Anda di halaman 1dari 23

GANI MI CHEL

1102010109
1. Memahami dan Menjelaskan Inform Concent

Informed Consent adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari
persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed
dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di
informasikan dan Consent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang
untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dari informed Consent
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu
setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.
Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) disebutkan sebagai
berikut :
Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah
pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi.
Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh
dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009
Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
diberikan penjelasan lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang
bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang
penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan
informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan
medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima oleh
pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan
terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat
subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus
dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh
dokter terhadap dirinya .
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas maka Informed Consent bukan
hanya sekedar mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani oleh
pasien atau keluarganya tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah proses
komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tetang dapat tidaknya
dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika porses komunikasi
intesif ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter sebagai pemberi
pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan maka hal tersebut
dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak,demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses komunikasi ini terjadi dan
ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk menghargai keputusan tersebut dan
meminta pasien untuk menandatangani surat pernyataan menolak tindakan medik .
jadi informed Consent adalah sebuah proses bukan hanya sekedar mendapatkan
tandatangan lembar persetujuan tindakan.
Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi
antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah
bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa
atau istilahistilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan
terjadinya mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis yang
akan dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111)
mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan
Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata
pasien gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari
bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus
tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap
keuntungan dan kerugian jika tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan.
Selain itu dokter tetap berusaha melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif
dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh persetujuan atas tindakan yang
akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-
satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau meringankan
sakit pasien.


Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi,
dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien
apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami / istri,
anak yang sudah dewasa (umur 21 tahun atau pernah menikah), orangtua, saudara
kandung, dan lain-lain.


DASAR HUKUM INFORMED CONSENT
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed
consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga
kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena
jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu
meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter
untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa
fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi
isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang
persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan
tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap
tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi
terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap
tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi semua tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes
No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai
tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan
menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

BENTUK INFORMED CONSENT
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88
butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup
besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis
serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.

Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan
bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada
setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45
serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed
Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut
Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat
dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang
dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya
juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi
terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan
berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut
perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila
dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320
memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk
dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup
dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan
pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan
terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan
Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya,
dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP
Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery,
bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan,
sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien / keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan
dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau
keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari
terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus
diberikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan
ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus
dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak
bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan /
pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu
percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan
kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif
cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1
Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada
persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

2. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek
1. Pengertian Malpraktek
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktek.
Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari malpractice yang
pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai
akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau
praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik
dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena
malpraktek berkaitan dengan how to practice the medical science and technology,
yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan
praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk
menggunakan istilah maltreatment.
c. Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter yang
berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek
buruk.
d. Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai pelaksanaan atau
tindakan yang salah.
e. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter
pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi
kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan
pribadi.

f. Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai
pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang
telah ditentukan oleh profesi.
2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam
menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan
sesudah perawatan.

g. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama.


2. Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk,
yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya
seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan.
Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan
malpraktek administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:19
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur
berikut:21
a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res
ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga
kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam
malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh
kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang
terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut
termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya
seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam
tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian
dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal
ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan
akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya
perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:22
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi
tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.


3. Teori-Teori Malpraktek
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena
terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga
kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara
keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan
pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah
terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya
hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan
tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan
bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat
misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya. Apabila
terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan
pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas
nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin,
misalnya dikarenakan penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan
hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi
kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga
kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini,
secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.

b Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga
kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja
(intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera
(asssult and battery)

c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian
(negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan
dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang
dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk
membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah
bagi aparat penegak hukum.

Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang
apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak
pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien
dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan. Ada juga teori yang dapat dijadikan
pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek.
Teori-teori itu adalah:

a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan
malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu
tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang
mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini mempunyai arti yang sangat
besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan
untuk indikasi medis.

b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-
sama melakukan kelalaian.

c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah
dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang
berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya
kelalaian malpraktek. Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya
tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian
khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.
d. Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat
darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan
dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian
yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan
malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian
bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan
sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata
(masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya
melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam
hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan bersama
dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam
penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak.

f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu
tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang
lain.

g. Workmens Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek
keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien
tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek yang dibuat oleh
tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmens
compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap
kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa
sebenarnya penyebab cedera atau luka.

3. Memahami dan Menjelaskan Alur Hukum Jika Terjadi Malpraktek
Cara penelusuran dan pembuktian malpraktek
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan
dua cara yakni :
Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
Duty (kewajiban) : Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga
perawatan haruslah bertindak berdasarkan :
o Adanya indikasi medis
o Bertindak secara hati-hati dan teliti
o Bekerja sesuai standar profesi
o Sudah ada informed consent.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) : Jika seorang tenaga perawatan
melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
Direct Causation (penyebab langsung) : Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana
suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat
kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum
harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya
malpraktik dalam kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi
berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara
sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh
pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung.
Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan
ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga
sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter
secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis
saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.
Damage (kerugian) : adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak
sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka
ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik,
namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental
anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya
dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan
dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga
perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
d. Gugatan pasien

Penanganan Malpraktek
Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep
malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan
diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson
learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi
maupun dari sisi hukum.
Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit
berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara,
yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan
gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa
hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu
putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan
kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada
penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu
kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan
mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).
Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak
berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan
tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau
negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi.
Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan
yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara
penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-
based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya
menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim
memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.
Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup
melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-
alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan
tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan
dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta
pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil
pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun
tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan
untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.
Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus
diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya
pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam
proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan
penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor
yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi
umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat
(misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis
terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi
(misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll).
Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan
standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh
pihak medis sebagai bahan pembelaan.



Pencegahan Malpraktek
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni :
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara rutin sehingga tuduhan
malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
o Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat
memenuhi standar kualifikasi yang ada
o Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
o Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
o Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien.
Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur
yang ada.
o Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
o Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
o Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
o Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
o Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi
yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.
o Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.
o Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis
o Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang
penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
o Jangan mengabaikan pasienmu.
o Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal.
Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.
o Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan
pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.
o Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan
menjadi komprehensif.
o Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien.
Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
o Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien
masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung
narkotika.
o Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika
pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan
limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.
o Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.
o Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien
atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan. Apabila tuduhan
kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai
sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh
daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan,
dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar
gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.


4.Memahami dan Menjelaskan Malpraktek Dalam Islam

PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah',
dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau
tindakan yang salah'. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi.
Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran
dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran.
Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan-
kadang berhubungan dengan etika / akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi,
padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari
operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus
mempertanggung jawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zir, ganti rugi, diyat,hingga
qishash.
Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan
mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.

BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa digolongkan
sebagai berikut:
1. Tidak punya keahlian ( jahil ).
Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian,
baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian
tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang
kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung oleh Nabi -shallallah 'alaihi wasallam-
dalam sabda beliau:


"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka
ia bertanggungjawab.
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus bertanggungjawab jika timbul
masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.



2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan
biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter
saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak
menyalahinya.Imam asy-Syafi'i misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk
membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena
praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk
maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggungjawab.
Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah
kesepakatan para ulama semuanya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran
prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).
Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya. Misalnya tangan
dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini
tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang
ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini
termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).
4. Sengaja menimbulkan bahaya ( I'tida' ).
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling
buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara
mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini
terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya
pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga mengetahui
kesengajaan ini melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat
jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek
harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini
adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa
bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka,
sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya jika tidak ada
pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa
jadi berbuat seenak mereka.


Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan pelaku malpraktek ( iqrar ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih
mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini
menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika
kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian
satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain
oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping
memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan ada
tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya ).
3. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash.
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja menimbulkan
bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan
profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak
kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang
menambah (luas area bedah) dengan sengaja."
2. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat).
Bentuk tanggungjawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien,
wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.



3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua bentuk
malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB
Tanggung jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan
langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung.
Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan
pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam
kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut
menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggungjawab. Kadang
juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggungjawab bersamanya. Karenanya rumah sakit atau klinik
juga bisa ikut bertanggungjawab jika terbukti teledor dalam tanggung jawab yang diemban, sehingga
secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya dalam keadaan mengetahui
mempekerjakan dokter yang tidak ahli.

Anda mungkin juga menyukai