Anda di halaman 1dari 4

Kasus-Kasus Malpraktek

1. Kasus Agian Permohonan Euthanasia Pertama di Indonesia


Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu,
detik.com dalam judul beritanya menyebutkan, Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak
Lemas. Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan
Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah sebagai
berikut.
Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri
saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama sekian
bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat untuk kesehatan ibu
dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda keracunan. Setelah kehamilan memasuki
bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan
dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya
disarankan melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS
Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak
bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli
dilakukan operasi caesar di RSI Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi
kurang, maka oleh pihak RSI bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator.
Sedangkan istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan
malam itu dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya
diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan
langsung dibawa ke RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke RSI. Sampai di
sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak RS memberikan satu
resep untuk ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus,
beberapa saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80.
Wah terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di
rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140.
Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus
pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan, tanggal 21
Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah. Saya menunggu lagi di
luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar setengah satu saya dipanggil masuk ruangan dengan
buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati.
Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas bantuan. Saya lihat kantong
darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu. Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa
nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh
menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai
kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak
terkendali. 60, 90, 150., 180 terus sampai 250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari
tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru
pada jam 8 malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI,
kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11
Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri saya ke RS Pertamina
untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya
melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak,
kanan kiri, otak kecil kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.

Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr
Gunawan dari RS Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan
malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
(PN) Bogor.
Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu
ia menyampaikan bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan
istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan bahwa tidak
memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia memohon agar istrinya
disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri Kesehatan A. Suyudi
mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan
mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut
menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi menyediakan dana
untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini mengundang komentar
dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, apa yang
dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. Lebih lanjut Ia
mengatakan, " Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau
dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12
tahun penjara."
Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan
permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga
Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga
sekiranya Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat
kepada Menteri Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk istrinya.
Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di
RSCM. Ia mengatakan,untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan kita
tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10 November
2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan "Waktu
kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya. Tapi nyatanya
tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya
sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus."
Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulanbulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat
pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya. Dia juga
sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado) dan sudah bisa berbicara.
Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah
mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis
pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut
Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak melarang,"
tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada
Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan
aneka terapi," kata Iskandar.
Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat
membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti,
Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu sebelum
lebaran (November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara berangsurangsur pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang sudah kuat

menopang lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian
sudah mulai progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan
menerima rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM,
Utih Arupah SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari
Ny. Agian diberi susu peptamin ensure, 6 buah putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3
kali sehari. "Untuk kembali sembuh, Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu
ongkos makanannya pun mencapai Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak
lebih dari segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin
membaik," demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof.
Dr. Farid Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada
Ny. Agian yang telah sadar dari koma panjangnya adalah suatu mukjizat.
Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk
Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang sudah
hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat menyakitkan. LSM yang
peduli perempuan diam saja. Hasan saat itu tidak berada di tempat, karena sedang menjadi
relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang
menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke
Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang
intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari
2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana
membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya, bukannya membencinya.
Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005
ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
ke Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes yang
menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM Agian Isna
Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH kesehatan yang
menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua wanita itu dan menuduh mereka
hanya
mencari
keuntungan
belaka
dari
sakitnya
Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya
sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
Pada 5 Februari 2005 diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin membaik,
bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum
dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap kondisinya sudah
membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM memindahkan Ny. Agian ke bangsal
kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM.
Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan
dengan paksa dikawal aparat kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny
Agian ini dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini.
Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para
perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak
perlu perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah
anggota polisi mengawal dan bahkan mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu
kemarin," jelasnya.
Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas
perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30

pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam seorang diri.
Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo Roestam.
Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny
Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak
keluarga dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini
terihat, dari tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.
"Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar
Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya
dipindahkan ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM meminta
kepada keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah membaik.
Namun, saat itu Hasan mengaku belum siap. Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal
kelas III, wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau
mewawancarainya. Bila ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis
dari RSCM.
Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com pada tanggal 20
Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian
Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang mencapai sekitar
US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus
mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk pemulihan kesehatan Ny
Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara
tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di
berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini kami masih mencari
donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum ada," ungkapnya.

Anda mungkin juga menyukai