harus ditentukan kebenarannya terlebih dahulu apakah
benar tergolonh Kejadian Luar Biasa.
Sistem pencatatan dan pelaporan harus sesuai dengan system yang
berlaku.Jalur pelaporan yang dipakai dengan menggunakan format yang
tersedia dan system berjenjang

II. PENGERTIAN
Pengamatan KLB yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan secara
teratur,teliti,terus menerus untuk mengetahui penderita/supect penyakit
KLB.

III. KEGIATAN
A. Pencatatan/pengumpulan data
System pelaporan penyakit di Indonesia mengacu kepada
Undang-undang Wabah No 4 tahun 1984. PP no 40 tahun 1991,
Kemenkes No 1116 tahun 2003 tentang Surveilans Epidemiologi

15
Kesehatan dan Kemenkes No 1479 tahun 2003 tentang Surveilans
penyakit menular dan tidak menular terpadu.
Pelaporan angka kesakitan secara khusus harus merinci mengenai
penyakit tersebut,siapa yang bertanggung jawab untuk
pelaporan,keterangan apa yang diperlukan untuk setiap kasus yang
dilaporkan, sifat laporan yang diperlukan dan kepada siapa data dikirim.
1. Sumber Data
a. Laporan kesakitan
b. Laporan kematian
c. Laporan wabah
d. Laporan laboratorium
e. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
f. Laporan penyelidikan wabah
g. Survey khusus missal, survey serologic penyakit Hepatitis
h. Informasi tentang hewan sumber penularan penyakitkungan
i. Data demografi
j. Data lingkungan
Sumber data penyakit atau factor risiko tersebut dapat
diperoleh dari laporan pukesmas,Rumah Sakit,
masyarakat,dokter praktek swasta, Balai Pengobatan dan lain-
lain.

2. Kelengkapan, Ketepatan dan validitas laporan


Persyaratan data yang baik adalah kelengkapan laporan yang
diterima, kontinuitas laporan serta ketepatan waktu pengiriman
oleh sumber data. Karena kelengkapan, ketepatan dan validitas
laporan merupakan salah satu indicator penting dalam memelihara
mutu data surveilans epidemiologi, dan sangat berpengaruh dalam
melakukan interpretasi data tersebut secara akurat.
 Kelengkapan
Kelengkapan laporan yaitu presentasi laporan yang
seharusnya diterima atau dikirim dibanding dengan kenyataan
laporan yang diterima dalam waktu tertentu. Laporan yang
tidak lengkap akan mempengaruhi hail analisa data tersebut.
Contoh :
Jumlah laporan mingguan (W2) diterima Dinas Kesehatan
Kota Bandar Lampung selama tahun 2010 dari 10 puskesmas
seharusnya 520 laporan W2, ternyata hanya diterima 400

16
laporan, maka kelengkapan laporan W2 di Dinas Kesehatan
Kota Bandar Lampung adalah 400/520 x 100% = 76,9%.
Kelengkapan laporan juga harus menilai kelengkapan isi yang
dilaporkan.

 Ketepatan Waktu
Ketepan waktu laporan berarti waktu laporan diterima dinas
kesehatan sesuai dengan waktu laporan yang telah disepakati
atau ditetapkan bersama. Misalnya laporan LB1 puskesmas
harus diterima Dinas Kesehatan Kota pada setiap tanggal 5
pada bulan berikutnya.

 Validitas laporan
Validasi data artinya data yang dimuat di dalam laporan
tersebut data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran
pengisiannya oleh petugas pada sumber data terutama di
Puskesmas dan Rumah Sakit.
Missal :
Dilaporkan kasus poliomyelitis 5 kasus dari satu desa.
Diketahui bahwa kasus poio pada saat ini jarang terjadi.
Maka dengan informasi yang seperti ini, petugas harus
melakukan pengecekan terhadap data/informasi tersebut
sebelum melaporkan ke tingkat yang lebih atas.

 Tingkat Puskesmas
Sumber data : - Register rawat jalan
- Buku catatan lain
- W1
- W2
 Tingkat Dati II
Sumber data : - mingguan Puskesmas
- Mingguan RS
- W1 Puskesmas
- Catatan lain
 Tingkat Dati I
Sumber data : - Laporan bulanan Dati II
- Laporan W1
- Catatan lain

17
B. PEMANTAUAN
1. Pengolahan dan analisa data
Melakukan pengolahan dan analisa data epidemiologi merupakan
langkah penting dalam epidemioltian yang disajikan tidak salah
atauogi. Untuk melakukan analis data dengan efektif,efisien,
seseorang harus sangat akrab dengan data yang dianalisanya.jalan
terbaik memahami data apabila data telah disusun dalam format
spesifikasi yang kemudian dapat membantu dalam kegiatan analisa.
Dalam menyusun data dalam format-format spesifikasi
digunakan cara-cara yang tepat sesuai dengan format yang
digunakan. Kriteria pengolahan data yang baik adalah :
 Tidak membuat kesalahan selama proses pengolahan data
 Dapat mengidentifikasi adanya kecenderungan perbedaan
dalam frekuensi dan distribusi kasus
 Pengertian yang disajikan tidak salah atau berbeda dengan
yang dimaksud
 Metode pembuatannya mengikuti kaidah pembuatan
table,grafik dan peta yang benar
Bentuk-bentuk penyajian data dapat ditampilkan dalam bentuk :
- Table
- Grafik : grafik baris, grfik semi log, histogram
- Chart : bar chart, stop map, area map
Untuk melakukan analisa data epidemiologi sangat dibutuhkan
kemampuan yang memadai di bidang epidemiologi,wawasan yang luas,
dan berorientasi pada tujuan-tujuan surveilans epidemiologi itu
dikembangkan. Analisa dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu
analisa sederhana dan analisa lanjut.
Analisa sederhana yaitu analisa data mentah menjadi table,
grafik atau peta. Penyajian ke tiga analisa tersebut harus bersifat
sederhana dan sebanyak-banyaknya hanya 3 variabel saja,
komunikatif,informative dan maksud yang diharapkan oleh
penganalisa dapat dipahami oleh penerima analisa.
Analisa lanjut yaitu analisa terhadap table,grafik,dan peta
sehingga menghasilkan telaahan mendalam terhadap suatu masalah
yang dianalisa. Analisa ini mencurahkan semua kemampuan
penganalisa termasuk kecerdasan, pengetahuan tentang penyakit

18
dan factor risiko, pengetahuan tentang kondisi populasi saat
sekarang dan kemungkinan yang dihadapi di masa yang akan datang.
Misalkan dalam membuat suatu keputusan penting mengenai
apakah setiap kasus atau yang dicurigai perlu diselidiki atau tidak
dalam pengamatan, maka kriteria berikut ini dapat digunakan
sebagai dasar :
 Apakah tujuan pemberantasan penyakit mengharuskan
melakukan penyelidikan atau tidak ?
Jika mengharuskan penyelidikan penyakit tertentu, maka
dengan diterimanya laporan tentang salah satu penyakit,
secara otomatis penyelidikan harus dilakukan ( tanpa
mempertimbangkan kriteria lain ).Sebagai contoh laporan
kematian bayi. Pemberantasan penyakit Tetanus neonatorum
dilakukan oleh suatu program khusus, yang perlu mengetahui
faktor risiko yang terjadi pada kasus, untuk mengetahui
apakah kematian akibat tetanus neonatorum atau bukan. Dan
apabila kematian akibat tetanus neonatorum maka faktor
risikonya segera ditanggulangi agar tidak terulang lagi
kematian di wilayah tersebut.
Pentingnya penyelidikan kasus dan faktor risikonya
dicantumkan dalam pedoman program pemberantasan
penyakit Tetanus neonatorum merupakan suatu keharusan
setiap kasus atau tersangka penyakit dilakukan penyelidikan.

 Apakah infeksi itu bersifat luar biasa dilihat dari segi waktu
dan tempat kejadian atau jumlah karakteristik dari orang-
orang yang terkena ?
Apabila insidens penyakit pada suatu populasi tertentu pada
waktu dan tempat tertentu melebihi frekuensi yang biasa
dari penyakit itu pada populasi yang bersangkutan, maka
mungkin ini merupakan indikasi untuk diadakan penyelidikan.
Untuk dapat menentukan bahwa insidens saat ini melebihi
insidens yang biasa dibutuhkan perbandingan terus-menerus
dari insidens saat ini dengan insidens selama periode
sebelumnya.
Suatu masalah penting yang sebagian besar belum
terpecahkan ialah berapa banyak kenaikkan kasus yang
diperlukan untuk dapat dilakukan tindakan penanggulangan.

19
Namun pada umumnya jumlah kenaikan yang diperlukan untuk
suatu tindakan ditentukan secara local dan mencerminkan
prioritas yang diberikan pada berbagai penyakit, serta
perhatian, kemampuan dan sumber daya Dinas Kesehatan
setempat.

 Adakah suatu letusan tersangka common source ?


Kecurigaan adanya suatu penularan common source pada dua
atau lebih kasus suatu penyakit sudah cukup untuk memulai
suatu penyelidikan.
Kecurigaan semacam itu timbul melalui dua cara :
- Suatu laporan dari seorang dokter atau petugas
kesehatan lain yang mengatakan bahwa didapat
“beberapa” penderita baru suatu penyakit yang sama dan
diperkirakan karena satu dan lain hal secara epidemiologic
ada hubungannya.
- Laporan rutin morbiditas individual setelah ditinjau ulang
secara teliti mengungkapkan suatu kebersamaan dalam hal
jenis kelamin atau kelompok umur, tempat tinggal atau
jenis pekerjaan,waktu mulainya serangan sakit.
Faktor waktu mulainya serangan sakit telah terbukti
merupakan suatu indikator kemungkinan terjadinya suatu
letusan common source.

2. Cara pemantauan lain


a. Grafik max-min
- Data 5 tahun terakhir
- Hilangkan kasus KLB sehingga gambar tidak ekstrem dan
nilai ambang lebih sensitive
b. Harus berdasarkan akal sehat ( common sense ) sebab :
- Belum tentu kenaikkan yang bermakna merupakan KLB
- Sebaliknya sutu kenaikkan yang kecil sekalipun dapat
merupakan KLB
- Kriteria tersebut akan berubah sesuai kemajuan program
kesehatan yang dicapai. Makin maju program NA KLB
lebih rendah sehingga lebih sensitive.
Pemantauan tingkat puskesmas dilakukan tiap hari sesuai
kriteria kerja

20
Pemantauan tingkat Kota/Propinsi menggunakan grafik max-min,
mingguan/W2

C. PELAPORAN
1. Dari masyarakat ke Puskesmas
Merupakan laporan kewaspadaan, Isi laporan :
- Penderita/tersangka
- Waktu kejadian
- Tempat kejadian
- Tanda penyakit
- Gejala penyakit
Pembuatan dan penyampaian laporan : 24 jam
Sarana : bebas ( tidak ditentukan bentuknya )
Pembuat laporan : - perorangan
- Pamong
- Polisi
- Dokter praktek swasta dll

2. Dari puskesmas ke Dati II


a. Nama laporan : W1 ( bila ada KLB )
Isi laporan :
- Tempat KLB
- Jumlah penderita/mati
- Tanda
- Gejala
Penyampaian : 24 jam
Pembuat : Ka Puskesmas
b. Nama laporan : W2 ( laporan mingguan KLB )
Isi laporan : tiap minggu
Pengiriman : tiap Selasa
Sarana : format W2
Pembuat : Ka Puskesmas

21
BAB IV
PENYELIDIKAN KLB

I. PENDAHULUAN
Tujuan pokok dari suatu penyelidikan wabah atau KLB biasanya adalah
untuk menemukan cara-cara mencegah penularan lebih lanjut dari
penyebab penyakit. Untuk mencapai tujuan pokok ini perlu dicapai
berbagai tujuan khusus , yaitu :
1. Menegakkan atau memastikan diagnosis dari kasus-kasus yang
dilaporkan dan mengidentifikasi penyebab penyakit.
2. Memastikan bahwa terjadi KLB atau wabah
3. Menggambarkan kasus-kasus dalam menurut variable waktu,tempat dan
orang
4. Menggambarkan sumber dari penyebab penyakit dan cara
penularannya, termasuk alat, vector dan jalan tertentu yang mungkin
terlibat.
5. Mengidentifikasikan populasi yang rentan dan yang mengalami
peningkatan risiko terpapar terhadap penyakit.

Urutan dari tujuan-tujuan khusus ini mencerminkan alur pikir dari


suatu penyelidikan epidemiologis,namun tidak selalu merupakan urutan dari
pelaksanaan penyelidikan itu sendiri. Dalam prakteknya beberapa langkah
dari penyelidikan itu mungkin berjalan secara serentak. Urutan seperti di
atas lebih mungkin diikuti dalam keadaan di mana penyelidikan
dilaksanakan beberapa lama setelah wabah berakhir. Suatu penyelidikan
terdiri dari proses berikut yang diulang-ulang sampai tujuan yang
dikemukakan di atas tercapai :
1. Mengumpulkan dan mengolah data yang ada sehingga dapat dianalisis.
2. Menarik kesimpulan dari informasi-informasi itu.
3. Menggabungkan kesimpulan-kesimpulan menjadi satu hipotesis.
4. Mengidentifikasikan informasi tambahan tertentu yang dibutuhkan
untuk menguji hipotesis itu.
5. Mendapatkan informasi tersebut dan menguji hipotesis.
6. Jika perlu mulai lagi dari langkah nomor satu.

22
Sebagai contoh, apabila sembilan kasus salmonelosis dilaporkan ke
Dinas kesehatan selama satu minggu, dapat disimpulkan bahwa terjadi
suatu kejadian luar biasa dan membuat hipotesis bahwa suatu KLB
salmonelosis tengah berlangsung. Informasi tambahan perlu diperoleh
untuk menguji hipotesis ini :
1. Tanda dan gejala kasus serta specimen yang sesuai untuk pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan diagnosis serta mengidentifikasikan
penyebab penyakit.
2. Tanggal mulai sakit dari tiap-tiap kasus untuk memastikan bahwa
kasus-kasus itu tengah berlangsung dan bahwa pengelompokan kasus di
dalam waktu itu bukan disebabkan karena system pelaporan itu sendiri.
3. Insidens salmonelosis biasa terjadi di masyarakat sehingga dapat
dinilai bahwa insidens yang tengah berjalan merupakan peningkatan (
apabila dianggap bahwa peningkatan kasus merupakan kriteria untuk
melakukan penyelidikan).
Setelah informasi diperoleh, maka informasi ini perlu diolah dan
disimpulkan. Jika berdasarkan data yang baru ini disimpulkan bahwa
kasus-kasus itu tengah berlangsung adalah salmonelosis dan insidensnya
menunjukkan kenaikkan maka hipotesis yang diuji menunjukkan kebenaran
( dengan demikian mencapai tujuan khusus nomor 1 dan 2 ).

II. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN


1. Menegakkan atau memastikan diagnosis
Untuk dapat membuat penghitungan kasus secara teliti guna
keperluan analisis di kemudian hari, penting sekali untuk memastikan
diagnosis dari kasus-kasus yang dilaporkan sehubungan dengan wabah
yang dicurigai. Alasan mengapa langkah ini penting sekali adalah :
a. Karena kedokteran merupakan ilmu yang tidak pasti, maka penyakit
dapat salah didiagnosis.
b. Kita mungkin tidak dilapori tentang adanya kasus, melainkan adanya
tersangka atau adanya orang yang mempunyai sidroma tertentu.
c. Informasi dari yang bukan kasus ( yaitu kasus-kasus yang
dilaporkan tetapi diagnosisnya tidak dapat dipastikan ) harus
dikeluarkan dari informasi kasus yang digunakan untuk memastikan
ada tidaknya suatu wabah.
Diagnosis yang didasarkan atas pemeriksaan klinis saja mudah
salah. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari banyak penyakit adalah tidak
begitu khas untuk dapat menegakkan suatu diagnosis pasti atas dasar

23
itu saja. Suatu penyulit lain ialah bahwa banyak penderita tidak
memperlihatkan sindroma yang khas suatu penyakit. Untuk beberapa
penyakit diagnosis klinis saja tidak cukup, harus diketahui serotype
tertentu ( atau klasifikasi lain ) dari penyebab penyakitnya. Alasannya
ialah karena banyak serotype dari spesies penyebab penyakit menular
terdapat secara bersamaan di mayarakat.
Diagnosis penyakit pada KLB harus dilakukan pada awal kegiatan,
karena diagnose ini akan diperlukan untuk membuat definisi kasus.
Dalam pelacakan KLB sudah dapat ditentukan definisi suspect cases,
probable cases atau confirm cases. Bila keadaan tidak memungkinkan
diagnose dapat ditegakkan secara klinis, karena pemeriksaan
laboratorium perlu waktu lama sedang penyelidikan epidemiologi harus
segera dilaksanakan. Kecuali, bila pada saat penyelidikan epidemiologi
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium akan lebih baik. Contoh :
pada KLB malaria, pemeriksaan laboratorium untuk menentukan spesies
plasmodium menggunakan Rapid Test Diagnosis. Dengan demikian
pengobatan dapat segera diberikan sesuai dengan jenis parasitnya.

2. Memastikan adanya suatu KLB


KLB dapat dipastikan bila memenuhi kriteria KLB yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu kejadian kesakitan/kematian harus
dibandingkan dengan kejadian waktu sebelumnya atau periode waktu
sebelumnya. Tidak semua peningkatan kejadian kesakitan/kematian
merupakan KLB sehingga perlu analisis dan interpretasi hati – hati.
Salah satu faktornya adalah apakah sebelumnya surveilans telah
berjalan dengan baik. Apakah penemuan kasus disebabkan karena
intensifikasi kegiatan yang sebelumnya tidak pernah dilaksanakan atau
dilaporkan. Untuk memastikan KLB sebaiknya juga dilakukan analisis
secara komprehensif, tidak hanya analisis kasus tetapi juga factor –
factor lain yaitu informasi tentang Vektor, lingkungan dan perilaku
penduduk. Ketiga factor tersebut sangat berpengaruh dengan
timbulnya KLB, contoh : KLB malaria sangat dipengaruhi adanya vector
Anopheles yang mempunyai tempat perindukan yang berhubungan
dengan lingkungan ( kobangan, genangan air, tambak liar, persawahan,
lagon dsb). Disamping itu dipengaruhi juga perilaku penduduk tidur
tidak menggunakan kelambu sering bepergian dari daerah endemis
malaria, sering keluar malam tidak menggunakan baju pelindung dsb.
Demikian juga KLB DBD dipengaruhi adanya vector Aedes aegypty

24
dimana telur dan jentik hidup di air jernih dalam suatu wadah. Perilaku
penduduk yang mempengaruhi adalah tidak pernah melakukan PSN
secara periodik setiap minggu. KLB diare sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan air bersih dan perilaku penduduk tidak cuci tangan
sebelum makan.

3. Rumusan Hipotesa
Hipotesa dibuat berdasarkan data yang telah ada dengan tujuan
mengarahkan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi. Untuk itu hipotesa
dibuat harus sesuai dengan tujuan penyelidikan KLB mencangkup
sumber penularan/penyebab penyakit, cara dan factor – factor yang
mempengaruhi.

4. Pengumpulan data epidemiologi


 Pengumpulan data epidemiologi diperlukan untuk menunjang /
membuktikan hipotesa. Data dikumpulkan berupa data sekunder
maupun data primer yang berhubungan dengan KLB yaitu data
kasus, data vector, data lingkungan dan data perilaku penduduk.
 Data primer dikumpulkan berdasarkan wawancara penduduk
menggunakan kuesioner terstruktur berdasarkan variable
epidemiologi yang dapat menjawab” 5 W 1 H “ yaitu What ( apa,
riwayat sakit ), When ( kapan waktu kejadian), Who ( siapa atau
kelompok umur, kelompok pekerjaan, jenis kelamin, status
imunisasi ), Where ( dimana tempat kejadian, dusun, desa,
kecamatan yang terpapar ), Why ( mengapa bisa terjadi KLB, dan
How ( bagaimana mereka bisa tertular ). Pertanyaan ini bisa
dikembangkan dengan kuesioner yang disusun sehingga hasil
analisis dapat menjawab pertanyaan untuk rumusan rencana
tidak lanjut penanggulangan yang efektif dan efisien. “5 W 1 H”
tidak hanya untuk data kasus tetapi dapat juga dipergunakan
untuk data vector , data lingkungan dan data perilaku penduduk.
Pada saat pengambilan data primer sebaiknya juga dilakukan
pengambilan spesimen baik specimen kasus ( darah, muntahan,
tinja, sputum dsb ) ataupun specimen lingkungan misalnya air,
tanah dll atau bahan / material lain yang dicurigai sebagai
penyebab terjadinya KLB ( misalnya pada KLB keracunan
makanan ) untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih
lanjut.

25
Agar dapat dianalisis dengan baik, data primer tidak ditujukan
pada kasus yang sakit saja tetapi juga pada orang – orang yang
tidak sakit tetapi mempunyai resiko yang sama.

 Data sekunder dikumpulkan dari data yang sudah ada misalnya :


data kasus periode sebelumnya ( paling tidak 1 tahun
sebelumnya ) atau pola penyakit ( grafis minimal – maksimal ).
Data ini dipergunakan untuk membandingkan kejadian sekarang
dengan periode sebelumnya atau periode yang sama. Data
vector yaitu jenis, tempat perindukan dan perilaku vector. Data
lingkungan misalnya sumber airbersih, lingkungan tempat kasus
berada dll. Data perilaku penduduk misalnya kebiasaan
menggunakan air bersih, kebiasaan berak dll. Untuk KLB
penyakit PD31 perlu adanya data cakupan imunisasi,
pemeliharaan vaksin ( suhu lemari es ) dll. Selain data – data
tersebut perlu adanya informasi jumlah penduduk terancam KLB
( population at risk ) dan peta wilayah untuk keperluan analisis
data dalam menggambarkan besar masalah.

5. Pengolahan Data, Analisa Data dan Interpretasi Data.


 Setelah selesai dilakukan pengumpulan data primer dan
sekunder harus segera dilakukan analisis karena hasilnya sangat
penting untuk keputusan rencana tindakan penanggulangan KLB
agar efektif dan efisien.
 Analisis data menggunakan table, grafik ( garis atau bar ), peta.
Selain itu untuk menggambarkan besar masalah dihitung attack
rate, case fatality rate, proporsi dsb.
 Data harus di analisis secara komprehensif baik data kasus,
data vector, data lingkungan dan data perilaku penduduk untuk
dapat segera diketahui dinamika penularan untuk merencanakan
tindakan penanggulangan. Untuk mengetahui dinamika penularan,
sangat penting membuat peta situasi dusun/desa terjadi KLB
yang menggambarkan hubungan antara kasus dengan faktor
risiko lingkungan.
 Hasil analisis harus dapat menjawab pertanyaan tujuan
penyelidikan epidemiologi yaitu :
o Apakah benar terjadi KLB?
o Bila benar :

26
 KLB apa ? kelompok penduduk siapa yang kena ? (
kelompok umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan dll )
 Kapan mulai terjadi KLB? Apakah saat ini masih
berlangsung?
 Dimana terjadi KLB?
 Mengapa bisa terjadi KLB? Dari mana sumber
penularannya?
 Bagaimana mereka bisa tertular? Di mana
penularan terjadi?

6. Rumusan Kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis penyelidikan tersebut, buat
kesimpulan yang dapat menerangkan pola penyakit penderita, yang
harus sesuai dengan sifat, penyebab penyakit, sumber infeksi cara
penularan dan factor lain yang mungkin memegang peranan dalam
terjadinya KLB.
Buat rekomendasi dan buat saran penanggulangan untuk dilaksanakan
segera mengatasi masalah. Apabila pertanyaan epidemiologi belum bisa
terjawab semuanya lakukan penyelidikan epidemiologi lanjutan agar
penanggulangan dapat dilakukan secara tuntas sehingga dikemudian
hari tidak terjadi KLB.

7. Tindakan Penanggulangan.
Tentukan cara – cara penanggulangan yang paling efektif,
didasarkan atas hasil analisis penyelidikan epidemiologi, Gunakan
informasi yang telah dikumpulkan selama penyelidikan epidemiologi,
untuk tindakan – tindakan penanggulangan.
Setelah selesai tindakan penanggulangan lakukan pengamatan
timbulnya kasus baru ( surveilens ) dan factor – factor yang lain ada
hubungannya dengan penyakit tersebut. Pengamatan dilakukan sampai 2
( dua ) kali masa inkubasi penyakit sejak tidak ditemukan kasus baru
lagi ( kasus 0 ).

8. Laporan lengkap tentang penyelidikan epidemiologitersebut.


Buat laporan lengkap secara tertulis yang berisi tentang :
 Hasil penyelidikan epidemiologi berdasarkan variable
epidemiologi ( 5W 1 H ) dari data kasus, vector, lingkungan
maupun perilaku penduduk yang menggambarkan besar masalah,

27
sumber penularan, cara penularan dan factor – factor yang
mempengaruhi terjadinya KLB.
 Pada laporan ini penting diinformasikan :
 Lama terjadinya KLB yaitu sejak mulai terjadinya sampai
berakhirnya KLB yaitu tidak ditemukan kasus baru
selama 2 kali masa inkubasi penyakit.
 Jumlah seluruh kasus dan kematian yaitu sejak terjadi
sampai berakhirnya KLB dengan angka absulut dan rate (
attack rate, CFR, proporsi dsb ) sesuai variable
epidemiologi.
 Luas wilayah KLB ( meliputi beberapa
dusun/desa/kecamatan dsb )
 Sumber penularan, cara penularan dan factor – factor
yang mempengaruhi terjadinya KLB ( lingkungan dan
perilaku penduduk )
 Tindakan yang telah dilakukan ( kegiatan, sasaran dan
hasil kegiatan )
 Saran agar tidak terjadi KLB di masa mendatang.
 Dll yang dianggap perlu
 Distribusikan hasil laporan kepada pihak – pihak terkait untuk
menindaklanjuti saran – saran agar KLB tidak terjadi lagi.

28
BAB V
PENANGGULANGAN KLB
A. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan KLB penyakit menular
dan keracunan sehingga KLB tidak menjadi masalah kesehatan.
2. Tujuan Khusus.
a. Menurunkan frekwensi KLB
b. Menurunkan jumlah kasus dan kematian dalam suatu KLB
c. Membatasi penyebaran luasnya wilayah KLB

B. KEBIJAKAN DAN STRATEGI


1. Kebijakan
a. Upaya penanggulangan KLB dilaksanakan sejak dini dengan
melaksanakan pemantauan kecenderungan terjadinya KLB melalui
system Kewaspadaan Dini (SKD) KLB.
b. Setiap KLB penyakit menular dan keracunan harus dilaporkan, diselidiki
dan ditanggulangi.
c. Upaya penanggulangan KLB penyakit menular dan keracunan merupakan
bagian dari program penanggulangan penyakit menular yang ditangani
dengan cara – cara spesifik dan terpadu.
d. Upaya penanggulangan KLB penyakit menular dan keracunan merupakan
upaya penanggulangan yang harus direncanakan dan dilaksanakan secara
konsisten, terus menerus oleh semua program dan sector terkait
secara terpadu sampai tidak menjadi masalah kesehatan.

2. Strategi
a. Identifikasi adanya KLB penyakit menular dan keracunan, pemantauan
dan evaluasi berdasar analisis epidemiologi
b. Upaya penanggulangan KLB penyakit menular dan keracunan
dilaksanakan secara terpadu, lintas program dan lintas sector antara
Pemerintah dan masyarakat

C. KEGIATAN POKOK PENANGGULANGAN KLB


1. Menetapkan populasi rentan terhadap KLB penyakit berdasarkan
waktu,tempat pada kelompok masyarakat.

29
Langkah – langkah penetapan populasi rentan KLB berdasarkan surveilens
epidemiologi :
a. Memperkirakan adanya populasi rentan KLB berdasarkan informasi dan
data serta mempelajari gambaran klinis ( gejala, cara penularan, cara
pengobatan dsb ) dan gambaran epidemiologi ( sumber dan cara
penularan, kelompok masyarakat yang sering terserang, jumlah kasus
dan kematian apabila terjadi KLB, factor lingkungan dan budaya
masyarakat yang berpengaruh terhadap timbulnya KLB ). Dari
informasi ini ditetapkan daftar KLB yang pernah terjadi di suatu
wilayah dan prioritas masalahnya. Setiap KLB harus di analisa besar
masalah dari data dan informasi yang berkaitan yaitu melalui
pengumpulan data, pengolahan dan penyajian data serta
interpretasinya.

b. Pengumpulan Data.
Data dikumpulkan dari berbagai sumber informasi yaitu :
 Laporan rutin KLB ( bulanan ) yang memuat jenis KLB, tempat (
dukuh, desa, kecamatan ) luas populasi terserang berdasar ciri
spesifik, lama kejadian, jumlah kasus dan kematian selama KLB
dll.
 Data penyelidikan epidemiologi KLB dan pelacakan kasus yang
memuat informasi tentang pola serangan, karakteristik umur dan
jenis kelamin, ciri – ciri atau budaya masyarakat, sumber
penularan, cara penularan dll.
 Laporan rutin data kesakitan dan kematian dari Puskesmas dan
RS yang teratur, lengkap dan tepat waktu memberikan informasi
trend penyakit.
 Data laboratorium yang memberikan informasi penyebab
penyakit dari specimen yang diperiksa misalnya cholera, malaria,
antrax, difteri dsb.
 Data faktor risiko : cakupan imunisasi, status gizi, lingkungan,
vector, budaya, pendidikan masyarakat dll. Yang dapat
memberikan kerentanan pada populasi masyarakat.
 Data pelayanan kesehatan dan cakupan program.

c. Pengolahan dan penyajian data.


Data yang dikumpulkan harus diolah dan disajikan untuk memudahkan
analisa epidemiologi dalam bentuk tabel, grafik atau peta. Untuk dapat

30
melakukan analisis perlu tersedianya data yang lengkap, pengetahuan
dengan dasar – dasar epidemiologi, pengetahuan tentang penyakit dan
yang mempengaruhinya.

d. Analisa dan interpretasi


Hasil analisa dan interpretasi adalah suatu kesimpulan yang ditarik dari
rangkaian data diskriptif dapat berupa kecenderungan data surveilens,
perbandingan anatara kejadian, kecenderungan dsb.

e. Desiminasi informasi dari hasil analisa kepada pihak – pihak terkait


untuk dimanfaatkan dalam pencegahan dan penanggulangan dalam
bentuk rekomendasi.

2. Melakukan upaya pencegahan melalui perbaikan faktor risiko yang


menyebabkan timbulnya kerentanan dalam suatu populasi.
Upaya pencegahan ditujukan pada :
a. Kuman penyakit dari sumber penularan berada pada kondisi rentan.
b. Memutus mata rantai penyakit.
c. Meningkatkan kerentanan sekelompok masyarakat berdasar ciri
epidemiologi
d. Memperkuat system pelayanan kesehatan.
Keberadaan kondisi lingkungan potensi sebagai sumber penularan penyakit,
perilaku perorangan dan sekelompok masyarakat, serta daya tahan tubuh
dan imunisasi terhadap serangan serta system pelayanan kesehatan
merupakan factor resiko yang harus diperbaiki sebagai upaya pencegahan
KLB. Perbaikan diarahkan untuk memperkecil dampak KLB (luas
penyebaran, jumlah kasus dan kematian dll ) dengan menetapkan upaya –
upaya yang berkelanjutan pada kelompok rentan KLB.

3. Memantapkan Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini ( SKD) KLB


Penyakit
Dengan SKD KLB harus timbul sikap dan tanggap untuk melakukan
tindakan pencegahan dini mengurangi dampak KLB atau bahkan meniadakan
KLB. SKD KLB merupakan indicator kinerja dalam KLB.
Langkah – langkah SKD KLB :
a. Penetapan daerah rawan KLB penyakit menular dan keracunan.
b. Penetapan bulan atau minggu rawan KLB ( peningkatan kasus )
berdasarkan kajian data epidemiologi beberapa tahun sebelumnya.

31
c. Penetapan unsur dasar penyebab terjadinya KLB berdasar hasil kajian
epidemiologi
d. Rencana kegiatan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya KLB dan
kesiapan penanggulangan serta intervensi faktor resiko.
e. Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian kasus yang dinamis (
dengan grafik dan tabel mingguan secara ketat (laporan mingguan
kasus )
f. Pemantauan terhadap kondisi lingkungan, perilaku masyarakat dan
pelayanan kesehatan.
g. Penyelidikan pada daerah rawan KLB atau dugaan terjadinya KLB.
h. Kesiapsiagaan menghadapi KLB, pada saat ancaman peningkatan kasus
dengan :
 Mengingatkan petugas dan masyarakat kemungkinan KLB,
tindakan pencegahan dan penanggulangan yang harus dilakukan.
 Peningkatan aktifitas surveilens.
 Tindakan cepat pada peningkatan kasus yang cenderung KLB
serta pemberian pengobatan untuk mempercepat penyembuhan
sehingga penderita tidak menjadi sumber penularan.

4. Memantapkan keadaan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan


terjadinya KLB.
Perlu direncanakan sedini mungkin, kesiapsiagaan meliputi sumber daya
manusia (tenaga yang terlatih ) system informasi, sarana penunjang (
logistic, obat, peralatan diagnostic dan pengobatan ), sarana transportasi,
dana dan strategi penanggulangan.
Setiap KLB penyakit mempunyai cara penanggulangan yang berbeda dengan
KLB penyakit lainnya. Bahkan seringkali, KLB satu jenis penyakit pada
tempat atau waktu kejadian berbeda mempunyai cara penanggulangan yang
berbeda ( contoh KLB malaria yang ditularkan oleh vector yang berbeda
sehingga harus diketahui dinamika penularan ).

5. Penyelidikan dan penanggulangan pada saat terjadinya KLB.


Penyelidikan Epidemiologi (PE) KLB yaitu kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan adanya penderita penyakit yang dapat menimbulkan KLB,
mengenal sifat – sifat penyebabnya dan faktor – faktor yang
mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasanya. Penyelidikan Epidemiologi
dilakukan bila :

32
1. Hasil pengamatan dari pencatatan kejadian penyakit menular ternyata
memberikan kecurigaan adanya KLB di suatu lokasi.
2. Adanya kasus keracunan ( baik makanan atau pestisida )
3. Adanya laporan kewaspadaan ke Puskesmas yang diterima dari
masyarakat.
Tujuan penyelidikan epidemiologi KLB adalah untuk menentukan jenis
penyakit yang menimbulkan KLB dan cara – cara mencegah meluasnya
daerah dan populasi yang terkena serta cara – cara penanggulangannya.
Penyelidikan epidemiologi diharapkan dapat dilakukan oleh Puskesmas
sedini mungkin agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan sedini
mungkin.

D. RENCANA PENANGGULANGAN KLB


Penanggulangan KLB meliputi pencegahan penyebaran KLB termasuk pemantauan
upaya pencegahan dan penanggulangan yang bertujuan untuk menghentikan atau
mengatasi penyebar luasan penyakit di wilayah yang sedang berjangkit KLB.
Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi disusun rencana penanggulangan
KLB. Rencana tersebut harus memuat unsur – unsur sebagai berikut :
1. Tempat / sasaran
a. Menentukan daerah yang akan ditanggulangi
b. Jumlah penduduk dan penduduk terancam / rumah dicakup penanggulangan
terutama ditujukan pada kelompok penduduk yang terancam ( high risk )
2. Metode Penanggulangan
a. Tergantung pada jenis penyakit yang sedang berjangkit
b. Kegiatan penanggulangan :
 Pengobatan / perawatan penderita
 Penyelidikan Epidemiologi dilapangan (lanjutan )
 Pencegahan penyebaran perluasan penyakit
o Malaria ( MDA, IRS, larvasiding )
o DBD ( fogging, abatisasi )
o Imunisasi
o Isolasi penderita dll
 Pemantauan tindakan pencegahan
 Penyampaian informasi kepada yang berisiko terjadinya KLB akibat
meluasnya KLB
 Penyampaian laporan hasil penanggulangan
c. Tim Penanggulangan KLB

33
Adalah tim fungsional, terdiri dari unsur – unsur atau unit – unit baik
lintas program maupun lintas sektor terkait ( sesuai KLB penyakit ) untuk
menanggulangi KLB.Tim ini selanjutnya disebut Tim Gerak Cepat ( TGC ).

d. Sarana
Menyiapkan :
 Tenaga sesuai kegiatan penanggulangan
 Bahan dan alat ( termasuk transportasi, obat – obatan dan sarana
lainnya )
 Biaya dll
e. Waktu
Menyusun jadwal kegiatan penanggulangan sesegera mungkin agar KLB
tidak cepat meluas.

34
BAB VI
SISTEM KEWASPADAAN DINI

I. PENDAHULUAN
Kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan baik keracunan
makanan maupun keracunan bahan berbahaya termasuk pestisida merupakan
masalah yang masih sering dihadapi di Indonesia. Masalah ini menjadi semakin
serius karena keterlambatan pengambilan tindakan penanggulangannya.
Untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan kejadian luar biasa ( KLB )
tersebut diperlukan upaya untuk mengetahui keadaan yang menjurus akan
terjadinya KLB. Upaya ini perlu disusun dalam suatu tatanan yang memadai
yang disebut Sistem Kewaspadaan Dini ( SKD ).
Agar SKD ini dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna
diperlukan kesamaan pengertian mengenai SKD, keadaan – keadaan yang
berpengaruh terhadap KLB, pembagian tugas yang jelas serta pelaksanaan
kegiatan yang diatur dalam suatu petunjuk pelaksanaan yang jelas bagi setiap
unsur yang terlibat.
Pendekatan yang digunakan dalam perumusan SKD ini adalah pendekatan
epidemiologi, kesisteman dan pendekatan legalitas.
SKD ini bukan merupakan sistem yang baru tetapi merupakan bagian integral
dari sistem yang ada.
Secara epidemiologis KLB penyakit menular dan keracunan menjadi akibat
interaksi ketiga faktor yaitu : host,agent dan lingkungan, dimana agent
terdiri dari kuman penyakit, bahan kimia melalui suatu mata rantai tetentu
atau variabel tertentu menimbulkan efek yang berupa gejala sakit.
Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mencegah efek tersebut
adalah pengamatan serta pengendalian terhadap mata rantai dan variabel
yang memungkinkan timbulnya penyakit, berikut cara intervensinya, sehingga
dapat dihindari atau sekurang – kurangnya dapat dikurangi kerugian yang
timbul.
Untuk pelaksanaan SKD ini mendapat dukungan legalitas berupa UU no. 4
tahun 1984, PP No.40 tahun 1991, Per.Men.Kes. no.560, Per.Men.Kes. no.304
tahun1989, Per.Men.Kes. no.453 tahun 1983.
Sistem kewaspadaan dini saat ini diarahkan untuk tiga kelompok yaitu :
1. SKD KLB Penyakit Menular
2. SKD Keracunan Makanan
3. SKD Keracunan Bahan Berbahaya.

35
Dengan adanya kesamaan pemahaman akan pengertian dan batasan SKD,
fackor – faktor yang berpengaruh, pembagian tugas serta pelaksanaannya di
lapangan diharapkan seluruh petugas di setiap tingkatan administratif mampu
mencegah terjadinya KLB melalui berbagai kegiatan yang terkoordinasi.
SKD ini pada dasarnya digunakan pada tingkat Dati II untuk pengamatan
tingkat Puskesmas. Bagi program – program atau daerah – daerah tertentu
yang dapat mengamati ke tingkat lebih awal lagi ( tingkat desa ) dapat
mengembangkan pengamatan tersebut untuk tingkat desa.

II. TUJUAN
Umum :
Terantisipasinya keadaan yang mempengaruhi terjadinya kesakitan/
kematian atau pencemaran makanan/lingkungan, sehingga dapat dilakukan
tindakan yang cepat dan tepat guna pencegahan KLB
Khusus :
1. Untuk mengetahui tanda – tanda sebagai indikator kewaspadaan dini
tentang kemungkinan akan timbulnya KLB.
2. Untuk mengetahui kualitas kondisi unsure – unsur lingkungan tempat
pengelolaan makanan yang diduga erat kaitannya dengan penyakit yang
ditularkan melalui makanan atau keracunan makanan.
3. Untuk mengetahui jenis dan kadar mikroba atau kontaminan lainnya yang
merupakan penyebab menurunnya kualitas hygiene dan sanitasi makanan
atau bahan makanan
4. Untuk mengetahui jenis dan kadar bahan berbahaya/pestisida yang
merupakan penyebab menurunnya kualitas lingkungan yang membahayakan
kesehatan :

III. BATASAN/PENGERTIAN.
Kejadian Luar Biasa (KLB) : adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu.
Sistem Kewaspadaan Dini ( SKD ) : adalah suatu tatanan pengamatan yang
mendukung sikap tanggap terhadap adanya suatu perubahan dalam
masyarakat atau penyimpangan persyaratan, yang berkaitan dengan
kecenderungan terjadinya kesakitan/kematian atau pencemaran
makanan/lingkungan, sehingga dapat dilakukan tindakan cepat dan tepat untuk
mencegah/mengurangi jatuh korban

36
Indikator adalah : faktor – faktor atau tanda – tanda yang mempengaruhi
terjadinya kesakitan/kematian, yang dipantau terus menerus untuk
mengetahui terjadinya perubahan atau penyimpangan persyaratan.
SKD Penyakit Menular
Kewaspadaan di sini ditunjukan terhadap variabel – variabel yang dapat
dikenal sebelum terjadinya kasus, serta variabel setelah adanya kasus.
Variabel – variabel yang dapat dipakai sebagai tanda dini dalam SKD ini dapat
berupa variabel umum seperti status gizi, sanitasi lingkungan yang jelek,
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, musim dan penyebab penyakit.
Selain itu ada beberapa variabel khusus untuk setiap jenis penyakit yang
perlu diwaspadai berdasarkan sifat epidemiologinya.

SKD SKD Penanggulangan

Penyakit Endemis Kasus KLB

SKD Keracunan Makanan


Pada SKD keracunan makanan variabel yang diwaspadai dibagi dalam beberapa
simpul pengamatan sebagai berikut :
a. Pengamatan makanan :
Meliputi jenis, asal makanan dan cara pengangkutan serta penyimpanannya.
b. Pengamatan lingkungan
Meliputi tempat, lingkungan, alat, methode, orang dan angka kontaminasi
c. Pengamatan manusia :
Terhadap manusia yang terpapar meliputi kelompok resiko tinggi dan
kelompok yang mengkosumsi
d. Pengamatan kasus :
Bila sudah ada gejala pada masyarakat tapi belum ada KLB.

SKD SKD Penang


gulangan

Keracunan & Peny Determinan Kasus KLB


Yg kasusnya jarang

37
SKD Keracunan Bahan Berbahaya
Variabel yang perlu diwaspadai untuk Bahan Berbahaya meliputi :
a. Komoditas yang menyebabkan keracunan.
Yang mencakup komoditas sebagai limbah, media obat, obat tradisional
kosmetik dan alat kesehatan.
b. Pengolahan bahan berbahaya.
Yang meliputi tahap import bahan baku, produksi, penegmasan, penandaan,
penyimpanan, transportasi, distribusi, penggunaannya

SKD SKD SKD

Bahan berbahaya Produksi Handling Pemakaian

IV. RUANG LINGKUP SKD.


A. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD31 ).

INDIKATOR SUMBER INFORMASI


1. Cakupan imunisasi Polio/Campak - Buku merah
di Puskesmas < 80 % buku kuning
- hasil imunisasi
- PWS imunisasi

2. Cakupan rata – rata tingkat Puskesmas - buku merah


≥ 80 % tapi masih ada desa buku kuning
dengan cakupan < 80 % - hasil imunisasi
- PWS imunisasi

3. Suhu lemari es diluar 2-80 C - Pencatatan suhu


Melebihi ……………hari/bulan Lemari ES

4. Peningkatan kasus/kematian - Sensus harian


Puskesmas
Campak dan atau pertusis - Laporan mingguan (w2)

38
- LB1, LB2
- Laporan Masyarakat
- Laporan RS
5. Ada kematian bayi berusia < 1 bln - Laporan masyarakat
( Form T1 )

TINDAK LANJUT
1. Meningkatkan cakupan imunisasi kerjasama Lintas Program & Lintas
Sektoral.
2. Kelainan cold chain/kerusakan lemari es :
- Perbaiki lemari es – kalau perlu konsultasi
- Peningkatan pemeliharaan lemari es, thermos dll
3. Ada laporan kematian bayi berusia < 1 bulan-----kemungkinan Tetanus
Neonatorium
- investigasi ke lapangan
- tindak lanjut faktor risiko
4. Peningkatan kasus/kematian campak/pertusis-------> pencarian kasus
secara aktif ke lapangan.
5. Supervisi dan bimbingan teknis

B. PENYAKIT MALARIA
INDIKATOR SUMBER INFORMASI
1. Jumlah penderita malaria klinis - Sensus harian
≥ 2 % jumlah penduduk/desa/bulan penyakit
Diluar jawa Bali di puskesmas
- SP2TP

2. Adanya kasus malaria positif - Register PCD/ACD


( Luar Jawa Bali )
- Malariomatrik survey
( Jawa Bali )
3. Parasite formula - Register PCD/ACD
( %Pf > 50 % ) ( Luar Jawa Bali )
- Malariomatrik survey
( Jawa Bali )
4. Adanya penderita malaria - Laporan RS
Yang dirawat di rumah sakit ( RL2a,RL2b)
5. Adanya kematian penderita - Laporan RS ( RL2a )

39
tersangka malaria - Laporan Puskesmas (LB2)
6. Adanya penderita indigenous - Formulir penyelidikan
Malaria epidemiologi ( S11 )
7. Kepadatan Vektor melebihi - Survei entomologis
kepadatan kritis
( misal : An.aconitus MHD ≥ 20 )
8. Adanya kasus import didaerah - Register ACD/PCD
9. Adanya perubahan musim - Pemantauan setempat
- musim kemarau didaerah pantai - laporan meteorology
- memperkirakan musim dengan - laporan penderita
melihat sifat – sifat vector
10. Pembabatan hutan bakau - pengamatan setempat

TINDAK LANJUT
1. Intensifikasi kegiatan program didaerah tersebut, meliputi :
- Pencarian dan pengobatan penderita malaria
- Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
- Pengamatan entomologi
- Pemberantasan vector
2. Kerjasama lintas sector
Mis : - Pola tanam masyarakat:mis pembersihan lumut
- Penanaman & pemeliharaan hutan bakau
- Pembuatan & perawatan tambak sesuai persyaratan
Teknis Departemen Pertanian
- Penyediaan kelambu didaerah transmigrasi

C. PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE ( DBD )

INDIKATOR SUMBER INFORMASI


1. HI > 5 % - catatan pemeriksaan
Jentik berkala (PJB )
2. Adanya 2 kasus atau lebih - laporan rumah sakit
Pada daerah /Puskesmas dengan
HI > 1 % perawatan
- catatan PJB
- sensus harian
3. Adanya kematian penderita - laporan RS ( RL.2a )
tersangka pend DBD - laporan Pusk ( LB2b)

40
- laporan W2.
4. Adanya complex perumahan - hasil pemantauan
baru inspeksi sanitasi
5. Adanya secular trend - pemantauan kasus
(mis:siklus 5 tahun ) tahunan.
6. Adanya perubahan musim - pemantauan setempat
- laporan meterologi
- laporan diperta
TINDAK LANJUT
1. Apabila tanpa kasus :
- PSM/PSN
- PJB
- abatisasi selektif
2. Apabila ada kasus
- Penyelidikan epidemiologi
- fogging
- PSM/PSN
- PJB
- Abatisasi selektif
- Pemantauan Logistik
- Persiapan logistic
- Pemantauan kepadatan jentik

D. RABIES

INDIKATOR SUMBER INFORMASI


1. Adanya penderita gigitan - SP2TP
hewan penular Rabies - SPRS
- laporan masyarakat
- SP
2. Adanya seekor Anjing - laporan masyarakat
menggigit > 1 orang
3. Cakupan vaksinasi anjing - laporan vaksinasi anjing
Di daerah tertular Rabies < 70 % dari Diperta
4. Cakupan eliminasi anjing - laporan diperta
di daerah tertular Rabies < 20 %
5. Adanya specimen positif - laporan laboratorium
pada hewan Rabies

41
TINDAK LANJUT
1. Penyuluhan : - vaksinasi anjing
- pemeliharaan anjing sesuai ketentuan
- cara penanganan luka gigitan hewan pada Rabies
2. Menyampaikan informasi ke peternakan untuk menangkap anjing
tersangka observasi
3. Kerjasama lintas sektor
- meningkatkan cakupan vaksinasi anjing
- meningkatkan cakupan eliminasi anjing

E. PENYAKIT DIARE

INDIKATOR SUMBER INFORMASI


1. Keadaan sebelum peningkatan
Kasus/endemis
a. Sanitasi lingkungan - inspeksi sanitasi
- cakupan jamban sehat < 80 % - pencatatan kader
- cakupan air bersih - SP2TP
Jml pend yg pakai air bersih - laboratorium
Jml penduduk
- tingkatan resiko pencemaran SAB
Jml SAB Cemar > 60 %
Jml SAB
- kualitas tidak sesuai standar
b. Perilaku
- Pemanfaatan jamban - inspeksi sanitasi
- pencatatan kader
- SP2TP
Jml jamban sehat dipakai < 80 %
Jumlah KK
- Status Gizi = N < 80 %
D
N = jumlah anak yang berat badannya naik
D = Jumlah anak yang ditimbang.
C. Agent : - Laboratorium
- Ada vibrio cholera pada pemeriksaan

42
Specimen tinja.
d. Perubahan musim - Meteorologi
- Kemarau --------- > Hujan - Mass Media
- Hujan ------------ > Kemarau
- Kemarau panjang
e. Bencana/ banjir - mass media

2. Setelah ada peningkatan kasus :


a. Jumlah kasus ( waktu, tempat, orang) - laporan kader
- SP2TP/SPRS
- Lap.mingguan(W2)
b. Penggunaan oralit dan Ringer Lactat - SP2TP
c. Cakupan imunisasi campak < 80 % - SP2TP

TINDAK LANJUT
a. Keadaan sebelum peningkatan kasus/endemis
- penyuluhan kesehatan
- kerjasama lintas sector dan lintas program
- Logistik ( oralit, Ringer Lactat, Kaporit )
b. Pada keadaan peningkatan kasus
- menentukan penderita diare dengan penatalaksanaan standar
- Rectal swab
- penyuluhan kesehatan
- penyelidikan lapangan

F. KERACUNAN MAKANAN
INDIKATOR SUMBER INFORMASI
1. Proporsi TPM yg tidak laik sehat > 30% - uji laik penyehatan
Makanan
- laporan pengawas TPM
2. Hasil pemeriksaan sampel - lap. Hasil pemeriksaan lab
Makanan/specimen secara laboratorsi
yang positif tercemar.
3. Penjamahan makanan yang tidak memiliki - lap. pendataa penjamah
sertifikat kursus penyehatan makanan makanan, kursus
dan atau yg tidak mempunyai sertifikat penjamah dan pengusaha
kesehatan > 30 % TPM.
- Lap. Pengawas TPM.

43
4. Adanya kelompok orang yang - hasil pemantauan
mengkomsumsi makanan yg disediakan setempat.
oleh usaha jasa makanan yang - forom komuniksi
tidak memenuhi syarat lintas sector
5. Beredarnya makanan yang secara - hasil pemantauan
alamiah beracun atau yang ber- setempat
dasarkan riwayatnya sering - laporan kader, bidan
menimbulkan keracunan desa, pamong desa
6. Adanya kasus tersangka - mass media, laporan
keracunan makanan kader, pamong desa

TINDAK LANJUT
1. Penyuluhan pada para pengelola TPM yang mempunyai resiko tinggi
dalam menimbulkan keracunan makanan ( diarahkan untuk mangacu pada
Permenkes 712/86 dan Permenkes 304/89 dan peraturan – peraturan
lainnya.
2. Menerbitkan perintah perbaikan sanitasi TPM ( order slip )
3. Memberikan teguran/peringatan tertulis
4. Memberikan sangsi berupa : pencabutan sertifikat laik kesehatan atau
pencabutan ijin.
5. Kerjasama lintas program/lintas sektor
6. Penyuluhan kesehatan
7. Penyuluhan/kursus penjamah makanan
8. Pemeriksaan sanitasi makanan
9. Mengamankan makanan/bahan makanan yang beracun ( kemungkinan
beracun )
10. Konfirmasi informasi kasus, penyelidikan epidemiologi, penyuluhan
kesehatan

G. KERACUNAN BAHAN BERBAHAYA ( PESTISIDA )

INDIKATOR SUMBER INFORMASI


- Jenis pestisida yang beredar - SP2TP (Lt) ditambah rekap
Di masyarakat. Lt ditingkat II

- Adanya tempat pengelolaan - laporan program/upaya


Pestisida (TP2) yang tidak memenuhi pengamanan pestisida tiap

44
Syarat tekis pengelola pestisida triwulan
- Catatan pemeriksaan tempat
pengelola pestisida

- tingkat residu pestisida pada media - pencatatan/pelaporan hasil


Lingkungan (ambient ) seperti pada Pemeriksaan aktifitas enzyme
Tanah, udara, tumbuhan – tumbuhan, Cholinesterase
Hewan yang melebihi ambang batas
Sehingga menurunkan abku mutu

- perilaku
- Aktifitas menurun base - laporan BLK/Lab mengenai
- penggunaan alat pelindung Konfirmasi pemeriksaan
- penanganan dan penggunaan yg salah Pestisida
- pemantau setempat
- timbulnya gejala – gejala keracunan dini
- HB < 10 gr %
- aktivitas enzim cholinesterase darah
Di bawah normal ( 75 % )

- Frekuensi & intensitas pestisida yang


Digunakan masyarakat
(F= sehari > 5 jam;seminggu > 5 Jam hari
I= menggunakan pestisida tebatas

TINDAK LANJUT
a. Penyuluhan dan pembinaan kepada penanggung jawab teknis/pemimpin TP2
yang tidak memenuhi syarat teknis pengelolaan pestisida
b. Penyuluhan tentang pencegahan & penanggulangan dampak negative
pestisida pada masyarakat.
c. Pemeriksaan medis/lab terutama Hb & Cholinesterase bagi masyarakat
beresiko tinggi terhadap pengguna pestisida.
d. Dianjurkan tidak kontak dengan pestisida dalam periode waktu tertentu
serta peningkatan gizi bagi anggota masyarakat dengan tingkat
cholinesterase di bawah 75 %
e. Pemeriksaan medis sebagai terapi lanjut bagi masyarakat dengan kadar
cholinesterase dibawah 25 % ( keracunan berat ).

45
V. PENATALAKSANAAN SKD
Rangkaian kegiatan pengamatan dan tidak lanjut di suatu wilayah di
koordinasikan oleh kepala unit kesehatan setempat.
Untuk melaksanakan SKD perlu dikembangkan mekanisme kerja yang
melibatkan lintas sektor sesuai dengan fungsi & tugasnya masing – masing.
Berdasarkan peraturan dan perundang – undangan yang ada maka semua
sektor yang terkait di setiap jajaran harus mempunyai komitmen terhadap
semua indicator yang ada di bawah sektor masing – masing
1. Tingkat Puskesmas
a. Melaksanakan kegiatan SKD dengan koordinasi Kepala Puskesmas
b. Petugas yang terlibat SKD.
- Petugas imunisasi, surveilens
c. Pada mini lokakarya Kepala Puskesmas menganalisa hasil kegiatan
imunisasi dan hasil pemantauan
2. Tingkat Kabupaten/kodya
a. kegiatan SKD di tingkat II di bawah koordinasi Ka.Din.Kes Dati II
b. Kasi P2M mengadakan rapat koordinasi bulanan untuk membahas
tentang hasil kegiatan P2M termasuk imunisasi dan pemantauan PD3I
3. Tingkat Propinsi
a. Merencanakan pelaksanaan kegiatan SKD di tingkat Propinsi di bawah
koordinasi Kepala Dinas Kesehatan.
b. Sektor – sektor terlibat menyiapkan bantuan tehnis dan operasional
yang diperlukan di tingkat propensi
c. Laporan Kepala Dinas Kesehatan disampaikan kepada Menteri
Kesehatan
4. Tingkat Pusat
a. Merencanakan pelaksanaan kegiatan SKD di tingkat Propinsi
dikoordinasikan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
b. Sektor – sektor terlibat menyiapkan bantuan tehnis dan operasional
yang diperlukan di tingkat Propinsi
c. Mengembangkan IPTEK

VI. PEMANTAUAN DAN PENILAIAN PELAKSANAAN SKD


Sistem Kewaspadaan Dini merupakan kegiatan pemantauan yang
dilaksanakan oleh setiap program dengan menggunakan variabel – variabel
pemantauan yang ada pada program tersebut. Untuk mencapai hasil guna
yang optimal perlu dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan

46
SKD ini, selanjutnya secara teratur perlu dilakukan evaluasi terhadap
hasil yang dicapai dari pelaksanaan SKD tersebut.
Sebagai sauatu kegiatan pemantauan yang ditujukan terutama pada
tindak lanjut yang perlu dilakukan, maka SKD ini sangat penting
dilaksanakan di tingkat desa, Puskesmas dan Kabupaten. Karena itu
monitoring terhadap pelaksanaan SKD terutama di tingkat tersebut
diatas.
Monitoring atau pemantauan terhadap pelaksanaan SKD ini merupakan
bagian dari monitoring kegiatan pengamatan penyakit. Oleh karena itu
pelaksanaan SKD ini merupakan bagian dari Laporan Kegiatan atau
Surveilans., serta akan dipantau melalui Surveilance Supervision Check
List ( Daftar isian bimbingan tehnis surveilans).

VII PENUTUP
Perlu disadari bahwa keberhasilan SKD ini ditentukan oleh kesepakatan
setiap unsure yang terkait, kesadaran yang tinggi akan kerugian yang
diakibatkan oleh terjadinya KLB baik secara ekonomi maupun
kesejahteraan manusia. Sehingga setiap unsur yang terkait dalam
melaksanakan kegiatannya selalu mempertimbangkan kewaspadaan
terhadap faktor – faktor penentu terjadinya KLB serta upaya untuk
memperkecil risiko.

47
BAB VII
PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
KERACUNAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN.
Salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di Indonesia adalah
penyakit yang disebabkan oleh makanan. Makanan merupakan jalur utama
penyebaran pathogen dan toksin yang diproduksi oleh mikroba pathogen. Makanan
juga dapat menimbulkan masalah serius jika mengadung racun akibat cemaran kimia,
bahan berbahaya maupun racun alami yang terkandung dalam pangan, yang sebagian
di antaranya menimbulkan KLB keracunan makanan
Sampai saat sekarang, data epidemiologi KLB karena makanan belum
sepenuhnya dapat diungkapkan penyebabnya ( etiologi ) dan bahan penyelidikan KLB
keracunan makanan lebih banyak diarahkan untuk menghitung jumlah kasus
keracunan dan belum diarahkan sebagai penunjang penting penanggulangan KLB yang
capat, tepat dan benar serta dokumen epidemiologi yang dapat digunakan untuk SKD
dan respon KLB keracunan makanan serta perencanaan penanggulangan KLB dimasa
yang akan dating.

II. PENYEBARAN
Selama tahun 1997 – 2001 terdapat XX kali laporan KLB keracunan makanan
dengan XXX penderita, tahun 2002 terdapat 57 kali laporan KLB keracunan
makanan dengan XXX pangan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat,
terutama di perkotaan dan daerah – daerah pemukiman perindustrian.

III. GAMBARAN KLINIS


Gejala dan tanda – tanda klinik keracunan makanan sangat bergatung pada
jenis etiologinya, tetapi secara umum gejala keracunan makanan dapat digolongkan
kedalam 6 kelompok :
1. Gejala utama yang terjadi pertama – tama pada saluran gastrointestinal atas (
mual, muntah ).
2. Gejala sakit tenggorokan dan pernafasan.
3. Gejala utama terjadi pada saluran gastrointestinal bawah ( kejang perut, diare )
4. Gejala neurologic ( gangguan penglihatan, perasaan melayang, paralysis )
5. Gejala infeksi umum ( demam, menggigil, rasa tidak enak, letih, pembengkakan
kelenjar limfe ).
6. Gejala alergik ( wajah memerah, gatal – gatal ).

48
IV. ETIOLOGI
Secara umum etiologi keracunan makanan disebabkan oleh bahan kimia
beracun ( tanaman, hewan, metabolit mikroba ) kontaminasi kimia, mikroba
pathogen, non bakteri ( parasit, ganggang, jamur, virus, spongiform
encephalopathies )( betty, penyakit – penyakit akibat makanan, dalam surveilens
keamanan makanan )

V. PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB KERACUAN MAKANAN.


KLB keracunan makanan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang
atau lebih yang menderita sakit dengan gejala – gejala yang sama atau hamper sama
setelah menkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisa epidemiologi terbukti
makanan tersebut sebagai sumber keracunan.
Penyelidikan KLB keracunan makanan dapat dilakukan dengan studi
epidemiologi deskriptif dan studi epidemiologi analitik. Studi epidemiologi analitik
dapat dibagi menjadi studi observasional kohor dan case control serta studi
epidemiologi eksperimen. Sebagian besar pelaksanaan Penyelidikan KLB
menggunakan studi deskriptif, tetapi untuk mengetahui sumber penyebaran yang
lebih tepat biasanya biasanya menggunakan desain analis Epidemiologi analitik, yaitu
membanding – bandingkan kelompok yang mendapat kelompok yang mendapat racun
dan kelompok yang tidak mendapt racun, serta kelompok yang sakit dengan
kelompok yang tidak sakit. Semakin teliti pelaksanaan penyelidikan KLB, maka akan
semakin banyak membutuhkan waktu dan tenaga, sementara KLB keracunan makanan
membutuhkan hasil penyelidikan yang cepat untuk pengobatan korban dan mencegah
jatuhnya korban keracunan berikutnya.
Secara operasionl lapangan dan berdasarkan tujuannya, penyelidikan KLB
keracunan makanan dibagi :
1. Teknik penetapan Etiologi KLB keracunan makanan
2. Identitas Sumber keracuan
3. Formulir Penyelidikan KLB keracunan makanan.

Ad.1 Teknik penetapan Etiologi keracunan makanan.


Penetapan etiologi keracunan makanan dapat dilakukan berdasarkan 4 langkah
kegiatan yaitu :
a. Wawancara dan pemeriksaan fisik terhadap kasus – kasus yang dicurigai
b. Diatribusi gejala – gejala kasus – kasus yang dicurigai.
c. Gambaran epidemiologi
d. Pemeriksaan pendukung, termasuk laboratorium

49
E. PENARIKAN KESIMPULAN
Ad.1.a. Wawancara dan pemeriksaan kasus – kasus yang dicurigai
Pada saat berada dilapangan, dilakukan wawancara dan pemeriksaan pada
penderita yang berobat ke unit pelayanan. Dari hasil pemeriksaan ini dapat
diperkirakan gejala dan tanda penyakit yang paling menonjol diantara penderita
yang brobat dan kmudian dapat ditetapkan diagnosis banding awal.

Ad.1.b Distribusi Gejala Pada Kasus- Kasus Yang Dicurigai.


Wawancara kemudian dapat dilakukan pada kasus – kasus yang lebih luas
dan sistematis semua gejala yang diharapkan muncul pada penyakit keracunan yang
termasuk dalam diagnosis banding. Misalnya pada KLB keracunan makanan dengan
gejala utama diare dan muntah serta beberapa gejala lain yang sering muncul pada
beberapa kasus, maka dapat ditetapkan diagnosis banding : KLB keracunan makanan
karena kuman Vibrio Parahemolitikus, Clostridium pefringens, Baksiler disentri.
Vibrio hemolitikus menunjang gejala nyeri perut , mual, muntah, diare,
menggigil, sakit kepala dan kadang – kadang badan panas. Clostidium perfringens
menunjukkan gejala mual, muntah, nyeri perut, diare, badan letih/lemas. Shigella
dysentriae menunjukan gejala diare hebat berlendir dan berdarah, nyeri perut,
panas badan dan sakit kepala.
Dari seluruh gejala tersebut diatas disusun sebuah daftar pertanyaan.
Wawancara dengan daftar pertanyaan ini dilakukan terhadap kasus – kasus yang
dicurigai ( difinisi kasus ), dan kemudian dipindahkan dalam tabel Distribusi Gejala
(tabel XX ) sebagai berikut :

Tabel : Distribusi Gejala KLB Keracunan Makanan


( wawancara terhadap 25 kasus )
No. Gejala dan tanda Jumlah kasus %
1. Diare 25 100
2. Diare berlendir 2 8
3. Diare berdarah 1 4
4. Muntah 20 80
5. Nyeri perut 10 40
6. Mual 20 80
7. Menggigil 2 8
8. Sakit Kepala 2 8
9. Panas badan 3 12

50
Pada tabel dapat dipelajari etiologi yang apling mungkin dari tiga jenis
penyakit yang ditetapkan sebagai diagnosis banding dan etiologi yang apaling tidak
mungkin dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB. Pada tabel tersebut, gejala diare
berlendir dan berdarah sangat sedikit dan oleh karena itu etiologi Shigella
dysentriae adalah tidak mungkin sebagai etiologi KLB. Sedang Vibrio
parahemolitikus dan Clostridium perfringens belum dapat disingkirkan. Pada KLB ini
kasus diare Shigella dysentriae tetap ada dalam jumlah normal.

Ad.1.c. Gambaran Epidemiologi


Gambaran Epidemiologi menurut cirri waktu, tempat dan orang dapat
digunakan untuk menentukan etiologi KLB keracunan makanan

Periode KLB keracunan makanan


Periode KLB dihitung sejak kasus keracunan pertama sampai terakhir yang
ditemukan saat tim penyelidikan berada dilapangan.
Pada KLB point source common source, penyakin dengan selisih masa
inkubasi terpendek – terpanjang lebih pendek dari periode KLB, dapat disingkirkan
sebagai etiologi KLB

Tabel : Diagnosis Banding KLB Keracunan Makanan


Nama Masa Inkubasi ( jam ) Periode Disingkirkan
Penyakit B.Ter Ter selisih KLB sebagai Etiologi
No
pendek panjang
1. C.perfringens
8 22 14 Disingkirkan
22
2. V,Parahae-
moli ticus 2 48 46 Belum di-singkirkan

Masa Inkubasi Terpendek dan Terpanjang KLB Keracunan Makanan


Sering kali pada saat penyelidikan sumber keracunan makanan beracun
sudah dapat didentifikasi waktu pemaparan ( waktu paparan ), misalnya waktu pesta,
waktu pemberian makanan tambahan di sekolah dan sebagainya. Waktu antara saat
makan – makanan yang dicurigai ( waktu paparan ) sampai kasus KLB keracunan
makanan pertama ( KLB mulai ) merupakan masa inkubasi terpendek KLB. Periode itu
juga merupakan masa inkubasi terpendek dari penyakit penyebab timbulnya KLB
keracunan makanan. Sementara waktu antara saat makan makanan yang dicurigai (
waktu paparan ) sampai kasus KLB keracuanan makanan berakhir ( KLB berakhir,

51
atau terakir pada saat dilapangan ) merupakan masa inkubasi terpanjang KLB.
Periode ini juga merupakan masa inkubasi terpanjang dari penyakit penyebab
timbulnya KLB keracunan makanan.
Rumus :
Penyakit dengan masa inkubasi terpendek lebih panjang dari masa inkubasi
terpendek KLB, dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB.
Penyakit dengan masa inkubasi terpanjang lebih pendek dari masa inkubasi
terpanjang KLB, dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB.

Tabel : KLB Keracunan Makanan

No Nama Penyakit Masa inkubasi Masa inkubasi Penyakit


terpendek terpendek KLB disngkirkan

1 V,Parahaemoli - ticus 2 jam Belum


3 jam
2 C. perfringens 8 jam Disingkirkan

3 Shigella dysentriae 12 jam Disingkirkan

Gambaran Epidemiologi Menurut Ciri Tempat dan Orang


Semua daerah mempunyai pengalaman epidmiologi yang berbeda dengan
daerah lain. Data epidemiologi ini diketahui berdasarkan survailans KLB keracunan
makanan didaerah tersebut. Misalanya KLB keracunan makanan karena racun
malation ( insektisida ), akan banyak terjadi di daerah dengan penanggulangan
malaria atau demam berdarah, sedang pada daerah lain akan sangat kecil
kemungkinan terjadi KLB keracunan makanan akibat malation.
Golongan umur juga seringkali dapat digunakan untuk identifikasi etiologi KLB
keracunan makanan , misalnya KLB keracunan makanan karena virus hepatitis A
sering terjadi pada anak – anak SD dan SLTP, karena virus ini dapat bertahan hidup
lama dalam minuman dingin (es), padahal minuman dingin sangat disukai anak sekolah.
Gambaran epidemiologi menurut cirri pekerjaan kebiasaan makan dan minum,
serta ciri epidemiologi lain, dapat digunakan sebagai cara untuk identifikasi
etimologi KLB keracunan makanan

Ad.1.d Pemeriksaan Pendukung


Pemeriksaan specimen tinja, air kencing, darah atau jaringan tubuh yang
lain, serta pemeriksaan muntahan dapat digunakan sebagai cara identifikasi
etimologi KLB keracunan makanan.

52
Pada saat terjadinya KLB keracunan makanan, secara otomatis, petugas
lapangan akan mengambil darah, feses dan air kencing penderita, termasuk
muntahan dan kemudian mengirimkanya ke laboratorium dengan catatan “ specimen
KLB keracunan makanan “.
Secara sistematis, seharusnya spesimen yang diambil dan diperiksa
laboratorium adalah digunakan untuk memperkuat pemeriksaan etiologi yang telah
ditetapkan dalam diagnose banding. Misalnya , KLB keracunan makanan tersebut
diatas dengan diagnosis banding. Vibrio parahaemoliticus, Clostridium perfringens,
dan Shigella dysentriae, maka sebaiknya pemeriksaan laboratorium diarahkan oleh
investigator untuk di identifikasi kemungkinan ketiga penyebab tersebut sebagai
penyebab, termasuk prosedur pengambilan sampel dan pengamanan dalam
penyimpanan dan pengiriman specimen.

Ad,1.e Penarikan Kesimpulan Penetapan Etimologi KLB Keacunan Makanan


Dengan memperhatikan berbagai cara dalam menetapkan etiologi KLB
keracunan makanan tersebut diatas, maka kesimpulan etimologi harus didasarkan
pada semua analisis tersebut diatas. Semakin lengkap data tersebut diatas yang
dapat ditemukan oleh para investigator, maka semakin tepat etiologi yang
ditetapkannya.
Seringkali etiologi spesifik tidak dapat didentifikasi dengan tepat, tetapi
bagaimanapun juga diagnosis banding etiologi merupakan hasl kerja maksimal yang
cukup baik.

2. Identifikasi Sumber Keracunan.


Secara toritis kasus keracunan terdistribusi antara masa inkubasi terpendek
dan masa inkubasi terpanjang, dengan jumlah terbanyak pada masa inkubasi rata –
rata atau median.
Beberapa teknik untuk identifikasi sumber keracunan :
a. Memanfaatkan diagnosis dan masa inkubasi kasus – kasus KLB
b. Analisis epidemiologi deskriptif.
c. Pemeriksaan penunjang
d. Analisis epidemiologi analitik
e. Hubungan khusus antara kasus dan sumber keracunan

Ad.2.a Diagnosis dan masa inkubasi kasus – kasus KLB


Apabila waktu terpaparkan belum jelas, tetapi diagnosis KLB sudah
diperoleh, sehingga sudah dapat diketahui masa inkubasi terpendek dan terpanjang
penyakit etimologi KLB

53
Rumus :
Periode Paparan KLB adalah periode waktu sebelum kasus pertama (A)
dikurangi masa inkubasi terpendek penyakit(A1) sampai dengan kasus terakhir KLB
(B) dikurangi masa inkubasi terpanjang penyakit (B1).
Ad.2.b Analisis Epidemiologi Deskriptif
Gambaran epidemiologi KLB deskriptif dapat ditampilkan menurut
karaktristik tempat dan orang dan akan lebih banyak ditampilkan dengan
menggunakan bentuk tabel dan peta

Tabel distribusi kasus


Tabel XXX
KLB keracunan makanan menurut umur

Gol.Umur Populasi kasus Meninggal Attack CFR


(tahun) Rentan Rate % %
< 15 50 5 0 10 0
15 – 24 2500 600 0 24 0
25 – 44 1000 50 0 5 0
45 + 100 5 0 5 0
total 3650 660 0 18 0

Sebelumnya perlu ditetapkan mulai dan berakhirnya KLB, sehingga kasus – kasus diluar periode KLB
dapat disingkirkan
Tabel XXX
KLB keracunan makanan menurut jenis kelamin

Jenis Reputasi Kasus Meninggal Attack Rate CFR ( % )


kelamin Rentan (%)
Pria 1150 220 0 19.1 0
Wanita 2500 440 0 17.2 0
Total 3650 660 0 18.4 0
Identifikasi kelompok rentan ( attack Rate ) dimanfaatkan untuk menuntun
kepada sumber keracunan dengan mengajukan pertanyaan :
 “ Adakah suatu kondisi yang menyebabkan kelompok tertentu lebih rentan
dibandingkan kelompok lain “.
 “ Adakah keadaan yang dicurigai tersebut berhubungan dengan sumber
keracunan ? “

54
Secara umum, langkah pertama identifikasi sumber keracunan dengan
memanfaatkan rate adalah menetapkan specific attack rate dan specific case
fatality rate menurut umur dan jenis kelamin, tetapi dengan memperhatikan
berbagai keadaan lingkungan yang berhubungan dengan kejadian KLB dapat juga
mencurigai karaktristik lain yang berhubungan dengan sumber keracunan.
Identifikasi sumber keracunan berdasarkan karaktristik pada langkah
pertama, seringkali tidak langsung menemukan sumber keracunan tetapi menemukan
karaktristik lain yang dicurigai berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (
hipotesis ). Kemudian hasil analisis pada identifikasi karaktristik terakhir ini dapat
juga menghasilkan karaktristik baru yang dicurigai berhubungan dengan sumber
keracunan yang dicari (hipotesis) demikian seterusnya
Seorang penyelidik, setelah mencermati berbagai kondisi yang berhubungan
dengan sumber keracunan, dapat saja sekaligus memperkirakan beberapa
karaktristik yang dicurigai berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (
beberapa hipotesis ).
Dengan mencermati pola distribusi kasus dapat mengarahkan pada lokasi
sumber penyebaran KLB. Daerah dengan jumlah kasus sedikit juga penting untuk
menelusuri mengapa kasus – kasus ini juga mendapat bahan beracun.

Ad.2.c Pemeriksaan penunjang


Berdasarkan gambaran epidemiologi menurut karaktristik waktu, tempat
dan orang, penyelidik biasanya sudah dapat mengidentifikasi dengan sumber
keracunan. Dugaan seperti ini masih dalam batasan hipotesis sumber keracunan yang
harus dibuktikan kebenarannya dengan pemeriksaan laboratorium.
Hipotesis sumber keracunan terbukti benar jika racun yang ditemukan
pada makanan ( sumber keracunan yang dicurigai ) adalah sama dengan racun yang
didiagnosis sebagai penyebab KLB.

Ad.2.d Analisis Epidemiologi Analitik


Untuk mengetahui jenis makanan yang mengandung bahan beracun,
menggunakan desain studi analitik yang membandingkan antara yang makan makanan
tertentu dengan yang tidak makan makanan tersbut.
Tetapi 2 teknik desain studi analitik , yaitu “kohort” dan studi “ Case
control “ tetapi pada pembahasan ini hanya akan dibahas disain studi “kohort” saja.
Pembahasan nilai – nilai statistik studi ini juga tidak dibahas.

55
Attack rate diantara yang makan makanan
Tertentu.
Risiko Relatif =
Attack rate diantara yang tidak makan
makanan tertentu tersebut

Misalnya RR (gado-gado) = 10(2.18) pada 0.5 %, artinya orang – orang yang


makan gado – gado mempunyai risiko jatuh sakit sebesar 10 kali dibandingkan risiko
dari orang – orang yang tidak makan gado – gado, risiko paling rendah adalah 2 kali
dan paling tinggi adalah 18 kali pada tingkat kepercayaan 5 %.
Tabel XXX
KLB Keracunan Pangan……………………………..
Studi Kohort ( 300 karyawan, 120 kasus )

Makanan Makanan Tidak Makan RR α 5 %*)


Pop B.Kasus AR/100 POP AR/100
Nasi 280 113 40 20 7 35 1.1 (0.6-2.1)
Semur 270 110 40.7 30 10 33.3 1.2(0.7-2.0)
daging
Tempe 220 100 45.4 80 20 25 1.2(1.0-2.4)
Karedok 130 115 95.8 170 5 3 16.4(6.9-39.4)
Air minum 250 100 40 50 20 40 1.0(0.7-1.5)
Kerupuk 22 22 100 178 98 55 1.4(1.0-2.0)
Telur 50 47 94 250 73 29.2 2.1(1.6-2.9)
Goreng

Berdasarkan analisis risiko relative untuk setiap jenis makanan, maka dapat
disimpulkan bahwa nasi, semur daging, tempe, dan air tidak menunjukan perbedaan
risiko yang besar antara yang makan dan yang yang tidak makan. Kerupuk dan telor
goring mempunyai perbedaan risiko sedang. Sedang makan karedok mempunyai risiko
yang ssangat besar dibandingkan yang tidak makan karedok.
Kesimpulan ini sebaiknya diuji dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu
ditemukan racun pada karedok yang sama dengan racun yang terdapat pada
karyawan sakit. Bagaimanapun juga teridentifikasinya karedok sebagai sumber
keracunan sudah merupakan informasi yang sangat berharga untuk menelusuri lebih
jauh lagi penyebab karedok terdapat racun, disamping itu, dengan menyingkirkan
karedok dri makanan yang disajikan, maka makanan sudah kembali aman.
Ad.2.e Hubungan Khusus Antara Kasus dan Sumber Keracunan.
Tetapi beberapa kondisi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sumber keracunan yang dapat dimanfaatkan dengan cepat, antara lain :

56
o Makanan yang Tidak Dimakan oleh Korban Keracunan
Pada dasarnya orang yang menderita sakit ( kasus keracunan ) harus
makan makanan yang mengandung racun dan apabila orang tersebut ternyata
tidak makan suatu makanan tertentu, maka dapat dikatakan bahwa makanan
tertentu tersebut kemungkinan besar tidak mengandung racun.
Contoh sumber keracunan pada KLB dicurigai adalah kantin. Warung
sekolah dan penjaja makanan, maka ditanyakan pada sekitar 50 penderita
riwayat makan di 3 tempat makan tersebut pada 3 hari terakhir ini dan
hasilnya sebagai berikut :

Tempat makan Riwayat makan 3 hari terakhir


Pada 50 kasus ( sakit )
makan Tidak makan Keterangan
Kantin 40 10 Bukan sumber
Warung 48 2 Mungkin sumber
Penjaja 30 20 Bukan sumber

Maka dengan memperhatikan jumlah yang tidak makan, disingkirkan


kemungkinan tempat makan tersebut sebagai sumber keracunan, yaitu kantin
dan penjaja terdapat 10 dan 20 penderita yang tidak makan, oleh karena itu
kantin dan penjaja dapat disingkirkan kemungkinannya sebagai sumber
keracunan.
Pada dasarnya orang yang tidak terpapar racun adalah tidak menderita
sakit keracunan, tetapi pada suatu populasi orang yang menderita keracunan
atau menderita penyakit lain yang gejalanya mirip seperti orang yang
terpapar racun selalu ada dalam populasi dalam jumlah normal. Oleh karena
itu, apabila sejumlah orang makan – makanan tertentu kemudian yang
menderita keracunan atau menderita penyakit yang gejalanya mirip seperti
orang yang terpapar racun adalah dalam jumlah lebih dari keadaan normal,
maka makanan tersebut perlu dicurigai sebagai makanan yang mengandung
bahan racun.
o Tamu Sebagai Korban Keracunan Istimewa.
Pada pesta atau kantin perusahaan yang terjadi KLB keracunan, perlu
dicari orang diluar kelompok umum, misalnya adanya tamu dari jauh yang
hanya satu hari itu saja ikut makan ditempat ini,dsb. Kasus – kasus ini sering
lebih mudah mengungkapkan sumber makanan beracun dalam pesta atau
kantin, terutama waktu paparan.

57
o Pesta Sebagai Sumber Keracunan
Pada umumnya apabila terjadi KLB keracunan makanan sesudah pesta,
makan bersama dan sebagainya. Maka tuduhan pertama sebagai sumber
keracunan adalah makanan yang disajikan pada pesta. Penyelidik yang
berpengalaman akan selalu berhati – hati dengan pernyataan tersebut, karena
sumber keracunan kemungkinan diluar pesta.
o Penjaja Makanan Sebagai tertuduh Sumber Keracunan
Berdasarkan pengalaman penyelidik KLB keracunan makan yang etrjadi
pada suatu perusahaan, asrama atau hotel, biasanya diduga karena makanan
yang diperoleh dari luar, sehingga penutupan segera dilakukan terhadap
penjual makanan yang ada disekitar perusahaan. Tindakan penutupan penjaja
makanan seperti itu memang tindakan tepat apabila sumber keracunan adalah
benar pada para penjaja tersebut. Tetapi kalau tidak benar maka semua
karyawan dan petugas kesehatan berada dalam keadaan berbahaya. Karena
merasa aman dengan perasaan hilangnya sumber keracunan yang ada,
sementara sumber keracunan sebenarnya masih berada dalam lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu penyelidik harus selalu membangun
profesionalisme dalam proses penyelidikan sesuai dengan prosedur
epidemiologi dan tidak terpengaruh oleh tekanan pendapat berbagai pihak
yang tidak memiliki keahlian memadai.

VI. PENANGGULANGAN KLB


Penanggulangan KLB meliputi kegiatan penyelidikan KLB, pengobatan dan
upaya pencegahan jatuhnya korban baru dan surveilans ketat.

1. Penyelidikan KLB.
Dimulai pada saat informasi pertama adanya kasus keracunan atau diduga
keracunan. Tim Penyelidik KLB melakukan diskusi intensif dengan setiap dokter atau
petugas kesehatan lain yang menangani penderita untuk pada upaya penemuan kasus
– kasus baru dan kelompok – kelompok atau orang – orang yang rawan akan
menderita sakit, untuk pengobatan dan pengendalian sumber keracunan yang lebih
tepat dan efisien.
2. Pengobatan dan pencegahan
a. Tim penanggulangan KLB segera berkoordinasi dengan tim rumah sakit dan
klinik – klinik yang akan mengobati penderita serta anggota masyarakat dalam
pemilihan kasus berat dan ringan, rujukan dan pengobatan penderita.

58
b. Pengobatan terutama diarahkan pada upaya – upaya penyelamatan penderita.
Setelah etiologi dapat diketahui, upaya netralisasi racun dan tindakan
spesifik dapat diterapkan dengan tepat.
c. Untuk menghindari jatuhnya korban berikutnya, maka semua sumber makanan
yang mengandung racun atau yang diduga mengandung racun disimpan agar
tidak dimakan atau digunakan sebagai bahan campuran makanan. Tetapi
apabila jenis makanan yang dicurigai sudah diketahui dengan tepat, maka
makanan lain yang sudah dipastikan tidak mengandung bahan beracun harus
segera diinformasikan kepada pemiliknya bahwa makanan atau bahan maknan
tersebut aman.

3. Surveilans Ketat
Diarahkan pada perkembangan KLB menurut waktu, tempat ,orang dan
efektifitas pengobatan serta upaya pencegahan adanya korban baru.
Apabila tidak ada korban baru, berarti sumber bahan beracun sudah tidak
memapari orang lagi, dan KLB dapat dinyatakan berakhir.
Apabila kurva KLB sudah cenderung turun secara konsisten maka dapat
disimpulkan bahwa penularan telah berhenti, tetapi kasus baru diperkirakan masih
akan bermunculan sampai masa inkubasi terpanjang tercapai.

59
BAB VIII
PENYUSUNAN LAPORAN KLB

I. PENDAHULUAN
Salah satu tugas penting dari Tim Penyelidikan KLB adalah membuat
laporan hasil penyelidikan. Karena tanpa adanya laporan hasil penyelidikan maka
fihak-fihak terkait tidak mengetahui KLB apa yang sesungguhnya sedang terjadi,
mengapa hal ini bias terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Untuk membuat
dan menyususn laporan KLB yang baik diperlukan suatu pengetahuan cara
menyusun laporan KLB.
Cara penyusunan suatu laporan dari hasil penyelidikan Kejadian Luar Biasa
pada dasarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
A. Judul laporan
B. Pendahuluan
C. Latar Belakang
D. Tujuan Penyelidikan KLB
E. Metode Penyelidikan KLB
F. Hasil Penyelidikan KLB
G. Kesimpulan
H. Saran / Rekomendasi

II. URAIAN KEGIATAN


A. Judul laporan
Langkah pertama pada penulisan laporan adalah menentukan judul, di mana
judul ini merupakan suatu jaaban dari pertanyaan apa, di mana, dan kapan
penyelidikan dilaksanakan.
B. Pendahuluan
Dalam pendahuluan perlu ditulis sebab ataupun alas an mengapa penyelidikan
dilaksanakan. Berisi sumber informasi adanya KLB, dampak KLB terhadap
kesehatan masyarakat, gambaran endemisitas penyakit penyebab KLB dan
besar masalah KLB tersebut pada waktu sebelumnya.
C. Latar belakang KLB
Diuraikan latar belakang daerah penyelidikan mengenai geografi,
demografi,social dan ekonomi. Di sini diuraikan apakah daerah tersebut
merupakan daerah pantai, pegunungan, daerah rawa ataupun daerah kering.
Bagaimana iklimnya, curah hujan dan lain sebagainya. Bagaimana keadaan
penduduknya, jumlahnya, golongan umurnya, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, kebiasaan ( adat istiadat ), suku dan sebagainya.

60
D. Tujuan Penyelidikan KLB
Sesuai dengan kebutuhan penyelidikan KLB, misalnya apabila etiologi KLB
sudah ditemukan, maka penyelidikan KLB tidak diarahkan pada upaya untuk
penegakan diagnosis KLB, tetapi lebih diarahkan untuk menemukan sumber
dan cara penyebaran KLB.
Bagaimanapun laporan penyelidikan KLB pertama selalu menjelaskan adanya
KLB dan penegakan etiologi KLB serta besarnya masalah KLB pada saat
penyelidikan dilakukan.
E. Metode Penyelidikan KLB
Cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan penyelidikan KLB adalah
sebagai berikut :
1. Desain penyelidikan KLB. Apabila terdapat beberapa sasaran dan beberapa
desain penyelidikan KLB, maka masing - masing sasaran dan desain
penyelidikan perlu dijelaskan dengan sistematis.
2. Daerah penyelidikan KLB, populasi dan sampel penyelidikan KLB
3. Cara mendapatkan dan mengolah data primer dan data sekunder
4. Cara melakukan analisis
F. Hasil Penyelidikan KLB
1. Memastikan adanya KLB, dengan membandingkan data kasus yang ada pada
periode KLB sesuai dengan criteria kerja KLB
2. Gambaran klinis kasus – kasus yang dicurigai dan distribusi gejala kasus –
kasus yang dicurigai. Kasus yang dicurigai adalah sejumlah penderita yang
menunjukkan gejala utama misalnya gejala utama diare.
Tabel Distribusi Gejala dan Tanda Penyakit Pada KLB
Jumlah Kasus diperiksa …………. kasus
No Gejala dan Tanda Jumlah Kasus %
1 Gejala Utama ( misalnya diare )
2
3

3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Pada Penyelidikan KLB telah diambil……..( jumlah specimen ) specimen…….
( bahan specimen yang diambil ), dan diperiksa di laboratorium….( nama
laboratorium ), dengan hasil…..( jumlah specimen yang positif ) buah
specimen positif……( nama bahn atau kuman yang ditemukan oleh
laboratorium ).

61
4. Etiologi atau diagnosis banding etiologi
Berdasarkan gambaran klinis kasus – kasus, distribusi gejala, gambaran
epidemiologi serta hasil pemeriksaan laboratorium maka kemungkinan
etiologi KLB adalah……., dengan diagnosis banding………..,……..…,……….
5. Kurva epidemic
Dibuat berdasarkan tanggal mulai sakit atau tanggal berobat yang
menggambarkan tanggal mulai sakit dibuat kurva epidemic. Sejauh
mungkin kurva dibuat sejak 2 bulan sebelum terjadinya KLB tergantung
masa inkubasi penyakit penyebab KLB. Kurva epidemic dapat dibuat
berdasarkan data primer penyelidikan KLB dengan pengumpulan data dari
rumah ke rumah, atau berdasarkan data sekunder penyelidikan KLB dari
pos-pos kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit. Apabila dilakukan
penyelidikan KLB berdasarkan data sekunder, dan kemudian pada daerah
tertentu juga berdasarkan data primer, maka dibuat kurva epidemic
dengan menyebutkan sumber datanya.

300

200
Kausu

kasus
meninggal
100

0
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Minggu

6. Gambaran epidemiologi menurut umur dan jenis kelamin


Gambaran epidemiologi KLB menurut umur dan jenis kelamin membutuhkan
data epidemiologi kasus, kematian, dan populasi rentan menurut umur dan
jenis kelamin. Apabila dilakukan penyelidikan KLB berdasarkan data primer
dari data primer dari rumah ke rumah, maka populasi rentan berdasarkan
hasil kunjungan dari rumah ke rumah, tetapi apabila tidak ada, maka
populasi rentan berdasarkan data penyelidikan yang ada di lokasi kejadian,

62
misalnya data desa, data kecamatan, dsb. Apabila dilakukan penyelidikan
KLB berdasarkan data primer, tetapi hanya terbatas pada daerah
tertentu saja, maka kedua gambaran epidemiologi KLB tersebut perlu
disampaikan dalam laporan ini.
Tabel distribusi KLB …………., Menurut Umur
Di ……………, Bulan, ……………Tahun ……………
No Gol.Umur Populasi rentan Kasus Meninggal AR/100 CFR/100
1 <1
2 1–4
3 5–9
4 10 – 14
5 15 – 44
6 45 +
Total
Sumber :

Tabel distribusi KLB …………., Menurut Jenis Kelamin


Di ……………, Bulan, ……………Tahun ……………
No Jenis kelamin Populasi rentan Kasus Meninggal Ar/100 CFR/100
1 Laki - laki
2 Perempuan
Total
Sumber :

7. Gambaran epidemiologi menurut tempat ( tabel dan peta )


Gambaran epidemiologi KLB menurut tempat membutuhkan data
epidemiologi kasus, kematian dan populasi rentan menurut tempat. Apabila
dilakukan penyelidikan KLB berdasarkan data primer dari rumah ke rumah,
maka populasi rentan berdasarkan hasil kunjungan dari rumah ke rumah,
tetapi apabila tidak ada, maka populasi rentan berdasarkan data yang ada
di lokasi kejadian, misalnya data desa, data kecamatan, dsb.

63
Apabila dilakukan penyelidikan KLB berdasarkan data primer, tetapi hanya
terbatas pada daerah tertentu saja, maka kedua gambaran epidemiologi
KLB tersebut perlu disampaikan dalam laporan ini.

Tabel distribusi KLB …………., Menurut Desa


Di ……………, Bulan, ……………Tahun ……………
No Desa Populasi rentan Kasus Meninggal AR/100 CFR/100
1 ………………………
2 ……………………..
Total
Sumber :

8.Gambaran epidemiologi menurut faktor risiko lain yang berhubungan


dengan kemungkinan mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran KLB,
termasuk hasil pemeriksaan laboratorium pada lingkungan dan atau
makanan.
9.Pembahasan
Pembahasan temuan penting, termasuk identifikasi sumber dan cara
penyebaran kasus KLB. Pembahasan tentang kondisi KLB saat penyelidikan
dilakukan serta kemungkinan peningkatan , penyebaran KLB dan
kemungkinan berakhirnya KLB
G. Kesimpulan
Kemukakan kesimpulan dari hasil penyelidikan KLB. Apakah hasil tersebut
merupakan KLB atau bukan, berapa incident rate nya, CFR dan bagaimana
perbandingan dengan angka nasional dan sebagainya.
H. Saran / Rekomendasi
Berisi antara lain rekomendasi tentang perlunya penyelidikan KLB lebih
lanjut dalam bidang tertentu, rekomendasi untuk kemajuan dari suatu
program, rekomendasi perlunya bantuan tim penanggulangan KLB di tingkat
lebih tinggi dan sebagainya.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pengamatan dan Penanggulangan KLB di Indonesia, Ditjen PPM – PLP.


Dep Kes RI, 1984
2. Petujuk Laporan KLB dan Wabah, Ditjen PPM & PLP DepKes RI. 1989
3. Petujuk Pelaksanaan SKD. KLB Penyakit Menular dan Keracunan, Ditjen PPM &
PLP DepKes RI. 1992.
4. Petunjuk Pelaksanaan Undang – undang Wabah. Ditjen PPM & PLP DepKes RI.
1995
5. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, James Chin , 2000
6. Panduan Praktis, Survelens Epidemiologi Penyakit, Ditjen PPM & PLP DepKes
RI. 2003
7. Modul Survelens, Ditjen PPM & PLP DepKes RI. 2004
8. Prosedur Tetap Penanggulangan KLB dan Bencana , Dinkes Prop Jateng, 2006

65

Anda mungkin juga menyukai