RUSMAN, SH
NIM : 16312447401225
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................
ABSTRACT .....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
Pendapat Ahli…………..........................………………
Pasien…………………........…………………………....
Medik...............................................................................................
Hukum…………………..........……………………….…
Malpraktik Medik………………………..........................…………
Pasien................................................................................................
Medik…………………………………..........………………..……..
3.3.1 Kesalahan Dalam Malpraktik Medik…….......……..……..
Medik……….............................…………………………...………
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan……………………………….............…………………
5.2. Saran……………………………………..............………………..
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Secara jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
bahwa cita-cita bangsa Indonsesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa
Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.
(1) Setiap orang berhak untuk hidup mempertahankan hidup dan meningkatkan
tarap kehidupanya.
(2) Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtra,
lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dokter adalah seorang manusia biasa pula, tidak luput dalam menjalankan tugas
dan peran profesinya dari ketidaksempurnaannya. Tindakan apapun yang dilakukan
dokter sering menimbulkan akibat yang tidak diharapkan oleh pihak yang ditanganinya.
Akibat yang timbul bisa kemungkinannya karena unsur kelalaian ataupun kesengajaan
dari pihak dokter, ataupun kelemahan atau kekurangan sebagai penyebab kefatalan yang
dialami pihak pasien bersumber dari si pasien atau pihak yang ditangani. Suatu fenomena
sosio-yuridis terjadi berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter
seringnya sekarang ini terjadi tuntutan hukum yang diajukan masyarakat kepada dokter
atau dokter gigi yang diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang
dilakukan dokter, bahkan sering berakibat fatal hilangnya nyawa pasien atau cacatnya
pasien secara permanen. Masyarakat atau seseorang sebagai pihak korbanya
menyebutnya dengan sebutan istilah telah terjadi malpraktik, sebaliknya apabila tindakan
medisyang dilakukan dokter berhasil dianggap hal biasa-biasa saja, padahal dokter dalam
menjalankan tugas dan profesinya didasari perangkat ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya, hanya berupa ia untuk menyembuhkan kegagalan
penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan sebagai akibat
dalam tindakan yang telah dilakukan dokter. Kesalahan persepsi masyarakat awam
terhadap hasil tindakan secara medis yang dialami pasien sebagai korban selalu
dokter disudutkan dengan telah melakukan tindakan malpraktik.
Perlu ditelusuri dan dipahami secara keilmuan normatif hukum bahwa istilah
“malpraktik” dalam Undang - Undang Nomor23 Tahun 1992 dan Undangundang No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak ada ditemukan mengatur tentang istilah
“malpraktik” tersebut. Dalam UU Kesehatan Pasal 54 dan Pasal 55, menyebutnya dengan
sebutan “kesalahan atau kelalaian dokter apabila terjadi halhal yang tidak diharapkan oleh
pasien sebagai akibat tindakan dokter yang telah dilakukannya. Begitu pula halnya Pasal
83 Undang - Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutnya
dengan istilah “Sebagai pelanggaran disiplin dokter”. Berarti dalam khasanah hukum
formil atau norma hukum terkait pengaturan kesehatan khususnya mengatur tentang
tindakan penyimpang yang dilakukan dokter yang tidak sesuai dengan harapan pihak
pasien tidak ada norma yang mengatur dengan sebutan “malpraktik” bagi profesi oleh
dokter tersebut. Atau secara hukum tidak ada norma yang mengatur atau kosong.
Ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 mengatur
“pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat.... dstnya:. Begitu pula
halnya dalam Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak ada
ditemukan pengaturan istilah malpraktik tersebut.
Solusi atas terjadinya norma kosong dalam ketiga undang – undang diatas untuk
menjamin adanya kepastian hukum kedepannya perlu tindakan pembentukan norma.
Pencanangannya norma hukum atas batasan malpraktik medik tersebutpaling tepat mesti
dimuat dalam undang – undang tentang Praktek Kedokteran, yang sekarang berlaku
dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004.
Berbagai tindakan hukum dapat dilakukan seperti tindakan – tindakan di atas baik
oleh legislatif maupun yudikatif guna mengisi kekosongan hukum, khusus disini tentang
adanya kekosongan pengaturan oleh dokter tersebut. Hal iu mesti ke depan ada rumusan
norma hukum yang tertuang dalam salah satu perundangundangan di bidang kesehatan,
utamanya mesti tercantum dalam undang-undang Praktek Kedokteran.
1
Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam transaksi
Terapentik, Srilandi, Surabaya, hal. 5.
antara dokter dan pasien. Adanya transaksi terapeutik berarti satu pihak telah
mengikatkan diri yakni penderita atau pasien kepada pihak lain yakni dokter untuk
keperluan dan sebab tertentu berupa pelayanan akan profesi yang dimiliki dokter di
bidang pelayanan kesembuhan suatu gangguan kesehatan dari si pasien terkait dengan
aspek hukum keperdataan pihak dokter dan pasien bila telah terwujud transaksi terapeutik
tersebut, maka akan terikat dan tunduk pada ketentuan Pasal 1320 Burgelijke van
Weetboek (BW), transaksi pihak – pihak tersebut terikat pada syarat – syarat : ada kata
sepakat dari para pihak yang saling meningkatkan diri, kecakapan untuk membuat
sesuatu, mengenai suatu hal / obyek dan karena suatu kausa yang sah. Dalam transaksi
terapeutik harus memiliki keempat syarat tersebut. Dan bila transaksi terapeutik sudah
terjadi atau terlaksana, kedua belah pihak dibebani dengan hak dan kewajiban sesuai yang
telah disepakati bersama dan harus dipatuhi dan dipenuhi.
Terkait antara adanya ikatan atas perjanjian antara pihak dokter dengan pasien
akan menimbulkan timbulnya hak dan kewajiban. Pasien dapat menuntut haknya,
sedangkan dokter dapat dibebani tanggung jawab atas profesinya, disamping dokter
diberi hak pula oleh hukum unutk mendapatkan perundangan hukum dalam menjalankan
profesinya. Konsep tanggung jawab yang dibebankan pada dokter dalam menjalankan
fungsinya dapat dibedakan antara tanggung jawab profesi dan tanggung jawab hukum.
Tanggung jawab profesi merupakan tugas mulia yang diemban dokter, sehingga
kesalahan dalam menjalankan profesinya terutama bila dilakukan tidak dengan unsur
kesengajaan maka dokter tidak dapat dibebani tanggung jawab hukum.
Apabila dokter dalam menjalankan profesinya terbukti secara fakta hukum dalam
proses pembuktian dibuktikan di persidangan ada unsur kesengajaan berbuatsesuatu
sehingga sampai menimbulkan hilangnya nyawa pasien, maka dokter tidak dapat
menghindar dari tanggung jawab hukum terutama pertanggung jawaban pidana. Atau
pelanggaran aspek hukum lain seperti hukum perdata dengan resiko mesti digugat dapat
pula menyalahi proses kewenangan administratif sehingga dokter dapat digugat melalui
Peradilan Tata Usaha Negara.
Konsep profesi mesti dibedakan dengan suatu konsep pekerjaan. Profesi tertentu
hanya dimiliki oleh orang atau kelompok tertentu. Suatu profesi karena keahliannya
melalui suatu pendidikan atau pelatihan khusus sehingga seseorang diakui oleh orang lain
atau umum keahliannya. Serta pula melihat hak dan tanggung jawab pada orang tersebut,
sehingga profesi yang dijalankannya mendapat perlindungan hukum secara organisasi
profesi dan kode etik profesi disamping dilindungi oleh hukum secara umum.
Akan berbeda halnya suatu pekerjaan tertentu tiap orang hampir dapat
melakukannya, sehingga sebutannya bukan profesi, tapi sebutannya adalah “pekerja”,
seperti misalnya sopir, tukang kayu dan lain-lain, sehingga dalam menjalnakan fungsi
pekerjaannya lebih dituntut tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkannya dalam
menjalankan perannya. Karena peran yang difungsikannya bukan bertujuan mulai, atau
bukan misi maka seperti menyembuhkan, menyelematkan jiwa manusia seperti profesi
dokter tersebut. Akan berbeda halnya bila seorang dokter pada dasarnya melakukan
tindakan medik yang dibenarkan oleh aturan SOP (Standard Operasional Prosedure)
medik, namun menimbulkan korban secara fatal orang lain / pihak lain maka tindakan
dokter demikian mesti dapat dibebani tanggung jawab hukum.
Kasus dan fenomena dugaan malpraktik serupa kembali muncul di tahun 2014
yang terkenal dengan sebutan kasus dr. Ayu dkk, dengan keluarnya Putusan Pengadilan
Negeri Manado No. 90/Pid.B/2011/PN. MDO tertanggal 15 September2011 dengan
memutus bebas para terdakwanya (terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa
II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian.
Fenomena dugaan malpraktik dokter atas 2 (dua) kasus di atas tampak dan
cenderung melihat tindakan dokter atas dugaan dan tindakan hanya melihat dari sisi
penyelesaian secara tindakan hukum pidana (pelanggaran Pasal dalam hukum
pidana). Tanpa menelusuri tindakan yang dilakukan dokter atas tanggung jawab
profesi yang penuh dengan resiko atas pasien yang ditanganinya. Secara hukum
dokter memiliki pula hak-haknya yang patut dilindungi oleh hukum dalam
menjalankan profesinya. Untuk membuktikan pihak mana yang salah antara dokter
atau keadaan pasienkah sebagai penyebab kefatalan yang tidak diinginkan oleh
semua pihak perlu pembuktian secara medik dan hukum.
Pengajuan tuntutan atas malpraktik yang dilakukan oleh dokter cukup banyak,
namun kebanyakan dari kasus-kasus tersebut akhirnya diputus bebas. Bahkan sebelum
memasuki proses peradilan pidana, laporan malpraktik sudah terlebih dahulu ditolak. Hal
ini tidak lepas dari permasalahan kekosongan norma mengenai malpraktik itu sendiri
sehingga batasan dan ruang lingkup dari tindakan medis yang dapat digolongkan sebagai
malpraktik tidak diatur secara tegas. Secara sederhana, malpraktik dikatakan sebagai
2
Ibid, hal. 198
tindakan medis yang menyimpang dari SOP. Permasalahannya, setiap pusat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan klinik) memiliki SOP yang berbeda-beda.
Dalam penelitian dan penulisan tesis ini penulis batasi ruang lingkupnya terkait
dengan masalah pertama terfokus pada beban pertanggungjawaban pidana bagi dokter
atas adanya dugaan malpraktik medik terhadap pasien. Kedua menyangkut tentang
pembahasan dan kajian atas bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
dokter atas tindakan malpraktik medik terhadap pasien.
Secara keilmuan dalam dunia teoritis atau akademis untuk menambah wawasan
ilmu pengetahuan hukum pada umumnya yang secara substansial lebih terfokus
menyangkut bidang studi hukum pidana dalam acara pidana pada tataran proses peradilan
terkait tanggung jawab pidana bagi dokter atas dugaan tindakan malpraktik medik
terhadap pasien.
1.5.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis adalah memberikan batasan tanggung jawab bagi dokter
untuk pedoman bertindak dalam menjalankan profesinya guna lebih paham
tanggungjawab yang mesti dipikul bila terjadi atas malpraktik medik, serta doktertahu
hak-hak perlindungan hukumnya untuk membela diri bila ada tuduhan malpraktik medik
terhadap pasien.
1. Tinjauan yuridis terhadap masalah etik dan hukum sebagai kesalahan praktik
kedokteran yang ditulis oleh Wirjowidjojo. Dalam penelitian tersebut dibahas
mengenai tanggungjawab hukum atas kesalahan oleh Dokter.3
2. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan TindakPidana
Malpraktik Kedokteran yang ditulis oleh Priharto Adi. Dalam tesis inidibahas
mengenai kebijakan formulasi hukum pidana saat ini yang mengaturatau berkaitan
dengan tindak pidana malpraktik kedokteran dan kebijakanformulasi hukum pidana
yang akan datang di dalam upaya menanggulangitindak pidana malpraktik
kedokteran.4
3. Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan
Korporasi Bisnis Dalam Lingkungan Hukum Indonesia olehMuchammad Alfarisi.
3
Wirjowidjojo, 1996, Masalah Etik dan Hukum Sebagai Bentuk Kesalahan Praktik Kedokteran (Tesis),
Fakultas Hukum Sumatra Utara, Medan.
4
Priharto Adi, 2010, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana
Malpraktik Kedokteran(tesis), Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
Dalam tesis tersebut dibahas mengenai penggolongan malpraktek sebagai kejahatan
korporasi serta upaya penanggulangannya.5
Penelitian pertama, kajian penelitian dilakukan terhadap etik dan hukum atas
kesalahan yang dibuat oleh Dokter sedangkan dalam penelitian "Formulasi Pengaturan
Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Keterangan
Dokter", kajian dilakukan terhadap pemalsuan surat keterangan dokter. Pada penelitian
kedua dan ketiga, kajian dilakukan terhadap tindakan malpraktik oleh dokter baik dari sisi
kebijakan hukum pidananya maupun malpraktik sebagai kejahatan korporasi bisnis.
Pemalsuan surat keterangan dokter merupakan delik yang diatur tersendiri yang berbeda
dengan malpraktik di bidang kedokteran.
Dalam penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teoritik keilmuan berupa
asas-asas hukum, konsep-konsep, doktrin, yurisprudensi dan hasilpenelitian terdahulu
serta teori-teori hukum khususnya sebagai pisau analisis dalam mengkaji dan membahas
permasalahan yang disajikan. Adapun asas-asas hukum yang terkait dengan variabel
judul di atas adalah menyangkut:
Teori-teori yang relevant dan berkorelasi serta cocok untuk dipakai membahas
dan mengkaji permasalahan yang disajikan menurut persepsi penulis adalah:
1. Teori Keadilan
2. Teori Pemidanaan
3. Teori Hukum Pembuktian
4. Teori Kewenangan
Menurut pendapat Ahmad Ali6, bahwa tujuan hukum dititikberatkan pada segi
"keadilan". Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (fliosof
Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan”, di
samping kemanfaatan, dan kepastian.
6
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis, PT. Toko Gimung Agung Tbk,
Jakarta, hal. 72.
Maka dalam mengkaji rumusan masalah yang disajikan, sebelum masuk pada
ranah teori hukum yang aplikatif seperti teori-teori hukum lainnya, lebih awal dipaparkan
teori keadilan dengan beberapa jenis penggolongannya yang relevan dengan topik
bahasan dalam judul dan permasalahan penelitian ini.
7
Dudu Duswara Machmudin, 2001, Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 23
8
Ibid, hal. 53 – 54
memperhitungkan orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti
hukum harus memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela
kepentingan atau kebaikan bersama (common good).9
Sehubungan dengan esensi teori keadilan John Rawls menyangkut peran dokter,
maka merupakan prinsip kesamaan bagi semua pihak yang ada dalam proses peradilan
pidana untuk dapat dibebani pertanggungjawaban hukum bagi dokter dan perlindungan
hukum yang patut diberikan.
2. Teori Pemidanaan
Menurut para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana yakni:
c. Teori Gabungan
Teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam
pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah
penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatanyang dilakukan oleh terpidana.
Menurut teori gabungan tersebut sebagai penjabaran dan tujuan pidana itu sendiri
yang pada masa sekarang banyak mewarnai pemikiran para pakar hukum pidana, seperti
diantaranya Muladi menyebutnya sebagai tujuan pidana yang integratif yaitu:
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (umum dan khusus).
2) Tujuan pidana adalah perlindungan masyarakat.
3) Tujuan pidana adalah memelihara solidaritas masyarakat
4) Tujuan pidana adalah pengimbalan / pengimbangan12
11
Ibid, hal. 18
12
Muhari Agus Santosa, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malaysia, hal.
Ahli hukum asing Herbert L. Packer berpendapat pula bahwa teori gabungan
sangat menjiwai tujuan pidana, seperti dinyatakan "In my view, there are two and only
two ultimate purpose to be served by criminal punishment: theserved infliction if
suffering on evildoers and prevention of crime",13jadi pidana mempunyai tujuan pokok,
yaitu pengenaan dan penderitaan yang layak serta untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Sebagai dasar dan pemeriksaan sidang adalah surat dakwaan yang dibuat oleh
Jaksa. Di depan sidang pengadilan inilah dakwaan akan dibuktikan kesalahan terdakwa,
dan Hakim akan menentukan salah tidaknya terdakwa melalui proses pembuktian. Diakui
memang oleh praktisi hukum Ansorie Sabuan bahwa pembuktian ini adalah merupakan
8.
13
Herbert L. Packer, 1969, The Limits of Criminal Sunction, Stanford University Press, USA Californian, hal.
12.
14
Sue Titus Reid, 1987, CriminalJustice Procedurs and Issues, West Publishing, USA, hal. 347.
masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral
dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang.15
Sejalan dengan maksud dan tujuan pembuktian untuk mencari dan menemukan
kebenaran materiil tersebut adalah sama pula dengan salah satutujuan dalam fungsi
Hukum Acara Pidana seperti dinyatakan oleh Van Bemmelen yakni mencari dan
menemukan kebenaran.16 Teori pembuktian dikenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian
sebagai berikut :
4. Teori Kewenangan
15
Ansorie Sabuan, Syarifiiddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung,
hal. 185.
16
Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 85.
17
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, Op. Cit, hal. 186.
keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan
"teori kewenangan".
Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi imbuhan
yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya. Wewenang berarti
hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu.18
Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dan wewenang
tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hal. 1128.
19
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pasca Unibra, Malang,
hal. 52.
20
Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal. 94.
21
Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono: Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara),
Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hal. 51.
2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.
3. Adanya kemampuan bertindak.
4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.
5. Diberikan oleh undang-undang.
6. Mengandung hak dan kewajiban.
7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.
Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus wakil publik dan aparat
penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1961 jo Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang
Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan eksekusi. Landasan tugas dan
wewenang bagi Jaksa Penuntut Umumtersebut mulai dari amanat konstitusi berupa
22
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, (Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, h. 58.
Undang – Undang Dasar RI Tahun 1945, Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, dan
Undang – Undang Kejaksaan RI.
Dalam penelitian tesis ini tergolong ke dalam jenis penelitian hukumnormatif atau
penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal,karena penelitian hukum
ini dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan(library research) yang terdiri dari
bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukumsekunder. Menurut Soerjono Soekanto,
penelitian hukum normatif ataukepustakaan tersebut mencakup:
23
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 6, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
Sehubungan dengan klasifikasi tersebut di atas maka penelitian hukumnormatif
ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Suatuperaturan
perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum primer denganmeneliti
beberapa undang-undang.
Dalam penelitian hukum yang bersifat normatif maka jenis bahan hukumyang
lazim dipergunakan adalah :
24
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 164.
c. Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang
komprehensif dan tuntas, baik dalam makananya yang formal maupun dalam
maknanya yang materiil.25
3. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut seperti kamus atau
ensiklopedi yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara
gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang berkaitan dengan komponen
variabel judul.
1. Teknik deskripsi, berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi (sistem
peradilan pidana terpadu) atau posisi dari proposisi-proposisi hukum ataunon
hukum.
2. Teknik argumentasi, tidak terlepas dari teknik evaluasi karena penilaian
harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum
3. Teknik sistematisasi, adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hvikum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
4. Teknik evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, adil atau tidak adil, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
25
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 42
peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma
baik tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum
sekunder.
5. Teknik interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistematis, teleologis,
kontektual, evolutif dinamical, futuristik dan lain-lain.26
Demikian beberapa teknik analisis yang dikenal dan yang digunakan penulis
dalam mengkaji bahan hukum yang diperoleh memakai teknik yang diperlukan
sehubungan dengan masalah yang disajikan.
Penulisan ini akan disusun sebagai suatu karya ilmiah berupa tesis yang
direncanakan terbagi dalam 5 bab, yaitu :
Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang permasalahan dalam tesis
ini sehingga menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam atas
permasalahannya.
26
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum,
2013, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 34-35.
Bab III, menjelaskan tentang beban tanggung jawab hukum atas dugaan malpraktik
medik bagi dokter, aspek hukum kesehatan terkait profesi dokter dengan pasie, aspek
hukum pidana dalam KUHP terkait malpraktik medik. Pada bab ini juga akan mengkaji
dan menganalisis teori hukum terkait tanggung jawab hukum bagi dokter dalam
malpraktik medik.
Bab V Penutup, yang berisi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian
mengenai kebijakan formulasi hukum pidana yang berkaitan dengan malpraktik
kedokteran yang saat ini berlaku dan kebijakan formulasi hukum pidana yang akan
datang dalam rangka penanggulangan tindak pidana malpraktik kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Peraturan – Peraturan