Anda di halaman 1dari 12

PERTANGGUNG JAWABAN DOKTER DALAM

HUKUM KESEHATAN (TINJAUAN TERHADAP DOKTER COASS DAN


RESIDEN)
Oleh: Laurensius Arliman S*

ABSTRAK

Dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat
(1) bahwa setiap dokter dan dokter yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Begitupun di undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
36 menyatakan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran
di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Yang menjadi pertanyaan bagaimana
kedudukan hukum dokter coass dan residen terhadap hubungannya dengan pasien?
Bagaimana juga dengan residen? Undang-undang telah memberikan perlindungan
hukum kepada pasien dan tenaga kesehatan. “Bentuk perlindungannya jika ada
kesengajaan dokter bisa dipidana, kalau pasien dirugikan karena kelalaian bisa
menggunakan mediasi atau gugatan perdata.

Kata Kunci: Dokter; Hukum; Kesehatan.

PENDAHULUAN
Hampir semua rumah sakit memiliki dokter coass dan residen. Dokter coass (co
assitant) adalah seorang mahasiswa sarjana kedokteran yang harus menjalani magang di
rumah sakit dan residen adalah dokter umum yang melanjutkan pendidikan sebagai
dokter spesialis.
Dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
29 ayat (1) bahwa setiap dokter dan dokter yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter
gigi. Begitupun di undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


*
Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
Pasal 36 menyatakan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik1.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana kedudukan hukum dokter coass dan residen
terhadap hubungannya dengan pasien? Karena dokter coass belum bisa mengambil
keputusan medis terhadap pasien semua tindakan yang dilakukan oleh dokter coass ini
harus sepengetahuan dan pengawasan dokter supervisi atau penanggungjawab.
Bagaimana juga dengan residen? Kita tahu berdasarkan kebijakan menteri
kesehatan residen senior (tahap akhir) dikirim ke daerah-daerah untuk memberikan
pelayanan spesialistik (meskipun belum spesialis penuh) ke berbagai pelosok tanah air.
Berkaca dari kasus dr Ayu dkk ini menjadi masalah hukum yang serius buat dokter
coass dan residen siapa yang harus bertanggungjawab?
Implikasi hukumnya adalah dokter harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi)
dan SIP (Surat Izin praktik) baru melakukan tindakan medik terhadap pasien sedangkan
coass dan residen belum memiliki STR dan SIP. Bagaimana kalau dokter coass dan
residen melakukan kesalahan yakni dolus dan culpa?.
Namun Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) Sabir Alwi saat memaparkan makalahnya dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Hukum Kesehatan yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia
(MHKI) di Universitas Yarsi Jakarta menyampaikan, bahwa Kelalaian tenaga kesehatan
dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak
dapat dipidana. Sebab, dalam tiga paket undang-undang di bidang kesehatan tak ada satu
pasal pun yang menyebutkan bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan
termasuk dokter bisa dipidana.
Paket ketiga UU yang dimaksud yaitu UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Di bagian akhir dari ketiga undang-undang itu mengatur berbagai


1
Amir Ilyas, Tanggung Jawab Dokter Terhadap Pasien, lihat dalam: http://makassar.
tribunnews.com/2013/12/13/tanggung-jawab-hukum-dokter-terhadap-pasien, diakses pada 14 Januari
2014.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
jenis perbuatan dan sanksi pidana bagi siapa saja khususnya tenaga kesehatan dan dokter
yang dengan sengaja melakukan tindak pidana di bidang kesehatan.
Bahkan, Pasal 201 UU Kesehatan jo Pasal 63 UU Rumah Sakit mengatur selain
dipidana dan denda bagi pengurusnya, korporasi dapat dikenakan denda berupa tiga kali
pidana denda untuk orang. Tak berhenti disitu, sanksi pidana tambahan berupa sanksi
administratif bagi korporasi dapat dikenakan berupa pencabutan izin usaha/badan
hukumnya oleh pejabat yang berwenang, meski penetapan pencabutan itu dimungkinkan
diajukan ke PTUN.
Sesuai ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana terdiri dari unsur
kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Seperti dalam Pasal 359, 360
KUHP baik itu dilakukan dengan sengaja atau kelalaian dapat dipidana. Namun dalam
ketiga undang-undang itu -yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua
ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan.
Misalnya, dengan sengaja melakukan aborsi, membuat keterangan dokter palsu,
operasional rumah sakit tanpa izin. “Jadi seorang dokter baru bisa dikriminalkan kalau
perbuatannya itu sengaja dilakukan”. Selama tenaga kesehatan dan dokter bekerja sesuai
standar kode etik profesi dan pelayanan kesehatan, serta SOP, maka ia akan mendapat
perlindungan hukum dan tidak akan mungkin dapat dikriminalisasi. “Berarti dia
dianggap profesional dalam bekerja”.
Dari penjelasan diatas maka penulis tertarik untuk membahas mengenai:
1. Kedudukan dokter coass dalam hukum kesehatan?
2. Kedudukan dokter residen dalam hukum kesehatan?
3. Bagaimana peran mediasi dalam penyelesai sengketa hukum kesehatan?

PEMBAHASAN
A. Kedudukan Dokter Coass Dalam Hukum Kesehatan
Pada Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
memperoleh pelayanan kesehatan”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, sudah jelas
bahwa penyelenggaraan kesehatan merupakan hak asasi atau hak dasar setiap orang
yang dijamin oleh negara.
Untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan, maka tersedia institusi-institusi
kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, atau sarana-sarana kesehatan lainnya baik
yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta untuk pelayanan kesehatan. Rumah
Sakit yang merupakan institusi kesehatan yang memegang peranan sangat penting
dalam pelayanan kesehatan bagi pasien selaku konsumen harus ditunjang oleh tenaga
kesehatan yang profesional dalam melaksanakan pelayanan kesehatan diantaranya
dokter, perawat ataupun tenaga kesehatan lainnya2.
Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
tindakan medik, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini
disebabkan karena akibat kesalahan ataupun kelalaian tersebut mempunyai dampak
yang sangat merugikan. Selain mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi
kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Pemberian hak atas ganti rugi
merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu
akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau
kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat yang
permanen.
Hal pertama yang perlu dipahami oleh para dokter adalah bahwa demi
keselamatan pasien dokter dibolehkan untuk melanggar atau melawan hukum dalam
teori hukum pidana di kenal istilah Noodtoestand. Untuk menjawab pertanyaan di atas
maka perlu dijelaskan bahwa khusus untuk dokter coass tidak dibenarkan mengambil
tindakan medik atau keputusan apa pun terkait dengan pasien tanpa sepengetahuan
dokter supervisi atau penanggungjawab.


2
Siti Kemala Rohima, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Kelalaian Tenaga
Kesehatan ( Dokter ) Dalam Melaksanakan Tindakan Medik Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Berlaku, Universitas Mataram, Jurnal, hal.1.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
Apabila melanggar ketentuan tersebut maka hukum yang berlaku buat dokter
coass adalah hukum pidana (bisa penjara atau denda) dan hukum perdata (Ganti Rugi)
dan perlu dipahami dokter coass belum tunduk terhadap Undang-undang Praktik
kedokteran. Sedangkan untuk residen terkait pengiriman kedaerah-daerah menurut
penulis sudah mempunyai payung hukum dengan diundangkannya pada tanggal 6
agustus Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan.
Kedokteran sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa mahasiswa
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud
ayat (1) dalam tahap mandiri pendidikan dapat ditempatkan di rumah sakit. Selain
rumah sakit pendidikan setelah dilakukan visitasi.
Untuk melihat lebih jelas dan terang tentang kesalahan (kesengajaan atau
kelalaian), adalah hal hal yang menyangkut tentang atau yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan
dokter. Hak dan kewajiban tersebut meliputi3:
1. Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan
persetujuan untuk menerima perawatan
2. Masalah persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan
3. Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan
perawatan. Hal ini banyak sekali hubungannya dengan masalah kealpaan dan
standar pelayanan medis
Di dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum
(liability4):
1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji
sebagaimana diatur dalam pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur


3
Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: PT
Rineka Cipta. hal. 79
4
Ibid


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam bidang pidana, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi dapat dimintai
tanggung jawab pidana. Ketentuan yang dapat diterapkan adalah ketentuan yang
terdapat dalam pasal 359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pelanggaran dalam ketiga ketentuan itu adalah tindakannya yang menyebabkan
matinya orang atau luka karena kehilafan.
Aspek hukum administrasi tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi disini dilihat
dari sudut kewenangannya, yaitu: Apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau
tidak melakukan perawatan? Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan berbagai persyaratan,
salah satu persyaratan yang paling penting adalah izin dari Menteri Kesehatan RI.
Dengan adanya izin tersebut, barulah dokter yang bersangkutan berwenang
melakukan tugas sebagai pelayan kesehatan, baik pada instansi pemerintah maupun
pada instansi swasta atau melakukan praktek secara perorangan.

B. Kedudukan Dokter Residen Dalam Hukum Kesehatan


Jadi pengiriman residen ke daerah-daerah tidak perlu lagi dipersoalkan karena
secara hukum sudah mempunyai legal standing. Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana kalau residen ini melakukan kesalahan yakni dolus dan culpa (malpraktik)?
Secara hukum karena para residen berangkat berdasarkan rekomendasi rumah
sakit atau program studi, fakultas kedokteran atau pun kementerian kesehatan. Sehingga
pimpinan fakultas dan menteri kesehatan harus bertanggungjawab juga secara hukum,
baik hukum pidana maupun hukum perdata. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah
dokter coass dan residen (tingkat akhir) berhak untuk mendapatkan imbalan jasa?
Menurut penulis khusus untuk dokter coass itu tidak berhak karena belum memiliki
legal standing di UU Praktik Kedokteran.
Untuk residen secara hukum telah memiliki legal standing baik berdasarkan UU
Praktik Kedokteran maupun UU Pendidikan Kedokteran sehingga antara residen dan
pasien telah terjadi hubungan hukum. Namun menurut penulis hubungan dokter dan


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
pasien tidak bisa dilihat sebagai hubungan produsen dan konsumen sebagaimana
pendapat dr Marius (pimpinanYayasan Lembaga Konsumen Kesehatan) dengan alasan
adanya pembayaran atau imbalan jasa yang diberikan pasien ke dokter.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen di mana produsen berhak
menentukan kapan berproduksi dan berapa harga produk serta kalau ini diterapkan maka
dokter berhak memiliki hak tolak pasien. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang
praktik kedokteran dan sumpah dokter. olehnya itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
sebagai organisasi profesi selalu siap dalam menghadapi tuntutan hukum dari pasien
maupun keluarga pasien dan hal yang mendesak adalah segera revisi Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran.
Karena dalam ilmu hukum dikenal Perikatan ikhtiar (Inspaning Verbintenis) dan
perikatan hasil (Resultaat Verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus
diberikan adalah upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, prestasi
yang harus diberikan berupa hasil tertentu. Yang harus berlaku buat dokter adalah
Inspaning Verbintenis, karena dokter hanya mengupayakan semaksimal mungkin untuk
kesembuhan pasien.
Jadi seorang dokter tidak boleh menjamin bahwa pasien akan sembuh ini sudah
melanggar etika, disiplin dan hukum. Untuk coass dan residen serta dokter teruslah
menolong berdasarkan perikemanusian tanpa diskriminatif tanpa melihat kaya atau
miskin, berhati-hatilah karena yang Anda hadapi adalah manusia yang kesalahan atau
kelalaian sedikit saja bisa berakibat fatal yang bisa saja berurusan dengan hukum.
Lakukanlah komunikasi yang baik (efektif, sopan dan senyumlah ke pasien). Bekerjalah
sesuai standar pelayan medik, standar profesi dan standar prosedur operasional maka
hukum yang akan melindungi profesi dokter.
Semua profesi memiliki risiko yang harus dihadapi karena negara kita adalah
negara hukum maka tidak ada orang di Indonesia yang kebal akan hukum, sehingga
penegakan hukum harus pula kita hormati.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
C. Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa5
Mekanisme mediasi itu merupakan pilihan penyelesaian sengketa (nonlitigasi).
Pasalnya, seseorang dimungkinkan menempuh jalur hukum lain (litigasi) misalnya
melalui jalur perdata berupa gugatan ganti kerugian. Terlebih, Pasal 46 UU Rumah Sakit
menegaskan bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaiannya. “Inilah solusi yang diberikan undang-
undang jika terjadi kelalaian.”
Undang-undang telah memberikan perlindungan hukum kepada pasien dan tenaga
kesehatan. “Bentuk perlindungannya jika ada kesengajaan dokter bisa dipidana, kalau
pasien dirugikan karena kelalaian bisa menggunakan mediasi atau gugatan perdata.
Sebenarnya penyelesaian sengketa bidang kesehatan lewat mediasi sudah berjalan,
tetapi belum terlembagakan karena Keputusan Menteri Kesehatan hingga kini belum
dibuat sebagaimana diamanatkan dalam UU Kesehatan. “Selama ini hanya face to face
yang dilakukan komite medik rumah sakit dengan pasien yang dirugikan.”
Ketua MHKI M Nasser menegaskan aturan yang menyatakan kelalaian tenaga
kesehatan tak bisa dipidana, tak melanggar asas hukum. Sebab, sesuai asas hukum lex
specialis derogat lex generalis, aturan khusus dalam tiga paket undang-undang bidang
kesehatan dapat mengenyampingkan aturan umum sebagaimana tertuang dalam KUHP.
“Kalau ada undang-undang yang specialis, undang-undang yang generalis terabaikan”.
Penulis tidak sepakat jika kelalaian tak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai
UU Praktik Kedokteran, masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter
gigi dapat melaporkan kepada MKDKI. Jika terbukti melanggar kode etik, hasilnya
diteruskan kepada organisasi profesi untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis,
pencabutan izin praktik, atau diwajibkan mengikuti diklat.
Laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana
atau menggugat perdata di pengadilan. “Jadi kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan


5
Sabir Alwi, Kelalaian Tenaga Kesehatan Tak Bisa Dipidana, lihat dalam:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ce944de4b8d6/kelalaian-tenaga-kesehatan-tak-bisa-dipidana,
diakses pada tanggal 30 april 2014.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
bisa saja dipidana jika kelalaian yang dilakukan sangat fatal atau berulang-ulang yang
tidak semestinya dilakukan seorang dokter terdidik”.
Karena itu, penegakan hukum dalam soal ini dapat diterapkan secara adil tanpa
pandang bulu. Dampaknya, kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat akan
meningkat karena tenaga kesehatan atau dokter akan bersikap hati-hati. “Dokter akan
hati-hati, dia tidak mau lalai”.
Dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana salah satu
klausulanya menentukan bahwa yang merupakan salah satu prinsip
pertangggungjawaban karena kesalahan dalam perbuatan melawan hukum adalah
termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini
didasarkan pada suatu teori yang dikenal dengan nama “teori hubungan majikan dengan
buruh” atau juga yang dikenal dengan istilah doktrin respondeat superior.
Ditentukannya pertanggungjawaban majikan dalam pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh bawahan untuk menjamin
kepastian berhasilnya ganti rugi. Penerapan doktrin respondeat superior ini mempunyai
dua tujuan pokok yaitu6:
1. Adanya jaminan bahwa ganti rugi yang dibayar pada pasien yang
menderita kerugian akibat tindakan medik dokter
2. Hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter
Untuk mengajukan gugatan terhadap Rumah Sakit, dokter atau tenaga kesehatan
lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat
unsur sebagai berikut7:
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada
dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan
2. Majikan atau rumah sakit mempunyai wewenang untuk memberikan
instruksi yang harus ditaati bawahannya
4. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan

6
Bahder Johan Nasution, op.cit., hal. 72
7
Ibid, hal 16.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
5. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan
kerugian bagi pasien
Berkaitan dengan tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan terutama
tanggung jawab hukum Rumah Sakit, dalam hal ini sebagai suatu badan hukum yang
memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa melalui dua cara8:
1. Langsung sebagai pihak pihak pada suatu perjanjian bila ada
wanprestasi
2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian
peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan melawan hukum.
Hukum Perdata membedakan kategori Rumah Sakit selaku pihak tergugat
(korporasi) yaitu Rumah Sakit pemerintah dan Rumah Sakit swasta. Berkaitan dengan
Rumah Sakit pemerintah, maka manajemen Rumah Sakit pemerintah c.q Dinas
Kesehatan/ Menteri Kesehatan dapat dituntut. Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, karena pegawai yang bekerja pada Rumah Sakit
Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam
menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan untuk manajemen Rumah Sakit
swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam
hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis sampaikan maka dapat disimpulkan bahwa
Pada Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan


8
Triwulan Tutik, Titik dan Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Jakarta,
Prestasi Pustaka, hal 15.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
kesehatan”. Dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29
ayat (1) bahwa setiap dokter dan dokter yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi. Begitupun di
undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 36 menyatakan bahwa
setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat izin praktik. Untuk dokter coass tidak dibenarkan mengambil tindakan medik atau
keputusan apa pun terkait dengan pasien tanpa sepengetahuan dokter supervisi atau
penanggungjawab. Apabila melanggar ketentuan tersebut maka hukum yang berlaku
buat dokter coass adalah hukum pidana (bisa penjara atau denda) dan hukum perdata
(Ganti Rugi) dan perlu dipahami dokter coass belum tunduk terhadap Undang-undang
Praktik kedokteran. Sedangkan untuk residen terkait pengiriman kedaerah-daerah
menurut penulis sudah mempunyai payung hukum dengan diundangkannya pada
tanggal 6 agustus Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan. Secara
hukum karena para residen berangkat berdasarkan rekomendasi rumah sakit atau
program studi, fakultas kedokteran atau pun kementerian kesehatan. Sehingga pimpinan
fakultas dan menteri kesehatan harus bertanggungjawab juga secara hukum, baik hukum
pidana maupun hukum perdata.

B. Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan antara lain:
1. Agar ilmu Hukum Kesehatan dapat diberikan pembelajaran secara mendalam
didalam fakultas kedokteran umum, fakultas kedokteran gigi.
2. Para dokter co ass dan para residence harus lebih menaati aturan didalam
undang-undang kesehatan dan peraturan kedokteran
3. Agar para dokter co ass dan para residence harus menjalankan tugas sesuai
dengan kode etik kedokteran
4. Agar para senior dokter-dokter di Rumah Sakit mereka magang atau
ditugaskan, mau mendampingi dan mengajari para dokter co ass dan para
residence.


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017
DAFTAR PUSTAKA
Amir Ilyas, Tanggung Jawab Dokter Terhadap Pasien, lihat dalam: http://makassar.
tribunnews.com/2013/12/13/tanggung-jawab-hukum-dokter-terhadap-pasien,
diakses pada 14 Januari 2014.

Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.


Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sabir Alwi, Kelalaian Tenaga Kesehatan Tak Bisa Dipidana, lihat dalam:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ce944de4b8d6/kelalaian-tenaga-
kesehatan-tak-bisa-dipidana, diakses pada tanggal 30 april 2014.

Siti Kemala Rohima, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Kelalaian
Tenaga Kesehatan ( Dokter ) Dalam Melaksanakan Tindakan Medik
Berdasarkan Peraturan Perundang- Undangan Yang Berlaku, Universitas
Mataram, Jurnal.

Triwulan Tutik, Titik dan Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Pasien,
Jakarta, Prestasi Pustaka.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


ADVOKASI: Volume 8 Nomor 1 (Januari – Juni) 2017

Anda mungkin juga menyukai