Anda di halaman 1dari 27

TUGAS

INFORMED CONSENT DAN PEMBERIAN OBAT


YANG SALAH SERTA KAITANNYA TERHADAP
HUKUM, KODE ETIK DAN ETIKA

Disusun oleh :

Nama : SAFRIZAL
NPM : 20.15.078
Semester : II (Dua)
Peminatan : ARS
Dospen : Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes
Mata Kuliah : Etika Hukum Kesehatan

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN DELIHUSADA DELI TUA
TAHUN 2021

DAFTAR ISI

I. Informed consent.......................................................................... 1

A. Hubungan informed consent dengan hukum ........................ 3

B. Hubungan informed consent dengan kode etik...................... 5

C. Hubungan informed consent dengan etika ............................ 12

II. Pemberian obat yang salah ........................................................ 13

A. Hubungan pemberian obat yang salah dengan hukum ........ 14

B. Hubungan Pemberian obat yang salah dengan kode etik..... 20

C. Kelebihan pemberian obat yang salah dengan etika ............ 24


1

I. Informed consent

Informed consent atau persetujuan untuk tindakan medis bukanlah

formalitas lembar persetujuan medis saja. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia nomor

290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran (informed

consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga

yang telah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan rinci mengenai

tindakan medis yang akan dilakukan.

Informed consent sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh

hukum dan berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari.

Komponen penting yang diperlukan dalam informed consent adalah

persetujuan/penolakan pasien/keluarga yang kompeten, informasi yang

jelas dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan, serta

keterangan bahwa persetujuan diberikan tanpa paksaan.

Tujuan Informed Consent

Informed consent merupakan suatu prosedur persetujuan tindakan

medis yang diberikan pasien kepada dokter. Selain itu, informed consent

sendiri merupakan bentuk komunikasi anatara pasien dan dokter, dengan

tujuan memberikan informasi mengenai prosedur tindakan dan/atau

pengobatan yang direncanakan, risiko tindakan, manfaat tindakan,

prognosis penyakit, dan alternatif terapi lain.

Dengan begitu, bisa dikatakan informed consent bertujuan

memberikan kenyamanan dan dukungan bagi pasien untuk mengambil


2

pilihan bagi dirinya, serta meningkatkan komunikasi dalam hubungan

dokter dan pasien. Selain itu, informed consent juga bertujuan untuk

memberikan perlindungan bagi pasien dan dokter. Dengan adanya

informed consent, pasien dapat terlindungi dari kemungkinan tindakan

medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tindakan medis yang

tidak diperlukan. Sedangkan bagi dokter, informed consent bertujuan

memberikan perlindungan hukum terhadap risiko tuntutan yang sering

berkaitan dengan kegagalan tindakan medis walaupun pelayanan

maksimal sudah diberikan.

Bentuk dan Jenis Informed Consent

Berdasarkan bentuknya, informed consent terdiri dari 2 jenis, yaitu

 Implied Consent

Implied consent atau persetujuan secara tersirat umumnya diberikan

saat kondisi gawat darurat, di mana perlu dilakukan tindakan medis

tetapi pasien atau keluarga tidak dapat memberikan persetujuan lisan

atau tertulis pada saat itu.

 Expressed Consent

Expressed consent merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan

baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Infomed consent lisan

umumnya dilakukan pada prosedur tindakan atau pengobatan tanpa

risiko, seperti phlebotomy, pemeriksaan fisik abdomen, atau Rontgen

toraks. Persetujuan secara lisan dapat berupa bentuk ucapan setuju

atau gerakan mengangguk kepala.


3

Sedangkan informed consent tertulis, umumnya diperlukan untuk

prosedur tindakan atau pengobatan yang lebih rumit dan risiko yang lebih

tinggi, seperti sectio caesarea dan intubas

1. Hubungan informed consent dengan hukum

Dalam aspek hukum, informed consent diatur dalam Undang-

Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, yang

menyatakan bahwa ”setiap tindakan medis yang akan dilakukan

petugas kesehatan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

MMMMDijelaskan juga dalam Undang-Undang bahwa sebelum pasien

memberikan persetujuan, penjelasan lengkap perlu diberikan kepada

pasien mengenai diagnosis, prosedur tindakan, tujuan tindakan, risiko

dan komplikasi tindakan, serta prognosis penyakit dengan/tanpa

tindakan. UU no. 29 tahun 2004 dan Permenkes no.290 tahun 2008

juga menjelaskan mengenai tata cara dan pengaturan informed consent

Pemberian informed consent (persetujuan tindakan medik) dari

sudut Hukum Pidana Materil merupakan bentuk perlindungan bagi

pengguna jasa tindakan medis (pasien) dari segala tindakan medis

yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena pelaksana tindakan

medis (dokter) yang bertindak tanpa adanya persetujuan tindakan

medik dari pasien akan diterapkan Pasal 351 KUHP. Sedangkan dari

sudut Hukum Pidana Formil, persetujuan tindakan medik merupakan

alat bukti surat, karena persetujuan tindakan medik diberikan oleh

pasien dalam bentuk tertulis, dan hal ini dapat digunakan sebagai salah
4

satu alat bukti apabila ternyata pasien tidak mendapatkan perawatan

dan pengobatan sebagaimana yang tercantum dalam persetujuan

tindakan medik.

Informed consent dalam tindakan kegawatdaruratan merupakan hal

yang cukup krusial dalam hukum kesehatan. Informed consent akan

mendapatkan pengecualian apabila dalam keadaan gawat darurat.

Beberapa kasus gugatan dalam hukum kesehatan dilatarbelakangi oleh

masalah informed consent dalam tindakan kegawatdaruratan. Hal ini

tentu saja dikarenakan pasien tidak dapat memberikan persetujuan

secara tertulis maupun lisan terhadap tindakan medik yang dilakukan.

Pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 pasal 11

disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien

pingsan atau tidak sadar. Tetapi beberapa pakar mengkritisi bagaimana

jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan gawat darurat. Pada

Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan

dengan lugas dan tegas bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk

menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak

diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”. Selain ketentuan yang

telah diatur pada UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

dan Peraturan Menteri Kesehatan No.209/Menkes/Per/III/2008, apabila

pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin

mengajukan informed consent, maka berdasarkan KUH Perdata pasal

1354 tindakan medis tanpa izin pasien diperbolehkan. Tindakan ini


5

dinamakan zaakwaarnerningatau perwalian sukarela yaitu “Apabila

seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan

orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka

secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan

mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu

mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang

timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan

suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk

mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter

berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang

telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari

tindakan itu.

2. Hubungan informed consent dengan kode etik

Kode Etik Kedokteran memuat aspek yang berkaitan dengan

prinsip otonomi dan informed consent. Pada pasal 5 Kode Etik

Indonesia, tercantum bahwa “tiap perbuatan atau nasihat dokter yang

mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib

memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan

untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut”.

Oleh karena itu, dokter wajib memberikan informasi yang lengkap

dan benar mengenai rencana tindakan dan pengobatan yang akan

dilakukan pada pasien, dengan segala risiko dan efek samping yang

mungkin terjadi. Selain itu, dokter juga wajib menghormati keputusan


6

pasien yang menolak pengobatan atau tindakan setelah informasi

diberikan.[8].

Kode etik kedokteran dan informed consent menekankan bahwa

persetujuan harus muncul dari kemauan bebas (voluntarium) pasien,

dan harus merupakan jawaban atas informasi yang sesuai dengan

keadaan sebenarnya. Informed consent ini harus benar dan sesuai

dengan pemahaman pasien dan petugas medis. Persetujuan ini harus

muncul dari keputusan bebas orang yang kompeten. Unsur-unsur

informed consent yang dimaksud yaitu :

a. Kompetensi

Kompetensi (competence to consent, competentia = wewenang,

kecakapan, kesanggupan) mungkin lebih cocok disebutkan sebagai

presuposisi daripada sebagai unsur informed consent. Dalam

konteks ini, kompetensi mengacu ke suatu prekondisi untuk

bertindak secara sukarela karena memahami pentingnya informasi.

Kompetensi ialah kesanggupan pasien untuk mengambil keputusan

tentang pengobatan dengan mempertimbangkan semua faktor

yang relevan. Seorang pasien adalah kompeten jika bisa

mengambil keputusan atas dasar alasan rasional. Ia harus dapat

memahami prosedur, mem-pertimbangkan resiko dan manfaat,

serta dapat mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuannya

dan nilai-nilai serta tujuan yang hendak dicapai.Sebaliknya tidak

kompeten (incompetent) yaitu bila tidak dapat memahami prosedur


7

dan tindakan medis. Umumnya yang tidak kompeten adalah anak-

anak, pengidap penyakit jiwa atau depresi, dan pasien yang tak

sadar, bingung, atau panik. Terdapat banyak kondisi eksternal dan

internal yang dapat membatasi tindakan bebas pasien. Oleh karena

itu sebelum melakukan tindakan medis tertentu, tim medis harus

memeriksa apakah pasien tersebut kompeten atau tidak kompeten

untuk dimintakan persetujuan-nya. Pasien kompeten adalah pasien

dewasa yang mampu memahami keadaan penyakitnya, resiko dan

alternatif tindakan medis, dan mampu menerima informasi serta

memilih dengan bebas tindakan medis yang ditawarkan. Bila pasien

tidak kompeten, maka persetujuan dapat diminta dari keluarga/wali.

Bila keluarga/wali tidak ada, atau bila hadir tetapi tidak kompeten,

maka tim medis harus memutuskan sendiri apakah dapat dilakukan

tindakan/terapi tersebut sesuai situasi pasien. Terdapat tiga standar

kompetensi pasien dan/atau keluarga untuk mengambil keputusan:

Kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar pertimbangan

rasional (rational reason). Bila dihadapkan pada beberapa pilihan,

orang tersebut harus dapat memilih suatu alternatif. Kemampuan

untuk memberi alasan bagi pilihannya dan Pilihan itu harus logik.

Dengan kata lain, kompetensi adalah kemampuan mencapai hasil

yang dapat dipertanggungjawabkan melalui suatu keputusan.

Dalam konteks biomedik, standar-standar ini mengandung

pengertian bahwa seorang pasien dan/atau keluarganya harus


8

mampu memahami suatu terapi/ tindakan medis atau prosedur

medis tertentu, serta harus mampu mempertimbangkan resiko dan

keuntungan yang dapat dicapai. Berdasarkan pemahaman ini

pasien dan/atau keluarga dapat menyatakan pesetujuannya atau

menolak

b. Penyampaian informasi

Dalam hal penyampaian informasi (disclosure of information),

dibutuhkan kondisi yang memungkinkan agar seseorang dapat

memperoleh informasi yang cukup untuk mengambil keputusan

(informed choice). Hal-hal yang perlu diketahui oleh pasien

dan/atau keluarganya adalah tindakan medis yang hendak dilaku

kan, tindakan medis lain yang tersedia, antisipasi resiko dan efek

positifnya. Standar penyampaian informasi dapat berupa standar

praktek profesi medis, standar rata-rata yang ingin diketahui oleh

pasien berakal sehat, dan standar subyektif. Dalam standar praktek

profesi medis (the professional practice standard) penyampaian

informasi yang tepat ditentukan oleh praktek medis yang sudah

biasa dilakukan. Berdasarkan standar rata-rata yang ingin diketahui

oleh pasien berakal sehat (the reasonable person standard) untuk

menyampaikan informasi harus diperhatikan apakah pasien dapat

memahami informasi tersebut. Ketepatan menerima informasi

dapat diukur dengan kemampuan pasien dan/ atau keluarga untuk

dapat memahami juga efek negatif dari keputusannya bila


9

mengikuti prosedur medis tertentu. Untuk itu dibutuhkan kondisi

tertentu yang dapat membantu mengetahui kompetensi di atas

yaitu: semua materi yang penting untuk mengambil keputusan

harus disampaikan, pengetahuan tentang efek negatif misalnya

cacat tubuh dan kematian, mampu memahami dan menentukan

sikap, dan penyampaian informasi didasarkan pada relasi

kepercayaan. Walaupun demikian masih terdapat kesulitan lain

lagi, yaitu bagaimana memahami keinginan pasien yang tidak

kompeten di mana persetujuan diberikan oleh keluarga/wali yang

ber-tanggungjawab atas namanya. Selain itu apakah informasi

yang diperoleh benar-benar digunakan sebagai dasar untuk

mengambil keputusan. Dewasa ini dalam yurisprudensi pengadilan

di Amerika Serikat lebih banyak menggunakan standar di atas.

Standar subyektif (the subjective standard) memperhatikan

kebutuhan khusus pasien dengan penyakit tertentu. Dalam hal ini

dokter harus menganalisis latar belakang penyakit yang ingin

diketahui pasien. Yang menjadi masalah apakah mungkin bagi

seorang dokter untuk melayani setiap pasien dengan memberikan

informasi tentang keadaan penyakitnya sehingga pasien tersebut

telah dipersiapkan dengan baik untuk memberikan pernyataan

persetujuannya. Karena kesulitan ini maka standar pemberian

informasi yang cocok adalah moralitas yang berdasar pada hormat

akan otonomi pasien sambil tetap memperhatikan situasi khusus


10

pasien. Keputusan terbaik harus merupakan gabungan ketiga

standar di atas dengan prinsip: ”Semua yang dibutuhkan oleh

pribadi berakal sehat untuk mengambil keputusan harus

disampaikan, dan bersedia memberi jawaban yang benar atas

setiap pertanyaan pasien. Namun tidaklah benar mempertahankan

otonomi pasien bila ada kriteria yang kuat untuk melanggarnya. Bila

pasien dan/atau keluarga tidak memiliki pengertian yang tepat dan

benar untuk mengambil keputusan, maka tidak diperlukan informed

consent. Informed consent juga tidak dibutuhkan pada keadaan

pasien kritis atau darurat yang membutuhkan tindakan medis

secara cepat dan tepat sesuai kemampuan tenaga medis dan

peralatan medis yang tersedia. Dalam situasi seperti ini dokter

memutuskan sendiri untuk melakukan yang terbaik demi

kepentingan terbaik pasien, dan hal ini dilakukan atas dasar prinsip

beneficentia.

c. Pemahaman informasi

Bila pemberian informasi tidak lengkap, maka akan terdapat banyak

kondisi yang dapat membatasi pengertian pasien untuk

menyatakan persetujuannya. Keadaan ini bisa disebabkan baik

oleh pihak informan yang tidak memberi informasi yang jelas, atau

pihak penerima informasi yang tidak memahami bahasa dokter.

Penerimaan informasi dari pihak pasien juga dipengaruhi oleh

kesediaan menerima kebenaran informasi atau tidak. Tugas tenaga


11

medis tidak hanya memahami, tetapi juga meng hargai sikap

pasiennya, karena pasien yang telah memahami informasi dokter

tidak selalu mau memberikan persetujuannya. Bila dijumpai orang

yang tidak dapat bertanggung jawab, maka perawatan dapat saja

dilaksanakan sekalipun mungkin tidak sesuai dengan keinginan

pasien

d. Kebebasan serta persetujuan

Kebebasan di sini berarti bahwa seseorang dapat mengambil

keputusan tanpa paksaan atau pengaruh lain yang menekan, baik

berupa kekerasan, ancaman, atau manipulasi. Dokter yang

mengancam akan menghentikan pengobatan bila pasien tidak

menuruti nasihatnya berarti dokter tersebut menjalankan paksaan

dan mengabaikan kebebasan pasien. Narapidana yang dijanjikan

remisi bila bersedia menyumbangkan sebuah ginjalnya kepada

yang membutuhkan transplantasi berarti tawaran ini juga

mengurangi kebebasan narapidana tersebut. Walaupun demikian

absensi pengaruh luar saja tidak berarti bahwa pasien dapat

mengambil keputusan dengan kebebasan penuh. Begitu pula

sebaliknya informasi yang diberikan tidak berarti bahwa dokter

memaksakan kehendaknya kepada pasien atau keluarganya. Perlu

disadari bahwa bebas murni dari pengaruh luar merupakan hal

yang ideal tetapi sekaligus mustahil, karena fakta menunjukkan

jarang sekali kita bisa bebas seutuhnya dari pelbagai tekanan dan
12

sangat sulit untuk membuat putusan yang sungguh bebas. Bila

pasien itu bebas, berarti ia juga berhak untuk menolak pengobatan.

Situasi ini bisa menimbulkan konflik antara prinsip autonomi dan

prinsip beneficentia. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan

kompetensi walaupun dapat juga terjadi bahwa kompetensi

dikurangi karena ketakutan atau keadaan emosi pasien. Dalam hal

ini dokter jangan terlalu cepat menganggap pasien tidak kompeten.

Sejauh mana kompetensi pasien untuk mengambil keputusan

tergantung pada pemahamannya akan informasi dan komunikasi

antara pasien dan dokter. Kunci hubungan yang paling efektif

antara pasien dan dokter adalah komunikasi yang baik.

3. Hubungan informed consent dengan etika

Dalam aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan

prinsip etika biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip

etika biomedis, yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non

maleficence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil

(justice).

Informed consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai

dengan prinsip autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan

untuk bertindak dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri.

Akan tetapi, seseorang harus berkompeten dalam memilih tindakan dan

mengambil keputusan terhadap dirinya agar dapat dikatakan sebagai

otonomi individu.
13

II. Pemberian obat yang salah

Obat adalah salah satu jenis terapi yang diberikan kepada pasien.

Tujuan dari terapi menggunakan obat adalah untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien dan meminimalkan resiko yang akan terjadi kepada pasien.

Dalam proses pengobatan kepada pasien ada beberapa kesalahan yang

terjadi, diantaranya adalah kesalahan pemberian resep, kesalahan dalam

pemberian dosis obat, kesalahan dalam rekomendasi waktu minum obat,

kesalahan pemberian obat dan kepatuhan pasien.

Untuk mengurangi kesalahan dalam proses pengobatan, sebaiknya

dibuat pedoman yang bisa dijadikan rekomendasi dalam pemberian obat

yang tepat kepada pasien. Dalam hal ini perlu dibuat suatu badan atau

departemen yang khusus bertugas menangani rekomendasi untuk

mencegah kesalahan pemberian obat, departement ini bertugas untuk

memberikan rekomendasi pengobatan kepada staff manajemen rumah

sakit, dokter, apoteker, perawat dan lainnya. Isi rekomendasi untuk staff

klinis diantaranya adalah menggunakan prinsip-prinsip formularium,

menempatkan petugas yang tepat dibidang obat, adanya wewenang dan

tanggung jawab yang jelas dalam administrasi, pemesanan dan

pengeluaran obat, adanya evaluasi yang berkelanjutan dalam proses

pengobatan.

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika risiko yang mungkin

terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan


14

memberikan suatu obat. Dengan kata lain, penggunaan obat dapat dinilai

tidak rasional jika:

 Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan

obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan

paling ekonomis.

 Cara penggunaan obat tidak tepat dan hal itu mencakup:

besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian, dan lama

pemberian.

 Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang

sesuai kepada pasien atau keluarganya.

 Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang

tidak diinginkan, tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan

pemantauan secara langsung atau tidak langsung.

Pada kenyataannya, tidak semua pengguna atau konsumen obat

mematuhi aturan-aturan penggunaan obat yang benar. Ketidakpatuhan

konsumen dalam menggunakan obatnya akan mengakibatkan kesalahan-

kesalahan.

1. Hubungan pemberian obat yang salah dengan hukum

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian, tanggung jawab apoteker ialah:

Melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan

Kefarmasian yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;

Mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian


15

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan Tenaga

Kefarmasian. Mmm

Apoteker harus selalu memperhatikan kepentingan pasien demi

menjaga dan melindungi hak-hak pasien. Begitu juga apoteker harus

mempertahankan dan meningkatkan mutu mengenai pekerjaan

kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta memberikan kepastian hukum terhadap pasien dan

masyarakat serta terhadap tenaga kefarmasian itu sendiri. Malpraktik

ini merupakan pelayanan kesehatan yang mengecewakan pasien

karena kurang berhasil atau tidak berhasilnya dokter dalam

mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya dikarenakan kesalahan

profesional seorang dokter yang mengakibatkan cacat hingga kematian

pasien. Berbagai upaya perlindungan hukum yang dilakukan dalam

memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai

penerima pelayanan kesehatan terhadap tindakan dokter telah

dilakukan pemerintah dengan melakukan pembuatan Undang-Undang

Kesehatan dan Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai salah satu

upaya pembangunan nasional yang mengarah kepada terwujudnya

derajat kesehatan yang optimal. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, ada beberapa pengaturan yang diatur di dalamnya, yakni:

Dalam Pasal 267 KUHP (1) menyebutkan bahwa seorang dokter yang

dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau


16

tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

Pasal 267 KUHP di atas memang pasal khusus yang hanya

dikenakan bagi dokter. Maksudnya yaitu hanya orang tertentu yang

mempunyai sifat atau kualitas pribadi sebagai dokter saja yang dapat

dijadikan subjek hukum yang melakukan kejahatan pemalsuan ini. Agar

rumusan Pasal 267 ini bisa dikenakan kepada dokter, unsur sengaja

harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi dokter salah dalam

menentukan diagnosa, sehingga salah pula dalam menerbitkan surat

keterangan yang dibuatnya. Saran penulis terhadap pasal ini sebaiknya

dimasukkan juga unsur kelalaian yang dilakukan oleh dokter.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan,

beberapa ketentuan diatur sebagai berikut:

a. Berkaitan dengan Kelalaian. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 : “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan

kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

b. Berkaitan Dengan Perlindungan Pasien Dalam Pasal 56 huruf a

disebutkan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak

sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai

tindakan tersebut secara lengkap.


17

c. Mengenai Ganti Rugi Pasal 58 (1) Setiap orang berhak menuntut

ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang

diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan

tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan

seseorang dalam keadaan darurat.

Sanksi dalam hukum pidana menyangkut penetapan perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana dan sanksi pidana

apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana materiil kedua

hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam

hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu,

dalam hukum pidana materiil dikenal masalah pokok yang menyangkut

tindak pidana, pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana. Masalah

berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan

perundangundangan merupakan kegiatan yang akan mendasari dan

mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka

penegakan hukum pidana in concreto. Penentuan sanksi pidana

terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan pencelaan dari

sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief mengemukakan,

pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor yang

dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki


18

kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkahlakunya di masa

mendatang. Jadi tidak sematamata taat pada ancaman yang

menderitakan, melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang

dipandang benar dan adil.

Sehingga apa bila terjadi kelalaian dan kesalahan dalam pemberian

obat pada pasien selaku konsumen maka dalam hal ini konsumen yang

merasakan dampak dari kesalahan pemberi jasa pengobatan yang lalai

dalam menjalankan fungsi kesehatan yang sebagaimana mestinya dapat

mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf I Undang-undang

Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 3 huruf I SK Menteri

perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, gugatan

dijatuhkan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja

sejak gugatan diterima di Sekretaris Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK), di mana hari kerja ini sudah termasuk 10 (sepuluh)

hari kerja.

Sifat dari putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

bersifat Final dan mengikat. Kata ”Final” di situ menurut Penjelasan

Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)

bahwa tidak ada upaya hukum banding atau kasasi atas putusan Majelis

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Hasil penyelesaian

sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam

perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku


19

usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis yang

ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis dalam

konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. Sedangkan

hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat

dengan putusan majelis yang ditandatangai oleh ketua dan anggota

majelis. Putusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi

administratif, putusan majelis disebut putusan BPSK.

Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat)

diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka

waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima

putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika pelaku

usaha tidak menggunakan upaya keberatan atau upaya hukum, maka

putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi

berkekuatan tetap. Dengan begitu, jika tidak dilaksanakannya putusan

tersebut, apalagi setelah diajukan Fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57

UUPK, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana di bidang

Perlindungan Konsumen.

Dokter ikut bertanggungjawab ketika terjadi kesalahan pada

pemberiaan obat oleh apoteker. Ini sesuai juga dengan asas vicarius

liability. Kesalahan ini dapat dipertanggungjawaban oleh dokter ketika

apoteker telah menjalankan profesinya sesuai dengan standar

pelayanan kefarmasian khususnya pada standar pelayanan resep di


20

apotek. Dengan cara, apoteker harus melakukan kajian resep setelah

menerima resep dari pasien, jika ada kekeliruaan atau tulisan tidak

dapat terbaca, maka harus mengkonfirmasi pada dokter. Jika dokter

tidak dapat dihubungi maka pelayanan resep harus ditunda, dan tidak

dapat melakukan penafsiran sendiri. Apabila apoteker telah

mengkonfirmasi dan dokter tetap pada pendiriannya maka dokter wajib

menandatangani resep obat yang dosisnya berlebih tersebut, artinya

tanggungjawab jika terjadi kesalahan berada pada dokternya.

Sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan Ketentuan Pidana Pasal 84, sanksi yang diberikan:

a. Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang

mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

b. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatn dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

2. Hubungan pemberian obat yang salah dengan kode etik

Kode etik pada dasarnya adalah panduan dalam profesi tertentu

(misalnya apoteker) dalam menjalankan tugasnya secara profesional.

Dengan adanya kode etik, seseorang dapat membedakan kepentingan

pribadi dengan profesi yang mungkin suatu saat akan berbenturan.

Khusus untuk kode etik apoteker di Indonesia, terdapat 15 pasal yang


21

dibagi dalam 5 bab yang dijadikan sebagai landasan moral dalam

menjalankan tugas secara profesional.

BAB I: Kewajiban umum

Pasal 1 Setiap apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati,

dan mengamalkan Sumpah Apoteker.

Pasal 2 Setiap apoteker harus berusaha dengan sungguh-

sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker

Indonesia.

Pasal 3 Setiap apoteker harus selalu menjalankan profesinya

sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu

mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip

kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Pasal 4 Setiap apoteker harus selalu aktif mengikuti

perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di

bidang farmasi pada khususnya.

Pasal 5 Dalam menjalankan tugas, setiap apoteker harus

menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata

yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan

kefarmasian.

Pasal 6 Seorang apoteker harus berbudi luhur dan menjadi

contoh yang baik bagi orang lain.

Pasal 7 Seorang apoteker harus menjadi sumber informasi

sesuai dengan profesinya.


22

Pasal 8 Seorang apoteker harus aktif mengikuti perkembangan

peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada

umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

BAB II: Kewajiban apoteker terhadap penderita (pasien)

Pasal 9

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, seorang apoteker

harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan

menghormati hak azasi penderita dan melindungi makhluk

hidup.

BAB III: Kewajiban apoteker terhadap teman sejawat

Pasal 10

Setiap apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya

sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 11

Sesama apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling

menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik

apoteker.

Pasal 12

Setiap apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan

untuk meningkatkan kerjasama yang baik dengan sesama

apoteker, baik dalam memelihara keluhuran martabat jabatan

kefarmasian maupun mempertebal rasa saling mempercayai

dalam menunaikan tugasnya.


23

BAB IV: Kewajiban apoteker/farmais terhadap sejawat petugas

mmmmmkesehatan lainnya

Pasal 13

Setiap apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan

untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling

mempercayai, menghargai, dan menghormati rekan sejawat

petugas kesehatan.

Pasal 14

Setiap apoteker sebaiknya menjauhkan diri dari tindakan atau

perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya

kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan

lainnya.

BAB V: Penutup

Pasal 15

Setiap apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan

kode etik apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas

kefarmasiannya sehari-hari. Jika sengaja maupun tidak sengaja

melanggar atau tidak mematuhi kode etik apoteker Indonesia,

apoteker wajib mengakuinya. Selain itu, apoteker yang

melanggar kode etik juga akan menerima sanksi dari

pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang

menanganinya, serta mempertanggungjawabkannya.


24

3. Hubungan pemberian obat yang salah dengan etika

Berdasarkan ketentuan di dalam pasal 29 Undang-Undang

Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 berbunyi “Dalam hal tenaga

kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya

kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

Pada kenyataannya bentuk etika dalam penyelesaian yang dilakukan

antara lain sebagai berikut:

a. Pada kelompok Dispensing yaitu kesalahan yang terjadi dalam

peracikan atau pengambilan obat di apotek. Upaya penyelesaian

yang ditempuh adalah dengan jalan damai berupa penggantian

obat dan mengembalikan uang pembeliannya. Dengan ini berarti

bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan

pertemuan langsung antara apoteker dengan pasien selaku

konsumen. Pada saat apoteker menemui pasien selaku konsumen

maka terjadilah negosiasi sebagai suatu proses dan mencapai

kesepakatan terhadap penyelesaian konsumen yang terjadi antara

apoteker dengan konsumen

b. Pada kelompok Administering merupakan kesalahan dalam proses

berkaitan dengan halhal yang bersifat administrasi pada saat obat

diberikan atau diserahkan kepada pasien. Penyelesaian yang

terjadi adalah pihak pasien selaku konsumen menghubungi pihak

apoteker untuk meminta penjelasan yang benar atas obat yang

diminum. Atas kekurangan informasi obat tersebut maka secara


25

langsung apoteker akan memberikan informasi, mendengarkan

keluhan serta menjelaskan dengan jelas berkenaan dengan obat

yang dipakai atau dikonsumsi oleh pasien selaku konsumen

Anda mungkin juga menyukai