Anda di halaman 1dari 9

TUGAS INDIVIDU

GIZI PADA IBU DAN ANAK


Dosen :
dr. Niken Puruhita, Sp.A

Disusun Oleh :
Nuke Devi Indrawati

PROGRAM PASCA SARJANA


MANAJEMEN IBU DAN ANAK
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
TAHUN 2009
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada
kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas,
berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan
masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan
derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab
langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan
kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya
dimengerti tanpa memperhatikan latar belakang (underlying factor), yang mana
bersifat medik maupun non medik.
Di antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan
ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, perilaku, dan lain-lain.
Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine
menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak
langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek
terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan
perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan.1. Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam
model yaitu kehamilan, timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan
kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat bahwa
setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor
penyebab yang langsung. 2. Status kesehatan ibu, menurut model Mc Carthy
dan Maine 1 merupakan faktor penting dalam terjadinya kematian ibu. Penya-
kit atau gizi yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status
kesehatan ibu. Rao (1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian
obstetrik tidak langsung pada kasus kematian ibu adalah anemia.3,4 Grant 5
menyatakan bahwa anemia merupakan salah satu sebab kematian ibu,
demikian juga WHO 6b menyatakan bahwa anemia merupakan sebab penting
dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk 7 menunjukkan bahwa angka kematian
ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non
anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan
dengan meningkatnya kesakitan ibu. 8.Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko
kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan
angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum
dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih
sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir
kehilangan darah.9  Soeprono.10 menyebutkan bahwa dampak anemia pada
kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya
gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur),
gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis),
gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi
dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus,
dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain).10Prevalensi
anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi pada umumnya
banyak penelitian yang menunjukkan prevalensi anemia pada wanita hamil
yang lebih besar dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi anemia
pada trimester III berkisar 50-79%.11 Affandi 12 menyebutkan bahwa anemia
kehamilan di Indonesia berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 1990
adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di 12 rumah sakit
pendidikan/rujukan di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan
anemia yang melahirkan di RS pendidikan /rujukan adalah 30,86%.
Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas.9 Hal yang
sama diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan
berat akan makin tinggi dengan bertambahnya paritas.13 Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada
kehamilan secara global 55% dimana secara bermakna tinggi pada trimester
ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan.6a
Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia
pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu
anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi
Hal ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu
hamil di Indonesia menderita anemia  gizi.
Indonesia, prevalensi anemia tahun l970–an  adalah  46,5–70%. Pada SKRT
tahun 1992  dengan angka anemia ibu hamil sebesar 63,5% sedangkan data
SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan  anemia
gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan  berdasarkan
SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi khususnya pada ibu hamil
berkisar 45,5 – 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17%  14,3
% di Kabupaten Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi
adalah di Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten Bulukumba sebesar
67,3% (1997).  Sedangkan laporan data di Kabupaten Maros khususnya di
Kecamatan Bantimurung anemia ibu hamil pada tahun 1999 sebesar 31,73%,
pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001 sebesar
68,65%.
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif seperti: 1)
gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh  maupun sel otak, 
2) Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen  yang
dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat
mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang
dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran
prematur bagi ibu yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl. Studi
lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran prematur dan
kematian perinatal  meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin
kurang dari 10,4 gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24 minggu dibandingkan
kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan salah satu faktor kehamilan
dengan risiko tinggi.

B. Materi
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila gtatus gizi ibu normal pada
masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi
yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Dengan kata lain
kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum
dan selama hamil. Salah satu cara untuk menilai kualitas bayi adalah dengan
mengukur berat bayi pada saat lahir. Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi
yang sehat bila tingkat kesehatan dan gizinya berada pada kondisi yang baik.
Namun sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah
gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia
gizi (Depkes RI, 1996). Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa 41 % ibu hamil
menderita KEK dan 51% yang menderita anemia mempunyai kecenderungan
melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).Ibu hamil yang
menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar
terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal.
Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi
dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang
sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depke RI,
1996). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam
tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan
hidupnya. Selain itu juga akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah,
gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).

Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil


Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan.
Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan
komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu
yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna.
Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua zat gizi memerlukan tambahan, namun
yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan beberapa
mineral seperti Zat Besi dan Kalsium.
Kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira
80.000 kalori selama masa kurang lebih 280 hari. Hal ini berarti perlu tambahan
ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil (Nasution,
1988). Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan
lemak 36.337 Kkal. Agar energi ini bias ditabung masih dibutuhkan tambahan
energi sebanyak 26.244 Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang
terikat dalam makanan menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan
demikian jumlah total energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah
74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000 Kkal. Untuk memperoleh besaran
energi per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi dengan angka 250
(perkiraaan lamanya kehamilan dalam hari) sehingga diperoleh angka 300
Kkal. Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian
sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir
kehamilan. Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran
jaringan ibu seperti penambahan volume darah, pertumbuhan uterus, dan
payudara, serta penumpukan lemak. Selama trimester III energi tambahan
digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Karena banyaknya
perbedaan kebutuhan energi selama hamil, maka WHO menganjurkan jumlah
tambahan sebesar 150 Kkal sehari pada trimester I, 350 Kkal sehari pada
trimester II dan III. Di Kanada, penambahan untuk trimester I sebesar 100 Kkal
dan 300 Kkal untuk trimester II dan III. Sementara di Indonesia berdasarkan
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 ditentukan angka 285
Kkal perhari selama kehamilan. Angka ini tentunya tidak termasuk
penambahan akibat perubahan temperatur ruangan, kegiatan fisik, dan
pertumbuhan. Patokan ini berlaku bagi mereka yang tidak merubah kegiatan
fisik selama hamil. Sama halnya dengan energi, kebutuhan wanita hamil akan
protein juga meningkat, bahkan mencapai 68 % dari sebelum hamil.
Jumlah protein yang harus tersedia sampai akhir kehamilan diperkirakan
sebanyak 925 g yang tertimbun dalam jaringan ibu, plasenta, serta janin. Di
Indonesia melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998
menganjurkan penambahan protein 12 g/hari selama kehamilan. Dengan
demikian dalam satu hari asupan protein dapat mencapai 75-100 g (sekitar 12
% dari jumlah total kalori); atau sekitar 1,3 g/kgBB/hari (gravida mature), 1,5
g/kg BB/hari (usia 15-18 tahun), dan 1,7 g/kg BB/hari (di bawah 15 tahun).
Bahan pangan yang dijadikan sumber protein sebaiknya (2/3 bagian) pangan
yang bernilai biologi tinggi, seperti daging tak berlemak, ikan, telur, susu dan
hasil olahannya. Protein yang berasal dari tumbuhan (nilai biologinya rendah)
cukup 1/3 bagian. Kenaikan volume darah selama kehamilan akan
meningkatkan kebutuhan Fe atau Zat Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-
kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk mencegah anemia akibat
meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama kehamilan seorang ibu
hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk keperluan
janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri.
Berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1998,
seorang ibu hamil perlu tambahan zat gizi ratarata 20 mg perhari. Sedangkan
kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari
(umur 20 – 45 tahun). Gizi Kurang pada Ibu Hamil Bila ibu mengalami
kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu
maupun janin, seperti diuraikan berikut ini :
1. Terhadap Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada
ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah
secara normal, dan terkena penyakit infeksi.
2. Terhadap Perslinan
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan
persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature),
pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung
meningkat.
3. Terhadap Janin
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
janin dan dapat menimbulkan kegururan, abortus, bayi lahir mati, kematian
neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati
dalam kandungan), lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status
gizi ibu hamil antara lain memantau pertambahan berat badan selama
hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA), dan mengukur kadar Hb.
Pertambahan berat badan selama hamil sekitar 10 – 12 kg, dimana pada
trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan
trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus
bertujuan memantau pertumbuhan janin. Pengukuran LILA dimaksudkan
untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi Kronis
(KEK), sedangkan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu
apakah menderita anemai gizi. Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil
agar pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan
melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik,
system reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan
gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi
lebih besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang
sebaliknya. Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering
melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi,
terlebih lagi bila ibu menderita anemia.

Anemia pada Ibu Hamil


Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada di
bawah normal. Di Indonesia Anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan
Zat Besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah Anemia Gizi Besi. Anemia
defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi
selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga
hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme
besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar
hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester III.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat
mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan,
BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan
mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu
hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas
maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan
prematur juga lebih besar. Resiko BBLR pada Ibu Hamil.
Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm hal
ini berarti ibu hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi
BBLR. Bila bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan
mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan
gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada ibu hamil
sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi yang baik,
misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum
hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak
beresiko melahirkan BBLR.Hasil penelitian Edwi Saraswati, dkk. di Jawa Barat
(1998) menunjukkan bahwa KEK pada batas 23,5 cm belum merupakan resiko
untuk melahirkan BBLR walaupun resiko relatifnya cukup tinggi. Sedangkan ibu
hamil dengan KEK pada batas 23 cm mempunyai resiko 2,0087 kali untuk
melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA lebih dari 23
cm. Sebagaimana disebutkan di atas, berat bayi yang dilahirkan dapat
dipengaruhi oleh status gizi ibu baik sebelum hamil maupun saat hamil. Status
gizi ibu sebelum hamil juga cukup berperan dalam pencapaian gizi ibu saat
hamil. Penelitian Rosmeri (2000) menunjukkan bahwa status gizi ibu sebelum
hamil mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian BBLR. Ibu
dengan status gizi kurang (kurus) sebelum hamil mempunyai resiko 4,27 kali
untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status
gizi baik (normal).
Hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunujukkan bahwa ada
hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi
kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. Sedangkan
penelitian Edwi Saraswati, dkk. (1998) menemukan bahwa anemia pada batas
11 gr/dl bukan merupakan resiko untuk melahirkan BBLR. Hal ini mungkin
karena belum berpengaruh terhadap fungsi hormone maupun fisiologis ibu.
Selanjutnya pada analisa bivariat anemia batas 9 gr/dl atau anemia berat
ditemukan secara statistik tidak nyata melahirkan BBLR. Namun untuk
melahirkan bayi mati mempunyai resiko 3,081 kali. Dari hasil analisa multivariat
dengan memperhatikan masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan
bahwa ibu hamil penderita anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan
BBLR 4,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita
anemia berat.

C. Penutup
Ibu hamil merupakan kelompok yang cukup rawan gizi. Kekurangan gizi
pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses
pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Bila ibu hamil mengalami
kurang gizi maka akibat yang akan ditimbulkan antara lain: keguguran, bayi
lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan,anemia pada bayi, dan bayi lahir
dengan BBLR. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh gizi kurang
terhadap kejadian BBLR cukup besar pada ibu hamil, apalagi kondisi gizi ibu
sebelum hamil buruk. Masalah gizi kurang pada ibu hamil ini dapat dilihat dari
prevalensi Kekurangan Energi Kronis (KEK) dan kejadian anemia.
Untuk memperkecil resiko BBLR diperlukan upaya mempertahankan
kondisi gizi yang baiik pada ibu hamil. Upaya yang dilakukan berupa
pengaturan konsumsi makanan, pemantauan pertambahan berat badan,
pemeriksaan kadar Hb, dan pengukuran LILA sebelum atau saat hamil.
Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah, yakni
hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Jika tidak
segera ditangani anemia zat besi bisa menyebabkan ganguan kesehatan
serius. Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi. Menurut data
yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita prevalensi anemia gizi
besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok wanita usia subur 26,4%,
sedangkan pada ibu hamil 40,1%. Data WHO tidak kalah fantastis: hampir
30% total penduduk dunia diperkirakan menderita anemia.

Anda mungkin juga menyukai