Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA PROFESI DOKTER ATAS


DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK DALAM MENJALANKAN FUNGSINYA
DIKAITKAN DENGAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA

RUSMAN, SH

NIM : 16312447401225

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MPU TANTULAR

JAKARTA

2018
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN .............................................................................................................

HALAMAN PRASYARAT GELAR ...............................................................................

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ...............................................................

ABSTRAK .......................................................................................................................

ABSTRACT .....................................................................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………...............

1.2. Rumusan Masalah………………………………………...................

1.3. Ruang Lingkup……………………………………………................

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum......................................................................

1.4.2. Tujuan Khusus……………………………….........……....

1.5. Manfaat Penelitian………………………………………..................

1.5.1. Manfaat Teoritis…………………………….…….............

1.5.2. Manfaat Praktis... ……………………………..….............

1.6 Orisinalitas Penelitian…………………………………...............…..

1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir ……………................…….


1.7.1 Landasan Teoritis………….……………….........………...

1.7.2. Kerangka Berpikir…………………………….........……..

1.8 Metode Penelitian………………………………….…................…..

1.8.1 Jenis Penelitian…………………………….…..........…….

1.8.2 Jenis Pendekatan…………………………….........….…...

1.8.3 Sumber Bahan Hukum…………………….........………..

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum……......…..………..

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum…………..…..….......……

1.9 Sistematika Thesis ………………………………..........................

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK

2.1. Pemahaman Terhadap Istilah Malpraktik Medik …….............…....

2.1.1 Pengertian Malpraktik Secara Etimologi dan Menurut

Pendapat Ahli…………..........................………………

2.1.2. Asas – Asas Hukum Sebagai Landasan Terkait Adanya

Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan

Pasien…………………........…………………………....

2.2. Perbedaan Tindakan Malpraktik Medik Dengan TindakanResiko

Medik...............................................................................................

2.2.1. Profesi Dokter......……………………………………….

2.2.2. Etika Profesi Kedokteran…….......……………………...


2.2.3. Standar Profesi Medis………………….......……………

2.3. Timbulnya Malpraktik Medik dari Dokter……….............………..

2.3.1. Standar Pelayanan Medik Bagi Kesehatan …........……..

2.3.2. Resiko Medik Bagi Dokter…………………........……...

2.3.3. Hal yang Dapat Membebaskan Dokter dari Tuntutan

Hukum…………………..........……………………….…

BAB III BEBAN TANGGUNG JAWAB HUKUM ATAS


DUGAANMALPRAKTIK MEDIK BAGI DOKTER

3.1. Pertanggungjawaban Hukum Bagi Dokter Atas TerjadinyaDugaan

Malpraktik Medik………………………..........................…………

3.1.1. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien …….......……….

3.1.2. Hubungan Dokter Dengan Pasien……………......……...

3.1.3. Tanggung Jawab Dokter Dalam Pelayanan Medik….......

3.2. Aspek Hukum Kesehatan Terkait Profesi Dokter dengan

Pasien................................................................................................

3.2.1. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan Oleh Dokter….........

3.2.2. Persetujuan Tindakan Medik Dokter dan Pasien …..........

3.2.3. Kelalaian Dokter atau Resiko Ditanggung Pasien......…...

3.3 Aspek Hukum Pidana Dalam KUHP Terkait Malpraktik

Medik…………………………………..........………………..……..
3.3.1 Kesalahan Dalam Malpraktik Medik…….......……..……..

3.3.2. Sikap Batin Dokter dalam Malpraktik Medik….........…....

3.3.3. Adanya Akibat Kerugian Terhadap Pasien dan Implikasinya

Dengan Pasal-Pasal KUHP……...............................……..

3.4. Kajian dan Analisis Berdasarkan Teori Hukum TerkaitTanggung

Jawab Hukum Bagi Dokter dalam Malpraktik

Medik……….............................…………………………...………

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER DAN

PENYELESAIAN KASUS ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK

4.1. Contoh Penyelesaian Kasus Malpraktik Medik Berdasarkan Jalur Non


Litigasi (Diluar Pengadilan) Melalui Organisasi Profesi Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI)……………..

4.2. Contoh Penyelesaian Kasus Atas Dugaan Malpraktik Medik


DokterMelalui Jalur Litigasi (Pengadilan) Berdasarkan PutusanYang
Sudah Inkrah (Kasus dr. Dewa Ayu Saraswati dkk)…….............................

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan……………………………….............…………………

5.2. Saran……………………………………..............………………..

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan individu maupun masyarakat, disadari secara bersama-sama


bahwa kesehatan merupakan pilar utama dalam proses pembangunan. Materi yang
berlimpah ruah dan harta benda yang mewah, tidak akan ada gunanya ketika dihadapkan
dengan kondisi fisik yangsakit.Sehingga roda pembangunan pun bisa macet kalau dihuni
oleh orang-orang yang tidak berdaya secara fisik maupun mental.Bagi orang yang sehat,
dengan kondisi jiwa raga yang segar bugar, maka terbentuklah sumber daya manusia
yang kuat agar dapat bekerja dan beraktivitas secara produktif.

Secara jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
bahwa cita-cita bangsa Indonsesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa
Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Guna mencapai cita-cita luhur tujuan nasional tersebut diselenggarakan upaya


pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan
yang menyeluruh, terarah dan terpadu termasuk salah satu prioritas utama adalah sektor
pembangunnan kesehatan. Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukkan
untuk meningkatkan kesadaran, keamanan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu kesejahteraan
sebagaimana diamanatkan dalamPembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Niat
dan maksud tersurat dan tersirat tersebut usaha pembangunan kesehatan bagi setiap warga
negara Indonesia telah terjabar melalui ketentuan konstitusi Indonesia Pasal 28 H ayat (1)
UUD Negara RI Tahun 1945, dengan tersurat bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Perlindungan warga Negara Indonesia dibidang kesehatan tercantum pula dalam


Pasal 9 ayat (1),(2), dan ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang secara formalnya tersurat :

(1) Setiap orang berhak untuk hidup mempertahankan hidup dan meningkatkan
tarap kehidupanya.
(2) Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtra,
lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ketentuan makna pasal diatas mengandung esensi yang luas menyangkut


pembangunan kesehatan secara menyeluruh yakni fisik dan di luar fisik bagi setiap
warga Negara. Negara menjamin usaha disektor kesehatan, dalam berbagai bentuk
dan cara guna kesejahteraan lahir dan batin. Dalam mengisi pembangunan bangsa
negara yang sehat lahir dan batinnya. Sebagai syarat pokok setiap insan mesti sehat
untuk dapat beraktivitas mengisi hidup dan kehidupannya. Setiap orang tahu dan
berusaha untuk menjaga kesehatannya guna mempertahankan hidup yang layak
sebagai manusia normal. Slogan atau pepatah latin menyuratkan “Insano Sana
Incore Puro Sano” (didalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Slogan ini
bermaksud bahwa setiap orang harus sehat badan dan jiwanya sehingga kesehatan
bagi setiap orang akan dibutuhkan setiap orang sebagai kebutuhan primer.

Negara yang berkewajiban melindungi setiap warganya, sangat memperhatikan


pula disektor pembangunan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan oleh negara, berupa
menciptakan perlindungan hukum dengan adanya Undang Undang Kesehatan yakni
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, Undang-Undang Rumah Sakit yakni Undang
Undang Nomor 44 tahun 2009, serta Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu Undang-
Undang Nomor 29 tahun 2004, dan banyak lagi peraturan pemerintah khususnya
peraturan menteri kesehatan, yang mengatur berbagai aktivitas menyangkut bidang
kesehatan.

Tugas pelayanan dan penyelenggaraan dibidang kesehatan bagi masyarakat pada


umumnya yang menjadi beban adalah ditangan dokter. Dokter dan dokter gigi tugas
wewenang dan tanggung jawabnya telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu
komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan
yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan
mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan
tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan teknologi dan kompetensi
yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang
dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

Profesi dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya memilikikarakteristik


yang khas. Kekhususan ini terlihat dari pembenaran yang diberikan olehhukum yaitu dari
diperkenankanya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusiadalam upaya
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakanmedis terhadaptubuh manusia
seperti operasi, pencangkokan, pemindahan bagian tertentu organ manusia yang
dilakukan oleh dokter bukanlah digolongkan sebagai tindak pidana. Sebaliknya bila
tindakan kemudian bukan dilakukan oleh dokter maka akan tergolong sebagai tindak
pidana. Profesi dokter diposisikan sebagai profesi mulia (afficium mobile) sama dengan
profesi advokat. Profesi ini bermisi mulia untuk menolong manusia yang mengalami
susah.

Dokter adalah seorang manusia biasa pula, tidak luput dalam menjalankan tugas
dan peran profesinya dari ketidaksempurnaannya. Tindakan apapun yang dilakukan
dokter sering menimbulkan akibat yang tidak diharapkan oleh pihak yang ditanganinya.
Akibat yang timbul bisa kemungkinannya karena unsur kelalaian ataupun kesengajaan
dari pihak dokter, ataupun kelemahan atau kekurangan sebagai penyebab kefatalan yang
dialami pihak pasien bersumber dari si pasien atau pihak yang ditangani. Suatu fenomena
sosio-yuridis terjadi berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter
seringnya sekarang ini terjadi tuntutan hukum yang diajukan masyarakat kepada dokter
atau dokter gigi yang diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang
dilakukan dokter, bahkan sering berakibat fatal hilangnya nyawa pasien atau cacatnya
pasien secara permanen. Masyarakat atau seseorang sebagai pihak korbanya
menyebutnya dengan sebutan istilah telah terjadi malpraktik, sebaliknya apabila tindakan
medisyang dilakukan dokter berhasil dianggap hal biasa-biasa saja, padahal dokter dalam
menjalankan tugas dan profesinya didasari perangkat ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya, hanya berupa ia untuk menyembuhkan kegagalan
penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan sebagai akibat
dalam tindakan yang telah dilakukan dokter. Kesalahan persepsi masyarakat awam
terhadap hasil tindakan secara medis yang dialami pasien sebagai korban selalu
dokter disudutkan dengan telah melakukan tindakan malpraktik.

Perlu ditelusuri dan dipahami secara keilmuan normatif hukum bahwa istilah
“malpraktik” dalam Undang - Undang Nomor23 Tahun 1992 dan Undangundang No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak ada ditemukan mengatur tentang istilah
“malpraktik” tersebut. Dalam UU Kesehatan Pasal 54 dan Pasal 55, menyebutnya dengan
sebutan “kesalahan atau kelalaian dokter apabila terjadi halhal yang tidak diharapkan oleh
pasien sebagai akibat tindakan dokter yang telah dilakukannya. Begitu pula halnya Pasal
83 Undang - Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutnya
dengan istilah “Sebagai pelanggaran disiplin dokter”. Berarti dalam khasanah hukum
formil atau norma hukum terkait pengaturan kesehatan khususnya mengatur tentang
tindakan penyimpang yang dilakukan dokter yang tidak sesuai dengan harapan pihak
pasien tidak ada norma yang mengatur dengan sebutan “malpraktik” bagi profesi oleh
dokter tersebut. Atau secara hukum tidak ada norma yang mengatur atau kosong.
Ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 mengatur
“pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat.... dstnya:. Begitu pula
halnya dalam Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak ada
ditemukan pengaturan istilah malpraktik tersebut.
Solusi atas terjadinya norma kosong dalam ketiga undang – undang diatas untuk
menjamin adanya kepastian hukum kedepannya perlu tindakan pembentukan norma.
Pencanangannya norma hukum atas batasan malpraktik medik tersebutpaling tepat mesti
dimuat dalam undang – undang tentang Praktek Kedokteran, yang sekarang berlaku
dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004.

Pembentukan norma hukum secara prinsip merupakan tugas dan wewenang


lembaga legislatif. Penormaan suatu substansi tertentu oleh legislator dapat berbentuk
penciptaan hukum (rechtshaving), pembentukan hukum (rechtsforming) penghalusan
hukum (rechtsvervijning). Khusus bagi kalangan yudikatif utamanya hakim mempunyai
tugas pula dalam penormaan berupa fungsi dalam penemuan hukum sebagai perwujudan
asas ius curia novit yakni melalui rechtsvinding (penemuan hukum) oleh hakim di
pengadilan.

Berbagai tindakan hukum dapat dilakukan seperti tindakan – tindakan di atas baik
oleh legislatif maupun yudikatif guna mengisi kekosongan hukum, khusus disini tentang
adanya kekosongan pengaturan oleh dokter tersebut. Hal iu mesti ke depan ada rumusan
norma hukum yang tertuang dalam salah satu perundangundangan di bidang kesehatan,
utamanya mesti tercantum dalam undang-undang Praktek Kedokteran.

Munculnya sebutan istilah malpraktek pada sektor pelayanan kesehatan pada


akhir-akhir ini mulai ramai diperbincangkan masyarakat dari berbagai pihak sebgai akibat
banyaknya pengaduan kasus-kasus yang diduga merupakan malpraktik (menurut sebutan
dan istilah di masyarakat) terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien
dalam dokter melakukan perawatan seseorang pasien. Dalam hubungan kepentingan
antara dua pihak yakni pasien dengan dokter telah terjalin secara tidak langsung
hubungan kepentingan yang menghasilkan resiko serta hasil berupa sebab akibat.

Menurut pernyataan Hendrojono Soewono1 bahwa sudah terjadi sejak permulaan


sejarah manusia telah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara insan-insan yaitu
dokter dan penderita yang dalam jaman modern ini disebutsebagai transaksi “terapeutik”

1
Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam transaksi
Terapentik, Srilandi, Surabaya, hal. 5.
antara dokter dan pasien. Adanya transaksi terapeutik berarti satu pihak telah
mengikatkan diri yakni penderita atau pasien kepada pihak lain yakni dokter untuk
keperluan dan sebab tertentu berupa pelayanan akan profesi yang dimiliki dokter di
bidang pelayanan kesembuhan suatu gangguan kesehatan dari si pasien terkait dengan
aspek hukum keperdataan pihak dokter dan pasien bila telah terwujud transaksi terapeutik
tersebut, maka akan terikat dan tunduk pada ketentuan Pasal 1320 Burgelijke van
Weetboek (BW), transaksi pihak – pihak tersebut terikat pada syarat – syarat : ada kata
sepakat dari para pihak yang saling meningkatkan diri, kecakapan untuk membuat
sesuatu, mengenai suatu hal / obyek dan karena suatu kausa yang sah. Dalam transaksi
terapeutik harus memiliki keempat syarat tersebut. Dan bila transaksi terapeutik sudah
terjadi atau terlaksana, kedua belah pihak dibebani dengan hak dan kewajiban sesuai yang
telah disepakati bersama dan harus dipatuhi dan dipenuhi.

Terkait antara adanya ikatan atas perjanjian antara pihak dokter dengan pasien
akan menimbulkan timbulnya hak dan kewajiban. Pasien dapat menuntut haknya,
sedangkan dokter dapat dibebani tanggung jawab atas profesinya, disamping dokter
diberi hak pula oleh hukum unutk mendapatkan perundangan hukum dalam menjalankan
profesinya. Konsep tanggung jawab yang dibebankan pada dokter dalam menjalankan
fungsinya dapat dibedakan antara tanggung jawab profesi dan tanggung jawab hukum.
Tanggung jawab profesi merupakan tugas mulia yang diemban dokter, sehingga
kesalahan dalam menjalankan profesinya terutama bila dilakukan tidak dengan unsur
kesengajaan maka dokter tidak dapat dibebani tanggung jawab hukum.

Apabila dokter dalam menjalankan profesinya terbukti secara fakta hukum dalam
proses pembuktian dibuktikan di persidangan ada unsur kesengajaan berbuatsesuatu
sehingga sampai menimbulkan hilangnya nyawa pasien, maka dokter tidak dapat
menghindar dari tanggung jawab hukum terutama pertanggung jawaban pidana. Atau
pelanggaran aspek hukum lain seperti hukum perdata dengan resiko mesti digugat dapat
pula menyalahi proses kewenangan administratif sehingga dokter dapat digugat melalui
Peradilan Tata Usaha Negara.
Konsep profesi mesti dibedakan dengan suatu konsep pekerjaan. Profesi tertentu
hanya dimiliki oleh orang atau kelompok tertentu. Suatu profesi karena keahliannya
melalui suatu pendidikan atau pelatihan khusus sehingga seseorang diakui oleh orang lain
atau umum keahliannya. Serta pula melihat hak dan tanggung jawab pada orang tersebut,
sehingga profesi yang dijalankannya mendapat perlindungan hukum secara organisasi
profesi dan kode etik profesi disamping dilindungi oleh hukum secara umum.

Akan berbeda halnya suatu pekerjaan tertentu tiap orang hampir dapat
melakukannya, sehingga sebutannya bukan profesi, tapi sebutannya adalah “pekerja”,
seperti misalnya sopir, tukang kayu dan lain-lain, sehingga dalam menjalnakan fungsi
pekerjaannya lebih dituntut tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkannya dalam
menjalankan perannya. Karena peran yang difungsikannya bukan bertujuan mulai, atau
bukan misi maka seperti menyembuhkan, menyelematkan jiwa manusia seperti profesi
dokter tersebut. Akan berbeda halnya bila seorang dokter pada dasarnya melakukan
tindakan medik yang dibenarkan oleh aturan SOP (Standard Operasional Prosedure)
medik, namun menimbulkan korban secara fatal orang lain / pihak lain maka tindakan
dokter demikian mesti dapat dibebani tanggung jawab hukum.

Pekerja dalam menjalankan fungsinya karena kelalaiannya menimbulkan akibat


hukum, tetap ada dasar alasan yang meringankannya. Namun lebih besar dituntut
tanggung jawab secara hukum karena bukan menjalankan sebuah profesi. Merupakan hal
yang sangat berbeda antara profesi dokter yang mulia bila dibandingkan dengan seorang
pekerja.

Adanya berbagai pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek


profesi dokter menunjukkan pula telah terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat
dalam memperjuangkan hak-hak mereka di bidang kesehatan terkait dengan kesadaran
akan hukum untuk menuntut secara keperdataan, pidana maupun hukum administratif
terhadap dugaan malpraktik dokter yang dipandang merugikan pihak pasien. Sebagai
ilustrasi kasus malpraktik dokter munculnya pertama kali di Indonesia Putusan
Pengadilan Negeri Pati dengan Nomor Putusan No. : 8/1980/Pid.B/PN Pt tanggal 2
September 1981 yang menyatakan bahwa dr. Setyaningrum binti Siswoko dinyatakan
bersalah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal
dunia, dan menghukum yang bersangkutan selama 3 (tiga) bulan. Kasus ini berlanjut
hingga banding dan kasasi, di tingkat Kasasi Mahkamah Agung membebaskan dr.
Setyaningrum Siswoko, karena Mahkamah Agung menilai unsur Pasal 359 KUHP atas
tindakan kelalaian tidak terbukti. Karena pertimbangan Mahkamah Agung dokter telah
melaksanakan tugasnya dengan baik dilandasi dengan kemurnian niat, kesungguhan
kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial.2

Kasus dan fenomena dugaan malpraktik serupa kembali muncul di tahun 2014
yang terkenal dengan sebutan kasus dr. Ayu dkk, dengan keluarnya Putusan Pengadilan
Negeri Manado No. 90/Pid.B/2011/PN. MDO tertanggal 15 September2011 dengan
memutus bebas para terdakwanya (terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa
II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian.

Fenomena dugaan malpraktik dokter atas 2 (dua) kasus di atas tampak dan
cenderung melihat tindakan dokter atas dugaan dan tindakan hanya melihat dari sisi
penyelesaian secara tindakan hukum pidana (pelanggaran Pasal dalam hukum
pidana). Tanpa menelusuri tindakan yang dilakukan dokter atas tanggung jawab
profesi yang penuh dengan resiko atas pasien yang ditanganinya. Secara hukum
dokter memiliki pula hak-haknya yang patut dilindungi oleh hukum dalam
menjalankan profesinya. Untuk membuktikan pihak mana yang salah antara dokter
atau keadaan pasienkah sebagai penyebab kefatalan yang tidak diinginkan oleh
semua pihak perlu pembuktian secara medik dan hukum.

Pengajuan tuntutan atas malpraktik yang dilakukan oleh dokter cukup banyak,
namun kebanyakan dari kasus-kasus tersebut akhirnya diputus bebas. Bahkan sebelum
memasuki proses peradilan pidana, laporan malpraktik sudah terlebih dahulu ditolak. Hal
ini tidak lepas dari permasalahan kekosongan norma mengenai malpraktik itu sendiri
sehingga batasan dan ruang lingkup dari tindakan medis yang dapat digolongkan sebagai
malpraktik tidak diatur secara tegas. Secara sederhana, malpraktik dikatakan sebagai

2
Ibid, hal. 198
tindakan medis yang menyimpang dari SOP. Permasalahannya, setiap pusat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan klinik) memiliki SOP yang berbeda-beda.

Kekosongan norma mengenai malpraktik medik berimplikasi pada putusan


pengadilan mengenai kasus tersebut. Kasus malpraktik yang diperiksa di pengadilan
hanya menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam KUHP, seperti Pasal346, 347, 359, 360,
dan 386 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini tentu sangat melemahkan
dakwaan, sehingga hampir semua kasus malpraktik medik tidak dapat dibuktikan.
Pembebasan terdakwa akan menimbulkan preseden bahwa dokter menjadi profesi yang
tidak dapat tersentuh oleh hukum (kebal hukum).

Berdasarkan permasalahan yang sering mengemuka seperti terurai diatas, maka


peneliti ingin mengungkap gejala tersebut dalam sebuah penelitian tesisdengan judul
“Pertanggungjawaban Pidana Pada Profesi Dokter Atas Dugaan Malpraktik Medik Dalam
Menjalankan Fungsinya Dikaitkan Dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana”.

1.1. Rumusan Masalah

Dalam penelitian terkait judul diatas peneliti menampilkan rumusan masalah


seperti berikut :

1. Apakah dokter dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas dugaan malpraktik


medik terhadap pasien?
2. Apa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada dokter atas tindakan
malpraktik medik tersebut?

1.2. Ruang Lingkup

Dalam penelitian dan penulisan tesis ini penulis batasi ruang lingkupnya terkait
dengan masalah pertama terfokus pada beban pertanggungjawaban pidana bagi dokter
atas adanya dugaan malpraktik medik terhadap pasien. Kedua menyangkut tentang
pembahasan dan kajian atas bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
dokter atas tindakan malpraktik medik terhadap pasien.

1.3. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum

1. Penelitian ini bertujuan dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya,


khsusunya di bidang Hukum Pidana materiil dan formal atau hukum acara pidana
dalam substansi adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat
atau pasien
2. Untuk memberi pemahaman terhadap pengertian dan lingkup malpraktik medik
oleh dokter

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mendeskripsikan serta memberikan analisis secara lebih mendalam


terhadap beban pertanggungjawaban pidana bagi dokter terkait adanya dugaan
malpraktik medik yang dilakukan terhadap pasien, baik karena dilakukan secara
sengaja atau kelalaian atau pula masuk dalam lingkup tindakan profesi yang
ditentukan oleh undang – undang
2. Untuk mengetahui dan mengkaji serta memberi solusi hukumnya terhadap
perlindungan hukum sebagai hak-hak yang dimiliki dokter dalam menjalankan
profesinya berupa pelayanan kesehatan bagi pasien yang ditanganinya.

1.4. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara keilmuan dalam dunia teoritis atau akademis untuk menambah wawasan
ilmu pengetahuan hukum pada umumnya yang secara substansial lebih terfokus
menyangkut bidang studi hukum pidana dalam acara pidana pada tataran proses peradilan
terkait tanggung jawab pidana bagi dokter atas dugaan tindakan malpraktik medik
terhadap pasien.
1.5.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis adalah memberikan batasan tanggung jawab bagi dokter
untuk pedoman bertindak dalam menjalankan profesinya guna lebih paham
tanggungjawab yang mesti dipikul bila terjadi atas malpraktik medik, serta doktertahu
hak-hak perlindungan hukumnya untuk membela diri bila ada tuduhan malpraktik medik
terhadap pasien.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter Atas Dugaan


Malpraktik Medik” merupakan penelitian orisinal yang belum pernah dibahas oleh
peneliti lainnya. Sebagai perbandingan, ada beberapa penelitian yang terkait dengan
penelitian ini yakni penelitian mengenai mengenai malpraktik ini.

Adapun penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Tinjauan yuridis terhadap masalah etik dan hukum sebagai kesalahan praktik
kedokteran yang ditulis oleh Wirjowidjojo. Dalam penelitian tersebut dibahas
mengenai tanggungjawab hukum atas kesalahan oleh Dokter.3
2. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan TindakPidana
Malpraktik Kedokteran yang ditulis oleh Priharto Adi. Dalam tesis inidibahas
mengenai kebijakan formulasi hukum pidana saat ini yang mengaturatau berkaitan
dengan tindak pidana malpraktik kedokteran dan kebijakanformulasi hukum pidana
yang akan datang di dalam upaya menanggulangitindak pidana malpraktik
kedokteran.4
3. Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan
Korporasi Bisnis Dalam Lingkungan Hukum Indonesia olehMuchammad Alfarisi.

3
Wirjowidjojo, 1996, Masalah Etik dan Hukum Sebagai Bentuk Kesalahan Praktik Kedokteran (Tesis),
Fakultas Hukum Sumatra Utara, Medan.
4
Priharto Adi, 2010, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana
Malpraktik Kedokteran(tesis), Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
Dalam tesis tersebut dibahas mengenai penggolongan malpraktek sebagai kejahatan
korporasi serta upaya penanggulangannya.5

Penelitian pertama, kajian penelitian dilakukan terhadap etik dan hukum atas
kesalahan yang dibuat oleh Dokter sedangkan dalam penelitian "Formulasi Pengaturan
Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Keterangan
Dokter", kajian dilakukan terhadap pemalsuan surat keterangan dokter. Pada penelitian
kedua dan ketiga, kajian dilakukan terhadap tindakan malpraktik oleh dokter baik dari sisi
kebijakan hukum pidananya maupun malpraktik sebagai kejahatan korporasi bisnis.
Pemalsuan surat keterangan dokter merupakan delik yang diatur tersendiri yang berbeda
dengan malpraktik di bidang kedokteran.

Penelitian-penelitian sebelumnya tidak membahas, mengenai aspek hukum


tanggung jawab dokter secara hukum dan perlindungan hukumnya. Sementara dalam
penelitian tesis ini akan dibahas mengenai dua hal yakni pertanggungjawaban dokter
terhadap pasien yang ditanganinya dan kedua menyangkut perlindungan hukum sebagai
hak dokter yang mesti diberikan atas tuduhan adanya malpraktik medik tersebut.

1.6. Landasan Teori dan Kerangka Berpikir

1.7.1 Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teoritik keilmuan berupa
asas-asas hukum, konsep-konsep, doktrin, yurisprudensi dan hasilpenelitian terdahulu
serta teori-teori hukum khususnya sebagai pisau analisis dalam mengkaji dan membahas
permasalahan yang disajikan. Adapun asas-asas hukum yang terkait dengan variabel
judul di atas adalah menyangkut:

1. Asas legalitas (the legal of principle)


2. Asas kesalahan (genstraafzonder shuld)
3. Asas oportunitas
4. Asas manfaat
5
Muchammad Alfarisi, (2006), "Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai Salah Satu Bentuk
Kejahatan Korporasi Bisnis Dalam Lingkungan Hukum Indonesia" Magister Hukum Kenegaraan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
5. Asas ganti rugi

Konsep-konsep yang membangun dan melandasi variabel-variabel judul yang


disajikan akan menyangkut pengertian, makna tentang malpraktik medik dari dokter,
serta beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan.

Suatu yurisprudensi dimaksudkan sehubungan penelitian yang akan dilakukan


adalah berupa putusan-putusan pengadilan menyangkut dugaan tindak pidana malpraktik
dokter. Putusan-putusan dimaksud sebagai penunjang dan untuk memperkuat bahasan
dan kajian dari permasalahan yang dibahas.

Hasil-hasil penelitian terdahulu juga dimaksudkan pula sebagai bahan penunjang


guna menambah keakurasian kajian yang dilakukan dalam mengkaji dan menganalisis
permasalahan yang disajikan dalam penelitian tesis ini.

Teori-teori yang relevant dan berkorelasi serta cocok untuk dipakai membahas
dan mengkaji permasalahan yang disajikan menurut persepsi penulis adalah:

1. Teori Keadilan
2. Teori Pemidanaan
3. Teori Hukum Pembuktian
4. Teori Kewenangan

Adapun penjabaran ringkas teori-teori hukum tersebut di atas terurai seperti


berikut:

1. Teori Keadilan (Justice Theory)

Menurut pendapat Ahmad Ali6, bahwa tujuan hukum dititikberatkan pada segi
"keadilan". Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (fliosof
Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan”, di
samping kemanfaatan, dan kepastian.

6
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis, PT. Toko Gimung Agung Tbk,
Jakarta, hal. 72.
Maka dalam mengkaji rumusan masalah yang disajikan, sebelum masuk pada
ranah teori hukum yang aplikatif seperti teori-teori hukum lainnya, lebih awal dipaparkan
teori keadilan dengan beberapa jenis penggolongannya yang relevan dengan topik
bahasan dalam judul dan permasalahan penelitian ini.

Filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul


"Rhetorica" dan "Ethicanikomachea". Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu
semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum quique
tribuere, yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau
haknya.7

Selain model keadilan yang berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan


model keadilan lain, yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif
identik dengan keadilan atas dasar kesamaanproporsional. Sedangkan keadilan korektif
atau remidial, berfokus pada "pembetulan pada sesuatu yang salah". Jika sesuatu
dilanggar, atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan dilakukan,
maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku.

Singkatnya, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan. Keadilan


korektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari
perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukuman
harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki kerugian dan
memulihkan keuntungan yang tidak sah. Konsep Themis, Sang Dewi Keadilan
melandasi keadilan jenis ini yang bertugas menyeimbangkan prinsip-prinsip
tersebut tanpa memandang siapa pelakunya.8

Sumber lain juga menyatakan bahwa Aristoteles menempatkan keadilan sebagai


nilai yang paling utama, bahkan menyebut keadilan sebagai nilai yang paling
sempurna atau lengkap. Alasannya keadilan dasarnya terarah baik pada diri
sendiri maupun pada orang lain. Bertindak adil berartibertindak dengan

7
Dudu Duswara Machmudin, 2001, Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 23
8
Ibid, hal. 53 – 54
memperhitungkan orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti
hukum harus memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela
kepentingan atau kebaikan bersama (common good).9

Sehubungan dengan esensi teori keadilan John Rawls menyangkut peran dokter,
maka merupakan prinsip kesamaan bagi semua pihak yang ada dalam proses peradilan
pidana untuk dapat dibebani pertanggungjawaban hukum bagi dokter dan perlindungan
hukum yang patut diberikan.

2. Teori Pemidanaan

Munculnya teori-teori mengenai pemidanaan sebagai landasan untuk


menjustifikasi pelaku suatu tindak pidana dibenarkan untuk dijatuhi pidana
olehpengadilan, tidak terlepas dari adanya tujuan pidana itu sendiri yang terus mengalami
perkembangan.

Menurut para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana yakni:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien).

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorieri).

c. Teori Gabungan (Verenigingstheorieri).10

Secara pokok masing-masing teori di atas menggariskan prinsip-prinsip sebagai


berikut:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori Pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang


praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan tu sendirilah yang mengandung unsur-
9
Andre Ata Ujian, 2009, Filsafat Hukum Membangun Hukum dan Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 48.
10
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 17.
unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan, tidaklah perlu untukmemikirkan manfaat penjatuhan pidana setiap kejahatan
harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Oleh karena itulah maka teori ini
disebut Teori Absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang
perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan hakikat suatu pidana adalah pembalasan.11

b. Teori Tujuan atau Teori Relatif / Teori Perbaikan

Teori tujuan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan


berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan yang meliputi dua hal : (1) untuk
perlindungan masyarakat dan (2) untuk pencegahan terjadinya kejahatan. Yang dalam
teori tujuan atau relatif dibedakan lag! dalam 2 (dua) bagian :
1) Prevensi Umum, berupa menakut-nakuti calon penjahat atau penjahatyang
bersangkutan agar orang pada umumnya tidak melakukan delik.
2) Prevensi Khusus, berupa mencegah niat buruk pelaku (dader),mencegah
pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakalpelanggar
melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.

c. Teori Gabungan
Teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam
pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah
penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatanyang dilakukan oleh terpidana.
Menurut teori gabungan tersebut sebagai penjabaran dan tujuan pidana itu sendiri
yang pada masa sekarang banyak mewarnai pemikiran para pakar hukum pidana, seperti
diantaranya Muladi menyebutnya sebagai tujuan pidana yang integratif yaitu:
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (umum dan khusus).
2) Tujuan pidana adalah perlindungan masyarakat.
3) Tujuan pidana adalah memelihara solidaritas masyarakat
4) Tujuan pidana adalah pengimbalan / pengimbangan12

11
Ibid, hal. 18
12
Muhari Agus Santosa, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malaysia, hal.
Ahli hukum asing Herbert L. Packer berpendapat pula bahwa teori gabungan
sangat menjiwai tujuan pidana, seperti dinyatakan "In my view, there are two and only
two ultimate purpose to be served by criminal punishment: theserved infliction if
suffering on evildoers and prevention of crime",13jadi pidana mempunyai tujuan pokok,
yaitu pengenaan dan penderitaan yang layak serta untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Antara teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan secara substansial


mengandung esensi yang hampir sama, sulit untuk dibedakan, karena falsafah
pemidanaan yang tertuang dalam teori pemidanaan merupakan esensi dan tujuan akhir
pemidanaan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Sue Titus Reid menyatakan dalam
pendapatnya bahwa, "Merinci ada 4 (empat) hal filsafat pemidanaan yang digunakan
untuk membenarkan atau menjustifikasi, pemidanaan yaitu, rehabilitasi, inkapasitasi,
pencegahan dan retribusi yang dalam pernyataanya mengatakan “four basic punishment
philosophies are used to justify sentencing rehabilitation, incapacitation, deterrence and
retribution”14

3. Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang


didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses HukumAcara Pidana. Akan
berakibat fatal jika seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana namun setelah
dibuktikan melalui proses pembuktian di persidangan, ia tidak terbukti bersalah. Untuk
menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan
menemukan atau paling tidak agar mendekati kebenaran materiil.

Sebagai dasar dan pemeriksaan sidang adalah surat dakwaan yang dibuat oleh
Jaksa. Di depan sidang pengadilan inilah dakwaan akan dibuktikan kesalahan terdakwa,
dan Hakim akan menentukan salah tidaknya terdakwa melalui proses pembuktian. Diakui
memang oleh praktisi hukum Ansorie Sabuan bahwa pembuktian ini adalah merupakan

8.
13
Herbert L. Packer, 1969, The Limits of Criminal Sunction, Stanford University Press, USA Californian, hal.
12.
14
Sue Titus Reid, 1987, CriminalJustice Procedurs and Issues, West Publishing, USA, hal. 347.
masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral
dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang.15

Sejalan dengan maksud dan tujuan pembuktian untuk mencari dan menemukan
kebenaran materiil tersebut adalah sama pula dengan salah satutujuan dalam fungsi
Hukum Acara Pidana seperti dinyatakan oleh Van Bemmelen yakni mencari dan
menemukan kebenaran.16 Teori pembuktian dikenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian
sebagai berikut :

a. Teori pembuktian atas keyakinan belaka (Conviction in time).


b. Teori pembuktian atas alasan yang logis (Conviction Raisonee) atau Teori
Pembuktian Bebas.
c. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive
Wettelijke Bewijstheorie).
d. Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief
Wettelijke Bewfistheorie)17

Sejarah perkembangan hukum Acara Pidana menunjukkan bahwa adanya 4


(empat) sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa, dan berperan bagi hakim untuk menilai alat bukti yang diajukan tersebut guna
menentukan salah tidaknya terdakwa.

4. Teori Kewenangan

Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh


kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui tindakan yang namanya
"wewenang". Secara keilmuan hukum wewenang merupakan konsep inti dalam ranah
hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang dalam konsep

15
Ansorie Sabuan, Syarifiiddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung,
hal. 185.
16
Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 85.
17
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, Op. Cit, hal. 186.
keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan
"teori kewenangan".

Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi imbuhan
yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya. Wewenang berarti
hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu.18

Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang


tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti :

1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaandengan


perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyekhukum publik dalam
hubungan hukum publik.19
2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap
sebagaikemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu,
dapatdiciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh suatuperaturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibatakibat hukum yang
sah.20
4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.21

Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dan wewenang
tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:

1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.

18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hal. 1128.
19
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pasca Unibra, Malang,
hal. 52.
20
Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal. 94.
21
Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono: Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara),
Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hal. 51.
2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.
3. Adanya kemampuan bertindak.
4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.
5. Diberikan oleh undang-undang.
6. Mengandung hak dan kewajiban.
7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.

Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis diperoleh atau


melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh
wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem
Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing
dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan
lainnya, mandat adalah terjadiketika organ pemerintahan mengijinkan wewenangnya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.22

Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan (atribusi) secara jelas


dinyatakan diberikan kepada organ pemerintahan. Dalam SPP salah satu sub sistem
struktur yang tergolong ke dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ
pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah sebagai pejabat
hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban misi due process of law.

Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus wakil publik dan aparat
penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1961 jo Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang
Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan eksekusi. Landasan tugas dan
wewenang bagi Jaksa Penuntut Umumtersebut mulai dari amanat konstitusi berupa

22
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, (Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, h. 58.
Undang – Undang Dasar RI Tahun 1945, Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, dan
Undang – Undang Kejaksaan RI.

Jaksa didepan persidangan dapat menuntut dokter atas dugaan terjadinya


malpraktik. Dokter pula dalam menjalankan profesinya secara atributif dilindungi oleh
beberapa perundang-undangan di bidang kesehatan seperti Undang - Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Undang - Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Rumah Sakit.

1.7.2. Kerangka Berpikir

Adapun Kerangka Berpikir untuk mempermudah kategorisasi yang menjadi focus


bahasan dalam penelitian ini adalah dibuatkan dalam bentuk narasi seperti berikut ini:

JUDUL:Pertanggungjawaban Pidana Pada Profesi Dokter Atas Dugaan


Malpraktik Medik Dalam Menjalankan Fungsinya Dikaitkan Dengan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana.

LATAR BELAKANG MASALAH: Sering muncul tuduhan masyarakat dokter


melakukan malpraktik medic. Dalam UU di bidang praktek kedokteran dan UU
kesehatan tidak terdapat istilah malpraktik.Terdapat norma hukum yang kosong. Perlu
tanggung jawab bagi dokter secara hokum.Perlu dokter dilindungi secara hukum
porofesinya

MASALAH 1: Apakah dokter dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas


dugaan malpraktik medik terhadap pasien?

MASALAH 2: Apa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada


dokter atas tindakan malpraktik medik tersebut ?

METODE PENELITIAN: Jenis – jenis penelitian, normatif, pendekatan :


perundang- undangan, konsep hukum, kasus dan perbandingan analisis ; deskriptif,
argumentasi, evaluasi, interpretasi
LANDASAN TEORITIS: Asas – asas hukum, konsep, doktrin, yurisprudensi,
teori keadilan, teori kewenangan, teori pemindanaan dan teori hukum pembuktian.

SIMPULAN: 1. Belum tentu tergantung pembuktian atas tindakan yang dilakukan


2. Perlindungan hukum secara hukum pidana, perdata dan hukum administratif

SARAN: 1. Agar masyarakat tidak gampang menuduh doker telah melakukan


malpraktik medik 2. Agar dalam penyelesaian kasus-kasus malpraktik medik, baik secara
non litigasi maupun litigasi pihak pemutus atas dugaan malpraktik dalam menjatuhkan
sanksi yang benar dan berkeadilan, mengingat profesi dokter membawa misi mulia demi
keselamatan nyawa manusia, terkadang dokter mempertaruhkan jabatan, profesi demi
keselamatan orang lain

1.7. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian tesis ini tergolong ke dalam jenis penelitian hukumnormatif atau
penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal,karena penelitian hukum
ini dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan(library research) yang terdiri dari
bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukumsekunder. Menurut Soerjono Soekanto,
penelitian hukum normatif ataukepustakaan tersebut mencakup:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum


2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum23

23
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 6, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
Sehubungan dengan klasifikasi tersebut di atas maka penelitian hukumnormatif
ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Suatuperaturan
perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum primer denganmeneliti
beberapa undang-undang.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian normatif (kepustakaan),maka


dalam penelitian ini akan memakai beberapa metode pendekatan,diantaranya:

1. The Statute Approach pendekatan perundang-undangan yakni beberapa penelusuran


terhadap beberapa peraturan penmdang-undangan dibidang kesehatan, seperti Undang
– Undang Kesehatan, Undang – Undang Praktek Kedokteran dan Undang – Undang
Rumah Sakit serta peraturan – peraturan terkait di bidang kesehatan.
2. The Analitical and Conseptual Approach (pendekatan analisis konsep hukum) yakni
berupa menelusuri tentang keberadaan hubungan yang kontekstual
antaraperaturanperundang-undangan terkait antara yang satu dengan yang
lainnyadalam hal menyangkut malpraktik
3. Pendekatan Kasus (The Cases Approach), menyangkut kasus-kasus malpraktikoleh
dokter yang diputus oleh pengadilan.
4. Pendekatan Perbandingan, yakni meninjau keberadaan malpraktik di beberapa negara
asing, dalam perannya dokter melayani kesehatan masyarakat (pasien).

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum yang bersifat normatif maka jenis bahan hukumyang
lazim dipergunakan adalah :

1. Bahan-bahan Hukum Primer


a. Norma Dasar Pancasila
b. Peraturan Dasar, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945
c. Peraturan perundang-undangan terkait di bidang kesehatan
2. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-
bahan primer dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer
adalah:
a. Rancangan Peraturan Perundang-undangan
b. Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana
c. Hasil-hasil Penelitian
3. Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi bibliografi.24

Dalam hubungan dengan penelitian hukum normatif maka memakai sumber


bahan hukum dari:

1. Bahan hukum primer, berupa beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait


dengan malpraktik medik oleh dokter sehubungan layanan kesehatanoleh dokter
yakni :
a. Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b. Undang – Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
c. Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
2. Bahan hukum sekunder, yakni memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer (dalam hubungan dengan penelitian ini) seperti menyangkut penggunaan
buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum karya tulis atau pandangan para
ahli hukum yang dimuat dalam media massa sepanjang menyangkut danberhubungan
dengan materi malpraktik medik oleh dokter terhadap pasiennya , kegunaan dari
bahan hukum sekunder itu antara lain adalah sebagai berikut:
a. Untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber materiil.
b. Untuk meningkatkan mutu interprestasi atas hukum positif yang berlaku.

24
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 164.
c. Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang
komprehensif dan tuntas, baik dalam makananya yang formal maupun dalam
maknanya yang materiil.25
3. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut seperti kamus atau
ensiklopedi yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara
gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang berkaitan dengan komponen
variabel judul.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini untuk pengumpulan bahan hukum memakai metode


sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan yang
pelayanan kesehatan bagi masyarakat (pasien) oleh dokter.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Guna menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian


menggunakan beberapa teknik analisis seperti :

1. Teknik deskripsi, berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi (sistem
peradilan pidana terpadu) atau posisi dari proposisi-proposisi hukum ataunon
hukum.
2. Teknik argumentasi, tidak terlepas dari teknik evaluasi karena penilaian
harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum
3. Teknik sistematisasi, adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hvikum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
4. Teknik evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, adil atau tidak adil, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh

25
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 42
peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma
baik tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum
sekunder.
5. Teknik interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistematis, teleologis,
kontektual, evolutif dinamical, futuristik dan lain-lain.26

Demikian beberapa teknik analisis yang dikenal dan yang digunakan penulis
dalam mengkaji bahan hukum yang diperoleh memakai teknik yang diperlukan
sehubungan dengan masalah yang disajikan.

1.9 Sistematika Thesis

Penulisan ini akan disusun sebagai suatu karya ilmiah berupa tesis yang
direncanakan terbagi dalam 5 bab, yaitu :

Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang permasalahan dalam tesis
ini sehingga menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam atas
permasalahannya.

Bab II menjabarkan tinjauan pustaka yang menguraikan tentang pemahaman


terhadap istilah malpraktik medik, secara etimologi maupun menurut pendapat ahli; Asas
– asas hukum sebagai landasan terkait adanya hubungan hukum antara dokter dengan
pasien. Pada bab ini juga akan dijabarkan seputar perbedaan tindakan malpraktik medik
dengan tindakan resiko medik. Kemudian penjabaran tentang timbulnya malpraktik
medik dari dokterserta kerangka konseptual yang digunakan dalam membahas
permasalahan – permasalahan yang diketengahkan.

26
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum,
2013, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 34-35.
Bab III, menjelaskan tentang beban tanggung jawab hukum atas dugaan malpraktik
medik bagi dokter, aspek hukum kesehatan terkait profesi dokter dengan pasie, aspek
hukum pidana dalam KUHP terkait malpraktik medik. Pada bab ini juga akan mengkaji
dan menganalisis teori hukum terkait tanggung jawab hukum bagi dokter dalam
malpraktik medik.

Bab IV, yaitu dikemukakan hasil-hasil penelitian yang menguraikan bentuk


perlindungan hukum bagi dokter dan penyelesaian kasus atas dugaan malpraktik medic
disertai contoh studi kasus.

Bab V Penutup, yang berisi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian
mengenai kebijakan formulasi hukum pidana yang berkaitan dengan malpraktik
kedokteran yang saat ini berlaku dan kebijakan formulasi hukum pidana yang akan
datang dalam rangka penanggulangan tindak pidana malpraktik kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

1. Adi, Priharto. 2010. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka


Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Tesis. Semarang: Magister
Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
2. Agus Santosa, Muhari. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Malaysia: Averroes
Press.
3. Alfarisi, Muchammad. 2006. Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai
Salah Satu Bentuk Kejahatan Korporasi Bisnis Dalam Lingkungan Hukum Indonesia.
Yogyakarta: Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada.
4. Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis.Jakarta:
PT. Toko Gimung Agung Tbk.
5. Ashshofa, Burhan. 2001. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991.Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
7. Hakim, Lukman. 2010. Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia. Malang:
Program Pasca Universitas Brawijaya.
8. Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
9. Hamzah, Andi. 1985. Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
10. HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt. 2008. (Dalam : Sadjijono; Memahami
Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara).Yogyakarta: Laks Bang
Pressindo.
11. Indoharto. 2004. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
12. Machmudin, Dudu Duswara. 2001. Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
13. Manan, Bagir. 2007. (Dalam Sadjijono: Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi Negara). Yogyakarta: Laks Bang Pressindo.
14. Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
15. Packer, Herbert L. 1969. The Limits of Criminal Sunction. USA California: Stanford
University Press.
16. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum. 2013. Denpasar: Universitas Udayana.
17. Reid, Sue Titus. 1987. Criminal Justice Procedurs and Issues. USA: West
Publishing.
18. Sabuan, Ansorie, dkk. 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa.
19. Soekanto, Soerjono. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Cetakan ke 6. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
20. Soewono, Hendrojono. 2007.Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter
Dalam transaksi Terapentik. Surabaya: Srilandi.
21. Ujian, Andre Ata. 2009.Filsafat Hukum Membangun Hukum dan Membela Keadilan.
Yogyakarta: Kanisius.
22. Wirjowidjojo. 1996.Masalah Etik dan Hukum Sebagai Bentuk Kesalahan Praktik
Kedokteran. Tesis.Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Sumatra
Utara.

Peraturan – Peraturan

1. KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana)


2. Konsep KUHP 2008
3. UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Kamus

1. Kamus Besar Bahasa Inggris


2. Kamus Bahasa Indonesia
3. Kamus Hukum

Anda mungkin juga menyukai