Anda di halaman 1dari 297

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam
Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan)

Dr. dr. Ampera Matippanna, S.Ked., M.H.


(Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam
Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan)

Diterbitkan pertama kali oleh CV. Amerta Media


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang All Rights Reserved
Hak penerbitan pada Penerbit Amerta Media
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa seizin tertulis dari Penerbit

Anggota IKAPI
Cetakan Pertama: Maret 2022
15,5 cm x 23 cm
ISBN
978-623-5510-24-8

Penulis:
Dr. dr. Ampera Matippanna, S.Ked., M.H.

Editor:
Dimas Rahman Rizqian

Desain Cover:
Adji Azizurrachman

Tata Letak:
Amar Al Farizi

Diterbitkan Oleh:
CV. Amerta Media

NIB. 0220002381476

Jl. Raya Sidakangen, RT 001 / RW 003, Kel. Kebanggan, Kec. Sumbang,


Purwokerto, Banyumas 53183, Jawa Tengah. Telp. 081-356-3333-24
Email: mediaamerta@gmail.com
Website: amertamedia.co.id
WhatsApp : 081-356-3333-24
Isi di luar tanggung jawab Penerbit Amerta Media
Sambutan Sekertaris Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan
Assalāmu alaykum waraḥmatullāhi wabarakātuh
Bismillahirrahmanirrahim.
Pertama-tama saya menyambut gembira atas hadirnya buku
yang berjudul " Pertanggung Jawaban Hukum Rumah Sakit Terhadap
Pasien Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan. Sebuah buku yang
di tulis oleh Dr.dr. Ampera Matippanna, S. Ked. MH, seorang ASN
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Memang sangat disadari
bahwa Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sampai saat ini masih
menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk menghadirkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pasien. Masih sering terjadi pemberian pelayanan kesehatan
yang tidak sesuai dengan standar-standar pelayanan dan melanggar
hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan , sehingga berujung pada
gugatan atau tuntutan malpraktek pada dokter, tenaga kesehatan
lainnya dan rumah sakit.
Buku ini mengulas secara jelas tanggung jawab Rumah Sakit
atas kesalahan dan kelalaian dokter dalam Pelaksanaan pelayanan
kesehatan, Tanggung Jawab Rumah Sakit atas pemenuhan hak-hak
Pasien dan Tanggung Jawab Rumah Sakit atas pelayanan Kesehatan
yang ideal sebagai 3 (tiga) pilar tanggung jawab rumah sakit dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Jika ketiga
pilar tanggung jawab rumah sakit tersebut dapat diterapkan dengan
baik oleh setiap dokter atau pihak rumah sakit dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada pasien, akan berdampak besar
terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien
dan dapat meminimalisir kasus-kasus dugaan malpraktek,
khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan .
Pada akhirnya saya berharap semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, rumah sakit
dan para praktisi dibidang hukum kesehatan
Makassar, February 2020

Sekertaris Daerah
( DR. Abdul Hayat Gani, MSi)

-v-
Sambutan Kepala Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPSDM)
Provinsi Sulawesi Selatan
Assalamualaikum Waroḥmatullāhi wabarakātuh.
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji dan syukur ke Hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
atas segala limpahan rahmatNya kepada kita semua, juga kepada Dr.
dr. Ampera Matippanna, S.Ked. MH sehingga berhasil menyelesaikan
penulisan sebuah buku dengan judul "Tanggung Jawab Rumah Sakit
Terhadap Pasien Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan".
Buku ini memberikan banyak informasi mengenai Tanggung
Jawab Rumah Sakit dalam pemenuhan hak-hak pasien dalam
pelayanan kesehatan, tanggung jawab Rumah Sakit dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal dan tanggung jawab
Rumah Sakit atas kesalahan atau kelalaian dokter dan tenaga
kesehatan lainnya, yang mengakibatkan kerugian, cacat atau
meninggalnya pasien.
Tentunya setiap pasien atau keluarganya selalu berharap akan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, agar terhindar
dari segala kerugian. Untuk itu maka pelaksanaan pelayanan
kesehatan harus dilakukan sesuai standar profesi, standar
operasional prosedur dan standar sarana dan prasarana yang
berlaku, serta sesuai dengan etika profesi kesehatan dan ketentuan
hukum yang berlaku. Hal ini diulas dengan jelas oleh penulis,
sehingga mudah dipahami oleh para pembaca.
Saya memberikan apresiasi kepada penulis sebagai ASN pada
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi
Selatan, dimana ditengah kesibukannya sebagai Pejabat Fungsional
Dokter, dapat menggunakan waktu luangnya untuk penulisan buku
ini. Semoga buku ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya
dalam pengembangan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit.
Makassar februari 2022

Kepala BPSDM Provinsi Sulsel


(Drs. H. Asri Sahrun Said)

-vi-
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas kasih
karunia yang dilimpahkan dalam hidup ini, sehingga memampukan
penulis untuk menyelesaikan penulisan buku ini dengan judul
“Hukum Kesehatan: Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap
Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan”. Buku ini awalnya merupakan
sebuah karya ilmiah dalam bentuk Disertasi ketika penulis
menyelesaikan pendidikan Strata 3 Program Doktor Ilmu Hukum
pada Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Setelah diolah dan diadakan perbaikan seperlunya, kemudian
disajikan dalam bentuk buku dengan desain, gaya penulisan dan
konten yang mengalami beberapa perubahan, jika dibandingkan
ketika masih dalam bentuk disertasi.
Beberapa pokok bahasan yang diulas dalam buku ini, mengenai
hubungan hukum antara dokter atau pihak rumah sakit dengan
pasien, Perjanjian terapeutik, pelaksanaan hak dan kewajiban dokter
atau pihak rumah sakit, hak dan kewajiban pasien, perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, pertanggungjawaban hukum
dokter atau pihak rumah sakit, pelayanan kesehatan yang bermutu,
pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan yang berlaku dan lain
sebagainya.
Tentunya buku ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
memerlukan banyak masukan dari berbagai pihak, khususnya bagi
para teman sejawat dokter praktisi hukum dan pemerhati hukum
kesehatan. Meskipun demikian, penulis tetap berharap bahwa buku
ini dapat berkontribusi dalam pengembangan pelayanan kesehatan
dan hukum kesehatan dan dapat menambah khasanah
perbendaharaan pustaka buku-buku kedokteran dan kesehatan di
Indonesia.

Makassar, Januari 2022.

Penulis.

-vii-
Daftar Isi
JUDUL BUKU ........................................................................................... i
TENTANG BUKU .................................................................................... iv
KATA SAMBUTAN ................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii

BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

BAB II
MEMAHAMI TANGGUNG JAWAB HUKUM ............................................ 17

BAB III
PERANAN HUKUM KESEHATAN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN .......................................................... 59

BAB IV
KONSEP PELAYANAN KESEHATAN ........................................................ 81

BAB V
PEMAHAMAN TENTANG RUMAH SAKIT .............................................. 93

BAB VI
HUBUNGAN HUKUM DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK .............. 153

BAB VII
TANGGUNG JAWAB HUKUM
RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN ......................................................... 175

BAB VIII
PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB RUMAH
SAKIT ATAS HAK-HAK PASIEN (Analisis Hasil Penelitian) ........... 203

BAB IX
PENERAPAN SANKSI HUKUM DALAM
KELALAIAN MEDIS (Analisis hasil Penelitian) ................................... 229

-viii-
BAB X
PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB
RUMAH SAKIT DALAM PELAYANAN
KESEHATAN YANG IDEAL (Analisis Hasil Penelitian) ..................... 243

BAB XI
PENUTUP ............................................................................................................ 261

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 265


GLOSARIUM ............................................................................................ 276
PROFIL PENULIS ................................................................................... 286

-ix-
-x-
BAB I

PENDAHULUAN

Pengantar

Masalah tanggung jawab hukum rumah sakit pada pasien


dalam pelayanan kesehatan adalah hal yang menarik untuk dikaji
secara mendalam sehingga mampu meletakkan dasar-dasar filosofis
yang baik dan benar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
pada pasien. Landasan filosofis pelayanan kesehatan oleh rumah
sakit terhadap pasien bertitik tolak pada pelaksanaan kewajiban
rumah sakit untuk memenuhi hak-hak pasien sesuai dengan standar
profesi tenaga kesehatan, standar operasional prosedur dan standar
pelayanan medik serta tanggung jawab hukum atas kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit kepada
pasien.
Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien
dalam pelayanan kesehatan merupakan sebuah kewajiban hukum
yang harus dipenuhi agar setiap tindakan, pengobatan dan
perawatan yang diterima oleh pasien menjadi lebih bermutu dan
berhasil guna untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa
pasien. Keselamatan pasien adalah hal sangat utama dalam setiap
pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter kepada
pasien (asas agroti salus lex suprema).
Asas agroti salus lex suprema (hukum yang tertinggi adalah
keselamatan pasien) menempatkan dokter sebagai profesi yang
mulia (officium nobile), yang dalam menjalankan tugas
profesionalnya selalu mengedepankan pertimbangan keselamatan
pasien sebagai hal yang sangat prioritas. Meskipun kadang
pelaksanaan asas agroti salus lex suprema ini terpaksa harus
berbenturan dengan aturan hukum lainnya. Asas agroti salus lex
suprema merupakan ajaran inti dalam falsafah kedokteran, sejalan
dengan lafal sumpah dokter yang berbunyi “akan mengabdikan

-1-
seluruh ilmu dan pengetahuan yang saya miliki, semata demi untuk
kepentingan kemanusiaan”.
Tujuan utama pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh dokter
atau pihak rumah sakit adalah mengatasi penderitaan dan
memulihkan kesehatan pasien. Hubungan antara dokter atau pihak
rumah sakit dengan pasien merupakan sebuah hubungan yang rumit
karena melibatkan banyak hal selain hubungan medis, seperti
hubungan interpersonal, social, ekonomi, etika dan hukum, yang
secara keseluruhan berpotensi menimbulkan ketegangan-
ketegangan diantara kedua belah pihak
Rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien sangat dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu: kualitas
pelayanan yang diberikan, siapa yang memberikan pelayanan dan
konsumen (pasien) yang menerima dan menilai pelayanan yang
diterimanya (Titik Triwundari Tutik, 2010:1).1 Jika Rumah sakit
mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas,
yang dilaksanakan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang bekerja
secara professional sesuai dengan standar-standar pelayanan rumah
sakit dan pasien sebagai penerima manfaat pelayanan kesehatan
merasa puas sesuai dengan keinginan dan harapannya, maka dapat
dikatakan bahwa pelayanan kesehatan tersebut telah bermutu.
Berdasarkan Pandangan Tri Wulandari Tutik tersebut, maka
tanggung jawab rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan
terhadap pasien dapat dilihat pada tiga dimensi yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya yaitu:
1. Dimensi penyelenggaraan pelayanan Medis; menyangkut proses
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
dokter atau pihak rumah sakit yang dilaksanakan sesuai dengan
standar-standar pelayanan yang berlaku baik yang diatur oleh
pihak rumah sakit maupun menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Setiap penyelenggaraan pelayanan medis
haruslah dalam upaya mengatasi penderitaan atau pemulihan
kesehatan pasien seoptimal mungkin, sesuai dengan tata cara
pemberian pelayanan medis yang baik, benar dan bertanggung
jawab, agar dapat memberi kepuasan kepada pasien.
2. Dimensi hubungan hukum; menyangkut pelaksanaan hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak dalam pelayanan kesehatan.

1 Triwundari Tutik, Titik 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka,
hlm. 1

-2-
Kewajiban dokter atau pihak rumah sakit adalah memberikan
pelayanan medis yang berkualitas sesuai dengan standar-standar
pelayanan yang berlaku sebagai pemenuhan hak-hak pasien,
sebaliknya kewajiban pasien adalah memberikan keterangan atau
informasi yang lengkap dan jujur, mematuhi petunjuk atau
nasehat dokter untuk mempercepat upaya penyembuhan dan
pemulihan penyakitnya dan termasuk membayar biaya
pengobatan dan perawatan sebagai hak dokter atau pihak rumah
sakit.
3. Dimensi kesalahan atau kelalaian dokter atau pihak rumah sakit;
merupakan dasar dalam menuntut pertanggungjawaban hukum
bagi dokter atau pihak rumah sakit. Unsur kesalahan dan
kelalaian dokter dalam penyelenggaraan pelayanan medis yang
menyebabkan kerugian, cacat atau matinya seorang pasien harus
dapat dibuktikan, karena tidak semua kerugian, cacat atau
meninggalnya pasien oleh karena adanya kesalahan atau kelalaian
dokter melainkan oleh karena suatu risiko medis (medical risk).

Tanggung jawab hukum dokter atau pihak rumah sakit dalam


pelayanan kesehatan kepada pasien tercermin dalam pemberian
pelayanan medis yang bermutu, pemenuhan hak-hak pasien dan
penerapan sanksi hukum bagi dokter atau pihak rumah sakit yang
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan atau
kelalaian yang menyebabkan kerugian, cacat atau matinya seorang
pasien. Bentuk pertanggungjawaban hukum atas kesalahan atau
kelalaian dokter atau pihak rumah sakit dapat berupa tanggung
jawab perdata (ganti kerugian), pidana (kurungan badan) dan
administrasi (pencabutan surat izin praktik/ izin operasional rumah
sakit). Lemahnya penerapan sanksi hukum sebagai bentuk
pertanggungjawaban hukum atas kesalahan dan kelalaian dokter
atau pihak rumah sakit, cenderung membuat dokter atau pihak
rumah sakit bertindak kurang hati-hati atau tidak teliti dalam
pelaksanaan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien.
Bastian dan Suryono (2011: 84-85) menyebutkan bahwa
rumah sakit memiliki beban tanggung gugat atas pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
yang berlaku oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja

-3-
di rumah sakit2. Penyebab utama dari gugatan atau tuntutan hukum
atas pertanggungjawaban dokter atau pihak rumah sakit bermula
dari ketidakpuasan pasien atas mutu pelayanan yang diberikan oleh
dokter atau pihak rumah sakit. Rumah sakit dianggap gagal
memenuhi harapan pasien untuk mendapatkan penyembuhan dan
pemulihan kesehatannya, padahal mereka telah memenuhi seluruh
kewajibannya termasuk membayar biaya penyembuhan dan
pemulihan kesehatan mereka selama mereka berobat dan atau
dirawat di rumah sakit tersebut.
Sebagai realitas yang terjadi di masyarakat, beberapa kasus
gugatan atau tuntutan hukum yang meminta pertanggungjawaban
dokter atau rumah sakit atas adanya dugaan kesalahan atau kelalaian
yang telah sampai ke tahap penuntutan baik melalui Pengadilan
Negeri maupun melalui Badan Peradilan Profesi (MDTKI dan MKDKI)
antara lain sebagai berikut:
1. Kasus Pati di Semarang tahun 1981 :3
Kasus tersebut berupa gugatan terhadap dr. Setyaningrum
atas kelalaiannya tidak memberikan pertolongan sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan syok anafilaktik
akibat penyuntikan obat antibiotik Streptomycin pada pasiennya
yang menyebabkan kematian bagi pasien. Berselang beberapa
saat setelah dr. Setyaningrum menyuntikkan streptomicyn pada
pasien Ny. Rusmini, pasien tersebut mengalami mual dan muntah
sebagai suatu tanda terjadinya reaksi alergi obat. Menyadari hal
tersebut, dr. Setyaningrum kemudian melakukan penyuntikan
secara berturut-turut cortison, delladryl dan terakhir adrenalin.
Namun pada akhirnya pasien Ny. Rusmini tidak tertolong dan
akhirnya mengalami kematian.
Dalam penanganan reaksi alergi obat tipe cepat (syok
anafilaktik) maka prosedur standar harus dimulai dengan
pemberian adrenalin. Jika belum berhasil dapat dilakukan
penyuntikan ulangan. Namun dr. Setyaningrum justru memulai
dengan cortison, padahal padanya ada suntikan adrenalin.
Kemudian prosedur standar penyuntikan antibiotik selalu diawali

2 Bastian, Indra dan Suryono, 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika,
Jakarta. hlm.84-85
3 Soewono, Hendrojono. 2005. Batas Pertanggung Jawaban Hukum Malpratik Dokter Dalam
Perjanjian Terapeutik. Surabaya: Srikandi. hlm.136

-4-
dengan test sensitivitas (skin test) yang juga tidak dilakukan oleh
dr. Setyaningrum. Atas kasus kematian pasien Ny. Rusmini,
Pengadilan Negeri Pati dalam Keputusan No. 8/1980/Pid.B./Pn.Pt
tanggal 2 September 1981 memutuskan bahwa dr. Setyaningrum
bersalah atas tindakan tersebut sesuai pasal 359 KUHP yakni
karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Kemudian Pengadilan Tinggi di Semarang melalui Putusan Nomor.
203/1981/Pid/P.T. Semarang tanggal 19 Mei 1982 telah
memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor :
8/1980/Pid.B/Pn.Pt tanggal 2 September 1981 dan sekaligus
menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum.
Selanjutnya berdasarkan kasasi yang diajukan (kuasa) terdakwa,
Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Tengah di Semarang dan Putusan Pengadilan Negeri Pati
dan menyatakan, bahwa kesalahan terdakwa dr. Setyaningrum
binti Siswoko atas dakwaan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
2. Kasus RSUD Sukabumi Tahun 1986.4
Kasus Muhidin Suhendar, dimana orang tua Muhidin
Suhendar yaitu Ma'mun menggugat secara perdata dr. G.
Muhamad Husaini, seorang dokter spesialis mata pada rumah
sakit Samsudin, S.H. ke Pengadilan Negeri Sukabumi karena
dianggap telah melakukan malpraktik. Kasus ini bermula ketika
Muhidin Suhendar yang berumur 20 tahun, pada tanggal 17 Juni
1986 Muhidin Suhendar menderita sakit mata lalu bermaksud
berobat ke Rumah Sakit Umum (RSU) Samsudin, S.H., dengan
diantar kawannya yang bernama Iyep. Pada hari itu juga Iyep
memberitahukan pada Ma'Mun bahwa Muhidin Suhendar
anaknya tidak diperkenankan pulang karena memerlukan
perawatan (opname). Atas berita tersebut Ma'mun menyusul ke
rumah sakit, dan memang benar ternyata anaknya dioperasi oleh
dr. G. Muhamad Husaini. Atas tindakan dokter tersebut, mata
kanan Muhidin Suhendar tidak bisa melihat. Ma'mun merasa
keberatan atas tindakan dr. G. Muhamad Husaini karena tindakan
dokter tersebut tidak atau tanpa ijin darinya dan menganggap
dokter tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum.

4 Samara, Nich, 2006. Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Terapeutik Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Terhadap Dokter. Yogyakarta : Tesis Pascasarjana UII. hlm 5-6.

-5-
Berdasarkan peristiwa tersebut, Majelis Hakim dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa anak Penggugat
Muhiddin Suhendar dianggap sudah dewasa atau cakap bertindak
dalam hukum. Muhidin Suhendar juga merupakan guru mengaji di
sekolah madrasah. Atas pertimbangan hukumnya Majelis Hakim
menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan gugatan
Penggugat tidak dapat diterima dan menghukum Penggugat
membayar ongkos perkara sebesar Rp 32.500 (tiga puluh dua ribu
limaratus rupiah), berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Sukabumi dengan register perkara Nomor: 40/Pdt.G/PN.SMZ,
diputus pada tanggal 31 Desember 1986.
Pokok permasalahan dalam kasus Muhidin Suhendar
adalah pada informed consent (persetujuan tindakan medis) yang
tidak diberikan oleh pihak keluarga dan masalah kecakapan
didalam melakukan kontrak terapeutik.
3. Kasus Rumah Sakit Omni Hospital International di Tangerang
tahun 2009.5
Pada kasus ini justru yang terjadi adalah kebalikan dari
beberapa kasus diatas. Pada kasus ini rumah sakit Omni Hospital
International menggugat pasiennya Prita Mulyasari atas tuduhan
pencemaran nama baik. Pihak pengadilan Negeri Tangerang
mempersalahkan Prita Mulyasari yang menyebarluaskan
keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Hospital
lnternasional kepada rekan-rekan dan sahabatnya melalui surat
elektronik (e-mail). Prita Mulyasari menyampaikan keluhan
melalui surat elektronik (email) atas buruknya pelayanan Rumah
Sakit Omni Hospital Internasional Tangerang. Ibu dua anak
tersebut sempat menghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
Wanita Tangerang sebagai tahanan selama tiga minggu akibat
keluhanya yang dianggap melakukan penghinaan terhadap RS
Omni Internasional, meskipun akhirnya diubah status
penahananya menjadi tahanan kota. Prita Mulyasari sebelumnya
juga digugat secara perdata dan dihukum membayar ganti
kerugian materil sebesar Rp 161 Juta dan mengganti kerugian
Immateril sebanyak Rp 100 juta.
Kasus Prita Mulyasari bermula dari ketidakpuasannya
terhadap Pihak Rumah Sakit Omni Hospital Internasional yang

5 Arief Firmanto, 2014. Aditya. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Kasus Prita Mulyasari
Mengenai Penghinaan. Yogyakarta. Tesis Pascasarjana UII. Hlm.8

-6-
tidak mendapatkan informasi medis yang jelas atas adanya hasil
pemeriksaan laboratorium darah trombocyt yang berbeda yaitu
27.000 dan 181.000. Padahal Prita Muyasari bersikukuh hanya
sekali darahnya diambil dengan hasil 27.000, yang menjadi alasan
dirinya menerima tawaran untuk diopname.
4. Kasus Rumah Sakit Prof. dr. Kandou, 2010.6
Kasus ini menimpa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani Cs, yang
dituntut oleh keluarga korban Julia Fransisca Maketey oleh karena
akibat tindakan operasi cito sectio Caesaria, menyebabkan
terjadinya emboli udara sebagai penyebab kematian korban.
Secara singkat dijelaskan bahwa Fransica Makatey dibawa ke
Puskesmas Bahu untuk melaksanakan persalinan. Namun karena
kekurangan fasilitas, pasien kemudian di rujuk ke Rumah Sakit dr.
Kandou Malalayang, Manado untuk melaksanakan persalinan
pada tanggal 10 April 2010. Pada saat di Rumah Sakit dr.
Kandoung Malalayang, Siska Makatey selanjuntnya dibawa ke
ruang bedah persalinan sekitar pukul 12.00 WITA. Kurang lebih
pukul 18.30 WITA terdapat indikasi untuk segera dilakukan
operasi Cito sectio caesaria kepada Julia Fransisca Makatey. Atas
dasar adanya indikasi medis untuk segera dilakukan operasi,
maka dr. Hendy Siagian menyerahkan surat persetujuan tindakan
khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi kepada Julia
Fransisca Makatey untuk ditanda tangani. Proses penandatangan
tersebut disaksikan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dari jarak
kurang dari 7 Meter. Persetejuan tindakan khusus tersebut
sebagai dasar bagi dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani , dr. Hendry
Simanjuntak dan dr. Helmi untuk melaksanakan tindakan operasi
cito section caesaria pada pasien Julia Fransisca Makatey.
Pada mulanya, dr. Dewa Ayu Cs pada sidang pengadilan
pidana di Pengadilan Negeri Manado dinyatakan tidak bersalah
dan dibebaskan dari segala tuntutan hukum (Vrisprajk) dengan
nomor putusan No.90/PID.B/2011/PN.MDO. Namun putusan
tersebut dianulir oleh pengadilan tingkat kasasi dengan
menyatakan bahwa dr. Dewa Ayu Cs, terbukti bersalah dan
menghukumnya dengan pidana kurungan 10 bulan dengan
putusan nomor No.365K/PID/2012. Selanjutnya dalam sidang

6 Buamona, Hasrul. 2014. Tanggung Jawab AWAB Pidana Dokter Dalam Kesalahan Medis
(Analisis Hukum Putusan Kasasi Nomor 365 K /PID/2012). Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana
UII. hlm. 112.

-7-
pengadilan Peninjauan kembali di Mahkamah Agung akhirnya
yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah dengan putusan
Nomor: 79 PK/PID/2013.
Pada kasus dr. Dewa Ayu Cs, salah satu dasar tuntutan
pidana yang dilakukan oleh penuntut umum adalah tidak
memberikan informasi medis dan penjelasan yang lengkap,
sebelum persetujuan Tindakan Medis yang ditanda tangani oleh
pihak korban, khususnya menyangkut risiko medis.

Berdasarkan beberapa contoh kasus tersebut diatas,


ternyata bahwa gugatan atau tuntutan hukum pasien terhadap
dokter atau pihak rumah sakit bersumber dari adanya dugaan
kesalahan atau kelalaian dokter bekerja tidak sesuai dengan
standar operasional prosedur, tidak berdasarkan indikasi medis
yang jelas dan tidak memberikan informed consent yang baik dan
jelas kepada pasien, sehingga menimbulkan ketidakpuasan yang
berujung pada gugatan atau tuntutan malpraktik.
Berkhouwer & L.D. Vorstman sebagaimana dikutip oleh
Nasution (2005:62)7 mengatakan bahwa suatu kesalahan dalam
melakukan profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor yaitu:
1. Kurangnya pengetahuan.
2. Kurangnya pengalaman.
3. Kurangnya pengertian .

Lebih lanjut, Berkhouwer & L.D. Vorstman menjelaskan


bahwa ketiga faktor tersebut bisa menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam mengambil keputusan atau menentukan
penilaian, baik pada saat diagnosa maupun pada saat
berlangsungnya terapi terhadap pasien.8
Selanjutnya mengenai kelalaian dokter atau pihak rumah
sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
terutama disebabkan karena dokter atau pihak rumah sakit tidak
cermat, tidak teliti dan tidak hati-hati dalam melakukan tindakan
medis kepada pasien. Dokter lalai dalam menerapkan standar
profesi, standar operasional prosedur dan standar pelayanan
medis yang seharusnya dilakukan ,namun tidak dilakukan

7 Nasution, Bahder Johan. 2005. Hukum Kesehatan: Pertanggung jawaban Dokter. Jakarta:
Rineka Cipta. hlm. 62
8 Ibid.

-8-
sehingga mengakibatkan kerugian,cacat atau meninggalnya
pasien. Akibat kesalahan atau kelalaian dokter yang
mengakibatkan terjadinya kerugian , cacat atau kematian pasien
disebut sebagai perbuatan malpraktik kedokteran atau
malpraktik medis.
Kartono Muhammad dalam Seno Adji (1991:62)9,
mengatakan bahwa malpraktik kedokteran adalah istilah hukum,
yang dari sudut harafiahnya punya arti praktik kedokteran yang
buruk atau jelek karena salah atau menyimpang dari yang
semestinya dan lain sebagainya. Selanjutnya Azwar (1996:8)10,
mengatakan bahwa malpraktik memiliki beberapa pengertian
yaitu :
a. Malpraktik adalah setiap kesalahan professional yang
diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan
pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai,
tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai
diperbuat dan dilakukan oleh dokter pada umumnya, didalam
situasi atau kondisi yang sama.
b. Malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh
dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah
standar, yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal
dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat
yang sama
c. Malpraktik adalah setiap kesalahan professional diperbuat oleh
seorang dokter, yang didalamnya termasuk kesalahan karena
perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan
karena keterampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam
menyelenggarakan kewajiban dan atau kepercayaan
professional yang dimilikinya.

9 Seno Adji, Oemar. 1991. Etika Profesionalisme Dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana
Dokter :Profesi Dokter. Jakarta : Erlangga. Hal.62
10 Azwar, Azrul 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih Bermutu. Jakarta: Yayasan
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. hal.8

-9-
Semakin meningkatnya kasus-kasus gugatan dokter atas
perbuatan malpraktik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain :
1. Semakin membaiknya tingkat pengetahuan dan kesadaran
pasien akan hak-haknya dalam pelayanan kesehatan;
2. Komersialisasi pelayanan kesehatan yang menyebabkan
semakin meningkatnya pembiayaan kesehatan, yang dengan
sendirinya memberikan ekspektasi yang tinggi dari pasien
terhadap mutu pelayanan kesehatan yang akan diterimanya
dari dokter atau pihak rumah sakit;
3. Keterbukaan informasi publik yang sedemikian cepat dan
meluas melalui internet, media massa dan media sosial lainnya;
4. Meningkatnya perhatian dan dukungan Lembaga-lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) dalam memberikan pengawasan dan
kontrol dalam mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
dokter atau pihak rumah sakit kepada pasien;
5. Meningkatnya peran serta para ahli hukum dalam memberikan
edukasi, pendampingan dan bantuan hukum sehubungan
dengan kasus-kasus dugaan malpraktik.

Fokus Pembahasan Buku

Dalam buku ini akan dibahas mengenai tanggung jawab


hukum rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada pasien.
Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit diwakili oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di rumah sakit tersebut baik
sebagai karyawan tetap maupun karyawan tidak tetap, yang dalam
pelaksanaannya bertindak untuk dan atas nama rumah sakit. Dalam
penulisan buku ini tidak dipisahkan tanggung jawab hukum dokter
sebagai subyek hukum orang pribadi (naturlijk persoon) dengan
tanggung jawab hukum rumah sakit sebagai subjek hukum badan
hukum (recht persoon). Untuk mendapatkan gambaran dan
pemahaman mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien
dalam pelayanan kesehatan, akan dibahas beberapa permasalahan
pokok yang terkait langsung dengan tanggung jawab rumah sakit
dalam pelayanan kesehatan kepada pasien yaitu :

-10-
1. Pelaksanaan tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap hak-
hak pasien dalam pelayanan kesehatan.
2. Penerapan sanksi hukum terhadap dokter atau pihak rumah sakit
atas pemberian pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan
standar operasional prosedur (SOP)
3. Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit yang ideal terhadap
pasien dalam pelayanan kesehatan

Catatan Tentang penelitian

Buku ini awalnya ditulis dalam bentuk disertasi yang telah


diujikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan pada
Tahun 2017. Kemudian berselang 5 tahun , oleh penulis diadakan
perbaikan seperlunya terutama pada kajian-kajian teoritik dan
struktur pembahasan dalam isi tulisan. Meskipun demikian metode
penelitian, lokus penelitian dan hasil-hasil penelitian tetap
disertakan dalam buku ini sebagai dasar pengkajian tanggung jawab
rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa buku ini bukanlah copy paste yang
persis sama dengan penulisan awal ketika masih dalam bentuk
disertasi
Sebagai gambaran singkat tentang disertasi ini yang kemudian
ditulis kedalam bentuk buku dijelaskan sebagai berikut :

-11-
Kerangka Konsep Penelitan

Gambar Bagan Kerangka Pemikiran

-12-
Hipotesis
Rumah sakit belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab
rumah sakit terhadap pelaksanaan hak-hak pasien yang tidak sesuai
dengan ketentuan pelayanan kesehatan di rumah sakit

Jenis Penelitian.
Penelitian disertasi yang ditulis dalam buku ini merupakan
penelitian yang bersifat yuridis sosiologis, yaitu penelitian yuridis
yang bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris
dengan jalan terjun langsung ke objeknya11, atau dapat pula
dikatakan sebagai penelitian lapangan, yang mengkaji ketentuan
hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di
masyarakat12. Penelitian ini dilakukan berdasar pendekatan
normatif, teori hukum dan filsafat hukum.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif
dengan melakukan observasi, lembar pertanyaan dan wawancara
mendalam . Pada penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data
dengan kuesioner dan mengkaji data dalam hubungannya dengan
aspek-aspek hukum tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan terhadap pasien.

Lokus Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015-2016 di wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kota Makassar dan Kabupaten
Tanatoraja. Penelitian di Kota Makassar dilakukan pada 3 (tiga)
rumah sakit yaitu; Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji, Rumah
Sakit Kepolisian Bhayangkara dan Rumah Sakit TNI AD Tk.II
Pelamonia, sedangkan penelitian di Kabupaten Tanatoraja di lakukan
di Rumah Sakit Umum Daerah Lakipadada. Pertimbangan memilih
lokasi penelitian di Kota Makassar karena Kota Makassar merupakan
salah satu barometer perumahsakitan di Indonesia Bagian Timur,

11 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia Press, 2005, hlm. 51.
12 Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, hlm. 126

-13-
sedangkan Kabupaten Tanatoraja merupakan wilayah kabupaten
perifer yang jaraknya relatif jauh dari pusat kota Provinsi Sulawesi
Selatan yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh dan waktu yang
relatif lama (sekitar enam jam ke Kota Makassar). Penelitian ini
kemudian diolah pada Tahun 2016 sebagai bahan Disertasi Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar dan
diujikan pada tahun 2017 di hadapan Mejelis Penguji Sidang
Disertasi yang terbuka untuk umum

Waktu Penelitian
Periode waktu untuk pengisian lembar pertanyaan dan
wawancara dengan informan dimulai pada bulan juli-november
2015. Penyebaran dan pengumpulan kuisioner dilakukan bulan
januari-april 2016.

Populasi, Informan Dan Responden.

Populasi penelitian ini adalah seluruh rumah sakit yang


menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada pasien yang ada di
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, baik yang kepemilikannya oleh
pemerintah maupun swasta, juga rumah sakit dengan klasifikasi A
sampai dengan Klasifikasi D dengan jumlah keseluruhan 93 rumah
sakit. Adapun rinciannya sebagai berikut ; Rumah Sakit Kelas A 3
buah , Rumah Sakit Kelas B 25 buah , Rumah Sakit Kelas C 47 buah,
Kelas D 12 buah dan Rumah sakit yang belum ditetapkan 6 buah.
Informan yang digunakan pada penelitian ini adalah para
dokter yang bekerja di rumah sakit dan pasien yang dirawat di
rumah sakit tempat penelitian dilaksanakan. Setiap rumah sakit
dipilih empat orang informan dokter dan empat orang informan
pasien yang dilakukan secara random. Penulisan kode informan
sesuai dengan singkatan nama rumah sakit dengan keterangan
singkatan D untuk dokter dan P untuk pasien .Misalnya kode 01/BK-
D/2015 artinya informan pertama untuk dokter pada rumah sakit
Bhayangkara dan kode 01/BK-P/2015 artinya informan pertama
untuk pasien pada rumah sakit Bhayangkara. Demikian selanjutnya
sampai kode 04 /BK-D/2015 dan 04/BK-P/2015.

-14-
Responden yang digunakan pada penelitian ini adalah para
dokter yang bekerja dirumah sakit dan pasien dirumah sakit
tersebut. Setiap rumah sakit 10 orang dokter dan 30 orang pasien
yang dipilih secara random.

Pengolahan Data
Data dalam penelitian ini, dianalisis secara kualitatif dan
disajikan dalam bentuk deskriptif. Pada penelitian ini tidak
digunakan uji statistik tetapi hanya menggunakan tabel-tabel
frekwensi. Data kuantitatif digunakan untuk memperkuat kajian
kualitatif sehingga terjadi pandangan yang lebih komprehensif.
Secara teoritis, diharapkan penelitian dalam buku ini menjadi
bahan kajian dalam rangka pembinaan dan pengembangan ilmu
Hukum dan Kesehatan, terutama dalam penegakan hukum kesehatan
dan rumah sakit. Penulis juga berharap kepada pemerintah, semoga
penelitian dalam buku ini dapat menjadi sumbangsih gagasan yang
berharga, guna mengambil langkah-langkah positif dalam rangka
mereformasi dan menyempurnakan kebijakan berkenaan dengan
penegakan hukum kesehatan. Adapun bagi para praktisi hukum,
diharapkan penelitian dalam buku ini dapat menjadi bahan
pertimbangan, sekaligus salah satu referensi penting, dalam rangka
penegakan hukum kesehatan dan rumah sakit.

-15-
-16-
BAB II

MEMAHAMI TANGGUNG
JAWAB HUKUM

Pengertian Tanggung Jawab Hukum

Manusia tidak akan terlepas dari pergaulan hukum dalam


masyarakat. Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hukum
agar setiap tindakan hukum dan hubungan hukum yang dilakukan
oleh subjek hukum baik subjek hukum orang pribadi (natuurlijk
person) atau subjek hukum badan hukum dapat melaksanakan
kewajiban dengan baik dan benar serta mendapatkan hak-haknya
secara wajar13. Setiap tindakan hukum (recht handeling) dan
hubungan hukum (rechtbetrekking) antar subjek hukum
mengandung suatu tanggung jawab sebagai sebuah kewajiban
hukum terhadap pemenuhan hak-hak subjek hukum lainnya. Dalam
hal ini hukum bertindak sebagai pengatur lalu lintas pergaulan
hukum. Ketika ada subjek hukum yang melalaikan kewajiban hukum
yang seharusnya dijalankan atau melanggar hak itu, dibebani
tanggung jawab dan dituntut memulihkan atau mengembalikan hak
yang sudah dilanggar tersebut14.
Sebuah tanggung jawab hukum lahir dari adanya kewajiban
hukum yang diemban oleh subjek hukum baik sebagai orang pribadi
(natural persoon) maupun sebagai badan hukum (recht persoon).
Kewajiban hukum tersebut timbul oleh karena suatu hubungan
hukum atau menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seseorang disebut bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan
hukum dan hubungan hukum yang dilakukannya jika orang tersebut
bertanggung jawab atas sanksi hukum, apabila yang orang tersebut
melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi.

13 Rahardjo, Satjito. 2000. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Hlm. 55.
14 Ibid.

-17-
Kewajiban hukum yang lahir karena sebuah hubungan hukum
dalam perjanjian (kontrak), maka masing-masing pihak atau subjek
hukum memiliki hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan.
Kewajiban subjek hukum A akan berhadapan dengan hak subjek
hukum B dan sebaliknya kewajiban subjek hukum B berhadapan
dengan subjek hukum A.
Kewajiban hukum yang lahir karena perintah Undang-Undang
adalah kewajiban yang diemban oleh subjek hukum karena adanya
aturan hukum yang mengatur dan memberi kewajiban kepada subjek
hukum untuk menaati dan melaksanakannya. Akibat dari tidak
dilaksanakannya kewajiban maka akan menimbulkan sanksi. Sanksi
ini merupakan tindakan paksa dari aturan hukum supaya kewajiban
dapat dilaksanakan dengan baik oleh subjek hukum. Subjek hukum
yang dikenakan sanksi tersebut dikatakan “bertanggung jawab” atau
secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran15
Pengertian Tanggung Jawab dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)16 mengandung makna “keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya, jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima
pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain. Sehubungan
dengan makna tersebut, maka tanggung jawab hukum merupakan
pelaksanaan kewajiban subjek hukum untuk memenuhi hak-hak
hukum subjek hukum lainnya yang dalam pelaksanaannya wajib
menanggung segala sesuatunya, dapat dipersalahkan, diperkarakan
dan atau dituntut di muka pengadilan.

15 Kelsen, Hans. 2008. Pure Theory of Law, (Terjemahan Raisul Muttaqien. Teori Hukum
Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Cetakan Keenam. Bandung, Penerbit Nusa Media.
hlm. 136.
16 Departemen Pendidikan Indonesia (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

-18-
Pengertian tanggung jawab hukum menurut ahli.

Beberapa pengertian tanggung jawab hukum menurut


pendapat para ahli antara lain :
a. Ridwan Halim dalam Khairunnisa (2008 : 4)17
Mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu
akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu
merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum
tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak
menyimpang dari peraturan yang telah ada.
b. Purbacaraka (2010: 37)18
Berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber
atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan
tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan
kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan
kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang dilakukan secara
tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada
dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban,
demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan
c. Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, 2006: 61)19
Seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan
tertentu, dan bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus perbuatannya yang bertentangan /berlawanan dengan
hukum. Sanksi dikenakan padanya (deliquet), karena
perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggung
jawab.

Dalam kamus hukum, tanggung jawab yaitu suatu keharusan


bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan
kepadanya.20 Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan
konsep hak dan kewajiban21. Konsep hak merupakan suatu konsep

17 Khairunnisa, Dina. 2008. Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam
Pengurusan BUMN. Medan : Tesis Pasca Sarjana USU Medan. hlm.4.
18 Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto 2010. Perihal Kaedah Hukum. Bandung: Citra
Aditya hlm. 37
19 Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, M. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI. hal.62
20 Hamzah, Andi. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
21 Rahardjo, Satjipto. loc.cit

-19-
yang menekankan pada pengertian hak yang berpasangan dengan
pengertian kewajiban. Pendapat yang umum mengatakan bahwa hak
pada seseorang berkorelasi dengan kewajiban pada orang lain22.
Selanjutnya Istanto (2014:77) mengemukakan pertanggungjawaban
berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk
memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin
ditimbulkannya23

Pengertian Tanggung Jawab Hukum Perdata

Dalam hukum perdata dikenal ada dua macam dasar


pertanggung jawab hukum (legal liability) yaitu tanggung jawab
hukum atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan
pertanggungjawaban hukum tanpa kesalahan (Liability without fault)
yang dikenal dengan pertanggungjawaban risiko atau
pertanggungjawaban mutlak (strick liability).24. Pertanggungjawaban
atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa setiap kesalahan yang
dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang
lain mengharuskannya untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sebaliknya pertanggungjawaban atas risiko adalah
pertanggungjawaban yang diwajibkan pada seseorang meski tanpa
melakukan suatu kesalahan, tetapi karena akibat dari suatu risiko
terhadap orang, benda yang berada dalam pengawasannya.
Secara umum, prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut25.:
a. Prinsip tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (liability
based on fault).
Dasar pertanggungjawaban hukum atas kesalahan dalam
KUHPerdata merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata menyatakan “Tiap perbuatan melawan hukum
yang oleh karenanya membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

22 Ibid. hlm. 57
23Istanto, F. Sugeng 2014. Hukum Internasional, Cet.2,. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. hal. 77
24Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, PT. Raja Grafindo Persada
Bandung. hlm, 95
25Munir Fuady. 2002. Perbuatan Melawan Hukum, cet.1. Bandung : CitraAditya Bakti. hlm.3

-20-
untuk mengganti kerugian tersebut.”26 Dalam pengertian tersebut,
kesalahan akibat perbuatan melawan hukum oleh si pelaku
memberikan kewajiban untuk melakukan ganti kerugian terhadap
korban.
Dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan
melawan hukum sebagai penyebab kesalahan merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda “onrechtmatige daad”, yang oleh
para ahli hukum memberikan pengertian yang tidak seragam.
Menurut Wirjono Projodikoro (2000 :1),27 kata yang lebih tepat
untuk menerjemahkan onrechtmatigedaad adalah Perbuatan
Melanggar Hukum. Menurutnya perkataan “perbuatan” dalam
rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar hukum” dapat
diartikan sebagai perbuatan positif dan juga perbuatan negatif.
Perkataan “melanggar” dalam arti positif adalah perbuatan yang
bersifat aktif yang dilakukan oleh si pelaku. Sedangkan perbuatan
melanggar dalam arti negatif yaitu si pelaku tidak melakukan
suatu perbuatan atau berdiam diri (pasif), namun pada diri si
pelaku terdapat kesadaran untuk tidak melakukan perbuatan
tersebut. Dalam pengertian tersebut yang bergerak bukan tubuh
si pelaku, melainkan pikiran dan perasaannya.
Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Moegni
Djojodirjo (1982: 13)28 menerjemahkan “onrechtmatige daad”
sebagai perbuatan melawan hukum, karena menurutnya dalam
kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif. Sifat aktif dapat
dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan
gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah
“melawan tersebut”. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam
saja atau dengan lain sengaja sikap pasif saja sehingga
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan”
tanpa harus menggerakkan badannya. Menurut Moegni
Djojodirdjo istilah “melanggar” hanya mencerminkan sifat
aktifnya saja sedangkan sifat pasifnya diabaikan, namun pada

26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1365


27 Prodjodikoro, R. Wirjono. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Mandar Maju. hlm.
1
28 Djojodirjo, M.A Moegni. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita. Jakata. hlm.
13

-21-
istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang
bersifat aktif maupun pasif.
Meskipun terdapat perbedaan dalam menerjemahkan
pengertian kata onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan
hukum atau perbuatan melanggar hukum dalam Pasal 1365
KUHPerdata oleh para ahli hukum, namun pada prinsipnya adalah
sama sebagai perbuatan dengan kesengajaan atau disadari oleh si
pelaku baik bersifat positif (aktif) mapun negative (pasif) yang
menimbulkan kerugian pada orang lain.
Pertanggungjawaban atas kesalahan selain oleh karena
perbuatan melawan hukum sebagai kesengajaan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, juga oleh karena suatu
kelalaian yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Hal ini
diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata yang menegaskan bahwa:
“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang
disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”29
Berdasarkan ketentuan sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata, maka Secara prinsip
pertanggungjawaban hukum atas perbuatan kesalahan apabila
terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang baik oleh karena kesengajaan atau karena kelalaian
yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain.
Selanjutnya antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh si pelaku dan kerugian yang dialami oleh korban harus
memiliki hubungan sebab akibat (kausal). Shidarta (2000: 59)
menyebutkan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya.30
Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah merumuskan pengertian
perbuatan melawan hukum secara eksplisit, melainkan hanya
mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk
menuntut ganti kerugian yang dialaminya di muka pengadilan
yang dialami oleh karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang lain.31

29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Opcit Pasal 1366.


30 Shidarta, 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, hal. 59.
31 Djodjodirjo, M.A. Moegni. op.cit, hlm 18.

-22-
Sehubungan dengan syarat-syarat untuk melakukan
gugatan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum terhadap
seseorang, sebagai mana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata,
maka terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi agar gugatan
tersebut dapat diterima oleh pengadilan yaitu antara lain:32
(a) Ada perbuatan;
(b) Perbuatan tersebut melawan hukum
(c) Ada kesalahan;
(d) Adanya kerugian
(e) Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan.

Unsur-unsur tersebut akan diberikan penjelasan lebih detail


sebagai berikut:
1) Adanya Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum bermula dari adanya
perbuatan dari si pelaku, baik sebagai perbuatan nampak
dilakukan (aktif) maupun perbuatan yang tidak nampak
dilakukan (pasif). Perbuatan pasif oleh hukum tetap dianggap
sebagai sebuah perbuatan, meskipun tidak nampak dilakukan
oleh si pelaku karena pada dasarnya sikap pasif tersebut
merupakan hal yang disadari untuk berbuat sesuatu, namun
memilih untuk bersikap berdiam diri.
Perbuatan yang dimaksud pada pasal 1365 KUHPerdata
baik yang bersifat aktif maupun pasif adalah perbuatan yang
berakibat hukum yang kepada si pelaku dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum apabila perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian pada orang lain. Perbuatan yang
berakibat hukum yang dilakukan oleh subjek hukum (orang
atau badan hukum) dapat berupa perbuatan yang akibatnya
dikehendaki (kesengajaan) atau perbuatan yang akibatnya
tidak dikehendaki (kelalaian). Perbuatan subjek hukum dengan
akibat yang dikehendaki disebut sebagai perbuatan hukum,
sedangkan pada akibat yang tidak dikehendaki bukan
perbuatan hukum. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
perbedaan antara perbuatan hukum dengan bukan perbuatan
hukum terletak pada kehendak si pelaku33.

32 Pasal 1365 KUHPerdata. loc.cit


33 Soeroso, R. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.293-294

-23-
Beberapa Pengertian Perbuatan hukum menurut ahli antara
lain :
(1) Menurut Soeroso, R (2011:293-294).
Perbuatan Hukum adalah setiap perbuatan subjek hukum
(manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh
hukum dan karena akibat tersebut dapat dianggap sebagai
kehendak dari yang melakukan hukum 34
(2) Marwan Mas (2004:39)
Mengemukakan bahwa Perbuatan hukum adalah setiap
perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai
akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki
oleh subjek hukum. 35
(3) Menurut Sudarsono (2004:289)
Pengertian Perbuatan Hukum adalah setiap perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum karena akibat itu boleh
dianggap menjadi kehendak dari yang melakukan
perbuatan itu36
(4) Menurut Chainur Arrasjid (2004:136),
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum dan akibat itu dikehendaki oleh yang
melakukan perbuatan37
Dalam konteks hukum perdata baik perbuatan yang
dilakukan oleh subjek hukum sebagai perbuatan hukum
yang akibatnya dikehendaki (kesengajaan) atau bukan
perbuatan hukum yang akibatnya tidak dikehendaki
(kelalaian), jika melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan
kesusilaan, kepatutan dan kepantasan dalam masyarakat,
yang oleh perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi
orang lain dapat digugat atau dituntut dimuka pengadilan.

2) Perbuatan melawan hukum


Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
sebelum adanya Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda)
1919 diartikan secara sempit yaitu suatu perbuatan yang

34 Ibid. hal 291.


35 Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta, hlm. 39
36 Sudarsono,2004. Pengantar Ilmu Hukum. Rineka Cipta. Jakarta, hlm. 289.
37 Arrasjid, Chainur. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 136.

-24-
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut
Undang-Undangsebagai akibat dari pengaruh ajaran legisme
yang sangat kuat pada waktu tersebut. Menurut ajaran Legisme
(abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai
berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan
kewajiban hukum dari si pembuat atau melanggar hak orang
lain. Sehingga menurut ajaran Legisme suatu perbuatan
melawan hukum harus memenuhi salah satu unsur yaitu:
melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban
hukum si pembuat yang telah diatur dalam Undang-Undang.38
Dalam pandangan ajaran legisme, sama sekali tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena
suatu perbuatan melawan hukum, yang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang (hukum tertulis), sekalipun perbuatan
tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan
oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan
masyarakat. Penafsiran yang sempit ini sangat merugikan
orang banyak, sebab tidak semua kepentingan orang dalam
masyarakat diatur dan dilindungi Undang-Undang.39
Setelah tahun 1919 Arrest Hoge Raad melalui putusan
pengadilan dalam perkara Cohen vs Linden memberikan
pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas, yang
telah menjadi yurispridesi hukum, yaitu antara lain: 40
(a) Melanggar hak orang lain.
Yang dimaksud melanggar hak orang lain adalah melanggar
hak subjektif orang lain, yaitu wewenang khusus yang
diberikan oleh hukum kepada seseorang. Meijers
berpendapat bahwa ciri dari hak subjektif adalah suatu
wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada
seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Hak-hak
subjektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak
perorangan, seperti kebebasan, kehormatan, dan nama baik
dan hak-hak atas harta kekayaan, seperti hak-hak
kebendaan dan hak-hak mutlak lainnya.

38 Setiawan, Rachmat.1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung:


Alumni. hlm. 15
39 Syahrani, Riduan.2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata (Edisi Revisi), Bandung:
Alumni. hlm.276
40 Slamet, Sri Rejeki. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu
Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica Volume 10 (2). Hlm.111.

-25-
(b) Bertentangan dengan kewajiban hukum di pembuat.
Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang
didasarkan pada hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Yang termasuk bertentangan dengan
kewajiban hukum adalah pencurian, penggelapan, dan lain-
lain.
(c) Bertentangan dengan kesusilaan
Yang dimaksud dengan kesusilaan adalah norma-norma
moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui
sebagai norma-norma hukum.
(d) Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu
lintas masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.

Dalam setiap perbuatannya manusia harus


memperhatikan kepentingan-kepentingan sesamanya. Harus
mempertimbangkan kepentingan sendiri dengan kepentingan
orang lain dan mengikuti apa yang oleh masyarakat dianggap
sebagai hal yang layak dan patut. Yang dapat dianggap
bertentangan dengan kepatutan adalah perbuatan yang sangat
merugikan orang lain, tanpa kepentingan yang layak dan
perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya
terhadap orang lain, di mana menurut manusia yang normal
hal tersebut harus diperhatikan.
Fuady (2002:30), memberi pengertian perbuatan
melawan hukum sebagai berikut 41: “Sebagai suatu kumpulan
dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol
atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung
jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan
untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu
gugatan yang tepat”
Wirjono Projodikoro (2000:7), yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum adalah42: “perbuatan yang
mengakibatkan keguncangan dalam kehidupan bermasyarakat
dan keguncangan ini tidak hanya terdapat dalam kehidupan
bermasyarakat apabila peraturan-peraturan hukum dalam
suatu masyarakat dilanggar (langsung). Oleh karena itu,
tergantung dari nilai hebatnya keguncangan itu. Meskipun

41 Fuady, Munir. 2002. Op cit hlm 30


42 Prodjodikoro. R. Wirjono 2000, Op cit hal. 7.

-26-
secara langsung hanya mengenai peraturan kesusilaan,
keagamaan atau sopan santun, tetapi harus dicegah keras,
seperti mencegah suatu perbuatan yang langsung melawan
hukum”
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap
perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut43 :
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain
dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi
contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti
rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa
sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana
perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan
suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu
kecelakaan.
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh
hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang
pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya
tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu
ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan
wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap
kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban
equity lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi
terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu
perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan
kontraktual
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara
bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi
dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. Perbuatan
melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia
bukan suatu fisika atau matematika.

43 Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis). Bandung: Citra
Aditya Bakti. hlm. 4.

-27-
3) Mengenai Unsur Kesalahan
Dalam hukum perdata dibedakan dalam dua bentuk
yaitu kesalahan karena kesengajaan (opzet/dolus) dan
kesalahan karena kurang kehati-hatian (culpa). Kesalahan
adalah suatu akibat dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh si pelaku yang menyebabkan kerugian pada
orang lain, yang kepadanya dapat dibebankan
pertanggungjawaban hukum.
Berdasarkan Undang-Undang dan yurisprudensi suatu
perbuatan agar dapat masuk dalam kategori perbuatan
melawan hukum maka harus ada unsur kesalahan (schuld)
dalam melakukan perbuatan tersebut44. Sebagaimana adagium
dalam hukum pidana “tiada hukum tanpa kesalahan”(geen straf
zonder schuld) yang dikemukakan oleh Van Blemmen dan Van
Hattum, maka Rutten pun berusaha menerapkan adagium
tersebut dalam bidang perdata dengan mengemukakan tiada
pertanggungan gugat atas akibat-akibat dari perbuatan
melawan hukum tanpa kesalahan atau sebagaimana yang
dikemukakan oleh Meyers, perbuatan melawan hukum
mengharuskan adanya kesalahan (een onrechtmatige daad
verlangt schuld)45.
Syarat kesalahan didalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah
adanya unsur kesengajaan, sedangkan dalam pasal 1366
KUHPerdata adalah adanya unsur kelalaian, sehingga dapat
dikatakan pertanggungjawaban perdata atas kesalahan
mencakup perbuatan yang dengan sengaja dilakukan oleh si
pelaku dan karena perbuatan kelalaian yang dilakukan oleh si
pelaku
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan perbuatan dengan
kesengajaan apabila pada saat melakukan perbuatan melawan
hukum tersebut pelaku mengetahui secara sadar bahwa
perbuatannya akan berakibat suatu perkosaan kepentingan
tertentu, dan menyadari bahwa keadaan-keadaan sekitar
perbuatannya yaitu keadaan yang menyebabkan kemungkinan
akibat itu terjadi46.

44 Prodjodikoro, Wirjono. op.cit, hlm.8


45 Djojodirdjo M. A. Moegni, op. cit, hlm. 66.
46 Prodjodikoro, Wirjono. 2000. op.cit., hlm. 22.

-28-
Untuk dapat menilai adanya kesalahan yang dilakukan
oleh seseorang tidaklah mudah, sehingga harus diteliti dengan
cermat dan penuh kehati-hatian. Terdapat dua teori kesalahan
yang sering digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya
kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang yaitu teori
kesalahan objektif dan teori kesalahan subjektif.
Teori Kesalahan objektif yaitu harus dapat dibuktikan
bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat
menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini
akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak
berbuat (Volmar, 1984 : 458)47, sedangkan teori kesalahan
subjekif menyatakan untuk menentukan kesalahan seseorang
harus diteliti apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia
miliki dapat menduga akibat dari perbuatannya (Rachmat
Setiawan,1999: 65).48
Suatu perbuatan atau tindakan dianggap mengandung
unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban
hukum, jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Ada unsur kesengajaan.
(b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa).
(c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf
(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht,
membela diri, tidak waras dan lain-lain.

4) Adanya Kerugian
Pengertian kerugian dalam Pasal 1365 KUHPerdata
adalah kerugian sebagai akibat dari adanya suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain kepada
korban. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh
Djasadin Saragih (1985:54) memberikan pengertian kerugian
sebagai berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang
disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan)
yang melanggar norma (perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi) oleh pihak yang lain.49

47 Volmar,1984. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta : CV. Rajawali. hlm. 458
48 Setiawan, Rachmat. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra Abardin. hlm.65
49 Saragih, Djasadin 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press,
Surabaya, hlm. 54.

-29-
Bentuk kerugian yang dapat terjadi sebagai akibat suatu
perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materil dan
immateril (moril). Kerugian materil adalah kerugian terhadap
kekayaan yang pada umumnya mencakup kerugian yang
dialami oleh korban dan keuntungan yang diharapkan dapat
diterima seandainya tidak terjadi perbuatan melawan hukum.
Sedangkan kerugian immateril (moril) mencakup kerugian
yang dialami oleh korban berupa ganguan fisik, psikologis,
kehormatan dan nama baik serta gangguan atas ketenangan
hidup lainnya akibat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh si pelaku.
Berdasarkan pengertian kerugian tersebut, maka hal-hal
yang dapat digugat oleh korban terhadap si pelaku atas
kesalahannya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah50:
1) Pengrusakan barang (menimbulkan kerugian materil)
2) Gangguan (hinder), menimbulkan kerugian immateril yaitu
mengurangi kenikmatan atas sesuatu.
3) Menyalahgunakan hak orang, menggunakan barang
miliknya sendiri tanpa kepentingan yang patut, tujuannya
untuk kepentingan orang lain.

Penggantian kerugian dalam KUHPerdata secara


konsisten menggunakan istilah biaya, rugi, dan bunga. Yang
dimaksud dengan biaya adalah setiap uang atau apapun yang
dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata
oleh pihak yang dirugikan, rugi atau kerugian (dalam arti
sempit) adalah keadaan berkurangnya nilai kekayaan
seseorang sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan
hukum dan yang dimaksud dengan bunga adalah suatu
keuntungan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi
diperoleh karena adanya perbuatan melawan hukum51:
Untuk menentukan besaran kerugian yang harus diganti,
maka sedapat mungkin dihitung kerugian yang secara nyata
dialami oleh korban dan biaya-biasa yang dikeluarkan dan
bunga (keuntungan) yang diharapkan akan diterima jika
perbuatan melawan hukum tersebut tidak terjadi. Pembayaran
ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Hoge Raad

50 Prodjodikoro, Wirjono. 2000. op.cit., hlm. 16


51 Fuady, Munir. 2002. Opcit. hlm 136-137.

-30-
dalam Keputusan tanggal 24 Mei 1918 telah
mempertimbangkan bahwa pengembalian pada keadaan
semula adalah merupakan pembayaran ganti kerugian yang
paling tepat. Maksud ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata adalah
untuk seberapa mungkin mengembalikan kerugian pada
keadaan semula, setidak-tidaknya pada keadaan yang mungkin
dicapainya, sekiranya tidak dilakukan perbuatan melawan
hukum. Maka yang diusahakan adalah pengembalian yang
nyata yang kiranya lebih sesuai daripada pembayaran ganti
kerugian dalam bentuk uang karena pembayaran sejumlah
uang hanyalah merupakan nilai yang equivalen saja52.
Menurut Moegni Djoyodirdjo ada 2 metode yang dapat
digunakan dalam menuntut ganti kerugian yaitu53:
1. Metode Konkrit sesuai dengan pengembalian dalam
keadaan semula yang rusak adalah yang harus diganti.
2. Metode Subjektif menyesuaikan pada keadaan diri si pelaku
(subjektif) atau orang yang bersangkutan. Selain itu juga
dapat ditempuh dengan cara lain, yaitu dengan penafsiran
harga atau ex aequo et bono (asas kepantasan)

Munir Fuady (2002:137), menyebutkan beberapa


pemberian ganti kerugian menurut KUHPerdata sebagai
berikut54 :
a) Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal
1365 KUHPerdata);
b) Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain
(Pasal 1367 KUHPerdata). Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata,
seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian
yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang
yang berada dalam pengawasannya (vicarious liability)
c) Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368 KUHPerdata)
d) Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369
KUHPerdata

52 Slamet, Sri Rejeki. op cit. hal.113.


53 Djojodirdjo, M.A Moegni.op cit. hal 102.
54 Fuady, Munir. 2002.Opcit. hal. 137.

-31-
e) Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang
dibunuh (Pasal 1370 KUHPerdata)
f) Ganti rugi karena telah luka tau cacat anggota badan (Pasal
1371 KUHPerdata)
g) Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372
KUHPerdata)

5) Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan


Hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan
dengan kerugian yang terjadi, merupakan salah satu syarat
dari suatu perbuatan melawan hukum. Meskipun dalam Pasal
1365 KUH Perdata tidak menyebutkan secara eksplisit tentang
hubungan sebab akibat dari suatu perbuatan melawan hukum,
namun secara tersirat dapat dijumpai pada frase “karena
salahnya menimbulkan kerugian tersebut”. Frase ini dapat
dijelaskan bahwa oleh karena adanya perbuatan (sebab), maka
timbullah kerugian (akibat). Hubungan sebab akibat dalam
perbuatan melawan hukum merupakan unsur penting yang
harus dibuktikan dalam gugatan ganti kerugian.
Terdapat 2 macam teori, dalam menentukan suatu
hubungan sebab akibat dalam perbuatan melawan hukum
yaitu55 :
(a) Teori Hubungan Faktual
Teori hubungan factual sering juga disebut teori
Kausalitas (causa) yang intinya selalu mempersoalkan
adanya hubungan antara sebuah peristiwa hukum dengan
penyebab yang melatar belakangi timbulnya peristiwa
hukum tersebut.
Salah satu ajaran teori kausalitas yang cukup
terkenal dalam hukum perdata adalah teori Conditio sine
qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 1873
oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan
bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu
akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht)) dari
rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus
dianggap “causa”(akibat).

55 Setiawan, Rachmat. 1999. op.cit. hal.87

-32-
Teori conditio sine qua non disebut juga teori
equivalen (equivalent theorie), karena tiap faktor yang
tidak dapat dihilangkan diberi nilai sama dan sederajat,
dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa
sebab (meervoudige causa). Sebutan lain dari teori Von
Buri ini adalah “bedingungs theorie”(teori syarat), disebut
demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung)
dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Inti ajaran Conditio sine qua non dari Von Buri
adalah “suatu hal adalah sebab dari akibat, sedangkan
suatu akibat tidak akan terjadi bila sebab itu tidak ada”.
Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum selalu bertanggung jawab, jika
perbuatan Conditio Sine Qua Non menimbulkan kerugian.
Hubungan sebab akibat secara faktual (caution in
fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara
faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan
kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan
melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut
hukum mengenai “but for ” atau “sine qua non ”.
(b) Teori Adequate Veroorzaking.
Teori Adequate Veroorzaking dari Von Kries
menyatakan: “Suatu hal adalah sebab dari suatu akibat bila
menurut pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa
sebab itu akan di ikuti oleh akibat itu.”
Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum hanya bertanggungawab untuk kerugian,
yang selayaknya diharapkan sebagai akibat dari perbuatan
melawan hukum. Menurut Vollmar: “Terdapat hubungan
kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara
layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan
timbul dari perbuatan melawan hukum.”
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebagaimana
yang telah diuraikan tersebut diatas, maka prinsip
pertanggungjawaban atas kesalahan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Sipelaku dapat dimintai pertanggungjawaban hukum
atas kesalahannya baik karena kesengajaan maupun
karena kelalaian.

-33-
2) Pertanggungjawaban hukum perdata atas kesalahan
tersebut, adalah berupa ganti kerugian
3) Bentuk ganti kerugian adalah kerugian yang nyata,
biaya dan bunga
4) Besaran ganti kerugian diberikan menurut kepatutan
dan kewajaran

b. Tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of


liability)
Tanggung jawab hukum atas praduga bersalah juga
merupakan bagian dari tanggung jawab atas kesalahan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Secara
prinsip tanggung jawab praduga bersalah dengan tanggung jawab
atas kesalahan adalah sama yaitu menjadikan unsur kesalahan
sebagai dasar yang harus dibuktikan sebagai penyebab timbulnya
kerugian. Perbedaan diantara keduanya adalah pada siapa yang
menanggung beban pembuktian. Jika pada tanggung jawab atas
kesalahan, beban pembuktian berada pada penggugat, maka pada
tanggung jawab praduga bersalah beban pembuktian berada pada
pihak tergugat.
Prinsip dasar dari tanggung jawab praduga bersalah
(presumption of liability), tergugat dianggap selalu bertanggung
jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat
membebaskan tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah.56
Penerapan prinsip tanggung jawab praduga bersalah
dengan pembalikan beban pembuktian pada tergugat bila para
pihak yang berperkara di pengadilan berada dalam kedudukan
yang tidak seimbang, dimana salah satu pihak memiliki
kedudukan yang lebih kuat dari pihak lainnya sehingga pihak
yang lemah mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya
unsur kesalahan dari pihak yang lebih kuat
Bentuk penerapan tanggung jawab atas praduga bersalah
diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28 yang
menyatakan sebagai berikut : ”Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud

56 Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika
Hlm. 94

-34-
dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha”57. Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat
(5) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen juga menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen”58 Dalam hal ini tanggung jawab praduga
bersalah identik dengan pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast).
Meskipun dalam teori tanggung jawab praduga bersalah ini
beban pembuktian selalu berada pada si tergugat, tidaklah berarti
bahwa seseorang dapat dengan semena-mena melakukan gugatan
tanpa bukti-bukti yang cukup, karena selalu terbuka kemungkinan
bagi si tergugat untuk melakukan gugatan balik kepada penggugat
jika si tergugat mampu membuktikan bahwa pada dirinya tidak
terdapat unsur kesalahan.
c. Tanggung Jawab Hukum Tanpa Kesalahan (lilability without fault)
Prinsip pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault), sering disebut dengan istilah strick liability atau
absolute liability. Penggunaan istilah strict liability atau absolutee
liability sering digunakan secara bergantian. Beberapa ahli hukum
menganggap bahwa kedua istilah tersebut mengandung
pengertian yang sama, namun adapula yang menganggap bahwa
kedua istilah tersebut memiliki perbedaan pokok.59
Salah seorang Ahli hukum yang memberikan perbedaan
antara strick liability dengan absolute liability adalah Bin Cheng.
Bin Cheng berpendapat bahwa pada strict liability adalah
perbuatan yang menyebabkan kerugian harus dilakukan oleh
orang yang bertanggung jawab. Dalam hal strict liability, terdapat
hubungan kausalitas antara pihak yang benar-benar bertanggung
jawab dengan kerugian. Sedangkan pada absolutee liability adanya
hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab
dengan kerugian tidak disyaratkan. Timbulnya absolute liability
pada saat keadaan yang menimbulkan tanggung jawab ada tanpa

57 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 28


58 Ibid. Pasal 19 ayat (5)
59 Wiradipradja, E Saefullah,1989. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta. hlm. 86.

-35-
mempermasalahkan oleh siapa atau bagaimana terjadinya
kerugian tersebut.60
Mircea Mateescomatte menggunakan istilah objective
liability sebagai padanan strick liability untuk membedakannya
dengan absolute liability. Objective liability yang dimaksudkannya
adalah bahwa si tergugat dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya dalam hal terjadinya keadaan force majuere, atau
contributory negligence of a third party (kerugian karena
kesalahan pihak ketiga), sedangkan pada absolute liability hal
tersebut tidak dimungkinkan61.
Rosa Agustina menyebutkan bahwa prinsip tanggung jawab
tanpa kesalahan adalah “bahwa seseorang harus bertanggung
jawab ketika kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya
kesalahan pada dirinya, sehingga faktor kesalahan bukan lagi
merupakan unsur yang harus dibuktikan di pengadilan62.
Selanjutnya Black's Law Dictionary Seventh Edition63, merumuskan
pengertian tanggung jawab mutlak (absolutee liability atau strict
liability) sebagai berikut: strict liability had does not depend on
actual negligence or intent to harm, but that is based on the breach
of an absolutee duty to make something safe (tanggung jawab
mutlak tidak tergantung pada kelalaian atau niat untuk menyakiti,
tetapi itu didasarkan pada pelanggaran kewajiban mutlak untuk
membuat sesuatu menjadi aman).
Menurut RC Hoeber at al, biasanya prinsip tanggung jawab
mutlak ini diterapkan karena64:
(1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk
membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi
dan distribusi yang kompleks.
(2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika
sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya
dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu
pada harga produknya.

60 Ibid. hlm. 37.


61 Ibid.
62 Agustina, Rosa. 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.230.
63 Garner, A. Bryan (ed.), 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition.USA : West Publishing
Co. Hal. 926
64 Hoeber, R.C. et al., 1986. Contemporary Business Law, Principle and Cases. Newyork:
McGraw-Hill Book Co. hlm. 420

-36-
(3) asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati

Penerapan tanggung jawab tanpa kesalahan dapat dijumpai


dalam sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 88 Undang-
Undang tersebut secara tegas menyebutkan bahwa: “Setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan”65.
Laode M Syarif menyebutkan bahwa Teori strict liability
merupakan tanggung jawab orang yang melakukan suatu jenis
kegiatan yang di golongkan sebagai abnormally dangerous66,
sehingga ia diwajibkan memikul segala kerugian yang
ditimbulkan, meskipun telah bertindak hati-hati untuk mencegah
bahaya atau kerugian tersebut, walaupun dilakukan tanpa
kesengajaan67
Ajaran tanggung jawab hukum tanpa kesalahan (liability
without fault) dalam KUHPerdata dapat merujuk pada Pasal 1367
ayat (1) yang menyatakan bahwa seseorang tidak saja
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya.68
Berdasarkan rumusan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1367 KUHPerdata
tersebut, maka dapat dibagi menjadi:69

65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup. Pasal 88.
66 Syarif, M. Laode dan Andri G Wibisana (ed), Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi
Kasus, USAID, Jakarta. hal. 583
67 Erwin, Muhammad. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Di Indonesia, PT. Revika Aditama, Bandung. hal. 114
68 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Opcit Pasal 1367 ayai (1)
69 Ibid.

-37-
a. Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan orang yang
menjadi tanggungannya. Tanggung jawab orang tua dan wali
terhadap anak-anak yang belum dewasa, yang diatur dalam pasal
1367 ayat (2) KUHPerdata. Anak yang belum dewasa berada
dalam pengampuan orang tua, sehingga perbuatannya yang
merugikan orang atau pihak lain menjadi tanggung jawab orang
tua atau walinya.
b. Tanggung jawab majikan dan orang yang mewakilkan urusannya
terhadap orang yang dipekerjakannya Tanggung jawab majikan
terhadap pekerjanya atau orang yang mewakilkan urusan atau
pekerjaannya kepada pekerjanya diatur dalam Pasal 1367 ayat
(3). Berdasarkan ketentuan pasal ini maka, kerugian yang
disebabkan oleh karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pekerja tersebut dalam pelaksanaan tugasnya atau
dalam melaksanakan perintah majikan atau orang yang memberi
kuasa untuk mewakilkan urusannya akan menjadi tanggung
jawab dari majikan atau si pemberi kuasa tersebut. Mengenai
tanggung jawab ini, berarti bahwa perbuatan melawan hukum
yang menyebabkan kerugian tersebut harus terjadi pada waktu
jam kerja dan harus terdapat hubungan antara perbuatan tersebut
dengan pekerjaan yang diberikan70
c. Tanggung jawab terhadap benda yang berada dalam
penguasaannya.
Tanggung jawab ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa benda-benda yang berada dalam
pengawasan seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang
atau pihak lain, menjadi tanggung jawab pemilik benda atau yang
menguasai benda-benda tersebut.
d. Tanggung jawab guru-guru sekolah dan kepala tukang
Kerugian yang timbulkan oleh anak didik atau tukang-tukang
kepada orang lain akan menjadi tanggung jawab guru dan kepala
tukang selama mereka dalam pengawasannya. Berakhirnya
tanggung jawab orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah dan
kepala-kepala tukang tersebut apabila dapat membuktikan bahwa
mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka
seharusnya bertanggung jawab, sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 1367 ayat (5) KUHPerdata71

70 Setiawan, Rachmat. 1982.opcit. hal.35.


71. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, opcit pasal 1367 ayat (5).

-38-
Dari uraian-uraian terhadap pertanggungjawaban hukum
tanpa kesalahan yang diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata mulai
dari ayat (1) sampai dengan ayat (4), sangat nampak dengan jelas
bahwa pertanggungjawaban yang dipikul oleh subjek hukum
orang atau badan hukum bukan disebabkan oleh karena
kesalahannya, melainkan oleh kesalahan orang lain (liability
without fault).
Selanjutnya Penerapan Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata
banyak digunakan dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan
korporasi. Dalam hal ini, kerugian yang ditimbulkan oleh
karyawan menjadi beban dan tanggung jawab korporasi.
Tanggung jawab korporasi atas kesalahan karyawannya yang
menyebabkan kerugian pada orang atau pihak lain dikenal dengan
tanggung jawab Vicarious Liability.
Ajaran tentang tanggung jawab vicarious liability didasari
atas adanya hubungan kerja antara karyawan dengan korporasi
yang dikenal dengan employment principle. Employment
principle adalah bahwa majikan (employer) adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhya atau
karyawannya.72 Dengan demikian, dalam doktrin ini terlihat
prinsip “the servant’s act is the master act in law” atau yang
dikenal juga dengan prinsip the agency principle yang berbunyi
“the company is liable for the wrongful acts of all its employees.”73
Employment principle”, majikan adalah pihak utama yang
bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh atau
karyawannya selama perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup
kerjannya.74
Penerapan Vicarious Liability umumnya digunakan pada
perbuatan melawan hukum dalam perdata, namun sering dengan
perkembangan hukum, vicarious liability juga mulai diterapkan
dalam hukum pidana. Vicarious liability dikembangkan
berdasarkan doctrine of respondeat superior.75 Doktrin respondeat
superior menganut paham bahwa korporasi sebagai badan hukum

72 Kristian.2016. Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan


Perbandingan Hukum di Berbagai Negara). Bandung: PT. Revika Aditama. hlm.93
73 Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Media Group, 2007, hlm. 249.
74. Kristian. Op.Cit. hlm. 96.
75. Peter W. Low, Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co.,
1990, hlm. 251

-39-
(recht persoon) tidak dapat melakukan kesalahan, melainkan
hanya agen-agen korporasi lah yang dapat melakukan kesalahan
yakni mereka bertindak untuk dan atas nama korporasi dan
bertindak untuk memberikan keuntungan korporasi76.
d. Tanggung Jawab Hukum Atas Wanprestasi.
Dalam hukum perdata tanggung jawab atas ganti kerugian
selain oleh karena adanya perbuatan melawan hukum, juga oleh
karena perbuatan wanprestasi. Istilah wanprestasi berasal dari
Bahasa Belanda, “wanprestatie” yang berarti prestasi buruk atau
cidera janji. Dalam Bahasa Inggris, wanprestasi disebut breach of
contract, yang bermakna tidak dilaksanakannya kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak.77
Lawan dari wanprestasi adalah prestasi. Dalam setiap
perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh para pihak, prestasi
merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk
melaksanakan isi dari perjanjian tersebut. Hal ini diatur dalam
Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut, “Tiap-
tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”78 Berdasarkan bunyi
pasal tersebut, maka prestasi merupakan kewajiban para pihak
yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian yaitu dalam bentuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
sebagaimana ketentuan yang disepakati oleh para pihak, sebagai
isi perjanjian.
Subekti (2008:120) menyebutkan Pengertian prestasi
dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah
mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan
kontrak yang bersangkutan.79 Dalam hal salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang diatur
dalam isi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati bersama,
maka dikatakan telah melakukan wanprestasi atau cedera janji.
Wanprestasi itu sendiri dapat berupa, yaitu:

76. Kristian, op cit. hal 94.


77 Santoso Az, Lukman. 2016. Hukum Perikatan (Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerja Sama, dan Bisnis). Malang : Setara Press. hlm. 75
78 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Opcit Pasal 1234.
79 Subekti, R. 2008. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa. hlm 120.

-40-
1. Tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan (Pasa1239
KUHPerdata)
2. Melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana
mestinya (Pasal 1248 KUHPerdata).
3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat (Pasal
1243 KUHPerdata).
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan (Pasal 1242 KUHPerdata)

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur


dinyatakan wanprestasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:80
1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dapat disesalkan.
2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang
objektif yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa
keadaan itu akan timbul. Maupun dalam arti yang subjektif,
yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan
demikian akan timbul.
3. Dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya, artinya bukan orang gila atau lemah ingatan.81

Dalam hal seseorang telah dinyatakan melakukan


wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat melakukan
gugatan ganti kerugian sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1243 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “penggantian biaya,
rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya82

Untuk menyatakan seseorang lalai dalam melaksanakan


prestasi dalam suatu perjanjian tidaklah mudah, karena tidak
diaturnya secara tegas batas waktu pelaksanaan prestasi dalam
klausul-klausul perjanjian atau kontrak, sehingga untuk

80 Sofwan, Sri Soedewi Masyohen. 1981. Hukum Acara Perdata Indonesia dalam Teori dan
Praktik: Yogyakarta: Liberty. hlm. 15
81 Subekti, R. 2008. Loc.cit.
82 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Opcit. Pasal 1243

-41-
menyatakan seseorang telah lalai memenuhi prestasi yang telah
diperjanjikannya, terlebih dahulu harus diberikan peringatan
atau teguran (somasi). Apabila somasi itu tidak di indahkannya,
maka pihak yang dirugikan berhak membawa persoalan itu ke
pengadilan. Pengadilan lah yang akan memutuskan, apabila telah
terjadi wanprestasi atau tidak.83
Somasi adalah suatu pemberitahuan yang berisi peringatan
atau perintah kepada pihak yang dianggap lalai memenuhi
prestasi yang telah diperjanjikannya agar segera atau menurut
waktu yang telah ditetapkan untuk melaksanakan kewajiban-
kewajibannya, dalam bentuk surat atau akta yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang atau yang dibuat sendiri oleh pihak yang
merasa dirugikan.
Ketentuan mengenai somasi untuk menyatakan seseorang
telah lalai memenuhi prestasi yang menjadi kewajibannya diatur
dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan :

“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan


perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada
dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan
itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam
keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan
saja”84. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in
gebreke stelling) 85.

Selanjutnya apabila oleh penetapan hakim, pihak yang


dianggap melakukan wanprestasi telah terbukti kebenarannya,
maka gugatan ganti kerugian yang dapat dilakukan sebagai
pertanggung jawaban hukum terdapat pihak yang wanprestasi
yaitu berupa segala biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian
yang sesungguhnya telah dialami dan bunga atau keuntungan
yang diharapkan dapat diperoleh jika wanprestasi tersebut tidak
terjadi. Hal ini diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena
tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,

83 Salim H.S. 2008. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 98
84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Opcit. Pasal 1238.
85 Salim HS. Opcit. Hal. 96

-42-
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”86
Dalam hal gugatan ganti kerugian tersebut, besaran jumlah
ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan
besarnya nilai prestasi yang menjadi objek perjanjian dibanding
dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau
ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar
kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan
timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan
diperolehnya.87
Dasar penuntutan ganti kerugian pada wanprestasi adalah
oleh karena adanya kesalahan baik kesengajaan ataupun karena
kelalaian dan tidak terdapat suatu keadaan memaksa (force
majeure). Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa
wanprestasi mengandung dua kemungkinan alasannya yaitu
karena kesalahan baik kesengajaan atau kelalaian dan karena
keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi diluar
kemampuan penyewa, penyewa tidak bersalah.88

Pengertian Tanggung Jawab Hukum Pidana

1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana, sebagai terjemahan dari kata
strafbaar feit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda, yang kemudian atas dasar asas konkordansi menjadi
KUHP Indonesia. Selain kata starfbaar feit juga sering disebut
sebagai delik yang berasal dari bahasa Latin yaitu delictum.
Pengertian starftbaar feit atau delik telah diterjemahkan oleh
para sarjana dalam berbagai perumusan undang-undang, sebagai
perbuatan yang dapat/boleh dihukum; peristiwa pidana;
perbuatan pidana; dan tindak pidana89

86 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Opcit. Pasal 1243


87 Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. hlm. 66.
88 Muhammad, Abdul Kadir. 1982, Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal.14.
89 Sianturi, S.R. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3. Jakarta:
Storia Grafika. hlm 204-207.

-43-
Suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan atau tindak
pidana, apabila perbuatan tersebut perbuatan melanggar aturan
atau ketentuan yang dilarang didalam hukum pidana, baik yang
diatur dalam KUHP, maupun yang diatur diluar KUHP, yang
disertai dengan ancaman atau sanksi pidana. Barda Nawawi Arief
(2011: 83), menyebutkan hakikat dari tindak pidana yaitu
perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun
secara materil. Sedangkan pengertian tindak pidana adalah
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana90. Selanjutnya
Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian tindak pidana
sebagai perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatan
tersebut bersifat melawan hukum, dan terdapat suatu kesalahan
yang bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya91

Beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) menurut


sarjana asing, yaitu antara lain :
a. Simons, menyatakan suatu tindakan yang melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang -undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum92
b. Van Hammel, menyatakan bahwa tindak pidana (strafbaar feit)
adalah suatu serangan atauancaman terhadap hak-hak orang
lain.93
c. Vos, menyatakan bahwa tindak pidana (straftbaar feit) adalah
suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada
umumnya dilarang diancam dengan ancaman pidana94

90 Arief, Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta : Kencana. hlm. 83
91 Adji, Indriyanto Seno Adji. 2002 Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara dan
Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan. hlm.155.
92 Lamintang, P.A. F. 1997: Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hlm. 18
93 Ibid.
94 Purnomo, Bambang 1982: Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. hlm. 91

-44-
d. Pompe, menyatakan bahwa Tindak Pidana (straftbaar feit)
menurut pengertian teoritis adalah suatu pelanggaran
terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar
dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum, sedangkan
menurut pengertian menurut hukum positif adalah suatu
kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.95

Sebuah perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana,


apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Leden Marpaung
(2005:9),96 mengemukakan dua unsur untuk dapat disebut
sebagai suatu tindak pidana (delik), yaitu unsur subjektif dan
unsur objektif. Unsur subjektif berasal dari diri perilaku.
Sebagaimana Asas hukum pidana “tidak ada hukuman kalau tidak
ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the
mind is guilty or actus non facit reurn mens sit rea). Kesalahan
yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh
kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (schuld).
Sedangkan unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku
yang terdiri atas :
1) Perbuatan manusia berupa : Act yakni perbuatan aktif atau
perbuatan pasif (omissions) atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut
membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan
dan sebagainya.

Selanjutnya Satochid Kartanegara (Leden Marpaung, 2005


:10),97 juga menyebutkan adanya unsur subjektif dan unsur
objektif dalam tindak pidana(delik). Unsur subjektif adalah unsur
yang terdapat dalam diri manusia, yaitu adanya kemampuan
bertanggung jawab dan adanya kesalahan. Sedangkan unsur
objektif berasal dari luar manusia, yaitu berupa; suatu tindakan,

95 Ibid
96 Marpaung Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafrika. hlm. 9.
97 Ibid. hlm 10

-45-
suatu akibat dan suatu keadaan, yang kesemuanya itu dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang.
Moeljatno (Adami Chazawi,2001:79)98, menyatakan suatu
tindak pidana memiliki unsur-unsur, adanya perbuatan;
perbuatan yang dilarang (oleh aturan hukum); dan adanya
ancaman pidana (bagi pelanggarnya).

Pertanggungjawaban pidana atas kesalahan

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban


hukum pidana terhadap seorang pelaku perbuatan pidana. Untuk
adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus
dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu
tindak pidana.99 Roeslan Saleh mengatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang
melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.100
Berdasarkan pandangan Roeslan Saleh tersebut, dapat
dijelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan
pidana terhadap seseorang pelaku perbuatan pidana. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa antara pertanggungjawaban
pidana dan perbuatan pidana tidaklah sama. Pertanggungjawaban
pidana fokus pada subjek hukum pidana yang melakukan perbuatan
pidana (unsur subjektif), sedangkan tindak pidana fokus pada
perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku (unsur objektif).
Moeljatno menggambarkan perbedaan antara perbuatan
pidana dengan tanggung jawab pidana dengan penjelasan sebagai
berikut: “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan
saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar,
Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya mempersoalkan segi-
segi subjektif dari pembuat tindak pidana.”101 Selanjutnya Moeljatno
menyatakan, perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu
subjek delik yang dituju oleh norma hukum (addressaat norm),

98 Chazawi, Adami. 2001. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta : PT Raja. Grafindo Persada. hlm.
79
99 Saleh, Roeslan. 1990. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru.
Jakarta, hlm. 80
100 Ibid. hlm. 75
101 Moeljatno,2015. Asas-asas Hukum Pidana, cet. IX, Rineka Cipta. Jakarta, hlm. 56-57.

-46-
perbuatan yang dilarang (strafbaar), dan ancaman pidana
(strafmaat). Ketiga hal ini merupakan masalah kriminalisasi yang
termasuk dalam lingkup tindak pidana. Sebaliknya
pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan dalam keadaan
bagaimanakah pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana.102
Roeslan Saleh (1982: 33), dalam membedakan
pertanggungjawaban pidana dengan perbuatan pidana menjelaskan
sebagai berikut: “pertanggungjawaban pidana sebagai diteruskannya
celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara
subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena
perbuatannya itu”103. Celaan objektif yang dimaksud adalah
perbuatan yang dilarang, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum baik hukum formil maupun materil. Sedangkan
celaan subjektif adalah celaan yang merujuk pada si pelaku
perbuatan yang dilarang tersebut. Sekalipun perbuatan yang
dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut
tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak ditemukan kesalahan,
maka tanggung jawab hukum pidana tidak mungkin ada.
Mahrus Ali (2011: 156), mengatakan bahwa dipidananya
seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik
dalam Undang-Undangdan tidak dibenarkan, namun hal tersebut
belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana yaitu orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.104
Dalam hal menuntut pertanggungjawaban si pelaku perbuatan
pidana, maka harus dapat dibuktikan bahwa si pelaku memiliki
unsur kesalahan dan dinyatakan bersalah. Sehubungan dengan hal
tersebut, Andi Hamzah menyebutkan seorang pelaku (dader) dapat

102 Moeljatno,1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam hukum Pidana. PT Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 11.
103 Saleh, Roeslan. 1982. Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan
Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm-33.
104 Ali, Mahrus. 1998, Dasar – Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 156.

-47-
dimintai pertanggungjawaban hukum pidana apabila memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:105
1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya
dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
2) Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu
adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku
mempunyai kesadaran yang mana pelaku seharusnya dapat
mengetahui akan adanya akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya.
3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus
dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada
pembuat.
Terkait dengan dapat tidaknya si pelaku dipersalahkan oleh
karena suatu perbuatan kesengajaan atau oleh karena kelalaian,
Leden Marpaung menguraikan sebagai berikut :

2. Kesengajaan (opzet):106
a. Kesengajaan sebagai Maksud.
Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan apabila kesengajaan seperti ini
ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas di kenakan
hukuman.
b. Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti.
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang
menjadi dasar dari delik dan mengetahui pasti atau yakin
benar bahwa selain akibat dimaksud akan terjadi suatu akibat
lain.
c. Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (dolus
eventualis).
Kesengajaan ini juga disebut kesengajaan dengan kesadaran
kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan
tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi,
si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain
yang juga dilarang dan diancam oleh Undang-Undang.

105. Hamzah, Andi. 1997. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. hlm. 130
106. Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafrika. hlm.
15

-48-
3. Kelalaian (culpa).107
a. Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld)
Dalam hal ini, pelaku telah membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk
mencegah tetap timbul tersebut
b. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld).
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh
Undang-Undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan
akan timbulnya suatu akibat.

Sistem pertanggungjawaban pidana mengenal adanya asas


kesalahan dan asas legalitas sebagai syarat mutlak yang harus
terpenuhi dalam penjatuhan pidana terhadap tersangka atau
terdakwa. Di negara-negara yang menganut sistem civil law asas
kesalahan tersebut, dikenal sebagai asas geen straf zonder schuld
yang dapat diartikan tiada pidana tanpa kesalahan. Sedangkan di
negara-negara yang menganut sistem common law dikenal sebagai
actus non facit reum nisi mens sit rea yang memiliki arti bahwa suatu
perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap
batin yang salah.
Berdasarkan kedua asas kesalahan tersebut, maka
pertanggungjawaban pidana tidak hanya melihat dari segi unsur
perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang disertai dengan
ancamannya atau perbuatan yang betentanganan kesusilaan,
kepatutan dan kepantasan, atau perbuatan yang melanggar asas-asas
umum yang berlaku, melainkan juga harus memperhatikan aspek-
aspek yang berpengaruh pada diri si pelaku sekaitan dengan
dilakukannya perbuatan pidana tersebut. Adanya hubungan antara
perbuatan pidana (actus reus) dengan sikap batin si pelaku sebagai
suatu hal yang disengaja atau karena kelalaian, dalam keadaan
normal dan kondisi kejiwaan yang stabil maka si pelaku dapat
dipidana karena kesalahan tersebut. Zainal Abidin Farid
menyebutkan untuk dapat dipidananya seseorang, harus dipenuhi
dua hal yaitu actus reus (physical element) dan mens rea (mental
element).108 Moeljatno menyebutkan untuk menjatuhkan pidana
pada seseorang, aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya

107. Ibid
108 Farid, Zainal Abidin. 2014. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 35.

-49-
berupaya untuk membuktikan perbuatan pidana (actus reus) yang
memenuhi rumusan delik yang diatur dalam undang-undang, tetapi
juga harus berupaya untuk membuktikan adanya sikap batin (mens
rea) pada diri si pelaku sebagai celaan atau kesalahan.109
Selanjutnya mengenai asas legalitas dalam hukum pidana
merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Menurut ketentuan pasal ini, pelaku perbuatan pidana hanya dapat
di pidana, jika perbuatan pidana yang dilakukannya telah diatur
sebelumnya dalam peraturan pidana. Seseorang tidak dapat
dipidana tanpa kesalahan oleh karena perbuatan tersebut belum ada
aturannya. Asas legalitas ini disebut juga sebagai asas nullum
delictum nulla poena sine pravie lege poenali. Berdasarkan asas
tersebut, Anselm von Feuerbach, membagi asas legalitas kedalam tiga
bentuk yaitu:110
1) Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ada aturan pidana
yang mengatur dalam Undang-Undangsebelumnya.
2) Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan
pidana.
3) Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana
tanpa pidana menurut Undang-Undang.

Pada Pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas limitasi waktu


berlakunya suatu perbuatan pidana sebagai bagian dari asas legalitas
yang disebut sebagai asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana
yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang
berlaku saat itu.111 Berdasarkan limitasi waktu tersebut, maka asas
legalitas memiliki tiga pengertian yaitu:112
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukum
pidana jika perbuatan tersebut belum terlebih dahulu termuat dan
dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang.
2) Tidak boleh menggunakan analogi Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana.

109 Moeljatno, 1983. Loc.cit.


110 Sastrawidjaja, Sofjan. 1990. Hukum Pidana I. Bandung: CV. Armico hlm. 74
111 Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. Buku Ajar Hukum Pidana. Makassar. Pustaka Pena Press,
hlm.22.
112 Ilyas, Amir. 2012. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia. hlm 13.

-50-
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Kedudukan asas kesalahan dan asas legalitas memang tidak
kita dapati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
namun mengenai diakuinya kesalahan sebagai syarat penjatuhan
pidana atau dasar pertanggungjawaban pidana tidak perlu
diragukan, karena akan sangat bertentangan dengan rasa keadilan
apabila ada orang yang tidak bersalah lalu dijatuhi pidana.113
Kesalahan adalah adanya hubungan antara sikap batin pelaku
dengan perbuatan pidana yang dilakukannya. Sikap batin si pelaku
menjadi dasar pencelaan atau kesalahan atas perbuatan pidana yang
dilakukannya. Suatu perbuatan pidana disertai dengan sikap batin
yang dapat dicela, maka si pelaku dapat dijatuhi pidana. Sebaliknya
jika pada diri si pelaku tidak terdapat sikap batin sebagai dasar
pencelaan, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan perbuatan
pidana disertai dengan ancaman pidana tidak dapat dijatuhi pidana.
Sikap batin si pelaku perbuatan lazim disebut sebagai kemampuan
bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat
dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta
alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk menentukan adanya
kesalahan subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara
lain:114
(1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat.
(2) Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
(3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya
alasan pemaaf.

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat


dipisahkan antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu
bergantung pada unsur yang lain. Selanjutnya penjelasan mengenai
unsur penghapus pidana dalam pertanggungjawaban pidana, antara
lain sebagai berikut:115
1) Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh
terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

113 Sudarto,2009. Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Hukum Sudarto FH UNDIP. hlm. 143.
114 Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung, Sinar Baru. hal.91

115 Soema Dipradja, R. Achmad.1982. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung: Alumni. hlm. 249

-51-
2) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan
pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
3) Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan
ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada
pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang
yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap
bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada
masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP dapat dijumpai


pada Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa, Pasal 50
(melaksanakan peraturan Undang-Undang), dan Pasal 51 ayat (1)
(perintah jabatan).116 Sedangkan Alasan pemaaf yang terdapat dalam
KUHP dapat dijumpai pada Pasal 44 (tidak mampu
bertanggungjawab), Pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), Pasal 51 ayat
(2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah).117
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka penilaian
tanggung jawab hukum pidana bagi penegak hukum, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu antara lain:
a. Pelaku adalah subjek hukum yang dianggap cakap oleh hukum
mengemban hak dan kewajiban hukum, sehingga padanya dapat
dibebani pertanggungjawaban hukum.
b. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang memenuhi rumusan
delik yang disertai dengan ancaman pidana baik dalam KUHP
maupun peraturan perundang-undangan lain diluar KUHP atau
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan
kepantasan yang berlaku baginya, atau melanggar asas-asas
umum yang berlaku di masyarakat.
c. Terdapat hubungan batin (psikis) dalam diri si pelaku dengan
perbuatan yang dilakukannya sebagai sebuah kesengajaan atau
kelalaian.
d. Pada diri si pelaku tidak terdapat alasan penghapus kesalahan
(alasan pemaaf) atau tidak terdapat alasan penghapus sifat

116 Moeljatno, 2015. Opcit. hlm. 127


117 Sudarto, 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung : Alumni. hlm 42

-52-
melawan hukum atas perbuatan pidana yang dilakukannya
(alasan pembenar).

Pertanggungjawaban mutlak (strick Liability) dalam Hukum


Pidana.

Dalam sistem pertanggung jawaban hukum pidana, selain


pertanggungjawaban atas kesalahan (liability based on fault) juga
dikenal sistem pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault) yang sering pula disebut sebagai pertanggungjawaban
mutlak (strick Liablility). Pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau
pertanggungjawaban mutlak diartikan sebagai pertanggungjawaban
tanpa memperhatikan adanya kesalahan dari si pelaku. Hal ini
berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam
Undang-Undangtanpa melihat bagaimana sikap batinnya.118
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, prinsip tanggung jawab
mutlak adalah suatu tanggung jawab yang memandang “kesalahan”
sebagai sesuatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataan ada atau tidak.119 Penerapan prinsip tanggung jawab
mutlak (strick Liability) dalam hukum pidana terutama ditujukan
terhadap kejahatan korporasi yang sulit dibuktikan jika hanya
mengandalkan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen
straft zonder schuld). Hal ini disebabkan karena korporasi bukanlah
subjek hukum alamiah (naturlijk person) melainkan subjek hukum
artificial (recht persoon) yang dibentuk oleh hukum sehingga tidak
memiliki sikap batin (mens rea) dan juga tidak dapat melakukan
perbuatan pidana, karena korporasi adalah entitas tak berwujud.
Secara teoritis, pertanggungjawaban pidana Korporasi selaku
subjek hukum dapat dimungkinkan melalui pertanggungjawaban
mutlak (strick liability) atau vicarious liability (tanggung jawab
pengganti), sebagai penyimpangan dari asas kesalahan. Dalam hal ini
korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana cukup dengan
adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para

118 Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. hlm. 387
119 Sabuan, Ansorie, Syafruddin Pettanase dan Ruben Achmad.1990. Hukum Acara Pidana:
Bandung. Angkasa, 1 Ansorie Sabuan, Syafruddin Pettanase dan Ruben Achmad, Hukum Acara
Pidana, hlm. 64

-53-
pengurusnya yang bertindak untuk dan atas nama korporasi dengan
mengabaikan adanya unsur kesalahan atas perbuatan melawan
hukum tersebut.
Chairul Huda menjelaskan Asas tanggung jawab mutlak (strict
liability) sebagai kewajiban mutlak dengan ciri-ciri utama tidak perlu
adanya (pembuktian) kesalahan lebih jauh. Kesalahannya tetap ada
tetapi tidak harus dibuktikan “dependant can be convicted on proof by
prosecutor of actus reus only”.120 Terdakwa dapat dinyatakan
bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak
pidana tanpa harus melihat motif dilakukannya tindak pidana
tersebut.
Pertanggungjawaban mutlak pada subjek hukum orang atau
badan hukum, tidak memerlukan pembuktian kesalahan karena
suatu kesengajaan atau karena kelalaian, cukup dengan adanya
perbuatan pidana dan pengetahuan terdakwa bahwa perbuatan yang
dilakukannya berpotensi atau memiliki risiko kerugian terhadap
kesejahteraan masyarakat, maka yang bersangkutan dapat dituntut
secara pidana. Penerapan pertanggungjawaban strick liability dalam
sistem hukum positif Indonesia, tidak diatur secara tegas dalam
KUHP, namun dapat dijumpai dalam berbagai ketentuan pidana
diluar KUHP. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut
yaitu antara lain; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Kedokteran Gigi, Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi121. Penerapan
tanggung jawab mutlak pada korporasi merupakan suatu aturan
hukum yang bersifat lex specialis derogat legi generali, dimana KUHP
merupakan legi generali.122

120 Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana). Jakrata Prenada Media, Jakarta, hlm. 83

121 Matippanna, Ampera. 2021. Aspek Hukum Pelayanan Medis dalam Praktik Kedokteran.
Ponorogo: Penerbit Uwais Inspirasi Indonesia. hlm. 173.
122 Ibid.

-54-
Hamzah Hatrik (1996:188) mengutip pendapat LB Curzon
yang menyebutkan ada tiga alasan menerima konsep strict liability
terhadap delik-delik tertentu yang tidak memerlukan pembuktian
adanya mens rea123, yaitu sebagai berikut:
1) Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting
tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.
2) Pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit
dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat.
3) Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh peraturan
yang dilakukan.

Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai lex


specialis dalam berbagai peraturan perundang-undangan diluar
KUHP merupakan perluasan bentuk pertanggungjawaban atas dasar
kesalahan (geen straft zonder schuld) menjadi pertanggung jawab
tanpa kesalahan. Perluasan ini sebagai bentuk diterimanya
penerapan doktrin vicarious liability dalam hukum pidana yang
sebelumnya telah lama digunakan dalam hukum perdata tentang
pertanggungjawaban ganti kerugian.124 Penerimaan bentuk
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dikemukakan pula oleh
Muladi yang menyatakan bahwa pemidanaan terhadap korporasi
dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat, bukan atas dasar
kesalahan subjektif. Strict liability merupakan refleksi
kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial.125
Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud
Mulyadi, badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak
pidana, bila mana perbuatan yang terlarang yang
pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum
(korporasi), dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-
tujuan badan hukum tersebut.126 Pembebanan tersebut didasarkan
atas delik fungsional yang dilakukan oleh pengurus (direksi) yang
mendapatkan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajiban
korporasi sebagai pelaku fungsional (functionale dader). Korporasi

123 Hatrik, Hamzah. 1996. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 188.
124 Matippanna, Ampera loc.cit.
125 Hatrik, Hamzah. Opcit. hal.113.
126 Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, 2010. Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi. Medan. PT Softmedia. hlm. 46.

-55-
sebagai subjek hukum pidana bertanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku fungsional (direksi)
atau subjek hukum orang lainnya yang diberi kewenangan oleh
korporasi untuk pelaksanaan hak dan pencapaian tujuan-tujuan
korporasi.
Suatu Perbuatan atau tindak pidana disebut sebagai tindak
pidana korporasi apabila merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau
berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di
dalam maupun di luar lingkungan korporasi.127 Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi,
setidaknya memiliki beberapa unsur yang harus terpenuhi, yaitu:
1) Adanya suatu perbuatan pidana (actus reus).
Perbuatan pidana dilakukan oleh subjek hukum untuk
melaksanakan tujuan dan kepentingan korporasi.
2) Terdapat hubungan kerja antara subjek hukum pelaku dengan
korporasi atau berdasarkan hubungan lain.
3) Perbuatan pidana yang dilakukan baik sendiri maupun secara
bersama-sama.
4) Perbuatan pidana yang terjadi baik dalam lingkungan korporasi
maupun diluar lingkungan korporasi.

Pengertian mengenai orang-orang berdasarkan hubungan


kerja adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai
pengurus atau pegawai, atau hubungan berdasarkan perjanjian
kuasa. Dengan demikian, hubungan tersebut adalah:128
Berdasarkan Anggaran Dasar dan perubahannya, berdasarkan
surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai korporasi, atau
berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai yang memuat
kewenangan dari pegawai yang diperkerjakan dan berdasarkan
surat kuasa untuk dapat bertindak mewakili korporasi dan batas-
batas kewenangannya.
Orang-orang sebagaimana yang dimaksud memiliki hubungan
kerja seperti tersebut diatas , memiliki kewenangan bertindak untuk

127 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Pasal 3.
128 Sjahdeini , Remi Sultan, 2017 Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk
Beluknya. Jakarta : Kencana Prenada media Group. hlm. 224.

-56-
dan atas nama korporasi atau memiliki status sebagai personil
pengendali korporasi (directing mind of the corporation).129
Selanjutnya yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki
hubungan lain adalah orang-orang yang memiliki hubungan selain
berupa hubungan kerja dengan korporasi dan harus mempunyai
kewenangan untuk mengendalikan korporasi atau bertindak untuk
dan atas nama korporasi. Perbuatan orang dalam hubungan lain
selain hubungan kerja tanpa kewenangan bertindak untuk dan atas
nama korporasi tidak dapat dianggap sebagai personel korporasi
dan tindakan yang dilakukannya tidak dapat dianggap sebagai
tindakan korporasi. Dengan demikian tindak pidana yang dilakukan
oleh orang tersebut tidak dapat dibebankan pertanggungjawabannya
kepada korporasi.130
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dalam bentuk
pertanggungjawaban subjek hukum individual oleh pengurus dan
atau pertanggungjawaban pidana korporasi yang diwakili oleh
pengurus131.. Pemidanaan terhadap Korporasi berupa pidana denda
sebagai pidana pokok dan atau pidana tambahan menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku132. Beberapa bentuk pidana
tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi menurut
ketentuan perundang-undangan antara lain; pencabutan beberapa
hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan
hakim. 133. Berdasarkan kedudukan korporasi sebagai pembuat dan
pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, Edy Yunara
(2005) menyebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) sistem kedudukan
korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi
dalam hukum pidana yang meliputi:134
(a) pengurus sebagai pelaku maka pengurus lah yang bertanggung
jawab,
(b) korporasi sebagai pelaku maka pengurus lah yang bertanggung
jawab dan,
(c) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

129 Ibid.
130 Ibid.
131 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016, Opcit. Pasal 23
ayat (1)
132 Ibid. Pasal 25 ayat (1) sampai ayat (3)
133 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 10.
134 Yunara, Edy. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti. hlm 42-43

-57-
Selanjutnya yang dimaksud dengan pengurus adalah organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang
bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan
kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak
pidana korupsi.135 Pengurus yang dimaksud dalam ketentuan ini
identik dengan orang-orang yang berkedudukan sebagai penentu
kebijakan korporasi yaitu yang diberi kewenangan bertindak untuk
dan atas nama korporasi (directing mind of corporation)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Sultan Remi Sjahdeini
Jika merujuk pada bunyi Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Agung (Perma ) Nomor 13/2016 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Pidana Oleh Korporasi, maka Hakim dalam menilai adanya
kesalahan Korporasi, berpedoman pada ketentuan sebagai
berikut:136
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari
tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan
untuk kepentingan Korporasi,
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih
besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum
yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Meskipun konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability)


telah diterima dalam sistem pertanggungjawaban pidana, namun
pelaksanaannya harus dilakukan secara selektif dan ketat agar
penetapan putusan pidana tetap sasaran, yaitu pidana mana yang
diputus untuk korporasi atas nama pengurus dan pidana mana yang
diputus untuk subjek hukum pengurus korporasi baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama.

135 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penjelasan Pasal 20 ayat (1).
136 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016. Opcit Pasal 4 ayat
(2).

-58-
BAB III

PERANAN HUKUM KESEHATAN


DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Sejarah Perkembangan Hukum Kesehatan di Indonesia

Sejarah perkembangan Hukum Kesehatan di Indonesia, masih


sangat muda dibanding dengan perkembangan bidang ilmu Hukum
lainnya. Perkembangan Hukum Kesehatan di Indonesia, bermula
dari kejadian yang menimpa dr. Setyaningrum pada Tahun 1981 di
Puskesmas Wedarijaksa Kabupaten Pati. Setyaningrum dituntut
pidana atas tindakan medis melakukan penyuntikan streptomicyn
yang menyebabkan pasiennya mengalami syok anafilaktik, yang
kemudian mengalami kematian. Atas kejadian tersebut, maka para
praktisi kedokteran dan praktisi hukum memberikan suatu reaksi
dengan membentuk pengkajian-pengkajian hukum atas hubungan
dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Sejak saat itu pandangan
terhadap hubungan dokter dan pasien dalam pelayanan medis mulai
mengalami pergeseran dari suatu hubungan paternalistik kearah
hubungan kontraktual, seiring dengan kesadaran masyarakat akan
hak-hak hukum dalam pelayanan kesehatan.
Berawal dari kejadian tersebut, terbentuklah kelompok-
kelompok study Hukum Kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia /Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada
tahun 1982 di Jakarta.
Hal ini berarti, bahwa hampir 15 tahun setelah
diselenggarakannya Kongres Hukum Kedokteran Dunia di Belgia,
barulah perkembangan tersebut di mulai di Indonesia. Kelompok
studi Hukum Kedokteran tersebut kemudian mengalami
perkembangan dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum
Kedokteran Indonesia (PERHUKI) pada tahun 1983, yang kemudian
pada tanggal 14 April 1987 untuk pertama kali menyelenggarakan
kongres PERHUKI di Jakarta.

-59-
Perkembangan Hukum Kesehatan dewasa ini, bermula dari
Kode Etik Hammuraby (Code of Hammurabi) sejak tahun 1800 SM,
yang kemudian berkembang menjadi sumpah Hipocrates yang hidup
sekitar 460-370 SM yang berisi kewajiban-kewajiban dokter
berperilaku dan bersikap dalam memberikan pengobatan kepada
pasien. Sumpah Hipocrates ini diadopsi oleh Ikatan Dokter Indonesia
dalam menyusun Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan
Lafal Sumpah Dokter sebagai sebuah acuan dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Selanjutnya perkembangan
hukum kesehatan terus bergerak maju menuju pembidangan-
pembidangan profesi tenaga kesehatan sehingga mulailah terbentuk
pembidangan Hukum Kesehatan, yaitu antara lain; Hukum
Kedokteran, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi, Hukum Rumah
Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan
dan lain sebagainya.137
Hukum Kesehatan terus bergerak maju seiring dengan
dinamika dan perkembangan masyarakat yang terus bergerak
dinamis. Semakin maju dan berkembang suatu masyarakat atau
bangsa, maka semakin berkembang pula sistem hukumnya,
termasuk Hukum Kesehatannya. Dinamika perkembangan
masyarakat tersebut mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat, termasuk di bidang kedokteran dan
kesehatan.
Dalam rangka pembangunan dan pengembangan kesehatan
yang sedemikian kompleks dan luas, maka diperlukan peraturan
perundang-undangan yang lebih baik dan lebih komprehensif yang
mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan di bidang
pelayanan kesehatan, khususnya menyangkut pelayanan kesehatan
yang berhubungan dengan hak-hak dan kewajiban dokter, rumah
sakit dan pasien. Penataan sistem hukum kesehatan nasional yang
lebih baik akan meningkatkan tanggung jawab para pihak yang
terlibat dalam pelayanan kesehatan sehingga menghasilkan mutu
pelayanan kesehatan yang lebih baik yang pada gilirannya akan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

137 Notoatmodjo, Soekidjo. Loc.cit.

-60-
Bahder Johan Nasution menyebutkan perlunya pokok-pokok
hukum yang lebih sesuai untuk mengembangkan hukum kesehatan
yang menyangkut, antara lain :138
a. Mendukung adanya sarana pelayanan, program dan kegiatan
dalam seluruh upaya kesehatan yang sudah atau yang akan
dikembangkan, baik oleh pemerintah, masyarakat dan swasta;
b. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan
peraturan perundang-undangan di sektor lain yang berkaitan
dengan upaya kesehatan;
c. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang di
inginkan di masa mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat
yang dilayani;
d. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan;
e. Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya
kesehatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
f. Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat
memberikan perlindungan hukum, bagi pemberi dan penerima
jasa upaya kesehatan;
g. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat dan swasta;
h. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi;
i. Membuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggar
dapat ditindak sebagaimana semestinya.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa


Kontinental hingga kini belum memiliki Hukum Kesehatan yang
tertata secara baik dan lengkap atau berupa yurisprudensi yang
memuat keputusan-keputusan hakim dan pertimbangan-
pertimbangan hukumnya yang dapat di jadikan acuan dalam
penyelesaian-penyelesaian perkara medis. Belum ada Hukum
Kesehatan dalam bentuk peraturan khusus, tetapi letaknya tersebar
dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan. Hukum
Kesehatan masih tersebar dalam pasal-pasal khusus yang ada
kaitannya dengan kesehatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Hukum Administrasi yang penerapan, penafsiran

138 Nasution, Bahder Johan. 2013, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter. Rineka
Cipta. Jakarta. hlm.3.

-61-
dan penilaiannya atas dasar fakta medis, selain peraturan
perundangan-undangan khusus di bidang kesehatan.
Beberapa Undang-Undang di bidang kesehatan yang telah
menjadi hukum positif yang dibuat oleh pemerintah antara lain:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 Tentang
Kesehatan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dan Kedokteran Gigi, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Secara terminologi istilah Hukum Kesehatan sering disamakan
dengan istilah Hukum Kedokteran. Hal ini dikarenakan hal-hal yang
dibahas dalam mata kuliah Hukum Kesehatan di berbagai Fakultas
Hukum di Indonesia pada umumnya hanya memfokuskan pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan dunia kedokteran dan lebih
banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan Hukum
Kedokteran atau Hukum Medis. Padahal lingkup pembahasan
Hukum Kesehatan lebih luas daripada Hukum Kedokteran. 139

Pengertian Hukum Kesehatan

Pengetahuan dan pemahaman tentang hukum kesehatan


sangat penting bagi tenaga kesehatan, penegak hukum dan
masyarakat agar memberikan wawasan yang luas menyangkut
aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum dalam pelayanan
kesehatan. Hukum kesehatan adalah cabang ilmu hukum yang
penerapannya secara khusus di bidang kesehatan sehingga memiliki
kekhususan-kekhususan tertentu yang menjadi ciri pembeda dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku secara umum di masyarakat (lex
specialis derogat legi generali)
Pemahaman ini penting karena Hukum kesehatan merupakan
perpaduan dua disiplin ilmu yang terus berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang hukum
dan kesehatan. Penerapan ilmu hukum di bidang pelayanan

139 Takdir. 2018. Pengantar Hukum Kesehatan. Kota Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN
Palopo. hal. 2.

-62-
kesehatan dan sumbangan ilmu kesehatan dan kedokteran di bidang
ilmu hukum menjadi simbiosis mutualisme dalam membangun
kemandirian hukum kesehatan.
Pemahaman Hukum Kesehatan yang baik bagi tenaga
kesehatan akan menjadi pedoman perilaku dalam menjalankan
praktik profesi kesehatannya sesuai dengan standar-standar
pelayanan kesehatan dalam upaya pelayanan kesehatan baik yang
bersifat pelayanan kesehatan individual maupun kesehatan
masyarakat untuk menjamin terpenuhinya hak-hak kesehatan
masyarakat dalam pelayanan kesehatan yang bermutu dan sekaligus
untuk mencegah terjadinya kesalahan yang dapat berujung pada
kasus-kasus hukum.
Ampera Matippanna memberikan pengertian Hukum
Kesehatan adalah semua ketentan-ketentuan atau peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan yang mengatur hak dan
kewajiban individu, kelompok atau masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan pada satu pihak, hak dan kewajiban tenaga
kesehatan dan sarana kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan di pihak lain yang mengikat masing-masing pihak dalam
sebuah perjanjian terapeutik dan ketentuan atau peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan lainnya, yang berlaku
secara lokal, , nasional , regional dan internasional140.
HJJ. Leenen mendefinisikan Hukum Kesehatan sebagai semua
ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan
kesehatan dan penerapan, dari hukum perdata, hukum pidana dan
hukum Administrasi dalam hubungan tersebut. Pula pedoman
internasional, hukum kebiasaan dan jurisprudensi yang berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu dan literatur
menjadi sumber Hukum Kesehatan.141
Hukum Kesehatan berkembang cukup pesat seiring dengan
perkembangan profesi kesehatan dan bidang kajian ilmu kesehatan,
sehingga hukum kesehatan mencakup hukum kedokteran, hukum
rumah sakit, hukum keperawatan, hukum kefarmasian, hukum
kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan dan lain
sebagainya. Berdasarkan spesifikasi jenis pelayanan kesehatan yang
mengelompokkan pelayanan kesehatan menjadi dua jenis yaitu
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service) dan

140 Ampera. 2011. Hukum Kesehatan. http://drampera.blogspot.com/.


141 Ameln, Fred. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta. Grafikatama Jaya. hlm.14.

-63-
pelayanan kesehatan individual (medical service), maka hukum
kesehatan pun dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu public
health law (hukum kesehatan masyarakat) dan medical health law
(hukum kedokteran).
Fred Ameln memberikan pengertian hukum kesehatan dan
hukum kedokteran sebagai berikut: “Hukum Kedokteran bagian dari
hukum kesehatan yang terpenting, meliputi ketentuan yang
berhubungan langsung dengan pelayanan medis Jadi Hukum
Kedokteran merupakan Hukum Kesehatan dalam arti sempit.142
Lebih Lanjut Fred Ameln sebagaimana yang di kutip oleh Hermin
Hadiati Koeswadji, mengatakan bahwa: “kalau objek hukum
kesehatan adalah health care (pemeliharaan kesehatan), maka objek
hukum kedokteran adalah pelayanan kesehatan (health service)”143
Berdasarkan pandangan Ameln tersebut, maka kajian utama
untuk public health law adalah pada aspek hukum yang bersifat
promotif dan preventif dalam rangka mempertahankan,
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan pencegahan
penyakit agar kesehatan masyarakat dapat terus terjaga dan
terpelihara dengan baik. Sedangkan medical law, kajian utamanya
adalah aspek hukum yang berhubungan dengan kuratif dan
rehabilitatif dalam pelayanan kesehatan individu atau pasien. Baik
public health law maupun medical law selalu bertumpu pada
pengaturan hak dan kewajiban yaitu antara tenaga kesehatan
sebagai pemberi pelayanan kesehatan (health providers) dan pasien
atau masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan (health
receivers). Soekidjo Notoatmodjo menyebutkan dengan sendirinya
hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing
penyelenggara dan penerima pelayanan kesehatan atau masyarakat,
baik sebagai perorangan (pasien) atau kelompok masyarakat.144
Menurut Nusye KI Jayanti, Hukum kesehatan termasuk hukum lex
specialis melindungi secara khusus tugas profesi kesehatan
(provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia menuju ke
arah tujuan deklarasi health for all dan perlindungan secara khusus
terhadap pasien (receiver) untuk mendapat pelayanan kesehatan145

142 Ibid. hlm. 23


143 Koeswadji, Hermin hadiati. 1992. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Penerbit
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.17.
144 Notoatmodjo, Soekidjo. opcit. Hlm. 43.
145 Jayanti, Nusye KI. 2009, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Pustaka
Yustisia. Yogyakarta, hlm. 5.

-64-
Pengertian lain dari Hukum Kesehatan yang tertuang dalam
Anggaran dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI)146 menyebutkan “Hukum kesehatan adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi; sarana
pedoman medis nasional atau internasional, hukum di bidang
kedokteran, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang
kedokteran kesehatan. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran
ialah bagian hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan”.
Selanjutnya Van der Mijn dalam Syahrul Machmud (2008:7)147
“Health law can be defined as the body of rules that relate directly to
the care for health as well as to the application of general civil,
criminal and administration law “
Berdasarkan rumusan hukum kesehatan yang dipaparkan oleh
Leenen dan Vander Mijn tersebut diatas, maka hukum kesehatan
dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu :
a. Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum kesehatan
yang langsung bersentuhan dengan pelayanan kesehatan antara
lain:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik kedokteran dan kedokteran gigi.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992
sebagaimana yang telah di ubah menjadi Undang-Undang
Republik Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
Tentang Tenaga Kesehatan.
b. Ketentuan-ketentuan hukum kesehatan yang tidak langsung
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan yaitu antara lain :

146 Sri Siswati, opcit. hlm. 11.


147 Machmud, Syahrul. 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang
Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, Bandung : Mandar Maju. hlm.7

-65-
1) Hukum pidana
Setiap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
rumah sakit, dokter dan atau tenaga kesehatan lainnya
terhadap pasien yang menyebabkan pasiennya meninggal atau
mengalami kecacatan atau gangguan fungsi organ tubuh
tertentu, wajib bertanggung jawab atas kelalaian atau
kesalahan tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359
dan 360 KUHPidana yaitu menjalani sanksi pidana dengan
ancaman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
2) Hukum Perdata
Setiap kerugian yang dialami oleh pasien karena adanya
perbuatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum
dilakukan oleh rumah sakit dan atau dokter dan tenaga
kesehatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerugian
yang dialami oleh pasien, maka rumah sakit dan atau dokter
dan tenaga kesehatan tersebut wajib bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata yaitu sanksi perdata berupa ganti rugi sesuai
dengan kerugian yang dialami oleh pasien selama dalam
pengobatan dan perawatan.
3) Hukum Administrasi
Setiap kesalahan atau kelalaian dokter atau pihak rumah
sakit terhadap pasien yang menyebabkan kerugian pada pasien
sebagai akibat dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang tidak memenuhi standar pelayanan yakni ; standar
profesi, operasional prosedur, standar sarana dan prasarana
pelayanan, wajib bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukum administrasi yaitu berupa sanksi disiplin
yang dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis dan
pencabutan surat izin praktik profesi dan surat izin
operasional rumah sakit, baik yang bersifat sementara maupun
permanen

-66-
c. Ketentuan hukum internasional
Ketentuan-ketentuan atau aturan hukum yang berlaku
secara internasional yang terkait dengan pelayanan kesehatan
yaitu antara lain :
1) Konvensi Helsinki (1964)
Konvensi Helsinki (1964) merupakan kesepakatan para
dokter sedunia untuk memperoleh persetujuan tindakan
medik (informed Consent) sebelum memulai suatu tindakan
medik, pengobatan dan perawatan serta penelitian kedokteran
dengan menggunakan pasien sebagai sampel. Pelaksanaan
Informed consent dalam pelayanan kesehatan oleh rumah sakit
terhadap pasien merupakan penghargaan yang setinggi-
tingginya akan hak-hak azasi manusia di bidang pelayanan
kesehatan. Sebuah persetujuan tindakan medik (Informed
Consent) seharusnya baru dapat di berikan oleh pasien kepada
dokter yang melakukan tindakan tersebut setelah mendapat
informasi yang benar dan akurat tentang apa yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap dirinya yang menyangkut
keuntungan dan kerugian jika tindakan tersebut dilakukan
atau tidak, faktor risiko medis yang mungkin terjadi, prognosis
dari sebuah tindakan yang akan dilakukan, besaran biaya yang
dibutuhkan dan juga beberapa alternatif tindakan yang dapat
dilakukan dengan segala untung ruginya. Setelah pasien
memperoleh pengertian yang cukup barulah dapat dinyatakan
bahwa informed consent tersebut adalah sah.
2) Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang merupakan kesepakatan bersama dan telah
mendapat pengakuan dokter diseluruh dunia, sebagai sebuah
prosedur tetap atau metode khusus terhadap sebuah tindakan
medis tertentu misalnya pada operasi transplantasi organ
tubuh manusia. Menurut ketentuan hukum kebiasaan dalam
sebuah operasi-operasi transplantasi organ tubuh manusia,
maka tim dokter yang menangani pasien donor (pemberi
organ) harus berbeda dengan tim dokter yang menangani
pasien resipien (penerima organ tubuh).

-67-
3) Jurisprudensi
Jurisprudensi, bukan merupakan peraturan
perundang-undangan, melainkan keputusan hakim yang di
ikuti oleh hakim-hakim lain dalam menghadapi kasus yang
serupa. Ada dua jurisprudensi, yaitu:
a) Constante Jurisprudentie, yaitu jurisprudensi yang
konstan, merupakan putusan-putusan hakim yang serupa
dalam kasus-kasus yang mirip.
b) Jurisprudensi, yaitu jurisprudensi yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung dan di ikuti oleh hakim dari badan
peradilan yang lebih rendah tingkatnya sewaktu
menghadapi kasus serupa.

d. Ketentuan Hukum otonomi.


Pengertian tentang ketentuan hukum otonomi biasanya
digunakan sehubungan dengan ketentuan yang berlaku bagi suatu
daerah tertentu (otonomi daerah), misalnya peraturan daerah
(Perda), peraturan gubernur (Pergub) yang berlaku khusus untuk
penduduk daerah itu saja. Dalam bidang kesehatan juga dijumpai
pengertian hukum otonomi yaitu suatu ketentuan atau aturan yang
berlaku hanya bagi anggota dari suatu ikatan profesi kesehatan,
misalnya peraturan atau ketentuan yang terkandung dalam Kode
Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) berlaku hanya untuk dokter-
dokter anggota lkatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam struktur
organisasi lkatan Dokter Indonesia terdapat badan peradilan etika
profesi yang disebut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
yang mempunyai kewenangan untuk memberi sanksi bagi anggota
lkatan Dokter lndonesia (IDI) yang melanggar Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI), diluar struktur organisasi IDI juga terdapat
badan peradilan etika dan disiplin profesi yang dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) yang disebut Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang terbentuk atas amanah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran Dan Kedokteran Gigi.
CST Kansil (1991:1)148 menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Kesehatan adalah rangkaian peraturan perundang-
undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik

148 Kansil, CST.1991. Pengantar hukum kesehatan indonesia. Jakarta: Rineka Cipta hlm.1.

-68-
dan sarana medik yang mengandung pokok-pokok pengertian
sebagai berikut :
1) Kesehatan adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani
(mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari
penyakit, cacat dan kelemahan.
2) Pelayanan medik adalah upaya pelayanan kesehatan yang
melembaga, berdasarkan fungsi sosial di bidang pelayanan
kesehatan perorangan bagi individu dan keluarganya.
3) Sarana medik meliputi rumah sakit umum, rumah sakit khusus,
klinik spesialis, rumah bersalin, klinik bersalin, rumah sakit
bersalin, praktik berkelompok, balai pengobatan/poliklinik (Pusat
Kesehatan Masyarakat) dan sarana lain yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
4) Apotek adalah suatu tempat tertentu, dimana dilakukan usaha-
usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian.
5) Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan, bentuk, pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
6) Dokter adalah mereka yang menjalankan praktik-praktik
pengobatan dan yang memegang wewenang menurut peraturan-
peraturan yang berlaku.
7) Apoteker adalah mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktik
peracikan obat di Indonesia sambil memimpin apotek.

Syahrul Machmud (2008:9)149 mencoba menjelaskan betapa


luasnya pengertian hukum kesehatan (Gezondheidsrecht) atau Health
Law mencakup ruang lingkup yang lebih luas meliputi tidak hanya
dari segi curing yaitu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada
pengobatan dan penyembuhan penyakit tetapi juga menyangkut segi
caring yang berorientasi pada pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit seperti misalnya Pusat Kesehatan Masyarakat,
keluarga berencana, pemberantasan penyakit, bahkan sampai pada
masalah farmasi. Hukum Kesehatan dengan demikian tidak sekedar
mencakup segi represif-kuratif dari pelaksanaan profesi medik, tetapi
juga mencakup segi preventif-rehabilitatif.

149 Syahrul Machmud, Opcit. hlm.9

-69-
Pengertian Hukum Kedokteran

Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan Hukum


Kesehatan, bahwa Hukum Kedokteran adalah bagian terpenting dari
hukum kesehatan, dimana hukum kesehatan adalah cabang dari ilmu
hukum. Hukum kedokteran berbeda dengan Ilmu Kedokteran
Kehakiman (IKK) yang juga sering disebut dengan Ilmu Kedokteran
Forensik (Forensic Medicine) yang merupakan disiplin ilmu
kedokteran. Baik IKK, Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran
merupakan ilmu yang objeknya sama, yaitu bertemu pada satu titik
sentuh di bidang kesehatan dan kedokteran yang berhubungan
dengan hukum. Namun demikian, IKK merupakan ilmu kedokteran
yang penerapannya dalam rangka untuk penegakan hukum
(medicine for law); sedangkan pada Hukum Kesehatan/Hukum
Kedokteran merupakan hukum yang mengatur tentang aspek
pelayanan kesehatan (law for medicine) 150
llmu Hukum Kedokteran (Medical Law) sebagai cabang dari
disiplin ilmu Hukum, menggunakan asas, prinsip dan teori-teori
hukum dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan
dokter, sedangkan llmu kedokteran Kehakiman sebagai disiplin ilmu
kedokteran menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran dalam
rangka penegakan hukum.
Hukum Kedokteran fokus utamanya adalah menilik pelayanan
medis (medical service) yang diberikan oleh dokter sebagai pemberi
jasa pelayan medis (medical provider) yang akan diterima oleh pasien
(individu) sebagai pengguna jasa pelayanan medis (medical receiver).
Oleh sebab itu Hukum Kedokteran disebut juga sebagai Hukum
Kesehatan lndividu (Individual Health Law) yang membedakannya
dengan Hukum Kesehatan (public health law).
Pengertian Hukum Kedokteran (Medical Law) menurut Wila
Chandrawila Supriadi (2001:7)151 adalah bagian dari Hukum
Kesehatan yang merupakan kumpulan peraturan yang mengatur
mengenai kesehatan individu, dimana di dalamnya termasuk
pengaturan tentang hubungan rumah sakit dengan dokter, rumah
sakit dengan pasien dan dokter dengan pasien. Selanjutnya
pengertian Hukum Kedokteran menurut Vander Mijn (Guwandi

150 Ohoiwutun, Triana. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum
pada Ilmu Kedokteran). Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya Yogyakarta, hlm.10.
151 Supriadi, Wila Chandrawila. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju hlm.7

-70-
2007:12)152 menyatakan bahwa "Health Law be defined as the body of
rules that relates directly to the care for health as well as to the
application of general civil, criminal and administration law. Medical
Jaw, the study of judicial relations to witch the doctor is a party, is a
part of health law. (Terjemahan bebasnya: Hukum Kesehatan dapat
di rumuskan sebagai sekumpulan yang berkaitan dengan pemberian
perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum
pidana dan hukum administrasi. Hukum medis yang mempelajari
hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, adalah
bagian dari hukum kesehatan).
Dari rumusan Hukum Kedokteran yang dikemukakan oleh Van
der Mijn menyatakan bahwa Hukum Kedokteran adalah ilmu tentang
hubungan hukum dimana dokter adalah salah satu pihak, sedangkan
pihak lainnya adalah pasien. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Hukum Kedokteran adalah cabang ilmu hukum yang terutama
mengkaji hubungan-hubungan hukum antara dokter, rumah sakit
dan pasien. Hukum Kedokteran merupakan bagian yang terpenting
dari hukum kesehatan karena hampir selalu terdapat persinggungan
antara hukum kedokteran dengan pembidangan hukum-hukum lain
yang tercakup dalam pengertian Hukum kesehatan dalam arti yang
lebih luas.
Pembidangan-pembidangan hukum kesehatan mulai
berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan dan kedokteran sehingga mendorong
lahirnya pengelompokan-pengelompokan organisasi profesi
kesehatan yang pada gilirannya mengembangkan kajian-kajian
hukum di bidang pelayanan masing-masing sehingga lahirlah
pembidangan hukum keperawatan, hukum kefarmasian. Hukum
rumah sakit, hukum lingkungan hidup dan pembidangan hukum
lainnya di bidang hukum kesehatan.
Guwandi menyatakan bahwa ruang lingkup Hukum Kesehatan
meliputi antara lain hukum Medis (Medical Law), hukum
keperawatan (Nurse Law), hukum rumah sakit (Hospital Law),
hukum pencemaran lingkungan (Environmental Law), hukum Limbah
(dari industri, rumah tangga, dsb), hukum Polusi (bising, asap, debu,
bau, gas yang mengandung racun), hukum peralatan yang memadai
X-ray (Cobalt, nuclear), hukum Keselamatan Kerja dan peraturan-

152 Guwandi,2007. Hukum Medik (Medical Law), Penerbit FKUI, Jakarta, hlm. 12.

-71-
peraturan lainnya yang ada kaitan langsung dan dapat
mempengaruhi kesehatan manusia153.
Danny Whiradarma (1996:35)154 memperlihatkan hubungan
keterkaitan antara hukum kedokteran dengan pembidangan hukum
lainnya dibidang Hukum Kesehatan yang menempatkan posisi
hukum kedokteran sedemikian pentingnya, sehingga
menempatkannya pada posisi sentral. Pelaksanaan Hukum
Kedokteran tidaklah dapat berjalan sendiri secara otomatis tanpa
didukung oleh perangkat hukum lainnya dibidang kesehatan sebagai
mana yang terlihat dalam gambar sebagai berikut :

Gambar Hubungan Keterkaitan Hukum Kedokteran Dengan


Pembidangan Hukum Kesehatan Lainnya (Danny
Wiradarma.1996:35)155

153 Ibid, hlm13.


154 Whiradarma, Danny.1996: Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.
hlm. 35.
155 Ibid.

-72-
Pada gambar tersebut nampak bahwa Hukum Kedokteran
merupakan pusat dari pembidangan hukum kesehatan lainnya
seperti Hukum Rumah Sakit, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi
dan Hukum Kesehatan Lingkungan yang kesemuanya merupakan
bagian dari hukum kesehatan.

Asas Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan sebagai perpaduan dua disiplin ilmu, yaitu


ilmu hukum dan ilmu kesehatan/kedokteran, maka tidak terlepas
dari asas-asas yang berlaku dari dua disiplin ilmu tersebut. Asas
hukum merupakan petunjuk arah atau pondasi dari setiap
perundang-undangan agar dalam pelaksanaannya dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat dan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya dalam hal perlindungan dan kepastian hukum
terhadap pihak-pihak yang terkait. Asas hukum pada dasarnya
adalah kristalisasi nilai-nilai etis dan moral yang diakui dan dianut
oleh masyarakat dan dijadikan pedoman dalam berperilaku hukum,
meskipun bukan sebagai hukum tertulis.
Sudikno Mertokusumo, memberikan pandangannya mengenai
asas hukum yaitu ; “asas hukum bukan merupakan hukum konkrit,
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam
dan di belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat
atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut “156.
Selanjutnya, Satjipto Rahardjo, menyatakan asas hukum, bukan
peraturan hukum. Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Karena
asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum dan tata hukum157. Sedangkan menurut Eikema Hommes asas
hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret,

156 Mertokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yokyakarta: Liberty,
hlm 5-6.
157 Rahardjo, Satipto. Opcit. hlm. 87.

-73-
akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar hukum atau petunjuk bagi
hukum yang berlaku158.
Mengingat begitu luasnya cakupan kajian Hukum Kesehatan
dan kompleksitas pelayanan bidang kesehatan dan kedokteran, maka
diperlukan asas-asas hukum sebagai dasar pengembangan hukum
kesehatan kedepan yang lebih baik dan untuk mewujudkan
keselarasan dalam hubungan-hubungan hukum antara tenaga
kesehatan, fasilitas kesehatan, pasien dan masyarakat.
Beberapa Asas Hukum yang dapat di jadikan sebagai petunjuk
dalam penerapan Hukum kesehatan antara lain: 159
a. Sa sience et sa conscience
Arti dari asas ini adalah “ya ilmunya. ya hatinya “Maksud
dari pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli
kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan
kemanusiaannya. Asas ini biasa di gunakan pada pengaturan hak-
hak dokter, dimana dokter berhak untuk menolak dilakukannya
tindakan medis yang bertentangan dengan hati nuraninya.
b. Agroti salus lex suprema
Asas ini sering digunakan pada keadaan emergency atau
gawat darurat dimana seorang dokter demi untuk
menyelamatkan jiwa seseorang, terkadang harus melakukan
perbuatan melanggar hukum. Keselamatan pasien adalah hukum
yang tertinggi.
c. Deminimis noncurat lex
Asas Hukum ini mengandung pengertian Hukum tidak
mencampuri hal-hal yang sepele. Hal tersebut terkait dengan
kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan, selama kelalaian
tersebut tidak berdampak merugikan pasien, maka hukum tidak
akan menuntut.
d. Res lpsa liquitoir
Arti dari asas ini adalah faktanya telah berbicara. Asas ini
digunakan pada kasus-kasus dugaan malpraktik, dimana kelalaian
yang terjadi tidak perlu pembuktian lanjut karena faktanya jelas.
Misalnya ditemukannya kain kasa atau gunting dalam rongga
perut pasca operasi laparatomi.

158 Dewi, Alexandra Indriyanti. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka book
Publisher. hlm. 166
159 Ibid. hlm. 167.

-74-
Selain asas-asas tersebut diatas, dikenal juga beberapa asas
penting dalam pelayanan kesehatan dan dalam penerapan hukum
kesehatan dalam masyarakat. Adapun asas-asas tersebut antara
lain160:
a. Asas Legalitas
Asas legalitas dalam pelayanan kesehatan merupakan asas
yang menjadi landasan hukum penyelenggaraan praktik
professional bagi dokter, tenaga kesehatan lainnya termasuk
fasilitas pelayanan kesehatan. Seorang dokter atau tenaga
kesehatan dalam menjalankan praktik profesinya setelah
mendapatkan ijin dari pemerintah berupa Surat Tanda Registrasi
(STR) dan Surat ijin Praktik atau Surat penugasan lainnya
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Demikian
halnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi Rumah Sakit
atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus mendapatkan
izin operasional.
b. Asas tepat waktu
Merupakan asas yang sangat penting diperhatikan oleh para
provider jasa layanan kesehatan khususnya para dokter. Karena
keterlambatan penanganan seorang pasien akan dapat berakibat
fatal yaitu kematian pasien. Penanganan yang berkesan lambat
dan asal-asalan terhadap pasien sangat tidak terpuji yang dapat
mengancam keselamatan jiwa pasien. Kecepatan dan ketepatan
penanganan terhadap pasien yang sakit merupakan salah satu
faktor kunci keberhasilan penanganan pasien.
c. Asas ltikad Baik
Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik
(beneficence) yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan upaya
pelayanan kesehatan. Seorang dokter berkewajiban memberikan
upaya pelayanan kesehatan yang maksimal atas dasar itikad
baiknya terhadap setiap pengguna jasa layanan kesehatan
tersebut. Sebagai profesional seorang dokter dalam menerapkan
asas itikad baik ini akan tercermin dengan penghormatan
terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang
selalu berpegang teguh pada standar profesi. Kewajiban untuk

160 Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis. Bandung: Citra
Aditya Bhakti. hal. 126-133.

-75-
berbuat baik ini tentunya tidak harus mengorbankan atau
merugikan diri sendiri.
d. Asas Kejujuran
Kejujuran antara dokter dan pasien merupakan salah satu
hal penting dalam hubungan dokter pasien. Awai timbulnya
perseteruan antara pihak provider jasa layanan kesehatan dengan
para receiver jasa layanan kesehatan ini adalah adanya
ketidakjujuran atau keterbukaan diantara keduanya. Seorang
dokter yang seharusnya memberikan informasi yang akurat
tentang tindakan apa yang akan dilakukan, bagaimana cara
melakukannya, kemungkinan risiko medis yang akan timbul jika
tindakan ini dilakukan atau tidak dilakukan termasuk berapa
besar biaya yang mungkin timbul dari tindakan tersebut jika
dilakukan dan berapa lama perawatan yang dibutuhkan. Pada sisi
lain pasien pun harus jujur dan terbuka atas setiap informasi
medis yang dibutuhkan oleh dokter dalam menangani
penyakitnya, termasuk kejujuran atas kesediaan untuk menerima
atau menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
termasuk kesanggupan membiayai setiap tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
e. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini sangat penting dalam sebuah
transaksi terapeutik dimana dokter sebagai pemberi jasa layanan
kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa layanan ini harus
berada dalam kesetaraan dan keseimbangan sehingga setiap
keputusan terhadap tindakan apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh dokter terhadap pasien telah merupakan sebuah
upaya kompromi diantara kedua belah pihak. Hal ini tentunya
akan semakin meminimalisasi konflik hukum yang mungkin akan
terjadi.

Catherine Tay Swee Kian dalam Munir Fuady (2005 : 5-8)161


menyatakan bahwa penyelenggaraan praktik profesional dokter
haruslah mengedepankan asas-asas etika modern yang meliputi :

161 Fuady, Munir. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter). Bandung:
Citra Aditya Bakti. hlm 5-8.

-76-
1. Asas Otonom
Asas ini (autonomy) menghendaki agar pasien yang
mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum yang cakap berbuat,
diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara
rasional, sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya
untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination).
Walaupun pilihan pasien salah, dokter tetap harus
menghormatinya dan berusaha untuk menjelaskannya dengan
sebenarnya menurut pengetahuan dan keterampilan profesional
dokter tersebut agar pasien benar-benar mengerti tentang akibat
yang akan timbul tatkala pilihannya tidak sesuai dengan anjuran
dokter. Misalnya penolakan pemberian transfusi darah oleh
pasien karena alasan agama tidak mengizinkan. Dalam terjadi
demikian, dokter harus memberikan masukan kepada pasien
tentang dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat
ditolaknya transfusi tersebut.
Dalam memberikan informasi kepada pasien, dokter
hendaknya menyadari bahwa kurangnya pengetahuan pasien
tentang kesehatan dan rasa takut terhadap penyakitnya serta
latar belakang keyakinannya, adat istiadat, sosial ekonomi pasien
akan sangat mempengaruhi persetujuan yang akan diberikannya.
2. Asas Murah Hati
lstilah atau kata lain dari asas murah hati ini adalah
beneficence, adalah suatu asas yang sangat menekankan kepada
para dokter sebagai tenaga profesional agar dalam setiap
upayanya pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap pasien
atau masyarakat agar mengutamakan sifat murah hati, mudah
menolong orang tanpa pilih kasih, dan bersikap dermawan
khususnya bagi penderita yang kurang mampu.
3. Asas Tidak Menyakiti
Asas tidak menyakiti atau non maleficence mengandung
makna bahwa sejauh mungkin dalam upaya melakukan pelayanan
kesehatan atau tindakan medis kepada pasiennya sedapat
mungkin dokter menghindarkan rasa sakit yang dialami oleh
pasiennya. Rasa sakit ini dapat dimaknai dengan rasa sakit pada
fisik maupun psikis sang pasien, karena tidak jarang masih kita
temui perilaku atau sikap dokter dalam melakukan pelayanan
kesehatan kepada pasien yang kurang ramah atau bahkan acuh
tak acuh sehingga dapat menimbulkan rasa sakit hati dari pasien

-77-
dan atau keluarganya. Tindakan operatif yang cenderung
menimbulkan rasa sakit secara fisik akan dapat diterima oleh
pasien sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari,
apabila sebelumnya telah mendapatkan penjelasan yang cukup
dari dokter yang bersangkutan.
4. Asas Keadilan
Dokter dalam melakukan upaya pelayanan kesehatannya
tidak dibenarkan membedakan status ekonomi ataupun status
sosial dari pasien. Dokter wajib memberikan penghormatan yang
sama kepada seluruh pasiennya dan juga memberi penghargaan
sama atas hak-hak pasien, seperti hak atas kerahasiaan atau
privacy pasien, hak atas informasi dan memberikan
persetujuannya, dan sebagainya.
5. Asas Kesetiaan
Asas ini merupakan terjemahan dari fidelity yang
terkandung makna bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia
terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Seorang
pasien datang kepada dokter mempercayakan penyakit yang
diderita termasuk hal-hal yang menyangkut kerahasiaanya yang
berhubungan dengan penyakit tersebut, karena dia percaya
bahwa dokter tersebut mampu memberikan kesembuhan dan
sekaligus menjaga kerahasiaanya tersebut. Kepercayaan yang
besar ini merupakan suatu amanah bagi dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin menyembuhkan pasiennya berdasarkan
ilmu pengetahuan dan keterampilannya.
6. Asas Kejujuran
Kejujuran atau veracity atau honesty merupakan satu asas
yang harus sama-sama dijunjung tinggi baik oleh dokter atau
maupun pasien. Pasien harus jujur menceritakan riwayat
penyakitnya tanpa harus ada yang disembunyikan kepada dokter,
demikian pula sebaliknya dokter atau harus pula secara jujur
menginformasikan hasil pemeriksaan, penyakit serta langkah-
langkah pengobatan yang akan dilakukannya tentu dengan cara-
cara yang bijaksana.

Asas hukum ini akan melahirkan norma hukum yang


diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Hukum
Kesehatan. Setiap peraturan Hukum Kesehatan seyogyanya berpijak
pada nilai-nilai etis yang terkandung dalam asas hukum, sehingga

-78-
aturan-aturan hukum tersebut menjadi representasi dari
pelaksanaan etika profesi dalam menjalankan tugas professional bagi
pemberi pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, asas hukum
merupakan jembatan antara peraturan hukum dan pandangan etis
masyarakat162

Tujuan Hukum Kesehatan

Gustav Radbruch dalam Achmad Ali (2008:7)163


memperkenalkan tiga ide dasar hukum yang dijadikan sebagai tujuan
hukum yaitu; memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Ketiga ide dasar hukum tersebut harus terpenuhi dalam
sebuah tujuan hukum. Lebih lanjut Radbruch menjelaskan bahwa
tujuan hukum dilaksanakan berdasarkan atas asas prioritas yang
dimulai dari keadilan, kemanfaatan dan kemudian kepastian
hukum164.
Meskipun demikian Achmad Ali menjelaskan bahwa secara
khusus, masing-masing bidang hukum mempunyai tujuan yang
spesifik. Hukum Pidana mempunyai tujuan spesifik dibanding
dengan Hukum Privat, Hukum Formal mempunyai tujuan spesifik
dibanding dengan Hukum Materiel, demikian pula dengan bidang-
bidang hukum yang lain.165 Sehubungan dengan pernyataan tersebut,
maka hukum kesehatan tentunya mempunyai tujuan-tujuan yang
bersifat spesifik khususnya penegakan hukum dibidang kesehatan.
Adapun tujuan Hukum Kedokteran-Kesehatan dapat dipelajari secara
tersirat dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan di
bidang kesehatan, misalnya dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran yang menyatakan bahwa
Pengaturan Praktik Kedokteran bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi
dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi166.

162 Sadi Is, Muhammmad. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Penerbit Kencana. hlm. 49
163 Ali, Achmad. 2008. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. hlm 7.
164 Ibid.
165 Ibid.
166 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit. Pasal. 3

-79-
Selanjutnya tujuan Hukum Kesehatan juga tersirat dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
menyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan rumah sakit
bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan
hukum terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah
sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu
dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit dan
memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit dan rumah sakit167.
Jika diperhatikan secara seksama pada tujuan hukum dari
kedua peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan tersebut,
adalah memberikan perlindungan hukum, dan kepastian hukum.
Sedangkan kemanfaatan hukum dan keadilan hukum tidak tertulis
secara nyata. Meskipun demikian jika ditelisik lebih mendalam maka
perlindungan hukum pada dasarnya adalah bagian dari keadilan dan
kemanfaatan hukum yang harus diterima oleh pasien dalam
pelayanan kesehatan.
Memperhatikan penjelasan Achmad Ali terkait tujuan khusus
suatu bidang hukum, maka menurut hemat penulis, tujuan khusus
Hukum Kesehatan adalah memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, rumah sakit dan
pasien dalam pelayanan kedokteran dan pelindungan dan kepastian
hukum bagi tenaga kesehatan dan masyarakat dalam pelayanan
kesehatan masyarakat.

167 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009. Opcit. Pasal. 3

-80-
BAB IV

KONSEP PELAYANAN KESEHATAN

Konsep Pelayanan

Pelayanan (service) merupakan bagian inti dari pelaksanaan


kegiatan atau usaha yang bergerak dalam bidang penyediaan barang
atau jasa untuk kepentingan orang lain, kelompok, masyarakat atau
suatu organisasi. Sebagai bagian inti dari kegiatan atau usaha,
pelayanan harus mampu memenuhi keinginan dan harapan
pelanggan sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan,
memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan keuntungan
(profit) bagi perusahaan. Pelayanan yang berkualitas akan
menimbulkan kepuasan pelanggan terhadap hasil atau output dari
suatu kinerja profesional, yang manfaatnya dialami dan dirasakan
oleh penerima pelayanan sebagai pelanggan.
Pelayanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) di
definisikan sebagai “perihal atau cara meladeni dan kemudahan yang
diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa”.168
Berdasarkan pengertian tersebut, maka konsep pelayanan dapat
diartikan sebagai sebuah strategi yang dilaksanakan oleh perusahaan
atau organisasi dalam untuk mendekatkan suatu produk barang atau
jasa kepada pelanggan melalui cara atau metode tertentu atau
memberikan kemudahan-kemudahan tertentu agar dapat memenuhi
permintaan atau kebutuhan pelanggan dan menciptakan kepuasan.
Berikut dikemukakan beberapa pandangan sarjana terkait
pengertian pelayanan yaitu antara lain:

168 Departemen Pendidikan Indonesia. (KBBI), Opcit. Hlm 505.

-81-
1. Komaruddin (1997: 394)
Mengartikan pelayanan merupakan suatu prestasi yang
dilakukan atau dikorbankan agar dapat memuaskan permintaan
atau kebutuhan pihak lain.169
2. Menurut Kotler dalam Laksana (2008: 120)
Pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya
tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.170
3. Kasmir (2005: 31)
Pelayanan adalah suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi
langsung antara seseorang dengan orang lain dan menimbulkan
kepuasan pelanggan. Pelayanan yang baik adalah kemampuan
seseorang dalam memberikan kepuasan kepada pelanggan
dengan standar yang telah ditetapkan. Kemampuan tersebut
ditunjukkan oleh Sumber daya manusia dan sarana serta
prasarana yang dimiliki.171

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa


pelayanan merupakan suatu sistem, prosedur, atau metode tertentu
yang diberikan kepada orang lain dalam hal ini pelanggan, agar
kebutuhan pelanggan tersebut dapat terpenuhi sesuai dengan
harapan dan menciptakan kepuasan bagi pelanggan. Pelayanan
merupakan sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat
mengakibatkan kepemilikan apapun, namun akibat dari pelayanan
tersebut dapat menimbulkan kepuasan atau kekecewaan terhadap
pihak lain sebagai penerimanya.
Pelayanan berorientasi pemenuhan atas permintaan dan
harapan pelanggan (customer), sehingga tidak dapat dipisahkan
dengan kualitas atau mutu. Pelayanan yang berkualitas adalah
pelayanan yang mampu memberikan kepuasan pelanggan atas suatu
kinerja yang dihasilkan oleh seseorang setelah membandingkannya
dengan ekspektasi atau harapan yang sesuai dengan keinginannya.
Semakin tinggi tingkat kepuasan pelanggan, semakin berkualitas pula
pelayanan tersebut dan sebaliknya semakin rendah tingkat kepuasan
pelanggan, semakin rendah pula kualitas pelayanan tersebut.

169 Komarudin, Ahmad. 1997. Dasar-dasar Manajemen Modal Kerja. Jakarta. Rineka Cipta. hlm.
394.
170 Laksana, Fajar. 2008. Manajemen Pemasaran. Yogyakarta. Graha Ilmu, hlm. 120.
171 Kasmir.2005. Pemasaran Jasa. Jakarta. Graya Grafindo Persada. hlm.31.

-82-
Menurut Kotler (2009:177), kepuasan adalah perasaan senang
atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan antara
kinerja (hasil) yang dipersepsikan dengan kinerja (hasil) yang
diekspektasikan, terhadap produk barang atau jasa yang diterima172.
Ekspektasi dan kepuasan pelanggan mempunyai peranan besar
dalam menentukan kualitas produk suatu barang atau jasa yang
diterima oleh pelanggan.
Pelaksanaan pelayanan dengan menggunakan cara atau
metode tertentu agar sesuai dengan harapan dan kepuasan
pelanggan harus dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan.
Pelayanan yang dilaksanakan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan merupakan jaminan mutu terhadap produk barang dan
jasa yang dihasilkan. Standar pelayanan yang dimaksud adalah
standar kompetensi, standar operasional prosedur, standar sarana
dan prasarana.
Pengertian standar adalah suatu patokan tata laksana
penyelenggaraan suatu jenis layanan tertentu yang dibuat
berdasarkan pengkajian-pengkajian mendalam disepakati bersama
dan didokumentasikan sebagai sebuah ketetapan yang mengikat bagi
setiap unsur penyelenggara pelayanan, mulai dari masukan (input),
proses (process) dan hasil (output).
Standar menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standarisasi dan Penilaian
Kesesuaian menyebutkan standar sebagai “persyaratan teknis atau
sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang
disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/
keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta
perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya.173 Donabedian (1980) memberikan
pengertian Standar sebagai rumusan tentang penampilan atau nilai
di inginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang
telah ditetapkan.174 Sedangkan Menurut ISO Standar adalah

172 Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi 13 Jilid 2. Jakarta:
Erlangga. hlm.177.
173 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Pasal 1 angka 3.
174 Donabedian A. 1980. Explorations in quality assessment and monitoring volume 1 the
definition of quality and approaches to its aassessment. Michigan: Health Administration Press.

-83-
kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan yang
didalamnya terdiri antara lain mengenai spesifikasi-spesifikasi
teknis atau kriteria-kriteria yang akurat yang gunakan sebagai
peraturan petunjuk atau definisi tertentu untuk menjamin
suatu barang, produk, proses, atau jasa sesuai dengan yang
telah dinyatakan 175

Konsep Pelayanan Kesehatan

Konsep pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah penerapan


prinsip-prinsip pelayanan dibidang kesehatan, sehingga dapat
diartikan bahwa pelayanan kesehatan adalah suatu sistem prosedur,
atau metode tertentu dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
oleh tenaga atau institusi kesehatan kepada pasien atau masyarakat,
agar kebutuhan atau kepentingannya di bidang kesehatan dapat
terpenuhi sesuai dengan harapan mereka.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan suatu
sistem pelayanan yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang dilaksanakan menurut suatu standar atau
ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin
terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu untuk
kepentingan individu, kelompok atau masyarakat, dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pengertian Pelayanan Kesehatan menurut Levey dan Loomba
adalah upaya yang dilakukan oleh suatu organisasi baik secara
sendiri atau bersama-sama untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan perseorangan, kelompok dan ataupun masyarakat176.
Selanjutnya Hodgetts dan Cascio menyatakan bahwa bentuk dan
jenis pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi dua yaitu177:
1. Pelayanan Kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok
pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara
pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau
secara bersama-sama dalam satu organisasi (institution), tujuan

175 ISO Guide 2. 2004. Standardization and related activities – General vocabulary. Geneva:
ISO.
176 Azwar, Asrul, Pengantar Adminstrasi Kesehatan. Opcit. Hlm.35.
177 Ibid. hlm.36.

-84-
utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan
keluarga.
2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok
pelayanan kesehatan masyarakat (public health services) ditandai
dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-
sama dalam satu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta
sasarannya terutama untuk kelompok dan masyarakat.

Terdapat perbedaan prinsip antara pelayanan kedokteran


dengan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu antara lain :
1) Pelayanan kedokteran, sasaran utamanya adalah individu
(perseorangan) dan keluarga. Pelayanan kesehatan masyarakat
sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat.
2) Pelayanan kedokteran tujuan utamanya adalah penyembuhan
(kuratif) dan memulihkan kesehatan (rehabilitative), sedangkan
pelayanan kesehatan masyarakat tujuan utamanya adalah
memelihara dan meningkatkan kesehatan (promotif) dan
pencegahan penyakit (preventif)
3) Cara pengorganisasian pelayanan kesehatan kedokteran dapat
bersifat solo karier atau kelompok dalam suatu organisasi atau
institusi pelayanan kesehatan, sedangkan cara pengorganisasian
pelayanan kesehatan masyarakat umumnya secara bersama-sama
dalam suatu organisasi atau institusi pelayanan kesehatan. adalah
upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Perbedaan antara pelayanan kedokteran dan pelayanan


kesehatan masyarakat digambarkan secara lebih rinci lagi oleh
Leavel dan Clark dalam Azrul Azwar (1996:37)178, sebagaimana
pada gambar tersebut dibawah ini :

178 Ibid. Hlm.37.

-85-
Tabel Perbedaan Pelayanan Kesehatan Kedokteran dan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat

PELAYANAN KEDOKTERAN PELAYANAN KESEHATAN


(1) MASYARAKAT
(2)
1. Tenaga pelaksanaannya 1. Tenaga pelaksanaannya
terutama adalah para dokter. terutama ahli kesehatan
2. Perhatian utamanya pada masyarakat.
penyembuhan penyakit. 2. Perhatian utamanya pada
3. Sasaran utamanya adalah pencegahan penyakit.
perseorangan atau keluarga. 3. Sasaran utamanya adalah
4. Kurang memperhatikan masyarakat secara
efisiensi. keseluruhan.
5. Tidak boleh menarik perhatian 4. Selalu berupaya mencari cara
karena bertentangan dengan yang efisien.
etika Kedokteran. 5. Dapat menarik perhatian
6. Menjalankan fungsi masyarakat, misalnya dengan
perseorangan dan terikat penyuluhan kesehatan.
dengan Undang-Undang. 6. Menjalankan fungsi dengan
7. Penghasilan diperoleh dari imbal mengorganisir masyarakat
jasa dan mendapat dukungan
8. Bertanggung jawab hanya Undang-Undang.
kepada penderita 7. Penghasilan berupa gaji dari
9. Tidak dapat monopoli upaya pemerintah.
kesehatan dan bahkan mendapat 8. Bertanggung jawab kepada
saingan. seluruh masyarakat
10. Masalah administrasi amat 9. Dapat memonopoli upaya
sederhana kesehatan
10. menghadapi berbagai
persoalan kepemimpinan

Berdasarkan perbedaan yang dikemukakan oleh Leavel dan


Clark pada gambar diatas, terdapat perbedaan prinsip lainnya antara
pelayanan kesehatan kedokteran dengan pelayanan kesehatan
masyarakat, yang cukup menonjol, yaitu antara lain:

-86-
1) Tenaga pelaksana kegiatan pelayanan kedokteran terutama oleh
para dokter, sedangkan pada pelayanan kesehatan masyarakat
oleh ahli kesehatan masyarakat
2) Pelayanan kedokteran bertanggung jawab atas pelayanan yang
diberikan hanya kepada pasien, sedangkan pelayanan kesehatan
masyarakat bertanggung jawab terhadap seluruh masyarakat
3) Tenaga kesehatan pada pelayanan kedokteran melaksanakan
fungsi pelayanannya secara mandiri (perseorangan) dan diatur
oleh undang-undang, Sedangkan tenaga pelayanan kesehatan
masyarakat melaksanakan fungsi pelayanan dengan
mengorganisir masyarakat dan mendapat dukungan undang-
undang
4) Pelayanan kesehatan kedokteran terutama dilaksanakan di dalam
gedung fasilitas kesehatan, sedangkan pelayanan kesehatan
masyarakat terutama dilaksanakan diluar gedung atau di
masyarakat.

Meskipun terdapat perbedaan karakteristik pelayanan


kedokteran dengan pelayanan kesehatan masyarakat, tidaklah
berarti bahwa harus ada pemisahan yang tegas dalam pemberian
pelaksanaan pelayanan kepada pasien atau masyarakat pada
umumnya. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan kesehatan
harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu (comprehensive
and integrated health services).
Somers dan Somers dalam Azrul Azwar (1996:40), memberi
pengertian pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu
kedalam dua bentuk yaitu 179:
a. Pelayanan kesehatan terpadu yang menyelenggarakan upaya
kesehatan pelayanan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) secara
bersamaan dan terintegrasi satu dengan lainnya.
b. Pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan menyeluruh
(holistic approach), tidak hanya fokus pada keluhan penderita
saja, tetapi juga memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya,
psikologis dan lain sebagainya.

179 Ibid. hlm. 40.

-87-
Dalam rangka memaksimalkan konsep pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan terpadu, pemerintah melaksanakan sistem
stratifikasi pelayanan kesehatan dan sistem rujukan (referral
system). Stratifikasi pelayanan kesehatan merupakan suatu sistem
pelayanan kesehatan berdasarkan kemampuan pelayanan yang
dimiliki oleh fasilitas pelayanan kesehatan kedalam tingkatan-
tingkatan (strata) tertentu. Asrul Azwar (1996:42) mengelompokkan
stratifikasi pelayanan kesehatan dalam tiga strata yaitu180 :
a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services)
adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health
services), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar
masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan
kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan
(ambulatory/out patient services).
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services)
adalah pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat
inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakannya telah
dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis.
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services)
adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih komplek dan
umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis.

Secara lebih jelas pemerintah mengatur kemampuan


pelayanan kesehatan perseorangan (pelayanan medis) berdasarkan
stratifikasi pelayanan kesehatan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 Permenkes Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan yang menyatakan sebagai
berikut181 :
Pasal 2 :
(1) Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan
yaitu:

180 Ibid. hlm. 42.


181 Permenkes No.001 Tahun 2012 Tentang Sistem Pelayanan Kesehatan Rujukan Perorangan.
Pasal 2 ayat 1-5.

-88-
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas
perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik
umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit
pratama.
(3) Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan
pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Pelayanan kesehatan tingkat kedua sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
(5) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik
yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub spesialistik.

Atas dasar kemampuan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang


dimiliki oleh sarana pelayanan kesehatan pemerintah membagi
klasifikasi pelayanan kesehatan menjadi pelayanan kesehatan
primer (tingkat I), pelayanan kesehatan sekunder (tingkat II) dan
pelayanan kesehatan tersier (tingkat III) 182. Dalam rangka
mengefektifkan mekanisme hubungan kerja antara strata pelayanan
kesehatan tingkat pertama dengan strata pelayanan kesehatan
tingkat kedua dan ketiga, pemerintah mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan rujukan sehingga terjadi mekanisme
pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus
penyakit atau masalah kesehatan tertentu.
Permenkes Nomor 001 Tahun 2012 mengatur sistem rujukan
dan tata cara pelaksanaan sistem rujukan, yang dijelaskan sebagai
berikut:

182 Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional

-89-
1) Pasal 3
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal
2) Pasal 4
Sistem rujukan dilaksanakan secara berjenjang sesuai
dengan kebutuhan medis pasien dimulai dari fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama
dan selanjutnya pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua
atau tingkat pertama. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan
rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Ketentuan mengenai aturan sistem
rujukan berjenjang dikecualikan pada keadaan gawat darurat,
bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan
pertimbangan geografis.
3) Pasal 7
Rujukan vertikal merupakan rujukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan dari pelayanan kesehatan yang
lebih rendah ke tingkatan yang lebih tinggi atau sebaliknya
sedangkan rujukan horizontal merupakan rujukan antar
pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan.
4) Pasal 8
Rujukan horisontal dilakukan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap
5) Pasal 9
Rujukan vertikal apa bila pasien membutuhkan pelayanan
kesehatan spesialistik atau sub spesialistik sesuai kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan

-90-
Dikenal ada dua jenis sistem rujukan sebagai mana yang
terdapat dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Indonesia yakni
183:

(a) Rujukan upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan secara


bertanggung jawab oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan
berwenang serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
(b) Rujukan di bidang upaya kesehatan perorangan dalam bentuk
pengiriman pasien, spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit
dengan memperhatikan kendali mutu dan kendali biaya

Secara skematis sistem pelayanan kesehatan rujukan menurut


Sistem Kesehatan Nasional 2012, digambarkan sebagai berikut :

Gambar Skema Sistem pelayanan kesehatan Rujukan

183 Ibid.

-91-
Dengan penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan yang
menyeluruh dan terpadu, maka diharapkan akan menghasilkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas terhadap pasien dan
masyarakat sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh tenaga kesehatan baik secara
sendiri-sendiri atau secara bersama dalam suatu institusi kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku, untuk
terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan pasien dan masyarakat
dalam hal kesehatan, yang dilaksanakan dengan prinsip kendali
mutu dan biaya.
Standar pelayanan kesehatan sebagai patokan atau pedoman
penyelenggaraan pelayanan kesehatan menyangkut standar profesi
bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesionalnya,
standar operasional prosedur sebagai patokan pelaksanaan
pelayanan, standar sarana dan prasana sebagai patokan
ketersediaan sarana pendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka konsep
pelayanan kesehatan yang harus dibangun dan dikembangkan
antara lain:
1. Pelayanan kesehatan dilaksanakan menurut cara atau metode
tertentu sesuai dengan sasaran pelayanan atau jenis pelayanan
kesehatan.
2. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh tenaga kesehatan
atau institusi kesehatan dilaksanakan sesuai dengan standar-
standar pelayanan kesehatan yang berlaku yaitu standar profesi,
standar operasional prosedur dan standar sarana prasarana.
3. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara terpadu dan
menyeluruh
4. Pelayanan kesehatan dilaksanakan dengan sistem stratifikasi dan
sistem rujukan.
5. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan untuk kebutuhan dan
kepentingan pasien atau masyarakat
6. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan prinsip
kendali mutu dan kendali biaya.

-92-
BAB V

PEMAHAMAN TENTANG
RUMAH SAKIT

Sejarah Perkembangan Rumah Sakit

Lembaga perumahsakitan telah tumbuh dan berkembang


sebagai bagian dan sejarah peradaban umat manusia, yang
bersumber pada kemurnian rasa kasih sayang, kesadaran sosial dan
naluri untuk saling tolong menolong di antara sesama, serta
semangat keagamaan yang tinggi dalam kehidupan umat manusia.
Sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia, serta
perkembangan tatanan sosial-budaya masyarakat, dan sejalan pula
dengan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang
kedokteran dan kesehatan, rumah sakit telah berkembang menjadi
suatu lembaga berupa suatu “unit sosial ekonomi” yang majemuk.184
Menurut seorang ahli sejarah ekonomi (Purwanto, 1996)
pelayanan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak awal
keberadaan VOC pada dekade ketiga abad XVII, sebagai suatu bagian
tidak terpisahkan dari usaha VOC itu sendiri. Pembangunan rumah
sakit merupakan upaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
akibat pelayaran yang jauh yaitu dari Eropa ke Indonesia dan tidak
didukung oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi klimatis, dan
ketidakmampuan mengadaptasi serta mengatasi penyakit tropik.185
Rumah sakit pertama sekali didirikan oleh VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie) pada tahun 1626 dan kemudian juga oleh
tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk
melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika
masyarakat pribumi memerlukan pertolongan, kepada mereka juga
diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-

184 Mukadimah Kode etik Rumah sakit Indonesia 2000


185 Trisnantoro, Laksono 2004. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen
Rumah Sakit. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm.1

-93-
rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap karitatif ini
juga diteruskan oleh rumah sakit CBZ (Centraal Burgerlijk
Ziekenhuis) tahun 1901 di Jakarta.186
Rumah Sakit yang ada sekarang telah jauh berbeda dengan
rumah sakit-rumah sakit sebelumnya. Perbedaan ini berlangsung
sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perkembangan ekonomi, social dan budaya masyarakat.
Dulunya rumah sakit lebih berfungsi sebagai sarana pelayanan
kesehatan yang berorientasi sosial (charity), kini berkembang
menjadi sarana pelayanan kesehatan yang padat modal dan padat
karya, sehingga cenderung berorientasi profit, meskipun demikian
tidak meninggalkan sepenuhnya aspek pelayanan yang bersifat
sosial.
Seiring dengan perkembangan rumah sakit tersebut, Guwandi
(2007: 2) membagi perkembangan rumah sakit dalam tiga periode
yaitu:187

Periode l
Sejak Zaman dulu sampai sekitar tahun 1960 hampir semua
rumah sakit menyelenggarakan pelayanan kesehatan bersifat murni
untuk amal (charity). Pada era tersebut, rumah sakit memiliki
imunitas terhadap hukum, karena uang yang di peroleh berasal dari
sumbangan-sumbangan sukarelawan dengan tujuan khusus adalah
menolong penderitaan manusia tanpa mengharapkan imbalan
sedikit pun. Karena pertolongan yang diberikan secara cuma-cuma
dan sungguh-sungguh dari pihak rumah sakit, maka tak sedikit pun
terpikirkan oleh pasien untuk menuntut rumah sakit dan dokternya
terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga dalam pelayanan
kesehatan tersebut. Mereka hanya pasrah dan berserah kepada
Tuhan bahwa semuanya itu adalah takdir manusia. Setidaknya
mereka bersyukur bahwa mereka telah mendapatkan pelayanan
kesehatan meskipun harus bernasib naas, yang jika tidak ditolong
juga tetap tidak merubah keadaan pasien.

186 Manurung, Wanrajib Azhari,2015. Perancangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) kelas C.
non pendidikan berbasis low cost di Kota Tanjung balai: Tema low energy. Undergraduate tesis,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. hlm.17-18.
187 Guwandi, J. opcit. hal 2.

-94-
Periode II
Periode ini dimulai sekitar tahun 1965, dimana rumah sakit
swasta mulai kesulitan mengumpulkan donasi-donasi dari para
dermawan. Pada kondisi seperti itu, maka mulai terjadi defisit
anggaran untuk menutupi biaya operasional pelayanan rumah sakit,
termasuk biaya pengobatan dan perawatan penderita. Sejak itu para
direktur-direktur rumah sakit mulai mengadakan kamar-kamar VIP
dengan memungut biaya perawatan bagi pasien-pasien VIP.
Pendapatan dari kamar-kamar VIP tersebut digunakan untuk
menutupi kekurangan biaya pengobatan dan perawatan bagi pasien-
pasien yang ada di kamar kelas Ill, atau di kelas ekonomi. Dalam hal
tersebut terjadi subsidi silang. Pada era ini rumah sakit mulai
bergerak kearah sosial-ekonomis.

Periode Ill
Periode ini dimulai sejak tahun 1990 dengan diterbitkannya
Permenkes Nomor 84 Tahun 1990 yang membuka peluang bagi
pihak swasta melalui badan-badan usaha seperti PT (persero),
Perjan, Yayasan, perhimpunan, dan sebagainya, untuk mendirikan
rumah sakit-rumah sakit. Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola
oleh pihak swasta mulai mengembangkan sayapnya dengan
menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dan fasilitas ruang rawat
inap, sehingga membuat suasana rumah sakit menjadi lebih
bervariasi yang pada gilirannya akan membebani pasien dengan
tarif-tarif pelayanan. Dengan demikian rumah sakit dibagi menjadi
dua kelompok yaitu rumah sakit berorientasi bisnis (profit hospital)
dan rumah sakit yang berorientasi sosial (non profit hospital).
Dunia perumahsakitan berkembang dengan pesat seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan dan kedokteran. Dahulu rumah sakit hanya berfokus pada
disiplin ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan kini mulai
memanfaatkan ilmu pengetahuan bidang lain seperti ekonomi,
hukum, administrasi untuk menata manajemen pelayanan rumah
sakit. Kini rumah sakit telah berubah menjadi organisasi yang
kompleks yang padat modal, padat tenaga, padat teknologi dan padat
permasalahan.
Padatnya permasalahan yang dihadapi oleh rumah sakit
dewasa ini menuntut manajemen rumah sakit selalu mawas diri dan
berbenah untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan

-95-
standar pelayanan berdasarkan etika profesi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Disadari bahwa rumah sakit
yang dulunya bersifat sosial (nonprofit) kini berubah menjadi rumah
sakit yang berorientasi laba (profit) tentunya diharapkan mampu
memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pasien yang datang
menerima pelayanan kesehatan.
Sebagai konsekwensinya dulu rumah sakit kebal hukum
karena pelayanan yang diberikan semata hanya untuk kemanusiaan,
kini mulai gugat oleh pasien dengan alasan telah mengeluarkan
biaya yang sedemikian besar tetapi dengan hasil yang tidak
maksimal. Kini dengan keterbukaan akses informasi dan
peningkatan kesadaran pasien akan hak-haknya di bidang pelayanan
kesehatan semakin mempertajam permasalahan dalam pelayanan
kesehatan. Rumah sakit dituntut untuk mempekerjakan sumber
daya manusia sesuai dengan standar profesinya dan standar
pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkan.
Perkembangan rumah sakit saat ini dapat dibedakan menurut
kepemilikan, filosofi yang dianut, jenis pelayanan yang diberikan dan
lokasi atau tempat rumah sakit tersebut didirikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, Azrul Azwar (1996:87) membedakan rumah
sakit menjadi beberapa Jenis yakni : 188
a. Menurut Pemilik
Jika ditinjau dari pemiliknya, rumah sakit dapat dibedakan
atas dua macam yakni rumah sakit pemerintah (government
hospital) dan Rumah Sakit Swasta (private hospital). Rumah sakit
pemerintah yang dimaksud adalah rumah sakit yang dibangun
oleh pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah
Propinsi, pemerintah daerah Kabupaten/ kota. Rumah sakit
pemerintah pusat dapat diselenggarakan oleh departemen
kesehatan ataupun departemen lain seperti hankam,
perhubungan, pertambangan dan lain-lain.
Sehubungan dengan kepemilikan rumah sakit, Munindjaya
(2004:221)189 membagi rumah sakit menjadi rumah sakit
pemerintah, Rumah sakit BUMN/TNl/POLRI dan Rumah sakit
swasta yang menggunakan sumber dana investasi dari dalam
negeri (PMDN) dan sumber dari luar negeri (PMDN).

188 Azwar, Azrul. Opcit hlm.87.


189 Muninjaya, AA. Gde 2004. Manajemen Kesehatan, Edisi Kedua. Jakarta: EGC. hlm. 221.

-96-
b. Menurut filosofi yang dianut
Jika ditinjau dari filosofi yang dianut, rumah sakit dapat
dibedakan atas dua macam yakni Rumah Sakit yang tidak mencari
keuntungan (non- profit hospital) dan Rumah Sakit yang mencari
keuntungan (profit hospital).
c. Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan
Jika ditinjau dari jenis pelayanan yang diselenggarakan,
rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit
umum (general hospital) jika semua jenis pelayanan kesehatan
diselenggarakan, serta rumah sakit khusus (specialty hospital) jika
hanya satu jenis pelayanan kesehatan saja yang diselenggarakan.
Selain pembagian tersebut, Muninjaya (2004:221)190 membagi
rumah sakit atas jenis pelayanan yang diselenggarakan menjadi
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah sakit khusus.
d. Menurut lokasi rumah sakit
Jika ditinjau dari lokasinya, rumah sakit dapat dibedakan
atas beberapa macam yang kesemuanya tergantung dari
pembagian sistem pemerintah yang dianut. Misalnya Rumah Sakit
Pusat jika lokasinya di ibukota negara, Rumah Sakit Propinsi jika
lokasinya di ibukota propinsi dan Rumah Sakit Kabupaten jika
lokasinya di lbu kota kabupaten. Perkembangan perumahsakitan
terus berjalan, yaitu dengan di keluarkannya Undang-Undang
Negara Republik Nomor 44 Tahun 2009Tentang Rumah Sakit,
membagi rumah sakit kedalam kelas-kelas berdasarkan atas
kemampuan pelayanan dan fasilitas yang dimiliki pada rumah
sakit umum dan rumah sakit khusus.191 Pembagian kelas Rumah
Sakit Umum antara lain sebagai berikut :

a. Rumah Sakit Umum kelas A


Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis
luas. Rumah sakit kelas A merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan tertinggi (top referral hospital) sehingga
disebut sebagai Rumah Sakit Pusat. Rumah sakit kelas A paling
sedikit memiliki kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
(empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan
Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik

190 Ibid.
191 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit, Opcit. Pasal 24

-97-
Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis
dan dilengkapi dengan kapasitas tempat tidur paling sedikit 250
buah. Selain itu juga terdapat fasilitas radiologi dan kedokteran
nuklir sesuai dengan standar yang berlaku. Rumah sakit Kelas A
dapat berbentuk Rumah sakit pendidikan dan non pendidikan.
b. Rumah Sakit Umum kelas B
Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis luas yaitu sekurang-
kurangnya sebelas spesialisasi dan subspesialis terbatas dengan
memiliki kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis
Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya
dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar dan memiliki
kapasitas tempat tidur paling sedikit 200 buah. Terdapat
pelayanan radiologi dan kedokteran nuklir terbatas sesuai
ketentuan yang berlaku. Rumah sakit kelas B dapat berbentuk
rumah sakit pendidikan dan non pendidikan. Rumah sakit kelas B
didirikan di setiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang
menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit Kabupaten.
c. Rumah sakit Umum kelas C
Rumah Sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Rumah
Sakit Kelas C memiliki kemampuan pelayanan medis paling
sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat)
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik dengan kapasitas tempat
tidur paling sedikit 100 buah. Peralatan radiologi harus
memenuhi standar, tanpa peralatan kedokteran nuklir. Rumah
sakit kelas C didirikan di setiap ibukota Kabupaten (Regency
hospital) yang menampung pelayanan dari rumah sakit tipe D dan
Puskesmas.
d. Rumah sakit Umum kelas D
Rumah sakit kelas D memiliki kemampuan pelayanan medis
paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, dengan
kapasitas tempat tidur paling sedikit 50 buah. Di dirikan di
Kabupaten sebagai persiapan untuk menjadi Rumah Sakit Kelas C.
Rumah sakit tipe D menampung pasien dari Puskesmas. Terdapat
fasilitas radiologi terbatas sesuai dengan standar yang telah
ditentukan.

-98-
Pengklasifikasian rumah sakit ini penting dalam menata
perumahsakitan, sehingga rumah sakit tidak hanya menumpuk di
satu daerah atau wilayah saja tetapi diatur sesuai dengan
kemanfaatan yang akan diberikan pada masyarakat luas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menghubungkan antara rumah sakit kelas terendah ke rumah
sakit pada jenjang yang diatasnya digunakan mekanisme sistem
rujukan rumah sakit. Muninjaya (2004:221)192 menyatakan bahwa
berdasarkan pengklasifikasian rumah sakit tersebut diatas, maka
kelas rumah sakit yang lebih tinggi akan mengayomi kelas rumah
sakit yang lebih rendah dan mempunyai wilayah pengayoman yang
lebih luas. Pengayoman ini dilaksanakan melalui mekanisme sistem
rujukan. Selain pengklasifikasian menurut kemampuan dan fasilitas
yang dimiliki oleh Rumah Sakit, juga terdapat penggolongan jenis-
jenis rumah sakit lainnya, yaitu antara lain193 :
a. Rumah sakit umum
Melayani hampir seluruh penyakit umum, dan dilengkapi
dengan instalasi gawat darurat (IGD) 24 jam. Selain pelayanan
kegawat daruratan, juga terdapat pelayanan rawat jalan dan
rawat inap. Rumah sakit umum memberikan pelayanan medis,
penunjang medis, kefarmasian, gizi dan lain sebagainya serta
pelayanan non medis menurut standar yang berlaku berdasarkan
klasifikasi rumah sakit.
b. Rumah sakit terspesialisasi
Jenis rumah sakit ini biasanya hanya menyelenggarakan
satu jenis pelayanan spesialistik tertentu seperti rumah sakit
traumatic center, rumah sakit paru-paru, Rumah Sakit Mata,
rumah sakit kanker rumah sakit jantung dan lain sebagainya.
c. Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit
umum yang didirikan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki
fakultas kedokteran atau kedokteran gigi untuk mendukung
proses pendidikan dan penelitian bagi mahasiswa dan dosen atau
lembaga penelitian yang terkait dengan kesehatan dan
kedokteran.

192 Muninjaya. loc.cit.


193 https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit.

-99-
d. Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu
lembaga/perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang
merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan
tersebut seperti Rumah Sakit TNI/POLRI, Rumah Sakit Pertamina.
Rumah sakit ini selain melayani karyawan atau anggotanya
sebagai bentuk jaminan sosial dan bersifat gratis, juga dapat
melayani pasien umum lainnya diluar anggota atau karyawan.

Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang


menyelenggarakan pelayan kesehatan perorangan (pasien) dalam
rangka memberikan pertolongan untuk penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan atau dalam rangka menentukan status
kesehatan seseorang. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
tersebut dilaksanakan oleh tenaga medis dan atau tenaga kesehatan
lainnya menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), rumah sakit juga harus memberikan pelayanan
kesehatan yang sifatnya untuk peningkatan kesehatan (promotif)
dan pencegahan penyakit (preventif). Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
yang dilakukan secara bersamaan terhadap pasien disebut sebagai
pelayanan kesehatan paripurna. Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di rumah sakit dilaksanakan pada unit rawat jalan, rawat
inap dan gawat darurat. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit, yaitu ; Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat194.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah sakit,
dilaksanakan oleh tenaga medis dan atau tenaga kesehatan lainnya
secara sistematis, kolaboratif dan komprehensif berdasarkan
kompetensi keilmuan masing-masing dengan berpusat pada upaya

194 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009. Opcit Pasal 1 ayat (1)

-100-
penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien. Dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan tersebut, setiap tenaga medis dan tenaga
kesehatan lainnya yang turut andil dalam proses penyembuhan
penyakit atau pemulihan kesehatan pasien wajib bekerja sesuai kode
etik, sumpah profesi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pelaksanaan kode etik, sumpah profesi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, merupakan bentuk
perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien, dokter atau pihak
rumah sakit.
Hermien Hadiati Koeswadji (2002:188-189) menyebutkan,
“rumah sakit merupakan organ yang mempertemukan tugas yang
didasari oleh dalil-dalil etik medik karena merupakan tempat
bekerjanya para profesional penyandang lafal sumpah medik yang di
ikat oleh dalil-dalil hippocrates dalam melakukan tugasnya.
Disamping itu dari segi hukum sebagai dasar bagi wadah Rumah
Sakit sebagai organ yang bergerak dalam hubungan-hubungan
hukum dalam masyarakat yang di ikat oleh norma hukum dan norma
etik masyarakat yang kedua norma tersebut berbeda, baik dalam
pembentukannya, maupun dalam pelaksanaan akibatnya bila
dilanggar.”195
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan merupakan
organisasi dengan keunikan tersendiri yang memiliki kompleksitas
permasalahan yang sangat tinggi karena keterlibatan multi disiplin
keilmuan terhadap suatu kasus penyakit yang dialami oleh pasien.
Setiap disiplin ilmu yang terlibat dalam penanganan pasien tersebut,
masing-masing melihat dari sudut pandang keilmuan yang berbeda,
sehingga tidak jarang terjadi benturan-benturan dalam penerapan
keilmuan dan penggunaan teknologi kedokteran, hal mana masing-
masing memiliki tujuan yang sama, untuk kesembuhan penyakit atau
pemulihan kesehatan pasien.
Siregar (2004: 8), memberikan pengertian rumah sakit,
“sebagai suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan
alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai
kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan
menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-

195 Koeswadji, Hermein hadiati. 2002. hukum untuk perumahsakitan. Bandung: citra aditya
bakti. hlm 188-189.

-101-
sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik “196
Selanjutnya WHO sebagaimana yang termuat dalam WHO
Technical Report Series No.122/1957, menyebutkan, “Rumah sakit
merupakan bagian integral dari satu organisasi sosial dan kesehatan
dengan fungsi menyediakan pelayanan kesehatan paripurna, kuratif
dan preventif kepada masyarakat, dan pelayanan rawat jalan yang
diberikannya menjangkau keluarga di rumah. Rumah Sakit juga
merupakan pusat pendidikan dan latihan tenaga kesehatan dan
pusat penelitian bio medik”197.
Selain pengertian Rumah Sakit tersebut diatas, Azrul Azwar
(1996:82)198 mengutip beberapa pendapat lain tentang batasan
pengertian rumah sakit yaitu :
a. American Hospital Association; 1974.
Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga
medis profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang
permanen, menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta
pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.
b. Wolper dan Pena, 1987.
Rumah Sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan
menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan
klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga
profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.
c. Association of Hospital Care, 1947.
Rumah Sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan
masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran
diselenggarakan.

Dari beberapa uraian batasan pengertian Rumah sakit seperti


tersebut diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan pengertian rumah
sakit yaitu antara lain:

196 Siregar, Charles J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan Penerapan. Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta. hlm.8
197 Muhyarsyah. 2007. Sistem Informasi Manajemen dalam Rumah Sakit. Jurnal Riset Akutansi
dan Bisnis. Vol. 7. (1), hlm. 70.
198 Azwar, Azrul,1996. Opcit hlm. 82

-102-
1) Rumah sakit adalah institusi kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan perorangan yang paripurna yaitu promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
2) Rumah sakit adalah institusi kesehatan dengan pengorganisasian
yang unik dan kompleks dengan melibatkan multi disiplin profesi
dan berbagai peralatan kedokteran mutakhir dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada pasien
3) Rumah sakit adalah institusi kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat
4) Rumah sakit adalah institusi kesehatan yang permanen,
menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
dan kebidanan yang berkesinambungan.
5) Rumah sakit adalah institusi kesehatan yang menyelenggarakan
pendidikan klinik bagi mahasiswa kedokteran, mahasiswa
keperawatan dan mahasiswa profesi kesehatan lainnya
6) Rumah sakit adalah institusi kesehatan tempat penyelenggaraan
penelitian kedokteran

Tujuan Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai institusi kesehatan yang


menyelenggarakan pelayanan kesehatan, memiliki tujuan utama
yaitu memberikan pengobatan atau tindakan medis tertentu sebagai
upaya penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehatan pasien,
yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang telah
ditentukan, sebagai pelaksanaan kewajiban rumah sakit dalam
memenuhi hak-hak pasien di bidang kesehatan.
Pelayanan medis yang dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan yang telah ditentukan merupakan komitmen
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu, sebagai
perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan pasien dan
sekaligus perlindungan dan kepastian hukum terhadap dokter dan
tenaga kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan medis
tersebut.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah sakit, menyatakan rumah sakit memiliki beberapa tujuan,
sebagai berikut199:

199 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, Pasal 3. loc.cit.

-103-
a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan;
b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di
rumah sakit;
c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan
rumah sakit; dan
d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat,
sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Tugas utama dari rumah sakit adalah menyelenggarakan


pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan
kesehatan perorangan yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan
yang ditujukan terhadap pasien dalam hal memberikan pengobatan
atau tindakan medis tertentu sebagai upaya penyembuhan penyakit
atau pemulihan kesehatan atau terhadap individu untuk kepentingan
penilaian status kesehatannya.
Pelaksanaan tugas rumah sakit tersebut sangat dipengaruhi
oleh SDM kesehatan yang dimiliki oleh sebuah rumah sakit.
Ketersediaan SDM kesehatan rumah sakit sesuai dengan standar
klasifikasi rumah sakit membuat pelaksanaan tugas rumah sakit
menjadi optimal dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap
pasien secara paripurna. Beberapa jenis sumber daya manusia yang
bekerja pada rumah sakit sebagai pelaksana tugas rumah sakit
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien antara lain;
tenaga medis (dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter
gigi spesialis), tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan dan
kebidanan, tenaga kefarmasian (apoteker dan teknis farmasi), tenaga
gizi (nutrisionis dan dietisen), tenaga keterampilan fisik (fisioterapis,
okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur), tenaga keteknisian
medis (perekam medis dan informasi kesehatan, teknik
kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis
optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan
mulut, dan audiologis), tenaga teknik biomedika radiografer,
elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik,

-104-
radioterapis, dan ortotik prostetik).200 Meskipun SDM kesehatan
yang bekerja di rumah sakit terdiri dari multi disiplin keilmuan
tetapi mereka berada dalam suatu kesatuan fungsi pelayanan rumah
sakit terhadap pasien. Azrul Azwar (1996:85)201 mengelompokkan
kedalam tiga kelompok SDM yang bekerja di rumah sakit, yakni:
a. Penentu Kebijakan rumah sakit
Kelompok penentu kebijakan rumah sakit berperan dalam
menetapkan arah kebijakan rurnah sakit, Kelompok ini dikenal
dengan nama Badan pengawas Rumah sakit. Bagi rumah sakit-
rumah sakit swasta anggota dewan perwalian ini terdiri dari
pemilik (owners), organisasi profesi, asosiasi rumah sakit dan
tokoh masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya bersifat
independent dan bertanggung jawab pada pemilik rumah sakit.
b. Pelaksana pelayanan non-medis
Kelompok pelaksana pelayanan non-medis adalah tenaga-
tenaga administrasi dan manajemen rumah sakit untuk mengelola
kegiatan administrasi dan manajemen serta aspek-aspek non
medis rumah sakit sesuai dengan arah kebijakan rumah sakit
yang telah ditentukan.
c. Pelaksana pelayanan medis
Kelompok pelaksana pelayanan medis adalah kalangan
kesehatan (medical staff) yang bekerja di rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan medis rumah sakit. Tempat atau
bagian dimana pelayanan medis dilakukan oleh tenaga kesehatan
menurut spesifikasinya disebut Bagian Klinik misalnya, Bagian
klinik Ilmu Penyakit Dalam, Bagian klinik llmu Kesehatan Anak,
serta Bagian klinik llmu Bedah. Untuk menunjang pelayanan
medis rumah sakit, perlu ditunjang dengan pelayanan penunjang
medis yaitu antara lain, Bagian Patologi Klinik, Bagian Radiologi,
serta Bagian Patologi Anatomi.

Berdasarkan pelaksanaan tugas rumah sakit untuk


memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna,
maka rumah sakit memiliki beberapa fungsi yaitu antara lain202 :

200 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 11.
201 Azrul Azwar. opcit. hlm. 85

202 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.opcit. Pasal 4.

-105-
1) Melaksanakan fungsi pelayanan medis.
Menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan
kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
2) Melaksanakan fungsi pelayanan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan perorangan
3) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan promotif tingkat dua dan
tiga sesuai kebutuhan medis.
4) Melaksanakan fungsi pendidikan kedokteran
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian
pelayanan kesehatan
5) Melaksanakan fungsi penelitian dan pengembangan kedokteran
Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan
6) Melaksanakan fungsi sosial kemasyarakatan203
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk bantuan sosial
dalam hal terjadinya suatu wabah penyakit atau bencana alam.

Efektivitas fungsi pelayanan rumah sakit seperti yang


dikemukakan diatas membutuhkan sebuah sistem manajemen
pelayanan kesehatan rumah sakit yang mampu melibatkan semua
SDM kesehatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-
masing sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelayanan antara SDM
yang satu dengan SDM yang lain.
Manajemen pelayanan kesehatan rumah sakit sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dimana rumah sakit
tersebut berdiri dan memberikan pelayanan kesehatan pada pasien
dan masyarakat. Faktor lingkungan yang dimaksud sebagai mana
yang di utarakan oleh Santoso Soeroso (2003:7)204 adalah faktor
lingkungan hukum dan perundang-undangan, faktor politik, faktor
ekonomi, maupun faktor sosial budaya.

203 Ibid. Pasal 2.

204 Soeroso, Santoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit : Suatu
Pendekatan Sistem. Jakarta : EGC. hlm 7.

-106-
Standar Pelayanan Rumah Sakit

Saat ini masyarakat semakin sadar untuk memilih layanan


kesehatan yang baik. Keinginan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik tersebut membuat mereka semakin kritis atas
setiap pengobatan dan tindakan medis yang diberikan oleh dokter
atau pihak rumah sakit kepada dirinya. Beberapa contohnya adalah
masyarakat saat ini tidak sungkan lagi untuk mempertanyakan
alternatif perawatan yang akan mereka terima sesuai dengan kondisi
keuangan mereka saat ini. Mereka juga tidak sungkan lagi untuk
berdiskusi dengan dokter mengenai kegunaan dan efek samping
obat yang diresepkan dokter kepada mereka. Masyarakat juga mulai
kritis mempertanyakan apakah alat kedokteran yang digunakan
untuk memeriksa mereka sudah steril atau belum. Bahkan tidak
sedikit orang yang ingin melihat proses sterilisasi tersebut. Bila ada
pelayanan yang dirasa kurang memuaskan, masyarakat saat ini tidak
malas lagi menegur staf medis yang bersangkutan atau
mengeluarkan unek-unek mereka melalui kotak saran. Singkatnya
masyarakat mau yang terbaik untuk diri mereka sesuai kondisi
mereka saat ini.
Sikap kritis masyarakat tersebut haruslah disikapi secara
proporsional dan professional sebab hal ini merupakan bahagian
dari hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25/2009 tentang
Pelayanan Publik menetapkan bahwa pelayanan kesehatan
termasuk dalam ruang lingkup pelayanan jasa publik205. Jasa publik
kesehatan adalah jasa atas pelayanan kesehatan dan pemanfaatan
sumber daya sarana kesehatan oleh sumber daya manusia
kesehatan.
Rumah sakit Sebagai penyelenggara pelayanan jasa publik
kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas,
melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan dan
memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Kewajiban untuk memberikan pelayanan sebagaimana
tersebut diatas tertuang dalam Pasal 15 huruf e dan f Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2009 206

205 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009. Opcit. Pasal 5 ayat (2).


206 Ibid. pasal 15 huruf e dan f.

-107-
Masyarakat sebagai pengguna jasa publik berhak untuk
mengetahui kebenaran dari isi standar pelayanan, mengawasi
pelaksanaan standar pelayanan, mendapatkan tanggapan atas
pengaduan pelayanan dan mendapatkan pelayanan yang
berkualitas. Sehubungan dengan hak-hak masyarakat atas pelayanan
jasa publik kesehatan yang berkualitas maka rumah sakit pun wajib
menerapkan standar pelayanan rumah sakit dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan kepada pasien dan masyarakat.
Pengertian Standar Pelayanan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 berbunyi
sebagai berikut : “Standar Pelayanan adalah tolok ukur yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji
penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.”207
Penerapan standar pelayanan rumah sakit merupakan sebuah
keharusan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemberi
jasa kesehatan kepada masyarakat. Baik atau buruknya produk jasa
kesehatan yang dihasilkan oleh sebuah rumah sakit tidak terlepas
dari penerapan standar pelayanan rumah sakit sebagai mana yang
diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor
44/2009 tentang rumah sakit menjelaskan bawa yang dimaksud
dengan standar pelayan rumah sakit adalah pedoman yang harus di
ikuti dalam menyelenggarakan rumah sakit antara lain pelayanan
kesehatan pada pasien yang meliputi standar operasional prosedur,
standar pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan.208
Dari penjelasan tersebut diatas mensyaratkan bahwa setiap
rumah sakit harus membuat berbagai pedoman-pedoman yang
menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan
yang diselenggarakannya. Hal ini selaras dengan ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
tentang standar Pelayanan. Melalui Standar-Standar inilah sebuah
rumah sakit dapat dinilai telah memberikan pelayanan kesehatan
yang bermutu atau tidak. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa
penerapan standar pelayanan rumah sakit bukan hanya sekedar
mengenai kualitas pelayanan tetapi juga termasuk implikasi hukum

207 Ibid. pasal 1ayat (7).


208 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.Opcit. Pasal Pasal 13 ayat (3) Penjelasan.

-108-
yang mungkin terjadi akibat pelaksanaan tindakan medis yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit tersebut.
Sebagai mana dalam penjelasan pasal 13 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud Standar pelayanan Rumah sakit
adalah Standar operasional prosedur (SOP), Standar Pelayanan
Medik (SPM) dan Standar Asuhan Keperawatan (ASKEP), maka akan
dijelaskan secara rinci satu persatu sebagai berikut :
1) Standar Operasional Prosedur (SOP)
Setiap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien
haruslah yang bermutu sehingga berdampak terhadap positif
terhadap kesembuhan penyakit, pemulihan kesehatan dan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk itu, maka
setiap pelayanan atau tindakan medis yang akan dilakukan
haruslah sesuai dengan prosedur yang baku dan ter standarisasi
untuk mengurangi kesalahan sehingga tidak menimbulkan
kecelakaan atau kerugian pada pasien.
Setiap pelaksanaan tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus sesuai atau
berpatokan pada prosedur kerja yang telah ter standarisasi. Ini
berarti bahwa siapapun dokter yang melakukan suatu tindakan
medis, kapanpun tindakan medis tersebut dilaksanakan dan
dimanapun tindakan medis tersebut dilaksanakan, tidak boleh
menyimpang dari prosedur kerja yang telah ditetapkan baik yang
ditentukan oleh organisasi, ketentuan perundang-undangan
maupun yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
Prosedur kerja yang telah ditetapkan dan dijadikan sebagai
pedoman atau patokan dalam pelaksanaan tindakan medis
disebut SOP (standard operating procedures), atau sering pula
disebut sebagai Protap (Prosedur tetap). Dengan adanya SOP,
diharapkan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat
terlaksana dengan baik, tepat waktu, hemat biaya, terhindar dari
risiko kerugian pasien dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Beberapa pengertian mengenai Standar Operational
Prosedur (SOP) menurut para ahli antara lain sebagai berikut:

-109-
a) Sailendra (2015: 11)).209
Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan panduan
yang digunakan untuk memastikan kegiatan operasional
organisasi atau perusahaan berjalan dengan lancar
b) Menurut Laksmi, dkk (2008: 52). 210
SOP adalah dokumen yang berkaitan tentang prosedur yang
dilakukan secara kronologis guna menyelesaikan suatu pekerjaan
yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang paling efektif dari
para pekerja dengan biaya seminimal mungkin (serendah-
rendahnya).
c) Purnamasari (2015: 13). 211
Standard operational procedure adalah suatu prosedur kerja
yang dibuat secara detail serta terperinci bagi semua karyawan
guna melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan visi, misi & tujuan suatu lembaga, (institusi) maupun
instansi
d) Insani, 2010: 1).212
SOP atau standar operasional prosedur adalah dokumen
yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan
mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi
perkantoran yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu
pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan
dalam kegiatan.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 13 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menyatakan
bahwa, “Standar Operasional Prosedur adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi.”213

209 Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP. Yogyakarta : Trans Idea
Publising. hlm.11
210 Laksmi, dkk, 2008. Manajemen Perkantoran Modern. Jakarta: Penerbit Pernaka. hlm.52.
211 Purnamasari, Evita.P. 2015. Panduan Menyusun SOP (Standard Operating Procedure).
Jakarta: Kobis (Komunitas Bisnis). hlm 13.
212 Insani, Istyadi. 2010. Standar Operasional Prosedur (SOP) Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Administrasi Perkantoran Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Dan Kinerja Organisasi
Pemerintah. Makalah pada Workshop Manajemen Perkantoran di Lingkungan Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Bandung, hlm. 1
213 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009. Pasal 13 ayat (3) Penjelasan. loc.cit.

-110-
Dari rumusan tersebut diatas, maka beberapa point
penting dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) yaitu
antara lain:
1) Seperangkat instruksi /langkah-langkah tindakan yang
telah dibakukan.
2) Langkah-langkah/instruksi kerja tersebut dibuat dalam
bentuk tertulis.
3) Langkah-langkah kerja tersebut mengikat bagi setiap tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tindakan yang bersesuaian
dengan SOP masing-masing tindakan medis.
4) Langkah-langkah tersebut untuk menghasilkan kinerja
yang efektif dan efisien.
5) Standar Operasional berisi tentang ketentuan cara
melaksanakan, kapan waktu pelaksanaannya, dimana
tempat pelaksanaannya dan siapa pelaksananya.
6) Standar Operasional Prosedur di tetapkan oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

Selanjutnya tujuan pelaksanaan Standar Operasional


Prosedur (SOP) menurut Indah Puji, 2014:30)214 adalah sebagai
berikut:
1) Untuk menjaga konsistensi tingkat penampilan kinerja atau
kondisi tertentu dan kemana petugas dan lingkungan dalam
melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan tertentu.
2) Sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi
sesama pekerja, dan supervisor.
3) Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan (dengan
demikian menghindari dan mengurangi konflik), keraguan,
duplikasi serta pemborosan dalam proses pelaksanaan
kegiatan.
4) Merupakan parameter untuk menilai mutu pelayanan.
5) Untuk lebih menjamin penggunaan tenaga dan sumber daya
secara efisien dan efektif.
6) Untuk menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung
jawab dari petugas yang terkait.
7) Sebagai dokumen yang akan menjelaskan dan menilai
pelaksanaan proses kerja bila terjadi suatu kesalahan atau

214 Hartatik, Indah Puji. 2014. Buku Pintar Membuat SOP (Standar Operasional Prosedur).
Flashbooks. Yogyakarta, hlm 30.

-111-
dugaan mal praktik dan kesalahan administratif lainnya,
sehingga sifatnya melindungi rumah sakit dan petugas.
8) Sebagai dokumen yang digunakan untuk pelatihan.
9) Sebagai dokumen sejarah bila telah di buat revisi SOP yang
baru.

Kepatuhan dalam melaksanakan suatu tindakan medis


tertentu, menurut SOP akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi dokter, rumah sakit dan pasien, dalam
hal ini dokter dan rumah sakit dapat terhindar dari
kemungkinan gugatan atau tuntutan malpraktik dan pasien
akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
2) Standar Profesi.
Semua tenaga profesional dalam melaksanakan
pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang disebut standar
(ukuran) profesi. Jadi, bukan hanya dokter yang harus bekerja
sesuai dengan standar profesi medis, tetapi juga profesi lain
seperti advokat, hakim, jaksa dan guru yang ditentukan oleh
masing-masing organisasi profesi mereka. Namun demikian yang
paling sering mendapatkan sorotan publik adalah profesi
kedokteran, karena sekecil apapun kesalahan atau kelalaian
dokter dapat berpengaruh langsung pada keselamatan jiwa
pasien.
Komalawati (2002: 177) memberikan batasan standar
profesi, adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan
pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar
pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pada proses
tindakan medik.215
Selanjutnya Leenen dalam Wila Chandrawila (2001:51)216
mendefinisikan standar profesi sebagai berikut: "De formulering
van de norma voor de medische profesionale zou dan kunnen zijn:
als een gemiddelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in
gelijke omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding
staan tot het concrete handelingsdoel."

215 Komalawati Veronica. Opcit. hlm. 177.


216 Wila Chandrawila. Opcit. hlm. 51.

-112-
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:

"Norma standar profesi medis dapat diformulasikan sebagai


berikut: bertindak teliti sesuai dengan standar medis
sebagaimana yang dilakukan oleh seorang dokter yang
memiliki kemampuan rata-rata dari kategori keahlian medik
yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama dan dengan
cara yang ada dalam perseimbangan yang pantas untuk
mencapai tujuan dari tindakan yang konkrit."

Dalam rumusan Leenan tersebut dapat ditarik kesimpulan


bahwa seorang dokter baru dapat dikatakan profesional apabila:

1. Selalu bertindak secara teliti dalam menjalankan tugas


profesinya.
2. Selalu melaksanakan tugas profesinya sesuai dengan standar
pelayanan medis yang telah ditentukan.
3. Memiliki kemampuan profesional rata-rata sama dengan
teman sejawatnya, menurut kategori keahlian medis yang
sama.
4. Mampu melaksanakan tindakan medis tertentu dengan baik
sama seperti yang dapat dilakukan oleh teman sejawatnya
yang lain dalam situasi dan kondisi yang sama pula.
5. Dalam melaksanakan suatu tindakan medis tertentu, dengan
cara yang layak dan pantas berdasarkan situasi dan kondisi
yang dihadapi dalam upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan.

Kelima unsur yang terdapat dalam rumusan Leenen tentang


Standar Profesi Medik sebagai mana tersebut diatas, menjadi
acuan para hakim untuk menemukan adanya unsur kesalahan
dalam dugaan perbuatan malpraktik yang diajukan ke pengadilan.
Pengertian Standar profesi juga dapat dijumpai dalam
penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Standar Profesi
adalah batasan kemampuan (capacity) yang meliputi pengetahuan
(knowledge) keterampilan (skill) dan sikap profesional
(professional attitude) yang minimal yang harus dikuasai seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada

-113-
masyarakat secara mandiri, yang dibuat oleh organisasi
profesi.”217
Dari batasan menurut Undang-Undang tersebut, dapat
dijelaskan bahwa seorang dokter dalam menjalankan praktik
kedokterannya harus memiliki kemampuan dan kecakapan
minimal sebagaimana yang ditentukan oleh organisasi profesi
(IDI) dan memiliki kemampuan bekerja secara mandiri dalam
menjalankan praktik kedokterannya. Kecakapan dan kemampuan
minimal tersebut dikenal sebagai kompetensi profesional dokter,
yakni penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan dan sikap
perilaku professional menurut jenis dan keahlian masing-masing
dokter dalam menjalankan praktik kedokterannya.
Meskipun ketentuan pengaturan standar profesi telah
diatur dalam hukum positif, namun belum banyak dokter yang
memahami dengan baik aspek hukum pelaksanaan standar
profesi ini. Pelanggaran terhadap standar profesi dalam
menjalankan praktik kedokteran merupakan pintu masuk bagi
penegak hukum untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan
pembuktian unsur kesalahan dokter.
Beberapa tujuan ditetapkannya standar profesi medik
menurut Komalawati (2002: 177),218 antara lain sebagai berikut:
1) Untuk melindungi masyarakat (pasien) dan praktik yang tidak
sesuai dengan standar profesi medis.
2) Untuk melindungi profesi dan tuntutan masyarakat yang tidak
wajar Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan
peningkatan mutu pelayanan kedokteran.
3) Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan
yang efektif dan efisien.

Selanjutnya Wiradharma (1996: 80)219 menyebutkan


beberapa landasan pola pikir dalam pelaksanaan Standar Profesi
Medis sebagai berikut:
a. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu
kedokteran, ke arah tujuan pengobatan atau perawatan yang
konkrit, artinya upaya yang dilakukan harus profesional
dengan hasil yang ingin dicapai.

217 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.Opcit. Pasal 50. penjelasan.


218 Komalawati, Veronica, loc.cit.
219 Wiradharma, Danny. Opcit. Hal 80

-114-
b. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini.
c. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati,
tanpa kelalaian, yang tolak ukurnya adalah dengan
membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut
dengan dokter lain dan bidang keahlian yang sama yang
kemampuannya rata-rata bila berhadapan dengan kasus
seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.

3) Standar Pelayanan Medis.


Upaya peningkatan mutu pelayanan medis tidak dapat
dipisahkan dengan penerapan standar pelayanan medis. Tenaga
kesehatan dan institusi kesehatan dituntut memberikan
pelayanan medis yang bermutu kepada pasien, sebagai sebuah
kewajiban hukum yang harus dipatuhi. Standar pelayanan medis
selalu menjadi instrumen penilaian mutu dalam setiap
penyelenggaraan pelayanan medis. Setiap Rumah sakit wajib
mempunyai standar pelayanan medis yang kemudian ditindak
lanjuti dengan penyusunan standar operasional. Tanpa adanya
standar pelayanan medis, maka penyimpangan yang terjadi akan
sulit untuk diketahui.
Tolak ukur untuk menilai perilaku dokter yang memenuhi
standar pelayanan medik, masih sebatas pada penilaian
kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan
segenap kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya
setelah memeriksa dan menilai keadaan pasiennya. Dengan
perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan
tidak berbuat sebagaimana yang di perbuat oleh sesama dokter
terhadap pasien, maka dokter tersebut telah dapat dikategorikan
sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan
medis yang berlaku (Johan Bahder Nasution 2005: 42).220
Dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
bermutu, maka perlu ditetapkan standar pelayanan medis dan
standar pelayanan rumah sakit. Penerapan Standar pelayanan
medis dan standar pelayanan rumah sakit, merupakan sendi
utama dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan terhadap
pasien di rumah sakit. Nasution (2005:43) menyebutkan, Standar

220 Nasution, Johan Bahder. Opcit. hlm. 42.

-115-
pelayanan medis sebagai hukum yang mengikat para pihak yang
berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan
kesehatan dan untuk mencegah terjadinya kelalaian staf medis
dalam melakukan tindakan medis.221
Selanjutnya Nasution (2005:43) menyebutkan, jika ditinjau
dari sudut pandang hukum kesehatan, standar pelayanan medis
mempunyai dua tujuan yaitu Pertama, untuk melindungi
masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai standar profesi.
Kedua, melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang
tidak wajar. Penentuan dari indikasi dan pelaksanaan dari
tindakan medis itu haruslah dilakukan sesuai dengan standar
medis yang berlaku.222
Standar profesi, standar operasional prosedur dan standar
pelayanan medik digunakan sebagai instrumen untuk menilai
unsur kesalahan atau kelalaian dokter dalam dugaan kasus
malpraktik yang dituduhkan kepadanya. Sepanjang tidak dapat
dibuktikan adanya penyimpangan terhadap standar-standar
tersebut, maka kerugian, cacat atau meninggalnya pasien, dokter
tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum.

Badan Hukum Rumah Sakit

Dalam pergaulan hukum sehari-hari, sebuah perbuatan atau


tindakan hukum dianggap sah apabila si pelaku dianggap cakap oleh
hukum dan memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas
perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukannya. Sipelaku yang
memiliki kecakapan dan kemampuan untuk bertanggung jawab
tersebut sebagai subjek hukum. Subjek hukum dalam pergaulan
hukum dikenal ada dua jenis, yaitu subjek hukum alamiah adalah
manusia atau orang pribadi (natuurlijk persoon) dan subjek hukum
buatan hukum yaitu badan hukum (rechts person). Subjek hukum
badan hukum adalah entitas yang tidak berwujud dan tidak dapat
bergerak, namun oleh hukum diberi hak dan kewajiban sama seperti
subjek hukum manusia. Pelaksanaan hak dan kewajiban badan
hukum dilaksanakan oleh pengurus atau orang yang diberi

221 Ibid. hlm.43.


222 Ibid.

-116-
kewenangan untuk mewakili kepentingan badan hukum, menurut
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa pengertian subjek hukum menurut pandangan para
sarjana, yaitu antara lain:223
a. Menurut Subekti, subjek hukum adalah pembawa hak atau subjek
di dalam hukum yaitu orang.
b. Menurut Sudikno Mertokusumo, subjek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.
Hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum.
c. Menurut Syahran, subjek hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban.
d. Menurut Chaidir Ali, subjek hukum adalah manusia yang
berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan
tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu dan oleh hukum
diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
e. Menurut Agra, subjek hukum adalah setiap orang yang
mempunyai hak dan kewajiban sehingga mempunyai wewenang
hukum atau disebut dengan Rechtsbevoegdheid.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana


tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu subjek hukum adalah
suatu entitas yang diakui oleh hukum sebagai penyandang hak dan
kewajiban dalam perbuatan atau hubungan hukum. Entitas yang
mampu mengemban hak dan kewajiban, dalam hukum disebut
sebagai orang. Orang sebagai pendukung hak dan kewajiban
berdasarkan pengertian ilmu pengetahuan hukum barat disebut
dengan beberapa istilah yakni ; persoon (Belanda), persona (Latin),
personne (Prancis), person (Inggris) dan person (Jerman).224
Pengertian orang sebagai subjek hukum dibedakan dalam 2
(dua) pengertian, yaitu Natuurlijk persoon atau menselijk persoon
yaitu orang dalam bentuk manusia atau manusia pribadi dan rechts
persoon yaitu orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang
diciptakan hukum secara fiksi atau persona ficta. Selanjutnya Badan
hukum (rechts persoon) dibedakan pula dalam dua bentuk yaitu
badan hukum publik (publiek rechts persoon) yang sifatnya terlihat

223 Natadimaja, Harumiati. 2009, Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang Dan Hukum Benda,
Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 7
224 Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, hlm.72

-117-
unsur kepentingan publik yang ditangani oleh negara dan badan
hukum privat (privaat rechts persoon) yang sifatnya unsur
kepentingan individu dalam badan hukum swasta.225
Perbedaan antara subjek hukum manusia dengan subjek
hukum badan hukum selain karena cara kelahirannya, juga pada sifat
dan karakter yang dimilikinya. Subjek hukum manusia melakukan
sendiri perbuatan hukum atau hubungan hukum, mempunyai sikap
batin, dapat bergerak atau berpindah-pindah dan dapat melakukan
perkawinan. Sedangkan subjek hukum badan hukum, dalam
melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum diwakili oleh
subjek hukum manusia (pengurus), tidak mempunyai sikap batin,
tidak dapat bergerak atau berpindah tempat dan tidak dapat
melakukan perkawinan.
Suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum yang dilakukan
oleh subjek hukum manusia, akibatnya ditanggung sendiri oleh si
pembuatnya. Sebaliknya pada subjek hukum badan hukum,
akibatnya perbuatan hukum atau hubungan hukum yang dilakukan
menjadi tanggung jawab pengurus yang diberi kewenangan
bertindak untuk dan atas nama badan hukum tersebut, termasuk
dalam hal menuntut atau dituntut dimuka pengadilan.
Badan hukum sebagai subjek hukum dilahirkan oleh hukum
melalui suatu akta otentik yang dibuat oleh pejabat resmi yang
berwenang menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan
dan resmi dinyatakan sebagai badan hukum subjek hukum setelah
mendapatkan pengesahan dari lembaga resmi yang telah ditetapkan
oleh hukum atau pemerintah. Pejabat resmi yang dimaksud adalah
notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undangini atau
berdasarkan Undang-Undanglainnya.226

225 Kansil, CST dan Christine ST. Kansil. 1995. Modul Hukum Perdata. Jakarta : Pradnya
Paramita. hlm.82.
226 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pasal 1 ayat (1)

-118-
Penggunaan istilah badan hukum di Indonesia merupakan
terjemahan dari istilah hukum resmi, antara lain; rechts persoon
(Belanda), persona moralis (Latin), legal persona (lnggris). Selain
lstilah badan hukum, sering juga disebut sebagai pribadi hukum,
purusa hukum dan awak hukum.227
Beberapa pengertian badan hukum yang dikemukakan oleh
para ahli hukum antara lain:
a. Black’s Law Dictionary (2004:1178),228 memberikan pengertian
Badan hukum (legal persons) ialah “An entity such as corporation,
created by law given certain legal rights and duties of a human
being; a being, real or imaginary, who for the purpose of legal
reasoning is treated more or less as a human being.”
b. Subekti (2008 : 182), Badan Hukum adalah “suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan
sendiri dapat digugat atau menggugat didepan hakim229.
c. E. Utrecht dalam CST Kansil dan Christine, ST (2000:2), Badan
hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa
(berwenang) menjadi pendukung hak. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak
berjiwa atau yang lebih tepat bukan manusia.230
d. Sri Soedewi Maschun Sofwan dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T
(2000:9), Badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang
bersama mendirikan suatu badan (perkumpulan) dan kumpulan
harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu.231
e. Achmad Ali (2008:1 75) menyatakan bahwa badan hukum
merupakan perkumpulan yang dibentuk oleh manusia untuk
tujuan-tujuan tertentu.232

227 Ali, Chaidir. 1987. Badan Hukum, Alumni, Bandung. hlm. 14


228 Garner, A.Bryan. 2004, Black’s Law Dictionary, Eigth Edition.USA: West Publishing Co.
pg.1178
229 Subekti, opcit. hlm. 182
230 Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum, Cetakan
PertamaPustaka Sinar Harapan. Jakarta, hlm. 2
231 Ibid. hlm. 9
232 Achmad Ali, opcit. hal. 175.

-119-
Lebih lanjut Achmad Ali menguraikan empat syarat suatu
kedudukan sebagai badan hukum yaitu:233
a) Adanya harta kekayaan yang terpisah
b) Mempunyai kepentingan sendiri.
c) Mempunyai tujuan tertentu.
d) Mempunyai organisasi yang teratur.

Keempat syarat tersebut harus ada, barulah sebuah


perkumpulan dapat dianggap sebagai badan hukum. Keempat syarat
tersebut penting untuk membedakan segala perbuatan hukum badan
tersebut dengan manusia pengurusnya.
Dalam perkembangan hukum modern, suatu badan,
perkumpulan atau suatu perikatan hukum dapat menjadi pendukung
hak dan kewajiban, jika memenuhi lima unsur persyaratan sebagai
berikut:234
1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang
lain;
2. Unsur tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
3. Kepentingan sendiri dalam lalu-lintas hukum;
4. Organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut
peraturan perundangundangan yang berlaku dan peraturan
internalnya sendiri;
5. Terdaftar sebagai badan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pengertian dan syarat-syarat kedudukan suatu


badan, perkumpulan atau perikatan hukum sebagai subjek hukum,
maka rumah sakit sebagai institusi penyelenggara pelayanan
kesehatan dapat dikategorikan sebagai suatu badan hukum, dengan
memperhatikan persyaratan pokok suatu badan hukum yaitu:
a. Rumah sakit mempunyai harta kekayaan (asset) yang terpisah
dari harta kekayaan subjek hukum pendiri, termasuk hutang
piutang dengan pihak ketiga.
b. Rumah sakit mempunyai tujuan yang ideal yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam

233 Ibid.
234 Jimly Asshiddiqie, 2006, Opcit. hlm. 71

-120-
rangka memberikan pelayanan kesehatan perorangan dalam
bentuk upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
c. Rumah sakit mempunyai kepentingan sendiri sesuai dengan
landasan filosofis pendirian rumah sakit oleh subjek hukum
pendirinya yaitu rumah sakit profit atau rumah sakit nirlaba.
d. Rumah sakit mempunyai organisasi yang teratur yang dipimpin
oleh seorang direktur dengan membawahi staff atau karyawan
termasuk tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang
bekerja sesuai dengan tupoksi, terstuktur dan sistematis, sinergis
dan kolaboratif.

Ketentuan mengenai Badan Hukum Rumah sakit diatur dalam


Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa “Rumah Sakit dapat didirikan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah atau Swasta.” Selanjutnya pada ayat
(3) dijelaskan bahwa rumah sakit pemerintah dan pemerintah
daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan
pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU). Kemudian pada ayat (4)
ditegaskan bahwa Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di
bidang perumahsakitan.235
Rumah sakit sebagai badan hukum dapat dalam bentuk badan
hukum publik, jika rumah sakit tersebut milik pemerintah atau
pemerintah daerah dan bersifat nirlaba236, sedangkan badan hukum
privat yaitu Perseroan terbatas (PT) jika rumah sakit tersebut milik
swasta dan bersifat profit.237 Selain dalam bentuk perseroan terbatas
(PT), yang bersifat profit, rumah sakit swasta juga dapat didirikan
badan hukum publik yang bersifat nirlaba yaitu dalam bentuk
yayasan, perkumpulan atau perusahaan umum.238
Rumah sakit dalam bentuk badan hukum PT harusnya tunduk
pada ketentuan-ketentuan sebagai mana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pada
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang tersebut, diatur bahwa “Organ
Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi,
dan Dewan Komisaris. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 2

235 UU No 44 Tahun 2009. Opcit. Pasal 7 ayat (2) sampai ayat (4).
236 Ibid. Pasal 20 ayat (2) dan (3)
237 Ibid. Pasal 21.
238 Ibid. Pasal Penjelasan Pasal 21 ayat (2)

-121-
Undang-Undang Perseroan terbatas, maka seyogyanya berlaku
ketentuan-ketentuan pada Rumah Sakit PT sebagai berikut:
1) Rumah sakit adalah badan hukum dalam bentuk PT.
2) Direksi Rumah Sakit tiada lain adalah direksi PT.
3) Direksi rumah sakit harus memenuhi standar kualifikasi yang
diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit.
4) Direktur utama rumah sakit harus seorang dengan kualifikasi
pendidikan dokter.

Sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 1 butir 2


Undang-Undang Perseroan terbatas, maka perbuatan hukum atau
hubungan hukum yang dilakukan oleh rumah sakit terhadap subjek
hukum lainnya (orang atau badan hukum) akan berlaku ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1) Direksi rumah sakit mewakili badan hukum PT rumah sakit
bertindak untuk dan atas nama badan hukum PT Rumah sakit
untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan rumah sakit.
2) Direksi rumah sakit bertanggung jawab atas perbuatan hukum
dan hubungan hukum yang dilakukannya untuk dan atas nama
badan hukum PT rumah sakit baik secara keluar maupun
kedalam.
3) Direksi rumah sakit bertanggung jawab seluruh penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh badan hukum PT
rumah sakit.
4) Direksi Rumah Sakit bertanggung jawab atas kerugian yang
dialami oleh pasien karena kelalaian dokter atau tenaga kesehatan
lainnya (doctrine respondeat superior).

Meskipun telah diatur sebagaimana pada pasal 7 ayat (4)


Undang-Undang Rumah Sakit, Rumah sakit harus dalam bentuk
badan hukum PT khususnya rumah sakit swasta yang bersifat profit,
namun pada kenyataannya sebagai mana hasil penelitian yang telah
disampaikan oleh Yohanes Budi Sarwo, et al (2015: 55), rumah sakit
belum ada yang berbentuk badan hukum PT, karena badan hukum
PT tersebut masih berada pada pengelolanya.239 Selanjutnya Yohanis
Budi Sarwo et.al, menjelaskan bahwa struktur badan pengurus PT

239 Sarwo, Yohanes Budi, et all 2015. Undang-Undang Nomor 44 Tahun2009 dan Persoalan
Bentuk Badan Hukum Bagi Rumah Sakit Swasta Di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Hibah
Bersaing Tahun II, Universitas Katolik Soegijaprana. Semarang, hlm. 55.

-122-
menurut Pasal 75 sampai dengan pasal 121 Undang-Undang
Perseroan terbatas yang terdiri dari RUPS, direksi dan komisaris,
tidak sinkron dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Rumah Sakit
dimana struktur organisasi terdiri dari Direktur, unsur pelayanan
medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis,
satuan pemeriksaan internal serta administrasi umum dan
keuangan240. Lebih lanjut Yohanis Budi Sarwo et.al menjelaskan
bahwa ketentuan untuk mengikuti struktur organisasi rumah sakit
berdasarkan Perpres Nomor 77 tahun 2015 tentang Organisasi
Rumah Sakit, maka organisasi Rumah Sakit yang berbentuk PT tidak
mungkin didasarkan pada Undang-Undang PT, karena adanya ciri
atau karakter yang sifatnya tersendiri.241
Agar Badan Hukum PT Rumah sakit dapat berfungsi secara
efektif dan efisien dan dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap stakeholdernya, Yohanes Budi Sarwo, merekomendasikan
agar Rumah sakit harus berbentuk badan hukum mandiri dan agar
pemerintah membuat aturan yang mengatur secara khusus badan
hukum rumah sakit swasta yang berorientasi for profit, mengingat
Undang-Undang PT tidak mungkin dipaksakan untuk menjadi dasar
hukum bagi Rumah Sakit swasta jika harus berbadan hukum PT.242

Hak-hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Rumah Sakit sebagai institusi kesehatan yang


menyelenggarakan pelayanan medis, memiliki fungsi utama sebagai
tempat dilaksanakannya upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan terhadap pasien yang datang berkunjung ke
rumah sakit untuk memeriksakan diri dan mendapatkan pertolongan
medis dari dokter. Pelaksanaan fungsi rumah sakit tersebut memiliki
implikasi tanggung jawab hukum rumah sakit atas pelayanan
kesehatan yang diselenggarakannya kepada pasien.
Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan fungsi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan berkaitan erat dengan asas
penyelenggaraan rumah sakit yang berdasarkan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas,
manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,

240 Ibid.
241 Ibid. hal 56
242 Ibid.

-123-
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial.243 Selain itu tanggunggung jawab hukum rumah sakit juga
berkaitan erat dengan tujuan rumah sakit yaitu:244
1. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan;
2. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di
rumah sakit;
3. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan
rumahsakit; dan
4. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat,
sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Pelaksanaan tanggung jawab hukum bersumber dari hak dan


kewajiban subjek hukum. Hak adalah suatu kepentingan dari subjek
hukum yang dilindungi oleh hukum dan dalam pemanfaatannya akan
melahirkan kewajiban hukum. Sebaliknya kewajiban adalah suatu
keharusan untuk melaksanakan suatu ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan oleh subjek hukum untuk
mempertahankan hak-hak yang dimilikinya. Hak dan kewajiban tidak
terlepas dari pergaulan hukum. Setiap perbuatan hukum atau
hubungan-hubungan hukum yang diperbuat oleh subjek hukum akan
melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum. Hak
merupakan suatu kebebasan yang diberikan oleh hukum kepada
subjek hukum untuk menggunakan atau mempertahankan
kepentingan-kepentingannya yang dilindungi oleh hukum,
sebaliknya kewajiban merupakan sebuah beban yang dipikulkan oleh
hukum kepada subjek hukum untuk melaksanakannya, agar
kepentingan-kepentingan subjek hukum yang dilindungi oleh hukum
dapat dipergunakan atau dipertahankan. Tidak ada hak tanpa
kewajiban dan sebaliknya tidak kewajiban tanpa hak.
Menurut Alexandra lndriyanty Dewi (2008:135),245hak
mengandung empat unsur yaitu:

243 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 opcit. pasal 2


244 Ibid. Pasal 3.
245 Dewi, Alexandra lndriyanty. opcit. hal. 135.

-124-
a. Subjek hukum.
Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak
dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak
dan kewajiban ini disebut kewenangan hukum.
b. Objek hukum.
Objek Hukum adalah segala sesuatu yang menjadi fokus atau
tujuan diadakannya hubungan hukum.
c. Hubungan hukum.
Hubungan hukum yang terjalin karena adanya peristiwa hukum.
d. Perlindungan hukum.
Segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan
hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.

Selanjut Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo (2000:55)


mendeskripsikan beberapa ciri-ciri hak yang melekat pada hukum
yaitu antara lain:246
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang
memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan
korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu
perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa
disebut sebagai objek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu
peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya.

246 Satjipto Raharjo, loc.cit.

-125-
Srijanti (2007:121) menjelaskan pengertian Hak dan
kewajiban sebagai berikut: 247
1. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi pedoman
berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin
adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya.
2. Kewajiban pada intinya adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Kewajiban berarti suatu keharusan maka apapun itu jika
merupakan kewajiban kita harus melaksanakannya tanpa ada
alasan apapun itu.

Berdasarkan pandangan Srijanti tentang pengertian sebuah


keharusan yang tidak dapat diabaikan dan pelaksanaannya dapat
dipaksakan sebagai tanggung jawab dari subjek hukum. Senada
dengan pandangan Notonagoro (2010:30) yang mendefinisikan
kewajiban sebagai beban untuk memberikan suatu yang semestinya
dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu dan tidak dapat
dipindahkan kepihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat
dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.248
Selanjutnya Curzon mengelompokkan kewajiban menjadi 5
kelompok, yaitu:
a. Kewajiban mutlak adalah tertuju kepada diri sendiri maka tidak
berpasangan dengan hak dan nisbi, melibatkan hak di lain pihak.
b. Kewajiban publik adalah wajib mematuhi hak publik dan
kewajiban perdata timbul dari perjanjian berkorelasi dengan hak
perdata.
c. Kewajiban positif adalah menghendaki dilakukan sesuatu dan
kewajiban negative tidak melakukan sesuatu.
d. Kewajiban universal atau umum ditujukan kepada semua warga
Negara.
e. Kewajiban primer adalah tidak timbul dari perbuatan melawan
hukum.

247 Srijanti, dkk. 2007. Etika Berwarga Negara Edisi 2: Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi. Salemba Empat. Jakarta, 121
248 Notonagoro (2010:30) dalam Buku PKN untuk SMA kelas X, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI.2017.

-126-
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemberi pelayanan
kesehatan kepada pasien, rumah sakit mempunyai hak dan
kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit yaitu:
a. Kewajiban-kewajiban Rumah Sakit: 249
1. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah
sakit kepada masyarakat.
2. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
3. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai
dengan kemampuan pelayanannya.
4. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
5. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak
mampu atau miskin.
6. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan
fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan
gawat darurat tanpa uang muka, ambulance gratis, pelayanan
korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial
bagi misi kemanusiaan.
7. Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu
pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam
melayani pasien.
8. Menyelenggarakan rekam medik.
9. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara
lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang
cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.
10. Melaksanakan sistem rujukan.
11. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar
profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.
12. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
hak dan kewajiban pasien.
13. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.
14. Melaksanakan etika rumah sakit.
15. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana.

249 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.Opcit. Pasal 29 ayat (1)

-127-
16. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik
secara regional maupun nasional.
17. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik
kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan
lainnya.
18. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit
(hospital by laws).
19. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua
petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas.
20. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai
kawasan tanpa rokok.
b. Hak-Hak Rumah Sakit:250
1. Menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya
manusia sesuai dengan kualifikasi rumah sakit.
2. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan
renumerasi, insentif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan
4. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
5. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian.
6. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan.
7. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
8. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan
rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan.

Hak-hak dan kewajiban pasien

a. Hak-hak Pasien.
Sebagaimana rumah sakit memiliki hak dan kewajiban
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, maka pasien pun
memiliki hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh rumah sakit. Hak pasien
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bersumber dari hak

250 Ibid. Pasal 30 ayat (1).

-128-
asasi manusia dan atau menurut suatu ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesehatan sebagai hak asasi manusia telah mendapatkan
pengakuan secara internasional sebagaimana yang tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai
untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan
keluarganya.251 Selain itu pengakuan kesehatan sebagai hak asasi
manusia juga diatur dalam Konvensi Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum
PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yang menyatakan
bahwa mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar
tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan
mental.252
Secara nasional, Kesehatan sebagai hak konstitusional
diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai
konstitusi Negara Indonesia. Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.253 Pasal 28I ayat (2)
menyebutkan “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.”254 Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”255
Kesehatan sebagai hak asasi manusia bertumpu pada dua
hak dasar yaitu hak dasar individual “the right to self
determination” (hak untuk menentukan diri sendiri) dan hak
dasar sosial “the right to health care” (hak atas pemeliharaan

251 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 25 yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
252 Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh
Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. Pasal 12 ayat (1)
253 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 H ayat (1)
254 Ibid. Pasal 28 I ayat (2)
255 UU no 39 /1999. Tentang HAM pasal 9

-129-
kesehatan), yang selanjutnya menimbulkan hak individual yaitu
hak atas pelayanan medis (the right to medical service). Hak
menentukan diri sendiri (the right to self determination) adalah
individual yang akan menurunkan hak lain yaitu hak privacy dan
hak atas diri sendiri.
Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak-hak
kesehatan terhadap individu dan masyarakat, dalam
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dengan tegas
menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.256
Kemudian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan
bahwa “kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.257
Hak atas kesehatan dapat diartikan sebagai hak setiap
orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik yang dilaksanakan
secara sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama dalam
suatu institusi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang
berlaku.
Suatu pelayanan kesehatan disebut bermutu, apabila
pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan atau institusi kesehatan berdasarkan standar profesi,
standar operasional prosedur, standar sarana dan prasarana
kesehatan, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pasien,
yang aman, bermutu, terjangkau dan non diskriminatif.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh dokter atau
pihak rumah sakit terhadap pasien, dilaksanakan secara
paripurna dan komprehensif dalam rangka pemenuhan hak-hak
kesehatan pasien sebagaimana yang diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
Berikut disampaikan selengkapnya hak-hak pasien yang
diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-
Undang Rumah Sakit :

256 UU kesehatan /2009 pasal 4


257 ibid pasal 1 ayat (1)

-130-
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 4 tentang Praktik
Kedokteran, menyebutkan beberapa hak-hak pasien dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran oleh dokter atau dokter
gigi, antara lain: 258
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medik yang akan diterima,
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi yang lain (second
opinion),
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis, dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
menjelaskan beberapa hak-hak pasien dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, antara lain:259
1) Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan-peraturan yang berlaku di rumah sakit.
2) Hak memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban
pasien, memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur
dan tanpa diskriminasi.
3) Hak Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
4) Hak memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik maupun
materi.
5) Hak mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
di dapatkan.
6) Hak Memilih dokter dan kelas perawatannya sesuai
dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit.
7) Hak meminta konsultasi tentang penyakit yang
dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat lzin
Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
8) Hak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit
yang diderita termasuk data-data medisnya.
9) Hak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan
tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan, risiko, dan komplikasi yang mungkin terjadi,

258 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit Pasal 52.


259 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009. Opcit Pasal 32.

-131-
dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan.
10) Hak memberikan persetujuan atau penolakan atas
tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan
terhadap penyakit yang dideritanya.
11) Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
12) Hak menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan
yang dianutnya, selama hal itu tidak menggangu pasien
lainnya.
13) Hak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya
selama dalam perawatan di rumah sakit.
14) Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan
rumah sakit terhadap dirinya.
15) Hak menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak
sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang dianutnya.
16) Hak menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila
rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana; dan
17) Hak mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan
elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Berikut akan diulas beberapa hak-hak pasien yang


menonjol dalam pelayanan kesehatan, yaitu antara lain:
1. Hak atas informasi medik.
Informasi medis merupakan hal yang sangat penting
dalam pelayanan kesehatan. Atas dasar informasi medis yang
disampaikan oleh dokter kepada pasien, menjadi alasan bagi
pasien untuk memberi persetujuan atau penolakan terhadap
suatu pengobatan atau tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka informasi medis
yang disampaikan kepada pasien harus lah informasi yang
jelas, lengkap, jujur dan kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Pasien berhak untuk memperoleh
informasi medis yang berhubungan dengan kesehatannya
mulai dari informasi tentang diagnose penyakit, pengobatan
atau tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter, alasan

-132-
mengapa pengobatan atau tindakan medis tersebut dilakukan,
apa keuntungan dan kekurangannya jika pengobatan atau
tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan,
bagaimana prognosis dari suatu pengobatan atau tindakan
medis yang akan dilakukan.
Menjadi kewajiban dokter atau pihak rumah sakit untuk
memberikan informasi medik yang jelas pada pasien dan atau
keluarganya, diminta atau tidak diminta, dikecualikan dalam
hal informasi medis tersebut dianggap akan merugikan
kepentingan kesehatan pasien, maka dokter dapat menunda
pemberian informasi medis tersebut untuk beberapa saat atau
setelah mendapat persetujuan pasien.
Hak atas informasi medis pasien adalah hak hukum dan
kewajiban dokter atau pihak rumah sakit memberikan,
sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Praktik
Kedokteran dan Undang-Undang Rumah Sakit. Dalam
kenyataan sehari-hari masih jarang dokter mau meluangkan
waktunya untuk memberikan informasi medis pada pasiennya,
sehingga sering kali menimbulkan kekecewaan pada pasien
atas pelayan yang diberikan oleh dokter atau pihak rumah
sakit tersebut.
Hermien Hadiati Koeswadi (1984:58)260 menyebukan
informasi mengandung 4 (empat) fungsi normatif bagi pasien
yaitu sebagai berikut:
1) Informasi dapat berfungsi bagi seseorang berdasarkan
alasan-alasan yang cukup dalam mengambil keputusan
atas hidup dan kesejahteraan hidupnya.
2) Ada beberapa informasi yang dapat dilimpahkan kepada
pihak lain, karena dalam beberapa hal akan
menguntungkan bagi yang berkepentingan.
3) Informasi berfungsi untuk kepentingan mengajukan
gugatan.
4) Informasi dapat dilimpahkan kepada pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan langsung maupun tidak
langsung.

260 Koewadji, Hermien Hadiati. 1984. Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,
Surabaya, hlm. 58.

-133-
Dalam hal proses penyampaian informasi medis kepada
pasien, maka beberapa hal yang perlu menjadi perhatian
dokter yaitu antara lain:
1) Informasi medis merupakan hak pasien sehingga menjadi
kewajiban dokter untuk menyampaikannya, diminta atau
tidak diminta.
2) Sebagai hak pasien, maka informasi yang disampaikan harus
secara lengkap, jelas dan jujur, yang kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Informasi sebagai hak pasien dapat
berimplikasi hukum jika informasi yang diberikan dokter
tersebut menyesatkan sehingga mengakibatkan pasien salah
mengambil keputusan
3) Informasi yang disampaikan dokter harus kepada pasien
yang oleh hukum dianggap cakap untuk menerima informasi
dan dalam mengambil keputusan, yaitu pasien yang telah
dewasa (21 tahun keatas) atau yang telah pernah menikah.
Sedangkan yang belum dewasa (dibawah 21 tahun), belum
pernah menikah dan dalam keadaan sakit berat atau
mengalami gangguan mental, informasi disampaikan kepada
keluarga terdekat yang harus cakap menurut hukum.
4) Informasi disampaikan dengan teknik komunikasi yang
efektif dan efisien sehingga informasi dapat diterima dengan
baik dan mudah disimak dan dipahami oleh pasien. Dalam hal
ini informasi sebaiknya menggunakan bahasa yang sederhana
dan terhindar dari istilah-istilah medis
5) Informasi medis selalu mempertimbangkan kerahasiaan
medis pasien sehingga tidak dengan mudah disampaikan
kepada orang lain tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya.
6) Informasi yang disampaikan mempertimbangkan kondisi
kesehatan pasien, yang jika karena alasan akan
memperburuk keadaan pasien dapat ditunda untuk
disampaikan beberapa saat.
7) Informasi medis sebagai hak hanya dapat dibuka kepada
pihak lain atas sepengetahuan dan seizin pasien, atau karena
alasan kepentingan penegakan hukum atau menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

-134-
2. Hak Atas Persetujuan Tindakan Medik.
Hak atas persetujuan tindakan medik atau yang dikenal
juga dengan istilah informed consent, merupakan hak pasien
yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan pelayanan
medis, yaitu suatu hak untuk menentukan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya terhadap diri seorang pasien.
Persetujuan Tindakan Medis adalah sebuah pernyataan
sikap atau keputusan yang memberi izin bagi dokter untuk
melakukan suatu pengobatan atau tindakan medis tertentu
terhadap diri pasien, setelah terlebih dahulu mendapatkan
informasi dan penjelasan yang lengkap, akurat dan jujur dari
dokter, perihal kondisi medis pasien pada saat berkonsultasi
atau memeriksakan kesehatannya.
Secara filosofis suatu persetujuan baru dapat diberikan
secara bertanggung jawab oleh seseorang, apa bila yang
bersangkutan terlebih dahulu mengetahui dan memahami
suatu pokok permasalahan yang dihadapi, dan telah
melakukan suatu pertimbangan atas keputusan yang akan
dilakukannya berupa persetujuan atau kesepakatan ataupun
penolakan.
Dalam hal terjadinya pengetahuan dan pemahaman,
maka seseorang membutuhkan suatu informasi yang akurat
dari sumber-sumber yang layak untuk dipercayai. Persetujuan
atau kesepakatan yang diberikan atau yang dibuat oleh
seseorang atas dasar pengetahuan dan pemahaman yang baik
dan dengan suatu kesadaran merupakan suatu perbuatan atau
tindakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Persetujuan
Tindakan Medis (informed consent) adalah sebuah perbuatan
atau tindakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum, sepanjang pemberian persetujuan atau
kesepakatan tersebut didasari oleh adanya pengetahuan dan
pemahaman yang baik dan benar, oleh karena adanya
informasi medis yang diperoleh dari dokter yang jelas, akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan pula.

-135-
Persetujuan Tindakan Medis yang diberikan oleh pasien
kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan diagnostik
atau terapeutik, setelah mendapatkan informasi medis disebut
persetujuan atas informasi261. Pada hakikatnya, Persetujuan
Tindakan Medis merupakan sebuah proses komunikasi antara
dokter dengan pasien tentang kesepakatan sebuah tindakan
medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci dari dokter). Penandatangan
Formulir Persetujuan Tindakan Medis hanya merupakan
pengukuhan atas pernyataan kesepakatan sebelumnya262.
Ada beberapa kaidah hukum yang harus diperhatikan
dalam menyusun dan memberikan informed consent agar
hukum perikatan ini tidak cacat hukum yaitu diantaranya
adalah tidak bersifat memperdaya (Fraud), tidak bersifat
menekan (force) dan tidak menimbulkan ketakutan (Fear) 263.
Permenkes No. 290/ III/2008 memberi pengertian
Persetujuan Tindakan Medis (Kedokteran) adalah persetujuan
yang diberikan oleh Pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien264.
Atas dasar Hak Persetujuan Tindakan medis, maka setiap
dokter atau dokter gigi yang akan melakukan suatu tindakan
medis tertentu harus mendapat persetujuan dari pasien atau
keluarganya. Hal ini diatur dalam peraturan perundang-
undangan, sebagai hukum positif yang berlaku, yaitu antara
lain265:
1) Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran dan Kedokteran gigi
menyatakan bahwa “setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan
persetujuan

261 Wila Chandrawila Supriadi, Opcit. hlm. 62


262 Matippanna, Ampera. 2021. Pentingnya memahami informed consent dan rahasia medis
dalam praktik kedokteran. Ponorogo: Penerbit Uwais. hlm. 6-7.
263 Ibid.
264Permenkes RI No.290/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 1 ayat (1)
265 Ampera Matippanna, Pentingnya memahami informed Consent dan rahasia Medis dalam
Praktik Kedokteran. Ibid. hal 8-9.

-136-
2) Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, menyatakan bahwa, “setiap tindakan
kedokteran yang dilakukan di rumah sakit harus
mendapatkan persetujuan pasien atau keluarganya
3) Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan menyatakan bahwa, “setiap orang
berhak untuk menerima atau menolak sebagian atau
seluruhnya tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya, setelah menerima dan memahami mengenai
tindakan tersebut secara lengkap”
4) Pasal 58c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan, menyatakan bahwa, “tenaga kesehatan
dalam menjalankan praktik memperoleh persetujuan dari
penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang akan diberikan”
5) Pasal 2 ayat (1) Permenkes RI Nomor 290/III/ 2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyatakan
bahwa semua tindakan yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan.

Terdapat beberapa unsur penting yang harus terpenuhi


sebagai syarat sahnya sebuah Persetujuan Tindakan Medis
yang diberikan oleh pasien, yaitu:
1) Pasien adalah orang yang dianggap cakap oleh hukum untuk
bertindak sebagai subjek hukum dalam memberikan
pernyataan persetujuan.
2) Pasien telah mendapatkan informasi medis yang jelas dan
akurat dari dokter yang akan melakukan tindakan medis
3) Pasien dalam memberikan persetujuan harus secara
sukarela, bebas dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak
manapun.
4) Persetujuan yang diberikan oleh pasien bersifat spesifik dan
tertentu, sehingga dokter hanya boleh melakukan tindakan
yang hanya disetujui oleh pasien. Tindakan medis diluar dari
apa yang disetujui oleh pasien adalah perbuatan melawan
hukum.
5) Persetujuan dapat diberikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Untuk Tindakan kedokteran yang berisiko tinggi wajib dalam
bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh pasien yang cakap
atau keluarga terdekat yang juga cakap menurut hukum.

-137-
3. Hak untuk memilih dokter atau rumah sakit.
Meskipun pada dasarnya setiap dokter dianggap
memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan,
pengobatan ataupun perawatan medis, menurut jenjang
pendidikan dan spesialisasinya, namun pasien berhak memilih
dokter atau rumah sakit sesuai dengan yang dikehendakinya.
Pelaksanaan hak ini adalah turunan dari hak
menentukan diri sendiri (the right to self determination)
sebagai hak asasi dari pasien yang bersangkutan. Hak memilih
dokter dan rumah sakit diatur dengan sangat jelas pada
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa “Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan
sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit.266
Pelaksanaan hak memilih dokter dan rumah sakit bagi
pasien, meskipun sifatnya adalah hak asasi, namun
pelaksanaannya tidak bersifat mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh
status pasien ketika akan memeriksakan diri ke dokter atau
rumah sakit. Status pasien yang dimaksud adalah pada cara
pembiayaan dan kemampuan pembayaran atas biaya-biaya
kesehatan yang dibutuhkan. Berdasarkan cara pembiayaan
kesehatan, pasien dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu jenis
pasien umum dan pasien dengan jaminan kesehatan
(asuransi). Jenis Pasien umum adalah pasien yang menanggung
sendiri keseluruhan pembiayaan kesehatannya, sehingga lebih
leluasa dalam menentukan hak memilih dokter dan rumah sakit,
sedangkan pasien dengan jaminan pembiayaan (asuransi) sulit
untuk menentukan pilihan terhadap dokter atau rumah sakit
tertentu, karena pada umumnya pihak penanggung telah
menentukan standar dan klasifikasi rumah sakit dan dokter yang
menjadi hak tertanggung atau pasien.
Pelaksanaan hak memilih dan menentukan dokter atau
rumah sakit, selain karena adanya hak kebebasan dalam
menentukan diri sendiri, juga karena adanya asas kebebasan
dalam melakukan suatu perikatan hukum dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien. Asas kebebasan ini
merupakan salah satu persyaratan sahnya suatu perikatan atau
perjanjian.

266 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, loc.cit. Pasal 32.

-138-
4. Hak atas rahasia medik
Hak ini biasa juga disebut sebagai hak atas rahasia
Kedokteran. Timbulnya Rahasia Medis pasien bermula pada
saat disepakatinya perjanjian terapeutik antara dokter dan
pasien, yang menimbulkan kewajiban bagi para dokter, tenaga
kesehatan lainnya dan atau pihak rumah sakit untuk
menyimpan dan melindungi segala sesuatu yang diketahuinya
tentang data dan informasi medis pasien. Oleh karena data dan
informasi medis ini diperoleh ketika melaksanakan tugas
profesi dokter, maka rahasia medis atau rahasia kedokteran
dapat disebut sebagai rahasia jabatan medis atau rahasia
jabatan dokter.
Pengertian Rahasia Medis (Kedokteran) menurut
Permenkes No.36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang
diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan
pekerjaan atau profesinya267. Ampera Matippanna (2021:108)
menjelaskan bahwa Rahasia Medis atau Rahasia Kedokteran
hanyalah rahasia yang berhubungan dengan informasi dan
data pribadi pasien dalam hubungan medis antara dokter dan
pasien, sekaitan dengan penyakit atau gangguan kesehatan
yang menjadi alasan pasien datang untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan268
Sebagai Rahasia Medis, maka informasi dan data pribadi
pasien wajib dilindungi dan disimpan oleh dokter atau pihak
rumah sakit tempat berlangsungnya hubungan medis antara
dokter atau pihak ruman sakit dengan pasien. Kewajiban
menyimpan rahasia medis bagi dokter atau pihak rumah sakit
berlandaskan atas kewajiban moral yang diatur dalam kode
etika profesi kedokteran dan berdasarkan kewajiban hukum
yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kewajiban moral sebagaimana yang diatur dalam
Kode etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) menyatakan bahwa
“Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, karena kepercayaan yang

267 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran. Pasal 1
ayat (1)
268 Matippanna, Ampera. Pentingnya memahami informed Consent dan rahasia medis dalam
praktik kedokteran, Ibid, hlm 108.

-139-
telah diberikan kepadanya bahkan juga setelah pasien
meninggal.”269 Sedangkan Kewajiban hukum simpan rahasia
medis bagi dokter atau pihak rumah sakit, diatur dalam
perundang-undangan antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, menyatakan
“Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban merahasiakan dan
menyimpan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”270
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, menyatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik wajib menjaga dan menyimpan
kerahasiaan penerima pelayanan kesehatan271
3) Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia
Kedokteran : “Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi
tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran, yaitu
antara lain: 272:
a. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang
memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan
pasien;
b. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;
c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan
kesehatan.
d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan
informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan
kesehatan;
e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan
kesehatan;dan
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan,
pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi
di fasilitas pelayanan kesehatan.

269 Surat Keputusan Pengurus Besar Ikantan Dokter Indonesia Nomor 221 Tahun 2002
Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 12.
270 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit Pasal 48 ayat (1).
271 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014. Opcit Pasal 58 ayat (1) huruf c jo Pasal 73 ayat (1)
272 Permenkes Nomor 36 Tahun 2012. Opcit, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)

-140-
Selanjutnya informasi dan data pribadi pasien sebagai
hak yang harus dilindungi, diatur pula dalam peraturan
perundang-undangan, antara lain :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, menjamin perlindungan terhadap hak kerahasiaan
pribadi (Privacy) bagi setiap warga negara, sebagaimana
yang dinyatakan pada Pasal 28G ayat (1), “setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang berada dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”273
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan
menyatakan “Setiap orang berhak atas kerahasiaan kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan pada
penyelenggara pelayanan kesehatan274
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit, menyatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan
privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data pribadinya275

Meskipun hak atas rahasia medis tersebut menjadi


kewajiban dokter atau pihak rumah sakit untuk merahasiakan
dan menyimpan rahasia medis pasien, namun dalam hal-hal
tertentu atau menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan, rahasia medis pasien tersebut dapat dibuka.
Pembukaan rahasia medis dapat dilakukan dalam hal
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-
Undang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Rahasia
Kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien, atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan”276

273 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28G ayat (1).


274 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Opcit pasal 57 ayat (1).
275 Undang-Undang Nomor 44Tahun 2009. Opcit pasal 32 huruf i.
276 Ibid. Pasal 48 ayat (2).

-141-
5. Hak untuk mengetahui isi rekam medis.
Segala informasi dan data pribadi pasien yang terungkap
dalam hubungan medis dokter pasien harus dirahasiakan dan
disimpan dalam sebuah berkas yang disebut berkas rekam
medis (medical record). Medical record baik dalam bentuk
konvensional maupun digital harus dipastikan dalam keadaan
yang aman dan tersimpan rapi sehingga tidak mudah jatuh
atau diakses oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Atas dasar tersebut, maka menjadi kewajiban dokter
atau pihak rumah sakit untuk menyelenggarakan tata kelola
medical record yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Meskipun berkas rekam medis
tersebut dibuat dan diadakan oleh rumah sakit dan isinya
ditulis oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lainnya sehingga
menjadi milik kepunyaan rumah sakit, namun karena isi
tulisan tersebut adalah informasi medis dan data pribadi
pasien, sebagai hak pasien. Dengan sendirinya menjadi milik
pasien atau keluarganya yang berhak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.277
Dengan demikian, pasien berhak untuk mengakses atau
mendapatkan keterangan tentang isi rekam medisnya,
termasuk memberi kewenangan kepada dokter atau pihak
rumah sakit untuk membuka sebagian atau seluruh isi berkas
rekam medis kepada pihak-pihak tertentu yang
membutuhkannya.
Untuk dapat memahami pengertian rekam medis secara
substantif, berikut penjelasannya menurut ketentuan
perundang-undangan yaitu antara lain:
1) Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No 29 Tahun 2004, pada
bagian penjelasan menyatakan bahwa Rekam Medis adalah
berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan
lainnya yang telah diberikan kepada pasien.
2) Pasal 1 butir 1 Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang
Rekam medis, menyatakan bahwa Rekam Medis adalah
berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang pasien,

277 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit Pasal 47 ayat (1).

-142-
pemeriksaan, pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien.
3) Pasal 1 butir 3 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 135 Tahun 2002 Tentang Jabatan Fungsional
Perekam Medis dan Angka Kreditnya menyatakan bahwa
Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan,
dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan.

Selain pengertian Rekam Medis Menurut Ketentuan


Perundang-undangan, berikut disampaikan pengertian rekam
medis menurut beberapa sarjana yaitu antara lain:278
1) Huffman (1999), Rekam Medis adalah fakta yang berkaitan
dengan keadaan pasien, riwayat penyakit dan pengobatan
masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
tersebut.
2) Hanafiah dan Amir (2007), Rekam Medis adalah kumpulan
keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan
dan catatan segala kegiatan para pelayanan kesehatan atas
pasien dari waktu ke waktu.
3) Homan (2002), Rekam Kesehatan adalah tempat
penyimpanan data dan informasi mengenai pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien. Rekaman
kesehatan mencatat apa, siapa, kapan dan bagaimana
perawatan pada pasien.
4) Hatta, dkk (Lubis 2010), Rekam Medis adalah dokumen
tentang identitas, anamnesis, diagnosis, pengobatan dan
pelayanan lain yang diberikan kepada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan, yang meliputi tempat pendaftaran
pasien yang dimulai dari penerimaan pasien, kemudian
bertanggung jawab untuk mengumpulkan, mengolah dan
menganalisis dan menjamin kelengkapan berkas rekam
medis mulai dari unit rawat jalan, rawat inap, UGD dan unit
penunjang lainnya.

278 Matippanna, Ampera. Pentingnya Memahami informed consent dan rahasia medis dalam
praktik kedokteran. Opcit. hlm. 124.

-143-
Selain pendapat tersebut diatas, Ampera Matippanna
(2021:122) juga memberikan pengertian tentang Rekam Medis
sebagai suatu dokumen medis yang berisi data pribadi dan
informasi medis pasien, baik yang ditulis oleh dokter maupun
oleh tenaga kesehatan lainnya, mulai dari tempat pendaftaran,
pemeriksaan anamneses, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, penegakan diagnosis, pemberian pengobatan dan
tindakan medis.279
Dari semua pengertian Rekam Medis, baik menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun oleh
pandangan para sarjana, nampak dengan jelas bahwa isi dari
rekam medis adalah informasi dan data pribadi pasien,
sehingga menjadi sangat wajar jika pasien berhak untuk
mengetahui isi dari semua tulisan atau catatan yang dibuat
oleh dokter, tenaga kesehatan lainnya atau pihak rumah sakit.
Sebagaimana isi rekam medis tersebut bersifat
konfidensial, maka tentunya berkas rekam medis pun turut
menjadi konfidensial. Dalam pengertian ini, maka rekam medis
harus dapat terjaga dan tersimpan dengan baik, sehingga tidak
mudah jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak Di
beberapa negara yang menganut kebebasan mutlak, seorang
pasien yang tidak ingin rahasia medisnya dibuka terhadap
orang atau pihak lain, maka berkas rekam medisnya akan
selamanya tertutup. Seorang suami atau istri tidak dengan
mudah untuk mendapatkan isi dari rekam medik pasangannya
bahkan terkadang sampai pasien telah meninggal.
6. Hak atas pendapat kedua (second Opinion).
Hak atas pendapat kedua (second opinion) adalah hak
seorang pasien yang dijamin oleh perundang-undangan
dibidang kesehatan untuk meminta pendapat dokter lain
(dokter kedua) selain dokter yang sementara merawatnya.
Permintaan pendapat dari dokter kedua, harus disikapi secara
positif oleh dokter pertama sebagai bentuk penghargaan
terhadap hak-hak pasien yang dijamin dalam Undang-Undang.
Sebaliknya dokter kedua pun yang dimintai kesediaan untuk
memberi pendapat kedua juga harus menyikapi secara positif

279 Ibid. hlm.121.

-144-
dan proporsional, agar pelaksanaan hak pasien ini dapat
terlaksana dengan baik.
Esensi utama dari hak pendapat kedua (second opinion)
adalah mempelajari kasus penyakit yang dialami oleh pasien
yang telah ditangani oleh dokter pertama untuk menentukan
diagnose penyakit dan menemukan pengobatan, tindakan
medik dan perawatan yang lebih tepat, agar proses
kesembuhan pasien menjadi lebih cepat pula.
Pelaksanaan hak atas pendapat kedua harus diprakarsai
oleh pasien atau keluarganya untuk kemudian disampaikan
kepada dokter pemeriksa pertama. Selanjutnya dokter pertama
akan berkomunikasi dengan teman sejawatnya dari jenis dan
tingkat keahlian atau spesialisasi yang sama. Dalam hal
pemberian pendapat kedua, dokter pertama akan
menyerahkan seluruh dokumen pemeriksaan pasien yang telah
diberikan kepada pasien, berikut penjelasan tentang alasan
sebagai dasar penetapan diagnose, pengobatan dan tindakan
medis yang diberikannya kepada pasien.
Setelah dokter pertama memberikan seluruh dokumen
pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medis yang diberikan
kepada pasien, maka dokter kedua mulai menganalisis berkas-
berkas tersebut dengan teliti dan termasuk mengkonfirmasi
hal-hal lain yang dianggap perlu kepada dokter pertama.
Setelah mengolah dan menganalisis berkas dokumen dan
catatan pemberian dokter pertama, maka dokter kedua harus
memberikan pendapatnya yang biasa saja sama dengan dokter
pertama atau berbeda dengan pendapat dokter pertama. Jika
hasil diagnose, pengobatan dan tindakan yang disarankan oleh
dokter pertama sama atau sesuai dengan pendapat dokter
pertama, maka pengobatan dapat terus dilanjutkan oleh dokter
pertama. Jika dokter kedua berbeda pandangan dengan dokter
pertama, maka dokter kedua bersama dengan dokter pertama
berkoordinasi untuk mencapai kesepakatan pengobatan yan
terbaik bagi pasien. Segala konsekwensi dari pelaksanaan hak
ini adalah menjadi tanggung jawab pasien, terutama
menyangkut jasa pelayanan terhadap kedua dokter tersebut.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan hak atas pendapat
dokter kedua belum banyak dipahami oleh pasien atau
keluarganya dan rumah sakit belum melaksanakan

-145-
perlindungan terhadap hak pendapat kedua bagi pasien atau
keluarganya, padahal hak ini dijamin dalam peraturan
perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang dimaksud, antara lain:
1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Pasal 52 huruf (b): “Pasien, dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.”280
2) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Pasal 32 huruf h: “Setiap pasien memiliki hak: meminta
konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit.”281
3) Permenkes No. 4/2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan
Kewajiban Pasien. Pasal 17 ayat (2) huruf h: “meminta
konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada
Dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di
dalam maupun di luar Rumah Sakit.”282

Beberapa penyebab yang sering menjadi alasan


permintaan pendapat dokter kedua oleh pasien atau
keluarganya kepada dokter pertama atau pihak rumah sakit,
antara lain:
1) Keraguan atas penegakan diagnosa penyakit oleh dokter
pertama.
2) Anjuran pelaksanaan tindakan operasi berat oleh dokter
pertama, atau ketidakpuasan pasien terhadap hasil
pelaksanaan tindakan operasi oleh dokter pertama.
3) Penggunaan obat-obatan yang sangat mahal oleh dokter
pertama atau ketidakpuasan pasien atas hasil pemberian
pengobatan yang sangat mahal tersebut.
4) Permintaan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan
peralatan kedokteran canggih dan mahal oleh dokter
pertama.

280 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Opcit, Pasal 52 huruf b.


281 Undang-Undang No 44 Tahun 2009. Opcit, pasal 32 huruf h.
282 Permenkes No. 4 Tahun 2018 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Pasien, Pasal 17 ayat
(2) hurif h.

-146-
5) Lamanya perawatan pasien dengan hasil yang kurang
memuaskan oleh dokter pertama.
6) Adanya penilaian pasien terhadap sikap dokter pertama
yang dianggap kurang komunikatif dan terbuka terhadap
informasi medis yang dibutuhkan oleh pasien atau
keluarganya sehubungan dengan penyakitnya.

Pelaksanaan hak pendapat dokter kedua, berbeda


dengan kasus rujukan medis pasien. Dalam hal rujukan medis
pasien, dokter pertama bertindak selaku inisiator untuk
melimpahkan tanggung jawab penanganan pasien lebih lanjut
kepada dokter atau rumah sakit yang memiliki kemampuan
lebih tinggi.

7. Hak menolak dan menghentikan perawatan dan tindakan


medik.
Hak menolak dan menghentikan perawatan bagi pasien,
merupakan turunan dari hak asasi menentukan diri sendiri
(the right to self determination), Setiap pasien yang datang ke
rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
dokter atau pihak rumah sakit, sebelum mendapatkan suatu
pengobatan atau tindakan medis tertentu, memiliki hak untuk
mendapatkan informasi dan penjelasan medis yang akurat dari
dokter yang akan melaksanakan pengobatan atau tindakan
medis tersebut, hak untuk meminta pendapat dokter lain dan
hak memberikan persetujuan dan penolakan pengobatan atau
tindakan medis yang disarankan oleh dokter setelah
mendapatkan informasi dan penjelasan medis dari dokter.”283
Hak atas penolakan pengobatan dan tindakan medis bagi
pasien dapat berupa penolakan yang bersifat parsial atau
bersifat keseluruhan. Penolakan yang bersifat parsial yaitu
pasien menolak terhadap suatu pengobatan atau tindakan
medis tertentu saja, tetapi untuk pelayanan kesehatan lainnya
masih tetap dapat dilaksanakan oleh dokter atau pihak rumah
sakit. Sedangkan penolakan pengobatan atau tindakan medis
keseluruhan adalah pasien menolak semua bentuk pengobatan
dan tindakan medis yang akan diberikan oleh dokter atau

283 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit Pasal 52.

-147-
pihak rumah sakit. Dalam hal penolakan secara keseluruhan,
tidaklah berarti bahwa dokter atau pihak rumah sakit secara
otomatis membebaskan tanggung jawabnya terhadap
pasien.”284 Sepanjang pasien masih berada di rumah sakit,
dokter atau pihak rumah sakit tetap berkewajiban untuk
memantau kesehatan pasien, memberikan dukungan, motivasi
dan edukasi, agar kesehatan pasien tetap dapat dipertahankan.
Meskipun pada umumnya pasien yang memutuskan
pengobatan dan tindakan medis secara keseluruhan akan
keluar atau meninggalkan rumah sakit secara paksa (pulang
paksa), tanpa memperhatikan apakah pasien dalam kondisi
stabil, atau masih dalam lemah dan tidak menutup
kemungkinan pasien akan segera meninggal.
Semua keputusan pasien harus dihargai sehubungan
dengan hak menentukan diri sendiri dalam penolakan tindakan
medis. Namun untuk perlindungan hukum bagi dokter dan
rumah sakit, pasien wajib mengisi formulir penolakan tindakan
medis dan menandatanganinya sendiri atau wali yang sah dan
cakap menurut hukum”285 Berkas penolakan tersebut
kemudian dimasukkan kedalam berkas rekam medis untuk
disimpan.

b. Kewajiban-Kewajiban Pasien.
Penghormatan dan perlindungan hak-hak pasien oleh
dokter atau pihak rumah sakit selalu sejalan dengan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban pasien terhadap dokter atau pihak rumah
sakit, demikian pula sebaliknya hak dokter atau pihak rumah sakit
akan selalu sejalan dengan pelaksanaan kewajibannya terhadap
pasien. Harus terjadi keseimbangan antara pelaksanaan
kewajiban dan hak diantara kedua belah pihak.
Kewajiban-Kewajiban pasien terhadap dokter dan rumah
sakit dapat terlihat dalam peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor 29/2004 tentang praktik kedokteran,
menjelaskan kewajiban pasien terhadap dokter dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran, antara lain: 286

284 Permenkes No.290 Tahun 2008. Opcit Pasal 16.


285 Ibid.
286 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Opcit. Pasal 53.

-148-
a) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang
masalah kesehatannya.
b) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan.
d) Memberikan imbalan jasa-jasa peiayanan yang diterima.
2) Pasal 31 Undang-Undang Nomor 44 / 2009 tentang rumah
sakit:
a) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit
atas pelayanan yang diterimanya.
b) Kewajiban pasien yang dimaksud antara lain: 287
1. mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
2. menggunakan fasilitas Rumah Sakit secara bertanggung
jawab;
3. menghormati hak Pasien lain, pengunjung dan hak
Tenaga Kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di
Rumah Sakit;
4. memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat
sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang
masalah kesehatannya;
5. memberikan informasi mengenai kemampuan finansial
dan jaminan kesehatan yang dimilikinya;
6. mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh
Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit dan disetujui oleh
Pasien yang bersangkutan setelah mendapatkan
penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7. menerima segala konsekuensi atas keputusan
pribadinya untuk menolak rencana terapi yang
direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan dan/atau
tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh Tenaga
Kesehatan untuk penyembuhan penyakit atau masalah
kesehatannya; dan
8. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima.

287 Permenkes Nomor 4 Tahun 2018.Opcit Pasal 26.

-149-
Dibawah ini akan diulas beberapa kewajiban-kewajiban
pasien yang penting dalam hubungan hukum perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien yaitu:
1. Kewajiban memberikan informasi yang jujur, lengkap dan
akurat.
Kewajiban pasien untuk memberikan informasi yang
jujur, lengkap dan akurat kepada dokter merupakan
pemenuhan terhadap hak-hak dokter dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran. Informasi yang jujur, lengkap dan akurat
tersebut merupakan data-data subjektif pasien yang akan di
sinkronkan dengan data objektif dari hasil pemeriksaan
dokter.
Data subjektif pasien dan data objektif dari dokter
kemudian akan diolah dan di interpretasi oleh dokter sebagai
informasi medis yang sangat berguna dalam penegakan
diagnose penyakit, perencanaan tindakan medis dan
perawatan pasien serta akan menjadi dokumen rekam medis
pasien. Informasi medis yang lengkap akan memudahkan
dokter dalam pemberian pengobatan dan tindakan medis yang
tepat, mengurangi permintaan pemeriksaan penunjang yang
tidak perlu, dan menghindari kerugian yang akan dialami oleh
pasien.
Dalam hal pasien memberikan informasi yang tidak jelas
dan tidak jujur, atau dengan sengaja menutupi sesuatu
informasi yang seharusnya disampaikan kepada dokter,
sehingga mengakibatkan kesalahan diagnose, pengobatan atau
tindakan medik, maka dokter atau pihak rumah sakit tidak
dapat dipersalahkan dan tidak bertanggung jawab atas
kerugian yang dialami oleh pasien tersebut.
2. Kewajiban Mentaati Nasihat atau Petunjuk Dokter
Kewajiban mentaati nasihat atau petunjuk dokter dalam
upaya mempercepat proses penyembuhan atau pemulihan
kesehatan pasien, adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa
diabaikan oleh pasien. Kewajiban mentaati nasihat dokter atau
petunjuk dokter pada dasarnya adalah untuk kepentingan diri
sendiri. Untuk apa datang berobat ke dokter atau rumah sakit,
jika petunjuk atau nasihat dokter tersebut diabaikan?. Salah
satu faktor yang menjadi penyebab kurang efektifnya proses
kesembuhan dan pemulihan kesehatan pasien adalah karena

-150-
rendahnya kepatuhan pasien mengikuti nasihat dan petunjuk
dokter.
Segala akibat yang dialami oleh pasien oleh karena
ketidakpatuhan terhadap nasihat dan petunjuk dokter,
termasuk dalam hal penolakan terhadap pengobatan atau
tindakan medis yang disarankan, sepenuhnya menjadi
tanggung jawab pribadi pasien yang bersangkutan.
3. Kewajiban Memberi Imbalan Jasa Pelayanan
Kewajiban memberi imbalan jasa pelayanan dokter atau
pihak rumah sakit, merupakan bentuk keseimbangan hukum atas
hak-hak pasien yang telah diperolehnya selama dalam proses
pemeriksaan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan,
yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit.
Pelaksanaan kewajiban atas imbalan jasa pelayanan medik
merupakan pemenuhan terhadap hak-hak dokter dan atau pihak
rumah sakit, yang dilandasi oleh suatu itikad baik dari pasien.
Pelaksanaan imbalan jasa oleh pasien kepada dokter atau pihak
rumah sakit idealnya haruslah sesuai dengan kepantasan-
kepantasan yang berlaku saat itu dan tentunya sebatas
kemampuan pasien.288
Dalam hal pasien belum dapat memenuhi kewajibannya
memberikan imbalan jasa sesuai dengan besaran yang ditagihkan
kepadanya, pasien dapat diberikan kemudahan dengan membuat
perjanjian penundaan pembayaran antara pasien atau
keluarganya dengan pihak rumah sakit. Perjanjian tersebut
setidaknya memuat tenggang waktu pembayaran atau pelunasan,
dan cara pembayaran yang akan dilakukan oleh pasien. Pasien
dapat di izinkan pulang setelah menandatangani perjanjian
tersebut.289
4. Kewajiban Memenuhi Aturan-Aturan Rumah Sakit.
Pasien wajib mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh
rumah sakit selama dalam perawatan. Peraturan-peraturan yang
dibuat tentunya untuk keamanan dan kenyamanan pasien.
Peraturan-peraturan tersebut biasanya merupakan aturan baku
yang berlaku bagi semua pasien dan keluarganya misalnya
larangan membuat keributan, membawa anak-anak ke ruang-
ruang perawatan, membawa makanan dari luar dan membesuk
pasien sesuai jam-jam yang sudah ditentukan.

288 Kode etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Opcit. Penjelasan Pelaksanaan Pasal 3. Butir 2.
289 Permenkes Nomor 4 Tahun 2018.Opcit Pasal 27.

-151-
-152-
BAB VI
HUBUNGAN HUKUM DALAM
PERJANJIAN TERAPEUTIK

Pengertian Hubungan Hukum

Setiap subjek hukum, baik sebagai orang pribadi (persoon)


atau badan hukum (rechts persoon), dianggap cakap oleh hukum
untuk melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan
hukum (rechtsbetrekkingen). Perbuatan hukum yang dimaksud
adalah perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang
menimbulkan suatu peristiwa hukum dengan akibat yang
dikehendaki oleh si pelaku dan dapat menggerakkan hukum untuk
bekerja. Sedangkan hubungan hukum adalah hubungan antara dua
atau lebih subjek hukum yang sepakat untuk saling mengikatkan diri
satu dengan yang lainnya, yang oleh perikatan tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban pihak. Hak dan kewajiban pihak
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lainnya290.
Menurut Hofmann sebagaimana dikutip R.Setiawan (1999:2),
hubungan hukum atau perikatan adalah hubungan antara sejumlah
terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian
itu291. Logemann sebagaimana dikutip oleh Soeroso (2011:270)
berpendapat bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak
yang berwenang/berhak meminta prestasi yang disebut dengan
prestatie subject dan pihak yang wajib melakukan prestasi disebut
plicht subject 292. Subekti sebagaimana dikutip Hardijan Rusli (1996:
26) mendefinisikan hubungan hukum / perikatan sebagai hubungan
antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

290 Soeroso, R. 2011. Opcit, hlm 269.


291 L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, 1999. Opcit hal. 2
292 Soeroso, R. 2011. Opcit, hlm 270

-153-
menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut293
Berdasarkan pengertian hubungan hukum yang telah
dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut, maka dapat dimaknai
bahwa suatu hubungan dapat disebut hubungan hukum apabila
hubungan tersebut dibuat dan dilaksanakan sesuai mekanisme
hukum yaitu atas kehendak dari beberapa subjek hukum sebagai
para pihak yang berkepentingan, adanya suatu tujuan yang ingin
dicapai berdasarkan persetujuan para pihak, didalam
pelaksanaannya mengatur hak dan kewajiban para pihak, dan
apabila salah satu pihak lalai melaksanakan kewajibannya dapat
dimintai pertanggungjawaban hukumnya.
Dengan demikian, suatu hubungan hukum terdiri dari
beberapa unsur pokok sebagai dasar pembentukannya, yaitu antara
lain :
1) Adanya subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang
berkedudukan sebagai para pihak.
2) Adanya perbuatan hukum dari para pihak yang menimbulkan
suatu peristiwa hukum, dengan akibat yang diatur oleh hukum.
3) Adanya hak dan kewajiban dari para pihak yang saling
berhadapan.
4) Adanya suatu objek (prestasi) yang menjadi dasar dan tujuan dari
para pihak untuk saling mengikatkan diri. Ada pihak yang
berkewajiban melaksanakan prestasi dan ada pihak yang berhak
menuntut prestasi.
5) Adanya pertanggungjawaban hukum terhadap pihak-pihak yang
dengan sengaja atau lalai melaksanakan prestasi (wanprestasi)
sebagai kewajiban hukumnya.

Soeroso (2011:271) menyebutkan beberapa unsur dari suatu


hubungan hukum, yaitu antara lain:294
1) Adanya orang-orang yang berhak dan berkewajiban yang saling
berhadap-hadapan (manusia atau badan hukum).
2) Adanya objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban
masing-masing pihak.

293 Rusli, Hardijan. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan. hal. 26
294 Ibid. hlm 271.

-154-
3) Adanya hubungan antara pemilik hak dengan pengemban
kewajiban atau adanya hubungan terhadap objek yang
bersangkutan.

Selanjutnya Soeroso menyebutkan syarat-syarat terjadinya


sebuah hubungan hukum, yaitu antara lain: 295
1) Adanya dasar hukum yang mengatur hubungan hukum tersebut.
Dasar hukum yang dimaksud adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan hukum
para pihak. Misalnya peraturan hukum jual beli, sewa menyewa
dan lain sebagainya (Pasal 1474 dan Pasal 1513 KUHPerdata)
2) Adanya suatu peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum.
Peristiwa hukum jual-beli antara pemilik barang sebagai penjual
dan pembeli sebagai pemilik uang. Jika si pemilik barang telah
menyerahkan barangnya kepada si pembeli, maka si pemilik
berhak untuk meminta sejumlah uang yang telah disepakati
kepada si pembeli, atau sebaliknya jika si pembeli telah
menyerahkan sejumlah uang sesuai yang disepakati kepada si
pemilik barang, maka si pembeli berhak untuk meminta barang
tersebut kepada si pemilik.

Berdasarkan unsur dan syarat terjadinya suatu hubungan


hukum, maka dapat ditegaskan bahwa terjadinya suatu hubungan
hukum oleh karena suatu perjanjian atau menurut peraturan
perundang-undangan296. Hubungan hukum karena suatu perjanjian
merupakan sebuah perbuatan hukum yang disengaja oleh para pihak
yang menimbulkan suatu peristiwa hukum yang akibatnya diatur
oleh hukum, sedangkan hubungan hukum menurut undang-undang,
karena pada dasarnya hubungan tersebut telah diatur oleh suatu
ketentuan perundang-undangan (hubungan hukum karena Undang-
Undangsaja) atau karena perbuatan hukum menurut Undang-
Undangyang dibuat oleh subjek hukum (hubungan hukum yang
diatur oleh Undang-Undangkarena perbuatan subjek hukum).
Perbuatan hukum menurut Undang-Undangkarena perbuatan subjek
hukum dapat berupa perbuatan subjek hukum yang sesuai dengan
undang-undang, atau bertentangan dengan Undang-Undang.

295 Ibid.
296 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Opcit Pasal 1233.

-155-
Dalam hal hubungan hukum karena ketentuan Undang-
Undangtidak diperlukan adanya suatu kesepakatan dari para pihak
untuk melahirkan hak dan kewajiban, melainkan oleh karena
perintah Undang-Undang. Misalnya kewajiban hukum rumah sakit
baik milik pemerintah maupun swasta atas perintah Undang-
Undangwajib memberikan untuk memberikan pertolongan kepada
pasien gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah
terjadinya kecacatan terhadap seseorang yang dalam keadaan
darurat medis.297 Demikian pula terhadap tenaga kesehatan atas
perintah Undang-Undang berkewajiban untuk memberi pertolongan
gawat darurat atau pada kejadian bencana untuk penyelamatan jiwa
dan pencegahan kecacatan.298

Pengertian Perjanjian secara umum

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa suatu


Hubungan Hukum atau perikatan dapat sebabkan oleh adanya suatu
perjanjian. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.299 Subekti (1999:1), memberi
pengertian perjanjian sebagai perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa
tersebut timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
disebut dengan perikatan.300
Berdasarkan rumusan Perjanjian sebagaimana tersebut diatas,
dapat dipahami bahwa perjanjian tidak lain adalah suatu hubungan
hukum atau perikatan. Meskipun demikian hubungan hukum atau
perikatan memiliki perbedaan dengan perjanjian. Pada hubungan
hukum atau perikatan dapat terbentuk oleh suatu perjanjian sebagai
kehendak para pihak dan oleh suatu ketetapan atau perintah
perundang-undangan. Sedangkan perjanjian timbul semata oleh
adanya kehendak para pihak. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hubungan hukum atau perikatan memiliki jangkauan yang lebih luas
dari perjanjian.

297 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Opcit Pasal 32.


298 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, Opcit pasal 59 ayat (1).
299 Rusli, Hardijan. Loc.cit.
300 Subekti, 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa. hal. 1

-156-
Memperhatikan pengertian Perjanjian sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan menurut para ahli,
maka unsur-unsur dalam perjanjian tidak berbeda dengan unsur-
unsur dalam hubungan hukum, yaitu antara lain:
1) Adanya subjek hukum yang berkedudukan sebagai para pihak.
Subjek hukum yang dimaksud adalah orang (persoon) dan
badan hukum (rechts persoon), sebagai pihak-pihak yang akan
mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan antara
subjek hukum orang (persoon) dengan subjek hukum orang
(persoon), antara subjek hukum orang (persoon) dengan subjek
hukum badan hukum (rechts persoon) atau antara subjek hukum
orang (persoon) dengan subjek hukum orang (persoon) dan subjek
hukum badan hukum (rechts persoon).
2) Adanya perbuatan hukum dari para pihak untuk membuat
persetujuan atau perjanjian.
Terjadinya suatu perjanjian (peristiwa hukum) apabila para
pihak masing-masing melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu
memberikan persetujuan untuk saling mengikatkan diri secara
sukarela atau tanpa paksaan.
3) Adanya suatu objek (prestasi) yang diperjanjikan.
Setiap perjanjian harus memiliki objek perjanjian atau
prestasi yang menjadi dasar dan tujuan dari para pihak dalam
melakukan suatu perjanjian.
4) Adanya hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan.
Dalam setiap perjanjian selalu menerbitkan hak dan
kewajiban yang saling berhadap-hadapan. Ada pihak yang
berkewajiban melaksanakan prestasi dan ada pihak yang berhak
menuntut prestasi.
5) Adanya pertanggungjawaban hukum atas kesalahan atau
kelalaian salah satu pihak.

Perjanjian tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang ada


salah satu pihak dengan sengaja atau lalai sehingga tidak memenuhi
suatu prestasi yang menjadi kewajibannya, sehingga pihak yang
berhak dapat meminta pertanggungjawaban hukum atas
kesengajaan atau kelalaian tersebut.

-157-
Abdul Kadir Muhammad (2014: 79) menyebukan bahwa
unsur-unsur perjanjian terdiri dari:301
1) Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang.
Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian, dapat berupa
manusia pribadi ataupun badan hukum, yang dianggap oleh
hukum melakukan perbuatan hukum seperti yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang.
2) Ada persetujuan antara pihak-pihak.
Timbulnya suatu perjanjian apa bila masing-masing pihak
menyetujui syarat-syarat perjanjian dan objek perjanjian yang
ditawarkan. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu disetujui
oleh pihak yang lain, dengan persyaratan-persyaratan yang
disepakati secara bersama-sama oleh kedua belah pihak.
3) Ada tujuan yang akan dicapai.
Tujuan perjanjian untuk memenuhi kebutuhan
para pihak itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan
dengan cara mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undangdan
juga kesusilaan.
4) Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Dengan adanya suatu persetujuan, akan menimbulkan
kewajiban para pihak untuk melaksanakan suatu prestasi sesuai
dengan syarat-syarat perjanjian yang telah disepakati diawal.
5) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Bentuk perjanjian harus ditentukan oleh para pihak, dapat
berupa lisan atau tulisan. Sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentuk tertentu
yang biasanya berupa akta. Perjanjian dapat dibuat dengan lisan,
artinya dengan ucapan yang jelas maksud dan tujuannya atau dengan
secara tertulis(akta) tergantung persetujuan para pihak.
6) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud tiada lain adalah isi
perjanjian itu sendiri, karena dari syarat-syarat itulah dapat
diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini biasanya
terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban
pokok.

301 Muhammad, Abdul Kadir. 2014. Hukum Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Abadi. hal.
79

-158-
Ahmadi Miru (2014) menyebutkan bahwa dalam perjanjian
dikenal adanya 3 unsur yaitu, sebagai berikut:302
1) Unsur Esensialia.
Unsur esensialia merupakan unsur yang harus ada dalam
suatu perjanjian karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur
esensial ini maka tidak ada perjanjian. Sebagai contoh, dalam
kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan
harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga
dalam kontrak jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum
karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
2) Unsur Naturalia.
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam
Undang-Undangsehingga apabila tidak diatur oleh para pihak
dalam kontrak, maka mengikuti ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undangtersebut, sehingga unsur naturalia ini merupakan
unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh,
jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi,
secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang
harus menanggung cacat tersembunyi.
3) Unsur Aksidentalia.
Unsur Aksidentalia merupakan unsur yang akan ada atau
mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai
contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan
bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya,
dikenakan denda dua persen per bulan keterlambatan, dan
apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut,
barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor
tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya
yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan
merupakan unsur esensial dalam kontrak tersebut.

Sebuah perjanjian dianggap sah menurut hukum apabila sesuai


dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu:303

302 Miru, Ahmadi. 2014. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. hlm. 31-32.
303 Fuady, Munir. 2001, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra
Aditya Bakti. hal. 34

-159-
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu pokok persoalan tertentu;
4) Suatu sebab yang tidak terlarang.

Selanjutnya akan diulas lebih mendalam dari masing-masing


syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, sebagai berikut:
a. Kesepakatan (toestemming, yaitu terjadinya persesuaian
kehendak dari para pihak yang akan membuat suatu perjanjian
mengenai objek yang diperjanjikan, syarat-syarat
pelaksanaannya, hak dan kewajiban para pihak. Kesepakatan
merupakan syarat sahnya suatu perjanjian. Tanpa kesepakatan
maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah atau batal demi
hukum. Badrul Zaman (2006) menyebutkan bahwa Perjanjian
yang sah harus mengandung unsur kesesuaian, kecocokan,
pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau
pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak. 304 Abdul
Kadir Muhammad (1982: 85) menyebutkan bahwa perjanjian
terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari
pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak
terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup
melalui konsensus belaka.305
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yaitu para pihak yang
akan melakukan perjanjian merupakan subjek hukum (orang
pribadi atau badan hukum) yang oleh hukum dianggap cakap
dalam mengemban hak dan kewajiban hukum. Menurut Pasal
1329 KUHPerdata menyebutkan; “setiap orang adalah cakap
untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh Undang-
Undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian”. Selanjutnya dalam
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang
yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah
pengampuan/perwalian dan orang perempuan/isteri dalam hal
telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada
siapa Undang-Undang telah membuat perjanjian-perjanjian

304 Komandoko, Gamal dan Handri Rahardjo, 2013, Panduan & Contoh Menyusun Surat
Perjanjian &Kontrak Terbaik. Jakarta : Buku Seru. hlm. 9-10
305 Muhammad, Abdul Kadir. 1982, Opcit, hlm 85

-160-
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan dewasa menurut
Pasal 330 KUHPerdata adalah seseorang yang telah berusia 21
tahun keatas atau sudah pernah menikah sebelum usia 21 tahun.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sahnya suatu perjanjian
apabila para pihak yang akan mengadakan perjanjian telah
berusia 21 tahun, atau telah pernah menikah sebelum usia 21
tahun, tidak sedang dalam pengampuan atau perwalian.
c. Suatu pokok persoalan tertentu yaitu, Perjanjian yang dibuat oleh
para pihak mesti menentukan jenis objek yang diperjanjikan
secara jelas dan tidak samar-samar. Hal ini penting untuk
memberikan jaminan dan kepastian untuk mencegah terjadinya
suatu perjanjian fiktif. Semakin jelas karakteristik suatu objek
perjanjian akan semakin baik. Perjanjian tanpa objek perjanjian
yang jelas dianggap tidak sah atau batal demi hukum. Pasal 1332
BW menentukan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian, dan
berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi objek perjanjian kecuali jika
dilarang oleh Undang-Undangsecara tegas. Selanjutnya Ahmadi
Miru (2014:30) menjelaskan bahwa untuk menentukan barang
yang dapat menjadi objek perjanjian dapat menggunakan banyak
macam cara seperti menghitung, menimbang, mengukur atau
menakar. Sedangkan untuk menentukan nilai suatu jasa harus
ditentukan oleh apa yang akan dilakukan oleh salah satu pihak. 306
d. Oleh suatu sebab yang tidak dilarang yaitu suatu perjanjian yang
isinya atau tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak yang akan
mengadakan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah


dijelaskan diatas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu syarat sah
subjektif dan syarat sah objektif. Syarat sah subjektif berkaitan
dengan subjek perjanjian yaitu syarat adanya kesepakatan para
pihak dan kecakapan para pihak dalam membuat perjanjian.
Sedangkan syarat sah objektif berkaitan dengan objek perjanjian
yaitu adanya pokok perjanjian tertentu (objek perjanjian tertentu)
dan oleh sebab yang tidak dilarang (sebab yang halal).

306 Miru, Ahmadi. 2014. Opcit hlm.30.

-161-
Didalam hubungan hukum perjanjian terdapat beberapa asas-
asas penting sebagai dasar dari para pihak untuk mencapai suatu
tujuan tertentu dengan membuat suatu perjanjian. Beberapa asas
penting tersebut antara lain:
1) Asas kepribadian (Personality).
Asas kepribadian dalam perjanjian merujuk pada ketentuan
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315
KUHPerdata menyatakan bahwa pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan suatu perjanjian selain untuk dirinya.
Sedangkan Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan perjanjian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya. Dengan demikian dapat
jelaskan bahwa suatu perjanjian dibuat hanya untuk kepentingan
perorangan atau mengikat pada diri sendiri.
2) Asas Konsensualisme.
Asas konsensualime merujuk pada pasal 1320 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus berdasarkan
kesepakatan (consensus) para pihak yang akan mengadakan
perjanjian. Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak dari
para pihak yang akan mengadakan perjanjian. Setiap pihak yang
akan melakukan perjanjian tentunya memiliki kehendak yang
beragam untuk mewujudkan kepentingannya. Namun ketika kata
sepakat diantara mereka dapat terjadi, maka para pihak harus
menghormati kesepakatan tersebut sebagai sebuah perjanjian
untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kesepakatan merupakan nafas
dari perjanjian. Tidak akan pernah lahir sebuah perjanjian tanpa
diawali oleh kesepakatan para pihak. Segera setelah terjadinya
kesepakatan, maka pada saat yang bersamaan pula telah terjadi
perjanjian. Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham
bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya
kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang
membuat kontrak atau perjanjian.307
3) Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merujuk pada Pasal 1338 KUH
Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”
Menurut ketentuan pasal tersebut, mengandung asas kebebasan

307 Khairandy, Ridwan.2004. Itikad baik dalam kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pasca
sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. hlm. 28.

-162-
berkontrak bagi setiap subjek hukum untuk secara bebas
menentukan pilihannya sendiri dalam hal berkontrak. Kebebasan
berkontrak yang dimaksud adalah melakukan atau tidak
melakukan suatu perjanjian, menentukan pilihan kepada subjek
hukum lainnya yang akan diajak untuk berkontrak, menentukan
isi dari kontrak yang dikehendaki, menentukan bentuk kontrak
yang dikehendaki dan kebebasan-kebebasan lainnya dalam
kontrak atau perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.308 Kebebasan
berkontrak bukan merupakan suatu kebebasan yang tanpa batas,
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
4) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda).
Asas kepastian hukum dalam suatu kontrak atau perjanjian
merupakan kekuatan mengikat bagi para pihak yang telah
bersepakat pada suatu perjanjian. Asas ini juga dikenal dengan
sebutan asas pacta sunt servanda. Asas pacta sunt servanda dapat
diartikan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai
kekuatan mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para
pihak yang membuatnya, sehingga para pihak harus tunduk dan
melaksanakan mengenai segala sesuatu yang telah diperjanjikan,
sebagai mana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata309. Sebagai Undang-Undang yang mengikat para
pihak, maka perjanjian tidak dapat di putuskan sepihak tanpa
persetujuan dari pihak lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal
1338 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan
cukup untuk itu”.
Asas kepastian hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat
secara sah sebagaimana menurut ketentuan yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai daya berlaku seperti halnya
Undang-Undangyang dibuat oleh legislator dan karenanya harus

308 Badrulzaman, Mariam Darus, et all. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti,
Jakarta. hlm. 12
309 Salim HS. 2000. Pengantar Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata. Jakarta: Raja Grafindo. hlm
7

-163-
ditaati oleh para pihak, bahkan jika dipandang perlu dapat
dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum (hakim,
jurusita). 310
5) Asas itikad baik (good faith).
Asas itikad baik dalam perjanjian merujuk pada ketentuan
yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”. Itikad baik yang dimaksudkan adalah, segala sesuatu yang
berhubungan dengan perjanjian mulai dari penentuan
kesepakatan, pelaksanaan isi perjanjian dan sampai pada
berakhirnya perjanjian harus berpegang teguh pada nilai etika,
moral dan hukum yang berlaku, sehingga kepentingan para pihak
dapat terpenuhi dengan baik. Setiap pihak harus melaksanakan
kewajibannya dengan penuh tanggung jawab sebagai pemenuhan
hak pihak lainnya dan terbebas dari kecurangan, penipuan,
perbuatan kesusilaan dan perbuatan yang bertentangan dengan
kepatutan dan kepantasan.
Asas itikad baik dalam perjanjian, dapat dibagi menjadi 2
(dua) pengertian, yaitu:
1) Itikad baik dalam pengertian subjektif, yaitu sikap batin seseorang
pada saat dimulainya suatu perjanjian berupa kejujuran,
ketulusan, tujuan yang benar dan tiada tipu muslihat dari para
pihak yang akan membuat suatu perjanjian, sehingga perjanjian
yang dibuat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
para pihak. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan yang dianggapnya jujur dan
tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari
dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.311
2) Itikad baik dalam pengertian objektif, yaitu para pihak yang
terikat dengan perjanjian melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebagai
Undang-Undangyang mengikat bagi para pihak. Pelaksanaan
kewajiban para pihak menurut cara-cara yang wajar, tidak
mengganggu ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan.

310 Agus Yudha Hernoko,2011. Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenada Media Group. Jakarta, hlm. 111.
311 Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional,:PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
hlm.17.

-164-
Perjanjian Terapeutik
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang berlaku di
lapangan medis antara dokter atau pihak rumah sakit sebagai pihak
pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pihak penerima
atau pengguna pelayanan kesehatan. Dalam sudut pandang hukum,
Perjanjian Terapeutik merupakan suatu hubungan hukum yang
mengikat para pihak, yaitu dokter atau pihak rumah sakit sebagai
salah satu pihak dengan pasien atau keluarganya sebagai pihak
lainnya, perihal upaya medis dalam rangka penyembuhan penyakit
dan atau pemulihan kesehatan pasien. Hubungan hukum dalam
perjanjian terapeutik melahirkan hak dan kewajiban para pihak
secara berhadap-hadapan.
Terdapat perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan
perjanjian terapeutik dalam hal sifat dan objek perjanjiannya. Pada
perjanjian pada umumnya, objek perjanjiannya berupa barang
tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya (pasal
1333 KUHPerdata) dan barang tersebut merupakan barang yang
dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata). Sifat perjanjian
pada umumnya adalah perjanjian hasil (resultaat verbintenis), yaitu
suatu perjanjian yang mewajibkan para pihak untuk melaksanakan
atau memberikan sesuatu sebagai sebuah prestasi, agar hak-hak
pihak lainnya dapat terpenuhi sebagaimana yang telah disepakati
bersama dalam isi perjanjian.
Pada perjanjian terapeutik, objek perjanjiannya adalah jasa
pelayanan kesehatan yang tidak dapat dikonkritkan sebagai barang
dengan jenis tertentu. Sifat perjanjian terapeutik adalah perjanjian
upaya (in spanning verbintenis), yaitu perjanjian yang tidak
menjadikan kesembuhan sebagai prestasi yang harus diterima oleh
pasien, melainkan upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter atau
pihak rumah sakit untuk menyembuhkan dan atau memulihkan
kesehatan pasien sesuai dengan standar profesi, standar operasional
prosedur dan standar sarana dan prasarana yang berlaku. Dalam
perjanjian upaya, hasil sulit untuk diprediksikan. Kesembuhan pasien
sulit untuk dipastikan, bahkan terkadang berakhir dengan kematian.
Dalam perjanjian upaya (in spanning verbintenis) dokter atau
rumah sakit tidak diwajibkan memberikan atau menciptakan sesuatu
hasil yang di inginkan pasien dan keluarganya, mengingat hasil dari
suatu upaya medik tidak dapat diperhitungkan secara matematik
(uncertainty) karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang berada di

-165-
luar kontrol atau jangkauan dokter. Apabila sebelumnya ditentukan
secara khusus (special agreement), bahwa pemberi layanan medik
akan memberikan prestasinya berupa hasil tertentu seperti yang di
inginkan pasien, maka yang akan berlaku adalah perikatan jenis
resultaat verbintenis. Dalam hal ini pemberi layanan medik dapat
digugat jika hasil yang dijanjikan itu tidak terwujud.312
Istilah perjanjian terapeutik tidak dikenal dalam KUHPerdata,
namun karena kesepakatan atau persetujuan antara dokter atau
pihak rumah sakit dengan pasien dalam suatu hubungan medis
mengandung unsur-unsur yang sama dengan perjanjian pada
umumnya, sehingga dikategorikan sebagai suatu perjanjian.
Perjanjian terapeutik merujuk pada Pasal 1319 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa: “Semua persetujuan, baik yang mempunyai
nama khusus, maupun yang tidak dikenal dalam suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab
yang lalu.”
Perjanjian terapeutik merupakan suatu bentuk hubungan
hukum yang bersifat khusus (lex specialis), sedangkan perjanjian
yang diatur dalam KUHPrerdata bersifat umum (lex generali),
sehingga penerapan aturan-aturan hukum dalam perjanjian
terapeutik berlaku asas hukum lex spesialis de rogat legi generali.
Asas hukum lex specialis dalam perjanjian terapeutik diatur diluar
KUHPerdata, yaitu dalam berbagai ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang kesehatan.
Beberapa pengertian perjanjian terapeutik yang dikemukakan
oleh para sarjana, antara lain :
1) Bahder Johan Nasution, (2005: 11) 313
Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter
dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak
dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini
adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien
2) VeronicaKomalawati (2002:1) 314
Transaksi terapeutik adalah sebuah hubungan hukum
antara dokter dan pasien dalam pelayanan medik secara

312. Sofwan Dahlan. 2002. Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter, Edisi 3
Cetakan II, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. hlm. 30.
313 Nasution, Bahder Johan. 2005, Opcit. hal. 11
314 Komalawati, Veronica. Opcit. hlm 1

-166-
profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian
dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran
3) Cecep Triwibowo (1987:64) 315
Perjanjian terapeutik adalah perikatan yang dilakukan
antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien, berupa
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak.
4) Hermien Hadiati Koeswadji (1998: 99) 316
Transaksi terapeutik adalah: “transaksi untuk menentukan-
mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter. Dalam
transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, dan bila transaksi sudah terjadi maka
kedua belah pihak terikat akan hak dan kewajiban sebagaimana
yang telah disepakati oleh keduannya
5) Salim H.S317
Pengertian Perjanjian Terapeutik, yaitu sebagai: Kontrak
yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau
dokter atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan dan/atau
dokter atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal
untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien
berkewajiban membayar biaya penyembuhannya

Berdasarkan pengertian Perjanjian terapeutik sebagaimana


yang dikemukakan oleh para sarjana, maka dapat ditemukan
beberapa unsur dalam perjanjian terapeutik yaitu antara lain:
1) Adanya subjek hukum pelaku perjanjian, yaitu dokter sebagai
subjek hukum pribadi (persoon), rumah sakit sebagai subjek
hukum badan hukum (rechts person) dan pasien atau keluarganya
sebagai subjek hukum orang pribadi (persoon).
2) Adanya perbuatan hukum para pihak, yaitu berupa suatu
kesepakatan atau persetujuan untuk secara bersama-sama antara
dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien atau keluarganya

315 Triwibowo. Cecep.1987, Etika & Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. hlm 64.
316 Koeswadji, Hermien Hadiati. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
dalam mana Sebagai Salah Satu Pihak). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm 99.
317 Salim, H. S. 2004. Hukum Kontrak: Teori Dan Penyusunan Hukum Kontrak, Jakarta: Sinar
Grafika, hal.46

-167-
untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum
pelayanan medis rumah sakit
3) Adanya objek perjanjian, yaitu suatu upaya penyembuhan
penyakit dan atau pemulihan kesehatan pasien
4) Adanya hak dan kewajiban para pihak, yaitu dokter atau pihak
rumah sakit berupaya semaksimal mungkin untuk
menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien, sesuai
dengan standar profesi, standar operasional prosedur dan standar
sarana dan prasarana, sebagai hak pasien. Sebaliknya pasien atau
keluarganya berkewajiban untuk mengikuti nasehat dokter atau
pihak rumah sakit untuk kepentingan kesehatannya dan
membayar jasa pelayanan medis yang telah diterimanya sebagai
hak dokter atau pihak rumah sakit.
5) Adanya pertanggungjawaban hukum dari para pihak, yaitu
kewajiban menanggung segala sesuatu sebagai akibat hukum atas
adanya perbuatan para pihak yang tidak melaksanakan isi
perjanjian yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.

Selain adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam


perjanjian terapeutik, juga terdapat syarat-syarat yang mengatur
sahnya perjanjian terapeutik. Syarat-syarat tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
1) Adanya kesepakatan para pihak.
Perjanjian terapeutik bermula dari adanya kesepakatan antara
dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien atau keluarganya
untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan pelayanan
kesehatan tertentu. Kesepakatan dianggap telah terjadi ketika
pasien datang dengan suka rela ke rumah sakit untuk
memeriksakan diri atas suatu keluhan penyakit atau gangguan
kesehatan dan dokter atau pihak rumah sakit mulai melakukan
pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan yang dimaksud
adalah pemeriksaan wawancara (anamnese), pemeriksaan fisik
dan penunjang medis, penegakan diagnose penyakit, pemberian
pengobatan dan tindakan medis kepada pasien.
2) Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian.
Kecakapan untuk membuat perjanjian menurut hukum perdata
adalah pasien dewasa yang telah berusia 21 tahun atau telah
menikah sebelum berusia 21 tahun, tidak sedang dalam gangguan
kesehatan mental atau tidak berada dalam pengampuan. Dalam

-168-
hal pasien tidak cakap menurut hukum, maka perjanjian diwakili
oleh orang tua atau walinya menurut ketentuan hukum yang
berlaku.
3) Mengenai suatu hal tertentu.
Perjanjian terapeutik antara dokter atau pihak rumah sakit
dengan pasien atau keluarganya memiliki objek perjanjian sebagai
prestasi yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dalam
perjanjian terapeutik, objek perjanjiannya bukan pada
kesembuhan atau pulihnya kesehatan pasien sebagai prestasi
(resultaat verbintenis), tetapi pada upaya yang sungguh-sungguh
dari dokter atau pihak rumah sakit untuk melakukan
penyembuhan dan pemulihan kesehatan, berdasarkan standar
profesi, standar operasional dan standar sarana dan prasarana
yang berlaku (in spanning verbintenis). Dalam hal objek perjanjian
upaya yang sungguh-sungguh tersebut, kesembuhan atau
pulihnya kesehatan pasien bukan merupakan jaminan kepastian.
4) Untuk suatu sebab yang halal/diperbolehkan.
Perjanjian terapeutik berdasarkan sebab yang halal atau
diperbolehkan menurut ketentuan perundang-undangan atau
yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan
kepantasan yang berlaku di masyarakat. Misalnya persetujuan
tindakan abortus atau terminasi kehamilan yang tidak sesuai
dengan indikasi medis atau alasan lain yang bertentangan dengan
ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku
bukan merupakan perjanjian terapeutik.
Dari penjelasan syarat-syarat sahnya perjanjian terapeutik
tersebut, maka terdapat syarat subjektif dan syarat objektif yang
harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian terapeutik. Syarat
subjektif yaitu adanya kesepakatan antara dokter atau pihak
rumah sakit dengan pasien atau keluarganya untuk saling
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pemberian pelayanan
medis dan kecakapan dokter atau pihak rumah sakit dengan
pasien atau keluarganya dalam membuat perjanjian tersebut.
Sedangkan syarat objektif yaitu, terdapat objek perjanjian berupa
upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan dan sebab yang
halal/ atau tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku, misalnya pada tindakan abortus yang tidak sesuai dengan
indikasi medis.

-169-
Perjanjian terapeutik sebagai sebuah hubungan hukum antara
dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien atau keluarganya,
merupakan hal yang esensial dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Hal ini disebabkan karena inti dari semua
permasalahan yang timbul di rumah sakit, bermula dari adanya
hubungan hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
secara berhadap-hadapan. Setiap penyelenggaraan pelayanan
medis yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit
terhadap pasien, tidaklah mungkin akan terbebas dari implikasi
hukum, karena setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh dokter atau pihak rumah sakit terhadap pasien dari sudut
pandang hukum merupakan perbuatan atau tindakan hukum,
yang akibatnya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Konstruksi Hubungan Hukum Rumah Sakit Dengan Pasien

Konstruksi Hubungan hukum antara rumah sakit dengan


pasien dalam perjanjian terapeutik, yaitu hubungan hukum antara
subjek hukum badan hukum (rechts person) dengan subjek hukum
orang pribadi (persoon). Rumah sakit sebagai badan hukum dalam
melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pasien
diwakili oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, yang diberi
kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien. Kewenangan tersebut diatur menurut ketentuan perundang-
undangan atau menurut ketentuan yang dibuat oleh badan hukum
rumah sakit itu sendiri.
Dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban rumah sakit yang
diwakili oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka segala
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam
hubungan hukum dengan pasien, dianggap sebagai perbuatan atau
tindakan badan hukum rumah sakit. Sebagai konsekwensinya adalah
segala akibat yang ditimbulkan atas perbuatan dokter atau tenaga
kesehatan lainnya tersebut, menjadi tanggung jawab badan hukum
rumah sakit.
Dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk dapat mewakili
rumah sakit dalam hal melakukan perbuatan hukum dan hubungan
hukum dengan pasien, harus lah merupakan staff medis yang bekerja
di rumah sakit tersebut. Dengan kata lain dokter dan tenaga
kesehatan lainnya terikat dalam suatu hubungan kerja dengan

-170-
rumah sakit. Bahder Johan Nasution (2005:46) menyatakan bawa
dokter, dokter gigi adalah kelompok profesional yang bekerja atas
dasar profesionalismenya, tetapi secara administratif mereka adalah
pegawai rumah sakit. Atas dasar hubungan kerja demikian maka
perbuatan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan
medis kepada pasien adalah menjadi tanggung jawab rumah sakit.318
Dalam praktik pelayanan medis di rumah sakit, terdapat dua
jenis dokter yang mewakili rumah sakit dalam melakukan perbuatan
hukum atau hubungan hukum dengan pasien, yaitu dokter sebagai
tenaga tetap dan dokter sebagai tenaga tidak tetap. Dokter sebagai
tenaga tetap diangkat oleh rumah sakit dan mendapatkan upah
secara rutin dari rumah sakit dan pendapatan lain yang sah
sebagaimana ditentukan berdasarkan perjanjian kerja antara rumah
sakit dengan dokter yang bersangkutan. Bagi rumah sakit
pemerintah, dokter sebagai tenaga tetap diangkat oleh pejabat
pemerintah yang berwenang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Sedangkan dokter tidak tetap adalah dokter
yang bekerja di rumah sakit, selain dokter tetap, dan dalam
menjalankan praktik kedokterannya berdasarkan perjanjian kerja
tanpa upah dari rumah sakit, selain jasa pelayanan medis
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian kerja tersebut.
Menurut Wila Chandrawila (2001: 10)319, ada dua jenis
hubungan hukum antara dokter dengan rumah sakit yaitu hubungan
hukum perburuhan dan hubungan hukum kontraktual. Hubungan
hukum perburuhan yaitu hubungan hukum dimana dokter bekerja
sebagai karyawan rumah sakit (medicai staff), menerima gaji dan
tunjangan secara rutin dari rumah sakit. Dalam hubungan hukum
perburuhan, rumah sakit bertindak sebagai majikan dan dokter
sebagai buruh. Disini dokter dikenal dengan sebutan "dokter in” dari
rumah sakit tersebut. Selanjutnya dalam hubungan kontraktual
adalah hubungan antara dokter dan rumah sakit berdasarkan atas
perjanjian atau kontrak antara dokter dan rumah sakit. Dalam
hubungan kontrak ini, dokter berhak menggunakan semua fasilitas
yang ada didalam rumah sakit yang disediakan oleh rumah sakit
tetapi sebaliknya dokter tersebut wajib bekerja dan memberikan
pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya pada pasien. Dokter dalam
jenis ini biasa disebut sebagai “dokter out” atau dokter tamu. Dalam

318 Nasution, Bahder Johan. 2005, opcit. hlm. 46.


319 Supriadi, Wila Chandra wila. Opcit. hlm. 10

-171-
kedudukan dokter sebagai dokter out atau dokter tamu maka dalam
hal terjadinya kesalahan dan kelalaian yang merugikan pasien maka
akan menjadi tanggung jawab dokter yang bersangkutan disamping
menjadi tanggung jawab rumah sakit. Tanggung jawab rumah sakit
dapat diminta atas kelalaiannya mempekerjakan dokter yang
berkinerja buruk dan dibawah standar profesi yang mengakibatkan
kerugian pada pasien.
Dalam mewakili kepentingan rumah sakit sebagai subjek
hukum badan hukum, kedudukan dokter harus setara dengan
kedudukan pasien dalam membuat perjanjian terapeutik orang
pribadi (equality before the law), sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHP tentang syarat sahnya sebuah perjanjian.
Terjadinya suatu perikatan hukum antara dokter atau pihak rumah
sakit dengan pasien oleh karena adanya persetujuan kedua belah
pihak yang didasari oleh asas kebebasan berkontrak dari parak
pihak. Dalam konteks kesetaraan hukum ini, maka pasien tidak
hanya menjadi objek dalam suatu pelayanan medis yang
dilaksanakan oleh dokter atau pihak rumah sakit, melainkan menjadi
subjek pelaku yang memiliki kebebasan untuk melakukan perjanjian
terapeutik dengan dokter atau rumah sakit manapun, kebebasan
untuk menentukan isi perjanjian terapeutik, kebebasan untuk
menentukan cara dan syarat pelaksanaan perjanjian dan bentuk dari
perjanjian terapeutik tersebut. Kesepakatan antara dokter dan pihak
rumah sakit dengan pasien atau keluarganya dalam perjanjian
terapeutik, merupakan pertemuan keinginan dan keputusan
bersama dan mengikat kedua belah pihak, yang didalamnya
mengatur hak dan kewajiban para pihak. Pelaksanaan hak dan
kewajiban ini mengatur siapa melakukan apa dan siapa yang
menerima apa. Agar kesepakatan para pihak dinyatakan berlaku dan
mengikat diantara keduanya, apabila memenuhi kriteria dalam
rumusan Pasal 1321 KUHPerdata yaitu harus dapat disingkirkan
adanya kekhilafan, paksaan atau penipuan diantara para pihak yang
mengadakan perjanjian.
Danny Wiradhama (1996:15)320 menyatakan bahwa hubungan
hukum yang terjadi dalam pelayanan medis adalah karena adanya
sebuah perikatan medis. Perikatan medis tersebut dapat terjadi
melalui dua cara yaitu:

320 Wiradharma, Danny. Opcit. hlm. 15.

-172-
1. Perjanjian atau persetujuan
Jika seorang pasien dengan suka rela datang ke tempat
praktik dokter yang memasang papan merek atau rumah sakit
(yang dianggap sebagai penawaran umum), secara tersirat dapat
dikatakan akan membuat suatu perjanjian terapeutik. Perjanjian
tersebut dianggap telah terjadi apabila dokter telah melakukan
diagnostic penyakit dan memberikan resep untuk diminum.
2. Perintah Perundang-Undangan
Perikatan medis antara dokter atau pihak rumah sakit
dengan pasien atas ketentuan peraturan perundang-undangan,
misalnya pada kasus kecelakaan lalulintas, korban mengalami
kedaruratan medis yang dibawa ke unit gawat darurat (UGD),
wajib segera mendapat pertolongan darurat dari dokter UGD
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku. Memberikan
pertolongan terhadap pasien gawat darurat merupakan perintah
Undang-Undang bagi rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan
lainnya.

Setiap kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan


perbuatan hukum atau hubungan hukum dalam mewakili
kepentingan rumah sakit menjadi tanggung jawab rumah sakit. Dasar
pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap dokter sebagai
karyawan atau staff medis, mengacu pada ketentuan dalam Pasal
1367 KUHPerdata, yaitu seseorang harus bertanggung jawab akibat
kerugian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi
tanggungannya. Hal ini dikenal dengan doktrin Respondeat superior
atau vicarious liability atau Let the Master Answer.
Doktrin Respondeat superior ini oleh Guwandi (2005:15)321
dimasukkan kedalam kelompok tanggung jawab personalia rumah
sakit yang didasari oleh hubungan majikan-karyawan, dimana dalam
tanggung jawab ini meliputi seluruh karyawan yang bekerja di
rumah sakit termasuk dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya yang
menimbulkan kerugian pada pasien. Selanjutnya Bahder Johan
Nasution (2005:72)322 menyatakan bahwa teori Respondeat superior
mengandung makna bawa seorang majikan adalah orang yang
berhak untuk memberikan instruksi dan mengontrol tindakan

321 Guwandi, J. 2005. Hospital Law (Emerging Doctrines). Jakarta : FKUI. Hlm 15
322 Bahder Johan Nasution 2005, Opcit. hlm. 72.

-173-
bawahannya, baik tentang hasil yang dilakukannya maupun tentang
cara yang digunakannya sepanjang merupakan bidang tugasnya.
Untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah rumah sakit oleh
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh, dokter atau dokter
gigi atau tenaga kesehatan lainnya yang menimbulkan kerugian pada
pasien, Bahder Johan Nasution (2005: 16)323 menyatakan harus ada
empat unsur yang harus dipenuhi yaitu:
a. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara
periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
b. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk memberikan
instruksi yang harus ditaati oleh bawahannya.
c. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan.
d. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian
tersebut menimbulkan kerugian pada pasien.

323 Ibid. hlm. 16.

-174-
BAB VII

TANGGUNG JAWAB HUKUM


RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN

Tanggung jawab hukum penyelenggaraan pelayanan


kesehatan oleh rumah sakit terhadap pasien dapat dilihat dari tiga
aspek hukum yaitu hukum administrasi, hukum perdata dan hukum
pidana.
1. Tanggung jawab Hukum Administrasi
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh dokter atau
pihak rumah sakit kepada pasien tidak terlepas dari hukum
Administrasi. Seorang Dokter yang akan menjalankan tugas
profesionalnya baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
dalam suatu institusi penyelenggara pelayanan medis (rumah
sakit, puskesmas, klinik), wajib memenuhi ketentuan atau
persyaratan administrasi yang diatur oleh perundang-undangan
atau yang diatur oleh institusi penyelenggara pelayanan
kesehatan yang bersangkutan. Demikian pula bagi institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas,
klinik) wajib memenuhi persyaratan administrasi menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum
melaksanakan fungsinya sebagai pemberi pelayanan kesehatan
pada pasien.
Beberapa persyaratan administrasi yang wajib dipenuhi
oleh seorang dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya
yaitu antara lain:
1) Ijazah sebagai bukti telah selesai mengikuti pendidikan dokter
atau dokter spesialis dan dinyatakan lulus oleh pihak
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
kedokteran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Surat Tanda Registrasi (STR) Dokter, yang dikeluarkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebagai bukti tertulis

-175-
bahwa dokter yang bersangkutan telah ter registrasi sebagai
dokter Indonesia dan dapat menjalankan praktik
kedokterannya secara sah, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh kolegium
kedokteran sebagai pengakuan dari organisasi profesi
terhadap kompetensi yang dimiliki oleh dokter yang
bersangkutan.
4) Surat ijin Praktik (SIP) sebagai bukti tertulis yang dikeluarkan
oleh pemerintah yang akan menjalankan praktik kedokteran,
setelah memenuhi persyaratan.
5) Surat Keterangan pengangkatan sebagai ASN dan Surat
Perintah melaksanakan tugas di Rumah sakit atau puskesmas,
bagi dokter pemerintah.
6) Surat keterangan pengangkatan dalam jabatan fungsional
dokter, bagi dokter pemerintah.
7) Surat Keterangan pengangkatan sebagai dokter tetap pada
rumah sakit swasta, atau surat perjanjian kerja bagi dokter
tidak tetap yang bekerja di rumah sakit pemerintah atau
swasta.

Sedangkan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi


oleh rumah sakit dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
kepada pasien yaitu, antara lain:
1) Akta pendirian badan hukum rumah sakit bagi rumah sakit
swasta sesuai ketentuan perundang-undangan.
2) Surat izin mendirikan bangunan rumah sakit sesuai ketentuan
perundang-undangan.
3) Surat izin operasional rumah sakit diberikan setelah
memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
4) Surat keterangan akreditasi sebagai pengakuan dan jaminan
mutu penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari lembaga
akreditasi independent.
5) Surat-surat kelengkapan administrasi umum, kepegawaian dan
keuangan.
6) Kelengkapan administrasi rekam medis, informed consent dan
keterangan data diri pasien.

-176-
7) Kelengkapan administrasi peralatan medis, reagens dan obat-
obatan.
8) Kelengkapan administrasi Standar Pelayanan Medis dan
Standar Operasional Prosedur.

Tujuan penatalaksanaan administrasi dalam


penyelenggaraan pelayanan kesehatan yaitu memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap dokter,
rumah sakit dan pasien atas penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dokter, standar
operasional prosedur dan standar pelayanan medis yang berlaku
di rumah sakit. Pemenuhan terhadap hukum administrasi dalam
hubungan dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien akan
menghindarkan dokter atau pihak rumah sakit dari sanksi hukum
administrasi, sedangkan terhadap pasien sebagai jaminan
kepastian mutu penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
diterimanya, karena penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan oleh dokter atau pihak rumah sakit yang
profesional, berkompeten sesuai dengan bidang keahlian dan
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku, baik yang diatur
menurut perundang-undangan maupun yang ditentukan oleh
organisasi profesi, dan aturan-aturan yang dibuat oleh rumah
sakit.
Syahrul Machmud (2012: 182)324 menyatakan bahwa
Implikasi hukum administrasi dalam hubungan hukum rumah
sakit-pasien adalah menyangkut kebijakan–kebijakan (policy)
atau ketentuan-ketentuan yang merupakan syarat administrasi
pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi akan
berakibat sanksi hukum administrasi. Pelanggaran hukum
administrasi bagi dokter dapat dalam bentuk pelanggaran
kewajiban dalam memenuhi persyaratan admistrasi sebelum
melaksanakan kewenangannya dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada pasien dan pelanggaran kewajiban administrasi
pada saat pelaksanaan kewenangan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.

324 H. Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter yang diduga
Melakukan Medikal Malpraktik. Bandung : CV. Karya Putra Darwati. hlm 200.

-177-
Pelanggaran kewajiban administrasi sebelum
melaksanakan kewenangan, misalnya tanpa memiliki Surat Tanda
Registrasi (STR), tanpa memiliki Surat Pernyataan kompetensi
dan surat izin praktik atau bukti-bukti persyaratan administrasi
tersebut telah kadaluwarsa dan belum mendapatkan
perpanjangan. Sedangkan pelanggaran kewajiban administrasi
pada saat melakukan kewenangan, yaitu melaksanakan tindakan
medis tertentu diluar kompetensi dan keahlian, melaksanakan
tindakan medis yang tidak sesuai dengan SOP, tidak melakukan
rujukan medis bagi pasien yang membutuhkan penanganan lebih
lanjut, tidak membuat rekam medis pasien dan tidak menjaga
kerahasiaan medis pasien.
Munculnya pertanggungjawaban administrasi terhadap
dokter atau pihak rumah sakit, apabila oleh akibat tindakan
dokter tersebut menyebabkan kerugian pada pasien, yang
diadukan pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) atau yang diadukan pada Majelis Kode Etik
Kedokteran Indonesia (MKEK). Penjatuhan sanksi administrasi
dapat berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan Surat Ijin
Praktik dan pencabutan Surat Tanda Registrasi, sesuai dengan
berat-ringannya pelanggaran hukum administrasi.
Secara terpisah, pelanggaran kewajiban administrasi juga
terbagi menjadi dua, yaitu pelanggaran kewajiban sebelum
melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan dan pada saat
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Pelanggaran kewajiban administrasi sebelum pelaksanaan
pelayanan kesehatan, misalnya tidak memiliki izin pendirian dan
izin operasional rumah sakit, atau telah kadaluwarsa dan belum
diperpanjang. Sedangkan pelanggaran kewajiban administrasi
pada saat pelaksanaan pelayanan kesehatan, misalnya tidak
membuat Standar Operasional Prosedur, tidak membuat standar
pelayanan medis, tidak menyelenggarakan sistem rekam medis,
tidak melaksanakan sistem rujukan, tidak melaksanakan sistem
informasi medik dan persetujuan tindakan medik. Penerapan
sanksi administrasi dilakukan oleh pejabat pemerintah yang
berwenang, berupa sanksi teguran lisan atau tertulis, dan
pencabutan izin operasional.

-178-
2. Tanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit
Tanggung jawab hukum perdata oleh dokter atau pihak
rumah sakit dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien,
berkaitan dengan adanya suatu kewajiban yang lahir dari
perjanjian terapeutik atau karena hal yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian
terapeutik merupakan suatu hubungan hukum perdata yang
menempatkan kedua belah pihak berada dalam kesetaraan
hukum (equality before the law), sehingga hak dan kewajiban para
pihak, harus berada dalam keseimbangan. Meskipun dalam
kenyataannya pasien selalu berada pada posisi yang lemah,
karena kurangnya pemahaman akan masalah pelayanan medis
yang diterimanya.
Dalam kesetaraan hukum sebagai subjek hukum yang akan
membuat perjanjian terapeutik, maka masing-masing pihak
terikat dengan asas-asas hukum dalam perjanjian atau kontrak.
Asas-asas hukum tersebut, antara lain:
1) Perjanjian dilaksanakan atas kehendak bebas (freedom of
contract), antara dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien.
Asas kebebasan berkontrak menempatkan pasien secara bebas
untuk menentukan kepada dokter siapa atau rumah sakit
mana yang akan memberikan pertolongan atas keluhan dan
penyakit yang dialaminya. Sebaliknya dokter atau pihak rumah
sakit secara bebas pula untuk menerima atau menolak pasien
yang akan dilayaninya. Meskipun pada kenyataannya dokter
atau pihak rumah sakit tidak sepenuhnya dapat melaksanakan
asas kebebasan berkontrak, karena terikat dengan kode etik
profesi untuk tidak menolak pasien yang datang berkunjung ke
rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam
hal ini, maka kebebasan berkontrak, terutama adalah untuk
kepentingan pasien. Dokter atau pihak rumah sakit dapat saja
menolak untuk melayani pasien jika keinginan dan permintaan
pasien yang bertentangan dengan etika kedokteran, tidak
sesuai dengan standar profesi dan standar operasional
prosedur serta perbuatan yang sifatnya dilarang menurut
hukum yang berlaku.
2) Suatu perjanjian terapeutik antara dokter dan pihak rumah
sakit dengan pasien, dilaksanakan berdasarkan kesepakatan
atau persetujuan para pihak (consensualism), Dalam hal ini,

-179-
perjanjian terapeutik tidak boleh dilaksanakan oleh karena
suatu pemaksaan, tekanan atau ancaman, khususnya pada
pasien yang berada dalam posisi yang lemah.
3) Perjanjian terapeutik harus dilaksanakan berdasarkan itikad
baik (good faith). Dalam hal ini, perjanjian dilaksanakan secara
jujur, yang sebenar-benarnya tanpa maksud terselubung atau
karena suatu penipuan.
4) Perjanjian terapeutik dilaksanakan oleh para pihak yang saling
membutuhkan dan tidak diwakili oleh pihak lain yang tidak
berkepentingan dengan perjanjian tersebut (personality).
5) Perjanjian terapeutik yang dilaksanakan oleh dokter atau
pihak rumah sakit bersifat mengikat secara hukum untuk
saling sepakat (pacta sunt servanda), sehingga para pihak yang
lalai melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain dapat
digugat atau dituntut secara hukum.

Hubungan hukum perdata antara dokter atau pihak rumah


sakit dengan pasien dalam perjanjian terapeutik, akan
mengakibatkan tanggung jawab hukum perdata diantara
keduanya. Jika salah satu pihak yang lalai melaksanakan
kewajibannya (wanprestasi) yang mengakibatkan kerugian dapat
pihak lainnya, maka pihak yang dirugikan dapat melakukan
gugatan perdata atas kerugian yang dialaminya.
Dalam menilai dokter atau pihak rumah sakit telah
melakukan wanprestasi yang mengakibatkan kerugian pada
pasien, maka instrumen penilaian yang digunakan adalah Pasal
1243 jo Pasal 1329 KUHPerdata. Seorang dokter atau pihak
rumah sakit dinyatakan wanprestasi apabila :
1) Dokter atau pihak rumah sakit tidak melaksanakan
kewajibannya sama sekali untuk mengupayakan kesembuhan
dan atau pemulihan kesehatan pasien.
2) Dokter atau pihak rumah sakit terlambat melaksanakan
kewajibannya terhadap pasien dalam mengupayakan
penyembuhan dan atau pemulihan kesehatan pasien.
3) Dokter atau pihak rumah sakit tetap melaksanakan
kewajibannya tetapi tidak sesuai dengan standar pelayanan
medis dan standar operasional prosedur yang berlaku, sebagai
suatu kewajiban mutlak dalam pelayanan kesehatan terhadap
pasien.

-180-
4) Dokter atau pihak rumah sakit melakukan suatu perbuatan
atau tindakan medis yang sifatnya dilarang menurut perjanjian
tersebut.

Sebagai perjanjian yang bersifat lex specialis, maka point


penting dari isi perjanjian terapeutik adalah upaya maksimal yang
harus dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit dalam proses
penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien (in spanning
verbintenis). Pengertian upaya maksimal yang harus dilakukan
oleh dokter atau pihak rumah sakit dalam perjanjian terapeutik,
yaitu adanya sikap kehati-hatian dan ketelitian yang tinggi, tepat
waktu, berdasarkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki
sesuai dengan bidang keahlian dan dalam melaksanakan upaya
penyembuhan atau pemulihan fisik pasien selalu berpedoman
pada standar operasional prosedur dan standar pelayanan medis.
Dalam melakukan gugatan terhadap dokter atau pihak
rumah sakit atas perbuatan wanprestasi, maka beban pembuktian
berada pada pasien sebagai penggugat. Pasien harus dapat
membuktikan bahwa dokter atau pihak rumah sakit telah
melakukan suatu kelalaian, dengan tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan upaya maksimal yang harus
dilakukan, sehingga pasien tersebut mengalami kerugian.
Tidak mudah bagi pasien atau keluarganya untuk
menggugat dokter atau pihak rumah sakit atas perbuatan
wanprestasi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
pengetahuan pasien atau keluarganya dalam menilai standar
profesi medis, standar pelayanan medis dan standar operasional
prosedur yang menjadi kewajiban dokter atau pihak rumah sakit
dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan serta sikap “tertutup”
dari kalangan dokter atau pihak rumah sakit terhadap suatu
pengobatan dan tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien.
Dengan alasan itu pulalah, mengapa kasus-kasus wanprestasi
sulit untuk dibuktikan, sehingga pasien mengalami kesulitan
dalam menuntut tanggung jawab hukum terhadap dokter atau
pihak rumah sakit.
Kerugian yang dialami oleh pasien atas wanprestasi yang
dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit, dapat dituntut
ganti kerugian oleh pasien berupa ; ganti kerugian materil dan
immateril, segala biaya dan ongkos yang telah dikeluarkan oleh

-181-
pasien dan bunga atau keuntungan yang akan diterima oleh
pasien, apabila wanprestasi tersebut tidak terjadi. Ganti kerugian
dalam pelayanan kesehatan diatur dalam Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
menyatakan bahwa Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Tanggung jawab hukum perdata juga dapat terjadi oleh
karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter
atau pihak rumah sakit, yang mengakibatkan kerugian yang
dialami oleh pasien. Pertanggungjawaban hukum perdata atas
perbuatan melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal
1366 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian
tersebut.” Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan
bahwa: “Setiap orang bertanggung jawab bukan hanya atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga
atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”
Unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum, merupakan
dasar pertanggungjawaban hukum perdata atas kerugian yang
dialami oleh pasien (liability based on fault). Berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata tersebut, maka seorang dokter atau pihak
rumah sakit dikatakan bersalah apabila melakukan perbuatan
yang melanggar hukum, melanggar kewajiban profesinya,
melanggar hak subjektif pasien dan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kepantasan yang
berlaku di kalangan profesi dokter pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Secara konkrit, dokter atau pihak
rumah sakit dinyatakan bersalah atas perbuatan melawan hukum
apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya kewajiban profesional untuk melakukan suatu atau
tidak melakukan sesuatu yang sifatnya dilarang, yang
berhubungan pasien dalam pelayanan kesehatan.
b. Adanya unsur kesengajaan atau kelalaian atas pelaksanaan
kewajiban profesional tersebut.
c. Ada suatu kerugian atau cedera yang dialami oleh pasien.

-182-
d. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian
atau cedera yang dialami oleh pasien dengan perbuatan
kesengajaan atau kelalaian atas kewajiban profesional dokter.
e. Tidak terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf atas
pelanggaran kewajiban profesional dokter.

Kewajiban profesional dokter terhadap pasien diatur dalam


Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang praktik
kedokteran, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia. Beberapa kewajiban profesional
dokter yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004,
yaitu antara lain:
1) Setiap dokter wajib melaksanakan tugas profesional sesuai
dengan standar pelayanan kedokteran (Pasal 44 ayat (1)).
2) Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter
terhadap pasien harus mendapat persetujuan (informed
Consent). (Pasal 45 ayat (1)).
3) Setiap dokter dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis. (Pasal 46 ayat (1))
4) Setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran. (Pasal 48 ayat (1)).
5) Setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya (Pasal 49
ayat (1)).
6) Setiap dokter berkewajiban untuk merujuk pasien ke dokter
lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih
baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan (Pasal 51.b).
7) Setiap dokter berkewajiban untuk melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya (Pasal
51.d).

Setiap pelanggaran atas kewajiban profesional dokter,


sebagaimana tersebut diatas yang mengakibatkan kerugian atau
cedera yang dialami oleh pasien, menjadi dasar bagi pasien atau
keluarganya melakukan gugatan ganti kerugian atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah
sakit. Hal ini sesuai dengan Pasal 1371 KUHPerdata yang

-183-
berbunyi: “Penyebab luka atau cacat suatu anggota badan dengan
sengaja atau kurang hati-hati memberi hak kepada si korban
untuk selain penggantian biaya penyembuhan, menuntut
penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut.”
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pertanggung
jawaban hukum perdata sebagai akibat wanprestasi dengan
perbuatan melawan hukum. Tanggung jawab hukum perdata
sebagai akibat dari wanprestasi hanya melibatkan para pihak
yang melakukan perjanjian, yaitu dokter atau pihak rumah sakit
dengan pasien atau keluarganya (contractual liability), sedangkan
pada perbuatan melawan hukum, tanggung jawab hukum perdata
menjadi lebih luas, bukan saja atas kesalahan dokter pribadi
tetapi juga pada tenaga kesehatan lainnya yang berada dibawah
pengawasan dokter yang melakukan kesalahan. Demikian halnya
rumah sakit sebagai korporasi atau badan hukum, tidak terlepas
dari pertanggungjawaban perdata atas kesalahan para dokter
atau tenaga kesehatan lainnya yang bekerja sebagai pegawai (staf
medis) di rumah sakit tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan, “seseorang
tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya.
Dalam menuntut pertanggungjawaban rumah sakit sebagai
korporasi oleh karena kesalahan atau kelalaian dokter dan tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja pada rumah sakit tersebut,
mengacu pada doctrine respondeat superior atau vicarious liability
atau strict liability. Pertanggungjawaban hukum perdata rumah
sakit berdasarkan doktrin respondeat superior yaitu rumah sakit
sebagai majikan yang mempekerjakan dokter, wajib untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap dokter atau
tenaga kesehatan lainnya sebagai pekerjanya. Dengan demikian
setiap kesalahan atau kelalaian dokter dan tenaga kesehatan
lainnya dalam menjalankan tugas profesinya atau melaksanakan
perintah rumah sakit atau demi kepentingan rumah sakit, maka
rumah sakit tidak dapat terhindar dari tanggung jawabnya atas
kesalahan para pekerjanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal

-184-
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit Yang berbunyi : “Rumah Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”
Secara teoritis, mungkin dapat dengan mudah membedakan
pertanggungjawaban dokter atau pihak rumah sakit atas
perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban atas
perbuatan wanprestasi, namun dalam praktiknya terkadang sulit
untuk membedakan kerugian mana yang disebabkan oleh karena
wanprestasi dan kerugian mana yang disebabkan oleh perbuatan
melawan hukum. Perbedaan antara perbuatan melawan hukum
dengan perbuatan wanprestasi sangat kecil. Seorang dokter atau
pihak rumah sakit yang melanggar kewajibannya sebagaimana
yang telah disanggupinya dalam perjanjian terapeutik dikatakan
telah melakukan wanprestasi, tetapi pada saat yang bersamaan
juga telah melanggar kewajiban hukumnya, melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan kepatutan dan kepantasan
berdasarkan kode etik kedokteran dan melanggar hak subjektif
pasien, sehingga dikatakan telah melakukan perbuatan melawan
hukum.
Meskipun perbedaan antara perbuatan melawan hukum
dengan wanprestasi sangat kecil, namun dalam melakukan
gugatan hukum perdata terhadap dokter atau pihak rumah sakit,
harus diuraikan secara jelas dan tegas, bahwa gugatan tersebut
atas dasar perbuatan melawan hukum atau atas dasar
wanprestasi atau atas dasar perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi secara bersamaan. Karena mungkin saja terjadi
pasien menuntut kerugian karena wanprestasi, namun dalil-dalil
dan bukti-bukti yang dikemukakan dimuka pengadilan lebih
mengarah pada perbuatan melawan hukum ataupun sebaliknya,
sehingga gugatan menjadi kabur (obscuur libel) dan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke Verklaard).
Agar gugatan perdata yang dilakukan oleh pasien tidak
menjadi kabur dan dapat diterima, maka diperlukan pemahaman
tentang batas perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum dalam perjanjian terapeutik. Pada perbuatan
wanprestasi selalu diawali dengan sebuah perjanjian terapeutik
yang didalamnya mengatur hak dan kewajiban dokter atau pihak
rumah sakit dengan pasien, sehingga dapat dikatakan bahwa

-185-
wanprestasi tidak mungkin berdiri sendiri. Berbeda dengan
perbuatan melawan hukum yang tidak selamanya harus diawali
dengan suatu perjanjian terapeutik, tetapi dapat berdiri sendiri
oleh karena perbuatan dokter yang bertentangan dengan hukum
dalam arti luas, melanggar kewajiban profesional dokter dan
melanggar hak subjektif pasien yang mengakibatkan kerugian
bagi pasien.
Dalam suatu perjanjian terapeutik dapat terjadi kerugian
yang disebabkan oleh wanprestasi dan perbuatan melawan
hukum secara bersamaan. Dalam hal ini pasien dapat melakukan
gugatan perdata atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum atau wanprestasi dan perbuatan melawan hukum secara
bersamaan.
3. Tanggung Jawab Hukum Pidana Rumah Sakit
Dasar untuk meminta pertanggungjawaban hukum pidana
terhadap dokter atau pihak rumah sakit adalah adanya perbuatan
atau tindakan yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit
terhadap pasien yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan dan adanya unsur kesalahan atau kelalaian pada dokter
atau pihak rumah sakit.
Pengertian kesalahan dokter dalam pelaksanaan praktik
kedokteran, merupakan gambaran sikap batin dokter pada saat
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang menyebabkan
terjadinya peristiwa pidana (mens rea), yang menunjukkan
adanya suatu niat atau maksud jahat yang dengan sengaja
menghendaki terjadinya suatu peristiwa pidana, termasuk akibat
yang ditimbulkan jika peristiwa pidana tersebut terjadi. Adanya
niat atau maksud jahat tersebutlah yang menjadi dasar pencelaan,
sehingga dokter dikatakan melakukan kesalahan dan sekaligus
menjadi dasar untuk membebani dokter dengan
pertanggungjawaban pidana.
Selanjutnya pengertian kelalaian dalam pelaksanaan
praktik kedokteran yaitu suatu perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh dokter dengan secara sadar, tanpa niat atau
maksud jahat untuk menimbulkan suatu peristiwa pidana, yang
menyebabkan kerugian, cacat atau meninggalnya seorang pasien.
Meskipun dokter memahami betul bahwa tindakan yang
dilakukannya berpotensi untuk terjadinya suatu peristiwa pidana,

-186-
namun tetap melakukan perbuatan atau tindakan tersebut.
Seharusnya ketika dokter menyadari bahwa perbuatan atau
tindakan yang dilakukannya berpotensi untuk mengakibatkan
suatu peristiwa pidana, maka perbuatan atau tindakan itu tidak
seharusnya dilakukan. Pencelaan atas perbuatan kelalaian
tersebut terletak pada sikap kurang hati-hati atau kurang teliti
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sehingga peristiwa
pidana itu terjadi. Perbuatan kelalaian ini diukur dengan
membandingkan sikap kehati-hatian dan ketelitian dokter-dokter
lain dengan kompetensi yang sama, kasus yang sama, kondisi dan
situasi yang relatif sama pula. Jika sebagian besar dokter-dokter
lain tidak melakukan hal yang seperti dilakukan oleh dokter
tersebut, sehingga menimbulkan suatu peristiwa pidana yang
mengakibatkan cacat atau kematian pasien, maka dokter tersebut
dapat dikatakan telah melakukan kelalaian.
Tidak semua kelalaian dokter dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum pidana, hanyalah kelalaian berat
(culpa lata) yang mengakibatkan kerugian, cacat, atau
meninggalnya seorang pasien. Sedangkan kelalaian kecil (culpa
levis) yang tidak menimbulkan kerugian, cacat atau kematian
seorang pasien tidak dapat dipidana. Hal ini sesuai dengan asas
hukum "Deminimus non curat lex", yang berarti hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Pengertian kesalahan dan kelalaian dokter dalam pelaksanaan
praktik kedokteran tidak persis sama dengan kesalahan atau
kelalaian terhadap pelaku tindak pidana pada umumnya
sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Dalam sudut pandang hukum
pidana, suatu kesalahan atau kelalaian dinilai dari akibat yang
ditimbulkannya terhadap pasien, yang memenuhi rumusan delik
tertentu dan disertai dengan ancaman pidana. Hal ini dapat dilihat
pada Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 359 KUHP.

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan


orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

-187-
Pasal 360 KUHP.

(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka


berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau hukuman denda setinggi-
tingginya Rp. 4.500.

Selanjutnya pengertian tentang luka berat, disebutkan


dalam Pasal 90 KHUP yang berbunyi sebagai berikut:
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan
akan sembuh secara sempuma, atau yang menimbulkan
bahaya maut;
(2) Untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian;
(3) Kehilangan salah satu panca indera;
(4) Mendapat cacat berat;
(5) Menderita sakit lumpuh;
(6) Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu;
(7) Gugurnya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.

Pada sudut pandang Ilmu Kedokteran dan Hukum


Kesehatan, kesalahan atau kelalaian dokter tidak dilihat pada
akibat yang ditimbulkannya atau pada peristiwa pidana yang
terjadi, tetapi pada penyebab (causa) peristiwa pidana itu terjadi.
Dalam hal ini, titik berat penilaian unsur kesalahan atau kelalaian
dokter, terletak pada proses pelaksanaan pelayanan medis yang
diberikan kepada pasien.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menilai
adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter
dalam perkara pidana, maka sudah sepatutnya jika menggunakan
ilmu kedokteran dan hukum kesehatan (kedokteran) yang
berlaku sebagai instrument pokok yang bersifat lex specialis,
tanpa mengabaikan ketentuan dalam pasal-pasal KUHP sebagai

-188-
instrument tambahan yang bersifat lex generalii. Hal ini sesuai
dengan asas hukum lex specialis derogate legi generalii, yaitu
hukum yang bersifat khusus dapat mengenyampingkan hukum
yang bersifat umum.
Beberapa bentuk peristiwa pidana yang dilakukan oleh
dokter sebagai suatu kesalahan (dolus/opzet) antara lain:
1) Melakukan tindakan abortus provocatus criminalis, yaitu suatu
upaya untuk melakukan terminasi kehamilan pada seorang
perempuan hamil tanpa indikasi medis yang kuat dan atau
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, yang
dilakukan secara melawan hukum dengan menggunakan obat-
obatan atau alat-alat medis tertentu
2) Melakukan tindakan euthanasia, yaitu tindakan yang dilakukan
oleh dokter baik secara aktif maupun pasif sehingga
mempercepat kematian seorang pasien, yang bukan karena
alasan medis dan tanpa penetapan pengadilan, sehingga
bertentangan dengan kode etik kedokteran, hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Melakukan tindakan penipuan medis terhadap pasien, yaitu
dengan memberikan informasi medis yang tidak jujur kepada
pasien tentang kondisi kesehatan atau penyakit yang
dialaminya, atau melakukan suatu pengobatan dan tindakan
medis yang tidak dibutuhkan oleh pasien atau melaksanakan
suatu metode pengobatan yang belum dipastikan kebenaran
dan manfaatnya, yang dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan atau maksud lain yang bertentangan dengan kode
etik kedokteran dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4) Dengan sengaja membocorkan rahasia medis pasien, yaitu
membuka data dan informasi medis kepada pihak lain yang
tidak berhak, tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, atau
diluar yang diatur oleh ketentuan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku
5) Membuat surat keterangan medis palsu mengenai kondisi
kesehatan dan penyakit seseorang, dengan maksud untuk
menyesatkan penguasa atau penanggung, atau menerbitkan
suatu hak tertentu kepada pihak lain secara melawan hukum.

-189-
6) Memalsukan data rekam medis pasien, baik atas seizin pasien
maupun tanpa seizin pasien sehingga keabsahan data rekam
medik pasien dapat diragukan.
7) Dengan sengaja melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien atau keluarganya, sebagai bentuk pelanggaran
kewajiban terhadap hak-hak pasien untuk menentukan apa
yang boleh satu tidak boleh dilakukan terhadap diri seorang
pasien.
8) Dengan sengaja melakukan tindakan medis yang tidak sesuai
dengan kompetensi keilmuan, sehingga mengakibatkan cacat
atau kematian bagi pasien.
9) Dengan sengaja melakukan tindakan medis yang tidak sesuai
dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar
sarana dan prasarana sehingga menimbulkan cacat atau
kematian pasien.
10) Dengan sengaja menelantarkan pasien sehingga memperburuk
kondisi kesehatan pasien, yang akhirnya pasien mengalami
cacat atau kematian.

Sedangkan perbuatan karena kelalaian dokter yang dapat


dipidana (culpa) yaitu antara lain:
1) Keliru dalam menegakkan diagnosa penyakit, sehingga
memberikan pengobatan atau tindakan medis yang
menyebabkan pasien terluka, cacat atau mengalami
kematian.
2) Kurang teliti sehingga memberikan pengobatan atau
tindakan medis pada pasien yang salah, sehingga
menyebabkan pasien mengalami luka berat, cacat atau
kematian.
3) Lalai memperhitungkan kontra indikasi pengobatan dan efek
samping pengobatan, sehingga menimbulkan kesakitan, cacat
atau meninggalnya pasien.
4) Kurang cermat menghitung kebutuhan jumlah dan dosis
pemberian obat pada pasien, sehingga pasien mengalami
intoksikasi yang menyebabkan luka, cacat atau kematian.
5) Lalai melakukan pemeriksaan uji sensitivitas pada saat
melakukan penyuntikan obat-obat golongan tertentu, yang
diketahuinya berpotensi kuat menyebabkan reaksi syok
anafilaktik dan tidak mempersiapkan antidotum untuk

-190-
mengatasi reaksi syok anafilaktik, sehingga menyebabkan
pasien mengalami cacat atau meninggal dunia.
6) Lalai menerapkan system rujukan medis pada pasien yang
membutuhkan penanganan lanjut ke rumah sakit yang
memiliki kapasitas dan kemampuan yang lebih tinggi,
sehingga pasien mengalami cacat atau kematian.
7) Lalai menerapkan prinsip patient safety, sehingga
menyebabkan pasien cedera, cacat atau meninggal
8) Bertindak kurang hati-hati atau kurang teliti pada saat
melakukan tindakan medis operatif, sehingga pasien
mengalami kerusakan jaringan, cacat atau kematian.
9) Melalaikan kewajibannya dalam memberikan pertolongan
darurat pada pasien dengan kedaruratan medis, sehingga
pasien mengalami kematian.
10) Lalai melaksanakan kewajibannya memberikan pertolongan
medis yang tepat waktu dan menelantarkan pasien, sehingga
pasien mengalami luka, cacat atau kematian.

Dalam praktik kedokteran, perjanjian terapeutik antara


dokter dengan pasien bukanlah perjanjian hasil (resultaat
verbintenis) yang memperjanjikan kesembuhan atau pulihnya
kesehatan pasien, melainkan perjanjian upaya maksimal (in
spanning verbintenis) untuk kesembuhan dan pemulihan
kesehatan pasien. Sebagai sebuah perjanjian upaya, kesembuhan
atau pemulihan kesehatan pasien tidak dapat dipastikan. Dapat
saja terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki oleh pasien dan dokter,
yang menimbulkan kerugian, cacat atau kematian oleh pasien.
Penyebab kerugian, cacat atau kematian pasien dimungkinkan
oleh karena adanya kesalahan atau kelalaian dokter dalam
pelaksanaan praktik kedokterannya, dan juga oleh karena suatu
risiko medis yang selalu ada dalam setiap pelaksanaan praktik
kedokteran. Jika luka berat, cacat atau kematian yang dialami oleh
pasien tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaian
medis yang dilakukan oleh dokter, maka dokter harus dibebaskan
dari tuntutan pertanggungjawaban pidana.

-191-
Menurut Bambang Poernomo (1982:2007), kesalahan
dalam melaksanakan tugas profesi dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu:325
a) Kesalahan Medis, yaitu kesalahan melaksanakan profesi atas
dasar ketentuan profesi medis yang profesional.
b) Kesalahan yuridis yaitu kesalahan melaksanakan tugas profesi
atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Sebagaimana dalam pelajaran hukum pidana dikenal


adanya asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali) dan asas kesalahan (geen straft zonder schuld), maka
pertanggungjawaban hukum pidana bagi dokter atau pihak
rumah, harus mengacu pada pembuktian adanya perbuatan yang
melanggar ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku, yang memenuhi rumusan delik tertentu dan diancam
dengan pidana (asas legalitas) dan pembuktian terhadap adanya
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau pihak
rumah sakit.
Merujuk pada pandangan Simons (Kanter,1992 :2005)
tentang peristiwa pidana sebagai, “Perbuatan salah dan melawan
hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang
mampu bertanggung jawab,”326 maka untuk meminta
pertanggungjawaban pidana bagi seorang dokter harus lah
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Harus dapat dibuktikan adanya pelanggaran atas kewajiban
dokter terhadap pasien baik oleh karena suatu hubungan
hukum dalam perjanjian terapeutik, maupun oleh pelanggaran
kewajiban dokter terhadap pasien yang diatur dalam kode
etik, peraturan konsil kedokteran dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
b) Harus dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan oleh dokter atas perbuatan yang melanggar
kewajibannya terhadap pasien, yang memenuhi syarat sebagai
suatu perbuatan pidana dan diancam pidana.

325 Purnomo, Bambang, Opcit. Hlm, 2007.


326 Kanter, EY. 1992. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta :
Alumni AHM-PTHM. hlm. 205.

-192-
c) Harus dapat dibuktikan bahwa kesalahan atau kelalaian dokter
tersebut memiliki keterkaitan dengan cedera, cacat atau
kematian pasien (hubungan kausalitas).
d) Harus dapat dibuktikan bahwa pada diri dokter tersebut, tidak
terdapat unsur-unsur penghapus kesalahan.

Sehubungan dengan kelalaian tersebut, Danny Wiradharma


(1996:192)327 menyebutkan kelalaian terbagi atas 2 (dua)
gradasi, yaitu:
(a) Kelalaian ringan (culpa levis).
Kelalaian ini dinilai dengan membandingkan perbuatan
pelaku dengan perbuatan orang yang lebih ahli dari golongan
si pelaku. Perlakuan yang berbeda antara pelaku dengan orang
yang lebih ahli dari golongan si pelaku didalam menangani hal
yang sama menunjukkan kelalaian ringan si pelaku.
(b) Kelalaian berat (culpa lata)
Kelalaian ini disebabkan oleh kurangnya kehati-hatian
yang menyolok. Untuk menentukan gradasi kesalahan ini,
harus membandingkan perbuatan pelaku dengan perbuatan
rata-rata orang lain yang segolongan dengan pelaku. Bila yang
dilakukan pelaku berbeda dengan perbuatan rata-rata orang
lain yang segolongan dengannya dalam menangani keadaan,
maka pelaku masuk dalam kategori culpa lata.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab memahami
tanggung jawab hukum, pengertian perbuatan pidana berbeda
dengan pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan
pidana merupakan aktifitas fisik dari si pelaku yang memenuhi
rumusan delik yang diancam dengan pidana (physical element),
sedangkan pertanggungjawaban pidana merupakan sikap
batin si pelaku pada saat melakukan perbuatan pidana (mental
element). Seorang dokter yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusan delik dalam ketentuan hukum dan
perundang-undangan, tidak serta merta dapat dipidana. Harus
dapat dibuktikan adanya unsur pencelaan pada diri dokter
yang bersangkutan, yaitu kesalahan atau kelalaian yang
menyebabkan cacat atau kematian pada seorang pasien.

327 Wiradharma, Danny, Op.cit. hlm. 192.

-193-
Pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap
seorang dokter dalam hal perbuatan kesalahan atau kelalaian,
selain oleh karena adanya perbuatan yang dapat dipidana, dan
adanya kesalahan atau kelalaian dokter, juga harus
memperhatikan adanya unsur penghapus kesalahan, yaitu
alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dan
alasan pemaaf sebagai penghapus celaan atas perbuatan si
pelaku, yaitu si pelaku tetap melakukan perbuatan pidana,
tetapi bukan merupakan suatu kehendak atau yang di inginkan
atau telah direncanakan sebelumnya, namun tindakan tersebut
dapat dibenarkan atau dimaafkan, sehingga perbuatan
tersebut menghapus sifat dicelanya perbuatan tersebut.
Dengan dihapusnya sifat celaan tersebut, maka si pelaku
tindak pidana tidak dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana. Alasan pembenar adalah alasan penghapus sifat
melawan hukum suatu perbuatan (unsur objektif), sedangkan
alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan si
pelaku (subjektif). Dalam hukum pidana alasan pembenar dan
alasan pemaaf sebagai penghapus kesalahan yaitu pada
keadaan adanya daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer ekses), melaksanakan
perintah perintah Undang-Undangdan melaksanakan perintah
jabatan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban
pidana dokter meliputi tiga unsur penting yaitu :
(1) Unsur objektif
Adanya perbuatan dokter yang melanggar
kewajiban professional dan kewajiban hukumnya baik
oleh karena perjanjian terapeutik, maupun oleh karena
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang memenuhi syarat perbuatan pidana dan diancam
dengan pidana.
(2) Unsur Subjektif
Adanya unsur kesalahan atau kelalaian pada diri
dokter yang bersangkutan pada saat melakukan suatu
perbuatan atau tindakan yang memenuhi rumusan delik
dan diancam pidana, sehingga kepadanya dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana.

-194-
(3) Unsur penghapus kesalahan
Seorang dokter tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, jika terdapat unsur
penghapus kesalahan. Sepanjang unsur penghapus
kesalahan tidak dapat dibuktikan, maka dokter dapat
dituntut pidana atas terbuktinya unsur objektif dan unsur
subjektif yang menyebabkan cacat atau kematian pada
seorang pasien.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hampir
sebagian besar kasus pidana yang dialami oleh seorang
dokter disebabkan oleh karena kelalaian (culpa lata) dan
bukan karena kesengajaan (dolus/opzet) yang menghendaki
terjadinya peristiwa pidana yang menyebabkan cacat atau
meninggalnya pasien. Hal ini disebabkan oleh karena
seorang dokter dalam melaksanakan tugas profesinya,
sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan
sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi dokter dan
lafal sumpah dokter. Beberapa butir penting dari lafal
sumpah dokter yang berhubungan dengan pasien yaitu
antara lain : 328
1) Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan;
2) Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang
berhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat
pekerjaan saya;
3) Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat
dan tradisi luhur jabatan kedokteran;
4) Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya
ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya
sebagai Dokter; Kesehatan penderita senantiasa akan
saya utamakan;
5) Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita,
saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya
saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan,
Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau
Kedudukan Sosial.

328. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 1960 Tentang Lafal Sumpah Dokter. Pasal 1.

-195-
Meskipun seorang dokter telah terikat dengan Sumpah
Dokter yang sangat mulia, namun perbuatan kesalahan terus
saja terjadi. Gugatan atau tuntutan hukum terhadap dokter
yang diduga melakukan kesalahan medis (malpraktik medis)
masih terus berlanjut. Dalam literatur hukum kesehatan
negara-negara anglo saxon, dikenal adanya formulasi 4D dari
Taylor, untuk menuntut pertanggungjawaban hukum pidana
terhadap seorang dokter. yang dilakukan oleh seorang dokter.
Formulasi 4D yang dimaksud, diuraikan sebagai berikut:
a) Duty (kewajiban).
Unsur duty (kewajiban) dalam pertanggungjawaban
hukum pidana seorang dokter merupakan unsur yang
sangat penting. Seorang pasien atau keluarganya hanya
dapat menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap
seorang dokter, apabila dokter yang bersangkutan memiliki
kewajiban hukum terhadap pasien baik yang diatur dalam
perjanjian terapeutik maupun yang diatur dalam ketentuan
perundang-undangan. Tentunya sangat tidak rasional
menuntut seorang dokter yang tidak memiliki kewajiban
hukum terhadap seorang pasien yang mengalami cacat atau
kematian.
b) Direction of duty (pelanggaran atas kewajiban).
Unsur direction of duty merupakan suatu perbuatan
atau tindakan yang dilakukan oleh dokter yang melanggar
kewajiban hukumnya terhadap pasien. Pelanggaran
kewajiban tersebut dapat oleh karena suatu kesalahan atau
kelalaian.
c) Damage (kerugian, cacat atau cedera).
Untuk dapat meminta pertanggungjawaban hukum
pidana terhadap seorang dokter, selain adanya kewajiban
hukum dan pelanggaran atas kewajiban hukum tersebut,
maka harus dibutikan pula adanya damage (kerugian, cacat
atau kematian) yang dialami oleh pasien. Meskipun telah
terjadi kelalaian ataupun perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh dokter terhadap pasien tetapi tidak
menyebabkan kerugian atau cacat/cedera, maka kesalahan
atau kelalaian tersebut tidaklah berarti dan tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum bagi sang dokter.

-196-
d) Direct Causation (akibat langsung).
Bahwa setiap kerugian, cacat atau cedera yang
dialami oleh pasien adalah merupakan hubungan langsung
dari tindakan dokter terhadap pasiennya yang merupakan
pelanggaran terhadap kewajibannya untuk berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu terhadap pasien yang
dirawatnya. Direct causation ini haruslah merupakan
sebuah hubungan kausalitas antara tindakan dokter dengan
kerugian yang dialami oleh pasien.
Dalam pertanggungjawaban hukum pidana menganut
asas pembebanan tanggung jawaban hanya pada subjek
hukum orang pribadi (persoon), sedangkan badan hukum
atau korporasi tidak diatur mengenai hal tersebut. Namun
dalam perkembangan sistem hukum pidana yang ada
sekarang ini sudah mulai memasukkan badan hukum atau
korporasi sebagai subjek pertanggungan hukum pidana,
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar
KUHP.
Sehubungan dengan hal tersebut maka dokter sebagai
subjek hukum orang pribadi (persoon) dapat dibebankan
pertanggungjawaban hukum pidana terkait dengan tindak
pidana medis yang dilakukannya, baik oleh karena suatu
kesalahan maupun oleh karena kelalaiannya. Meskipun
demikian, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, tidak mengatur secara tegas dapat atau
tidak dapat seorang dokter dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum pidana atas cacat atau
kematian yang dialami oleh pasien yang berada dalam
perawatan atau penanganannya.
Undang-Undang Praktik kedokteran, sepertinya
menggiring kesalahan atau kelalaian dokter dalam
menjalankan praktik kedokterannya sebagai sebuah
pelanggaran disiplin dengan sanksi hukum administrasi
yang lebih ringan, jika dibandingkan dengan sanksi hukum
perdata berupa ganti kerugian atau sanksi hukum pidana
berupa kurungan badan. Satu-satunya pintu masuk untuk
menuntut seorang dokter atas perbuatan kesalahan dan
kelalaian yang mengakibatkan cacat atau kematian pasien,

-197-
diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Praktik Kedokteran
yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 66
1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter
gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk
melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak
yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan.

Menurut Pasal 66 ayat (3) tersebut, meskipun


pertanggungjawaban pidana dokter tidak diatur dengan tegas,
namun tidak membatasi hak pasien untuk meminta
pertanggungjawaban pidana dokter atau setiap dugaan kesalahan
dan kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang menyebabkan
terjadinya kerugian, cacat atau meninggalnya seorang pasien.
Namun dalam hal menentukan adanya kesalahan dan kelalaian
yang dilakukan oleh dokter, para penegak hukum terlebih dahulu
harus mendengarkan dan memperhatikan pendapat para ahli
ilmu kedokteran, dalam menilai adanya unsur kesalahan dan
kelalaian dokter tersebut.
Secara terpisah, rumah sakit sebagai subjek hukum badan
hukum (korporasi) yang mempekerjakan dokter sebagai
pelaksana fungsional untuk mewakili kepentingan rumah sakit,
bertindak untuk dan atas nama rumah sakit dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada pasien, tidak dapat terbebas dari
pertanggungjawaban pidana atas kesalahan dan kelalaian yang
dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan penderitaan, cacat
atau meninggalnya seorang pasien.

-198-
Dasar hukum pertanggungjawaban pidana rumah sakit atas
kesalahan dan kelalaian dokter dalam hal pemberian pelayanan
kesehatan terhadap pasien, diatur dalam ketentuan Pasal 46
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
yang berbunyi sebagai berikut : “Rumah Sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit
yang menanggung semua kerugian pasien baik secara perdata
maupun pidana, maka rumah sakit merupakan subjek hukum
pertanggungjawaban pidana atas kerugian pidana yang dialami
oleh pasien oleh karena kesalahan atau kelalaian dokter dalam
pemberian pelayanan kesehatan.
Dalam hal Rumah sakit sebagai subjek hukum
pertanggungjawaban pidana, terdapat beberapa ajaran atau
doktrin yang dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaannya, yaitu
antara lain :
a) Doctrine of Strict Liability atau Pertanggungjawaban Mutlak.
Pertanggungjawaban pidana menurut doctrine strict
liability atau pertanggungjawaban mutlak, adalah
pertanggungjawaban yang dibebankan pada subjek hukum
orang atau badan hukum, tanpa perlu membuktikan adanya
kesalahan si pelaku. Doktrin ini sering pula disebut
pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Cukup dibuktikan
bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan yang
dilarang atau diwajibkan oleh ketentuan pidana (actus reus).
Seorang dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada
pasien, yang menyebabkan cacat atau kematian pada pasien,
maka rumah sakit secara langsung dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, tanpa perlu menunggu bahwa
tindakan dokter tersebut terdapat unsur kesalahan atau
kelalaian. Dalam hal ini meskipun rumah sakit (korporasi)
tidak melakukan kesalahan, namun tetap dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana oleh karena dokter tersebut
bekerja untuk dan atas nama rumah sakit (korporasi).
b) Doctrine of Vicarious Liability.
Doktrin vicarious liability dalam hukum pidana
merupakan pengembangan dari hukum perdata dalam hal
perbuatan melawan hukum berdasarkan teori Respondeat

-199-
superior. Teori Respondeat superior dalam hukum perdata
menempatkan kesalahan yang diperbuat oleh karyawan
menjadi tanggung jawab majikan sepanjang kesalahan itu
terjadi dalam ruang lingkup pekerjaan karyawan tersebut.
Teori Respondeat superior ini memberikan kemungkinan
kepada pihak yang dirugikan untuk meminta
pertanggungjawaban kepada majikan karyawan tersebut
untuk meminta ganti rugi atas kesalahan karyawannya.
Berkaitan dengan penerapan doktrin ini terhadap rumah
sakit, maka semua staf atau karyawan yang bekerja untuk dan
atas nama rumah sakit yang melakukan kesalahan adalah
menjadi tanggung jawab rumah sakit selama karyawan
tersebut bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) yang dipercayakan oleh pimpinan rumah sakit.
Dokter dan dokter gigi yang bekerja pada rumah sakit tersebut
sebagai medical staff, yang karena kelalaiannya atau
kesalahannya menyebabkan terjadinya kesakitan, Iuka, cacat
atau gangguan fungsi organ yang dialami pasien adalah
menjadi tanggung jawab rumah sakit. Tanggung jawab rumah
sakit terhadap kesalahan atau kelalaian staf disebut juga
hospital liability.
Terhadap penerapan doktrin vicarious liability pada
rumah sakit, Guwandi (2005:32)329 memberikan beberapa
contoh kasus antara lain :
(1) Darling versus Charleston Community Memorial Hospital,
211 N.E 2d 235 (Ill, 1965)
Seorang dokter part timer yang bertugas di UGD
salah satu rumah sakit, telah berbuat kelalaian terhadap
seorang pasien yang mengakibatkan kaki pasiennya harus
diamputasi. la dipersalahkan karena tidak merujuk ke
rumah sakit lain walaupun kurang kemampuannya dalam
memberikan pertolongan medis. Meskipun demikian yang
harus menanggung risiko adalah rumah sakitnya sebagai
suatu korporasi, karena telah memakai orang yang kurang
mampu. Dianggap adalah kewajiban rumah sakit untuk
memeriksa dulu dan menyeleksi penerimaan para dokter
baru tersebut.

329 Guwandi. Opcit. Hlm. 32.

-200-
(2) Johnson Versus Misericordia Community Hospital 1981 di
Wisconsin.
Dalam kasus ini pasien menuntut dokter dan rumah
sakitnya karena dokter tersebut telah melukai arteri
femoralis dan syaraf ketika sedang berusaha
melaksanakan suatu prosedur orthopedic. Pengadilan
berpendapat bahwa rumah sakit gagal dalam mengecek
latar belakang dokter tersebut dan tidak melakukan
kewajibannya dengan baik di dalam mengadakan seleksi
terhadap staf mediknya. Sebagai akibatnya rumah sakit
dibebani pertanggungjawaban atas kelalaian dokter
tersebut.

c) Doctrine of Delegation
Doktrin ini mengajarkan tentang tanggung jawab atas
sebuah pendelegasian kewenangan yang dilakukan suatu
badan hukum atau korporasi terhadap karyawannya.
Kesalahan karyawan dalam me!aksanakan kewenangan yang
dilimpahkan padanya yang mengakibatkan kerugian pada
orang lain menjadi tanggung jawab badan hukum atau
korporasi tersebut.
Pendelegasian kewenangan oleh pihak rumah sakit
terhadap para dokter dalam menjalankan tugas profesinya
adalah sebuah bukti atau dasar yang dapat dijadikan sebagai
alasan untuk meminta pertanggungjawaban pidana rumah
sakit sebagai sebuah badan hukum (rechts persoon) atas
kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam menjalankan
praktik profesinya sesuai dengan kewenangan yang di berikan
padanya.
d) Doctrine of Identification.
Doktrin ini mengajarkan tentang identifikasi pelaku
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang sehubungan
dengan kapasitasnya dalam suatu badan hukum atau
korporasi. Oleh sebab itu setiap kesalahan yang dilakukan oleh
seseorang haruslah dapat dibuktikan bahwa orang tersebut
adalah directing mind dari suatu korporasi. Jika terbukti bahwa
pelaku kesalahan adalah seseorang dalam kapasitasnya
sebagai directing mind maka korporasi wajib untuk
mempertanggungjawabkan kesalahan orang tersebut.

-201-
Untuk mengetahui apakah seseorang tersebut termasuk
directing mind dari sebuah korporasi dapat diketahui dari
surat-surat keputusan pengurus atau pimpinan yang berisi
pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan atau fungsi-
fungsi tertentu. Oleh surat keputusan tersebut melekat suatu
kewenangan untuk berbuat atau tidak berbuat sebagai mana
yang ditetapkan pengurus yang tertuang dalam surat-surat
keputusan tersebut.
Atas dasar doktrin tersebut memberikan alasan
pembebanan pertanggungjawaban pidana rumah dalam hal
terjadi kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter setelah
mengidentifikasi bahwa dokter tersebut adalah medical staff
yang bekerja demi dan atas nama rumah sakit yang
bersangkutan.
Tidak semua kesalahan atau kelalaian dokter dapat
dianggap sebagai kesalahan rumah sakit (korporasi), tetapi
hanya pada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh
dokter dalam suatu hubungan kerja atau pelaksanaan tugas
yang dipercayakan oleh rumah sakit, atau atas sepengetahuan
atau persetujuan pimpinan rumah sakit, atau untuk dan atas
nama rumah sakit dalam pelaksanaan fungsi rumah sakit. Hal
ini sesuai dengan doktrin ultra vires yang mengatur tindakan
seorang pegawai dapat dianggap sebagai tindakan korporasi
apabila dilakukan untuk dan atas nama korporasi sebagaimana
ditegaskan dalam anggaran dasar dan rumah tangga korporasi
tersebut.
Bentuk pertanggungjawaban hukum pidana rumah sakit
atas kesalahan dan kelalaian dokter yaitu penerapan sanksi
pidana denda sebagai pidana pokok dan pidana tambahan
sesuai dengan ketentuan perudang-undangan yang berlaku.
Pasien atau keluarganya dapat meminta pertanggungjawaban
hukum pidana terhadap dokter dan juga terhadap rumah sakit
(korporasi).

-202-
BAB VIII

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB


RUMAH SAKIT ATAS HAK-HAK PASIEN
(Analisis Hasil Penelitian)

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh dokter atau pihak


rumah sakit terhadap pasien dalam sudut pandang ilmu hukum,
merupakan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut
dapat terjadi oleh karena suatu perjanjian atau kontrak dan oleh
karena ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai
sebuah hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan, maka baik
dokter maupun pasien sama-sama terikat dalam suatu tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak
pihak lainnya. Dokter atau pihak rumah sakit berkewajiban untuk
memenuhi hak pasien dalam pelayanan kesehatan, yaitu suatu upaya
penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehatan yang optimal
sesuai dengan standar profesi, standar operasional prosedur dan
standar pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit. Sebaliknya
pasien berkewajiban untuk memenuhi hak dokter atau pihak rumah
sakit, yaitu mematuhi nasihat dokter untuk proses penyembuhan dan
pemulihan fisiknya, mengikuti peraturan-peraturan rumah sakit
yang berlaku dan membayar jasa pelayanan medis yang diterimanya.
Pelanggaran terhadap kewajiban dokter atau pihak rumah
sakit dalam memenuhi hak-hak pasien yang mengakibatkan
kerugian, cacat atau meninggalnya pasien merupakan pelanggaran
hukum, yang kepada dokter si pelaku dapat digugat atau dituntut
dimuka pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka seorang
dokter harus bekerja secara profesional berdasarkan kompetensi
keilmuan yang dikuasainya, berpedoman pada standar etik dan
moral yang tinggi sesuai dengan kode etik profesi dokter, mematuhi
standar-standar pelayanan medis yang berlaku dan menghargai hak-
hak pasien.

-203-
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
atas hak-hak pasien, merupakan ciri pelayanan kesehatan yang
bermutu. Semakin sempurna pemenuhan hak-hak pasien dalam
pelayanan kesehatan, semakin tinggi pula tingkat kepuasan pasien
atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Kepuasan pasien
merupakan indikator kinerja profesional dokter atau pihak rumah
sakit dalam memenuhi hak-hak pasien. Hampir sebagian besar
kasus-kasus gugatan atau tuntutan hukum yang dilakukan oleh
pasien terhadap dokter berawal dari rasa ketidakpuasan atas
pelayanan kesehatan yang diterimanya. Beberapa hak-hak pasien
dalam pelayanan kesehatan antara lain; hak pasien atas informasi
medis, hak pasien atas persetujuan tindakan medis (informed
consent), hak pasien untuk memilih dokter, hak pasien atas rahasia
medis dan isi rekam medis (medical record)
Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap pelaksanaan
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas pemenuhan hak-
hak pasien sebagaimana tersebut diatas, yang dilakukan pada RSUD
Labuang Baji, RS. Bhayangkara, RS. Pelamonia dan RSUD Lakipadada
pada tahun 2015-2016 di Provinsi Sulawesi Selatan, diuraikan
sebagai berikut :
a. Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas Hak informasi
medis yang jelas bagi pasien.
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
atas pemenuhan hak informasi medis yang jelas bagi pasien,
diperoleh gambaran sebagai berikut :

-204-
Tabel
Distribusi tanggapan Responden dokter terhadap pelaksanaan
tanggung jawab Rumah Sakit atas hak informasi medis yang jelas
bagi pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS
Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016

Hak informasi medis


Jumlah Persentase
yang jelas bagi pasien

Terlaksana 33 82,2
Kadang terlaksana 6 14,3
Tidak terlaksana 1 3,5
Jumlah 40 100%
Sumber data : Data Primer, setelah diolah pada tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas, proporsi dokter yang


memberikan tanggapan bahwa pelaksanaan tanggung jawab
rumah sakit dalam memberikan informasi medis secara baik dan
benar kepada pasien telah terlaksana dengan baik 82,2%, yang
mengatakan kadang-kadang terlaksana 14,3 % dan sisanya tidak
terlaksana 3,5 %. Hal ini berarti bahwa dokter atau pihak rumah
sakit sebagian besar menganggap telah melaksanakan tanggung
jawabnya untuk memberikan informasi sehubungan dengan
pengobatan, tindakan medis dan perawatan kepada pasien selama
dalam penanganan pihak rumah sakit.
Selanjutnya jika dibandingkan dengan proporsi tanggapan
responden pasien dalam pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit
untuk memberikan informasi medis yang baik, jelas dan akurat
kepada pasien yang merupakan hak yang harus diterimanya
dalam pelayanan kesehatan, dapat dilihat pada table di bawah ini :

-205-
Tabel
Distribusi tanggapan Responden pasien terhadap pemenuhan
tanggung jawab rumah sakit atas hak informasi medis yang jelas
bagi pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS
Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016

Hak informasi medis


yang jelas kepada Jumlah Persentase
pasien

Terlaksana 20 16,9
Kadang terlaksana 4 3,7
Tidak terlaksana 95 79,4
Jumlah 120 100%
Sumber data: Data Primer setelah diolah tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas, proporsi tanggapan pasien


mengatakan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit untuk
memberikan informasi medis yang jelas dan akurat tidak
terlaksana dengan baik sebesar 79,4 %, kemudian terlaksana
dengan baik 16,9 % dan yang kadang-kadang terlaksana 3,7 %.
Memperhatikan tanggapan responden dokter dan pasien
sebagaimana tersebut diatas nampak perbedaan hasil atas
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas
pemenuhan hak informasi medis yang jelas bagi pasien. Dari
sudut pandang responden dokter terlihat bahwa dokter telah
melaksanakan kewajibannya untuk memberikan informasi medis
yang jelas bagi pasien. Terkait pelaksanaan kewajiban dokter
untuk memberikan informasi medis yang jelas bagi pasien
diperoleh keterangan dari beberapa informan dokter, sebagai
berikut:
1) Informan dokter 01/LB-D/2015:
“Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
atas hak informasi medis bagi sebenarnya sudah terlaksana
dengan baik, dimana setiap dokter yang memeriksa pasien
selalu menginformasikan tentang diagnose penyakit yang
dialami pasien, pengobatan dan perawatan yang akan
diberikan, tindakan medis yang akan dilakukan, prognosis
perjalanan penyakit, risiko medis yang mungkin akan terjadi

-206-
atas tindakan medis yang akan dilakukan dan juga menyangkut
besaran biaya yang akan ditanggung oleh pasien selama dalam
pengobatan.”
2) Selanjut Informan 04/LP-D/2015:
“Pemberian informasi medis yang jelas dan akurat kepada
pasien dan atau keluarganya memang kadang tidak terlaksana
dengan baik karena faktor waktu yang tidak cukup untuk
menjelaskan secara detail dan terkendala dengan komunikasi
bahasa untuk menjelaskan istilah-istilah medis kepada pasien.”

Berdasarkan keterangan informan dokter tersebut diatas,


pada umumnya setiap dokter yang akan melaksanakan suatu
tindakan medis tertentu telah melaksanakan kewajibannya untuk
memberikan informasi medis dan penjelasan yang cukup dan
akurat terhadap pasien. Meskipun demikian, terkadang dokter
mengalami kendala dalam hal keterbatasan waktu, bahasa
komunikasi yang digunakan untuk menjelaskan istilah-istilah
medis atau kedokteran kepada pasien.
Selanjutnya dari sudut pandang responden pasien,
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
memberikan informasi medis yang jelas kepada pasien belum
terlaksana dengan baik. Hal ini berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari beberapa informan, sebagai berikut:
Informan pasien 01/LP-P/2015:

“Terkadang dokter memeriksa kami sangat singkat dan


penjelasannya juga sangat terbatas. Kami cuma diberikan resep
obat tanpa mendapatkan penjelasan kegunaan obat tersebut,
bagaimana cara memakainya dan termasuk berapa harga obat
yang di tuliskan tersebut.”

Informan pasien 04/PL-P/2015:

“Kami sering merasa kecewa atas penjelasan dokter yang


menggunakan istilah-istilah asing yang kami tidak mengerti dan
sempitnya waktu yang disediakan untuk pasien melakukan
konsultasi, sehingga dengan terpaksa kita hanya menerima
pengobatan yang diberikan tanpa memahami seperti apa
penyakit yang kami derita, apakah menular atau tidak, dan
komplikasinya seperti apa, semuanya kadang tidak jelas.”

-207-
Berdasarkan keterangan dari informan pasien tersebut
diatas, diperoleh gambaran bahwa timbulnya rasa kecewa yang
dialami oleh pasien oleh karena pemeriksaan yang dilakukan oleh
dokter sangat singkat, waktu konsultasi yang sangat sempit,
penggunaan bahasa medis yang sulit dimengerti dan besaran
harga obat tidak jelas.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit untuk memberikan
informasi medis yang jelas bagi pasien belum terlaksana dengan
baik. Masih perlu dibangun jembatan komunikasi yang efektif dan
efisien antara dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien dalam
pelayanan kesehatan agar apa yang disampaikan oleh dokter
kepada pasien dapat dengan mudah dicerna dan dimengerti.
Penggunaan bahasa-bahasa medis atau istilah-istilah kedokteran
sebisanya dikomunikasikan dengan bahasa sederhana, bahkan
jika perlu menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah yang
sangat mudah dimengerti oleh pasien tersebut. Adanya Pola
komunikasi yang cenderung satu arah disertai sikap dokter yang
“arogan” dan paternalistik, menjadi salah satu penyebab tidak
terlaksananya tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
untuk memberikan informasi medis yang jelas bagi pasien.
Sebagai perbandingan penelitian yang dilakukan oleh
Indarta (2019:100)330 pada rumah sakit Ibnu Sina Bojonegoro
terkait pelaksanaan hak informasi medis yang jelas bagi pasien
menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh penulis. Pada Penelitian yang dilakukan oleh
Indarta, menunjukkan bahwa para dokter beranggapan bahwa
telah memberikan informasi medis yang jelas kepada pasien,
sebaliknya pasien beranggapan bahwa informasi medis yang
diberikan oleh dokter tidak jelas sehingga kurang atau tidak

330 Indarta, Didiek Wahyu. 2019. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam
Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus Di Rumah Sakit Ibnu Sina Bojonegoro). E-Jurnal Universitas
Bojonegoro. Vol.1(2). Hlm.100.

-208-
dipahami karena bahasa yang digunakan menggunakan istilah-
istilah medis.
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
dalam memberikan Informasi Medis kepada pasien diatur dalam
ketentuan Pasal 45 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan
bahwa; persetujuan tindakan yang diberikan oleh pasien kepada
dokter setelah mendapat penjelasan yang lengkap, yang sekurang-
kurangnya mencakup tentang diagnosis penyakit dan tata cara
tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif
tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
b. Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas Hak
persetujuan tindakan medis bagi Pasien
Pelaksanaan Tanggung jawab hukum dokter atau pihak
rumah sakit atas hak persetujuan tindakan medis yang diberikan
oleh pasien kepada dokter, sebelum dokter melakukan suatu
tindakan medis tertentu, diperoleh tanggapan dari responden
dokter sebagai berikut:

Tabel
Distribusi tanggapan Responden Dokter terhadap tanggung
jawab rumah sakit atas pelaksanaan Hak persetujuan tindakan
medis bagi pasien dalam pelayanan kesehatan pada RSUD
Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD
Lakipadada, tahun 2016.

Hak persetujuan tindakan


medis dalam pelayanan Jumlah Persentase
kesehatan bagi pasien
Terlaksana 32 84,1
Kadang terlaksana 4 11,3
Tidak terlaksana 2 4,6
Jumlah 40 100%
Sumber Data : Data Primer setelah diolah, Tahun 2016.

-209-
Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagai mana
pada table tersebut di atas nampak bahwa sebagian besar
responden dokter menyatakan bahwa para dokter telah
melaksanakan persetujuan Tindakan Medis dengan baik sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (84,1%), hanya kadang-kadang
saja melakukan persetujuan Tindakan medis sesuai dengan
ketentuan (11,3%) dan sisanya menyatakan tidak melaksanakan
persetujuan tindakan medis sesuai dengan ketentuan yang
berlaku memberikan (4,6%).
Selanjutnya tanggapan responden pasien terhadap
tanggung jawab rumah sakit dalam pelaksanaan Haka Atas
Persetujuan Tindakan Medis bagi pasien diperoleh gambaran
sebagai berikut:

Tabel
Distribusi tanggapan Responden Pasien terhadap tanggung jawab
rumah sakit atas pelaksanaan Hak atas persetujuan Tindakan Medis
bagi pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS
Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Hak persetujuan tindakan


medis dalam pelayanan
Jumlah Persentase
kesehatan bagi pasien

Terlaksana 14 11,3
Kadang terlaksana 5 4,5
Tidak terlaksana 101 84,2
Jumlah 120 100%
Sumber Data : Data Primer setelah diolah pada tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagaimana


tersebut pada tabel di atas nampak bahwa hampir sebagian besar
responden pasien menyatakan bahwa pelaksanaan tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter belum berjalan sesuai dengan
ketentuan (84,2%), Terlaksana dengan baik sesuai dengan
ketentuan sebesar 11,3% dan sisanya kadang terlaksana sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (4,5%).

-210-
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
atas hak persetujuan tindakan medis menurut tanggapan
responden dokter telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan keterangan dari
beberapa informan dokter, sebagai berikut:
1) Informan dokter 01/LB-D/2015:
“Setiap tindakan medis yang akan diberikan kepada
pasien terlebih dahulu dimintakan persetujuan tindakan
(informed consent) untuk menghindari tuntutan hukum jika
terjadi hal-hal yang tidak di inginkan selama tindakan tersebut
dilaksanakan atau setelah tindakan tersebut dilaksanakan.”
2) Informan dokter 02/PL-D/2015:
“Keputusan pasien dalam memberikan persetujuan
tindakan medis diambil setelah mendapatkan penjelasan yang
jelas dan akurat mengenai alasan mengapa tindakan tersebut
harus dilaksanakan (indikasi medis), apa risiko yang mungkin
akan terjadi jika tindakan tersebut dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan, alternatif tindakan lainnya yang dapat dilakukan
dengan segala risikonya jika pasien menolak tindakan utama
yang disarankan oleh dokter serta berapa tingkat keberhasilan
jika tindakan tersebut dilaksanakan.”
3) Informan dokter 04/LP-D/2015:
“Kadang kami kesulitan untuk memberikan penjelasan
yang detail kepada pasien khususnya bagi dokter spesialis
karena padatnya jadwal operasi, apalagi jika dokter
spesialisnya sangat terbatas sehingga informasi tentang
pelaksanaan tindakan medis yang akan diberikan sangat
terbatas hanya pada hal-hal yang penting saja dan jika
pasiennya setuju, kami berikan formulir persetujuan tindakan
medis untuk ditanda tangani, barulah tindakan tersebut kami
lakukan.”

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan


dokter didapatkan gambaran bahwa pada umumnya dokter
sebelum memberikan tindakan medis kepada pasien terlebih
dahulu meminta persetujuan tindakan medis, yang diawali
dengan pemberian informasi dan penjelasan yang akurat tentang
adanya indikasi medis yang menjadi dasar pelaksanaan suatu
tindakan yang akan diambil, tatacara pelaksanaannya, dan

-211-
alternatif tindakan medis lain yang dapat dilakukan, jika pasien
menolak tindakan utama yang disarankan oleh dokter. Meskipun
dalam beberapa kasus, dokter mengalami kesulitan untuk
memberikan penjelasan secara detail kepada pasien sebelum
meminta persetujuan tindakan medis kepada pasien dengan
alasan padatnya jadwal operasi dan jika jumlah dokter spesialis
yang sangat terbatas, sehingga dokter hanya memberikan
informasi terhadap point-point penting dari pelaksanaan tindakan
medis yang akan dilakukannya. Para dokter sangat memahami
kewajibannya untuk meminta persetujuan tindakan medis sesuai
dengan cara dan ketentuan yang berlaku dan sekaligus implikasi
hukum, jika tindakan tersebut dilaksanakan tanpa persetujuan
pasien.
Memperhatikan pernyataan Informan dokter 04/LP-
D/2015 nampak bahwa beberapa persetujuan tindakan medis
yang diperoleh dokter sebelum melakukan tindakan medis pada
pasien tidak sesuai dengan syarat-syarat lahirnya sebuah
persetujuan tindakan medis yang baik, dimana sebelum pasien
membuat persetujuannya (consent), terlebih dahulu harus
mendapatkan informasi yang cukup dan jelas (informed) tentang
segala sesuatu yang akan dilakukan terhadap dirinya sehubungan
dengan penyakitnya. Pernyataan Informan dokter 04/LP-D/2015
tentang kesulitan memberikan penjelasan yang cukup dan jelas
dan meminta pasien menandatangani persetujuan tindakan medis
sudah sering dialami oleh pasien dan atau keluarganya. Ketidak
jelasan informasi medis inilah kadang menjadi sumber terjadinya
gugatan atau tuntutan hukum bagi dokter dengan tudingan
melakukan perbuatan malpraktik atas hasil tindakan medis yang
tidak sesuai dengan harapan pasien.
Selanjutnya tanggapan dari responden pasien menilai
bahwa pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah
sakit atas hak persetujuan tindakan medis bagi pasien tidak
terlaksana dengan baik. Hal ini sesuai dengan keterangan yang
disampaikan oleh beberapa informan, antara lain sebagai berikut :
1) Informan Pasien 03/LB-P/2015:
“Memang dokter yang akan melakukan tindakan medis
untuk melakukan operasi terhadap tumor kandungan saya
datang memberikan penjelasan tentang beberapa hal sebelum
saya dioperasi, tapi hanya sebentar sekali dan saya tidak

-212-
paham apa sebenarnya yang dimaksudkan karena sangat cepat
dan terkesan terburu-buru. Meskipun demikian saya tetap
menandatangani persetujuan tindakan operasi saya, karena
menurut dokter dapat semakin berbahaya jika di tunda-tunda“.
2) Informan pasien 02/LP-P/2015 :
“Sebelum saya dioperasi karena kesulitan dalam
persalinan, saya tidak mendapatkan informasi yang jelas
tentang operasi yang akan saya lalui dari dokter yang akan
mengoperasi saya, dokter hanya mengatakan bahwa jika
operasi ini tidak dilakukan dapat membahayakan diri saya dan
anak yang akan saya lahirkan, kemudian bidan memberikan
saya lembar persetujuan tindakan operasi dan saya segera
menandatanganinya.”
Berdasarkan keterangan dari informan pasien tersebut,
diperoleh gambaran bahwa semua dokter sebelum melakukan
suatu tindakan medis tertentu tetap meminta persetujuan
tindakan dari pasien yang bersangkutan. Namun persetujuan
tindakan yang ditandatangani oleh pasien tersebut tidak sesuai
dengan mekanisme atau cara yang diatur oleh ketentuan yang
berlaku. Pasien hanya mendapatkan penjelasan secara ringkas
dan persetujuan tindakan medis bukan dilakukan oleh dokter
yang bersangkutan melainkan oleh bidan atau perawat. Pada
umumnya pasien “terpaksa” memberi persetujuan karena
adanya rasa kecemasan atas penyakit yang dialaminya yang
mengancam keselamatan jiwanya, sehingga bersifat pasrah
atas tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya.
Sebagai perbandingan dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Fikriya Khasna, dkk (2016:51)331 di RSUD Kota
Semarang. menghasilkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Menurut hasil
penelitian tersebut, menyatakan bahwa semua dokter
mengetahui tentang apa itu informed consent beserta tujuan
dan fungsinya, namun untuk pengetahuan dokter tentang
pentingnya informed consent belum sepenuhnya diterapkan

331 Fikriya, Khasna, dkk. 2016. Analisis Persetujuan Tindakan Kedokteran Iinformed Consent)
Dalam Rangka Persiapan Akreditasi Rumah Sakit di Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota
Semarang. Journal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). Vol. 4(1), hlm. 51.

-213-
dalam pelaksanaannya. Masih ada dokter yang hanya
memberikan penjelasan secara singkat dan hanya garis-garis
besarnya saja serta penggunaan bahasa dengan istilah
kedokteran yang sulit dipahami oleh pasien. Selanjutnya masih
terjadi permintaan persetujuan tindakan medis dilakukan oleh
perawat yang seharusnya tidak boleh diwakilkan.
Masih banyak dokter yang tidak memahami dengan
benar bahwa sekalipun dokter telah mendapatkan lembar
persetujuan tindakan medik yang telah ditandatangani pasien
dan atau keluarganya tidaklah berarti tindakan medik yang
dilakukannya tidak dapat dipersoalkan secara hukum, jika
terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan kerugian, cacat atau
meninggalnya seorang pasien, karena syarat lahirnya sebuah
persetujuan tindakan medik adalah setelah pasien
mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas, jujur dan
benar sebelum memberikan persetujuan tindakan medis
tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
memperlihatkan bahwa pelaksanaan tanggung jawab dokter
atau pihak rumah sakit dalam hal persetujuan tindakan medik
belum berjalan secara optimal disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu antara lain:
1) Adanya faktor kesibukan dokter yang melayani banyak
pasien sehingga tidak cukup waktu untuk memberikan
penjelasan dan informasi yang akurat bagi pasien sebelum
pasien memberikan persetujuannya.
2) Para dokter hanya fokus pada lembar persetujuan tindakan
medis (consent) yang telah ditanda tangani oleh pasien,
sehingga kadang mengabaikan faktor penjelasan dan
pemberian informasi yang jelas dan akurat (informed).
3) Masih ada dokter yang mewakilkan permintaan persetujuan
tindakan medis kepada bidan atau perawat yang
seharusnya dilakukannya sendiri.
4) Masih sering terjadi komunikasi yang dilakukan oleh dokter
tidak efektif karena penggunaan istilah-istilah medis yang
sulit dipahami oleh pasien.

-214-
Berdasarkan Ketentuan Pasal 45 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
maka setidaknya beberapa penjelasan yang harus diberikan
kepada pasien sebelum pasien tersebut membuat keputusan,
yaitu :
1) Memberikan penjelasan yang lengkap, mengenai diagnosa
penyakit, perjalanan penyakit, prosedur pengobatan dan
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien, serta
tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan tindakan medis
tersebut.
2) Memberikan penjelasan mengenai efek sampingan
pengobatan serta akibat yang tak dinginkan dari
pelaksanaan suatu tindakan medis yang mungkin akan
terjadi
3) Memberikan penjelasan mengenai keuntungan-keuntungan
yang dapat diperoleh pasien jika tindakan tersebut
dilakukan dan kerugiannya jika tindakan tersebut tidak
dilakukan.
4) Memberikan penjelasan mengenai perkiraan lamanya
proses tindakan medis berlangsung, jika tidak terjadi
penyulit-penyulit selama dalam proses tindakan medis
5) Memberikan penjelasan mengenai tingkat keberhasilan
(progonosis) dari tindakan medis yang akan dilakukan
6) Memberikan penjelasan alternatif pengobatan dan tindakan
medis lain yang dapat dilakukan, jika seandainya pasien
menolak terhadap pengobatan atau tindakan medis yang
disarankan oleh dokter.
7) Memberikan informasi atas pengalaman menangani kasus-
kasus sejenis yang pernah ditangani oleh dokter yang
bersangkutan
8) Memberikan penjelasan mengenai kemungkinan besaran biaya
yang akan ditanggung oleh pasien terhadap pelaksanaan
tindakan medis tersebut, jika pasien adalah pasien umum atau
penjelasan mengenai tindakan mana yang di cover atau tidak
oleh asuransi yang dimiliki oleh pasien jika pasiennya adalah
peserta asuransi/BPJS.
9) Memberikan penjelasan mengenai hak pasien untuk
menyetujui atau menolak tindakan medis yang ditawarkan
oleh dokter tanpa adanya unsur paksaan atau tekanan dalam
pengambilan keputusan tersebut.

-215-
Jika hal-hal tersebut diatas dapat dikomunikasikan dengan baik
kepada pasien dan atau keluarganya, maka kasus dugaan malpraktik
tentunya dapat diminimalisir, karena adanya komunikasi dua arah
antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien
sebagai penerima manfaat jasa pelayanan tersebut.
Pada hakekatnya Persetujuan Tindakan Medik (informed
consent) adalah upaya untuk melindungi kepentingan pasien dari
praktik kedokteran yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan
oleh dokter kepada pasiennya, dan di sisi lain melindungi
kepentingan hukum dokter dari gugatan atau tuntutan hukum atas
tindakan medis yang dilakukannya pada pasien, selama tindakan
tersebut sesuai dengan standar profesi, standar operasional dan
standar pelayanan medis yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan etika kedokteran dan hukum yang berlaku.
c. Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas Hak untuk
memilih dokter bagi pasien
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
atas hak memilih dokter bagi pasien, diperoleh gambaran dari
tanggapan responden dokter sebagai berikut :

Tabel
Distribusi tanggapan Responden dokter terhadap pemenuhan
tanggung jawab rumah sakit atas Hak untuk Memilih Dokter bagi
pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia
dan RSUD Lakipadada, tahun 2016

Hak memilih dokter bagi


Jumlah Persentase
pasien
Terlaksana 2 4,2
Kadang terlaksana 5 12,2
Tidak terlaksana 33 83,6
Jumlah 40 100%
Sumber Data : Data Primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagaimana


pada tabel tersebut diatas, sebagian besar responden dokter
mengatakan pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak
rumah sakit tidak dapat terlaksana dengan baik (83,6%), yang

-216-
menyatakan kadang-kadang dapat terlaksana 12,2% dan sisanya
menyatakan dapat terlaksana sebanyak 4,2 %.
Selanjutnya tanggapan responden pasien tentang
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas
hak memilih dokter bagi pasien, diperoleh gambaran sebagai
berikut :
Tabel
Distribusi tanggapan Responden Pasien terhadap pemenuhan
tanggung jawab rumah sakit atas Hak untuk Memilih Dokter bagi
pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia
dan RSUD Lakipadada, tahun 2016

Hak memilih dokter bagi


Jumlah Persentase
pasien
Terlaksana 4 3,3
Kadang terlaksana 6 5
Tidak terlaksana 110 91,7
Jumlah 120 100%
Sumber Data: Hasil Penelitian Yang Diolah Pada Tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagaimana


tabel di atas, nampak bahwa 91,7 % pasien menyatakan rumah
sakit tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya untuk
memenuhi hak pasien dalam memilih dokter dalam pelayanan
kesehatan, kadang dapat melaksanakan tanggung jawabnya
memenuhi hak pasien untuk memilih dokter 5 % dan yang
mengatakan dapat melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi
hak pasien memilih dokter dalam pelayanan kesehatan 3,3 %
Berdasarkan tanggapan responden dokter atau pihak
rumah sakit, pelaksanaan tanggung jawab atas hak memilih
dokter bagi pasien tidak terlaksana dengan baik. Hal tersebut
dapat dilihat dari keterangan informan dokter sebagai berikut:

Informan dokter 04/LP-D/2015;


“Salah satu hak pasien dalam pelayanan kesehatan adalah
memilih dan menentukan dokter yang akan memeriksa,
merawat dan melakukan tindakan operatif pada dirinya,
namun kadang sulit untuk mewujudkannya karena
keterbatasan dokter khususnya bagi dokter-dokter spesialis “

-217-
Informan dokter 03/BK-D/2015;
“Sulit mewujudkan hak pasien memilih dokter di rumah
sakit bagi pasien-pasien yang menggunakan kartu asuransi
kesehatan tertentu seperti BPJS karena biasanya hanya
dokter-dokter tertentu saja yang mau melayani pasien BPJS,
berbeda dengan pasien umum yang masuk rumah sakit jauh
lebih leluasa menentukan pilihan dokter yang akan
memeriksa dan yang akan mengobati atau yang akan
mengoperasinya.”

Berdasarkan keterangan informan dokter tersebut, dapat


ditarik kesimpulan bahwa dokter atau pihak rumah sakit sangat
menyadari adanya hak pasien untuk secara bebas memilih dokter
yang akan memeriksa atau memberikan pelayanan medis terhadap
diri pasien. Namun penyebab tidak terlaksananya hak pasien
tersebut dapat disebabkan oleh karena keterbatasan SDM dokter
spesialis yang ada di suatu rumah sakit dan karena status pasien
ketika pertama masuk ke rumah sakit, khususnya bagi pasien
pengguna jaminan kesehatan (asuransi kesehatan/BPJS). Pemenuhan
hak memilih dokter bagi pasien paling memungkinkan terhadap
pasien Umum (non asuransi kesehatan/BPJS), karena memiliki
kemampuan ekonomi yang cukup untuk membayar jasa pelayanan
sehingga lebih bebas memilih dokter atau rumah sakit untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Selanjutnya dari tanggapan responden pasien, pelaksanaan
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas hak memilih
dokter bagi pasien menyatakan belum berjalan dengan baik. Hal
tersebut sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari beberapa
informan, sebagai berikut:

Informan Pasien 02/LP-P /2015;


“kami sulit untuk memilih dokter sesuai dengan yang kami
inginkan untuk memeriksa dan merawat kami, karena setiap
kita masuk ke rumah sakit untuk berobat, kami selalu
diarahkan oleh perawat pada dokter spesialis yang bertugas
pada hari itu, meskipun dokter spesialis yang kami inginkan
berada ditempat dan tidak keluar daerah namun karena tidak
bertugas hari itu maka terpaksa bukan dia yang memeriksa

-218-
kami, dan biasanya kalau tidak bertugas mereka berpraktik di
rumah sakit swasta yang ada di tempat ini.”

1) Informan Pasien 01/BK-P/2015;


“Bagi kami pasien asuransi kesehatan seperti BPJS, kami
hanya menerima pelayanan yang diberikan oleh dokter
siapapun yang melayani kami, karena untuk menunggu giliran
diperiksa saja antriannya panjang sekali, apalagi jika harus
memilih dokter siapa yang akan memeriksa kita tentu
urusannya lebih ribet lagi.”

Berdasarkan keterangan informan pasien tersebut, dapat


disimpulkan bahwa hak untuk memilih dokter tidak terlaksana
dengan baik karena adanya pengaturan jadwal kerja dokter
spesialis yang biasanya hanya seorang spesialis per hari dan
karena status pasien ketika pertama masuk ke rumah sakit
sebagai pasien asuransi (BPJS).
Hasil penelitian membuktikan bahwa sekalipun hak
memilih dokter bagi pasien sebagai tanggung jawab dokter
atau pihak rumah sakit untuk melaksanakannya, namun hak
tersebut tidaklah bersifat mutlak bagi setiap pasien. Hal
tersebut disebabkan oleh karena keterbatasan SDM dokter
spesialis pada satu rumah sakit dan adanya pengaturan jadwal
kerja dokter spesialis, juga oleh karena status pasien ketika
pertama masuk rumah sakit sebagai pasien asuransi
kesehatan/BPJS.
Selain karena faktor-faktor tersebut, tidak terlaksananya
hak pasien untuk memilih dokter dapat pula disebabkan oleh
karena rendahnya tingkat pengetahuan pasien dan kurangnya
penyampaian informasi dari dokter atau pihak rumah sakit
terkait hak-hak pasien dalam memilih. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yani, dkk. (20 08:106) 332 pada
pasien perawatan Kelas III di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Karang Anyar.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Putro (2017) pada
Rumah Sakit Puri Bunda Malang, menemukan bahwa beberapa

332 Yani dkk. 2008. Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Hak dan Kewajiban Pasien Atas
Informasi Medis Pasien Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karang
Anyar. Jurnal Kesehatan. Vol. 2 (2). hlm 106.

-219-
faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih dokter atau
rumah sakit bagi pasien yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi, berpenghasilan mapan dan yang bekerja disektor
swasta, antara lain; kualitas pelayanan, pengalaman masa lalu
pasien, kualitas pelayanan perawat, reputasi, fasilitas, perilaku
dokter dan lingkungan rumah sakit, sedangkan faktor yang
tidak mempengaruhi adalah akses, tarif dan status akreditasi333
Meskipun para dokter menyadari bahwa pelaksanaan
hak untuk memilih dokter tidak bersifat mutlak untuk
dilaksanakan bagi semua pasien karena keterbatasan SDM dan
karena faktor status pasien ketika masuk ke rumah sakit
sebagai pasien asuransi (BPJS), namun setidaknya, tidak ada
perbedaan yang terlalu menyolok antara pasien umum yang
membayar langsung seluruh biaya pemeriksaan kesehatannya
dengan pasien asuransi yang terbatas pada pembayaran iuran
asuransi mereka sesuai dengan kemampuan mereka masing-
masing.
Dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan yang
maksimal, tentunya pasien akan memilih dokter atau rumah
sakit yang telah memahami riwayat penyakit yang dialaminya
untuk mempercayakan kesehatan dan penyembuhan
penyakitnya, meskipun pada dasarnya setiap dokter pada jenis
spesialisasi yang sama memiliki kemampuan rata-rata yang
hampir sama untuk memeriksa, mengobati, merawat dan
bahkan melakukan tindakan medis tertentu yang berkenaan
dengan spesialisasi atau keahliannya.
Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk
mewujudkan hak untuk memilih dokter atau rumah sakit bagi
pasien, namun setidaknya pelayanan yang diberikan kepada
pasien harus memenuhi rasa keadilan bagi mereka semua.
Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh rumah sakit
haruslah berdasarkan prinsip yang aman, bermutu, anti
diskriminatif dan efektif, sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 29 ayat (1) butir b UU No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit. Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No. 29 Tahun 2004
disebutkan bahwa “praktik kedokteran dilaksanakan

333 Putro, Dhamar Sakti Wiyono (2017), Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Pasien Dalam
Memilih Rumah Sakit Puri Bunda Di Kota Malang. Tesis, Universitas Brawijaya. (abstrak).

-220-
berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dan keselamatan pasien.”
Penerapan prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan
bagi para pengguna asuransi kesehatan seperti BPJS dalam
memilih dokter yang akan merawat dirinya perlu
mendapatkan perhatian pemerintah sehubungan dengan
pelayanan kesehatan yang bersifat anti diskriminatif yang
tidak membedakan pelayanan yang diterimanya dengan pasien
umum lainnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 H ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak atas pelayanan
kesehatan adalah bagian dari hukum. Ini artinya setiap orang
atau badan hukum atau bahkan Negara sekalipun harus
menghormati dan berkewajiban memenuhi apa yang menjadi
hak dari orang yang seharusnya mendapatkan pelayanan
kesehatan tanpa harus membedakan antara si kaya dan si
miskin dan pasien umum dan pasien asuransi/BPJS.

d. Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas hak isi rekam


Medis bagi Pasien.
Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas hak isi rekam
medis bagi pasien diperoleh gambaran atas tanggapan responden
dokter sebagai berikut:
Tabel
Distribusi Tanggapan Responden dokter terhadap pelaksanaan
Tanggung jawab rumah sakit atas hak Isi Rekam Medik bagi
pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia
dan RSUD Lakipada, tahun 2016

Hak Isi Rekam Medik bagi


Jumlah Persentase
pasien
Terlaksana 30 75
Kadang terlaksana 5 12,5
Tidak terlaksana 5 12,5
Jumlah 40 100%
Sumber data: Data primer setelah diolah, tahun 2016.

-221-
Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagai mana
tabel tersebut diatas, diperoleh gambaran pelaksanaan tanggung
jawab dokter atau pihak rumah sakit atas hak isi rekam medis
bagi pasien, sebagian besar menyatakan telah terlaksana dengan
baik (75%), kadang-kadang terlaksana dengan baik sebanyak 12,5
dan sisanya mengatakan tidak terlaksana dengan baik sebanyak
12,5%.
Selanjutnya tanggapan responden pasien tentang
pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas Hak Isi Rekam
Medik bagi pasien dalam pelayanan kesehatan, diperoleh
gambaran sebagai berikut:

Tabel
Distribusi Tanggapan Responden Pasien terhadap pelaksanaan
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas Hak Isi Rekam
Medik bagi Pasien pada RSUD Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS
Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Hak Isi Rekam Medik bagi pasien


Jumlah Persentase

Terlaksana 20 16.7
Kadang terlaksana 15 12,5
Tidak terlaksana 85 70,8
Jumlah 120 100%
Sumber data : Data primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagaimana


tersebut pada tabel di atas, diperoleh gambaran pelaksanaan
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit atas hak isi rekam
medis bagi pasien, sebagian besar menyatakan tidak terlaksana
dengan baik (70,8%), terlaksana dengan baik sebanyak 16,7% dan
selebihnya yang kadang terlaksana sebanyak 12,5%.
Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas pelaksanaan
hak atas isi rekam medis, diperoleh gambaran bahwa hampir
sebagian besar dokter telah melaksanakan tanggung jawabnya
untuk memenuhi hak pasien atas isi rekam medis. Hal ini sesuai

-222-
dengan keterangan yang disampaikan oleh beberapa informan
dokter, sebagai berikut:
1) Informan dokter 01/LB-D/2015;
“Segala sesuatu yang tercatat dan perawat wajib menulis
segala informasi yang diperoleh sejak pasien mulai masuk
untuk memeriksakan dirinya mulai dari pemeriksaan
anamnesa, fisik, dan penunjang sampai menegakkan diagnosa
kemudian menuliskan obat apa yang diberikan, tindakan apa
yang dilakukan, nasehat dan saran-saran yang diberikan untuk
kesembuhan pasien dan juga termasuk mencatatkan segala
keluhan-keluhan yang dialami oleh pasien sehubungan dengan
sakitnya selama dalam perawatan sampai pada pasien pulang
meninggalkan rumah sakit.”
2) Informan dokter 03/BK-D/2015;
“Masih ada beberapa dokter atau perawat yang kadang
lalai menulis hasil pemeriksaannya dan menulis seadanya pada
berkas rekam medis pasien, padahal ini sangat penting dalam
memantau perjalan penyakit pasien dan juga dapat menjadi
barang bukti pada pemeriksaan jika terjadi sesuatu yang
terkait dengan masalah hukum dalam hubungan dokter-
pasien.”
3) Informan dokter 02/PL-D/2015;
“Berkas rekam medik itu berisi segala catatan-catatan
medis pasien yang sifatnya rahasia yang harus dilindungi oleh
dokter atau pihak rumah sakit. Isi rekam medis tersebut
menjadi hak pasien sepenuhnya yang tidak boleh dibuka
dimuka umum kecuali atas persetujuan pasien atau karena
kepentingan hukum sedangkan berkasnya adalah milik rumah
sakit yang harus terjaga keutuhannya.”

Dari keterangan yang diperoleh dari informan dokter


tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dokter
memahami tanggung jawabnya untuk melaksanakan hak pasien
atas isi rekam medis, dengan membuat catatan mengenai data dan
informasi medis mulai dari saat pemeriksaan anamneses,
pemeriksaan fisik dan penunjang, serta mencatatkan semua
keluhan-keluhan pasien kedalam berkas rekam medis. Selain itu
dokter atau pihak rumah sakit tetap menjaga kerahasiaan medis
pasien agar tidak dapat diakses oleh pihak yang tidak berhak

-223-
kecuali atas persetujuan pasien atau oleh hal yang diatur dalam
Undang-Undang atau oleh karena kepentingan penyidikan.
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien
diperoleh gambaran bahwa pelaksanaan tanggung jawab dokter
atau pihak rumah sakit atas hak isi rekam medis pasien sebagian
besar menyatakan tidak terlaksana dengan baik. Hal ini sesuai
dengan keterangan yang diperoleh dari beberapa informan
pasien, sebagai berikut:
1) Informan Pasien 01/LB-P/2015;
“Kadang kami mendapati dokter atau petugas medis lalai
atau lambat menulis hasil pemeriksaannya yang telah
dilakukan pada diri kami, meskipun setelah kami dirawat
beberapa hari. Instruksi-instruksi tindakan dan pengobatan
juga ditulis seadanya sehingga kadang sulit untuk dibaca dan
dimengerti, sehingga ketika kami mencoba untuk mencari tau
apa yang ditulis oleh dokter tentang perjalanan penyakit kami,
pengobatan dan tindakan yang diberikan perawat sulit untuk
menjelaskannya, sementara dokter biasanya tidak cukup
waktu untuk menjelaskannya pada kami.”
2) Informan Pasien 01/BK-P/2015;
“Sebagai pasien kami kadang mau mencari tau apa yang
ditulis oleh dokter pada berkas rekam medik kami, namun
kadang kami kesulitan untuk mendapatkan informasi tersebut,
karena petugas atau perawat jaga tidak mengijinkan untuk
kami lihat dan ketahui, padahal kami juga berhak untuk
mengetahui hal-hal apa saja yang di tulis oleh dokter atau
petugas pada berkas rekam medis kami karena ini menyangkut
diri kami, termasuk obat apa yang diberikan, tindakan apa
yang di instruksikan dan lain sebagainya.”

Berdasarkan keterangan dari informan pasien diperoleh


kesimpulan bahwa pelaksanaan tanggung jawab dokter atau
pihak rumah sakit atas hak isi rekam medis tidak terlaksana
dengan baik, disebabkan oleh adanya kesulitan untuk mengakses
isi rekam medis yang ditulis oleh dokter dan kesulitan untuk
membaca dan memahami apa yang ditulis oleh dokter pada
berkas rekam medis pasien. Penyebab dari kesulitan mengakses
dan memahami isi rekam medis yang disebutkan oleh pasien,
karena terkadang dokter lalai menulis atau sekedar membuat

-224-
coretan-coretan yang tidak mudah dipahami oleh pasien dan
karena kurangnya informasi atau penjelasan yang dibutuhkan
oleh pasien terkait isi rekam medis yang ditulis oleh dokter.
Padahal menurut ketentuan pasal 47 ayat (1) Undang-
Undang Praktik Kedokteran, berkas rekam medis merupakan
milik dokter, dokter gigi atau rumah sakit, sedangkan isinya
merupakan milik pasien. Selanjutnya pada Pasal 46 Undang-
Undang Praktik Kedokteran mewajibkan dokter untuk membuat
rekam medis, menuliskan catatan medis segera setelah
memeriksa pasien dan membubuhkan nama, tanda tangan dan
waktu penulisan rekam medis. Kemudian pada pasal 48 Undang-
Undang yang sama menyebutkan bahwa setiap dokter atau dokter
gigi wajib menyimpan rahasia kedokteran, dapat dibuka hanya
untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Lebih lanjut menurut Pasal 12 ayat (4)
Permenkes No.269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis,
menjelaskan bahwa isi rekam medis sebagai milik pasien, dan
berhak untuk memperoleh ringkasan rekam medis, mencatat atau
mengcopy bagian-bagian dari rekam medis.
Sebagai perbandingan penelitian yang dilakukan oleh Diana
Salowong (2013:114)334 tentang kelengkapan berkas rekam medis
di 5 (lima) rumah sakit di Kota palopo yaitu Rumah Sakit Umum
Sawerigading Kota Palopo, Rumah Sakit Atmedika, Rumah Sakit
Bintang Laut, Rumah Sakit ibu dan Anak St. Madyang,
memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dokter telah
membuat rekam medis dan telah memahami tentang rahasia
medis pasien yang harus disimpan dan dilindungi oleh dokter

334 Salowong, Diana. 2013. Rekam Medis Sebagai Alat Perlindungan Hukum Bagi Pasien Di
Rumah Sakit. Tesis. Universitas Hasanuddin, hlm. 114.

-225-
atau pihak rumah sakit, namun dalam hal kelengkapan isi rekam
medis masih terdapat dokter yang lalai memenuhi kewajibannya
untuk mencatatkan atau mengisi berkas rekam medis, tidak
menulis nama dengan jelas, tidak menandatangani hasil catatan
atau tulisan yang dibuatnya dan membuat catatan yang tidak
dapat dibaca dengan jelas.
Rekam medis yang baik dan dianggap sah yaitu apabila di isi
secara lengkap dengan tulisan yang dapat dibaca dengan mudah
dan dibubuhi paraf atau tanda tangan dengan nama yang jelas
oleh dokter yang membuat catatan atau tulisan itu sendiri. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Praktik
Kedokteran Nomor 29 tahun 2004. Pasal 46, yang menyebutkan
Setiap pencatatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan
tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan
medis.
Pengaturan tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk
pertanggungjawaban hukum terhadap dokter yang bersangkutan
atas pelayanan atau tindakan medis yang dilakukannya terhadap
pasien, sehingga pada suatu ketika terjadi gugatan atau tuntutan
hukum yang dilakukan oleh pasien atau keluarganya, maka
dengan mudah untuk menentukan dokter siapa yang seharusnya
bertanggung jawab.
Hermien Hadiati Koeswadji (1992: 144)335 menyebutkan
ada tiga hal yang menjadi alasan, mengapa dokter diwajibkan
untuk membuat tanda tangan dan menulis nama dengan jelas
setiap saat setelah selesai memberikan suatu pelayanan atau
tindakan medis terhadap pasien yaitu:

335 Hermin Hadiati koeswadji, 1992. Opcit hlm. 144

-226-
1) Pasien harus dilindungi;
2) Tandatangan dokter yang merawat itu relevan apabila kasus
tersebut sampai di pengadilan; dan
3) Untuk mencegah kegagalan bagi rumah sakit dalam
memperoleh akreditasi.

Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit


terhadap hak pasien atas isi rekam medis dapat dilihat pada
pengisian berkas rekam medis yang lengkap, jelas dan mudah
dibaca, sehingga data dan informasi medis pasien dapat terekam
dengan baik dan tidak menimbulkan keraguan atau kesalahan
interpretasi oleh dokter lain yang akan melanjutkan pengobatan
atau perawatan pasien atau tenaga kesehatan lainnya dalam
melaksanakan instruksi-instruksi yang dibuat oleh dokter dan
pasien atau keluarganya ketika mengakses isi rekam medis
tersebut. Kelalaian dokter dalam mencatatkan dan mengisi berkas
rekam medis secara lengkap, jelas dan mudah dibaca dapat
melemahkan pembelaan dokter dimuka pengadilan ketika
menghadapi gugatan atau tuntutan hukum oleh pasien.

-227-
-228-
BAB IX
PENERAPAN SANKSI HUKUM DALAM
KELALAIAN MEDIS
(Analisis hasil Penelitian)

Hukum merupakan sebuah tatanan sosial yang mengatur


perilaku manusia untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan
tertentu agar dapat tercipta suatu keharmonisan dalam masyarakat.
Agar hukum dapat berlaku secara efektif dalam masyarakat, maka
hukum harus memiliki kekuatan memaksa untuk dipatuhi. Kekuatan
memaksa untuk dipatuhi tersebut dikenal sebagai sanksi hukum.
Siapapun orang yang melanggar ketentuan hukum harus berhadapan
dengan sanksi hukum. Pelanggaran atas hukum yang berlaku tanpa
disertai dengan sanksi hukum akan membuat hukum kehilangan
wibawa. Rocky Marbun, dkk (2012: 124-125)336 menjelaskan bahwa
Hukum itu sendiri berarti segala peraturan atau kaidah-kaidah dalam
kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi
dalam pelaksanaannya. Sanksi secara umum disebut juga sebagai
hukuman, baik dalam bentuk pidana, perdata dan administrasi
Sanksi hukum hanya diberikan terhadap orang yang melanggar
hukum, sebagai sebuah bentuk pemaksaan demi tegaknya hukum di
masyarakat. Hadjon dkk (2005: 262-265)337 mengemukakan bahwa
tiada gunanya kaidah hukum manakala kaidah tersebut tidak dapat
dipaksakan melalui sanksi, sehingga salah satu upaya pemaksaan
hukum (law enforcement) adalah melalui pemberlakuan sanksi
pidana terhadap pelanggar kaidah hukum, yang berupa pidana
penjara, maupun harta benda dalam bentuk denda

336 Marbun Rocky, dkk. 2012. Kamus Hukum Lengkap: Mencakup Istilah Hukum & Perundang-
undangan Terbaru. Jakarta: Penerbit Visimedia. hlm. 124-125.
337 Hadjon, M. Philipus dkk.2005. Hukum Administrasi Negara. Yogtakarta: Gadjah Mada
University Press. hlm. 262-265.

-229-
Penerapan sanksi hukum, berbeda dengan sanksi sosial di
masyarakat. Sanksi hukum adalah sanksi yang diatur menurut
ketentuan hukum yang berlaku (hukum materil) pada saat perbuatan
melanggar hukum tersebut dilakukan (asas legalitas) dan kepada
pelaku dapat dibuktikan kesalahannya (asas kesalahan). Penerapan
sanksi hukum sebagai mana yang diatur oleh hukum, harus
dilaksanakan menurut tata cara yang diatur didalam hukum pula,
yaitu mengenai ruang lingkup cara pelaksanaan hukuman, berat-
ringannya hukuman, dan upaya yang tersedia bagi tersangka atau
terdakwa dalam membela diri atas dakwaan yang diberikan
kepadanya.
Dalam penegakan hukum dikenal asas equality before the law,
yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum.
Orang yang berbuat benar sesuai dengan ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan akan mendapatkan jaminan
perlindungan hukum, dan sebaliknya orang yang terbukti melakukan
kesalahan akan mendapatkan sanksi hukum yang setimpal. Dalam
hal ini, juga berlaku sama terhadap profesi dokter. Jika dalam
menjalankan tugas profesionalnya dengan baik sesuai dengan
standar profesi, standar operasional prosedur dan standar-standar
pelayanan medik yang berlaku di rumah sakit, maka apapun hasil
dari tindakan medis yang dilakukannya, termasuk kerugian, cacat
atau meninggalnya seorang pasien, maka dokter tetap berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari segala gugatan atau tuntutan
hukum yang diarahkan kepadanya. Sebaliknya jika seorang dokter
terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan
tugas profesionalnya yang tidak bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar operasional prosedur dan standar-standar
pelayanan medik yang berlaku di rumah sakit, maka dokter wajib
menanggung sanksi hukum atas kerugian, cacat atau meninggalnya
seorang pasien yang berada dalam perawatannya.
Penerapan sanksi hukum terhadap dokter yang terbukti
melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga menyebabkan
kerugian, cacat atau meninggalnya pasien, dapat dalam bentuk sanksi
hukum pidana, perdata dan administrasi tergantung pada jenis
pelanggaran dan akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut.
Penerapan sanksi hukum tersebut dapat secara tersendiri atau
merupakan gabungan dari sanksi hukum lainnya. Misalnya seorang
dokter dapat dikenakan sanksi hukum administrasi bersamaan

-230-
dengan sanksi hukum pidana atau sanksi hukum pidana bersamaan
dengan sanksi hukum perdata atau ketiga-tiganya secara bersamaan
yaitu sanksi hukum pidana, perdata dan sanksi administrasi.
Penerapan sanksi hukum administrasi dapat dijatuhkan
terhadap dokter yang terbukti melakukan pelanggaran hukum
administrasi dan pelanggaran atas kewajiban disiplin profesi dalam
melaksanakan praktik kedokterannya. Beberapa bentuk sanksi
hukum administrasi yang dimaksud yaitu sanksi teguran lisan atau
tertulis, pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersifat sementara
atau tetap, pemberhentian dalam jabatan dokter, Pencabutan Surat
Tanda Registrasi (STR) dokter, penundaan kenaikan pangkat dan
hukuman administrasi lainnya menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Selanjutnya penerapan sanksi hukum
perdata yang dapat dijatuhkan terhadap dokter yang terbukti
melakukan pelanggaran hukum perdata, yaitu dalam bentuk ganti
kerugian. Ganti kerugian yang dimaksud dapat berupa pengembalian
ke keadaan semula, ganti kerugian dalam bentuk uang dan natura.
Ganti kerugian mencakup kerugian yang riil dialami oleh pasien,
ongkos-ongkos yang dikeluarkan (biaya) selama kerugian tersebut
dan bunga atau keuntungan yang dapat diperoleh pasien jika
kerugian tersebut tidak terjadi. Selanjutnya penerapan sanksi hukum
pidana dapat dijatuhkan terhadap dokter yang terbukti melanggar
hukum pidana, yaitu dalam bentuk kurungan badan atau penjara.
Penerapan sanksi hukum administrasi dilaksanakan oleh
organisasi profesi dokter atas rekomendasi dari Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau oleh Majelis Kode Etik
Kedokteran Indonesia (MKEK), setelah memeriksa dan mengadili
dokter yang bersangkutan atas laporan yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap seorang dokter yang diduga melakukan
kelalaian medis. Sedangkan penerapan sanksi hukum perdata dan
pidana ditetapkan oleh hakim setelah memeriksa dan mengadili
gugatan atau tuntutan hukum yang dilakukan oleh pasien atau
keluarganya melalui kuasa hukumnya.
Penerapan sanksi hukum terhadap dokter yang terbukti
melakukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian,
cacat atau meninggalnya seorang pasien masih bersifat
kontroversial. Para dokter atas rasa keadilannya menilai bahwa
sanksi hukum tidaklah tepat bagi seorang dokter yang dalam
menjalankan tugas kemanusiaannya, mengingat kerugian, cacat atau

-231-
meninggalnya pasien tersebut, sangat tidak dikehendaki oleh
seorang dokter. Sebaliknya pasien atas rasa keadilannya menilai
bahwa penerapan sanksi hukum terhadap dokter tidak berjalan
dengan baik, karena sangat jarang dokter mengalami sanksi hukum
dan kalaupun dikenai sanksi hukuman, biasanya sangat ringan.
Penerapan sanksi hukum bagi dokter, merupakan bentuk
pertanggungjawaban hukum atas kesalahan dan kelalaiannya dalam
melaksanakan praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar-
standar pelayanan yang berlaku, secara khusus pelanggaran
terhadap standar operasional prosedur (SOP) dalam pelaksanaan
tindakan medis.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan pelanggaran atas
kewajiban hukum dokter, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51
huruf a Undang-Undang Praktik kedokteran. Undang-Undang Praktik
Kedokteran mengatur kewajiban dokter untuk melaksanakan praktik
kedokteran sesuai dengan SOP. Kemudian pada Pasal 29 ayat (1)
huruf b Undang-Undang Rumah sakit, juga mewajibkan setiap
pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien harus sesuai dengan
SOP. Selanjutnya, pada Pasal 24 Undang-Undang Kesehatan,
mewajibkan setiap tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan wajib memenuhi standar operasional prosedur.
Meskipun Standar Operasional Prosedur sedemikian ketat diatur
dalam pasal-pasal ke tiga Undang-Undang tersebut diatas, namun dalam
kenyataannya masih saja didapati praktik-praktik pelayanan kesehatan
yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Hasil
penelitian yang dilaksanakan oleh Bayu Langlang Kartika dan Antik
Pujihastuti (2015: 79), menunjukkan bahwa petugas kesehatan dalam
melaksanakan rujukan medis pasien Gawat Darurat ke rumah sakit yang
berkemampuan lebih tinggi, belum sepenuhnya melaksanakan standar
operasional prosedur rujukan pasien sesuai dengan Permenkes 001
Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan338. Selanjutnya, Rohman Taufiq (2019:64), juga menemukan

338 Kartika, Bayu Langlang dan Antik Puji Hastuti,2015. Tinjauan Pelaksanaan Standar
Operasional Prosedur Pasien Gawat Darurat yang Dirujuk di Rsu Jati Husada
Karanganyar(Review Of Standard Operating Procedure Emergency Patients Referred In RSU
Jati Husada Karanganyar). IJMS Indonesian Journal On Medical Science. Volume 2 (1). hlm.79

-232-
bahwa tidak semua satuan unit kerja rumah sakit memiliki Standar
operasional Prosedur, sebagai acuan dalam memberikan pelayanan.339
Selanjut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
di beberapa rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2015-
2016, yaitu; RSUD Labuang Baji, RS. Bhayangkara, RS. Pelamonia dan
RSUD Lakipadada Tanatoraja, dalam hal penerapan sanksi hukum bagi
dokter yang melakukan kelalaian medis tidak bekerja sesuai dengan SOP
diperoleh tanggapan yang beragam baik dari kalangan dokter maupun
dari kalangan pasien.
Mengenai tanggapan responden dokter terhadap penerapan
sanksi hukum atas kelalaian medis yang bekerja tidak sesuai dengan
SOP diperoleh gambaran sebagai berikut:

Tabel
Distribusi tanggapan responden dokter atas penerapan sanksi
hukum bagi dokter yang melakukan kelalaian medis, bekerja tidak
sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)Pada RSUD Labuang Baji,
RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Penerapan sanksi hukum bagi dokter


Persentase
yang melakukan kelalaian medis tidak Jumlah
(%)
bekerja sesuai SOP

Terlaksana dengan baik 5 12,5


Kadang terlaksana dengan baik 8 20
Tidak terlaksana dengan baik 27 67,5
Jumlah 40 100%
Sumber data: Data Primer setelah diolah, Tahun 2016.

Berdasarkan tabel diatas, memperlihatkan tanggapan


responden dokter yang mengatakan bahwa penerapan sanksi hukum

339 Taufiq, Abd. Rohman. 2019. Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) Dan
Akuntabilitas Kinerja Rumah sakit. Profita Komunikasi Ilmiah Akuntansi dan Perpajakan.
Volume12(1).hlm.64

-233-
bagi dokter yang dinyatakan melakukan kelalaian medis, bekerja
tidak sesuai SOP, sebagain besar mengatakan tidak terlaksana
dengan baik (67%), kadang terlaksana (20%) dan sisanya terlaksana
dengan baik (12,5%).
Selanjutnya berdasarkan tanggapan Responden Pasien
terhadap penerapan Sanksi Hukum bagi dokter yang dinyatakan
melakukan kelalaian medis yang bekerja tidak sesuai SOP, diperoleh
gambaran sebagai berikut:

Tabel
Distribusi tanggapan responden pasien atas penerapan sanksi
hukum bagi dokter yang melakukan kelalaian medis, bekerja tidak
sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) pada RSUD Labuang Baji,
RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Penerapan sanksi hukum bagi dokter


yang melakukan kelalaian medis tidak
Jumlah Persentase
bekerja sesuai SOP

Terlaksana dengan baik 6 5


Kadang terlaksana dengan baik 18 15
Tidak terlaksana dengan baik 96 80
Jumlah 120 100%
Sumber Data : Data Primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tabel di atas, memperlihatkan sebagian besar


pasien mengatakan bahwa penerapan sanksi hukum terhadap dokter
yang melakukan kelalaian medis bekerja tidak sesuai SOP tidak
terlaksana dengan baik (80%) kadang terlaksana (15%) dan sisanya
terlaksana (5%).
Dari sudut pandang responden dokter mengenai penerapan
sanksi hukum belum terlaksana dengan baik, diperoleh keterangan
dari beberapa Informan sebagai berikut:
1. Informan dokter 01/LB-D/2015;
“Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat
instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu. Seorang dokter dalam
memberikan pelayanan medis kepada pasien wajib bekerja sesuai

-234-
dengan Standar Operasional Prosedur yang telah ditetapkan.
Kelalaian dama menerapkan prinsip kerja sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam SOP dapat berakibat fatal bagi keselamatan
pasien, Salah satu penyebab utama malpraktik kedokteran adalah
kelalaian dalam menerapkan SOP dalam setiap tindakan medis.”
2. Informan dokter 04/LP-D/2015;
“Penerapan sanksi hukum terkait pelayanan dokter di
rumah sakit yang tidak sesuai dengan SOP belum berjalan dengan
efektif dan masih sangat lemah baik dari segi sanksi administratif,
perdata dan pidana. Hal ini disebabkan karena penanganan kasus
dugaan malpraktik atas dasar pengaduan masyarakat, sehingga
masih banyak kasus-kasus yang terselubung dan tidak terungkap
karena adanya sikap pasrah dan ketidaktahuan dari pasien atau
keluarganya bahwa sebenarnya telah terjadi malpraktik karena
kelalaian dokter berkerja tidak sesuai SOP tertentu.”
3. Informan dokter 02/PL-D/2015;
“Diperlukan telaah kasus yang mendalam dalam
menentukan sanksi hukum terhadap dugaan malpraktik dokter
yang tidak bekerja sesuai dengan SOP, karena masyarakat hanya
melihat peristiwa yang terjadi dari sebuah tindakan medis yang
belum tentu sepenuhnya karena kesalahan atau kelalaian dokter
tetapi mungkin sebagai akibat dari risiko medis, sehingga
pengadilan seharusnya tidak gegabah memutus perkara dugaan
malpraktik. Terkadang teman sejawat kami merasa ter
krimimalisasi oleh putusan-putusan pengadilan yang tidak
memahami proses pelaksanaan tindakan medis yang dilakukan
oleh teman sejawat kami sehingga teman sejawat kami terpaksa
harus mendekam di bui.”

Dari sudut pandang responden pasien mengenai penerapan


sanksi hukuman yang belum berjalan dengan baik terhadap dokter
yang melakukan kelalaian medis tidak bekerja sesuai SOP, diperoleh
keterangan dari beberapa informan, sebagai berikut:
1. Informan pasien (03/LB-P/2015) di RSUD Labuang Baji.
“Penerapan sanksi hukum bagi dokter yang tidak bekerja
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur masih sangat lemah.
Dokter atau pihak rumah sakit selalu berlindung di balik
organisasi profesinya dalam hal menilai adanya kesalahan atau
kelalaian dokter. Kita ini orang awam terhadap tindakan medis,

-235-
kami tidak mengerti apakah ada kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan SOP atau tidak, hanya dokter lah yang tahu. Jadi
meskipun ada kerugian di pihak kami tentulah organisasinya akan
selalu membela anggotanya.”
2. Informan pasien (02/BK-P/2015), di RS. Bhayangkara.
“Penerapan sanksi hukum terhadap dokter yang tidak
bekerja sesuai dengan SOP masih sangat lemah, sangat jarang kita
mendengarkan dokter yang menyebabkan kematian pasien di
hukum berat. Toh kalau ijin praktiknya di cabut hanya bersifat
sementara saja, sedangkan untuk kurungan badan sangat singkat.
padahal salah satu tujuan dari penerapan sanksi adalah untuk
menimbulkan efek jera, agar bertindak lebih hati-hati dalam
pelayanan kesehatan.”
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa dokter sangat mengetahui dan memahami bahwa
pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam setiap
tindakan medis merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh dokter, untuk mencegah agar pasien tidak
mengalami kerugian, cacat atau kematian. Penerapan sanksi
hukum terhadap dokter harus dilakukan secara profesional oleh
hakim, apakah kerugian, cacat atau meninggalnya seorang pasien
karena kesalahan SOP atau karena suatu risiko medis yang tidak
dapat dicegah. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa
pasien tidak memahami SOP tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter dan masih terdapat asumsi bahwa Organisasi Profesi
dokter tidak bertindak independen dalam penanganan kasus-
kasus dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter.
Selanjutnya mengenai bentuk pertanggungjawaban hukum
atas kelalaian medis bagi dokter yang bekerja tidak sesuai Standar
Operasional Prosedur (SOP) di bidang hukum pidana, perdata dan
administrasi, diperoleh keterangan dari informan dokter dan
pasien sebagai berikut:
1) Sanksi hukum Pidana.
Tanggapan Informan dokter mengenai sanksi hukum
pidana atas kelalaian medis yang menyebabkan pasien
mengalami cedera, cacat atau meninggal diperoleh keterengan,
sebagai berikut:

-236-
1. Informan dokter 02/PL-D/2015;
“Kurungan badan atau penjara sebagai bentuk
pertanggungjawaban hukum pidana bagi dokter dalam
menjalankan praktik kedokterannya yang karena kesalahan
atau kelalaian menyebabkan cedera, cacat atau
meninggalnya seseorang adalah sebuah bentuk
kriminalisasi, karena dokter bukanlah penjahat yang
dengan sengaja melakukan kejahatan, tetapi semata-mata
karena alasan medis demi untuk keselamatan pasien.”
2. Informan dokter 04/LP-D/2015;
“Penahanan sudah sepantasnya bagi dokter yang
dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
seperti tindakan abortus provokatus criminalis “tetapi
untuk tindakan abortus provocatus medicinalis tentunya
dokter tidak dapat ditahan, karena dilakukan demi untuk
menyelamatkan sang ibu.”

Berdasarkan keterangan dari informan dokter tersebut


diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya dokter
menolak pemberian sanksi pidana berupa kurungan badan
atau penjara atas kelalaian dokter dalam melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) tindakan medis yang
menyebabkan terjadinya cedera, cacat atau kematian pasien,
kecuali oleh karena kesengajaan atau kejahatan dalam
melakukan perbuatan melanggar hukum yang diancam dengan
pidana, misalnya pada tindakan abortus provocatus criminalis.
Bahwa sebagai manusia biasa tentunya dokter tidak lepas dari
kesalahan ataupun kelalaian, sehingga tidak semua tindakan
dokter yang dilakukan pada pasien berhasil sesuai dengan
yang dikehendaki.
Selanjutnya tanggapan informan pasien terhadap
penerapan sanksi hukum pidana bagi dokter yang melakukan
kelalaian medis bekerja tidak sesuai SOP, diperoleh keterangan
sebagai berikut:
a. Informan Pasien 02/LB-P/2015;
“Meskipun pihak dokter tidak setuju bentuk sanksi
hukum pidana penjara atau kurungan badan dengan alasan
tindakan yang dilakukannya untuk keselamatan pasien dan

-237-
bukan karena kesengajaan, tetapi untuk kasus-kasus yang
berat seperti kematian pasien harus tetap ditahan.”
b. Informan Pasien 02/BK-P/2015;
“Kami tidak paham tentang standar operasional
prosedur dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
kepada pasien. Tetapi jika karena tindakan operasi yang
menyebabkan kematian pasien perlu diselidiki, jika terdapat
kesalahan dokter, sebaiknya dokternya tetap harus ditahan.”
Berdasarkan keterangan informan pasien tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana berupa
kurungan badan atau penjara terhadap dokter adalah hal
yang wajar sepanjang dapat dibuktikan adanya kesalahan
atau kelalaian dokter, apalagi jika akibat kesalahan atau
kelalaian tersebut mengakibatkan kematian pada pasien. Hal
ini sekaitan dengan rasa keadilan masyarakat bahwa setiap
kesalahan harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak mengatur secara
eksplisit tentang pemidanaan terhadap seorang dokter atas
kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan cacat atau
kematian seorang pasien. Namun tidak lah berarti bahwa
seorang dokter tidak dapat dipidana atas kesalahan dan
kelalaian yang dilakukannya, yang mengakibatkan cacat atau
kematian terhadap pasien. Pintu masuk untuk menuntut
pidana terhadap seorang dokter tetap terbuka, sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan pasal 66 ayat (3) Undang-
Undang Praktik Kedokteran. Dalam hal seorang dokter telah
bekerja sesuai dengan Standar profesi, standar operasional
prosedur, standar sarana dan prasarana yang berlaku, telah
bertindak dengan sangat hati-hati dan telah mendapatkan
persetujuan tindakan medis (informed consent) dari pasien
atau keluarganya, maka dokter tidak dapat dituntut pidana.
Justru dokter harus mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum dalam menjalankan tugas profesinya.
Karena cacat atau kematian pasien dapat saja terjadi oleh
karena suatu risiko medis yang tidak dapat dielakkan,
meskipun dokter telah bekerja sesuai dengan standar yang
berlaku dan dengan sangat hati-hati.

-238-
2) Sanksi Hukum Perdata.
Tanggapan Informan dokter atas penerapan sanksi
hukum perdata bagi dokter yang melakukan kelalaian medis
tidak bekerja sesuai SOP, sebagai berikut:
(1) Informan Dokter 04/LP-D/2015:
“Bentuk penerapan sanksi hukum perdata bagi
dokter tentunya adalah mengganti kerugian yang dialami
oleh pasien karena kesalahan atau kelalaian dokter.
Namun penerapan ganti rugi ini haruslah dalam hal yang
wajar sesuai dengan berat-ringanya kerugian yang dialami
oleh pasien.”
(2) Informan Dokter 02/PL-D/2015:
“Tidak semua kerugian yang dialami oleh pasien
seluruhnya dibebankan pada dokter, karena terkadang
didalamnya juga ada unsur kesalahan atau kelalaian
pasien yang tidak menuruti anjuran dokter dalam
pengobatan.”

Berdasarkan keterangan informan dokter tersebut diatas


dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sanksi hukum perdata
lebih dapat diterima oleh dokter dari pada sanksi pidana. Ganti
kerugian yang dibebankan kepada dokter harus sesuai dengan
tingkat kewajaran menurut berat-ringannya kerugian yang
dialami oleh pasien. Dalam hal kerugian yang dialami oleh
pasien oleh karena kesalahan atau kelalaian dari pihak pasien
(contributory negligence), maka kerugian tersebut tidak dapat
dibebankan kepada dokter.
Selanjutnya tanggapan informan pasien dalam
penerapan sanksi perdata terhadap dokter yang melakukan
kelalaian medis bekerja tidak sesuai SOP, diperoleh keterangan
sebagai berikut:
a. Informan Pasien 01/BK-P/2015:
“Ganti rugi yang dialami oleh pasien akibat kesalahan
atau kelalaian dokter adalah hal yang wajar dan sepatutnya,
namun sangat jarang terjadi, karena kesulitan kami untuk
membuktikan kesalahan atau kelalaian tersebut”.
b. informan Pasien 03/LB-P/2015.
“Setidaknya dokter atau pihak rumah sakit
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pasien,

-239-
terhadap hasil tindakan medis atau pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien, khususnya terhadap kasus-
kasus yang nampak secara kasat mata dan tidak perlu
pembuktian yang ribet, seperti adanya kain kasa, atau
peralatan kedokteran yang tertinggal didalam tubuh pasien”.
Pasien jangan dibebani lagi dengan tambahan biaya atau
obat-obatan untuk tindakan operasi ulang”.

Berdasarkan keterangan dari informan pasien dapat


disimpulkan bahwa penerapan sanksi hukum perdata
merupakan hal yang wajar dan patut sepanjang kelalaian
medis tersebut dapat dibuktikan. Pasien mengalami kesulitan
dalam melakukan pembuktian terhadap kesalahan atau
kelalaian dokter yang menyebabkan terjadinya kerugian yang
dialaminya karena ketidaktahuan pasien atas tindakan medis
sesuai SOP. Satu-satunya yang menjadi pegangan pasien
apabila terjadi fakta kasus yang terjadi secara kasat mata,
seperti tertinggalnya kain kasa atau peralatan kedokteran
dalam tubuh pasien.
Atas dasar kesulitan pembuktian kesalahan dan kelalaian
dokter, kasus gugatan perdata ganti kerugian sangat jarang
terjadi, karena beban pembuktian berada pada pihak pasien
selaku penggugat. Sebagaimana dalam Pasal 1865 KUH Perdata
yang berbunyi “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut”.
3) Sanksi Hukum Administrasi.
Tanggapan informan dokter terhadap pelaksanaan sanksi
hukum administrasi bagi dokter yang melakukan kelalaian
medis tidak bekerja sesuai SOP, sebagai berikut
a. Informan dokter 01/LB-D/2015:
“Bentuk sanksi administrasi yang paling sering
dilakukan pada dokter adalah berupa teguran baik lisan
maupun tertulis. Pencabutan surat tanda registrasi (STR) dan
Surat Ijin Praktik (SIP) atau kewajiban untuk mengikuti
pendidikan atau pelatihan di fakultas kedokteran
(reschooling).”

-240-
b. Informan Dokter 02/PL-D/2015:
“Seharusnya setiap dugaan malpraktik yang
dituduhkan pada seorang dokter terlebih dahulu di serahkan
ke majelis Kehormatan disiplin kedokteran Indonesia
(MKDKI) untuk melihat apakah dugaan tersebut benar-benar
perbuatan malpraktik ataukah hanya pelanggaran disiplin
saja.”

Berdasarkan keterangan tersebut diatas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa setiap penanganan dugaan kelalaian medis yang
dilakukan oleh dokter bekerja tidak sesuai SOP terlebih dahulu
harus melalui Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) untuk menilai apakah dalam kasus tersebut
terdapat unsur perbuatan melawan hukum atau hanya pelanggaran
disiplin dengan sanksi dapat berupa teguran lisan atau tertulis,
pencabutan STR dan SIP serta mengikuti pendidikan dan pelatihan
tambahan di fakultas kedokteran.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Praktik Kedokteran yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan
atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan
waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”

Selanjutnya dari tanggapan informan pasien dalam


penerapan sanksi hukum administrasi terhadap kelalaian medis
bagi dokter tidak bekerja sesuai SOP, sebagai berikut:
a. Informan Pasien 01/BK-P/2015:
“Sebaiknya dokter yang melakukan malpraktik surat izin
parakteknya dicabut saja dan dipensiunkan dari jabatan dokter
agar tidak semakin banyak pasien yang menjadi korban.”

-241-
b. Informan Pasien 03/LB-P/2015:
“Penerapan sanksi administrasi saja tidak cukup, perlu
sanksi yang lebih berat agar ada efek jera bagi dokter dan agar
lebih berhati-hati dalam menjalankan praktik kedokterannya.”
c. Informan Pasien 02/LP-P /2015:
“Laporan penanganan kasus dugaan malpraktik dokter
biasanya kami laporkan langsung ke penyidik karena kalau
melalui majelis disiplin kedokteran palingan hukuman
administrasi saja, itupun sangat ringan, padahal pasien dan
keluarganya sangat menderita bahkan sampai ada yang
meninggal”.

Berdasarkan keterangan tersebut diatas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa pasien lebih memilih penanganan dugaan
kelalaian medis yang dilakukan oleh dokter bekerja tidak sesuai
SOP langsung ke penegak hukum dari pada melalui MKDKI. Pasien
menghendaki agar pelaksanaan sanksi hukum tidak hanya hukum
administrasi, melainkan sanksi hukum lainnnya untuk
menimbulkan efek jera bagi dokter lainnya untuk bekerja lebih
profesional.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai penerapan sanksi
hukum terhadap dokter yang melakukan kelalaian medis, bekerja
tidak sesuai SOP dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran,
sebagai berikut:
a. Setiap pelaksanaan pelayanan kesehatan atau tindakan medis
yang dilakukan oleh dokter harus sesuai dengan Standar
Operasional Prosedur (SOP).
b. Penanganan kasus dugaan kelalaian medis bagi dokter yang
bekerja tidak sesuai dengan SOP terlebih dahulu ditangani
melalui MKDKI untuk menilai adanya pelanggaran disiplin
dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
c. Tidak semua kerugian, cacat atau kematian pasien karena
adanya kelalaian medis, karena dapat saja terjadi oleh suatu
risiko medis.
d. Dokter berhak mendapat perlindungan hukum, sepanjang dalam
menjalankan praktik kedokteran sesuai dengan standar
pelayanan yang berlaku
e. Dokter tidak dapat dibebani pertanggungjawaban hukum atas
kerugian yang dialami oleh pasien oleh karena kesalahan atau
kelalaian pasien itu sendiri.

-242-
BAB X
PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB
RUMAH SAKIT DALAM PELAYANAN
KESEHATAN YANG IDEAL
(Analisis Hasil Penelitian)

Pada dasarnya, dokter atau pihak rumah sakit bertanggung


jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan yang ideal terhadap
pasien. Pelayanan kesehatan yang ideal adalah pelayanan kesehatan
yang berasaskan Pancasila, dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan
dan keselamatan pasien. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Agar tanggung
jawab ini dapat terlaksana dengan baik, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang yang sama, mewajibkan
dokter untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar-standar
pelayanan kedokteran sebagai pedoman yang harus di ikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran.
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal oleh
dokter atau pihak rumah sakit terhadap pasien, maka pelaksanaan
pelayanan kesehatan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan
standar kompetensi dan kewenangan dokter (standar profesi), sesuai
dengan metode atau cara pelaksanaan tindakan yang telah di
standarisasi (standar pelayanan medis) dan berdasarkan suatu
perilaku profesional yang berlaku di kalangan dokter (standar etika
profesi).
Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan tanggung jawab
dokter atau pihak rumah sakit terhadap pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang ideal terhadap pasien, sesuai dengan Standar Profesi,
Standar Pelayanan Medis dan Standar Etika Profesi Kedokteran,
berikut dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
pada beberapa rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu;
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji, RS Bhayangkara,
RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, pada tahun 2015.

-243-
Pelaksanaan Tanggung jawab rumah sakit atas pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai Standar Profesi

Berdasarkan tanggapan responden dokter atas pelaksanaan


tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan medis yang ideal
sesuai dengan standar profesi dokter diperoleh gambaran sebagai
berikut :
Tabel
Distribusi tanggapan Responden dokter terhadap pelaksanaan
tanggung jawab rumah sakit atas pelayanan kesehatan yang ideal
sesuai dengan Standar Profesi pada RSUD Labuang Baji, RS
Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Pelaksanaan Standar Profesi Jumlah Persentase


dokter dalam pelayanan
kesehatan kepada pasien di rumah
sakit
Terlaksana 31 77, 5
Kadang terlaksana 7 17,5
Tidak terlaksana 2 5

Jumlah 40 100%

Sumber Data : Data Primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagaimana tabel di


atas, diperoleh gambaran sebagian besar dokter mengatakan pelaksanaan
tanggung jawab pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal terhadap
pasien sesuai dengan Standar Profesi Dokter terlaksana dengan baik
(77,5%), kadang terlaksana (17,5%) dan sisanya tidak terlaksana (5%)
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien atas
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal terhadap pasien sesuai
Standar Profesi dokter, diperoleh gambaran sebagai berikut:

-244-
Tabel
Distribusi tanggapan Responden pasien atas pelaksanaan tanggung
jawab rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang
ideal terhadap pasien sesuai dengan Standar Profesi pada RSUD
Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada,
tahun 2016.

Standar Profesi Jumlah Persentase


Terlaksana 85 70,8
Kadang terlaksana 20 16,7
Tidak terlaksana 15 12,5
Jumlah 120 100%
Sumber Data: Data Primer, setelah diolah tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagai mana pada


tabel di atas, diperoleh gambaran sebagian besar mengatakan
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumahsakit dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal sesuai dengan standar
profesi, telah terlaksana dengan baik (70,8%,) kadang terlaksana
(16,7%) dan sisanya mengatakan tidak terlaksana (12,5%).
Menurut tanggapan sebagian besar responden dokter,
pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit dalam
pelayanan kesehatan yang ideal sesuai Standar profesi telah
terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang
disampaikan oleh informan dokter, sebagai berikut:
1) Informan dokter 01/LB-D/2015:
“Pengaturan bentuk tanggung jawab rumah sakit yang ideal
dalam pelayanan kesehatan yang bermutu kepada pasien adalah
semua tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter harus
berdasarkan standar profesi dokter yaitu menyangkut
kewenangan, kompetensi dan ketersediaan sarana dan prasarana
yang sesuai untuk tindakan medis yang akan dilakukan.”
2) Informan Dokter 04/LP-D/2015:
“Salah satu faktor dalam menilai perbuatan malpraktik bagi
dokter dalam menjalankan tugas profesinya adalah bekerja tidak
sesuai dengan standar profesinya.”

-245-
3) Informan dokter 03/BK-D/2015:
“Sulit mengukur standar profesi dokter, karena sangat
dipengaruhi dengan pengalaman menangani kasus, ketersediaan
alat-alat kedokteran sebagai pendukung tindakan kedokteran
yang akan dilakukan.”
4) Informan dokter 02/PL-D/ 2015.
“Belum ada keseragaman pelaksanaan Standar Profesi
dokter yang telah tersusun dengan baik berdasarkan klasifikasi
penyakit dan tindakan medis yang sesuai.”

Dari keterangan yang disampaikan oleh para informan dokter,


dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya dokter sangat
memahami kewajibannya untuk bekerja sesuai dengan standar
profesi dan dampak hukum atas penyelenggaraan pelayanan medis
yang tidak sesuai dengan standar profesi. Kemudian dapat pula
disimpulkan bahwa standar profesi sangat ditentukan oleh
pengalaman bekerja dan ketersediaan sarana dan alat kedokteran
yang digunakan sebagai pendukung dalam pengembangan standar
profesi. Dibutuhkan pedoman pelaksanaan standar profesi yang baku
agar terdapat keseragaman dalam pemberian pelayanan kesehatan
atau tindakan medis menurut jenis penyakit.
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien atas
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang ideal sesuai dengan standar profesi,
sebagian besar mengatakan telah terlaksana dengan baik. Hal ini
sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari beberapa informan
pasien, sebagai berikut:
1) Informan Pasien 02/LP-P /2015;
“Seorang dokter dalam menjalankan profesi wajib bekerja
sesuai dengan standar profesinya, agar dapat memberikan
pelayanan kesehatan uang bermutu bagi masyarakat dan
terhindar dari perbuatan malpraktik “
2) Informan Pasien 04/LB-P/2015;
“Seorang dokter harus jujur terhadap dirinya sendiri,
apakah pelayanan kesehatan atau berupa tindakan medis yang
akan dilakukannya pada pasiennya masih dalam batas standar
profesinya atau tidak, sehingga pasien jangan jadi korban.”

-246-
3) Informan Pasien 01/BK-P/2015;
“Sebaiknya jika ada pasien yang datang ke seorang dokter
namun diluar kewenangan dan kompetensinya, sebaiknya dirujuk
ke dokter atau rumah sakit yang lebih mampu.”

Berdasarkan keterangan dari informan pasien dapat ditarik


kesimpulan bahwa pasien sangat memahami pelayanan kesehatan
yang ideal yang seharusnya diterima dari pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dokter, agar terhindar
dari kerugian akibat perbuatan malpraktik yang dilakukan oleh
dokter. Pasien sangat memahami Rujukan medis sebagai hak yang
seharusnya dapat diterima dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang ideal, jika dokter yang menerima pasien tidak
kompeten dan diluar kewenagannya menangani suatu penyakit
untuk dirujuk kepada dokter atau rumah sakit yang memiliki
kemampuan yang lebih tinggi.
Pelaksanaan tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit
dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi,
merupakan suatu kewajiban, sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 51 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan, “Dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”. Selain
sebagai kewajiban juga merupakan sebuah hak, sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 50 huruf b, Undang-Undang yang sama,
yaitu; “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak memberikan pelayanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur operasional.
Dalam hal seorang dokter telah memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar profesinya, maka dokter tersebut
akan mendapatkan perlindungan hukum dari segala tuntutan hukum
yang dilayangkan oleh pasien atau keluarga di muka pengadilan.
Jaminan perlindungan bagi dokter yang melaksanakan pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar profesi dokter, sesuai dengan
ketentuan Pasal 50 huruf a pada Undang-Undang yang sama pula,
yang menyatakan bahwa, “Dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh

-247-
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional.”
Dalam menilai adanya pelanggaran standar profesi, maka salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan audit
medis terhadap berkas rekam medis yang dibuat dan di isi oleh
dokter. Melalui audit medis ini, maka dapat terlihat kesesuaian
antara gejala dan tanda (symptoms and signs) yang dialami oleh
pasien dan pelayanan atau tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter. Selain itu juga untuk menganalisis ketepatan waktu
pemberian tindakan medis dan rujukan medis yang dilakukan oleh
dokter berdasarkan tanda dan gejala, serta perkembangan status
kesehatan pasien.
Berdasarkan hasil audit medis tersebut, dapat diketahui bahwa
apakah dokter dalam menangani pasien atau dalam memberikan
tindakan medis, masih sesuai dengan standar profesi atau tidak.
Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting bagi dokter untuk
membuat rekam medis, mengisi dan mencacatkan data dan informasi
medis pasien secara lengkap, jelas dan dengan tulisan yang mudah
untuk dibaca dan dimengerti. Berkas rekam medis yang tidak
lengkap dan kurang jelas akan melemahkan dalam pembuktian di
pengadilan.
Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Syifa Silviana dan
Ede Surya Darmawan (2017: 41-42)340 tentang analisis standar
kompetensi tenaga kesehatan di RS Bhakti Yudha Depok,
menemukan bahwa kompetensi tenaga kesehatan di Rumah Sakit
Bhakti Yudha masih dibawah ekspektasi atau target yang ditentukan
oleh rumah sakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

340 Silviana Syifa dan Ede Surya Darmawan. 2017. Analisis Standar Kompetensi Tenaga
Kesehatan di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok Tahun 2017. Jurnal Administrasi Rumah Sakit
Volume 4 (1) hlm. 41-42.

-248-
kompetensi pada tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Bhakti
Yudha yaitu lama kerja dan jumlah pelatihan yang relevan yang di
ikuti tenaga kesehatan.
Sehubungan dengan pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit
dalam pelayanan kesehatan yang ideal, maka setiap rumah sakit
wajib menyusun perangkat-perangkat pelaksanaan standar profesi di
rumah sakit untuk menjadi pedoman dan tata laksana tindakan
kedokteran di rumah sakit tersebut.

Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas pelayanan


kesehatan yang ideal sesuai dengan standar pelayanan medik

Berdasarkan tanggapan responden dokter terhadap


pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang ideal sesuai standar pelayanan medis,
diperoleh gambaran, sebagai berikut:

Tabel
Distribusi Tanggapan Responden Dokter terhadap pelaksanaan
tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal
terhadap pasien sesuai standar pelayanan medis pada RSUD Labuang
Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun
2016.

Pengaturan Standar Pelayanan Jumlah Persentase


Medik
Terlaksana dengan baik 25 62,5
Kadang terlaksana 12 30
Tidak terlaksana 3 7,5
Jumlah 40 100%
Sumber Data: Data Primer setelah diolah pada tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagaimana tabel


di atas, sebagian besar responden dokter menyatakan pelaksanaan
tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal
terhadap pasien sesuai Standar pelayanan medis telah terlaksana
dengan baik (62,5%) Kadang terlaksana (30%) dan sisanya
mengatakan tidak terlaksana (7,5%).

-249-
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien
terhadap pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai standar pelayanan medik di peroleh
gambaran sebagai berikut:

Tabel
Distribusi Tanggapan Responden Pasien atas pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai standar pelayanan medis pada RSUD
Labuang Baji, RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada,
tahun 2016.

Pelaksanaan Standar Pelayanan Jumlah Persentase


Medis
Terlaksana dengan baik 16 13,3
Kadang terlaksana 35 29,2
Tidak terlaksana 69 57,5
Jumlah 120 100%
Sumber Data : Data primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagaimana pada


tabel di atas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden
pasien mengatakan pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas
pelayanan kesehatan yang ideal tidak terlaksana dengan baik (57%),
kadang terlaksana (29,2%) dan sisanya mengatakan terlaksana
dengan baik (13,3%).
Berdasarkan tanggapan responden dokter atas pelaksanaan
tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal
sesuai dengan standar pelayanan medis telah terlaksana dengan baik.
Hal ini sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari informan
dokter, sebagai berikut:

-250-
1) Informan dokter 01/LB-D/2015;
“Setiap tindakan medis yang dilakukan di rumah sakit harus
berdasarkan standar pelayanan medik yang telah ditentukan oleh
rumah sakit berdasarkan jenis dan jenjang rumah sakit”
2) Informan 03/BK-D/2015;
“Pelayanan medis akan bermutu jika dilakukan sesuai
dengan standar pelayanan medik yang disusun oleh organisasi
profesi”
3) Informan 01/LP-D/2015;
“Belum semua rumah sakit memiliki standar pelayanan
medis yang sama, bahkan terhadap kasus penyakit yang sama
sering terjadi perlakuan yang berbeda dan sarana dan peralatan
juga berbeda.

Berdasarkan keterangan dari para informan dokter tersebut,


dapat disimpulkan bahwa para dokter sangat memahami bahwa
setiap pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap pasien harus
sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh
rumah sakit menurut jenis dan jenjang rumah sakit, atau
berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh organisasi
profesi dan sangat memahami bahwa pelaksanaan standar pelayanan
medis sebagai salah satu indikator penilaian pelayanan kesehatan
yang ideal. Kesimpulan lain yang dapat ditarik adalah belum adanya
keseragaman standar pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit-
rumah sakit.
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien atas
pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai standar pelayanan medis, sebagian besar
mengatakan tidak terlaksana dengan baik. Hal ini sesuai dengan
keterangan dari beberapa informan pasien sebagai berikut:
1) Informan Pasien 04/LB-P/2015;
“Penerapan Standar pelayanan medik di rumah sakit belum
berjalan dengan baik, masih sering pasien mendapatkan resep-
resep tambahan untuk kebutuhan obat dan bahan-bahan
kelengkapan operasi dengan alasan tidak ditanggung oleh BPJS”

-251-
2) Informan Pasien 01/BK-P/2015;
“Banyak pasien yang terpaksa minta rujukan ke dokter atau
rumah sakit lain karena rendahnya penerapan standar pelayanan
medis di sebuah rumah sakit.”

Berdasarkan keterangan para responden pasien tersebut dapat


disimpulkan bahwa tanggung jawaban rumah sakit atas pelayanan
kesehatan yang ideal belum terlaksana dengan baik. Beberapa faktor
yang menjadi penyebab adalah adanya tambahan pembiayaan obat
yang mahal dan alat kesehatan tertentu bagi pasien BPJS. Buruknya
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah
sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis, terkadang
membuat pasien meminta rujukan ke rumah sakit atau ke dokter lain
yang menangani. Padahal sesungguhnya rujukan medis bukanlah
oleh permintaan pasien, melainkan atas pertimbangan medis yang di
inisiasi oleh dokter atau pihak rumah sakit.
Penerapan standar pelayanan medis adalah merupakan suatu
kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh seorang dokter dalam
melaksanakan praktik kedokterannya sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No. 29 tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, yang menyebutkan bahwa dokter atau
dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
Selanjutnya dalam pasal 51 Undang-Undang yang sama menyebutkan
kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien.
Penerapan Standar Pelayanan medis bertujuan untuk
Memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan
kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan
kebutuhan medis pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan kedokteran yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.341
Selain tujuan mutu dalam pelayanan medis, standar pelayanan medis
juga dapat berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan ketika
menghadapi gugatan atau tuntutan hukum. Dokter akan
mendapatkan perlindungan hukum jika pelayanan medis atau

341 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010. Opcit. Pasal 2.

-252-
tindakan medis yang dilakukannya terhadap pasien sesuai dengan
standar pelayanan medis yang berlaku. Namun sangat disayangkan
bahwa masih banyak rumah sakit-rumah sakit yang belum menyusun
dan membuat Standar Pelayanan Medik, sehingga pelayanan
kedokteran menjadi rawan dengan kemungkinan terjadinya
malpraktik.
Sebagai pembanding, penelitian yang dilakukan oleh Ameriana
Syafharini (2014) pada Rumah Sakit Islam (RSI) Malahayati Medan,
memperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan manajemen mutu
pelayanan di instalasi rawat inap Rumah Sakit Islam (RSI)
Malahayati, belum memenuhi keseluruhan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk kategori
pelayanan medis, rekam medik dan peralatan medis. Pada kategori
pelayanan medis terdapat pelayanan visit dokter spesialis yang tidak
dapat ditentukan menurut rentang waktu visit antara pukul 08.00-
pukul 14.00. Beberapa Insiden pasien yang mengalami Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC) oleh
karena terjadinya kesalahan prosedur pemberian dan pergantian
infus, pemasangan O2, kesalahan pemasangan skin test, salah suntik,
salah dosis obat, alergi transfusi darah, post operasi.342
Penerapan Standar Pelayanan Medis dalam setiap pelayanan
atau tindakan medis akan memberikan manfaat antara lain sebagai
berikut:
a. Memberikan perlindungan bagi pasien atas praktik kedokteran
yang tidak professional dan tidak bermutu.
b. Memberikan perlindungan hukum bagi dokter dari tuntutan
pasien dan atau masyarakat yang tidak wajar.
c. Menjadi standar acuan pengawasan, pembinaan dan penilaian
penyelenggaraan praktik kedokteran dalam peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dan pemenuhan hak-hak pasien sebagai
tanggung jawab dokter atau pihak rumah sakit.

342 Syafharini, Ameriana. 2012. Analisis Pelaksanaan Manajemen Mutu Pelayanan di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Universitas Sumatera Utara: Tesis. Hlm.130.

-253-
Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit atas pelayanan
medis yang ideal sesuai Etika profesi.

Berdasarkan tanggapan responden dokter atas pelaksanaan


tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal
sesuai dengan etika profesi, diperoleh gambaran sebagai berikut:

Tabel
Distribusi Tanggapan Responden Dokter atas pelaksanaan tanggung
jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal terhadap
pasien sesuai dengan Etika Kedokteran dalam pada RSUD Labuang Baji,
RS Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Pengaturan Etika Profesi Jumlah Persentase


Terlaksana dengan baik 23 57,5
Kadang terlaksana 10 25
Tidak terlaksana 7 17,5
Jumlah 40 100%
Sumber Data : Data primer setelah diolah, tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden dokter sebagaimana tabel


di atas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar dokter
mengatakan bahwa pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam
pelayanan kesehatan yang ideal sesuai dengan etika profesi telah
terlaksana dengan baik (57,7%) kadang terlaksana (25%) dan
sisanya mengatakan tidak terlaksana dengan baik (17,5%).
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien
terhadap pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai dengan etika profesi dokter, diperoleh
gambaran sebagai berikut:

-254-
Tabel
Distribusi tanggapan responden pasien atas pelaksanaan tanggung
jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal terhadap
pasien sesuai etika profesi, pada RSUD Labuang Baji, RS
Bhayangkara, RS Pelamonia dan RSUD Lakipadada, tahun 2016.

Pelaksanaan Etika Profesi Jumlah Persentase


Terlaksana dengan baik 68 56,7
Kadang terlaksana 10 8,3
Tidak terlaksana 42 35
Jumlah 120 100%
Sumber Data: Hasil Penelitian yang diolah pada tahun 2016.

Berdasarkan tanggapan responden pasien sebagaimana tabel


di atas, sebagian besar mengatakan pelaksanaan tanggung jawab
rumah sakit dalam pelayanan kesehatan yang ideal sesuai etika
profesi telah berjalan dengan baik (56,7%), kadang terlaksana 35%
dan sisanya mengatakan tidak terlaksana dengan baik (8,3 %)
Berdasarkan tanggapan responden dokter terhadap
pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai etika profesi, sebagian besar mengatakan
telah terlaksana dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan keterangan
yang diperoleh dari para informan dokter, sebagai berikut:
1) Informan Dokter 01/LB-D/2015;
“Kode Etik Kedokteran seharusnya menjadi alat pengontrol
perilaku dokter dalam menjalankan tugas profesinya, memeriksa,
mengobati ataupun melakukan tindakan medis operatif kepada
pasien.”
2) Informan Dokter 04/LP-D/2015;
“Pelaksanaan nilai-nilai etik kedokteran cenderung
menurun, pelayanan kedokteran dan rumah sakit semakin mahal
karena penggunaan alat-lat kedokteran yang super canggih.”
3) Informan Dokter 03/BK-D/2015;
“Penerapan Kode etik kedokteran, moral dan hukum akan
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada pasien
dan memberikan perlindungan hukum kepada dokter.”
4) Informan Dokter 02/PL-D/2015;
“Kejujuran dan harga diri seorang dokter dalam
menjalankan nilai-nilai etika profesinya dapat diukur dari adanya

-255-
indikasi medis yang kuat atas setiap tindakan yang dilakukannya
pada pasien.”

Berdasarkan hasil keterangan dari informan dokter dapat


disimpulkan para dokter sangat memahami etika profesi dan
penerapannya dalam praktik kedokteran sebagai indikator
pelayanan kesehatan yang ideal sebagai bentuk perlindungan hukum
terhadap hak-hak pasien dan perlindungan hukum bagi dokter dalam
pelaksanaan profesi kedokterannya.
Selanjutnya berdasarkan tanggapan responden pasien atas
pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan yang ideal sesuai dengan etika profesi, sebagian besar
mengatakan tidak terlaksana dengan baik. Hal ini dapat diketahui
dari keterangan yang disampaikan oleh informan pasien, sebagai
berikut:
a) Informan Pasien 02/LB-P/2015:
“Etika profesi kedokteran cenderung mengalami
penurunan, pasien sudah mengerang kesakitan dokternya di
tunggu berjam-jam belum juga datang member pertolongan.”
b) Informan Pasien 01/BK-P/2015:
“Masih banyak dokter yang tetap menuliskan resep obat-
obat paten yang mahal harganya, padahal dia tahu bahwa
pasiennya adalah peserta BPJS masyarakat miskin.”
c) Informan Pasien 02/LP-P /2015:
“Dokter kadang menahan pasiennya berlama-lama untuk
ditanganinya, meski keluarga sudah bermohon berkali-kali untuk
di rujuk ke dokter atau rumah sakit lain, karena selama di rawat
berhari-hari tidak juga ada perubahan, nanti ketika semakin parah
baru di rujuk, dan tidak jarang ada yang meninggal sebelum
berangkat ke tempat rujukan atau meninggal di jalan.”

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan pasien,


dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pelayanan kesehatan yang
ideal sesuai dengan etika profesi belum terlaksana dengan baik.
Beberapa faktor yang mendasari penilaian tersebut adalah sikap
dokter yang menelantarkan pasien, per resepan obat-obat paten
yang mahal harganya, dan tidak melaksanakan rujukan secara cepat
dan tepat waktu.

-256-
Kewajiban dokter dalam menjalankan praktik Indonesia
(KODEKI). Kode Etik Kedokteran mengatur nilai-nilai etik sebagai
pedoman perilaku dokter dalam pelaksanaan praktik kedokteran,
yaitu sebagai berikut:
Nilai etik dalam kewajiban umum dokter.
a. Melaksanakan praktik kedokteran berdasarkan standar profesi
yang tertinggi.
b. Terhindar dari segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
c. Terhindar dari sikap dan perbuatan yang menyombongkan dan
memuji diri sendiri.
d. Memberikan informasi medis kepada pasien atas dasar
pertimbangan yang matang, terutama hal-hal yang dapat
melemahkan daya tahan fisik dan psikis dan sesuai dengan
persetujuan pasien.
e. Bertindak hati-hati dan tidak gegabah dalam menginformasikan
dan menerapkan penemuan teknik dan pengobatan yang belum
teruji kebenarannya.
f. Tidak mengeluarkan surat keterangan/pendapat medis terhadap
orang/pasien yang tidak diperiksa oleh dirinya sendiri.
g. Memberi pelayanan medis sesuai dengan kompetensinya dan
dengan penuh kasih sayang serta penghargaan yang setinggi-
tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
h. Berlaku jujur terhadap pasien dan terhadap teman sejawat, serta
mengingatkan teman sejawatnya jika ada yang berbuat curang,
menipu dalam pemberian pengobatan kepada pasien dan bila
teman sejawatnya memiliki kekurangan dalam hal karakter dan
kompetensi dalam praktik kedokteran.
i. Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak teman
sejawatnya dan menjaga kepercayaan pasien.
j. Seorang dokter wajib melindungi hak hidup makhluk insani.
k. Mengutamakan kepentingan masyarakat dengan pendekatan.
upaya pelayanan kesehatan holistik yaitu promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif baik yang bersifat fisik maupun
psikososial, serta berupaya menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat dalam arti yang sebenar-benarnya.

-257-
Nilai etika dalam kewajiban terhadap Pasien.
a. Setiap dokter harus tulus dan ikhlas memberi pelayan kesehatan
kepada pasien berdasarkan segala pengetahuan dan keterampilan
yang dimilikinya, namun harus jujur pada diri sendiri bahwa dia
tidak mampu, maka harus merujuk ke dokter atau rumah sakit
yang lain atas persetujuan pasien.
b. Memberi kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan
keluarga dan penasehatnya dalam beribadah dan atau dengan
masalah lainnya.
c. Seorang dokter wajib menyimpan rahasia jabatan yang
diketahuinya tentang pasiennya bahkan setelah pasien meninggal.
d. Seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat kepada
pasien atas dasar perikemanusiaan kecuali dia yakin bahwa ada
orang lain bersedia dan mampu melakukannya.

Nilai etika dalam kewajiban terhadap teman sejawat.


a. Wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagai mana ia sendiri
ingin diperlakukan.
b. Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien teman
sejawatnya kecuali atas persetujuan atau atas prosedur yang etis.

Nilai etika dalam kewajiban terhadap diri sendiri.


a. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya agar dapat bekerja
dengan lebih baik.
b. Setiap dokter wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran dan kesehatan.

Berdasarkan kandungan nilai-nilai etik kedokteran yang


tertuang dalam KODEKI memperlihatkan betapa luhur dan mulianya
profesi kedokteran dalam memberikan pelayanan kesehatan. Kode
etik sebagai pedoman perilaku dokter dalam melakukan pelayanan
kesehatan atau tindakan medis tertentu, mengandung nilai moralitas
yang sangat tinggi dan norma-norma hukum yang tegas tentang apa
yang baik atau tidak baik dan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh dokter baik terhadap pasien, teman sejawat dan
terhadap diri sendiri. Namun sangat disayangkan, seiring dengan
dinamika perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran dan kesehatan, nilai etika profesi ini cenderung
mulai memudar.

-258-
Sebagai pembanding, penelitian yang pernah dilakukan oleh
Rieke Arya Putri, dkk (2015: 465)343 terhadap Penerapan Kode Etik
Kedokteran Indonesia pada Dokter Umum di Puskesmas di Kota
Padang, berkesimpulan bahwa seluruh responden dokter umum
memiliki tingkat refleksi KODEKI yang kurang dari standar yang
telah ditetapkan. Unsur yang dinilai terhadap refleksi KODEKI adalah
altruisme, idealisme profesi, responsibilitas, akuntabilitas, integritas
ilmiah, dan integritas sosial.
Timbulnya berbagai persoalan hukum dalam dunia kedokteran
sangat tergantung dari pemahaman dan kemauan bagi para dokter
dalam menjalankan profesi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-
nilai etik kedokteran, moralitas dan hukum yang berlaku.
Pelanggaran terhadap nilai-nilai etika kedokteran dalam pelayanan
kesehatan kepada pasien akan berdampak terhadap mutu pelayanan
kesehatan. Oleh sebab itu pengaturan bentuk tanggung jawab rumah
sakit yang ideal tidak terlepas dari pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia bagi setiap dokter yang melaksanakan tugas
profesinya di rumah sakit tersebut akan berdampak terhadap mutu
pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu pengaturan bentuk tanggung
jawab rumah sakit yang ideal tidak terlepas dari pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia bagi setiap dokter yang melaksanakan
tugas profesinya di rumah sakit tersebut.

343 Putri Arya Rieke, Rahmatina B. Herman dan Yulistini.2015. Gambaran Penerapan Kode
Etik Kedokteran Indonesia pada Dokter Umum di Puskesmas di Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015; 4(2). Hlm 465.

-259-
-260-
BAB XI

PENUTUP

Temuan Teori

Berdasarkan hasil kajian teoritis dan kajian penelitian


terhadap Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien
Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan, masih ditemukan
penyimpangan terhadap pelaksanaan hak-hak pasien, lemahnya
penerapan sanksi hukum terhadap dokter dan belum optimalnya
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar
pelayanan, sehingga kasus-kasus gugatan atau tuntutan malpraktik
terhadap dokter atau pihak rumah sakit setiap saat dapat muncul
dipermukaan.
Pelaksanaan hak-hak pasien, penerapan sanksi hukum dan
pelaksanaan pelayanan medis yang sesuai dengan standar pelayanan
merupakan inti permasalahan pelayanan kesehatan, sehingga harus
menjadi perhatian dan kajian utama dalam mengembangkan
pelayanan kesehatan yang bermutu di rumah sakit. Ketiga hal
tersebut merupakan pilar-pilar utama dalam menghadirkan
pelayanan kesehatan yang bermutu, sebagai bentuk
pertanggungjawaban rumah sakit terhadap pasien dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan. Ketiganya merupakan satu
kesatuan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Penelitian Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Pasien
Dalam Pelayanan Kesehatan yang dilakukan di empat rumah sakit
pemerintah di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Rumah Sakit Labuang
Baji, Bhayangkara, Pelamonia dan Lakipadada, dapat dikemukakan
sebuah teori tanggung jawab rumah sakit dalam mengembangkan
pelayanan kesehatan yang bermutu, yaitu teori tiga pilar tanggung
jawab rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
ideal terhadap pasien. Ketiga pilar tersebut adalah pilar pelaksanaan
hak-hak Pasien, pilar penerapan sanksi hukum yang efektif dan pilar

-261-
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ideal. Teori tersebut oleh
penulis dirumuskan sebagai Teori Tiga pilar Tanggung Jawab Rumah
Sakit Dalam Pelayanan Kesehatan (The Three Pillars Theory of
Hospital Legal Responsibilities in Health Care).
Teori ini merupakan esensi dasar dari tanggung Jawab hukum
rumah sakit pasien dalam pelayanan kesehatan, yang harus menjadi
rujukan bagi rumah sakit dalam pelaksanaan fungsinya sebagai
pemberi pelayanan kesehatan pemberi dan penerima jasa layanan
kesehatan di rumah sakit. Pilar Pelaksanaan Tanggung hukum rumah
sakit atas pemenuhan hak-hak pasien (hak atas informasi medis, hak
atas persetujuan tindakan, hak atas memilih dokter dan hak atas isi
rekam medik), Pilar Pelaksanaan tanggung jawab hukum Rumah
Sakit atas kesalahan atau kelalaian dokter (hukum pidana, perdata
dan administrasi) dan Pilar tanggung jawab hukum rumah sakit atas
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar (Standar Profesi,
Standar Pelayanan Medik, Standar Operasional Prosedur dan Standar
etika kedokteran) yang penerapannya harus dilaksanakan secara
bersama-sama dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada
pasien.
Secara definisi, Teori Tiga Pilar Tanggung Jawab Rumah Sakit
dalam Pelayanan Kesehatan berbunyi sebagai berikut: “Tanggung
jawab hukum rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan
kesehatan merupakan pondasi yang kokoh dalam pembangunan dan
pengembangan pelayanan kesehatan yang bermutu, yang ditunjang
dengan tiga pilar utama tanggung jawab rumah sakit, yaitu
pelaksanaan hak-hak pasien, penerapan sanksi hukum dan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan.”
Pelaksanaan teori tiga pilar tanggung jawab rumah sakit dalam
pelayanan kesehatan merupakan sebuah kebutuhan dan tuntutan di
era hubungan dokter atau pihak rumah sakit dengan pasien yang
bersifat kontraktual terapeutik. Teori ini akan memberikan
kontribusi pemikiran dan kewaspadaan dini bagi setiap
penyelenggara pelayanan kesehatan, baik dokter atau pihak rumah
sakit untuk tidak menyelenggarakan atau memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien sebelum meyakini pelaksanaan tiga pilar
tanggung jawab rumah sakit berjalan dengan baik.

-262-
Kesimpulan

Pertama, tanggung jawab rumah sakit terhadap pelaksanaan


hak-hak pasien antara lain Hak Atas Informasi medis, Hak Atas
Persetujuan Tindakan Medis, Hak Memilih dokter dan Hak Atas Isi
Rekam Medis belum berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
kesehatan.
Kedua, penerapan sanksi hukum pidana, perdata dan
administrasi bagi dokter yang melakukan tindakan medis tidak
sesuai dengan SOP belum berjalan dengan efektif baik menurut
pandangan dokter maupun pasien. Para dokter berpandangan bahwa
penerapan sanksi hukum atas kesalahan atau kelalaian dokter harus
dinilai dari sudut pandang ilmu kedokteran dan hukum kesehatan
yang bersifat lex specialis, melalui audit medis
Ketiga, Pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit yang ideal
dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien yang dilaksanakan
sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Medik, SOP dan
Etika Profesi belum berjalan dengan optimal, sehingga
mempengaruhi dapat mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan dan
berpotensi untuk terjadinya perbuatan malpraktik.

Saran-Saran

Pertama, Disarankan kepada pihak rumah sakit untuk


menyebar luaskan informasi hak-hak dan kewajiban dokter atau
pihak rumah sakit dan pasien atau keluarganya dilingkungan rumah
sakit, baik dalam bentuk Spanduk, benner, baligho, bulletin, majalah
dan media elektronik dan digital di tempat-tempat atau ruang-ruang
strategis agar mudah dilihat, dibaca dan didengar oleh setiap dokter,
pasien, atau masyarakat yang datang untuk berobat atau berkunjung
ke rumah sakit.
Kedua, disarankan kepada pihak rumah sakit untuk
mewajibkan setiap dokter mengikuti seminar-seminar atau
lokakarya di bidang etikolegal dalam pelayanan kesehatan sebagai
salah satu syarat untuk melaksanakan praktik kedokterannya di
rumah sakit tersebut. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab hukum
rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada pasien untuk

-263-
menghindari terjadinya kasus-kasus malpraktik yang berakibat
hukum pidana, perdata dan administrasi.
Ketiga, disarankan kepada Pihak rumah sakit untuk segera
menyusun standar-standar pelayanan rumah sakit seperti standar
profesi, standar pelayanan medik, standar operasional Prosedur dan
standar etika profesi untuk menjadi pedoman bagi dokter dan
petugas kesehatan lainnya yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan kepada pasien agar mutu pelayanan kesehatan selalu
dapat terjaga.
Keempat, disarankan Teori Tiga Pilar tanggung Jawab Rumah
Sakit dalam pelayanan kesehatan (The Three Pillars Theory of
Hospital Legal Responsibilities in Health Care) untuk diujicobakan
implementasinya pada rumah sakit-rumah sakit, khususnya pada
rumah sakit yang menjadi lokasi penelitian, yaitu: Rumah Sakit
Labuang Baji, Rumah Sakit Bayangkara, Rumah Sakit Pelamonia dan
Rumah Sakit Lakipadada agar diperoleh kekuatan teori ini.

-264-
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU

Adji, Indriyanto Seno. 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta:


Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno
Adji & Rekan. hlm.155.
Adji, Oemar Seno. 1991. Etika Profesionalisme Dan Hukum
Pertanggungjawaban Pidana Dokter: Profesi Dokter. Jakarta :
Erlangga.
Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta:
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Ali, Achmad. 2008. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Ali, Chaidir. 1987. Badan Hukum. Bandung: Alumni.
Ali, Mahrus. 2011. Dasar – Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika
Ameln, Fred. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta.
Grafikatama Jaya.
Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan.
Jakarta: Kencana Media Group.
Arief, Barda Nawawi, 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta :
Kencana.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta:
Binarupa Aksara Publisher.
Azwar, Azrul 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih
Bermutu. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia
Arrasjid, Chainur. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, M. 2006. Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI.
Badrul zaman, Mariam Darus, et all. 2001. Kompilasi Hukum
Perikatan. Jakarta: Citra Aditya Bhakti.
Bastian Indra dan Suryono, 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.

-265-
Buamona, Hasrul. 2014. Tanggung Jawab Pidana Dokter Dalam
Kesalahan Medis (Analisis Hukum Putusan Kasasi Nomor 365
K /PID/2012). Yogyakarta: Thesis Pasca Sarjana UII.
Departemen Pendidikan Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dahlan, Sofwan 2002, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu bagi Profesi
Dokter, Edisi 3 Cetakan II. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Dewi, Alexandra Indriyanti. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan.
Yogyakarta: Pustaka book Publisher.
Donabedian A. 1980. Explorations in quality assessment and
monitoring. Volume 1 the definition of quality and approaches
to its a assessment. Michigan: Health Administration Press.
Djojodirjo, Moegni M.A. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta :
Pradnya Paramita.
Erwin, Muhammad. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia. Bandung: PT.
Revika Aditama.
Farid, Zainal Abidin. 2014. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum
bisnis). Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2001, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Garner, A. Bryan (ed.), 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition.
USA : West Publishing Co.
Guwandi, J. 2007. Hukum Medik (Medical Law), Jakarta: Penerbit
FKUI.
Hadjon, M. Philipus, dkk.2005. Hukum Administrasi Negara.
Yogtakarta: Gadjah Mada University Press.
Hamzah, Andi. 1997. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Hamzah, Andi. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung:
Alumni.
Hartatik, Indah Puji. 2014. Buku Pintar Membuat SOP (Standar
Operasional Prosedur). Yogyakarta: Flash books.

-266-
Hatrik, Hamzah. 1996. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious
Liability). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
KepadaTiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan
(Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana). Jakarta :Prenada Media,
Ilyas, Amir. 2012. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang
Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia.
Insani, Istyadi. 2010. Standar Operasional Prosedur (SOP) Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Administrasi Perkantoran Dalam
Rangka Peningkatan Pelayanan Dan Kinerja Organisasi
Pemerintah. Makalah pada Workshop Manajemen Perkantoran
di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Bandung
Istanto, F. Sugeng. 2014. Hukum Internasional, Cet.2,. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
ISO Guide 2. 2004. Standardization and related activities – General
vocabulary. Geneva: ISO.
Kansil, CST. 1991. Pengantar hukum Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta
Kansil, CST dan Christine ST. Kansil. 1995. Modul Hukum Perdata.
Jakarta : Pradnya Paramita.
Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil. 2000. Kamus Istilah Aneka
Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta :Pustaka SinarHarapan.
Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara.
Bandung : PT. Raja Grafindo Persada.
Kelsen, Hans. 2008. Pure Theory of Law, (Terjemahan Raisul
Muttaqien. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif), Cetakan Keenam. Bandung :Penerbit Nusa Media
Kode etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), 2012. Jakarta:PB Ikatan
Dokter Indonesia
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Kodersi),2000. Jakarta:
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
Koewadji, Hermien Hadiati. 1984. Hukum dan Masalah Medik.
Surabaya: Airlangga University Press.
Koeswadji, Hermien Hadiati. 1992. Beberapa Permasalahan Hukum
dan Medik: Bandung. Penerbit Citra Aditya Bakti.

-267-
Koeswadji, Hermien Hadiati. 1998. Hukum Kedokteran (Studi
Tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter Sebagai Salah
Satu Pihak). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Koeswadji, Hermein Hadiati. 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Komalawati, Veronica. 1999. Hukum dan Etika Praktik Dokter,
Bandung: Sinar Harapan
Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Consent Dalam
Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter
dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Komandoko, Gamal dan Handri Rahardjo, 2013. Panduan & Contoh
Menyusun Surat Perjanjian & KontrakTerbaik. Jakarta :Buku
Seru.
Komarudin, Ahmad. 1997. Dasar-Dasar Manajemen Modal Kerja.
Jakarta. RinekaCipta.
Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran.
Edisi 13 Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Kristian.2016. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Tujuan Teoritis dan Perbandingan Hukum di Berbagai
Negara). Bandung: PT. Revika Aditama
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Sinar Grafika
Khairandy, Ridwan.2004. Itikad baik dalam kebebasan Berkontrak.
Jakarta: Program Pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Khairunnisa, Dina. 2008. Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab
Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN. Medan : Tesis Pasca
Sarjana USU Medan.
Laksana, Fajar. 2008. Manajemen Pemasaran. Yogyakarta. Graha Ilmu
Laksmi, dkk, 2008. Manajemen Perkantoran Modern. Jakarta:
Penerbit Pernaka.
Lamintang, P.A. F. 1997: Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Manurung, Wanrajib Azhari,2015. Perancangan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) kelas C. non pendidikan berbasis low cost di Kota
Tanjung balai: Tema low energy. Undergraduate tesis,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

-268-
Machmud, Syahrul. 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan
Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal
Malpraktik. Bandung : Mandar Maju.
Marbun Rocky, dkk. 2012. Kamus Hukum Lengkap: Mencakup Istilah
Hukum & Perundang-undangan Terbaru. Jakarta: Penerbit
Visimedia.
Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta:
Sinar Grafrika.
Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Matippanna, Ampera.2021. Aspek Hukum Pelayanan Medis dalam
Praktik Kedokteran. Ponorogo: Penerbit Uwais Inspirasi
Indonesia.
Matippanna, Ampera. 2021. Pentingnya Memahami Informed
Consent dan Rahasia Medis Dalam praktik Kedokteran.
Ponorogo: Penerbit Uwais Inspirasi Indonesia.
Mertokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Miru, Ahmadi. 2014. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhammad, Abdul Kadir. 1982. Hukum Perikatan. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muhammad, Abdul Kadir. 2014. Hukum Perjanjian. Bandung: PT.
Citra Aditya Abadi. Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti,
2010. Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi.
Medan. PT Soft media.
Muninjaya, AA. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan, Edisi Kedua.
Jakarta: EGC.
Moeljatno, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam
Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara.
Moeljatno, 2015. Asas-asas Hukum Pidana, cet. IX, Rineka Cipta.
Jakarta.
Nasution, Bahder Johan.2005. Hukum Kesehatan: Pertanggung
Jawaban Dokter. PT. Rineka Cipta
Nasution, Bahder Johan. 2013. Hukum Kesehatan:
Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: Rineka Cipta.
Natadimaja, Harumiati. 2009, Hukum Perdata Mengenai Hukum
Orang Dan Hukum Benda, Yogyakarta, Graha Ilmu.

-269-
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika Dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Peter W. Low. 1990. Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul,
Minn: West Publishing Co.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto 2010. Perihal Kaedah
Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Purnamasari, Evita.P. 2015. Panduan Menyusun SOP (Standard
Operating Procedure). Jakarta: Kobis (Komunitas Bisnis).
Purnomo, Bambang 1982: Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta:
Ghalia Indonesia.
Putro, Dhamar Sakti Wiyono (2017). Faktor Yang Menjadi
Pertimbangan Pasien Dalam Memilih Rumah Sakit Puri Bunda
Di Kota Malang. Sarjana tesis, Universitas Brawijaya. (abstrak).
Prodjodikoro, R. Wirjono. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum.
Bandung: Mandar Maju.
Rahardjo, Satjito. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Remi, Sutan Sjahdeini, 2017. Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana
Korporasi Dan Seluk Beluknya. Jakarta :Kencana Prenada
media Group.
Rusli, Hardijan. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common
Law. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan.
Sadi Is, Muhammmad. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Kencana.
Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP.
Yogyakarta : Trans Idea Publising.
Saleh, Roeslan. 1982. Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban
Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia
Saleh, Roeslan. 1990. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana. Jakarta: Aksaran Baru.
Salim HS. 2000. Pengantar Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata.
Jakarta: Raja Grafindo.
Salim, H.S. 2004. Hukum Kontrak: Teori Dan Penyusunan Hukum
Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,
Salim H.S. 2008. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:
Sinar Grafika.
Salowong, Diana. 2013. Rekam Medis Sebagai Alat Perlindungan
Hukum Bagi Pasien Di Rumah Sakit. Tesis. Universitas
Hasanuddin.

-270-
Samara, Nich. 2006. Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Terapeutik
Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Dokter.
Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana UII.
Santoso Az, Lukman. 2016. Hukum Perikatan (Teori Hukum dan
Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis). Malang:
Setara Press.
Saragih, Djasadin 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sarwo, Yohanes Budi, at all. 2015. Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 Dan Persoalan Bentuk Badan Hukum Bagi RumahSakit
Swasta Di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing
Tahun II, Semarang: Universitas Katolik Soegijaprana,
Sastrawidjaja, Sofjan. 1990. Hukum Pidana I. Bandung: CV. Armico.
Setiawan, Rachmat. 1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan
Hukum. Bandung: Alumni.
Setiawan, Rachmat. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung:
Putra Abardin.
Sianturi, S.R. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapan, Cet. 3. Jakarta: Storia Grafika
Siregar, Charles J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan
Penerapan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. Buku Ajar Hukum Pidana.
Makassar. Pustaka Pena Press.
Sofwan, Sri Soedewi Masyohen. 1981. Hukum Acara Perdata
Indonesia dalam Teori dan Praktik: Yogyakarta: Liberty.
Subekti, R. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Subekti, R. 2008. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.
Intermasa.
Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung : Alumni.
Sudarto. 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung:
Sinar Baru.
Sudarto. 2009. Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Hukum Sudarto
FH UNDIP.
Supriadi, Wila Chandrawila. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung:
Mandar Maju.
Soeroso, R. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Soeroso, Santoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia di Rumah
Sakit: Suatu Pendekatan Sistem. Jakarta: EGC

-271-
Soekanto, Soerjono, 2005. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia Press.
Soewono, Hendrojono. 2005. Batas Pertanggung Jawaban Hukum
Malpratik Dokter Dalam PerjanjianTerapeutik. Surabaya:
Srikandi
Shidarta.2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta
:PT. Grasindo
Syahrani, Riduan.2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata
(Edisi Revisi), Bandung: Alumni.
Syafharini, Ameriana. 2012. Analisis Pelaksanaan Manajemen Mutu
Pelayanan DiInstalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam
Malahayati Medan. Universitas Sumatera Utara: Tesis.
Syarif, M. Laode dan Andri G Wibisana (ed), Hukum Lingkungan.
Teori, Legislasi dan Studi Kasus, Jakrata: USAID, Jakarta
Srijanti, dkk. 2007. Etika Berwarga Negara Edisi 2: Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba
Empat
Takdir. 2018. Pengantar Hukum Kesehatan. Kota Palopo: Lembaga
Penerbit Kampus IAIN Palopo
Trisnantoro, Laksono 2004. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Dalam Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Triwibowo. Cecep. 1987. Etika & Hukum Kesehatan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
TriwundariTutik, Titik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Wiradipradja, E. Saefullah, 1989. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam
Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional.
Yogyakarta: Liberty
Whiradarma, Danny. 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Yunara, Edy. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana
Korupsi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

-272-
Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan Kedokteran Gigi
Undang-Undang Negara Republik Inonesia Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
Tentang RumahSakit
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes /Per/IX/2001 Tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/
Menkes/ Per/III/ 2008 Tentang Rekam medis,
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesis No.290/ Per/
III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun
2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Inonesia Nomor 3 Tahun
2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

-273-
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 135
Tahun 2002 Tentang Jabatan Fungsional Perekam Medis dan
Angka Kreditnya

Journal

Muhyarsyah. 2007. Sistem Informasi Manajemen dalam Rumah Sakit.


Jurnal Riset Akutansi dan Bisnis. Vol. 7. (1), hlm. 70.
Fikriya, Khasna, dkk. 2016. Analisis Persetujuan Tindakan
Kedokteran Iinformed Consent) Dalam Rangka Persiapan
Akreditasi Rumah Sakit di Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota
Semarang. Journal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). Vol. 4(1),
hlm. 51.
Indarta, Didiek Wahyu. 2019. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai
Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus Di
Rumah Sakit Ibnu Sina Bojonegoro). E-Jurnal Universitas
Bojonegoro. Vol.1(2). Hlm.100.
Kartika, Bayu Langlang dan Antik Puji Hastuti, 2015. Tinjauan
Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Pasien Gawat
Darurat yang Dirujuk di Rsu Jati Husada Karanganyar(Review
Of Standard Operating Procedure Emergency Patients Referred
In RSU Jati Husada Karanganyar). IJMS Indonesian Journal On
Medical Science. Volume 2 (1). hlm.79
Taufiq, Abd. Rohman. 2019. Penerapan Standar Operasional
Prosedur (SOP) Dan Akuntabilitas Kinerja Rumah sakit. Profita
Komunikasi Ilmiah Akuntansi dan Perpajakan. Volume 12 (1).
hlm.64
Yani dkk. 2008. Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Hak dan
Kewajiban Pasien Atas Informasi Medis Pasien Rawat Inap
Kelas III di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karang Anyar.
Jurnal Kesehatan. Vol. 2 (2). hlm. 106.
Silviana Syifa dan Ede Surya Darmawan. 2017. Analisis Standar
Kompetensi Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Bhakti Yudha
Depok Tahun 2017. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4
(1) hlm. 41-42

-274-
Slamet, Sri Rejeki. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan
Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi.
Lex Jurnalica Volume 10 (2). Hlm.111
Putri Arya Rieke, Rahmatina B. Herman dan Yulistini. 2015.
Gambaran Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia pada
Dokter Umum di Puskesmas di Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015; 4(2). Hlm 465.

-275-
GLOSARIUM
Actus reus: Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
dilarang atau diwajibkan oleh ketentuan pidana

Alasan pembenar: Alasan yang menghapuskan sifat melawan


hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar

Alasan pemaaf: Alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.


Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan
hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak
dipidana, karena tidak ada kesalahan

Asas hukum: Kristalisasi nilai-nilai etis dan moral yang diakui dan
dianut oleh masyarakat dan dijadikan pedoman dalam berperilaku
hukum, meskipun bukan sebagai hukum tertulis

Conditio sine qua non: Suatu ajaran yang dikembangkan oleh Von
Buri yang mengatakan “suatu hal adalah sebab dari akibat,
sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi bila sebab itu tidak ada
Deminimus non curat lex: adalah suatu asas hukum yang berarti
hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele

Doktrin respondeat superior: Suatu ajaran yang menganut paham


bahwa korporasi sebagai badan hukum (recht persoon) tidak dapat
melakukan kesalahan, melainkan hanya agen-agen korporasi lah
yang dapat melakukan kesalahan yakni mereka bertindak untuk dan
atas nama korporasi dan bertindak untuk memberikan keuntungan
korporasi

Directing mind of the corporation: Orang-orang yang memiliki


hubungan kerja dengan sebuah korporasi dan memiliki kewenangan
bertindak untuk dan atas nama korporasi atau memiliki status
sebagai personil pengendali korporasi

-276-
Ganti Kerugian: Besaran kerugian yang harus diganti oleh si pelaku
baik oleh karena perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi,
berupa kerugian yang nyata dialami oleh korban, biaya-biasa yang
dikeluarkan dan bunga (keuntungan) yang diharapkan akan diterima
jika perbuatan melawan hukum tersebut tidak terjadi.

Geen straf zonder schuld: salah satu asas dalam hukum pidana yang
dapat diartikan tiada pidana tanpa kesalahan.

Hak: Unsur normatif yang berfungsi pedoman berperilaku,


melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang
bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya

Hubungan hukum: Hubungan antara dua atau lebih subjek hukum.


Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain

Hukum Kesehatan: Semua ketentuan hukum yang langsung


berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan, dari
hukum perdata, hukum pidana dan hukum Administrasi dalam
hubungan tersebut. Pula pedoman internasional, hukum kebiasaan
dan jurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan,
hukum otonom, ilmu dan literatur menjadi sumber Hukum
Kesehatan

Hukum Kedokteran (Medical Law) sebagai cabang dari disiplin ilmu


Hukum, menggunakan asas, prinsip dan teori-teori hukum dalam
menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan dokter

Informasi Medis: Segala sesuatu yang merupakan data atau


informasi tentang kesehatan pasien baik yang ditemukan langsung
oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan atau yang
disampaikan secara langsung oleh pasien sendiri dan atau yang
disampaikan oleh keluarga yang mendampingi pasien pada saat
dilakukan pemeriksaan.

-277-
Inspanning Verbintenis (perjanjian upaya maksimal): Suatu
perjanjian yang tidak memperjanjikan hasil tertentu sebagai prestasi,
melainkan upaya maksimal untuk melakukan sesuatu dalam
pemenuhan hak-hak orang tertentu.

Kesehatan: Keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental)


dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat
dan kelemahan

Kesalahan: Suatu perbuatan yang mengandung unsure kesengajaan


atau kelalaian yang menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak
lain, dimana pada si pelaku tidak terdapat alasan pembenar dan
alasan pemaaf.

Kerugian: Berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang


disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang
melanggar norma (perbuatan melawan hukum dan wanprestasi)
oleh pihak yang lain.

Kewajiban: Sesuatu yang harus dilakukan atau tidak dilakukan tanpa


alasan apapun.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI): Pedoman


penyelenggaraan Praktik Kedokteran bagi dokter yang disusun oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI): Pedoman


Penyelenggaraan Rumah Sakit yang disusun oleh Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

Korporasi: Badan hukum yang berada dibawah lembaga hukum yang


ada dalam suatu Negara, yang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan, yang terdiri dari banyak orang dan berbentuk sebuah
asosiasi.

Nullum delictum nulla poena sine pravie lege poenali: Suatu asas
hukum pidana yang mengajarkan bahwa seseorang tidak dapat
dipidana tanpa kesalahan oleh karena perbuatan tersebut belum ada
aturannya.

-278-
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK): adalah salah satu
badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara
khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan
tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau
tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-
masing

Malpraktik kedokteran: Istilah hukum, yang dari sudut harafiahnya


punya arti praktik kedokteran yang buruk atau jelek karena salah
atau menyimpang dari yang semestinya dan lain sebagainya

Mens rea: Suatu niat atau maksud jahat yang dengan sengaja
menghendaki terjadinya suatu peristiwa pidana, termasuk akibat
yang ditimbulkan jika peristiwa pidana tersebut terjadi

Objek Hukum: adalah segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan
diadakannya hubungan hukum

Pelayanan Kesehatan: adalah upaya yang dilakukan oleh suatu


organisasi baik secara sendiri atau bersama-sama untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan perseorangan, kelompok dan ataupun
masyarakat

Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services):


Pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services), yang
sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai
nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services):


Pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat inap (in
patient services) dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan
tersedianya tenaga-tenaga spesialis

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services):


Pelayanan kesehatan yang bersifat lebih komplek dan umumnya
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis.

Pelayanan medik: upaya pelayanan kesehatan yang melembaga,


berdasarkan fungsi sosial di bidang pelayanan kesehatan perorangan
bagi individu dan keluarganya

-279-
Pelayanan yang berkualitas: Pelayanan yang mampu memberikan
kepuasan pelanggan atas suatu kinerja yang dihasilkan oleh
seseorang setelah membandingkannya dengan ekspektasi atau
harapan yang sesuai dengan keinginannya.

Perbuatan Hukum: Setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau


badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum dan karena akibat
tersebut dapat dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan
hukum.

Perbuatan melawan hukum: Suatu perbuatan atau tidak berbuat


sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak
orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti
rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.

Perjanjian: Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang


lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.

Perjanjian terapeutik: Perjanjian yang berlaku di lapangan medis


antara dokter atau pihak rumah sakit sebagai pihak pemberi
pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pihak penerima atau
pengguna pelayanan kesehatan.

Perlindungan Hukum: Segala sesuatu yang mengatur dan


menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.

Persetujuan Tindakan Medis: Sebuah pernyataan sikap atau


keputusan yang memberi izin bagi dokter untuk melakukan suatu
pengobatan atau tindakan medis tertentu terhadap diri pasien,
setelah terlebih dahulu mendapatkan informasi dan penjelasan yang
lengkap, akurat dan jujur dari dokter, perihal kondisi medis pasien
pada saat berkonsultasi atau memeriksakan kesehatannya.

Prestasi: Kewajiban para pihak yang harus dipenuhi dalam suatu


perjanjian yaitu dalam bentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana ketentuan yang disepakati
oleh para pihak, sebagai isi perjanjian.

-280-
Rahasia Medis atau Rahasia Kedokteran: Data dan informasi medis
pasien yang harus dijaga dan dilindungi kerahasiaannya hanyalah
rahasia dalam hubungan medis antara dokter dan pasien, sekaitan
dengan penyakit atau gangguan kesehatan yang menjadi alasan
pasien datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Rekam Medis: Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang


identitas pasien, pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan
lainnya yang telah diberikan kepada pasien.

Resultaat verbintenis (perjanjian hasil): Suatu perjanjian yang dibuat


untuk menghasilkan sesuatu (prestasi) berdasarkan kesepakatan
para pihak yang saling mengikatkan diri.

Rumah sakit kelas A: Rumah sakit yang mampu memberikan


pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Rumah sakit
kelas A merupakan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tertinggi
(top referral hospital) sehingga disebut sebagai.

Rumah Sakit kelas B: Rumah sakit yang mampu memberikan


pelayanan kedokteran spesialis luas dan subspesialis terbatas.

Rumah Sakit kelas C: Rumah sakit yang mampu memberikan


pelayanan kedokteran spesialis terbatas.

Rumah sakit kelas D: memiliki kemampuan pelayanan medis paling


sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar.

Rumah sakit umum: Rumah sakit yang melayani hampir


seluruh penyakit umum, dan dilengkapi dengan instalasi gawat
darurat (IGD) 24 jam, pelayanan rawat jalan dan rawat inap dengan
memberikan pelayanan medis, penunjang medis, kefarmasian, gizi
dan lain sebagainya.

Rumah Sakit Khusus: Rumah Sakit yang memberikan pelayanan


utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu,
berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit.

-281-
Rumah sakit terspesialisasi: Jenis rumah sakit yang biasanya hanya
menyelenggarakan satu jenis pelayanan spesialistik tertentu seperti
rumah sakit traumatic center, rumah sakit paru-paru, Rumah Sakit
Mata, rumah sakit kanker rumah sakit jantung dan lain sebagainya.

Rumah sakit pendidikan: Rumah sakit umum yang didirikan oleh


Perguruan Tinggi yang memiliki fakultas kedokteran atau
kedokteran gigi untuk mendukung proses pendidikan dan penelitian
bagi mahasiswa dan dosen atau lembaga penelitian yang terkait
dengan kesehatan dan kedokteran.

Rumah Sakit Badan Hukum Publik: Rumah sakit yang didirikan oleh
pemerintah atau Badan Hukum publik (yayasan) dan bersifat nirlaba.

Rumah Sakit Badan hukum privat: Rumah sakit yang didirikan oleh
Perseroan terbatas (PT) dan bersifat profit.

Rujukan Medis: Bentuk pengiriman pasien, spesimen, dan


pengetahuan tentang penyakit dengan memperhatikan kendali mutu
dan kendali biaya.

Rujukan kesehatan masyarakat: Bentuk rujukan terhadap suatu


permasalahan kesehatan masyarakat yang dilaksanakan secara
bertanggung jawab oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan
berwenang serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Somasi: Suatu pemberitahuan yang berisi peringatan atau perintah


kepada pihak yang dianggap lalai memenuhi prestasi yang telah
diperjanjikannya agar segera atau menurut waktu yang telah
ditetapkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dalam
bentuk surat atau akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
atau yang dibuat sendiri oleh pihak yang merasa dirugikan.

Sistem Rujukan pelayanan kesehatan: System penyelenggaraan


pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun
horizontal.

-282-
Standar: suatu rumusan tentang penampilan atau nilai di inginkan
yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah
ditetapkan.

Standar Pelayanan: Tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman


penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan
sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat
dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau
dan terukur.

Standar Operasional Prosedur (SOP): Panduan yang digunakan untuk


memastikan kegiatan operasional organisasi atau perusahaan
berjalan dengan lancar.

Standar profesi: Pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk


dalam menjalankan profesi secara baik.

Standar Pelayanan Kedokteran (medis): Pedoman yang harus di ikuti


oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran.

Tanggung jawab: Suatu keharusan bagi seseorang untuk


melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.

Tanggung jawab hukum: Suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu


atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari
peraturan yang telah ada.

Tanggung jawab Hukum Administrasi: Pertanggungjawaban hukum


atas pelanggaran hukum administrasi, dalam bentuk pelanggaran
kewajiban dalam memenuhi persyaratan administrasi sebelum dan
pada saat melaksanakan suatu kewenangan yang diberikan oleh
hukum kepada seseorang.

Tanggung jawab hukum perdata: Pertanggungjawaban hukum atas


suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh seseorang, baik
oleh sebab perbuatan melawan hukum maupun oleh karena suatu
wanprestasi yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, yang
dapat berupa kerugian materil atau immateril.

-283-
Tanggung jawab hukum Pidana: Pertanggungjawaban hukum atas
suatu perbuatan melanggar hukum, melanggar kewajiban dari si
pelaku, melanggar hak subjektif orang lain atau oleh suatu perbuatan
yang melanggar kepatutan dan kepantasan yang berlaku di lapangan
hukum, yang dilakukan oleh seseorang yang memenuhi rumusan
delik dalam hukum pidana yang disertai dengan ancaman pidana
terhadap dokter atau pihak rumah sakit adalah adanya perbuatan
atau tindakan yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit
terhadap pasien yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan dan adanya unsur kesalahan atau kelalaian pada dokter
atau pihak rumah sakit.

Tanggung jawab atas kesalahan (liability based on fault): Tiap


perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.

Tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without Fault): Seseorang


harus bertanggung jawab ketika kerugian terjadi, terlepas dari ada
tidaknya kesalahan pada dirinya, sehingga faktor kesalahan bukan
lagi merupakan unsur yang harus dibuktikan di pengadilan.

Tindak pidana: Perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu


yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Subjek hukum: Pendukung hak yang terdiri dari manusia dan badan
hukum. Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum
berhak/wewenang untuk melakukan perbuatan hukum atau kata
lain segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan
kewajiban pada umumnya subjek hukum adalah manusia dan badan
hukum.

Subjek hukum Manusia (natuurlijk persoon). Orang atau manusia


yang cakap menurut hukum, untuk mengemban hak dan kewajiban
hukum atau yang menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

-284-
Subjek hukum Badan hukum (recht persoon): Badan hukum yang
dibentuk oleh subjek hukum manusia menurut ketentuan hukum,
dan dianggap sama dengan subjek hukum manusia yang oleh hukum
dianggap cakap untuk mengemban hak dan kewajiban.

Wanprestasi: Perbuatan salah satu pihak, tidak melaksanakan


kewajibannya sesuai dengan apa yang diatur dalam isi perjanjian
sebagaimana yang telah disepakati bersama.

-285-
PROFIL PENULIS

Dr. dr. Ampera Matippanna, S.Ked., M.H. Lahir di


Watampone 12 Agustus 1966 Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi
Selatan. Putra kedua dari tujuh bersaudara yang terlahir dari
Pasangan Richard Rande Bua’ Matippanna dan Marta Tapong.
Memiliki seorang istri Ny. Mery Maiti Rombe dengan putra-putri
yaitu; Christian Matippanna, M.Si, Mercy E. L. Matippanna, S.Kom ,
Gloria Priska Matippanna, S.T. Apt. David Richardson Matippanna,
S.Si, Anugerah Matippanna dan Gracelia Matippanna
Riwayat Pendidikan: Menyelesaikan Pendidikan Profesi
Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
(1995), Program Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen
Indonesia Paulus Makassar (2006) dan Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Muslim Indonesia Makassar (2017)
Riwayat Pekerjaan/Jabatan: Pernah menjabat sebagai Kepala
Puskesmas Sa’dan Malimbong (2006-2009), Kepala Sub bagian
Penyusunan Program Perencanaan dan Anggaran Pada RSUD
Labuang Baji (2010-2011), Kepala Sub Bagian Tata Usaha Biro Bina
Napza Setda Provinsi Sulawesi Selatan (2011-2013) dan Kepala
UPTD Balai Kesehatan Olah raga Masyarakat Pada Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan (2014-2018). Sekarang masih aktif sebagai
dokter Fungsional Ahli Madya dengan Pangkat Pembina Utama Muda

-286-
(IV/c) pada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi
Sulawesi Selatan.
Karya Tulis: Buku Pentingnya Memahami Informed Consent dan
Rahasia Medis Dalam Praktik Kedokteran (Penerbit. Uwais Inspirasi
Indonesia, 2020), Buku Aspek Hukum Pelayanan Medis Dalam Praktik
Kedokteran (Penerbit Uwais Inspirasi Indonesia, 2020), Buku
Inspirasi dan Motivasi Kehidupan Sepanjang Hayat: catatan Facebook
Sang Dokter (Penerbit CV. Eksismedia Grafisindo (Eksisgraf), 2020.
Riwayat Organisasi : Anggota Bidang Hukum Pembinaan dan
Pembelaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia Wilayah
Sulawesi Selatan dan Barat Periode 2017-2020. Ketua Bidang Diklat
Gabungan Brigde Seluruh Indonesia (Gabsi) Cabang Kota Makassar
Periode 2020 sampai sekarang)

-287-

Anda mungkin juga menyukai