Disusun Oleh :
Pembimbing :
Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan,
dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi. Pola makan
merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi.Hal ini disebabkan
karena kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi
tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari berbagai
penyakit kronis atau penyakit tidak menular (PTM) terkait gizi, maka pola makan masyarakat
perlu ditingkatkan kearah konsumsi gizi seimbang.Keadaan gizi yang baik dapat meningkatkan
kesehatan individu dan masyarakat. Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan normal
serta perkembangan fisik dan kecerdasan bayi, anak-anak, serta seluruh kelompok umur. Gizi
yang baik membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena penyakit infeksi,
produktivitas kerja meningkat serta terlindung dari penyakit kronis dan kematian dini.
Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari
5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi
nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama
pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7
persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013
(Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi
gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013
sampai 2015.
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi
buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-
29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun
2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang
berarti
masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori
prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar
37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013
prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen
tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen
pada tahun 2013.
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi
sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat,
(4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera
Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13)
Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo,
(19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39
persen dan serius bila prevalensi pendek 40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi
termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi
tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi
Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10)
Lampung, (11). Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14).
Sulawesi Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur.
Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi
buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat
kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan
dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan
prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun
2010) dan 7,4 persen (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat
kurus menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013 (Gambar
3.14.4).
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku
Utara.
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen, yang
menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang
memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai
terendah,yaitu: (1) Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6)
Bangka Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11)
Kalimantan Barat, dan (12) Jawa Tengah.(Gambar 3.14.3)
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0
14,0 persen, dan dianggap kritis bila 15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara
nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya. masalah kurus di
Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi,
terdapat 16 provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu
Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.
Riskesdas 2007, 2010, 2013 menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki masalah
kekurangan gizi. Kecenderungan prevalensi kurus (wasting) anak balita dari 13,6% menjadi
13,3% dan menurun 12,1%. Sedangkan kecenderungan prevalensi anak balita pendek (stunting)
sebesar 36,8%, 35,6%, 37,2%. Prevalensi gizi kurang (underweight) berturut-turut 18,4%, 17,9%
dan 19,6%. Prevalensi kurus anak sekolah sampai remaja Riskesdas 2010 sebesar 28,5%
Konsumsi pangan masyarakat masih belum sesuai dengan pesan gizi seimbang. Hasil
penelitian Riskesdas 2010 menyatakan gambaran sebagai 2 berikut. Pertama, konsumsi sayuran
dan buah-buahan pada kelompok usia di atas 10 tahun masih rendah, yaitu masing-masing
sebesar 36,7% dan 37,9%. Kedua, kualitas protein yang dikonsumsi rata-rata perorang perhari
masih rendah karena sebagian besar berasal dari protein nabati seperti serealia dan
kacangkacangan. Ketiga, konsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi, garam tinggi
dan lemak tinggi, baik pada masyarakat perkotaan maupun perdesaan, masih cukup tinggi.
Keempat, konsumsi cairan pada remaja masih rendah. Kelima, cakupan pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif (ASI Eksklusif) pada bayi 0-6 bulan masih rendah (61,5%).
Masalah kekurangan gizi pada anak balita ini merupakan dampak dari rendahnya
pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak
tepat, karena diberikan terlalu dini atau terlambat, jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan bayi pada setiap tahapan usia dan tidak bergizi
seimbang untuk memenuhi asupan kalori, protein dan gizi mikro (vitamin dan mineral). Hanya
41 persen keluarga yang mempunyai perilaku pemberian makanan bayi yang benar. Ketersediaan
pangan lokal beragam telah dapat diakses oleh sebagian keluarga karena dari 41 persen keluarga
yang memberikan makanan pendamping ASI yang benar tersebut ternyata MP-ASI yang
diberikan berasal dari sumber pangan lokal yang memenuhi 70 persen kebutuhan besi dan 87
persen kebutuhan vitamin A.
Pangan lokal adalah pangan yang sudah dikenal, mudah diperoleh di suatu wilayah,
jenisnya beragam dan dapat diusahakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun dijual. n dan
mineral. Potensi pangan pokok di Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya. Sejak lama
Indonesia mempunyai pola pangan pokok yang beragam dengan menggunakan pangan lokal non
beras seperti jagung, aneka umbi-umbian, pisang dan sagu. Padi, yang kemudian diolah menjadi
beras, merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu,
produksi padi sangat menentukan bagi ketersediaan pangan pokok bagi penduduk Indonesia
yang saat ini bejumlah lebih dari 244 juta jiwa. Dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi padi
menurut wilayah, dapat dikatakan bahwa Pulau Jawa selama periode tahun 2000 sampai dengan
2012 mengalami laju pertumbuhan produksi padi yang relatif rendah, yaitu dengan laju
pertumbuhan produksi rata-rata 1,85 %/tahun dan standard deviasi 3,39 %/tahun.. Perkembangan
Produksi Padi Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera Jawa Bali (NTB+NTT) Kalimantan
Sulawesi Maluku (+Papua) 17 Di wilayah Maluku+Papua (meliputi provinsi: Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Papua Barat) selama periode tahun 2000 sd 2012, mempunyai rata-rata laju
pertumbuhan produksi pertahun yang tertinggi, yaitu 10,35 % pertahun, namun jika dilihat
stabilitas pertumbuhannya, data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi padi di
Maluku+Papua sangat tidak stabil, yaitu dengan standar deviasi 23,21 %/tahun.
Pemberian gizi yang paling tepat bagi anak-anak adalah tetap berpedoman pada "Gizi
Seimbang". Manurut para pakar, pemenuhan nutrisi pada anak dipengaruhi beberapa faktor
seperti pengetahuan seperti pengetahuan gizi keluarga (terutama ibu), daya belik eluarga, kondisi
fisik anak, dan lain-lain. Selain peran status gizi dipengaruhi oleh keluarga dan daya
belikeluarga. Pengembangan anak sangat dipengaruhi oleh ibu. Interaksi ibu berpengaruh secara
langsung terhadap anak. Peran ibu sebagai pemberi makan kepada anak cukup menentukan
kesukaan atau kebiasaan makan anak.Selain itu peran ibu sebagai penjaga pintu yang artinya ibu
sebagai pemberi inisiatif dalam membeli suatu produk dan mencari informasi tentang produk
tersebut untuk mengambil suatu keputusan. Ibu berperan dalam mempengaruhi pembelian suatu
produk yang sesuai dengan kebutuhan Ibu berperan dalam menentukan produk apa yang akan
dibeli umumnya ibu memberikan pendidikan kepadaan akanaknya sejak anak tersebut dilahirkan.
Sedangkan peran ayah juga sangat penting dalam menentukan gizi keluarga.Peran ayah
dimulai bukan saat anak lahir, namun ketika sang ibu merencanakan kehamilan. Di mana ayah
berperan memberikan dukungan penuh agar ibu dan janin sehat dengan asupan gizi seimbang,
cukupistirahat dan olahraga.Ayah bisa menjadi penyedia dan pengolah makanan, juga
pendukung utama agar ibu dan anak sehat.
II. TUJUAN
2. Menumbuhkan sikap dan perilaku gender dalam keluarga untuk pemenuhan gizi
seimbang
1. Kader kesehatan/PKK/Posyandu
Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam
pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat karena tingginya
produktifitas kerja. Sebaliknya jika masalah gizi banyak terdapat dalam suatu masyarakat hal ini
dapat menghambat pembangunan dan menimbulkan kerugian yang tidak terhingga (Soekirman,
2005). Permasalahan gizi sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Peningkatan
ekonomi masyarakat akan berdampak terhadap peningkatan status gizi. Peningkatan ekonomi
masyarakat dapat menurunkan masalah gizi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, mengurangi
biaya kematian dan kesakitan, kedua melalui peningkatan produktifitas. Hal ini sejalan dengan
yang diungkapkan oleh Soekirman (2005) yaitu kemiskinan memiliki hubungan timbal balik
dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui
rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak
mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi. Tahun 2004 sekitar 50 persen
penduduk Indonesia pada semua kelompok usia mengalami masalah kekurangan gizi baik dalam
keadaan sakit maupun sehat. Kejadian kekurangan gizi cenderung dikesampingkan, padahal
secara perlahan dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi,
angka kematian balita dan rendahnya umur harapan hidup (Atmarita, 2004). Pada tahun 2001,
prevalensi underweight dan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga
seperti Malaysia dan Thailand. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2001 prevalensi underweight (
BB/U) <-2SD) pada balita di Indonesia sebesar 26,1 persen, sementara Malaysia dan Thailand
masing-masing sebesar 18,3 persen dan 18,6 persen. Cina sebagai negara yang memiliki
pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki permasalahan underweight sebesar 9,6 persen.
Negara-negara miskin seperti Bangladesh dan India menghadapi permasalahan underweight
yang tinggi dibandingkan negara lainnya sebesar 47.8 persen dan 47.0 persen.
Tabel 1 juga menunjukan prevalensi stunting pada balita di Indonesia sebesar 42,6
persen. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting yang cukup tinggi.
Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh, India dan Kamboja juga memiliki prevalensi
stunting yang tinggi sebesar 44,8 persen, 45,6 persen dan 46,0 persen. Negara dengan
prevalensi stunting yang rendah antara lain Thailand sebesar 16,0 persen dan Cina
sebesar 16,7 persen. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
prevalensi balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu
cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003 (Tabel 2). Sedangkan prevalensi balita
gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu cenderung
fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Untuk prevalensi balita yang mengalami status gizi
buruk dan gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu
cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Tahun 2003 prevalensi balita gizi buruk
dan gizi kurang mencapai 27,5 persen.
Status gizi pada balita dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak
langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi balita ialah penyakit infeksi dan
asupan makan balita, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi balita
diantaranya ialah pendidikan, pengetahuan, ketrampilan keluarga dan ketahanan pangan yang
berkaitan dengan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya serta pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan, dengan penyebab dasar struktur atau kondisi
ekonomi (Adisasmito, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Trimanto (2008), terdapat hubungan
yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Kabupaten Sragen.
Proporsi balita yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin
kecil pendapatan, semakin tinggi persentase balita yang kekurangan gizi, semakin tinggi
pendapatan, semakin rendah persentase gizi buruk. Pendapatan merupakan salah satu unsur yang
dapat mempengaruhi status gizi secara tidak langsung. Hal ini menyangkut daya beli keluarga
untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam rumah tangga atau kebutuhan konsumsi makan
untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Istilah gizi berasal dari bahasa Arab giza yang berarti zat makanan. Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering diartikan
sebagai ilmu gizi. Lebih luas, gizi diartikan sebagai suatu proses organisme menggunakan
makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi,
pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk menghasilkan tenaga (Pekik, 2006).
Zat gizi dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu sumber tenaga atau energi, zat
1) Kebutuhan energi
mempertahankan fungsi jaringan tubuh, proses mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil
dan gerakan otot untuk aktivitas. Kebutuhan energi balita sehat dapat dihitung berdasarkan
usia dan berat badannya. Pada batita usia 1 -- 3 tahun, kebutuhan energi dalam sehari adalah
75 -- 90 kalori per kg berat badan, sedangkan untuk anak usia pra sekolah usia 3 -- 5 tahun
masa pertumbuhan sehingga kebutuhannya relatif lebih besar dari pada orang dewasa.
Menurut Persagi dalam Uripi V. (2004:14) kebutuhan protein pada balita sehat dalam sehari
adalah 2,5 gr per kg berat badan untuk batita usia 1-- 3 tahun sedangkan untuk anak usia
Disamping energi dan protein tubuh juga memerlukan zat pengatur untuk
melangsungkan proses metabolisme. Zat gizi yang termasuk zat pengatur adalah air, vitamin,
dan mineral. Walaupun diperlukan dalam jumlah 15 sedikit, zat gizi tersebut sangat
Pemberian zat gizi yang tepat pada usia ini akan membantu pertumbuhan fisik dan
juga mentalnya. Berikut zat zat gizi penting yang harus diberikan pada usia 1 3 tahun :
Gizi Balita Usia 3 5 Tahun
Pada tahap usia ini anak mulai belajar berbagai keterampilan sosial. Aktivitas fisik
dan gerak tubuhnya pun beragam, seperti bersepeda, berlarian, berlompatan. Begitu juga
kemampuan berpikirnya seperti mengenal huruf, angka dan warna sudah mulai dilakukan
pada usia ini. Makanan sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya menjadi sangat penting
untuk menunjang aktivitas anak. Untuk anak usia 3 5 tahun, zat zat gizi yang diperlukan
akan digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan 21 perkembangan serta memperkuat daya
Pengolahan makanan adalah kumpulan metode dan teknik yang digunakan untuk
mengubah bahan mentah menjadi makanan atau mengubah makanan menjadi bentuk lain
untuk konsumsi oleh manusia atau oleh industri pengolahan makanan.
Makin tinggi suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang
digunakan untuk mematikan mikroba.
2. Blansing
Cara melakukan blansing ialah dengan merendam dalam air panas (merebus)
atau dengan uap air (mengukus atau dinamakan juga steam blanching).
Merebus yaitu memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air mendidih.
Sayur-sayuran atau buah-buahan yang akan diblansing dimasukkan ke dalam
keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blansing
biasanya mencapai 82 83oC selama 3 5 menit. Setelah blansing cukup
walktunya, kemudian keranjang kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat
didinginkan dengan air. Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau,
karena warna bahan akan menjadi kusam. Caranya ialah dengan mengisikan
bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang yang
berisi air mendidih.
3. Pasteurisasi
Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan sampai suatu suhu
tertentu untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri
penyebab penyakit TBC, disentri, diare, dan penyakit perut lainnya. Dengan
pasteurisasi masih terdapat mikroba, sehingga bahan pangan yang telah
dipasteurisasi mempunyai daya tahan simpan yang singkat.
Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan pangan
bakteribakteri patogen yang berbahaya ditinjau dari kesehatan masyarakat
Mikroba terutama mikroba non patogen dan pembusuk masih ada pada bahan
yang dipasteurisasi dan bisa berkembang biak. Oleh karena itu daya tahan
simpannya tidak lama. Contohnya : susu yang sudah dipasteurisasi bila disimpan
pada suhu kamar hanya akan tahan 1 2 hari, sedangkan bila disimpan dalam
lemari es tahan kira-kira seminggu. Karena itu untuk tujuan pengawetan,
pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya, misalnya
dengan pendinginan. Pasteurisasi biasanya dilakukan pada susu, juga pada
saribuah dan suhu yang digunakan di bawah 100 C. Contohnya:1). Pasterurisasi
susu dilakukan pada suhu 61 63 0C selama 30 menit; 2). Pasteurisasi saribuah
dilakukan pada suhu 63 74 0C selama 15 30 menit.
Pasteurisasi pada sari buah dan sirup dapat dilakukan dengan cara hot water
bath. Pada cara hot water bath, wadah yang telah diisi dengan bahan dan
ditutup (sebagian atau rapat) dimasukkan ke dalam panci terbuka yang diisi
dengan air. Beberapa cm (2,5 5,0 cm) di bawah permukaan wadah. Kemudian
air dalam panci dipanaskan sampai suhu di bawah 100 0C ( 71 85 0C ),
sehingga aroma dan flavor tidak banyak berubah.
4. Sterilisasi
5. Pendinginan
Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya
terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu
rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika
bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan
mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan
cepat kembali.Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda
pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya.Beberapa
bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
6. Fermentasi
7. Pengeringan
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap
tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua
permukaan bahan tersebut.Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan
terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan
uap di udara, dan waktu pengeringan.
Masa balita merupakan penentu kehidupan selanjutnya. Agar tumbuh kembang optimal
berikan anak balita makanan dengan gizi seimbang. Gizi seimbang untuk usia balita adalah :
a. Biasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang dan malam) bersama keluarga
Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi selama sehari dianjurkan agar anak
makan secara teratur 3 kali sehari dimulai dengan sarapan atau makan pagi, makan
siang dan makan malam. Untuk menghindarkan/mengurangi anak-anak mengonsumsi
makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi dianjurkan agar selalu makan bersama
keluarga. Sarapan setiap hari penting terutama bagi anak-anak oleh karena mereka
sedang tumbuh dan mengalami perkembangan otak yang sangat tergantung pada
asupan makanan secara teratur.
b. Perbanyak mengonsumsi makanan kaya protein seperti ikan, telur,tempe, susu dan
tahu.
c. Batasi mengonsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin dan berlemak.
Nasi / Tim / Bubur nasi Nasi / Tim / Bubur nasi Nasi / Tim / Bubur nasi
Semur bola-bola Sop baso ikan + Opor telur
daging giling wortel+buncis Perkedel tahu +
Tahu isi (wortel, Terik tempe Sayuran
tahu, bayam) Jeruk Tumis kacang panjang
Pisang
Selingan Jam 10.00 Selingan Jam 16.00 Selingan Jam 21.00
Bubur Kacang Puding buah Susu
hijau
Peranan orang tua yaitu seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola perilaku dalam keluarga, kelompok dan masyarakat. Peran
keluarga sangatlah penting bagi anak usia balita, terutama terhadap status gizi mereka. Adapun
perannya adalah sebagai pendidik dan penyedia. Sejak dalam kandungan peran orangtua
sangatlah penting, orangtua harus mencukupi gizi anak dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung protein, lemak dan karbohidrat. Balita menderita gizi buruk, baru akan diketahui
saat anak berusia satu sampai lima tahun, anak harus menerima asupan makanan seimbang. Jika
berat badan anak kurang, maka asupan gizi harus diperbanyak sesuai kebutuhan.
Pengembangan anak sangat dipengaruhi oleh ibu baik secara positif maupun negatif.
Interaksi ibu berpengaruh secara langsung terhadap anak. Peran ibu sebagai pemberi makan
kepada anak cukup menentukan kesukaan atau kebiasaan makan anak. Selain itu peran ibu
sebagai penjaga pintu yang artinya ibu sebagai pemberi inisiatif dalam membeli suatu produk
dan mencari informasi tentang produk tersebut untuk mengambil suatu keputusan. Ibu berperan
dalam mempengaruhi pembelian suatu produk yang sesuai dengankebutuhan Ibu berperan dalam
menentukan produk apa yang akan dibeli Umumnya ibu memberikan pendidikan kepada anak
anaknya sejak anak tersebut dilahirkan.
Sedangkan peran ayah juga sangat penting dalam menentukan gizi keluarga. Peran ayah
dimulai bukan saat anak lahir, namun ketika sang ibu merencanakan kehamilan. Di mana ayah
berperan memberikan dukungan penuh agar ibu dan janin sehat dengan asupan gizi seimbang,
cukup istirahat dan olahraga. Ketika anak lahir,ayah kembali berperan penting memastikan
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan pertama umur bayi. Untuk
memperlancar ASI, maka ibu membutuhkan asupan gizi lebih banyak ketimbang saat hamil,
rileks dan bahagia yang tentunya memerlukan dukungan ayah. Ayah bisa menjadi penyedia dan
pengolah makanan, juga pendukung utama agar ibu dan anak sehat.