Anda di halaman 1dari 73

1

Kepentingan. Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan timbulnya

perselisihan dan persengketaan dalam masyarakat. Untuk menyelesaikan

perselisihan dan persengketaan antar sesama individu tersebut makan

diperlukan suatu kaedah hukum, dimana salah satu fungsi hukum adalah

sebagai sarana penyelesaian sengketa sehingga tercipta ketertiban dan

ketentraman bagi masyarakat.

Produk barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia semakin lama semakin canggih, sehingga timbul kesenjangan

terhadap kebenaran informasi dan daya tanggap konsumen. 2 Dengan posisi

konsumen yang lemah ini, produsen atau pelaku usaha akan dengan mudah

memasarkan setiap barang dan atau jasa tanpa memperhatikan hak-hak

konsumen.

Meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang

bertanggungjawab. Kewajiban untuk menjamin keamanan suatu produk agar

tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen dibebankan kepada pelaku usaha

dan produsen, karena pihak pelaku usaha dan produsen yang mengetahui

komposisi dan masalah-masalah yang menyangkut keamanan suatu produk

tertentu.3

2 Celina Tri Siwi Kristiyanti , Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 4
3

Secara umum dan mendasar hubungan antara produsen (perusahaan

penghasil barang dan atau jasa) dan konsumen (pemakai akhir dari barang dan

atau jasa untuk diri sendiri atau keluarganya) merupakan hubungan yang terus

menerus atau berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya

memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang

cukup tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Produsen sangat

membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai

pelanggan, tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat terjamin

kelangsungan usahanya.4

Pertanggungjawaban dalam hal perlindungan hukum dapat lahir dari

hubungan hukum. Dapat disebutkan pelaku usaha dan konsumen adalah dua

pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan

jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang dan jasa yang

dihasilkan pelaku usaha. Sehingga, kedua belah pihak saling memperoleh

manfaat atau keuntungan. Namun, dalam praktek sering kali konsumen

dirugikan oleh pelaku usaha yang nakal. Karena ketidaktahuan konsumen akan

hak-haknya, akibatnya konsumen menjadi korban pelaku usaha. Menurut

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hubungan hukum antara konsumen

dengan pelaku usaha didasarkan pada perjanjian yang bersifat transaksional.

Jadi walaupun tidak diatur dalam suatu perjanjian yang bersifat kontraktual,
3 repository.usu.ac.id, Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen atas
beredarnya makanan yang kadaluwarsa, 2 Maret 2014 hlm.3,

4 Penyunting Husni Syawali dan Neni SriImaniyati, HukumPerlindungan Konsumen,


Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.36
4

namun terjadi transaksi pembelian barang atau jasa dan disini konsumen

merasa dirugikan, maka konsumen berhak menuntut pelaku usaha yang

mengabaikan hak-hak konsumen.5

Dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa salah satu hak dari konsumen

adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan atau jasa. Sebuah kasus yang terjadi pada tahun

2016 dengan adanya peredaran vaksin palsu yang tersebar dibeberapa wilayah

Jabodetabek. Berawal dari kabar ditemukannya seorang bayi yang meninggal

dunia pasca divaksinasi, pada Rabu 18 Mei Tahun 2016 di Rumah Sakit

Elisabteh, Kota Bekasi. Bayi berusia lima bulan berinisial R tersebut meninggal

dunia pasca mengalami demam tinggi per-tanggal 13 hingga 15 Mei 2016 dan

kemudian kondisinya semakin memburuk pada Selasa 17 Mei 2016 sampai

Rabu 18 Mei 2016. Setelah diperiksa, kondisi kesehatan R menjadi tidak stabil

pasca mengikuti suntik imunisasi DPT 3 di Puskesmas Kecamatan Pasar

Rebo.6

Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri

melakukan pendalaman selama 3 bulan dan kemudian berhasil membongkar

adanya jaringan pemalsu vaksin pada 21 Juni 2016. Vaksin yang dipalsukan

5 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT.


Raja Grafindo Persada, Jakarta,2010 hlm. 33-34.

6 Rasamala Aritonang, "kronologis kasus Vaksin Palsu, http://


www.antaranews.com/berita/573635/ kronologis-terbongkarnya -vaksin-palsu-
rasamala-aritonang-, diakses 28 September 2016.
5

adalah vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis

B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin).7

Pabrik vaksin palsu ditemukan, yaitu di Perumahan Puri Bintaro Hijau,

Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Menurut pengakuan para

tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke

seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan produk vaksin palsu ini

di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. 8

Masyarakat yang tidak tahupun menjadi korbannya, padahal belum tentu

vaksin yang di edarkan itu benar dan tepat komposisinya. Vaksin yang

dipalsukan dapat menekan biaya pengobatan karena bahan aktif bisa saja

dikurangi atau tidak semestinya. Jelas ini sangat berbahaya bagi pasien atau

pengguna vaksin merek tertentu.

Pada dasarnya peredaran vaksin palsu ini sudah terjadi sejak lama di

Indonesia, tetapi baru akhir-akhir ini saja masyarakat mengetahuinya.

Ketersediaan informasi tentang vaksin palsu karena kekurangan informasi dan

kurangnya referensi tentang peredaran vaksin palsu. Kurangnya informasi

terhadap vaksin palsu juga membuat masyarakat konsumen terjerumus

kedalamnya, bagi masyarakat pelaku peredaran vaksin palsu, kurangnya

informasi tentang akibat - akibat yang ditimbulkan karena adanya peredaran

7 Putu Merta Surya, Kronlogis Pengungkapan vaksin palsu


http://news.liputan6.com/read/2539182/kronologi-pengungkapan-kasus-vaksin-palsu-
di-bekasi-dan-tangerang; diakses 23 Desember 2016.

8 Ahmad Fikri, Penemuan Pabrik Vaksin Palsu,


https://m.tempo.co/read/news/2016/06/28/058783685/begini-cara-vaksin-palsu-itu-
terendus diakses 18 Desember 2016
6

vaksin palsu dan sanksi yang mereka terima dan perlindungan hukum bagi

konsumen (Korban).

Pada Tanggal 14 Juli 2016, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek

mengumumkan daftar Rumah Sakit Swasta yang menggunakan vaksin palsu

beserta, sales penyalur, dan modusnya, yaitu sebagai berikut 9 :

Tabel I :

Daftar Rumah Sakit dan sales yang di tetapkan oleh Pemerintah


Menggunakan Vaksin Palsu.

Nama Sales Modus Operandi


RS Dr. Sander Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
Cikarang Medika)
vaksin via email terhadap pihak
RS dan disetujui Direktur RS.
RS Bhakti Husada Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
(Terminal Cikarang) Medika)
vaksin via email terhadap pihak
RS dan disetujui Direktur RS.
RS Sentral Medika Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
(Jalan Industri Pasir Medika)
vaksin ke bagian pengadaan
Gembong)
barang terhadap pihak RS dan
disetujui Direktur RS.
RSIA Puspa Husada Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
(Bekasi Timur) Medika)
vaksin ke bagian pengadaan
barang terhadap pihak RS dan

9Firdaus, Rumah Sakit Pengguna Vaksin Palsu,


http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160714152353-20-144755/menkes-
umumkan-rs-penerima-vaksin-palsu-mayoritas-di-bekasi/ diakses jam 14.00 WIB ,
tanggal 11 Oktober 2016.
7

disetujui Direktur RS.


RS Karya Medika Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
(Tambun) Medika)
vaksin ke bagian pengadaan
barang terhadap pihak RS dan
disetujui Direktur RS.
RS Kartika Husada (Jl Sales Juanda (CV Azka Modus operandi tersangka
mengajukan penawaran harga
MT Haryono Setu Medika)
vaksin ke bagian pengadaan
Bekasi)
barang terhadap pihak RS dan
disetujui Direktur RS.
RS Permata (Bekasi) Sales Juanda (CV Azka Tersangka mengajukan
proposal penawaran harga
Medika)
vaksin melalui CV Azka Medical.
Kemudian dari bagian
pengadaan mengajukan
permohonan pengadaan
kepada manajer purchasing.

Dewasa ini, suatu produk untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi

secara langsung dari produsen, tapi selalu melalui berbagai jalur perantara

seperti agen, grosir, distributor, dan pedagang eceran. Keadaan ini menambah

kesulitan bagi pihak korban atau konsumen yang akan melakukan tuntutan atas

kerugian yang dideritanya. Belum lagi bila rangkaian antara produsen dan

konsumen melalui batas-batas nasional, maka permasalahan hukumnya akan

lebih kompleks, dan permasalahan semakin panjang dan rumit.

Faktor utama yang menjadi kelemahan dari konsumen adalah tingkat

kesadaran dari konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen. Hal inilah yang
8

sering dijadikan oleh produsen atau pelaku usaha untuk mendapatkan

keuntungan sepihak, Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, dimaksudkan agar menjadi landasan hukum

yang kuat bagi masyarakat agar dapat melakukan upaya pemberdayaan

konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. 10

Banyaknya terjadi kasus-kasus serta gugatan dari pihak pasien yang

melibatkan suatu rumah sakit akibat dari pasien tidak puas atau malah

dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yang

merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat.

Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin mengetahui mereka

akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut

agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan. Hal ini pula yang

menyebabkan masyarakat (pasien) tidak mau lagi menerima begitu saja cara

pengobatan yang dilakukan oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui

bagaimana tindakan medis dilakukan agar nantinya tidak menderita kerugian

akibat kesalahan dan kelalaian pihak medis.11

Melihat dari kejadian yang di alami di atas, ada hak-hak masyarakat yang

dilanggar oleh pihak lain, yang menyebabkan kerugian tidak hanya dialami oleh

perorangan, melainkan dialami oleh sejumlah besar masyarakat. Hal tersebut

sangat mungkin terjadi mengingat pelanggaran hukum dapat dilakukan oleh


10 repository.usu.ac.id, Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen atas
beredarnya makanan yang kadaluwarsa, hlm.8, diakses tanggal 7 Januari 2017

11 Soejami, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung, Citra Aditya, 1992,
hal. 9.
9

siapa saja kerugiannya tidak hanya dapat dialami oleh seseorang, akan tetapi

dapat pula dialami oleh sekelompok atau masyarakat luas, 12 oleh karena itu kini

ada beberapa jenis-jenis gugatan seperti gugatan organisasi (legal standing),

gugatan warga negara atas nama kepentingan umum (citizen lawsuit) dan

gugatan perwakilan kelompok (class action), untuk menjawab kebutuhan

masyarakat atas mekanisme gugatan perdata dalam rangka pemenuhan asas

peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Sepanjang sepengetahuan peneliti belum ada peneliti lain yang

melakukan penelitian tentang tanggung jawab Rumah Sakit Elisabeth Kota

Bekasi sebagai pelaku usaha terhadap korban vaksin palsu Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Akan

tetapi terdapat beberapa peneliti yang membahas mengenai tanggung jawab

pelaku usaha yang berjudul Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen

Jasa Dalam Pelayanan Keshatan DI Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Tasikmalaya oleh Natalia Solagracia pada Tahun 2009, tetapi hanya

menitikberatkan Perlindungan konsumen sebagai penerima manfaat jasa.

Kemudian ada juga peneliti yang membahas tentang Tinjauan Yuridis terhadap

tanggung jawab pelaku usaha penjualan obat palsu, yang ditulis oleh Rizki

Marlina Lubis pada tahun 2011.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk menyusun

sebuah usulan penelitian berjudul: TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT

12E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan
dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta, 2002, hal.1.
10

ELISABETH KOTA BEKASI SEBAGAI PELAKU USAHA TERHADAP

KORBAN VAKSIN PALSU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah Pertanggungjawaban dari Rumah Sakit Elisabeth Kota

Bekasi sebagai pelaku usaha terhadap korban vaksin palsu menurut

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?


2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh korban vaksin

palsu kepada Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi sebagai pelaku usaha?
C. Tujuan Penelitian

Penulisan Usulan Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas secara

jelas dan terperinci tentang Implementasi di lapangan mengenai pengaturan

hukum terhadap peredaran vaksin palsu dengan beserta penerapan

penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh konsumen yang merasa

dirugikan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

memahami :

1. Pertanggungjawaban dari Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi sebagai

pelaku usaha terhadap korban vaksin palsu menurut Undang-Undang Nomor

8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


2. Upaya hukum bagi korban vaksin palsu kepada RumahSsakit Elisabeth

Kota Bekasi sebagai pelaku usaha?


D. Kegunaan Penelitian

Dua nilai guna yang diharapkan dapat tercapai dari penelitian ini, yaitu:

1. Teoritis, memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan, sebagai

bahan bacaan bagi para pihak dalam meningkatkan pemahaman dan


11

wawasan keilmuan di bidang hukum perlindungan konsumen, khususnya

bentuk perlindungan konsumen dalam penerapannya apabila pihak

konsumen merasa dirugikan dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh

konsumen.
2. Praktis, memberikan informasi dan wawasan yang bermanfaat untuk

beberapa elemen, di antaranya yaitu :


a. Masyarakat, yaitu Masyarakat umum yang mempunyai hak dalam

perlindungan hukum.
b. Pemerintah, LembagaLembaga pemerintah yang terkait atau

berhubungan langsung dengan vaksin , misalnya Kementerian

Kesehatan, Departemen Kesehatan, dan lain sebagainya.


c. Lembaga-lembaga Terkait, misalnya Yayasan perlindungan konsumen,

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Yayasan Lembaga

Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya


E. Kerangka Pemikiran

Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum yang berkeadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti

yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia.

Tujuan dari fungsi hukum Indonesia itu bukanlah sekedar memelihara

ketertiban, keamanan dan stabilisasi masyarakat dalam arti to keep the peace

at all events and any price, akan tetapi lebih diarahkan pada cita-cita untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik dalam arti masyarakat

sebagai kesatuan maupun untuk mencapai kesejahteraan bagi setiap warga

negara Indonesia, sebagaimana untuk mencapai kesejahteraan bagi setiap


12

warga negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD

1945. Tanpa perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, maka

kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan akan sulit untuk diwujudkan. 13

Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang

tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum

dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.

Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan

dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga

tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara

sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi

terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.14

Az Nasution mendefinisikan sengketa konsumen sebagai berikut : Setiap

perselisihan antara konsumen dan penyedia prdouk konsumen (barang atau

jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk

konsumen tertentu.15 ika dilihat dari hubungan konsumen secara individu

(perlindungan hukumannya) dengan pelaku usaha (tanggung jawab

hukumannya), maka keduanya merupakan suatu hubungannya perdata karena

hubungan tersebut lebih dilihat dari segi hukum perdata seperti masalah ganti

13 Sunayarti Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta


Bandung,1998, hlm. 17

14 Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm. 43

15 Az Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm.
178
13

rugi dimana konsumen menuntut produsen karena merasa dirugikan baik

materil maupun moril suatu produk barabf/jasa, membahayakan keamanan,

kesehatan dan keselamatan dirinya.

Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan di dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen secara mendasar, mempunyai perbedaan dengan

pengaturan tanggung jawab dalam KUHPerdata. Menurut KUHPerdata bahwa

tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi didapat setelah

konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang

timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha . Sedangkan dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban sebaliknya, dimana

pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita

konsumen bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian dari pelaku usaha,

sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukkan dalil

kerugian tersebut, dan inilah yang dikenal tanggung jawab mutlak. 16

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah,

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung,

memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan

jawab dan menanggung akibatnya. 17 Tanggung jawab Hukum adalah kesadaran

manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak

16 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjuan tentang Permasalahan Hukum, Aditya Citra


Bakti Bandung, 1997, hlm, 22

17 www.wikipidie.com diakses pada tanggal 7 februari 2017


14

disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran

akan kewajibannya.18

Tuntutan ganti rugi tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan

atas dasar perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yaitu dalam pasal 1365 yang berbunyi: Setiap perbuatan

melawan hukum, yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain,

mewajibkan orang karena kesalahnnya menyebabkan kerugian itu, mengganti

kerugian.

Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan

hukum, hubungan tidaklah disyaratkan.Dengan kualifikasi gugaatan ini,

konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur:

1. adanya perbuatan melawan hukum.


2. adanya kesalahan/kelalian pengusaha/perusahaan.
3. adanya kerugian yang dialami konsumen.
4. Adanya hubungan kasual antara perbuatan melawan hukum dengan

kerugian yang dialami konsumen.19


Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan

konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk

meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta

untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut

sebagai konsekuensi hukum dari ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh


18 Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan:
Pasca Sarjana, 2008, hlm. 4

19 Yusuf shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen Hukumnya, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2003, hlm. 251
15

UUPK No. 8 Tahun 1999 dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku

usaha dan konsumen.

Dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Penjelasan undang-

undang: Pelak usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,

kooporasi, BUMN, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain. 20 Pengertian

pelaku usaha yang bermakna sedemikian luas tersebut bertujuan untuk

memudahkan konsumen dalam menuntut ganti kerugian. Konsumen yang

dirugikan akibat mengkonsumsi suatu produk tidak akan begitu kesulitan dalam

menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat

digugat.21

Pada dewasa ini di Indonesia dengan perkembangan perekonomian

dunia, tampaknya semkain banyak gugatan yang menggunakan prosedur class

action yang diajukan di beberapa pengadilan negri dengan berbagai variasi

alasan yang menjadi landasan gugatan, oleh karena itu, kebutuhan informasi

20 Az. Nasution, Hukum Perkindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,


Jakarta, 2011, hlm .32.

21 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op,cit, hlm.9.


16

serta perkembangan tentang gugatan class action yang bersifat praktis kini

sangat dirasakan kebutuhannya.

Untuk kepentingan efesiensi dan efektifitas berpekara pelanggaran hukum

sebagaimana dimaksud di atas sudah waktunya diperkenalkan mekanisme

class action dalam sistem peradilan di Indoenia. Class Action atau gugatan

perwakilan kelompok merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata

yang memberikan hak prosedural terhadap satu atau sejumlah orang (jumlah

yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan

kepentingan para pengugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan

ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami

persamaan penderitaan atau kerugian orang (tunggal) atau orang yang lebih

dari satu (jamak), yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas

(Class Representative), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya

disebut sebagai Class Members.22

Mewakili dan mengkoordinasi kepentingan sekian banyak orang bukanlah

sesuatu yang mudah. Apalagi sangat dimungkinkan para pengugat tidak tinggal

berdiam pada satu wilayah melainkan menyebar di wilayah yang menyulitkan

wakil untuk menyampaikan informasi-informasi penting dalam kasus yang

tengah diajukan. Penyampaian informasi terhadap orang-orang yang jauh

tempat tinggalnya memakan biaya yang cukup besar dan akan ditanggung oleh

22 Ahmad Santosa, Amanda Cornwal, Sulaiman N Sembiring, Boedi Wijardjo.


Pedoman Pengunaan Gugatan Perwakilan (Class Actions). Jakarta 1999, Hal 1.
17

wakil kelas. Wakil kelas juga bertanggung jawab terhadap anggota kelas dan

juga Pengadilan.23

Dalam menggunakan dan menyikapi prosedur gugatan ini, belum semua

praktisi hukum memahami aspek teknis penerapan prosedur gugatan Class

Action (Perwakilan Kelompok), karena prosedur Class Action belum ada

pedoman tentang cara beracara ataupun pedoman teknis penerapannya di

Pengadilan. Tidak adanya Undang-Undang atau pun peraturan lain yang

mengatur tentang prosedur gugatan Class Action (perwakilan kelompok) selain

dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang

Mekanisme acara gugatan perwakilan kelompok. 24

Pada prinsipnya gugatan Class Action merupakan salah satu prosedur

penggabungan gugatan di pengadilan yang terdiri dari banyak orang untuk

mengajukan gugatan yang mensyaratkan satu orang atau lebih mewakili

kelompok yang mengajukan gugatan. Gugatan yang diajukan selain untuk

dirinya sendiri, sekaligus mewakili kelompok orang yang mewakili kesamaan

fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota

kelompoknya.25

23 Badriyah Harun, Aryya Wyagr Katama, Tata Cara Pengajuan Class Actions
(gugatan kelompok masyarakat). Pustaka Yustisia 2009, Hal. 8.

24 Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.


ICEL, Jakarta, 1997, hlm 5.

25 Badriyah Harun, Aryya Wyagr Katama. Op. Cit. Hal 6.


18

Di Indonesia gugatan Perwakilan kelompok secara materil baru diatur

sejak tahun 1997 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diikuti dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan

pengaturan mengenai prosedur gugatnnya baru diatur pada tahun 2002 melalui

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.

Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Republik

Indonesia disebutkan bahwa: gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata

cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili

kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan

sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya dan anggota kelompok

yang dimaksud.26

Adapun Landasan hukum dari Acara gugatan class action (Perwakilan

Kelompok) di Indonesia belum diatur dalam Hukum Acara Perdata, tetapi

pengakuan secara hukum adanya gugatan class action telah diakui dan diatur

dalam :

1. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, mengatur hak masyarakat dan organisasi lingkungan

hidup untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok maupun

26 Perma No. 1 Tahun 2002 Tentang tata cara gugatan perwakilan kelompok.
19

gugatankelompok ke pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan

hidup yang merugikan peri kehidupan masyarakat.


2. Dalam Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, mengatur gugatan secara kelompok, bahwa

gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :


a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya

organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen

dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.


d. Pemerintah dan/atau instansi yang terkait apabila barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang

besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan

Kelompok disebutkan bahwa: gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu Tata

Cara Pengajuan Gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili

kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan

sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili

kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota

kelompok dimaksud.

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
20

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis

normatif, yaitu metode pendekatan yang mengunakan konsep legal positif.

Berdasarkan konsep ini, hukum dipandang identik dengan norma-norma

tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga suatu sistem normatif yang

otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata. 27

2. Sepesifkasi penelitian

Peneliti menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian deskriptif

dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pengambilan data dilakukan melalui

data dokumen bersifat kepustakaan.28 Secara harfiah penelitian deskriptif

adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai situasi-

situasi atau kejadian-kejadian secara sistematis, faktual dan akurat.

3. Tahapan Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menulusuri data

sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier, yakin:


1) Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek

yang diteliti:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

27 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia


Indonesia Jakarta, 1994, hlm.12

28 Jonathan Saworno, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006,
hlm. 18.
21

b) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;
c) Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan;
d) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang

Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;


2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas

buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang

berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, kasus-kasus hukum.


3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan

lain-lain.
4. Teknik Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan (Library research)

Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang digunakan, maka peneliti

melakukan penelitian kepustakaan (library research), terhadap peraturan

perundang-undangan.Studi kepustakaan juga meliputi bahan- bahan hukum

sekunder berupa literatur, hasil penelitian, mempelajari buku wajib maupun

bahan-bahan hasil perkuliahan serta peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan berhubungan dengan materi pembahasan guna memperoleh

gambaran secara teoritis dan sistematis. Untuk melengkapi dapat digunakan

bahan hukum tersier berupa kamus dan ensikolpedia. Teknik pengumpulan

data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen untuk

mengumpulkan data sekunder.

b. Penelitan Lapangan
22

Merupakan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data primer

yang diperoleh melalui wawancara dengan bagian Biro Komunikasi dan

Pelayanan Masyarakat dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Komisi IX Dewan Perwakilan

Rakyat, bagian Humas dari kepala Yayasan Lembaga Konsumen Indoneisa,

Kepala Yayasan Lembaga Bantun Hukum Indonesia, Biro Hukum dan

Hubungan Masyarakat Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Orang Tua

Korban, Rumah Sakit Swasta (Rumah Sakit Elisabeth).

5. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif,

yaitu berdasarkan:29

a Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan

Perundang-Undangan;
b Memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan;
c Mewujudkan kepastian hukum
d Mencari hukum yang hidup di masyarakat (The Living Law) baik tertulis

maupun tidak tertulis.

Data yang telah dikumpulkan baik itu data sekunder maupun data primer,

keseluruhannya akan di anlaisis berdasarkan analisis normatif kualitatif, karena

penelitian ini bertitik tolak pada peraturan perundang-undangan yang relevan

sebagai norma hukum positif, serta data lapangan digunakan sebagai data

29 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm. 52.
23

penunjang bagi serta kepustakaan Kualitatif yaitu tanpa menggunakan angka,

rumus statistik, dan matematik.30

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti ,hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan akademis

hukum, dan beberapa pendapat ahli terkemuka serta lain sebagainya.

6. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka Penelitian antara lain

dilakukan di Jakarta,Bekasi,dan Bandung:

1) Pusat Sumber Daya Informasi Ilmiah dan Perpustakaan atau Center of

Information Scientific Resource and Library (CISRAL), jalan raya

Bandung Sumedang KM. 21, Jawa Barat.


2) Perpustakaan Hukum Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran, jalan Dipati Ukur nomor 35 Kota Bandung;


3) Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran, jalan Progo nomor 17

Kota Bandung;
4) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia JL. Pancoran Barat VII No.1

Duren Tiga Pancoran Jakarta Selatan Daerah Khsusus Ibukota Jakarta.

30 Lili Rasjidi, Menggunakan Teori / Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu


Hukum,Monograf, Bandung, 2007,hlm.7
24

baginya dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung

jawab.

Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen umumnya dapat

dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu: 31

a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau

jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf c);

31 Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 9


25

b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur

kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan

informasi itu (Pasal 3 huruf d);


c) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab (Pasal 3

huruf e).
d) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


e) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;


Pada hakikatnya, perlindungan konsumen keberpihakan kepada

kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen

menurut Resolusi perserikatan bangsa-Bangsa Nomor 39/284 tentang

Guidelines for Consumer Protection, sebagai berikut:32


a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi

lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi

tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

32 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm. 115
26

2. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. 33 Konsumen

pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan

kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang

untuk dipakai dan tidak untuk di perdagangkan atau diperjualbelikan lagi. 34

Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 undang -undang Perlindungan Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.


Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian

konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti rugi. Di Amerika

serikat, pengertian konsumen meliputi korban produk cacat yang bukan hanya

meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai,

bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama

dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian

konsumen berdasarkan Product Liability Directive (selanjutnya disebut

Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan

mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut

yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian

33 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm. 22

34 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 2010, hlm. 17
27

(karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain

produk yang cacat itu sendiri.35


Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli

hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai

produksi terakhir dari benda dan jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin

membedakan antara konsumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan

konsumen pemakai akhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria

itu, sedangkan konsumen pemakai dalam arti sempit hanya mengacu pada

konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah

konsumen yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya. 36


a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai

hak konsumen. Hak konsumen adalah :


1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;


2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;


4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

35 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,


Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 21

36 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari


Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 61-62
28

6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;


7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;


9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 undang-undang

Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen

sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika serikat J.F.

Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang terdiri dari: 37

a. hak memperoleh keamanan;


b. hak memilih;
c. hak mendapat informasi;
d. hak untuk didengar.

Selain hak konsumen, kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 5

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:

1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 39
29

4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.
Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada

saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha). 38


Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah

kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,

sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam

perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih

banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan. 39


Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak

konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika

konsumen mengikuti penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja

38 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid, hlm. 49

39 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid, hlm. 49


30

kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti

oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha. 40


3. Pelaku Usaha/Produsen
a. Pengertian Pelaku Usaha

Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam

bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Produsen sering

diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam

pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer

profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang

dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, produsen

tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk

saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk

hingga sampai ke tangan konsumen.41

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang

termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,

40 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid, hlm. 50

41 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung Citra:


Aditya Bakti, 2010, hlm. 16 40 Pasal 3 angka 1.
31

importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. 42Pengertian pelaku usaha yang

bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti

kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu

kesulitan dalam menemukan kepada siap tuntutan diajukan karena banyak

pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya Undang-

Undang Perlindungan Konsumen memberikan rincian sebagaimana dalam

Directive. Pasal 3 Directive ditentukan bahwa:43

1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan

mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang

memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada

produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;


2. Tanpa mengurangi tanggung jawab produsen, maka setiap orang yang

mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing,

atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha peredarannya dalam

masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti

Directive ini, dan akan bertanggung jawab sebagai produsen;


3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap

leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia

memberitahukanorang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak

terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan

produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus

42 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid, hlm. 41

43 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 9
32

barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak

menunjukkan identitas impor sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2),

sekalipun nama produsen dicantumkan.

Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat undang-

undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan

Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan

pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku

usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut

adalah sebagai berikut:44

a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai

berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak,

penyedia dana lainnya, dan sebagainya;


b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan

baku,bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka

terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan

yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan

pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa

angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan

obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya;


c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,

44 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Bogor:


Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 11
33

seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,

supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha

angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang

harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang

ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama

seperti seorang produsen.45 Meskipun demikian konsumen dan pelaku usaha

ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya yang berbeda. 46

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha

mempunyai hak sebagai berikut:


1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;


3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;


4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

45 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 2010, hlm. 17

46 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. hlm. 21
34

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa

yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut

harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.

Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya

lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati

harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini

adalah harga yang wajar.47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak

pelaku usaha saja, tetapi juga mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku

usaha, antara lain:

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;


3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

47 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:


Rajawali Pers, 2010, hlm. 51
35

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;


6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan

beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi

konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian

barang dan/atau jasa.48

c. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Perbuatan yang dilarang memilik makna adanya suatu bentuk perbuatan

atau aktivitas tertentu yang akan mengakibatkan pelanggaran hukum apabila

perbuatan atau aktivitas tersebut dilakukan. Perbuatan yang dilarang bagi

pelaku usaha bertujuan untuk melindungi konsumen dari timbulnya suatu

kerugian dan untuk melindungi pelaku usaha dari terhindarnya hukuman atas

suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.


Perbuatan yang dilarang dimaksud merupakan perbuatan yang dilarang

berdasarkan Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, yaitu:


1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar

yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

48 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hlm. 54


36

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang

tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;


4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;


5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;


6. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;


7. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang dimaksud;


8. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar;


d. Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang kemudian

terbentuk beberapa kata seperti bertanggung jawab,

mempertanggungjawabkan dan pertanggungjawaban. Dalam ilmu hukum

ada dikenal dua macam tanggung jawab, pertama adalah tanggung jawab

dalam arti sempit, yaitu tanggung jawab tanpa sanksi, dan yang kedua

tanggung jawab da;am arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi.
1. Prinsip Tanggung Jawab
37

Dalam ilmu hukum setidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab yang

dikenal yaitu:
a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on flight

liability based on fault pinciple), yaitu: Tanggung jawab atas dasar

kesalahan adanya prinsip umum dianut. Prinsip ini menyatakan

seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika terdapat kesalahan yang di lakukaannya. Tanggung jawab

atas dasar kesalahan ini pembuktiannya harus di lakukan oleh

penggugat (Pihak yang dirugikan).


b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of

liability principle). Prinsip praduga yang dimaksud kemudian oleh

beberapa pakar dikategorikan kepada dua macam, yaitu prinsip

praduga untuk selalu bertanggung jawab, yakni prinsip yang

menyatakan bahwa tergugat selalu di anggap bertanggung jawab,

sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dasar

pemikiran dari teori pembuktian beban pembuktian adalah seseorang

dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

sebaliknnya. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup

relevan. Jika teori digunakan, maka bebas pembuktiannya ada pada

pelaku usaha sebagai tergugat. Namun demikian tidak berarti

konsumen selalu dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha

dengan sesuka hati, karena posisi konsumen selaku penggugat tetap


38

terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha apabila ia gagal

menunjukan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Bagian lain dari

prinsip praduga adalah prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung

jawab. Prinsip ini kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu

bertanggung jawab.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, strict liability absolute

liability principle). Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggung jawab

tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa

yang bersalah, tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai

sesuatu yang tidak relevan untuk dipermsalahakan apakah pada

hakikatnya ada atau tidak. 49 Namun demikian hal ini tidak dapat

selama diterapkan seacara mutlak karena dalam tanggung jawab

mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan

tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksudkan

antara lain adalah keadaan Force majure, atau suatu kondisi terpaksa

yang terjadi karena keadaaan alam dan tidak mungkin untuk dihindari.

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha

mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha adalah: 50

49 Endang Saefullah , Op, Cit, hlm. 33

50 Op, cit, Pasal 19


39

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.


b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-sundangan yang berlaku.


c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.


d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana

berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan.
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa


51
tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;


2. Tanggung jawab kerugian atas pencemaran;
3. Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang

cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku


51 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hlm. 126
40

usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala

kerugian yang dialami konsumen.52

e. Hubungan antara Konsumen dan Pelaku Usaha

Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha

dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan

yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan mana terjadi karena

adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen.

Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen

karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang

cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.53

Produsen membutuhkan dan begantung kepada dukungan konsumen

sebagai pelanggaran, di mana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak

mungkin pelaku usaha dapat menjamin kelangungan usahanya, sebaliknya

konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling

ketergantungan kebutuhan tersebut di atas dapat menciptakan suatu hubungan

yang terus dan kerkesinambungan sepanjang masa. Hubungan hukum antara

produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak produksi,

distribusi, pemasaran dan penawaran. 54

Secara individu hubungan hukum konsumen antara konsumen dengan

52Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid, hlm. 126

53Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 1996), hlm.


23.

54 Basu Swastia dan Irawab, Manajemen Modern, Grafika, Yogjakarta, 1997, hlm, 25.
41

pelaku usaha adalah bersifat keperdataan, yaitu karnea perjanjian jual beli,

sewa beli, penitipan dan sebagainya. Namun oleh karena produk yang

dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak,

maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha

tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki

bidang hukum politik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan

sebagainya.

Dari hubungan hukum secara individu antara konsumen dengan pelaku

usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam

perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut:

a. Let the Buyer Beware (careat emptor)


Doktrin ini berasumsi bahwa antara pelaku usaha dan konsumen adalah dua
pihak yang sangat seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun
bagi konsumen . Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli
keperdataan yang wajib berhati-hari adalam pembeli (konsumen). Dengan
demikian akan menjadikan kesalahan dan tanggungjawab konsumen itu
sendiri bila ia sampai membeli mengkonsumsi produk tidak layak. Doktrin
ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen.
b. The Due Care Theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun
jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat di
persalahkan bila terjadi kerugian yang di derita oleh konsumen. Jika
ditafsirkan secara a contario , maka untuk menyalahkan pelaku usaha,
seseorang konsumen harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha
tersebut telah melanggar prinsip-prinisp kehati-hatian.
c. The Privity of Contract
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
42

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara
telah terjadi suatuhubungan kontarktua. Pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan atas hal-hal di luar yang telah diperjanjikan, artinya
konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi
(contractual liability)
4. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberika dua macam ruang

untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa

konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan.

Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, setiap konsumen yang dirugikan

dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan

sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan yang

berada di lingkungan peradilan umum.

Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa,

penyelsaian sengketa konsumen di luar pengadilan di selenggarakan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau

mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau

tidak akan terualang kembali kerugian yang di derita oleh konsumen.

Penjelasan pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan

bahwa, bentuk jaminan yang di maksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis

yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah

merugikan konsumen tersebut.

Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-Undang


43

Perlindungan Konsumen tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar

oengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika, dan

2. Penyelesaian tuntutan ganti rugi kerugian melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen.

Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelsaikan sengketa

konsumen, yaitu:

a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui tuntutan seketika, dan

c. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengkat

dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tunutuan seketika

wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak.

Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah

penyelesaian dengan cara ksesepakatan gagal, kalau sudah menempuh cara

pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen.55

55 Janus Sidabalok, op,cit. Hlm. 145


44

BAB III

PERKEMBANGAN MENGENAI PEREDARAN VAKSIN SECARA LEGAL

DAN ILEGAL DI RUMAH SAKIT ELISABETH KOTA BEKASI

A. Tinjauan Umum Mengenai Vaksin


1. Sejarah Vaksin

Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi).

Edward Jenner sedang menyuntikkan vaksin Dunia sudah selayaknya

mengucapkan terima kasih untuk pionir-pionir seperti Jenner dan

Pasteur.Mereka telah menemukan vaksin yang mencegah tingginya angka

kesakitan dan kematian.Namun demikian, kondisi masih memprihatinkan,

bahkan dirasakan tragis, karena menurut laporan Badan Kesehatan Dunia

(WHO), hampir dua juta anak-anak masih menjadi korban penyakit tiap tahun.

Menutup tahun-tahun pada abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 ditandai
45

dengan munculnya achievements of great vaccine scientist seperti Pasteur.

Sejak Jenner vaccinia200 tahun yang lalu diperkenalkan, sembilan penyakit

utama manusia telah dapat dikendalikan dengan penggunaan vaksin: smallpox

(1798), rabies (1885), plague (1897), difteri (1923), pertusis (1926),

tuberculosis/BCG (1927), tetanus (1927), dan yellow fever (1935).Beberapa

vaksin digunakan secara individu di daerah dengan resiko penyakit seperti

rabies dan plague, tetapi tidak pernah digunakan secara sistematis dalam skala

global.Antara lain pada vaksin BCG pada tanggal 24 April 1927, dokter Albert

Calmette dan seorang peneliti bernama Camille Guerin berhasil menemukan

vaksin untuk mengobati penyakit TBC, yang dinamakan vaksin bacillus

calmette guerin (BCG).

2. Pengertian Vaksin

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan

kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau

mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar. definisi vaksin

menurut pasal 1 ayat 2 Peraturan menteri kesehatan nomor 42 tahun 2013

yaitu :

Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih


hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah,
berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein
rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan

sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme


46

mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus,

dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan

untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus,

atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-

sel degeneratif (kanker).Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem

imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi

tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.Ada beberapa

jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi

reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit. Ketika seorang individu

divaksinasi terhadap penyakit atau infeksi, mengatakan difterinya sistem

kekebalan tubuh siap untuk melawan infeksi.Setelah divaksinasi ketika orang

terkena bakteri yang menyebabkan tubuh persneling untuk melawan infeksi.

Vaksin memanfaatkan kemampuan alami tubuh untuk belajar bagaimana untuk

menghilangkan hampir semua penyebab penyakit kuman, atau mikroba, yang

menyerang itu.Setelah divaksinasi tubuh "mengingat" bagaimana melindungi

diri dari mikroba yang dialami sebelumnya,

3. Jenis-Jenis Vaksin
a. Vaksin Toksoid

Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan

penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah.Bahan

bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman.Hasil pembuatan bahan

toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu
47

merangsang terbentuknya antibodi antitoksin.Imunisasi bakteri toksoid efektif

selamasatu tahun.Contoh :Vaksin Difteri dan Tetanus

b. Vaksin Acellular dan Subunit

Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan

melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin

vektor virus dan vaksin antiidiotipe.Contoh:Vaksin Hepatitis B, Vaksin Hemofilus

Influenza tipe b (Hib) dan Vaksin Influenza.

c. Vaksin Idiotipe

Vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen

binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam

amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat

bertindak sebagai antigen.Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus

melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.

d. Vaksin Rekombinan

Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah

besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau

eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan

baculovirus.Dengan teknologi DNA rekombinan selain dihasilkan vaksin protein

juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk membawa

gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen

dari berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi

hewan dengan vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik.

Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan-epitop organisme


48

yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan

penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.

e. Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)

Vaksin dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki

potensi dalam menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu

dari mikroba diklon ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk

meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah

disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak

berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen

yang dikodenya. Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida

yang bersifat imunostimulan yang akan menginduksi imunitas seluler. Vaksin ini

berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigenyang patogen

dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian

pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri)

merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat,sedangkan penelitian

klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan.

f. Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B dapat mencegah penyakit Hepatitis B dan berbagai

komplikasinya yang serius yaitu sirosis dan kanker.Vaksinasi Hepatitis B dibuat

dari bagian virus, bukan seluruh virus tersebut sehingga vaksin hepatitis tidak

dapat menimbulkan penyakit hepatitis. Vaksin Hepatitis B diberikan 4 serial,

pemberian serial ini memberikan efek proteksi jangka panjang bahkan seumur

hidup.
g. Vaksin Pneumokokus
49

Persatuan kesehatan sedunia menempatkan penyakit Pneumokokus

yaitu penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin sebagai penyebab no.1

kematian anak-anak di bawah umur 5 tahun di seluruh dunia.

Bakteri Pneumonia (Pneumokokus) dapat menyebabkan penyakit

Pneumokokus. Biasanya ditemukan di dalam saluran pernafasan anak-anak

yang disebarkan melalui batuk atau bersin.Kini terdapat lebih dari 90 jenis

Pneumokokus yang diketahui, namun hanya lebih kurang 10% yang bisa

menyebabkan penyakit yang serius di seluruh dunia. Jenis 19A adalah bakteri

yang muncul di dunia dan dapat menyebabkan penyakit pneumokokus yang

sangat serius dan resisten terhadap antibiotik. Pneumokokus menyerang

beberapa bagian tubuh yang berbeda, diantaranya adalah:

Meningitis (Radang selaput otak)

Bakteremia (infeksi dalam darah)

Pneumonia (infeksi Paru-paru)

Otitis Media (infeksi Telinga)

Penyakit Pnemokokus sangat serius dan dapat menyebabkan kerusakan

otak, ketulian, dan kematian.

4. Manfaat Vaksin
Dalam hal penyakit, lebih bijaksana untuk mencegah daripada

mengobati.Salah satu caranya adalah dengan memberikan vaksinasi.Vaksinasi

sangat membantu untuk mencegahpenyakit-penyakit infeksi yang menular baik

karena virus atau bakteri, misalnya polio, campak, difteri, pertusis (batuk rejan),
50

rubella (campak Jerman), meningitis, tetanus, Haemophilus influenzae tipe b

(Hib), hepatitis, dan lain-lain.

Sebenarnya setiap anak lahir dengan sistem kekebalan penuh terdiri dari

sel, kelenjar, organ, dan cairan yang berada di seluruh tubuhnya untuk

melawan bakteri dan virus yang menyerang.Sistem kekebalan mengenali

kuman yang memasuki tubuh sebagai penjajah asing, atau antigen, dan

menghasilkan zat protein yang disebut antibodi untuk melawan mereka.Suatu

sistem kekebalan tubuh yang sehat dan normal memiliki kemampuan untuk

menghasilkan jutaan antibodi untuk membela serangan terhadap ribuan antigen

setiap hari.Mereka melakukannya-secara alami sampai-sampai orang bahkan

tidak menyadari mereka sedang diserang dan membela diri. Ketika serangan

sudah terlalu banyak dan tubuh tidak mampu bertahan, barulah orang akan

merasakan sakit atau berbagai gejala penyakit. Banyak antibodi akan

menghilang ketika mereka telah menghancurkan antigen menyerang, tetapi sel-

sel yang terlibat dalam produksi antibodi akan bertahan dan menjadi sel

memori. Sel memori ini dapat mengingat antigen asli dan kemudian

mempertahankan diri ketika antigen yang sama mencoba untuk kembali

menginfeksi seseorang, bahkan setelah beberapa dekade kemudian.

Perlindungan ini disebut imunitas.

Vaksin mengandung antigen yang sama atau bagian dari antigen yang

menyebabkan penyakit, tetapi antigen dalam vaksin adalah dalam

keadaan sudah dibunuh atau sangat lemah. Ketika mereka yang disuntikkan ke

dalam jaringan lemak atau otot, antigen vaksin tidak cukup kuat untuk
51

menghasilkan gejala dan tanda-tanda penyakit, tetapi cukup kuat bagi sistem

imun untuk menghasilkan antibodi terhadap mereka. Sel-sel memori yang

menetap akan mencegah infeksi ulang ketika mereka kembali lagi berhadapan

dengan antigen penyebab penyakit yang sama di waktu-waktu yang akan

datang. Dengan demikian, melalui vaksinasi, anak-anak mengembangkan

kekebalan tubuh terhadap penyakit yang mestinya bisa dicegah. Namun perlu

juga diingat bahwa karena vaksin berupa antigen, walaupun sudah dilemahkan,

jika daya tahan anak atau host sedang lemah, mungkin bisa juga menyebabkan

penyakit. Karena itu pastikan anak/host dalam keadaan sehat ketika akan

divaksinasi. Jika sedang demam atau sakit, sebaiknya ditunda dulu untuk

imunisasi/vaksinasi.

B. Profil Singkat RumahSsakit Elisabeth Kota Bekasi Bekasi

RS Elisabeth Bekasi adalah rumah sakit swasta yang didirikan oleh

suster-suster Ordo Santo Fransiskus pada tahun 2000. Pembangunan fisik

dimulai tahun 2002 dan selesai tahun 2004. Bentuk awal masih berbentuk

PBDS (Praktek Bersama Dokter Spesialis) dengan nama PPKE (Perhimpunan

Pelayanan Kesehatan St. Elisabeth) diresmikan walikota Bekasi pada tanggal

14 Juli 2004. Rencana awal pembangunan fisik gedung direncanakan untuk 8

lantai tetapi tidak mendapat izin dari Dinas Tata kota Bekasi karena peraturan

daerah saat itu yang melarang pembangunan gedung bertingkat lebih dari 3

lantai. Yayasan kemudian membangun gedung bertingkat 4 tetapi dengan

membangun lantai basement sehingga tidak dianggap melanggar peraturan

daerah. Lantai basement yang semula direncanakan sebagai tempat parkir


52

kendaraan karyawan dialihfungsikan menjadi kantor, aula dan ruang makan

karyawan serta kantin umum.

Perhimpunan Pelayanan Kesehatan St. Elisabeth (PPKE) berkembang

menjadi RS Elisabeth Bekasi dan diresmikan Kepala Dinas Kesehatan Kota

Bekasi pada tanggal 2 Februari 2006 dengan keluarnya izin operasional

tertanggal 30 januari 2006. Tanggal 30 Januari dirayakan sebagai hari jadi RS

Elisabeth Bekasi.Rumah Sakit ini adalah rumah sakit swasta yang status

kepemilikannya dimiliki oleh Yayasan Rumah Sakit Santa Elisabeth Bekasi.

a. Lokasi

Lokasi RSE terletak di Jalan Raya Narogong 202 Kemang Pratama

Kelurahan Bojong Rawalumbu Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi. Bagian

depan RS berbatasan dengan rumah-rumah penduduk, sebelah kiri berbatasan

dengan gang Pabuhari, sebelah kanan berbatasan dengan kompleks sekolah

Marsudirini, sebelah belakang berbatasan degan kompleks biara suster-suster

Ordo Santo Fransiskus.

b. Visi, Misi, Motto dan Tujuan

Visi

Menjadi tanda dan sarana kehadiran cinta Tuhan serta belas kasih NYA yang

menyelamatkan.

Misi
53

1. Memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional dengan penuh

keramahan dan persaudaraan.


2. Mengutamakan kebutuhan pasien tanpa membedakan suku, bangsa,

agama dan kepercayaan, status dan golongan, serta terbuka menerima

mereka yang miskin dan lemah.


3. Memberikan pelayanan secara holistik.
c. Tujuan
"Kesembuhan dalam iman" :
1. Sebagai rumah sakit berlandaskan iman Katolik, maka pelayanan yang

diberikan di RSSEB berupa pelayanan holistik yang mengedepankan nilai-

nilai keagamaan.
2. Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi adalah rumah sakit yang

mengedepankan pelayanan manusiawi penuh kasih berlandaskan ajaran

agama Katolik yang dianut oleh suster-suster pendirinya. Setiap pasien

diharapkan mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan

dengan senantiasa berharap kesembuhan atas bantuan Tuhan Yang

Maha Esa.
3. Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi memiliki pelayanan khusus yang

dikenal dengan "Pastoral Care" dimana setiap pasien rawat inap

mendapat pelayanan doa sesuai agama yang dianut oleh pasien. Setiap

pasien rawat inap disediakan buku khusus berisi doa singkat tentang

permohonan kesembuhan sesuai agama masing-masing. Khusus bagi

pasien beragama Katolik setiap pagi akan dikunjungi oleh suster

penanggung jawab "Pastoral Care" untuk menerima komuni.


4. Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi memiliki Dewan Pelindung yang

diketuai oleh seorang pemuka agama Katolik ( Pastor ). Dewan Pelindung

berada dibawah langsung Keuskupan Agung Jakarta dan bertugas


54

menyusun Pedoman Etik berdasarkan ajaran agama Katolik dimana salah

satu ajarannya adalah menjunjung tinggi nilai kehidupanyang dalam hal ini

dituangkan dalam aturan larangan melaksanakan pelayanan operasi

tubektomi dan vasektomi kecuali atas indikasi mutlak menyebabkan

kematian ibu.
d. Struktur Organisasi RS Elisabeth Bekasi
Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi memiliki ciri yang berbeda

dengan rumah sakit lain karena adanya Direktur Utama dan Direktur

Eksekutif. Direktur Eksekutif dipegang oleh Suster yang dipilih oleh

Yayasan dan Direktur Utama adalah dokter S2 KARS.


Gambar 2.1. Struktur Organisasi

Sumber: Bagian Sekretariat Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi

C. Prosedur Regulasi Vaksin Legal atau Asli


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Imunisasi, sarana kesehatan hanya bisa mengambil vaksin


55

dari jalur resmi, yaitu dari produsen dan distributor vaksin yang sudah terdaftar

di Kementerian Republik Indonesia, sesuai dalam pasal 13 ayat (1),


Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan logistik untuk
penyelenggaraan imunisasi wajib.

Pemerintah pusat memberi wewenang dalam hal penyediaAn vaksin melalui


Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang produksi vaksin, sesuai
pada pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 ,

Dalam rangka penyediaan vaksin, Menteri dapat menugaskan Badan


Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang produksi vaksin untuk
memenuhi kebutuhan vaksin sesuai dengan perencanaan nasional.

Jalur resmi atau legal dari pendistribusian vaksin di mulai dari produsen

resmi yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan selanjutnya disalurkan ke

distributor resmi, ke dinas kesehatan provinsi/kabupaten dan yang terakhir ke

Rumah sakit pemerintah, dan swasta. Pasal 18 Peraturan kementerian

kesehatan nomor 42 tahun 2013 telah menjelasakan mengenai pendistribusi

vaksin resmi sebagai berikut:

Pendistribusian vaksin harus dilakukan sesuai cara distribusi yang baik


untuk menjamin kualitas vaksin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

D. Prosedur Regulasi Vaksin Ilegal atau Palsu


56

d. Kasus Dugaan Penyimpangan Praktik Peredaran Vaksin Palsu di Rumah

Sakit Elisabeth Kota Bekasi

Kasus vaksin palsu yang akhir-akhir ini menjadi berita dan menimbulkan

gejolak bermula karena adanya keluhan masyarakat yang mengaku balita

mereka tetap sakit meski sudah divaksin. Hal tersebut yang menyebabkan

Polisi untuk melakukan penyelidikan. Diawali dengan ditemukannya vaksin

palsu tersebut di Apotek AM di Bekasi, Jawa Barat pada Kamis 16 Mei 2016.

Polisi akhirnya menahan J, selaku distributor.Penyelidikan akan kasus ini

berkembang hingga akhirnya dilakukan penangkapan terhadap para pelaku,

mulai dari distributor hingga kurir.56

Pada akhirnya pada Kamis tanggal 14 Juli 2016 bertempat di Kompleks

Parelemen, Senayan, Jakarta Menteri Kesehatan mengungkap identitas 14

nama rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Keempat belas nama

rumah sakit yang diduga memakai vaksin palsu adalah RS DR. Sander

(Cikarang), RS Bhakti Husada (Terminal Cikarang), RS Sentral Medika (Jalan

Industri Pasir Gombong), RS Puspa Husada, RS Karya Medika (Tambun), RS

Kartika Husada (Jalan MT Haryono Setu Bekasi), RS Multazam (Bekasi), RS

Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Villa Mutiara Cikarang), RS Harapan Bunda

56 Renaldi, Terkuaknya kasus valsin palsu www.liputan6.com/tag/vaksin-


palsu,pada diaksen tanggal 8 Maret 2017.
57

(Kramat Jati, Jakarta Timur), RS Elisabeth (Narogong Bekasi), RS Hosana

(Lippo Cikarang), dan RS Hosana (Jalan Pramuka Bekasi), RS Sayang Bunda

(Pondok Ungu Bekasi)57.

Dari kejadian-kejadian diatas dapat diketahui bahwa banyak pihak atau

lembaga seperti Kementerian Kesehatan dan jajarannya dan Badan

Pengawasan Obat dan Makanan beserta jajarannya hingga Rumah Sakit

sebagai penyedia layanan kesehatan.Rumah sakit dituntut untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang profesional dan bermutu. Bukan hanya

pelayanannya saja akan tetapi juga dengan mutu dan keamanan obat yang

disediakan di rumah sakit, dalam hal ini Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi.

57 Farhan, Empat Belas Rumah Sakit Menggunakan Vaksin Palsu


http://nasional.kopas.com/read/2016/07/14/16083471, diakses pada tanggal
4 Maret 2017.
58

BAB IV
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS

PEREDARAN VAKSIN PALSU DI RUMAH SAKIT ELSABETH KOTA

BEKASI
A. BENTUK TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT ELISABTEH KOTA

BEKASI SEBAGAI PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN ATAS

PEREDARAN VAKSIN PALSU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN

MENURUT KUHPERDATA

1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Peredaran Vaksin Palsu


Kemajuan teknologi telah membawa perubahaan- perubahan

yang cepat pada berbagai sektor kehidupan, khususnya dalam

sektor kesehatan. Dalam waktu singkat berbagai produk kesehatan

dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang

sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata mastarakat

Sesuai ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan bahwa:


pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
penyelenggaraan, membina dan mengawasi menyelenggaraan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat

Demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya pelaku.

usaha melakukan segala cara untuk meningkatkan pendapatan dan

produktifitas dalam menjalankan usahanya. Persaingan usaha dalam

era globalisasi ini semakin ketat sehingga menimbulkan tumbuhnya


59

perilaku usaha yang tidak sehat dan cebederung berdampak ke

arah negatif, pada khususnya bagi konsumen. Seperti dalam halnya

penemuan vaksin yang di palsukan oleh pelaku usaha dan beredar

di beberapa rumah sakit Swasta, salah satunya di Rumah Sakit

Elisabteh Kota Bekasi.


Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang/atau jasa

untuk memneuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat

beraneka ragam dan dapat dibedakan atas berbagai macam

kebutuhan. Dengan adanya bermacam-macam dan berbagai jenis

kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa.


Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha

sehingga tercipta hubungan timbal balik antara konsumen dan

pelaku usaha serta saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Aneka ragam barang dan/atau jasa ditawarkan oleh pelaku usaha

kepada konsumen sebagai sebuah hubungan timbal balik. 58


Pertanggung jawaban dalam hal perlindungan hukum dapat

lahir dari hubungan hukum. Dapat disebutkan pelaku usaha dan

konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha

perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Konsumen

memerlukan barang dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.

Sehingga, kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau

keuntungan. Namun, dalam praktek sering kali konsumen dirugikan

oleh pelaku usaha yang nakal. Karena ketidak tahuan konsumen

58 Purnandi dan Soerjono, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, cet, V, Citra
Bakti Bandung, 1989, hal. 43.
60

akan hak-haknya, akibatnya konsumen menjadi korban pelaku usaha

yang culas. Menurut Undang-UndangPerlindungan Konsumen,

hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha

didasarkan pada perjanjian yang bersifat transaksional. Jadi

walaupun tidak diatur dalam suatu perjanjian yang bersifat

kontraktual, namun terjadi transaksi pembelian barang atau jasa dan

disini konsumen merasa dirugikan, maka konsumen berhak

menuntut pelaku usaha yang mengabaikan hak-hak konsumen.


Untuk tujuan inilah, maka di dalam berbagai peraturan

perundangundangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta

hal-hal yang menjadi tanggung jawab produsen, sedangkan

kewajiban produsen (pelaku usaha) berdasarkan Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

adalah:59
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur megenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemiliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang di buat
dan/atau yang diperdagangkan;

59 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal


7.
61

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas


kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang terima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/pelaku

usaha adalah: beriktikad baik dalam menjalankan usahanya,

memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang

sama, menjamin produknya, memberi kesempatan bagi konsumen

untuk menguji, dan memberi kompensasi.


Sebagai kewajiban hukum, maka pelaku usaha harus

memenuhinya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika

pelaku usaha bersalah tidak memenuhi kewajibannya itu, menjadi

alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala

kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya

kewajiban itu. Artinya, pelaku usaha harus bertanggung jawab

secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan

kewajibannya itu:60
Terkait tentang pertanggungjawaban pelaku usaha, di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ditegaskan hal-hal yang terlarang untuk dilakukan

produsen sebagai pelaku usaha sebagai berikut:


a) Larangan Sehubungan dengan Berproduksi dan

Memperdagakan Barang dan Jasa;

60 Janus Sidabalok, op.cit., hal. 85


62

Sehubungan dengan memproduksi dan

memperdagangkan barang dan jasa, di dalam Pasal 8

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan

sejumlah larangan kepada pelaku usaha, di antaranya :


1. Memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan, tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih

atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang

dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut, tidak

sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak

sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket,

atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak

mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang

tertentu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara

halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan

dalam label, tidak memasang label atau membuat

penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,

berat/ isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,

tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat

pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan


63

yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat, tidak

mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku;


2. Memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas,

dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap

dan benar atas barang dimaksud;


3. Memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,

cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut dilarang

barangdan/atau jasa tersebut wajib ditarik dari peredaran.

b) Larangan Sehubungan dengan Pemasarkan


Sehubungan dengan memasarkan barang dan jasa, Pasal 9

sampaiPasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menetapkan larangan bagi pelaku usaha untuk menawarkan,

mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau

jasa secara tidak benar.


Menurut Janus Sidabalok ada 2 (dua) bentuk

pertanggungjawaban produsen sebagai pelaku usaha, yaitu: 61


1. Pertanggungjawaban Publik
Rumah Sakit sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan

kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha

yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian

nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen


61 Janus Sidabalok, Op.cit., hal. 101-102
64

dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan

kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum,

kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku

dikalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu

pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business,

tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas

prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pelaku

usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi

kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara

keseluruhan.
Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat

dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam Pasal

60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta) rupiah, terhadap pelanggaran

atas ketentuan tentang:62


a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3);
b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (pasal 20);
c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (pasal 25); dan
d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan.

2. Pertanggungjawaban Privat (Keperdataan)


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen diatur mengenai pertanggungjawaban

produsen, yang disebut dengan pelaku usaha, pada bab VI

62 Ibid., hal. 93-94.


65

dengan judul tanggung jawab pelaku usaha, Pasal 19. Ketentuan

Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut:


Pasal 19
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan;
2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat Dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau yang setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu
7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan;
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen;
Yang dimaksudkan dengan Pasal 19 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ini adalah jika konsumen menderita

kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, atau kerugian

finasial karena mengkonsumsi produk yang diperdagangkan,

produsen sebagai pelaku usaha wajib memberi penggantian

kerugian, baik dalam bentuk pengembalian uang, penggantian

kerugian itu dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari setelah

tanggal transaksi.

Dengan demikian, ketentuan ini tidak memaksudkan supaya

persoalan diselesaikan melalui pengadilan, tetapi merupakan

kewajiban mutlak bagi produsen untuk memberi penggantian


66

kepada konsumen, kewajiban yang harus dipenuhi seketika.

Namun demikian, dengan memperhatikan pasal 19 ayat (5) maka

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud disini adalah kalau

kesalahan tidak pada konsumen. Jika sebaliknya kesalahan ada

pada konsumen, maka produsen dibebaskan dari kewajiban

tersebut.

Sebagaimana dikemukakan pada bagian yang lalu, ada dua

golongan konsumen dilihat dari segi keterikatan antara produsen

dan konsumen, yaitu perihal ada tidaknya hubungan hukum

antara produsen dan konsumen. Kedua golongan itu adalah

pertama, konsumen yang 63 mempunyai hubungan kontraktual

dengan produsen, dan kedua konsumen yang tidak mempunyai

hubungan kontraktual dengan produsen.

Menurut hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus

(wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu

menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada

dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan

konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan

tanggung jawab berikut hal-hal yang berkaitan dengan prosedur

penuntutannya.
67

Secara teoritis pertanggungjawaban terkait dengan

hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut

pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk

bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan

hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan 63:

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir

karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan

melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.


b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab

yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh

seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, bentuk

pertanggungjawaban perusahaan swasta dimana dalam hal ini

Rumah Sakit Elisabteh Kota Bekasi penggunaan vaksin palsu

yang di berikan oleh dokter kepada pasien (konsumen ), di

dalam praktek belum ada pertanggungjawaban langsung dari

Rumah Sakit ke konsumen, jika konsumen mengalami

kerugian atas vaksin yang dikomsumsinya (berdasarkan resep

dokter), maka pasien/konsumen meminta pertanggungjawaban

ke dokter yang menggunakan vaksin tersebut, biasanya dokter

akan meng-complain hal tersebut kepada produsen pembuat

vaksin palsu.

63 Ibid.,hal. 101-102.
68

Berdasarkan hasil wawancara peneliti, sudah ada laporan

konsumen/ pasien terkait dengan penggunaan vaksin palsu

oleh Rumah Sakit Elisabteh Kota Bekasi ke Pengadilan Negri

Bekasi oleh konsumen yang merasa dirugikan atau menjadi

korban. Padahal tindakan penjualan vaksin palsu ini sudah

berjalan lama, sejak tahun 2003.


Akibat pereradan vaksin palsu sudah lama beredar di

kalangan masyarakat, tidak menutup kemungkinan akan

banyak konsumen yang mengalami kerugian dari hal tersebut,

mengingat banyaknya pasien yang menggunakan jasa Rumah

Sakit Elisabteh Kota Bekasi sebagai penjual vaksin.


69

A. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini peneliti akan memberikan gambaran secara

garis besar tentang apa yang penulis kemukakan pada tiap-tiap bab dari

usulan penelitian ini dengan sistematika sebagai berikut:

Bab IPendahuluan
Berisi latar belakang pemilihan judul penelitian, identifikasi masalah

yang timbul, tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dengan

melakukan penelitian ini, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran

yang berisi landasan teori yang digunakan sebagai landasan untuk

penelitian, metode penelitian yang dilakukan dan juga sistematika

penelitian.
Bab II Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Konsumen dan Bentuk

Upaya hukum mengenai Gugatan Class Action (Perwakilan

Kelompok)
Bab ini berisi teori, konsep, asas, norma, penegertian,sejarah

perkembangan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban

konsumen,hak dan kewajiban pelaku usaha, tanggungjawab pelaku

usaha dan penegrtian gugatan class actions, sebagai upaya hukum

yang dapat ditempuh,


Bab III Gambaran Umum Mengenai, Pengawasan dan Regulasi

Peredaran vaksin di Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi

Dalam bab ini akan di uraikan mengenai gambaran secara umum

mengenai Rumah Sakit Elisabteh, bentuk pengwasan terhadap

obat, termasuk vaksin.


70

Bab IV Analisis Tanggungjawab Rumah Sakit Elisabeth Kota Bekasi

Sebagai Pelaku Usaha dan Upaya hukum yang Dapat Ditempuh

Oleh Korban Vaksin Palsu Berdasarkan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


Bab ini menjelaskan bentuk tanggung jawab dari Rumah Sakit

Elisabeth Kota Bekasi sebagai pelaku usaha yang lalai dalam

pengawasan masuk nya vaksin palsu yang menyebabkan banyaknya

korban, dan bentuk upaya hukum yang dapat ditempuh oleh korban

sebagai konsumen akhir.


Bab V Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-

saran dari peneliti terkait permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini.

Daftar Pustaka

A. Buku

Ahmad Santosa, Amanda Cornwal, Sulaiman N Sembiring, Boedi


Wijardjo. Pedoman Pengunaan Gugatan Perwakilan (Class Actions).
Jakarta 1999;
71

Badriyah Harun, Aryya Wyagr Katama, Tata Cara Pengajuan Class


Actions (gugatan kelompok masyarakat). Pustaka Yustisia 2009;

B.R. Rijkschroef, Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, diterjemahkan


oleh F. Tengker,CET. I, Bandung, CV.Mandar Maju, 2001;

Dani Saliswijaya, Himpunan Peraturan tentang Class Action, PT Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Drwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT.


Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002;

E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi


Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta, 2002;

Emerson Yuntho, Class Actions suatu pengantar, seri bahan bacaan untuk
pengacara X Tahun 2005;

Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika, 2009;

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Jakarta, Djambatan 2002;

Lili Rasjidi, Menggunakan Teori / Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu


Hukum,Monograf, Bandung, 2007;

Lili Rasjidi, dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2002;

Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan,


LPHLI, Jakarta, 1997;

Marion Elisabeth, Karakteristik Tuntutan Dalam Gugatan Wrga Negara


Atas Nama Kepenetingan Umum(Citizen Lawsuit) Atas Perbuatan
Melawan Hukum Pemerintah (Skripsi Sarjana Univeritas Indonesia,
Depok 2003;

Mochtar Kusumatmaadja, Konsep - Konsep Hukum Dalam Pembangunan,


PT.Alumni, Bandung, 2002;

Moh.Kusnandar dan Hermaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia,


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universits
Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1998;
72

Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,


(Surakarta; magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret, 2003;

Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana. 2008;

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri,


Ghalia Indonesia Jakarta, 1994;

Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu


Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004;

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 1986;

Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu


Kajian Singkat Rajawali, Jakarta, 2006;

Janus sidabalok. 2010. Hukum perlindungan konsumen Di Indonesia.


PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.
Undang Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002

tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

C. Sumber Lain
73

I Nyoman Nurjaya, Gugatan Perwakilan Kelompok Masyarakat (Class


Action). http://manifestmaya.blogspot.com/2008/01/gugatan-
perwakilan-kelompok-masyarakat.html, diakses tanggal 6 April 2013,
20.00 WIB

Jurnal Artikel,http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160714152353-20-
144755/menkes-umumkan-rs-penerima-vaksin-palsu-mayoritas-di-
bekasi/

Rasamala Aritonang, "kronologis kasus Vaksin Palsu, http://


www.antaranews.com/berita/573635/ kronologis-terbongkarnya
-vaksin-palsu- rasamala-aritonang-, diakses 28 September 2016.

Anda mungkin juga menyukai