Anda di halaman 1dari 35

Cakupan Kunjungan Ibu hamil

BAB IV

SITUASI UPAYA KESEHATAN

A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR

1. Pelayanan Kesehatan Ibu

a. Cakupan Kunjungan Ibu hamil

Pelayanan/pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil sesuai standar pada masa kehamilan oleh
tenaga kesehatan terampil (Dokter, Bidan atau Perawat) 4 kali dengan interval 1 kali pada
trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua, dan 2 kali pada trimester ketiga, akan
menggambarkan cakupan pelayanan antenatal ibu hamil yang dapat dipantau melalui pelayanan
kunjungan ibu hami K1 dan K4. Penimbangan berat badan, pemeriksaan kehamilan, pemberian
tabet Fe, pemberian imunisasi TT, dan konsultasi merupakan pelayanan yang diberikan oleh
petugas kesehatan pada ibu hamil yang berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan (Antenatal
Care/ANC).

Cakupan kunjungan ibu hamil K4 di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebesar 86,82%
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai 88,78%, dan masih
dibawah target pencapaian tahun 2010 yaitu 95%. Meskipun demikian, cakupan kunjungan
antenatal di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 lebih tinggi bila dibandingkan dengan cakupan
nasional yaitu 84%.

Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, baru 17,2% (6 kabupaten/kota) yang
sudah melampaui target pencapaian yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Surakarta.

Adanya penurunan cakupan kunjungan antenatal (K4) di Jawa Tengah, pada tahun 2007
kemungkinan disebabkan karena :

- Ibu hamil yang datang ANC untuk pertama kali pada masa kehamilannya (cakupan K1
95,23%), hanya 91,2% yang datang kembali untuk kunjungan kunjungan antenatal keempat
(K4).

- Pada trimester 4, ibu hamil pindah dan periksa ke tenaga kesehatan di wilayah lain.
Gambar 4.1

Cakupan Pelayanan Antenatal K4 di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2007

2. Persalinan Yang Ditolong Oleh Nakes

Pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan adalah ibu bersalin yang mendapat
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar
86,60%, mengalami kenaikan 0,51% dari pencapaian tahun 2006 sebesar 86,09%. Cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ini lebih tinggi bila dibanding cakupan nasional
yang hanya mencapai 82%.

Cakupan tertinggi di Kota Salatiga yaitu sebesar 99.81% dan terrendah di Kabupaten Wonosobo
sebesar 74,11%. Sebanyak 16 kabupaten/kota sudah melampaui target 2010 sebesar 90%, yaitu
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Pekalongan, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal.

Secara keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan mengalami kenaikan mulai dari tahun 2005 sebesar 81,36%, kemudian 86.09% pada
tahun 2006 dan 86.60% pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan adanya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan, adanya perencanaan persalinan
yang baik dari ibu, suami maupun dukungan keluarga. Cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 s.d. 2007 dapat dilihat dalam grafik berikut
ini

Gambar 4.2

Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2007

3. Pelayanan Ibu Nifas

Paska persalinan (masa nifas) berpeluang untuk terjadinya kematian ibu maternal, sehingga perlu
mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas dengan dikunjungi oleh tenaga kesehatan minimal
3 (tiga) kali sejak persalinan. Pelayanan Ibu Nifas meliputi pemberian Vitamin A dosis tinggi ibu
nifas yang kedua dan pemeriksaan kesehatan paska persalinan untuk mengetahui apakan terjadi
perdarahan paska persalinan, keluar cairan berbau dari jalan lahir, demam lebih dari 2 (dua) hari,
payudara bengkak kemerahan disertai rasa sakit dan lain-lain. Kunjungan terhadap ibu nifas yang
dilakukan petugas kesehatan biasanya bersamaan dengan kunjungan neonatus.

Cakupan pelayanan pada ibu nifas di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 85,64%, masih
dibawah target pencapaian tahun 2007 yaitu 86%. Sebanyak 20 kabupaten/kota (60,6%) sudah
melampaui target dan 8 kabupaten/kota bahkan sudah mencapai 100%, yaitu Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati,
Kabupaten Kendal, Kota Surakarta, dan Kota Pekalongan. Sedang cakupan terrendah adalah di
Kabupaten Grobogan yaitu sebesar 33,56%, Kota Salatiga dan Kabupaten Pekalongan tidak
menginformasikan data cakupan pelayanan ibu nifas

4. Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe

Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah dengan memberikan tablet tambah
darah yaitu preparat Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada Balita, Bumil,
Bufas, remaja putri, dan WUS ( Wanita Usia Subur ). Hasil survey anemi ibu hamil pada 15
kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi anemi di Jawa Tengah adalah
57,7%, angka ini masih lebih tinggi dari angka nasional yakni 50,9%.

Penanggulangan anemi yang dilaksanakan adalah dengan pemberian tablet Fe kepada ibu hamil,
WUS, dan remaja putri. Pemberian tablet Fe kepada ibu hamil ada 2 indikator, Fe1 dan Fe2.
Pencapaian Fe 1 dan Fe 2 Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun semakin meningkat yakni
pada tahun 2003, Fe 1 sebesar 88,97% dan Fe 3 sebesar 79,91%, sedangkan pada tahun 2007 Fe1
menjadi 92,98% dan Fe 3 menjadi 85,91%. Grafik perkembangan pemberian Fe pada ibu hamil
dari tahun 2003 sampai pada tahun 2007 sebagai berikut :

Gambar 4.3

Persentase Pemberian Tablet Fe Pada Ibu Hamil

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 2007

Dari grafik di atas dapat diihat bahwa cakupan Fe 1 sudah cukup baik, namun cakupan Fe 3
masih belum memadai. Masih ada sekitar 7,1% ibu hamil tidak meneruskan konsumsi Fe sampai
pada Fe 3. Hal ini amat mungkin berkaitan dengan masih tingginya prevalensi anemi pada ibu
hamil.
2. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah

a. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Prasekolah

Deteksi dini tumbuh kembang anak Balita dan pra sekolah yang dimaksudkan adalah anak umur
1 6 tahun yang dideteksi dini tumbuh kembang sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan,
paling sedikit 2 kali per tahun. Upaya pembinaan kesehatan anak diarahkan untuk meningkatkan
kesehatan fisik , mental, dan sosial anak dengan perhatian khusus pada kelompok balita yang
merupakan masa krisis atau periode emas tumbuh kembang.

Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah tingkat Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2007 sebesar 35,66% menurun dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 sebesar
53,44%, dengan kisaran terrendah 3,82% di Kabupaten Kebumen dan tertinggi 100% di
Kabupaten Kendal. Cakupan tersebut ini masih jauh dibawah target SPM tahun 2005 sebesar
65% apalagi bila dibandingkan dengan target SPM 2010 sebesar 95%. Upaya peningkatan
ketrampilan petugas kesehatan dalam upaya Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang anak (SDIDTK) telah dilakukan dengan pelatihan standarisasi SDIDTK di 9
kabupaten/kota terpilih. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan petugas dalam
melaksanakan pembinaan teknis pelaksanaan SDIDTK.

Gambar 4.4

Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Pra Sekolah

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 2007

b. Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/MI

Pelayanan kesehatan di sekolah diutamakan pada upaya meningkatkana kesehatan (promotif) dan
upaya meningkatkan pencegahan penyakit (preventif). Salah satu upaya preventif yang
dilaksanakan di sekolah adalah kegiatan penjaringan kesehatan anak sekolah (Health Screening),
sebagai prosedur pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk mengelompokkan anak sekolah
dalam berbagai kategori sehat dan sakit yang memerlukan tindakan lebih lanjut, serta
mendapatkan gambaran kesehatan anak sekolah dan mengikuti perkembangan serta pertumbuhan
anak sekolah sebagai pertimbangan dalam menyusun program pembinaan kesehatan sekolah.

Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD/MI oleh tenaga kesehatan/guru UKS/kader kesehatan
sekolah pada tahun 2007 sebesar 51,59% lebih tinggi dibandingkan tahun 2006 sebesar 38,29%.
Nilai cakupan terendah di Kabupaten Jepara sebesar 3,50% dan tertinggi (100%0 dicapai oleh 6
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Kendal, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Cakupan tersebut sudah melebihi
target SPM 2005 (15%) tetapi masih dibawah target SPM 2010 (80%).

Gambar 4.5

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/MI

Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 2007

c. Pelayanan Kesehatan Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan terjadi
perubahan fisik yang cepat menyamai orang dewasa, tetapi emosinya belum dapat mengikuti
perkembangan jasmaninya, hal ini sering menimbulkan gejolak sehingga masa ini perlu
mendapat perhatian. Salah satunya adalah pendidikan dan perhatian agar anak berperilaku hidup
sehat, baik secara fisik maupun mental.

Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa kelas 1 SLTP dan setingkat,
kelas 1 SMU dan setingkat melalui penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 SLTP dan
Madrasah Tsanawiyah, kelas 1 SMU/SMK dan Madrasah Aliyah yang dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih dan kader kesehatan remaja secara berjenjang.
Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa Remaja oleh tenaga kesehatan/Guru UKS/kader
kesehatan remaja di Provinsi JawaTengah tahun 2007 sebesar 35,47%, lebih besar daripada
tahun 2006 sebesar 15,27%. Cakupan tersebut sudah melebihi target SPM tahun 2005 (15%)
tetapi masih dibawah target SPM than 2010 (80%). Nilai terendah cakupan di Kabupaten Jepara
(3,64%) dan tertinggi di Kabupaten Sukoharjo (100%), Kabupaten Batang (100%), dan Kota
Pekalongan (100%).

Gambar 4.6

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Remaja

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 2007

3. Pelayanan Keluarga Berencana

a. Peserta KB Baru

Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebanyak 6.248.972,
meningkat sebanyak 63.562 dibanding tahun 2006. Jumlah peserta KB baru pada tahun 2007
sebanyak 746.701 atau 11,95% dari jumlah PUS yang ada. Peserta KB baru tersebut
menggunakan kontrasepsi sebagai berikut :

- Suntikan : 71,15% Pil : 17,82%

- Implant : 6,77% IUD : 2,74%

- MOP/MOW : 2,60% Kondom : 2,51%

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa bagian terbesar peserta KB baru mempergunakan
kontrasepsi hormonal (suntikan, Pil, dan Implant) yaitu sebesar 92,15%. Peserta KB baru
tersebut membutuhkan pembinaan secara rutin dan berkelanjutan untuk menjaga kelangsungan
pemakaian kontrasepsi.

Gambar 4.7

Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Baru

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007

2. Peserta KB Aktif

Peserta KB aktif adalah akseptor yang pada saat ini memakai kontrasepsi untuk menjarangkan
kehamilan atau mengakhiri kesuburan. Cakupan peserta KB aktif adalah perbandingan antara
jumlah peserta KB aktif dengan Pasangan Usia Subur. Cakupan peserta KB aktif menunjukkan
tingkat pemanfaatan kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur.

Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebesar 77,79%, mengalami
peningkatan sebesar 0,79% dibanding pencapaian tahun 2006 sebesar 77%. Angka ini masih di
bawah target tahun 2010 sebesar 80%. Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Temanggung
sebesar 81,76% dan terrendah adalah di Kota Tegal sebesar 71,44%. Sebanyak 8 kabupaten/kota
telah melampaui target tahun 2010 yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten, Kabupaten
Semarang, dan Kabupaten Temanggung.

Gambar 4.8

Cakupan Peserta KB Aktif di Provinsi Jawa Tengah


Tahun 2005 2007

Adapun jenis kontrasepsi yang digunakan para peserta KB aktif adalah sebagai berikut :

- Suntikan : 54,55% Pil : 17,71%

- Implant : 9,88% IUD : 9,19%

- MOP/MOW : 7,41% Kondom : 1,26%

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa bagian terbesar peserta KB aktif mempergunakan
kontrasepsi hormonal (Suntikan, Implant, dan Pil) yaitu sebesar 63,36%.

Gambar 4.9

Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Aktif

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007

Peserta KB hormonal tersebut membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan untuk menjaga


kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Secara khusus proporsi pemakai kontrasepsi suntikan
sangat besar yaitu 54,55%, hal tersebut dapat difahami karena akses untuk memperoleh
pelayanan suntikan relative lebih mudah, sebagai akibat tersedianya jaringan pelayanan sampai
di tingkat desa/kelurahan sehingga dekat dengan tempat tinggal peserta KB.

Sementara itu partisipasi pria (bapak) untuk menjadi peserta KB aktif dengan mempergunakan
kontrasepsi MOP dan kondom sangat kecil, karena terbatasnya pilihan kontrasepsi yang
disediakan bagi pria, dan sebagian pria masih beranggapan bahwa KB merupakan urusan ibu
(istri), sehingga ibu (istri) yang menjadi sasaran.

4. Pelayanan Imunisasi

a. Persentase Desa yang Mencapai Universal Child Immunization (UCI)

Strategi operasional pencapaian cakupan tinggi dan merata berupa pencapaian Universal Child
Immunization (UCI) yang berdasarkan indikator cakupan DPT-HB 3, Polio 4 dan Campak
dengan cakupan minimal 80% dari jumlah sasaran bayi di desa. Pencapaian UCI desa di Jawa
Tengah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, kecuali tahun 2005 mengalami penurunan
karena ketersediaan vaksin tidak mencukupi. Hasil UCI desa tahun 2003 (82,08%), 2004
(83,51%), 2005 (77,06%), 2006 (84,42%) dan 2007 (83,64%). Dari target pencapaian 85% , ada
15 kabupaten/kota (42,85%) yang belum mencapai target dengan persentase cakupan
desa/kelurahan UCI terendah Kab. Blora (57,29%) dan tertinggi (100%) adalah Kabupaten
Kudus, Kota Magelang, dan Kota Surakarta.

Gambar 4.10

Cakupan Desa/Kelurahan UCI di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2003 - 2007

Kabupaten/kota yang belum mencapai target imunisasi dasar lengkap pada bayi disebabkan
antara lain :

- Adanya perbedaan jumlah sasaran pada perencanaan dibandingkan dengan sasaran yang ada,
hal ini dikarenakan penentuan jumlah sasaran masih berdasarkan angka estimasi jumlah
penduduk bukan dari hasil pendataan.

- Belum semua Puskesmas membuat Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) imunisasi secara
rutin (bulanan, tribulanan) dikarenakan banyak petugas imunisasi yang merangkap dengan tugas
lain.

- Belum dilakukan pelaksanaan sweeping atau kunjungan rumah untuk melengkapi status
imunisasi pada daerah-daerah yang cakupan imunisasinya masih rendah, pada umumnya
disebabkan keterbatasan sumber daya atau tenaga banyak yang merangkap dengan tugas lain.

- Masih ada sebagian kecil orang tua yang menolak anaknya untuk diimunisasi dikarenakan
keyakinan/kepercayaan agama, dan lain-lain.

b. Cakupan Imunisasi bayi

Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi serta anak balita
dilaksanakan program imunisasi baik program rutin maupun program tambahan/suplemen untuk
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti TBC, Difteri, Pertusis,
Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan Campak. Bayi seharusnya mendapat imunisasi dasar lengkap
yang terdiri dari BCG 1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4 kali, HB Uniject 1 kali dan campak 1 kali.
Sebagai indikator kelengkapan status imunisasi dasar lengkap bagi bayi dapat dilihat dari hasil
cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi yang terakhir yang
diberikan pada bayi umur 9 (sembilan) bulan dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah
diberikan dengan lengkap (BCG, DPT-HB, Polio, dan HB).

Selain pemberian imunisasi rutin, program imunisasi juga melaksanakan program imunisasi
tambahan/suplemen yaitu Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) DT, BIAS Campak yang
diberikan pada semua usia kelas I SD/MI/SDLB/SLB, sedangkan BIAS TT diberikan pada
semua anak usia kelas II dan III SD/MI/SDLB/SLB, Backlog Fighting (melengkapi status
imunisasi).

Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi di Jawa Tengah dari semua antigen sudah mencapai target
minimal nasional (85%), pencapaian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah
sasaran bayi pada tahun 2007 adalah 584.171. Sedang cakupan masing-masing jenis imunisasi
adalah sebagai berikut: BCG (100,78%), DPT-HB 1 (100,84%), DPT-HB 3 (98,24%), Polio 4
(97,28%), Campak (96,50%), Hepatitis (98,24%).

Gambar 4.11

Cakupan Imunisasi Bayi di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 2007

c. Drop Out Imunisasi DPT1-Campak

Dalam rangka mencapai dan mempertahankan UCI desa, analisis PWS harus diikuti dengan
tindak lanjut. Dengan grafik PWS akan terlihat dan dapat dianalisis cakupan dan kecenderungan
setiap bulan, maka dapat segera diketahui kekurangan cakupan dan beban yang harus dicapai
setiap bulan pada periode berikutnya. Untuk kecenderungan cakupan setiap bulan dapat
diketahui dengan indikator Drop Out (DO). Sesuai kesepakatan dengan kabupaten/kota indikator
DO di Jawa Tengah maksimal 5% atau (-5%). Pada tahun 2007 untuk tingkat Provinsi Jawa
Tengah mencapai 4.3%.

Sedangkan dilihat per kabupaten/kota yang mencapai DO 5% atau (-5%) sebanyak 18 (51,42%)
yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Surakarta, dan Kota
Pekalongan.

d. WUS Mendapat Imunisasi TT

Imunisasi TT Wanita usia Subur adalah pemberian imunisasi TT pada Wanita Usia Subur (15-39
th) sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu yang berguna bagi kekebalan seumur hidup. Data
kegiatan imunisasi TT WUS saat ini akurasinya masih sangat kurang sehingga belum dapat
dinalisis. Hal ini disebabkan :

- Pencatatan dan pelaporan status imunisasi 5 dosis belum berjalan dengan baik karena
pelaksanaan skrining status TT belum optimal.

- Penggunaan format pelaporan yang berbeda antara kabupaten/kota ke provinsi dan Puskesmas
ke kabupaten/kota terutama untuk TT ibu hamil dan non ibu hamil.

5. Pelayanan Kesehatan Gigi

a. Rasio Tambal Cabut Gigi Tetap

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas meliputi kegiatan pelayanan dasar gigi dan
upaya kesehatan gigi sekolah. Kegiatan pelayanan dasar gigi adalah tumpatan (penambalan) gigi
tetap dan pencabutan gigi tetap. Indikasi dari perhatian masyarakat bila tumpatan gigi tetap
semakin bertambah banyak berarti masyarakat lebih memperhatikan kesehatan gigi yang
merupakan tindakan preventif sebelum gigi tetap betul betul rusak dan harus dicabut, sedang
pencabutan gigi tetap adalah tindakan kuratif dan rehabilitatif karena sudah tidak ada alternatif
lainnya.

Di tahun 2007, pelayanan dasar gigi mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006.
Persentase tumpatan gigi tetap dilihat dari jumlahnya di tahun 2007 ini ada kenaikan bila
dibandingkan dengan tahun 2006, namun pencabutan gigi tetap juga meningkat. Dilihat dari
rasio tumpatan dan pencabutan mengalami kenaikan dari 0.60 di tahun 2006 menjadi 0.62
ditahun 2007. Namun bila dibandingkan dengan tahun 2005 (0,68%), tahun 2006 dan 2007
mengalami penurunan. Ada beberapa kabupaten/kota yang pencabuan giginya jauh lebih banyak
dibandingkan tumpatan giginya hal ini menandakan bahwa masyarakat di kabupaten yang
bersangkutan masih kurang memperhatikan kesehatan gigi.

Kabupaten dengan rasio rendah antara lain Kabupaten Rembang (0,03), Kabupaten Pekalongan
(0,24) dan Kabupaten Blora (0,25). Ada beberapa kabupaten yang rasionya tinggi atau bila
dibandingkan dengan pencabutan, tumpatan lebih banyak yaitu Kota Tegal (1,04), Kota
Surakarta (1,09), Kota Magelang (1,01), Kabupaten Brebes (1,37), dan Kabupaten Kudus (1,75).
Dilihat dari data diatas tergambar bahwa untuk kotakota besar kesadaran penduduk tentang
kesehatan gigi cukup bagus.

Gambar 4.12

Rasio Tumpatan dan Pencabutan Gigi Tetap

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007

b. Murid SD/MI Mendapat Pemeriksaan Gigi dan Mulut

Kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut lainnya adalah Upaya Kesehatan Gigi Sekolah
yang merupakan upaya promotif dan preventif kesehatan gigi khususnya untuk anak sekolah.
Kegiatan UKGS meliputi pemeriksaan gigi pada seluruh murid untuk mendapatkan murid yang
perlu perawatan gigi kemudian memberikan perawatan pada murid yang memerlukan. Persentase
murid yang diperiksa untuk tahun 2007 ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
tahun 2006 yaitu dari 37,89% pada tahun 2006 menjadi 31,40% pada tahun 2007. Hal ini
dikarenakan ada 4 kabupaten yang belum memberikan laporan. Selain itu karena beberapa
kabupaten memang mempunyai cakupan sangat rendah seperti Kabupaten Cilacap (1,36%),
Kabupaten Wonosobo (4,99%), dan Kabupaten Pekalongan (6,82%). Kabupaten/kota yang
mempunyai cakupan cukup tinggi adalah Kota Pekalongan (100%), Kota Salatiga (99,29%),
Kabupaten Boyolali (96%), dan Kabupaten Grobogan (92%). Cakupan pemeriksaan kesehatan
gigi murid SD di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 4.13

Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Gigi Murid SD

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

c. Murid SD/MI Mendapat Perawatan Gigi dan Mulut

Cakupan perawatan gigi murid SD yang perlu mendapatkan perawatan juga mengalami sedikit
penurunan dari 58,15% di tahun 2006 menjadi 56,12% di tahun 2007. Ada 4 kabupaten/kota
yang belum melaporkan, Kabupaten yang sudah bisa merawat seluruh murid yang memerlukan
perawatan gigi adalah kabupaten Boyolali (100 %). Sedang kabupaten/kota yang lain rata-rata
antara 3070%.

Gambar 4.14

Cakupan Perawatan Gigi Murid SD

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2007

6. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut

Pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut yang dimaksudkan adalah pelayanan
kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan baik di Puskesmas maupun di
Posyandu/Kelompok Usia Lanjut. Yang termasuk dalam kelompok pra usia lanjut adalah
kelompok umur 45 59 tahun, sedangkan usia lanjut adalah kelompok umur lebih atau sama
dengan 60 tahun.

Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut tingkat proivinsi Jawa Tengah pada
tahun 2007 sebesar 30.51% (Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Batang
tidak ada data), mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang
mencapai 36.59%. Dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah, 3 kabupaten/kota yaitu Kabupaten
Magelang, Kabupaten Pati dan Kota Semarang sudah berhasil melampaui target pelayanan
kesehatan pra usila dan usila tahun 2010 sebesar 70%. Sedang cakupan terrendah adalah di
Kabupaten Rembang yaitu sebesar 4.37%. Gambaran fluktuasi pelayanan kesehatan pra usia
lanjut dan usia lanjut Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4.15

Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

7. Pelayanan Kesehatan Kerja

a. Pelayanan Kesehatan Sektor Informal

Lebih dari 60% penduduk Jawa Tengah merupakan usia kerja. Sebagian besar diantara usia
pekerja ini atau sekitar 70% merupakan pekerja pada sektor informal dan selebihnya merupakan
pekerja sektor formal. Pekerja sektor informal adalah mereka yang bekerja dengan modal skala
kecil dengan ciri-ciri antara lain : bekerja dalam jam kerja yang tidak tetap dan umumnya
mempergunakan tenaga kerja dari lingkungan keluarga sendiri, risiko bahaya pekerjaan tinggi,
keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja, kesadaran tentang risiko bahaya
pekerjaan rendah, kondisi pekerjaan tidak ergonomis, keluarga banyak yang terpajan, kurangnya
pemeliharaan kesehatan (M. Mikhew (ICOHIS 1997).

Pekerja sektor ini memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi, hal ini terbukti
pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998, sektor ini hampir tidak terimbas dan memberikan
sumbangan penting dalam pembangunan. Oleh karenanya sudah sepatutnya pekerja di sektor ini
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Salah satunya adalah dalam bidang peningkatan derajat
kesehatan.

Untuk data cakupan pelayanan kesehatan kerja, dari 35 kabupaten/kota, sebanyak 13


kabupaten/kota tidak masuk datanya. Dari data yang masuk didapatkan bahwa cakupan pekerja
pada industri informal yang mendapat pelayanan kesehatan kerja di Provinsi Jawa Tengah tahun
2007 sebesar 52,28%, mengalami kenaikan bila dibanding cakupan tahun 2006 yang hanya
mencapai 17,88 %. Ini berarti sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 40%.

Gambar 4.16

Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2007

b. Pelayanan Kesehatan Sektor Formal


Cakupan pelayanan kesehatan pada pekerja di sektor formal di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007
sebesar 63,26%, sedikit menurun bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai
67,09%. Ini berarti masih di bawah target SPM 2010 sebesar 80%. Penurunan cakupan
pelayanan kesehatan pada pekerja di sektor formal dimungkinkan karena ada 7 kabupaten/kota
yang belum mengirimkan laporan. Juga dikarenakan koordinasi antar sektor terkait maupun
koordinasi dengan perusahaan baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat kecamatan
masih sangat kurang, sebagian besar kabupaten/kota baik petugas Puskesmas maupun petugas
Dinas Kesehatan tidak dapat atau tidak dijinkan masuk perusahaan maupun klinik perusahaan
karena pengusaha belum mengerti bahwa klinik perusahaan itu secara administratif harus
bertanggung jawab kepada Puskesmas, mereka hanya mengirimkan laporan kepada Dinas
Tenaga Kerja saja. Untuk mengatasi hal tersebut maka di tahun mendatang petugas klinik
perusahaan dan Kepala Puskesmas di kawasan industri secara berangsur angsur akan dilatih
agar terjalin jejaring baik untuk evaluasi kegiatan maupun pembinaan oleh petugas kesehatan.

Gambar 4.16

Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Formal

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007

8. Upaya Penyuluhan Kesehatan

Upaya penyuluhan adalah semua usaha secara sadar dan berencana yang dilakukan untuk
memperbaiki perilaku manusia sesuai prinsip-prinsip pendidikan dalam bidang kesehatan.
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan yang dilakukan pada kelompok sasaran tertentu.
Sedang penyuluhan masa adalah penyuluhan yang dilakukan dengan sasaran massa seperti
pameran, pemutaran film, melalui media massa cetak dan elektronik.

Data upaya penyuluhan kesehatan, dari 35 kabupaten/kota, hanya 15 kabupaten/kota yang masuk
datanya. Dari data yang masuk tersebut, jumlah kegiatan penyuluhan kelompok sebanyak 87.595
kegiatan. Sedangkan kegiatan penyuluhan kelompok sebanyak 4.380 kegiatan.

Adapun upaya penyuluhan pencegahan dan penaggulangan penyalahgunaan


NAPZA/NARKOBA (P3 NAPZA/NARKOBA) oleh tenaga kesehatan adalah semua usaha
secara sadar dan berencana yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia sesuai prinsip-
prinsip pendidikan yakni pada tingkat sebelum seseorang menggunakan NAPZA/NARKOBA.
Cakupan penyuluhan P3 NAPZA/NARKOBA di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar
12,05%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 sebesar 9,32%.
Cakupan tersebut masih di bawah target SPM 2010 sebesar 30%. Cakupan tertinggi adalah di
Kabupaten Sragen sebesar 52,63% dan terrendah di Kabupaten Kendal sebesar 0,81%.

Gambar 4.17

Cakupan Upaya P3 NAPZA/NARKOBA

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007


B. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN DAN PENUNJANG

1. Akses Ketersediaan Darah Untuk Ibu Hamil dan Neonatus Dirujuk

Kabupaten/kota yang masuk datanya untuk indikator akses ketersediaan darah dan komponen
yang aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus hanya 12 kabupaten/kota saja yaitu
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang. Hal
ini disebabkan belum semua rumah sakit memiliki pencatatan dan pelaporan untuk indikator ini.
Sedikitnya data yang masuk menyebabkan angka cakupan yang diperoleh belum
menggambarkan cakupan yang sebenarnya. Sehingga ke depan perlu perbaikan dalam sistem
pencatatan dan pelaporannya.

Dari data yang masuk diperoleh cakupan akses ketersediaan darah dan komponen yang aman
untuk menangani rujukan bumil dan neonatus di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar
84,72%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai
96,47%. Dari 12 kabupaten/kota, 8 kabupaten/kota sudah melampaui target SPM 2010 sebesar
80% yaitu Kabupaten Kebumen (100%), Kabupaten Purworejo (98,90%), Kabupaten Wonosobo
(91,16%), Kabupaten Karanganyar (100%), Kabupaten Tegal (86,68%), Kota Surakarta (100%),
Kota Pekalongan (100%), Kota tegal (100%).

Gambar 4.18

Akses Ketersediaan Darah Untuk Menangani Rujukan Bumil dan Neonatus

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007

2. Ibu Hamil Risti/Komplikasi Ditangani

Ibu hamil dengan risiko tinggi adalah keadaan ibu hamil yang mengancam kehidupannya
maupun janinnya, misalnya umur, paritas, interval, dan tinggi badan. Sedang komplikasi pada
proses persalinan adalah keadaan dalam proses persalinan yang mengancam kehidupan
kehidupan ibu maupun janinnya, misalnya perdarahan, preeklamsia, infeksi jalan lahir, letak
lintang, partus lama, dan lain-lain. Ibu hamil risiko tinggi dan komplikasi ditangani adalah ibu
hamil dengan risiko tinggi dan komplikasi yang ditemukan untuk mendapat pertolongan pertama
dan rujukan oleh tenaga kesehatan.

Cakupan ibu hamil risiko tinggi dan komplikasi yang ditangani tahun 2007 sebesar 75,08%,
dengan cakupan terendah adalah di Kabupaten Kebumen 2,65% dan tertinggi 100% di
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten
Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota
Semarang. Bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 sebesar 88,78%, maka cakupan tahun
2007 mengalami penurunan, namun demikian cakupan tahun 2007 sudah melampaui target
nasional yaitu sebesar 60%. Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, 22 kabupaten/kota
(62,8%) yang sudah berhasil melampaui target tahun 2010 yaitu lebih dari 90%.

Gambar 4.19

Ibu Hamil Risiko Tinggi /Komplikasi Ditangani

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007

3. Neonatal Risti/Komplikasi Ditangani

Yang dimaksud dengan risiko tinggi/komplikasi pada neonatal adalah keadaan neonatal yang
mengancam kehidupannya, misalnya Asfeksia, BBLR, Tetanus, Infeksi dan lain-lain. Cakupan
neonatal risti tertangani Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 92.37% mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006 yaitu 79.14%.

Bila dibandingkan dengan target neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2005 sebesar 40%, maka dari 31 kabupaten/kota yang masuk datanya, semua
sudah melampaui targettahun 2005 tersebut. Bahkan 26 kabupaten/kota telah dapat melampaui
target 2010 sebesar 80%. Sedang 4 kabupaten/kota yang tidak masuk datanya, sehingga tidak
dapat diketahui apakah sudah mencapai target atau belum adalah Kabupaten klaten, Kabupaten
Pekalongan, Kab Tegal, dan Kota Tegal.

4. Pelayanan Gawat Darurat

a. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Yang Dapat Diakses
Masyarakat

Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat
adalah cakupan sarana kesehatan yang telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
pelayanan gawat darurat sesuai standar dan dapat diakses oleh masyarakat dalam kurun waktu
tertentu. Kemampuan pelayanan gawat darurat yang dimaksud adalah upaya cepat dan tepat
untuk segera mengatasi puncak kegawatan yaitu henti jantung dengan Resusitas Jantung Paru
Otak (CardioPulmonaryCebralResucitation) agar kerusakan organ yang terjadi dapat
dihindarkan atau ditekan sampai minimal dengan menggunakan Bantuan Hidup Dasar (Basic
Life Support ) dan Bantuan Hidup Lanjut ( ALS). Sedang yang dimaksud sarana kesehatan
adalah rumah bersalin, Puskesmas, dan rumah sakit.

Rumah Sakit dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah 100% untuk RSU; 71,43% untuk RS Jiwa; dan
75% untuk RS Khusus. Sedang untuk Puskesmas sebesar 50,41% dan rumah bersalin sebesar
7,14%. Secara keseluruhan, sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang
dapat diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 45,31%, mengalami
peningkatan bila dibandingkan tahun 2006 sebesar 39,12%.

Gambar 4.20
Sarana Kesehatan ( RS, Pusk, RB ) Dengan Kemampuan Pelayanan

Gawat Darurat Yang Dapat Diakses Masyarakat

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2007

b. Pemenuhan Darah di Rumah Sakit

Target program upaya kesehatan di bidang transfusi darah adalah 95% permintaan darah oleh
RSU maupun RSK (pemerintah dan swasta) mampu dipenuhi oleh Unit Transfusi Darah (UTD).
Sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tidak mempunyai data permintaan dan
penerimaan darah oleh rumah sakit ini. Pada tahun 2007 ini data yang masuk sangat sedikit
sehingga tidak bisa dianalisis karena tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya tentang
pemenuhan darah di rumah sakit.

Permasalahan yang dihadapi dalam program upaya kesehatan di bidang transfuse darah saat ini
adalah:

- Dinas Kesehatan kabupaten/kota masih belum melaksanakan program upaya kesehatan di


bidang transfusi darah.

- Rumah sakit yang memiliki bank darah belum mencapai 30%.

- Masih kurangnya pendonor dari masyarakat, padahal di kabupaten/kota yang menjadi rujukan
maupun pusat rujukan banyak membutuhkan persediaan darah yang cukup banyak.

C. AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN

1. Cakupan Rawat Jalan

Cakupan rawat jalan adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di sarana pelayanan kesehatan
pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan kunjungan
rawat jalan di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebesar 38,24% lebih
rendah dari tahun 2006 sebesar 68,24%, yang tertinggi adalah di Kota Magelang (291,86%),
terendah di Kabupaten Pemalang (1,30%). Target SPM tahun 2010 untuk cakupan rawat jalan
adalah 15%.

Cakupan yang sangat tinggi tersebut mengisyaratkan bahwa pencatatan dan pelaporan di sarana
pelayanan kesehatan masih belum benar, disamping pemahaman terhadap definisi operasional
suatu variabel yang belum benar pula. Berdasarkan definisi operasional yang ada, seharusnya
seorang yang berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan, dalam satu tahun hanya dihitung satu
kali meskipun ia datang berkali kali dalam tahun tersebut.
2. Cakupan Rawat Inap

Cakupan rawat inap adalah cakupan kunjungan rawat inap baru di sarana pelayanan kesehatan
swasta dan pemerintah di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan rawat inap di
sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 3,06%. Ini berarti telah melampaui
target 2005 (1%), bahkan juga target tahun 2010 (1,5%). Cakupan terendah terdapat di
Kabupaten Wonogiri sedangkan tertinggi di Kota Magelang.

Cakupan yang sangat tinggi tersebut mengisyaratkan bahwa pencatatan dan pelaporan di sarana
pelayanan kesehatan masih belum benar, disamping pemahaman terhadap definisi operasional
suatu variabel yang belum benar pula. Berdasarkan definisi operasional yang ada, seharusnya
seorang yang berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan, dalam satu tahun hanya dihitung satu
kali meskipun ia datang berkali kali dalam tahun tersebut. Dengan demikian pencatatan
pelaporan yang ada saat ini perlu ditinjau kembali dan diperbaiki sehingga data yang dihasilkan
sesuai yang diharapkan dan dapat bermanfaat.

3. Pelayanan Kesehatan Jiwa

Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan,
yang meliputi gangguan pada perasaan, proses piker, dan perilaku yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya. Data yang
masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa ini berasal dari 28 kabupaten/kota.

Dari data yang ada, cakupan pelayanan kesehatan jiwa di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007
sebesar 0,69%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang
mencapai 0,67%. Cakupan ini jauh lebih rendah dari target SPM 2005 sebesar 3%, apalagi bila
dibandingkan dengan target SPM 2010 sebesar 15%. Tidak ada satu kabupaten/kotapun yang
mencapai target SPM 2010.

Permasalahn yang dihadapi saat ini adalah masyarakat merasa kesehatan jiwa belum menjadi
alas an penting untuk dating berobat ke sarana kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya
yang perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana kesehatan
pemerintah dan swasta, pelatihan/refreshing bagi dokter dan paramedic Puskesmas terutama
upaya promotif dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan system monitoring dan evaluasi
pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa.

4. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Laboratorium Kesehatan

Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium kesehatan yang dapat diakses
masyarakat adalah cakupan sarana kesehatan yang telah mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan sesuai standar dan dapat diakses oleh
masyarakat dalam waktu tertentu. Kemampuan pelayanan laboratorium kesehatan yang
dimaksud adalah upaya pelayanan penunjang medik untuk mendukung dalam pelayanan medik,
dimana untuk menegakan diagnosis dokter di rumah sakit.

Rumah sakit dengan kemampuan pelayanan laboratorium kesehatan yang dapat diakses
masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah 100% untuk RSU; 71,43 % untuk
RS Jiwa; dan 100% untuk RS Khusus. Sedang untuk Puskesmas sebesar 100%. Secara
keseluruhan, sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2007 sebesar 99,81%, sedikit meningkat bila dibandingkan tahun 2006 sebesar
99,72%. Cakupan ini masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 100%.

Gambar 4.21

Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Labkes

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 2007

5. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Kesehatan Spesialis Dasar

Target Penyelenggaraan empat pelayanan kesehatan spesialis dasar dalan Indikator Indonesia
Sehat 2010 sebesar 100%. Keseluruhan (100%) rumah sakit yang ada di Provinsi Jawa Tengah
sudah menyelenggarakan empat pelayanan kesehatan spesialis dasar. Ini berarti sudah mencapai
target Indonesia Sehat 2010. Hal ini berkaitan dengan disyaratkannya penyelenggaraan 4
pelayanan kesehatan spesialis dasar pada perizinan pendirian sebuah rumah sakit.

6. Ketersediaan Obat Esensial dan Generik Sesuai Kebutuhan

Data yang masuk untuk ketersediaan obat esensial dan generik berasal dari 20 kabupaten/kota
(57,14%), sedangkan 15 kabupaten/kota (42,86%) tidak masuk. Dari data yang ada, rata-rata
item obat esensial yang dibutuhkan kabupaten/kota sebanyak 131 item. Sedang rata-rata item
obat esensial yang tersedia di kabupaten/kota sebanyak 127 item. Sehingga persentase rata-rata
item obat esensial tersedia di kabupaten/kota sebesar 97,28%. Ini berarti secara umum kebutuhan
obat esensial kabupaten/kota hampir dapat tersedia seluruhnya dan hampir mencapai target SPM
2010 sebesar 100%.

Dari data yang ada, sebanyak 8 kabupaten/kota (40%) mempunyai persentase ketersediaan obat
esensial 100%, artinya kebutuhan obat esensial menurut jenisnya di kabupaten/kota tersebut
telah terpenuhi semuanya. Sedangkan kabupaten/kota dengan ketersediaan obat esensial di
bawah 100% sebanyak 12 kabupaten/kota (60%).

Untuk ketersediaan obat generik, rata-rata item obat generik yang dibutuhkan kabupaten/kota
sebanyak 122 item, sedangkan yang tersedia rata-rata sebanyak 117 item (96,28%). Ini berarti
secara umum kebutuhan obat generik dari segi jenis obat hampir dapat tersedia seluruhnya dan
hampir mencapai target SPM 2010 sebesar 100%. Sebanyak 9 kabupaten/kota (45%) mempunyai
persentase ketersediaan obat generik 100%, artinya kebutuhan obat generik menurut jenisnya
di kabupaten/kota tersebut telah terpenuhi seluruhnya. Sedangkan kabupaten/kota dengan
ketersediaan obat generik di bawah 100% sebanyak 11 kabupaten/kota (55%).

7. Ketersediaan Obat Narkotika dan Psikotropika

Data yang masuk untuk ketersediaan obat Narkotika dan Psikotropika berasal dari 19
kabupaten/kota (54,28%), sedangkan 16 kabupaten/kota (45,71%) tidak masuk. Dari data yang
ada, rata-rata item obat esensial yang dibutuhkan kabupaten/kota sebanyak 4 item. Sedang rata-
rata item obat esensial yang tersedia di kabupaten/kota sebanyak 4 item. Sehingga persentase
rata-rata item obat esensial tersedia di kabupaten/kota sebesar 116,7%. Ini berarti secara umum
kebutuhan obat esensial kabupaten/kota sudah dapat tersedia seluruhnya dan sudah mencapai
target SPM 2010 sebesar 100%.

Dari data yang ada, sebanyak 18 kabupaten/kota (94,74%) mempunyai persentase ketersediaan
obat esensial 100%, artinya kebutuhan obat esensial menurut jenisnya di kabupaten/kota
tersebut telah terpenuhi semuanya. Sedangkan kabupaten/kota dengan ketersediaan obat esensial
di bawah 100% hanya 1 kabupaten (83,33%) yaitu Kabupaten Temanggung.

8. Penulisan Resep Obat generik

Data yang masuk untuk penulisan resep obat generik berasal dari 28 kabupaten/kota (80%),
sedang 7 kabupaten/kota (20%) data tidak masuk. Cakupan penulisan resep obat generik di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 53,35%. Mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan cakupan tahun 2006 sebesar 70,28%. Cakupan tersebut masih jauh dari target SPM 2010
sebesar 90%. Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Wonosobo sebesar 97,09%, dan terendah
adalah di Kabupaten Rembang sebesar 24,36%.

D. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SANITASI DASAR

Program Lingkungan Sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih
sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan untuk menggerakkan pembangunan
lintas sektor berwawasan kesehatan. Adapun kegiatan pokok untuk mencapai tujuan tersebut
meliputi: (1). Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar (2) Pemeliharaan dan
Pengawasan Kualitas Lingkungan (3) Pengendalian dampak risiko lingkungan (4)
Pengembangan wilayah sehat.

Pencapaian tujuan penyehatan lingkungan merupakan akumulasi berbagai pelaksanaan kegiatan


dari berbagai lintas sektor, peran swasta dan masyarakat dimana pengelolaan kesehatan
lingkungan merupakan penanganan yang paling kompleks, kegiatan tersebut sangat berkaitan
antara satu dengan yang lainnya yaitu dari hulu berbagai lintas sektor ikut serta berperan
(Perindustrian, Lingkungan Hidup, Pertanian, Cipta Karya dll) baik kebijakan dan pembangunan
fisik dan Departemen/ Dinas Kesehatan sendiri terfokus kepada hilirnya yaitu pengelolaan
dampak kesehatan. Sebagai gambaran pencapaian tujuan program lingkungan sehat disajikan
dalam per kegiatan pokok melalui indikator yang telah disepakati serta beberapa kegiatan yang
dilaksanakan sebagai berikut:

1. Rumah Sehat
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah haruslah sehat dan nyaman agar
penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan produktivitas. Konstruksi rumah dan
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai
jenis penyakit khususnya penyakit berbasis lingkungan seperti Demam Berdarah Dengue,
Malaria, Flu Burung dan lain-lain.

Pada 2007 sebanyak 2.697.245 rumah (33,47%) telah diperiksa kondisi kesehatan lingkungannya
secara sampling dan yang memenuhi syarat rumah sehat sebesar 64.84%. Angka ini mengalami
kenaikan bila dibanding pencapaian tahun 2006 yang hanya mencapai 60,32%. Cakupan rumah
sehat tersebut masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80%. Cakupan tertinggi
adalah di Kota Magelang yaitu sebesar 91,74% dan terrendah di Kabupaten Banjarnegara sebesar
31,92%. Dari 35 kabupaten/kota, baru 4 yang mencapai target yaitu Kota Magelang (91,74%),
Kota Surakarta (83,07), Kota Semarang (82,77%), dan Kota Tegal (82,31).

Gambar 4.22

Cakupan Rumah Sehat di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2004 2007

2. Akses Terhadap Air Bersih

Adanya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan
dalam penggunaan prasarana dan sarana yang dibangun, melalui kebijakan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan yang ditandatangani oleh Bappenas, Departemen Kesehatan,
Departemen Dalam Negeri serta Departemen Pekerjaan Umum memberikan dapak cukup
signifikan terhadap penyelenggaraan kegiatan penyediaan air bersih dan sanitasi khususnya di
daerah. Strategi pelaksanaan yang diantaranya meliputi penerapan pendekatan tanggap
kebutuhan, peningkatan sumber daya manusia, kampanye kesadaran masyarakat, upaya
peningkatan penyehatan lingkungan, pengembangan kelembagaan dan penguatan sistem
monitoring serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan menjadi acuan pola
pendekatan kegiatan penyediaan Air Bersih dan Sanitasi .

Dari data yang ada, jumlah keluarga yang diperiksa sebesar 45,20%, sedang yang memiliki akses
terhadap air bersih sebesar 102,11%, yang berarti sudah melampaui target Indonesia Sehat 2010
sebesar 85%. Demikan juga pada tahun 2006, keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih
sebesar 103,14%, juga sudah melampaui target. Dari keluarga yang telah memiliki akses
terhadap air bersih tersebut, menggunakan ledeng sebesar 23.61%, sumur pompa tangan sebesar
8,71%, sumur gali sebesar 56,87%, penampungan air hujan 0,65%, air kemasan 0.21%, Sumber
air lainnya 12,07%.

Cakupan yang sangat tinggi tersebut dikarenakan pencatatan dan pelaporan yang belum baik dan
kurangnya pemahaman terhadap definisi operasional variabel. Keluarga yang memiliki lebih dari
satu sarana dihitung sesuai jumlah sarana yang ada padahal seharusnya dihitung satu yaitu sarana
air bersih yang utama. Kesalahan dalam pencatatan ini mengakibatkan cakupan keluarga yang
memiliki akses terhadap air bersih sangat tinggi dan tidak sesuai dengan cakupan yang
sebenarnya. Untuk itu perlu adanya perbaikandalam pencatatan dan pelaporan serta pemahaman
terhadap definisi operasional suatu variabel.

3. Sarana Sanitasi Dasar

Kepemilikan sarana sanitasi dasar yang dimiliki oleh keluarga meliputi kepemilikan jamban,
tempat sampah, dan pengelolaan air limbah. Dari 40,36% keluarga yang diperiksa, sebesar
70,90% memiliki jamban dan yang memenuhi syarat sebesar 78,90%. Angka ini meningkat bila
dibandingkan dengan cakupantahun 2006 yang hanya mencapai 70,53%.

Sedang untuk tempat sampah, dari 35,63% keluarga yang diperiksa, sebesar 79,51% memiliki
tempat sampah, dan yang memenuhi syarat sebesar 72,70% dari keluarga yang memiliki tempat
sampah. Untuk pengelolaan air limbah dari 27,82% keluarga yang diperiksa, sebesar 61,66%
memiliki sarana pengelolaan air limbah dan yang memenuhi syarat sebesar 57,03%.

Dalam mendukung perubahan sanitasi total khususnya buang air besar sembarangan, telah
diujicobakan Community Led Total Sanitation di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Kebumen untuk mendukung pencapaian wilayah stop buang air besar di sembarangan
dan penurunan penyakit berbasis lingkungan.

4. Tempat-tempat Umum

Tempattempat umum adalah kegiatan bagi umum yang dilakukan oleh badan pemerintah,
swasta atau perorangan yang langsung digunakan oleh masyarakat yang mempunyai tempat dan
kegiatan tetap serta memiliki fasilitas. Pengawasan sanitasi tempat umum bertujuan untuk
mewujudkan kondisi yang memenuhi syarat kesehatan agar masyarakat pengunjung terhndar dari
kemungkinan bahaya penularan penyakit serta tidak menyebabkan gangguan tehadap kesehatan
masyarakat di sekitarnya.

Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum meliputi sarana wisata, sarana ibadah, sarana
transportasi, sarana ekonomi, dan sosial.

- Sarana wisata, meliputi : hotel berbintang, hotel melati/losmen, salon/pangkas rambut, usaha
rekreasi, hiburan umum dan gedung pertemuan/gedung pertunjukan.

- Sarana ibadah, meliputi : masjid/mushola, gereja, klenteng, pura, wihara.

- Sarana transportasi, meliputi : terminal, stasiun, pelabuhan udara, pelabuhan laut, pangkalan
sado.

- Sarana Ekonomi dan Sosial, meliputi : pasar, pusat pembelanjaan, apotik, sarana/panti sosial,
sarana pendidikan dan sarana kesehatan.

Dari 69,73% hotel yang diperiksa, sebesar 85,19% memenuhi syarat kesehatan, mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai 88,77%. Untuk
restoran, dari 78,69% yang diperiksa, sebesar 72,16% memenuhi syarat kesehatan, mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai 76,85%. Untuk pasar,
dari 86,71% yang diperiksa, sebesar 59,36% memenuhi syarat kesehatan, mengalami sedikit
penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai 59,75%. Sedang untuk
tempat pengelolaan makanan, dari 63,84% yang diperiksa, sebesar 36,13% memenuhi syarat
kesehatan, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang hanya
mencapai 68,91%.

Gambar 4.23

Cakupan Pengawasan Tempat Tempat Umum

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2007

Beberapa hambatan dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan antara lain yaitu;

Kondisi sanitasi perkotaan dan perdesaan masih buruk oleh karena itu perlu perbaikan jumlah
dan mutu sarana sanitasi serta perbaikan perilaku masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan
sehat.

Meskipun sanitasi merupakan salah satu urusan wajib pemerintah kabupaten dan kota namun
dukungan pembiayaan untuk sanitasi masih kecil. Dalam 30 tahun terakhir, Pemerintah hanya
menganggarkan sektar 820 juta dolar Amerika Serikat untuk sektor sanitasi. Artinya hanya 200
rupiah setahun untuk setiap penduduk Indonesia.

Upaya yang telah dilakukan antara lain;

Pengembangan kabupaten dan kota sehat dalam mendukung kawasan sehat dan penggerakan
masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

Pemberian stimulan dan penggerakan masyarakat dalam sarana sanitasi.

Pengembangan Community Led Total Sanitation dalam memicu perubahan perilaku buang air
besar di sembarang tempat dan penurunan penularan penyakit Diare dan Polio.

Pengembangan higiene dan sanitasi sekolah

5. Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya

Kondisi kesehatan lingkungan pada institusi meliputi institusi pendidikan, kesehatan, tempat
ibadah, kantor dan sarana lain dititikberatkan pada aspek higiene sarana sanitasi yang erat
kaitannya dengan kondisi fisik bangunan institusi tersebut. Kegiatan yang dilakukan dalam
meningkatkan kesehatan lingkungan di institusi adalah pengendalian faktor resiko lingkungan
institusi, pembinaan kesehatan lingkungan di institusi sekolah dan pondok pesantren, penilaian
lomba sekolah sehat.
Cakupan pembinaan kesehatan lingkungan di institusi di Provinsi JawaTengah tahun 2007 untuk
sarana kesehatan adalah 81,79%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan
tahun 2006 yang hanya mencapai 69,22%. Cakupan sarana pendidikan yang dibina kesehatan
lingkungannya sebesar 76,16%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2006 yang mencapai 77,85%. Cakupan sarana ibadah yang dibina kesehatan lingkungannya
sebesar 60,20%, mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006
yang mencapai 61,73%. Cakupan perkantoran yang dibina kesehatan lingkungannya sebesar
74,59%,mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang hanya
mencapai 70,39%. Sedang sarana lain yang dibinan kesehatan lingkungannya sebesar 54,63%,
mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2006 yang mencapai 54,01%.

6. Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes

Salah satu kriteria rumah dikatakan sehat adalah bebas jentik nyamuk Aedes aegypti yang
merupakan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue. Di Provinsi Jawa Tengah, kasus Demam
Berdarah berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian juga wilayah
yang terjangkit semakin bertambah luas.

Salah satu upaya pengendalian penyakit Demam Berdarah adalah dengan kegiatan pengendalian
vektor. Pengendalian vektor adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menekan kepadatan
jentik nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit di rumah atau bangunan yang meliputi
perumahan, perkantoran, tempat umum, sekolah, gudang, dan sebagainya.

Indikator keberhasilan program pengendalian vektor adalah rumah/bangunan yang bebas jentik
nyamuk Aedes Aegypti. Cakupan rumah bebas jentik nyamuk Aedes Aegypti di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2007 sebesar 78,09%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan
tahun 2006 yang mencapai 83,59%. Angka ini masih di bawah target SPM tahun 2010 sebesar >
95%, bahkan masih di bawah target SPM tahun 2005 sebesar 95%.

Gambar 4.24

Angka Bebas Jentik di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2003 2007

Rendahnya angka bebas jentik ini berkaitan erat dengan jumlah kasus Demam Berdarah yang
terus meningkat dan bertambah luasnya wilayah yang terjangkit. Incidence Rate Demam
Berdarah pada tahun 2007 ini meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 3,39 pada tahun 2006
menjadi 6,35 pada tahun 2007. Oleh karena upaya pengendalian vektor melalui gerakan
pemberantasan sarang nyamuk dengan 3 M Plus harus dilaksanakan secara terus menerus dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Guna membina peran serta masyarakat secara efektif, perlu
dikoordinasikan oleh Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah
(POKJANAL DBD) yang merupakan forum kerja lintas sektoral.

E. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT


1. Pemantauan Pertumbuhan Balita

a. Partisipasi Masyarakat Dalam Penimbangan

Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan utama program perbaikan gizi yang
menitik beratkan pada pencegahan dan peningkatan keadaan gizi anak. Penimbangan terhadap
bayi dan Balita yang dilakukan di posyandu merupakan upaya masyarakat memantau
pertumbuhan dan perkembangannya. Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu
tersebut digambarkan dalam perbandingan jumlah Balita yang ditimbang (D) dengan jumlah
Balita seluruhnya (S). Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu
maka semakin baik pula data yang dapat menggambarkan status gizi Balita.

Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu Provinsi Jawa Tengah tahun 2007
sebesar 71,63 persen, angka ini masih lebih rendah dari target yang harus dicapai pada tahun
2007 sebesar 80% dan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006
yang mencapai 75,66%. Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Boyolali yakni sebesar 93,26%
dan yang terrendah adalah di Kabupaten Tegal sebesar 34,26%.

Kabupaten/kota yang sudah dapat mencapai target partisipasi masyarakat sebesar 80% antara
lain Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali.
Sedangkan kabupaten/kota dengan partisipasi masyarakat masih dibawah 60% adalah Kabupaten
Wonogiri dan Kabupaten Tegal.

Banyak hal dapat mampengaruhi tingkat pencapaian partisipasi masyarakat dalam penimbangan
di Posyandu antara lain tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan
dan gizi, faktor ekonomi dan sosial budaya. Dari data yang ada menggambarkan bahwa pedesaan
dan perkotaan tidak memperlihatkan perbedaan yang menyolok dalam partisipasi masyarakat
tetapi yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi dan sosial budaya.

Gambar 4.25

Cakupan Balita Yang Datang Dan Ditimbang ( D/S )

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 - 2007

b. Balita Yang Naik Berat Badannya

Persentase Balita yang naik timbangannya dibandingkan dengan jumlah Balita yang ditimbang
dapat menggambarkan keberhasilan kader Posyandu dalam memberikan penyuluhan gizi kepada
masyarakat di desanya, sehingga orang tua dapat memberikan makanan yang cukup gizi kepada
anaknya. Anak sehat bertambah umur akan bertambah berat badannya dan persentase Balita
yang naik timbangannya dapat menggambarkan tingkat kesehatan balita di wilayah kerja
Posyandu. Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi tingkat pencapaian Balita yang naik
timbangannya antara lain pengetahuan keluarga tentang kebutuhan gizi Balita, penyuluhan gizi
masyarakat dan ketersediaan pangan di tingkat keluarga.

Target Balita yang naik timbangannya adalah sebesar 80% dan Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2007 ini baru dapat mencapai 76,52%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
pencapaian tahun 2006 yang mencapai 77,05%. Bila dilihat di masing-masing kabupaten/kota,
maka pencapaian tertinggi adalah di Kabupaten Wonogiri sebesar 93,12% dan pencapaian
terendah adalah di Kota Tegal sebesar 63,43%. Beberapa kabupaten/kota sudah dapat melampaui
target 80% yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten
Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Brebes, dan Kota Semarang.

Gambar 4.26

Cakupan Balita Yang Naik Berat Badannya (N/D)

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007

c. Balita Bawah Garis Merah (BGM)

BGM adalah merupakan hasil penimbangan dimana berat badan Balita berada di bawah garis
merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Tidak semua BGM dapat menggambarkan gizi buruk
pada Balita, hal ini masih harus dilihat tinggi badannya, jika tinggi badan sesuai umur maka
keadaan ini merupakan titik waspada bagi orang tua untuk tidak terlanjur menjadi lebih buruk
lagi, namun jika Balita ternyata pendek maka belum tentu anak tersebut berstatus gizi buruk.

Target yang harus dicapai secara nasional untuk BGM adalah 5% atau lebih rendah. Jumlah
Balita BGM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebanyak 30.257 kasus atau 1,52%. Ini
merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan dengan target nasional. Angka ini juga
lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase BGM pada tahun 2006 sebesar 1,97%.
Persentase BGM di masing-masing kabupaten/kota sangat bervariasi yaitu terendah di
Kabupaten Pati sebesar 0,16% dan tertinggi di Kabupaten Purbalingga sebesar 4,15%. Angka
yang tinggi di Kabupaten Purbalingga sebagai hasil dari sistem penjaringan dan pencatatan serta
pelaporan gizi yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Beberapa
kabupaten/kota yang dapat mencapai BGM dibawah 1% yaitu Kabupaten Cilacap, kabupaten
Kabumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pati,
Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Semarang.

Jika dilihat kaitan antara data partisipasi masyarakat dengan balita yang naik timbangannya,
maka dapat dilihat bahwa di kabupaten/kota dengan pencapaian partisipasi masyarakat yang
tinggi diikuti dengan tingginya tingkat balita yang naik berat badannya. Dari data tahun 2007
didapat informasi bahwa kabupaten dengan partisipasi masyarakat yang cukup tinggi sebagian
besar diikuti oleh tingginya balita yang naik timbangannya.
Berbeda dengan kaitan antara balita yang naik timbangannya dengan BGM, tidak selalu
peningkatan persentase Balita yang naik timbangannya diikuti oleh penurunan persentase BGM,
jadi dapat dikatakan bahwa tidak semua daerah yang berhasil membuat Balitanya sehat namun
belum tentu berhasil menurunkan kasus BGM.

2. Pelayanan Gizi

a. Bayi dan Balita Mendapat Kapsul Vitamin A

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar diseluruh dunia terutama di
negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA
dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related
Diseases yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak
kurang Vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan 4
tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang.

Salah satu program penanggulangan KVA yang telah dijalankan adalah dengan suplementasi
kapsul Vitamin A dosis tinggi 2 kali pertahun pada Balita dan ibu nifas untuk mempertahankan
bebas buta karena KVA dan mencegah berkembangnya kembali masalah Xerofthalmia dengan
segala manifestasinya (gangguan penglihatan, buta senja dan bahkan kebutaan sampai kematian).
Disamping itu pemantapan program distribusi kapsul Vitamin A dosis tinggi juga dapat
mendorong tumbuh kembang anak serta meningkatkan daya tahan anak terhadap penyakit
infeksi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan anak.

Balita yang dimaksud dalam program distribusi kapsul Vitamin A adalah bayi yang berumur
mulai umur 6-11 bulan dan anak umur 12 59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A dosis
tinggi. Kapsul Vitamin A dosis tinggi terdiri dari kapsul Vitamin A biru dengan dosis 100.000 SI
yang diberikan pada bayi berumur 6-11 bulan dan kapsul vitamin A berwarna merah dengan
dosis 200.000 SI yang diberikan pada anak umur 12-59 bulan dan diberikan pada bulan Pebruari
dan Agustus setiap tahunnya.

Berdasarkan data yang yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Jawa Tengah
tahun 2007, cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi sebesar 94,83%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang hanya mencapai
92,54%. Meskipun mengalami peningkatan, angka ini masih di bawah target SPM sebesar 95%.
Sebagian besar kabupaten/kota telah melampai target, hanya ada 4 kabupaten/kota yang masih di
bawah target yaitu Kabupaten Cilacap (56,28%), Kabupaten Sukoharjo (89,07%), Kabupaten
Rembang (76,31%), Kota Magelang (86,73%).

Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita tahun 2007 sebesar 82,60%, mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang hanya mencapai 78,09%.
Meskipun mengalami peningkatan, angka ini masih di bawah target SPM sebesar 95%. Dari 35
kabupaten/kota, baru 9 kabupaten/kota yang sudah mencapai target yaitu Kabupaten Purbalingga
(100%), Kabupaten Banjarnegara (98,87%), Kabupaten Wonogiri (100%), Kabupaten
Karanganyar (100%), Kabupaten Pati (100%), Kabupaten Semarang (96,94%), Kabupaten
Temanggung (100%), Kabupaten Pemalang (100%), dan Kota Salatiga (100%). Cakupan
pemberian kapsul vitamin A pada bayi dan Balita selama 3 tahun terakhir (2005-2007) dapat
dilihat dalam gambar berikut ini :

Gambar 4.27

Cakupan Suplementasi Kapsul Vit. A di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 2007

b. Ibu Nifas Mendapat Kapsul Vitamin A

Ibu nifas adalah ibu yang baru melahirkan bayinya yang dilaksanakan di rumah dan atau rumah
bersalin dengan pertolongan dukun bayi dan atau tenaga kesehatan. Suplementasi vitamin A
pada ibu nifas merupakan salah satu program penanggulangan kekurangan vitamin A.

Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A adalah cakupan ibu nifas yang mendapat kapsul
vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) pada periode sebelum 40 hari setelah melahirkan. Cakupan
ibu nifas mendapat kapsul vitamin A di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 85,84%,
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang mencapai 87,4% dan
masih di Angka ini juga masih dibawah target SPM tahun 2007 sebesar 86%. Dua
kabupaten/kota tidak masuk datanya yaitu Kabupaten Pekalongan dan Kota Salatiga. Cakupan
tertinggi sebesar 100% adalah di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Purbalingga, sedang yang
terrendah adalah di Kabupaten Grobogan yaitu sebesar 33,56%. Untuk meningkatkan cakupan
perlu ditingkatkan penyuluhan tentang pentingnya suplementasi vitamin A pada ibu nifas baik
untuk ibunya sendiri maupun bayi yang disusui.

Beberapa hal yang mempengaruhi fluktuasi angka cakupan pemberian vitamin A pada bayi,
balita, dan bufas diantaranya adalah :

- Advokasi, pendekatan, dan lain-lain bentuk yang disertai dengan penyebarluasan informasi.

- Forum komunikasi, yang bermanfaat sebagai wahana yang mendukung terlaksananya kegiatan
KIE di berbagai sektor terkait.

- Sosialisasi pemberian kapsul Vitamin A terhadap petugas kesehatan di Puskesmas, rumah sakit
atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.

- Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas dan rumah
sakit pada sasaran ibu anak.

- Tersedianya sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau.

- Lintas program/ lintas sektor terkait (Promosi Kesehatan, Imunisasi, dll)

- Adanya sweeping dari kader kesehatan dengan sasaran ibu anak yang belum mendapatkan
kapsul Vitamin A pada bulan kapsul.

c. Ibu hamil Mendapat 90 Tablet Fe

Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah dengan memberikan tablet tambah
darah yaitu preparat Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, bumil dan
bufas, remaja putri dan WUS (Wanita Usia Subur). Hasil survey anemi ibu hamil pada 15
kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil di
Provinsi Jawa Tengah adalah 57,7%, angka ini masih lebih tinggi dari angka nasional yakni
50,9%.

Penanggulangan anemi yang dilaksanakan adalah dengan pemberian tablet Fe kepada ibu hamil,
WUS, dan remaja putri. Pemberian tablet Fe kepada ibu hamil ada 2 indikator yaitu Fe 1 dan Fe
2. Cakupan Ibu Hamil mendapat tablet Fe adalah cakupan Ibu hamil yang mendapat 90 tablet Fe
selama periode kehamilannya.

Cakupan ibu hamil yang mendapat Fe 90 di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 85,57%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2006 yang hanya mencapai
82,98%. Meskipun mengalami peningkatan, angka ini masih di bawah target SPM tahun 2010
sebesar 90%. Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Pekalongan yaitu sebesar 100% dan
terrendah adalah di Kabupaten Tegal sebesar 71,23%.

Gambar 4.28

Cakupan Pemberian Tablet Tambah Darah (Fe 1 dan Fe 3)

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 2007

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa masih ada sekitar 7,03% ibu hamil yang tidak
meneruskan konsumsi Fe sampai 90 tablet selama masa kehamilannya. Hal ini amat mungkin
berkaitan dengan masih tingginya prevalensi anemi pada ibu hamil.

d. Bayi BGM Gakin Mendapat MP ASI

Bayi Bawah Garis Merah (BGM) keluarga miskin adalah bayi usia 6 11 bulan yang berat
badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah pada KMS. Keluarga miskin
adalah keluarga yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui Tim
Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dengan melibatkan Tim Desa dalam mengidentifikasi nama
dan alamat gakin secara tepat sesuai dengan Gakin yang disepakati. Cakupan pemberian
makanan pendamping ASI pada bayi usia 6 11 bulan BGM dari keluarga miskin adalah
pemberian MP-ASI dengan porsi 100 gram per hari selama 90 hari.

Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebesar
95,72%, mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2006 yang hanya mencapai
48,76%. Dari 35 kabupaten/kota, sebanyak 9 kabupaten/kota tidak masuk datanya. Dari
kabupaten/kota yang masuk datanya hanya 5 kabupaten/kota yang cakupannya di bawah 100%,
sedang kabupaten/kota lainnya, semua sudah mencapai 100%.

e. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan

Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan tumbuh
kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan penentuan status gizi oleh bidan di desa atau
petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan
rencana tindak yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal.

Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 kategori yaitu dengan indikator
membandingkan berat badan dengan umur ( BB/U ) dan kategori kedua adalah membandingkan
berat badan dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining pertama dilakukan di Posyandu dengan
membandingkan berat badan dengan umur melalui kegiatan penimbangan, jika ditemukan balita
yang berada di bawah garis merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan
konfirmasi status gizi dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan. Jika
ternyata balita tersebut merupakan kasus gizi buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi buruk
sesuai pedoman di Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat penyakit penyerta yang berat
dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera dirujuk ke rumah sakit.

Berdasarkan hasil penimbangan pada tahun 2007 jumlah gizi buruk dengan indikator berat badan
menurut umur sebanyak 18.106 balita atau 0,91% persen, angka ini masih lebih rendah dari
target nasional sebesar 3%. Angka tertinggi di Kota Pekalongan sebesar 3,75% dan terendah di
Kota Semarang sebesar 0,07%. Dari semua kasus BGM dan 2 T yang dikonfirmasi status gizi
dengan berat badan menurut tinggi badan, maka gizi buruk dengan indikator berat badan
menurut tinggi badan yang mendapat perawatan adalah sebanyak 10.289 kasus atau 56,83%.
Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang hanya mencapai 49,73%. Hal
ini ada kaitannya dengan semakin baiknya partisipasi masyarkat dan fihak-fihak lain dalam
perawatan gizi buruk pada Balita.

Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Semarang 95,96%, akan tetapi ada 5 kabupaten/kota
yang cakupannya 0%. Hal ini terjadi karena kesalahan persepsi dan kurangnya pemahaman
terhadap definisi operasional variabel.

Balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita gizi buruk yang ditangani di sarana
pelayanan kesehatan dan atau di rumah oleh tenaga kesehatan sesuai tatalaksana gizi buruk.
Kesalahan yang sering terjadi adalah mempersepsikan Balita gizi buruk yang mendapat
perawatan adalah yang dirawat di rumah sakit saja sehingga cakupannya sangat rendah atau
bahkan 0 (nol).

Perkembangan cakupan Balita gizi buruk yang dilayani tahun 2003 sampai dengan tahun 2007
dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Gambar 4.29

Cakupan Balita Gizi Buruk Yang Mendapat Perawatan


Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 2007

f. Wanita Usia Subur Yang Mendapat Kapsul Yodium

Pemberian kapsul Yodium kepada sasaran wanita usia subur di daerah endemik berat dan sedang
dimaksudkan untuk mencegah kretinisme pada bayi. Daerah-daerah endemik GAKY yang
memerlukan intervensi kapsul yodium meliputi 11 kabupaten, yaitu Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal,
Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes. Berdasarkan laporan yang masuk dari 9 kabupaten
tampak bahwa cakupan WUS yang mendapat kapsul yodium baru mencapai 42,96%, mengalami
penurunan bila dibandingkan cakupan tahun 2006 yang mencapai 65,7%. Cakupan ini masih
jauh dibawah target SPM 2010 sebesar 90%. Dari 9 kabupaten/kota, ada 2 kabupaten/kota yang
mencapai 100%, yaitu Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Brebes. Sedangkan di Kabupaten
Wonosobo cakupan programnya hanya mencapai 2,89%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
untuk dilakukan validasi data dan apabila ternyata memang cakupannya sangat rendah, perlu
dilakukan kajian untuk menemukan masalah dan merumuskan upaya peningkatan cakupan WUS
yang mendapatkan kapsul Yodium.

Gambar 4.30

Cakupan WUS Mendapat Kapsul Yodium

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

F. PERILAKU HIDUP MASYARAKAT

1. Persentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat

Data hasil pengkajian PHBS Tatanan Rumah Tangga yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, dapat diketahui bahwa dari sejumlah
8.475.696 rumah tangga yang ada, telah dilakukan pengkajian terhadap sejumlah 2.761.126
Rumah Tangga atau mencapai (32,58%) ada kenaikan sebesar 9,61% apabila dibandingkan
dengan hasil pengkajian tahun 2006 yang hanya mencapai 22,97% rumah tangga, demikian juga
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil pengkajian tahun 2005 yang mencapai 27,05%
rumah tangga.

Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat yaitu yang diwakili oleh rumah
tangga yang mencapai strata sehat utama dan sehat paripurna sebesar 43,78%, dengan cakupan
tertinggi di Kota Magelang (97,51%) dan terrendah di Kabupaten Blora (0,12%), sedang 2
kabupaten yang tidak masuk datanya yaitu Kabupaten Rembang dan Kabupaten Kudus. Angka
tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan pada tahun 2006 yang telah
mencapai 48,62% dan masih dibawah target SPM tahun 2010 sebesar 65%.

Meskipun demikian, terdapat 15 (45,5%) kabupaten/kota yang telah melampaui target SPM
tahun 2010 yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pekalongan,
Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota
Semarang, dan Kota Pekalongan. Berikut ini adalah grafik persentase rumah tangga sehat
berdasarkan strata di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 s.d. 2007.

Gambar 4. 31

Persentase Rumah Tangga Sehat Berdasarkan Strata

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

2. Persentase Posyandu Aktif

Jumlah Posyandu di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebanyak 46.823 buah, mengalami
kenaikan sebesar 397 buah apabila dibandingkan dengan jumlah Posyandu Tahun 2006 sebanyak
46.426 buah, serta mengalami kenaikan sebanyak 1.478 posyandu apabila dibandingkan dengan
jumlah Posyandu tahun 2005 yaitu sejumlah 45.345 buah.

Gambar 4.32

Persentase Posyandu Berdasarkan Strata

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

1. Posyandu Purnama

Posyandu Purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali
per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima
kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah
memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya
masih terbatas yakni kurang dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu. Posyandu yang mencapai
strata purnama pada tahun 2007 ini sejumlah 15.352 buah (32,79%), dengan nilai tertinggi di
Kabupaten Magelang ( 52,46%) dan terendah di Kabupaten Boyolali (17,14 %).

Cakupan tersebut masih di bawah target SPM 2010 sebesar 40%. Meskipun demikian, terdapat
10 kabupaten/kota yang telah melampaui target 2010 sebesar 40% yaitu Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten
Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Semarang, dan Kota Tegal.

Gambar 4.33

Cakupan Posyandu Purnama Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 2007

Bila dilihat dari gambar diatas, selama tiga tahun terakhir cakupan Posyandu purnama semakin
turun, tetapi ditahun 2007 penurunan strata Posyandu purnama justru memberikan peningkatan
pada strata Posyandu mandiri.

2. Posyandu Mandiri

Posyandu Mandiri adalah Posyandu sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per
tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan
utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh
sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih dari
50% KK di wilayah kerja Posyandu. Posyandu yang mencapai strata mandiri sejumlah 4.101
buah (8,76%), dengan nilai tertinggi di Kabupaten Klaten (43,34%) dan terrendah pada
Kabupaten Pekalongan (0,51%), mengalami peningkatan bila dibandingkan pencapaian tahun
2006 yang hanya mencapai 5,84%. Cakupan tersebut juga sudah melampaui target SPM 2010
sebesar > 2%.

Gambar 4.34

Cakupan Posyandu Mandiri di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 - 2007

Bila dilihat dari gambar diatas, pada tahun 2006 mengalami penurunan 0,3% tetapi pada tahun
2007 mengalami peningkatan 2,66% dari tahun 2005 dan 2,96% dari tahun 2006, ini merupakan
pencapaian kegiatan yang cukup memuaskan dari kinerja semua lapisan baik dari tingkat desa
sampai pada tingkat provinsi dan perlu dipertahankan kalau perlu ditingkatkan terus melalui
kegiatan Revitalisasi Posyandu.

3. Bayi Yang Mendapat ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan yang sempurna dan terbaik bagi bayi
karena mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi guna mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal.

ASI adalah hadiah yang sangat berharga yang dapat diberikan kepada bayi, dalam keadaan
miskin mungkin merupakan hadiah satu-satunya, dalam keadaan sakit mungkin merupakan
hadiah yang menyelamatkan jiwanya (UNICEF). Oleh sebab itu pemberian ASI perlu diberikan
secara eksklusif sampai umur 6 (enam) bulan dan tetap mempertahankan pemberian ASI
dilanjutkan bersama makanan pendamping sampai usia 2 (dua) tahun.

Kebijakan Nasional untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan telah ditetapkan dalam SK
Menteri Kesehatan No. 450/Menkes/SK/IV/2004. ASI eksklusif adalah Air Susu Ibu yang
diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman,
kecuali obat dan vitamin. Bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat
ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Pemberian ASI eksklusif bukan hanya isu nasional namun juga merupakan isu global.
Pernyataan bahwa dengan pemberian susu formula kepada bayi dapat menjamin bayi tumbuh
sehat dan kuat, ternyata menurut laporan mutakhir UNICEF (Fact About Breast Feeding)
merupakan kekeliruan yang fatal, karena meskipun insiden diare rendah pada bayi yang diberi
susu formula, namun pada masa pertumbuhan berikutnya bayi yang tidak diberi ASI ternyata
memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk menderita hipertensi, jantung, kanker, obesitas,
diabetes dll.

Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2007 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 27,49%, terjadi sedikit
penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai 28,08%. Angka ini dirasakan
masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target pencapaian ASI eksklusif tahun 2007
sebesar 65% dan target tahun 2010 sebesar 80%.

Jika dilihat pencapaian pemberian ASI eksklusif untuk masing-masing kabupaten/ kota memberi
gambaran bahwa jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif paling tinggi dicapai oleh Kota
Salatiga yaitu sebesar 66,12% dan jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif paling rendah
dicapai oleh Kabupaten Tegal yaitu sebesar 6,85%. Kabupaten/ kota yang sudah dapat mencapai
ASI Eksklusif diatas 60% adalah Kabupaten Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Tegal. Sebanyak
32 kabupaten/kota masih dibawah target 60%.

Gambar 4.35

Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005 2007

Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah :

1. Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara menyusui
yang benar.

2. Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan.


3. Faktor sosial budaya.

4. Kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja.

5. Gencarnya pemasaran susu formula.

Upaya- upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan cakupan pemberian ASI
eksklusif tetap berpedoman pada Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui yaitu ;

1) Sarana Pelayanan Kesehatan mempunyai kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (
PP-ASI ) tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.

2) Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan ketrampilan untuk menerapkan
kebijakan tersebut.

3) Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya
dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2 tahun termasuk cara mengatasi
kesulitan menyusui.

4) Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan yang dilakukan di
ruang bersalin ( inisiasi dini ). Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi disusui setelah 30
menit ibu sadar.

5) Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara mempertahankan menyusui
meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis.

6) Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir.

7) Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam sehari.

8) Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan
frekuensi menyusui.

9) Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.

10) Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) dan rujuk ibu kepada
kelompok tersebut ketika pulang dari rumah sakit, rumah bersalin atau sarana pelayanan
kesehatan.

4. Desa Dengan Garam Beryodium yang Baik

Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik, menggambarkan identitas mutu
garam beryodium yang dikonsumsi penduduk di suatu desa/kelurahan. Pada tahun 2007 tampak
bahwa 58,83% desa di Provinsi Jawa Tengah masyarakatnya telah mengkonsumsi garam
beryodium yang memenuhi syarat (mengandung KJO3 30-80 ppm). Berdasarkan laporan yang
masuk dari 32 kabupaten/kota, diantaranya yang tertinggi adalah Kabupaten Rembang dengan
94,00% penduduknya telah mengkonsumsi garam beryodium kemudian disusul Kabupaten Tegal
dengan 92,59%, Kabupaten Banyumas dengan 92,45%, Kabupaten Semarang 91,74%, dan Kota
Surakarta dengan 91,49%.

Kabupaten dengan konsumsi garam beryodium terrendah adalah Kabupaten Purworejo sebesar
4% disusul kemudian Kabupaten Demak sebesar 4,8%. Target cakupan untuk indikator ini
adalah 90%, sesuai dengan sasaran Garam Beryodium untuk Semua pada tahun 2010. Hal ini
berarti bahwa belum ada kemajuan yang berarti sejak 3 tahun terakhir, mulai tahun 2005 2007
berturut-turut menampakkan kecenderungan yang stagnan seperti dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 4.36

Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium Baik

Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2007

5. Keluarga Sadar Gizi

Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi
seimbang yang mencakup 5 indikator yaitu : biasa mengkonsumsi aneka ragam makanan, selalu
memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya, khususnya balita dan ibu hamil,
hanya menggunakan garam beryodium untuk memasak makanannya, memberi dukungan pada
ibu melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif dan biasa sarapan/makan pagi.

Cakupan keluarga sadar gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah 89,06% dengan
rentang terrendah adalah di Kota Pekalongan sebesar 9,2%, dan yang tertinggi di Kota Surakarta
sebesar 97,06%. Pada tahun 2007, sebanyak 3 Kabupaten/Kota (8,57%) telah mencapai target
SPM 2010 (80%), yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jepara. Sampai
saat ini masih ada 18 kabupaten/kota tidak tersedia data.

Secara rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Cakupan Keluarga sadar gizi mengalami fluktuasi dari
tahun 2005 sebesar 39,11 % , 46,44 % di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami kenaikan yang
mencolok menjadi 89,12%.

Anda mungkin juga menyukai