Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL DI

PUSKESMAS BANTIMURUNG
STUDI  KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP  KEJADIAN ANEMIA  IBU HAMIL DI  PUSKESMAS
BANTIMURUNG MAROS TAHUN 2004Ridwan Amiruddin1,  Wahyuddin2
1Staf Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat  Unhas; 2 Staf  Fakultas Kesehatan Masyarakat -UIT.

RINGKASAN
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal,
angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat  hubungan faktor  umur ibu,  ANC, jarak kelahiran, paritas dan keluhan ibu hamil  terhadap  kejadian anemia di
wilayah puskesmas Bantimurung. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kelola dengan sampel  ibu hamil
dan bersalin  sebanyak  128 responden  yang diambil secara purposive sampling. Uji statistik yang digunkan adalah
analisis Odds Ratio, dan logistik regresi. Hasil penelitian yang diperoleh  sekitar 83.6 % responden  mengalami anemia,
dengan   ANC sebagian besar  kurang dari 4 kali (72.7%). Hasil  analisis bivariat  ditemukan  banhwa ANC  tidak signifikan
terhadap  anemia, OR. 1.251 (95%CI.0.574-2.729), demikian juga dengan keluhan dengan  OR 1.354, 95 % CI. 0.673-
2.725. begitu juga paritas  kurang dari satu  dan lebih 4 tidak berefek  terhadap anemia pada ibu hamil  dengan OR 1.393 ,
95%CI.0.474-4.096. Sedangkan jarak kelahiran   bermakna  terhadap  kejadian anemia dengan OR 2.343, 95% CI.1.146-
4.790. dan variabel Umur  dengan  OR 2.801, 95% CI 1.089-7.207. Kesimpulan variabel yang berhubungan adalah  jarak
kelahiran dan  umur ibu hamil, sedangkan  variabel   paritas, ANCdan  adanya keluhan  tidak bermakna. Dengan demikian
maka disarankan  bahwa  untuk menekan kejadian anemia dengan berbagai  dampaknya maka  pengaturan jarak
kelahiran  sangat diperlukan melalui perencanaan  kelahiran melalui keluarga berencana, begitu juga dengan umur ibu,
sangat  penting untuk diperhatikan  melahirkan pada usia  20- 35 tahun.  (J Med Nus. 2004; 25:71-75)

SUMMARY
In pregnancy women, anemic increases the frequency of complication to the pregnancy and delivery. Risk of maternal
mortality, prematurity number, low birth weight, and prenatal mortality are increase. This research intend to identify the
relation factors of maternal age, ANC, delivery expanse, parity and maternal complain to the occurrence of anemic in
Bantimurung public health service. Method of the research was case control study with samples consist of 128
respondents of pregnant and delivery women taken purposively sampling. Statistical test was Odds ratio and regression
logistic. Result of the research obtained that approximately 83.6% respondents undergoes anemic with ANC mostly less
than 4 times (72.7%). Bivariate analysis shows that ANC insignificant to anemic undergoes, OR. 1.251 (95% Cl. 0.574-
2.729), as well as maternal complain with OR 1.354, 95% Cl. 0.673-2.725 and parity less than one and more than four
insignificant with anemic undergoes with OR 1.393, 95% Cl 0.474-4.096. Meanwhile deliveries expanse significant with
anemic undergoes with OR 2.801, 95% Cl 1.146-4.790 and age variable with OR 2.801, 95% Cl 1.089-7.207. It terminates
that the variables related with anemic undergoes were deliveries expanse and maternal age, meanwhile the variables of
parity, ANC and maternal complain insignificant. It is suggested in a manner to diminish anemic undergoes with all of its
impact is with dispose deliveries expanse trough family planning, as well as maternal age as a main factors to notice, to
deliver in age of 25-35 years old. (J Med Nus. 2004; 25:71-75)

LATAR BELAKANG
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang
kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan
keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan
latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut
keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, perilaku, dan lain-lain.
Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat
diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu
dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan.1 Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan,
timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat
bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyebab yang langsung. 2
Status kesehatan ibu, menurut model Mc Carthy dan Maine 1 merupakan faktor penting dalam terjadinya kematian ibu.
Penyakit atau gizi yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao (1975) melaporkan
bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus kematian ibu adalah anemia.3,4 Grant 5 menya-
takan bahwa anemia merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO 6b menyatakan bahwa anemia
merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk 7 menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70%
untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.8
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal,
angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan
antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita
yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.9  Soeprono.10 menyebutkan bahwa dampak anemia pada
kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus,
partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada
masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada
janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain).10
Prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi pada umumnya banyak penelitian yang
menunjukkan prevalensi anemia pada wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi
anemia pada trimester III berkisar 50-79%.11 Affandi 12 menyebutkan bahwa anemia kehamilan di Indonesia berdasarkan
data Departemen Kesehatan tahun 1990 adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di 12 rumah sakit
pendidikan/rujukan di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan anemia yang melahirkan di RS
pendidikan /rujukan adalah 30,86%. Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas.9 Hal yang sama
diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan berat akan makin tinggi dengan bertambahnya
paritas.13 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55%
dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan.6a
Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat
gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga
diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia   gizi.
Indonesia, prevalensi anemia tahun l970–an  adalah  46,5–70%. Pada SKRT tahun 1992  dengan angka anemia ibu hamil
sebesar 63,5% sedangkan data SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan   anemia gizi pada
ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan  berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi
khususnya pada ibu hamil berkisar 45,5 – 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17%   14,3 % di Kabupaten
Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten
Bulukumba sebesar 67,3% (1997).  Sedangkan laporan data di Kabupaten Maros khususnya di Kecamatan Bantimurung
anemia ibu hamil pada tahun 1999 sebesar 31,73%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001
sebesar 68,65%.
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif seperti: 1) gangguan dan hambatan pada pertumbuhan,
baik sel tubuh  maupun sel otak,  2) Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen  yang
dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri
maupun pada bayi yang dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran prematur bagi ibu
yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran
prematur dan kematian perinatal  meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada
usia kehamilan sebelum 24 minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan salah satu faktor
kehamilan dengan risiko tinggi.
Sumber : Data primer

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN DAN UNIT ANALISIS


Penelitian ini menggunakan   desain   studi kasus kelola untuk melihat  gambaran status   kesehatan ibu hamil serta
faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah kesehatan tersebut. Instrument  studi  terdiri dari kuesioner, serta
formulir  pemeriksaan ibu hamil,  Unit analisis adalah  ibu hamil dan  ibiu nifas yang berdomisili  di wilayah kerja
Puskesmas Bantimurung kab. Maros.

B.POPULASI DAN SAMPEL


1. Populasi
Populasi  rujukan adalah semua  ibu hamil yang ada di wilayah kerja Puskesmas  Bantimurung kabupaten Maros pada 
periode Agustus – September 2004.
2. Sampel
Sampel adalah ibu hamil  dan ibu bersalin  yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung  Kab. Maros pada saat
penelitian dilaksanakan. Sampel diambil secara  purposive sampling, dengan jumlah sampel yang berhasil diperoleh
sebanyak 128 ibu hamil.

C. PENGOLAHAN, DAN ANALISIS DATA


1.  Pengolahan Data

Sumber : Data Primer


Tabel 1. menunjukkan bahwa analisis Hubungan ANC
dengan kejadian anemia   yang paling banyak
menderita anemia adalah responden dengan ANC < 4
kali dengan jumlah 53 (57.0%) orang dan terendah
pada responden dengan ANC ³ 4 kali sebanyak 18
orang (51.4%). Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai
OR sebesar 1.251 dengan nilai lower 0.574 dan upper
2.729.

2. Keluhan dengan Anemia


Tabel 2. Analisis Keluhan dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun
2004
Tabel 2 menunjukkan analisis hubungan keluhan
dengan kejadian anemia dan responden yang paling
banyak menderita anemia adalah yang memiliki
keluhan dengan jumlah 39 (59,1%) orang dan terendah
pada responden yang tidak memiliki keluhan dengan
jumlah 32 51.6%)orang.
Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar
1.354 dengan nilai lower 0.673 dan upper 2.725.

3.   Paritas dengan Anemia   


Tabel 3. Analisis Paritas dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun
2004

Sumber : Data Primer


Tabel 3. menunjukkan analisis hubungan paritas
dengan kejadian anemia dan responden yang paling
banyak menderita anemia adalah pada paritas 2-3
dengan jumlah  61 (62.5%) orang dan terendah pada
responden yang paritas < 1/>4 dengan jumlah 10
(54.5%)orang.
Hasil analisis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar
1.393 dengan nilai lower 0.474 dan upper 4.096.

4.Jarak Kelahiran dengan Anemia


Tabel 4.  Analisis Jarak Kelahiran dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros
Tahun 2004

Sumber : Data Primer


Tabel 4. menunjukan analisis hubungan jarak kelahiran
dengan kejadian anemia dan responden yang paling
banyak menderita anemia adalah responden dengan
jarak kelahiran < 2 tahun sebanyak 41 (66,1%) orang
dan terendah pada responden dengan jarak kelahiran ³
2 tahun sebanyak 30 (45.5%) orang.
Hasil analiis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar
2.343 dengan nilai lower 1.146 dan upper 4.790.

5.Umur Ibu dengan Anemia


Tabel 5.  Analisis  umur  ibu dengan Kejadian Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung Kabupaten Maros Tahun
2004

Sumber : Data Primer


Tabel 5. menunjukan analisis hubungan umur ibu dengan
kejadian anemia dan responden yang paling banyak
menderita anemia adalah responden dengan umur < 20
tahun dan >35 tahun sebanyak 20 (74,1%) orang dan
pada umur 20-35 tahun sebanyak 51 (50.5%) orang yang menderita anemia.
Hasil analiis uji statistik diperoleh nilai OR sebesar 2.801 dengan nilai lower 1.089 dan upper 7.207.

B.  Analisis Multivariat


Tabel 6 : Analisis Regresi Logistik Antara Jarak Kelahiran dan Umur Penderita  di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung
Kabupaten Maros Tahun 2004

Sumber : Data Primer

Tabel 6. menunjukkan analisis hubungan Regresi


logistik antara jarak kelahiran dan umur penderita
diwilayah kerja puskesmas Bantimurung. Dan 
menunjukkan bahwa dari dua variabel yang memiliki
risiko kejadian anemia setelah dilakukan uji lebih lanjut
diperoleh bahwa umur memilki pengaruh lebih besar terhadap kejadian anemia.

C. Pembahasan
1.  A N C dengan kejadian anemia.
Antenatal care adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh tenaga professional meliputi pemeriksaan
kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester
satu, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan ANC kejadian anemia pada ibu dapat
dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan  ibu dapat merawat dirinya selama hamil dan mempersiapkan
persalinannya.
Hasil analisis hububgan ANC dengan kejadian anemia didapatkan OR sebesar 1,251 dengan nilai lower 0,574 dan nilai
upper 2,729, oleh karena  nilai 1 berada diantara batas bawah dan batas atas maka tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pemeriksaan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
2. Keluhan selama hamil
Kehamilan adalah peristiwa alami yang melibatkan perubahan fisik dan emosional dari seorang ibu, utamanya pada umur
kehamilan 1 – 3 bulan pertama kebanyakan ibu hamil mengalami beberapa keluhan seperti pusing, mual, kadang –
kadang muntah. Keadaan ini akan berlangsung sementara dan biasanya hilang dengan sendirinya pada kehamilan lebih
dari 3 bulan.  Dari hasil analisis hubungan keluhan selama hamil dengan kejadian anemia didapatkan nilai 1 berada antara
batas bawah dan batas atas yaitu nilai lower 0,673 dan nilai upper 2,725, maka tidak terdapat hubungan antara faktor
keluhan ibu selama hamil dengan kejadian anemia.
3. Parietas
Parietas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang
sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan
kebutuhan nutrisi.Karena selama hamil zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara parites dengan kejadian anemia pada ibu
hamil, karena nilai 1 berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 1,393 dan nilai lower 0,474 dan nilai
upper 4,096.
4. Jarak Kelahiran.
Jarak kelahiran adalah waktu sejak ibu hamil sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat
dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat
– zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung.
Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa reponden paling banyak menderita anemia pada jarak kehamilan < 2 tahun.
Hasil uji memperlihatkan bahwa jarak kelahiran mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian anemia, karena nilai 1
berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 2,343 dengan nilai lower 1,146 dan nilai upper 4,790.
5. Umur
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20
– 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia  
< 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah
mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan  zat – zat gizi
selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh
serta berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini. Hasil analisis didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat
berpengaruh terhadap kajadian anemia, dengan OR sebesar 2,801 dengan nilai lawer  1,089 dan nilai upper 7,207.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis status kesehatan ibu hamil di Kecamatan Bantimurung Kab Maros didapatkan
1. Umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih  35 tahun berisiko lebih besar  untuk  menderita anemia
2. ANC  ibu  hamil kurang dari 4 kali tidak berisiko untuk  menderita anemia
3. Jarak kelahiran   kurang dari dua  tahun berisiko lebih besar  untuk  menderita anemia
4.  Paritas  > 3 orang  tidak berisiko lebih besar  untuk  menderita anemia
5. Adanya keluhan  tidak berisiko lebih besar untuk  menderita  anemia.

B.  SARAN
1. Perencanaan  kehamilan/persalinan  sangat  penting dilaksanakan pada umur   20 sampai 35 tahun, untuk menekan
kejadian  anemia pada ibu hamil.
2. Program  KB  sangat diperlukan untuk mengatur jarak kelahiran  sehingga kelahiran berikutnya  dapat lebih dari dua
tahun.
3. Meskipun secara statistik ANC tidak  bermakna, namun tetap sangat diperlukan adanya kunjungan yang teratur bagi  
ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya, sebagai upaya deteksi dini  kelainan  kehamilan.
4. Perlu penelitian lanjutan   terhadap variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini, misalnya  kebiasaan ibu serta
faktor sosial budaya yang lain.
DAFTAR RUJUKAN
1. McCarthy J and Maine D, 1992. A Framework for Analyzing the Determinants of Maternal Mortality. Studies in Family
Planning Vol 23 Number 1 January/February 1992, pp. 23-33.
2. Pratomo H dan Wiknjosastro GH, 1995. Pengalaman Puskesmas dalam Upaya Keselamatan Ibu : Pilot Project di
Beberapa Puskesmas. Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional. Edisi 1 tahun 1995, hal. 1-8.
3. Hutabarat H, 1981. Kematian Maternal. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 7 No. 1 Januari 1981, hal. 5-35.
4. Vijayaraghavan, Bradman GV, Nair KM, Rao NP 1990. Evaluation Of National Nutritional Anaemia Prophylaxis
Programme. Ind. J. Procd 1990, 57, pp. 182-189.
5. Grant J.P, 1992. Situasi Anak-anak di Dunia 1991. Unicef
6a. WHO, 1992. Report of Working Group on Anemia. WHO Report, pp 17020.
6b. ____, 1994. Maternal Health and Safe Motherhood Programme : Research Progress report 1987-1992. Maternal
Health and Safe Motherhood Programme Division of Family Health WHO Geneva.
       _____, 1994. Report of the WHO Informasl Consultation on Hookworm Infection and Anemia in Girls and Women.
Schitosomiasis and Intestinal Parasites Unit Division of Control of Tropical Disease, Geneva 5-7 December 1994
7. Chi IC, 1981. Kematian Ibu pada Dua Belas Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia : Sebuah Analisis Epidemiologi.
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 7 No. 4 Oktober 1981, hal. 223-235.
8. Thangaleela T, Vijayalakshmi P, 1994. Prevalence of Anaemia in Pregnancy. The Indian Journal of Nutrition and
Dietetics. Feb 1994. 31(2), pp. 26-29.
9. Soejoenoes A, 1983. Beberapa Hasil Pengamatan Klinik pada Ibu Hamil dengan Anemia (Satu Studi di Rumah Sakit
Pendidikan/rujukan di Indonesia). Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 2 No. 9 April 1983, hal. 83-89.
10. Soeprono R, 1988. Anemia pada Wanita Hamil. Berkala Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Jilid XX Nomor 4 Desember 1988, hal. 121-135.
11. Husaini MA, 1989. Prevalensi Anemia Gizi. Buletin Gizi 2 (13) 1989, hal. 1-4.
     Husaini MA dan kawan-kawan, 1989. Study Nutritional Anemia. An Assessment of Information Compilation for
Supporting and Formulating National Policy and Program. Kerja sama Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Depkes. Jakarta 10 Maret 1989.
12. Affandi B, 1995. Kesehatan Reproduksi, Hak Reproduksi dan Realita Sosial. Seminar Hak dan Kesehatan Reproduksi.
Yogyakarta 1-2 Mei 1995.
13. Ristrini, 1991. Anemia Akibat Kurang Zat Besi, Keadaan, Masalah dan Program Penanggulangannya. Medika. Tahun
17 No. 1 Januari 1991, hal. 37-42.

Possibly related posts: (automatically generated)

 Asupan 90 Tablet Besi dan Anemia Ibu Hamil


 7 dari 10 Wanita Hamil Terkena Anemia
 Hati-hati Anemia pada ibu Hamil!

ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA IBU HAMIL DI INDONESIA (EVIDENCE BASED)Ridwan Amiruddin. Ermawati
Syam. Rusnah.Septi Tolanda.Irma DamayantiBAB IPENDAHULUAN A.    Latar belakangAngka Kematian Ibu (AKI)
merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara. Kematian ibu dapat terjadi karena
beberapa sebab, diantaranya karena anemia. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70%
untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan
ibu.1Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan
defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal
ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia  
gizi.2Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta
manusia. Dengan frekuensi yang masih cukup tinggi, berkisar antara 10% dan 20% (Prawirohardjo,2002). Badan
kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami
defisiensi besi sekitar 35-75%, serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. 1,4Anemia defisiensi
zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara yang sudah maju. Tiga puluh
enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara yang sedang berkembang
menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari
perkiraan populasi 1200 juta orang. 3Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 40,1%
(SKRT 2001). Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati 23 (74%) menderita
anemia, dan 13 (42%) menderita kekurangan besi. 4Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi
pada wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini.B.     Rumusan
masalah

1.       Bagaimanakah gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi diIndonesia?
2.       Program apakah yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia defisiensi zat besi di Indonesia?

3.       Apa isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi?  C.    Tujuan
1.      Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran epidemiologi, program penanggulangan, dan isu terbaru tentang anemia
defisiensi zat besi di Indonesia.
2.      Tujuan khusus
a.       Untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
b.       Untuk mengetahui program yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia defisiensi zat besi di
Indonesia.
c.       Untuk mengetahui isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi.

D.    Manfaat penulisan


1.      Manfaat praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi lembaga terkait dalam merumuskan
program penanggulangan masalah anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
2.      Manfaat keilmuan
Makalah ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan serta menjadi salah satu
bacaan yang bermanfaat.
3.      Manfaat bagi penulis
Memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan masyarakat khususnya masalah anemia
defisiensi zat besi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA A.    Tinjauan umum tentang anemia defisiensi zat besiAnemia adalah suatu keadaan
adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih
sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa
karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering
terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun,
kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta
ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. 4Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus,
perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan,
dan masa penyembuhan dari penyakit.B.     Anemia defisiensi zat besi pada kehamilanAnemia defisiensi besi pada
wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang.
Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami
defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. 41.      
Patofisiologi anemia pada kehamilan.Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-
65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml,
menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume
plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron. 2.       EtiologiEtiologi anemia
defisiensi besi pada kehamilan, yaitu :a.       Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.b.     
Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.c.       Kurangnya zat besi dalam makanan.d.     
Kebutuhan zat besi meningkat.

e.       Gangguan pencernaan dan absorbsi.

3.       Gejala klinisWintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat bervariasi, bisa
hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia
bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-
kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran
kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-
tanda anemia akan jelas.4Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan
pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan
anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil
adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl. 3  4.       Dampak anemia
defisiensi zat besi pada ibu hamilAnemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya angka
kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel
tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada
kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka
kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita
yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.  
Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga
terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia,
atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan
stress kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian peri-
natal, dan lain-lain).    BAB IIPEMBAHASAN A.    Epidemiologi anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di
Indonesia

1. Frekuensi

Grafik 1Prevalensi 10 Kelompok Penyakit Terbanyak di Indonesia Tahun 2001 5 

Sumber: Studi morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil Surkesnas 2001 Grafik 1 menunjukkan bahwa
di Indonesia, secara umum anemia merupakan penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak setelah gilut, refraksi
penglihatan, dan ISPA, dengan prevalensi sebesar 20%.       Grafik 2Prevalensi Anemia Menurut SKRT 1995 dan 2001Di
Indonesia 6        Sumber: SKRT 1995 dan  2001 Grafik 2 menunjukkan bahwa ibu hamil merupakan salah satu kelompok
penderita anemia dengan prevalensi 50,9% pada tahun 1995, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2001 menjadi
40,1%. Hal ini disebabkan karena penanggulangan anemia yang difokuskan pada ibu hamil berupa suplementasi zat
besi.Jadi, berdasarkan kedua grafik diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 20% prevalensi anemia di Indonesia
pada tahun 2001, sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil. Jenis anemia yang dominan adalah anemia karena
kekurangan zat besi. 

1. Distribusi

a.      Distribusi Menurut Orang

Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai risiko yang
tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya,
berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil
maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar.
Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwan Amiruddin di wilayah kerja
Puskesmas Bantimurung Maros, yang memperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu

di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung, MarosTahun 2004 2


 

Umur ibu Anemia


Total OR (Lower/Upper Limit)
(thn) Ya Tidak
< 20, >35 20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801
20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)
Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128  

Sumber : Ridwan Amiruddin dalam Jurnal Medika Unhas, dipublikasikan tahun 2007Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang
berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35
tahun.b.      Distribusi Menurut Tempat

Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi
di Indonesia Tahun 1992
No. Propinsi Prevalensi (%)

1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9
3 Sumatera Barat 82,6
4 Riau 65,6
5 Jambi 74,2
6 Sumatera Selatan 58,3
7 Bengkulu 46,8
8 Lampung 60,7
9 DKI Jakarta 67,6
10 Jawa Barat 71,5
11 Jawa Tengah 62,3
12 DI Yogyakarta 73,9
13 Jawa Timur 57,8
14 Bali 71,1
15 NTB 71,3
16 NTT 59,7
17 Kalimantan Barat 55,2
18 Kalimantan Tengah 73,9
19 Kalimantan Selatan 64,9
20 Kalimantan Timur 70
21 Sulawesi Utara 48,7
22 Sulawesi Tengah 45,5
23 Sulawesi Selatan 50,5
24 Sulawesi Tenggara 71,2
25 Maluku 69,8
26 Irian Jaya 71,4
27 Timor Timur 48
  Sumber : SKRT Tahun 1992
63,5
Indonesia
  Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat
(82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah.

Grafik 3Prevalensi Anemia Pada Bumil di Indonesia


 c.       Distribusi Menurut Waktu
Berdasarkan Data SKRT 1992-2001

63,5%
50,9%
40,1%

 
                 Sumber : Data SKRT 1992-2001 Grafik 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka penderita anemia dari
tahun 1992-2001. Hal ini menunjukkan keberhasilan program pemerintah dalam hal penanggulangan anemia pada ibu
hamil.Pada suatu penelitian yang diadakan di beberapa praktek bidan swasta dalam kotamadya Medan, ditemukan
bahwa terjadi peningkatan penderita anemia dengan makin tuanya usia kehamilan. Besarnya angka kejadia anemia ibu
hamil pada trimester I kehamilan adalah 20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%. 4Hal ini
disebabkan karena pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi
dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan
meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah
harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg
akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat
kebutuhan kondisi tidak hamil.

1. Determinan

Pada ibu hamil, beberapa faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan prevalensi anemia defisiensi zat besi, antara
lain :a.       Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun
janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.Wintrobe (1987) menyatakan
bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar
hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur
ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar.b.      Pendarahan akutc.       Pendidikan rendahd.      Pekerja
berate.       Konsumsi tablet tambah darah < 90 butirf.       Makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi. B.    
Program penanggulangan anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia Berbagai upaya telah dilakukan
oleh Departemen Kesehatan antara lain: 71.         Pemberian tablet besi pada ibu hamil secara rutin selama jangka waktu
tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat. Tablet besi untuk ibu hamil sudah tersedia dan telah
didistribusikan ke seluruh provinsi dan pemberiannya dapat melalui Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan
Bidan di Desa.2.         Buku pedoman pemberian zat besi bagi petugas tahun 1995, dan poster-poster mengenai tablet
besi sudah dibagikan.3.         Buku Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi bagi petugas tahun 1996.4.        
Sejak tahun 1993 sampai sekarang, kemasan Fe yang tadinya menimbulkan bau kurang sedap sekarang sudah
mengalami perbaikan yaitu tablet salut yang dikemas sebanyak 30 tablet per bungkus aluminium dengan komposisi yang
sama. Namun program di lapangan menunjukkan bahwa belum semua ibu hamil mendapatkan tablet besi sesuai yang
diharapkan program yaitu 90 tablet. Cakupan distribusi tablet tambah darah ibu hamil pada tahun 2001 (Fe1: 67,49% dan
Fe3: 63,08%) (SKRT 2001).C.    Isu Terbaru  KURANG ASAM FOLAT BISA SEBABKAN BAYI CACAT

Source       : http://www.padusi.com


Posted by : Dandrian on 29 Dec 2006

Kekurangan asam folat pada ibu hamil, berdasarkan penelitian, bisa menyebabkan terjadinya kecacatan
pada bayi yang dilahirkan. Bayi mengalami cacat pada otak dan sumsum tulang belakang.
Menurut dr Noroyono Wibowo SpOG, Kepala Subbagian Fetomaternal Departemen Obestetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), dalam semiloka manfaat asam folat yang
diselenggarakan di Jakarta, beberapa waktu lalu, asam folat merupakan enzim untuk memproduksi DNA
(Deoxyribose Nucleic Acid).

”Asam folat juga penting dalam membantu pembelahan sel. Asam folat juga bisa mencegah anemia dan menurunkan
risiko terjadinya NTD (Neural Tube Defects) dan sebagai antidepresan,” kata Bowo.Sering kali para ibu tidak mengetahui
dirinya kekurangan asam folat karena sebagian besar kehamilan terjadi tanpa direncanakan. ”Kebanyakan pasutri
(pasangan suami istri) tidak pernah merencanakan kehamilan. Tahu-tahu ibu langsung hamil setelah telat datang bulan.
Mereka baru datang ke dokter setelah positif hamil beberapa minggu.”Karena itu, ibu pun sering tidak membekali diri
dengan gizi yang mencukupi ketika sebelum dan sesudah kehamilan. ”Kalau kehamilan direncanakan, maka ia akan
mempersiapkan gizi yang baik sebelum hamil. Padahal, kebutuhan asam folat untuk ibu hamil harus disiapkan sejak
sebelum kehamilan.”Di Indonesia sendiri belum ada data pasti berapa besarnya prevalensi adanya penyakit kelainan
sumsum tulang belakang. ”Jumlah angka kematian bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Kematian bayi ini belum
diidentifikasi penyebabnya apa, karena belum ada data. Salah satu penyebab kematian bayi adalah kekurangan asam
folat,” ujar Bowo.Kekurangan asam folat menyebabkan bayi lahir dengan bibir sumbing, bayi dengan berat badan rendah,
Down’s Syndrome, dan keguguran. ”Bayi mengalami kelainan pembuluh darah. Rusaknya endotel pipa yang melapisi
pembuluh darah, menyebabkan lepasnya plasenta sebelum waktunya.”Kelainan lainnya adalah bayi mengalami
gangguan buang air besar dan kecil, anak tidak bisa berjalan tegak dan emosi tinggi. Pada anak perempuan saat dewasa
tidak mengalami menstruasi.Pada ibu hamil kekurangan folat menyebabkan meningkatnya risiko anemia, sehingga ibu
mudah lelah, letih, lesu, dan pucat.Sumber makanan yang mengandung asam folat adalah hati sapi (liver), brokoli, jeruk,
bayam, dan sebagainya. ”Roti dan susu juga mengandung asam folat tinggi, sebab kini susu dan tepung terigu telah
difortifikasi mengandung asam folat,” jelas Dr Tim Green PhD dari Department of Human Nutrition University of Otago
New ZealandHanya saja hati sapi mengandung vitamin A cukup tinggi. Pemberian vitamin A pada ibu hamil sangat tidak
dianjurkan karena menyebabkan gangguan kehamilan. Oleh sebab itu, pengganti hati sapi adalah susu.Kebutuhan asam
folat untuk ibu hamil dan usia subur sebanyak 400 mikrogram/hari atau sama dengan dua gelas susu. ”Mengonsumsi
folat tidak hanya ketika hamil, tetapi sebelum hamil sangat dianjurkan. Banyak negara telah melakukan kebijakan dalam
pengurangan NTD dengan mewajibkan ibu mengonsumsi asam folat,” tuturnya.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN A.    Kesimpulan

1. Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak dengan prevalensi
sebesar 20% (Studi morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil Surkesnas 2001). Sebanyak 40,1%
diantaranya adalah ibu hamil dengan jenis anemia yang dominan adalah anemia karena kekurangan zat besi (SKRT
1995 dan 2001).
2.  Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu
hamil usia 20-35 tahun (Ridwan Amiruddin, 2004).
3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi
Tengah (SKRT 1992).

4.      Terjadi penurunan angka penderita anemia dari tahun 1992-2001, yaitu 63,5% pada tahun 1992, 50,9% pada tahun
1995, dan menjadi 40,1% pada tahun 2001 (SKRT 1992,1995,dan 2001).5.      Determinan kejadian anemia defisiensi zat
besi adalah umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Pendarahan akut, pendidikan rendah, pekerja berat, konsumsi tablet
tambah darah < 90 butir, makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi. B.     Saran

1.       Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal menekan angka penderita anemia defisiensi
zat besi di Indonesia.
2.       Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang pentingnya suplemen zat besi dan bahaya anemia
bagi ibu hamil.
3.       Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di seluruh pelosok tanah air.
  DAFTAR PUSTAKA 1.      http://www.bppsdmk.depkes.go.id. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Akses 17
September 2007.2.      http://ridwanamiruddin.wordpress.com. Studi Kasus Kontrol Faktor Biomedis Terhadap Kejadian
Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Akses 17 September 2007.

3.      Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : EGC.

4.      http://library.usu.ac.id. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota
Madya Medan. Akses 17 September 2007.5.      http://bankdata.depkes.go.id. Profil Kesehatan Indonesia : Pencapaian
Indonesia Sehat di Tahun 2001. Akses 23 September 2007.6.      Atmarita, Tatang S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi
dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.7.      http://www.skripsi-tesis.com.
Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Rendahnya Cakupan Fe Ibu Hamil di Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi
Bengkulu Tahun 2003. Akses 17 September 2007. 

Kekurangan zat besi bisa menimbulkan penyakit yang disebut anemia gizi besi atau AGB. Penyakit ini bisa
diderita siapa saja, terutama anak-anak, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui. Perlu dilakukan diet agar
kecukupan gizi terpenuhi terutama zat besi.Teks & Foto: Budi Sutomo

Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang
dari kadar normal. Jika tidak segera ditangani anemia zat besi bisa menyebabkan ganguan kesehatan serius. Prevalensi
anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi. Menurut data yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita
prevalensi anemia gizi besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok wanita usia subur 26,4%, sedangkan pada ibu
hamil 40,1%. Data WHO tidak kalah fantastis: hampir 30% total penduduk dunia diperkirakan menderita anemia.

Penyebab AGB

Anemia zat besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran sel
darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis). Tanda-tanda ini biasanya akan menggangu metabolisme energi yang
dapat menurunkan produktivitas. Penyebab anemia gizi besi bisa disebabkan oleh beberapa hal. Seperti kurang
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, menderita penyakit ganguan pencernaan sehingga menggangu
penyerapan zat besi. Terjadi luka yang menyebabkan pendarahan besar, persalinan, menstruasi, atau cacingan serta
penyakit kronis seperti kanker, ginjal dan penyakit hati.

Penderita anemia biasanya ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka pucat, susah berkonsentrasi
serta fatique atau rasa lelah yang berlebihan. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan
distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha
mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran
tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung
kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi.

Kelompok Rentan

AGB bisa diderita siapa saja, namun ada masa rentan AGB.Diantaranya pada masa kehamilan, balita, remaja, masa
dewasa muda dan lansia. Pada ibu hamil, prevalensi anemia defisiensi berkisar 45-55%, artinya satu dari dua ibu hamil
menderita AGB. Ibu hamil rentan terhadap AGB disebabkan kandungan zat besi yang tersimpan tidak sebanding dengan
peningkatan volume darah yang terjadi saat hamil, ditambah dengan penambahan volume darah yang berasal dari janin.
Wanita secara kodrat harus kehilangan darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya
terkena AGB dibandingkan pria. Anak anak dan remaja juga usia rawan AGB karena kebutuhan zat besi cukup tinggi
diperluka semasa pertumbuhan. Jika asupan zat besinya kurang maka risiko AGB menjadi sangat besar. Penyakit kronis
seperti radang saluran cerna, kanker, ginjal dan jantung dapat menggangu penyerapan dan distribusi zat besi di dalam
tubuh yang dapat menyebabkan AGB.

Diet Tinggi Zat Besi

Kekurangan zat besi merupakan faktor utama AGB. Pria dewasa angka kecukupan gizi zat besi (AKG) yang dianjurkan
adalah 13 mg/hari, wanita 14-26 mg/hari, sedangkan ibu hamil ditambah 20 mg dari AKG wanita. AGB dapat dicegah
dengan menjalani pola makan sehat dan bervariasi. Pilih bahan pangan yang tinggi akan zat besi, folat, vitamin B12 dan
vitamin C. Vitamin B12 bermanfaat untuk melepaskan folat sehingga dapat membantu pembentukan sel darah merah.
Sedangkan vitamin C penting dikonsumsi penderita AGB karena dapat membantu penyerapan zat besi. Selain diet tinggi
zat besi, pemulihan AGB biasanya diperlukan tambahan suplemen folat, vitamin B12 serta zat besi. Pemulihan terapi diet
yang disertai pemberian suplemen penderita AGB biasanya akan pulih setelah 6 bulan menjalani terapi.
Tabel Bahan Pangan Tinggi Mineral dan Vitamin

Sumber Zat besi

1. Daging sapi.
2. Daging kambing.
3. Ayam.
4. Telur.
5. Ikan.
6. Kerang.
7. Hati.
8. Teri.
9. Tempe.
10. Kacang-kacangan.
11. Bubuk cokelat.
12. Sayuran hijau.

Sumber Vitamin B12

 Daging
 Keju
 Yoghurt
 Susu
 Telur
 Ayam
 Hati Sumber Vitamin C
1. Jeruk
2. Jambu Biji
3. Nanas
4. Apel
5. Stroberi
6. Bayam

Sumber Folat

Jeruk Nipis

Buah-buahan

Sayuran hijau gelap

Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP


BAYI YANG DILAHIRKAN
Oleh :Zulhaida Lubis
A561030051/GMK
e-mail: zulhaida@.telkom.net
Pendahuluan
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin
yang sedang dikandung. Bila gtatus gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama
hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat
badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada
keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil.
Salah satu cara untuk menilai kualitas bayi adalah dengan mengukur berat bayi pada
saat lahir. Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi yang sehat bila tingkat kesehatan
dan gizinya berada pada kondisi yang baik. Namun sampai saat ini masih banyak ibu
hamil yang mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronis
(KEK) dan Anemia gizi (Depkes RI, 1996). Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa 41 %
ibu hamil menderita KEK dan 51% yang menderita anemia mempunyai kecenderungan
melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih
besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal.
Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan
BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah
dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depke RI, 1996). Bayi yang dilahirkan
dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru,
sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan
dapat mengganggu kelangsungan hidupnya.
Selain itu juga akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan
terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku
dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).
Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil
Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan
energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat
gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan
besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu.
Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan
janin tumbuh tidak sempurna.
Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua zat gizi memerlukan tambahan, namun yang
seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan beberapa mineral seperti Zat
Besi dan Kalsium.
Kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori
selama masa kurang lebih 280 hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak
kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil (Nasution, 1988).
Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan lemak
36.337 Kkal. Agar energi ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak
26.244 Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan
menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan demikian jumlah total energi yang
harus tersedia selama kehamilan adalah 74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000 Kkal.
Untuk memperoleh besaran energi per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi
dengan angka 250 (perkiraaan lamanya kehamilan dalam hari) sehingga diperoleh
angka 300 Kkal.
Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian
sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan.
Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti
penambahan volume darah, pertumbuhan uterus, dan payudara, serta penumpukan
lemak. Selama trimester III energi tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan
plasenta.
Karena banyaknya perbedaan kebutuhan energi selama hamil, maka WHO
menganjurkan jumlah tambahan sebesar 150 Kkal sehari pada trimester I, 350 Kkal
sehari pada trimester II dan III. Di Kanada, penambahan untuk trimester I sebesar 100
Kkal dan 300 Kkal untuk trimester II dan III. Sementara di Indonesia berdasarkan Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 ditentukan angka 285 Kkal perhari
selama kehamilan. Angka ini tentunya tidak termasuk penambahan akibat perubahan
temperatur ruangan, kegiatan fisik, dan pertumbuhan. Patokan ini berlaku bagi mereka
yang tidak merubah kegiatan fisik selama hamil.
Sama halnya dengan energi, kebutuhan wanita hamil akan protein juga
meningkat, bahkan mencapai 68 % dari sebelum hamil. Jumlah protein yang harus
tersedia sampai akhir kehamilan diperkirakan sebanyak 925 g yang tertimbun dalam
jaringan ibu, plasenta, serta janin. Di Indonesia melalui Widya Karya Nasional Pangan
dan Gizi VI tahun 1998 menganjurkan penambahan protein 12 g/hari selama kehamilan.
Dengan demikian dalam satu hari asupan protein dapat mencapai 75-100 g (sekitar 12
% dari jumlah total kalori); atau sekitar 1,3 g/kgBB/hari (gravida mature), 1,5 g/kg
BB/hari (usia 15-18 tahun), dan 1,7 g/kg BB/hari (di bawah 15 tahun).
Bahan pangan yang dijadikan sumber protein sebaiknya (2/3 bagian) pangan
yang bernilai biologi tinggi, seperti daging tak berlemak, ikan, telur, susu dan hasil
olahannya. Protein yang berasal dari tumbuhan (nilai biologinya rendah) cukup 1/3
bagian.
Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe atau Zat
Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu
untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama
kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk
keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri. Berdasarkan Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1998, seorang ibu hamil perlu tambahan zat gizi ratarata
20 mg perhari. Sedangkan kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal
rata-rata 26 mg per hari (umur 20 – 45 tahun).
Gizi Kurang pada Ibu Hamil
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik
pada ibu maupun janin, seperti diuraikan berikut ini.
1. Terhadap Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara
lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena
penyakit infeksi.
2. Terhadap Perslinan
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit
dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), pendarahan setelah persalinan,
serta persalinan dengan operasi cenderung meningkat.
3. Terhadap Janin
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan
dapat menimbulkan kegururan , abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat
bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan
berat badan lahir rendah (BBLR)
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara
lain memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas
(LILA), dan mengukur kadar Hb. Pertambahan berat badan selama hamil sekitar 10 –
12 kg, dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg,
dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan
memantau pertumbuhan janin. Pengukuran LILA dimaksudkan untuk mengetahui
apakah seseorang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), sedangkan pengukuran
kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu apakah menderita anemai gizi.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami
hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi
kesehatan yang baik, system reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada
gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih
besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu
dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR,
vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita anemia.
Anemia pada Ibu Hamil
Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada di bawah normal.
Di Indonesia Anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan Zat Besi, sehingga lebih
dikenal dengan istilah Anemia Gizi Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu
gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami
deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk
metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat
kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester III.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan
janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin
didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan,
hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara
bermakna lebih tinggi. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat
meningkatkan resiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan
melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar.
Resiko BBLR pada Ibu Hamil
Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm hal ini berarti ibu
hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi BBLR. Bila bayi lahir
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan mempunyai resiko kematian, gizi
kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah
resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus
mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila
LILA ibu sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda
sehingga tidak beresiko melahirkan BBLR.
Hasil penelitian Edwi Saraswati, dkk. di Jawa Barat (1998) menunjukkan bahwa KEK
pada batas 23,5 cm belum merupakan resiko untuk melahirkan BBLR walaupun resiko
relatifnya cukup tinggi. Sedangkan ibu hamil dengan KEK pada batas 23 cm
mempunyai resiko 2,0087 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai LILA lebih dari 23 cm.
Sebagaimana disebutkan di atas, berat bayi yang dilahirkan dapat dipengaruhi oleh
status gizi ibu baik sebelum hamil maupun saat hamil. Status gizi ibu sebelum hamil
juga cukup berperan dalam pencapaian gizi ibu saat hamil. Penelitian Rosmeri (2000)
menunjukkan bahwa status gizi ibu sebelum hamil mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan status gizi kurang (kurus) sebelum
hamil mempunyai resiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai status gizi baik (normal).
Hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunujukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu
hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat
badan bayi yang dilahirkan. Sedangkan penelitian Edwi Saraswati, dkk. (1998)
menemukan bahwa anemia pada batas 11 gr/dl bukan merupakan resiko untuk
melahirkan BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh terhadap fungsi hormon
maupun fisiologis ibu.
Selanjutnya pada analisa bivariat anemia batas 9 gr/dl atau anemia berat ditemukan
secara statistik tidak nyata melahirkan BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mati
mempunyai resiko 3,081 kali. Dari hasil analisa multivariat dengan memperhatikan
masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan bahwa ibu hamil penderita
anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan BBLR 4,2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia berat.
Penutup
Ibu hamil merupakan kelompok yang cukup rawan gizi. Kekurangan gizi pada ibu hamil
mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak
yang akan dilahirkan. Bila ibu hamil mengalami kurang gizi maka akibat yang akan
ditimbulkan antara lain: keguguran, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan,
anemia pada bayi, dan bayi lahir dengan BBLR.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh gizi kurang terhadap kejadian BBLR
cukup besar pada ibu hamil, apalagi kondisi gizi ibu sebelum hamil buruk. Masalah gizi
kurang pada ibu hamil ini dapat dilihat dari prevalensi Kekurangan Energi Kronis (KEK)
dan kejadian anemia.
Untuk memperkecil resiko BBLR diperlukan upaya mempertahankan kondisi gizi yang
baiik pada ibu hamil. Upaya yang dilakukan berupa pengaturan konsumsi makanan,
pemantauan pertambahan berat badan, pemeriksaan kadar Hb, dan pengukuran LILA
sebelum atau saat hamil.
Daftar Pustaka
Depkes RI. Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1992. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Prenatal di Wilayah Kerja Puskesmas. Jakarta.
Depkes RI. Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1996. Pedoman
Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis. Jakarta.
Depkes RI. 1997. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
Saraswati, E. 1998. Resiko Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia untuk
melahirkan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Penelitian Gizi dan
Makanan jilid 21.
Jumirah, dkk. 1999. Anemia Ibu Hamil dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Serta
Dampaknya pada Berat Bayi Lahir di Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan.
Laporan Penelitian. Medan
Kardjati, S. 1999. Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Nasution, A.H., dkk. 1988. Gizi untuk Kebutuhan Fisiologis Khusus. Terjemahan. PT
Gramedia. Jakarta.
Pudiadi. 1997. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Manik, R. 2000. Pengaruh Sosio Demografi, Riwayat Persalinan dan Status Gizi Ibu
terhadap Kejadian BBLR, Studi Kasus di RSIA Sri Ratu Medan. Skripsi Mahasiswa
FKM USU. Medan.
Sarimawar, D., dkk. 1991. Faktor Resiko yang Mempengaruhi Anemia Kehamilan.
Buletin Penelitian Kesehatan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai