Anda di halaman 1dari 74

Makalah 

Anemia Aplastik akibat Paparan Benzena

Pembimbing :
Dr. Nany Hairunisa,MCHSc

Disusun Oleh :
Aqdam Fauqo Al’adli 03014019
Aldrich Chandra 03015011
Annisa Himmatul Ulya 03015028
Chyntia Fitri Utami 03015050
Ida Ayu Putu Ratih Septiari 03015087

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KERJA


PERIODE 21 SEPTEMBER 2020 - 16 OKTOBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

MAKALAH 
Anemia Aplastik akibat Paparan Benzena

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Hiperkes


Periode 21 September - 16 Oktober 2020

Aqdam Fauqo Al’adli 03014019


Aldrich Chandra 03015011
Annisa Himmatul Ulya 03015028
Chyntia Fitri Utami 03015050
Ida Ayu Putu Ratih Septiari 03015087

Telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing 

Jakarta, Oktober 2020 

( )

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................................v
DAFTAR SINGKATN...........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2
2.1 Benzena..............................................................................................................2
2.2 Anatomi dan Fisiologi......................................................................................11
2.3 Definisi Anemia Aplastik.................................................................................18
2.4 Epidemiologi ...................................................................................................18
2.5 Etiologi ............................................................................................................19
2.6 Patofisiologi ....................................................................................................21
2.7 Manifestasi Klinis ...........................................................................................23
2.8 Penegakkan Diagnosis ....................................................................................23
2.9 Diagnosis Banding ..........................................................................................25
2.10 Tatalaksana ....................................................................................................27
2.11 Komplikasi ....................................................................................................28
2.12 Prognosis .......................................................................................................28
2.13 Pencegahan dan Pengendalian.......................................................................28
BAB III DISKUSI KASUS ...................................................................................31
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38
LAMPIRAN...........................................................................................................41

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pelabelan benzene berdasarkan GHS.....................................................3
Gambar 2. Skema mekanisme benzene....................................................................5
Gambar 3. Bone marrow pada tulang panggul ......................................................12
Gambar 4. Bone red dan yellow marrow...............................................................12
Gambar 5. Vaskularisasi bone marrow .................................................................13
Gambar 6. Maturasi sel darah ..............................................................................14
Gambar 7. Spesimen tulang dengan biopsy pada pasien anemia aplastik.............25
Gambar 8. Spesimen tulang dengan biopsy pada pasien normal ..........................26
Gambar 9. Algoritma Tatatalaksana Anemia aplastik ………………………….. 30
Gambar 10. Hirarki Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja …. 38

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Daftar Penelitian Hubungan Benzena dengan Kesehatan.....................10
Tabel 2.2 Klasifikasi etiologi anemia aplastik ......................................................19
Tabel 2.3 Faktor Risiko Anemia aplastik ………………………………………. 22
Tabel 3.1 Jurnal pendukung ……………………………………………………...34

v
DAFTAR SINGKATAN
ALP : Alkaline Phospatase
ALT : Alanine Aminotransferase
ALG : Anti Lymphocyte Globulin
AST : Aspartate Phospatase
ATG : Anti Thymocyte Globuline
ACHIH : American Conference of Governmental Industrial Hygienists
APD : Alat Pelindung Diri
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
BUN : Blood Urea Nitrogen
G-CSF : Granulocyte Colony Stimulating Factor
GHS : Globally Harmonized System
GvHD : Graft Versus Host Disease
Hb : Hemoglobin
IAASG : International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group
LDH : Lactate Dehidrogenase
MSDS : Material Safety Data Sheet
NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health
NRMI : Nuclear Imaging Resonance Imaging
OSHA : Occupational Safety and Health Administration
PEL : Permissible Exposure Limit
REL : Recommended Exposure Limit
ROS : Reactive Oxygen Species
STEL : Short Term Exposure Limit
TIBC : Total Iron Binding Capacity
TNF : Tumor Necrosis Factor

vi
TLV : Threshold Limit Value
TWA : Time Weight Average

vii
BAB I
PENDAHULUAN

Penggunaan bahan kimia dewasa ini telah berkembang sangat luas. Bahan kimia
yang banyak digunakan adalah pelarut organik diantaranya benzena. Benzena
digunakan untuk berbagai proses di industri seperti industri rubber, sepatu, cat,
komponen bahan bakar motor dan deterjen, pestisida, serta farmasi. 1 Benzena adalah
cairan tidak berwarna dengan bau manis, menguap sangat cepat di udara dan sukar larut
dalam air. Paparan benzena pada manusia dapat memberikan efek kesehatan terutama
mengganggu sistem saraf pusat, sistem hematopoietik, dan sistem kekebalan tubuh.
Efek secara akut dapat berupa iritasi laring, pusing, pucat, sesak napas, sakit kepala,
kelelahan, mengantuk, dan pingsan. Sedangkan efek secara kronis dapat berupa kanker.2

Paparan benzena dilingkungan kerja telah diatur nilai ambang batasnya. Menurut
NIOSH nilai ambang batas benzena ditempat kerja adalah 0,1 ppm.3 Di Amerika Serikat
terdapat 51 kasus leukopenia, pansitopeni, eosinfolia, dan trombositopenia, pembesaran
platelet dan anemia akibat paparan benzena dengan konsentrasi 30-210 ppm. 4 Menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor
PER/13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat
Kerja, Nilai Ambang Batas dari benzena adalah 0,5 ppm.5

Anemia adalah kondisi kadar hemoglobin (Hb) yang ada dalam darah kurang
dari batas normal. Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia yang
merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan
trombositopenia pada darah tepi.6 Penyebab anemia aplastik sebagian besar adalah
idiopatik, namun anemia aplastik sering dikaitkan dengan paparan radiasi dan bahan
kimia, infeksi virus dan dengan penyakit lain.7 Insiden terjadinya anemia aplastik akibat
inhalasi benzena di Eropa dan Israel sebanyak dua kasus per 1 juta populasi setiap
tahunnya. Di Thailand dan Cina, angka kejadiannya sebanyak lima hingga tujuh orang
per satu juta populasi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Benzena

2.1.1 Pendahuluan
Benzena (C H ) adalah senyawa hidrokarbon organik berbentuk cairan yang
6 6

umum digunakan sebagai bahan pelarut. Benzena merupakan salah satu senyawa kimia
yang paling banyak digunakan dalam proses sintesis berbagai polimer, resin, dan serat
sintetis.8,9
Pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan kulit, petrokimia, laboratorium
ilmiah, industri karet, bahan bakar berdasar batu bara, pengolahan baja, percetakan, dan
pengolahan plastik berisiko terpapar benzena dalam kadar yang tinggi. 7 Selain itu,
pekerjaan seperti pekerja penerbangan, pengendara bis, polisi, pekerja kargo tanker,
pekerja di pemukiman kota, dan nelayan dapat terpapar benzena akibat penggunaan
produk petroleum.10 Selain itu, asap rokok juga merupakan salah satu sumber paparan
benzena yang cukup umum ditemukan.8
Benzena dianggap sebagai senyawa yang berbahaya oleh OSHA Hazard
Communication Standard (29 CFR 1910.1200), dan diketahui memiliki sifat mudah
terbakar kategori 2 (titik nyala < 23oC dan titik didih > 35oC), dapat menyebabkan
gangguan kulit kategori 2 (iritasi), gangguan mata kategori 2A (iritasi berat),
mutagenisitas sel germinal kategori 1 (dapat mengakibatkan mutasi sel germinal),
karsinogenisitas kategori 1 (dapat mengakibatkan kanker), dan toksisitas organ spesifik
akibat paparan berulang kategori 1 (dapat mengakibatkan toksisitas yang signifikan).3,11

2.1.2 Pengelolaan dan Penyimpanan menurut Material Safety Data Sheet (MSDS) 3

Anjuran pengelolaan:

 Gunakan APD yang memadai


 Jangan terkena mata, kulit, atau pakaian
 Gunakan pada kondisi ventilasi yang adekuat
 Jangan masuk ke ruang penyimpanan atau ruang tertutup kecuali ventilasi
adekuat

2
 Gunakan peralatan yang tidak menimbulkan percik api
 Waspada terhadap pelepasan muatan elektrostatik
 Jangan tertelan
 Simpan pada wadah asli atau wadah alternatif dengan bahan yang sesuai, tutup
dengan kencang saat tidak digunakan
 Jangan memakai ulang wadah bekas
 Simpan dan gunakan jauh dari suhu panas, percikan api, bara api, atau sumber
pengapian lainnya.
 Jangan menghirup uap/kabut
 Jangan mengelola hingga seluruh anjuran keamanan sudah dibaca dan dipahami
Anjuran kebersihan kerja:
 Dilarang makan, minum, dan merokok di tempat material ini dikelola dan
disimpan
 Pekerja perlu mencuci tangan dan muka sebelum makan, minum, dan merokok
 Lepaskan pakaian dan APD yang terkontaminasi sebelum memasukin area
makan
Anjuran penyimpanan:
 Simpan berdasarkan peraturan lokal yang berlaku
 Simpan di area terpisah yang telah diakui
 Simpan di wadah aslinya, terlindung dari sinar matahari langsung, di tempat
yang kering, sejuk, dan dengan ventilasi yang baik, jauh makanan, dan minuman
 Eliminasi semua sumber pengapian
 Simpan di tempat terkunci
 Pisahkan dari material yang mengoksidasi
 Tutup wadah dengan erat dan tersegel hinggal siap untuk digunakan
 Wadah yang sudah dibuka perlu disegel kembali dan ditaruh dalam posisi tegak
untuk mencegah kebocoran
 Jangan disimpan di wadah yang tidak berlabel

3
Gambar 1. Pelabelan benzena berdasarkan Globally Harmonized System (GHS)3

2.1.3 Regulasi Paparan dan Perlindungan Pekerja3

Benzena merupakan senyawa kimia yang sangat umum digunakan di berbagai


industri dan dampak kesehatan akibat paparannya sudah diketahui, beberapa instansi
mempublikasikan standar/regulasi paparan sebagai berikut:

 American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH):


Threshold Limit Value (TLV)
o Short Term Exposure Limit (STEL): 8 mg/m3 (2,5 ppm); 15 menit
o Time Weighted Average (TWA): 1,6 mg/m3 (0,5 ppm); 8 jam
 National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH): Recommended
Exposure Limit (REL)
o STEL: 1 ppm; 15 menit
o TWA: 0,1 ppm; 10 jam
 Occupational Safety and Health Administration (OSHA): Permissible Exposure
Limit (PEL)
o STEL: 5 ppm; 15 menit
o TWA: 1 ppm; 8 jam

2.1.4 Dampak Kesehatan

Dampak kesehatan dari benzena terutama disebabkan oleh paparan


inhalasi. Paparan benzena kronis dapat berdampak pada sistem hematologis,
imunologis, sistem reproduksi dan perkembangan janin, neurologis, respirasi,
sistem endokrin, hepatologis, renal, dan sebagainya. Mekanisme dari dampak
toksisitas benzena diduga berupa pembentukan reactive oxygen species (ROS)
dan stres oksidatif, serta perubahan dan kerusakan genetik. Setelah benzena
dimetabolisme oleh hepar dan sumsum tulang melalui jalur oksidasi

4
CYP4502E1, didapatkan radikal-radikal bebas dan metabolit quinone seperti
phenol, hydroqionone, benzoquinone, dan 1,2,4-benzenaotriol. Berbagai
penelitian mensugestikan dampak toksik benzena diakibatkan oleh radikal bebas
dan metabolit-metabolit yang telah disebutkan. Radikal bebas dan metabolit
yang dihasilkan diketahui mencetuskan peroksidasi lipid dan bersifat
histotoksik, sedangkan peroksidasi lipid akan mengakibatkan produksi radikal
bebas lebih lanjut. Selain itu, radikal bebas, ROS, dan metabolit benzena
diketahui dapat mengakibatkan kerusakan DNA.8

Gambar 2. Bagan skematik mengenai metabolisme benzena, mekanisme


toksisitas, dan efek toksik terhadap tubuh.8

1. Sistem hematologi
Paparan kronis benzena berhubungan dengan penurunan hemoglobin, jumlah
trombosit, dan jumlah leukosit. Berdasarkan suatu penelitian pada para pekerja yang
terpapar benzena (paparan per minggu 7,4 mg/m3) di China, jumlah neutrofil dan
volume rerata trombosit disebut sebagai parameter yang paling dipengaruhi oleh
paparan benzena. Sebuah penelitian pada pekerja pabrik sepatu (konsentrasi uap 6,0 -
47,2 mg/m3) menunjukkan adanya penurunan Hb dan MCHC. Penelitian lain
menyebutkan paparan benzena secara kronis merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit hematologis seperti anemia aplastik dan leukemia.8

2. Sistem imunologi

5
Beberapa penelitian eksperimental maupun epidemiologi menunjukkan bahwa
paparan benzena dapat menekan jumlah dan fungsi sistem imun, seperti sel imun dan
immunoglobulin serum. Sebuah penelitian eksperimental menunjukkan penurunan
jumlah limfosit T dan B pada tikus yang menginhalasi benzena (konsentrasi 319 - 638
mg/m3) selama 8 minggu. Penelitian eksperimental lain menemukan penurunan jumlah
limfosit (limfopenia) dan supresi mitogenesis sel T dan B pada tikus yang terpapar
benzena dari air minum (166 mg/m3) selama 4 minggu. Penelitian epidemiologis pada
pekerja SPBU menunjukkan adanya penurunan komponen sistem imun seperti
immunoglobulin, sel T-CD4, dan rasio CD4/CD8. Penelitian epidemiologis lain pada
pekerja tanker cargo yang terpapar 0,479 mg/m3 benzena 12 jam/hari selama 3 hari,
ditemukan penurunan jumlah IgM, IgA, dan sel T-CD4. Mekanisme terjadinya efek
imunotoksik akibat benzena diduga berhubungan dengan kerusakan kromosom dan
DNA, dan stress oksidatif. 8

3. Sistem reproduksi dan perkembangan janin


Paparan benzena diketahui berpotensi mengakibatkan masalah reproduksi baik
pada laki-laki maupun perempuan. Sebuah penelitian prospektif pada 160 pekerja yang
terpapar benzena melalui inhalasi, ditemukan adanya penurunan jumlah dan motilitas
sperma serta tingkat kerusakan DNA sperma yang lebih parah dibanding kontrol.
Sebuah penelitian epidemiologis terhadap 27 pekerja yang terpapar benzena (86,49 ±
2,83 mg/m3) selama 2 tahun juga menunjukkan kerusakan pada DNA sperma. Dampak
paparan benzena terhadap kesehatan reproduksi perempuan diketahui dapat berupa
perubahan beberapa hormon sistem reproduksi dan juga perubahan siklus menstruasi.
Sebuah penelitian di China menunjukkan terjadinya disfungsi sistem reproduksi pada
pekerja perempuan yang terpapar benzena dan toluena pada industri pembuatan sepatu.
Gangguan menstruasi pada kelompok terpapar (223 pekerja) secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol (327 pekerja). Angka kejadian abortus dan toxemia
secara berurutan berkisar 5,7% dan 22,6%, lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol,
yaitu 2,4% dan 10,5%. Penelitian lain menunjukkan terjadinya hypermenorrhea pada
174 pekerja perempuan yang terpapar benzena melalui inhalasi dengan konsentrasi
188,4 mg/m3 selama 65 bulan.8

Mekanisme toksisitas benzena terhadap sistem reproduksi diduga dimediasi


melalui metabolit-metabolitnya. Metabolit benzena diketahui dapat merusak DNA,

6
sehingga mekanisme ini diduga yang mengakibatkan efek toksik terhadap
spermatogenesis. Paparan benzena juga meningkatkan jumlah kromosom aneuploid
pada sperma, sehingga sperma yang terbentuk menjadi cacat. 8

Selain dapat berdampak negatif terhadap kesehatan reproduksi, paparan benzena


secara kronis diketahui berhubungan dengan kecacatan janin. Risiko berat badan lahir
rendah (BBLR) dan malformasi janin meningkat pada ibu hamil yang terpapar benzena
dan pelarut organik lainnya. Sebuah penelitian menunjukkan insidensi BBLR
meningkat pada ibu hamil yang terpapar benzena dengan kadar 0,0543 – 0,61 mg/m 3
pada suatu pabrik petrokimia. 8

4. Sistem saraf
Paparan kronis benzena diduga dapat mengakibatkan gangguan neurologis.
Sebuah penelitian terhadap 8 pasien yang sebelumnya terpapar larutan yang
mengandung benzena (konsentrasi 9-88%), ditemukan gangguan neurologis pada 6
pasien berupa atrofi ekstremitas bawah dan neuropati pada ekstremitas atas. Penelitian
tersebut mensugestikan bahwa benzena dapat berdampak toksik terhadap sistem saraf
perifer.
Berdasarkan penelitian eksperimental pada binatang, benzena diimplikasikan
dapat mengakibatkan perubahan kognitif, motorik, dan perilaku. Sebuah penelitian pada
binatang hamil menunjukkan bahwa paparan benzena (injeksi subkutan 0,1mg/kg pada
hari ke-15 gestasi) mengakibatkan neonatus yang dilahirkan mengalami gangguan
perilaku, motorik, dan kognitif. Hasil dari penelitian lain menunjukkan bahwa paparan
benzena (secara oral, 950 mg/kg) mengakibatkan penurunan kadar asetilkolin pada
hipokampus tikus, dan penurunan kadar dopamin dan norepinefrin pada otak tengah
tikus.8 Pembentukan ROS dan stres oksidatif diduga merupakan mekanisme yang
berperan dalam toksisitas sistem neurologis akibat paparan benzena. 8
5. Sistem respirasi
Paparan akut benzena diketahui memberikan efek toksik terhadap sistem
respirasi manusia. Terdapat sebuah artikel case-report mengenai kecelakaan kerja yang
mengakibatkan paparan uap benzena dengan konsentrasi tinggi yang mengakibatkan 3
korban mengalami kematian. Hasil autopsi korban menunjukkan hemoragi dan edema
pada paru-paru. Artikel lain membicarakan tentang intoksikasi benzena pada seorang
laki-laki berusia 18 tahun. Hasil dari autopsi menunjukkan gambaran bronchitis dan

7
hemoragi masif pada paru-paru. 8
Selain dampak dari paparan akut, paparan kronik benzena juga mengakibatkan
efek toksik pada sistem respirasi. Pada sebuah penelitian eksperimental, inhalasi
benzena dengan konsentrasi 958,4 mg/m3 selama 7 hari mengakibatkan apoptosis pada
parenkim paru.8

6. Sistem endokrin
Benzena merupakan senyawa organik yang diketahui memiliki efek menganggu
sistem endokrin. Sebuah penelitian epidemiologis pada pekerja SPBU yang terpapar
selama 2-15 tahun menunjukkan peningkatan kadar tetra-iodotironin (T4) dan tiroksin
bebas (FT4), dan penurunan kadar thyroid-stimulating hormone (TSH) dan tri-
iodotironin (T3). Gangguan pada aktifitas pituitari-hipotalamik-adrenokortikal
ditemukan pada sebuah penelitian eksperimental dimana hewan penelitian diberikan
31–790 mg/m3 benzena secara oral. Selain itu, terdapat artikel yang mengatakan
paparan benzena dari bensin meningkatkan risiko terjadinya kanker pankreas.8
7. Sistem kardiovaskular
Terdapat beberapa penelitian epidemiologis yang mengatakan paparan benzena
dapat menjadi faktor penyebab terjadinya hipertensi. Suatu penelitian epidemiologis
menemukan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada kelompok yang terpapar benzena,
tetapi pada penelitian ini tidak terdapat data konsentrasi dan durasi paparan. Hasil
penelitian epidemiologis lain pada pekerja pabrik petrokimia menunjukkan bahwa
paparan benzena dan pelarut organik lainnya dapat mengakibatkan hipertensi dan
perubahan patologis pada EKG.8
Mekanisme terjadinya hipertensi dan gangguan kardiovaskular lainnya akibat
paparan benzena diduga melalui gangguan metabolisme nitrat oksida (NO), tetapi
mekanisme pastinya masih belum diketahui. Selain itu, data penelitian epidemiologis
yang menunjukkan bahwa benzena dapat mengakibatkan hipertensi masih sangat
terbatas (tidak ada data konsentrasi dan durasi paparan).8
8. Hepar
Hepar merupakan organ yang rentan terhadap efek toksik hidrokarbon. Paparan
kronik hidrokarbon seperti benzena diketahui berdampak buruk terhadap enzim-enzim

8
hepar. Hasil penelitian eksperimental pada tikus yang diberikan 100mg/kg benzena
secara oral menunjukkan peningkatan aktivitas lactate dehidrogenase (LDH), alkaline
phosphatase (ALP), aspartate transaminase (AST), dan alanine aminotransferase
(ALT). Penelitian eksperimental lain menunjukkan penurunan aktivitas enzim P450-
2E1 sebanyak 34% dan peningkatan aktivitas glutation sebesar 30% pada tikus yang
diberikan 50 mg/kg benzena selama 3 minggu. Selain yang telah disebutkan, benzena
juga diketahui meningkatkan berat hepar, penurunan kadar protein dalam hepar, dan
perubahan metabolisme obat pada hepar hewan penelitian. 8
Berdasarkan sebuah penelitian case-control pada 92 pekerja yang secara kronis
terpapar benzena (4,798 mg/m3) melalui inhalasi, ditemukan peningkatan kadar enzim
hepar (AST dan ALT). Mekanisme yang berperan diduga berupa degenerasi selular,
penurunan regulasi ekspresi gen, stres oksidatif, dan jalur lainnya.8
9. Renal
Paparan terhadap hidrokarbon terhalogenasi, hasil penyulingan petroleum,
ethylene glycol, dan dioxane dapat mengakibatkan oliguria dan azotemia. Suatu
penelitian eksperimental pada tikus yang dipaparkan benzena dengan dosis 800 mg/kg
selama 30 hari, ditemukan dampak nefrotoksik seperti peningkatan kadar blood urea
nitrogen (BUN) sebanyak 33% dan peningkatan kadar kreatinin serum sebanyak 30%.
Sebuah penelitian pada 53 pekerja kilang minyak menunjukkan bahwa paparan kronis
hidrokarbon (termasuk benzena) dalam kadar yang rendah tidak berdampak negatif
terhadap ginjal.8

9
Tabel 2.1. Daftar penelitian mengenai hubungan paparan benzena dengan dampak kesehatan.8

10
2.2 Anatomi dan Fisiologi

2.2.1 Anatomi Bone Marrow (Sumsum Tulang)

Bone marrow (Sumsum tulang) adalah organ yang bertanggung jawab untuk
produksi sel darah pada manusia dan merupakan organ terbesar keempat menurut
beratnya, yaitu setelah tulang, otot dan lemak. Pada manusia, berat sumsum tulang
sekitar 4-5% dari total berat badan. Sumsum tulang lunak dan mengisi rongga modular
osseus, terdiri dari beberapa ruang kecil antara trabekula dan rongga yang lebih besar di
12
dalam poros tulang panjang. Secara struktural, sumsum tulang terdiri dari dua unsur
utama yaitu specialized fibroblast (adventitial reticular cell) yang menyekresi kerangka
dari serat retikulin (fine collagen fibers) yang berfungsi menyokong perkembangan sel-
sel darah dan jaringan sinusoid darah yang dilapisi oleh selapis sel endotel. Sinus
vascular ini menunjuang sel-sel hemopoietik, menyalurkan ke vena sentral longitudinal
menuju ke systemic venous circulation.13

Ada dua jenis sumsum tulang, yaitu sumsum merah (hematopoietik, aktif) dan
sumsum kuning (berlemak, tidak aktif). 12 Sumsum merah ditemukan terutama di tulang
pipih, seperti tulang panggul, sternum, tengkorak, tulang iga, vertebrae dan tulang
belikat serta di ujung metafisis dan epifisis tulang panjang, seperti femur, tibia dan
humerus, dimana tulangnya bersifat concellous atau spongy.14 Warna merah dari
sumsum hematopoietik disebabkan oleh adanya hemoglobin dalam sel darah merah dan
sumber-sumbernya bersama dengan sel darah putih serta trombosit mencapai 60% dari
keseluruhannya, sisanya terdiri dari sel lemak. Sumsum kuning dibuat hampir
seluruhnya (95%) dari lemak dengan sangat sedikit unsur hematopoietik dan warnanya
berasal dari pigmen karotenoid yang ditemukan dalam sel lemak. Sel lemak sumsum
merah mengandung sedikit lebih banyak asam lemak tidak jenuh daripada sumsum
kuning. Sumsum merah terdiri dari sekitar 40% air, 40% lemak dan 20% protein,
sedangkan sumsum kuning mengandung sekitar 15% air, 80% lemak dan 5% protein. 12
Sumsum kuning ditemukan di bagian diaphysis. Pada saat seseorang mencapai usia
lanjut, hampir semua sumsum merah digantikan oleh sumsum kuning, namun sumsum
kuning dapat kembali menjadi merah jika membutuhkan sel darah merah, seperti pada
kasus kehilangan darah. 14
11
Gambar 3. Bone Marrow pada tulang panggul 14

Gambar 4. Red Marrow and Yellow Marrow 15

Pasokan arteri ke sumsum tulang sebagian besar berasal dari nutrient artery.
Pada tulang panjang, satu atau dua nutrient artery memasuki korteks tulang secara
melalui nutrient foramina yang menuju ke nutrient canals. Arteri mengalir ke tengah
medullary cavity, dimana terbagi menjadi cabang ascending dan descending yang
berjalan sejajar dengan axis tulang panjang. Hal ini menimbulkan beberapa cabang
radial yang lebih kecil meluas keluar dan ke permukaan bagian dalam korteks.
Kemudian, bercabang ke jaringan sinusoid berdinding tipis yang menyebar diantara sel-
sel lemak sumsum tulang. Selain itu, kapiler yang berasal dari nutrient artery masuk ke
haversian canals korteks, beranastomosis dengan kapiler intrakortikal, yaitu
vaskularisasi sumsum berhubungan dengan vaskularisasi tulang, dan masuk kembali ke
rongga sumsum untuk membuka sinusoid. Sinusoid akhirnya mengalir ke sinus vena
12
sentral besar dan menuju emissary veins. Hematopoiesis berlangsung di hematopoiesis
cords yang terletak di ruang ekstravaskuler antara sinusoid.12

Gambar 5. Vaskularisasi Bone Marrow12

2.2.2 Fisiologi Darah

Darah adalah suatu suspens partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami gangguan
kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Darah terdiri atas dua bagian,
bagian cair yang disebut plasma (55%) dan unsur–unsur padat yaitu sel-sel darah (45%).
Komponen plasma terdiri dari 91-92% air yang berperan sebagai medium transport dan
8-9% zat padat. Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis
sel darah putih (leukosit) dan trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transport atau
pertukaran oksigen dan karbondioksida, leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi dan
trombosit untuk hemostasis. 15,16

2.2.2.1 Hematopoiesis

Pada pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel darah merah
normal dianggap berasal dari satu sel induk (stem cell) dengan kemampuan bermitosis.
Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk myeloid yang
menjadi sel-sel progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan yang terdapat faktor
perangsang koloni, seperti eritropoietin untuk pembentukan eritrosit dan Granulocyte
13
Colony-stimulating Factor (G-CSF) untuk pembentukan leukosit. Sel progenitor
mengadakan diferensiasi melalui satu jalan, melalui serangkaian pembelahan dan
pematangan, kemudian sel-sel ini menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam
darah. Sel induk sumsum tulang dalam keadaan normal terus mengganti sel yang mati
dan memberi respons terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan
berdiferensiasi menjadi sel tertentu yang dibutuhkan. Sistem makrofag-monosit
merupakan bagian dari system hematologic dan terdiri dari monosit dalam darah dan sel
prekusornya dalam sumsum tulang. Monosit jaringan yang lebih dewasa disebut sebagai
makrofag, yaitu suatu leukosit spesifik yang bertanggung jawab atas fagositosis pada
reaksi peradangan. 16,17

Gambar 6. Maturasi sel darah (Hematopoiesis) 17

2.2.2.2 Macam-macam Hematopoiesis

1. Eritropoesis
Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua
makin kecil), perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik),
perubahan inti yaitu nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil,

14
kromatin makin padat dan tebal, warna inti gelap Tahapan perkembangan
eritrosit yaitu sebagai berikut : 15,17
a. Proeritroblas

Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri


eritrosit. Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-
20µm. Inti mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari
pada pola kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang
mencolok dan sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami
sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas.
b. Basofilik Eritroblas

Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan


diameternya rata-rata 10µm. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam
jala-jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang
nampak basofil sekali.
c. Polikromatik Eritroblas (Rubrisit)

Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah


berkali-kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan
hemoglobin yang cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang
diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya
berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya
hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam sitoplasma
yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas mempunyai jala
kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil.
d. Ortokromatik Eritroblas (Normoblas)

Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis.


Normoblas lebih kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung
inti yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya. secara bertahap
menjadi piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan
dari sel bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah
15
dikeluarkan dimakan oleh makrofagmakrofag yang ada di dalam stroma
sumsum tulang.

e. Retikulosit

Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya,


dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta
masih dapat mensintesis hemoglobin. Retikulosit dianggap kehilangan
sumsum retikularnya sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah
retikulosit dalam darah perifer normal kurang dari satu persen dari jumlah
eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama sebelum menjadi
retikulosit terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit terdapat baik pada
sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan
waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke
dalam darah.
f. Eritrosit

Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis.


Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada
manusia, sel ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari.
Jumlah normal pada tubuh laki – laki 5,4 juta/µl dan pada perempuan 4,8
juta/µl. setiap eritrosit memiliki diameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm.
Perkembangan normal eritrosit tergantung pada banyak
macammacam faktor, termasuk adanya substansi asal (terutama globin, hem
dan besi). Faktor-faktor lain, seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor
intrinsic (normal ada dalam getah lamung), yang berfungsi sebagai koenzim
pada proses sintesis, juga penting untuk pendewasaan normal eritrosit.
Pada sistem Eritropoesis dikenal juga istilah Eritropoiesis inefektif,
yang dimaksud Eritropoiesis inefektif adalah suatu proses penghancuransel
induk eritroid yang prematur disumsum tulang. Choi, dkk, dalam studinya
bahwa pengukuran radio antara retikulosit di sumsum tulang terhadap
retikulosit di darah tepi merupakan ukuran yang pentng untuk bisa
16
memperkirakan beratnya gangguan produksi SDM.
2. Granulositopoiesis16,17
 Leukosit granular

a. Mieloblas

Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari
granulositopoiesis.Diameter berkisar antara 10-15µm. Intinya yang bulat
dan besar memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti.

b. Promielosit

Sel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta
anak inti yang tak jelas.

c. Mielosit

Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada


proses diferensiasi timbul grnula spesifik, dengan ukuran, bentuk, dan
sifat terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang mengenalnya
sebagai neutrofil, eosinofil, atau basofil. Diameter berkisar 10µm, inti
mengadakan cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal kuda.

d. Metamielosit

Setelah mielosit membelah berulang-ulang, sel menjadi lebih kecil


kemudian berhenti membelah. Sel-sel akhir pembelahan adalah
metamielosit. Metamielosit mengandung granula khas, intinya berbentuk
cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang.
Karena sel-sel bertambah tua, inti berubah, membentuk lobus khusus dan
jumlah lobi bervariasi dari 3 sampai 5. Sel dewasa (granulosit
bersegmen) masuk sinusoid-sinusoid dan mencapai peredaran darah.
Pada masing-masing tahap mielosit yang tersebut di atas jumlah neutrofil
jauh lebih banyak daripada eosinofil dan basofil.

 Leukosit non-granular

17
a. Limfosit

Sel-sel precursor limfosit adalah limfoblas, yang merupakan sel


berukuran relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung
kromatin yang relatif dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya
homogen dan basofil. Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin
intinya menjadi lebih tebal dan padat dan granula azurofil terlihat dalam
sitoplasma. Ukuran selnya berkurang dan diberi nama prolimfosit. Sel-
sel tersebut langsung menjadi limfosit yang beredar.

b. Monosit

Monosit awalnya adalah monoblas berkembang menjadi promonosit. Sel


ini berkembang menjadi monosit. Monosit meninggalkan darah lalu
masuk ke jaringan, disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70
hari.

3. Trombopoiesis

Pembentukan Megakariosit dan Keping-keping darah. Megakariosit


adalah sel raksasa (diameter 30-100µm atau lebih). Inti berlobus secara
kompleks dan dihubungkan dengan benang-benang halus dari bahan
kromatin. Sitoplasma mengandung banyak granula azurofil dan
memperlihatkan sifat basofil setempat. Megakariosit membentuk tonjolan-
tonjolan sitoplasma yang akan dilepas sebagai keping-keping darah. Setelah
sitoplasma perifer lepas sebagai keping-keping darah, megakariosit
mengeriput dan intinya hancur17

2.3 Definisi anemia aplastik

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya
ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya
bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir
tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini
bisa disebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau bisa juga karena faktor
18
keturunan. Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara
maju 3-6 kasus/ 1 juta penduduk/ tahun.18

2.4 Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,


berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk per tahun. Analisis retrospektif di
Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun. The International Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25
tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kirakira 7 kasus persejuta penduduk di
Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di
Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat
belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan
dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden
pada orang Asia yang tinggal di Amerika.19

2.5 Etiologi

Penyebab penyakit anemia aplastik sebagian besar adalah idiopatik (50-70%), namun
anemia aplastik sering dikaitkan dengan paparan radiasi dan paparan bahan kimia.
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain.7

Tabel 2.2 Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.7


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
  Radiasi
  Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
     Efek regular
       Bahan-bahan sitotoksik (pestisida)

19
       Benzena
     Reaksi Idiosinkratik
       Kloramfenikol
       NSAID
       Anti epileptik
  Virus
     Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
     Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
     Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
     Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
  Penyakit-penyakit Imun
     Eosinofilik fasciitis
     Hipoimunoglobulinemia
     Timoma dan carcinoma timus
     Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
  Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
  Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplastik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
   Diskeratosis kongenita
   Sindrom Shwachman-Diamond
   Disgenesis reticular
   Amegakariositik trombositopenia
   Anemia aplastik familial
   Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
   Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

1. Radiasi
Pada paparan radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak hal tersebut akan
menyebabkan aplasia sumsum tulang. Radiasi dapat merusak DNA dimana
20
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis
sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia
aplastik.19

2. Bahan-bahan Kimia
Benzena merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia
aplastik. Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an,
benzena sering mengakibatkan keracunan pada sumsum tulang. Selain
menyebabkan keracunan sumsum tulang, benzena juga menyebabkan
abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,
metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzena dapat meracuni
tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun
terkadang benzena juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit
dengan intensitas yang kecil. Meskipun benzena sering digunakan dalam bahan
kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak
benzena juga sering digunakan sebagai bahan pelarut. 20
3. Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia
aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan
adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik
misalnya mieleran atau nitrosourea.21
4. Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus
Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi
terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia
aplastik.7Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada
sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang

21
trombositopenia.22
5. Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi.
Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh
hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari
atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan
limpa.21
Tabel 2.3 Faktor Risiko Anemia aplastik.23

Faktor risiko

Paparan Harian Tinggal atau bekerja di dekat pabrik kimia atau radiasi
pengion, tinggal di apartemen atau rumah yang baru di
renovasi.
Perilaku individu Merokok dan alkohol.

Paparan pekerjaan pabrik lem, cat mengandung benzena, pewarna, thinner,


pelumas, uranium mineral, metanol, formaldehyde, debu,
petroleum, pestisida, dan radiasi.
Status kesehatan riwayat hepatitis, riwayat kelahiran, riwayat paparan bahan
individu kimia pada saat hamil.
Riwayat penyakit riwayat keluhan yang serupa, riwayat penyakit hematologi dan
keluarga tumor.

2.7 Patofisiologi Anemia Aplastik

Dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat paparan benzena secara akut, yaitu
menyebabkan gangguan pada sistem saraf, kurangnya suplai oksigen ke otak, pusing,
denyut jantung yang cepat, sakit kepala, tremor, kebingungan dan juga pingsan. Paparan
benzena secara kronis dapat menyebabkan anemia. 24 Salah satu dampak lanjut dari
kerusakan sumsum tulang adalah risiko terjadinya penurunan jumlah elemen sel darah
secara progresif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rothman et al, terjadi
penurunan parameter hematologi (sel darah merah, sel darah putih, hematokrit) selama
pekerja terpapar oleh benzena. Pada penelitian Robbins et al, benzena dapat

22
menyebabkan kegagalan sel induk myeloid yang mengakibatkan berkurangnya produksi
hemoglobin dan sel darah merah.25

Anemia aplastik ditandai dengan hilangnya atau disfungsi sel induk dan sel
progenitor hematopoietik. Hal tersebut melibatkan hilangnya jumlah sel induk secara
kuantitatif dan kelainan kualitatif dalam fungsi sel induk. Tiga garis keturunan yang
berasal dari sel hematopoietik berkurang secara signifikan pada pasien anemia aplastik,
sedangkan sel non-hematopoietik dan adiposit meningkat dalam proliferasi. Selain itu,
adanya peningkatan apoptosis sel progenitor sumsum tulang pada pasien anemia
aplastik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Maciejewski et al, apoptosis dimediasi
Fas pada sel progenitor CD34 + menyebabkan penipisan sel induk hematopoietik. Fas
merupakan reseptor Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dalam kondisi fisiologis, Fas
diekspresikan pada beberapa permukaan sel, termasuk sel T yang teraktivasi, sel B,
monosit dan granulosit untuk mengatur proliferasi dan atau clearance. 26

Mekanisme patogenetik lain untuk anemia aplastik mungkin melibatkan


microenvironment sumsum tulang yang abnormal. Sel endosteal, vascular dan
perivascular membentuk microenvironment sumsum tulang dan berperan penting
dengan sel induk hematopoietik dalam hematopoiesis. Endosteum niche cells
menyediakan microenvironment sel induk hematopoietik dengan mengeluarkan molekul
regulasi dan sitokin, sedangkan vascular niche mengatur proliferasi, diferensiasi dan
mobilisasi sel induk hematopoietik. Menurut Liangliang Wu et al, pasien anemia
aplastik memiliki sedikit sel endosteal, sel vascular dan sel perivascular. Sel niche
membentuk sebagian kecil dari sel progenitor tulang non-hematopoietik yang disebut
sel induk mesenchymal. Sel induk mesenchymal di sumsum tulang mengeluarkan
interleukin (IL)-6, IL-11, IL-12 dan flt-3 Ligands yang mempengaruhi proliferasi,
diferensiasi dan pembaruan sel induk hematopoietik, selain itu juga mengeluarkan
chemokine (CXCL)-12 yang mengatur adhesi, ekspansi dan migrasi dari sel induk
hematopoietik, yang nantinya akan mengeluarkan beberapa mediator yang dapat larut
seperti intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang berinteraksi dengan sel T
untuk mengatur respon imunitas. Pada pasien anemia aplastic sel induk mesenchymal
sumsum tulang mengurangi proliferasi dan imunosupresi dari mixed lymphocyte
23
reaction (MLR) dan pelepasan IFN-γ. Anemia aplastik cenderung berdiferensiasi
menjadi adiposit yang mempengaruhi proliferasi dan pembaruan sel induk
hematopoietik, sehingga mengakibatkan kegagalan sumsum tulang dan hilangnya sel
hematopoietik. 26

2.7 Manifestasi Klinis


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal
maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di
kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Manifestasi klinis pada pasien
dengan anemia aplastik dapat berupa :18

1. Sindrom anemia

a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas intoleransi
terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata berkunang
kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi
berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut kembung,
enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
d. Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah, rambut
tipis dan kekuning kuningan
2. Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan organ
dalam lebih jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.

24
3. Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris, sepsis
atau syok septik

2.8 Penegakan Diagnosis

Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia tanpa adanya


keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis pada anemia
aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group
(IAASG) antara lain :18

1. Satu dari tiga kriteria dibawah ini :


a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
b. Trombosit kurang dari 50x109 /L
c. Leukosit kurang dari 3,5x109 /L atau netrofilkurang dari 1,5x109 /L
2. Dengan retikulosit kurang dari 30x109 /L
3. Dengan gambaran sumsum tulang:
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoeitik atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan
deplesi seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fobrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

2.8.1 Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium yang didapatkan yaitu :

1. Penemuan pada darah.


Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam.
Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit
biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis
mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit
sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid
yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda

25
menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutrofil. Platelet juga mengalami
pengurangan, tetapi fungsinya masih normal. Penemuan lainnya yaitu besi
serum normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF
meningkat.18,20
2. Penemuan pada Sumsum Tulang.
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang
lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan
sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari
kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini.20

Gambar 7 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien anemia aplastik 20

Gambar 8 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal 20

3. Penemuan Radiologi.
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk
membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik
26
morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari
anemia aplastik.20

2.9 Diagnosa Banding

Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia dibagi menjadi dua bagian yaitu
1. Kelainan pada sumsum tulang
 Anemia aplastik
 Myelodisplastik
 Leukemia akut
 Myelofibrosis
 Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemi
 Anemia megaloblastik
2. Kelainan bukan sumsum tulang
 Hipersplenisme
 Sistemik lupus eritematosus
 Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
 Sepsis berat
 Hipotiroid
a. Myelodisplastik

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan
anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat
morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan
anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).20
27
b. Leukemia Akut

Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya
sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.18

c. Idiopathic Myelofibrosis.

Dua keistimewaan Idiopathic myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari


menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum
tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen, dengan
megakariosit yang mencolok. 22

2.10 Tatalaksana18

Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas


1. Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering
hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
yang tidak dapat dikoreksi.
2. Terapi suportif
Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia. Terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang. Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan
dapat merangsang pertumbuhan sumsum tulang :
a. Anabolik Steroid: oksimetolon atau atanozol. Efek terapi diharapkan
muncul dalam 6-12 minggu.
b. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah : prednison 40-100 mg/hr,
jika dalam 4 minggu tidak ada perbaikan maka pemakaiannya harus
dihentikan karena efek sampingnya cukup serius
c. GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah
28
netrofil.
3. Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi tersebut terdiri atas dua macam pilihan :
a. Terapi Imunosupresif
Pemberian anti lymphocyte globuline : anti lymphocyte globulin (ALG)
atau anti thymocyte globuline (ATG). Pemberian ALG merupakan
pilihan utama untuk pasien yang berusia di atas 40 tahun.
b. Transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang
memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan yang canggih, serta adanya kesulitan tersendiri
dalam mencari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang yaitu :
- Merupakan pilihan untuk pasien usia < 40 tahun.
- Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus
hostdisease).
- Memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60-70% kasus.

29
Gambar 9. Algoritma Tatatalaksana Anemia aplastik.27

2.11 Komplikasi Anemia Aplastik

Komplikasi yang paling umum dari anemia aplastik, yaitu perdarahan, sepsis, kegagalan
cangkok sumsum (terjadi setelah transplantasi sumsum tulang) atau tranformasi ke
kelainan limfoproliferatif. Hal ini dapat ditangani dengan pengawasan dan pengobatan
simptomatik, seperti antibiotik, kemoterapi dan atau transfusi.28
30
2.12 Prognosis

Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi
tiga, yaitu :

a. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (10-15% kasus)
b. Pasien dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse dapat
meninggal dalam 1 tahun (50% kasus)
c. Pasien yang mengalami remisi sempurna atau parsial (sebagian kecil pasien).
Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25% dari pasien meninggal
dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada pasien yang
mengalami transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya adalah 70-90%,
walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang
mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang
intensif memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood Count pada 78% pasien
dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari pasien kambuh setelah 2 tahun.18

2.12 Manajemen Pengendalian


Hierarki Pengendalian Bahaya dalam OHSAS antara lain : 29

1. Eliminasi – memodifikasi desain untuk menghilangkan bahaya misalnya


memperkenalkan perangkat mengangkat mekanik untuk menghilangkan
penanganan bahaya manual;

2. Subtitusi – pengganti bahan kurang berbahaya atau mengurangi energi sistem


misalnya, menurunkan kekuatan, ampere, tekanan, suhu, dll

3. Kontrol teknik / Perancangan – menginstal sistem ventilasi, mesin penjagaan,


interlock, dll .;

4. Kontrol administratif – tanda-tanda keselamatan, daerah berbahaya tanda, tanda-


tanda foto-luminescent, tanda untuk trotoar pejalan kaki, peringatan sirene /
lampu, alarm, prosedur keselamatan, inspeksi peralatan, kontrol akses, sistem
yang aman, penandaan, dan izin kerja, dll .;

31
5. Alat Pelindung Diri (APD) – kacamata safety, perlindungan pendengaran,
pelindung wajah, respirator, dan sarung tangan.

Pengendalian Benzena di tempat kerja30,31


• Melindungi dari toksisitas benzena, perlu dilakukan pengukuran dan analisis
bahaya pekerjaan, menentukan risiko di tempat kerja, dan mengambil tindakan
teknis yang di perlukan serta administratif.

• Dalam pemeriksaan awal kerja dan pemeriksaan berkala, evaluasi hematologi


diperlukan bagi pekerja yang terpapar benzena.

• Pemasangan ventilasi yang cukup

• Penyediaan ruang isolasi pengecatan dan pengeringan

• Pelatihan harus diberikan secara teratur untuk para pekerja

• Edukasi agar para pekerja tidak membersihkan diri menggunakan pengencer cat

• Melakukan pelatihan metode kerja.

• Penggunaan alat pelindung diri yang relevan sangat penting untuk mencegah
paparan benzena. Alat pelindung diri yang digunakan antara lain coverall,
masker respirator, goggles, sarung tangan, sepatu.

32
BAB III

DISKUSI KASUS

3.1 Ilustrasi Kasus

Tn.A, 38 tahun datang ke Poli RS.X dengan keluhan merasa lemah hingga
mengganggu aktivitas sejak 3 hari yang lalu. Rasa lemah dirasakan terus menerus.
Rasa lemah dirasakan saat beraktifitas dan membaik saat istirahat. Rasa lemah
disertai dengan pusing, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, wajah pucat dan mudah
kedinginan. Terdapat demam sejak 3 hari yang lalu. Demam naik turun. Riwayat
berpergian ke daerah endemis disangkal. Pasien merasa lebih mudah flu dan batuk
serta mudah mimisan. Nafsu makan dan berat badan menurun namun tidak
signifikan. Riwayat batuk lama disangkal. Tidak ada gangguan BAB dan BAK.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit hematologi
pada keluarga disangkal, dan riwayat pengobatan disangkal. Pasien memiliki riwayat
33
merokok selama 11 tahun dan konsumsi alkohol disangkal. Pasien sehari-hari bekerja
sebagai operator cat di perusahan otomotif kecil selama 23 tahun. Perusahaan
tersebut tidak menyediakan APD dan tidak membuat MSDS, sehingga pasien tidak
menggunakan APD selama bekerja.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia. Hasil pemeriksaan X-
Ray dan CT Scan Thoraks tidak ditemukan kelainan. Pada USG Abdomen tidak
ditemukan hepatosplenomegali. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan hypocelluler
bone marrow dan pemeriksaan histokimia CD34 (+)<1%, mast extracellular
CD117(+) ratio <1%, myeloperoxidase (+) and reticular fiber grade of 0. Pasien
didiagnosis mengalami anemia aplastik dan sudah dilakukan transplantasi sumsum
tulang. Saat ini pasien sudah berhenti bekerja.

3.2 7 Langkah Penegakan Diagnosis Okupasi

1. Langkah 1 : Menentukan Diagnosis Klinis


Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia tanpa adanya
keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnostik
anemia aplastik berdasarkan International Agranulocytosis and Aplastic Anemia
Study Group ( IAASG ) yaitu :18
1. Satu dari tiga kriteria dibawah ini :
a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
b. Trombosit kurang dari 50x109 /L
c. Leukosit kurang dari 3,5x109 /L atau netrofil kurang dari 1,5x109 /L
2. Dengan retikulosit kurang dari 30x109 /L
3. Dengan gambaran sumsum tulang:
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoeitik atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal
dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasilnya sebagai
berikut :31

34
 Hemoglobin 8,9 g/dL → anemia
 Leukosit 1200 /uL → Leukopenia
 Neutrofil 500 /uL → Neutropenia
 Limfosit 400 /uL→ Limfositopenia
 Trombosit 13000 /uL→ Trombositopenia
 Biopsi sumsum tulang : hypocelluler bone marrow

2. Langkah 2 : Menentukan Pajanan yang Ada di Lingkungan

Pasien merupakan operator cat pada Perusahaan otomotif kecil. Di tempat kerja,
pasien melakukan persiapan permukaan dengan membersihkan permukaan dengan
thinner, dikeringkan lalu diamplas, lalu membersihkan permukaan dari debu amplas
dengan thinner dan dikeringkan. Setelah itu, dilakukan masking dengan menutupi
bagian permukaan yang tidak dicat menggunakan plastik dan lakban kertas. Selanjutnya
mengoperasikan spray gun dengan cara operator memposisikan spray gun dengan jarak
15-20 cm tegak lurus dengan permukaan yang akan dicat. Spray gun disemprotkan dan
digerakkan dengan stabil. Pengecetan diawali menggunakan cat dasar (primer). Setelah
cat dasar kering kemudian ditimpa dengan cat warna yang diinginkan. Diakhiri dengan
cat bening. Kemudian cat dibiarkan mongering. Selanjutnya dilakukan pemolesan yaitu
hasil pengecatan yang tidak rata (kasar) dihaluskan menggunakan amplas dan polishing
compound. Terakhir dibilas dengan air bersih.32 Selama proses pengecatan, pasien
terpapar uap benzena sebesar 36 ppm dan sebesar 18 ppm pada proses pengeringan.33

Pasien selalu menghirup uap cat yang sangat menyengat pada saat bekerja
dikarenakan pasien tidak mengunakan APD. Salah satu komposisi bahan kimia yang
ada didalam cat adalah benzena.32 Benzena merupakan bahan kimia yang mudah
menguap, sehingga paparan paling umum terjadi secara inhalasi dan sebagian kecil
secara ingesti serta kontak kulit. Selain itu, pajanan benzena lebih mudah terdeposit dan
terakumulasi dalam organ-organ penting manusia seperti otak, hati, paru, ginjal, dan
organ lainnya. 20

35
36
3. Langkah 3 : Menentukan Hubungan Pajanan di Lingkungan Kerja dengan Penyakitnya

Tabel 3.1 Jurnal pendukung hubungan pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya

Judul Tahun Lokasi Partisipan Hasil Peneliti


Aplastic anemia in Automotive 2020 Turki Laporan Pada kasus penyebab anemia aplastic Kurtul Seher,
Paint Shop Worker kasus akibat paparan benzena dan
Türk Meral
turunannya selama proses pengecatan
yang dilakukan tanpa mengunakan
APD
Haematologic evaluation of 2017 Iran 80 pekerja Paparan benzene pada pekerja Harati Bahram,
painting hall workers in an cat pengecatan memiliki risiko lebih Shahtaheri Seyed
automobile manufacturing tinggi yang dapat menyebabkan Jamaleddin, Karimi
company gangguan hematologi, leukemia, dan Ali, Azam Kamal,
limfoma. Harati Ali, Ahmadi
Alireza, Rad
Maryam Afzali

37
4. Langkah 4 : Menentukan kecukupan Jumlah Pajanan Untuk Dapat
Menyebabkan Terjadinya Penyakit

Pada pekerja harus diperhatikan mengenai nilai ambang batas maksimal pajanan suatu
zat atau bahan. Menurut NIOSH nilai ambang batas benzena ditempat kerja adalah 0,1
ppm. Menurut OSHA nilai regulasi paparan benzena adalah 1 ppm. 3 Sementara menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor
PER/13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat
Kerja, nilai ambang batas dari benzena adalah 0,5 ppm.5 Pasien sudah bekerja selama 23
tahun, dengan jumlah jam kerja 8 jam dalam sehari. Selain itu, kondisi ruangan kerja
pasien tidak ada ventilasi yang cukup, sehingga udara yang tercemar oleh benzena
akan semakin sering terhirup. Kondisi lain pekerja tidak menggunakan APD seperti
masker saat diruangan kerja akan mempercepat masuknya udara yang bercampur
benzena ke dalam saluran pernapasan.

5. Langkah 5 : Menentukan Adanya Faktor Individu

Pada pasien ini memiliki riwayat merokok satu bungkus sehari selama 11 tahun.
Sebelumnya pasien tidak memiliki keluhan yang serupa dan tidak pernah
mengkonsumsi obat-obatan. Pasien selama bekerja tidak menggunakan APD.

6. Langkah 6 : Menentukan Faktor di Luar Pekerjaan yang Dapat Menyebabkan


Penyakit

Pada pasien ini tidak ditemukan adanya faktor lain diluar pekerjaan yang dapat
menyebabkan rasa lemah hingga menganggu aktifitas.

7. Langkah 7 : Menentukan Diagnosis PAK atau Bukan PAK

Suatu diagnosis Penyakit akibat kerja (PAK) ditegakkan apabila langkah – langkah 1 –
4 sudah terpenuhi dengan jelas, dan tidak terdapat pencetus pada langkah 5 dan 6
(faktor individu dan faktor diluar pekerjaan). Apabila ditemukan faktor pada langkah 5
dan 6, maka diagnosis PAK perlu untuk dipertimbangkan lagi. Pada kasus diatas anemia
aplastik merupakan PAK pada pekerja di perusahaan kecil otomotif akibat paparan
benzena.
38
3.3 Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada
Kasus30,31

Gambar 10. Hirarki Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja29

1. Eliminasi
Eliminasi tidak dapat diterapkan pada kasus ini.
2. Substitusi
Mengganti cat berpelarut benzena dengan cat berpelarut heptana
3. Engineering control
Pada pengendalian dilakukan dengan pemasangan ventilasi, isolasi ruang
pengecatan dan pengeringan di lingkungan kerja.
4. Administrative control
Pengendalian dilakukan dengan melakukan edukasi Kesehatan
Keselamatan Kerja (K3), membuat rotasi shift kerja, melakukan pelatihan
metode kerja, dan membuat MSDS perusahaan.
5. Alat Pelindung Diri
Pemakaian masker respirator dapat mengurangi uap cat yang terhirup,
coverall, sarung tangan, dan sepatu kerja dapat mengurangi pajanan cat
yang mengenai kulit, serta goggle dapat mengurangi pajanan yang
mengenai mata.

39
BAB IV

KESIMPULAN

Benzena merupaka senyawa kimia yang digunakan dalam berbagai industri. Efek
penggunaan benzena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan salah satunya
adalah sistem hematologi. Benzena dapat meracuni tubuh dengan cara dihirup dan
dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzena juga dapat meresap melalui
membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil. 20 Paparan kronis benzena
berhubungan dengan penurunan hemoglobin, jumlah trombosit, dan jumlah leukosit.
Paparan benzena secara kronis merupakan faktor risiko terjadinya penyakit hematologis
seperti anemia aplastik dan leukemia.8

Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia yang merupakan
suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia pada
darah tepi.6 Gejala-gejala yang timbul antara lain lemah, palpitasi, takikardi, pucat,
perdarahan, dan infeksi. Tatalaksana yang diberikan yaitu kortikosteroid, transfusi
tulang, dan transplantasi sumsum tulang.18 Pencegahan anemia aplastik pada pekerja
akibat paparan benzena adalah isolasi ruang pengecatan dan pengeringan, pemsangan
ventilasi, rotasi shift kerja, pelatihan metode pekerja, dan penggunaan APD.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Maywati S, Siti N. Hubungan Faktor Pemajanan (Masa Kerja Dan Ventilasi)


Dengan Kandungan Fenol Urin Pekerja Bagian Pengeleman Pada Industri
Sandal Kota Tasikmalaya. 2011. Jurnal KESMAS 4 (2): 70-75
2. Agency for Toxic Substance and Disease Registry (ASTDR). Toxicological
Profiles for Benzena. US Departement of Health and Human Services, Public
Health Services, Atlanta, Georgia, USA. 2015.
3. Benzena Safety Data Sheet. Airgas. 2020;1:1-12
4. Rose V.Cohrssen. Patty’s Industrial Hygiene & Toxicology. John Willey & Sons
Inc. 6th ed. 2011.
5. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun
2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat
Kerja. Indonesia. 2011
6. Dinca AL, Marginean OC, Melit LE, Damian R, Chincesan M. Aplastic anemia:
therapeutic and deontological aspects. Romanian J of Pediatric. 2016; 65(1): 56-
9.
7. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 20th ed. New York: McGraw Hill, 2018:617-25.
8. Bahadar H, Mostafalou S, Abdollahi M. Current understandings and
perspectives on non-cancer health effects of benzena: A global concern.
Toxicology and Applied Pharmacology. 2014;2:1-12.
9. Galbraith D, Gross SA, Paustenbach D. Benzena and human health: A historical
review and appraisal of associations with various diseases. Critical Reviews in
Toxicology. 2010;40(S2):1-46.
10. Arnold SM, Angerer J, Boogaard PJ, Hughes MF, et al. The use of
biomonitoring data in exposure and human health risk assessment: benzena case
study. Critical Reviews in Toxicology. 2013;43(2):119-53

41
11. Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemicals
(GHS), 4th Edition. New York: United Nations. 2011.
12. Moulopoulos LA, Koutoulidis V. Bone Marrow MRI: A Pattern-Based
Apprarch. Italia: Springer-Verlag. 2015. p1-6
13. Wiradharma D, Pusparini, Alvina. Konsep Dasar Imunologi. Jakarta : Sagung
Seto. 2017. p7-8
14. Panchbhavi VK. Bone marrow anatomy. Page available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1968326-overview#showall. Accessed
on Sep 2020.)
15. Lichtman MA, Koury MJ. Williams hematology: Structure of the marrow and
the hematopoietic microenvironment. In: Kaushansky K, Lichtman MA, Beutler
E, Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal JT, eds. 8th ed. New York : McGraw-Hill.
2010. p 62–104
16. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 6th
ed. Jakarta : EGC. 2012. p247-249
17. Ward JM, Cherian S, Linden MA. Comparative Anatomy and Histology:
Hematopoietic and Lymphoid Tissues. Elsevier. 2018. P 365-401
18. Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. EGC: Jakarta. 2013. p: 98-109.
19. Aru W. Sudoyo, Siti Setiati, Idrus Alwi Dkk. Anemia Aplastik. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2016.
p. 637-43
20. Kaushansky K. Williams Hematology. USA: The McGraw-Hill Companies.
2010. H 463-465.
21. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi V. Jakarta pusat : Interna Publishing;2011. H. 1109-15.
22. Ronald Hoffman MD,Edward J. Benz Jr. MD,dkk Hematology : Basic
Principles and Practice 7th ed. 2018;153-68.
23. Wu LQ, Shen YY, Zhang Y, et al. Multiple risks analysis for aplastic anemia in
Zhejiang, China: A case-control study. Medicine (Baltimore). 2019;98(8)
24. Sipayung LP, Suryanto D, Megawati ER. Korelasi paparan benzena dengan
gambaran complete blood count Karyawan SPBU X dan Y. Jurnal MKM. 2016;
42
12(2): h82-90
25. Nikmah WI, Yusniar HD, Budiyono. Hubungan antara paparan benzena dengan
profil darah pada pekerja di industry percetakan X kota Semarang. JKM. 2016;
4(5): h213-20.)
26. Wang L, Liu H. Pathogenesis of aplastic anemia. Hematology. 2019; 24(1):
p559-66.)
27. Moldovianu AM, Popp A, Varady Z, Tanase A, Marculescu A, Dobrea C,
Vasilache D et al. Update in acquire aplastic anemia: Can we do more for our
patients. Documenta Haematologica.2015;34(1-2):1-31
28. Moore CA, Krishnan K. Aplastic anemia. Page available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534212/. Accessed on Sep 2020.)
29. Identifikasi bahaya, penilaian risiko & pengendalian risiko di tempat kerja"
.WorkSafe Victoria . Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-23 . Accesed On
Okt 2020
30. Elisa, Nine. Analisis Risiko Paparan Benzene terhadap Kadar Fenol dalam Urin
pada Pekerja Pengecatan Mobil di Kabupaten Wonogiri. Universitas
Diponegoro. 2010
31. Kamal A, Rashid A. Benzena Exposure Among Auto-Repaır Workers From
Workplace Ambıence: A Pioneer Study From Pakistan. Int J Occup Med
Environ Health 2014;27(5):830–9.
32. Salihoglu G, Salihoglu NK. A review on paint sludge from automotive
industries: Generation, Characteristics, and Manajemen. J JENVMAN.
2016;16(9):223-35.
33. Jahangiri M, Adl J, Shahtaheri SJ, Kakooe H, et al. Air monitoring of aromatic
hydrocarbons during automobile spray painting for developing change schedule
of respirator cartridges. J Environ Health Sci Eng. 2014;12:41.

43
LAMPIRAN
Berkas Okupasi

Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan : Klinik Okupasi

No Berkas : 15125

No Rekam Medis : 00265432

Data Administrasi

Tanggal : 02 Oktober 2020 diisi oleh Nama: Joko Nugroho NPM/NIP:030102673

Nama Tn. A

Alamat Jalan Permata

Umur 38 tahun Tempat/tanggal lahir: Turki, 18 Agustus 1982

Kedudukan dalam keluarga Kepala keluarga

Jenis kelamin Laki-laki

Agama Islam

Pendidikan SMA

Pekerjaan Operator cat Nama Perusahaan : CV.X


otomotif

Industri jenis : Otomotif


Status perkawinan Menikah

Kedatangan yang ke Pertama

Telah diobati sebelumnya


Diagnosis sebelumnya : -
Obat yang telah dipakai : -

Alergi obat Tidak ada

Sistem pembayaran Pribadi ( umum )

41
Data Pelayanan

I. ANAMNESIS (subyektif dilakukan secara autoanamnesis, dan alloanamnesis


dengan istri dan rekan kerja pasien)

Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 2 Oktober 2020

A. Alasan kedatangan/keluhan utama:


Merasa lemah hingga mengganggu aktifitas sejak 3 hari yang lalu.
B. Keluhan lain /tambahan :
Mudah lelah, pusing, sulit berkonsentrasi, pucat, badan dingin, demam.
C. Riwayat perjalanan penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemah pada seluruh tubuh dan mengganggu
aktifitas sejak 3 hari yang lalu. Rasa lemah dirasakan terus menerus. Rasa
lemah dirasakan saat beraktifitas dan membaik saat istirahat. Rasa lemah disertai
dengan pusing, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, wajah pucat dan mudah
kedinginan. Terdapat demam sejak 3 hari yang lalu. Demam naik turun. Riwayat
berpergian ke daerah endemis disangkal. Pasien merasa lebih mudah flu dan
batuk serta mudah mimisan. Nafsu makan dan berat badan menurun namun
tidak signifikan. Riwayat batuk lama disangkal. Tidak ada gangguan BAB dan
BAK.
D. Riwayat penyakit dahulu:
Tidak ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
F. Anamnesis Okupasi
1. Tuliskan jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan Bahan/ material Tempat kerja Masa kerja


(Perusahaan)
yang digunakan (dalam bulan /tahun)
Operator cat Benzena CV.X 23 tahun
otomotif Resin
Pewarna
2. Thinner
Uraian Barium Sulfat
Acrylic

42
Tugas

Urutan pekerjaan pasien sebagai berikut:


- Persiapan permukaan : membersihkan permukaan dengan thinner, dikeringkan
lalu diamplas. Membersihkan permukaan dari debu amplas dengan thinner dan
dikeringkan
- Masking : menutupi bagian permukaan yang tidak dicat menggunakan plastik
dan lakban kertas
- Mengoperasikan spray gun : operator memposisikan spray gun dengan jarak 15-
20 cm tegak lurus dengan permukaan yang akan dicat. Spray gun disemprotkan
dan digerakkan dengan stabil. Pengecetan diawali menggunakan cat dasar
(primer). Setelah cat dasar kering kemudian ditimpa dengan cat warna yang
diinginkan. Diakhiri dengan cat bening.
- Cat dibiarkan mengering
- Pemolesan : hasil pengecatan yang tidak rata (kasar) dihaluskan menggunakan
amplas dan polishing compound.
- Dibilas dengan air bersih

43
Urutan kegiatan Bahaya Potensial Gangguan Risiko
(tuliskan urutan sesuai kesehatan yang kecelakaan
bagan alur di no 2) mungkin kerja

Biologi 3. Bahaya
Fisik Kimia Ergonomi Psikososial
Potensial
( Persiapan permukaan - Debu - Uap dan - - membungkuk - - Rhinitis potential
Luka
- Gesekan percikan - gerakan - Konjuntivitis hazard)
thinner monoton - Dermatitis Kontak dan risiko
(Toluene, dan berulang. - LBP kecelakaan
Xylene, - Posisi statis - RSI
kerja pada
Methanol, - Pneumonia
Acetone, pekerja
Methyl serta pada
ethyl lingkungan
ketone) kerja

Masking - - - - - - -
Mengoperasikan spray - - Uap dan - - membungkuk - - Anemia aplastik Trauma kimia pada
gun percikan - Leukemia akut mata
cat - Konjungtivitis
(Benzene, - keratitis Trauma akibat
Barium - LBP ledakan kompresor
sulfat, - Pneumonia
Polyester - Dermatitis kontak
Resin,
Toluene,
Acrylic)
Cat dibiarkan mengering - uap cat - - - - Anemia aplastik
(Benzene, - Konjungtivitis
Barium
sulfat,
Polyester
Resin,
Toluene,
Acrylic)
Pemolesan - Debu - - - membungkuk - - LBP 44
- Gesekan - gerakan
monoton
dan berulang.
- Posisi statis
45
4. Hubungan pekerjaan dengan penyakit yang dialami (gejala / keluhan yang
ada)

Paparan benzena dari resin dan pelarut cat pada saat pengoperasian spraygun dan
pengeringan cat menjadi penyebab terjadi anemia aplastik pada pasien.

5. Body Map of Discomfort

Keterangan :
1. Tanyakan kepada pasien atau pasien dapat mengisi sendiri
2. Isilah : keluhan yang sering dirasakan oleh pasien dengan memberti
tanda/mengarsir bagian- bagian sesuai dengan gangguan muskulo skeletal
yang dirasakan pasien
Tanda pada gambar area yang dirasakan :
Kesemutan = x x x Pegal-pegal = / / / / /
Baal = vvv Nyeri = /

46
6. B R I E F  SURVEY
Berikan tanda ‘√’ pada bagian kanan atau kiri sesuai dengan hasil anamsesis /
observasi

Kesimpulan :

47
I. PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda Vital

a. Nadi : 115 kali/menit c. Tekanan Darah (duduk) : 130/90 mmHg

b. Pernafasan : 24 kali/menit d. Suhu Badan : 38,5 C

2. Status Gizi

a. Tinggi Badan : 167 cm


Berat Badan : 60 Kg
IMT : 21.51 kg/m2
b. Lingkar Perut : 85 cm
c. Bentuk Badan : normal

3. Tingkat Kesadaran dan Keadaan Umum

a.Kesadaran : composmentis

b.Kualitas Kontak : baik

c.Tampak Kesakitan : sakit sedang

d.Berjalan ada gangguan : tidak ada

4. Kelenjar Getah Bening Jumlah, Ukuran, Perlekatan, Konsistensi

a. Leher : Tidak teraba membesar

b. Submandibula : Tidak teraba membesar

c. Ketiak : Tidak teraba membesar


d. Inguinal : Tidak teraba membesar

5. Kepala
a.Tulang : Jejas (-), Krepitasi (-)
b.Kulit Kepala : Jejas (-)
c.Rambut : Warna hitam, tak mudah di cabut, distribusi merata
d. Bentuk wajah : Normocephal, simetris

48
6. Mata mata kanan mata-kiri Ket

a. Persepsi Warna : t.a.k t.a.k

b. Kelopak Mata : t.a.k t.a.k

c. Konjungtiva : anemis anemis

d. Kesegarisan / GBM : t.a.k t.a.k

e. Sklera : t.a.k t.a.k

f. Lensa Mata : t.a.k t.a.k

g. Kornea : t.a.k t.a.k

h. Iris :
t.a.k t.a.k

i. BuluMata : t.a.k t.a.k

j. Tekanan Bola Mata : tidak dilakukan tidak dilakukan

k. Penglihatan 3 dimensi :
t.a.k t.a.k

l. Visus Mata :tanpa koreksi : tidak dilakukan tidak dilakukan

49
7.Telinga Telinga kanan Telinga kiri
a. Daun Telinga : t.a.k t.a.k

b. Liang Telinga :

- Serumen : (-) (-)


c. Membrana Timpani : t.a.k t.a.k

d. Test Berbisik : tidak dilakukan tidak dilakukan

e. Test Garpu tala Rinne : tidak dilakukan Tidak dilakukan

f. Weber : tidak dilakukan Tidak dilakukan

g. Swabach :
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
h.Lain – lain : tidak dilakukan

8. Hidung

a. Meatus Nasi : t.a.k


b. Septum Nasi : t.a.k
c. Konka Nasal : t.a.k
d. Nyeri Ketok Sinus : tidak dilakukan
e. Penciuman : Normal

9. Mulut dan Bibir

a. Bibir : lembab, sianosis (-/-), pucat (+)


b. Lidah : t.a.k
c. Gusi : t.a.k
Lain-lain :

10. Gigi dan gusi

50
8 7654321 12345678
8 7654321 12345678

11. Tenggorokan

a. Pharynx : t.a.k

b. Tonsil :
hiperemis (-)
Kanan : Kiri :
Ukuran :
T1

c. Palatum : t.a.k

d. Lain- lain :

12. Leher

a. Gerakan leher : t.a.k

b. Otot-otot leher : t.a.k

c. Kelenjar Thyroid : t.a.k

d. Pulsasi Carotis : Normal

51
e. Tekanan Vena Jugularis :
tidak meningkat

f. Trachea : ditengah

g. Lain-lain : …..

13. Dada

a. Bentuk :
Normal

b. Lain – lain :

14. Paru- Paru dan Jantung

Kanan

a. Palpasi Fremitus vokal

b. Perkusi Sonor

Iktus Kordis :

Batas Jantung
normal

c. Auskultasi : vesikuler kedua lapang paru, ronki(-/-),


wheezing (-/-)
Bunyi Napas tambahan (-/-)

Bunyi Jantung : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

15. Abdomen

52
a. Inspeksi : perut datar, simetris

b. Palpasi : nyeri tekan (-),

c. Perkusi : timpani, nyeri ketuk (-)

d. Auskultasi: Bising Usus : (+) normal

e. Hati : tidak teraba

f. Limpa : tidak teraba

g. Ginjal : Tidak teraba

h. Ballotement : (-)
i. Nyeri costo vertebrae : (-)

16. Genitourinaria

a. Kandung Kemih : tak dilakukan pemeriksaan

b. Anus/Rektum/Perianal : tak dilakukan pemeriksaan


c Genitalia Eksternal : tak dilakukan pemeriksaan
d. Prostat (khusus Pria) : tak dilakukan pemeriksaan

17. Vertebra Normal

Kanan Kiri
18. Tulang/sendi Ekstremitas atas
- simetris kanan dan kiri : simetris
- gerakan : t.a.k t.a.k

53
Range of motion :
Abduksi- Neer’s test : t.a.k
Adduksi – Hawkin’s test : t.a.k
Drop Arm test : t.a.k
Yergason test : t.a.k
Speed test : t.a.k
- Tulang : t.a.k
- Sensibiltas : +/+
- Oedem : (-)
- Varises : (-)
- Kekuatan otot : 5555/5555
- Pemeriksaan Phalllen test : tak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Thinnel test : tak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Finskeltein test : tak dilakukan pemeriksaan
- Vaskularisasi : dalam batas normal
- Kelainan kuku/jari : t.a.k
- Akral dingin

19. Tulang / Sendi Ekstremitas Bawah

- Simetri kanan dan kiri : simetris

- Gerakan :

Test Laseque : t.a.k


Test Kernique : t.a.k
Tes Patrick : t.a.k
Tes Kontra Patrick : t.a.k
Nyeri tekan : t.a.k

- Kekuatan otot : 5555/5555


- Tulang : t.a.k
- Sensibilitas : +/+
- Oedema : tidak terdapat
- Varises : tidak terdapat
- Vaskularisasi : dbn
54
- Kelainan kuku/jari : t.a.k
- Akral dingin

20. Otot Motorik

1. Trofi : normotrofi

2. Tonus : dbn

Kekuatan : 5555/5555 Gerakan abnormal : tidak terdapat gerakan


5555/5555 abnormal

21. Fungsi Sensorik dan Otonom

Fungsi Sensorik : dbn


Fungsi Otonom : dbn
22. Saraf dan Fungsi Luhur

Daya Ingat Segera : dbn Jangka Pendek : dbn


Jangka Menengah : dbn Jangka Panjang : dbn
Orientasi waktu : t.a.k
Orientasi orang : t.a.k
Orientasi tempat : t.a.k

Kesan saraf otak


N I (Olfaktorius/Penciuman) : t.a.k

NII (Optikus/Penglihatan) : t.a.k

NIII(Okulomotorius) : t.a.k

NIV(Trokhlearis) : t.a.k

55
NV(Trigeminus) : t.a.k

NVI(Abdusen) : t.a.k

NVII(Facialis) : t.a.k

NVIII(Vestibulokokhlearis) : t.a.k

NIX(Glosofaringeus) : t.a.k

NX(Vagus) : t.a.k

NXI(Aksesorius) : t.a.k

NXII(Hipoglosus) : t.a.k

23. Refleks Kanan Kiri

a. Reflek fisiologi Patella : + +

lainnya : + +

b. Refleks Patologis Babinsky : - -

lainnya : - -

24. Efloresensi Kulit dan Lokasinya Efloresensi dan Lokasi nya

a. Kulit : dbn

b. Selaput lender : dbn

c. Kuku : dbn

d. Lain-lain : dbn
56
25. Status Lokalis:

III. Resume Kelainan Yang Didapat:


Pasien datang dengan keluhan lemah pada seluruh tubuh dan mengganggu
aktifitas sejak 3 hari yang lalu. Rasa lemah dirasakan terus menerus. Rasa lemah
dirasakan saat beraktifitas dan membaik saat istirahat. Rasa lemah disertai dengan
pusing, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, wajah pucat dan mudah kedinginan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, konjungtiva anemis, bibir
pucat dan akral dingin. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pansitopenia dan
hematokrit menurun

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil lab Hasil Nilai normal


Leukosit 1200 4000-10.000
Neutrofil 500 2.0-6.9x103
Limfosit 400 0.6-3.4x103
Hemoglobin 8.9 14.1-18.1
Hematokrit 27 43.3-53.7
Trombosit 13.000 140.000-440.000
Ureum 29 17-43
Creatinin 0.9 0.8-1.3
Glukosa 101 74-106
SGOT 15 0-50
SGPT 14 0-50
57
Anti nuclear Negative Negative
antibody
Rheumatoid Factor < 20 0-25.6
Asam Folat 8.1 3.1-19.9
Vitamin B12 266 126.5-505
HbsAg Negative Negative
Anti Hbs Negative Negative
Anti HCV Negative Negative
USG Hepatosplenomegali (-)
Histokimia sumsum
tulang :
-CD34 (+)<1%,
-Mast extracellular (+) ratio <1%,
-CD117
-Myeloperoxidase (+)
- Reticular fiber
grade of 0

V. Hasil Brief Survey ; -

VI. DIAGNOSIS KERJA

Anemia aplastik

VII. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

VIII. DIAGNOSIS OKUPASI

58
Langkah Diagnosis kesatu Diagnosis kedua Diagnosis
Ketiga

59
1. Diagnosis Klinis Anemia aplastik

Dasar diagnosis - Lemah seluruh tubuh dan mengganggu aktifitas sejak 3 hari yang lalu.
- Rasa lemah dirasakan terus menerus
(anamnesis,
- Rasa lemah dirasakan saat beraktifitas dan membaik saat istirahat.
pemeriksaan fisik, - Rasa lemah disertai dengan pusing, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, wajah pucat
dan mudah kedinginan.

pemeriksaan - Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, konjungtiva anemis dan akral
dingin.

penunjang, body - Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pansitopenia, hematokrit menurun, dan
hypoceluller bone marrow

map, brief survey)


2. Pajanan di

tempat kerja
Fisik - Debu amplas
- Gesekan amplas

Kimia
- Uap dan percikan thinner
- Uap dan percikan cat

Biologi -

Ergonomi (sesuai - Membungkuk


- Gerakan berulang
brief survey) - Posisi statis
Psikososial
- Rasa tidak nyaman akibat bau yang menyengat

3.Evidence Based
(sebutkan secara Paparan kronis benzena berhubungan dengan penurunan hemoglobin, jumlah
teoritis) pajanan di trombosit, dan jumlah leukosit. Pada pasien ini didapatkan konsentrasi pajanan
tempat kerja yang ditempat kerja sebesar 7,81 ppm, dengan jumlah jam terpajan per hari yaitu 8
menyebabkan diagnosis jam dan massa kerja selama 23 tahun. Selama bekerja tidak menggunakan
klinis di langkah 1. APD. Pasien mengeluh lemah seluruh tubuh hingga mengganggu aktivitas,
sulit berkonsentrasi, wajah pucat, dan terdapat demam. Hasil pemeriksaan

60
darah didapatkan pansitopenia dan hematokrit menurun. Berdasarkan suatu
penelitian pada para pekerja yang terpapar benzena (paparan per minggu 7,4
Dasar teorinya apa mg/m3) di China, jumlah neutrofil dan volume rerata trombosit disebut sebagai
parameter yang paling dipengaruhi oleh paparan benzena. Sebuah penelitian
pada pekerja pabrik sepatu (konsentrasi uap 6,0 - 47,2 mg/m3) menunjukkan
adanya penurunan Hb dan MCHC. Penelitian lain menyebutkan paparan
benzena secara kronis merupakan faktor risiko terjadinya penyakit hematologis
seperti anemia aplastik dan leukemia

Bahadar H, Mostafalou S, Abdollahi M. Current understandings and


perspectives on non-cancer health effects of benzena: A global concern.
Toxicology and Applied Pharmacology. 2014;2:1-12.

4. Masa kerja 23 tahun

Jumlah jam terpajan 8 jam


per hari

Pemakaian APD Tidak

Konsentrasi pajanan Konsentrasi uap: 18 - 36 ppm

Lainnya...........

Kesimpulan jumlah Jumlah pajanan = 18-36 ppm 8h-TWA


pajanan dan dasar Kesimpulan: melebihi regulasi pajanan
perhitungannya (ACGIH TLV 0,5 ppm 8h-TWA;
NIOSH REL 0,1 ppm 10h-TWA;
OSHA PEL 1 ppm 8h-TWA)
5. Apa ada faktor

61
individu yang - Kurangnya edukasi terhadap K3
berpengaruh thd - Merokok 1 bungkus sehari selama 11 tahun
- Tidak menggunakan APD selama bekerja
Timbulnya diagnosis
klinis? Bila ada,
sebutkan
6 . Apa terpajan bahaya Tidak ada
potensial yang sama spt
di langkah 3 di luar
tempat kerja?
Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi Anemia aplastik akibat paparan benzena ditempat kerja

Apa diagnosis klinis ini


termasuk penyakit akibat
kerja?

Bukan penyakit akibat


kerja (diperberat oleh
pekerjaan ataubukan
sama sekali PAK)_
Butuh pemeriksaan lebih
lanjut)?

62
IX. PROGNOSIS
1. Klinis (transplantasi)
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam

2. Klinis ( non transplantasi )


ad vitam : dubia ad malam
ad functionam : dubia ad malam
ad sanationam : dubia ad malam

3. Okupasi (bila ada d/ okupasi) : dubia ad malam

63
X. PERMASALAHAN PASIEN & RENCANA PENATALAKSANAAN

Rencana Tindakan (materi &


metoda)
No Jenis Target Hasil yang Keterangan
permasalahan Tatalaksana medikamentosa, Non waktu diharapkan
medikamentosa (nutrisi, olahraga,
Medis & non konseling dan OKUPASI)
medis (okupasi,
dll)

1 Anemia aplastik Tatalaksana medikamentosa : 3-6 bulan Tidak terjadi


Transfusi darah anemia aplastik
Kortikosteroid : Prednison 40-100 saat kembali
mg/hari bekerja
Transplantasi sumsum tulang apabila
tidak ada perbaikan

Tatalaksana nonmedikamentosa:
Edukasi berhenti merokok
Asupan nutrisi adekuat
Olahraga teratur

Tatalaksana okupasi :
Eliminasi : tidak dapat dilakukan
Substitusi : Bahan jenis cat benzena
digantikan dengan bahan jenis cat
heptana
Engineering control : pemasangan
ventilasi, isolasi ruang pengecatan dan
pengeringan
Administrative control : edukasi K3,
rotasi shift kerja, pelatihan metode
kerja, pembuatan MSDS di
perusahaan.
APD : masker respirator, coverall,
goggle, sepatu kerja, sarung tangan

64

Anda mungkin juga menyukai