Anda di halaman 1dari 196

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN


BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)

NI PUTU RIA DEWI MARHENI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN


BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)

NI PUTU RIA DEWI MARHENI


NIM : 1090561058

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI PUTU RIA DEWI MARHENI


NIM : 1090561058

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL 12 DESEMBER 2013

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,SH.,M.Hum
NIP.19611101 198601 2 001 NIP.19620731 198803 1 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana


Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 12 Desember 2013

Panitia Penguji Tesis


Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor 1902/UN14.4/HK/2003 Tanggal 1 Oktober 2013

Ketua : Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.


Sekretaris : Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H.,M.Hum
Anggota : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., MH
2. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Putu Ria Dewi Marheni

NIM : 1090561058

Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis


Program Pascasarjana Universitas Udayana

Judul Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan


Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha
Dalam Situs Internet (Website)

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas dari plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah tesis ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 12 Desember 2013


Hormat saya,

Ni Putu Ria Dewi Marheni


UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Sesanti anghayu bhagia serta puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang

berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan dengan

Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website)

yang disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar

Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa doa, motivasi dan

bantuan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan

rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-

KEMD beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Ibu Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan

kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program

Pascasarjana Universitas Udayana.


3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM dan

Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra., S.H., M.Hum., atas fasilitas

yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program

Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

4. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM sebagai dosen

Pembimbing I (Pertama), yang dengan penuh perhatian, tanpa mengenal lelah

telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat serta saran kepada penulis

dalam rangka penyusunan tesis ini.

5. Bapak Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum sebagai dosen Pembimbing II

(Kedua) yang dengan sabar telah berkenan membimbing dan mengarahkan

penulis dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum. , Bapak Dr. I Wayan

Wiryawan, S.H.,M.H., Bapak Dr. I Made Sarjana, S.H.,M.H. sebagai dosen

penguji yang telah mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh dosen pengajar di (S2) Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana, terutama dosen konsentrasi Hukum Bisnis di Universitas

Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan.

8. Ibu A.A Istri Agung Yuniana, S.E., Bapak Made Mustiana, S.E., Ibu Gusti Ayu

Raka Wiratni, Putu Dyva Dhamahadi Yadnya, S.H., Made Dandy Pranajaya,

S.Sos selaku staf administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana atas berbagai dukungan administratif


dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi

sampai akhir.

9. Almarhum Kakek tercinta I Made Tjandra dan I Gede Sudarya, Almarhum

Nenek tercinta Ni Nyoman Mongkrog dan Ni Nyoman Candri yang selalu

memberikan petuah berguna dimasa hidup dan selamanya akan menjadi panutan

dalam setiap langkah penulis.

10. Kedua orangtua tercinta Bapak I Nyoman Wina, S.H. dan Ibu Nyoman Oka Sri

Haryani, yang dengan setia setiap waktu memberikan kasih sayang dan

dukungan penuh bagi penulis, adik tersayang Made Meila Dwi Cahyani,

Amd.Keb. , keponakan I Gd. Wahyu Pramartha serta seluruh keluarga besar di

Tabanan dan Badung, yang telah banyak memberikan doa dan dukungan moral

kepada penulis.

11. Bapak I Gusti Agung Prana, Penglingsir Puri Bakungan Mengwi, yang tiada

hentinya telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis.

12. Bapak I Ketut Suteja Putra, S.P., S.H., dan Ibu Umi Martina,S.H.,M.H.,beserta

rekan-rekan Senior Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat

Indonesia (PERADI) Bali yang telah memberikan semangat kepada penulis.

13. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Angkatan 2010,

khususnya konsentrasi Hukum Bisnis yang berjuang bersama dan saling

mendukung dalam menyelesaikan tesis.

14. Sahabat-sahabat tercinta, terdekat dan terbaik Putu Gde Eka T. Widana, S.H.,

Putu Purtini Utami, B.Buss, I Dewa Ayu Mas Ismayani, S.H., Desy Kusuma

Wardhani, S.H.M.H., Ni Nyoman Anita Candrawati, S.H.,M.H., A.A Putri

Aprilina, S.H. M.kn., Putu Niti Suari Giri, S.H.,M.H., Emmy Febriani,S.H.,M.H.,
Putu Yumi Antari, S.H., Lya Meinar Laksmi, S.H., Putu Ratih Prabandari, S.H.,

Komang Kartika Trisna Dewi, S.H., Ni Nyoman Muryatini, S.H., Agung Eka

Maharta, S.H., I Wayan Juwahyudhi, S.H.,M.H., yang senantiasa memberikan

motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis.

15. Serta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

mengenal dan memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan studi

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini

masih jauh dari kesempurnaan baik dari isi permasalahan, analisis, penyusunan

maupun teknik penulisan. Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan

ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca. Astungkara, Ida Sang Hyang Widhi

Wasa senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua.

Om Santi Santi Santi Om

Hormat Penulis,

Ni Putu Ria Dewi Marheni


ABSTRAK

Dalam situs internet (website) di Indonesia banyak pelaku usaha yang


mencantumkan disclaimer. Disclaimer yang dicantumkan dalam situs internet
(website) di Indonesia seringkali menyatakan pengalihan tanggung jawab dari
pelaku usaha kepada konsumen. Banyak konsumen yang tidak menyadari
keberadaan disclaimer karena letaknya sulit terlihat. Pencantuman disclaimer
tersebut tidak adil bagi konsumen, sehingga sangat penting untuk diadakan
penelitian. Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu
bentuk pengaturan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di
Indonesia dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan
pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia.

Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis
konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa
peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang
berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum tertier berupa kamus hukum
dan artikel dalam format elektronik. Seluruh bahan-bahan hukum tersebut
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
sistem bola salju dan dianalisa secara deskriptif dan evaluatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut,
bentuk pengaturan hukum terhadap pencantuman disclaimer di Indonesia ditinjau
dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang secara khusus (lex specialis derogate legi generali) mengatur
kegiatan di dunia maya, masih belum jelas. Namun, jika ditinjau dari segi
perlindungan konsumen secara umum dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, sebagian besar pencantuman disclaimer dalam
situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi.
Perlindungan hukum bagi konsumen di dunia maya sangat diperlukan untuk
menjamin persamaan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Saat ini
perlindungan hukum secara umum dapat diberikan kepada konsumen secara
preventif dengan dibentuknya suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) dan
secara represif melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan
perdata dan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Melalui jalur non litigasi dapat diselesaikan
dengan alternatif penyelesaian sengketa salah satunya melalui jalur Arbitrase.
Kata Kunci : Disclaimer, Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Situs
Internet, Transaksi Elektronik.
ABSTRACT

In the Internet site (website) in Indonesia many businessmen specify


disclaimer. Disclaimer specified in the internet site (website) in Indonesia often
states transfer of responsibility of the businessmen to consumers. Many
consumers are not aware of the existence of the disclaimer because its position is
difficult to see. The specification of the disclaimer is unfair to the consumers, so
to conduct research on the phenomena is very important. There were two issues
examined in this study; the form of disclaimer specification regulation in the
internet site (website ) in Indonesia and the legal protection of the consumers with
regard to the specification of disclaimer on the internet site ( website ) in
Indonesia.

The method applied in this thesis is a normative legal research using


statutory and analytical approach to legal concepts. Legal materials used were
primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials in the
form of literature related to the problems and the tertiary materials were legal
dictionary and articles found in electronic format. Those legal materials were
collected and classified based on the problems formulated through a snowball
system and the data were analyzed in descriptive and evaluative method.

Based on the results of the study focusing on the two problems, the form
of legal regulation on the disclaimer specification in Indonesia seen from Act 11
of 2008 related to Information and Electronic Transactions specifically (lex
specialis derogate legi generali) regulate the activities in cyberspace, has not been
clear. However, if it is seen in terms of consumer protection in general in Law No.
8 of 1999 on Consumer Protection, most of the disclaimer specification on the
internet site (website) can be categorized as an exoneration clause. Legal
protection for consumers in the cyberspace is very necessary to ensure equality
between entrepreneurs or businessmen and consumers. Currently legal protection
generally can be provided to consumers preventatively with the establishment of a
Reliability Certification Board and repressively through litigation can be done by
filing a civil complaint and criminal penalties under Law 11 of 2008 on
Information and Electronic Transactions. Through non-litigation, it can be
resolved with one alternative dispute resolutions and one of them is through
arbitration.

Keywords: Disclaimer, Legal Protection, Consumer Protection, Website,


Electronic Transactions.
RINGKASAN

Karya tulis tesis ini membahas tentang Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam

Situs Internet (website), yang pembahasannya terbagi dalam 5 (lima) bab.

Bab I yang merupakan pendahuluan, diawali dengan penguraian latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

landasan teoritis, kerangka berpikir dan metode penelitian. Pada latar belakang

masalah menggambarkan fakta hukum yang menyangkut fenomena pencantuman

disclaimer oleh pelaku usaha pada setiap situs internet (website) , penelitian lebih

memfokuskan dalam situs internet (website) yang domainnya berasal dari

Indonesia. Ditemukan beberapa keluhan-keluhan konsumen yang mengalami

kerugian akibat pelaku usaha yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang

ditampilkan dalam websitenya dan mengalihkan, membebaskan tanggung jawab

dari barang dan/atau jasa yang dijualnya. Pembebasan tanggung jawab tersebut

lebih diperkuat dengan pencantuman disclaimer dengan bentuk klausula baku

yang dibuat secara sepihak, terkadang tidak disadari oleh konsumen karena

letaknya yang sulit terlihat dan menguntungkan pelaku usaha. Diperlukan

pengkajian eksistensi pengaturan kriteria substansi dari klausula baku khususnya

dalam bentuk disclaimer di situs internet (website) agar dapat melindungi hak-hak

konsumen dalam pengaturan khusus mengenai Informasi dan Transaksi elektronik

dan untuk menjamin adanya perlindungan hukum konsumen yang memanfaatkan

situs internet (website) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.


Bab II membahas tentang konsepsi perlindungan konsumen, pelaku usaha,

disclaimer dan situs internet (website). Yang pembahasannya meliputi konsepsi

umum tentang Perlindungan Konsumen dan dasar hukumnya, hak-hak dan

kewajiban konsumen dalam perspektif Undang-undang No.8 tentang

Perlindungan Konsumen, asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan

konsumen di Indonesia, konsepsi tentang perjanjian jual beli antara pelaku usaha

dengan konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata (KUHPerdata),

hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen, perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha dalam kegiatan bisnis, konsepsi tentang disclaimer dan situs

internet (website), konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause ,

Konsepsi Tentang Situs Internet (website) dan kaitannya dengan Undang-undang

No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, perbedaan antara situs internet (website)

dan blog (web log).

Bab III Membahas tentang Pengaturan disclaimer dalam perspektif Hukum

Indonesia, yang merupakan hasil penelitian dari rumusan masalah yang pertama,

Pada bab ini dibahas mengenai keberadaan disclaimer yang juga berkaitan dengan

transaksi elektronik di dunia maya di Indonesia kemudian menguraikan undang-

undang yang terkait dengan status hukum keberadaan disclaimer tersebut antara

lain dilihat dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Eksistensi disclaimer dalam situs internet (website) termasuk juga

dalam unsur-unsur Klausula Baku (dalam transaksi konvensional di dunia nyata)

yang diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen (UUPK), UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi

nasional untuk transaksi secara konvensional (offline). Saat ini di Indonesia

terdapat Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan transaksi elektronik

di dunia maya (cyberspace).

Bab IV membahas secara khusus mengenai perlindungan hukum terhadap

konsumen berkaitan dengan dicantumkannya disclaimer oleh pelaku usaha, yang

merupakan hasil penelitian dari rumusan permasalahan kedua. Yang membahas

mengenai Pelanggaran terhadap hak konsumen berkaitan dengan pencantuman

disclaimer dalam situs internet (website), tanggung jawab pelaku usaha pemilik

situs terhadap konsumen berkaitan dengan akibat dari pencantuman disclaimer

menurut perspektif Hukum Indonesia dan perlindungan konsumen dalam

kaitannya dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) oleh

pelaku usaha.

Bab V merupakan bagian penutup. Bagian penutup merupakan simpulan dari

pembahasan atas permasalahan penelitian serta diajukan saran dan rekomendasai

yang perlu diperhatikan oleh pihak terkait dan Depkominfo untuk

menyempurnakan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik agar terdapat pengaturan yang jelas berkaitan dengan

substansi disclaimer agar dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan

transaksi bisnis di situs internet (website) dan agar tercipta perlindungan hukum

yang didasari oleh keadilan untuk konsumen internet di Indonesia.


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................ iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi

ABSTRAK ..................................................................................................... x

ABSTRACT ..................................................................................................... xi

RINGKASAN ................................................................................................. xii

DAFTAR ISI .................................................................................................. xv

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9

1.3 Ruang lingkup Masalah ............................................................................ 9

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 10

a. Tujuan Umum ................................................................................. 10


b Tujuan Khusus ............................................................................... 10

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11

a. Manfaat Teoritis ............................................................................. 11

b. Manfaat Praktis ............................................................................... 11

1.6 Orisinalitas Penelitian .............................................................................. 11

1.7 Landasan Teoritis .................................................................................... 16

1.8 Metode Penelitian ................................................................................... 28

a. Jenis Penelitian ............................................................................... 28

b. Pendekatan Masalah ....................................................................... 29

c. Sumber Bahan Hukum .................................................................... 29

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 31

e. Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 32

BAB II. KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU

USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE) ...... 33

2.1 Perlindungan Konsumen ........................................................................... 33

2.1.1 Konsepsi Umum tentang Perlindungan Konsumen dan Dasar


Hukumnya ...................................................................................... 33

2.1.2 Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang-


undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ............. 39

2.1.3 Asas asas yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di


Indonesia ........................................................................................ 47
2.1.4 Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha
dengan Konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum
Perdata (KUHPerdata) .................................................................... 50

2.2 Pelaku Usaha ............................................................................................ 55

2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya ................................. 55

2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif


Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ...................................................................................... 57

2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ............. 58

2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam kegiatan


bisnis ............................................................................................. 62

2.3 Disclaimer dan Situs Internet (website) ..................................................... 63

2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang dicantumkan pelaku usaha


pada situs internet (website) ........................................................... 63

2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause ......... 68

2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan kaitannya


dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ....... 71

2.3.4 Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ......... 76

BAB III PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA .... 80

3.1 Pengaturan disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world) ........................ 80

3.2 Pengaturan disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.11 Tahun


2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .................................. 90
3.2 Eksistensi disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya
dengan Pengaturan Klausula Baku ............................................................ 107

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


KONSUMEN BERKAITAN DENGAN
DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU
USAHA...................................................................................... 120

4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan


Pencantuman Disclaimer dalam Situs Internet (website)........................... 120

4.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan


dengan Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum
Indonesia ................................................................................................. 130

4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman


Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha ................... 137

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 166

5.1 Simpulan ................................................................................................... 166

5.2 Saran......................................................................................................... 167

DAFTAR BACAAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ............ 77
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................ 84

Gambar 2. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85

Gambar 3. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85

Gambar 4. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 86

Gambar 5. Contoh tampilan disclaimer website Singapura............................. 86

Gambar 6. Tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah

homepage ........................................................................................128

Gambar 7. Tampilan disclaimer website Singapura pada halaman utama


homepage ..................................................................................... 129
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus

senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Pada

era globalisasi ini perubahan telah terjadi diberbagai bidang kehidupan, termasuk

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memegang peranan

penting dalam pembangunan. Teknologi informasi dan komunikasi telah

mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global.

Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas

(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung

demikian pesatnya.

Teknologi dan Informasi menjadi dua hal yang sangat penting karena dapat

mempermudah segala aktivitas hidup manusia. Demikian pesatnya perkembangan

dan kemajuan teknologi informasi, yang merupakan salah satu penyebab

perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara

langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.

Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan

untuk menjaga, memelihara dan memperkukuh perundang-undangan demi

kepentingan nasional. Di samping itu, pemanfaatan teknologi informasi berperan

penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat.


Internet yang merupakan kepanjangan dari Interconection Networking atau

juga yang telah menjadi International Networking 1. Internet dapat

menghubungkan komputer diseluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit

menjadi satu jaringan yang bisa saling mengakses. Dengan internet tersebut, satu

komputer dapat berkomunikasi secara langsung dengan komputer lain di berbagai

belahan dunia. Internet pertama kali dikembangkan oleh salah satu lembaga riset

di Amerika Serikat, yaitu DARPA (Defence Advanced Research Project Agency)

pada tahun 1973. 2 Pada saat itu DARPA membangun Interconection Networking

sebagai sarana untuk menghubungkan beberapa jenis jaringan paket data seperti

CS-net, BIT-net, NSF-net dan lain-lain. Pada mulanya jaringan internet hanya

dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan (perguruan tinggi) dan lembaga

penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk publik.

Beberapa tahun kemudian, Tim Berners Lee mengembangkan aplikasi world

wide web (www)3. Dengan adanya aplikasi www tersebut dapat memudahkan

orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukanya internet untuk

keperluan publik kemudian semakin banyak muncul aplikasi aplikasi bisnis di

internet.

World wide web (www) merupakan sekumpulan informasi yang dapat diakses

melalui program browser Internet Explorer (IE) seperti Mozilla Firefox dan
1
Teguh Wahyono, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di Bidang
Teknologi Informasi, ANDI, Yogyakarta, h.132
2
Ibid
3
Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia (
Serial Online), diakses dari : URL: http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012.
Opera. Web terdiri dari dua komponen dasar yaitu server web dan browser web.

Server Web merupakan sebuah komputer (server) beserta software yang berfungsi

untuk meyimpan dan mendistribusikan data komputer lainnya melalui suatu

jaringan internet, sedangkan Browser Web merupakan software yang beroperasi

pada komputer pemakai (client) yang meminta informasi dari server web

kemudian menampilkannya sesuai dengan file data yang diterima tersebut.

Para pengguna sistem elektronik yang dapat disebut juga konsumen dapat

mengetahui secara cepat perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia.

Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna sistem

elektronik di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas

bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, internet

melambangkan penyebaran (decentralization), pengetahuan (knowledge)

informasi dan data secara ekstrim. Internet juga dapat dimanfaatkan oleh

pemerintah dalam memberikan layanan publik. Internet merupakan sarana yang

paling mudah untuk memenuhi kebutuhan dalam mencari informasi yang

konsumen inginkan. Di internet, konsumen dapat mencari barang kebutuhan

primer, sekunder, maupun tersier. Berita dan beragam informasi yang diperlukan

dapat konsumen temukan di internet, termasuk hiburan. Cara yang digunakan

sangat mudah, hanya dengan mengetik nama, alamat situs atau mencarinya

dengan mesin pencari, dalam hitungan detik kebutuhan yang konsumen butuhkan

dapat konsumen dapatkan.

Aplikasi bisnis yang berbasiskan teknologi internet ini mulai menunjukkan

adanya aspek finansial. Perusahaan-perusahaan yang berskala kecil, menengah


dan besar menggunakan teknologi internet sebagai pendukung kegiatan bisnisnya.

Internet digunakan sebagai wadah untuk promosi, bisnis dan fasilitas untuk

mendapatkan informasi mengenai segala hal. Pemasaran yang dulunya dilakukan

secara konvensional sekarang ini banyak yang dilakukan dengan bantuan

teknologi internet. Saat ini suatu perusahaan dapat bertahan apabila memiliki

keunggulan bersaing dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pesaingnya.

Sebagai contoh, internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket

(pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, dan

sebagainya. Hal ini mempermudah konsumen dalam menjalankan

aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen tidak perlu keluar rumah dan antri untuk

memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di dalam rumah,

begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.

Jumlah konsumen pengguna internet saat ini semakin besar dan bertambah

terus setiap harinya dari 245 juta penduduk Indonesia, konsumen pengguna

internet di Indonesia mencapai 55 juta orang pada tahun 2011. Studi terhadap

urban netizen di Indonesia ini dilakukan pada bulan Agustus dan September 2011

di 11 kota besar antara lain Jakarta, Bodetabek, Surabaya, Bandung, Semarang,

Medan, Makassar, Denpasar, Pekanbaru, Palembang, dan Banjarmasin. 4 Pada

tahun 2012 ini pengguna Internet di Indonesia telah mencapai hampir berjumlah

60 juta pengguna Internet.5 Jumlah konsumen pengguna internet di Indonesia

4
Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari URL :
http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 Maret 2012.

5
Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari URL :
http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19 September 2012.
menguasai Asia sebesar 22,4 persen, setelah Jepang. Indonesia merupakan negara

peringkat ketiga di Asia untuk jumlah pengguna internet.6 Pencapaian teknologi

internet yang pesat dan maju, mempermudah untuk mengakses informasi apapun

yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya informasi produk. Adanya kemudahan

tersebut membuatnya menjadi suatu potensi yang sangat penting untuk dapat

mempengaruhi pola perdagangan, baik yang dilakukan secara online. Kemampuan

komputer-komputer tersebut untuk saling terkoneksi antar satu dengan lainnya

membuka peluang munculnya suatu metode pemasaran baru bagi produk-produk

perniagaan baik itu berupa barang maupun jasa.

Pengguna sistem elektronik / konsumen sampai saat ini banyak yang belum

menyadari bahwa dalam setiap situs di Internet mencantumkan disclaimer

template pada bagian lain pada lay out situs internet tersebut. Disclaimer disebut

juga pernyataan penyangkalan yang terdapat pada situs internet isinya kurang

lebih menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimuat di dalam situs internet

tersebut semata-mata hanya sebagai informasi belaka dan pemilik situs tidak

bertanggung jawab atas keakuratan dan kelengkapan informasi yang dimuat

tersebut.7 Begitu juga dalam situs jual beli online (e-commerce) di internet banyak

dicantumkannya disclaimer yang isinya bahwa penyelenggara sistem elektronik

sebagai pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang timbul

6
Reza Wahyudi, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses dari :
http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September 2012.
7
Diana Kusumasari,2011, Status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari URL :
http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 September 2012
dari setiap produk yang sudah dibeli oleh konsumen. E-commerce merupakan

perdagangan yang dilakukan melalui internet.

Transaksi jual beli online (e-commerce) juga merupakan suatu perjanjian jual-

beli sama dengan jual beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat. Hanya

saja terletak perbedaan pada media yang digunakan. Pada transaksi jual beli

elektronik yang digunakan adalah media elektronik yaitu internet. Sehingga

kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta melalui online. Menurut Efraim

Turban e-commerce is the process of buying, selling transferring, or exchanging

product service and/or information via computer networks, mostly the Internet

and intranets.8 Definisi tersebut diatas menjelaskan bahwa transaksi elektronik

adalah proses pembelian, pengalihan penjualan, atau peningkatan pelayanan

produk dan / atau informasi melalui jaringan komputer, terutama internet dan

intranet. Beberapa alasan konsumen berbelanja secara online yaitu karena praktis,

karena tinggal klik, isi data diri dan bayar lewat e-banking atau atm, hemat

karena lebih murah dari retail di toko fisik, efisien karena tidak perlu keluar

rumah naik kendaraan, cari parkir, dan bayar parkir/taksi.

Disclaimer dicantumkan oleh penyelenggara sistem elektronik / pelaku usaha

tanpa adanya negosiasi dengan konsumen terlebih dahulu. Dari 10 situs internet

yang diakses, 8 diantaranya mencantumkan disclaimer yang didalamnya

mengandung pengalihan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik

terhadap segala sesuatu hal yang mungkin akan terjadi dan berakibat merugikan

8
Efraim Turban, et. al,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial perspective) sixth
edition, Pearson, United State of America, page 46.
konsumen. Salah satu contoh disclaimer yang ada di internet yang ditemukan

yaitu disclaimer pada situs penyedia TV streaming yang berbunyi None of the

streams are hosted on this server, please contact ustream tv, vogulus, selfcast or

justin tv directly regarding this stream copyright (tidak ada satupun aliran

host/pemilik pada server ini, silahkan langsung menghubungi ustream tv, vogulus,

selfcast atau justin tv mengenai hak cipta siaran ini). Mengacu kepada disclaimer

tersebut, yang merupakan sebuah website penyedia TV streaming, ada sedikit

ketidaksesuaian terhadap disclaimer yang mereka cantumkan, logika

sederhananya adalah bagaimana mungkin web TV streaming tersebut tidak

bertanggung jawab atas apa yang di tampilkan, maupun di embed (dilekatkan),

meskipun content dan server-nya itu berasal dari website lain. 9 Tentu saja disini

sangat jelas dilihat bahwa penyelenggara sistem elektronik pada situs tersebut

ingin mengalihkan tanggung jawabnya.

Keluhan konsumen berkaitan dengan jual beli secara online (e-commerce)

juga ditemukan salah satunya adalah mengenai seorang konsumen yang membeli

jam tangan disebuah online shop di internet dimana permasalahan muncul ketika

barang sampai ditangan konsumen ternyata hanya berupa kotak jam saja tanpa ada

jam tangan padahal sebelumnya konsumen sudah melakukan pembayaran lunas ke

pelaku usaha online shop tersebut, tentu saja dsini konsumen tersebut merasa

kecewa dan dirugikan kemudian langsung menghubungi pihak online shop dan

pihak online shop tidak mau bertanggung jawab atas tidak adanya jam tangan

didalam kotak jam tersebut, tentu saja alasan pihak online shop tersebut dikuatkan
9
Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari URL :
http://www.kaskus.co.id , pada tanggal 20 Juni 2012
dengan disclaimer yang telah dicantumkan sebelumnya bahwa pihak online shop

tidak bertanggung jawab atas barang yang telah dikirim ke pembeli. 10

Kasus selanjutnya ditemukan dari konsumen yang berbeda, konsumen

tersebut membeli sejumlah barang secara grosir di sebuah online shop dan setelah

barang diterima, didapati bahwa 2 dari 4 barang yang konsumen pesan dalam

kondisi rusak, ketika konsumen mengadu ke online shop, pihak online shop

mengatakan bahwa didalam situs sudah jelas dari awal bahwa barang grosir tidak

dicek dan tidak bisa dikembalikan. Oleh karena semakin mudahnya para pelaku

usaha dalam mengalihkan tanggung jawab mereka yang dituangkan dalam bentuk

disclaimer, maka hal tersebut seakan menjadi kebiasaan yang diikuti oleh pelaku

usaha online lainnya sehingga terkesan menjadi suatu kewajiban dalam

mencantumkan klausul pengalihan tanggung jawab dalam bentuk disclaimer di

dalam setiap situs internet.

Aktivitas Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia sudah diundangkan

berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi

(UU ITE). Namun pengaturan mengenai perlindungan hak-hak konsumen pada

Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) belum diatur secara tegas. UU ITE sebagai ketentuan yang khusus (lex

specialis derogate legi generali) mengatur mengenai transaksi elektronik karena

ruang lingkupnya di dunia maya (cyberspace). Pada UU ITE menyebutkan bahwa

prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan cara-cara

10
Toto Adhitama, 2011, About gadget, diakses dari URL : http://asia.groups.yahoo.com/, pada
tanggal 12 Januari 2013
yang disepakati oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan

konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga

konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati

seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut (Pasal 18 ayat

(1) UU ITE). Hal ini berkenaan dengan disclaimer yang dicantumkan oleh pelaku

usaha yang memanfaatkan media internet. Disclaimer dalam transaksi elektronik

dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan

konsumen. Pelaku usaha dengan bebas mencantumkan disclaimer dalam website

dengan tujuan untuk perlindungan hukum bagi pelaku usaha sendiri. Berdasarkan

latar belakang permasalahan tersebut, perlu pengkajian lebih mendalam mengenai

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman

Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (website).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan

tersebut,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu

situs internet (website) di Indonesia ?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan

dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet

(website)?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan agar suatu masalah tidak

menyimpang dari pokok permasalahan, dan untuk mendapatkan gambaran tentang


apa yang akan diuraikan dalam tesis ini, perlu kiranya dibuat ruang lingkup

permasalahannya sehingga dapat diketahui dengan jelas materi-materi yang terkait

erat dengan permasalahan diatas. Maka pembahasan terhadap materi yang akan

diangkat dalam tesis ini berkisar pada pertama, menyangkut tentang eksistensi

pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu situs internet di

Indonesia, kedua akan dibahas mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap

konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam

situs internet (website).

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan

dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet

(website).

b. Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui pengaturan mengenai pencantuman disclaimer

dalam suatu situs internet (website) di Indonesia.

2) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan

dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs

internet (website).
1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan hukum di masa yang akan datang yang khususnya

berkaitan dengan perkembangan di bidang hukum bisnis yang

keberadaanya sangat dibutuhkan dalam menopang aktifitas dunia bisnis

dewasa ini.

b. Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi diseluruh kalangan. Bermanfaat bagi praktisi hukum maupun

penegak hukum, serta bermanfaat terutama bagi para pelaku bisnis agar

dapat menemukan solusi serta pemecahan masalah yang disebabkan oleh

adanya disclaimer pada suatu situs internet (website).

1.6 Orisinalitas Penelitian

Dari beberapa penelusuran pustaka banyak dijumpai penelitian-penelitian

terdahulu yang membahas mengenai bidang informasi dan transaksi elektronik,

akan tetapi belum ada yang membahas mengenai disclaimer pada situs internet,

jadi penelitian ini bukan merupakan plagiat dan memenuhi unsur-unsur kebaruan.

Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah tidak sama dengan

penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan penelusuran pustaka ditemukan lima

judul penelitian, antara lain :


Pertama, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Indonesia dengan

judul Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak Kepada

Konsumen : Kajian Perbandingan Lisensi Standard Sofware, Bespoke Software

dan Customized Software11 atas nama Anggia Dyarini M. dengan rumusan

masalah yang dibahas megenai permasalahan terhadap perangkat lunak timbul

saat perangkat lunak tersebut tidak dapat mengakibatkan komputer bekerja untuk

melakukan fungsinya berdasarkan kebutuhan konsumen, atau bahkan

mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Selain itu, minimnya kesadaran dan

pengetahuan konsumen serta lemahnya peraturan perundang-undangan di

Indonesia kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam transaksi yang tidak

mempunyai itikad baik dengan mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab

hukum pelaku usaha. Tesis ini membahas mengenai analisa yuridis sistem

pertanggungjawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya

sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian tesis ini

menggunakan metode penelitian yuridis normatif.

Kedua, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan

judul Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli melalui

Media Internet12 atas nama Lia Catur Muliastuti dengan rumusan masalah yaitu :

11
Anggia Dyarini M, 2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak
Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi Standard Sofware, Bespoke Software dan
Customized Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada tanggal 11 Maret 2012.
12
Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual
Beli melalui Media Internet, diakses dari URL : eprints.undip.ac.id /23920 / 1 / Lia _ Catur _
Muliastuti.pdf, pada tanggal 12 Maret 2012.
1. Bagaimana proses pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi

hambatan-hambatan dalam jual beli melalui media internet?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli

melalui media internet?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis

empiris dan spesifikasinya dilakukan secara deskriptif analisis. Sumber dan jenis

data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan

data menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan, dan data yang didapat

akan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa

pelaksanaan jual beli melalui media internet terdiri dari empat proses, yaitu

penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman, hambatan-hambatan dalam

transaksi di internet, khususnya mengenai cacat produk, informasi dan

webvertising yang tidak jujur atau keterlambatan pengiriman barang, dan

umumnya mengenai pola pikir, minat, dan kultur atau budaya masyarakat

Indonesia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui

media internet meliputi perlindungan hukum dalam perjanjian dan perlindungan

hukum di luar perjanjian.

Ketiga , ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan

judul Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan nama

Anak Agung Ayu Diah Indrawati dengan rumusan masalah yaitu :

1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No.

69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?


2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap

pelanggaran ketentuan label pangan ?

Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian

hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek

penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu

penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan

hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan

inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa

bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.

Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan

pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum

memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label

pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata

maupun pidana.

Keempat, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan


13
judul Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik atas nama

dr. Sylvia Christina Aswin, S.H. dengan rumusan masalah yaitu :

Rumusan Masalah :

1. Apakah kontrak elektronik (e-contract/online-contract) yang dibuat tanpa

pertemuan langsung antara para pihak dapat dikatakan sah?

13
Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik ,
diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf. pada tanggal 12
Maret 2012.
2. Jika terjadi sengketa di antara para pihak, bagaimana kekuatan pembuktian

suatu kontrak elektronik (e-contract/online-contract)?

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analtis dengan pendekatan

yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih terdapat

ketidakpastian mengenai keabsahan dan kekuatan kontrak yang dilakukan secara

elektronik sebagai alat bukti.

Kelima, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan

judul Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam Transaksi

Komersial14 atas nama Made Maharta Yasa, dengan rumusan masalah yaitu

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah pengaturan transaksi e-commerce di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan dokumen elektronik dalam transaksi komersial

yang ditandatangai dengan digital signature pada sistem hukum Indonesia?

Dibandingkan dengan penelitian dalam tesis ini, tampaklah perbedaan-

perbedaan yang spesifik.. Penekanan pada penelitian ini terletak pada pembahasan

mengenai pengaturan pencantuman disclaimer pada suatu situs internet (website)

dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya

disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website). Dalam penelitian

yang terdahulu belum pernah ditemukan kajian mengenai keberadaan disclaimer

pada situs internet (website). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikemukakan

14
Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam
Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana.
masih bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam

bentuk tesis.

1.7.Landasan Teoritis

Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan

landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang bersumber dari suatu

teori yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai

permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori merupakan upaya untuk

mengidentifikasi teoriteori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum,

serta norma-norma hukum.

Untuk mengkaji permasalah hukum secara mendetail diperlukan beberapa

teori yang merupakan rangkaian asumsi, konsep, definisi, untuk mengembangkan,

menekankan serta menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Suatu teori

adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-

cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada

umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling

sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang

telah diuji kebenarannya. 15

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis

tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara

kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner.

Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis

15
Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada,
Jakarta,h.30.
karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup

dijawab secara otomatis oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi

atau penalaran. 16 Teori terdiri dari serangkaian pemahaman-pemahaman dari suatu

kenyataan yang tersusun secara sistematis, logic dan konkrit yang melalui

serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan

masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan

pemahaman tentang suatu hal. 17 Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa

istilah teori bukanlah suatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang

seolah-olah telah dipahami maknanya. 18

Dalam menjawab permasalah yang terkait dengan pengaturan disclaimer dan

perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pencantuman

disclaimer dalam situs internet (website), maka dalam hal ini akan diuraikan

melalui teori-teori sebagai berikut:

1. Untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai pengaturan

disclaimer pada suatu situs internet (website) di Indonesia, digunakan

teori-teori sebagai berikut :

- Teori Sistem Hukum;

- Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-

undangan.

16
Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta,
h.87
17
B.Hestu Cipto Handoyo , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.28
18
Otje Salman, 2008, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
Refika Aditama, Jakarta, h. 19
2. Untuk menjawab rumusan masalah kedua tentang perlindungan hukum

terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh

pelaku usaha dalam situs internet (website) digunakan teori-teori sebagai

berikut :

- Teori Keadilan;

- Stakeholders Theory.

Alasan menggunakan teori sistem hukum (legal system), oleh karena adanya

pembahasan mengenai pengaturan disclaimer termasuk dalam salah satu

komponen teori sistem hukum yaitu dalam substansi hukum (legal substance).

Kemudian digunakannya Stakeholder Theory mengingat karena konsumen

internet sebagai bagian dari stakehoders harus diperhatikan terlebih dahulu,

karena kelompok ini sangat menentukan keberadaan dan keberhasilan suatu

perusahaan dalam aktivitas usahanya, konsumen internet juga harus mendapatkan

perlindungan, karena seluruh warga Negara dapat berkedudukan sebagai

konsumen, maka perlindungan dan kesejahteraan konsumen juga menjadi

tanggung jawab Negara. Digunakannya teori tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan dari Lon. L. Fuller karena nampaknya adanya Undang-

undang No.11 Tahun 2008 (UU ITE) belum memenuhi salah satu syarat yang

merupakan azas dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan yang baik

menurut Lon L.Fuller. Kemudian digunakannya teori keadilan dari Adam Smith

karena lemahnya posisi konsumen internet dibanding posisi pelaku usaha.

Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni


keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

mengingat jasa-jasa perseorangan.

Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Teori Sistem Hukum (Legal System)

Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya,

proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum

yang dianut Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji

pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan

mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)

menurut Lawrence M.Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga)

komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal

substance) c. Budaya hukum (legal culture).19 Struktur hukum mengacu pada

bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. 20

Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari suatu sistem

hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum

tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem

hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan

berbagai perlengkapannya.

19
Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A
Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12
20
Ibid, h.15
Substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai

bagaimana institusi-institusi harus berlaku. 21 Substansi hukum meliputi aturan-

aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam

sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam

sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau

aturan baru yang mereka susun. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang

hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam

buku-buku hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum

ini relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama, substansi hukum

yaitu undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi (UU

ITE) harus jelas mengatur tentang adanya perlindungan hak konsumen berkaitan

dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet, jika substansi hukumnya

tidak mengatur maka perlindungan hukum terhadap konsumen yang terlibat dalam

transaksi elektronik melalui internet menjadi sangat lemah.

Budaya hukum/kultur hukum (legal culture) mencakup nilai-nilai dalam

masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.22 Kultur hukum juga bisa

mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan yakni sikap mengenai apakah akan

dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan.

Sebagian orang juga bersikap takut menggunakannya hak-hak mereka. Seperti

halnya budaya hukum pada konsumen internet, kesadaran hukum daripada

konsumen internet masih sangat rendah, karena hukum yang melindungi hak-hak

21
Ibid, h.16
22
Ibid, h. 18
konsumen juga sangat lemah, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi

konsumen yang menderita kerugian. Konsumen hanya bisa berdiam diri

menanggung kerugian yang mereka alami.

B. Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan

Teori ini dikemukakan oleh Lon L.Fuller. menurut Fuller, agar hukum

(peraturan) berfungsi dengan baik, maka peraturan tersebut harus mematuhi atau

mengikatkan diri secara ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan azas-

azas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu23 :

1) a failure to acliieve rule at all, so that every issue must de


decided on an ad hoc basi : (peraturan harus berlaku juga bagi
penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya;
dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya
suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan
dan tidak boleh sekedar mengandung keputusan yang berisifat
sementara atau ad hoc);
2) A failure to publicize, or at least, to make available to the
affected party, the rules he is expected to observe (aturan-
aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka
yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);
3) The abuse of retroactive legislation, which not only cannot
it self guide action, but under its the integrity of rules
prospective in effect, since it puts them under the threat of
retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memilki
daya laku surut atau harus nonretroaktif, karena dapat merusak
integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu
yang akan datang);
4) A failure to make rules understandable (dirumuskan secara
jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti);
5) The enactment of contradictory rules (tidak boleh
mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu-sama lain);
6) Rules that require conduct beyond the powers of the
affected party (tidak boleh mengandung beban atau
persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);

23
Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.130
7) Introduction such frequent changes in the rules
(memperkenalkan perubahan sering seperti dalam aturan,
artinya ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di
setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon
perubahan yang terjadi di setiap waktu); dan
8) A failure of congruence between the rules as announced
and their actual administration (harus ada kecocokan atau
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari).

Salah satu syarat yang merupakan azas dalam pembentukkan peraturan

perundang-undangan menurut Lon I.Fuller dalam angka 7 (tujuh) sebagaimana

telah disebutkan adalah : mengenai konsisten di setiap waktu, Menurut Fuller,

ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di setiap waktu tidak mutlak,

karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu

(Introducing such frequent changes in the rules).

Bila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang Informasi dan

transaksi elektronik (ITE), khususnya menyangkut pencantuman disclaimer dalam

website. Menurut Fuller bahwa hukum harus dapat merespon perubahan yang

terjadi di setiap waktu, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Informasi

dan transaksi elektronik khususnya berkaitan dengan adanya pengabaian hak-hak

konsumen akibat dari dicantumkannya disclaimer, artinya peraturan dalam

bidang Informasi dan Transaksi Elektroik harus dapat mengakomodir segala

macam kasus atau permasalahan yang menyangkut dunia internet yang timbul dari

adanya perkembangan zaman agar tidak terjadi kekosongan hukum.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan khususnya dalam bidang

Informasi dan Transaksi Elektronik perlu untuk dilaksanakan.


C. Teori keadilan

Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil,

keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak

mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan. 24

Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni

keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

mengingat jasa-jasa perseorangan.25

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith yang hanya menerima

satu konsep keadilan yaitu keadilan komutatif. Menurut Adam Smith keadilan

sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yg menyangkut

kesetaraan dan keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain.

Ketidakadilan berarti pincangnya hubungan antar manusia karena kesetaraan yg

terganggu. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena

keadilan legal hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif.

Demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan

memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali.

John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft menyatakan bahwa :

Consumer protection is more than a protection of "consumer"


interests. Legitimate business interests are strengthened by it. Laws
requiring fairness and full disclosure of business dealings make it more
difficult for unscrupulous business people to operate and thereby
infringe upon the trade of those whose business practices are sound.

24
Satjipto Rahardjo,2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, h. 44
25
Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40
This area of the law is still growing and further measures attempting to
protect the consumer from unfair practices are likely to be adopted.26

Dijelaskan bahwa perlindungan konsumen lebih dari perlindungan dari

kepentingan "konsumen" saja. Kepentingan bisnis diperkuat oleh kepentingan

konsumen tersebut. Hukum membutuhkan keadilan dan keterbukaan penuh dalam

kesepakatan-kesepakatan bisnis membuat hal tersebut lebih sulit bagi orang-orang

bisnis yang tidak bermoral untuk menjalankan dan dengan demikian masuk akal

apabila terdapat pelanggaran dalam praktik bisnis mereka. Hal ini termasuk dalam

lingkup hukum masih terus berkembang dan langkah-langkah lebih lanjut yang

bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik yang tidak adil kemungkinan

akan diadopsi. Apabila prinsip keadilan dijalankan maka akan lahir bisnis yang

lebih baik dan etis. 27

D. Stakeholder Theory

Suatu Perusahaan sebagaimana yang terjadi selama ini hanya bertanggung

jawab terhadap para pemilik (shareholders). Tanggung jawab perusahaan yang

semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam

laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor

sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal.

Friedmans memberikan definisi tentang stakeholders yaitu :

26
John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United States of
America, South-Western Publishing Co. Page 124
27
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak
komersial, Laksbang Mediatama ,Yogyakarta, h.70
any group or individual who can affect or is affected by achievement

of the organizations objectives.28

Definisi tersebut menyatakan bahwa stakeholder merupakan kelompok /

individu yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian

tujuan tertentu. Stakeholders theory lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders

theory atau Friedmans paradigm yang dikemukakan oleh Milton Friedmans

dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang terletak pada

tanggung jawab tunggal manajemen terhadap stakeholders. Kegagalan tersebut

mendorong munculnya stakeholders theory yang melihat shareholders sebagai

bagian dari stakeholders itu sendiri. Teori ini dikemukakan oleh R.Edward

Freeman. Menurut Freeman, stakeholder memiliki hubungan serta kepentingan

terhadap perusahaan. Stakeholders merupakan keterikatan yang didasari oleh

suatu kepentingan tertentu, membahas mengenai stakeholders theory berarti

membahas hal-hal yang menyangkut tentang kepentingan dari berbagai pihak.

Asumsi mengenai Stakeholder Theory menurut Thomas dan Andrew adalah

:29

1. Suatu perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok

konstituen (Stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

keputusan perusahaan.

28
Busyra Azheri, 2011,Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi Mandatory),
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.112
29
Nor Hadi, 2012, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.94
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses bagi

perusahaan dan stakeholder.

3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki

dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu sama lain.

4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.

Berdasarkan asumsi stakeholder theory tersebut , perusahaan tidak dapat

melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi

stakeholder serta memposisikannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan

keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan. 30

Stakeholder merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau masyarakat

baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal yang memiliki

hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat mempengaruhi

maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak

langsung. 31 Berdasarkan kedekatan dengan pihak yang terkait dengan perusahaan,

maka stakeholders theory dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian32, yaitu

kelompok primer dan kelompok sekunder, kelompok primer terdiri atas pemilik

modal/saham (owners), kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan

pesaing/rekanan. Kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat,

pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung,

masyarakat pada umumnya dan masyarakat setempat.

30
Ibid
31
Elvinard Ardianto dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR
Berlipat-lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 75
32
Ibid, h.113
Atas dasar pengelompokan stakeholders, sudah tentu kelompok primer yang

harus diperhatikan terlebih dahulu, karena kelompok ini sangat menentukan

keberadaan dan keberhasilan suatu perusahaan dalam aktivitas usahanya oleh

karena kelompok primer berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis perusahaan.33

Kenneth Andrews menyatakan bahwa eksekutif perusahaan sekarang ini termasuk

orang yang tidak dapat membatasi dirinya hanya untuk menjalankan aktivitas

ekonomi dan mengabaikan aspek social. Seorang manajer dan perusahaan tidak

bisa lepas dari berbagai masalah sosial di lingkungannya. Oleh karena itu para

manajer harus menyadari bahwa suatu perusahaan adalah sebuah institusi publik

dan manajemen yang dijalankan harus menurut pedoman nilai moral yang

terkandung dalam kesadaran perusahaan itu sendiri.

Pihak manajemen perusahaan diharapkan akan memasukkan nilai-nilai

moralitas dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan aktivitas usahanya dengan adanya stakeholders theory ini. Semakin

jelaslah stakeholders theory yang merupakan suatu pendekatan yang didasarkan

atas bagaimana mengamati, mengidentifikasi dan menjelaskan secara analitis

tentang berbagai unsur yang dijadikan dasar dalam mengambil suatu keputusan

dan tindakan dalam menjalankan aktivitas usaha. Kemudian dilakukan pemetaan

terhadap hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis. Pada umumnya

hal ini dilakukan sebagai upaya menunjukkan siapa saja yang punya kepentingan,

terkait dan terlibat dalam kegiatan bisnis. Akhirnya tujuan bisnis akan bermuara

pada suatu tujuan yang bersifat imperatif dalam arti kata bahwa bisnis harus
33
Dwi Kartini, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.8
dijalakan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dengan aktivitas

dunia usaha terjamin, diperhatikan dan dihargai. 34

Pelaku Usaha hendaknya memperhatikan stakeholders dan tidak hanya

meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya saja, karena stakeholders adalah

pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak

langsung atas aktivitas dan kebijakan yang diambil suatu perusahaan. Jika

perusahaan tidak memperhatikan stakeholders, akan dapat menuai protes dan

mengeliminasi stakeholders. Bagi pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya

secara online melalui situs internet (website) berkaitan dengan pencantuman

disclaimer dalam situs internet yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung

jawabnya, diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak stakeholders

yaitu hak-hak konsumen karena konsumen merupakan kelompok primer yang

sangat terkait dengan perusahaan. Dalam suatu bisnis termasuk dalam bisnis

online stakeholders theory bermuara pada prinsip minimal yaitu tidak merugikan

hak dan kepentingan pihak yang berkepentingan baik pelaku usaha maupun

konsumen. Hal ini bermakna bahwa suatu bisnis online harus dijalankan secara

baik dan etis demi kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnis online

tersebut.

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang

34
Ibid, h. 118-119
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka.35 Di

dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum

dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan

berprilaku atau bersikap tidak pantas.36

b. Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, informasi didapatkan dari berbagai aspek mengenai isu yang
37
sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan masalah dalam penelitian

ini mempergunakan beberapa pendekatan dalam memecahkan masalah, yaitu

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach.).

Disamping itu digunakan pendekatan analisis konsep hukum yaitu mengutip

pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau

literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (analytical and

conceptual approach) atau bahan hukum sekunder. Pendekatan ini juga mencari

pembenaran atas suatu teori hukum atau azas-azas yang dapat digunakan dalam

penelitian ini. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Teori

Sistem Hukum, Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-

undangan, Teori Keadilan dan Stakeholder Theory.

35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.14
36
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT.Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
h. 107
37
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h 93
c. Sumber bahan hukum.

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum

dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder.

Bahan Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan 38 :

1) Bahan hukum primer (primary law material)

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara

umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat

bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen,

hukum dan putusan hakim)

2) Bahan hukum sekunder (secondary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak

atau elektronik.

3) Bahan hukum tertier (tertiary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus

hukum dan ensiklopedia).

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh

melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum 39. Bahan hukum primer

dalam penulisan ini adalah:

38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 82.
39
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, h. 98.
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen;

5. Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa;

6. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;

7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Sedangkan bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penulisan ini

yaitu buku-buku ataupun literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari

para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Serta bahan hukum

tertier yang memberi petunjuk maupun penjelasan dalam penulisan ini adalah

kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia dan internet yang diuraikan pada

halaman akhir penulisan ini.

d. Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini

dilakukan dengan cara menggali kerangka normatif menggunakan bahan hukum

yang membahas tentang teori-teori hukum, perlindungan hukum terhadap

konsumen internet di indonesia. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan

sistem bola salju (snow ball) dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya

untuk dikaji secara komprehensif.

e. Teknik analisis bahan hukum.

Teknik analisis terhadap bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,

evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa penggambaran

bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Bahan-bahan tersebut dideskripsikan

Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan

hukum yang diperoleh. Untuk mendapat jawaban permasalahan-permasalahan

maka dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan

permasalahan yang ada.


BAB II

KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU

USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE)

2.1 Perlindungan Konsumen

2.1.1 Konsepsi Umum tentang Pelindungan Konsumen dan Dasar

Hukumnya

Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah

satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam

masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam

masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat

ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD

1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus

mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat

beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain :

a) Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu

kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya

tersebut.40

b) Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang

tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan

40
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, h.121.
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya

sebagai manusia41

c) Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. 42

d) Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan

melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan

perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum di

atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu 43:

subyek yang melindungi , obyek yang akan dilindungi alat, instrumen

maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut.

Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat

disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi

kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak

untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk

bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya

41
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta h. 14.
42
Ibid
43
Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h.10
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen. Kalimat yang menyatakan segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum, diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen. Faktor yang juga turut mendorong

pembentukan Undang-undan No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

di Indonesia adalah perkebangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam

kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International

Monetary Fund (IMF) dan Program Bank Dunia. 44

Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-

kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan

masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 45 Menurut

Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Konsumen adalah

setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan.

Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi dari

konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha

yang diberikan oleh Undang-undang, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud

44
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta,h.131
45
Janus Sidabalok,2006, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.46.
dengan pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 adalah :

Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan


hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Ini berarti tidak hanya para pelaku usaha pabrikan yang menghasilkan barang

dan/atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para rekanan,

termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi

pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas

selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa 46.

Berkaitan dengan kegiatan usaha secara online konsumen juga termasuk

dalam kategori Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 1 angka 9

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik yang merupakan setiap Orang, penyelenggara Negara,

Badan Usaha dan Masyarakat yang memanfaatkan barang, jasa, fasilitas atau

informasi yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.

Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa menurut

Pasal 1 angka 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut :

Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,


baik bergerak maupun tiak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, jasa adalah setiap

46
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.5
layanan yang berbentuk pekerjaan atau presentasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Konsumen merupakan pengguna akhir (end user), dari suatu produk yaitu

setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan. 47

Pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga pengertian, yaitu 48 :

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

yang digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial. Melihat pada sifat

penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini

sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun

pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha

swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara) dan dapat

terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang

digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual

produk akhir seperti supplier, distributor atau pedagang.

47
Abdul Rasyid Saliman, et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh
Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Kencana Renada Media Group, Jakarta, h.23.
48
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.61.
3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan barang

dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup

pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu

merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di

bidang hukum perlindungan konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen yang

berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak

konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan

konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan

yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

barang/jasa. Adapula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan

dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan

kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi

perdagangan.Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum


perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha dalam

aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata. 49

Peraturan tentang hukum Perlindungan Konsumen telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada

tangal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati

rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan

oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru

disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.50 Dengan diundangkannya

masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian

terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang

merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara

hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di tanah air.

2.1.2. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang-

undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu 51 :

1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. hak untuk memilih (the right to choose);

4. hak untuk didengar (the right to be heard).

49
N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk), Panta Rei, Jakarta, h.34.
50
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Visimedia, Jakarta, h.20.
51
Ibid
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

seperti hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pada era 1960an Negeri Paman Sam cukup beruntung karena gerakan

perlindungan konsumen mendapat dukungan pada tingkat suprastruktur politik ini

terjadi pada 15 Maret 1962 tatkala Mantan Presiden Amerika Serikat, John F

Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan dihadapan Kongres Amerika Serikat

berjudul A Special Message of Protection the Consumer Interest52, pernah

mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu 53 :

1. the right to safe products;

2. the right be informed about products;

3. the right to definite choices in selecting products;

4. the right to be heard regarding consumer interest.

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985

tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga

merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang

meliputi54 :

52
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006),
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.44.
53
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op cit, h.27.
54
Ibid, h.28.
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut

untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan

yang menyangkut kepentingan mereka.

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-

hak Konsumen disebutkan disusun secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan

paling dasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut 55 :

1. Hak konsumen mendapatkan keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan

jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan

rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada

kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa

konsumen adalah pihak yang wajib berhati-hati bukan pelaku usaha. Falsafah
55
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
h.32
yang disebut let the buyer beware ini mencapai puncaknya pada abad ke-19

seiring dengan berkembangnya paham rasional individualisme di Amerika

Serikat.56 Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen

ini telah ditinggalkan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi

yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat

disampaikan dengan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen,

melalui iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk. 57

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk

yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai informasi

berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal

diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya

terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar,

maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan. Bentuk kejahatan ini ditandai

oleh :

1. Pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement)

2. Pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya

khasiat tertentu padahal tidak.58

56
Ibid
57
Ibid, ,h.33.
58
Ibid
3. Hak untuk didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak

untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang

berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen.

Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Dalam

tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh

konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus

bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.59 Pengertian

demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah

positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.

4. Hak untuk memilih

Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan

pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi

bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga

bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat

kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak

monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar

kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan

produk yang lain. 60

5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar

yang diberikan

59
Ibid, h.35.
60
Ibid, h.36.
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang

tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.

Namun, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan

konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Dalam situasi demikian,

biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang

boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi

tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat

saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung

konsumen.

6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak

mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Untuk menghindar dari kewajiban

memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausula-

klausula eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk

dan konsumennya. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat

menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.

7. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi

daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula

eksonerasi secara sepihak. 61 Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan

61
Ibid, h.38
tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan

hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum,

termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut

pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena

mengonsumsi produk itu.

8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang

diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi

konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan

setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan

hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.

Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme

hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik

langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas

penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang

bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. 62

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari

persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen

memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang

62
Ibid, h.39.
dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi

cepat atau lambat pasti terjadi.

10. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.

Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-

haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran

hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi

penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan

konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat

melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.63

Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa

yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak

aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk

diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang

dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak

membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk

memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan

informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang

merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,

perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

63
Ibid, h.40.
Mengenai kewajiban konsumen tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang

No.8 Tahun 1999 yang meliputi :

1. kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan


prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaikan hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut

Peningkatan terhadap kesadaran konsumen akan hak-haknya menjadi penting

di era perdagangan bebas saat ini apalagi terkait dengan perubahan pola

komunikasi yang memungkinkan para pihak melakukan transaksi tanpa harus

bertatap muka. Salah satu aspek penting dalam hal dan kewajiban para pihak

adalah penyediaan arus informasi yang harus jelas mengenai jaminan atas barang

dan/atau jasa namun tidak meliputi informasi lain yang patut dilindungi oleh

hukum apabila pelaku usaha tidak secara jelas memberikannya kepada konsumen

seperti informasi mengenai keadaan perusahaan yang terkait erat dengan

kredibilitas suatu perusahaan untuk menarik konsumen untuk mengikatkan diri.

2.1.3. Asas asas yang Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di

Indonesia

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh

pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha dan pemerintahan berdasakan lima

asas, yang menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen adalah :

1. Asas manfaat;

2. Asas keadilan;
3. Asas keseimbangan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen;

5. Asas kepastian hukum.

Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut 64 :

1. Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal

dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini

menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan

hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu Undang-undang

Perlindungan Konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen

dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah

memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan

pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak

dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


64
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya

yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, memberikan jaminan atas

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian

dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas

ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh

manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa

produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan

harta bendanya.

5. Asas kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum

dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen

serta negara menjamin kepastian hukum, artinya Undang-undang

perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan

kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang perlindungan konsumen

harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing

pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin

terlaksananya Undang-undang perlindungan konsumen sesuai dengan

bunyinya.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut dalam pasal tersebut, bila

diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan

konsumen;

2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan


3. asas kepastian hukum.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. mengkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

2.1.4. Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha

dengan Konsumen menurut Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUHPerdata)

Dalam hukum perdata, perjanjian merupakan sendi yang penting karena

banyak mengandung penraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji

seseorang. Suatu perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian merupakan sumber

perikatan disamping sumber lain, yaitu Undang-undang. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-

undang.

Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak

yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Subekti, perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, berkewajiban memenuhi itu. 65

Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum

imperative (istilah konvensional : hukum memaksa atau dwigend recht) dan

hukum fakultatif (hukum yang mengatur atau hukum pelengkap : aanvullend

recht /regelend recht). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan sanksinya.

Hukum memaksa itu adalah hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat

dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian yang dibuat kedua belah pihak

sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus

ditaati, hukum yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Sedangkan hukum

mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat disisihkan oleh

perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana kedua belah pihak dapat

menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka

peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu

dijalankan. Hukum mengatur biasanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak

tidak membuat sendiri suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan tapi

tidak lengkap.66

Terdapat tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu

undang-undang, kebiasaan dan kepatutan. Menurut Pasal 18 ayat (3) KUHPerdata,

semua pejanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (Belanda ; tegoeder

trouw, Inggris; in good faith, Perancis; de bonne fot). Norma yang dituliskan di

65
Subekti, 2001, Hukum Perjanian, Intermasa, Jakarta, h.50
66
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia
Pustaka Utama.Jakarta, h.5
atas ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum

perjanjian.67Dalam perjanjian jual beli kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai

penjual ada 2 (dua) yaitu 68 :

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan;

Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut

hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan

itu, dari pelaku usaha kepada konsumen.

b. Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung cacat-cacat

tersembunyi (vrijwaring, warranty).

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan merupakan konsekuensi dari pada

jaminan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli bahwa barang yang dijual

dan diserahkan atau dilever itu sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari

sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu hak apapun. Kewajiban tersebut dalam

realisasinya memberikan penggantian kerugian kepada pembeli karena suatu

gugatan pihak ketiga. Penanggungan (vrijwaring, warranty) maksudnya bahwa

ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli adalah sebagaimana disebutkan

dalam pasal 1503 KUHPerdata. Kewajiban untuk menanggung cacat-cacat

tersembunyi (verborgen gebreken, hidden defects) artinya bahwa penjual

diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya,

yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai oleh pembeli atau mengurangi

kegunaan barang itu, sehingga akhirnya pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut.

67
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h.72
68
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.8
Hukum Perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap (aanvullend

recht), kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas

atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang,

bahkan para pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak

akan mewajibkan menanggung sesuatu apapun. Namun ini ada pembatasannya

yaitu sebagai berikut69 :

a. Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung

sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang

berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya; semua

persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. (sesuai dengan

pasal 1494 KUHPerdata);

b. Si penjual, dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi suatu

penghukuman terhadap terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya

kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali

apabila si pembeli ini pada waktu pembelian dilakukan, mengetahui

tentang adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya

itu atau jika ia telah membeli barang itu dengan pernyataan tegas akan

memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).

Jika dijanjikan penanggungan atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian,

pembeli berhak , dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang

yang dibelinya kepada seorang lain,menuntut kembali dari si penjual :

1. pengembalian uang harga pembelian;

69
Subekti, Op.cit, h.17-18
2. pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu

kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;

3. biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pemilik untuk

ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat

asal;

4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan

penyerahannya, sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli.

Mengenai persoalan penanggungan (vrijwaring, warranty) ini ada suatu

ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli yaitu pasal 1503 KUHPerdata

yang berbunyi :

Penanggungan terhadap penghukuman menyerahkan barangnya


kepada seorang lain, berhenti jika si pembeli telah membiarkan
dirinya dihukum menurut suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak memanggil si penjual,
sedangkan pihak ini membuktikan bahwa ada alasan-alasan yang
cukup untuk menolak gugatan.

Mengenai kewajiban untuk menanggung cacad tersembunyi dapat

diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacad

tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat produk tersebut tidak

dapat dipaka untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi

pemakaian itu. Jika si penjual sudah mengetahui cacad barang maka penjual

diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti semua kerugian yang

diderita oleh pembeli akibat produk yang cacad tersebut. Dalam hal penjual tidak

mengetahui adanya cacad tersebut , penjual hanya diwajibkan mengembalikan

harga pembelian dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan
untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan sesuai dengan bunyi pasal

1508 KUHPerdata dan pasal 1509 KUHPerdata.

2.1 Pelaku Usaha

2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya

Pelaku usaha yang menjalankan usahanya melalui sarana internet (online)

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012

tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) termasuk

dalam kategori Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).70 Pasal 1 angka 6 UU

ITE memberikan pengertian tentang Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai

pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha,

dan/atau masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah

tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa :

Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang


penyelenggara Negara, Badan Usaha dan masyarakat yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoprasikan Sistem
Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada
Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau
keperluan pihak lain.
Pasal 1 angka 26 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai pelaku usaha, yang

diartikan sebagai berikut

Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,


baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

70
Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :
www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku Usaha online yang menurut Peraturan Pemerintah tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik disebut juga Penyelenggara

Sistem Elektronik didalamnya juga termasuk Penyelenggara Transaksi

Elektronik. Penyelenggara Transaksi Elektronik dilakukan dalam lingkup publik

dan privat. Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi

Penyelenggara Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang

menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-

undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 40 Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,

Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi

elektronik :

a. antar Pelaku Usaha

b. antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

c. antar Pribadi

d. antar Instansi; dan

e. antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif Hukum

Indonesia

Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pelaku usaha wajib melakukan

edukasi kepada Pengguna Sistem Elektronik sebagai konsumen, edukasi tersebut

berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak yang terkait,

serta prosedur pengajuan komplain. Informasi yang wajib disampaikan oleh

Penyelenggara Sistem Elektronik kepada Pengguna Sistem Elektronik sesuai

dengan Pasal 25 Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik yaitu mengenai Identitas Penyelenggara Sistem Elektronik,

objek yang ditransaksikan, kenaikan atau keamanan sistem elektronik, tata cara

penggunaan perangkat, syarat kontrak, prosedur mencapai kesepakatan dan

jaminan privasi dan/atau perlindungan Data Pribadi.

Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik menerapkan manajemen resiko

terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. Pelaku usaha penyelenggara

transaksi elektronik juga memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 49 Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang

bunyinya sebagai berikut :

1. Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem


Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan;
2. Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang
penawaran kontrak atau iklan;
3. Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen
untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai
dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi;
4. Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang
yang telah dikirim;
5. Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai
kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.

Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dari Pasal 7 Undang-undang Nomor 8

tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Meperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan.atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.

2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang

termasuk konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir dan bukan konsumen

antara. Sedangkan terkait dengan transaksi di Internet, pengertian pelaku usaha

adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di Internet yang merupakan orang

perorangan atau badan usaha berbentuk hukum ataupun tidak, didirikan dan

berkedudukan didalam wilayah hukum Negara RI atau didirikan dan melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI. Pemahaman pengertian tersebut

penting untuk memahami wilayah kerja dari para pelaku usaha yang melintasi

batas wilayah RI.


Hubungan antara produsen dengan konsumen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu

Hubungan secara Langsung dan Tidak langsung. Hubungan secara langsung

dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai pasal 1457 KUHPerdata

adalah suatu perjanian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan. Unsur-unsur jual beli tersebut berupa perjanjian, penjual dan

pembeli, harga dan barang.

Suatu perjanjian sesuai Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, sesuai Pasal

1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri.kecakapan untuk

membuat suatu perikatan. suatu hal tertentu. suatu sebab yang halal. Tiap-tiap

perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang (Pasal

1233 KUHPerdata). Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap

perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk

tidak berbuat sesuatu. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Kata

semua perjan-jian mencerminkan asas kebebasan berkontrak (freedom of

contract). Kebebasan berkontrak terdapat pembatasan-pembatasannya.

Pembatasan itu antara lain bahwa sutau perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Suatu perjanjian tidak boleh

melanggar undang-undang, ke-susilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337


KUHPerdata), dan harus dilaksanakan menurut kepatutan, kebiasaan dan undang-

undang (Pasal 1339 KUHPerdata).

Tanggung jawab pelaku usaha disesuaikan dengan hubungan hukum yang

terjadi di antara pelaku usaha dengan konsumen, hal tersebut dapat digambarkan

berdasarkan skema berikut ini :

Barang Contractual liability

Langsung
(Privity
contract)
Jasa Professional liability

Hubungan
Pelaku Usaha
Dengan Strict liability
Konsumen

Tidak
langsung
(no privity Produk liability
Barang
contract)

Skema I. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen

Terdapat hubungan hukum didalam transaksi elektronik yang dilakukan

dengan memadukan jaringan dari sistem informasi yang berbasis komputer

dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.

Hubungan hukum tidak hanya antara pelaku usaha dengan konsumen saja tetapi

juga antara pihak-pihak dibawah ini :

1. Business to Business
Transaksi yang terjadi antara perusahaan (pelaku usaha dan konsumennya

adalah perusahaan bukan perorangan). Biasanya antara mereka telah saling

mengetahui satu sama lain dan sudah terjalin hubungan yang sudah cukup lama.

Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran

informasi itu didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan;

2. Business to Customer

Transaksi yang terjadi antar perusahaan dengan konsumennya adalah

individu. Contohnya tokobagus.com sebuah situs e-commerce yang besar dan

terkenal di Indonesia dan amazone.com sebuah situs e-commerce yang besar dan

terkenal di dunia. Pada jenis ini transaksi disebarkan secara umum dan konsumen

yang berinisiatif melakukan transaksi. Pelaku usaha harus siap menerima respon

dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan adalah sistem web

karena sistem ini yang sudah umum dipakai dikalangan masyarakat.

3. Customer to Customer

Transaksi ini terjadi dimana individu saling menjual barang satu sama lain.

Contohnya adalah e-bay.

4. Customer to Business

Transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan.

Contohnya adalah priceline.com

5. Customer to Government

Transaksi dimana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah.

Contohnya adalah membayar pajak.


2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam Kegiatan

Bisnis

Terdapat 10 larangan bagi pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat

(1) UU PK yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang


dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam
label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

Pada setiap bidang usaha memiliki aturan tersendiri, sebagai contoh usaha

dibidang makanan dan minuman diatur di dalam Undang-undang No.7 Tahun


1996 tentang Pangan. Bidang usaha yang dilakukan secara online juga tuduk

kepada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE). Pelaku usaha selain wajib tunduk pada aturan-aturan yang

berlaku juga wajib memiliki itikad baik dalam menjalankan suatu usaha. Segala

janji-janji yang diberikan kepada konsumen harus dipenuhi. Larangan selanjutnya

terdapat dalam ayat (2) dan (3) yang melarang pelaku usaha memperdagangkan

barang, sediaan farmasi dan pangan yang rusak (sudah tidak sempurna lagi), cacat

(kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang

sempurna) atau bekas (sudah pernah dipakai) dan tercemar (rusak) tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang

diperdagangkan. Untuk peraturan yang lebih spesifik mengenai pangan dan

sediaan farmasi masing-masing diatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun

2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku asas lex specialis derogate lege

generalis yang artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.

2.3 Disclaimer dan Situs Internet (Website)

2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang Dicantumkan Pelaku Usaha

Dalam Situs Internet (Website)

Disclaimer dalam website adalah suatu pernyataan yang pada umumnya

dimaksudkan untuk menentukan atau membatasi ruang lingkup hak dan kewajiban

yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan oleh pihak dalam hubungan yang diakui

secara hukum. Berbeda dengan istilah lain untuk bahasa hukum yang berlaku,

disclaimer istilah yang biasanya menyiratkan situasi yang melibatkan beberapa


tingkat ketidakpastian, pengabaian atau risiko. Disclaimer dalam website atau

pernyataan penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik

website atau situs sebagai pemberi informasi. Pembaca suatu situs dianggap secara

otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada situs tersebut,

termasuk klausul disclaimer.71 Disclaimer atau pernyataan penyangkalan

diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik situs (website). Pembaca suatu

situs dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada

situs tersebut, termasuk klausul disclaimer.

Didalam sebuah artikel yang dikemukakan oleh seorang internet lawyer asal

California bernama Richard A. Chapo menyatakan bahwa :

Disclaimer is a statement that details how certain information


should be viewed or used on the site. For instance, you might
include a disclaimer that states that all information was current
at the time it was published, but may no longer be and it is the
duty of the reader to make sure to check for any updates.
Disclaimers are often included in the terms of use or terms and
conditions of a site. Common disclaimers include an exclusion
of warranties and their positioning in the terms is an accepted
method of dealing with them. In other cases, however, it is best
to detail certain elements of your disclaimer separately so they
really stand out for readers...72
Dikemukakan bahwa disclaimer merupakan sebuah pernyataan yang merinci

mengenai bagaimana informasi tertentu harus dilihat atau digunakan dalam

sebuah situs. Misalnya, pembaca mungkin masuk dalam sebuah disclaimer yang

menyatakan bahwa semua informasi yang sedang diterbitkan merupakan

71
Diana kusuma sari, Op.cit.
72
Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :
www.socalinternetlawyer.com, pada tanggal 19 Mei 2013.
informasi terbaru , tetapi mungkin juga sudah lama dan hal tersebut adalah tugas

pembaca untuk memastikan untuk memeriksa beberapa pembaharuan mengenai

informasi tersebut. Disclaimer biasanya tercantum beserta term of use atau terms

and conditions sebuah situs. Disclaimer pada umumnya meliputi pengecualian

dari jaminan dan pemilik situs menempatkan dirinya ke dalam syarat-syarat yang

merupakan metode yang diterima oleh pembaca dalam hal berurusan dengan

pemilik situs tersebut, merupakan hal yang baik untuk merinci unsur-unsur

tertentu dari disclaimer secara terpisah sehingga terlihat untuk pembaca .

Lebih lanjut Richard A. Chapo dalam artikel elektronik tersebut juga

menyatakan bahwa :

...Cant use the disclaimers for anything, If you offer a weight


loss product on your site and then include a disclaimer that says
it hasnt been proven to help people lose weight, the disclaimer
is not going to keep you from being sued or potentially found
liable. That being said, a court may give it credence, so it is
worth a shot. Any belief that you can use disclaimers to prevent
lawsuits, however, is simply not true. Disclaimers tend to carry
more weight if the users of the site actually affirmatively agree
to them. This means they must click a box that says I have read
the terms of use and expressly agree to them. The reason for
this is such affirmative acceptance makes it easier to argue the
terms are a binding contract.73
Dapat diketahui bahwa pelaku usaha pemilik situs tidak bisa menggunakan

disclaimer tersebut untuk hal apapun , sebagai contoh jika pemilik situs

menawarkan produk penurunan berat badan di website-nya dan kemudian

mencantumkan disclaimer yang menyatakan itu belum terbukti untuk membantu

orang menurunkan berat badan , disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs

73
Ibid
untuk tidak digugat atau berpotensi untuk diminta bertanggung jawab. Pengadilan

dapat memberikan kepercayaan , sehingga layak untuk dituntut . Setiap anggapan

bagi pemilik situs bahwa disclaimer digunakan untuk mencegah tuntutan hukum,

merupakan hal yang keliru. Disclaimer cenderung mengikat lebih berat jika

pengguna situs sebenarnya menyetujuinya. Ini berarti mereka harus meng-klik

kotak yang mengatakan "Saya telah membaca persyaratan penggunaan dan

menyatakan setuju untuk mereka. Alasan untuk itu termasuk penerimaan

persetujuan yang membuat lebih mudah untuk berpendapat bahwa syarat tersebut

merupakan perjanjian yang mengikat.

Dalam artikel yang dibuat SEQ Legal LLP sebuah website generator jasa

pembuat disclaimer di Inggris menjelaskan tentang bagian dari disclaimer website

antara lain :

The disclaimer document is divided into the following sections: 74a licence
of the copyright in the website (and restrictions on what may be done with
the material on the website); a disclaimer of liability (which gives the
document its name); a variation clause; an entire agreement clause; a
clause specifying the applicable law and the jurisdiction in which disputes
will be decided; and a provision specifying some of the information which
needs to be disclosed under the Ecommerce Regulations.

Dapat dijelaskan bahwa suatu dokumen disclaimer yang dibuat oleh SEQ

Legal LLP sebuah website generator dibagi menjadi beberapa bagian seperti

lisensi hak cipta di website (pembatasan pada apa yang dapat dilakukan dengan

74
SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL :
http://www.seqlegal.com , pada tanggal 20 Oktober 2013.
materi di website), penolakan pemenuhan kewajiban (yang biasanya menjadi

sebutan untuk suatu dokumen disclaimer), klausul variasi, klausul kesepakatan,

klausul yang menentukan hukum yang berlaku dan yurisdiksi di mana perselisihan

akan diputuskan dan ketentuan menentukan beberapa informasi yang perlu

diungkapkan berdasarkan Peraturan e-commerce.

Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia keberadaan suatu klausula

disclaimer yang ada di dalam situs internet (website) yang tidak dapat

dinegosiasikan kepada konsumen terlebih dahulu dalam hukum perikatan

termasuk dalam perjanjian standar. Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah

yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu standaard contract atau standaard

voorwarden dalam bahasa jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah

Allegemene geschaft bedingun, standaard vertrag, standaardkonditionen.

Hukum Inggris mengenal perjanjian standar sebagai standard contract atau

take it or leave it contract. Tretel memberikan definisi perjanjian standar

sebagai

The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are

used for all contracts of the same kind and are only varied so far as the

circumstance of each contracts require.75

Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah

perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan ditiangkan dalam

bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. Dalam ketentuan Undang-

75
G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London, h.196
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah

klausula baku untuk menyebut perjanjian standar. Pengertian tentang klausula

baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen

yang menyebutkan bahwa klausula baku tersebut disiapkan terlebih dahulu oleh

pelaku usaha dan dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Dalam situs internet (website) bentuk

klausula baku ditampilkan secara digital, berbeda dengan klausula baku yang

beredar dalam dunia nyata yang dicetak dalam bentuk formulir.

2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause

Berkaitan dengan klausula pembebasan tanggung jawab yang dicantumkan

dalam bentuk disclaimer dalam website, dalam kontrak standar di dunia nyata

juga dikenal Wiver Clause dan Indemnity Clause yang sama-sama berkaitan

dengan tanggung jawab. Klausula Wiver (Wiver Clause) yaitu merupakan surat

pernyataan yang dibuat secara resmi untuk melepaskan tuntutan. Wiver clause

juga terdiri dari pasal dalam kontrak yang memuat kehendak salah satu atau para

pihak untuk melepaskan hak untuk melakukan sesuatu atau untuk menuntut atas

suatu klaim tertentu yang dapat terbit dari kontrak. Wiver Clause disebut juga

klausula pelepasan yang berguna dalam terjadi kelambatan atau kekurangtegasan

dari pihak kreditur tidak ditafsirkan sebagai pelepasan haknya.

Pelepasan hak, apabila suatu syarat dalam kontrak diabaikan, dilalaikan atau

dilupakan, maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan haknya, karena itu

untuk mencegah agar tidak terjadi penafsiran yang demikian dibuatlah suatu

pernyataan, sehingga tidak terjadi penafsiran yang keliru ataupun bahkan


ditafsirkan sebaliknya. Dalam legal dictionary disebutkan bahwa Waiver

merupakan :

The voluntary surrender of a known right; conduct supporting an inference

that a particular right has been relinquished76

Dapat dijelaskan bahwa klausula wiver merupakan penyerahan secara

sukarela atas hak, melakukan mendukung kesimpulan bahwa hak tertentu telah

dilepaskan. Selain waiver clause juga dikenal indemnity Clause, di Indonesia juga

dikenal sebagai Prinsip Indemnity diartikan sebagai kompensasi keuangan yang

pasti dan cukup untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah

peristiwa kerugian, sama dengan posisi keuangan sesaat sebelum terjadinya

peristiwa kerugian tersebut.

Pengaturan mengenai prinsip indemnity di Indonesia diatur dalam Pasal 246

Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara jelas bahwa Asuransi merupakan

suatu perjanjian ganti rugi atau perjanjian indemnitas (Contract Of Indemnity)

artinya penanggung berjanji akan membayar ganti rugi seimbang sesuai kerugian

yang diderita oleh tertanggung, apabila objek telah dipertanggungkan dengan nilai

penuh. Besarnya kerugian dihitung berdasarkan nilai pada sesaat sebelum terjadi

peristiwa kerugian. Contract of indemnity merupakan sebuah dokumen yang

dikeluarkan oleh penerbitnya kepada pihak lain yang berfungsi sebagai perjanjian

formal untuk melepaskan atau melindungi pihak lain tersebut dari kewajiban

76
Farlex, 2013, Waiver, diakses dari URL : http:// www. Legal-dictionary.com, pada tanggal
29 November 2013
terhadap kinerja tindakan-tindakan tertentu yang dilakukannya. Menurut Simone

Selkirk dan Garrett Williams :

Indemnity clause is a contractual transfer of risk between two


contractual parties generally to prevent loss or compensate for a loss
which may occur as a result of a specified event.77

Dapat dijelaskan bahwa klausul indemnity adalah transfer risiko kontrak

antara dua pihak kontrak umumnya untuk mencegah kerugian atau kompensasi

untuk kerugian yang mungkin terjadi sebagai akibat dari peristiwa tertentu. Dalam

prakteknya, karakteristik indemnity berupa ganti kerugian oleh pihak ketiga yang

dapat ditemukan dalam kontrak asuransi yang dimana jumlah klaim/kompensasi

belum dapat dihitung sebelum peristiwa terjadi, jumlah klaim dihitung

berdasarkan nilai/harga pada saat sesaat sebelum terjadi peristiwa klaim, kecuali

dalam asuransi jiwa dan kecelakaan diri jumlah klaim yang akan dibayarkan telah

diketahui sejak awal kontrak.

Jadi, diantara disclaimer, wiver clause dan indemnity clause terdapat

persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama merupakan

klausula baku yang berkaitan dengan tanggung jawab. Perbedaannya disclaimer

merupakan pembebasan tanggung jawab yang biasanya dicantumkan untuk

membebaskan diri sendiri dari tanggung jawab banyak ditemukan dalam website

dan keberadaannya terkadang tidak disadari oleh konsumen. Wiver clause

merupakan penyerahan secara sukarela atas hak dalam kontrak yang diketahui

77
Simone Selkirk dan Garrett Williams, 2011, Indemnity clauses in commercial contracts,
diakses dari URL : http://www.lexology.com, pada tanggal 29 November 2013.
oleh para pihak dan Indemnity clause menyatakan pengalihan tanggung jawab

dimana tanggung jawab tersebut dialihkan kepada pihak ketiga seperti contohnya

pada jasa asuransi.

2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan Kaitannya dengan

Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Situs Internet (website) merupakan halaman yang ditampilkan di internet

yang berisikan suatu informasi tertentu. Website juga dapat diartikan kumpulan

dari web pages mengenai hal atau organisasi ternetu. Web page adalah tampilan

sebuah halaman di internet yang memiliki alamat tertentu dimana alamat itu tidak

ada yang sama satu dengan yang lain. 78 Jenis-jenis website berdasarkan sifatnya

dibagi menjadi dua, yaitu website Dinamis dan website statis.79 Website dinamis

merupakan website yang contentnya dapat berubah setiap saat. website dinamis

antara lain tokobagus.com, detik.com, Wikipedia.com dan blog tentang internet

marketing. Faktor utama yang membuat suatu website menjadi dinamis adalah

Content Management System. Dengan adanya CMS ini, siapapun yang memiliki

akses ke administrator website dapat mengupdate contentnya dengan sangat

mudah.website statis merupakan website yang jarang sekali dirubah karena

memang tidak diperlukan perubahan yang sangat sering. Contohnya adalah

78
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.268
79
Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :
http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013
website company profile dan website profil organisasi. Website statis seringkali

juga berfungsi hanya sebagai brosur atau kartu nama digital perusahaan. 80

Internet dan website merupakan dua hal yang berbeda. Sebuah website

dilindungi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

(UUHC) yang melindungi secara otomatis tanpa harus melalui pendaftaran di

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). UUHC melindungi

desain website maupun konten website (teks/tulisan, foto-foto, gambar-gambar,

musik, video, database dan software) yang merupakan obyek perlindungan hak

cipta, elemen lainnya yang dapat ditemukan didalam website yaitu logo, nama

usaha, brand/nama produk/nama jasa, symbol, slogan, nama domain dan fitur-fitur

dengan teknologi web misalnya search engines, sistem online shopping dan

sistem navigasi.

Pada pembuatan website semua tahap persiapan sebelum website tersebut

diupload ke dalam internet, website dirancang dalam suatu HTML Editor. Editor

adalah sebuah program komputer. Perbuatan merancang website dengan

menggunakan program HTML Editor sebagai sarana, adalah sama seperti

membuat suatu program aplikasi dengan menggunakan program Pascal.

Rancangan website yang dibuat dalam bentuk HTML Editor itu adalah program

komputer. Dengan demikian secara keseluruhan website itu dilindungi oleh Hak

Cipta. Didalam sebuah website terdapat beberapa Hak Cipta selain Hak Cipta atas

tulisan artikel dan program komputer di website tersebut, juga terdapat Hak Cipta

80
Ibid
atas desain dalam website dan juga Hak Cipta atas typographical arrangement

(tata cara penyususnan suatu karya) website tersebut.

Situs internet (website) telah menjadi bagian penting dari kehidupan modern

yang memerlukan segala sesuatu aktivitas yang serba cepat, efisien. Namun, sisi

negatifnya adalah kehadiran internet bisa pula memudahkan terjadinya

pelanggaran-pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terutama

masalah Hak Cipta. Sebuah website terdiri dari informasi, berita, karya-karya

fotografi, karya drama, musikal, sinematografi yang kesemuanya itu merupakan

karya-karya yang dilindungi oleh prinsip-prinsip tradisional Hak Cipta

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC)

melindungi secara otomatis tanpa harus mendaftar ke Direktorat Jenderal Hak

Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) baik desain website maupun isi (konten)

website, dari publikasi dan perbanyakan oleh pihak lain tanpa izin pemegang hak

cipta. Perlindungan hak cipta diperoleh pencipta atau penerima hak, sepanjang

desain dan konten website tersebut merupakan hasil karya yang original. Suatu

disclaimer dalam website merupakan bagian dari hak cipta dari website tersebut

karena program komputer, karya tulis yang diterbitkan dan ciptaan-ciptaan lain

yang terdapat di internet dilindungi berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No.19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).

Keterkaitan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap

ruang lingkup cyberspace dalam sistem Hukum Indonesia dilihat dari pengertian
atas hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-undang Hak

Cipta yang menyatakan :

Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan peundang-undangan yang berlaku.

Ciptaan yang dimaksud termasuk segala bentuk karya pencipta yang terdapat

di media internet. Pengalihan atas hak cipta dapat dilakukan agar pihak lain selain

pencipta dapat menikmati manfaat dari suatu karya cipta. Dalam pengalihan ini,

hak yang beralih hanyalah hak ekonominya (economic rights) saja, sedangkan hak

moralnya (moral right) tidak dapat dialihkan, karen ahak moral tidak pernah lepas

dari pencipta, sekalipun secara fisik telah berpindah melalui proses pembelian

maupun lisensi81, sebagai contoh berkaitan dengan penjualan software di sebuah

website.

Berikut ini beberapa contoh pelanggaran Hak Cipta dalam suatu situs internet

(website), antara lain82 :

1. Seseorang dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi terkenal

yang berisikan lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album dari penyanyi-

penyanyi tersebut;

2. Seseorang tanpa izin membuat website yang berisikan lagu-lagu milik

penyanyi lain yang lagunya belum dipasarkan;

81
Anne Fitzgerald, 1999, Intelectual Property, LBC Information Services, NSW, Sydney,
h.62
82
Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL : http
://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013.
3. Seseorang dengan tanpa izin membuat sebuah situs yang dapat mengakses

secara langsung isi berita dalam situs internet milik orang lain atau

perusahaan lain.

Akan tetapi, saat ini kenyataannya share (membagi) suatu berita oleh website

berita sudah merupakan sebuah nilai yang akan menaikan jumlah kunjungan ke

website berita itu sendiri, yang secara tidak langsung share berita ini akan

menaikan page rank website dan mendatangkan pemasang iklan bagi website

berita itu sendiri. Maka dalam kasus ini, Hak Cipta sebuah berita telah diizinkan

oleh pemilik website berita untuk di share melalui media-media lain asalkan

sumber resmi berita tersebut dicantumkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 c UU

No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana :

Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta pengambilan berita


aktual (berita yang diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama
kali diumumkan) baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
Lembaga Penyiaran, dan Surat Kabar atau sumber sejenis lain, dengan
ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Dalam konteks pemahaman teknologi Informasi, ciptaan-ciptaan harus

disertai dengan efektivitas penerapan sarana kontrol teknologi yang terus-menerus

dikembangkan mengikuti perkembangan pesat teknologi informasi tersebut.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

ketentuan ini sudah mengakomodasi secara kontrol teknologi. Ini berarti untuk

melindungi karya-karya cipta intelektual dalam jaringan internet harus pula

dilengkapi dengan instrument teknologi dalam bentuk barcode, serial number,

teknik deskripsi dan enkripsi yang digunakan untuk melindungi hak cipta.

Enkripsi merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat


informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus.

Keberadaan hak cipta di internet, umumnya membutuhkan aplikasi sarana-sarana

teknologi baru yang dapat mencegah upaya pembajakan oleh mereka yang tidak

berhak. Tingginya derajat pelanggaran hak cipta di sektor ini sangat

membutuhkan perpaduan dari semua faktor itu, sehingga ini diharapkan dapat

membentuk sistem hukum proteksi hak cipta di Internet yang semakin terpercaya

dan dapat diandalkan. Dengan adanya proteksi yang tegas mengenai hak cipta

tersebut tentu saja tindakan semena-mena para pelaku usaha pemilik website

dalam meng-copy suatu ciptaan atau isi dari website lain dan menyebarkan dalam

website-nya akan dapat diminimalisir.

2.3.4 Perbedaan antara situs Internet (website) dan blog (web log)

Website dengan blog sekilas terlihat sama, keduanya sama-sama memiliki

peran penting di dunia maya. Blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang

pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Para

pembuat blog dinamakan Blogger. Melalui Blognya, kepribadian Blogger menjadi

mudah dikenali berdasarkan topik apa yang disukai, apa tanggapan terhadap link-

link yang di pilih dan isu-isu didalamnya. Oleh karena itu Blog bersifat sangat

personal. Blogger adalah objek pelaku dari sebuah blog, dengan kata lain Blogger

(terlepas dari aksi google yang membeli domain blogger.com untuk layanan

blognya) adalah orang-orang yang senantiasa menulis dan mengupdate blognya.

Sedangkan website adalah kumpulan dari halaman-halaman situs, yang biasanya

terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada di


dalam world wide web (www) di Internet. Sebuah halaman website adalah

dokumen yang ditulis dalam format HTML (Hyper Text Markup Language), yang

hampir selalu bisa diakses melalui HTTP, yaitu protokol yang menyampaikan

informasi dari server website untuk ditampilkan kepada para pemakai melalui web

browser. Semua publikasi dari website-website tersebut dapat membentuk sebuah

jaringan informasi yang sangat besar.

Perbedaan antara website dengan blog lebih terperinci dapat dilihat dari tabel

berikut ini :

Perbedaan Website Blog


Sekumpulan halaman Sebuah situs diskusi yang
web terkait yang dipublikasikan dalam world
Pengertian disajikan dari satu wide web (www)
domain.

Sebuah website mewakili Topik-topik posting dapat


satu produk, satu orang, berupa bahasan mengenai
Berdasarkan dan teknologi yang teknologi, fashion, produk
Konten tertentu atau mengenai aktor
serupa. Dengan kata lain,
dan atlet tertentu dengan
website memiliki isi sensasi yang baru (seperti
dengan genre serupa. majalah digital)

Menggunakan nada atau menggunakan nada atau


bahasa formal untuk bahasa yang jauh lebih
Tata Bahasa menggambarkan isinya. sederhana dan informal
untuk deskripsi kontennya.

Harus paham dan Untuk menciptakan sebuah


mengerti pengkodean blog, tidak perlu seorang
Coding seperti HTML5, CSS3, yang ahli di bidang
pengkodean, cukup men-
PHP, dan lain-lain.
download template dan
memulai dengan belajar
dasar-dasar pengkodean.
Tidak akan menemui Memiliki daftar kronologis
daftar dari beberapa postingan. Semua tulisan
Daftar Konten konten yang pernah yang telah Anda buat
diposting,data yang ada disusun dari yang terbaru
dalam website biasanya sampai terlama
statis.
Homepage menjelaskan Dipenuhi dengan berbagai
isi dasar website. Ini akan tulisan yang telah diposting
Homepage memberitahukan kepada sebelumnya.
pengunjung tentang jenis
produk yang ditawarkan
oleh website itu
Tidak dipengaruhi oleh Sebagian besar dianggap
hal-hal seperti jumlah aktif tergantung pada
Rating pengunjung aktif yang jumlah pengunjung aktif
yang dimilikinya. Jumlah
dimilikinya.
pembaca menentukan
peringkat blog.
Biasanya admin Blog dianggap lebih
memblok komentar interaktif, menawarkan
Interaksi sehingga membuat pengunjung berupa opsi
Pengguna website kurang interaktif. untuk berkomentar,
menyukai, dan membagikan
postingan
Tabel 1. Perbedaan antara website dengan blog

Bagi Perusahaan / Lembaga / perorangan yang ingin website contohnya untuk

kepentingan bisnis, sangat menjaga sekali profesional dari website yang akan

digunakan untuk memasarkan usahanya tersebut. Bila URL dari web bisnis kita

ada wordpress.com atau blogspot.com di belakangnya, akan mengakibatkan hal

hal seperti : disangka tidak serius dalam mengelola bisnis, usahanya hanya fiktif

dan hanya menipu saja karena web-nya gratisan, menimbulkan keraguan bagi

calon konsumen yang akan membeli produk yang ditampilkan di website. Jika

menggunakan domain dan hosting berbayar seperti .com .net .biz, kita akan

dianggap serius dalam mengelola bisnis yang kita lakukan sehingga konsumen
tidak ragu-ragu dalam mentransfer uang untuk membeli produk yang ditawarkan.

Banyak sekali web yang menyediakan penjualan online dan kebanyakan

konsumen lebih percaya pada website yang dikelola dengan serius (bukan

gratisan). Bahkan untuk kebutuhan sebagai contoh pada online shop, walaupun

memiliki blog untuk memperlihatkan foto produk yang dijual, tetapi pihak online

shop tersebut tetap memiliki website khusus yang menyediakan layanan

pemesanan online yang tidak gratis tentunya.


BAB III

PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA

3.1 Pengaturan Disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world)

Jaringan telekomunikasi terbuka seperti World wide web yang biasa disingkat

(www) adalah suatu ruang teknologi informasi yang digunakan oleh pengenal

global untuk mengidentifikasi sumber-sumber daya yang berguna. Data dan

informasi dapat digunakan secara bersama diseluruh dunia berkat adanya www

Melalui web, para pengguna internet dapat mengakses informasi-informasi salah

satunya berbentuk teks. Sebenarnya www merupakan kumpulan dokumen yang

tersimpan di server web dan tersebar di lima benua termasuk Indonesia yang

terhubung menjadi satu melalui jaringan internet. Dokumen-dokumen informasi

ini disimpan dan dibuat dalam format HTML (Hypertext Markup Language).

Dengan adanya world wide web (www) kemudahan dalam mengakses internet

mulai dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat seluruh dunia. Kemudahan

yang telah ditawarkan Internet untuk dapat secara langsung melakukan

percakapan, pidato umum, pertukaran mail, transmisi radio dan televisi,

mempublikasikan semua hal dan penelitian telah memunculkan suatu kebutuhan

untuk menggabungkan cara-cara pengaturan yang masing-masing telah digunakan

pada waktu sebelumnya. Kombinasi media cetak, media komunikasi umum

(seperti surat, telegraf dan telepon) dan penyiaran menjadi satu media telah

membuat adanya perubahan-perubahan di lingkungan pengaturan yang sudah ada

sebelumnya menjadi sangat penting. Kemajuan teknologi informasi harus

diberikan pengakuan hukumnya di masing-masing Negara.


Dunia internet disebut sebagai virtual world yang sering diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dengan istilah dunia maya Dunia maya telah mengubah

kebiasaan banyak orang yaitu orang-orang yang dalam kehidupannya terbiasa

menggunakan internet. Berbelanja, mengirimkan surat, mengirimkan surat

lamaran kerja berkirim foto, mencari informasi secara praktis tanpa haru membeli

Koran dan berjalan-jalan ke luar rumah , melakukan pembicaraan jarak jauh tidak

ubahnya seperti sedang bertelepon, mengambil uang dari bank, membuat desain

bangunan oleh arsitek, berkonsultasi tatap muka (yaitu masing-masing pihak

muncul gambarnya pada layar komputer mereka (karena setiap computer

dilengkapi dengan kamera) dan masih banyak lagi. Praktis pada saat ini hamper

semua kegiatan yang dapat dilakukan di dunia nyata (real world) dapat dilakukan

di dunia maya. Bahkan di dunia maya orang telah melakukan berbagai tindakan

kejahatan yang justru tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Budaya internet

sebagai tanda-tanda kemajuan dunia yang begitu mempesona masyarakat dunia.

Internet menawarkan keuntungan secara ekonomis, finansial tenaga dan lain-lain

dalam perkembangan dunia komunikasi dan informasi baik domestik maupun

internasional.

Menurut F.Lawrence Street dan Mark P.Grant, didalam transaksi bisnis

melalui internet menimbulkan beberapa masalah yuridis 83, salah satunya yang

menarik yaitu mengenai pembatasan tanggung jawab. Di dalam suatu situs

internet (website) disadari/tidak oleh masyarakat yang mengunjungi suatu website,

baik itu website yang menyediakan layanan informasi maupun layanan jual beli
83
Niniek Suparni, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Sinar
Grafika, Jakarta, h.52
secara elektronik (e-commerce), terdapat klausula mengenai pembatasan tanggung

jawab tersebut yang diciptakan oleh pemilik situs sebagai pelaku usaha dengan

tujuan agar supaya jelas bagi para pihak akan batas-batas dari tanggung jawab

masing-masing pihak. Namun hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan yaitu

berupa klausula eksemsi (exemption clause atau disclaimer) melanggar asas

kepatuhan yang berlaku pada hukum yang dipilih oleh para pihak untuk

diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut. Suatu

pembatasan tanggung jawab tersebut dapat pula menentukan jumlah ganti

kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lainnya,

apabila timbul sengketa.Dengan demikian para pihak sudah sejak dini mengetahui

berapa besar kemungkinan masing-masing pihak harus menanggung kewajiban

pembayaran ganti kerugian apabila pihaknya cidera janji. 84

Dalam prakteknya di Indonesia dalam suatu situs internet (website), baik itu

website penyedia layanan informasi elektronik maupun transaksi jual beli pihak

pelaku usaha pemilik situs mencantumkan suatu klausula eksemsi yang disebut

disclaimer tersebut yang mana letaknya di dalam website tidak langsung muncul

dilayar (screen) monitor ketika konsumen internet membuka suatu website.

Biasanya disclaimer dari suatu situs terdapat dibagian bawah tampilan situs yang

penulisannya menggunakan ukuran font lebih kecil daripada tulisan utama dari

situs tersebut dan ada juga situs yang langsung menggabungkan disclaimer

didalam suatu term and condition suatu situs internet. Dari segi isinya, pada

disclaimer isinya sudah ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara sistem

84
Ibid
elektronik/ pelaku usaha. Pengguna sistem elektronik/ konsumen tidak dapat

menegosiasikan isinya karena perjanjian sudah tercetak dilayar.

Pencantuman disclaimer tidak saja ditemukan di website yang berasal dari

Indonesia, namun juga ditemukan di beberapa website yang berasal dari luar

negeri. Namun isinya berbeda-beda disetiap website. Menurut kutipan artikel yang

ditulis oleh Simon Davey dari Inggris yang menjelaskan bahwa :

Adding a disclaimer to your website is essential. It wont cover


you for every eventuality but helps protecting your organisation and
restrict liability. Its your way of stating the terms under which people
access and use your information, explaining your obligations and
theirs. Disclaimers are sometimes called Terms of Use and may
incorporate a privacy policy.Its important that disclaimers are obvious
and visible, ideally on every page of your site, typically at the bottom of
a page. If people cant find it, they wont read it and it may not offer
you the necessary protection. Ideally, from a legal perspective, users
should be asked to expressly agree to these terms (e.g. by clicking an I
agree button) but this is rarely done in practice. Be explicit about the
purpose and implications of the disclaimer85.

Dapat diketahui bahwa menurut Simon Davey mencantumkan disclaimer

pada website adalah penting. Disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs

untuk setiap kemungkinan, tetapi juga membantu memproteksi organisasi dan

membatasi kewajiban . Ini merupakan cara pemilik situs menyatakan syarat-syarat

bagi pihak yang mengakses dan menggunakan informasi dari pemilik situs ,

menjelaskan kewajiban pemilik situs. Disclaimer kadang-kadang digabungkan

dalam ' Terms of Use ' dan privasi policy. Hal ini penting bahwa disclaimer yang

jelas dan terlihat, idealnya pada setiap halaman website , biasanya di bagian

bawah halaman. Jika orang tidak dapat menemukannya , mereka tidak akan
85
Simon Davey, 2011, Website disclaimers , diakses dari : URL
:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2013
membacanya dan mungkin tidak menawarkan perlindungan yang diperlukan .

Idealnya , dari perspektif hukum , pengguna harus diminta untuk tegas menyetujui

persyaratan ( misalnya dengan mengklik tombol " Saya setuju ") , tetapi hal ini

jarang dilakukan dalam praktek. Menjadi jelas mengenai tujuan dan implikasi dari

disclaimer tersebut).

Tampilan disclaimer dalam website di Indonesia sebagian besar letaknya

dibagian bawah homepage website dan konsumen harus meng- klik terlebih untuk

dapat membaca tampilan dari disclaimer tersebut.

Gambar 1 : contoh disclaimer website Indonesia


Gambar 2 : contoh disclaimer website Indonesia

Gambar 3 : contoh disclaimer website Indonesia


Gambar 4 : contoh disclaimer website Indonesia

Gambar 5 : contoh disclaimer website Singapura tampilannya di awal homepage


Simon Davey dalam artikel tersebut juga menjelaskan bahwa suatu disclaimer

di Inggris mengandung pernyataan seperti sebagai berikut :

This disclaimer governs your use of our website; by using our


website, you accept this disclaimer in full. If you disagree with
any part of this disclaimer, do not use our website. We reserve the
right to modify these terms at any time. You should therefore
check periodically for changes. By using this site after we post
any changes, you agree to accept those changes, whether or not
you have reviewed them.86

Dijelaskan bahwa disclaimer ini mengatur penggunaan website, dengan

menggunakan website , pengguna dianggap menerima disclaimer ini secara penuh

. Jika pengguna tidak setuju dengan setiap bagian dari disclaimer ini , jangan

gunakan website ini . Pemilik situs berhak untuk mengubah ketentuan ini setiap

saat . Oleh karena itu Anda harus memeriksa secara berkala untuk perubahan .

Dengan menggunakan situs ini setelah kita posting perubahan apapun , Anda

setuju untuk menerima perubahan tersebut , walaupun anda telah atau belum

memeriksa hal tersebut.

Sedangkan dalam website transaksi jual beli secara elektronik (e-

commerce) di inggris pencantuman disclaimer yang menyatakan pengalihan

tanggung jawab disebut juga exemption clauses adalah dilarang hal ini tercantum

dalam salah satu Undang-undang di Inggris The Unfair Contract terms Act (1977)

(UCTA) yang merupakan peraturan perundang-undangan khusus untuk penerapan

perjanjian standar dalam kontrak bisnis dan kontrak elektronik dan termasuk

bagian integral dari penerapan pencantuman suatu klausula pengalihan tanggung

jawab (disclaimer) didalam suatu situs internet. UCTA juga bertujuan untuk
86
Ibid
melindungi konsumen dari perilaku pelaku usaha yang ingin melepaskan diri dari

tanggung jawabnya. The Unfair Contract terms Act (1977) menjelaskan bahwa :

is largely restricted to business liability. Contracts excluded include


those involving land, those for insurance, and those affecting the
formation or management of companies. Exemption clauses can only be
included in a written form contract if they are reasonable. It is not
possible to use exemption clauses to escape liability in the case of
bodily harm or death due to negligence. Exemption clauses are
automatically void if they contain a clause exempting from liability in
the case of personal injury or death due to negligence;

Dapat dikatakan bahwa kontrak standar sebagian besar terbatas pada

kewajiban bisnis. Kontrak dikecualikan termasuk yang melibatkan tanah, untuk

asuransi, dan yang mempengaruhi pembentukan atau manajemen perusahaan.

Klausul pembebasan hanya dapat dimasukkan dalam kontrak tertulis jika mereka

wajar. Hal ini tidak mungkin untuk menggunakan klausul pengecualian untuk

melarikan diri tanggung jawab dalam kasus cedera tubuh atau kematian akibat

kelalaian. Klausul pengecualian secara otomatis tidak berlaku jika: mengandung

klausul pembebasan dari kewajiban dalam kasus cedera atau kematian karena

kelalaian;

Dalam Bab 3 mengenai Exemption Clauses and Unfair Terms dalam Pasal 13

ayat 1 yang bunyinya :

Section 13 (1), which states: To the extent that this part of this Act
prevents the exclusion or restriction of liability it also prevents :
a. making the liability or its enforcement subject to restrictive or
onerous conditions;
b. excluding or restricting any right or remedy in respect of the
liability, or subjecting any person to any prejudice in consequence of
his pursuing any such right or remedy;
c. excluding or restricting any rules of evidence or procedure.
Jadi, bagian dari The Unfair Contract terms Act (1977) mencegah

pengecualian atau pembatasan kewajiban juga mencegah : membuat kewajiban

atau subjek penegakan hukum untuk kondisi membatasi atau berat, tidak termasuk

atau membatasi hak atau upaya hukum sehubungan dengan tanggung jawab, atau

menundukkan setiap orang untuk prasangka apapun sebagai konsekuensi nya

mengejar semua hak dan perbaikan tersebut dan tidak termasuk atau membatasi

aturan bukti atau prosedur.

Mengenai pencantuman klausula dalam kontrak elektronik di Inggris harus

dinegosiasikan terlebih dahulu. Inggris juga menerbitkan The United Kingdom

Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999. Berdasarkan regulasi

tahun 1999 ini ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur unfair

terms, akibat hukum bagi konsumen dari penggunaan unfair terms oleh pelaku

usaha dan cara penyelesainnya. Ukuran unfair terms :

a contractual term which has not been individually negotiated is


unfair if contrary to the requirement of good faith, it causes a significant
imbalance in the parties rights and obligations under the contract, to the
detriment of the consumer;price setting provided it is in plain,
intelligible language;terms defining the product provided they are in
plain, intelligiblelanguage; terms required by law or explicitly allowed
by law; specially negotiated terms.

Dapat dijelaskan bahwa Istilah kontrak yang belum dinegosiasikan tidak adil

jika bertentangan dengan kebutuhan itikad baik, hal itu menyebabkan

ketidakseimbangan yang signifikan dalam hak dan kewajiban para pihak dalam

kontrak, sehingga merugikan konsumen; penetapan harga asalkan itu transparan,

bahasa dimengerti; istilah mendefinisikan produk asalkan sesuai kenyataan,


bahasa dapat dimengerti; istilah diwajibkan oleh hukum atau secara eksplisit

diizinkan oleh hukum; mengenai klausula khusus dinegosiasikan terlebih dahulu.

Akibat hukum bagi bisnis online yang mencantumkan unfair terms juga

diatur dalam Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999 yang

menyebutkan :

a consumer is not bound by a term which is unfair. The rest of the


contract is binding if it is capable of continuing in existence without
the unfair term; where a term has been drawn up for general use, the
United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) can seek an
undertaking or apply for aninjunction to stop businesses using unfair
terms.

Dijelaskan bahwa konsumen tidak terikat oleh sebuah klausula yang tidak

adil. Klausula dalam kontrak yang mengikat jika tidak ada klausula yang tidak

adil didalamnya, dimana jika istilah tersebut telah dibuat untuk pernyataan umum,

United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) dapat mengambil suatu usaha

atau mengajukan permohonan yang memerintahkan untuk menghentikan bisnis

online yang menggunakan istilah-istilah yang tidak adil.

3.2 Pengaturan Disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Indonesia adalah Negara hukum, eksistensi Indonesia sebagai Negara hukum

disebutkan secara tegas dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu

pasal 1 ayat (3); Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).

Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfarestate terdapat pada

kewajiban pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana


yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; Melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan

ketertiban dunia. Tujuan hukum juga untuk mengayomi manusia baik secara aktif

maupun pasif, secara aktif sebagai upaya menciptakan suatu kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi sedangkan secara pasif mengupayakan

penegakkan atas upaya yang sewenang-wenang dalam penyalahgunaan hak secara

tidak adil. 87 Tujuan-tujuan tersebut diharapkan perwujudannya melalui

pembangunan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka

pendek, menengah dan panjang.

Arief Sidharta berpendapat bahwa Hukum adalah :

Hukum yang berlaku atau hukum positif. Jadi, kita berpikir antara
lain tentang undang-undang atau keputusan-keputusan hakim dan
tidak tentang salah satu hukum kodrat atau sistem-sistem hukum
ideal yang mungkin saja dapat dipikirkan sebagai berlaku. Hukum
yang dibicarakan disini adalah hukum dengannya kita setiap hari
berurusan. Tetapi, ia bukanlah suatu gejala sewenang-wenang
(sekehendak hati) atau subjektif, ia memperlihatkan, menurut
pemahaman kami, beberapa ciri objektif. 88

Menurut pendapat tersebut diatas memfokuskan pengertian hukum dalam

undang-undang semata. Salim HS berpendapat bahwa hukum adalah :

Keseluruhan dari aturan-aturan hukum, baik yang dibuat oleh


Negara maupun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat89

87
Abdul Manan, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum, Kencana , Jakarta, h. 23
88
Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.35.
89
Ibid h.26
Hukum pada dasarnya merupakan suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh

masyarakat agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tentram. Hukum

juga sebagai sarana penegak keadilan dan sarana pendidikan masyarakat.

Indonesia menganut hukum yang dikodifikasikan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Hukum sebagai patokan suatu norma harus diperhatikan

dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peratura perundang-

undangan lain yang lebih tinggi tingkatannya Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan diatur mengenai hirerki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan

Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat

dijadikan asas-asas, sesuai dengan yang dkemukakan Montesquie antara lain 90 :

a. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat

kebesaran dan retorikal hanya tambahan yang membingungkan;

b. Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan tidak

relative, dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk perbedaan

pendapat dari individu;

90
Yuliandri. Op.cit, h.128
c. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual,

menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik;

d. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk

rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan latihan logika,

melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata;

e. Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian,

pembatasan atau pengubahan kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan;

f. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/ dapat diperdebatkan; adalah

berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih

menumbuhkan pertentangan-pertentangan;

g. Lebih daripada semua itu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan

masak-masak dan mempunyai manfaat praktis dan hendaknya tidak

menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan dan hakikat

permasalahan, sebab hukum yang lemah, tdak perlu dan tdak adil hanya akan

membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan

menggoyahkan kewibawaan Negara.

Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang mengemukakan

bahwa

Law secures social cohesion and orderly social change by balancing


conflicting interest-individual (the private interest of individual citizens),
social (arising from the common conditions of social life) and public
(specifically the interest of the state91).

91
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London,
h.76.
Dapat diketahui bahwa Hukum mengamankan kohesi sosial dan perubahan

sosial yang tertib dengan menyeimbangkan konflik kepentingan-individu

(kepentingan pribadi warga negara), sosial (yang timbul dari kondisi umum

kehidupan sosial) dan masyarakat (khususnya kepentingan Negara).

Hukum merupakan alat utuk mengatur masyarakat, tugas pembentuk

peraturan perundang-undangan akan berhasil jika keseluruhan persyaratan bisa

terpenuhi. Hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat

agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum bisnis

adalah bagian dari hukum privat, hal ini dikemukakan oleh Peter Mahmud

Marzuki92 :

Business law is the body of law that governs business


transactions. The word business denotes an activity that
generates profit. Non profit activity is not business; rather, it is
charity. Consequently, business law deals only with activities that
generate profit. Business law, therefore, belongs to private law
rather than public law.

Dijelaskan bahwa Hukum bisnis adalah badan hukum yang mengatur

transaksi bisnis. Usaha kata menunjukkan aktivitas yang menghasilkan

keuntungan. Kegiatan non profit bukan bisnis, melainkan adalah amal. Akibatnya,

hukum bisnis hanya berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan keuntungan.

Hukum bisnis, oleh karena itu, milik hukum privat bukan hukum publik).

92
Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introducation To Indonesian Law, Setara Pers, Malang,
p.219.
Persyaratan sesuai dengan asas-asas pembentukkan peraturan perundang-

undangan yang baik juga dikemukakan menurut Lon.L.Fuller :93

The criteria which Fuller argues must be in order for something


which can truly be called a legal system to exist are generality,
promulgation, non-retroactivity, clarity, non-contradiction, not
requiring the impossible, constancy throught time and finally,
congruence between official action and the declared rule.

Kiranya diketahui bahwa kriteria yang dikemukakan Fuller harus dipenuhi

agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, non-

retroaktif, kejelasan, non-kontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin,

keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan

diumumkan. Bila dikaitkan dengan pengaturan mengenai pencantuman disclaimer

yang terdapat dalam situs internet, harus ada aturan untuk kriteria pencantuman

suatu disclaimer didalam suatu situs internet agar tidak menguntungkan pihak

pelaku usaha pemilik situs saja namun juga harus melindungi hak-hak dari pada

konsumen. Di Indonesia pengaturan secara khusus (lex specialis derogate legi

generali) mengenai dunia internet diatur dalam undang nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan

instrument hukum yang efektif melindungi konsumen, namun perlindungannya

terbatas, karena Undang-undang ini hanya berlaku terhadap subyek hukum yang

berdomisili dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Secara a contrario dikatakan

93
Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies,
University of London, h. 105.
bahwa pelaku usaha yang berdomisili di luar yurisdiksi hukum Indonesia tidak

tunduk pada UUPK. UUPK kehilangan efektivitasnya saat berhadapan dengan

persoalan pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha yang berdomisili di

Negara asing.

Transaksi elektronik jarak jauh menimbulkan masakah baru terkait dengan

perlindungan hak kewajiban konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman

klausula baku diatur dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak pleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) UU No.8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan mengenai pencantuman

klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk

menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha

berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman

klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999

tentang perlindungan konsumen, yang berbunyi sebagai berikut :

(1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang


ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau
mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau
hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal hubungan

antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku

didalamnya wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999

tersebut. Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 adalah batal demi hukum

terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of

provisions (ketentuan yang terpisah) maka yang batal demi hukum hanyalah

klausula yang bertentangan dengan Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 saja.


Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula

baku. Mariam Darus Badarulzaman menyebutkan dengan klausul eksonerasi,

sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeni menyebutkan dengan

istilah klausul eksemsi, sedangkan Bernes menyebutkan dengan istilah

exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Bernes adalah

a provision in a contract that attempts to relieve one partys liability for the

consequences of his on her own negligence 94

Dapat dijelaskan bahwa ketentuan dalam kontrak yang mencoba untuk

meringankan tanggung jawab satu pihak atas konsekuensi-nya pada kelalaian

sendiri.

Oleh karena UUPK hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia, maka

untuk mengatasi persoalan tersebut langkah pertama yang penting adalah merujuk

pada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE). Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan bahwa UU

ITE berlaku untuk setiap perbuatan subyek hukum yang menimbulkan implikasi

hukum di Indonesia.

Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Tujuan dari pembentukan UU ITE tercermin dari Pasal 4 UU ITE, yaitu

untuk:

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat


informasi dunia;

94
N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung jawab
produk, Panta Rei, Jakarta, h.17
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab;dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.

UU ITE mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen

didalam pasal-pasalnya yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan bagi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Pasal 9 UU

ITE mengatur bahwa :

pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen dan produk yang ditawarkan.

Dalam kenyataannya masih terdapat tindakan oknum pengguna internet yang

sangat merugikan konsumen. Salah satu contoh adalah kasus situs palsu yang

dungkap oleh Petrus Reinhard Goles, Kepala Unit Cyber Crime Mabes Polri.

Dalam kasus tersebut terungkap bahwa Chumpon Korp Phaibun, seorang Warga

Negara Thailand tertipu oleh sebuat situs Indonesia, yakni www.henbing.com,

dengan sarana situs tersebut Chumpon membeli sebuat jet ski seharga $19.520

(Sembilan belas ribu lima ratus dua puluh) dollar Amerika. Namun setelah

mengirim uang ke dua rekening Bank Mandiri, jet ski tidak dating, setelah

menerima laporan akhirnya penyidik Polri mendatangi Chumpon ke Bangkok.


Dari penyelidikan dan penyidikan polisi di Internet akhirnya mereka berhasil

menangkap pelaku. 95

Pada pasal 3 UU ITE diatur mengenai asas dan tujuan sebagai alat untuk

menciptakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang baik,

antara lain :

1. Asas Kepastian Hukum, mengandung pengertian bahwa landasan

hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi

elektronik termasuk segala sesuatu yang mendukung

penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum;

2. Asas Manfaat, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan

teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk

mendukung proses berinformasi;

3. Asas Kehati-hatian, mengandung pengertian bahwa landasan untuk

memperhatikan segenap potensi yang dapat mendatangkan

kerugian dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi

elektronik;

4. Asas Itikad Baik, mengandung pengertian bahwa para pihak baik

iut pelaku usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi

95
Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara ,
diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2013
elektronik tidak dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik

secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum;

5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi,

megandung pengertian bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan

transaksi elektronik tidak terfokus pada pemanfaatan teknologi

tertentu sehingga diharapkan mampu mengikuti perkembangan

teknologi di masa yang akan datang.

Transaksi melalui internet antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan

melalui berkomunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan melalui email dan

menyetujui harga dan barang. Sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sahnya

suatu perjanjian maka nantinya email yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai

kontrak elektronik. Ketika telah terjadi kesepakatan mengenai barang dan harga

maka telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, oleh karena itu

konsumen dapat melakukan gugatan jika konsumen dirugikan atas dasar

wanprestasi. E-mail tersebut dapat djadikan alat bukti sesuai dengan yang

dimaksud dalam pasal 5 UU ITE yang menyebutkan bahwa :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara

yang berlaku di Indonesia.


3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

untuk:

i. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk tertulis; dan

ii. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang

harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat

oleh pejabat pembuat akta.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan

kewenangan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi

elektronik internasional yang dibuatnya, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat

2 (UU ITE). Akan tetapi jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam

transaksi elektronik internasional akan berlaku asas Hukum Perdata Internasional

(Pasal 18 ayat 3 UU ITE).

Dalam transaksi elektronik para pihak yang terkait didalamnya melakukan

hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak

yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 (UU

ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam

dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dalam transaksi elektronik


para pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain tetapi berhubungan

melalui internet. Dalam transaksi elektronik pihak-pihak yang terkait antara lain :

1. Pelaku usaha sebagai penyelenggara sistem elektronik yang

menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;

2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh

undang-undang, yang menerima penawaran dari pelaku usaha dan

berkeinginan untuk melakukan transaksi atas jual beli produk yang

ditawarkan oleh pelaku usaha;

3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari konsumen kepada pelaku usaha

karena pada transaksi jual beli secara elektronik, pelaku usaha dan

konsumen tidak berhadapan langsung karena mereka berada pada lokasi

yang berbeda sehingga pembayarannya dapat dilakukan melalui

perantara dalam hal ini bank;

4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

Pihak-pihak dalam transaksi elektronik tersebut memiliki hak dan kewajiban.

Pelaku usaha merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh

karena itu pelaku usaha wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas

barang yang ditawarkannya kepada konsumen. Pelaku usaha harus menawarkan

barang yang layak untuk diperjualbelikan tidak mengandung cacat tersembunyi,

rusak dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian transaksi tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku

usaha selain memiliki kewajiban juga memiliki hak yaitu hak untuk mendapat
pembayaran dari konsumen atas barang yang dijualnya. Konsumen memiliki

kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari pelaku usaha

sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati. Selain hal tersebut, konsumen

wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir

penerimaan. Selain itu konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap

atas barang yang akan dibelinya dari pelaku usaha. Konsumen juga berhak

mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan pelaku usaha yang beritikad

tidak baik.

Bank sebagai pihak penyalur dana dalam transaksi elektronik atas

pembayaran yang dilakukan oleh konsumen atas suatu barang yang dibeli. Karena

jika berbelanja secara online melalui internet jarak antara pelaku usaha dengan

konsumen saling berjauhan sehingga sebagian besar pelaku usaha menggunakan

sistem transfer dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha (account to

account). Kemudian provider juga merupakan pihak lain dalam transaksi

elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan

layanan akses 24 jam kepada calon konsumen untuk dapat melakukan transaksi

elektronik melalui media internet dengan pelaku usaha yang menawarkan

barangnya melalui media internet tersebut. Disini terdapat kerjasama antara

pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha online melalui internet.

Dalam transaksi jual beli online (e-commerce), penawaran merupakan suatu

invitation to enter into a binding agreement.96 Tawaran merupakan sebuah

96
Mariam Daruz Badrulzaman, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak Indonesia,
Hukum Bisnis XII, h.33
tawaran jika orang lain menanggapinya sebagai suatu tawaran. Suatu perbuatan

seseorang beralasan bahwa perbuatan itu sendiri sebagai ajakan untuk masuk ke

dalam suatu ikatan perjanjian dapat dianggap sebagai tawaran. Dalam transaksi

jual beli elektronik khususnya jenis business to customer yang melakukan

penawaran adalah pelaku usaha. Para pelaku usaha tersebut memanfaatkan

website untuk menjajakan barang dan jasa pelayanan. Para pelaku usaha

menyediakan semacam storefront yang berisikan katalog barang dan pelayanan

yang diberikan dan para konsumen seperti berjalan-jalan di depan toko-toko serta

melihat barang-barang di dalam etalase/ keuntungan jika melakukan belanja di

toko online adalah kita dapat melihat dan berbelanja kapan saja dan dimana saja

tanpa dibatasi oleh jam buka toko dan kita juga tidak akan rishi dengan pandangan

penjaga toko yang mengawasi kegiatan kita. Dalam website tersebut biasanya

ditampilkan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll

otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi

tentang barang tersebut dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran ini

terbuka bagi semua orang. Semua orang yang tertarik dapat melakukan window

shopping di toko-toko online ini dan jika ada barang yang menarik perhatian maka

dapatlah transaksi dilakukan.

Penawaran dan penerimaan saling terkait untuk menghasilkan suatu

kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan dalam

cybersystem ini digantungkan pada keadaan dari cybersystem tersebut.

Penerimaan dapat dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik)

atau juga melalui Electronic Data Interchange. Pelaku usaha biasanya bebas
menetukan suatu cara penerimaan. Pelaku usaha melakukan penawaran melalui

website atau news group maka dapat dianggap penawaran tersebut ditujukan

kepada khalayak ramai, dengan demikian maka setiap orang yang berminat dapat

membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan. Dalam transaksi jual

beli melalui website, biasanya calon konsumen akan memilih barang tertentu yang

ditawarkan oleh pelaku usaha. Jika memang konsumen tertarik maka shopping

cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon konsumen inginkan

sampai calon konsumen yakin akan pilihannya. Setelah yakin dengan pilihannya

maka calon konsumen akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan

tahapan transaksi ini maka dengan demikian konsumen telah melakukan

penerimaan, dengan demikian telah terciptalah kontrak online.

Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya berdasarkan pada

sistem keuangan nasional, tetapi ada juga beberapa yang bertumpu pada keuangan

local. Klasifikasi mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima mekanisme

utama, yaitu :97

1. Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan

pemegang account yang akan melakukan pengambilan uangnya dari account

masing-masing;

2. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara

dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya;

97
Onno W. Purbo & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, PT. Elex Media
Komputindo, h. 92
3. Pembayaran dengan perantara pihak ketiga, umumnya proses pembayaran

yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Metode

yang digunakan adalah sistem pembayaran kartu kredit online dan sistem

pembayaran check online.

Apabila kedudukan pelaku usaha dengan konsumen berbeda, maka

pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pemgalihan

dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha sebagai penjual. Untuk

pembayaran secara langsung sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan

lokasi antara pelaku usaha dengan konsumen walaupun memungkinkan untuk

dilakukan.

3.3 Eksistensi Disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya dengan

Pengaturan Klausula Baku

International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) dalam

Principles of International Commercial Contracts 1994 atau biasa disebut

UNIDROIT94 dalam Pasal 2.19 menjelaskan bahwa klausula baku (standard

terms) adalah provisions which are prepared in advance for general and

repeated use by one party and which are actually used without negotiation with

the other party98, dijelaskan mengenai klausula baku merupakan aturan yang

telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan

98
UNIDROIT1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994,
International Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari :URL :
http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013.
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan yang secara nyata digunakan tanpa

negosiasi dengan pihak lain.

Dalam penjelasan mengenai Pasal 2.19 tersebut, dijelaskan bahwa penentuan

suatu klausula baku bukan berdasarkan bentuk penampilan atau formatnya, juga

bukan berdasarkan pihak mana yang membuatnya, bahkan bukan juga dari isinya,

melainkan pada fakta atau kenyataan bahwa klausula tersebut dibuat secara nyata

tanpa dinegosiasikan dengan pihak lain. 99 Dalam pasal 2.20 UNIDROIT94

dijelaskan bahwa klausula baku haruslah wajar dalam artian harus memperhatikan

isi, bahasa dan cara penyajiannya. Suatu klausula baku dianggap tidak wajar atau

janggal apabila si dari klausula tersebut sedemikian rupa sehingga orang yang

sewajarnya tidak akan mungkin mengharapkan adanya syarat tersebut. Sebagai

contoh klausula baku tersebut adalah adanya suatu syarat yang membatasi atau

meniadakan tanggung jawab yang sudah sewajarnya merupakan tanggung jawab

dari pihak tertentu akibat kesalahan yang diperbuatnya (liabilities based on

faults).

Ketidakwajaran suatu klausula baku dilihat dari segi bahasa, terutama dalam

bahasa asing adalah apabila bahasa yang dituliskan atau dituangkan dalam kontrak

tidak jelas, tidak sesuai definisi umum atau diterjemahkan secara salah atau tidak

tepat, misalnya dalam perjanjian terdapat klausula ganti rugi tetapi diterjemahkan

sebagai klausula wanprestasi sebagai contoh yang salah : Ganti rugi (events of

99
Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa Aspek
Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the
UNIDROIT94, PT.Citra Aditya Bakti, h.189
default) , contoh yang benar : Ganti rugi (liquidated damages).100 Ketidakwajaran

dari segi penyajian adalah apabila penyajian suatu klausula baku dalam bentuk

cetakan huruf yang kecil-kecil dan nyaris tidak terbaca, tersembunyi pada suatu

bagian sehingga tidak dapat disadari bahwa persyaratan tersebut sebenarnya ada

dan atau penyajiannya tidak dapat dimengerti.

Selanjutnya dalam UNIDROIT 1994, pada pasal 7.16 menjelaskan bahwa

klausula eksonerasi (exemption clause) adalah A clause which limits or excludes

one partys liability for non-performance or which permits one party to tender

performance substantially different from what the other party reasonably

expected ( suatu klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab

pihak yang satu terhadap tidak terlaksananya suatu kewajiban atau yang

mengizinkan pihak yang satu untuk menawarkan pelaksanaan suatu kewajiban

yang secara substansi berbeda secara akal sehat dari apa yang diharapkan pihak

yang satunya).

Menurut Shidarta antara klausula baku dengan klausula eksonerasi letak

pembedaannya adalah jika dalam klausula baku lebih menekankan kepada

prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan

dalam hal eksonerasi yang dipermasalahkan adalah menyangkut substansinya

yaitu mengalihkan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. 101 Terlepas dari

istilah yang dipergunakan oleh pakar hukum, klausula eksonerasi adalah klausula

yang digunakan dengan tujuan yang pada dasarnya untuk membebaskan atau

100
Ibid
101
N.H.T Siahaan, Op.cit. h.114
membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya,

dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan

kewajibannya yang ditentukan dalam suatu perjanjian.

Nik Ramlah Mahmood menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam

hubungannya dengan perlindungan konsumen dalam bukunya Unfair Term in

Malaysian Consumer Contracts The Need Increased Judicial Creativity

menyatakan :

Clauses in standard form contracts which exempt or limit a


contracting partys liability for certain breaches of the expressed or
implied terms of the contracts or for the commission of a tort, operate
extremely harshly against and to the detriment of consumers. Such
clauses are found at the back of tickets of public transport on receipt
and other types of standard form consume contracts.102

Sekiranya dapat diketahui bahwa Klausul dalam bentuk kontrak standar

yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab pihak kontraktor untuk

pelanggaran tertentu dari tersurat maupun tersirat ketentuan dalam kontrak atau

komisi dari perbuatan melawan hukum, beroperasi sangat keras menentang dan

merugikan konsumen. Klausul semacam itu ditemukan di bagian belakang tiket

angkutan umum pada penerimaan dan jenis-jenis kontrak mengkonsumsi

bentuk standar.

Ada tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yang

disebutkan oleh R.H.J Engels103 yaitu sebagai berikut :

102
Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku diakses dari : URL : http://taqlawyer.com pada
tanggal 20 Agustus 2013
103
Az.Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya,
Jakarta, h.100
1. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, oleh karena kurang

baiknya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam

perjanjian;

2. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada

pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan

(misalnya, perjanjian keadaan darurat);

3. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh

salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab

yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak

ketiga.

Perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi membebaskan tanggung

jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya

pelaksanaan kewajiban-kewajibanyang diharuskan oleh perundang-undangan,

antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi

tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut.

Apabila ditelaah secara lebih cermat didalam perjanjian yang mengandung

klausula eksonerasi beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada

beban tanggung jawab pelaku usaha, tersirat bahwa pelaku usaha berusaha supaya

bebas dari tanggung jawab.

Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat

yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat

yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi

dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dapat juga berasal dari
rumusan undang-undang. 104 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam

pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang

timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan,

oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi

tersebut.105 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh

undang-undang dan tidak bertentangan dengan dengan kesusilaan dan apabila

terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan

permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan

oleh pelaku usaha tersebut adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang dan

tidak bertentangan dengan kesusilaan.

Klausula eksonerasi dapat saja dirumuskan dalam suatu perjanjian karena

terdapat keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian.

Pebuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak

ketiga. Terdapat tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam

syarat-syarat perjanjian106:

a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) ;

Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para

pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen

sehingga dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian jual-

beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan

104
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h.20
105
Ibid
106
Ibid, h.21-22
kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga

yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

b. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam

perjanjian ;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai

melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat

perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan dari

tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa

barang bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab

pengangkut.

c. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak ketiga;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pelaku usaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian

yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak

ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga

terhadap tuntutan pihak ketiga.

Dalam hal ini mengenai pencantuman disclaimer dalam situs internet

(website) belum diatur secara khusus didalam Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK), apabila ditinjau dari pengertian klausula baku yang telah dijelaskan

dalam pembahasan sebelumnya, maka disclaimer termasuk dalam ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen elektronik yang didalamnya terdapat

unsur pengalihan tanggung jawab (klausula eksonerasi) dari pelaku usaha kepada

konsumen, bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. UUPK tidak

mengatur mengenai pencantuman klausula baku dalam lingkup transaksi secara

elektronik. Peraturan yang mengatur ruang lingkup Transaksi Elektronik di

Indonesia adalah Undang-undang No. 11 Tahun 2008. Oleh karena itu masih

terdapat kekosongan norma dalam pengaturan disclaimer dalam situs internet

(website).

Berkaitan dengan adanya kekosongan norma harus diisi dengan suatu

pengaturan dalam perundang-undangan. Suatu pembentukan peraturan perundang-

undangan berpedoman dengan Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan

Perundang-undangan dimana menurut Fuller hukum harus dapat merespon setiap

perubahan yang terjadi kehidupan masyarakat. Jadi fenomena kemunculan

disclaimer dalam situs internet (website) harus direspon oleh hukum melalui

pengaturan secara tegas agar dapat melindungi seluruh masyarakat dalam hal ini

sebagai konsumen. Apa yang dikemukakan Fuller juga berkaitan dengan Teori

Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa

pembentukkan suatu perundang-undangan juga sangat dipengaruhi oleh sistem

hukum suatu Negara. Dalam pembentukkan perudnang-undangan haruslah

melihat sistem hukumnya melalui 3 aspek untuk mengkaji pembentukan undang-

undang secara komprehensif yaitu Struktur hukum, subtansi hukum dan budaya

hukum, ketiga hal tersebut harus sinkron karena saling berhubungan. Jika tidak

ada substansi hukum yang merupakan peraturan perundang-unangan maka tidak


ada pedoman yang akan digunakan bagi lembaga pemerintahan yang termasuk

dalam struktur hukum untuk menindaklanjuti permasalahan yang timbul di dalam

kehidupan masyarakat yang dimana masyarakat merupakan perwujudan dari suatu

budaya hukum.

Bedasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Membahas mengenai transaksi elektronik tidak terlepas juga dari konsep

perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat didalam Pasal 1313 KUHPerdata

yang menegaskan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III

KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka dalam artian ketentuan-ketentuannya

dapat dikesampingkan dan hanya berfungsi mengatur saja. Keterbukaan sifat dari

KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

mengandung asas kebebasan berkontrak yang artinya setiap orang bebas

menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum,

serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian

dengan adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian, yang berarti adanya

persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam

melakukan perjanjian tidak boleh ada paksaan, kehilapan dan penipuan,

kecakapan para pihak dalam perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

halal.
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini juga menganut

asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa setiap

orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau perjanjian yang berisi dan

macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan


107
ketertiban umum. Selanjutanya kebebasan berkontrak juga memberikan

kebebasan untuk menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian asalkan

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan108, dapat disimpulkan

dari Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang

oleh undang-undang. Hal ini juga yang menjadi dasar pemikiran mengapa pemilik

situs di internet mencantumkan substansi daripada suatu disclaimer dengan bebas

sesuai dengan kehendaknya, namun yang menjadi permasalahan adalah mengenai

kesepakatan kedua belah pihak karena isi dari disclaimer tidak dinegosiasikan

terlebih dahulu dengan masing-masing konsumen. Dengan konsumen setuju untuk

berbelanja dan memanfaatkan isi suatu website itu juga berarti konsumen telah

setuju dengan seluruh syarat yang telah pemilik situs cantumkan dalam

disclaimer, sedangkan letak dari disclaimer pun terkadang tidak terbaca dan tidak

disadari konsumen oleh karena letaknya dibawah homepage website. Sesuai

dengan Pasal 19 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

menyebutkan bahwa :

107
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
h.212
108
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang
kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.31
Para Pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan

Sistem Elektronik yang disepakati.

Suatu Perjanjian baku yang dibuat pelaku usaha online dibuat secara sepihak

dan bersifat menguntungkan pelaku usaha terutama dalam hal : efisiensi biaya dan

waktu, praktis, penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya tinggal menyetujui

dan pembebasan tanggung jawab. Berdasarkan beberapa ciri tersebut , maka

perjanjian baku tersebut termasuk Perjanjian Baku Sepihak. Jika dikaitkan dengan

teori dalam KUHPerdata ,perjanjian seperti ini termasuk dalam jenis perjanjian

Innominaat (Diluar KUHPerdata). KUHPerdata tidak mengatur mengenai

perjanjian baku secara khusus, KUHPerdata hanya mengatur mengenai perjanjian

atau perikatan secara umum. Apabila hendak meninjau perjanjian baku dalam

website berdasarkan KUHPerdata maka perjanjian tersebut harus memenuhi asas

kebebasan berkontrak, konsensualisme dan keseimbangan demi sahnya perjanjian

online tersebut.

Dalam melihat suatu perjanjian baku apakah melanggar kebebasan berkontrak

atau tidak maka dapat dilihat melalui 2 paham yaitu : pertama, secara mutlak

memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan

pelaku usaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-

undang swasta. Syarat yang diberikan oleh pelaku usaha di dalam perjanjian

tersebut menjadi undang-undang bukan perjanjian. Kedua, mengemukakan paham

bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi bahwa

adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para

pihak mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan konsumen menerima


penawaran berarti konsumen secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Konsumen telah sepakat secara diam-diam/ takluk terhadap pelaku usaha dengan

catatan takluknya ia dikarenakan itikad baik dari pelaku ushaa demi terciptanya

efisiensi dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen.

Sifat unilateral/sepihak dalam perjanjian baku membawa pada kenyataan

bahwa perjanjian ini belum dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan yang

melahirkan perjanjian bagi yang membuatnya. Perjanjian baku dapat dikatakan

sebagai persetujuan (consent)109 dan bukan kesepakatan bilateral (bilateral

agreement) yang melahirkan perjanjian sebagai hukum yang mengikat kedua

belah pihak. Oleh karena sifat perjanjian ini telah melumpuhkan unsur penting

dalam membuat suatu perjanjian yaitu kesepakatan (konsensus). Dapatlah

dikatakan bahwa perjanjian baku termasuk dalam kategori persetujuan sukarela

dari pihak yang mengadakannya.

Perjanjian baku pada transaksi elektronik membawa akibat hukum terhadap

dua hal : Pertama, sifat perjanjian baku tersebut menempatkan pelaku usaha dala

posisi yang monopolis, sehingga konsumen tidak memiliki alternative lain kecuali

harus menerima dan tunduk pada substansi perjanjian. Kedua, pelaku usaha

mengambil keuntungan dari kondisi ini dengan cara mengalihkan seluruh resiko

yang timbul dari perjanjian kepada konsumen.

109
Imam Sjahputra, 2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, PT.Alumni,
Bandung, h.127
Berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website)

belum secara jelas diaur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

oleh karena itu memerlukan penafsiran. Setiap peraturan hukum itu bersifat

abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak

akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa

hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat

diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode

untuk melakukan suatu penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai

Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada

peristiwanya. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas

kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan

menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut Sens Clair tercantum

dalam pasal 1342 KUHPerdata : Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas

maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran.
BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA

4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman

Disclaimer dalam Situs Internet (website)

Pada era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya dunia internet semakin pesat. Banyak kegiatan-kegiatan bisnis yang

berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang bermunculan. Kemajuan

teknologi sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung

jawab. Adanya interaksi atau hubungan satu sama lain diantara pihak-pihak yang

terlibat didalam banyaknya kepentingan bisnis berkaitan dengan dunia internet

tentu saja dimungkinkan terjadi permasalahan. Permasalahan terjadi apabila telah

merugikan kepentingan pihak lain sedangkan dalam posisi tersebut para pihak

membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat

melaksanakan segala kegiatan dengan tenang. Dalam menyongsong perdagangan

bebas permasalahan menyangkut perlindungan konsumen saat ini terjadi demikian

kompleksnya. 110

Permasalahan yang terjadi didalam kegiatan bisnis di situs internet adalah

berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen oleh karena kesadaran pihak pelaku

usaha untuk bertanggung jawab atas barang atau jasa yang diberikan kepada

konsumen masih kurang dan konsumen masih segan untuk memperjuangkan hak-

110
Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33
haknya. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format perjanjian

yang dibakukan. Dalam suatu perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi

para pihak yang terlibat, dengan adanya perjanjian baku nampaknya asas

kebebasan berkontrak telah digerogoti. Konsumen hanya tinggal menerima atau

menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan pelaku usaha. Secara

garis besar, dapat ditemukan beberapa permasalahan yang timbul berkenaan

dengan hak-hak konsumen, antara lain :

1. konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh

barang yang akan dipesan;

2. ketidakjelasan informasi tentang produk (barang dan jasa) yang ditawarkan

dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumentelah memperoleh berbagai

informasi yang laya diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk

mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;

3. tidak jelasnya status subyek hukum dari si pelaku usaha;

4. tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan

terhadap resiko-resiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan,

khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card

ataupun electronic cash;

5. pembebanan resiko yang tidak berimbang karena umumnya terhadap jual beli

di Internet, pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh si konsumen,

sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudan karena

jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan

barang;
6. transaksi bersifat lintas batas Negara borderless menimbulkan pertanyaan

mengenai yursdiksi hukum Negara mana yang sepatutnya diberlakukan;

7. Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang memang secara

tidak bertanggung jawab merugikan konsumen;

8. Kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang

dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga konsumen disesatkan dan kemudian

dirugikan.

Pelaku Usaha merasa secara social, ekonomis, psikologis dan politis berada

diatas konsumen, walaupun konsumen mencari pelaku usaha lain tetap saja akan

menghadapi kondisi yang sama dan berhadapan dengan perjanjian yang

dibakukan. Pencantuman disclaimer di situs internet merupakan salah satu bagian

dari format klausula baku yang dicantumkan pelaku usaha. Salah satu karakter

klausula baku yang dicantumkan di situs internet dalam bentuk disclaimer

mengandung syarat eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab. Untuk

mengatakan suatu disclaimer sebagai suatu perjanjian standar yang berklausula

baku, terhadap disclaimer tersebut harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat

dalam pengertian klausula baku yang dipenuhi oleh disclaimer :

1. Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat.

Dikatakan disclaimer memenuhi unsur ini karena disclaimer sendiri

merupakan aturan atau ketentuan dan syarat yang diajukan oleh pemilik situs

internet yang bersangkutan kepada pengguna akhir atau konsumen. Didalam isi

disclaimer itu sendiri kebanyakan terdapat aturan, ketentuan dan syarat yang harus
diperhatikan oleh pengguna, seperti suatu Term and Conditons (ketentuan dan

syarat).

2. Dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha.

Ciri bahwa disclaimer telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha dapat dilihat dalam bentuk atau format dan

isinya serta tampilan dalam layar yang tidak dapat diubah, dinegosiasikan dan

sudah tercetak.

3. Dituangkan dalam suatu dokumen.

Disclaimer ditampilkan secara digital (digital printed) dalam layar, yang

merupakan suatu sistem elektronik yang didalamnya terdapat informasi

elektronik. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Sistem Elektronik adalah serangkaian

perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,

mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

Sedangkan yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau

sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik

(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminta (Pasal 1 angka 1 Undang-

undang No.11 Tahun 2008). Dalam hubungannya dengan dokumen digital ini,
merujuk pada pengertian dokumen (elektronik) menurut UU No.11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Elektronik dalam Pasal 1 angka 4, yaitu :

Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang


dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya,
yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.

Dengan demikian disclaimer merupakan suatu dokumen elektronik seperti yang

dimaksudkan pada pengertian di atas.

4. Pernyataan klausula eksonerasi dalam disclaimer.

Banyak ditemukan pelaku usaha yang menjual produknya melalui situs

internet membatasi dengan ketat atau melepaskan tanggung jawab mereka.

Konsumen yang masih awam yang membeli suatu produk dari pelaku usaha yang

benar-benar memiliki monopoli dalam harga produk mempunyai sedikit pilihan

kecuali menerima dan meyetujui syarat-syarat yang dibebankan kepadanya.

Bentuk kerugian konsumen yang kerap muncul akibat dari klausula

eksonerasi dalam transaksi elektronik antara lain (a) karena barang atau jasa yang

sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen, (b) barang atau jasa yang sudah

dibeli ternyata tidak sesuai dengan promosi yang diberikan kepada konsumen, (c)

keterlambatan waktu pengiriman barang atau jasa yang sudah dibeli oleh

konsumen.

Dalam hal adanya pernyataan klausula eksonerasi yang tercantum dalam

disclaimer suatu website, dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini :


1. Disclaimer dalam online shop Okley indonesia : Semua produk-produk

yang dijual adalah final. TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU

DITUKAR DENGAN UANG.

2. Disclaimer pada online shop : Nakimori menganggap anda telah mengerti,

memahami serta menyetujui segala sistem BARANG YANG SUDAH

DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR/DIKEMBALIKAN.

3. Disclaimer pada online shop software house : Software yang sudah dibeli

TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM BENTUK APAPUN.

4. Disclaimer pada online shop ponsel : Dengan memesan barang dari kami,

anda dianggap sudah membaca dan/atau menyetujui syarat-syarat ini

BARANG YANG TELAH DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN

ATAU DITUKAR DENGAN BARANG LAIN.

5. Disclaimer pada situs berita online : menyebutkan disclaimer sebagai

pasal sanggahan yang bunyinya TIDAK BERTANGUNG JAWAB atas

segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi atau

segala kerugian yang timbul karena tindakan yang berkaitan dengan

data/informasi yang disajikan.

6. Disclaimer pada Korean Online Shop yang dibuat oleh orang Indonesia,

menyebutkan BARANG TIDAK DAPAT DI RETUR DENGAN

ALASAN APAPUN DAN PEMBELI YANG MEMBATALKAN

PESANANNYA AKAN DIMASUKKAN DALAM DAFTAR HITAM

KONSUMEN/BLACKLIST.
Dari beberapa pernyataan klausula eksonerasi diatas dapat disimpulkan

bentuk klausula eksonerasi yang biasanya dicantumkan dalam suatu disclaimer

dalam website adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan pengalihan dan atau mengindarkan diri dari tanggung jawab,

bahwa pihak pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui website

tidak bertanggung jawab atas kegagalan, kerusakan, kecacatan produk dan

kerugian yang diderita oleh konsumen selama memanfaatkan produk /

informasi tersebut. Sekalipun sebelumnya telah diberi tahu mengenai

adanya kemungkinan adanya kerugian tersebut dan juga apabila solusi

yang disediakan gagal memenuhi tujuan utamanya. Bahkan mengalihkan

tanggung jawab dengan menyatakan bahwa konsumen mengambil seluruh

tanggung jawab dan resiko atas pilihannya menggunakan produk /

memperoleh informasi yang bersangkutan. Hampir semua disclaimer

memuat klausula seperti ini. Setiap penyelenggara sistem elektronik

seharusnya menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman

serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik

sebagaimana mestinya dan penyelenggara sistem elektronik bertanggung

jawab terhadap penyelenggara sistem elektroniknya, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang

yang dibeli oleh konsumen. Pada dasarnya dalam hal membeli produk

seperti software dan handphone konsumen juga telah membeli


keseluruhan perangkat yang disertakan termasuk jaminan dan layanan

(support) tetapi seringkali ditemukan pada pelaku usaha online menolak

penyerahan kembali oleh konsumen untuk memperoleh jaminan dan

layanan. Begitupula dengan produk yang dijual secara online lainnya

seperti misalnya produk sandang dan pangan, sebagian besar pelaku usaha

ditemukan mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan produk

yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.

Demikian pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa disclaimer

tersebut mengandung suatu klausula-klausula yang bersifat eksonerasi.

Keberadaan disclaimer juga dilihat lebih menguntungkan pihak pemilik situs

online shop selaku pelaku usaha, seperti contoh disclaimer korean online shop ,

Dimasukkannya seorang konsumen ke dalam daftar hitam artinya bahwa jika

konsumen ingin memesan barang lagi suatu hari nanti maka konsumen tersebut

tidak akan dilayani dan ditanggapi, hal tersebut tentu saja bertentangan juga

dengan Pasal 4 UUPK butir (c) yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan butir (g) yaitu hak

diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan butir (h) yaitu

hak untuk medapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

Berkaitan juga dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (2) Undang-undang

Perlindungan Konsumen, yang menyatakan Pelaku Usaha dilarang

mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Dalam

disclaimer di situs internet terdapat beberapa masalah mengenai hal ini. Pertama,

mengenai letak daripada suatu disclaimer biasanya terletak pada bagian yang sulit

terlihat yaitu dibagian bawah situs yang dituliskan dengan ukuran font hurufnya

sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan surat kabar

atau buku-buku bacaan, sepert contoh dibawah ini :

Gambar 6.tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah homepage
Gambar 7. tampilan disclaimer website singapura ( diatas homepage)

Oleh karena letak disclaimer sesuai yang terlihat dalam contoh gambar

website Indonesia seperti pada gambar diatas tentu saja akan sangat mudah untuk

mengecoh konsumen, tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer

tersebut padahal sebenarnya disclaimer tersebut patut diketahui oleh konsumen

terlebih dahulu sebelum konsumen membaca isi website dan juga sebelum

konsumen melakukan transaksi pembelian produk jika website itu adalah sebuat

penyedia layanan online shop. Namun demikian, seandainya huruf-hurufnya

sedemikian tebal dan terang tercetak (seperti dalam contoh gambar disclaimer

website singapura), hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen

(pengguna akhir) tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya

dengan pelaku usaha. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata sejak

konsumen memutuskan untuk memanfaatkan transaksi melalui internet.


Selain letak atau bentuknya yang sulit terlihat, masalah yang kedua yang

bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPK adalah mengenai

pengungkapannya dari disclaimer yang menggunakan bahasa asing (bahasa

inggris), tentunya jika konsumen internet yang tidak mengerti maksud dari isi

disclaimer yang bersangkutan, akibatnya konsumen tidak akan mengetahui apa

yang menjadi hak dan kewajibannya serta pembatasan-pembatasan yang boleh

dan tidak boleh dilakukan dalam memanfaatkan produk yang mereka beli dari

pelaku usaha yang memasarkan produknya di dunia maya. Sebagian disclaimer

juga ada menggunakan bahasa Indonesia, tetapi hal tersebut pun tidak menjamin

bahwa konsumen akan mengerti isi dari pada disclaimer tersebut karena

kebanyakan susunan kata-kata yang digunakan sulit untuk dimengerti.

4.2 Tanggung jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan dengan

Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum Indonesia

Di dalam hukum perlindungan konsumen konsep tanggung jawab merupakan

bagian dari konsep kewajiban hukum yang sangat penting. Dari beberapa sumber

hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan klausula eksonerasi

dalam situs internet sering memberikan pembatasan-pembatasan tanggung jawab

yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.

Dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,

mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 yang bunyinya :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atau


kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 ( tujuh )
hari setelah tanggal transaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasatkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan;
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan

pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah : 111

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability / liability

based on fault)

Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH

Perdata. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan

orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang

yang berada dibawah pengawasannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima

karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi

pihak konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability

principle)

111
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 71-80.
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

sampai konsumen dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, beban

pembuktian ada pada si tergugat. Terlihat adanya penerimaan atas beban

pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang jika diterapkan dalam kasus

konsumen akan tampak bahwa asas ini sangan membantu konsumen pada saat

berhadapan dengan pelaku usaha dalam sengketa hukum. 112 Prinsip ini

merupakan asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus

konsumen dimana pembuktian ada pada pelaku usaha. Dalam ketentuan pasal 19,

22, 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan

tanggung jawab pelaku usaha.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non-

liability)

Prinsip ini adalah kebalikan daripada prinsip kedua. Prinsip praduga untuk

tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen

yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense

dapat dibenarkan. 113 Misalnya pada kejadian pelaku usaha yang memiliki usaha

pabrik didekat wilayah sungai, kemudian pihak tertentu yang tinggal disekitar

wilayah sungai tersenut mengalami sakit karena mengkonsumsi air sungai untuk

kebutuhan sehari-harinya. Hal ini belum tentu menjadi kesalahan pelaku usaha

112
Edmon Makarim, Op.cit. h.370-371
113
Ibid
pemilik pabrik bisa saja pihak warga tidak menerapkan hidup sehat dengan

mengkonsumsi air sungai tanpa memasaknya dengan baik terlebih dahulu

sehingga airnya tidak higienis dan mengandung kuman penyakit.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Strict liability dapat diberikan dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan. 114 Prinsip tanggung

jawab produk lebih kepada tanggung jawab produsen (pabrik atau manufactures)

dan pemasok-pemasok (supplier) secara bersama-sama atau kelompok terhadap

kerugian yang ditimbulkan oleh barang yang cacat (defective products) atas

kerugian yang diderita konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha

harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab

ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar prilaku berbahaya

yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya

kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Jadi kesalahan bukan sebagai

faktor yang menentukan, namun adanya pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya adanya force

majeure. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur

prinsip strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur

kesalahan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan

bahwa pembuktian terbalik terbatas pada unsur kesalahan, sedangkan

114
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan, PT.Citra Aditya Bakti Bandung, h.179
pertanggungjawaban hukum (pertanggungjawaban perdata) mencakup termasuk

unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu dibuktikan kerugian

yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang

dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan tersebut.

5. Prinsip tanggung jawab dengan batasan (limitation of liability)

Prinsip yang sangat menguntungkan pelaku usaha karena para pelaku usaha

dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya

ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi.

Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada

pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk

mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan

pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk pada

peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha.

6. Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty)

Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah

mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan

pelaku usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak

(contractual liability). Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of

contract) antara pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan/atau jasa,

tanggung jawab pelaku usaha di sini didasarkan pada Contractual Liability

(pertanggungjawaban kontraktual).
Dari perkembangan tanggung jawab produk dibeberapa negara, tanggung

jawab produk merupakan lembaga hukum yang menggunakan konstruksi hukum

perbuatan melawan hukum (tort) dengan beberapa modifikasi115, yaitu sebagai

berikut :

a) Pelaku usaha langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product

liability sehingga dianutlah prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur

kesalahan.

b) Karena pelaku usaha dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus

bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada

pihak konsumen yang menderita kerugian (strict liability).

c) Karena pelaku usaha sudah dianggap bersalah, konsumen yang menjadi

korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha.

Berbeda dengan konstruksi dalam tort yang mengharuskan pihak

konsumen untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha (unsur pembuktian

terbalik).

Meskipun dalam bentuk tanggung jawab dapat bersifat kontraktual

(perjanjian) ataupun berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan

perbuatan melawan hukum), namun demikian dalam tanggung jawab produk,

penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability). Jadi, pihak konsumen

masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu adanya perbuatan melawan

hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan

hukum dengan kerugian yang timbul.


115
Johanes Gunawan, 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia
Tahun XXI Nomor 2, April 1994, h. 212.
Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) para pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik

dalam lingkup publik atau pun privat yang melakukan transaksi elektronik wajib

beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi

Elektronik dan/atau dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung (Pasal 17

UU ITE). Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik baik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan

olehnya atau melalui agen elektronik diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a,b,c UU

ITE yang bunyinya sebagai berikut :

a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan


Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang
bertransaksi;
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
pemberi kuasa; atau
c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
penyelenggara agen elektronik.

Dalam penerapan prinsip tanggung jawab pelaku usaha harus sangat selektif

sehingga tidak merugikan stakeholders terkait, karena dalam hal tanggung jawab

pelaku usaha ini berkaitan erat dengan stakeholder theory . Perusahaan tidak

hanya sekedar bertanggungjawab terhadap pemilik (shareholder) namun menjadi

lebih luas ke ranah kemasyarakatan (stakeholder). Stakeholder theory yang

menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk

kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya

(shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan

pihak lain).
Keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang

diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Kelangsungan hidup

suatu perusahaan bergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut

harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan

tersebut. Makin banyak dan kuat stakeholder, makin besar usaha perusahaan

tersebut untuk beradaptasi. Tanggung jawab sosial perusahaan yang berdasarkam

stakeholder theory berkaitan langsung dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi

yang semakin sejahtera, adil dan merata. Di dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di

internet secara online tentu saja konsumen sebagai stakeholder harus diperhatikan

oleh pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui situs internet (website).

Hal ini diperlukan agar kegiatan bisnis elektronik dapat dibangun berdasarkan

konsep kebermanfaatan yang saling menguntungkan dan adil.

4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman

Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha

Suatu stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis akan tercipta jika

suatu keadilan terwujud. Dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan, dimana

keadilan merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia di dunia dan

menjadi salah satu topik penting dalam etika bisnis. Keadilan merupakan

lawannya kebohongan dan kecurangan. Segala sesuatu perbuatan yang tidak baik

dan tidak jujur sangat berseberangan dengan keadilan.

Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tidak lengkap jika suatu
keadilan tidak diikuti dengan adanya hukum. Menurut teori keadilan yang

dikemukakan Adam Smith salah satunya terdapat prinsip No Harm yang

merupakan prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak

dan kepentingan orang lain. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yg dirugikan hak

dan kepentingannya, baik sebagai konsumen, pelaku usaha, karyawan, investor,

maupun masyarakat luas.

Hal tersebut berarti bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada

hukum yang ada. Seluruh masyarakat dijamin untuk memperoleh perlakukan yang

sama, sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum sebagai kaedah yang berfungsi

untuk melindungi hak-hak yang dimiliki masyarakat termasuk hak kebendaannya.

Untuk melindungi hak-hak masyarakat tentu saja dibutuhkan suatu upaya melalui

perlindungan hukum.

Apabila dilihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini sebagian besar

perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu maximization profit ,

sebagaimana dinyatakan oleh Adam Smith yang menegaskan bahwa tujuan

utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah mungkin dan

meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba. Di era

global dan pasar bebas , doktrin tersebut sudah usang, sehingga dibutuhkan

paradigm baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan mampu menciptakan

positive image terhadap stakeholders-nya. Salah satu cara adalah dengan

menerapkan prinsip-prinsip CSR (Coorporate Social Responsibility/ tanggung

jawab sosial) dalam aktivitas dunia usaha sebagai bagian dari penerapan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, selanjutnya

disingkat GCG).

Terdapat empat prinsip dasar dari GCG yaitu fairness, transparency,

accountability dan responsibility. CSR sendiri merupakan penerapan dari prinsip

pertanggungjawaban (responsibility). Keempat prinsip GCG tersebut dijabarkan

oleh Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI) 116 sebagai berikut :

1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan

proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan

informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan;

2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban Manajemen perusahaan sehingga pengelolaan

Perusahaan terlaksana secara efektif ;

3. Responsibilitas (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan

perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi

hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam situs internet

(website) dapat disesuaikan dengan keempat prinsip GCG tersebut, yang

terpenting berkaitan dengan pencantuman disclaimer website adalah prinsip

kewajaran (fairness). Berdasarkan prinsip kewajaran tersebut harus dilindungi dan

dipenuhi. Oleh karena itu pencantuman syarat-syarat baku yang sepihak dalam
116
Busyra Azheri, Op.cit, h.12
bentuk disclaimer harus disesuaikan dengan hak-hak konsumen sebagai

stakeholder dari pelaku usaha yang menjalankan usahanya dengan media situs

internet (website) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar

tercipta keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak (konsumen dan

pelaku usaha). Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi

juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang

dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban. 117

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi konsumen internet

tersebut, menurut Philipus M.Hadjon118 bahwa dapat diuraikan menurut jenis

perlindungan hukum ada 2 bentuk yaitu :

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum secara preventif diberikan oleh pemerintah yang

bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat di

dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha dan dapat memberikan aturan-aturan sebagai

batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya. Permasalahan

pencantuman disclaimer yang isinya sebagian besar membebaskan pelaku usaha

internet dari tanggung jawab yang termasuk dalam klausula eksonerasi tentu saja

semakin memperlemah posisi konsumen. Disini nampak jelas terdapat

ketimpangan posisi konsumen dengan pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya

117
Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif,
Universitas Indonesia, Jakarta, h.97
118
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2
Print, Edisi Khusus, Surabaya, h.2
di internet. Perlindungan preventif dalam hal pencantuman disclaimer ini

berfungsi untuk mencegah agar konsumen berada dipihak yang lemah dan tidak

semata-mata dirugikan. Bentuk perlindungan hukum secara preventif bagi

konsumen internet dapat sebaiknya diwujudkan dengan pengaturan mengenai

kriteria-kriteria isi dari disclaimer yang berbentuk perjanjian baku dalam suatu

situs internet agar konsumen sebagai pengguna internet dapat terlindungi dan

juga mengenai letak pencantuman disclaimer juga perlu diperhitungkan dengan

menampilkan di halaman utama dari website sehingga disadari keberadaan

daripada disclaimer tersebut oleh konsumen sebelum memutuskan utuk membaca

substansi situs dan melakukan transaksi barang dan/atau jasa.

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

elektronik diatur dalam BAB III mengenai Informasi, dokumen dan tanda terima

elektronik yaitu dalam mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha dalam

menawarkan produknya melalui sistem elektronik (dalam hal ini internet) harus

menyediakan secara lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen

dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Selanjutnya, setiap pelaku usaha

yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga

Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 UU ITE).

Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) ini diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

(PP PSTE). Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) adalah lembaga independen

yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh

Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat


Keandalan dalam Transaksi Elektronik (Pasal 1 angka 24 PP PSTE). Di Indonesia

secara formal belum ada satupun LSK yang diakui dan disahkan oleh pemerintah.

Beberapa contoh LSK asing yang telah ada secara resmi adalah GeoTrust, Hacker

Safe, Trust Guard, VerySign, McAfee Secure dan Trustweb. Tentu saja jika LSK

ini terwujud dan sistem transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace) tetap

diawasi dengan jujur, maka konsumen akan merasa lebih tenang untuk

memanfaatkan dunia internet untuk bertransaksi dan mencari informasi.

Selanjutnya dalam Bab VII UU ITE juga diatur mengenai perbuatan yang dilarang

berkaitan dengan larangan daripada muatan yang ada didalam suatu situs internet

yaitu berkaitan dengan aktivitas informasi dan transaksi elektronik di media

internet antara lain setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan berita

bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam

Transaksi Elektronik (Pasal 28 UU ITE).

Dalam lingkup ruang dunia maya (cyberspace), negara-negara yang

tergabung dalam ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan

Indonesia telah memiliki formulasi kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi

melalui media elektronik. Diantara negara-negara tersebut, Singapura sebagai

Negara maju di Asia Tenggara memiliki visi untuk menjadi Pusat E-commerce

Internasional ( International Electronic Commerce Hub ), yaitu negara dimana

seluruh transaksi perdagangan elektronik regional maupun internasional diproses.

The Electronic Transaction Act 1998 merupakan Undang-undang khusus di

singapura yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Singapura memiliki

perangkat regulasi mengenai kegiatan transaksi elektronik yang lengkap dan


memadai. Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi

negara Asia Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam

bidang perdagangan melalui internet. Salah satu indikatornya ialah melalui

belanja di internet yang pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya.

Tetapi sangat disayangkan aturan mengenai transaksi elektronik di Indonesia

belum selengkap dan sememadai Singapura.

Sebagai perbandingan dengan Negara tetangga, pada tahun 1999 di Singapura

didirikan sebuah organisasi nonprofit oleh CommerceNet Singapore yang dikenal

sebagai CASE (Consumers Association of Singapore). CASE memiliki tujuan

untuk memberikan informasi, edukasi perlindungan bagi konsumen dan juga

memberikan nasihat jika konsumen mengalami permasalahan dan membantu

konsumen untuk melakukan klaim kepada pelaku usaha secara online. Di

Singapura juga dikenal adanya Case Trust119 yang merupakan sistem untuk

melindungi konsumen dalam transaksi perdagangan dengan tatap muka dan

konsumen dalam transaksi melalui website. Selain alat-alat teknologi yang

dikembangkan untuk menciptakan keamanan dalam bertransaksi diperlukan pula

pembentukkan lembaga dan mekanisme hukum untuk mendukung perkembangan

transaksi melalui internet. Case Trust juga bertujuan untuk meyakinkan konsumen

bahwa pelaku usaha akan mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi

perdagangan tersebut dan memberikan hak kepada pelaku usaha untuk

menggunakan cap yang di singapura dikenal sebagai trustmark. Untuk

perdagangan dengan tatap muka akan dikeluarkan physical certification


119
Assafa Endeshaw, 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia Pasifik,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.50
sedangkan untuk perdagangan melalui internet akan dikeluarkan web

certification.

Case Trust menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh

pelaku usaha yang memasarkan produknya secara elektronik. Pelaku usaha online

harus mencantumkan sistem pemesanan online kepada konsumen. Dalam sistem

tersebut harus pula mancantumkan informasi yang terperinci tentang produk yang

dipasarkan. Cara ini ditempuh agar konsumen dapat melakukan transaksi secara

efisien tanpa mengalami kesulitan.Untuk pelaku usaha online Case Trust

menerbitkan satu jenis akreditasi yang disebut Case Trust Basic. Agar dapat

memperoleh akreditasi tersebut pelaku usaha pemohon harus lolos uji penilaian

(pass assessment) yang dilakukan oleh Case Trust.120 Jika pelaku usaha online

berhasil lolos dari tahap uji penilaian tersebut , maka berhak memperoleh stempel

atau logo TrustSg sebagai tanda keandalan sehingga konsumen dapat yakin bahwa

konsumen berbelanja ditempat yang benar. Jangka waktu keanggotaan akredtasi

adalah 4 (empat) tahun, tetapi harus diperbarui setiap tahunnya.

Di Indonesia, seleksi terhadap pelaku usaha online sangat penting dilakukan

untuk transaksi melalui internet agar hak-hak konsumen dilindungi khususnya

untuk menghindari adanya pelaku usaha online yang palsu, fiktif dan juga agar

lebih menjamin agar barang yang dikirim ke konsumen sesuai dengan spesifikasi

yang ditawarkan melalui internet. Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur bahwa pemerintah atau

120
CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application Kit-
Webfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29
November 2013, h.9-10
masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang berfungsi

memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya

secara elektronik (Pasal 10 ayat 1). Sertifikasi keandalan tersebut dapat sebagai

bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak

melakukan usahanya setelah melalui penilaian dan audit dari suatu badan yang

berwenang. Telah dilakukannya sertifikasi keandalan atas sebuah website tersebut

ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada home page

pelaku usaha tersebut.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat

akibat perbedaan kepentingan. Bentuk perlindungan hukum represif untuk para

pihak, baik pemilik situs sebagai pelaku usaha maupun konsumen. Pola

penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur Pengadilan

(Litigasi) dan melalui jalur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan / Alternatif

penyelesaian sengketa (non litigasi).

1. Melalui jalur Litigasi

a. Berdasarkan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE)

Sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam hal

pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan

pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman

dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.


Perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang merugikan

pihak lainnya harus bertanggung jawab degan membayar ganti rugi /

kompensasi. 121 UU ITE memuat sanksi yang diberlakukan kepada penyelenggara

sistem elektronik (pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara,

orang, badan usaha, dan/atau masyarakat) pada bab VIII Pasal 38 dan 39 UU ITE

yaitu dalam Pasal 38 ayat (1) menyatakan :

setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

menyelanggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan Teknologi

Informasi yang menimbulkan kerugian.

Dapat diartikan bahwa setiap orang tersebut sebagai konsumen internet yang

mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap peyelenggara sistem

elektronik yaitu pelaku usaha yang memiliki situs internet sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Jika yang dirugikan adalah masyarakat sesuai Pasal 38 ayat

(2) UU ITE juga memperbolehkan untuk diadakannya gugatan secara perwakilan

terhadap pihak penyelenggara sistem elektronik yang berakibat merugikan

masyarakat. Dalam Pasal 45 UU ITE memberikan ancaman pidana paling lama 6

(enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) mengenai

penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian

konsumen dalam transaksi elektronik.

Sejak diberlakukannya UU ITE, untuk website yang isinya mengenai opini,

berita, diskusi dan lain sebagaunya harus menyesuaikan dengan aturan yang ada
121
Huala Adolf, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali
Pers, Jakarta, h.87
dalam UU ITE, pemilik situs internet yang dianggap menghina orang atau institusi

dapat dijerat dengan Pasal 27 UU ITE tentang Pencemaran nama baik melalui

media elektronik. Pelaku dapat terkena hukuman penjara selama enam tahun dan

denda maksimal satu miliar rupiah. Dengan adanya Pasal 27 UU ITE ini tentu saja

harus kebih diperhatikan oleh pemilik situs yang tidak bisa kabur dari tanggung

jawab hanya dengan mencantumkan disclaimer yang menyatakan tidak

bertanggung jawab atas keakuratan isi website-nya.122

Tahap-tahap penyidikan terhadap kasus pidana yang berkaitan dengan

transaksi elektronik juga diatur dalam pada pasal 43 UU ITE, Penyidaikan dapat

dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam Pasal 43 ayat (5) diatur mengenai wewenang penyidik yang diantaranya

adalah :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak


pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap barang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau
diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya
dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang
patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;

122
Merry Magdalena, 2009, UU ITE : dont be the next victim, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h.29
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga
digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana
kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara
menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap
tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini sesuai' dengan ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui
penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasilnya kepada penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik
negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.

Jika dibandingan dengan Negara Inggris, menurut Unfair Terms in Consumer

Contracts Regulations, lembaga pemerintah semacam lembaga perdagangan

berwenang untuk mengentikan bisnis atau kegiatan usaha apabila penggunaan

unfair terms telah digunakan sebagai kebiasaan pelaku usaha dalam menjalankan

usahanya. Sedangkan di Indonesia sanksi seperti ini tidak ada. Peraturan

perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur penggunaan sanksi berupa

penutupan kegitan usaha apabila ada pelaku usaha yang menggunakan klausula

baku seperti yang ada dalam disclaimer suatu website.

b. Secara Perdata

Jenis-jenis gugatan yang lazim diajukan di Peradilan Umum yaitu gugatan

wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:


1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)

Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena

itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat

terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena

wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPerdata, yang pada prinsipnya

membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUHPerdata

juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat

dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam

wanprestasi.

2. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang

yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian

karena PMH tidak perlu somasi. Apabila terjadi PMH, pihak yang dirugikan

langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak

mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa

digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan

(material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).

Perlindungan hukum secara perdata untuk melindungi hak konsumen dalam

kaitannya dengan pencantuman klausula baku yang dilarang oleh undang-undang.

Hukum Indonesia yang menjadi dasar hukum tata cara pengajuan gugatan yaitu
berdasarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu gugatan ganti rugi

karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mengakibatkan

kerugian pada orang lain. Untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan PMH,

maka unsur yang harus dipenuhi adalah:

1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat

positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau

tidak berbuat;

2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah

diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundang-

undangan tetapi juga dapat berupa:

1. Melanggar hak orang lain.

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

3. Bertentangan dengan kesusilaan.

4. Bertentangan dengan kepentingan umum.

3. Adanya kesalahan;

4. Ada kerugian, baik materil maupun immaterial;

5. Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan ,melawan hukum tersebut

dengan kerugian.

c. Secara Pidana

Perlindungan secara pidana dari adanya penipuan yang dilakukan oleh pelaku

usaha/ pemilik website juga dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti adanya

penipuan tersebut sesuai pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(KUHP). Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan

konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni

menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi).

Dengan sanksi pidana diharapkan pelaku jera dan terjadi keseimbangan hukum

karena pelaku diberikan sanksi. Sanksi pidana sangat diperlukan, tetapi harus

diikuti peraturan-peraturan lain yang efektif untuk mengatur kegiatan ekonomi. 123

Tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi :

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri


atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan
nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena
penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Unit Cyber Crime, telah

memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait

Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional

yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of

Investigation (FBI) di Amerika Serikat. Oleh karena terdapat banyak perbedaan

antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam

proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli

digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri.

Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

123
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, PT.Alumni,
Bandung, h. 162.
1. Proses Acquiring dan Imaging

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses

Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat

dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik

dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti

digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2. Melakukan Analisis

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan

untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-

enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti

digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk

selanjutnya dibawa ke pengadilan. Menurut teori yang berlaku di Amerika Serikat

dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber

crime124 yaitu :

a. Theory of The Uploader and the Downloader, teori ini menekankan bahwa

dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang

memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang

mengakses informasi)

124
Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses dari
URL : http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2013.
b. Theory of Law of the Server, dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan

server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau

disimpan sebagai data elektronik.

c. Theory of International Space, menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai

suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana

setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.

Dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan

cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang

berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu

sistem komputer. Aparat Penegak Hukum di Indonesia saat ini memiliki kendala

dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus-kasus penipuan (fraud) secara

online. Kendala tersebut terkadang bersifat teknis, keterbatasan sumber daya,

maupun kesulitan mengidentifikasi pelaku yang berada di luar wilayah Indonesia.

Saat ini, kasus penipuan (fraud) secara online merupakan salah satu kasus

terbanyak dalam cyber crime yang dilaporkan di Indonesia. Langkah yang

biasanya dilakukan oleh penyidik adalah berkoordinasi dengan aparat penegak

hukum negara setempat. Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik

Indonesia, maka penyidik melalui Interpol akan meminta bantuan kepada aparat

setempat dalam proses penyidikan.

Sebagai contoh penanganan pengaduan (complaint) pada Serious Fraud

Office (SFO) di Inggris didasarkan pada kriteria kecukupan informasi (suffecient

information) yang diperoleh dari laporan maupun klarifikasi pelapor. Jika laporan
memenuhi kriteria kecukupan informasi untuk ditindaklanjuti, maka laporan

tersebut akan ditangani sesuai prosedur SFO. Jika laporan mengarah pada

kriminal, SFO akan menunjuk reviewer independen yang berasal dari luar SFO

untuk melakukan investigasi. Jika memungkinkan dilakukan di luar jalur pidana,

SFO akan mengusahakan penyelesaian secara informal. Apabila cara tersebut

tidak memuaskan pelapor, pengaduan tersebut akan diteruskan kepada Kejaksaan

(the Attorney General's Office /AGO). Lamanya waktu respon atas pengaduan

tergantung jenis pengaduan, jika yang berkaitan dengan dugaan kriminal dan

ditangani oleh reviewer independen, maka waktu respon yang dibutuhkan adalah

40 (empat puluh) hari setelah surat pengaduan diterima. Meski demikian, dalam

praktiknya mungkin saja terdapat kendala teknis maupun non teknis untuk

menindaklanjuti suatu laporan/pengaduan.

d. Penggabungan sanksi pidana dan perdata

Pengertian ganti rugi dari sudut pandang hukum pidana dan hukum perdata.

Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya:

Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan


atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Dalam Hukum Perdata tidak memberikan definisi tegas mengenai arti ganti

rugi, namun Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

menjelaskan ganti kerugian sebagai berikut:

Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya


suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya

Berdasarkan kedua pasal mengenai ganti kerugian tersebut diatas, maka jelas

bahwa hukum pidana mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan tersangka.

Sedangkan hukum perdata mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan pihak

yang dirugikan atas terjadinya tindakan melawan hukum atau ingkar janji.

Berkaitan dengan konsumen yang hendak mengajukan ganti kerugian kepada

tersangka, ada 2 (dua) cara, yaitu:

1. Mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) yang terpisah dari perkara

pidana; dan

2. Menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.

Pertama, jika ingin mengajukan gugatan ganti kerugian yang terpisah dengan

perkara pidana, maka sebaiknya konsumen menunggu terlebih dahulu putusan

terhadap perkara pidana tersebut. Oleh karena apabila terdakwa terbukti bersalah,

maka putusan tersebut adalah dasar yang kuat bagi konsumen untuk mengajukan

gugatan ganti kerugian. Namun konsumen juga dapat mengajukan gugatan ganti

kerugian tanpa menunggu putusan terhadap perkara pidana. Konsumen harus


memiliki alasan-alasan yang kuat dan nyata bahwa konsumen telah mengalami

kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh orang lain.

Kedua, menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara

pidana. KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang

isinya sebagai berikut:

(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Berdasarkan pasal 98 tersebut, maka konsumen dapat menggabungkan

gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang sedang berjalan.

Penggabungannya wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili

perkara a quo paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan

pidana. Mengingat perkara pidana tersebut masih dalam tahap pemeriksaan

Kepolisian, maka konsumen harus menunggu hingga pemeriksaan dilakukan di

Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan tersebut. Sekalipun melalui proses

yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada satu dasar hukum yang sama,

yaitu Pasal 1365 KUHPerdata. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena

adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak

konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.


Keberadaan lembaga litigasi yang juga disebut first and the last resort dalam

penyelesaian sengketa, dimana sebagai first and the last resort diharapkan

keberadaan lembaga litigasi yaitu pengadilan menjadi tujuan utama pencarian

keadilan, yang dapat menghasilkan kepastian hukum dalam menyelesaikan

sengketa yang ada. Peran hakim di pengadilan, maupun lembaga yang bergerak di

bidang penyelesaian sengketa kontrak elektronik adalah penting. Keberadaan

pedoman putusan hakim ini juga dipandang dapat memberikan pembaruan atas

hukum yang ada, termasuk manakala belum ada peraturan hukum yang secara

spesifik mengatur tentang hal yang ada. Namun demikian dalam model

penyelesaian sengketa jalur litigasi ini belum dapat mengakomodasi efektivitas

dan efisiensi dalam proses penyelesaian sengketa, karena lambatnya proses

penyelesaian sengketa, biaya yang mahal khususnya dalam sengketa transaksi

perdagangan. Namun demikian hukum tetap memiliki kewajiban dalam

mengakomodasikan terpenuhinya perlindungan hukum, sebagai bentuk dari

tanggung jawab hukum terhadap hak subjek hukum, dimana dalam hal ini ialah

para pelaku kontrak elektronik dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik.

Oleh karenanya, karena terdapat keprihatinan atas persoalan yang dihadapi oleh

lembaga litigasi, melatarbelakangi adanya lembaga non litigasi alternatif

penyelesaian sengketa, yang menggunakan mekanisme yang hidup dalam

masyarakat dimana bentuk dan macamnya bervariasi baik secara musyawarah,

perdamaian, penyelesaian adat dan cara-cara lain yang disesuaikan dengan

wilayah masyarakat tersebut berada.

II Melalui Jalur Non Litigasi


Penyelesaian sengketa transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia

menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan

yaitu :

1. Prinsip kesepakatan para pihak, tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

bahwa dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara

mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah

memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam

putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak

diatur dalam perjanjian mereka. Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999

menyatakan bahwa para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang

akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah

timbul antara para pihak.

2. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, terdapat

dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa para pihak memiliki

kewenangan untuk menetapkan forum atau lembaga penyelesaian sengketa

alternatif. Penerapan pilihan hukum tersebut adalah tidak mungkin

dilakukan mengingat sifat dasar dari transaksi elekronik yang secara

mayoritas menggunakan jenis kontrak baku.

3. Prinsip kebebasan memilih hukum, yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2)

UU No.11 Tahun 2008 menyatakan bahwa para pihak memiliki


kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi

Elektronik internasional yang dibuatnya.

4. Prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum

Nasional, terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang menyatakan bahwa Undang-undang Informasi da

Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap Orang yang melakukan

perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang

berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum

Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia

dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan

Indonesia.

Sengketa dapat teradi karena ada pihak yang dirugikan dapat juga karena

wanprestasi dan maupun perbuatan melawan hukum. Penyelesaian sengketa

diluar pengadilan berkaitan dengan transaksi elektronik di dunia maya lebih

banyak dipilih karena tidak terlalu banyak memakan waktu, biaya dan tidak

terlalu banyak formalitas-formalitas yang pada hakikatnya merupakan suatu

model penyelesaian sengketa yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam

transaksi elektronik. Penyelesaian sengketa secara damai antara lain negosiasi,

mediasi dan konsiliasi. Negosiasi adalah penyelesaian sengketa secara damai

dimana para pihak berhadapan langsung tanpa ada keikut sertaan pihak ketiga.

Sedangkan mediasi dan konsiliasi adalah penyelesaian sengketa secara damai

dimana ada turut campur pihak ketiga. Perbedaan antara konsiliasi dan mediasi

terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk
menyelesaiakn sengketa. Apabila dilihat dari sifatnya, penyelesaian sengketa

secara damai ini merupakan hal yang ideal mengingat keadilan muncul dari para

pihak.

Sengketa pada transaksi elektronik cenderung berkaitan dengan masalah

harga, kualitas barang dan jangka waktu pengiriman. Produk yang menjadi obyek

sengketa apabila jumlahnya relative kecil, maka para pihak cenderung tidak

memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya mengingat biaya yang

dikeluarkan untuk membayar jasa pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek

yang disengketakan. Dalam hal ini proses negosiasi tepat digunakan dan

dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli, baik melalui pertemuan

secara fisik apabila domisili keduanya saling berdekatan maupun melalui surat

menyurat (e-mail) jika kedua belah pihak berjauhan. Penyelesaian sengketa secara

damai harus disertau kesukarelaan dari para pihak, tanpa kesukarelaan tidak

mungkin penyelesaian sengketa secara damai dapat berjalan lancer.

Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, hal ini

termasuk dalam penyelesaian sengketa secara adversarial yang melibatkan suatu

lembaga. Arbitrase pada dasarnya berbentuk lembaga non Negara atau swasta

untuk menyelesaiakn sengketa secara cepat. Hukum di Indonesia yang mengatur

tentang Arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di

arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu : pertama, tahap persiapan untuk

mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara, kedua tahap

pemeriksaan tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari


awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkan putusan

oleh arbiter dan tahap ketiga pelaksanaan tahap untuk merealisir putusan arbiter

yang final dan mengikat.125

Arbitration is a procedur whereby a controversy is a submitted to a person

or person other than courts of a final, a binding decision. 126

Dapat diketahui pengertian arbitrase adalah prosedur dimana sebuah sengketa

yang disampaikan kepada seseorang atau orang lain dari pengadilan keputusan

final, mengikat). Arbitrase juga merupakan penyerahan sengketa secara sukarela

kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase

terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa ini semakin

popular. Arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa

dagang nasional maupun Internasional.

Kekurangan dari digunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase

diantaranya adalah mahal. Hal ini disebabkan pihak yang bersengketa harus

membayar honor dari arbiter yang menyelesaikan sengketa. Proses dan prosedur

arbitrase tidaklah mudah, oleh karena itu hanya masyarakat pada stratifikasi sosial

tertentu yang dapat memanfaatkan. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui

arbitrase hanya bisa dilakukan pada sengketa yang bersifat dagang (commercial

dispute) hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999.

Lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia yang dapat digunakan

adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa

125
Bambang Sutiyoso, 2006, Peneylesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, h.120
126
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition, Prentice-
Hall, Inc, USA,p-16.
selain melalui arbitrase juga dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) yang merupakan salah satu senjata sah

konsumen yang paling kuat selain UU ITE. BPSK dibentuk oleh pemerintah tetapi

bukan merupakan bagian dan institusi kekuasaan kehakiman. Didalam transaksi

elektronik selalu berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen. BPSK merupakan

salah satu model penyelesaian sengketa yang cenderung digunakan dalam hal

sengketa konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk Majelis

minimal 3 (tiga) dengan dibantu seorang panitera dan putusan BPSK bersifat final

dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 (duapuluh

satu) hari sejak gugatan diterima dan keputusan BPSK wajib dilaksanakan pelaku

usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterimanya atau apabila

keberatan dapat mengajukan kepada pengadilan negeri dalam jangka waktu 14

(empat belas hari). Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha

memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya

keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi

jangka waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak permohonan kasasi. 127

Pemberian sanksi administratif diatur dalam Pasal 60 UUPK yang merupakan

suatu hak khusus yang diberikan UUPK kepada BPSK atas tugas dan/atau

kewenangan yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar


127
Gunawan Widjaja, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa,, Jakarta, PT.RajaGrafindo
Persada, h.79
pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo Pasal 60 ayat (1) UUPK,

sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan

ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/ dalam rangka salah satunya

adalah tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada

konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/jasa

yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian

yang diderita konsumen.

Dalam dunia internasional juga terdapat arbitrase institusional yang berada di

luar negeri diantaranya adalah International Chamber of Commerce (ICC) yang

berkedudukan di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA),

America Arbitration Association (AAA), dan Singapore International Center for

Arbitration (SIAC). Pelaksanaan putusan arbitrase didalam negeri

(nasional/domestik) berlaku ketentuan Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU

No.30 Tahun 1999. Sementara untuk putusan arbitrase internasional berlaku

ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU No.30 Tahun 1999. Diakuinya

putusan internasional di Indonesia didasarkan pada keikutsertaan Indonesia dalam

sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi New York 1959. Konvensi ini

menegaskan bahwa Negara yang menjadi peserta harus mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat diluar negeri sepanjang Negara

tempat dimana arbitrase dilangsungkan termasuk juga menjadi peserta konvensi.

Untuk mempermudah penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik dalam

perkembangan saat ini juga muncul penyelesaian sengketa secara online (online
dispute resolution/ODR). ODR pada dasarnya sama dengan mekanisme arbitrase

scara konvensional namun medianya saja yang berbeda yaitu menggunakan

media internet sebagai media untuk menyelesaikan sengketa. Demi keadaan

tertentupun demi kelancaran ODR dapat mempertemukan para pihak yang

bersengketa. Contoh ODR yang telah ada adalah The Virtual Magistre yang

dilahirkan oleh para akademisi hukum dunia maya yang bekerja untuk National

Center for Automated Information Research (NCAIR) dan Cyberspace Institute

yang didirikan oleh asosiasi arbitrase Amerika.

Arbitrase online bekerja seperti persidangan, dimana arbiter bertindak seperti

hakim yang didahului dengan mendengarkan keterangan kedua belah pihak dan

kemudian menjatuhkan putusan. Mengikat dan tidaknya suatu putusan arbitrase

online itu tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. 128 Teknis penyelesaian

sengketa dilakukan secara online menggunakan media e-mail, video conferencing,

radio button electronic fund transfer, web conference maupun online chat.

Meskipun dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak secara tegas diatur mengenai

prosedur arbitrase online, Pasal 4 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan

Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam

bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail, atau

dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan

penerimaan oleh para pihak. Jadi, berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 diberikan

kemungkinan dipergunakannya e-mail dalam proses penyelesaian sengketa

128
Bambang Sutiyoso, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution
dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta, FH.UGM, hal
238.
meskipun baru dalam tahap penyampaian surat. Selain kata e-mail adanya kata

bentuk sarana komunikasi lainnya dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan

dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Namun di Indonesia sampai

saat ini belum diterapkan arbitrase online sesuai yang tersirat dalam Pasal 4 ayat

(3) UU No.30 Tahun 1999 tersebut.


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Berdasarkan pembahasan terhadap penelitian sebagaimana dikemukakan

diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

Pengaturan disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia belum

jelas dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan

transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace). Banyak disclaimer yang

menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada

konsumen dan letaknya pada bagian bawah homepage website sehingga

tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer tersebut.

Apabila ditinjau dari Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK), beberapa substansi dari disclaimer

dalam situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula

eksonerasi. Namun UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi

nasional untuk transaksi secara konvensional (offline).

2. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen mengacu pada

pencantuman disclaimer dalam website, masih lemah. Adapun saat ini

perlindungan hukum konsumen yang dapat diberikan, ada 2 (dua) yaitu

secara preventif yakni disyaratkan dengan adanya suatu Lembaga

Sertifikasi Keandalan (LSK) berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-

undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


(UU ITE) dan secara represif penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi

dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata, sanksi pidana dan

melalui jalur Non Litigasi yang ideal dengan filosofi lahirnya transaksi

elektronik dengan media situs internet (website) adalah melalui Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

5.2 Saran

1. Untuk Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi

(Depkominfo) segera mengambil tindakan dalam rangka kepastian

pengaturan yaitu peraturan Perundang-undangan tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik materi yang diatur haruslah jelas dan lengkap agar

dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan transaksi bisnis

secara elektronik.

2. Untuk Pemerintah, agar melegalisasi setiap website resmi yang melakukan

transaksi bisnis secara elektronik dengan cara segera membentuk Lembaga

Sertifikasi Keandalan (LSK) seperti Case Trust dengan logo TrustSg di

Singapura agar dapat memberikan sertifikasi untuk setiap situs internet

(website), sehingga dapat melindungi hak-hak konsumen internet di

Indonesia.
DAFTAR BACAAN

I Buku-Buku

Adolf, Huala, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III,
Jakarta : Rajawali Pers

Ais, Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual


Hukum Perusahaan, Bnadung : PT.Citra Aditya Bakti

Ardianto, Elvinard dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis


dan CSR Berlipat-lipat, Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo

Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika

Asshiddiqie, Jimly, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif,


Jakarta : Universitas Indonesia

Azheri, Busyra 2011, Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi


Mandatory), Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada

Azwar,Azrul, 1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta : PT. Binarupa


Aksara

Badrulzaman , Mariam Daruz, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak


Indonesia, Hukum Bisnis XII

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di


bidang kenotariatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Endeshaw, Assafa , 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia
Pasifik, Jakarta : Pustaka Pelajar

Friedman , Lawrence M.,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal
System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj),
Bandung : Nusa Media
Gunawan, Johanes 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro
Justitia Tahun XXI Nomor 2, April 1994.
Hadi,Nor, 2012, Corporate Social Responsibility, Yogyakarta : Graha Ilmu
Hadjon, Philipus M., 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya : Percetakan M2 Print (edisi khusus)
---------------------------, dkk , 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta

Handoyo , B.Hestu Cipto , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain


Naskah Akademik, Yogyakarta, Universitas Atmajaya
Hartono, Sri Rejeki, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar
Maju
Hernoko, Agus Yudha,2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Yogyakarta : Laksbang Mediatama
Kartini, Dwi, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep
Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia,
Bandung : Refika Aditama
Kristiyanti, Celina Tri Siwi , 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :
Sinar Grafika
Makarim, Edmon, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta : PT.RajaGrafindo
Persada

----------------------, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta :


PT.RajaGrafindo Persada

Magdalena, Merry, 2009, UU ITE : dont be the next victim,Jakarta : PT.Gramedia


Pustaka Utama

Manan, Abdul, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum,Jakarta : Kencana

Marzuki , Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta
Mertokusumo , Sudikno,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka,
Yogyakarta
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada

Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan


Perdagangan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

-----------------------------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung :


PT.Citra Aditya Bakti
Nasution , Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : CV.
Mandar Maju
Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta :
Daya Widya
Nugroho , Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Purbo, Onno W. & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo

Rahardjo, Satjipto, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing
Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta : Universitas Indonesia

Saliman, Abdul Rasyid et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan
Contoh Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Jakarta : Kencana Renada
Media Group
Salman, Otje, 2008, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, Jakarta : Refika Aditama
Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
--------------------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Soenandar, Taryana, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas


Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan
CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the
UNIDROIT94, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta :


PT.RajaGrafindo
-----------, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006),
Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk), Jakarta : Panta Rei.
Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.

Sidharta, Arief, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,


Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bnadung : Refika Aditama
Sinamo, Nomensen, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Bumi Intitama
Sejahtera.

Sjahputra , Imam,2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik,


Bandung : PT.Alumni

Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, Bandung
: PT.Alumni

Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Jakarta : PT.Citra Aditya Bakti

----------, 2001, Hukum Perjanian, Jakarta : Intermasa

Suparni, Niniek, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi


Pengaturannya,Jakarta : Sinar Grafika

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Jakarta : Visimedia


Sutiyoso, Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta : Citra
Media

-----------------------, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute


Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar
Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta : FH.UGM

Syahrani, Ridwan , 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung :
Alumni

Wahyono, Teguh, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di


Bidang Teknologi Informasi, Yogyakarta : ANDI.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama
------------------------ , 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada
Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :Kencana Prenada Media
Group.

II Literatur Asing
Anne Fitzgerald, 1999, Inteleectual Property, NSW, Sydney : LBC Information
Services,
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition,
USA : Prentice-Hall, Inc
th
G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 Edition , Sweet & Maxwell Ltd,
London

Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law
Studies, University of London

John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United
States of America : South-Western Publishing Co.
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, London :
Butterworths

Turban, Efraim, et.al., ,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial


perspective) sixth edition, United State of America : Pearson.

III. Kamus, Jurnal, Tesis


Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik
Dalam Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana.

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,


Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.

IV. Artikel dalam Format Elektronik (Internet)

Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari
URL : http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19
September 2012.

Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL :


http ://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013.

Anggia Dyarini M,2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat


Lunak Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi
Standard Sofware, Bespoke Software dan Customized
Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada
tanggal 11 Maret 2012.

Bagus Hanindoyo Mantri, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen


Dalam Transaksi E-commerce , diakses dari URL : eprints
.undip.ac.id/16674/1/Bagus_Hanindyo_Mantri.pdf ,pada
tanggal 12 Maret 2012.
Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di
Indonesia (Serial Online) , diakses dari : URL:
http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012.

Diana Kusumasari, 2011, status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari


URL : http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12
September 2012

Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Jual Beli melalui Media Internet, diakses dari
URL : eprints.undip.ac.id/23920/1/Lia_Catur_Muliastuti.pdf,
pada tanggal 12 Maret 2012.

Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :


http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013

Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari :


http://www.kaskus.co.id, pada tanggal 20 Juni 2012

Purwono, 1992, Studi Kepustakaan (online), Diakses dari URL : http://adab.uin-


suka.ac.id, pada tanggal 21 Juni 2012.

Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia,
diakses dari URL : http://www.hukumonline.com pada
tanggal 29 November 2013.

Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari
URL : http : // tekno.kompas.com/read/2011, pada tanggal 12
Maret 2012.
-------------------, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses
dari : http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September
2012

Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :


www.socalinternetlawyer.com, G.H Treitel, 1995, The law of
contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London,
h.1969 pada tanggal 1 Mei 2013.

SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari :
URL : http://www.seqlegal.com, , pada tanggal 20 Oktober
2013.
Simon Davey, 2011, Website disclaimers , diakses dari : URL
:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni
2013

Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial


Elektronik , diakses dari URL :
eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf.
pada tanggal 12 Maret 2012.

Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku , diakses dari : URL :


http://taqlawyer.com pada tanggal 20 Agustus 2013

Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :


www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013

Toto Adhitama, 2011, about gadget, diakses dari URL :


http://asia.groups.yahoo.com/, pada tanggal 12 Januari 2013

CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information &


Application Kit-Webfront, CaseTrust Departement, diakses
dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29
November 2013

Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17


Negara , diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal
29 November 2013

UNIDROIT 1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994,


International Institute for the Unification of Private Law
Article 2.19, diakses dari : URL :
http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013.

V. Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem

dan Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai