Anda di halaman 1dari 82

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Hemoglobin adalah protein yang kaya zat besi yang memiliki afinitas (daya gabung)
terhadap oksigen dan bersama oksigen membentuk oksihemoglobin di dalam sel darah merah
sehingga oksigen dibawa dari paru - paru ke jaringan - jaringan. Penurunan kadar Hb dapat
menyebabkan terjadinya anemia yang merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka
1
kematian wanita usia subur (WUS).

Anemia merupakan suatu gejala berbagai macam penyakit dasar. Maka dalam diagnosis
anemia tidak dapat ditetapkan sebagai penyakit dasar karena untuk mengetahui penyakit dasar
yang melatar belakangi anemia penting nya dilakukan pengelolaan dan penatalaksanaan karena
1
tanpa mengetahui penyebab mendasar anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas. Menurut
WHO dan pedoman Kemenkes 1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur,
maupun golongan individu. Kelompok umur atau golongan individu tertentu dianggap lebih
rentan mengalami anemia dibandingkan kelompok lainnya.
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl
pada trimester I dan III, atau pada trimester II kadar hemoglobinnya kurang dari 10,5 gr/dl.
Selama kehamilan terjadi perubahan dalam darah dan sumsum tulang serta kebutuhan zat-zat
1
makanan pun bertambah, oleh karena itu anemia sering dijumpai dalam kehamilan. Penyebab
paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat besi. Hal ini penting dilakukan
pemeriksaan untuk anemia pada kunjungan pertama kehamilan. Bahkan, jika tidak mengalami
anemia pada saat kunjungan pertama, masih mungkin terjadi anemia pada kehamilan
lanjutannya. Selama kehamilan darah akan bertambah banyak yang dimulai sejak usia kehamilan
10 minggu dan mencampai puncak pada usia 32-36 minggu usia kehamilan yang di kenal
sebagai hidremia atau hemodolusi, perbandingan pertambahan komponen darah yaitu plasma
30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19% namun volume plasma yang bertambah banyak tidak
2
sebanding dengan pertambahan sel-sel darah sehingga terjadi pengenceran darah. Hal tersebut
merupakan penyusuain fisiologis dalam kehamilan. Ibu hamil dianggap sebagai salah satu
kelompok yang rentan mengalami anemia, meskipun jenis anemia pada kehamilan umumnya
bersifat „fisiologis‟. Anemia tersebut terjadi karena peningkatan volume plasma yang berakibat
3
pengenceran kadar Hb tanpa perubahan bentuk sel darah merah.
Anemia pada populasi ibu hamil menurut WHO pada tahun 2011 Afrika, Asia Tenggara
dan wilayah Pasifik Barat memiliki cakupan yang sangat tinggi, dengan lebih dari 90% dari
populasi ditutupi oleh data survei anemia untuk anak-anak dan perempuan. Untuk tahun 2011,
diperkirakan bahwa 38% dari wanita hamil, dan 29% perempuan yang tidak hamil dan 29% dari
semua wanita usia reproduksi memiliki anemia secara global, sesuai dengan 496 juta wanita
4
tidak hamil dan 32 juta wanita hamil. World Health Organization (WHO) tahun 2012
memperkirakan bahwa 35-75% ibu hamil di negara berkembang dan 18% ibu hamil di negara
maju mengalami anemia. Banyak diantara mereka sudah mengalami anemia pada saat konsepsi,
dengan perkiraam prevalensi sebesar 43% pada perempuan yang tidak hamil di negara
5
berkembang dan 12% negara yang lebih maju. Anemia pada populasi ibu hamil menurut
kriteria anemia yang ditentukan WHO dan pedoman Kemenkes 1999, Menurut data Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2013, prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia sebesar 37%
3
mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 24,5% (Kemenkes RI, 2014). Infodatin Gizi
6
(2015) menyebutkan diperkirakan 41,8% ibu hamil di seluruh dunia mengalami anemia. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lestari, prevalensi anemia pada wanita hamil di Sumatera Utara
7
sebesar 40,7% lebih besar dari rata-rata nasional. Dari hasil analisis dalam penelitian ini
didapatkan prevalensi anemia ibu hamil di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Jakarta Selatan
tahun 2013 sebesar 32,5 % yaitu terdapat 55 ibu hamil anemia dari jumlah sampel 169 ibu hamil
8
yang ANC dari bulan januari hingga mei 2013.
Status gizi pada ibu hamil dapat disebabkan beberapa faktor seperti pendapatan,
pendidikan, lingkungan yang buruk, kebiasaan makan yang kurang baik yang berpengaruh gizi
ibu hamil. Penelitian Muliawati tahun 2013 di puskesmas Sambi Kabupaten Boyolali
menyatakan 79% ibu hamil menderita kurang gizi. Pada saat kehamilan banyak mitos-mitos di
dalam masyarakat salah satunya di Jawa tengah dan di Jawa Barat pantang untuk makan telur
dan daging padahal daging dan telur sangat dibutuhkan untuk pemenuhan gizi ibu hamil. Pada
9
akhirnya ibu hamil banyak yang mengalami anemia dan KEK. Oleh sebab itu pengetahuan
merupakan faktor yang mempengaruhi untuk terbentuknya perilaku masyarakat untuk mencegah
anemia sehingga dapat terhindar dari faktor resiko anemia kehamilan.
Dari hasil penelitian Faudy dan Bangun tahun 2013 di daerah Sumatra Utara menunjukan
bahwa ibu hamil yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebesar 56.6% terdapat 25.3%
ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup, dan 18.1% ibu hamil yang memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah. Semakin tinggi angka pengetahuan ibu hamil makan dapat
2
mengurangi angka kejadian anemia pada ibu hamil.
Dari hasil penelitian Anna 2015 didapatkan hasik bahwa ada hubungan antara pendidikan
dengan angka kejadian anemia didapatkan yang berpendidikan rendah 78.6% dan mengalami
10
anemia jadi pendidikan sangat mempengaruhi mencari penyebab dan solusi. Dari data profil
kesehatan kabupaten/kota DKI Jakarta mengatakan bahwa ibu hamil yang mendapatka zat bei
masih rendah Jakarta Pusat dibandingkat dengan bagian daerah Jakarta yang lain sebesar 67.54%
hal tersebut dapat disebakan karena rendahnya kepatuhan ibu untuk meminum dan kontrol di
11
Puskesmas.
Kekurangan energi kronik (KEK) yaitu keadaan ibu hamil yang menderita kekurangan
makanan yang berlangsung lama dengan berbagai timbulnya gangguan kesehatan pada ibu
hamil. Ibu hamil yang mengalami resiko kekurangan energi kronik akan menimbulkan beberapa
permasalahan, baik pada ibu maupun janin. KEK pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan
komplikasi pada ibu seperti anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal,
dan terkena penyakit infeksi.
Menurut WHO kejadian KEK pada ibu hamil pada tahun 2011 didunia adalah 468 miliar
12
wanita, dengan angka kejadian paling banyak di afrika 48% diikuti dengan asia sekitar 30%
dan sebagian pada eropa. Menurut data Riskesdas tahun 2013 angka kejadian KEK pada ibu
hamil di Indonesia 24,2%, dengan kejadian di Jakarta sendiri sebanyak 7,6%. Berdasarkan data
Riskesdas tahun 2013, proporsi wanita usia subur resiko KEK usia 15-19 tahun sebanyak 38,5%.
Pada usia 20-24 tahun adalah sebanyak 30,1% . Selain itu, pada usia 25-29 tahun adalah
sebanyak 20,9%. Serta pada usia 30-34 tahun adalah sebanyak 21,4%, yaitu Kalimantan Tengah,
Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat,
13
Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Faktor faktor yang berhubungan dengan KEK pada ibu hamil diantaranya adalah keadaan
sosial ekonomi yang mengakibatkan rendahnya pendidikan, jarak kelahiran yang terlalu dekat
menyebabkan buruknya status gizi pada ibu hamil, banyaknya bayi yang dilahirkan, usia
kehamilan pertama yang terlalu muda atau masih remaja dan pekerjaan yang biasanya memiliki
status gizi lebih rendah apabila tidak diimbangi dengan asupan makanan dalam jumlah yang
cukup. Menurut penelitian Mulyaningrum, menunjukkan bahwa ibu hamil yang berumur kurang
dari 20 tahun memiliki risiko KEK yang lebih tinggi, bahkan ibu hamil yang umurnya terlalu
14
muda dapat meningkatkan risiko KEK secara bermakna.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Tingginya kejadian anemia pada ibu hamil di Indonesia menurut infodatin gizi
pada tahun 2015 sebanyak 41,8%.

b. Tingginya angka anemia di Indonesia dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan


ibu hamil dalam mengkomsumsi zat besi sesuai dengan data dari profil kesehatan
kabupaten/kota Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 sebanyak 67.54% di Jakarta
Pusat
c. Tingginya kejadian KEK pada ibu hamil di Indonesia menurut data Riskesdas
tahun 2013 angka kejadian KEK pada ibu hamil di Indonesia 24,2%

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum


Diketahuinya hubungan lingkar lengan atas dengan kadar Hb ibu hamil di
puskesmas jelambar periode januari – april 2019.

1.3.2. Tujuan khusus


1.3.2.1 Mengetahui sebaran Hb ibu hamil di puskesmas jelambar periode januari –
april 2019.

1.3.2.2 Mengetahui frekuensi usia, tingkat pendidikan, paritas, ANC, jarak


kehamilan, LLA dan konsumsi fe terhadap kadar Hb ibu hamil di kelurahan
jelambar periode januari – april 2019.
1.3.2.3 Diketahui hubungan usia, tingkat pendidikan, paritas, ANC, jarak kehamilan,
LLA dan konsumsi fe dengan Hb ibu hamil di kelurahan jelambar periode
januari – april 2019.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi peneliti


1.5.1.1 Manfaat bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai hubungan LLa dengan kadar Hb ibu hamil di kelurahan jelambar
periode januari – april 2019.

1.5.1.2 Sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut yang akan melakukan penelitian
khususnya tentang Mengetahui hubungan LLa dengan kadar Hb pada ibu
hamil di puskesmas jelambar periode januari – april 2019.
1.5.1.3 Sebagai bahan acuan ataupun perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
1.5.1.4 Sebagai syarat kelulusan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran Universitas Kristn Krida Wacana.

1.5.2 Manfaat bagi perguruan tinggi


1.5.2.1 Menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana. Serta dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal sebagai acuan
mahasiswa untuk menambah pengetahuan khususnya mengenai Mengetahui
hubungan LLA dengan kadar Hb ibu hamil di puskesmas jelambar priode
januari – april 2019.
1.5.2.2 Meningkatkan kualitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
dengan menambah daftar penelitian di kepustakaan.

1.5.3 Manfaat bagi puskesmas

1.5.3.1 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak
puskesmas untuk menambah program kesehatan yang dilakukan terhadap Ibu
Hamil dengan anemia di Wilayah Puskesmas jelambar.
1.5.3.2 Meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu hamil dengan anemia seta
pencegahannya.

1.5.4 Manfaat bagi masyarakat


1.5.4.1 Mengetahui pentingnya kontrol antenatal care pada ibu hamil untuk mencegah
daripada anemia selama kehamilan di Puskesmas.
1.5.4.2 Melakukan pencegahan dan pengobatan yang dapat mengurangi kejadian
anemia pada ibu hamil.
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Hemoglobin
2.1.1 Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya zat besi yang memiliki afinitas (daya
gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oksihemoglobin di
dalam sel darah merah sehingga oksigen dibawa dari paru - paru ke jaringan -
1
jaringan.
Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri dari 4
subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan
suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.
Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul
1
hemoglobin.
2.1.2 Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh,
sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan untuk sel-sel otot. Besi yang ada
di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan
sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan tubuh, dan besi
1,16
yang diserap dari saluran pencernaan.
Hemoglobin merupakan komponen yang sangat penting dalam
mempertahankan kebutuhan sistem sirkulasi tubuh. Fungsi utamanya adalah dalam
mengatur pertukaran O2 dan CO2 dalam jaringan tubuh yaitu mengambil O2 dari paru
kemudian dibawa ke seluruh tubuh untuk digunakan sebagai bahan bakar serta
membawa CO2 dari jaringan tubuh hasil metabolisme ke paru untuk dibuang.
hemoglobin juga turut berfungsi dalam mempertahankan bentuk normal sel darah
1,16
merah.
2.1.3 Batas Kadar Nilai Hemoglobin
Anemia menurut World Health Organization (WHO) diartikan sebagai suatu
keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan normal untuk
kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan penetapan kadar normal
hemoglobin dalam berbagai kelompok. Kadar hemoglobin normal dapat dilihat di
17
tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kadar Hemoglobin Normal.17


Kelompok Umur Hemoglobin
(g/dl)

Anak 6 – 59 bulan 11.0

5 – 11 tahun 11,5

12 – 14 tahun 12,0

Dewasa Wanita(>15 12,0


tahun)

Wanita hamil 11,0

2.1.4 Cara Pengukuran Hemoglobin


Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan berbagai macam cara. Cara
yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara fotoelektrik dan
kalorimetrik visual dan yang banyak digunakan di lapangan penelitian ialah
18
hemoglobinometer digital.
Metode pengukuran kadar hemoglobin yang paling sering digunakan di
laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup teliti dan
dianjurkan oleh International Committee of Standarization in Hematology (ICSH) adalah
cara sian-methemoglobin. Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium feosianida
menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk
sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan
dibandingkan dengan standar karena yang membandingkan alat elektronik maka lebih
objektif. Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan
biaya pemeliharaan mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secara luas di Indonesia.
Mengingat bahwa membawa spektrofotometer
dapat menyebabkan kerusakan pada alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam
pemeriksaan kadar Hb di laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika
18
digunakan di survei lapangan.
Cara fotoelektrik atau sian-methemoglobin dilakukan dengan prinsip untuk
mengubah hemoglobin darah menjadi sian-methemoglobin dalam larutan yang berisi
kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm atau filter
hijau. Larutan drabkin yang dipakai pada cara ini mengubah hemoglobin,
oksihemoglobin, methemoglobin dan karboksihemoglobin menjadi sian-
methemoglobin. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya
dengan absorbansi standar sian-methemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara
ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan
kadar hemoglobin dengan teliti karena standar sian-methemoglobin yang ditanggung
kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai kira-kira 2%. Kelemahan
cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel darah dapat mengganggu pembacaan
dalam fotokalorimeter dan menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih
18
tinggi dari yang sebenarnya contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia.
Cara pengukuran hemoglobin yang berikutnya adalah cara kalorimetrik visual
atau Sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi asam hematin dalam larutan
HCl, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam
alat itu. Di Indonesia cara Sahli masih banyak digunakan di laboratorium-
laboratorium kecil yang tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi cara ini tidak begitu
dianjurkan karena bukanlah cara yang teliti dan hanya berlandaskan pengukuran
18
secara visual dan kesalahan cara ini kira-kira 10%.
Berdasarkan penelitian Miko di tahun 2016, metode Sahli memiliki sensitifitas
nilai indeks 100%, spesifisitas nilai anemia 6,1% sedangkan perhitungan uji
reliabilitas 1,16%. Hasil tersebut menunjukkkan metode Sahli kurang disarankan
karena false positive microkuvet tinggi. Salah satu metode pengukuran hemoglobin
yang praktis digunakan saat ini adalah dengan menggunakan alat hemoglobinometer
digital (easy touch GCHb). Alat kesehatan ini memiliki keuntungan sangat mudah
digunakan, prosesnya cepat, murah serta lulus uji sehingga dapat digunakan sendiri
tanpa bantuan tenaga medis namun penggunaan alat ini masih terbatas karena tidak
semua orang mampu membeli dan menggunakan alat ini sehingga alat ini kurang
19
umum digunakan di masyarakat.
Pada penelitian ini pemeriksaan hemoglobin menggunakan metode Hemocue
dengan alat hemometer digital Easy Touch GCHb (Bioptic Technology Inc., China).
Pengukuran kadar hemoglobin yang direkomendasikan World Health Organization
(WHO) untuk digunakan dalam survei prevalensi anemia adalah Cyanmethemoglobin
dan Hemocue,13 namun metode Cyanmethemoglobin lebih direkomendasikan sebagai
gold standard karena terbukti lebih stabil, sehingga memiliki sensitivitas dan
20,21
spesifisitas yang lebih tinggi.
Hemoglobinometer digital merupakan metode kuantitatif yang terpercaya
dalam mengukur konsentrasi hemoglobin di lapangan penelitian dengan bahan kimia
pada strip yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah ferrosianida.
Reaksi pada strip akan menghasilkan arus elektrik dan jumlah elektrik yang dihasilkan
adalah bertindak langsung dengan konsentrasi hemoglobin. Hemoglobinometer digital
merupakan alat yang mudah dibawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena
teknik untuk pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar
hemoglobin tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi
dan presisi yang tinggi berbanding dengan metode laboratorium yang standar alat ini
18
juga stabil walaupun digunakan dalam jangka masa yang lama.
Pada metode Hb Sahli banyak sekali sumber kesalahannya contohnya seperti
kemampuan untuk membedakan warna tidak sama, sumber cahaya yang kurang baik,
kelelahan mata, alat-alat kurang bersih, ukuran pipet kurang tepat (perlu kalibrasi),
22
warna gelas standar pucat atau kotor, dan lain-lain.
Prosedur pemeriksaan dengan metode digital (hemoglobin testing system Quick-
7
Check). Alat/sarana : Hb-meter, lancing device, sterile lancets, control strip,
capillary transfer tube/dropper, carrying case, canister of test strips, code chip.
Prosedur kerja :
1) Siapkan alat Hb meter dan letakkan canister of test strip ke wadahnya
2) Siapkan lancing device dengan membuka penutup dan masukkan
sterile lancets kemudian tutup kembali
3) Siapkan apusan alkohol di bagian perifer ujung jari, tusukkan sterile
lancets dengan menggunakan lancing device
4) Isap darah menggunakan capillary transfer tube/dropper sampai
garis batas
5) Kemudian tuangkan darah pada canister of test strip
6) Baca hasil yang ditampilkan di layar Hb-meter.
2.2 Anemia
2.2.1 Definisi Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin menurun sehingga
tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan
oksigen dalam darah berkurang. Nilai batas penentu kategori anemia berbeda untuk
23,24
setiap kelompok umur dan jenis kelamin.
2.2.2 Penggolongan Anemia
Di Negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14g/dl dan
12g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka
berbeda yaitu 12g/dl (hamtokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%)
untuk perempuan hamil, dan 13g/dl untuk laki-laki dewasa. WHO menetapkan cut off point
23,24
anemia untuk keperluan penelitian lapangan.

Tabel 2.2 Kriteria Anemia menurut WHO25


2.2.3 Klasifikasi Anemia
Secara morfologis, anemia diklasifikasikan menurut ukuran sel dan kadar
23,24
hemoglobin.
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah dan jumlah hemoglobin tiap sel
bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu:
a. Anemia megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat, dan gangguan
sintesis DNA.
b. Anemia non megaloblastik adalah eritropoiesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah akibat defisiensi besi, gangguan sintesis globin,
porfirin, dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia jenis ini ukuran sel darah merah tetap. Hal ini disebabkan oleh
kehilangan darah masif, meningkatnya volume plasma berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi dalam darah. Hal
ini ditandai dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau
hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi
merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia karena
23,26
kehilangan darah saat menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.

2.2.4 Faktor - faktor Penyebab Anemia


Menurut Depkes RI, anemia terjadi karena kandungan zat besi makanan yang
23
dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan. Anemia gizi besi dapat terjadi karena:
1. Kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan.
a. Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah: makanan yang berasal dari
hewan (seperti ikan, daging, hati, ayam).
b. Makanan nabati (dari tumbuh-tumbuhan) misalnya sayuran hijau tua, yang
walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik
oleh usus.
2. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.
a. Pada masa pertumbuhan seperti anak-anak dan remaja, kebutuhan tubuh akan zat
besi meningkat tajam.
b. Pada masa hamil kebutuhan zat besi meningkat karena zat besi diperlukan untuk
pertumbuhan janin serta untuk kebutuhan ibu sendiri.
c. Pada penderita penyakit menahun seperti TBC.
3. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh seperti perdarahan atau kehilangan darah
dapat menyebabkan anemia. Hal ini terjadi pada penderita :
a. Cacingan (terutama cacing tambang). Infeksi cacing tambang menyebabkan
perdarahan pada dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus yang
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi.
b. Malaria pada penderita Anemia Gizi Besi (AGB), dapat memperberat keadaan
anemianya.
c. Kehilangan darah pada waktu haid berarti mengeluarkan zat besi yang ada dalam
darah.
2.2.5 Tanda - tanda dan Akibat Anemia
A. Tanda-tanda anemia
Ada berbagai tanda dan gejala pada penderita anemia. Tanda-tanda tersebut seperti
lesu, lemah, letih, lelah, lalai (5L), sering mengeluh pusing dan mata berkunang-
kunang. Gejala lebih lanjut pada anemia adalah organ tubuh menjadi pucat, seperti
23
pada kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan.
Gejala khas masing-masing anemia:

- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia)
- Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vitamin b12

- Anemia hemolitik: ikterik, spelenomegali dan hepatomegali

- Anemia aplastk: perdarahn dan tanda-tanda


infeksi B. Akibat anemia pada wanita usia subur
Pada wanita usia subur, terdapat beberapa gejala dari anemia. Anemia dapat
menimbulkan akibat seperti menurunkan fungsi imunitas tubuh, menurunkan
produktivitas kerja, dan menurunkan kebugaran. Pada wanita usia subur yang akan
memiliki pasangan dan merencanakan memiliki anak, anemia dapat meningkatkan
23
kejadian BBLR pada bayi baru lahir.
2.3 Anemia pada Kehamilan
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin
dibawah 11gr pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10.5 gr pada trimester 2, nilai batas
tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil, terjadi karena
27
hemodilusi, terutama pada trimester 2.

Tabel 2.3 Kriteria Anemia Berdasarkan Rata-rata Kadar Hemoglobin normal pada ibu hamil 2
Usia kehamilan Hb Normal (g/dl) Anemia jika Hb kurang dari (g/dl)
Trimester I: 0-12 minggu 11,0-14,0 11,0 (Ht 33%)
Trimester II: 13-28 minggu 10,5-14,0 10,5 (Ht 31%)
Trimester III: 29 minggu-melahirkan 11,0-14,0 11,0 (Ht 33%)

Pada proses fisiologis kehamilan kebutuhan oksigen pada ibu hamil lebih banyak dari
pada wanita yang tidak hamil sehingga memicu peningkatan produksi eritropoeitin.
Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah akan meningkat. Namun,
peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan
27
dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi akibat hemodelusi.
Selain karena perubahan fisiologis, anemia kareana penyebab lainnya lebih sering
dijumpai dalam kehamilan. Hal itu disebabkan karena dalam kehamilan keperluan akan zat-
zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan-perubahan hematologis dan sumsum
tulang. Dalam kehamilan terjadi penambahan volume darah setelah 32 sampai 34 minggu
yang dikenal dengan istilah hidremia atau hemodolusi, akan tetapi bertambahnya sel-sel darah
kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah.
Hipervolemia imbas kehamilan ini penting pertama untuk memenuhi kebutuhan metabolik
uterus yang membesar dengan sistem vaskular yang mengalami hipertrofi hebat. Kedua untuk
menyediakan nutrient dan elemen secara berlimpah untuk menunjang pertumbuhan pesat
plasenta dan janin. Ketiga melindungi ibu dan gilirannya janin terhadap efek buruk gangguan
aliran balik vena pada posisi terlentang dan berdiri. Keempat melindungi ibu terhadap efek
buruk kehilangan darah selama proses persalinan. Pertambahan tersebut berbanding sebagai
2,27
berikut: plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.

Bertambahnya volume darah dalam kehamilan sudah mulai sejak trisemester pertama,
pada minggu ke 12 volume plasma bertambah sebesar 15 persen dibandingkan dengan
keadaan sebelum hamil dan volume darah bertambah sangat cepat selama trimester II
mencapai puncaknya pada kehamilan 30 antara 32 dan 36 minggu lalu peningkatan jauh
melambat selama trisemester ketiga lalu mendatar selama beberapa minggu terakhir
kehamilan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sagung pada tahun 2015 hasil
penelitian menunjukan subjek penelitian tidak didominasi dengan anemia pada ibu hamil
yaitu sebanyak (36.1%) dan uji analisis pada penelitian menunjukkan bahwa terdapat
27
hubungan yang bermakna antara kejadian anemia dengan ibu hamil (nilai p = 0,001).
Penyelidikan berangkai pada 21 wanita di R.S. Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta
dari kehamilan 8 minggu sampai persalinan dan 40 hari paska persalinan, bahwa kadar Hb,
jumlah eritrosit, dan nilai hematokrit, ketiga-tiganya turun selama kehamilan sampai 7 hari
paska persalinan. Setelah itu ketiga nilai itu meningkat, dan pada 40 hari paska persalinan
mencapai angka-angka yang kira-kira sama dengan angka-angka di luar kehamilan. Hasil
penyelidikan ini disokong oleh penyelidikan lain pada 3.531 wanita hamil yang dilakukan
dalam waktu dan rumah sakit yang sama. Pengambilan nilai 11 g/dl sebagai batas terendah
untuk kadar Hb dalam kehamilan. Seorang wanita hamil yang memiliki Hb kurang dari
11g/100 ml barulah disebut menderita anemia dalam kehamilan. Karena itu, para wanita
hamil dengan Hb antara 11 dan 12 g/dl tidak dianggap anemia patologik, akan tetapi anemia
28
fisiologik atau psedoanemia.
2.4 Patofisiologi Anemia pada Ibu Kehamilan
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan oleh karena perubahan sirkulasi
yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat
45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta kembali normal 3 bulan
setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron. Volume sel darah merah total dan massa
hemoglobin meningkat sekitar 20- 30 %, dimulai pada bulan ke 6 dan mencapai puncak pada
aterm, kembali normal 6 bulan setelah partus. Stimulasi peningkatan 300-350 ml massa sel
merah ini dapat disebabkan oleh hubungan antara hormon maternal dan peningkatan
eritropoeitin selama kehamilan. Peningkatan massa sel darah merah tidak cukup memadai untuk
mengimbangi peningkatan volume plasma yang sangat menyolok. Peningkatan volume plasma
menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi, yang menyebabkan terjadinya
penurunan hematokrit ( 20-30%), sehingga hemoglobin dari hematokrit lebih rendah secara
nyata dari pada keadaan tidak hamil. Hemoglobin dari hematokrit mulai menurun pada bulan ke
3 -5 kehamilan, dan mencapai nilai terendah pada bulan ke 5-8 dan selanjutnya sedikit
meningkat pada aterm serta kembali normal pada 6 minggu setelah partus. Besi serum menurun
namun tetap berada dalam batas normal selama kehamilan, Total Iron Binding Capacity (TIBC)
29
meningkat 15 % pada wanita hamil.
Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram, sekitar 60-70 % berada dalam sel
darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah besi cadangan yang terutama terletak
didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi
sekitar 800-1000 mg untuk mencukupi kebutuhan yang terdiri dari :
1. Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan
mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan.
2. Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
3. Pertumbuhan Plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg.
4. Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan untuk laktasi,
dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan
mudah bisa mengalami kekurangan besi, dimana janin bisa mengakumulasi zat besi
bahkan dari ibu yang kekurangan besi. Kebutuhan zat besi yang meningkat tersebut tidak
terpenuhi oleh kebiasaan diet normal, walaupun ada penyerapan zat besi yang meningkat
selama kehamilan yaitu 1,3-2,6 mg perhari. Setiap wanita hamil membutuhkan sampai 2
tahun makan normal untuk mengisi kembali cadangan zat besi yang telah hilang selama
29,30
hamil.
Perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan zat besi adalah
deplesi cadangan zat besi pada hati, empedu dan sumsum tulang, diikuti dengan
menurunnya zat besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga anemia berkembang. Sel
darah merah secara klasik digambarkan sebagai hipokromik mikrositer, tetapi perubahan
morfologi karakteristik ini tidak terjadi sampai nitro hematokrit jatuh dibawah nilai
normal. Mikrositik mendahului hipokromik, dan angka retikulosit rendah pada anemia
defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan
keseimbangan zat besi yang negatif, Jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi
kebutuhan tubuh. Pertama keseimbangan yang negatif diatasi oleh tubuh dengan
mengunakan cadangan zat besi dalam jaringan. Pada saat cadangan zat besi itu habis baru
anemia defisiensi besi menjadi manifestasi. Perjalanan keadaan kekurangan zat besi mulai
dari terjadinya anemia sampai dengan timbulnya gejala-gejala yang klasik melalui
29,30
beberapa tahapan yaitu :
1. Cadangan besi habis diikuti oleh serum feritin menurun tapi belum ada anemia.
2. Serum transferin meningkat.
3. Besi serum menurun.
4. Perkembangan normositik, diikuti oleh anemia normokromik.
5. Perkembangan mikrositik dan anemia hipokromik.

2.5 Faktor Resiko Anemia dalam Kehamilan


2.5.1 Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama.
Antropometri sangat penting karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi
perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal.
Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan populer untuk menentukan status
gizi saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan
seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi
31
BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter.
Penilaian status gizi adalah suatu proses pemeriksaan keadaan gizi dengan
cara mengumpulkan data baik yang objektif maupun subjektif, untuk dibandingkan
dengan baku yang telah tersedia.
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Sedangkan antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri relatif
mudah dilaksanakan, sekaligus merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
32
menilai dan memantau status gizi.
Indikator antropometri adalah kombinasi dari parameter yang dijadikan dasar
dalam penilaian status gizi. Terdapat beberapa indikator antropometri. Pada dewasa
32
yang digunakan adalah lingkar lengan atas (LLA) serta indeks massa tubuh (IMT).
Penilaian yang lebih baik untuk menilai status gizi ibu hamil yaitu dengan
pengukuran LLA, karena pada ibu hamil dengan malnutrisi (gizi kurang atau lebih)
kadang-kadang menunjukan udem tetapi jarang mengenai lengan atas. Berat badan
prahamil di Indonesia umumnya tidak diketahui sehingga LLA dijadikan indicator gizi
kurang pada ibu hamil.
- Lingkar Lengan Atas (LLA)
Linkar lengan atas (LLA) adalah lingkar lengan bagian atas pada bagian trisep.
LLA diginakan untuk perkiraan tebal lemak bawah kulit. LLA adalah cara
mengetahui gizi kurang pada wanita usia subur umur 15-45 tahun yang terdiri dari
remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur (PUS). Pengukuran LLA
tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek.
Pengukuran LLA cukup representative dimana ukuran LLA ibu hamil erat dengan
IMT ibu hamil yaitu semakin tinggi LLA ibu hamil diikuti pula dengan semakin
tinggi LLA. Penggunaan LLA telah digunakan di banyak negara sedang berkembang
termasuk Indonesia.
Pengukuran LLA yang biasanya dilakukan pada wanita usia 15–45 tahun dengan
ambang batas gizi kurang pada ibu hamil adalah kurang dari 23,5cm, hal tersebut
33
dapat dikatakan wanita tersebut menderita Kurang Energi Kronis (KEK).
Lingkar Lengan Atas (LLA) menggambarkan cadangan lemak keseluruhan
dalam tubuh. Lingkar lengan atas (LLA) digunakan untuk keperluan skrining , tidak
untuk pemantauan mengetahui gizi kurang dan relative stabil.ukuran LLA selama
kehamilan hanya berubah sebanyak 0,4 cm, perubahan ini selama kehamilan tidak
terlalu besar sehingga pengukuran LLA pada masa kehamilan masih dapat dilakukan
untuk melihat status gizi ibu hamil sebelum hamil. Besarnya ukuran LLA
menunjukkan persediaan lemak tubuh cukup banyak, sebaiknya ukuran yang kecil
menunjukkan persediaan lemak yang sedikit. Pengukuran LLA dapat dilakukan untuk
menilai status gizi ibu hamil dengan mencerminkan status status Kurang Energi
Kronik (KEK) pada ibu hamil. Hal ini untuk mendeteksi risiko terjadinya kejadian
bayi dengan berat badan lahir rendah, dimana titik potongnya adalah 23,5 cm. Gizi
33
dikatakan baik apabila LLA ibu hamil lebih dari atau sama dengan 23,5 cm.
Pengukuran LLA dapat dilakukan dengan menggunakan pita LLA atau pita
meter. Pita LLA memiliki panjang 33 cm dengan ketelitian 0,1 cm. langkah-langkah
mengukur LLA adalah dengan cara mencari titik tengah pada lengan ibu hamil (lengan
tidak boleh terhalang oleh pakaian). Titik tengah pada lengan ibu hamil dicari dengan
cara melipat siku ibu hamil hingga membentuk sudut 90º, dengan telapak tangan
menghadap ke bawah di depan tubuh untuk menentukan prosesus akromion dan prosesus
olekranon ulna, dan kemudian diberi tanda pada bagian lateral lengan, pada titik tengah
jarak akromion ke ujung siku (olekranon). Setelah titik tengah ditentukan, lengan
diturunkan hingga tergantung bebas di samping tubuh dengan telapak tangan menghadap
ke paha. Pita pengukur lalu ditempatkan di sekitar lengan setinggi titik tengah yang telah
ditandai tadi tanpa tekanan pada jaringan, dalam posisi tegak lurus dengan sumbu lengan,
34
kemudian bacalah hasil pengukuran.
Dalam penelitian Naila dkk, wanita anemia memiliki BMI lebih rendah daripada
wanita non-anemia. Namun, rata-rata mid pregnancy BMI dari wanita yang anemia berat
adalah 22,1 ± 3,7, menunjukkan bahwa wanita-wanita ini memiliki asupan energi yang cukup
tetapi diet mereka mungkin telah kekurangan dalam diet besi atau bahwa mereka memiliki
penyerapan zat besi yang buruk. Wanita yang anemia dalam penelitian ini juga secara
signifikan lebih pendek daripada wanita tidak anemia, menunjukkan pola berkelanjutan
kekurangan gizi di masa kecil mereka dan menyiratkan tidak hanya asupan kalori atau nutrisi
35
yang tidak memadai tetapi juga diet keseluruhan yang tidak memadai. Dalam hal praktik
diet, menarik untuk dicatat bahwa konsumsi daging merah lebih dari
dua kali seminggu cenderung bersifat melindungi, dan konsumsi teh memiliki efek
negatif. Semua perempuan yang asupan zat besi tidak optimal harus dididik mengenai
efek merugikan teh pada penyerapan besi dan harus dikonseling untuk mengurangi
asupan teh atau setidaknya ruang asupan teh jauh dari waktu makan. Selain itu, ibu hamil
harus diberi konseling mengenai efek merugikan pica, terutama asupan tanah liat dan
kotoran, pada penyerapan zat besi. Konsumsi buah dua kali atau lebih per minggu
dikaitkan dengan penurunan risiko anemia. Mengingat fakta bahwa sebagian besar zat
besi dalam makanan ini berasal dari sumber nonheme, penurunan risiko dapat dikaitkan
dengan adanya vitamin C, yang dikenal untuk meningkatkan penyerapan zat besi
nonheme.
Studi lain melaporkan bahwa konsumsi tinggi makanan yang mengandung
protein seperti telur dikaitkan dengan anemia pada wanita hamil. Penyerapan besi
36,37
meningkat ketika diikuti oleh konsumsi protein bernilai biologis tinggi. Para wanita
hamil yang memiliki diet vegetarian lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan dengan
7
mereka yang memiliki diet campuran.
Selama hamil diprogramkan penatalakasanaan gizi ibu hamil yang bertujuan untuk
mencapai status gizi ibu yang optimal sehingga ibu menjalani kehamilan yang aman,
melahirkan bayi dengan potensi fisik dan mental yang baik. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Rosmawati pada tahun 2012 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
anemia pada ibu hamil. Hasil penelittian didominasi dengan ibu hamil yang mengalami
KEK sebanyak (47%). Uuji analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara KEK dan kejadian anemia pada ibu hamil (nilai p =
37
0,000).
Salah satu zat gizi yang dibutuhkan selama kehamilan adalah tambahan gizi
dalam bentuk vitamin dan mineral yang sangat diperlukan. Menurut Dewi mengatakan
bahwa kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi seperti kebutuhan mineral yang salah satuya
3
adalah zat besi akan mengalami anemia (Hb < 11g/dl).
2.5.2 Konsumsi Zat Besi
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai
sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari.
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi,
sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan
31
memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati.
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan. Menurut
FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi. Konsumsi pangan yang
rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam
tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan
besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam
31
tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh.
Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat
31
menyebabkan defisiensi besi.
Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat
besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai
sumber zat besi yang (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat
31
pedesaan.
Besi makanan diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik
sebanyak 5 - 15 persen dan jika dalam keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat
mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi
heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi
31
nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin
dan mioglobin makanan hewani) dan besi non-heme (dalam makanan nabati). Sumber
besi non-heme yang baik diantaranya adalah kacang - kacangan. Asam fitat yang
terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi.
Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup
tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besi akan positif. Sayuran daun berwarna hijau
memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi makan akan
meningkatkan cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa sayuran hijau mengandung
asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya
relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat
31
dalam teh dan kopi.
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat dalam makanan. Faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya (1) besi heme yang terdapat dalam daging, unggas, ikan dan seafood, (2)
Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan dan (3) Makanan
fermentasi seperti asinan dan kecap. Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat
besi diantaranya (1) Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-
kacangan, (2) Makanan dengan kandungan inositol tinggi, (3) Protein di dalam
kedelai, (4) Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu
31
(seperti oregano) dan (5) Kalsium, terutama dari susu dan produk susu.
Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas dan
ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi. Pangan hewani seperti
daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP
Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga pangan
tersebut menghasilkan asam amino sistein dalam jumlah besar. Selanjutnya asam
amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya. Kandungan zat besi
16
pada makanan dapat dilihat di tabel 2.4 .
31
Tabel 2.4. Kandungan Zat Besi Dalam Makanan
Bahan Makanan Zat besi
(mg/100g)

Hati 6.0 – 14.0

Daging 2.0 – 4.2

Ikan 0.5 – 1.0

Telur ayam 2.0 – 3.0


Kacang-kacangan 1.9 – 14.0

Tepung gandum 1.5 – 7.0

Sayuran hijau daun 0.4 – 18.0

Umbi-umbian 0.3 – 2.0

Buah-buahan 0.2 – 4.0

Beras 0.5 – 0.8

Susu sapi 0.1 – 0.4

Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan


ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang
dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat
membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka
31
waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi.
Studi Waode dkk menunjukkan bahwa asupan tablet Fe merupakan faktor
risiko terhadap kejadian anemia. Studi ini menunjukkan bahwa responden yang
menkonsumsi tablet Fe < 61 tablet selama kehamilan memiliki risiko 27,0 kali untuk
mengalami anemia dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi ≥ 61 tablet.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
pemberian suplement zat besi pada ibu hamil dapat menurunkan insidensi anemia
38
pada ibu hamil serta dapat mereduksi anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
Pada penelitian Putri (2015) diketahui bahwa ibu hamil yang tidak teratur
minum tablet besi sebanyak 61,8% mengalami anemia dan sisanya sebesar 38,2%
tidak anemia. Berbeda halnya pada ibu hamil yang teratur yang minum tablet besi.
Sebagian besar tidak anemia yakni sebanyak 63,3% sedangkan yang anemia 36,7%,
Sebagian besar ibu hamil yang tidak teratur melakukan pemeriksaan kehamilan
mengalami anemia yakni sebesar 73,2%, sedangkan yang tidak anemia sebesar
26,8%. Ibu hamil yang teratur melakukan pemeriksaan kehamilan hanya 34,9% yang
mengalami anemia, ibu hamil yang pola makannya kurang dari angka kecukupan gizi
(AKG) 71,2% mengalami anemia, sedangkan 27,8% tidak anemia. Namun, pada ibu
hamil yang pola makannya mencukupi angka kecukupan gizi hanya sebagian kecil
yang mengalami anemia yaitu sebesar 26%, sisanya 74% tidak anemia, dan dalam
penelitian ini ada hubungan antara kepatuhan minum tablet Fe dengan kejadian
anemia ibu hamil dengan nilai p=0.011 hal ini menunjukkan bahwa semakin patuh ibu
hamil mengkonsumsu tablet Fe maka semakin kecil kemungkinan mengalami anemia
39
dalam kehamilan.

2.5.3 Paritas
Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram yang pernah
dilahirkan, hidup maupun mati, bila berat badan tidak diketahui, maka dipakai umur
kehamilan lebih dari 24 minggu. Paritas atau jumlah persalinan juga berhubungan dengan
anemia, dimana ibu yang mengalami kehamilan lebih dari 4 kali juga dapat meningkatkan
resiko mengalami anemia. Prevalensi anemia pada kelompok paritas 0 lebih rendah
daripada paritas 5 ke atas. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar
resiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Setiap kali wanita
melahirkan, jumlah zat besi yang hilang diperkirakan sebesar 250 ml. Hal tersebut akan
lebih berat lagi apabila jarak melahirkan relatif pendek. Paritas 2-3 kali merupakan paritas
paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional menganjurkan agar kesehatan ibu selama hamil dapat optimal dalam
menyongsong persalinannya maka jumlah persalinan yang telah dialami tidak lebih dari 2
40
kali.
Oktaviani dkk. dalam penelitiannya di Manado menemukan bahwa terdapat hubungan
antara paritas dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Semakin sering seorang wanita
melahirkan, maka akan lebih besar risiko untuk kehilangan darah dan berdampak pada
penurunan kadar hemoglobin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mamah (2006), pada ibu
hamil di Puskesmas Kecamatan Majalengka, menyatakan bahwa ibu dengan paritas lebih dari
3 kali Jurnal Kesehatan Kartika 56 mempunyai resiko lebih tinggi
dibanding dengan ibu yang mengalami paritas ≤3 kali, dengan nilai P=0.024. Hal ini juga
seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani I dkk ini didapatkan ibu hamil
yang memiliki paritas >2 sebanyak 24 (17,9%) responden, ditemukan 24 (17,9%) yang
mengalami anemia atau kadar Hb < 11gr%. Hasil uji statistik didapatkan pvalue 0,000 <
0,05 dan χ2 hitung 75,118 > χ2 tabel 3,84 menunjukan adanya hubungan yang signifikan
antara paritas dan kadar Hb pada ibu hamil. Sesuai dengan penelitian yang menunjukkan
semakin banyak jumlah paritas maka akan diikuti dengan meningkatnya kejadian anemia,
paritas berhubungan dengan terjadinya anemia, karena semakin sering wanita melahirkan,
lebih besar risiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar hemoglobin.
Seorang wanita yang sudah melahirkan lebih dari 2 kali, dan terjadi kehamilan lagi
40
keadaan kesehatannya akan mulai menurun, sering mengalami anemia.
2.5.4 Jarak kehamilan
Jarak kehamilan sangat mempengaruhi status anemia gizi besi pada wanita hamil,
hal ini disebabkan karena pada saat kehamilan cadangan besi yang ada di tubuh akan
terkuras untuk memenuhi kebutuhan zat besi selama kehamilan terutama pada ibu hail
yang mengalami kekurangan cadangan besi pada awal kehamilan dan pada saat persalinan
wanita hamil juga banyak kehilangan besi melalui perdarahan. Dibutuhkan waktu lama
untuk memulihkan cadangan besi yang ada di dalam tubuh, waktu yang paling baik untuk
memulihkan kondisi fisiologis ibu adalah dua tahun. Dengan begitu kebutuhan besi yang
dibutuhkan janin dan plasentanya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Jarak kehamilan
41
yang kurang dari dua tahun sering ditemukan di negara berkembang.
Pada penelitian Cintia Ery Deprika (2017) yang dilakukan pada ibu hamil di
Puskesmas Martijeron Yogyakarta bahwa ibu hamil yang mengalami anemia terjadi lebih
banyak pada ibu yang jarak kehamilan kurang dari 2 tahun tahun dibandingkan dengan
jarak kehamilan 2-5 tahun dengan hasil 40.5%, pada penelitian ini bahwa ada hubungan
antara jarak kehamilan dengan kejadian anemia pada ibu hamil dengan nilai p=0.001
dengan resiko lebih banyak pada pada ibu dengan jarak kehamila <2 hal ini disebabkan
karena pada saat kehamilan cadangan besi yang ada di tubuh akan terkuras untuk
memenuhi kebutuhan cadangan besi pada awal kehamilan dan pada saat persalinan wanita
hamil juga banyak kehilangan zat besi melalui perdarahan, kehamilan yang jaraknya
terlalu dekan dapat meningkatkan kejadian anemia karema status gizi ibu yang belum
42
pulih.
Pada penelitian meilina dan sadiman (2011) yang dilakukan pada ibu hamil
dipuskesmas Rumbia Lampung Tengah bahwa salah satu faktor penyebab anemia pada ibu
hamil adalah jarah usia kehamilan yang kurang dari dua tahun dengan hasil 54.1% pada
43
ibu yang berjarak kurang dari 2 tahun.
2.5.5 Pendidikan
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Tingkatan pendidikan ibu mempengaruhi
perilakunya. Semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi pgetahuannya, semakin
tinggi kesadaran untuk mencegah terjadinya anemia. Tingkat pengetahuan ibu hamil
juga akan mempengaruhi perilaku gizi yang berdampak pada pola kebiasaan makan
yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya anemia. Tingkat pengetahuan ibu
hamil dapat diperoleh dari pendidikan formal, informal, dan non-formal. Tinggi
rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang zat besi
(Fe) serta kesadarannya terhadap konsumsi tablet zat besi (Fe) selama hamil. Tingkat
pendidikan ibu hamil yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga
pengetahuan tentang zat besi (Fe) menjadi terbatas dan berdampak pada kejadian anemia
43
defisiensi besi.
Pendidikan ibu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan
mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan tinggi
biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang berpendidikan akan
mudah menerima gagasan baru. Demikian halnya dengan ibu yang berpendidikan tinggi
akan memeriksakan kehamilannya secara teratur demi menjaga keadaan kesehatan
dirinya dan anak dalam kandungannya. Pendidikan secara umum adalah upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Makin tinggi
pendidikan sehingga tidak menimbulkan anemia pada kehamilan, ibu hamil dengan
pendidikan tinggi prevalensinya rendah untuk terkena anemia pada kehamilan.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan seseorang
terhadap penilaian baru yang diperkenalkan. Tingkat pendidikan ibu hamil yang rendah
akan mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang zat besi (Fe)
44
menjadi terbatas dan berdampak pada terjadinya anemia akibat difisiensi besi.
Pada penelitian Ristica (2013) didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan
pendidikan yang rendah lebih berisiko 3,3 kali menderita anemia dibanding ibu hamil
dengan pendidikan yang tinggi, ibu hamil dengan pengetahuan yang tidak baik lebih
berisiko 2 kali menderita anemia dibanding ibu hamil dengan pengetahuan baik, ibu
hamil dengan konsumsi zat besi <30 butir/bulan lebih beresiko 3,3 kali menderita
anemia dibanding ibu hamil dengan konsumsi zat besi ≥30 butir/bulan ,ibu hamil dengan
paritas >3 orang lebih berisiko 5 kali menderita anemia dibanding ibu hamil dengan
paritas ≤3 orang, ibu hamil dengan status gizi kurang energi kronis (KEK) lebih berisiko
4,5 kali menderita anemia dibanding ibu hamil dengan status gizi tidak,umur ibu saat
hamil <20 tahun dan >35 tahun lebih berisiko 2 kali menderita anemia dibanding ibu
hamil yang berusia 20-35 tahun saat hamil, ibu hamil yang tidak bekerja lebih berisiko
2,3 kali menderita anemia dibanding ibu hamil yang bekerja, ibu hamil dengan
pendapatan keluarga rendah lebih berisiko 4 kali menderita anemia dibanding ibu hamil
dengan pendapatan tinggi. Dalam penelitian ini pendidikan menunjukan terdapatnya
hubungan dengan kejadian anemia pada inu hamil dengan nilai p=0.009 dimana
pendidikan rendah dapat menyebabkan terjadinya anemia 2.4 kali dibandingkan
45
pendidikan tinggi.
2.5.6 ANC (Antenatal Care)
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan
kesehatan mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas,
46
persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi dengan sehat.
Kunjungan antenatal adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin
semenjak hamil untuk mendapatkan pelayanan / asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan
antenatal petugas kesehatan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan diagnosis kehamilan serta menentukan adanya masalah atau komplikasi.
Tujuan umum antenatal adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan
46
sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat.
Tujuan khusus dilakukannya antenatal yaitu;
1. Menyediakan pelayanan antenatal terpadu, komprehensif dan berkualitas, termasuk
konseling kesehatan dan gizi ibu hamil, konseling KB dan pemberian ASI.
2. Menghilangkan “missed opportunity” pada ibu hamil dalam mendapatkan pelayanan
antenatal terpadu, komprehensif, dan berkualitas.
3. Mendeteksi secara dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita ibu hamil.
4. Melakukan intervensi terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu hamil sedini
mungkin.
5. Melakukan rujukan kasus ke fasiltas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan
yang ada.
Salah satu tujuan pemeriksaan ANC adalah mengenali dan menangani penyakit yang
menyertai kehamilan. Cakupan pelayanan antenatal dapat dipantau melalui kunjungan
ibu hamil. Pelayanan standar paling sedikit 4 kali kunjungan yaitu sampai dengan
kehamilan trimester pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan trimester
kedua (14-28 minggu) satu kali kunjungan dan kehamilan trimester ketiga (28-36
minggu dan sesudah minggu ke-36) dua kali kunjungan. Melalui pemeriksaan ANC ibu
dapat memperoleh penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan seperti
penyuluhan gizi dan makanan, serta mendapatkan tablet tambah darah dari petugas
kesehatan dimana konsumsi tablet tambah darah akan memperkecil terjadi-nya anemia
47
dalam kehamilan.
Studi Cuneyt dkk menemukan bahwa lebih dari setengah wanita dengan anemia
(57,1%) memiliki 10 atau kurang kunjungan antenatal care. Dengan kata lain, wanita
yang dirawat untuk perawatan antenatal kurang dari 10 kali selama kehamilan memiliki
prevalensi anemia secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang dirawat 10 kali
atau lebih selama kehamilan. Percobaan kontrol acak multi-negara yang dilakukan oleh
WHO menunjukkan bahwa intervensi penting dapat diberikan lebih dari empat
kunjungan pada interval tertentu, setidaknya untuk wanita yang sehat. Oleh karena itu,
untuk intervensi anemia yang paling efektif, penting bahwa wanita harus menghadiri
klinik antenatal pada trimester pertama kehamilan mereka. Dalam penelitian ini, hanya
17% wanita yang melakukan kunjungan perawatan antenatal pertama mereka pada
trimester pertama, dan karenanya, sebagian besar wanita hamil melewatkan intervensi
7
anemia.
Demikian pula, studi ini berpikir bahwa dampak jumlah kunjungan antenatal pada
anemia ibu dalam penelitian ini terutama disebabkan dari usia kehamilan pada inisiasi
perawatan antenatal. Usia kehamilan yang lebih awal pada penerimaan pertama akan
meningkatkan kunjungan perawatan antenatal total pada akhir kehamilan dan juga akan
7
mencegah penipisan penyimpanan besi karena suplementasi dini.
Pada penelitian Cintia Ery Deprika (2017) yang dilakukan pada ibu hamil di
Puskesmas Martijeron Yogyakarta bahwa ibu hamil yang mengalami anemia terjadi
lebih banyak pada ibu yang tidak sesuai kunjungan ANC sebesar 78.6% dibandingkan
dengan ibu yang sesuai kunjungan sebesar 21.4%. Berdasarkan penelitian ini didapatkan
ada hubungan antara kunjungan antenatalcare dengan kejadian anemia didapatkan nilai p
42
0.000.
Hasil penelitian Pratiwi dkk, sama halnya dengan penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa variabel jumlah kunjungan ANC berpengaruh terhadap kejadian
anemia pada usia remaja di Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Darmawan (2003) juga menyatakan bahwa Frekuensi Antenatal
Care berhubungan dengan anemia pada ibu hamil. Sedangkan Amiruddin dkk (2004)
pada penelitiannya menyatakan bahwa frekuensi ANC tidak berhubungan dengan
48
kejadian anemia pada ibu hamil. Pemeriksaan kehamilan dianjurkan minimal 4 kali
dalam kondisi kehamilan normal. Standar ANC dikenal dengan 7T yaitu Timbang berat
badan dan ukur tinggi badan,ukur Tekanan darah, periksa Tinggi fundus uteri, berikan
Tetanus toxoid, Tablet tambah darah, Tes penyakit kelamin dan Temu wicara dalam
rangka persiapan rujukan. Pemeriksaan kehamilan secara teratur merupakan upaya untuk
mendeteksi lebih dini bahaya atau komplikasi yang bisa terjadi dalam kehamilan seperti
48
anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
2.5.7 Usia Ibu
Usia merupakan usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat ini.
Dalam usia reproduksi sehat usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20
tahun sampai dengan 35 tahun. Pada usia kurang dari 20 tahun perkembangan biologis
dalam hal ini alat reproduksi belum optimal dan psikis belum matang sehingga
menyebabkan wanita hamil mudah mengalami guncangan mental yang mengakibatkan
kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya.
Pada usia lebih dari 35 tahun merupakan risiko untuk hamil berubungan dengan alat-alat
38
reproduksi yang terlalu tua.
Studi Waode dkk mendepatkan usia ibu merupakan faktor risiko terhadap kejadian
anemia Studi ini menunjukkan bahwa responden dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun
memiliki risiko 7,21 kali untuk mengalami anemia dibandingkan dengan responden
dengan usia 20-35 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia terhadap kejadian anemia pada ibu
hamil dimana terdapat peningkatan kejadian anemia pada ibu hamil dengan usia 20
38
tahun dan usia diatas 35 tahun.
Penelitian Cicih dkk menunjukkan bahwa ibu muda memiliki risiko 56% lebih
tinggi dari anemia. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan antara usia ibu
hamil dengan anemia yang didapatkan nilai p=0.014 dan resiko yang ibu muda yang
48
berusia ≤19 tahun. Demikian pula, Barroso dkk. di Inggris menemukan bahwa
kemungkinan anemia adalah 96% lebih tinggi pada ibu muda. Serta Briggs dkk
menyatakan bahwa remaja (≤ 19 tahun) adalah 2,5 kali lebih mungkin menjadi anemia
dibandingkan orang dewasa pada predelivery. Dalam penelitian ini mengandung ibu
muda yang lebih mungkin memiliki prevalensi perdarahan antepartum yang lebih tinggi.
Sebuah penelitian sebelumnya melaporkan remaja (wanita ≤19 tahun) memiliki
kandungan besi feritin dan besi tubuh yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
orang dewasa yang dapat meningkatkan risiko anemia pada kehamilan. Banyak remaja
dapat memulai kehamilan dengan cadangan besi rendah karena asupan zat besi yang
48
kurang baik dan / atau tuntutan pertumbuhan.
2.5.8 Usia Kehamilan
Masa kehamilan dibagi menjadi 3 tahap umur kehamilan yaitu trimester 1
(pertama), II (kedua), III (ketiga). Trimester 1 (pertama) yaitu saat kehamilan berumur
1-3 bulan (0-12 minggu) adalah masa penyusuaian ibu terhadap awal kehamilannya.
Pertumbuhan janin masih berlangsung lambat, sehingga kebutuhan zat gizi masih
relative kecil. Pada tahap ini terjadi penurunan nafsu makan ibu sebagai pengaruh
hormona; sehingga pertambahan berat badan ibu masih kurang lebih 1 kg. Pada trimester
II (kedua) yaitu umur kehamilan 4-6 bulan (13-26 minggu). Janin masih tumbuh pesat
dibandingkan dengan sebelumnya. Tubuh ibu juga mengalami perubahan dan adaptasi.
Pada masa ini plasenta mulai berfungsi sehingga asupan gizi yang cukup sangat
diperlukan. Trimester III 7-9 bulan (27-40 minggu) masa kematangan peningkatan
kualitas gizi sangat penting karena tahap ini ibu menyimpan lemak dan zat gizi lainnya
2
sebagai cadangan pembentukan air susu ibu (ASI).
Ibu hamil akan mengalami peningkatan volume darah selama dalam masa
kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hypervolemia. Pertambahan sel darah
kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut sebagai berikut plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin
19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu
dan mencapai puncaknya kehamiilan 32-36 minggu. Secara fisiologis pengenceran darah
ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya
2
kehamilan.
Menurut penelitian Hidayati dan Andyarini dari hasil penelitiannya di kecamatan
Kintamani kabupaten Bangli Provinsi Bali bahwa presentasi ibu hamil trimester 1
menderita anemia sebesar 58.1% yang tidak anemia 41.9%, pada kehamilan trimester 2
yang anemia sebesar 43.8% yang tidak anemia sebesar 56.2% dan pada trimester 3
didapatkan yang menderita anemia 41.4% yang tidak menderita anemia 58.6%. dari hasil
penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara umur kehamilan dengan kejadian
50
anemia pada ibu hamil dengan nilai p=0.012.

2.6 Komplikasi Anemia pada Ibu Hamil


Anemia pada ibu hamil dianggap berbahaya untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin. Berat badan lahir rendah dan kelahiran preterm selalu dikaitkan dengan anemia pada
kehamilan. Adanya peningkatan signifikan dari kelahiran preterm di trimester kedua. Ini
dapat dijelaskan karena adanya hipoksia kronik yang konstan pada anemia, yang
kemudian dapat mencetuskan respon stress, yang mencetuskan produksi
corticotropinreleasing hormone (CPR), peningkatan konsentrasi tersebut telah di
identifikasi sebagai penyebab utama kelahiran preterm. Sebagai tambahan, resiko
kelahiran preterm dapat meningkat dikarenakan oleh adanya kerusakan oksidatif pada
eritrosit dan fetoplacental unit. Kecuali pada trimester pertama, anemia pada kehamilan
telah terbukti meningkatkan insidensi kelahiran preterm. Hubungan ini muncul paling kuat
di trimester ketiga. Kumar dkk dan Monika dkk menemukan hubungan ini ketika ibu
51
menderita anemia berat yaitu Hb <7.0 g/dl.
Kemudian, isu penting lainnya adalah peningkatan resiko gangguan pertumbuhan dan
kerusakan pada perkembangan motor dan mental pada janin prematur. Sebagai tambahan,
persalinan prematur dianggap penyebab tersering dari kematian janin premature.
Rasmussen dkk melaporkan adanya hubungan antara Hb trimester kedua dan berat badan
lahir yang berbanding terbalik. Hb trimester ketiga yang menjadi faktor penting dalam
menetukan berat lahir janin. Seperti kita ketahui bahwa adanya pertumbuhan janin yang
pesat pada pertumbuhan janin di trimester ketiga. Kebutuhan besi dan mikronutrisi lain
juga mencapai puncaknya pada trimester tersebut. Ini dapat menjelaskan hubungan antara
51
Hb pada trimester ketiga dan berat badan lahir rendah.
Komplikasi lainnya yang berhubungan dengan anemia pada kehamilan . Sebuah studi
dari Colomer menunjukkan peningkatan resiko muncul anemia pada janin dengan ibu
yang anemia saat persalinan, dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia, beberapa artikel
melaporkan adanya korelasi antara ibu yang anemia dan American Pediatric Gross
Assessment Record (APGAR) score yang rendah saat lahir. Bahkan, pada sebuah studi
dengan 102 ibu Indian, Rusia mendemonstrasikan adanya kadar Hb yang lebih tinggi saat
persalinan dikaitkan dengan APGAR yang lebih tinggi dan menurukan risiko asfiksia
51
ketika lahir dan disabilitas janin.

2.7 Pencegahan Anemia pada Ibu Hamil


2.7.1 Pemberian Tablet Besi pada Ibu Hamil
Menurut peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
tablet besi merupakan tablet besi yang diberikan kepada wanita usia subur dan ibu
hamil. Bagi wanita usia subur diberikan sebanyak 1 (satu) kali seminggu dan 1 (satu)
kali sehari selama haid dan untuk ibu hamil diberikan setiap hari selama masa
52
kehamilannya atau minimal 90 (sembilan puluh) tablet.
Saat ini banyak produk tablet besi bagi wanita usia subur dan ibu hamil yang
beredar di masyarakat dengan nama dagang dan komposisi yang beragam. Beberapa
diantaranya tidak memenuhi standar tablet besi seperti yang disarankan oleh WHO
terutama kandungan elemental besi dan asam folatnya. Oleh karena itu dirasa perlu
dibuat standar minimal kandungan tablet besi bagi wanita usia subur dan ibu hamil,
agar tablet besi untuk bagi wanita usia subur dan ibu hamil yang beredar dapat lebih
52
berkualitas dan efektif dalam mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi.
Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan tablet besi yang berkualitas dan
memenuhi standar dalam rangka mencegah dan menanggulangi terjadinya anemia gizi
52
besi pada wanita usia subur dengan prioritas pada ibu hamil.
2.7.2Kebutuhan Gizi untuk Ibu Hamil

53-5

Gizi atau nutrisi memainkan peran utama pada kehamilan, yaitu mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin. Keseimbangan gizi selama kehamilan sangatlah penting. Gizi seimbang pada ibu hamil memiliki beberapa manfaat, yaitu untuk menyediakan kebutuhan gizi janin bagi perkembangannya tanpa mengurangi pemenuhan
kebutuhan gizi ibu, mencapai status gizi ibu hamil dalam keadaan normal hingga dapat menjalani kehamilan dengan baik dan aman, mencegah dan mengatasi permasalahan selama kehamilan, dan memperoleh energi yang cukup berfungsi untuk menyusui setelah kelahiran bayi, serta meminimalkan risiko dari asupan energi.

Kebutuhan gizi selama kehamilan akan mengalami peningkatan. Kebutuhan gizi


ibu hamil dibagi menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien
diperlukan untuk menyediakan energi pada pembentukkan jaringan yang mendukung
tumbuh kembang janin. Makronutrien terdiri dari energi, protein, karbohidrat, dan

lemak. Sedangkan, mikronutrien terdiri dari asam folat, vitamin B 12, vitamin C,
53,54
vitamin A, vitamin D, kalsium, zat besi, zink, natrium dan yodium.
Kebutuhan energi meningkat hanya sedikit selama kehamilan. Bahkan dikatakan
selama trimester pertama, ibu hamil dapat mengkonsumsi kira-kira jumlah kalori yang
sama dengan jumlah yang dikonsumsi selama masa sebelum hamil. Selama dua
trimester akhir kehamilan, kebutuhan kalori meningkat sekitar 350 kkal hingga 450
kkal per hari. Untuk kebutuhan karbohidrat, harus setidaknya 175 g perhari. Asupan
karbohidrat sebagian besar harus berasal dari roti gandum dan sereal, beras merah,
buah-buahan, sayuran, dan kacang polong. Makanan ini juga kaya akan vitamin B dan
nutrisi lain, dan mengandung banyak serat yang dapet berkontribusi pada rasa
kenyang ibu hamil, serta membantu menghindari kenaikan berat badan berlebih.
Kebutuhan protein meningkat hingga 1,1 – 1,5 g/kg berat badan per hari, kebutuhan
ini meningkat sesuai dengan usia kehamilan. Makanan yang mengandung protein
adalah produk susu, telur, dan kacang-kacangan, terutama kedelai. Berdasarkan
pedoman presentasi kalori harian, kebutuhan lemak tidak berubah selama kehamilan,
namun jenis lemak yang dikonsumsi merupakan hal yang penting. Ibu hamil perlu
membatasi jumlah konsumsi lemak agar tidak berlebih. Jenis lemak yang penting
dikonsumsi adalah asam lemak tidak jenuh ganda omega-3 yang dikenal sebagai
dococahexanic acid (DHA) karena baik untuk perkembangan otak janin. sumber
makanan berupa minyak ikan, salmon, sarden, ikan teri, dan ikan kembung, serta tuna,
53,56
ayam dan telur.
Selama kehamilan, perluasan suplai darah ibu dan pertumbuhan rahim, plasenta,
payudara, kadar lemak tubuh ibu dan janin sendiri berkontribusi pada peningkatan
kebutuhan mikronutrien. Selain itu, peningkatan kebutuhan energi selama kehamilan
juga berhubungan dengan kebutuhan mikronutrien yang terlibat dalam metabolisme
energi. Perubahan kebutuhan mikronutrien selama kehamilan dapat dilihat pada Tabel

2.53,56
53
Tabel 2.5. Perubahan kebutuhan mikronutrisi selama kehamilan
Peningkatan
Mikronutrien Sebelum Hamil Hamil
(%)
Asam folat 400 μg/hari 600 μg/hari 50
Vitamin B12 2-4 μg/hari 2,6 μg/hari 8
Vitamin C 75 mg/hari 85 mg/hari 13
Vitamin A 700 μg/hari 770 μg/hari 10
Vitamin D 5 μg/hari 5 μg/hari 0
Kalsium 1.000 1.000mg/hari 0
mg/hari
Zat besi 18 mg/hari 27 mg/hari 50
Zink 8 mg/hari 11 mg/hari 38
Natrium 1.500 g/hari 1.500 m/hari 0
Yodium 150 μg/hari 220 μg/hari 47
Asam folat diperlukan pada 28 hari pertama setelah pembuahan, ketika terjadi
pembentukan dan penutupan neural tube, yang merupakan struktur embrionik yang
akan berkembang menjadi otak dan medula spinalis. Kekurangan asam folat selama
kehamilan, selain dapat menyebabkan cacat pada neural tube juga dapat

menyebabkan anemia makrositik. Vitamin B12 (kobalamin) sangat penting selama


kehamilan karena vitamin ini membantu regenerasi bentuk aktif dari asam folat,
hingga kekurangan vitamin ini juga dapat menyebabkan anemia makrositik. Literatur
menyebutkan bahwa kelebihan Vitamin A dan D dapat berakibat pada kejadian cacat
bawaan, sehingga suplementasi tidak dianjurkan. Zinc (Zn) sangat penting dalam
DNA, RNA, dan sintesis protein, dan asupan yang tidak memadai dapat menyebabkan
53
malformasi pada janin.
Sebelumnya, dijelaskan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan zat gizi selama
kehamilan. Tetapi ada beberapa penelitian yang mengatakan sebagian besar
peningkatan kebutuhan gizi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan yang
padat gizi, kecuali zat besi. Selama kehamilan, permintaan sel darah merah
mengalami peningkatan kebutuhan untuk mengakomodasi kebutuhan ibu bagi
perluasan volume darah, pertumbuhan uterus, plasenta, dan janin, yang kemudian
meningkatkan juga kebutuhan zat besi. Peningkatan kebutuhan zat besi semakin
meningkat lebih banyak selama akhir trimester, dimana zat besi tersebut akan di
simpan di hati janin untuk digunakan selama beberapa bulan pertama kehidupan.
Kurangnya asupan zat besi selama kehamilan berpotensi membahayakan janin, yaitu
dapat meningkatkan risiko berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, dan kematian
bayi baru lahir pada minggu pertama setelah kelahiran. Dan pada kebanyakan kasus,
janin dapat membangun penyimpanan zat besi yang adekuat dengan mengambil zat
53
besi ibu, sehingga dapat memicu anemia defisiensi besi pada ibu.
Dari Tabel 2. di atas terlihat bahwa Angka Kecukupan Gizi (AKG) zat besi pada
ibu hamil adalah 27 mg/hari, yang mengalami peningkatan sebanyak 50% dari
kebutuhan gizi harian perempuan yang tidak hamil. Beberapa makanan yang
mengandung zat besi yang dianjurkan untuk dikonsumsi, yaitu kerang, sereal yang
terfortifikasi, kacang-kacangan, bayam dan daging. Kemudian, pemberian tablet besi
secara rutin diresepkan pada ibu hamil, dan banyak dari penyedia pelayanan kesehatan
merekomendasikan konsumsi tinggi vitamin C karena meningkatkan penyerapan zat
besi. Sumber makanan seperti kopi, teh, dan oksalat dikatakan dapat mengurangi
53
penyerapan zat besi.
2.8 Kerangka Teori

Pertumbuhan payudara, placenta dan janin

Perubahan sirkulasi

KEK
Peningkatan volume plasma

Status Gizi
ANC
Anemia pada ibu hamil
.

Kurang konsumsi Fe Meningkatnya kebutuhan Pengeluaran zat besi


zat besi berlebihan

Pendidikan Asupan makanan  Usia


 Usia kehamilan
 Pendarahan
 Paritas
 Jarak
kehamilan
2.7 Kerangka Konsep

Kadar Hb pada ibu


Lingkar Lengan
hamil
Atas (LLA)

 Pendidikan
 Komsumsi Fe
 Antenatal Care (ANC)
 Jarak Kehamilan
 Paritas
Bab III
 Usia Ibu
 Usia Kehamilan
Bab III
Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah studi observasional analitik dengan
pendekatan case control. Penelitian ini menggunakan desain case control di mana dilakukan
pengukuran variable menggunakan data sekunder yaitu rekam medik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kelurahan Jelambar. Pelaksanaan penelitian
adalah pada bulan april – juli 2019.

3.3 Sumber Data


Sumber data didapat dari data sekunder. Dimana data didapat dari rekam medik pasien
yang melakukan ANC di Puskesmas Kelurahan Jelambar periode Januari sampai dengan
April 2019.

3.4 Populasi
3.4.1 Populasi Target
Ibu hamil di Puskesmas Kelurahan Jelambar dari bulan Januari sampai dengan April
2019.
3.4.2 Populasi Terjangkau
ibu hamil yang melakukan ANC di Puskesmas Jelambar dari bulan Januari sampai
dengan April 2019.
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1 Kriteria inklusi
1. Rekam medik yang lengkap berisi data semua variabel yang diteliti pada ibu
hamil yang melakukan ANC di Puskesmas Jelambar dari bulan Januari sampai
dengan April 2019.
3.5.2 Kriteria eksklusi
1. Data kunjungan ANC yang tercatat tidak lengkap pada rekam medic
2.

3.6 Sampel
3.6.1 Besar sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang melakukan ANC di
Puskesmas Jelambar dari bulan Januari sampai dengan April 2019 sebanyak 94.

Keterangan:
N : Jumlah sampel
Zα : Devisit baku alfa, yang ditentukan oleh tingkat kepercayaan = 1,96
P : Prevalensi = 41.8%=0,418 proporsi variable yang akan diteliti
Q : 1-P = 1-0,418=0,582
D : Presisi (tingkat kesalahan) 10%=0,1

Maka besaran sampel yang dihasilkan adalah


2
N = 1,96 x 0,418 x 0,582
0,01
N = 93,45
Dengan demikian jumlah sampel yang diambil 94 orang dikarenakan jumlah populasi
target 111 maka yang diambil seluruh sampel yaitu 111 orang.

3.7 Cara Kerja Penelitian


1. Mengumpulkan bahan-bahan ilmiah dari jurnal, text book, dan pedoman serta
merancang desain penelitian.
2. Menentukan jumlah sampel.
3. Surat ijin penelitian diajukan ke Kepala Puskesmas Kelurahan Jelambar.
4. Melakukan pengumpulan data-data dengan rekam medis ibu hamil yang datang
melakukan ANC di Puskesmas Kelurahan Jelsmbar.
5. Melakukan editing, verifikasi, koding, dan tabulasi terhadap data yang sudah
dikumpulkan.
6. Melakukan pengolahan, analisis, intepretasi dan penyajian data dengan program
Computer.
7. Penulisan laporan penelitian
8. Pelaporan penelitian.

3.8 Variabel Penelitian


3.8.1 Variabel dependen
Variabel dependen pada penelitian ini adalah anemia pada ibu hamil.
3.8.2 Variabel independen
Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan
dengan anemia dari ibu hamil yaitu usia, tingkat pendidikan, paritas, jarak
kehamilan, LLA dan konsumsi Fe.

3.9 Subjek Penelitian


Subjek penelitian pada penelitian ini adalah ibu hamil yang datang melakukan ANC di
Puskesmas Kelurahan Jelambar.

3.10 Definisi Operasional


3.10.1 Anemia

Definisi : Seorang wanita hamil yang memiliki Hb < 11 g/dL.


Cara ukur : Melihat hasil laboratorium kadar haemoglobin saat pertama kali
kunjungan ANC pada rekam medik
Hasil Ukur : Hasil dilihat dari kadar Hb
1. < 7g/dL
2. 7 – 9.9 g/dL
3. 10 – 10.9 g/dL
4. > 11 g/dL
Skala Ukur : Kategorik-ordinal
3.10.2 Usia
Definisi : Lamanya hidup seseorang yang dilihat dari tanggal bulan dan
tahun lahir sampai dilakukannya penelitian.
Cara ukur : Melihat usia dari KTP
Hasil Ukur : 1. <20 th
2. > 20-35 th,
3. > 35 th
Skala Ukur : Numerik

3.10.3 Paritas
Definisi : Jumlah bayi yang hidup dan mati yang dilahirkan pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu
Cara ukur : Melihat jumlah gravida pada rekam medik
Hasil ukur :1. > 4
2. 3 – 4
3. 1 – 2
Skala ukur : Numerik
3.10.4 LLA
Definisi : Lingkar lengan atas menggambarkan cadangan lemak
keseluruhan dalam tubuh juga mewakili IMT ibu hamil.
: Melihat hasil pengukuran LLA pertama kali saat ANC dari rekam
Cara ukur medik
Hasil Ukur : 1. < 23.5 KEK
2. > 23.5 tidak KEK
Skala Ukur : Kategorik-ordinal
3.10.5 Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan: jarak atau sela waktu antara kehamilan anak sebelumnya
dengan kehamilan saat ini, jarak kehamilan lebih dari 2 tahun
mengurangi resiko pada kehamilan.
Cara ukur : Melihat riwayat persalinan sebelumnya pada rekam medik
Hasil ukur : 1. < 2 tahun, kehamilan beresiko
2. ≥ 2 tahun, kehamilan tidak beresiko
Skala ukur: kategorik-ordinal

3.10.6 Tingkat Pendidikan


Definisi : Jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh Ibu.
Cara ukur : Melihat ijazah pendidikan terakhir
Hasil Ukur : 1.Rendah : SD
2. Sedang : SMP – SMA
3. Tinggi : Perguruan Tinggi
Skala Ukur : Kategorik-Ordinal

3.10.7 Konsumsi Fe
Definisi : Pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama masa
kehamilan.
Cara ukur : Melihat jumlah tablet yang diberikan pada ibu hamil
: Jumlah tablet zat besi yang diberikan
Hasil Ukur
: Numerik
Skala Ukur
3.11 Manajemen Data
3.11.1 Pengumpulan data
Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa
proses editing, verifikasi, coding, dan tabulasi.

3.11.2 Penyajian data


Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.

3.11.3 Analisis data


Data yang diperoleh akan dikumpulkan, diolah, disajikan lalu dianalisis
menggunakan program SPSS v.16 dalam bentuk univariat dan bivariat.
3.11.3.1 Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif untuk menilai frekuensi
kada hemoglobin pada ibu hamil dan masing-masing variabel dengan tabel
distribusi frekuensi disertai penjelasan.
3.11.3.2 Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
dependen dan independen. Karena rancangan penelitian ini adalah Cross
Sectional Study, dicari hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Untuk menilai hubungan antara variabel lingkar lengan atas (LLA),
usia, usia kehamilan, paritas, konsumsi zat besi, pendidikan, jarak kehamilan
dan variabel dependen dengan menggunakan uji Chi-square terhadap kejadian
anemia pada ibu hamil (dependen) dengan menggunakan p-value.

3.11.4 Interprestasi data


Data diinterpretasikan secara deskriptif dan analitik antara variabel-varibel yang
sudah ditentukan.
3.11.5 Pelaporan data
Data disusun dalam bentuk laporan penelitian. Selanjutnya akan di
presentasikan dihadapan staf pengajar program pendidikan Ilmu Kesehatan Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) dalam forum
pendidikan ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana (UKRIDA).
Bab IV
Hasil Penelitian

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kelurahan Jelambar, Kota Jakarta Barat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
4.1.2 Gambaran Karaktersitik/Analisis Univariat
Karakteristik subjek yang diteliti meliputi anemia, usia, paritas, lingkar lengan atas
(LLA), jarak kehamilan, tingkat pendidikan, konsumsi Fe. Data yang dikumpulkan
merupakan data sekunder yang berasal dari 111 subjek yang diteliti. Hasil analisis
univariat subjek penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1.2.1 Sebaran kejadian anemia dan tidak anemia di Puskesmas Kelurahan Jelambar
periode Januari-April 2019
Karakteristik N Persentase (%)
Kejadian anemia
< 7 g/dL 0 0
7 – 9.9 g/dL 13 11.7
10 – 10.9 g/dL 33 29.7
≥ 11 g/dL 65 58.5
Jumlah 111 100

Tabel 4.1.2.2 Sebaran lingkar lengan atas (LLA) di Puskesmas Kelurahan Jelambar periode
Januari-April 2019
Karakteristik N Persentase (%)
Lingkar lengan atas
<23.5 49 44.1
≥23.5 62 55.8
Jumlah 111 100
Tabel 4.1.2.3 Sebaran paritas, jarak kehamilan, tingkat pendidikan, konsumsi Fe di Puskesmas
Kelurahan Jelambar periode Januari-April 2019
Karakteristik N Persentase (%)

Usia ibu
<20 tahun 16 14,4
20 - <35 tahun 76 68,5
≥35 tahun 19 17,1
Jumlah 111 100

Paritas
1-2 18 16.2
3-4 63 56.7
≥4 58 52.2
Jumlah 111 100

Jarak Kehamilan
<2 tahun 46 41,4
>= 2 tahun 65 58,6
Jumlah 111 100

Tingkat Pendidikan
SD 12 10,8
SMP 56 50,5
SMA/Perguruan Tinggi 43 38,7
Jumlah 111 100
Konsumsi tablet Fe
30 20 18
45 17 15.3
60 9 8.1
90 65 58.6
Jumlah 111 100

4.2 Gambaran Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk mendeskripsikan ada tidaknya hubungan dari tiap
variabel yang diteliti. Data-data yang dianalisis adalah lingkar lengan atas (LLA), usia
ibu, usia kehamilan, tingkat pendidikan, paritas, ANC, jarak kehamilan, konsumsi Fe
dan kadar hemoglobin sebagai variable dependen
Tabel 4.2.1 Hubungan Lingkar Lengan Atas (LLA) dengan kejadian anemia di
Puskesmas Kelurahan Jelambar bulan Januari- April 2019

LLA Anemia Uji P- value H0


Sedang Ringan Tidak
anemia

13 32 4 chi .000
KEK square P < 0,05 Ditolak
1 1 60
Tidak KEK
Tabel 4.2.2. Hubungan antara usia dengan kejadian anemia di Puskesmas Kelurahan
Jelambar bulan Januari- April 2019

Usia n Median Uji P- value H0

13 (17-36) .418
< 20 tahun Anova P > 0,05 Diterima
20 – 35 33 (18-28)
tahun
65 (18-28)
>35 tahun

Tabel 4.2.3. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian anemia di Puskesmas
Kelurahan Jelambar bulan Januari- April 2019

Tingkat Anemia
pendidikan Uji P- value H0
Sedang Ringan Tidak
anemia

2 4 6 chi .872
Rendah square P > 0,05 Diterima
5 16 35
Sedang
6 13 24
Tinggi
Tabel 4.2.4. Hubungan antara paritas dengan kejadian anemia di Puskesmas Kelurahan
Jelambar bulan Januari- April 2019

Usia n Median Uji P- value H0

13 (2-5) .319
>4 Anova P > 0,05 Diterima
33 (1-7)
2-3
65 (1-7)
1
Tabel 4.2.5 Hubungan Jarak kehamilan dengan kejadian anemia di Puskesmas Kelurahan Jelambar
bulan Januari- April 2019
Jarak Anemia
kehamilan Uji P- value H0
Sedang Ringan Tidak
anemia

3 10 33 chi .054
Beresiko square P > 0,05 Diterima
Tidak 10 23 32
beresiko

Tabel 4.2.6 Sebaran dan Hasil Uji Konsumsi Tablet Fe Terhadap Anemia di Puskesmas Kelurahan
Jelambar Periode Januari-April 2019

Konsumsi n Median
Fe Uji P- value H0

13 (30-45) .000
30 Anova P < 0,05 Ditolak
33 (30-60)
60
65 (90-90)
90
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Prevalensi Anemia dan Faktor Risiko pada Ibu Hamil

5.1.1 Analisis Univariat Sebaran Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Kelurahan
Jelambar

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 4.1.2.1 didapatkan hasil
bahwa wanita hamil yang menderita anemia sebanyak 49 (44.1%) sedangkan yang tidak
anemia sebanyak 62 (55.9)% sesuai dengan data yang didapatkan oleh World Health
Organization (WHO) tahun 2012 memperkirakan bahwa 35-75% ibu hamil di negara
5
berkembang. Menurut Infodatin Gizi (2015) menyebutkan diperkirakan 41,8% ibu hamil
6
di seluruh dunia mengalami anemia. Pada penelitian ini didapatkan hasil presentase
44.1% lebih besar dibandingkan dengan penelitian Lestari di Sumatra Utara sebesar 40.7%
dan lebih besar dari prevalensi anemia ibu hamil di Kebayorang Jakarta Selatan tahun
7,8
2013 sebesar 32.5%. Hal tersebut bisa terjadi pada penelitian ini karena kembali lagi
banyak faktor yang mempengaruhinya, misalkan pendidikan dan pengetahuan yang
rendah, serta kepatuhan dalam mengkonsumsi Fe maupun kepatuhan untuk antenatalcare
(ANC).
5.1.2 Analisis Univariat Sebaran LLA pada Ibu hamil di Puskesmas Kelurahan
Jelambar
Pada tabel 4.1.2.3 hasil penelitian ini menunjukan sebaran status gizi melalui
pemeriksaan LLA didapatkan yang menderita kurang energy kronis (KEK) sebanyak
sebanyak 37 (33.3%), sedangkan yang normal sebanyak 74 (66.7%). hal tersebut sesuai
12
dengan data menurut WHO kejadian KEK pada ibu hamil di asia sekitar 30%. Data menurut
Riskesdas tahun 2013 angka kejadian KEK pada ibu hamil di Indonesia 24.2%, pada
penelitian ini angka kejadia lebih besar hal tersebut bisa terjadi karena berbagao faktor yang
behubungan dengan KEK pada ibu hamil diantaranya keasaan ekonomi, rendahnya
pendidikan, jarak kelahiran, banyak bayi yang dilahirkan, dan asupan makan yang tidak
14
cukup.
5.1.3 Analisis Univariat Sebaran ANC, Usia ibu, Paritas, Jarak Kehamilan, Tingkat
Pendidikan, Konsumsi Tablet Fe, Usia Kehamilan pada Ibu hamil di Puskesmas
Kelurahan Jelambar

Hasil penelitian pada tabel 4.1.2.3 menunjukan sebaran ANC terbanyak adalah 2 kali
pada ibu hamil di puskesmas keluran jelambar sebanyak 48 (43.2%), jumlah ANC 1 kali
sebanyak 23 (27.0%), jumlah ANC 3 kali sebanyak 16 (14.4%), jumlah ANC 4 kali sebanyak
23 (20.7%), jumlah ANC 5 kali sebanyak 1 (0.9%). Rata-rata pada sebaran ANC adalah 2.32.
Menurut data dari WHO dari percobaan yang dilakukan dari beberapa Negara menunjukan
intervensi anemia paling efektif pada saat ANC pada trimester pertama kehamilan, dan dalam
7
penelitian hanya 17% wanita yang melakukan kunjungan ANC pada trimester pertama.

Hasil penelitian tabel 4.1.2.4 menunjukan sebaran usia terbanyak adalah 20 sampai
kurang dari 35 tahun pada ibu hamil di puskesmas keluran jelambar sebanyak 76 (68.5%),
usia kurang 20 tahun sebanyak 16 (14.4%), sedangkang lebih dari 35 tahu sebanyak 19
(17.1%). Dalam usia reproduksi sehat usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20 tahun sampai dengan 35 tahun. Pada penelitian Waode (2014) mendapatkan usia ibu
merupakan faktor risiko terhadap kejadian anemia dengan kejadian terbanyak pada usia yang
berisiko yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun sebanyak 7,21 kali untuk
38
mengalami anemia dibandingkan dengan responden dengan usia 20-35 tahun.

Hasil penelitian tabel 4.1.2.5 menunjukan sebaran paritas terbanyak adalah jumlah anak
1-2 pada ibu hamil di puskesmas keluran jelambar sebanyak 60 (54.1%), jumlah anak 3-4
sebanyak 50 (45%), jumlah anak lebih dari 4 sebanyak 1 (0.9%). Paritas berhubungan dengan
anemia, semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar resiko kehilangan
darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Pada penelitian Oktaviani (2017) Semakin
sering seorang wanita melahirkan, maka akan lebih besar risiko untuk kehilangan darah dan
berdampak pada penurunan kadar hemoglobin.

Hasil penelitian tabel 4.1.2.6 menunjukan sebaran jarak kehamilan terbanyak adalah
lebih dari sama dengan 2 tahun pada ibu hamil di puskesmas keluran jelambar sebanyak
65 (58.6%),untuk kurang 2 tahun sebanyak 46 (41.4%). Hal ini menunjukan bahwa ibu
hamil yang memeriksa kehamilannya di pusekesmas kelurahan jelambar memiliki jarak
kehamilan yang baik.
Hasil penelitian tabel 4.1.2.7 menunjukan sebaran tingkat pendidikan terbanyak adalah
SMP pada ibu hamil di puskesmas keluran jelambar sebanyak 56 (50,5%), Sd sebanyak 12
(10.8%), SMA/Perguruan tinggi sebanyak 43 (38.7%). Tingkatan pendidikan ibu
mempengaruhi perilakunya. Semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi pegetahuannya,
semakin tinggi kesadaran untuk mencegah terjadinya anemia. Tinggi rendahnya pendidikan
erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang zat besi (Fe) serta kesadarannya
43
terhadap konsumsi tablet zat besi (Fe) selama hamil. Pada penelitian Ristica (2013)
didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan pendidikan yang rendah lebih berisiko 3,3 kali
menderita anemia dibanding ibu hamil dengan pendidikan yang tinggi.

Hasil penelitian table 4.1.2.8 menunjukan ibu yang mengkomsumsi tablet Fe dengan
jumlah 30 tablet didapatkan 37 (33.3%), mengkonsumsi Fe 15 sebanyak 1 (0.9%), konsumsi
tablet Fe 45 butir sebanyak 11 (9.9%), mengkonsumsi Fe 60 butir sebanyak 33 (29.7%),
mengkonsumsi tablet Fe 90 butir sebanyak 29 (26.1%). Rata-rata dari hasil konsumsi tanlet Fe
sebanyak 55.95. Studi Waode dkk menunjukkan bahwa asupan tablet Fe merupakan faktor
38
risiko terhadap kejadian anemia. Pada penelitian ini didapatkan ibu hamil yang
mengkomsumsi tablet Fe lebih dari 90 tablet lebih banyak hal tersebut dapat menurunkan
angka kejadian anemia serta dapat mereduksi anemia defisiensi besi pada ibu hamil.

Hasil penelitian table 4.1.2.9 menunjukan ibu yang hamil pada trimester pertama
didapatkan 29 (26.1%), trimester kedua didapatkan 58 (52.3%), dan pada trimester ketiga
didapatka 24 (21.6%). Menurut penelitian Hidayati dan Andyarini dari hasil penelitiannya
menunjukan bahwa usia kehamilan memiliki faktor resiko untuk terjadinya anemia pada ibu
49
hamil.

5.2 Pengaruh LLA dengan kadar Hb Ibu hamil di Puskesmas Kelurahan Jelambar

Berdasarkan tabel 4.2.6 terdapat hubungan antara LLA dengan kadar Hb ibu hamil
dengan P-value 0.000 atau nilai P-value > 0.05, KEK berhubungan dengan kejadian anemia
karena erat kaitannya dengan kekurangann asupan protein. KEK pada ibu hamil berhubungan
dengan kurangnya asupan protein yang bersifat kronis atau terjadi dalam jangka waktu yang
lama. Dengan demikian kurangnya asupan protein akan berdampak pada terganggunya
penyerapan zat besi yang berakibat pada terjadinya defisiensi besi. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Herawati dkk (2010) terdapat hubungan antara LLA ibu hamil
57
1dengan kejadian anemia.

5.3 Hubungan antara Jumlah ANC Terhadap Anemia pada Ibu Hamil

Pada analisis bivariat antara kunjungan antenatal care (ANC) dengan anemia pada ibu
hamil tidak terbukti secara statistik karena nilai p=0.199 di mana telah melebihi 0.05 dan
bukan merupakan faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil. Hal ini sejalan dengan
penelitian oleh Lestari S et al (2018) pada 140 ibu hamil di mana didapatkan 83.6%
melakukan ANC ≤ 4 kali dan 16.4% melakukan ANC > 4 kali dan dari hasil ini tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara kunjungan ANC dengan anemia pada ibu hamil
7
dengan nilai p = 0.79. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian oleh Tanziha dkk
(2016) pada 452 orang ibu hamil dari data Riskesdas 2013 dan didapatkan persentase ibu
hamil yang anemia di perdesaan sebesar 37.9% dan di perkotaan sebesar 38.2%, manakala
persentase ibu hamil tidak anemia di perdesaan sebesar 62.1% dan di perkotaan sebesar
61.8% dan dari hasil ini didapatkan bahwa ANC tidak berhubungan dengan anemia pada ibu
44
hamil baik di perdesaan atau di perkotaan dengan nilai p > 0.05.

5.4 Hubungan antara Usia Terhadap Anemia pada Ibu Hamil


Didapatkan tidak ada hubungan anemia pada ibu hamil terhadap usia dengan
nilai p = 0,246. Ini menunjukkan nilai P > 0.05, maka H0 diterima. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Tuminting yang terletak di kota Manado tahun 2016 menyatakan bahwa dari
hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-Square diperoleh hasil bahwa nilai P=
0.079 lebih besar dari nilai P= 0.05, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
58
antara usia dengan status anemia pada Ibu hamil di kecamatan Tuminting. Menurut
penelitian Lukman menunjukkan proporsi responden yang menderita anemia paling
tinggi pada kelompok usia 17-18 tahun, diperoleh P sebesar 0,265 sehingga dapat
disimpulkan bahwa H0 diterima yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelompok umur dengan kejadian anemia. Selanjutnya penelitian yang
dilakukan oleh Melorys dkk menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia
dengan kejadian anemia pada ibu hamil dengan p value 1,000 (p>0,005). Berdasarkan
hasil penelitian, sebagaian besar responden mengalami responden dalam kategori tidak
beresiko yaitu usia 20-35 tahun. hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian
sebelumnya Aisyah dkk tidak terdapat hubungan antara usia dengan antara usia dengan
anemia pada ibu hamil (p value 0,298). Ibu dengan umur 20-35 tahun merupakan tahun
terbaik untuk mempunyai keturunan bahwa kemungkinan terjadi gangguan atau
59
komplikasi atau komplikasi pada kehamilan dan persalinan adalah sangat kecil.

5.5 Pengaruh Paritas dengan Kadar Hb Ibu hamil di Puskesmas Kelurahan Jelambar

Berdasarkan tabel 4.2.3 tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kadar Hb ibu
hamil dengan nilai P-value 0.371 atau nilai P-value > 0.05, tidak terdapatnya hubungan antara
paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil dikarenakan sebagian besar ibu hamil
merupakan paritas tidak berisiko. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin
besar resiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Setiap kali wanita
melahirkan, jumlah zat besi yang hilang diperkirakan sebesar 250 ml. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Melorys dkk (2017) menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan
antara paritas dengan kadar Hb hal ini terjadi karena ibu hamil merupakan paritas < 3 dimana
bukan faktor terjadinya anemia karena semakin sering hamil dapat menguras cadangan zat
57
gizi tubuh ibu.

5.6 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Anemia


Pada analisis bivariat antara tingkat pendidikan dengan anemia pada ibu hamil tidak
terbukti secara statistik karena nilai p=0.787 di mana telah melebihi 0.05 dan bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Purwaningtyas di wilayah kerja Puskesmas Karang Anyar Kota
Semarang pendidikan diketahui bahwa hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan
kejadian anemia pada ibu hamil di Puskesmas Karang Anyar Kota Semarang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian anemia pada ibu hamil
28
dengan nilai p value 0,239 (>0,05). Hal ini juga seiring dengan penelitian Melorys et al
(2017) pada 74 ibu hamil menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan
60
ibu dengan anemia pada ibu hamil dengan nilai p = 0.239.
5.7 Hubungan antara Jarak Kehamilan dengan Kejadian Anemia

Pada analisis bivariat antara kunjungan jarak kehamilan dengan anemia pada ibu
hamil tidak terbukti secara statistik karena nilai p=0.563 di mana telah melebihi 0.05 dan
bukan merupakan faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Heny Sepduwiana dan Ratih Nur Sri Sutrianingsih diwilayah
kerja puskesmas rambah samo 1 menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jarak
kehamilan dengan kejanian anemia, didapatkan nilai p value=0.414 dimana lebih besar
dari > 0.05 yang artinya bahwa tidak ada hubungan jarak kehamilan dengan kejadian
anemia pada ibu hamil. Disebabkan karena lebih banyak responden yang memiliki jarak
kehamilan lebih dari 2 tahun sedangkan seseorang ibu membutuhkan waktu lebih dari 2
tahun untuk memulihkan organ reproduksinya, sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa jarak kehamilan yang baik adalah lebih dari 2 tahun agar status gizi ibu membaik
dan kebutuhan zat besi seorang ibu dapat tercukupi, serta mempersiapkan stamina fisik
61
sebelum hamil sebelumnya.

5.8 Hubungan antara Konsumsi Fe dengan Kejadian Anemia

Pada analisis bivariat antara hubungan konsumsi Fe dengan kejadian anemia ibu
hamil didapatkan terdapat hubungan. Didapatkan nilai p value = 0.042 dimana lebih
kecil dari 0.05 maka H0 ditolak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh putri tahun 2015
terdapat hubungan antara kepatuhan minum tablet Fe dengan kejadian anemia ibu hamil
dengan nilai p=0.011 hal ini menunjukkan bahwa semakin patuh ibu hamil
mengkonsumsu tablet Fe maka semakin kecil kemungkinan mengalami anemia dalam
39
kehamilan. Ibu dengan konsumsi tablet Fe yang tetap mengalami anemia, hal ini
dimungkinkan ada faktor lain yang mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil
seperti asupan makanan, gangguan absorbsi Fe, pendarahan dan kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet Fe oleh karena itu semakin baik kecukupan konsumsi tablet
62
Fe maka seharusnya tingkat kejadian anemia semakin rendah.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai prevalensi anemia pada ibu hamil dan
hubungan terhadap faktor resiko seperti usia, usia kehamilan, tingkat pendidikan,
jarak kehamilan, ANC, paritas, konsumsi suplemen Fe, status gizi dengan pengukuran
lingkar lengan atas (LLA) di Puskesmas Kelurahan Jelambar periode januari-april
2019 dari 111 sampel dapat disimpulkan sebaran anemia pada ibu hamil sebanyak 49
orang (44.1%). Sebaran untuk kelompok status gizi paling banyak ditemukan pada
kelompok cukup gizi sebanyak (66.7%), sebaran pada paritas lebih banyak pada
primipara (43.2%), sebaran usia kehamilan paling banyak adalah pada trimester 2
yaitu sebanyak 58 (52.3%), sebaran jumlah ANC paling banyak adalah 2 kali
sebanyak 48 (43.2%), sebaran pada jumlah konsumsi tablet Fe terbanyak pada 30
tablet yaitu sebanyak (33.3%), sebaran tingkat pendidikan paling banyak pada SMP
sebanyak (50.5%), pada sebaran jarak kehamilan paling banyak ditemukan jarak
kehamilan lebih dari atau sama dengan 2 tahun (58.6%),

Terdapat hubungan antara pemberian konsumsi tablet fe terhadap anemia


dengan nilai P = 0.042 dimana nilai P <0.05, dan terdapat hubungan antara lingkar
lengan atas (LLA) dengan hemoglobin pada ibu hamil dengan nilai p=0.00.

6.2 Keterbatasan Penelitian


6.2.1 Variabel Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan ingin membuktikan hubungan LLA dengan
kadar Hb ibu hamil Puskesmas Kelurahan Jelambar. Sebelum ini telah banyak
dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan LLA dengan kadar Hb ibu hamil
namun penelitian kali ini hanya meneliti variabel yang ada dalam kerangka konsep
saja.

6.2.2 Sampel Penelitian


Pada sampel penelitian kali ini adalah semua ibu hamil yang melakukan ANC
di Puskesmas Kelurahan Jelambar sehingga peneliti menerima semua ibu hamil yang
melakukan ANC pada puskesmas Kelurahan Jelambar tanpa melihat usia kehamilan.
Pemilihan sampel pada ibu hamil tanpa melihat usia kehamilan dilakukan karena akan
mendapatkan jumalah sampel yang besar melebihi jumlah sampel minimal yang
ditentukan peneliti penelitian ini, tetapi jika peneliti mengambil sampel dengan
melihat usia kehamilan akan memperkecil jumlah sampel yang akan digunakan pada
penelitian ini.

6.2.3 Kualitas Data


Kualitas dan realibilitas data yang di dapatkan dengan cara pengambilan data
melalui rekam medik belum sepenuhnya baik, karena hasil dari pada pengukuran
tersebut peneliti tidak melihat secara langsung apakah sesuai dengan SOP atau tidak.
Namun data yang sudah dikumpul oleh peneliti diperoleh dari pengambilan data
rekam medik ibu hamil yang melakukan ANC di Puskesmas Kelurahan Jelambar yang
diperiksa oleh tenaga medis yang berkompeten yaitu Bidan yang bertugas pada
Poliklinik KIA. Jika peneliti melakukan pengambilan data melalui kuesioner, sampel
yang akan di dapatkan tidak akan mencapai minimal sampel yang di tetapkan peneliti.

6.3 Saran
Dari kesimpulan di atas maka saran penulis adalah:
6.3.1 Bagi Masyarakat
Pentingnya pengetahuan dan kesadaran untuk melakukan ANC selain
untuk pemeriksaan ibu hamil, untuk deteksi penyakit dini pada ibu hamil juga
berdampak untuk proses persalinan dan bayi yang dilahirkannya. Masyarakat
terutama ibu hamil juga diharapkan lebih peka tentang keadaan dirinya
sewaktu hamil terutama dari segi faktor-faktor yang berpengaruh pada anemia
pada ibu hamil, diharapkan dengan tingginya kesadaran ibu hamil untuk
melakukan ANC kejadian anemia dapat dikurangi dengan pemberian tablet
besi yang diberikan melalui puskesmas.

6.3.2 Bagi Puskesmas Kelurahan Jelambar


Memantau kesehatan ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan awal
terhadap ibu hamil yang berpotensi mengalami anemia defisiensi besi agar
dapat melakukan tatalaksana yang sewajarnya agar tidak mengalami anemia
yang lebih parah saat melahirkan. Pemberian tablet besi bagi ibu yang
menderita anemia ringan sedang serta edukasi baik dari bidan ataupun ahli gizi
untuk makanan yang baik untuk gizi serta anemia ibu hamil.

6.3.3 Bagi Penelitian Selanjutnya


Menambahkan jumlah sampel sehingga besar sampel mencukupi untuk
memperoleh hasil yang signifikan dan dapat melaksanakan penelitian dengan
waktu yang lebih lama. Selain itu disarankan melakukan penelitian yang lebih
spesifik pada faktor-faktor yang terbukti berpengaruh sehingga dapat diketahui
lebih jelas pengaruhnya.
Daftar Pustaka

1. Pearce, Evelyn. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia; 2009.
2. Soraya Maulida Nur. Hubungan tingkat pengetahuan tentang anemia pada ibu hamil
dengan kepatuhan dalam mengkomsumsi tablet besi (Fe) di puskesmas keeling II
kabupaten jepara tahun 2013(skripsi). Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.2013
3. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta. 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.p df
[diakses 5 Mei 2019].
4. Isviani Hayu. Gambaran kadar hemoglobin pada ibu hamil di wilayah kerja
puskesmas ciputat (skripsi). Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah. 2017
5. World Health Organization.The Global Prevalence of Anaemia in 2011. WHO
Report;
2015.http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/177094/9789241564960_eng.pdf
;jse ssionid=6B17C2F6ABA5BE68AC3B7514A9FE0C6F?sequence=1 [diakses 5
Mei 2019]
6. Kementerian kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kemeterian Kesehatan
RI Situasi dan Analisis Gizi. 2015.
7. Lestari S, Fujiati I, Keumalasari D, Daulay M, Martina S, Syarifah S. The prevalence
of anemia in pregnant women and its associated risk factors in North Sumatera,
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
2018;125:012195.
8. Idwiyani N, Tjahyani S, Utami B. Anemia Ibu Hamil Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya di wilayah Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta
Selatan Tahun 2013. FKM UI. Depok. 2013.
9. Andriani Z. Gambaran status gizi ibu hamil berdasarkan ukuran lingkar lengan atas di
kelurahan sukamaju kota depok (skripsi). Fakultar Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2015
10. Stepyani, Malonda Nancy S.H, Kapantow Nova H. Hubungan antara Karakteristik
Ibu Hamil dengan Kejadian Anemia di Puskesmas Tuminting Kota Manado. FKM
Universitas Sam Ratulagi. Manado. 2016
11. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.2016. p
23.

12. WHO. Nutrition in woman during preganncy. New york; 2011. 1-5.
13. Ditjen Bina Gizi dan KIA. Situasi dan analisis gizi ibu hamil dengan risiko KEK. Pusat
data dan informasi kesehatan RI; 2015.p.5.
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesiaa. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan
penanggulangan kekurangan energy kronis pada ibu hamil. 2012. p. 36-42.
15. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
16. Pramartha A. Perbedaan kadar hemoglobin pada kelompok wanita vegetarian dengan
non-vegetarian. ISM vol. 7. No. 1. Bali:Universitas Udayana;2016
17. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan: buku ajar ilmu gizi. Jakarta: EGC; 2004.
18. Siahaan R, Nashty. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia pada remaja
putri di wilayah depok tahun 2011. Jakarta: FKM UI; 2012.
19. Kusumawati E. Perbedaan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) remaja
menggunakan metode Sahli dan digital (Easy Touch GCHb) Journal of Health Science

and Prevention Vol 2(2), September 2018. Surabaya:Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya;2018.

20. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of Anaemia and Assessment of
Severity. Geneva: World Health Organization; 2011.
21. WHO, UNICEF & UNU. Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control,
A Guide for Programme Managers. Geneva: World Health Organization; 2001.
22. Febianty N. Perbandingan pemeriksaan kadar hemoglobin dengan menggunakan metode
Sahli dan Autoanalyzer pada orang normal. Bandung: Universitas Kristen
Maranatha;2017.
23. Departemen Kesehatan. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan
Wanita Usia Subur. Jakarta: Depkes RI. 1998.
24. WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment,
Prevention, and Control: A guide for programme managers. Geneva: World Health
Organization.

25. World Health Organization.Haemoglobinconcentrations for the diagnosis of anemia


and assessment of severity.2011.https:/www.who.int>vmnis>indicators [diakes 13
Mei 2019].
26. Masrizal. Anemia defisiensi besi dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2. No.1.
Andalas; 2007.
27. Mahayana SA, Chundrayetti E, Yulistini. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015;4(3)
28. Gedefaw L, Ayele A, Asres Y, Mossie A. Anemia and associated factors among
pregnant women attending antenatal care clinic in Wolayita Sodo Town, Southern
Ethiopia. Ethiop J Health Sci 2015;25(2):155-62.
29. Riswan M. Anemia defisiensi besi pada wanita hamil di beberapa praktek bidan swasta
kota madya medan, Bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, 2003.
30. Pitkin J, Peattie A.B, Magowan B.A. Anemia in pregnancy. In: obstetrics and
gynecology
st
an illustrated colour text. 1 ed. London: livingstone, 2003;p.32-3.
31. Arumsari E. Faktor risiko anemia pada remaja putri beserta program pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi besi (PPAGB) di kota Bekasi. Bogor: Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; 2008.

32. Nissa S. Hubungan status sosio ekonomi dan status gizi dengan kejadian anemia pada
wanita usia subur prakonsepsi di kecamatan terbanggi besar kabupaten lampung tengah.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung(skripsi): Lampung;2017.

33. Harjatmo TP, Par‟I HM, Wiyono S. Penilaian status gizi. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. 2017. h.212-3, 224.
34. Kurnia Y, Santoso M, Rumawas JSP, Winaktu GJMT, Sularyo TS, Adam H. Buku
panduan ketrampilan klinik. Skills lab. Jilid 3. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana. 2008. h.10.
35. Vieth, J. and Lane, D. (2014). Anemia. Emergency Medicine Clinics of North
America, [online] 32(3), pp.613-628.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25060253 [diakses 13 Mei 2019].
36. Baig-Ansari N, Badruddin S, Karmaliani R, Harris H, Jehan I, Pasha O et al. Anemia
Prevalence and Risk Factors in Pregnant Women in an Urban Area of Pakistan. Food
and Nutrition Bulletin. 2008;29(2):132-139.
37. NH Nik R, S Mohd N. The Rate and Risk Factors for Anemia among Pregnant
Mothers in Jerteh Terengganu, Malaysia. Journal of Community Medicine & Health
Education. 2012;2(5).
38. Sitti asfiah w, Yulia A, Wahidatun Asryani S. Faktor - faktor risiko usia, asupan tablet
fe dan status gizi yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Medula.
2014;2(1):131-133.
39. Putri, H.P ,Sulistyono, A, Mahmudah.2015. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Anemia pada Kehamilan Usia Remaja. Majalah Obstetri & Ginekologi. 23(1),33-36.
40. Oktaviani I, Makalew L, Solang SD. Profil haemoglobin pada ibu hamil dilihat dari
beberapa faktor pendukung. Jurnal Ilmiah Bidan 2016;4(1):22-30.

41. Sepudiana H, Sutrianingsih R. hubungan jarak kehamilan dan kepatuhan mengkonsumsi


tablet Fe dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas rembah
samo. Jurnal Kesehatan, 2017; 3 (2).
42. Sabrina C M, Serudji J. Almurdi. Gambaran anemia pada kehamilan di bagian obstetri
dan ginekologi RSUP dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari sampai 31 Desember 2012.
43. Nurhidayati,D.R. Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Anemia pada Ibu Hamil di
Wilayah Kerja Puskesmas Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. 2013.h.20-6.
44. Sulistyawati, Ari. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika;
2009.h. 83-91.
45. Tanziha, I, Damanik, M.R.M, Utama, J.L, Rosmiati, R. 2016. Faktor Risiko Anemia Ibu
Hamil di Indonesia. J. Gizi Pangan.11(2):143-152.
46. Ristica D.O.2013. Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan
Komunitas.2 (2): 79-82.
47. Sutarjo US, Budijanto D, Kurniawan R, Yudianto, Hardhana B, Siswanti T. Profil
kesehatan Indonesia tahun 2017. Pelayanan kesehatan ibu hamil. Depertemen Kesehatan
Republik Indonesia. h.107.
48. Opitasari C, Andayasari L. Young mothers, parity and the risks of anemia in the third
trimester of pregnancy. Health Science Journal of Indonesia. 2015;6(1):7-11.
49. Hidayati Iru, Andyarini Esti N. Hubungan jumlah paritas dan umur kehamilan dengan
kejadian anemia ibu hamil. Journal of Health Science and Prevalention. Vol
2(1).2018.p 42-7
50. Opitasari C, Andayasari L. Young mothers, parity and the risks of anemia in the third
trimester of pregnancy. Health Science Journal of Indonesia. 2015;6(1):7-11.
51. Renzo CR, Spano F. Giardina I, et al. 2015. Iron deficiency anemia in pregnancy.
Departement of Obsetrics & Gynecology. University of Perugia. 11 (3). h. 891-7.
52. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2014 Tentang Standar
Tablet Tambah Darah Bagi Wanita Usia Subur Dan Ibu Hamil.
rd
53. Thompson J, Manore M. Nutrition. An applied approach. 3 Edition. Boston: Benjamin
Cummings. p.502-7.
54. Fitriana DA. Gizi seimbang ibu hamil. Jurusan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. 1 September 2016. Diunduh dari http://gizi.fk.ub.ac.id/en/gizi-seimbang-ibu-
hamil/, 12 Mei 2019.
55. Cetin I, Laoreti A. The importance of maternal nutrition for health. J Pediatr Neonat
Individual Med. 2015; 4(2): 1-11.
56. Elango R, Ball RO. Protein and amino acid requirements during pregnancy. American
Society for Nutrition. 2016; 7. h. 8395-445.
57. Melorys LP, Galuh NP. Faktor kejadian anemia pada ibu hamil. Higeia Journal of Public
Health Research and Development. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES.
Semarang. 2017.
58. Liza S, Nancy S, Nova H. Hubungan antara karakteristik ibu hamil dengan kejadian
anemia di puskesmas tuminting kota manado. Manado. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. 2016.
59. Purwaningtyas ML, Prameswari GN.Faktor Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Gizi
Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang . 2017; 1(3)
60. Herawati C dan Astuti S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia gizi pada ibu
hamil di puskesmas jalaksana kuningan tahun 2010. Jurnal kesehatan kartika. 2010. p. 56.
61. Sepduwiani H, Sutrianingsih Ratuh N S. Hubungan jarak kehamilan dan kepatuhan
mengkomsumsi tablet fe dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja
puskesmas rambah samo 1. Pekanbaru. 2017.
62. Rejeki S. karakteristik ib, konsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia pada kehamilan
diwiilayah kerja puskesmas kaliwungu (skripsi). Semarang. 2012.
Lampiran
Contoh Rekam
Hasil output SPSS

Usia

usia

Frequenc Valid Cumulative


y Percent Percent Percent

Vali < 20 tahun 16 14.4 14.4 14.4


d
20 s/d < 35 tahun 76 68.5 68.5 82.9

>= 35 tahun 19 17.1 17.1 100.0

Total 111 100.0 100.0

Uji Normalitas data numerik

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ANC .279 111 .000 .855 111 .000

tablet_besi .205 111 .000 .831 111 .000

usia_kehamilan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid trimester I 29 26.1 26.1 26.1

trimester II 58 52.3 52.3 78.4

trimester III 24 21.6 21.6 100.0

Total 111 100.0 100.0


jarak kehamilan

jarak_kehamilan

Frequenc Valid Cumulative


y Percent Percent Percent

Vali < 2 tahun 46 41.4 41.4 41.4


d
>= 2
65 58.6 58.6 100.0
tahun

Total 111 100.0 100.0

Tingkat pendidikan
ingkat_pendidikan

Frequenc Valid Cumulative


y Percent Percent Percent

Vali SD 12 10.8 10.8 10.8


d
SMP 56 50.5 50.5 61.3

SMA/Perguruan Tinggi 43 38.7 38.7 100.0

Total 111 100.0 100.0

paritas

paritas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1-2 kali 60 54.1 54.1 54.1

3-4 kali 50 45.0 45.0 99.1

>4 kali 1 .9 .9 100.0

Total 111 100.0 100.0

lingkar_lengan_atas

Frequenc Valid Cumulative


y Percent Percent Percent

Vali KEK 37 33.3 33.3 33.3


d
tidak
74 66.7 66.7 100.0
KEK

Total 111 100.0 100.0


ANC dan tablet besi

Statistics

ANC tablet_besi

N Valid 111 111

Missing 0 0

Mean 2.38 55.95

Median 2.00 60.00

Mode 2 30

Std. Deviation 1.062 23.756

Minimum 1 15

Maximum 5 90

ANC

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 23 20.7 20.7 20.7

2 48 43.2 43.2 64.0

3 16 14.4 14.4 78.4

4 23 20.7 20.7 99.1

5 1 .9 .9 100.0

Total 111 100.0 100.0

tablet_besi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 15 1 .9 .9 .9

30 37 33.3 33.3 34.2

45 11 9.9 9.9 44.1

60 33 29.7 29.7 73.9

90 29 26.1 26.1 100.0

Total 111 100.0 100.0


usia * kejadian_anemia Crosstabulation

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

usia < 20 tahun Count 10 6 16

Expected Count 7.1 8.9 16.0

20 s/d < 35 tahun Count 32 44 76

Expected Count 33.5 42.5 76.0

>= 35 tahun Count 7 12 19

Expected Count 8.4 10.6 19.0

Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 2.725 2 .256
Likelihood Ratio 2.719 2 .257

Linear-by-Linear
2.152 1 .142
Association

N of Valid Cases 111

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 7.06.

Usia kehamilan terhadap kejadian anemia

Crosstab

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

usia_kehamilan trimester I Count 13 16 29

Expected Count 12.8 16.2 29.0

trimester II Count 28 30 58

Expected Count 25.6 32.4 58.0

trimester III Count 8 16 24

Expected Count 10.6 13.4 24.0


Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

a
Pearson Chi-Square 1.545 2 .462
Likelihood Ratio 1.572 2 .456

Linear-by-Linear Association .594 1 .441

N of Valid Cases 111

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The


minimum expected count is 10.59.

Paritas terhadap anemia


Crosstab

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

paritas 1-2 kali Count 24 36 60

Expected Count 26.5 33.5 60.0

3-4 kali Count 24 26 50

Expected Count 22.1 27.9 50.0

>4 kali Count 1 0 1

Expected Count .4 .6 1.0

Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

a
Pearson Chi-Square 1.985 2 .371
Likelihood Ratio 2.357 2 .308

Linear-by-Linear Association 1.257 1 .262

N of Valid Cases 111


a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .44.
ANC terhadap kejadian
anemia

Test Statisticsa

ANC

Mann-Whitney U 1.314E3

Wilcoxon W 3.267E3

Z -1.284

Asymp. Sig. (2-tailed) .199

a. Grouping Variable:
kejadian_anemia

Tablet besi terhadap kejadian anemia


Test Statisticsa

tablet_besi

Mann-Whitney U 1250.000

Wilcoxon W 3203.000

Z -1.667

Asymp. Sig. (2-tailed) .095

a. Grouping Variable: kejadian_anemi

Jarak kehamilan terhadap anemia

jarak_kehamilan * kejadian_anemia Crosstabulation

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

jarak_kehamilan < 2 tahun Count 16 30 46

Expected Count 20.3 25.7 46.0

>= 2 Count 33 32 65
tahun
Expected Count 28.7 36.3 65.0

78
Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df (2-sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 2.792 1 .095
b
Continuity Correction 2.181 1 .140

Likelihood Ratio 2.819 1 .093

Fisher's Exact Test .121 .069

Linear-by-Linear
2.767 1 .096
Association
b
N of Valid Cases 111

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.31.

b. Computed only for a 2x2 table

Pendidikan terhadap anemia

tingkat_pendidikan * kejadian_anemia Crosstabulation

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

tingkat_pendidikan SD Count 6 6 12

Expected Count 5.3 6.7 12.0

SMP Count 23 33 56

Expected Count 24.7 31.3 56.0

SMA/Perguruan Tinggi Count 20 23 43

79
Expected Count 19.0 24.0 43.0

Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

a
Pearson Chi-Square .479 2 .787
Likelihood Ratio .479 2 .787

Linear-by-Linear
.009 1 .926
Association

N of Valid Cases 111

80
Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)


a
Pearson Chi-Square .479 2 .787
Likelihood Ratio .479 2 .787

Linear-by-Linear
.009 1 .926
Association

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.30. Lingkar lengan atas terhadap
anemia

lingkar_lengan_atas * kejadian_anemia Crosstabulation

kejadian_anemia

anemia tidak anemia Total

lingkar_lengan_atas KEK Count 30 7 37

Expected Count 16.3 20.7 37.0

tidak Count 19 55 74
KEK
Expected Count 32.7 41.3 74.0

Total Count 49 62 111

Expected Count 49.0 62.0 111.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df (2-sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 30.710 1 .000
b
Continuity Correction 28.504 1 .000

Likelihood Ratio 32.153 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear
30.433 1 .000
Association
b
N of Valid Cases 111

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.33.

b. Computed only for a 2x2 table 81


82

Anda mungkin juga menyukai