Disusun Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tugas dalam mata kuliah blok keperawatan dasar profesional yang
berjudul “Makalah Pengendalian Infeksi dan Patient Safety” tanpa ada hambatan apapun dan
selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun maksud dan tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai bahan pembelajaran dan dapat menjadi pengetahuan
baru bagi pembaca mengenai pengendalian infeksi dan patient safety.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya
bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini, terutama kepada Bu Dian Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kes selaku koordinator dan
Pak Sigit Purwanto, S.Kep., Ns., M.Kes.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami sadar bahwa makalah
ini masih belum baik, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
sebagai bahan evaluasi untuk makalah berikutnya.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................................3
C. Manfaat......................................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................4
A. Infeksi.......................................................................................................................................4
1. Definisi infeksi......................................................................................................................4
2. Etiologi infeksi nosokomial...................................................................................................4
3. Klasifikasi infeksi nosokomial...............................................................................................5
4. Cara penularan infeksi nosokomial:.......................................................................................6
5. Pengendalian infeksi..............................................................................................................6
B. Patient Safety............................................................................................................................7
1. Definisi patient safety............................................................................................................7
2. Tujuan patient safety..............................................................................................................8
3. Sasaran patient safety.............................................................................................................8
4. Faktor yang memengaruhi penerapan patient safety............................................................11
5. Insiden patient safety...........................................................................................................13
6. Sembilan solusi keselamatan pasien rumah sakit.................................................................14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................................17
A. Pengkajian Patient Safety........................................................................................................17
B. Diagnosa Keperawatan............................................................................................................21
C. Intervensi Keperawatan...........................................................................................................21
D. Implementasi Pasien Safety.....................................................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN ARTIKEL DAN ASPEK LEGAL ETIK DALAM
KEPERAWATAN.............................................................................................................47
A. Pembahasan Artikel.................................................................................................................47
B. Aspek Legal Etik Dalam Keperawatan....................................................................................53
1. Dasar Hak & Kewajiban dalam Etika Keperawatan.............................................................54
2. Permasalahan Etika Dalam Praktik Keperawatan Saat Ini...................................................54
3. Prinsip Moral Dalam Etika Keperawatan.............................................................................57
BAB V KESIMPULAN..........................................................................................................60
A. Kesimpulan..............................................................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................61
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan komponen penting dari mutu
peayanan kesehatan, merupakan prinsip dasar dari pelayanan keseahatan yang
memandang bahwa keselamatan merupakan hak bagi setiap pasien dalam menerima
pelayanan kesehatan (World Health Organitation, 2004 dalam Depkes RI, 2011).
Patient safety adalah suatu upaya dari petugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang aman untuk pasien. World Health Organization (WHO)
sebagai induk organisasi kesehatan dunia telah mengkampanyekan program
keselamatan pasien salah satunya adalah menurunkan risiko infeksi nosokomial
(hospital acquired infection /HAIs) (WHO, 2009).
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan penjamu rentan yang
menginvasi tubuh oleh patogen yang menyebabkan sakit. Cara penularan dapat terjadi
melalui darah, udara dan kontak langsung. Di rumah sakit dan sarana kesehatan
lainya, infeksi dapat terjadi antar pasien, dari pasien ke petugas, dari pasien ke
penunggu pasien, dari petugas ke petugas, dan dari petugas ke pasien. Infeksi ini
terdapat dalamsarana kesehatan tersebut disebut “Infeksi Nosokomial”(Potter &
Perry, 2012).
Rumah sakit bisa menjadi tempat yang paling mungkin mendapat infeksi karena
mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang
mungkin resisten terhadap antibiotik. Pasien yang berada dalam lingkungan
perawatan kesehatan berisiko tinggi mendapat infeksi. Jumlah tenaga pelayanan
kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah prosedur invasif,
terapi yang diterima, dan lama perawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Tempat
utama untuk infeksi nosokomial termasuk traktus urinarius, luka trauma bedah,
traktus respiratorius, dan pembuluh darah (Potter dan Perry, 2012).
Infeksi yang terjadi di rumah sakit atau biasa disebut infeksi nosokomial dapat
berasal dari proses penyebaran di pelayanan kesehatan, baik pasien, petugas
kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya. Infeksi nosokomial diperoleh ketika
seseorang dirawat di rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan
minimal terjadi 3×24 jam sesudah masuk kuman (Darmadi, 2008).
Tingginya angka kejadian HAIs menandakan penurunan mutu pelayanan medis,
memperpanjang lama rawat inap pasien dan bertambahnya biaya pelayanan kesehatan
serta menjadi penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian (Darmadi,
2008). Dampak yang diakibatkan infeksi nosokomial (HAIs) sangat banyak
diantaranya dapat menimbulkan risiko terpapar infeksi yang tidak hanya dialami oleh
pasien tetapi juga untuk petugas kesehatan, keluarga, dan pengunjung (Darmadi,
2008). HAIs juga berdampak pada pasien dan keluarga akan kehilangan pendapatan,
bahaya, cacat atau kematian, peningkatan lama perawatan, pengeluaran tambahan
bagi rumah sakit dan dapat menurunkan citra rumah sakit (Weston, 2013).
Wigglesworth (2014) menyebutkan bahwa langkah Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi dasar (PPI dasar), diperlukan untuk mengurangi resiko penularan
mikroorganisme dari yang diketahui atau tidak diketahui sumber infeksinya sehingga
Komite PPI merupakan salah satu unsur penting yang wajib ada di Rumah Sakit,
berdasarkan Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 tentang program pengendalian
resistensi anti mikroba di RS (Menkes, 2015).
Upaya pencegahan infeksi nosokomial (hospital acquired infection) melibatkan
berbagai unsur, mulai dari para pimpinan sebagai pengambil kebijakan sampai
petugas kesehatan dan penunggu pasien itu sendri. Peran petugas adalah sebagai
pelaksana dalam upaya pencegahan infeksi. Namun petugas kesehatan wajib
memperhatikan kesehatan dirinya. Petugas kesehatan wajib melindungi dirinya
misalnya dengan mengikuti seluruh prosedur universal precaution ketika bertugas
(Utama, 2006).
WHO (2007) resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions”
(Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit), peran perawat dalam standard
of care: safety, yaitu memerhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike,
sound-alike medication names, memastikan identifikasi pasien, komunikasi secara
benar saat serah terima pasien, memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang
benar, mengendalikan cairan elektrolit pekat, memastikan akurasi pemberian obat
pada pengalihan pelayanan, menghindari salah kateter dan salah sambung slang,
menggunakan alat injeksi sekali pakai, meningkatkan kebersihan tangan untuk
pencegahan infeksi nosokomial.
2
Ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan dalam pengendalian infeksi,
diantaranya yaitu mencuci tangan biasa atau steril, memakai masker, memakai skort,
memakai sarung tangan steril, mendesinfektan alat, mndesinfektan dengan bahan
kimia, menterilisasi alat, dan mengganti balutan luka.
Isu keselamatan pasien merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan
kesehatan. Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting dari pada
sekedar efisiensi pelayanan, sehingga penulis tertarik untuk menganalisis asuhan
keperawatan pencegahan infeksi dan patient safety.
B. Tujuan
1. Mengetahui asuhan keperawatan pada pengendalian infeksi dan patient safety.
2. Mengetahui implementasi keperawatan pada pengendalian infeksi dan patient
safety.
3. Mengetahui etik legal keperawatan pada pengendalian infeksi dan patient safety.
C. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Makalah ini dapat memberikan wawasan dalam mempelajari konsep maupun
praktik dalam melaksanakan pengendalian infeksi dan patient safety.
2. Bagi institusi keperawatan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan dapat dijadikan
sebagai referensi yang bermanfaat bagi instansi pendidikan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi
1. Definisi infeksi
Infeksi merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi
(organisme), adanya respons imun, tetapi tidak disertai gejala klinik
(PERDALIN, 2011). Infeksi adalah masuk dan berkembangnya mikroorganisme
dalam tubuh yang menyebabkan sakit yang disertai dengan adanya gejala klinis
baik lokal maupun sistemik (Potter & Perry, 2012).
2. Etiologi infeksi nosokomial
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial (Darmadi 2008)
1) Faktor dari dalam (instrinsik factors)
a) Dari penderita (instrinsic factors).
b) Umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, resiko terapi, atau adanya
penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta
komplikasinya.
c) Keperawatan.
d) Lamanya hari perawatan (length of stay), menurunkan standar pelayanan
perawat, serta padatnya penderita dalam suatu ruangan.
e) Patogen.
f) Seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak
jaringan, lamanya pemaparan (length of exposure) antara sumber
penularan (reservoir) dengan penderita.
2) Faktor dari luar (extrinsic factors)
a) Petugas pelayanan medis.
b) Perawat, dokter, bidan, tenaga laboratorium.
c) Peralatan dan material medis.
d) Instrumen, respirator, jarum, kateter, kain/doek, kassa.
e) Lingkungan.
f) Lingkungan eksternal adalah halaman Rumah sakit dan tempat
pembuangan sampah atau pengolahan limbah.
4
5
i) Penderita lain.
j) Keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan
dapat merupakan sumber penularan.
k) Pengunjung atau keluarga.
l) Keberadaan tamu atau keluarga dapat merupakan sumber penularan.
Infeksi yang terjadi pada bagian organ saluran nafas bagian bawah.
Hal-hal yang dapat menjadi factor pencetus infeksi ini seperti pemasangan
intubasi, usia, obesitas, obstruksi paru, atau bisa juga karena gangguan
fungsi imunologi.
5. Pengendalian infeksi
Beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu (PERDALIN, 2011):
a) Peningkatan daya tahan pejamu
7
B. Patient Safety
1. Definisi patient safety
Patient Safety atau keselamatan pasien didefinisikan sebagai penghindaran,
pencegahan dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk atau injuri yang berasal
dari proses perawatan kesehatan (Vincent, 2011). Pengertian lain tentang
keselamatan pasien yaitu menurut Emanuel (2008) dalam Kasiati dan
Rosmalawati (2016) yang menyatakan bahwa keselamatan pasien adalah disiplin
ilmu di sektor perawatan kesehatan yang menerapkan metode ilmu keselamatan
8
berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis dan Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan
telepon. Elemen Penilaian Sasaran II, yaitu:
a) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
b) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan
kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
c) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
d) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
3) Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
Tujuan dari sasaran III adalah bila obat-obatan menjadi bagian dari
rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk
memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-
obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Elemen
Penilaian sasaran III, yaitu:
a) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan
elektrolit konsentrat.
b) Implementasi kebijakan dan prosedur.
c) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
d) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus
diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted).
4) Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepatpasien operasi
10
ASUHAN KEPERAWATAN
a) Untuk membedakan jenis kelamin pasien, digunakan perbedaan warna pada gelang
identitas pasien, gelang pink untuk perempuan, dan gelang biru muda untuk laki-
laki.
b) Untuk pasien yang sudah menggunakan gelang identitas pasien, tanya langsung
kepada pasien (pertanyaan terbuka): nama lengkap pasien dan tanggal lahir atau
nomor rekam medis. Untuk pasien yang tidak sadar, petugas harus bertanya
langsung kepada keluarga/ penunggu pasien (nama lengkap pasien dan tanggal lahir
atau nomor rekam medis). Lalu cocokan/ periksa dan bandingkan data nama lengkap
pasien dan tanggal lahir atau nomor rekam medis pada gelang pasien dengan data di
formulir terkait (misal: form pemeriksaan). Jika data yang diperoleh sama, lakukan
prosedur/ berikan obat/ tindakan sesuai rencana.
c) Jika terdapat ≥ 2 pasien di ruangan rawat inap dangan nama yang sama, periksa
ulang identitas dengan melihat alamat rumahnya
d) Untuk bayi baru lahir yang masih belum diberi nama, data di gelang pengenal
berisikan jenis kelamin bayi, nama ibu, tanggal & jam lahir bayi, nomor rekam
medis bayi, dan modus kelahiran. Dan Saat nama bayi sudah didaftarkan, gelang
pengenal berisi data ibu dapat dilepas dan diganti dengan gelang pengenal yang
berisikan data bayi.
e) Untuk pasien dengan alergi digunakan gelang merah
f) Untuk pasien yang berisiko jatuh digunakan gelang/ klip warna kuning
j) Nama tidak boleh disingkat. Nama harus sesuai dengan yang tertulis di rekam medis.
k) Jangan pernah mencoret dan menulis ulang di gelang identifikasi. Ganti gelang
identifikasi jika terdapat kesalahan penulisan data.
l) Jika gelang identifikasi terlepas, segera berikan gelang identifikasi yang baru.
m) Jika gelang harus dipakai oleh semua pasien selama perawatan di rumah sakit.
n) Periksa ulang ¾ detail data di gelang identifikasi sebelum dipakaikan pasien.
o) Saat menanyakan identitas pasien, selalu gunakan pertanyaan terbuka, misalnya :
‘Siapa nama Anda?’ (jangan menggunakan pertanyaan tertutup seperti ‘Apakah
nama Anda Ibu Susi?’)
p) Jika pasien tidak mampu memberitahukan namanya (misalnya pada pasien tidak
sadar, bayi, disfasia, gangguan jiwa), verifikasi identitas pasien kepada
keluarga/pengantarnya. Jika mungkin gelang pengenal jangan dijadikan satu-satunya
bentuk identifikasi sebelum dilakukan suatu intervensi. Tanya ulang nama dan
tanggal lahir pasien, kemudaian bandingkan jawaban pasien dengan data yang
tertulis di gelang pengenalnya.
q) Semua pasien rawat ina dan yang akan menjalani prosedur menggunakan minimal 1
gelang identifikasi.
r) Pengecekan gelang identifikasi dilakukan tiap kali pergantian jaga perawat.
s) Sebelum pasien di transfer ke unit lain, lakukan identifikasi dengan benar dan
pstikan gelang identifikasi terpasang dengan baik.
t) Unit yang menerima transfer pasien harus menanyakan ulang identitas pasien dan
membandingkan data yang diperoleh dengan yang tercantum di gelang identifikasi.
u) Pada kasus pasien yang tidak menggunakan gelang identifikasi:
1) Hal ini dapat dikarenakan berbagai macam sebab, seperti: Menolak penggunaan
gelang identifikasi, gelang identifikasi menyebabkan iritasi kulit, gelang
identifikasi terlalu besar, pasien melepas gelang identifikasi.
2) Pasien harus diinformasikan akan risiko yang dapat terjadi jika gelang
identifikasi tidak dipakai. Alasan pasien harus dicatat pada rekam medis.
3) Jika pasien menolak menggunakan gelang identifikasi, petugas harus lebih
waspada dan mencari cara lai untuk menggunakan gelang identifikasi, petugas
harus lebih waspada dan mencari cara lain untuk mengidentifikasi pasien
dengan benar sebelum dilakukan prosedur kepada pasien.
20
B. Diagnosa Keperawatan
Selama pengkajian, perawat mengumpulkan temuan objektif, seperti insisi terbuka atau
asupan kalori menurun dan data subjektif, seperti keluhan pasien tentang adanya nyeri
tekan pada tempat luka infeksi. Kemudian perawat menginterprestasikan data tersebut
dengan teliti, mencari kelompok dari karakteristik yang ditetapkan atau faktor risiko
yang menciptakan pola yang mengarah pada diagnosa keperawatan (Potter & Perry,
1999).
C. Intervensi Keperawatan
meningkat 1. Observasi
- Kejadian cedera - Identifikasi kebutuhan (mis.
menurun Kondisi fisik, fungsi
- Ekspresi wajah kognitif, dan
kesakitan menurun riwayatperilaku)
- Ganguan mobilitas - Monitor perubahan status
menurun keselamatan lingkungan
2. Terapeutik
- Hilangkan bahaya
keselamatan lingkungan
(mis.fisik,biologi dan
kimia), jika memungkinkan
- Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bahaya dan rsisiko
3. Edukasi
- Ajarkan
individu,keluargadan
kelompok risiko tinggi
bahaya lingkungan
Pencegahan Cedera
Tindakan
1. Observasi
- Identfikasi area lingkungan
yang berpotensi
menyebabkan cedera
- Identifikasi obat yang
berpotensi menyebabkan
cedera
2. Terapeutik
- Sosialisasikan pasien dan
keluarga dengan lingkungan
ruangrawat
- Pastikan tempat tidur posisi
terendah saat digunakan
- Gunakan pengaman tempat
tidur sesuai dengan
kebijakan fasilitas
pelayanan kesehatan
3. Edukasi
- Jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi
secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit
sebelum berdiri
D. 0142 Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
selama 24 jam, maka tingkat
infeksi menurun dengan kriteria Tindakan
hasil
23
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
MEMAKAI MASKER
JUDUL
KEPERAWATAN
BAGIAN
1. Masker
PERSIAPAN ALAT
DAN TEMPAT
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
MEMAKAI SKORT
JUDUL
KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
KEPERAWATAN
BAGIAN
1. Sarung tangan.
PERSIAPAN ALAT
2. Piala ginjal yang berisi larutan desinfektan.
DAN TEMPAT
Evaluasi
1. Pastikan sarung tangan steril terpasang
TERMINASI dengan benar.
5.Merapikan Alat
Dokumentasi Kegiatan secara lengkap
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
KEPERAWATAN
BAGIAN
TERMINASI Evaluasi
1. Pastikan alat sudah bersih.
6.Merapikan Alat
38
KEMENTERIAN RISET,
KODE
TEKNOLOGI DAN
PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih
Km. 32 Gedung Abdul Muthalib,
39
TANGGAL
STANDAR PROSEDUR
DOKUMEN STANDAR DIKELUARKAN
OPERASIONAL
MENDESINFEKSI DENGAN
BAHAN KIMIA
JUDUL
KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
42
KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN STANDAR STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
DIKELUARKAN
KEPERAWATAN
BAGIAN
A. Pembahasan Artikel
Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil. Salah satu sasaran keselamatan pasien (patient safety)
yaitu: pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan (Azhari, 2020).
Infeksi adalah invasi tubuh atau pathogen mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit. Jika mikroorganisme gagal menyebabkan cedara yang serius
terhadap sel atau jaringan, infeksi disebut asimtomatik dan yang terdapat melalui dari
lingkungan atau tenaga kesehatan, ini disebut infeksi nasokomial (Septriari, 2012).
Pencegahan penyebaran infeksi dapat dilakukan dengan berbagai upaya antara lain
dengan menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur dan indikasi, serta
melakukan hand hygiene yang baik sesuai dengan prosedur.
Keselamatan pasien di rumah sakit kemudian menjadi isu penting karena banyaknya
kasus medical error yang terjadi di berbagai negara. Setiap tahun di Amerika hampir
100.000 pasien yang dirawat di rumah sakit meninggal akibat medical error. Beberapa
faktor yang mendorong penyebaran mikroba resisten difasilitas antara lain kurangnya
perhatian pada tindakan pencegahan infeksi dasar, penggunaan alat tanpa disinfeksi,
keterbatasan fasilitas cuci tangan. Penggunaan antibiotika yang bijak dan rasional dapat
mengurangi beban penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sebaliknya, penggunaan
antibiotika secara luas pada manusia dan hewan yang tidak sesuai indikasi,
mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan (Azhari, 2020).
Cuci tangan merupakan salah satu penerapan salah satu perawat dalam pencegahan
infeksi nosokomial, dimana kebersihan tangan adalah suatu prosedur tindakan
memberikan tangan menggunakan sabun/antiseptic di bawah air mengalir atau dengan
menggunakan handrub yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara
48
dari petugas pada saat batuk atau bersin. Masker yang digunakan harus menutupi bagian
hidung dan mulut serta melakukan fit test (penekanan di bagian hidung). Masker bedah
sebagai APD harus memenuhi kriteria sebagai berikut: kedap air agar dapat mencegah
cairan masuk ke mulut atau hidung, dan harus menempel sempurna dan erat di sekitar
mulut dan hidung. Masker juga harus fleksibel dalam pemakaiannya, inilah mengapa
masker mempunyai bagian keras fleksibel yang berada di bagian yang menemel dengan
hidung dan dapat disesuaikan oleh penggunanya. Dalam teknik pelepasan, pengguna
masker bedah juga dihimbau agar tidak menyentuh bagian depan dari masker dimana
bagian tersebut dianggap bagian yang infeksius. Penggunaan yang tidak tepat dapat
menyebabkan pengguna berisiko menghirup aerosol yang bersifat infeksius (CDC,
2015).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmalia, Ulliya, Neny dan Hartanty (2019)
untuk melihat gambaran penggunaan APD masker di ruang perawatan rumah sakit,
didapetkan data bahwa sebagian besar perawat sudah sesuai dalam pemakaian masker
dan apron dengan indikasi yang ada. Hal ini ditunjukkan dengan perawat sudah
menggunakan masker kurang lebih dengan alasan yang tepat, seperti perawat sedang
sakit sehingga menghindari penularan dari perawat ke pasien, atau perawat sedang
melakukan tindakan ganti balut luka bersih maupun kotor. Perawat juga menggunakan
masker saat berinteraksi dengan pasien yang diduga menderita penyakit airborne disease
seperti suspect tuberculosis dan juga pasien yang sedang batuk atau flu. Hanya
ditemukan seorang perawat yang memakai masker lalu menurunkannya sebatas leher
dengan tujuan agar dapat berkomunikasi dengan lebih jelas. Hal itu membuat masker
menjadi kehilangan fungsinya karena tidak menutupi hidung ataupun mulut.
Hasil riset penelitian yang dilakukan oleh Muchlis dan Yusuf (2017) untuk
mengetahui gambaran kesadaran perawat dalam penggunaan APD, motivasi perawat
untuk menggunakan APD saat melaksanakan tindakan keperawatan telah sesuai dengan
jenis SOP yang akan dilakukan. Alat pelindung diri terbukti mampu membantu perawat
memperlancar pelayanan kesehatan oleh karena itu pengetahuan tentang alat pelindung
diri dasar harus dikuasi penuh oleh perawat agar tingkat kepuasan pasien semakin baik.
Perlunya peningkatan pengawasan terhadap perawat dalam penggunaan APD saat
melakukan tindakan keperawatan.
Selain mencuci tangan, perawat juga wajib menggunakan Alat Perlindungan Diri
(APD) agar menjaga dirinya dan pasien terhindar dari infeksi. Alat pelindung diri
50
merupakan salah satu peralatan yang digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mencegah
terjadinya infeksi nosokomial, melindungi penderita dari kemungkinan terjadinya infeksi
dimulai dari pasien masuk, mendapatkan asuhan keperawatan dan tindakan medis sampai
pasien pulang dari rumah sakit (Pratiwi, 2020).
Salah satu alat pelindung diri yang dapat digunakan oleh perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan yaitu gown/skort. Gown/Skort adalah contoh alat pelindung diri
yang digunakan dalam pengaturan perawatan kesehatan. Peralatan tersebut digunakan
untuk melindungi pemakainya dari penyebaran infeksi atau penyakit jika pemakainya
bersentuhan dengan cairan dan bahan padat yang berpotensi menularkan. Mereka juga
dapat digunakan untuk membantu mencegah pemakai jubah mandi memindahkan
mikroorganisme yang dapat membahayakan pasien yang rentan, seperti mereka yang
memiliki sistem kekebalan yang lemah. Gown adalah salah satu bagian dari strategi
pengendalian infeksi secara keseluruhan. Beberapa dari banyak istilah yang telah
digunakan untuk merujuk pada gaun yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
pengaturan perawatan kesehatan, termasuk gown bedah, gown isolasi, gaun isolasi bedah,
gown non-bedah, gown prosedur, dan gown ruang operasi (FDA, 2021).
Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan
dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan.
Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling penting untuk mencegah
penyebaran infeksi. Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien
sebagai upaya menghindari kontaminasi silang. Sarung tangan dipakai saat ada
kemungkinan kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit
yang terlepas, saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti:
pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-bahan bekas pakai yang
telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar, serta memakai sarung
tangan bersih atau tidak steril saat akan memasuki ruang pasien yang telah diketahui atau
dicurigai mengidap penyakit menular (Azhari, 2020).
Menurut Pratiwi (2020), pemakaian sarung tangan sangat efektif untuk mencegah
kontaminasi, tetapi pemakaian sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan untuk
mencuci tangan. Sebab sarung tangan bedah lateks dengan kualitas terbaikpun, mungkin
mengalami kerusakan kecil yang tidak terlihat, sarung tangan mungkin robek pada saat
digunakan atau tangan terkontaminasi pada saat melepas sarung tangan. Selain itu,
Perawat memakai sarung tangan disesuaikan dengan tindakan yang akan dilakukan.
51
Perawat memakai sarung tangan steril digunakan pada saat melakukan tindakan seperti
perawatan luka, sedangan perawat memakai sarung tangan non steril dipakai apabila
melakukan tindakan seperti injeksi dan tindakan pengukuran TTV.
Strategi pencegahan infeksi seperti mencuci tangan yang efektif, menggunakan
APD, menggunakan sarung tangan steril, antiseptik, serta penggunaan dressing dapat
mencegah kontaminasi kuman patogen secara intraluminal (Basri & Nurhayati, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jain, Clezy dan McLaws (2018)
munjukkan bahwa penggunaan sarung tangan dapat menimbulkan kekhawatiran tentang
kontaminasi silang jika dipakai terlalu dini, dilepas terlambat, atau tidak diganti antar
tugas. Selain itu, bahan sarung tangan yang terkontaminasi dapat menularkan patogen.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan pendekatan modifikasi pada penggunaan
sarung tangan untuk kontak kering dengan pasien, sehingga dapat meningkatkan
keselamatan pasien.
Selain dapat digunakan untuk mencuci tangan, larutan antiseptik juga dapat
digunakan untuk membersihkan instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-
barang lain yang digunakan kembali dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan
dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi.
Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian
yang sangat efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum
membersihkan adalah mendekontaminasi alat tersebut. Dengan merendam dalam larutan
kloron 0,5 % selama 10 menit. Langkah ini dapat menonaktifkan HBV, HCV dan HIV
serta dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut. Setelah melakukan
langkah dekontaminasi, selanjutnya adalah pembersihan. Proses pembersihan penting
dilakukan karena tidak ada prosedur sterilisasi dan DTT yang efektif tanpa melakukan
pembersihan terlebih dahulu (Megawati, 2020).
Menurut Grota dan Grant (2018) pembersihan dan dekontaminasi dari semua
peralatan dan lingkungan permukaan kerja harus dilakukan setelah kontak dengan darah
atau bahan lainnya yang berpotensi infeksius untuk mencegah terpaparnya patogen. Tren
terbaru dalam pembersihan lingkungan yaitu menggunakan sistem desinfeksi otomatis
menggunakan ultraviolet lampu atau uap hidrogen peroksida.
Desinfeksi dilakukan melalui penggunaan produk kimia dirancang untuk membunuh
patogen. Desinfeksi lingkungan rumah sakit memainkan peran sentral dalam mengurangi
potensi infeksi nosokomial yang disebabkan oleh C difficile, MRSA, dan VRE. Metode
52
terjadinya infeksi luka operasi. Perawatan luka yang baik harus sesuai dengan standar
operasional yang ditetapkan masing-masing rumah sakit (Nenoharan, Rusmawati &
Efendy, 2020).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arviyani dan Rusminah (2020) manfaat dari
perawatan luka steril yaitu untuk mencegah terjadinya risiko infeksi. Teknik perawatan
luka steril merupakan teknik merawat luka yang mana tenaga kesehatan memaki perlatan
dan bahan yang telah disterilkan, sehingga tidak ada bakteri atau partikel virusyang
menempel di permukaannya. Perawatan luka dan ganti balutan steril bertujuan agar
mencegah infeksi dan penyembuhan luka menjadi optimal.
Perkembangan terkini dalam balutan luka dan biosensing memungkinkan terjadinya
representasi kuantitatif, real-time dari lingkungan luka, termasuk tingkat eksudat,
patogen konsentrasi, dan regenerasi jaringan. Pengembangan kemampuan tersebut
memungkinkan lebih banyak perawatan pribadi yang strategis pada permulaan ulserasi
dan membatasi infeksi yang mengarah ke amputasi pada pasien dengan luka DM
(Gianino, Miller & Gilmore, 2018).
Menurut Cooper (1991), dalam Potter dan Perry (1997), etika keperawatan dikaitkan
dengan hubungan antar masyarakat dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang
lain.Etika keperawatan merupakan standar acuan untuk mengatasi segala macam masalah
yang dilakukan oleh praktisi keperawatan terhadap para pasien yang tidak mengindahkan
dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya (Amelia, 2013). Etika keperawatan merujuk
pada standar etik yang menentukan dan menuntun perawat dalam praktek sehari-hari
(Fry, 1994). Menurut American Ethics Commission Bureau on Teaching, tujuan etika
keperawatan adalah mampu :
Menurut National League for Nursing (NLN): Pusat Pendidikan keperawatan milik
Perhimpunan Perawat Amerika, pendidikan etika keperawatan bertujuan:
1. Meningkatkan pengertian peserta didik tentang hubungan antar profesi kesehatan dan
mengerti tentang peran dan fungsi masing-masing anggota tim tersebut.
2. Mengembangkan potensi pengambilan keputusan yang berkenaan denganmoralitas,
keputusan tentang baik dan buruk yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan
sesuai dengan kepercayaannya.Mengembangkan sikap pribadi dan sikap profesional
peserta didik.
3. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu dan prinsip-
prinsip
etika keperawatan dalam praktek dan dalam situasi nyata.
1. Dasar Hak & Kewajiban dalam Etika Keperawatan
Dasar Hukum Hak dan Kewajiban Perawat dan Pasien adalah sebagai berikut:
a) UU RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b) UU RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
c) UU RI No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
d) Keputusan Menteri Kesehatan No 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan
Praktek Perawat
e) PP No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
f) Permenkes No 148/2010
g) UU Keperawatan No 38 Tahun 2014
2. Permasalahan Etika Dalam Praktik Keperawatan Saat Ini
a) Malpraktik
Secara harfiah malpraktik terdiri atas kata “mal” yang berarti salah dan
“praktik” yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti
pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian, tetapi
kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang
salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.Malpraktik juga didefinisikan
sebagai kesalahan tindakan professional yang tidak benar atau kegagalan untuk
menerapkan keterampilan profesional yang tepat.
Dalam profesi kesehatan, istilah malpraktik merujuk pada kelalaian dari
seorang dokter atau perawat dalam mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
55
b) Negligence (Kelalaian)
56
Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar
sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005). Menurut Amir
dan Hanafiah (1998) yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati,
yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya
dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.Negligence, dapat berupa Omission
(kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan) atau Commission
(melakukan sesuatu secara tidak hati-hati). (Tonia, 1994).
a. Jenis-jenis kelalaian
1) Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk
tidak melakukan tindakan tertentu pada pasien tertentu pada situasi dan
kondisi tertrntu.
2) Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
3) Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi
pelayanan.
4) Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya.
57
b. Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas,
tidak saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit,
Individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan pidana,
juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi. (Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan
bentuk dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat
pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan lainnya. (Kozier, 1991) dan
penyelesaiannya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum
pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan
juga institusi penyelenggara pelayanan praktek keperawatan, dan bila ini terjadi
kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana dan perdata (pasal 339, 360 dan
361 KUHP.
3. Prinsip Moral Dalam Etika Keperawatan
Moral mempunyai peran yang penting dalam menentukan perilaku yang etis dan
dalam pemecahan masalah etik. Prinsip moral merupakan standar umum dalam
melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi
untuk menilai secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diijinkan
dalam suatu keadaan. Prinsip moral yang sering digunakan dalam keperawatan yaitu:
Otonomi, beneficience, justice/keadilan, veracity, avoiding killing dan fidelity (John
Stone, 1989; Baird et.al, 1991).
a. Prinsip Otonomi (Autonomy)
Prinsip ini menjelaskan bahwa klien diberi kebebasan untuk menentukan
sendiri atau mengatur diri sendiri sesuai dengan hakikat manusia yang mempunyai
harga diri dan martabat. Contoh kasusnya adalah: Klien berhak menolak Tindakan
invasif yang dilakukan oleh perawat. Perawat tidak boleh memaksakan kehendak
untuk melakukannya atas pertimbangan bahwa klien memiliki hak otonomi dan
otoritas bagi dirinya.
Perawat berkewajiban untuk memberikan penjelasan yang sejelas sejelasnya
bagi klien dalam berbagai rencana tindakan dari segi manfaat tindakan, urgensi dsb
sehingga diharapkan klien dapat mengambil keputusan bagi dirinya setelah
mempertimbangkan atas dasar kesadaran dan pemahaman
b. Prinsip Kebaikan (Beneficience)
58
Prinsip ini menjelaskan bahwa perawat melakukan yang terbaik bagi klien,
tidak merugikan klien, dan mencegah bahaya bagi klien. Kasus yang berhubungan
dengan hal ini seperti klien yang mengalami kelemahan fisik secara umum tidak
boleh dipaksakan untuk berjalan ke ruang pemeriksaan. Sebaiknya klien didorong
menggunakan kursi roda.
c. Prinsip Keadilan (Justice)
Prinsip ini menjelaskan bahwa perawat berlaku adil pada setiap klien sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya pada saat perawat dihadapkan pada pasien total
care, maka perawat harus memandikan dengan prosedur yang sama tanpa
membeda-bedakan klien. Tetapi ketika pasien tersebut sudah mampu mandi sendiri
maka perawat tidak perlu memandikannya lagi.
d. Prinsip Kejujuran (Veracity)
Prinsip ini menekankan bahwa perawat harus mengatakan yang sebenarnya
dan tidak membohongi klien. Kebenaran merupakan dasar dalam membina
hubungan saling percaya. Kasus yang berhubungan dengan prinsip ini seperti klien
yang menderitaHIV/AIDS menanyakan tentang diagnosa penyakitnya. Perawat
perlu memberitahukan apa adanya meskipun perawat tetap mempertimbangkan
kondisi kesiapan mental klien untuk diberitahukan diagnosanya.
e. Prinsip mencegah pembunuhan (Avoiding Killing)
Perawat menghargai kehidupan manusia dengan tidak membunuh. Sumber
pertimbangan adalah moral agama/kepercayaan dan kultur/norma-norma tertentu.
Contoh kasus yang dihadapi perawat seperti ketika seorang suami menginginkan
tindakan euthanasia bagi istrinya atas pertimbangan ketiadaan biaya sementara
istrinya diyakininya tidak mungkin sembuh, perawat perlu mempertimbangkan
untuk tidak melakukan tindakan euthanasia atas pertimbangan kultur/norma bangsa
Indonesia yang agamais dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, selain dasar UU RI
memang belum ada tentang legalitas Tindakan euthanasia.
klien pada saat Tindakan pemberi asuhan maka perawat harus siap untuk
memenuhinya.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Asuhan keperawatan pada pasien dengan memperhatikan aspek pengendalian infeksi
dan patient safety yaitu dimulai dari pengkajian, perumusan diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi yang fokus membahas mengenai masalah keperawatan
pengendalian infeksi dan patient safety.
2. Implementasi keperawatan yang dapat dilaksanakan dalam mengatasi masalah
pengendalian infeksi dan patient safety yaitu dengan melaksanakan hand hygiene
yang tepat dan pemakaian alat pelindung diri yang sesuai dengan standar operasional
prosedur dan indikasi.
2. Pada pelaksanaan asuhan keperawatan dapat memperhatikan hak dan kewajiban
pasien dan keluarga, nilai-nilai fundamental keperawatan, prinsip moral etika
keperawatan, serta keamanan dan keselamatan pasien.
61
DAFTAR PUSTAKA
Agalloco, J. P. (2017). Increasing patient safety by closing the sterile production gap-part 1.
Introduction. PDA Journal of Pharmaceutical Science and Technology, 71(4), 261 – 268.
Alfred, M., Catchpole, K., Huffer, E., Taafe, K., & Fredandall, L. (2019). A work systems
analysis of sterile processing: sterilization and case cart preparation. WSA of Sterile
Processing, 18, 173 – 196. Doi: 10.1108/S1474-823120190000018008.
Amelia, N. (2013).Prinsip Etika Keperawatan. Yogyakarta: D-Medika.
Arviyani., & Rusminah. (2019). Penerapan perawatan luka pasca open reduction internal
fixation (orif) klavikula hari ke-2. Jurnal Keperawatan Karya Bhakti, 5(1), 14 – 18.
Basri., & Nurhayati, S. (2020). Hubungan perawatan catheter vena central (cvc) terhadap
terjadinya infeksi aliran darah primer (iadp). Jurnal Keperawatan Priority, 3(2), 69 – 77.
Branch, R., & Amiri, A. (2020). Environmental surface hygiene in the or: strategies for
reducing the transmission of health care–associated infections, 112(4), 327 – 342.
Centre for Disease Control and Prevention. (2015). Personal protective equipment. Diperoleh
dari https://www.cdc.gov/niosh/topics/emres/ppee
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Depkes RI. (2011). Peraturan menetri kesehatan republik indonesia no.1691
/menkes/per/viii/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Jakarta: DEPKES.
DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI.
DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI.
DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indoensia. Jakarta : DPP PPNI.
Fatma, A. Y., & Gencturk, N. (2018). Disinfection and sterilization related situations for
patient safety in operation rooms. International Journal of Caring Sciences, 11(1), 607 –
613.
Gianino, E., Miller, C., & Gilmore, J. (2018). Smartwound Dressings for Diabetic
chronicwounds. Bioengineering, 5(51).
Grota, P.G., & Grant, P. S. (2018). environmental infection prevention priorities of patient
safety collaboration. Crit Care Nurs, 41(1), 38 – 46.
62
Jain, S., Clezy, K., McLaws M. L. (2018). Safe removal of gloves from contact precautions:
The role of hand hygiene. American Journal of Infection Control 46.
https://doi.org/10.1016/j.ajic.2018.01.013
Sickbert-Bennett EE, DiBiase LM, Willis TM, Wolak ES, Weber DJ, Rutala WA. Reduction
of healthcare-associated infections by exceeding high compliance with hand hygiene
practices. Emerg Infect Dis. 22(16): 28-30.
Utami, N.W., Agustine, U & Happy, R.,E. (2016). Etika Keperawatan dan Keperawatan
Profesional. Jakarta : BPPSDM KEMENKES RI.
PEBAGIAN TUGAS
1. Ledy Astridina
2. Halimil Umami
4. Wiwin Wikayani
Bab I (latar belakang), Bab II (Tinjauan Pustaka), dan pembahasan jurnal (12jurnal)