Anda di halaman 1dari 7

Informed consent

Pengertian informed consent berasal dari kata informed yang berarti telah mendapat
penjelasan, dan kata consentyang berarti telah memberikan persetujuan. Dengan demikian
yang dimaksud informed consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang
dianggap jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya
sehubungan dengan keperluan diagnosa dan atau terapi kesehatan.
Istilah informed consent dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
290/Menkes/Per/III/2008 diterjemahkan menjadi Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang
terdapat pada Bab I Pasal 1, yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat
setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien.
Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yaitu:
a. Adalah persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang
cukup untuk dapat membuat persetujuan.
b. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah pernyataan sepihak dari pasien
dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik
kembali setiap saat.
c. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses sekaligus hasil dari
suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bukan sekedar
penandatanganan formulir persetujuan.
Menurut Guwandi informed consent dapat berbentuk:
a. Dinyatakan (expressed)
1. secara lisan (oral),
2. secara tertulis (written)
b. Tersirat atau dianggap diberikan (implied or tacit consent)
1. dalam keadaan biasa (normal or constructive consent)
2. dalam keadaan gawat darurat (emergency).
Informasi merupakan dasar dilakukan tindakan yang memerlukan informed consent, kecuali
pada kondisi tertentu yang memungkinkan untuk tidak melakukan persetujuan pada pasien. Oleh
karena pentingnya informasi tersebut, setiap rumah sakit harus memperhatikan ketentuan
pelaksanaan informed consent tersebut. Menurut Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan
Medis No. HK. 00.06.3.5. 1866 tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur tentang informed consent, setiap rumah
sakit harus memperhatikan ketentuan:
1) Pengaturan persetujuan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan prosedur (Standard
Operating Procedure/SOP)
2) Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan
informasi dan penjelasan merupakan kewajiban dokter.
3) Informed consent diberikan untuk tindakan medis yang secara spesifik.
4) Informed consent diberikan tanpa paksaan.
5) Informed consent diberikan oleh seseorang kepada pasien yang sehat mental dan yang
memang berhak memberikannya dari segi hukum.
6) Informed consent diberikan setelah cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang
diperlukan. UU 29/2004 Pasal 45 ayat (5) menyatakan bahwa setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh pasien atau keluarga terdekat pasien. Cara pasien menyatakan persetujuan
dapat secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang mengandung resiko
tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak
mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan bahwa contoh tindakan yang berisiko tinggi
adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh.
Persetujuan tertulis dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut:
1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang
bermakna.
2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Sumber: Liana GS (2010). Tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan informed consent antara
dokter dan pasien di RSUD Sulthan Thaha Saifudin Tebo, Jambi. Yogyakarta, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia.

INFORMED CONSENT DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN
Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed
consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien
atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong
dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat
membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat
digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan
dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien,
informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat
digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik
dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).

Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih
dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang
diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis
tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan
yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang
mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk
pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya
prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu
tersebut.

Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Pada ayat (2) dijelaskan
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan dan
pada ayat (5) di jelaskan Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Ketentuan lebih mendalam
tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana
yang dijelaskan pada ayat (6).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada
kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4
ayat (1) dijelaskan bahwa Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan
Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih
terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat
pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi
bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008)
mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat
perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar.
Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus
segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.

Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent,
maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau
anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4
ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun
pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah
pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) Dalam hal
dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau
dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien
sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan
untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya
untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila
pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan
informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan
kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian
sukarela yaitu Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi
urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-
diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang
tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian perikatan
yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu
perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien
dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai
tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul
dari tindakan itu.

Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain
dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan
dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang
merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam
perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepentingan orang lain, bukan
kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer
dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah
apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun
perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer
tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak
sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.

Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan
kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan
jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.

KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan
atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

Anda mungkin juga menyukai