Anda di halaman 1dari 34

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

LAPORAN PROFESI KEPERAWATAN KOMPREHENSIF

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN EPILEPSI DAN IMPLIKASI


KEPERAWATAN TEKNIK DISTRAKSI AUDIOVOSUAL TERHADAP
SKALA NYERI

KARYA ILMIAH AKHIR

OLEH:

REISTI AAN SAVITRI

04064822124007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang

dapat disertai hilangnya kesadaran (Kristanto, 2017). Epilepsi merupakan

salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf pada anak yang

dapat menyebabkan berbagai permasalahan antara lain gangguan tumbuh

kembang, kesulitan belajar, serta dapat menentukan potensi dan kualitas hidup

anak pada masa yang akan datang. Epilepsi dapat terjadi pada wanita maupun

pria, tanpa memandang umur dan ras (Lestari dan Mudapati, 2014).

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2005 menyatakan

epilepsi didefinisikan secara konseptual merupakan kelainan otak dengan

ditandai kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik secara

terusmenerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial dari

kondisi ini (Fisher et al., 2014).

Data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 50 juta

orang di dunia yang menderita epilepsi, sehingga epilepsi menjadi penyakit

neurologi yang paling umum secara global. Hampir 80% orang yang

menderita epilepsi tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan menengah

(WHO, 2019). Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus


epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan

diperkirakan 40-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011). Pengobatan

epilepsi adalah pengobatan yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang,

sehingga diperlukan kerja sama yang baik antara dokter, pasien, dan keluarga

pasien untuk menjamin kepatuhan berobat. Pemberian obat antiepilepsi

(OAE) harus mempertimbangkan risiko dan manfaat (Wijaya et al., 2020).

Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini

pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan. Pemberian OAE dimulai

dari dosis rendah dan dilanjutkan dengan dinaikkan bertahap sampai dosis

efektif tercapai. Jika bangkitan tidak dapat dihetikan dengan OAE lini pertama

dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai (Wijaya et al., 2020).

Pemberian obat epilepsi menggunakan injeksi dapat menimbulkan persepsi

nyeri dan rasa tidak nyaman pada pasien anak-anak. Kondisi rawat di rumah

sakit, merupakan lingkungan yang baru dan menimbulkan stres bagi anak.

Anak dapat menjadi sangat tertekan terhadap lingkungan yang tidak familiar,

prosedur perawatan kesehatan dan situasi seperti kata-kata asing yang

digunakan, peralatan pengobatan yang terlihat menakutkan, orang asing

dengan pakaian yang tidak biasa, misalnya masker, sikap tenaga kesehatan

yang cenderung tegas dari pada orang biasa ditemui anak, serta suara bising

dan bau- bauan yang tidak familiar dapat menimbulkan perasaan takut bagi

anak (Azari, Safri dan Woferst, 2015).

Nyeri merupakan sumber utama stress bagi anak dan keluarga mereka

serta penyedia perawatan kesehatan. Nyeri dapat diartikan sebagai suatu


perasaan tidak nyaman atau tidak menyenangkan yang sering dialami oleh

individu (Hockenberry, 2005). Nyeri dapat terjadi pada tindakan prosedur

invasif, seperti pemasangan infus dan pemberian obat melalui selang infus.

Tingkatan nyeri tergantung pada perkembangan kognitif. Anak yang berusia

lebih dari 6 tahun maka penilaian nyeri dapat diungkapkan atau dilaporkan

secara langsung. Sedangkan untuk anak usia kurang dari 6 tahun, skala nyeri

perilaku bisa digunakan juga (Beltramini, Milojevic dan Pateron, 2017). Anak

akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan mungkin bereaksi untuk

menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa nyeri yang nyata dan

menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan (Hockenberry, 2005).

Perawat adalah tenaga profesional kesehatan yang menghabiskan waktu lebih

banyak bersama dengan pasien yang mengalami berbagai masalah kesehatan

diantaranya ketidaknyamanan/nyeri dibandingkan dengan tenaga kesehatan

yang lainnya. Dalam hal ini perawat mempunyai kesempatan untuk membantu

menghilangkan nyeri dan efek yang membahayakan diri pasien berdasarkan

ilmu, kiat dan pengalaman yang pernah diperoleh sebelumnya (Andarmoyo,

2017).

Peran perawat adalah mengidentifikasi dan mengobati penyebab nyeri

dan berkolaborasi dengan medis (membantu meresepkan obat-obatan) untuk

meredakan dan menghilangkan nyeri. Perawat tidak hanya berkolaborasi

dengan tenaga profesional kesehatan yang lain, tetapi juga memberikan

intervensi pereda nyeri, mengevaluasi efektivitas intervensi yang sudah

dijalankan, dan bertindak sebagai advokat pasien saat intervensi tidak efektif.
Selain itu, perawat berperan sebagai pendidik atau edukator untuk pasien dan

keluarga, mengajarkan mereka mengatasi penggunaan analgesik atau regimen

pereda nyeri oleh mereka sendiri ketika memungkinkan (Andarmoyo, 2017).

Teknik yang dapat diberikan untuk menurunkan skala nyeri anak salah

satunya adalah terapi distraksi audiovisual (Andarmoyo, 2017). Media

audiovisual merupakan media perantara atau penggunaan materi dan

penyerapan melalui pandangan dan pendengaran sehingga membangun

kondisi yang dapat memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap.

Audiovisual yang digemari oleh anak-anak adalah kartun atau gambar

bergerak, merupakan media yang sangat menarik bagi anak-anak terutama

anak usia pra sekolah yang memiliki daya imajinasi tinggi. Audiovisual dapat

memudahkan anak untuk medapatkan pembelajaran dengan cara yang

menyenangkan. Anak juga dapat mengeksplorasi perasaan, emosi, dan daya

ingat melalui audiovisual, taknik ini juga dapat membantu perawat dalam

melaksanakan prosedur infus dan injeksi, memudahkan perawat dalam

mendistraksi agar anak kooperatif dalam pelaksanaan prosedur terapi. Dengan

demikian diharapkan pengalaman nyeri pada anak berkurang dan mengurangi

proses dari kecemasan akibat tindakan invasif (Taufik, 2010). Berdasarkan

uraian di atas penulis tertarik untuk menguraikan asuhan keperawatan pada

anak dengan epilepsi untuk menurunkan skala nyeri akibat prosedur invasif.
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memaparkan mengenai asuhan keperawatan pada anak dengan epilepsi

dan intervensi keperawatan sesuai dengan evidence based learning saat

ini.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran umum anak dengan epilepsi

b. Mengetahui gambaran masalah keperawatan yang terjadi pada anak

dengan epilepsi

c. Mengetahui gambaran intervensi keperawatan yang akan diberikan

pada anak dengan epilepsi

d. Mengetahui gambaran implementasi dan evaluasi dari tindakan

keperawatan pada anak dengan epilepsi

C. Manfaat

1. Bagi Pasien dan Keluarga

Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang pelaksanaan

teknik distraksi untuk mengurangi skala nyeri pasien.

2. Bagi Mahasiswa Keperawatan

Laporan komperhensif ini diharapkan dapat memberikan manfaat

untuk mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun

praktik asuhan keperawatan anak dengan epilepsi.


3. Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan

Laporan komperhensif ini diharapkan dapat berguna bagi instansi

pendidikan PSIK FK UNSRI sebgai sumber referensi dan pemberlajaran

pada mata kuliah keperawatan anak.

D. Metode

1. Mencari dan memilih tiga pasien keloaan dengan kriteria yaitu sebagai

penderita kanker paru di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

2. Analisis teori yang dilakukan melalui evidance based untuk memahami

permasalahan dengan tepat yang akan diberikan kepada pasien.

3. Menyusun format asuhan keperawatan yang terdiri atas pengkajian,

diagnosis keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi hingga

evaluasi keperawatan.

4. Penegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan panduan SDKI (Standar

Diagnosa Keperawatan Indonesia), tujuan, dan kriteria hasil berdasarkan

panduan SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), serta rencana

keperawatan dan implementasi berdasarkan panduan SIKI (Standar

Intervensi Keperawatan Indonesia).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Epilepsi

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang

dapat disertai hilangnya kesadaran (Kristanto, 2017). Berdasarkan

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2005, epilepsi yang

didefinisikan secara konseptual merupakan kelainan otak dengan ditandai

kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik secara terus-menerus

dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial dari kondisi ini

(Fisheret al., 2014). Kejang/bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari

sekelompok neuron di otak yang bersifat transien (IDAI, 2016).

B. Etiologi Epilepsi

Etiologi epilepsi ada beberapa, yaitu struktural, genetik, infeksi,

metabolik, imunitas, dan tidak diketahui. Pasien epilepsi bisa diklasifikasikan

lebih dari satu kategori etiologi (Scheffer et al., 2017).

1. Struktural

Konsep dari etiologi struktural adalah bahwa kelainan struktural yang

secara substansial meningkatkan risiko terkait dengan epilepsi

berdasarkan rancangan studi yang tepat. Etiologi struktural mengacu pada

kelainan yang dapat terlihat pada struktur neuroimaging dimana penilaian


elektroklinikal bersamaan dengan temuan pencitraan (imaging) yang

mengarah pada kesimpulan yang beralasan/ masuk akal bahwa kelainan

pada pencitraan kemungkinan adalah penyebab kejang pasien. Etiologi

struktural mungkin diperoleh (acquired), seperti stroke, trauma, infeksi,

atau genetik seperti banyak malformasi pada perkembangan kortikal.

Walaupan terdapat dasar genetik dengan malformasi itu, korelasi

struktural yang menopang epilepsi pasien tersebut. Identifikasi lesi

struktural halus membutuhkan studi MRI yang tepat menggunakan

protokol epilepsi yang spesifik (Scheffer et al., 2017).

2. Genetik

Konsep dari genetik epilepsi adalah bahwa epilepsi hasil secara

langsung yang diketahui atau diduga dari mutasi genetik, gejala inti dari

gangguan ini adalah kejang. Epilepsi yang melibatkan etiologi genetik

cukup beragam, pada beberapa kasus, gen yang mendasarinya belum

diketahui (Scheffer et al., 2017). Pertama, kesimpulan etiologi genetik

mungkin hanya berdasarkan riwayat keluarga dengan kelainan autosomal

dominan. Sebagai contoh, syndrome of benign familial neonatal epilepsy,

banyak keluarga yang memiliki mutasi salah satu dari gen kanal kalium,

KCNQ2 atau KCNQ3. Sebaliknya, pada syndrome of autosomal

dominant nocturnal lobe epilepsy, mutasi genetik yang mendasarinya

hanya diketahui pada sebagian kecil individu saat ini (Scheffer et al.,

2017).
Kedua, etiologi genetik dapat disarankan dengan penelitian klinis

pada populasi dengan sindrom yang sama seperti childhood absence

epilepsy atau juvenile myoclonic epilepsy (Scheffer et al., 2017). Ketiga,

dasar molekular mungkin telah diidentifikasi dan mungkin melibatkan

satu gen atau varian nomor salinan dari efek utama. Terdapat peningkatan

jumlah pasien dengan kelainan genetik yang menyebabkan epilepsi yang

parah dan sedang (Scheffer et al., 2017). Etiologi genetik tidak

mengecualikan kontribusi lingkungan. Diterima dengan baik bahwa

faktor lingkungan berkontribusi pada kejang, sebagai contoh, banyak

individu dengan epilepsi lebih mungkin untuk memiliki kejang dengan

kurang tidur, stres, dan sakit. Etiologi genetik mengacu pada varian

patogen (mutasi) dari efek yang signifikan dalam menyebabkan epilepsi

pada individu (Scheffer et al., 2017).

3. Infeksi

Etiologi yang paling umum di seluruh dunia adalah epilepsi terjadi

sebagai akibat dari infeksi. Konsep dari etiologi infeksi adalah epilepsi

terjadi sebagai hasil secara langsung dari infeksi yang diketahui bahwa

kejang adalah gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh umum di

wilayah spesifik di dunia termasuk neurocysticercosis, tuberculosis, HIV,

cerebral malaria, subacute sclerosing panencephalitis, cerebral

toxoplasmosis, dan infeksi kongenital seperti Zika dan Cytomegalovirus.

Infeksi ini terkadang memiliki korelasi dengan etiologi struktural.

Etiologi infeksi memiliki terapi spesifik yang terlibat. Etiologi infeksi


mungkin mengacu pada perkembangan menjadi epilepsi pascainfeksi,

seperti ensefalitis viral menyebabkan kejang akibat dari infeksi akut

(Scheffer et al., 2017).

4. Metabolik

Berbagai gangguan metabolisme dikaitkan dengan epilepsi. Konsep

dari epilepsi metabolik adalah epilepsi terjadi sebagai hasil langsung yang

diketahui dan diduga dari gangguan metabolik dengan kejang adalah

gejala utama dari gangguan tersebut. Penyebab metabolik mengacu pada

digambarkan dengan baik defek metabolik dengan manifestasi atau

perubahan biokimia di seluruh tubuh seperti porfiria, dan uremia.

Kemungkinan besar epilepsi metabolik memiliki dasar genetik, tetapi

sebagian mungkin diperoleh seperti defisiensi serebral folat. Identifikasi

spesifik metabolik yang menyebabkan epilepsi sangatlah penting untuk

terapi spesifik dan pencegahan penurunan intelektual (Scheffer et al.,

2017).

5. Imunitas

Konsep dari imunitas epilepsi adalah epilepsi merupakan hasil

langsung dari gangguan imunitas dengan kejang merupakan gejala utama

dari gangguan tersebut. Etiologi imunitas bisa dikonsepkan adanya bukti

autoimun memediasi inflamasi sistem saraf pusat. (Scheffer et al., 2017).


6. Tidak diketahui

Penyebab etiologi belum diketahui. Pada kategori ini belum mungkin

membuat diagnosis yang pasti selain dari basis elektroklinikal seminologi

(Scheffer et al., 2017).

C. Faktor Risiko Epilepsi

Faktor risiko menurut Raharjo (2007), yaitu: fakotr prenatal, natal, dan

postnatal.

1. Faktor Prenatal

a. Usia saat ibu hamil

Usia ibu pada waktu hamil <20 tahun atau >35 tahun dapat

menyebabkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan.

Komplikasi pada kehamilan dan persalinan dapat mengakibatkan

prematuritas, berat badan lahir yang kurang, penyulit persalinan, dan

partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan asfiksia,

sehingga terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan

rusaknya faktor inhibisi dan/ atau meningkatnya fungsi neuron

eksitatorik, sehingga epilepsi dapat dengan mudah timbul bila adanya

rangsangan yang memadai (Raharjo, 2007).

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti eklamsia

dapat mengakibatkan asfiksia pada bayi. Hipertensi pada ibu

menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang yang


mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan berat

badan lahir rendah, yang juga dapat menyebabkan asfiksia dan

berlanjut menjadi epilepsi pada kemudian hari (Raharjo, 2007).

c. Kehamilan primipara dan multipara

Epilepsi lebih sering ditemukan pada anak pertama, yang

kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi

penyulit persalinan seperti partus lama, persalinan dengan alat. Pada

kehamilan multipara juga bisa terjadi penyulit kehamilan. Penyulit

persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi yang

mengakibatkan distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi

perdarahan atau udem otak yang dapat menimbulkan kerusakan otak

dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya (Raharjo, 2007).

d. Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau

kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat

merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, mengalami

cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan epilepsi

(Raharjo, 2007).

2. Faktor Natal

a. Afiksia

Asfiksia dapat menimbulkan lesi pada daerah hipokampus yang

akan menjadi fokus epileptogen. Pada asfiksia perinatal akan

menyebabkan hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Hipoksia dan


iskemia akan menyebabkan peningkatan cairan Na+ intraseluler

sehingga terjadi udem otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya

faktor inhibisi dan/atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,

sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai

(Raharjo, 2007)

b. Partus lama

Persalinan yang sulit dan lama dapat meningkatkan risiko

terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari

hipoksia cedera mekanik dan hipoksia adalah berupa epilepsi

(Raharjo, 2007)

c. Kelahiran prematur dan postmatur

Pada bayi prematur, perkembangan organ-organ tubuh sehingga

belum berfungsi dengan sempurna. Pada 50% bayi prematur terjadi

perdarahan intraventrikuler disebabkan karena bayi prematur sering

menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernafasan

sehingga bayi menjadi hipoksia, pada keadaan ini dapat

menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering

timbul dan tiap serangan >20 detik, maka kemungkinan timbulnya

kerusakan otak yang permanen lebih besar. Oleh karena itu, setiap

serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,

serangan kejang cenderung berulang dan akan menimbulkan

kerusakan yang lebih luas (Raharjo, 2007). Pada bayi yang lahir

postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga terjadi


penurunan pemasukan makanan dan oksigen. Keadaan ini akan

mengakibatkan hipoksia janin yang dapat menyebabkan kerusakan

otak (Raharjo, 2007).

d. Persalinan dengan alat (forcep, vakum, seksio sesaria)

Persalinan yang sulit yaitu persalinan dengan bantuan alat dapat

mengakibatkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi.

Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid

dan perdarahan intraventrikuler. Manifestasi neurologis dari

perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena

kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak,

sehingga terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat

menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi

klinisnya (Raharjo, 2007)

3. Faktor Postnatal

a. Kejang demam

Kejang demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan

iskemik otak, lobus temporalis adalah yang paling sering terkena

dampaknya sehingga menyebabkan prediposisi timbulnya epilepsi

lobus temporalis (Raharjo, 2007).

b. Trauma kepala

Trauma kepala dapat memberikan dampak pada otak yang

bersifat akut dan kronis. Dampak yang tidak nyata memberikan

gejala sisa berupa jaringan sikatrik yang dalam kurun waktu 3-5
tahun akan menjadi fokus epilepsi. Bangkitan epilepsi pasca cedera

kepala pada anak-anak dibagi dalam 3 golongan yaitu (Raharjo,

2007):

1) Bangkitan segera, sebagai reaksi langsung atas serangan mekanis

dari jaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang

rendah terhadap kejang. Biasanya berhubungan dengan faktor

genetik.

2) Bangkitan dini, timbul dalam 24-48 jam, pada cedera kepala

hebat sebagai akibat dari udem otak, perdarahan intrakranial,

kontusio, laserasi dan nekrosis. Bangkitan epilepsi biasanya

bersifat kejang umum.

3) Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama

setelah cedera kepala, bangkitan berasal dari parut serebro-

meningeal akibat trauma yang telah dibuktikan baik secara

anatomis, maupun elektrofisiologis.

c. Infeksi sistem saraf pusat

Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe

infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk

perkembangan epilepsi akan menjadi lebih tinggi bila serangan

berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat

seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi

lainnya (Raharjo, 2007).


D. Klasifikasi Epilepsi

1. Klasifikasi kejang dasar

Klasifikasi kejang dasar berdasarkan ILAE 2017

Kejang pertama-tama dikategorikan oleh jenis onset. Kejang dengan

onset fokal didefinisikan sebagai “berasal dari jaringan yang terbatas pada

satu hemisfer. Mereka mungkin lokal atau tersebar lebih luas. Kejang

fokal dapat berasal dari struktur subkortikal. Kejang dari onset umum

didefinisikan sebagai berasal dari beberapa titik, dan dengan cepat

bergerak, jaringan didistribusikan secara bilateral. Kejang dengan onset

yang belum diketahui mungkin masih memiliki bukti mendefinisikan

karakteristik motor (contoh: tonic-clonic) dan nonmotor (contoh:

behavior arrest). Dengan informasi lebih lanjut atau pengamatan kejang di

masa depan, sebuah reklasifikasi dari kejang dengan onset yang belum

diketahui menjadi onset fokal atau umum mungkin dapat terjadi. Oleh

karena itu, onset yang belum diketahui bukan sebuah karakteristik kejang,

tetapi sebagai tempat pengganti untuk ketidaktahuan kita. Ketika tipe


kejang dimulai dengan kata fokal, umum, atau absans maka kita boleh

menduga kata onset (Fisher et al., 2017).

Klasifikasi lebih lanjut adalah opsional. Tingkat selanjutnya dari

klasifikasi kejang fokal adalah tingkat kesadaran. Kesadaran secara

operasional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang diri sendiri dan

lingkungan. Selama kejang fokal sadar, kesadaran akan utuh. Kesadaran

secara khusus mengacu pada kesadaran selama kejang, dan bukan

kesadaran akan terjadinya kejang. Jika kesadaran mengalami penurunan

pada semua tipe kejang fokal, maka kejang tersebut diklasifikasikan

sebagai kejang fokal dengan penurunan kesadaran. Sebagai praktis,

kejang sadar menyiratkan kemampuan orang yang mengalami kejang

untuk memverifikasi kesadaran yang dipertahankan (Fisher et al., 2017).

Kejang dengan onset umum dibagi menjadi kejang motor dan

nonmotor (absence). Tingkat kesadaran tidak digunakan untuk

pengklasifikasi kejang umum, karena sebagian besar (walaupun tidak

semua) kejang umum dikaitkan dengan gangguan kesadaran. Dengan

definisi cabang umum di klasifikasi, tipe aktivitas motor harusnya

bilateral sejak onset, tetapi di klasifikasi dasar, tipe aktivitas motor tidak

perlu ditentukan (Fisher et al., 2017). Kejang absans (yang sebelumnya

diasumsikan “onset umum”) ditandai dengan penghentian kegiatan secara

mendadak dan ketiadaan kesadaran. Kejang absans cenderung terjadi

dikelompok usia lebih muda, memiliki awal dan penghentian lebih

mendadak, mereka biasanya menampilkan automatisme yang


kurang kompleks dibanding kejang fokal dengan gangguan kesadaran,

tapi perbedaannya tidak mutlak (Fisher et al., 2017).

Kejang yang onsetnya tidak diketahui bisa dikategorikan sebagai

motor, termasuk tonik-klonik, nonmotor, atau tidak terklasifikasi. Istilah

kategori tidak terklasifikasi terdiri dari keduanya yaitu kejang yang tidak

cocok dengan kategori lain atau kejang yang tidak memilki cukup

informasi untuk dikategorikan (Fisher et al., 2017).

2. Klasifikasi kejang diperluas

Klasifikasi kejang diperluas berdasarkan ILAE 2017

Klasifikasi yang diperluas memberikan tingkatan nama kejang yang

lain, dibuat atas rangka klasifikasi dasar. Pengaturan secara vertikal

kategori dari onset fokal tidak secara hierarki, menamai tingkat kesadaran

adalah opsional. Kejang fokal dapat diklasifikasikan kejang fokal dengan

kesadaran (sesuai dengan istilah 1981 “kejang parsial sederhana”) atau


kejang fokal dengan gangguan kesadaran (sesuai istilah 1981 “kejang

parsial kompleks”). Kejang fokal sadar atau kejang fokal dengan

gangguan kesadaran secara opsional dapat diklasifikasikan dengan

menambahkan salah satu istilah onset motor atau onset nonmotor

dibawah, mencerminkan tanda dan gejala yang awal selain kesadaran.

Sebagai alternatif, sebuah nama kejang fokal dapat menghilangkan

penyebutan kesadaran karena tidak dapat diterapkan atau tidak diketahui

dan mengklasifikasikan kejang fokal secara langsung berdasarkan

karakteristik motor atau nonmotor sejak awal (Fisher et al., 2017).

Klasifikasi kejang onset umum mirip dengan klasifikasi tahun 1981,

dengan penambahan beberapa tipe baru. Kesadaran biasanya terganggu

pada kejang onset umum, jadi tingkat kesadaran tidak digunakan sebagai

pengklasifikasi untuk kejang ini. Subdivisi utama terbagi menjadi motor

dan nonmotor (absence). Istilah “motor” dan “nonmotor (absence)” hadir

untuk memungkinkan karakterisasi dari motor atau nonmotor kejang

onset umum yang tidak bisa dikatakan hal lain, tetapi istilah “motor” dan

”nonmotor (absence)” dapat dihilangkan bila nama kejang tersebut

ambigu, contohnya “kejang tonik umum”. Kata “umum” dapat

dihilangkan untuk kejang seperti absence yang hanya hadir dengan onset

umum (Fisher et al., 2017).

Kejang dengan onset tidak diketahui dapat dibagi menjadi motor atau

nonmotor. Manfaat utama dari klasifikasi ini adalah untuk kejang

tonikklonik yang awalnya dikaburkan. Informasi lebih lanjut


memungkinkan untuk reklasifikasi sebagai kejang onset umum atau fokal.

Spasme epileptik atau behavior arrest merupakan kemungkinan lain dari

kejang yang tidak diketahui onsetnya. Kejang behavior arrest dengan

onset yang tidak diketahui dapat menggambarkan focal impaired

awareness seizure dan an absence seizure. Jika sebuah peristiwa tidak

jelas merupakan kejang, maka kejadian tersebut tidak boleh disebut

sebagai kejang yang tidak terklasifikasi, klasifikasi ini diperuntukkan bagi

kejadian yang tidak biasa yang menyerupai kejang, namun tidak dapat

dikarakteristikkan (Fisher et al., 2017).

E. Patofisiologis Epilepsi

Pada celah sinaptik saraf terdapat membran postsinaptik yang

mengandung reseptor pengikat neurotransmitter, yang jika berikatan dengan

reseptor akan terjadi perubahan lokal sistem elektrik neuron, yang dapat

berupa eksitasi dan inhibisi pada impuls saraf sehingga terjadi aksi potensial

yang dapat menimbulkan serangan epilepsi (Vera et al., 2014).

1. Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi

Patofisiologi epilepsi berdasarkan mekanisme tidak seimbangnya

eksitasi dan inhibisi. Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan

eksitabilitas sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat

dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang

dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor

glutamat yang disebut reseptor ionotropik glutamat (iGluRs) yang

memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan


non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic

acid atau AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan

menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory

postsynaptic potential (EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat dengan

reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat (Vera et

al., 2014).

2. Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi

Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA

yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABA-A dan

menyebabkan masuknya ion Cl-ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl-ini

akan meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan

mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini

disebut inhibitory postsynaptic potential (IPSP). Reseptor GABA-B

terletak pada terminal presinaptik dan membran postsinaptik. Jika

diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor

GABA-B akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan

cetusan elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini

akan mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi (Vera et al.,

2014).

3. Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi

Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf

berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan

sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan


elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron

akan disebarkan ke neuronneuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya

akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang

(Vera et al., 2014). Bila proses hipersinkronisasi sel-sel neuron terus

berjalan akan mengakibatkan bangkitan epileptik (Kurniawaty et al.,

2013).

Bangkitan epileptik terjadi karena depolarisasi berlebihan pada neuron

dalam sisem saraf pusat (Kurniawaty et al., 2013). Neuromuscular junction

adalah daerah pertemuan atau sinaps antara membran sel saraf motorik dan

membran otot. Membran otot yang berada di neuromuscular junction juga

dikenal dengan motor end plate. Asetilkolin adalah neurotransmitter eksitatori

neuron motorik di neuromuscular junction (Fox, 2016). Asetilkolin akan

membuka banyak kanal kation “berpintu kation” yang memungkinkan

sejumlah ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serat otot

menyebabkan depolarisasi dan menimbulkan potensial aksi. Potensial aksi

menyebabkan retikulum endoplasma melepaskan kalsium yang menghasilkan

proses kontraksi. Potensial aksi yang terus-menerus menimbulkan spasme otot

(Guyton dan Hall, 2014).

F. Penegakkan Diagnosis Epilepsi

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2014

diagnosis epilepsi ditegakkan dengan tiga kondisi, yaitu:


1. Setidaknya dua kejang tanpa provokasi terpisah >24 jam

2. Terdapat satu kejang tanpa provokasi (atau refleks) dan kemungkinan

kejang selanjutnya mirip dengan risiko rekurensi umum (setidaknya

60%) setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang

3. Diagnosis sindrom epilepsi (Fisher et al., 2014).

Diagnosis epilepsi pada anak dan remaja dapat ditegakkan oleh dokter

spesialis anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang epilepsi. Diagnosis

epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar

anamnesis dan pemeriksaan fisik-neurologis (IDAI, 2016).

1. Anamnesis

Penegakkan diagnosis epilepsi anamnesis yang lengkap dan rinci

menngenai kejadian sangat diperlukan, terutama penjelasan dari

orangtua atau keluarga yang menyaksikan kejadian (IDAI, 2016).

a. Anamnesis untuk menentukan apakah serangan yang terjadi

merupakan kejang atau bukan.

Tabel
Perbedaan kejang dan bukan kejang
(IDAI, 2016)
Klinis Kejang Bukan Kejang
Awitan Tiba-tiba Gradual
Kesadaran Terganggu (tidak Tidak terganggu
terganggu pada kejang
fokal sederhana)
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Sianosis Sering Jarang
Gerakan abnormal mata Selalu Jarang
Serangan khas Sering Jarang
Lama Detik-menit Beberapa menit
Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu
Abnormalitas EEG Selalu Tidak pernah
(iktal)

b. Anamnesis untuk menentukan bentuk kejang

Anamnesis dilakukan untuk menentukan bentuk kejang,

seperti kejang tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal,

kejang umum tonikklonik (kaku-kelojotan), tiba-tiba jatuh

(atonik), bengong, tidak berespon ketika dipanggil atau ditepuk

merupakan tipe kejang absans, bayi tampak seperti kaget berulang

kali (spasme), gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas

merupakan tipe kejang mioklonik, episode bingung dan

kehilangan kesadaran, perasaan tiba-tiba merasa mual atau sakit

ulu hati, halusinasi visual/auditori, rasa kesemutan dapat

ditemukan pada kejang fokal. Keadaan tersebut dinamakan aura

yang dideskripsikan sebagai stimulasi sensorik sebelum bangkitan

muncul. Aura juga dapat berupa merasa pernah berada di suatu

tempat (IDAI, 2016).

c. Anamnesis lain yang perlu ditanyakan (IDAI, 2016)

1) Pada keadaan apa bangkitan / kejang tersebut muncul ?

2) Apa yang dilakukan anak sebelum bangkitan muncul ?


3) Berapa kali anak kejang dalam sehari, berapa lama kejang

berlangsung?

4) Apa yang terjadi setelah kejang berhenti? Apakah anak

terlihat bingung/ mengantuk/ lemas atau tidur?

5) Adakah gangguan fungsi otonom?

6) Apakah bentuk bangkitan selalu sama?

7) Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan dan pascanatal

untuk mengetahui faktor risiko yang bisa mengakibatkan

kelainan struktur otak

8) Riwayat penyakit terdahulu seperti trauma kepala, infeksi

SSP, perdarahan intrakranial, penyakit lain yang disertai

penurunan kesadaran

9) Riwayat perkembangan anak

10) Riwayat epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis perlu

dilakukan dengan saksama, untuk mencari petunjuk ke arah sindrom

tertentu sebagai etiologi epilepsi.

a. Pemeriksaan Fisik Umum

Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda-

tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya: trauma

kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan


alkohol atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis),

lingkar kepala, dan tanda-tanda keganasan (PERDOSSI, 2014).

b. Pemeriksaan Fisik Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda

defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan

epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit pascabangkitan,

akan tampak defisit neurologis terutama tanda fokal yang tidak

jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: paresis Todd

(hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), gangguan

kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal (PERDOSSI, 2014). Juga

dilakukan evaluasi psikologis (PERDOSSI, 2016).

3. Diagnosis Sindrom Epilepsi

Setelah menegakkan diagnosis epilepsi dan mengetahui tipe

kejang, perlu ditentukan apakah epilepsi pasien termasuk dalam

sindrom klinis tertentu. Sindrom epilepsi mengacu pada kumpulan

gejala yang menggabungkan tipe kejang, EEG, dan gejala pencitraan

yang cenderung muncul bersamaan. Sindrom epilepsi sering memiliki

gejala yang tergantung dengan usia, seperti umur saat onset dan

remisi, pemicu kejang, variasi diurnal, dan kadang prognosis. Juga

mungkin memiliki komorbiditas yang khas seperti intelektual dan

disfungsi psikiatri, bersamaan dengan temuan spesifik dari EEG dan


studi pencitraan. Terdapat banyak sindrom epilepsi yang telah

diketahui (Scheffer, 2017).

4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang baku untuk menegakkan

diagnosis epilepsi, pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis epilepsi dengan lebih lengkap atau

menegakkan sindrom epilepsi. Epilepsi bisa ditegakkan meskipun

pemeriksaan penunjang normal (IDAI, 2016).

a. EEG

Pemeriksaan EEG rutin dilakukan pada setiap kejadian

paroksismal bangkitan/ kejang. Walaupun EEG dilakukan secara

rutin pada kejang tanpa provokasi pertama dan pada (dugaan)

epilepsi, EEG bukan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan

diagnosis epilepsi. Rekam EEG dilakukan selama 30 menit terdiri

dari rekaman tidur dan bangun tanpa menggunakan obat

premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah kejang kedua,

namun dapat dilakukan setelah kejang pertama bila diperlukan.

Gambar EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat

menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi (IDAI,

2016). Pada gambaran EEG perlu diperhatikan frekuensi dan

amplitudo gelombang irama dasar, ada tidak adanya asimetri, serta

ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat berupa gelombang


paku, gelombang tajam, paku ombak, tajam ombak, paku multipel,

burst suppression, dan hipsaritmia. Peran EEG pada epilepsi

adalah sebagai berikut (IDAI, 2016):

1) Membantu menentukan tipe kejang

2) Menunjukkan lokalisasi fokus kejang apabila ada, serta

penyebarannya

3) Membantu menentukan sindrom epilepsi

4) Pemantauan keberhasilan terapi

5) Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat

dihentikan

b. MRI

Pencitraan berperan untuk mendeteksi lesi otak yang mungkin

menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan

neurodevelopmental yang menyertai. Magnetic resonance imaging

(MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi kelainan

yang mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi

adalah sebagai berikut (IDAI, 2016; Wijaya et al., 2020):

1) Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG

2) Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya

defisit

3) neurologis fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda

malformasi otak, keterlambatan perkembangan yang

bermakna, atau kemunduran perkembangan


4) Anak berusia <2 tahun

5) Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik,

contohnya spasme infantil atau sindrom Lennox-Gastaut

6) Epilepsi intraktabel

7) Kegagalan mengontrol bangkitan dengan lebih dari dua OAE

lini pertama dengan rata-rata serangan lebih dari 1 kali/ bulan

selama 18 bulan dan interval bebas bangkitan tidak lebih dari

tiga bulan

8) Status epileptikus

G. Penatalaksanaan Epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah terbebas dari serangan epilepsi.

Serangan yang berlangsung lama mengakibatkan kerusakan sampai kematian

sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus-menerus, kerusakan sel-sel otak akan

meluas dan dapat menurunkan kecerdasan. Karena itu upaya terbaik

mengatasi kejang harus sedini mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan

sembuh apabila dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan dan

mencapai dua tahun bebas serangan (Wijaya et al., 2020).

1. Tatalaksana Medika Mentosa

Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini

pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan dimulai dari dosis

rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul

efek samping. Jika bangkitan tidak dapat dihetikan dengan OAE lini
pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai (Wijaya et al.,

2020). Politerapi (kombinasi 2-3 OAE) perlu dipertimbangkan, jika

bangkitan tidak bisa dihentikan dengan monoterapi lini kedua. Politerapi

seharusnya dihindari sebisa mungkin. Dalam penelitian prospektif, anak

anak yang menerima politerapi dilaporkan secara signifikan lebih tinggi

memiliki risiko efek samping obat.

Kegagalan monoterapi berisiko epilepsi refrakter (intraktabel) yaitu

kegagalan mengontrol bangkitan dengan lebih dari dua OAE lini pertama

dengan rata-rata serangan lebih dari satu kali per bulan selama 18 bulan

dan interval bebas bangkitan tidak lebih dari tiga bulan. Penderita epilepsi

refrakter lebih berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan

perkembangan (Wijaya et al., 2020). Tujuan pengobatan adalah untuk

mencapai kontrol penuh bangkitan dengan toksisitas minimal. Secara

umum disepakati bahwa monoterapi harus menjadi pengobatan awal

untuk epilepsi yang baru didiagnosis pada anak-anak. Jika satu OAE tidak

bekerja, obat kedua harus diperkenalkan saat anak masih menerima obat

pertama. Semua perubahan terapi, apakah menambah atau mengganti

OAE perlu disepakati orang tua dan pasien. Perlu dipertimbangkan

interaksi yang mungkin terjadi saat memperkenalkan OAE baru. Jika

kontrol bangkitan dicapai dengan obat baru, OAE yang tidak efektif

dihentikan bertahap, tergantung efektivitas, efek samping, dan parahnya

kekambuhan. Namun jika masih tidak terkontrol, maka dapat diberikan

dosis maksimum kedua obat. Pemberian OAE ketiga hanya dapat


dilakukan jika bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dua obat

pertama dengan dosis maksimum (Wijaya et al., 2020). Politerapi tidak

dapat dihindari pada anak-anak epilepsi yang resisten obat. ILAE

mendefinisikan epilepsi resisten terhadap obat sebagai kegagalan uji coba

yang adekuat dari dua obat yang ditoleransi dan dipilih secara tepat dan

menggunakan jadwal OAE, baik sebagai monoterapi maupun dalam

kombinasi, untuk mencapai bebas bangkitan yang berkelanjutan. Pada

anak-anak dengan epilepsi resisten obat, OAE lain harus ditambahkan

sampai kontrol tercapai. Kemudian penting untuk menghentikan bertahap

OAE yang tidak efektif atau tidak ditoleransi, karena jika tidak, seorang

anak akan mendapat empat atau lima OAE. Hal ini meningkatkan risiko

interaksi dan efek samping (Wijaya et al., 2020). Sebelum memulai

politerapi, beberapa hal patut dipertimbangkan adalah apakah diagnosis

sudah tepat, apakah kepatuhan minum obat sudah baik dan apakah pilihan

dan dosis OAE sudah tepat (Wijaya et al., 2020).

2. Tatalaksana Non Medika Mentosa

a. Diet Ketogenik

Jenis diet ketogenik yang digunakan untuk terapi epilepsi yang

paling sering digunakan adalah diet ketogenik yang dikenakan oleh

Wilder pada tahun 1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai

panjang, serta presentase protein dan karbohidrat yang rendah.

Protokol ini terdiri dari lemak dan rasio 4:1 dengan gabungan protein
dan karbohidrat. Pada protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan

dipuasakan selama 24 jam sebelum memulai diet. Diet ketogenik

trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-4 gram lemak

untuk setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Total kalori yang

diberikan pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori

pasien. Kelemahan utama diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan

tingginya angka dropout. Dropout terjadi terutama akibat timbulnya

berbagai efek samping gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet

dikarenakan cita rasa yang kurang menggugah selera. Efek samping

gastrointestinal yang paling sering muncul berupa mual, muntah,

konstipasi dan diare. (Wisnu et al., 2017). Pada diet ketogenik energi

otak bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun dari keton

sebagai hasil oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan

sebagai terapi adjuvan pada epilepsi intraktabel. Diet ketogenik pada

anak usia 6-12 tahun dapat mengakibatkan batu ginjal, pertumbuhan

lambat, dan fraktur (IDAI, 2016).

b. Tindakan Bedah

Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil

penyandang epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah

mendapat terapi kombinasi OAE, terdapat kontraindikasi atau gagal

dengan diet ketogenik. Tindakan bedah boleh dilaksanakan jika tidak

ada sumber epilepsi lain di luar area yang direncanakan akan

direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area tempat


kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus epileptik

(IDAI, 2016).

H. Prognosis Epilepsi

Sebagian besar epilepsi (minimal 50%) tidak mengalami kejang kembali

dan pengobatan dapat dihentikan. Pasien harus dipantau 5 tahun kedepan

untuk memastikan tidak terjadi kejang kembali (IDAI, 2016). Individu dengan

prognosis baik mempunyai kemungkinan penurunan frekuansi kejang

berulang sebesar 80% (IDAI, 2016). Kematian pada anak dengan epilepsi

dapat diakibatkan oleh komplikasi dari kejang seperti aspirasi, aritmia,

kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid (hidrosefalus) dan suicide atau

sudden unexpected death in epilepsy (IDAI, 2016).

Anda mungkin juga menyukai