Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PERNIKAHAN USIA

MUDA DENGAN NIAT UNTUK MENIKAH MUDA DI SMPN 1 CAMPAKA


KABUPATEN CIANJUR

Sandra Dewi Kurnia

Sari

ABSTRAK

Pernikahan usia muda merupakan masalah yang masih banyak terjadi pada remaja di Indonesia
terutama di daerah pedesaan dan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah
hubungan antara pengetahuan remaja tentang pernikahan usia muda dengan niat untuk menikah
muda. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan  pendekatan cross
sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja yang merupakan siswa-siswi SMPN 1
Campaka Kabupaten Cianjur kelas VIII dengan jumlah 160 orang yang diambil dengan metode
propotionate random sampling. Hasil analisis menunjukkan sebagian responden (46,90%)
memiliki pengetahuan yang cukup tentang pernikahan usia muda dan hampir seluruh responden
(81,87%) memiliki niat lemah untuk menikah muda. Hasil analisis bivariat dengan spearman
rank didapatkan terdapat hubungan antara pengetahuan remaja tentang pernikahan usia muda
dengan niat untuk menikah muda (P value = 0,00 dan rs = 0,43). Berdasarkan hasil penelitian,
perawat sebagai  educator disarankan untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang
pengertian pernikahan, usia ideal untuk pertama menikah, dan akibat dari pernikahan usia muda
kepada remaja sebagai salah satu upaya pencegahan perilaku pernikahan usia muda.

Kata Kunci: Pengetahuan, Remaja, Pernikahan Usia Muda, Niat

ABSTRACT

Young age marriage is an issue of adolescent that still prevalent in Indonesia, especially in
rural  and coastal.The aims of this study were to examine  the correlation between knowledge of
adolescent about the young age marriage and the intention to young marriage. This study was a
descriptive correlational  with a cross sectional approach. The sample were adolescents who
were taken by propotionate random sampling method from 160 students of 8th grade in SMPN 1
Campaka Kabupaten Cianjur.The analysis showed some of respondents (46,90%) had sufficient
knowledge about young age marriage and the almost all of respondents (81,87%) had weak
intention to young marriage. The results of bivariate analysis with spearman rank found there is
a relationship between correlation between knowledge about young age marriage with intention
to young marriage (P value = 0.00 and rho = 0,43). Based on the results, nurses as educators
were advised to provide the health education about the meaning of marriage, ideal age
marriage, and the young age marriage effects to adolescents as an effort  to prevent the young
age marriage .
Keyword : Knowledge, Adolescent, Young Age Marriage, Intention

http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/797

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2971/MKMI%20vol%205%20pernikahan
%20usia%20dini.pdf?sequence=2

SARI
Sari, Fitra Puspita, 2006. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong
dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di desa Mandalagiri
kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya). Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Drs.
Masrukhi, M.Pd., Rodiyah, S.Pd., M.Si.
Kata Kunci: Kawin, Keluarga.
Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya
membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai
dengan apa yang ingin diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa
mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa
perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh
berakhir begitu saja.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan
tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya,
tinggal di desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda
mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya
kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi
suami-istri.Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Faktor-faktor apa saja
yang mendorong perkawinan usia muda. Bagaimana dampak yang dialami
oleh mereka yang melangsungkan perkawinan usia muda, serta Bagaimana
bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penilaian ini adalah; Mendiskripsikan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya perkawinan usia muda di desa Mandalagiri kecamatan
Leuwisari kabupaten Tasikmalaya. Mendiskripsikan secara empiris dampak
yang timbul dari adanya perkawinan usia muda di desa Mandalagiri
kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya. Untuk mendiskripsikan
bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda.
Responden dalam penelitian ini terdiri dari 8 pasangan yang kawin di
bawah umur dan 8 orang tua responden serta 12 orang informan yang terdiri
dari pimpinan dan staf KUA dan para tokoh masyarakat serta masyarakat
desa Mandalagiri pendekatan dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif,
lokasi penelitian desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten
Tasikmalaya fokus penelitian ini adalah faktor-faktor pendorong, dampak
perkawinn usia muda serta bentuk pola asuh kelurga pada pasangan usia
muda. sumber data pendekatan meliputi, responden, informasi, dan
dokumen metode pengumpa data yang digunakan untuk observasi
partisipan, dokumenter dan wawancara. Keabsahan data diperoleh dengan
tehnik tri agulasi.
Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat
(1) UU No. I tahun 74, yaitu perkawian hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudak mencapai umur 16 tahun.
Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia
muda atau di bawah umur, padahal perkawianan yang sukses membutuhkan
kedewasaan tanggungjawab secara fisik maupun mental, untuk bisa
mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga.
Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya.
Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan
anak sejak lahir hingga dengan dewasa maka pola asuh anak dalam perlu
disebar luaskan pada setiap keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan
di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang
mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan di usia muda
diantaranya; faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor orang tua, faktor diri
sendiri, serta faktor adat setempat. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa
Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya ini mempunyai
dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga
berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing
keluarganya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia
muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari
mereka yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat
mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari
perkawinan itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwapola asuh demokratis
lebih mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan
dengan anak diasuh dengan cara otoriter. Hasil pola asuh pada pasangan
muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh demokratik.
Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada anakanaknya
dan memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya, sebaliknya
mereka memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa
menjalani kehidupan dimasa yang akan datang.
Saran yang direkomendasikan antara lain; Kepada masyarakat yang
memiliki sosial ekonomi rendah hendaknya lebih meningkatkan keadaan
ekonominya untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan yang lain,
masyarakat harus mengarahkan yang putus sekolah untuk mengikuti kursuskursus
ketrampilan. Kepada pasangan yang belum menikah harus lebih
memperhatikan dampak apa saja yang timbul dari perkawinan usia muda.

http://lib.unnes.ac.id/3749/1/3401401004.pdf
Fenomena Pernikahan Dini Munculkan "Kegalauan"

Selasa, 2 Oktober 2012 | 12:11 WIB

Oleh Masnun
http://female.kompas.com/read/2012/10/02/12113585/Fenomena.Pernikahan.Dini.Munculk
an.Kegalauan.

Berita tentang kyai kaya menikahi gadis belia berusia 12 tahun itu masih segar dalam ingatan di
mana pernikahan di bawah umur itu  memunculkan pro-kontra, karena dinilai merugikan
kepentingan anak dan membahayakan dari sisi kesehatan.

Fenomena kawin di bawah umur atau nikah dini itu masih sering ditemukan dalam kehidupan
masyarakat. Tidak jarang siswi SMP kawin lari dengan pria sebaya. Ironisnya setelah dikarunai
satu anak, pasangan belia itu cerai.

Perceraian itu menyisakan setumpuk masalah. Anak yang lahir biasanya mengikuti ibu, sehingga
menjadi beban orang tua si ibu yang kehidupannya pas-pasan. Ini baru satu persoalan kecil yang
muncul akibat pernikahan dini.

Kondisi ini menimbulkan "kegalauan" bagi sebagian masyarakat dan pemerintah. Karena itu
Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat mencoba menginiasi
sebuah regulasi guna menekan kasus kawin di bawah umur yang banyak terjadi di Lombok.

Wacana itu muncul dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara yang merasa "galau"
sehubungan dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, kematian bayi dan
tingginya kasus gizi buruk di kabupaten yang kibi memasuki usia empat tahun ini.

Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, akan membuat peraturan daerah
(perda) yang melarang warganya menikah di bawah umur atau kawin dini sebagai salah satu
upaya mengatasi masalah kesehatan di daerah ini.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara dr H Benny Nugroho mencoba melontarkan
wacana itu untuk mengatasi persoalan kesehatan terutama kasus kematian bayi, kematian ibu
melahirkan dan kasus balita gizi buruk, dengan menginisiasi perda larangan kawin di bawah
umur.

"Kalau regulasi itu terwujud, maka Kabupaten Lombok Utara dapat diklaim sebagai pemerintah
daerah (pemda) pertama di Indonesia yang memiliki regulasi tersebut. Kita bukan tidak
membolehkan orang untuk kawin, tapi perlu diatur agar tidak ada lagi yang kawin pada usia di
bawah umur," ujarnya.

Ketika memaparkan kebijakan pembangunan bidang kesehatan beberapa waktu lalu Benny
mengatakan, hamil resiko tinggi akibat perkawinan dini itu perlu ditekan.
Menurut dia, salah satu faktor pendorong terjadinya perkawinan di bawah umur dan berisiko ini
adalah tradisi kawin lari di Lombok, tidak terkecuali di Kabupaten Lombok Utara.

Problem kesehatan

Kondisi ini tampak dari mulai banyak ditemukannya problem kesehatan akibat kurangnya
pengetahuan ibu yang umumnya memiliki anak yang kondisi kesehatannya di bawah standar.

Pada bagian potret kesehatan, Benny menunjukkan salah satu ibu muda berusia 16 tahun, yang
sudah memiliki 4 orang anak. Meski semuanya selamat, namun kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) tidak seperti yang diharapkan, karena dikhawatirkan tidak terurus secara baik.

Di hadapan Ketua Komisi III DPRD Lombok Utara, Benny juga meminta dukungan dewan
untuk turut memikirkan formulasi dari regulasi yang akan ditetapkan nantinya.

Dia mengatakan, perlunya pengaturan usia perkawinan tersebut semata-mata untuk mencegah
terjadinya masalah sosial kesehatan di tingkat rumah tangga bersangkutan.

"Masalah ini kami minta dibuatkan regulasi berupa perda supaya umur tidak disalahgunakan,
masih di bawah umur sudah kawin lari. Secara tidak langsung, ini berisiko menyumbang
tingginya angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi karena belum waktunya
kawin," kata Benny.

Inisiasi membuat perda larangan kawin di bawah umur itu  nampak seperti gayung bersambut.
Komisi III DPRD Kabupaten Lombok Utara, menanggapi positif rencana pemerintah daerah
mengajukan rancangan peraturan daerah (raperda) larangan pernikahan dini tersebut.

Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Lombok Utara Nasahar menilai positif rencana pengajuan
raperda itu karena merupakan langkah maju dalam menekan problem kesehatan pada generasi
penerus di daerah ini.

"Hambatan kita hanya satu, bahwa pernikahan merupakan hak dasar, tetapi ada hal-hal lain yang
lebih penting dari itu. Kami di Komisi III sangat mengapresiasi upaya ini," katanya.

Nasahar menyatakan optimistis perda larangan nikah dini akan bisa diterima masyarakat asal
disosialisasikan secara terus-menerus dan ada regulasi sebagai pengendali.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya pertentangan antara Perda larangan nikah di bawah
umur dan adat istiadat di tengah masyarakat,  tidak ada salahnya apabila para pemangku amanah
dilibatkan oleh Dinas Kesehatan dalam membahas Ranperda.

"Pihak terkait seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan  tokoh pemuda, akan
memberi masukan positif dalam menjaga harmonisasi kepentingan individu dan kepentingan
daerah," katanya.
Pemerintah Kabupaten Lombok Utara akan membuat peraturan daerah (Perda) yang melarang
warganya menikah di bawah umur atau kawin dini sebagai salah satu upaya mengatasi masalah
kesehatan di daerah ini.

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi NTB merasa terpanggil
untuk mencegah pernikakan dini itu dengan berupaya mendorong perkawinan sesuai usia yang
dianjurkan yakni minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

Di bawah 15 tahun

"Masih dijumpai usia perkawinan perempuan dibawah 15 tahun, padahal perkawinan usia muda
rentan bercerai, sehingga perlu didorong agar perkawinan sesuai usia yang dianjurkan," kata
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Ratningdiah.

Usia perkawinan pertama penduduk perempuan NTB yang berumur 10 tahun ke atas di
kelompokkan menjadi empat bagian yaitu kelompok umur 15 tahun ke bawah, umur 16-19
tahun, umur 20-24 tahun dan umur 25 tahun lebih.

Usia perkawinan pertama perempuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

Pada kenyataannya, perempuan di Provinsi NTB yang menikah pada umur 15 tahun ke bawah
dijumpai sebanyak 6,28 persen, paling banyak berada di Kabupaten Lombok Tengah dan Kota
Mataram, disusul perempuan Lombok Timur dan Sumbawa. Paling sedikit di Kota Bima.

Fenomena perkawinan usia muda erat kaitannya dengan tingginya perceraian, seperti yang
terjadi di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah.

Menurut data BPPKB NTB, penduduk yang cerai hidup paling banyak di temukan di Kabupaten
Lombok Timur  sebanyak 8,18 persen, kemudian disusul kabupaten Lombok Tengah 6,99 persen
dan Lombok Barat 5,96  persen. Sementara penduduk yang paling sedikit melakukan cerai hidup
berada di Kabupaten Sumbawa dan  Kabupaten Bima yakni 1,56 persen. Dari 2,11 persen
penduduk NTB yang cerai mati, tertinggi dijumpai di kabupaten Bima, disusul kabupaten
Lombok Timur, Sumbawa dan Lombok Tengah.

Menurut Ratningdiah, terdapat sedikitnya 13 faktor penyebab terjadinya perceraian di wilayah


NTB yakni poligami, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab,
kawin di bawah umur, kekerasan jasmani, kekejaman mental, politis, gangguan pihak ketiga,
tidak ada keharmonisan dan penyebab lainnya.

Perceraian itu juga dipicu oleh perkawinan usia dini yang berdampak pada kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), apalagi pasangan suami istri itu minim pengetahuan dan wawasan rumah
tangga.
"Apalagi, perlindungan keamanan terhadap perempuan sangat minim dan kurangnya penanganan
cepat atas masalah kekerasan yang dihadapi perempuan," ujarnya.

Meningkatnya kasus perceraian itu menyebabkan jumlah perempuan kepala keluarga (pekka)
semakin banyak, selain karena berstatus janda akibat suaminya meninggal, ditinggal kerja suami
yang menjadi TKI dan tidak diberi nafkah lahir batin oleh suaminya.

Kondisi tersebut semakin memprihatinkan jika tingkat pendidikan perempuan kepala keluarga itu
relatif minim.

Hasil pendataan pekka di empat kecamatan di NTB yang sudah dilakukan, ternyata 56 persen
Pekka buta aksara dan sebagian tidak tamat SD. Rata-rata usia Pekka di empat kecamatan itu
yakni 15-20 tahun namun sudah memiliki anak 2-5 orang.

"Umumnya mereka tidak memiliki pekerjaan tetap namun terpaksa bekerja serabutan karena
suami mereka pun malas bekerja, sebagian suami bekerja sebagai TKI tetapi bertahun-tahun
tidak kembali dan penyebab lainnya," ujarnya.

Bebagai persoalan yang mencul akibat perkawainan di bawah umur itu memculkan "kegalauan"
baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat.

Karena itu Pemerintah Kabupaten Lombok Utara mencoba mengambil inisiatif dengan
mengajukan raperda Larangan pernikahan dini.

Sulsel Tertinggi Angka Pernikahan Dini


Makassar | Senin, 25 Nov 2013
Luhung Sapto Nugroho
Kabid Kualitas Hidup, Badan Perlindungan Perempuan dan Anak, Badan Pemberdayaan
Perempuan Provinsi Sulsel, Nur Anti Madjid mengatakan angka pernikahan usia dini yakni di
usia 15 tahun tercatat tertinggi di daerah ini.
"Sulawesi selatan menjadi provinsi yang berada pada peringkat pertama untuk pernikahan dini
usia anak 15 tahun. Angkanya mencapai 6,7 persen dibandingkan angka nasional yang hanya
2,46 persen," Sementara untuk pernikahan di usia 15-19 tahun, Sulawesi selatan berada di urutan
ketujuh dengan angka 13,86 persen atau lebih tinggi dari angka nasional yang hanya 10,80
persen.
Menurut Nur Anti, pernikahan usia muda tidak hanya berdampak pada kematian saat ibu
melahirkan, tapi juga rentan terhadap penularan HIV/AIDS. Akibatnya, Sulawesi selatan masuk
sebagai wilayah zona "merah" dan "diwarning" sebagai wilayah "lost generation".
"Inilah pekerjaan rumah yang harus menjadi urusan seluruh pihak dengan upaya mengantisipasi
pernikahan dini bagi anak-anak. Siapa pun itu, yang jelas anak usia dini masih harus berada di
bangku sekolah," katanya.

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan Sulsel diketahui, daerah tertinggi angka
pernikahan usia dininya adalah Kabupaten Gowa dan Bone.
Sementara contoh konkret dampak pernikahan usia dini yang menimbulkan "lost generation" itu
terjadi di Kabupaten Bulukumba yang terdapat satu rumah yang saat ini kosong karena seluruh
generasinya telah meninggal.
"Itu akibat pernikahan usia dini yang kemudian berdampak pada kematian generasi-generasi
yang ada, karena minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya pernikahan usia dini,"
katanya. Ant
http://demo.jurnas.com/halaman/10/2013-11-25/275651

PACITAN (jurnalberita.com) – Keinginan menikah di usia muda ternyata menjadi faktor


turunnya minat lulusan SMP di Pacitan Jawa Timur untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
SLTA. Selain karena masalah akses, faktor budaya juga ikut mempengaruhi minat lulusan
sekolah pertama untuk melanjutkan ke SLTA.“Ada faktor budaya yang mempengaruhi,” kata
Sekretaris Dinas Pendidikan (Dindik) setempat Cipto Yuwono, Rabu (1/2/2011).

Faktor budaya tersebut adalah pernikahan usia muda. Beberapa lulusan SMP di daerah tertentu
khususnya di pelosok, mereka lebih memilih menikah karena faktor dorongan keluarga. Tidak itu
saja, bahkan ada diantara mereka karena alasan ekonomi akhirnya memutuskan untuk bekerja.
“Terkait dengan budaya, perlu waktu lama (mengubahnya, red),” terang Cipto.

Budaya kawin dini itu sebanding dengan data yang ada di pengadilan agama setempat. Tercatat
pada tahun 2010 lalu sedikitnya ada 75 pasangan yang mengajukan dispensasi perkawinan.
Dispensasi bertujuan untuk meloloskan syarat pernikahan dari mereka yang usianya belum
cukup bila mengacu pada UU Perkawinan Nomor 01 Tahun 1974. Untuk pria masih di bawah 19
tahun dan perempuan di bawah 16 tahun.

Jumlah pengajuan dispensasi perkawinan itu meningkat, jika dibandingkan tahun 2009 hanya ada
54 pengajuan ke PA. Pertambahan itu, dinilai Nasrudin, karena terjadinya penurunan moralitas di
kalangan remaja. Bahkan, menyia-nyiakan kepercayaan dari orang tua. “Rata-rata mereka
menjalin hubungan pacaran tapi keblabasan,” ungkapnya.

Dari data di Diknas, jumlah siswa sekolah lanjutan pertama yang tidak meneruskan pendidikan
mencapai 1.092 orang. Sebagian besar didominasi siswa laki-laki yang berjumlah 677 orang.
Penyumbang terbesar berasal dari wilayah Kecamatan Kebonagung (229), Punung (159),
Sudimoro (124), dan Arjosari (111). Paling sedikit adalah wilayah Kecamatan Pacitan dengan 34
orang siswa. Mereka kini mengikuti program kejar paket C.

Sedangkan untuk siswa yang tidak lulus SMP sebanyak 579 orang. Di mana 343 orang
diantaranya adalah siswa laki-laki. Kecamatan Sudimoro menjadi wilayah asal siswa terbanyak
dengan jumlah 112 orang. Diikuti Kecamatan Tegalombo (84), Tulakan (82), dan Punung (48).

Mengenai rendahnya akses, hal itu diakui Cipto. Dari 12 kecamatan yang ada belum seluruhnya
memiliki sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Seperti di wilayah Kecamatan Kebonagung dan
Arjosari. “Untuk SLTA memang belum semua kecamatan ada,” tandasnya. (jb15/jb1

http://jurnalberita.com/2011/02/kebelet-nikah-muda-ribuan-lulusan-smp-pacitan-pilih-putus-sekolah/

Anda mungkin juga menyukai