Anda di halaman 1dari 4

1. Analisislah kasus dr. ayu dari sudut pandang Rule of Law !

2. Carilah 2 pendapat mahasiswa unsri di luak FK mengenai bagaimana


perlindungan HAM di Indonesia, buatlah kesimpulan dari 2 pendapat tersebut !
3. Apa yang harus saudara lakukan agar geopolitik dan geostrategi Indonesia
dapat terus dipertahankan ?
4. Berilah penilaiain jujur terhadap proses belajar mengajar pendidikan
kewarganegaraan semester VII MPK FK Unsri 2010 dan berilah saran agar
menjadi lebih baik.
Jawab
1. Analisis kasus
Undang-Undang Standar Pelayanan Medik menjadi payung hukum bagi
semua institusi kesehatan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
medis terhadap pasien. Undang-undang ini juga harus berlaku universal di
semua institusi kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban adanya Informed
Consent yang fungsinya justru untuk melindungi hak asasi dokter agar tidak
terjerat oleh hukum jika pasien mengalami kerugian atau bahkan kematian
akibat tindakan medis yang dilakukan yang telah sesuai dengan standar
operasional dan kompetensi. Soal tindakan medis yang dilakukan saya sepakat
tidak ada satupun standar operasional, kompetensi dan profesi yang dilanggar.
Hal tersebut memang disampaikan dalam pertimbangan dan fakta persidangan
di pengadilan negeri, tetapi ada hal yang berbeda dalam putusan di pengadilan
negeri dan Mahkamah Agung. Pada putusan pengadilan negeri, fokus
pembuktian yang digunakan hakim adalah ada tidaknya kesalahan/ kelalaian
yang dilakukan dalam tindakan medis dan semua saksi ahli menyatakan bahwa
tidak ada kesalahan prosedural. Hakim pun lalu memutus bebas murni. Tetapi
MA berbeda. Perbedaannya adalah penekanan pada masalah informed concent
yang ternyata tanda tangannya palsu dan telah dibuktikan melalui analisis
forensik. Pemalsuan tanda tangan ini jelas 2 pidana, saya sendiri heran
mengapa opini yang berkembang justru soal emboli. Dalam peristiwa hukum
yang dialami dr. Ayu ada 2 perbuatan hukum yang dilakukan :
1) Informed consent
2) Tindakan medis/Sectio Caesarea
Perlu diingat bahwa tindakan medis seorang dokter itu adalah kontrak
upaya. Disebut kontrak upaya karena tindakan medis yang dilakukan dokter
adalah berupaya untuk menolong pasien memperoleh kesembuhan
berdasarkan ilmu dan kompetensi yang dimiliki bukan menjamin/memastikan
pasien sembuh. Dalam ilmu hukum yang dimaksud kontrak adalah suatu
kesepakatan (akad) dua belah pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Akad tersebut dapat dilakukan secara lisan ataupun tulisan.
Ada batasan jelas kapan akad itu dilakukan lisan dan kapan dilakukan dengan
tulisan. Informed consent harus tertulis jika tindakan medis yang dilakukan itu
mengandung unsur resiko tinggi, artinya informed consent tersebut mutlak
membutuhkan tanda tangan pasien dan keluarga pasien untuk melakukan
tindakan. Dengan begitu, jika terjadi faktor resiko di luar kemampuan keahlian
dokter, maka dokter bebas dari pertanggungjawaban. Informed consent juga
dapat berperan sebagai bukti bagaimana komunikasi antara dokter dengan
pasien dengan keluarga pasien berjalan. Kasus pemalsuan tanda tangan dalam
informed consent pasien dr. Ayu dkk itu membuktikan betapa buruknya
komunikasi antara dokter dan pasien. Padahal pasien dan keluarganya sangat
berhak mengetahui bagaimana kondisi penyakit pasien, tindakan medis yang
akan dilakukan untuk menolong pasien dan apa resikonya. Itu yang dibuktikan
dalam kasasi MA, yang menyatakan adanya koordinasi yang buruk antara ke 3
dokter yang melakukan tindakan medis terhadap pasien Fransiska Makatey.
Kembali ke kasus dr.Ayu dkk, salah satu pertimbangan hukum putusan
kasasi MA adalah terbuktinya pemalsuan tanda tangan pada informed consent
yang menjadi dasar hukum dilakukannya tindakan bedah sesar tersebut. Bukti
forensik telah membuktikan hal itu dan ini jelas-jelas melanggar aturan hukum
baik KUH Pidana, Undang-Undang Praktek kedokteran maupun PerMenKes
no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008 maka Informed Consent
adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut
Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien/keluarganya,
kehadiran seorang perawat /paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya
tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan
kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau
keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran,
dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan
(Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008). Penjelasan
kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam
Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2). Pengecualian terhadap
keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergensi), dimana dokter harus
segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa
menghadapi situasi dirinya.
Dari penjelasan diatas, yaitu tentang aspek medis emboli air ketuban, dan
aspek legal hukum, kita dapat menarik benang merah bahwa sebetulnya ini
adalah kasus yang memang presentase keberhasilannya sangat rendah, sulit
diprediksi, dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Selain itu, tindakan sectio
cesarea yang dilakukan adalah tindakan gawat darurrat yang sebetulnya tidak
membutuhkan informed consent. Tindakan sectio cesarea pada kasus dr. Ayu
menjadi tindakan emergensi karena terdapat gawat janin dan partus
terhambat/lama (partus kasep) yang dapat membahayakan nyawa ibu dan
bayinya jika tidak segera dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai