PUSKESMAS BANTIMURUNG
STUDI KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL DI PUSKESMAS
BANTIMURUNG MAROS TAHUN 2004Ridwan Amiruddin1, Wahyuddin2
1Staf Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas; 2 Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat -UIT.
RINGKASAN
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal,
angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat hubungan faktor umur ibu, ANC, jarak kelahiran, paritas dan keluhan ibu hamil terhadap kejadian anemia di
wilayah puskesmas Bantimurung. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kelola dengan sampel ibu hamil
dan bersalin sebanyak 128 responden yang diambil secara purposive sampling. Uji statistik yang digunkan adalah
analisis Odds Ratio, dan logistik regresi. Hasil penelitian yang diperoleh sekitar 83.6 % responden mengalami anemia,
dengan ANC sebagian besar kurang dari 4 kali (72.7%). Hasil analisis bivariat ditemukan banhwa ANC tidak signifikan
terhadap anemia, OR. 1.251 (95%CI.0.574-2.729), demikian juga dengan keluhan dengan OR 1.354, 95 % CI. 0.673-
2.725. begitu juga paritas kurang dari satu dan lebih 4 tidak berefek terhadap anemia pada ibu hamil dengan OR 1.393 ,
95%CI.0.474-4.096. Sedangkan jarak kelahiran bermakna terhadap kejadian anemia dengan OR 2.343, 95% CI.1.146-
4.790. dan variabel Umur dengan OR 2.801, 95% CI 1.089-7.207. Kesimpulan variabel yang berhubungan adalah jarak
kelahiran dan umur ibu hamil, sedangkan variabel paritas, ANCdan adanya keluhan tidak bermakna. Dengan demikian
maka disarankan bahwa untuk menekan kejadian anemia dengan berbagai dampaknya maka pengaturan jarak
kelahiran sangat diperlukan melalui perencanaan kelahiran melalui keluarga berencana, begitu juga dengan umur ibu,
sangat penting untuk diperhatikan melahirkan pada usia 20- 35 tahun. (J Med Nus. 2004; 25:71-75)
SUMMARY
In pregnancy women, anemic increases the frequency of complication to the pregnancy and delivery. Risk of maternal
mortality, prematurity number, low birth weight, and prenatal mortality are increase. This research intend to identify the
relation factors of maternal age, ANC, delivery expanse, parity and maternal complain to the occurrence of anemic in
Bantimurung public health service. Method of the research was case control study with samples consist of 128
respondents of pregnant and delivery women taken purposively sampling. Statistical test was Odds ratio and regression
logistic. Result of the research obtained that approximately 83.6% respondents undergoes anemic with ANC mostly less
than 4 times (72.7%). Bivariate analysis shows that ANC insignificant to anemic undergoes, OR. 1.251 (95% Cl. 0.574-
2.729), as well as maternal complain with OR 1.354, 95% Cl. 0.673-2.725 and parity less than one and more than four
insignificant with anemic undergoes with OR 1.393, 95% Cl 0.474-4.096. Meanwhile deliveries expanse significant with
anemic undergoes with OR 2.801, 95% Cl 1.146-4.790 and age variable with OR 2.801, 95% Cl 1.089-7.207. It terminates
that the variables related with anemic undergoes were deliveries expanse and maternal age, meanwhile the variables of
parity, ANC and maternal complain insignificant. It is suggested in a manner to diminish anemic undergoes with all of its
impact is with dispose deliveries expanse trough family planning, as well as maternal age as a main factors to notice, to
deliver in age of 25-35 years old. (J Med Nus. 2004; 25:71-75)
LATAR BELAKANG
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang
kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan
keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan
latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut
keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, perilaku, dan lain-lain.
Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat
diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu
dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan.1 Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan,
timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat
bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyebab yang langsung. 2
Status kesehatan ibu, menurut model Mc Carthy dan Maine 1 merupakan faktor penting dalam terjadinya kematian ibu.
Penyakit atau gizi yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao (1975) melaporkan
bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus kematian ibu adalah anemia.3,4 Grant 5 menya-
takan bahwa anemia merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO 6b menyatakan bahwa anemia
merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk 7 menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70%
untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.8
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal,
angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan
antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita
yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.9 Soeprono.10 menyebutkan bahwa dampak anemia pada
kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus,
partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada
masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada
janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain).10
Prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi pada umumnya banyak penelitian yang
menunjukkan prevalensi anemia pada wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi
anemia pada trimester III berkisar 50-79%.11 Affandi 12 menyebutkan bahwa anemia kehamilan di Indonesia berdasarkan
data Departemen Kesehatan tahun 1990 adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di 12 rumah sakit
pendidikan/rujukan di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan anemia yang melahirkan di RS
pendidikan /rujukan adalah 30,86%. Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas.9 Hal yang sama
diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan berat akan makin tinggi dengan bertambahnya
paritas.13 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55%
dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan.6a
Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat
gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga
diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia gizi.
Indonesia, prevalensi anemia tahun l970–an adalah 46,5–70%. Pada SKRT tahun 1992 dengan angka anemia ibu hamil
sebesar 63,5% sedangkan data SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan anemia gizi pada
ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi
khususnya pada ibu hamil berkisar 45,5 – 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17% 14,3 % di Kabupaten
Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten
Bulukumba sebesar 67,3% (1997). Sedangkan laporan data di Kabupaten Maros khususnya di Kecamatan Bantimurung
anemia ibu hamil pada tahun 1999 sebesar 31,73%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001
sebesar 68,65%.
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif seperti: 1) gangguan dan hambatan pada pertumbuhan,
baik sel tubuh maupun sel otak, 2) Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang
dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri
maupun pada bayi yang dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran prematur bagi ibu
yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran
prematur dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada
usia kehamilan sebelum 24 minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan salah satu faktor
kehamilan dengan risiko tinggi.
Sumber : Data primer
METODE PENELITIAN
C. Pembahasan
1. A N C dengan kejadian anemia.
Antenatal care adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh tenaga professional meliputi pemeriksaan
kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester
satu, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan ANC kejadian anemia pada ibu dapat
dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan ibu dapat merawat dirinya selama hamil dan mempersiapkan
persalinannya.
Hasil analisis hububgan ANC dengan kejadian anemia didapatkan OR sebesar 1,251 dengan nilai lower 0,574 dan nilai
upper 2,729, oleh karena nilai 1 berada diantara batas bawah dan batas atas maka tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pemeriksaan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
2. Keluhan selama hamil
Kehamilan adalah peristiwa alami yang melibatkan perubahan fisik dan emosional dari seorang ibu, utamanya pada umur
kehamilan 1 – 3 bulan pertama kebanyakan ibu hamil mengalami beberapa keluhan seperti pusing, mual, kadang –
kadang muntah. Keadaan ini akan berlangsung sementara dan biasanya hilang dengan sendirinya pada kehamilan lebih
dari 3 bulan. Dari hasil analisis hubungan keluhan selama hamil dengan kejadian anemia didapatkan nilai 1 berada antara
batas bawah dan batas atas yaitu nilai lower 0,673 dan nilai upper 2,725, maka tidak terdapat hubungan antara faktor
keluhan ibu selama hamil dengan kejadian anemia.
3. Parietas
Parietas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang
sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan
kebutuhan nutrisi.Karena selama hamil zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara parites dengan kejadian anemia pada ibu
hamil, karena nilai 1 berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 1,393 dan nilai lower 0,474 dan nilai
upper 4,096.
4. Jarak Kelahiran.
Jarak kelahiran adalah waktu sejak ibu hamil sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat
dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat
– zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung.
Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa reponden paling banyak menderita anemia pada jarak kehamilan < 2 tahun.
Hasil uji memperlihatkan bahwa jarak kelahiran mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian anemia, karena nilai 1
berada antara batas bawah dan batas atas dengan OR sebesar 2,343 dengan nilai lower 1,146 dan nilai upper 4,790.
5. Umur
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20
– 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia
< 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah
mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat – zat gizi
selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh
serta berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini. Hasil analisis didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat
berpengaruh terhadap kajadian anemia, dengan OR sebesar 2,801 dengan nilai lawer 1,089 dan nilai upper 7,207.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis status kesehatan ibu hamil di Kecamatan Bantimurung Kab Maros didapatkan
1. Umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih 35 tahun berisiko lebih besar untuk menderita anemia
2. ANC ibu hamil kurang dari 4 kali tidak berisiko untuk menderita anemia
3. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun berisiko lebih besar untuk menderita anemia
4. Paritas > 3 orang tidak berisiko lebih besar untuk menderita anemia
5. Adanya keluhan tidak berisiko lebih besar untuk menderita anemia.
B. SARAN
1. Perencanaan kehamilan/persalinan sangat penting dilaksanakan pada umur 20 sampai 35 tahun, untuk menekan
kejadian anemia pada ibu hamil.
2. Program KB sangat diperlukan untuk mengatur jarak kelahiran sehingga kelahiran berikutnya dapat lebih dari dua
tahun.
3. Meskipun secara statistik ANC tidak bermakna, namun tetap sangat diperlukan adanya kunjungan yang teratur bagi
ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya, sebagai upaya deteksi dini kelainan kehamilan.
4. Perlu penelitian lanjutan terhadap variabel lain yang belum diteliti dalam penelitian ini, misalnya kebiasaan ibu serta
faktor sosial budaya yang lain.
DAFTAR RUJUKAN
1. McCarthy J and Maine D, 1992. A Framework for Analyzing the Determinants of Maternal Mortality. Studies in Family
Planning Vol 23 Number 1 January/February 1992, pp. 23-33.
2. Pratomo H dan Wiknjosastro GH, 1995. Pengalaman Puskesmas dalam Upaya Keselamatan Ibu : Pilot Project di
Beberapa Puskesmas. Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional. Edisi 1 tahun 1995, hal. 1-8.
3. Hutabarat H, 1981. Kematian Maternal. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 7 No. 1 Januari 1981, hal. 5-35.
4. Vijayaraghavan, Bradman GV, Nair KM, Rao NP 1990. Evaluation Of National Nutritional Anaemia Prophylaxis
Programme. Ind. J. Procd 1990, 57, pp. 182-189.
5. Grant J.P, 1992. Situasi Anak-anak di Dunia 1991. Unicef
6a. WHO, 1992. Report of Working Group on Anemia. WHO Report, pp 17020.
6b. ____, 1994. Maternal Health and Safe Motherhood Programme : Research Progress report 1987-1992. Maternal
Health and Safe Motherhood Programme Division of Family Health WHO Geneva.
_____, 1994. Report of the WHO Informasl Consultation on Hookworm Infection and Anemia in Girls and Women.
Schitosomiasis and Intestinal Parasites Unit Division of Control of Tropical Disease, Geneva 5-7 December 1994
7. Chi IC, 1981. Kematian Ibu pada Dua Belas Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia : Sebuah Analisis Epidemiologi.
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 7 No. 4 Oktober 1981, hal. 223-235.
8. Thangaleela T, Vijayalakshmi P, 1994. Prevalence of Anaemia in Pregnancy. The Indian Journal of Nutrition and
Dietetics. Feb 1994. 31(2), pp. 26-29.
9. Soejoenoes A, 1983. Beberapa Hasil Pengamatan Klinik pada Ibu Hamil dengan Anemia (Satu Studi di Rumah Sakit
Pendidikan/rujukan di Indonesia). Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Vol. 2 No. 9 April 1983, hal. 83-89.
10. Soeprono R, 1988. Anemia pada Wanita Hamil. Berkala Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Jilid XX Nomor 4 Desember 1988, hal. 121-135.
11. Husaini MA, 1989. Prevalensi Anemia Gizi. Buletin Gizi 2 (13) 1989, hal. 1-4.
Husaini MA dan kawan-kawan, 1989. Study Nutritional Anemia. An Assessment of Information Compilation for
Supporting and Formulating National Policy and Program. Kerja sama Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Depkes. Jakarta 10 Maret 1989.
12. Affandi B, 1995. Kesehatan Reproduksi, Hak Reproduksi dan Realita Sosial. Seminar Hak dan Kesehatan Reproduksi.
Yogyakarta 1-2 Mei 1995.
13. Ristrini, 1991. Anemia Akibat Kurang Zat Besi, Keadaan, Masalah dan Program Penanggulangannya. Medika. Tahun
17 No. 1 Januari 1991, hal. 37-42.
ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA IBU HAMIL DI INDONESIA (EVIDENCE BASED)Ridwan Amiruddin. Ermawati
Syam. Rusnah.Septi Tolanda.Irma DamayantiBAB IPENDAHULUAN A. Latar belakangAngka Kematian Ibu (AKI)
merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara. Kematian ibu dapat terjadi karena
beberapa sebab, diantaranya karena anemia. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70%
untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan
ibu.1Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan
defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal
ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia
gizi.2Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta
manusia. Dengan frekuensi yang masih cukup tinggi, berkisar antara 10% dan 20% (Prawirohardjo,2002). Badan
kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami
defisiensi besi sekitar 35-75%, serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. 1,4Anemia defisiensi
zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara yang sudah maju. Tiga puluh
enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara yang sedang berkembang
menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari
perkiraan populasi 1200 juta orang. 3Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 40,1%
(SKRT 2001). Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati 23 (74%) menderita
anemia, dan 13 (42%) menderita kekurangan besi. 4Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi
pada wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini.B. Rumusan
masalah
1. Bagaimanakah gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi diIndonesia?
2. Program apakah yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia defisiensi zat besi di Indonesia?
3. Apa isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi? C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran epidemiologi, program penanggulangan, dan isu terbaru tentang anemia
defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui program yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia defisiensi zat besi di
Indonesia.
c. Untuk mengetahui isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang anemia defisiensi zat besiAnemia adalah suatu keadaan
adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih
sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa
karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering
terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun,
kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta
ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. 4Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus,
perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan,
dan masa penyembuhan dari penyakit.B. Anemia defisiensi zat besi pada kehamilanAnemia defisiensi besi pada
wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang.
Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami
defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. 41.
Patofisiologi anemia pada kehamilan.Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-
65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml,
menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume
plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron. 2. EtiologiEtiologi anemia
defisiensi besi pada kehamilan, yaitu :a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.b.
Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.c. Kurangnya zat besi dalam makanan.d.
Kebutuhan zat besi meningkat.
3. Gejala klinisWintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat bervariasi, bisa
hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia
bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-
kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran
kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-
tanda anemia akan jelas.4Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan
pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan
anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil
adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl. 3 4. Dampak anemia
defisiensi zat besi pada ibu hamilAnemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya angka
kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel
tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada
kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka
kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita
yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.
Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga
terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia,
atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan
stress kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian peri-
natal, dan lain-lain). BAB IIPEMBAHASAN A. Epidemiologi anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di
Indonesia
1. Frekuensi
Sumber: Studi morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil Surkesnas 2001 Grafik 1 menunjukkan bahwa
di Indonesia, secara umum anemia merupakan penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak setelah gilut, refraksi
penglihatan, dan ISPA, dengan prevalensi sebesar 20%. Grafik 2Prevalensi Anemia Menurut SKRT 1995 dan 2001Di
Indonesia 6 Sumber: SKRT 1995 dan 2001 Grafik 2 menunjukkan bahwa ibu hamil merupakan salah satu kelompok
penderita anemia dengan prevalensi 50,9% pada tahun 1995, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2001 menjadi
40,1%. Hal ini disebabkan karena penanggulangan anemia yang difokuskan pada ibu hamil berupa suplementasi zat
besi.Jadi, berdasarkan kedua grafik diatas dapat diperoleh informasi bahwa dari 20% prevalensi anemia di Indonesia
pada tahun 2001, sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil. Jenis anemia yang dominan adalah anemia karena
kekurangan zat besi.
1. Distribusi
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai risiko yang
tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya,
berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil
maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar.
Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwan Amiruddin di wilayah kerja
Puskesmas Bantimurung Maros, yang memperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu
Sumber : Ridwan Amiruddin dalam Jurnal Medika Unhas, dipublikasikan tahun 2007Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang
berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35
tahun.b. Distribusi Menurut Tempat
Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi
di Indonesia Tahun 1992
No. Propinsi Prevalensi (%)
1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9
3 Sumatera Barat 82,6
4 Riau 65,6
5 Jambi 74,2
6 Sumatera Selatan 58,3
7 Bengkulu 46,8
8 Lampung 60,7
9 DKI Jakarta 67,6
10 Jawa Barat 71,5
11 Jawa Tengah 62,3
12 DI Yogyakarta 73,9
13 Jawa Timur 57,8
14 Bali 71,1
15 NTB 71,3
16 NTT 59,7
17 Kalimantan Barat 55,2
18 Kalimantan Tengah 73,9
19 Kalimantan Selatan 64,9
20 Kalimantan Timur 70
21 Sulawesi Utara 48,7
22 Sulawesi Tengah 45,5
23 Sulawesi Selatan 50,5
24 Sulawesi Tenggara 71,2
25 Maluku 69,8
26 Irian Jaya 71,4
27 Timor Timur 48
Sumber : SKRT Tahun 1992
63,5
Indonesia
Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat
(82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah.
63,5%
50,9%
40,1%
Sumber : Data SKRT 1992-2001 Grafik 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka penderita anemia dari
tahun 1992-2001. Hal ini menunjukkan keberhasilan program pemerintah dalam hal penanggulangan anemia pada ibu
hamil.Pada suatu penelitian yang diadakan di beberapa praktek bidan swasta dalam kotamadya Medan, ditemukan
bahwa terjadi peningkatan penderita anemia dengan makin tuanya usia kehamilan. Besarnya angka kejadia anemia ibu
hamil pada trimester I kehamilan adalah 20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%. 4Hal ini
disebabkan karena pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi
dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan
meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah
harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg
akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat
kebutuhan kondisi tidak hamil.
1. Determinan
Pada ibu hamil, beberapa faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan prevalensi anemia defisiensi zat besi, antara
lain :a. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun
janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.Wintrobe (1987) menyatakan
bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar
hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur
ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar.b. Pendarahan akutc. Pendidikan rendahd. Pekerja
berate. Konsumsi tablet tambah darah < 90 butirf. Makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi. B.
Program penanggulangan anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia Berbagai upaya telah dilakukan
oleh Departemen Kesehatan antara lain: 71. Pemberian tablet besi pada ibu hamil secara rutin selama jangka waktu
tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat. Tablet besi untuk ibu hamil sudah tersedia dan telah
didistribusikan ke seluruh provinsi dan pemberiannya dapat melalui Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan
Bidan di Desa.2. Buku pedoman pemberian zat besi bagi petugas tahun 1995, dan poster-poster mengenai tablet
besi sudah dibagikan.3. Buku Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi bagi petugas tahun 1996.4.
Sejak tahun 1993 sampai sekarang, kemasan Fe yang tadinya menimbulkan bau kurang sedap sekarang sudah
mengalami perbaikan yaitu tablet salut yang dikemas sebanyak 30 tablet per bungkus aluminium dengan komposisi yang
sama. Namun program di lapangan menunjukkan bahwa belum semua ibu hamil mendapatkan tablet besi sesuai yang
diharapkan program yaitu 90 tablet. Cakupan distribusi tablet tambah darah ibu hamil pada tahun 2001 (Fe1: 67,49% dan
Fe3: 63,08%) (SKRT 2001).C. Isu Terbaru KURANG ASAM FOLAT BISA SEBABKAN BAYI CACAT
Kekurangan asam folat pada ibu hamil, berdasarkan penelitian, bisa menyebabkan terjadinya kecacatan
pada bayi yang dilahirkan. Bayi mengalami cacat pada otak dan sumsum tulang belakang.
Menurut dr Noroyono Wibowo SpOG, Kepala Subbagian Fetomaternal Departemen Obestetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), dalam semiloka manfaat asam folat yang
diselenggarakan di Jakarta, beberapa waktu lalu, asam folat merupakan enzim untuk memproduksi DNA
(Deoxyribose Nucleic Acid).
”Asam folat juga penting dalam membantu pembelahan sel. Asam folat juga bisa mencegah anemia dan menurunkan
risiko terjadinya NTD (Neural Tube Defects) dan sebagai antidepresan,” kata Bowo.Sering kali para ibu tidak mengetahui
dirinya kekurangan asam folat karena sebagian besar kehamilan terjadi tanpa direncanakan. ”Kebanyakan pasutri
(pasangan suami istri) tidak pernah merencanakan kehamilan. Tahu-tahu ibu langsung hamil setelah telat datang bulan.
Mereka baru datang ke dokter setelah positif hamil beberapa minggu.”Karena itu, ibu pun sering tidak membekali diri
dengan gizi yang mencukupi ketika sebelum dan sesudah kehamilan. ”Kalau kehamilan direncanakan, maka ia akan
mempersiapkan gizi yang baik sebelum hamil. Padahal, kebutuhan asam folat untuk ibu hamil harus disiapkan sejak
sebelum kehamilan.”Di Indonesia sendiri belum ada data pasti berapa besarnya prevalensi adanya penyakit kelainan
sumsum tulang belakang. ”Jumlah angka kematian bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Kematian bayi ini belum
diidentifikasi penyebabnya apa, karena belum ada data. Salah satu penyebab kematian bayi adalah kekurangan asam
folat,” ujar Bowo.Kekurangan asam folat menyebabkan bayi lahir dengan bibir sumbing, bayi dengan berat badan rendah,
Down’s Syndrome, dan keguguran. ”Bayi mengalami kelainan pembuluh darah. Rusaknya endotel pipa yang melapisi
pembuluh darah, menyebabkan lepasnya plasenta sebelum waktunya.”Kelainan lainnya adalah bayi mengalami
gangguan buang air besar dan kecil, anak tidak bisa berjalan tegak dan emosi tinggi. Pada anak perempuan saat dewasa
tidak mengalami menstruasi.Pada ibu hamil kekurangan folat menyebabkan meningkatnya risiko anemia, sehingga ibu
mudah lelah, letih, lesu, dan pucat.Sumber makanan yang mengandung asam folat adalah hati sapi (liver), brokoli, jeruk,
bayam, dan sebagainya. ”Roti dan susu juga mengandung asam folat tinggi, sebab kini susu dan tepung terigu telah
difortifikasi mengandung asam folat,” jelas Dr Tim Green PhD dari Department of Human Nutrition University of Otago
New ZealandHanya saja hati sapi mengandung vitamin A cukup tinggi. Pemberian vitamin A pada ibu hamil sangat tidak
dianjurkan karena menyebabkan gangguan kehamilan. Oleh sebab itu, pengganti hati sapi adalah susu.Kebutuhan asam
folat untuk ibu hamil dan usia subur sebanyak 400 mikrogram/hari atau sama dengan dua gelas susu. ”Mengonsumsi
folat tidak hanya ketika hamil, tetapi sebelum hamil sangat dianjurkan. Banyak negara telah melakukan kebijakan dalam
pengurangan NTD dengan mewajibkan ibu mengonsumsi asam folat,” tuturnya.
1. Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak dengan prevalensi
sebesar 20% (Studi morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil Surkesnas 2001). Sebanyak 40,1%
diantaranya adalah ibu hamil dengan jenis anemia yang dominan adalah anemia karena kekurangan zat besi (SKRT
1995 dan 2001).
2. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu
hamil usia 20-35 tahun (Ridwan Amiruddin, 2004).
3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi
Tengah (SKRT 1992).
4. Terjadi penurunan angka penderita anemia dari tahun 1992-2001, yaitu 63,5% pada tahun 1992, 50,9% pada tahun
1995, dan menjadi 40,1% pada tahun 2001 (SKRT 1992,1995,dan 2001).5. Determinan kejadian anemia defisiensi zat
besi adalah umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Pendarahan akut, pendidikan rendah, pekerja berat, konsumsi tablet
tambah darah < 90 butir, makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi. B. Saran
1. Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal menekan angka penderita anemia defisiensi
zat besi di Indonesia.
2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang pentingnya suplemen zat besi dan bahaya anemia
bagi ibu hamil.
3. Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di seluruh pelosok tanah air.
DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.bppsdmk.depkes.go.id. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Akses 17
September 2007.2. http://ridwanamiruddin.wordpress.com. Studi Kasus Kontrol Faktor Biomedis Terhadap Kejadian
Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Akses 17 September 2007.
3. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : EGC.
4. http://library.usu.ac.id. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota
Madya Medan. Akses 17 September 2007.5. http://bankdata.depkes.go.id. Profil Kesehatan Indonesia : Pencapaian
Indonesia Sehat di Tahun 2001. Akses 23 September 2007.6. Atmarita, Tatang S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi
dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.7. http://www.skripsi-tesis.com.
Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Rendahnya Cakupan Fe Ibu Hamil di Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi
Bengkulu Tahun 2003. Akses 17 September 2007.
Kekurangan zat besi bisa menimbulkan penyakit yang disebut anemia gizi besi atau AGB. Penyakit ini bisa
diderita siapa saja, terutama anak-anak, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui. Perlu dilakukan diet agar
kecukupan gizi terpenuhi terutama zat besi.Teks & Foto: Budi Sutomo
Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang
dari kadar normal. Jika tidak segera ditangani anemia zat besi bisa menyebabkan ganguan kesehatan serius. Prevalensi
anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi. Menurut data yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita
prevalensi anemia gizi besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok wanita usia subur 26,4%, sedangkan pada ibu
hamil 40,1%. Data WHO tidak kalah fantastis: hampir 30% total penduduk dunia diperkirakan menderita anemia.
Penyebab AGB
Anemia zat besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran sel
darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis). Tanda-tanda ini biasanya akan menggangu metabolisme energi yang
dapat menurunkan produktivitas. Penyebab anemia gizi besi bisa disebabkan oleh beberapa hal. Seperti kurang
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, menderita penyakit ganguan pencernaan sehingga menggangu
penyerapan zat besi. Terjadi luka yang menyebabkan pendarahan besar, persalinan, menstruasi, atau cacingan serta
penyakit kronis seperti kanker, ginjal dan penyakit hati.
Penderita anemia biasanya ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka pucat, susah berkonsentrasi
serta fatique atau rasa lelah yang berlebihan. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan
distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha
mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran
tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung
kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi.
Kelompok Rentan
AGB bisa diderita siapa saja, namun ada masa rentan AGB.Diantaranya pada masa kehamilan, balita, remaja, masa
dewasa muda dan lansia. Pada ibu hamil, prevalensi anemia defisiensi berkisar 45-55%, artinya satu dari dua ibu hamil
menderita AGB. Ibu hamil rentan terhadap AGB disebabkan kandungan zat besi yang tersimpan tidak sebanding dengan
peningkatan volume darah yang terjadi saat hamil, ditambah dengan penambahan volume darah yang berasal dari janin.
Wanita secara kodrat harus kehilangan darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya
terkena AGB dibandingkan pria. Anak anak dan remaja juga usia rawan AGB karena kebutuhan zat besi cukup tinggi
diperluka semasa pertumbuhan. Jika asupan zat besinya kurang maka risiko AGB menjadi sangat besar. Penyakit kronis
seperti radang saluran cerna, kanker, ginjal dan jantung dapat menggangu penyerapan dan distribusi zat besi di dalam
tubuh yang dapat menyebabkan AGB.
Kekurangan zat besi merupakan faktor utama AGB. Pria dewasa angka kecukupan gizi zat besi (AKG) yang dianjurkan
adalah 13 mg/hari, wanita 14-26 mg/hari, sedangkan ibu hamil ditambah 20 mg dari AKG wanita. AGB dapat dicegah
dengan menjalani pola makan sehat dan bervariasi. Pilih bahan pangan yang tinggi akan zat besi, folat, vitamin B12 dan
vitamin C. Vitamin B12 bermanfaat untuk melepaskan folat sehingga dapat membantu pembentukan sel darah merah.
Sedangkan vitamin C penting dikonsumsi penderita AGB karena dapat membantu penyerapan zat besi. Selain diet tinggi
zat besi, pemulihan AGB biasanya diperlukan tambahan suplemen folat, vitamin B12 serta zat besi. Pemulihan terapi diet
yang disertai pemberian suplemen penderita AGB biasanya akan pulih setelah 6 bulan menjalani terapi.
Tabel Bahan Pangan Tinggi Mineral dan Vitamin
1. Daging sapi.
2. Daging kambing.
3. Ayam.
4. Telur.
5. Ikan.
6. Kerang.
7. Hati.
8. Teri.
9. Tempe.
10. Kacang-kacangan.
11. Bubuk cokelat.
12. Sayuran hijau.
Daging
Keju
Yoghurt
Susu
Telur
Ayam
Hati Sumber Vitamin C
1. Jeruk
2. Jambu Biji
3. Nanas
4. Apel
5. Stroberi
6. Bayam
Sumber Folat
Jeruk Nipis
Buah-buahan