Anda di halaman 1dari 263

TESIS

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP


KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA

STEVANUS EVAN SETIO

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP


KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA

STEVANUS EVAN SETIO


NIM : 1090561028

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP
KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana

STEVANUS EVAN SETIO


NIM. 1090561028

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013

ii
Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI


TANGGAL 17 DESEMBER 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
NIP. 194412311973021003 NIP. 196107201986091001

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana


Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LL.M. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001

iii
Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal 17 Desember 2013

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor 1902/UN14.4/HK/2013 Tanggal 1 Oktober 2013

Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S.

Sekretaris : Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.

Anggota : 1. Prof. Dr. Johanes Usfunan, Drs., S.H., M.Hum.

2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.

3. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Stevanus Evan Setio

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Hak Recall Partai Politik Terhadap Kenggotaan DPR Dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di

kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 17 Desember 2013


Yang Menyatakan

Stevanus Evan Setio

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan

Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan

tesis yang berjudul Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis

ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mengikuti

pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A.

Raka Sudewi, Sp.S(K). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis

untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah

Wairocana, S.H., M.H. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di

Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum.,

LL.M. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

vi
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Udayana.

5. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana.

6. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., pembimbing I dengan penuh

perhatian telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan yang sangat

bermanfaat khususnya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., pembimbing II dengan penuh kesabarannya

telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran, yang sangat

berguna bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini.

8. Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs., S.H., M.Hum. (almarhum), yang telah

berkenan memberikan inspirasi dan mendorong penulis dari titik nol dalam

menyelesaikan tesis ini, namun pada akhirnya beliau tidak sempat

mengetahui penyelesaian tesis ini, semoga tesis ini berguna bagi

perkembangan ilmu hukum dan ilmu politik yang beliau tekuni selama ini.

9. Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Para pegawai administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana, yang telah memberikan kemudahan dan pelayanan

administrasi selama penulis mengikuti kuliah sampai penyelesaian tesis ini.

vii
11. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua (Johannes Eddy Setio dan Lanny

Puspasari Tedjo), yang dengan penuh kecintaan memberikan dorongan,

semangat dan dukungan dalam penyelesaian pendidikan pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, di Denpasar, Bali.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.

Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semoga Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, 17 Desember 2013

Penulis

viii
ABSTRAK

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR


DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Hak recall partai politik adalah suatu penarikan kembali atau


pemberhentian seseorang dalam masa jabatannya dari keanggotaan DPR oleh
partai politik. Ketika hak recall diberikan kepada partai politik, maka partai
politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD
dan ART partai. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik
berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai
politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai
politik menganggap anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR bertindak
diluar garis kebijakan partai politik.
Pembahasan dititikberatkan pada kesesuaian hak recall partai politik
terhadap anggota DPR dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum dan konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada
ditangan kekuasaan partai politik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan secara normatif
dengan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan hukum perwakilan politik di
Indonesia.
Penelitian ini ditemukan bahwa hak recall partai politik tidak sesuai
dengan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu
adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang
sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi.
Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka konsekuensi
yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut
sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian bagi
anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan
aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik.

Kata kunci : Hak Recall, Partai Politik, DPR.

ix
ABSTRACT

THE RIGHT TO RECALL OF POLITICAL PARTIES TOWARD


MEMBERSHIP OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES IN THE
INDONESIAN STATE SYSTEM

The right to recall of political parties is a recall or dismissal of someone


tenure of membership at the House of Representatives by political parties. When
political parties have the right to recall, then they have the legal power to recall
their members at any time when they deemed violate regulations of the political
parties concerned. When somebody is dismissed as a member of a political party
it automatically means his or her dismissal as a member of House of
Representatives. The right of a political party to recall tends to be politically
motivated when the political party concerned deems it members act beyond it
policy guidelines.
This study emphasizes on the suitability of the right to recall a member of
House of Representatives to the principles of consitutional democracy and its
legal consequences if the right remains in the hand of political party.
This research is a normative legal research. It aims at pursuing normative
explanation by identifying and analyzing legal weaknesses of political
representation in Indonesia.
This research finds that the right of political parties to recall is not suitable
with principles of constitutional democratic state, c.q. principles of protection of
citizens democratic rights, equality before the law, and constitutional protection
of human rigths. If the right to recall remains in the hand of political parties then
the legal consequences shall be to limit someone political right and obligation as
member of House of Representatives during his or her terms of office and no
guarantee of independency of House of Representatives members pursuant to their
consience in voicing the aspirations of the people and its credibility as a public
official.

Keywords: The Right To Recall, Political Party, House of Representatives.

x
RINGKASAN TESIS

Tesis ini berjudul: Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia terdiri dari 5 (lima) bab, antara lain :

Bab I sebagai Pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang melatar

belakangi dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini dilakukan karena recall

dipahami secara umum adalah penarikan kembali anggota DPR untuk

diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir

masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut, yang sebenarnya tidak saja dapat

dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam

pelanggaran kode etik DPR. Partai politik dapat merecall anggotanya dengan

alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang

diberhentikan sebagai anggota partai politik berarti secara serta merta

diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai politik ini cenderung

didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap

tindakan anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR diluar garis kebijakan

partai politik maka partai politik akan merecallnya dari keanggotaan DPR.

Disamping latar belakang, pada Bab I terdapat rumusan masalah, ruang lingkup

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode

penelitian.

Bab II merupakan bab yang berisi tentang Sistem Perwakilan Dan Sistem

Kepartaian Dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Uraian dimulai dengan

membahas secara umum tentang sistem perwakilan dan sistem kepartaian,

didahului penjelasan mengenai sistem perwakilan yang berkaitan dengan sistem

xi
pemilihan umum proposional daftar terbuka. Dibahas pula suasana struktur

ketatanegaraan dan sistem politik yang berhubungan dengan keberadaan partai

politik dalam kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan sistem kepartaian.

Bab III mengenai Hak Recall Terhadap Anggota DPR Oleh Partai Politik

Berkenaan Dengan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Yang Berdasarkan Hukum

membahas pengaturan fungsi dan hak yang dimiliki anggota DPR yang

merupakan bentuk perwakilan atas pelaksana kedaulatan rakyat. Dibahas pula

kedudukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik yang

merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik dalam kaitan hak recall partai

politik tersebut.

Bab IV membahas Konsekuensi Yuridis Hak Recall Apabila Tetap Berada

Ditangan Partai Politik menguraikan mekanisme recall sebagai perwujudan

kekuasaan partai politik berdasarkan UUD 1945 dan terbukti bahwa hak recall

didominasi oleh partai politik. Selanjutnya dibahas pula konsekuensi yuridis

dipertahankannya hak recall partai politik maka mengakibatkan dibatasinya hak

politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya.

Bab V merupakan Penutup berisikan simpulan dan saran. Dalam

simpulan tersebut merupakan inti sari dari jawaban masalah yang kami peroleh

melalui penelitian. Adapun simpulan yang dimaksud adalah hak recall partai

politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan

hukum, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara,

kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia

oleh konstitusi. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka

xii
konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR

tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian

bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan

aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik. Selanjutnya penulis

mengungkapkan dua saran yang meliputi: Pertama, kepada partai politik,

disarankan agar menolak dan melarang adanya recall terhadap anggota DPR, jika

alasan melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Kedua, kepada DPR

dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan

hak recall, bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan.

xiii
DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ............................................................................................ i

PERSYARAT GELAR MAGISTER ................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ..................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ........................................................ iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi

ABSTRAK ........................................................................................................ ix

ABSTRACT ...................................................................................................... x

RINGKASAN TESIS ........................................................................................ xi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 7

1.3. Ruang Lingkup Masalah .............................................................. 8

1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8

1.4.1. Tujuan Umum ................................................................... 8

1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................. 9

1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................... 9

1.5.1. Manfaat Teoritis ................................................................ 9

1.5.2. Manfaat Praktis .................................................................. 10

1.6. Orisinalitas Penelitian .................................................................. 11

1.7. Landasan Teoritis ........................................................................ 14

xiv
1.7.1. Teori Demokrasi ................................................................ 14

1.7.2. Teori Perwakilan ............................................................... 37

1.7.3. Teori Hak ........................................................................... 41

1.8. Metode Penelitian ....................................................................... 45

1.8.1. Jenis Penelitian .................................................................. 45

1.8.2. Metode Pendekatan ............................................................ 47

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ....................................................... 49

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 52

1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ............................................ 52

BAB II SISTEM PERWAKILAN DAN SISTEM KEPARTAIAN

DALAM HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ............................ 54

2.1. Sistem Perwakilan ....................................................................... 54

2.2. Sistem Kepartaian ........................................................................ 86

BAB III HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI

POLITIK BERKENAAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP

NEGARA DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM ........... 103

3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi

Yang Berdasarkan Hukum ........................................................... 103

3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga

Partai Politik Dalam Kaitan Hak Recall ........................................ 113

BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP

BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK ....................................... 177

xv
4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai

Politik Berdasarkan UUD 1945 .................................................... 177

4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai

Politik .......................................................................................... 200

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 222

5.1 Simpulan ..................................................................................... 222

5.2 Saran ........................................................................................... 223

DAFTAR PUSTAKA

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Recall dipahami secara umum sebagai penarikan kembali anggota DPR

untuk diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum

berakhir masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut.1 Hak recall partai

politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan

terhadap keanggotaan DPR oleh partai politik. Perlu dikemukakan disini bahwa

recall yang dimaksud dalam tesis ini membahas hak recall oleh partai politik,

karena jika tidak dibatasi demikian, pembahasan recall akan lebih panjang lebar

karena sesuai pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh

partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam pelanggaran

kode etik DPR. Recall keanggotaan DPR ini muncul ketika recall itu dilihat

secara umum, yaitu meliputi recall oleh partai politik maupun oleh DPR sendiri

melalui Badan Kehormatan, tentunya dengan alasan-alasan tertentu.

Dalam Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan mengenai

alasan-alasan pemberhentian antar waktu anggota DPR, antara lain:

1
M. Hadi Shubhan, 2006, Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik
Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 46.

1
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.

Recall dalam tesis ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2)

huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dapat disebut recall dalam arti

sempit.

Jika recall diartikan dalam arti luas berdasarkan Pasal 213 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya

sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol keanggotaan DPR, karena

ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang

bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat kita

2
bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme

pemberhentian keanggotaan DPR dan sekalipun dia berbuat salah.

Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan

kepada partai politik, karena menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pemberhentian antar waktu atau yang

lebih dikenal dengan recall, sekaligus diberikan kewenangan istimewa oleh

undang-undang tersebut untuk memberhentikan seorang anggota partai politik

yang akan bermuara pada pemberhentian seseorang sebagai anggota DPR, serta

pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik, partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut

melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang diberhentikan sebagai

anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota

DPR.

Hal inilah yang menjadi titik pangkal permasalahannya, dimana hak

recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata,

apabila partai politik menganggap tindakan anggotanya yang mengemban

keanggotaan DPR diluar garis kebijakan partai politik maka partai politik akan

merecallnya dari keanggotaan DPR. Bahkan dengan dikeluarkannya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213

ayat (2) huruf e dan huruf h UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD, MK menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan

3
huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan ditulis UUD 1945)

yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid.

Dengan contoh dari adanya pemberhentian keanggotaan partai politik

seiring berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,

semata-mata hanya karena melanggar AD dan ART partai politik yang nuansanya

bersifat politik. Ditinjau dari ilmu hukum hal pemberhentian seorang anggota

partai politik dari keanggotaan partai politik akan berdampak pada recall seorang

anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan, mengandung norma kabur

(vague norm). Bahkan menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, apabila AD dan ART partai politik yang dijadikan dasar pemberhentian

dari keanggotaan partai politik bagi seorang anggota DPR, terjadilah konflik

norma, antara norma yang diatur pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan norma yang yang diatur pada Pasal 28D

ayat (3) UUD 1945 sehingga menimbulkan konsekuensi yuridis yang bersifat

hukum privat, juga hukum publik.

Hak recall partai politik terhadap anggotanya tersebut adalah hak yang

merupakan ranah hukum publik yang dapat mengakibatkan DPR untuk tidak

menyuarakan suara rakyat secara total dan tidak ada kebebasan anggota DPR

4
untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall partai politik banyak digunakan

sebagai alasan untuk pemberhentian dari keanggotaan DPR yang tidak tunduk

pada kebijakan partai politik, akibatnya hak recall partai politik menjadi sebuah

bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara langsung)

keanggotaan DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak recall partai

politik seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan keanggotaan

DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Hak recall partai

politik menunjukan kecenderungan mengabaikan kehendak rakyat dan

mempersulit partisipasi politik rakyat.

Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam tema sentral yaitu wakil

yang dapat bertindak mewakili aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya.

Prinsip kedaulatan rakyat mengharuskan adanya lembaga perwakilan rakyat yang

pengisiannya berdasarkan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana

untuk mendudukan para wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka.

Dengan adanya pemilihan umum itulah, rakyat mempunyai hak untuk memilih

wakilnya berdasarkan aturan hukum yang mendasarinya.

Mekanisme perwakilan di Indonesia dengan melalui mekanisme politik

dipandang efektif untuk dijadikan sebagai dasar mengakomodasikan kepentingan

orang-orang yang menyerahkan keterwakilannya kepada wakil yang duduk di

lembaga perwakilan sebagai perwakilan politik. Mekanisme ini di dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia direfleksikan pada DPR sebagai representasi politik,

DPD sebagai representasi kekhususan daerah dan keduanya bergabung di dalam

5
MPR sebagai lembaga dengan otoritas khusus.2 DPR dan DPD adalah penghuni

parlemen bikameral. Sebagai orang-orang yang ditunjuk langsung oleh rakyat,

mereka memikul pesan moral agar benar-benar berfungsi sebagai wakil sejati.3

DPR merupakan lembaga perwakilan politik yang merupakan wadah

penyalur aspirasi rakyat seluruh Indonesia sehingga wewenang yang dijalankan

hak-hak yang dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat.

Keberadaan DPR dimaksudkan sebagai lembaga yang harus merepresentasikan

kepentingan rakyat yang diwakili sehingga hubungan yang harmonis antara

negara dengan rakyat dapat diwujudkan berdasarkan mekanisme yang harmonis di

atas idealisme bahwa keberadaan negara adalah untuk menyejahterakan rakyat.

Kekuatan perwakilan politik terletak pada norma penyelenggaraan

perwakilan secara kolektif. Dengan norma ini, perwakilan mempunyai potensi

untuk merefleksikan pluralitas aspirasi dan kepentingan konstituen. Recall telah

menjadi instrumen politik untuk menegakan kepatuhan anggota DPR.

Terpilihnya Lily Chadidjah Wahid sebagai anggota DPR pada Pemilu

tahun 2009 adalah dengan sistem Pemilu proposional terbuka dengan penerapan

suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa

Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka. Dengan terpilihnya Lily

2
Samsul Wahidin, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakata, hal. 44.
3
Garuda Wiko, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi, Surabaya, hal.
151.

6
Chadidjah Wahid telah menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan

rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Recalling terhadap Lily Chadidjah Wahid oleh pimpinan Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) karena dianggap telah diluar batas toleransi dan

menyalahi kebijakan partai. Pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung

mendukung kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi

sebab direcallnya seorang anggota DPR yang justru bersikap vokal dan kritis

terhadap kebijakan yang tidak memihak rakyat tersebut. Anggota DPR seperti

pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat kekaburan norma hukum dan konflik

norma Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik, adanya recall dari partai politik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai dengan

prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum?

2. Apakah konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada

ditangan kekuasaan partai politik?

7
1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam kajian ini ruang lingkup pembahasan masalah penelitian adalah

untuk mengkaji secara analitis kritikal norma-norma hukum yang dijadikan dasar

ketentuan hak recall partai politik dengan penerapan prinsip-prinsip negara

demokrasi yang berdasarkan hukum, suatu dampak positif dan negatifnya

terhadap pemerintahan yang demokratis ini menurut sistem ketatanegaraan

Indonesia.

Secara lebih rinci ruang lingkupnya mencakup prinsip-prinsip negara

demokrasi yang berdasarkan hukum, yang dibatasi kajiannya dari Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan gambaran dan

pemaham mengenai hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR serta

mengkritisi norma-norma hukum yang mendasari hak recall dalam rangka

pengembangan ilmu hukum terutama Hukum Tata Negara.

8
1.4.2. Tujuan Khusus

Dari rumusan permasalahan di atas, telah mencerminkan fokus

penelitian dalam tesis ini. Untuk itu, secara lebih operasional dan terinci yang

menjadi tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji keterkaitan hak recall partai politik berkenaan dengan prinsip-

prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum.

2. Untuk menganalisis konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap berada

ditangan partai politik.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

pemikiran dan memberikan manfaat teoritis untuk:

1. Pengembangan wawasan keilmuan penulis, memperkaya khasanah Ilmu

Hukum dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara.

2. Memberikan sumbangan pemikiran teoritikal dan kritikal dalam pemahaman

prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, khususnya yang

berkaitan dengan hak recall partai politik.

9
1.5.2. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendetail

tentang masalah hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR dan

bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran praktikal dalam mengkaji problema

hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi

yang berdasarkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan

wacana sebagai sumbangan pemikiran konsepsional terutama pada bidang

Hukum Tata Negara bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah

dalam mengatur dan mengontrol pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi

yang berdasarkan hukum, yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan

meninjau kembali ketentuan tentang mekanisme hak recall partai politik

terhadap keanggotaan DPR.

10
1.6. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan

sepanjang yang dapat penulis telusuri, di Indonesia hingga saat ini belum ada

hasil penelitian yang komprehensif dalam bentuk tesis ataupun yang berkait

menyangkut masalah dengan hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bahkan, disertasi tentang kewenangan

hak recall sebagai suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa

jabatan terhadap anggota DPR oleh partai politiknya atau yang menyinggung hak

recall pun masih tergolong sedikit. Adapun disertasi dan tesis yang membahas

tentang atau berkait dengan hak recall tersebut adalah:

1. Thomas A. Legowo, Pola Hubungan Kekuasaan Pemerintah dan Partai Politik

Masa Orde Baru dan Masa Reformasi (Studi Kasus Recalling Sri Bintang

Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman (1995-2006)). Disertasi

yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu

politik di Universitas Indonesia, di Jakarta pada tahun 2008. Dalam disertasi

ini membahas tentang pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai

politik bersifat birokratis dan korporatis pada masa Orde Baru, dan berubah

menjadi bersifat demokratis dan egaliter pada masa reformasi. Recall atau

pemecatan sebagai anggota DPR digunakan sebagai sarana menegakan

kepatuhan politik anggota DPR dan partai politik untuk pelanggengan

pemerintahan, dan untuk mekanisme penghukuman bagi penyimpangan

terhadap disiplin kepartaian oleh pada masa anggota DPR reformasi. Disertasi

11
ini mengungkapkan bahwa Recall telah menjadi instrumen politik untuk

menegakan kepatuhan anggota DPR khususnya, dan parlemen pada umumnya,

kepada kepemimpinan politik Orde Baru. Kontrol terhadap parlemen oleh

pemerintah yang berarti juga terhadap partai politik, merupakan bagian penting

dari usaha perluasan kendali politik Orde Baru. Recalling terhadap Sri Bintang

Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman menunjukan perbedaan

yang jelas dalam pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai

politik. Dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, negara yang dipresentasikan oleh

pemerintah memberi pengaruh yang sangat kuat atas keputusan Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) untuk melakukan recall terhadap Sri Bintang

Pamungkas. Ini terbukti dari rangkaian alasan dan prosedur penarikan Sri

Bintang Pamungkas dari keanggotaan DPR. Sementara dalam kasus Djoko

Edhi Soetjipto Abdurahman, pengaruh pemerintah tidak terungkap. Faktor

internal partai menentukan keputusan recalling terhadap Djoko Edhi Soetjipto

Abdurahman. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada proses

recall dan faktor-faktor diterbitkannya keputusan recalling terhadap anggota

DPR. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ilmu politik, berbeda

dengan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif.

2. Harri Supriyadi, Penyelesaian Sengketa Pergantian Antara Waktu (PAW)

Anggota DPRD Pontianak (Studi Kasus Penyelesaian Sengketa PAW Anggota

DPRD Kab.Pontianak). Tesis yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar

Magister Ilmu Hukum dalam bidang ilmu hukum di Universitas Diponegaro,

12
di Semarang pada tahun 2008. Dalam tesis ini membahas tentang pergantian

antar waktu anggota Legistlatif Daerah (DPRD), pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dengan sistem penempatan anggota legislatif itu sendiri. Fenomena

PAW ini seringkali menimbulkan sengketa hukum di kemudian harinya,

khususnya oleh salah satu pihak (umumnya adalah mereka yang dikenakan

pemecatan dan/atau penggantian) yang merasakan ketidakadilan atas apa yang

terjadi dengan jabatan mereka. Pihak-pihak yang merasa dirugikan ini dalam

memperjuangkan ketidakadilan yang dialaminya, umumnya menempuh

upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tesis ini

mengungkapkan permasalahan, yaitu: (1) Apakah dasar hukum pergantian

antar waktu anggota DPRD, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang

melatarbelakangi terjadinya sengketa, (3) Bagaimanakah upaya penyelesaian

sengketa-sengketa pergantian antar waktu anggota DPRD melalui PTUN, (4)

Bagaimana pergantian antar waktu dalam struktur DPRD yang ideal dalam

sistem perwakilan. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada

sengketa hukum setelah dilakukannya pergantian antar waktu anggota DPRD,

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah hak recall oleh

partai politik terhadap keanggotaan DPR. Jadi penelitian ini asli baik dari segi

substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

13
1.7. Landasan Teoritis

Dalam membahas dan memecahkan masalah yang telah dirumuskan

dalam penulisan tesis ini, dipergunakan landasan teoritis meliputi teori demokrasi,

teori perwakilan dan teori hak. Teori demokrasi dipilih sebagai grand theory,

karena teori tesebut dapat menjelaskan filosofi tentang konsep politik yang

bersifat makro tentang letak kedaulatan rakyat di dalam sistem politik dan sistem

ketatanegaraan. Teori Perwakilan digunakan sebagai middle range theory, dengan

makna menjadi jembatan antara konsep makro dan realitas mikro tipe perwakilan.

Pilihan terhadap penggunaan teori perwakilan akan menentukan tipe perwakilan

yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Teori hak dipergunakan sebagai

applied theory untuk landasan masuk ke masalah mikro yang menjadi fokus

penelitian ini yakni hak recall partai politik.

Dengan demikian jika grand theory (teori demokrasi) bersifat makro-

filosofis dan middle range theory (teori perwakilan) bersifat konseptual-

implementatif, maka applied theory (teori hak) bersifat lebih spesifik.

1.7.1. Teori Demokrasi

Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak

ditangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk

kepentingan semua orang. 4 Demokrasi merupakan gejala kemasyarakatan yang

berhubungan erat dengan perkembangan negara, mempunyai sifat berjenis-jenis,

4
M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 59.

14
masing-masing seperti terlihat dari sudut kemasyarakatan yang ditinjaunya.5

Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-

norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita

bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam

merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri

pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya

demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus-

menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.6

Demokrasi sendiri secara etimologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua

kata berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat (penduduk

suatu tempat) dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan (kedaulatan).

Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem

pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada

dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan

kekuasaan oleh rakyat. 7

Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut

sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya,

kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah

yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya

menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan

5
Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Alumni, Bandung,
hal. 25.
6
Adnan Buyung Nasution, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas, Jakarta,
hal. 3.
7
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-
Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 67.

15
negara itu pada dasarnya juga diperuntukan bagi seluruh rakyat itu sendiri.

Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama

dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-

luasnya.8

Di samping itu, kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi

tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people,

for the people).

Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan dari rakyat

(government of the people) adalah bahwa suatu sistem pemerintahan di mana

kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan dipilih dari dan

oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum.9 Dengan demikian adanya

pemerintahan yang dipilih oleh dan dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi

terhadap kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan.

Dengan sistem pemerintahan oleh rakyat (government by the people),

yang dimaksudkan adalah bahwa suatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat,

bukan atas nama pribadi atau atas dorongan pribadi para elit pemegang

kekuasaan. 10 Dengan demikian setiap pembuatan dan perubahan UUD dan

undang-undang juga dilakukan oleh rakyat baik secara langsung (misalnya

melalui sistem referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di DPR

yang sebelumnya telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum, rakyat

8
Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 293.
9
Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 28-
29.
10
Ibid., hal. 29.

16
mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara

langsung, ataupun diawasi secara tidak langsung oleh para wakil-wakil rakyat di

DPR.

Sementara itu, yang dimaksud dengan pemerintah untuk rakyat

(government for the people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang

diambil oleh pemerintah haruslah bermuara kepada kepentingan rakyat banyak,

bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu saja. 11

Dengan demikian tujuan utama dari setiap tindakan pemerintah untuk

kesejahteraan rakyat yang berkeadilan serta ketertiban bagi masyarakat.

Tranformasi demokrasi memiliki sejumlah karakteristik utama.

Keputusan politik yang hendak dicapai oleh upaya transformasi demokrasi adalah

yang bersifat imparsial, yaitu keputusan/kebijakan publik yang isinya menyangkut

kepentingan bersama seluruh warga, bukan hanya demi kepentingan golongan

ataupun mayoritas saja. Keputusan politik, khususnya mengenai kebijakan publik,

yang isi dan arahnya bersifat imparsial tidak akan terwujud bila yang menonjol

tirani mayoritas ataupun tirani minoritas. Karena itu siapa saja yang ikut

melakukan deliberasi menjadi sangat penting. Selain itu, dengan kehadiran

partisipan yang berasal dari berbagai unsur dalam proses deliberasi, akan

memaksa setiap partisipan untuk mendengarkan dan mempertimbangkan

preferensi dan pertimbangan yang diajukan partisipan yang lain. Keputusan yang

bersifat imparsial akan dapat dicapai apabila partisipan dari sebanyak mungkin

kalangan terlibat dalam deliberasi. Karena itu yang diperlukan tidak hanya

11
Ibid.

17
pembuatan keputusan kolektif dengan deliberasi tetapi juga keterwakilan penuh

(full representation).12

Sistem perwakilan dan sistem pemilihan umum apapun yang diterapkan

dewasa ini tampaknya tidak mampu menghasilkan keterwakilan penuh semua

unsur keragaman masyarakat, terbukti cukup banyak unsur masyarakat yang tidak

terwakili (unrepresented) atau kurang terwakili (under represented). Karena itu,

keputusan yang bersifat imparsial akan dapat diwujudkan tidak hanya

menggunakan demokrasi deliberatif tetapi juga demokrasi partisipatif. Demokrasi

partisipatif (participative democracy), yaitu partisipasi semua pihak, yang bakal

terkena dampak keputusan politik, dalam proses pembuatan dan pelaksanaan

keputusan, baik berupa keputusan menyangkut penjabat publik maupun yang

berupa kebijakan publik.13

Cass R. Sunstein mengemukakan tentang demokrasi deliberatif sebagai

berikut:

Deliberative democrats believe that people tend to overstate the


tension between democracy, properly understood, and individual rights.
Democracy comes with its own internal morality-the internal morality
of democracy. This internal morality requires constitutional protection
of many individual rights, including the right of free expression, the
right to vote, the right to political equality, and even the right to private
property, for people cannot be independent citizens if their holdings are
subject to unlimited government readjustment. Properly understood,
democracy is not antagonistic to rights. It enthusiastically protects
rights, thus constraining what majorities are able to do to individuals
or groups. A democratic constitution is draw up and interpreted with
these ideas in mind.14

12
Ramlan Surbakti, 2009, Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 27.
13
Ibid., hal. 27-28.
14
Cass R. Sunstein, 2001, Designing Democracy What Constitution Do, Oxford
University Press, New York, hal. 7.

18
(Kaum deleberatif yakin bahwa rakyat cenderung untuk terlalu
menekankan ketegangan antara demokrasi, sebagaimana yang
dipahami, dan hak-hak individu. Demokrasi menunjukan dirinya
dengan moralitasmya sendiri yaitu moralitas internal demokrasi.
Moralitas internal demokrasi ini mempersyratkan perlindungan
konstitusional terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk
menyatakan pendapat secara merdeka, hak untuk memilih, hak atas
persamaan politik, dan bahkan hak atas kepemilikan pribadi, sebab
rakyat tidak mungkin menjadi warga negara yang bebas jika apa yang
mereka miliki tunduk pada penyesuaian pemerintahan yang tak terbatas.
Jika dipahami dengan benar, demokrasi tidaklah bertentangan dengan
hak-hak. Demokrasi secara mendalam melindungi hak-hak, yang
dengan demikian berarti membatasi hal-hal yng dapat dilakukan oleh
mayoritas terhadap individu ataupun kelompok. Sebuah konstitusi yang
demokratis disusun dan diinterpretasikan dengan mempertimbangkan
gagasan-gagasan tersebut.)

Pentingnya demokrasi deliberatif (deliberative democracy) dalam

proses pembuatan keputusan politik secara kolektif. Demokrasi deliberatif akan

menghasilkan keputusan yang bersifat imparsial apabila semua partisipan

menghayati pluralisme, yaitu mengakui dan menghargai perbedaan, bebas

menyatakan pendapat, mempunyai kedudukan setara, dan bersaudara sebagai

sebangsa dan setanah air, dan bertindak reasonable, yaitu mempertahankan atau

mengkritik institusi dan program untuk meyakinkan orang lain yang bebas dan

mempunyai kedudukan setara, untuk menerimanya dengan pertimbangan-

pertimbangan yang masuk akal.15 Karena itu demokrasi deliberatif dinilai lebih

bersifat substantif daripada prosedural.16 Dengan kata lain model demokrasi

deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu.17

15
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 29.
16
Ibid., hal. 30.
17
F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, hal. 129.

19
Demokrasi konsosiasional sangat tepat dipraktekkan dalam masyarakat

yang tingkat fragmentasi dan polarisasi sosialnya sangat tinggi, seperti di

Indonesia. Oleh karena praktek konsosiasional dapat meredam konflik-konflik

yang timbul dalam masyarakat seperti itu, hal ini disebabkan karena dilibatkannya

para tokoh masyarakat yang mewakili berbagai macam kelompok sosial guna

meredam meluasnya konflik. 18 Indonesia yang terdiri dari beragam suku,

golongan dan masyarakat agama, memiliki kecenderungan untuk menerapkan

demokrasi konsosiasionalisme, yaitu semacam kompromi elit yang kohesif.

Dengan demikian demokrasi konsosiasional yaitu adanya sebuah koalisi besar

para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat

majemuk yang merupakan kompromi antara kedua jenis kelompok ekstrem pada

kutub berbeda dengan menyaratkan kehadiran figur pemimpin politik yang

mampu mendamaikan dan diterima kedua kelompok. Demokrasi ini menekankan

perlindungan khusus bagi kelompok budaya yang menekankan kerjasama yang

erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

Jadi sangat erat sekali hubungan demokrasi partisipatif, demokrasi

deliberatif dan demokrasi konsosiasional, karena ketiganya merupakan paham

yang saling terkait. Untuk tercapainya suatu keputusan-keputusan kolektif maka

diperlukan adanya kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya

masyarakat utama serta perlu didukung oleh partisipasi semua pihak.

Demokrasi sebagai suatu sistem politik, juga mempunyai kaitan yang

tidak terpisahkan dengan sistem kemasyarakatan yang lain. Sehingga demokrasi


18
Afan Gaffar, 1990, Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran Tentang
Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, dalam Akhmad Zaini Abar, Editor, Beberapa Aspek
Pembangunan Orde baru: Esei-Esei Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo, hal. 93.

20
akan dapat dipahami secara holistik. Demokrasi yang menempatkan rakyat

sebagai subyek berkonsekuensi pada tata cara proses pengambilan kebijakan

negara (Undang-Undang) dan proses pengambilan keputusan (decision making

process). Pemerintah yang berasal dari rakyat, melaksanakan apa yang menjadi

kehendak rakyat yang dimanifestasikan dalam proses pengambilan keputusan

yang bersifat bottom up.

Demokrasi tidak mengenal kebijakan yang berasal dari kehendak dan

kepentingan kekuasaan. Seluruh kebijakan harus berasal dari kehendak aspirasi

yang berkembang di masyarakat (rakyat). Partai politik dan kelompok

kepentingan menangkap aspirasi dimaksud melaksanakan fungsi demokrasi. Maka

manajemen pemerintahan yang berkedaulatan rakyat tidak mungkin dilaksanakan

dalam sistem manajemen yang bersifat tertutup. Kedaulatan rakyat menghendaki

keterbukaan (transparansi) yang dengannya dapat diketahui secara segera hal yang

apapun yang dianggap perlu terkait dengan masalah penyelenggaraan negara.19

Dalam demokrasi, setiap penduduk bebas menentukan keputusan politik

melalui prinsip suara mayoritas. Namun segala hal yang ditentukan oleh suara

terbanyak tidak selalu demokratis jika tak dibarengi jaminan hak individu dan

perlindungan hak minoritas.20 Hak-hak minoritas tidak bisa dieliminasi oleh suara

mayoritas, hanya menganut mayoritas tanpa melindungi minoritas adalah bentuk

lain dari kesewenang-wenangan atau otoritarisme. Demokrasi, suara mayoritas,

perlindungan minoritas, prinsip kebebasan, kesetaraan, dan perlindungan hukum

19
Hendarmin Ranadireksa, 2009, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,
Bandung, hal. 83-84.
20
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok, hal.
58.

21
adalah satu paket yang tak dapat dipisah-pisah. Demokrasi merupakan sebuah

sistem nilai dan sistem politik yang telah teruji dan diakui sebagai yang paling

realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang

adil, egaliter dan manusiawi.21

Pelaksanaan sistem pemerintahan yang demokratis menjadi dambaan

setiap warga negara. Beberapa ahli membuat indikator terhadap pemerintahan

yang demokratis. Suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis bila dalam

mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi.

Robert A. Dahl berpendapat sebagai berikut:

Democracy provides opportunities for:


1. Effective participation,
2. Equality in voting,
3. Gaining enlightened understanding,
4. Exercising final control over the agenda,
5. Inclusion of adults.22

(Demokrasi memberikan berbagai kesempatan untuk:


1. Partisipasi yang efektif;
2. Persamaan dalam memberikan suara;
3. Mendapatkan pemahaman yang jernih;
4. Melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda;
5. Pencakupan orang dewasa.)

Secara sederhana definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu

transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis.

Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti secara

sederhana pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam arti yang (relatif) agak

21
Amaruddin Masdar, dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik,
LKiS Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 79.
22
Robert A. Dahl, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven &
London, hal. 38.

22
luas demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan

yang dikelola dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik

tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan pemerintahan. Oleh karena

demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada (ke)daulat(an) rakyat, maka

nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun

daulat militer sejatinya musti disingkirkan.23

Demokrasi lahir sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan

kedaulatan rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga

legislative dengan harapan keinginan, kebutuhan, dan kepentingan mereka dapat

disuarakan dalam keputusan politik. Lembaga perwakilan rakyat menjadi lembaga

lembaga penting dalam memenuhi hak-hak politik rakyat untuk diwakili.24

Pada demokrasi tidak langsung, lembaga perwakilan rakyat dituntut

kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat

dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara. Dengan demikian demokrasi

tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.

Demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang didalamnya warga

masyarakat bisa menjalankan hak yang sama dalam menjalankan pengambilan

keputusan politik, tetapi tidak dalam kapasitas personal, tetapi melalui perwakilan

yang ditunjuk dan bertanggung jawab terhadapnya. Dua elemen yang paling

esensial dalam demokrasi perwakilan adalah pemisahannya antara pemerintah dan

warga masyarakat, dan secara periodik diselenggarakan pemilihan umum sebagai

23
Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 53.
24
Nurliah Nurdin, 2009, Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 472.

23
wahana warga masyarakat mengontrol pemerintah. Jadi mempercayakan

sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen dan pemerintahan

melalui sistem pemilihan umum.25 Dengan demikian, demokrasi merupakan

sistem politik yang mengatur bagaimana mandat rakyat terpresentasikan dengan

baik.

Dalam sejarah perkembangannya, demokrasi (prosedural) lebih

merupakan demokrasi tidak langsung (indirect democracy), di mana rakyat perlu

mewakilkan wakil-wakilnya di dalam mengurus proses politik dan penetapan

kebijakan publik. Maka yang menjadi soal, terkait dengan banyak hal menyangkut

penilaian atas jalannya demokrasi, yang dimaksud ialah demokrasi tidak langsung

tersebut di mana rakyat menjadi konstituen yang berfungsi sebagai basis

legitimasi politik atas para wakil rakyat. 26 Dengan kata lain, wewenang sebuah

state untuk menjalankan sistem pemerintahan diberikan oleh rakyat, dengan

tujuan menjaga ketertiban bersama, kesejahteraan umum,dan hak-hak individual

rakyat. Karena itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat

diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praktis pencapaian kesejahteraan

bersama menjadi tujuannya.27

Ciri khas dari sistem pemerintahan demokrasi ialah adanya keterbatasan

pemerintah, keterbatasan yang dianut sistem ini bahwa pemerintah dalam

menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk memberi pertanggungjawabannya

25
Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung, hal. 67.
26
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia: Eksistensi
Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam
Sistem Ketatanegaraan, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian Konstitusi
(Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, hal. 115.
27
Mudji Sutrisno, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 43.

24
kepada yang diperintah. Adanya pertanggungjawaban ini merupakan bukti dan

keharusan bahwa suatu negara itu menganut sistem demokrasi.28

C.F. Strong mengemukakan bahwa:

By democracy in this sense we therefore mean a system of goverment


in which the majority of the grown members of a political community
participate through a method of representation which secures that the
goverment is ultimately responsible for its actions to that majority. In
other words, the contemporary constitutional state must be based on a
system of democratic representation which guarantees the sovereignty
of the people.29

(Oleh karena itu, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian ini adalah
suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa komunitas
politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintahan harus mempertanggungjawabkan segala
tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Dengan kata lain,
negara konstitusional kontemporer harus berlandaskan pada suatu
sistem perwakilan yang demokratis, yang menjamin kedaulatan rakyat.)

Dengan demikian demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan

yang mengindikasikan adanya peran rakyat dalam jalannya pemerintahan dan

mengutamakan kepentingan umum. Dalam demokrasi rakyat merupakan penentu

dalam penyelenggaraan pemerintahan. 30

Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan

merupakan faktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan

haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi sehingga dapat

28
Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia,
Hanindita, Yogyakarta, hal. 21.
29
C.F. Strong, 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London, hal.
11.
30
Mustafa Lutfi dan Luthfi J. Kurniawan, 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal, yang Pro Civil Society dan
Gender, Setara Press, Malang, hal. 65.

25
dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintah itu juga harus legitimate,

dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul

keragu-raguan, apabila suatu pemerintahan menyatakan diri sebagai berasal dari

rakyat sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, padahal

pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap

pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan

sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang

pokok dalam sistem demokrasi modern.31 Dengan demikian demokrasi juga

mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang terwakili di dalam DPR dan

anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang rahasia dan

bebas.

Sir Ivor Jennings mengemukakan tentang demokrasi sebagai berikut:

A democracy necessarily implies equality in this sense, since


each is free to choose. 32 They cannot easily be forced into a
formal concept dignified by such a name as the rule of law, and
in any case they depend essentially upon the existence of a
democratic system.33

(Suatu demokrasi seharusnya menyiratkan persamaan dalam


pengertian ini, karena setiap orang bebas untuk memilih. Mereka tidak
dengan mudah dipaksakan masuk ke dalam suatu pengertian formal
yang diberi tempat terhormat dengan sebuah nama yang disebut
negara hukum itu, dan dalam hal apa pun mereka secara esensial
bergantung pada keberadaan suatu sistem yang demokratis.)

31
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 416-417.
32
Sir Ivor Jennings, 1967, The Law And The Constitution, University of London Press
Ltd, London, hal. 61.
33
Ibid., hal. 62.

26
Suatu kehidupan demokrasi dengan menjadikan rakyat menjadi

pemegang kedaulatan penuh terhadap jalannya pemerintahan, maka dalam

mewujudkan rakyat yang berdaulat dalam sistem pemerintahan dari sebuah negara

akan berkaitan dengan proses kehidupan politik. Namun ternyata kedaulatan

penuh yang diinginkan oleh rakyat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan secara

penuh, karena ada peran pemerintah untuk membatasi hal itu untuk kepentingan

menjalankan roda pemerintahan. Pembatasan-pembatasan ini yang dalam istilah

demokrasi disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy)

atau disebut juga demokrasi yang berdasarkan hukum.34

Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa ciri hakiki negara demokratis

adalah:

1. Negara hukum;
2. Pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Prinsip mayoritas;
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.35

Dengan demikian demokrasi merupakan tata kelola bernegara dan

bermasyarakat dengan menghormati dan menjamin hak-hak politik warga negara

serta menempatkan hukum sebagai pengawal dalam implementasi tata kelola

bernegara dan bermasyarakat. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi

harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak manusia

yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan

34
Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan Historis
Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara
Press, Malang, hal. 19.
35
Franz Magnis Suseno, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 58.

27
memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang

dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi

konstitusional yang dimana negara demokrasi yang kekuasaannya didasarkan

pada hukum. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa

pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak

sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas

kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut

pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi,

constitutional government sama dengan limited government atau restrained

government.36 Model demokrasi konstitusional pada dasarnya adalah model

demokrasi yang menekankan pada lembaga perwakilan dan prosedur

konstitusional.37

Demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi

negara hukum. Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan

pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersarana hukum yang berakar

dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas

yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat

pemerintah.38 Negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan

tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan

36
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 107.
37
Aidul Fitriciada Azhari, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University
Press, Surakarta, hal. 71.
38
B. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera
Jurnal Hukum, Edisi 3- Tahun II, November, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,
Jakarta, hal. 123.

28
demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada aturan main.

Negara hukum mengatur agar institusi negara menjadi mesin organisasi yang

bekerja efektif melalui mekanisme saling kontrol. Monopoli kekuasaan di satu

tangan institusi, apalagi individu, adalah larangan mutlak dalam negara hukum. Di

samping itu, negara hukum juga menjamin penghormatan hak-hak dasar warga

negara.39

Berdasarkan prinsip negara hukum seperti itu sesungguhnya yang

memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini harus diartikan

sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.

Karena itu pelaksanaan politik hukum perundang-undangan tidak boleh

menghadirkan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang hanya untuk

kepentingan penguasa. Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan

beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan

bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini,

maka negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi

demokratische rechsstaat (democratic rule of law).40

Dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata

norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-

norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi

39
Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 135.
40
Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 574.

29
konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma

logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. 41

Dennis C. Mueller mengemukakan tentang konstitusi sebagai berikut:

A constitution can be thought of as the set of rules that define a


communitys political institutions.42

(Sebuah konstitusi dapat dianggap sebagai seperangkat peraturan yang


mendefinisikan suatu komunitas lembaga-lembaga politik.)

Dengan demikian konstitusi sebagai kumpulan peraturan-peraturan

yang mendasari dan mengatur kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam suatu negara.

Denny Indrayana mengemukakan bahwa:

that to achieve true constitutionalism a Constitution must include


provisions that allow for control of political powers and protection of
human rights. A Constitution whithout these two elements of
constitutionalism would only be a lifeless document. Further arguments
which support the two elements of a democratic Constitution are hereby
elaborated.43 As a result, constitutions need to be more normative in
order to ensure the birth of not only a constitutional, but also a
democratic government.44

(untuk meraih konstitusionalisme sejati, sebuah konstitusi harus


mencakup aturan-aturan yang memungkinkan dilakukannya kontrol
terhadap kekuasaan-kekuasaan politik dan perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia. Tanpa kedua unsur konstitusionalisme ini, sebuah
konstitusi hanya akan menjadi sebuah dokumen tak bernyawa. Jadi,
konstitusi harus lebih normatif demi memastikan lahirnya pemerintahan
yang tidak hanya konstitusional, tetapi juga demokratis.)

Normatif, artinya, ia berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang

mendasari tiap keputusan ataupun kebijakan. Ia menjadi landasan dan sekaligus

41
Ibid., hal. 576.
42
Dennis C. Mueller, 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New
York, hal. 43.
43
Denny Indrayana, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An Evaluation
of Constitution-Making In Transition, Kompas Book Pusblishing, Jakarta, hal. 94.
44
Ibid., hal. 88-89.

30
tolok ukur segala tindakan. 45 Dengan demikian dalam sebuah negara hukum

menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping

merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan

pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Dalam hubungan negara hukum dengan kedaulatan, C.F. Strong

mengemukakan:

We have said that the peculiar attribute of the state as contrasted with
all other units of assocition is the power to make laws and enforce them
by all the means of coercion it cares to employ. This power is called
sovereignty.46

(Telah disebutkan bahwa sifat khusus pada suatu negara yang


membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah
negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undang-
undang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan.
Kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan.)

Kedaulatan sangat penting bagi pemahaman atas fondasi sebuah sistem

hukum. Ketidakterbatasan kedaulatan menurut H.L.A. Hart, memang tidak dapat

lagi dipertahankan karena:

...that his authority to legislate is legally unrestricted or in the sense


that he is a person who obeys no one else habitually.47

(...otoritas legislatifnya secara hukum tidak dibatasi atau dalam


pengertian bahwa ia tidak mematuhi seorang pun secara kebiasaan.)

Oleh karena itu, konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami

sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi.

Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat dalam

45
Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal. 14.
46
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 4-5.
47
H.L.A. Hart, 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford, hal. 70.

31
sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi

yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara

modern. Artinya, di tangan siapa pun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu

berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi

sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri. 48

Demokrasi minus regulasi tetap saja akan mengandung anarki.

Sebaliknya, demokrasi yang inflasi regulasi juga tidak akan menyehatkan.

Demokrasi karenanya tetap membutuhkan pengaturan. Pengaturan yang menjamin

agar demokrasi tidak disalahgunakan, oleh siapapun pemegang kekuasaan.

Definisi dasar pemegang kuasa tentu saja adalah penguasa. Tetapi tidak akan ada

penguasa tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara demokratis,

satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan lain. Itulah mekanisme saling-

kontrol-saling-imbang (checks and balances).49

Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara

dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan

baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh

para warga negara harus berdasarkan atas hukum.50 Negara bertugas membuat dan

melaksanakan hukum-hukum yang obyektif yang mengandung keadilan bagi

umum, tidak semata-mata demi melayani kepentingan penguasa. Dengan

48
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 111.
49
Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 9.
50
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 8.

32
melaksanakan keadilan sejati yang obyektif itu, setiap penguasa akan merasakan

kenikmatan jiwanya.51

Negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam

keadaan hukum. Hal ini bermakna bahwa negara harus menjamin setiap orang

warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Dengan demikian bebas

bukanlah berarti dapat berbuat sekehendak hati dan semau-maunya, atau semena-

mena, apa lagi sewenang-wenang. Namun segala perbuatan itu meskipun bebas

harus sesuai dengan, atau menurut sebagaimana telah diatur serta ditentukan

dalam atau oleh hukum, atau peraturan-perundang-undangan. Dengan lain

perkataan harus sesuai dan menurut kehendak rakyat atau masyarakat. Karena

hukum, atau peraturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan atau

penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat atau masyarakat, yang disebut

kehendak atau kemauan umum, dan pemiliknya adalah rakyat.52

Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya

dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;


2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan tata usaha negara.53

Adapun Albert Venn Dicey mengemukakan konsep negara hukum yang

disebutnya dengan istilah the rule of law sebagai berikut:

We mean, in the first place, that no man is punishable or can be


lawfully made to suffer in body or goods except for a distinct breach of
law established in the ordinary legal manner before the ordinary

51
Bernard L. Tanya, Op.Cit., hal. 82.
52
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 47-48.
53
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 125.

33
Courts of the land. In this sense the rule of law is contrasted with every
system of goverment based on the exercise by persons in authority of
wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint.54

(Pertama-tama, kita hendak mengatakan bahwa tak seorangpun yang


dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh atau
harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang
dalam tata cara hukum biasa dihadapan pengadilan umum negara.
Menurut pengertian ini, rule of law bertentangan dengan sistem
pemerintahan manapun yang didasarkan pada pelaksanaan kekuasaan
menindas yang begitu luas, sewenang-wenang, atau tanpa batas oleh
orang-orang yang berkuasa.)

Dengan demikian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga

seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, yang bertujuan

membatasi kewenangan penyelenggara negara sehingga tidak cenderung otoriter

yang dapat melanggar hak-hak dasar masyarakat yang menyebabkan tidak

terpenuhinya unsur keadilan dalam masyarakat tersebut.

We mean in the second place, when we speak of the rule of law as a


characteristic of our country, not only that with us no man is above the
law, but (what is a different thing) that here every man, what ever be
his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and
amenable to the jurisdiction of the ordinary tribuanals.55

(Kedua, kita hendak mengatakan bahwa, ketika kita berbicara mengenai


rule of law sebagai karakteristik negara kita, bahwa bagi kita bukan
hanya tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, namun
(sesuatu yang memang berbeda) bahwa di sini setiap orang, apapun
pangkat atau kondisinya, tunduk pada hukum biasa yang merupakan
lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa.)

Dengan demikian kedudukan yang sama di depan hukum, tidak ada

orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa

berkewajiban mentaati hukum yang sama, yang bertujuan untuk menghindari

adanya unsur anarki dan menemukan unsur ketertiban.


54
A.V. Dicey, 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution, Macmilan
And CO., Limited, New York, hal. 179.
55
Ibid., hal. 185.

34
There remains yet a third and a different sense in wich the rule of
law or the predomininance of the legal spirit may be described as a
special attribute of English institutions. We may say that the
constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the
general principles of the constitution (as for example the right to
personal liberty, or the right of public meeting) are with us the result of
judicial decisions determining the rights of private persons in
particular cases brought before the Courts; whereas under many
foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of
individuals results, or appears to result, from the general principles of
the constitution.56

(Namun masih ada pengertian ketiga dan berbeda yang rule of law
atau superioritas semangat hukum dapat digambarkan sebagai sifat
khusus dari institusi-institusi Inggris. Dapat kita katakan bahwa
konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan bahwa prinsip-prinsip
umum konstitusi (misalnya, terkait dengan hak akan kebebasan pribadi,
atau hak untuk mengadakan rapat umum) bagi kita merupakan hasil
keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individual pada kasus-
kasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan, sedangkan menurut
banyak konstitusi asing jaminan (sebagaimana adanya) yang diberikan
pada hak-hak individu berasal, atau kelihatan berasal, dari prinsip-
prinsip umum konstitusi.)

Dengan demikian adanya perlindungan hak-hak dasar manusia oleh

konstitusi dan keputusan-keputusan pengadilan, yang bertujuan untuk menemukan

unsur keadilan dalam masyarakat.

Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat E.C.S. Wade & G.

Godfrey Phillips mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan the rule

of law" sebagai berikut:

Pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam


masyarakat daripada anarki; dalam pandangan ini, the rule of law
merupakan suatu pandangan filosofis terhadap masyarakat yang
dalam tradisi Barat berkenaan dengan konsep demokrasi; kedua, the
rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan
harus dilaksanakan sesuai dengan hukum, ketiga, the rule of law
menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci
dalam peraturan-peraturan hukum, baik hukum substantif maupun

56
Ibid., hal. 187.

35
hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan
untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan
mengenai proses, misalnya "presumption of innocence". 57

Dengan demikian konsep demokrasi merupakan suatu kerangka pikir

politik yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum.

K.C. Wheare berpendapat mengenai pemerintahan konstitutional

bahwa:

If constitutional goverment is limited goverment, it follows that one of


its enemies is absolutism of any kind. Any body of opinion and any
organized movement which aims at establishing omnipotent government
is clearly a force opposed to constitutional government.58 It is only if
democarcy means liberty as well as equality that it can be expected with
any confidence to produce constitutional government.59

(Jika pemerintahan konstitusional adalah pemerintahan yang dibatasi,


maka salah satu musuhnya adalah absolutisme dalam segala jenisnya.
Setiap pendapat dan setiap gerakan yang terorganisasi yang bertujuan
membangun pemerintahan yang mahakuasa jelas merupakan kekuatan
yang bertentangan dengan pemerintahan konstitusional. Demokrasi
baru bisa diharapkan dapat melahirkan pemerintahan konstitusional jika
ia berarti kebebasan serta kesetaraan.)

Dengan demikian pemerintahan konstitusional sebagai institusi hukum

yang memberikan pengakuan kebebasan dan kesetaraan, tidak hanya menjamin

kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan

keadilan bagi semua orang serta tidak mengabaikan kehendak rakyat.

Graeme Duncan mengemukakan pendapatnya tentang kaitan hukum

dengan demokrasi sebagai berikut:

57
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, dalam Philipus M. Hadjon, 1987,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 81-82.
58
K.C. Wheare, 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London, hal.
138.
59
Ibid., hal 139.

36
democracy is a form of polity in which either the laws, or the
power to make laws, are assented to by everyone, democracy is
uniquely legitimate.60

(demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana baik hukum, atau


kekuasaan untuk membuat undang-undang, disepakati oleh setiap
orang, demokrasi secara unik adalah sah.)

Dengan demikian demokrasi konstitusional menghubungkan antara

kedaulatan, kebebasan dengan pembatasan hak-hak warga negara supaya

tercapai ketertiban umum, maka konsepsi demokrasi, kedaulatan dan negara

hukum mempunyai hubungan yang sangat erat.

1.7.2. Teori Perwakilan

Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu

kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak

atas nama suatu kelompok yang lebih besar.61

John C. Wahlke dan Heinz Eulau mengemukakan tentang perwakilan


sebagai berikut:

Yet, despite these difliculties of definition, we may say, for the


sake of convenience, that the modern idea of representation can
be broken into three component parts : (1) a representative person
or group has power to act for, or in place of, another person or
group; (2) the representative is elected by those for whom he is to
act; (3) the representative is responsible for his acts to those
whom he represents.62

60
Graeme Duncan, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge University
Press, Cambridge, hal. 43.
61
Warsito Ellwein & Hari Subagyo, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai Politik
Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit,
Jakarta, hal. 79.
62
John C. Wahlke & Heinz Eulau, 1959, Legislative Behavior A Reader In Theory
And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois, hal. 23.

37
(Namun, meskipun terdapat kesulitan-kesulitan definisi, kita dapat
mengatakan, demi kenyamanan, bahwa gagasan modern mengenai
perwakilan dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) seseorang atau
sekelompok orang yang mewakili memiliki kekuasaan bertindak
untuk, atau atas nama, orang atau kelompok lain; (2) wakil tersebut
dipilih oleh orang-orang yang atas namanya ia bertindak; (3) wakil
tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya kepada orang-orang
yang ia wakili.)

A.H. Birch mengatakan terdapat lima konsep pengertian tentang

perwakilan atau wakil, yaitu:

1). Delegate Representation. Menurut konsep ini seorang wakil


adalah agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama
yang diwakilinya. Menurut pengertian ini wakil tersebut tidak
diperkenankan melampaui kuasa yang diberikan kepadanya.
2). Microcosmic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan
bahwa sifat-sifat wakil itu memiliki kesamaan dengan sifat-sifat
golongan atau kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya.
Konsep ini tidak mempunyai hubungan dengan masalah kuasa atau
hal-hal yang harus dilakukannya.
3). Simbolic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa
wakil melambangkan identitas dan kualitas golongan/kelas orang-
orang tertentu yang diwakilinya. Hal tersebut juga tidak bersangkut
paut dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan.
4). Elective Representation. Konsep ini dianggap belum
menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil
tersebut. Sehingga, belum menjelaskan tentang hubungan antara
wakil dengan yang memilihnya.
5). Party Representation. Semakin meningkatnya organisasi dan
disiplin partai mendorong lahirnya party bosses adan party
caucuses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari
organisasi/partai politik bersangkutan. 63

Kacung Marijan dengan mengutip pendapat Hanna Fenichel Pitkin

mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori. Pertama adalah

63
A.H. Birch, dalam Toni Andrianus Pito, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori
Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, hal. 108-109.

38
perwakilan formal (formalistic representation). Di dalam kategori ini,

perwakilan dipahami di dalam dua dimensi: otorisasi dan akuntabilitas.

Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada

para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi

menjalankan fungsi perwakilannya. Sedangkan dimensi akuntabilitas

menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil tentang apa yang telah

dikerjakan. Keduanya, menurut Pitkin, acap kali tidak berjalan seiring.

Kedua, perwakilan deskriptif (descriptive representation), yaitu adanya para

wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili (standing for),

meskipun tidak bertindak untuk yang diwakilinya. Para wakil biasanva

merefleksikan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (seperti

yang diwakilinya) tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk

kepentingan orang-orang yang diwakilinya tersebut. Ketiga, perwakilan

simbolik (symbolic representation), di mana para wakil merupakan simbol

perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili. Terakhir adalah

perwakilan substantif (substantive representation), dimana para wakil

berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang

yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public).64

W.A. Bonger mengemukakan bahwa seseorang dapat duduk di

dalam lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat; yang disebut

sebagai mandataris. W.A. Bonger membedakan hubungan antara si wakil

dengan yang di wakili, sebagai berikut:

64
Hanna Fenichel Pitkin, dalam Kacung Marijan, 2010, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40.

39
a. Mandat Imperatif. Wakil bertindak di lembaga perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil tidak
boleh melakukan hal-hal di luar instruksi. Apabila ada hal baru
yang berada di luar instruksi, maka wakil baru boleh bertindak
setelah mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya.
b. Mandat Bebas. Wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari
instruksi yang diwakilinya. Dalam ajaran ini si wakil merupakan
orang-orang yang terpercaya terpilih dan memiliki kesadaran
hukum masyarakat yang diwakilinya. Sehingga si wakil dapat
bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama
rakyat.
c. Mandat Representatif. Wakil dianggap bergabung dalam suatu
lembaga perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat
pada lembaga perwakilan, sehingga wakil sebagai individu tidak
ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya.
Badan perwakilan inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat. 65

Gilbert Abcarian, menyodorkan empat macam tipe menyangkut

hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya :

a. Si wakil bertindak sebagai "wali" (trustee). Diartikan bahwa si


wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut
pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang
diwakilinya.
b. Si wakil bertindak sebagai "utusan" (delegate). Dalam hal ini si
wakil sebagai utusan atau duta dari yang di wakilinya. Si wakil
dalam melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan
petunjuk dari yang diwakilinya.
c. Si wakil bertindak sebagai "politico". Menurut tipe ini si wakil
kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya
bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung pada
issue (materi) yang dibahas.
d. Si wakil bertindak sebagai "partisan". Dalam tipe ini si wakil
bertindak sesuai dengan keinginan atau program partai (organisasi)
si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang
diwakilinya), lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah
hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya
dalam pemilihan. 66

65
W.A. Bonger, dalam Eddy Purnama, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat
Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-
negara Lain, Nusamedia, Bandung, hal. 12-13.
66
Ibid., hal. 13-14.

40
Sejalan dengan yang telah diutarakan oleh John C. Wahlke dan Heinz

Eulau, A.H. Birch, Hanna Fenichel Pitkin, W.A. Bonger, serta Gilbert

Abcarian merupakan tipe-tipe perwakilan yang mereka tesiskan. Untuk tipe

Party Representation dan tipe partisan, di sini wakil bertindak sesuai dengan

keinginan atau program dari partai yang diwakili. Setelah wakil dipilih oleh

pemilih, maka lepaslah hubungan dengan pemilih tersebut, dan mulailah

hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.

Dari uraian yang tertuang tentang model hubungan wakil dengan

diwakilinya, bahwa semua teori perwakilan mempunyai sifat perwakilan

politik. Dengan demikian perwakilan politik merupakan sistem perwakilan

yang dianggap paling wajar, dalam artian bahwa satu atau sejumlah orang

berwenang membuat keputusan atas nama seseorang, sekelompok orang

ataupun keseluruhan anggota masyarakat. Perwakilan politik yang

demokratis lazimnya dipandang dari hubungan timbal balik di antara wakil

dengan pihak yang diwakili.

1.7.3. Teori Hak

Menurut K. Bartens, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau

kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. 67 Dengan

demikian hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan berupa

tuntutan mutlak yang tidak boleh diganggu gugat.

67
K. Bartens, dalam Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 239.

41
Komponen suatu hak terutama terletak pada pribadinya, kemerdekaan

dan tanggung jawab. Hanya pribadi yang diberi kebebasan dan kewajiban oleh

hukum moral yang dapat mempunyai hak. 68 Suatu hak dapat saja menemui

pembatasan karena terjadinya konflik antara hak-hak atau dikalahkan oleh hak

lain.69 Dengan demikian pembatasan utama yang mengakibatkan hak-hak

kebebasan memang tidak pernah bisa absolut.

Selanjutnya dalam suatu hak itu haruslah pula terdapat komponen yang

berupa hubungan antara subjek/pribadi dengan materi suatu hak (objek/benda). 70

Dengan demikian bentuk komponen berupa adanya suatu fakta yang

menghubungkan orang tertentu dengan sesuatu tertentu.

Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung jawab. Sesuatu yang

dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. 71 Hak dibatasi oleh

kewajiban. 72 Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya maka hak itu

akan hilang.73 Dengan demikian jika hak itu telah dikalahkan oleh hak lain maka

hak itu akan hilang.

Alf Ross mengemukakan tentang ruang lingkup sebuah hak sebagai

berikut:

The object of a right. The full determination of the content of a


concrete right in rem includes also the physical object in relation to
which the possessor of the right has a claim to exclusive enjoyment.
This physical object is called the object of the right. When a certain
type of right, such as ownership or a right of servitude, is regarded
abstractly the content of the right is defined in abstraction from the

68
Ibid., hal. 240.
69
Ibid., hal. 242.
70
Ibid., hal. 241.
71
Ibid., hal. 244.
72
Ibid., hal. 247.
73
Ibid., hal. 243. .

42
object. The idea of an object of the right hardly applies to rights in
personam.74

(Objek sebuah hak. Semangat isi hak yang konkrit in rem (hak atas
sesuatu) meliputi pula objek fisik yang ada hubungannya dengan
tuntutan pemilik hak dengan tidak disertai hak kesenangan. Objek
fisik ini dinamai objek hak. Ketika jenis hak tertentu, seperti
kepemilikan atau hak perbudakan atau kerja paksa dianggap abstrak
maka isi hak didefinisikan secara terpisah dari objek. Pendapat suatu
objek hak tidak pernah dilaksanakan pada hak-hak in personam (hak
terhadap seseorang).)

Hak in rem disebut juga hak konkret, merupakan kewajiban yang

dikenakan kepada semua orang. Hak in rem juga dapat dikatakan merupakan

perlindungan hukum bagi pemilik hak terhadap setiap orang dan publik. Di

balik itu hak in personam juga disebut hak perseorangan, merupakan

kewajiban yang dibebankan kepada orang tertentu.75

Dengan demikian hak in personam merupakan kepentingan yang

dilindungi terhadap seorang tertentu dan meletakkan kewajiban pada orang

tertentu, sedangkan hak in rem merupakan kepentingan yang dilindungi

terhadap dunia pada umumnya dan meletakkan kewajiban itu pada orang-orang

pada umumnya karena hak itu melekat pada objeknya.

Dalam hak-hak dasar R.H. Soltau mengemukakan bahwa:

, most adults in most countries have a right to vote, to be elected


and to hold official positions.76

74
Alf Ross, 1959, On Law and Justice, University of California Press, Berkeley &
Los Angeles, hal. 184.
75
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan Historis,
Setara Press, Malang, hal. 90.
76
R.H. Soltau, 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers)
Limited, London, hal. 135.

43
(, hampir semua orang dewasa di hampir semua negara punya hak
untuk memberikan suara, untuk dipilih dan untuk memegang jabatan-
jabatan penting.)

Dengan demikian hak merupakan hak hukum yang diterapkan secara

formal atau konstitusional untuk mengambil suatu tindakan atau menggunakan

untuk menentukan hasil dari suatu peristiwa.

Hans Kelsen mengemukakan tentang hak hukum sebagai berikut:

as an interest protected by the legal order, or a will


recognized and made effective by the legal order.77

(sebagai kepentingan yang dilindungi oleh tatanan hukum, atau


kehendak yang diakui dan dibuat efektif oleh peraturan hukum.)

Dengan demikian semua hak berasal dari hukum, karena semua

kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari

hukum.

Hubungan kewajiban dan hak menyangkut keadilan. 78 Apabila hak itu

tidak diperdapatnya berlakukan ketakadilan. Suatu hak berhenti menjadi hak bila

merugikan hak orang lain. Jadi perimbangan hak dan kewajiban, itulah yang

dikatakan adil. 79 Dengan demikian adanya menjalankan kewajiban dengan

sendirinya memperoleh hak.

77
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell, New
York, hal. 78.
78
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 246.
79
Ibid., hal. 247.

44
1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-

undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.80

Johnny Ibrahim mengemukakan pendapatnya mengenai metode

penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif

dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,

yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 81

Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat Irving M. Copy Carl

Cohen mengemukakan dalam menggunakan logika di bidang hukum,

hendaklah selalu diingat 3 perbedaan pokok yang berkaitan dengan hakekat

hukum (the nature of laws), sumber-sumber hukum (resources of laws) dan

jenis-jenis hukum (the kinds of laws).

1. Hakekat

Dalam suatu negara ataupun masyarakat terdapat aturan-aturan perilaku

berupa hukum positif dan norma-norma moral. Bisa terjadi ketidak sesuaian

antara norma-norma hukum positif dan norm-norma moral. Dalam hal ini

80
Johnny Ibrahim, 2010, Teori & Metodologi Penetitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302.
81
Ibid., hal. 57.

45
penerapan logika hanya dibatasi pada penegakan hukum positif sebagai

aturan formal.

2. Sumber-sumber hukum

Terdapat berbagai jenis sumber hukum baik produk legislatif maupun

yurisprudensi, juga patut diperhatikan hierarki sumber-sumber hukum.

Dalam hal terjadi pertentangan menyangkut interpretasi atau penerapan,

perlu dirumuskan asas-asas untuk memecahkan masalah tersebut.

3. Jenis-jenis hukum

Hukum positif membedakan hukum publik dan hukum privat. Prinsip-

prinsip publik berbeda dengan hukum privat. Demikian juga dalam

lapangan hukum publik ada Hukum Tata Negara, ada Hukum Administrasi,

ada Hukum Pidana yang masing-masing memiliki karakter sendiri-sendiri

dan asas-asas yang khusus.82

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek

kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Jenis penelitian ini bertumpu pada

kaidah-kaidah yang mengharuskan, yang kepatuhannya dapat dipaksakan

dengan menggunakan alat kekuasaan negara.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan secara

normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi

kelemahan perwakilan politik di Indonesia dalam pelaksanaan prinsip-prinsip

negara demokrasi yang berdasarkan hukum dalam Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

82
Irving M. Copy Carl Cohen, dalam Philipus M. Hadjon, 2009, Argumentasi Hukum,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 23.

46
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik serta berbagai

peraturan lainnya.

1.8.2. Metode Pendekatan

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif maka penelitian ini

menggunakan beberapa pendekatan terhadap masalah yang diteliti, yaitu:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Suatu penelitian normatif

tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan

diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

suatu penelitian.83 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani.84 Hasil dari telaah tersebut merupakan

suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.85 Dengan demikian

memahami kandungan filosofis yang ada di belakang peraturan perundang-

undangan itu dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara

peraturan perundang-undangan dengan isu yang dihadapi.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach). Konsep (Inggris: concept, Latin:

conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap)

merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap,

83
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302.
84
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 93.
85
Ibid.

47
menjinakkan).86 Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur

abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang

kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal

yang partikular.87 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,

peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian

hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang dihadapi.88 Kegiatan membangun konsep ini merupakan pengamatan dan

pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat esensial dan yang

tidak esensial serta mengelompokkan berdasarkan persamaan konsep-konsep

hukum tertentu.89 Dari apa yang dikemukakan sebenarnya dalam menggunakan

pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsip-

prinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun

doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat

juga diketemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi

prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.90 Pendekatan konsep

dibutuhkan karena digunakan untuk memperoleh pemahaman yang tepat,

sebagai penelitian yang bersubstansikan penalaran hukum, ketepatan penalaran

86
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 306.
87
Ibid.
88
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 95.
89
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hal. 108.
90
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 138.

48
dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang

diajukan yang ditentukan oleh ketepatan pemahaman akan konsep-konsep yang

terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif, yang menjadi objek

penelitian ini, berisikan rangkaian konsep. Dengan demikian pendekatan ini

digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan melalui bahan hukum.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Untuk memecahkan permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini, maka

diperlukan sumber-sumber penelitian. Penelitian hukum tidak mengenal adanya

data.91 Penelitian hukum mengenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan

hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya

digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah

normatif.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-

bahan hukum sekunder.92

Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang


Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2813).

91
Ibid., hal. 141.
92
Ibid.

49
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2915).

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1975 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3064).

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3282).

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai


Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251).

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan


dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310).

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai


Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836).

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik

50
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043).

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai


Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189).

12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3302).

13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang


Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

14. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian


Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari:

1. Literatur-literatur atau buku-buku hukum (Text Books) yang berkaitan dengan


hak recall dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum.
2. Jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang
termuat dalam media massa, mengenai hak recall dan prinsip-prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan hukum.
3. Berbagai hasil pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional
yang ada kaitannya dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum dalam kaitannya dengan undang-undang perwakilan politik.
4. Kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus
dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tertier).93

93
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program
Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 33.

51
Selain bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum,

penulis juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan

penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan Sosiologi.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini lebih

menitikberatkan pada pendekatan yuridis normatif di mana sumber utamanya

adalah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, dengan

mengumpulkan bahan-bahan hukum baik peraturan perundang-undangan maupun

bahan pustaka, yang berkaitan dengan hak recall dan hasil penelitian yang terkait

dengan pokok permasalahan, selanjutnya disusun secara sistematis.

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa dalam rangka pengumpulan

bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi

kepustakaan sistematis. Studi kepustakaan sistematis khusus untuk undang-

undang yang dilacak berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan

perundang-undangan yang ada.94

Dalam penelitian ini bahan hukum tersebut diinventarisasi dan

diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum

Informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer dan bahan-

bahan hukum sekunder tersebut selanjutnya dianalisa melalui langkah-langkah

94
Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah
Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 14.

52
deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, interpretasi dan sistematisasi.95 Pada

bagian deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari prinsip-

prinsip hukum yang berhubungan dengan hak recall.

Dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan

perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian lainnya

berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar di

bidang politik, mengenai prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan

hukum, kemudian diklasifikasi selanjutnya disusun secara sistematis, kemudian

dianalisa secara evaluatif terhadap norma-norma hukum dalam peraturan hukum

yang mengatur tentang hak recall disamping itu juga dilakukan dengan teknik

argumentasi dan teknik sistematisasi.

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.96

Sedangkan sistematisasi yaitu mencari kaitan suatu konsep hukum antara

peraturan perundang-undangan yang diteliti yang berkaitan dengan hak recall.

Dengan demikian hasil tersebut diharapkan dapat memperoleh simpulan atas

masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

95
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Op.Cit., hal. 34.
96
Ibid., hal. 35.

53
BAB II

SISTEM PERWAKILAN DAN SISTEM KEPARTAIAN DALAM HUKUM

TATA NEGARA INDONESIA

2.1. Sistem Perwakilan

Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau

menyusun skema atau tatacara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk

mencapai sesuatu atau beberapa tujuan.97

Sistem secara etimologis menurut Websters New Collegiate Dictionary

terdiri dari kata syn dan histanai dari kata Greek, yang berarti to place

together (menempatkan bersama).98 Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah

sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama

untuk melakukan suatu maksudnya.99

Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau

elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak menghendaki

adanya konflik antar unsur-unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi

konflik maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.100

Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling

hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pengetahuan-

97
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 61.
98
Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara
Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
99
Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 64.
100
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 311.

54
pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu

dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.101 Berpikir secara

sistem, berarti secara menyeluruh hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari

bagian-bagian, tetapi sebaliknya berasal dari keseluruhan.102

Dengan demikian dalam sistem ada tiga unsur:

1. Faktor atau faktor-faktor yang dihubungkan;


2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor itu tadi;
3. Karena hubungannya, maka membentuk suatu kesatuan.103

Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-

bagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrealated),

saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu sama

lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai tujuan

(output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks.

Untuk mengetahui apakah segala sesuatu itu dapat dikatakan sistem

maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu:

1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-


bagian, atau elemen-elemen).
2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur
(bagian-bagian, elemen-elemen).
3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independently
and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan
bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).
4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang kompleks
(complex).
5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir.104

101
A. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 85.
102
Pandji Santosa, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance,
Refika Aditama, Bandung, hal. 79.
103
Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung, hal. 13.
104
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 8-9.

55
Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu

mempunyai hubungan yang membentuk struktur. Sistem mempunyai aturan-

aturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut, kesemuanya

berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi.

Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramid dan hirarkhi

dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. Hubungannya merupakan

hubungan pembenaran.105

Dengan demikian, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu

rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain. Fungsi sistem bagi unsur-unsur,

elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain

berada dalam keadaan kait-mengkait adalah mutlak adanya. Suatu sistem

berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang

telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga

pencapaian tujuan itu membentuk totalitas unit lebih dapat terjamin.

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem

dan ketatanegaraan. Yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan adalah

hubungan timbal balik antar lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar untuk mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, untuk mengetahui

sistem ketatanegaraan suatu negara, kita harus mengetahui lebih dulu lembaga-

lembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasarnya. 106

105
H.R. Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hal. 89.
106
Sri Soemantri Martosoewignjo, 2008, Lembaga Negara Dan State Auxiliary
Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti, Dkk,

56
Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem

ketatanegaraan Indonesia maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan

Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi negara

Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembaga-

lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain

menurut UUD 1945.107

Istilah susunan ketatanegaraan terdiri dari kata susunan dan

ketatanegaraan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh

W.J.S. Poerwadarminta, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976).

Susunan mempunyai 3 (tiga) macam arti, yaitu:

1. tumpukan (an); mis. susunan buku;


2. barang apa yang telah disusun (diatur, dsb); mis. Susunan kalimat,
susunan pegawai, susunan panitia;
3. (=penyusunan), perbuatan (cara, dsb) menyusun.

Dalam pada itu menurut kamus yang sama, ketatanegaraan diberi arti

segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik, dsb.. Dalam kamus itu juga

tata negara diberi arti segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan,

susunan dan bentuk pemerintahan negara; hukum tata negara, hukum yang

bertalian dengan susunan dan peraturan negara; ilmu tata negara, pengetahuan

mengenai tata negara. Dengan berpedoman pada kamus tersebut, susunan

ketatanegaraan dapat diberi arti segala sesuatu yang berkenaan peraturan,

Editor, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 197.
107
Abdy Yuhana, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD
1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokusmedia, Bandung, hal. 68.

57
susunan dan bentuk pemerintahan negara, serta hukum tata negara. 108 Soal

ketatanegaraan adalah soal politik.109

Titik temu yang paling jelas antara hukum dan politik ialah dalam

hukum tata negara dan hukum pemerintahan. Karena hukum tata negara

mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana

dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan lain

yang melengkapinya.110 Dalam beberapa hal, untuk mengetahui latar belakang

suatu peraturan perundang-undangan, sebaiknya perlu dibantu dengan

mempelajari ilmu politik karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta

bagaimana terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan

politik merupakan peristiwa-peristiwa yang banyak pengaruhnya terhadap hukum

tata negara.111

Dengan demikian ada keserasian hubungan ilmu politik dengan ilmu

hukum tata negara. Karena ilmu politik dan ilmu hukum tata negara saling terkait.

Bahwa hukumlah yang menjadi inti, yang berakibat logis hukum tata negara

merupakan sumbu utama perputaran kehidupan negara dan bangsa beserta

pengembangannya.112

108
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1993, Susunan Ketatanegaran Menurut UUD
1945, dalam Sri Soemantri M., Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hal. 35-36.
109
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, 1980, Beberapa Pengertian Pokok
Tentang Hukum Tata Negara, Bali Post, Denpasar, hal. 7.
110
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 28-29.
111
Sumbodo Tikok, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung, hal. 44.
112
Leo Simanjuntak, 2006, Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara
(Staatsrechtswetenschap), dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk
Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal.
155.

58
Usep Ranawidjaja mengemukakan bahwa:

Hukum tata negara ialah hukum mengenai organisasi negara pada


umumnya (hubungan penduduk dengan negara, pemilihan umum,
kepartaian, cara menyalurkan pendapat dari rakyat, wilayah negara,
dasar negara, hak asasi manusia, lagu, bahasa, lambang, pembagian
negara atas kesatuan-kesatuan kenegaraan, dan sebagainya), mengenai
sistem pemerintahan negara (structure gouvernementale), mengenai
kehidupan politik rakyat dalam hubungan dengan susunan organisasi
negara, mengenai susunan, tugas, wewenang, dan hubungan kekuasaan
satu sama lain, serta hubungannya dengan rakyat, dari alat-alat
perlengkapan negara/ketatanegaraan sebagai jabatan-jabatan tertinggi
yang menetapkan prinsip umum bagi pelaksanaan berbagai usaha
negara.113

J.H.A. Logemann berpendapat bahwa:

Hukum tata negara adalah hukum yang berhubungan dengan negara.


Dengan demikian, hukum tata negara adalah suatu kategori historis,
bukan suatu kategori sistematis. Dalam keadaan demikian ia hanya
dapat dipastikan sebagai hukum khusus yang bersangkut-paut dengan
gejala historis negara.114

Karl Gareis berpendapat bahwa:

Constitutional law, which includes the standards through which the


stability of state sovereignty in its (a) organization and (b) elements is
legally protected.115

(Hukum tata negara, yang meliputi standar yang berkaitan dengan


stabilitas kedaulatan negara dalam (a) organisasi dan (b) unsur-unsur
yang dilindungi secara hukum.)

E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips mengemukakan tentang hukum tata

negara sebagai berikut:

In the generally accepted use of the term it means the rules which
regulate the structure of the principal organs of government and their
relationship to each other, and determine their principal functions.116

113
Usep Ranawidjaja, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 20.
114
J.H.A. Logemann, 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & J.C. Pangkerego, Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hal. 88.
115
Karl Gareis, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey Of The
Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book Company, Boston, hal. 96.

59
(Dalam pengunaan yang diterima umum terhadap istilah tersebut hal itu
berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur struktur organ-organ utama
pemerintahan dan hubungan organ-organ itu satu dengan yang lain, dan
menentukan fungsi-fungsi utama dari organ-organ tersebut.)

Dengan demikian hukum tata negara mengatur struktur organ negara,

fungsi serta hubungan diantara organ negara itu.

M. Solly Lubis berpendapat bahwa kajian atau studi ketatanegaraan

modern (modern constitutionalism), tidak hanya berkutat mengacu secara

normatif kepada aspek hukum (juridical thinking) melulu, tetapi juga, dimana

perlu, harus juga mengacu pada segi filosofis dan politis, karena memang menurut

disiplin ilmu hukum tata negara modern ini, ada 3 (tiga) macam rujukan

paradigmatik dalam metode analisisnya, yaitu:

a. Paradigma filosofis (philosophical paradigm), yang bersumber pada


nilai-nilai (values) dan asas-asas (principles) yang dianut secara
nasional. Bagi kita di Indonesia ialah nilai-nilai dan asas-asas yang
terkandung dalam ideologi Pancasila.
b. Paradigma yuridis (juridical paradigm), yakni prinsip dan patokan yang
terdapat dalam UUD dalam peraturan-peraturan organiknya.
c. Paradigma politis (political paradigm), yakni garis-garis kebijakan yang
berupa haluan negara (state policy), dulu GBHN, sekarang RPJPN.117

Ciri yang khas pada norma hukum tata negara, ialah bahwa ia adalah

mengenai ketatanegaraan atau pemerintahan negara.118 Definisi hukum tata negara

adalah sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan perundang-

undangan) maupun tidak tertulis (kebiasaan/konvensi) yang mengatur organisasi

kekuasaan yang disebut negara. Pengaturan tersebut meliputi:

116
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, 1965, Constitutional Law: An Outline Of The
Law And Practice Of The Constitution, Including Central And Local Goverment And The
Constitutional Relations of The British Commonwealth, Longmans, London, hal. 3.
117
M. Solly Lubis, 2010, Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan
Hukum Yang Paradigmatik, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum
Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 64.
118
M. Solly Lubis, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, hal. 39.

60
1. Bentuk negara yang dikehendaki;
2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan (alat-alat
perlengkapan negara);
3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab masing-
masing alat perlengkapan negara;
4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara vertikal maupun
horizontal); serta
5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan warga negara
berikut hak-hak asasi manusia).119

Ini berarti sanksi dalam hukum tata negara tergantung dari perimbangan

kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat. Demikian pula dilakukan tidaknya

sesuatu sanksi tergantung dari perimbangan kekuatan-kekuatan didalam

masyarakat itu.120 Dengan demikian keseimbangan kekuatan-kekuatan politik

bukanlah keseimbangan antara suatu kepentingan dari aspirasi politik yang ada di

tengah-tengah masyarkat, melainkan keseimbangan kekuatan-kekuatan politik

merupakan suatu keadaan yang terjadi adanya aneka perselisihan dalam

masyarakat, termasuk perselisihan politik yang harus diselesaikan secara terbuka

dan berdasarkan tolok ukur yang rasional dan diakui sebagai suatu kesepakatan

bersama sesuai dengan yang ditentukan dalam konstitusi.

Negara sebagai objek penyelidikan itu diselidiki juga oleh lain cabang

ilmu kenegaraan yaitu hukum tata negara. 121 Dengan demikian negara merupakan

suatu institusi yang terbesar dan terpenting dalam suatu bangsa yang berdasarkan

pada suatu sistem hukum yakni pranata yang menyantuni kebenaran dan keadilan

serta dapat dirasakan dalam kehidupan bersama.

119
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25.
120
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 7-8.
121
Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata
Aksara, Jakarta, hal. 18.

61
Hukum tata negara tidaklah terbatas hanya membahas ketentuan-

ketentuan mengenai struktur dan fungsi daripada negara beserta bagian-

bagiannya, serta menyusunnya dalam satu sistematik, tetapi juga memperhatikan

bagaimana pelaksanaannya dalam praktek, adanya penyimpangan- penyimpangan,

tantangan dan hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian hukum tata negara dapat didefinisikan sebagai

kekuasaan dari berbagai alat negara (staat orgaan), termasuk kekuasaan dari

kedaulatan politik. Hukum tata negara menelaah tentang kekuasaan politik diatur

dan dibagi, fungsi lembaga tertentu, hak dan kewajiban politik anggota

masyarakat, serta peraturan kegiatan politik yang seharusnya berlaku.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang

menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan

sendiri jalannya organisasi negara dijamin.122 Dalam demokrasi perwakilan ini

warga masyarakat juga menjalankan hak yang sama dalam proses pengambilan

keputusan/kebijakan publik. Namun proses tersebut tidak dilaksanakan secara

langsung oleh seluruh warga masyarakat, melainkan melalui perwakilan dan para

wakil warga tersebut bertanggung jawab kepada warga masyarakat yang

diwakilinya.123 Demokrasi perwakilan mempercayakan sepenuhnya pengambilan

keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. 124

122
Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 19.
123
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi Politik
Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans Publising, Malang, hal. 76.
124
Thomas Meyer, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, Friedrich-
Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, hal. 13.

62
Dua elemen yang paling esensial pada tipe demokrasi perwakilan ialah

pertama, dipisahkannya antara pemerintah dan masyarakat; kedua, secara periodik

diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) sebagai wahana warga masyarakat

dalam mengontrol pemerintah.125

Perwakilan dalam pemahaman yang paling sederhana adalah hasil

penunjukan dari beberapa kelompok untuk bertemu dengan kelompok lainnya

guna menyuarakan kepentingan, menegosiasikan dan mengawal hasil keputusan

yang dibuat bersama-sama.126 Perwakilan adalah media publik untuk menegaskan

partisipasi dan konstitusi bisa memainkan peran penting sebagai penyangga

legalitasnya.127 Bahkan pranata perwakilan merupakan andalan utama dalam

konsep negara demokrasi. 128

Dalam praktik ketatanegaraan, kita mengenal beberapa jenis

perwakilan:

Pertama, adalah jenis perwakilan geografis. Secara umum badan


perwakilan mengandung arti bahwa setiap anggotanya merupakan
perwakilan dari seluruh bangsa. Dengan demikian, wajar jika
masyarakat luas mengharapkan agar parlemen mewakili kepentingan
mereka,. Namun, dalam kenyataanya setiap anggota parlemen hanya
bersedia mewakili kelompok yang diwakilinya, yakni masyarakat di
wilayah geografis tertentu, dan mengesampingkan kelompok lain.
Kedua, adalah jenis perwakilan partai. Dalam sistem parlemen lainnya
partai politik merupakan jenis perwakilan paling terkemuka, khususnya
dalam sistem-sistem politik, disiplin terhadap partai politik sangat
tinggi. Dalam sistem semacam ini partai politiklah jenis perwakilan
paling pokok. Partai politik mengendalikan proses rekrutmen anggota
serta kegiatan legislatif di parlemen. Di beberapa negara, termasuk

125
Anis Ibrahim, Loc.Cit.
126
Muhammad Faisal, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di Indonesia:
Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25.
127
Ibid., hal. 25.
128
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung , hal. 212.

63
Indonesia saat ini, menjadi anggota parlemen berarti di satu sisi harus
mampu menunjukkan loyalitas terhadap partai, dan di pihak lain harus
dipilih oleh masyarakat di wilayah tertentu. Namun, dalam banyak
kasus kesetiaan terhadap partai jauh lebih menonjol ketimbang
kesetiaan kepada kelompok masyarakat yang diwakilinya. Bahkan,
lebih ekstrim lagi banyak anggota parlemen yang mengesampingkan
hubungan dengan para pemilih dan memusatkan kesetiaan mereka pada
partai. Ketiga, adalah jenis perwakilan kelompok kepentingan khusus.
Keterkaitan kelompok khusus dengan sendirinya mendorong anggota
untuk lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan yang mereka
wakili. Sebaliknya, keterikatan kepentingan timbal balik yang
berkembang memperkuat posisi perwakilan kelompok kepentingan
dalam tubuh parlemen.129

Dengan demikian sistim perwakilan hanya meliputi perwakilan politik

dan perwakilan daerah saja. Para pemilih hanya sebagai partisipasi terhadap

kemauan partai politik, artinya seorang pemilih mempunyai hubungan dengan

yang dipilih hanya pada saat pemilihan saja.

Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa di bidang politik

representativeness (keterwakilan) baru mempunyai arti kalau dikaitkan dengan

responsibility (pertanggungjawaban). Antara keterwakilan dengan bobot

pertanggungjawaban menjadi satu hubungan kausalitas yang secara substantif

mendasari hubungan antara wakil dan terwakil. 130

Maurice Duverger berpendapat bahwa:

The fundamental problem consists in measuring the degree of


accuracy of representation, that is the degree of correspondence
between public opinion and its expression in parliament.131

129
Paimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni, Bandung,
hal. 35-37.
130
Samsul Wahidin, 2011, Konseptualisasi Dan Perjalanan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 28.
131
Maurice Duverger, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In The
Modern State, Methuen & Co. Ltd., London, hal. 372.

64
(Masalah mendasar dalam mengukur tingkat ketepatan perwakilan,
yaitu tingkat kesesuaian antara pendapat umum dan
pengejewantahannya di parlemen.)

Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka

perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa

pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the people).

Otoritas sebuah pemerintahan, akan bergantung kepada kemampuannya untuk

mentranformasikan kehendak rakyat (will of the people) ini sebagai nilai yang

tertinggi di atas kehendak negara (will of the state).

Dengan perkataan lain sesuai dengan konsep demokrasi dengan sistem

perwakilan, maka rakyat tidaklah secara langsung menjalankan kedaulatannya,

akan tetapi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Badan

Perwaklian Rakyat. Jadi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk

di Badan Perwakilan Rakyat itu untuk menentukan jalannya pemerintahan

(demokrasi dengan perwakilan).132

Dengan demokrasi perwakilan, yang dimaksudkan adalah bahwa para

pejabat negara yang pada prinsipnya dipilih oleh rakyat, menjalankan kekuasaan,

kewenangan dan fungsinya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang

diwakilinya, baik dalam distrik-distrik tertentu, ataupun secara keseluruhan. 133

Atas dasar prinsip-prinsip normatif yang demikian itu, dalam praktek

kehidupan demokrasi, yang awal, lembaga legislatif yang memiliki posisi yang

132
Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum
Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung,
hal. 9.
133
Munir Fuady, Teori . . . , Op.Cit. , hal. 134.

65
sangat strategis dan sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang

kedaulatan rakyat serta kedaulatan DPR. Hal ini didasarkan kepada suatu

pandangan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat dan yang memilki

kompetensi untuk mengungkapkan kehendak rakyat (will of the people) dalam

bentuk undang-undang (UU).134

Pemahaman tentang konsolidasi demokrasi menjelaskan tiga tugas yang

perlu dilakukan, yaitu: pertama, pendalaman demokrasi (democratic deepening),

yakni struktur-struktur politik menjadi makin terbuka (liberal), akuntabel,

representatif dan aksesibel. Ini berarti kebebasan politik dijamin tetapi sekaligus

juga tunduk pada hukum; kedua, pelembagaan politik (political

institutionalization), yaitu terbangun dan tertatanya struktur-struktur politik dan

pemerintahan untuk menjamin terselenggaranya birokrasi yang melayani

kebutuhan publik, pemerintahan perwakilan yang mapan dan bertanggungjawab

(partai politik, pemilu, badan-badan pemerintahan) yang mencerminkan pluralitas

kepentingan masyarakat. Dengan ini, keperwakilan politik terpola meski tetap

terbuka untuk dikembangkan; dan ketiga, pengawasan terhadap kinerja

pemerintahan, yakni pemantauan oleh publik terhadap realisasi program-program

kebijakan publik, dapat dilakukan untuk memastikan terlayaninya kepentingan

umum secara memadai dan adil. Ini menegaskan bahwa demokrasi tetap

berlangsung setelah pemilu usai demi terpeliharanya komitmen pemerintahan

perwakilan terhadap kepentingan publik. Demokrasi yang terkonsolidasi

134
P. Anthonius Sitepu, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 173.

66
merefleksikan pengakuan dan penerimaan umum.135 Dengan pemahaman seperti

itu, dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi harus mencerminkan

kekuasaan yang dapat dikontrol sehingga tidak menjadi sewenang-wenang

terhadap warga negara (publik) sebagai sumber legitimasi kekuasaan tersebut.136

Tujuan utama sistem perwakilan dalam negara demokrasi adalah menyediakan

sarana bagi warga negara agar terbiasa melakukan kontrol tertentu terhadap

pembuatan keputusan politik pada saat mereka tidak dapat secara langsung

membuat keputusan itu sendiri.137

Wakil rakyat, adalah orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan

umum untuk bertindak mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Wakil rakyat

dalam hal ini lazimnya adalah anggota lembaga perwakilan atau parlemen yang

membuat undang-undang dan kebijakan serta mengawasi pelaksanaannya. 138

Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk

memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-

orang yang menjalankan tugas kenegaraan.139 Lembaga perwakilan, partai politik

dan pemilihan umum merupakan suatu rentetan kesatuan yang sulit dipisahkan.

Biasanya aktivitas partai politik seperti memperjuangkan program-programnya,

menyampaikan aspirasi yang diwakilinya diselenggarakan dalam lembaga

perwakilan dan umumnya anggota perwakilan rakyat terdiri dari orang-orang

135
Tommi A. Legowo, 2009, Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan
Politik, dalam Hamdan Basyar, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan
Tantangan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 78-79.
136
Ibid., hal. 80.
137
Arifin Rahman, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, hal. 170.
138
Jimly Asshiddiqie, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen
Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 25.
139
Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 143.

67
partai politik. Mereka duduk di lembaga tersebut adalah umumnya melalui

pemilihan umum.140

Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai

macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk,

susunan, kedudukan, dan kewenangannya pun beraneka ragam sesuai dengan

perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga

perwakilan rakyat itu pada pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak

warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa

yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat

yang berdaulat.141

Hal ini mengakibat sistem perwakilan yang dianut setelah perubahan

terhadap UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana

yang digagaskan, melainkan sistem perwakilan dengan tiga lembaga negara

sekaligus, yakni MPR, DPR dan DPD.142 Hal ini dapat dibenarkan karena

keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD.

UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah

dari kewenangan DPR dan DPD.143 Dengan demikian kedudukan dari ketiga

lembaga negara tersebut sederajat satu sama lain. Keberadaan MPR sendiri

merupakan kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk

mengambil keputusan di luar kewenangan DPR dan DPD sendiri.

140
Ibid., hal. 155.
141
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 153.
142
Abdy Yuhana, Op.Cit., hal. 148.
143
Rini Nazriyah, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek Di
Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 332.

68
Sebagai catatan, karena DPR menjalankan fungsi legislasi (membentuk

UU), begitu pula DPD, meskipun mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, maka

dapat dikatakan dari segi fungsi legislasi itu negara Indonesia menganut sistem

perwakilan bicameralism, tetapi karena fungsi legislasi dari DPD terbatas itu,

hanya mengajukan usul inisiatif Rancangan UU (tertentu) terutama di bidang

otonomi daerah, sehingga sistem bicameralism Indonesia dinamakan soft

bicameralism (bikameralisme lunak) lawannya strong bicameralism.144

Dengan demikian sistem perwakilan bikameral yang dianut pada lembaga

perwakilan Indonesia sebagai sistem bikameral lunak.

Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan:

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-


undang.

Pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:

DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan


sebagai lembaga negara.

Dengan demikian Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) adalah

lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga

perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.

Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menentukan:

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.

144
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian
Kenegaraan, Setara Press, Malang, hal. 113.

69
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan

rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR

yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang

mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan

(representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam pemilihan

umum, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR semakin

kuat.145

DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang

dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Hal ini ditegaskan pada Pasal 67

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah bahwa:

DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.

Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditegaskan bahwa:

Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam
puluh).

145
H.M. Hidayat Nur Wahid, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3-
September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta, hal. 5.

70
Rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berdiri sendiri,

tetapi terkait dengan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:

Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.

Anggota DPR periode 2004-2009 berjumlah 550 orang. Pada periode

2009-2014, jumlah anggota DPR bertambah menjadi 560 orang. Masa jabatan

anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR

yang baru mengucapkan sumpah/janji.146 Hal ini ditegaskan pada Pasal 74 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:

Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada
saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

DPR periode 2009-2014 memiliki komposisi dan konstalasi politik

baru. Fraksi Partai Demokrat (F-PD) pada periode ini (2009-2014) menduduki

peringkat teratas, memperoleh 148 kursi dari 560 anggota yang ada. Disusul oleh

Fraksi Partai Golkar (F-PG) sebanyak 106 kursi, Fraksi Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (F-PDIP) sebanyak 94 kursi, Faksi Partai Keadilan

Sejahtera (F-PKS) sebanyak 57 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN)

146
JF. Tualaka (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan
Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, hal. 144.

71
sebanyak 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) sebanyak 38

kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) sebanyak 28 kursi, Fraksi

Gerindra sebanyak 26 kursi, dan Fraksi Hanura sebanyak 17 kursi.147

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar anggota DPR

tersebut memilih memasuki partai politiknya dalam membentuk fraksi.148 Fraksi

dibentuk untuk bertugas meningkatkan kemampuan yang tercermin dalam setiap

kegiatan DPR. Fraksi adalah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari

kekuatan sosial politik dan mencerminkan susunan golongan dalam masyrakat.

Tugas fraksi antara lain menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu

yang menyangkut urusan masing-masing fraksi, serta meningkatkan kemampuan,

efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya yang

tercermin dalam setiap kegiatan DPR.149

Fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang.

Fraksi dibentuk oleh anggota partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi dapat

juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 atau lebih partai politik hasil

pemilihan umum yang memperoleh kurang dari 13 orang atau bergabung dengan

fraksi lain. Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi. Pimpinan

fraksi ditetapkan oleh anggota fraksinya masing-masing.150

David M. Olson berpendapat bahwa:

Both as a representative and as a legally powerful body in the


development of public policies, a legislature is encouraged to develop

147
M. Djadijono & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi Kinerja Satu
Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal. 67.
148
Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung, hal. 60.
149
Inu Kencana Syafiie, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANRI), Bumi Aksara, Jakarta, hal. 80.
150
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 181.

72
careful procedural rules. As a body of many equal members, a
legislature also develops elaborate internal organization.151

(Keduanya, baik sebagai wakil maupun sebagai lembaga hukum yang


kuat dalam pengembangan kebijakan publik, pembuat undang-undang
diharapkan untuk mengembangkan secara hai-hati membuat aturan-
aturan yang bersifat prosedural. Sebagai lembaga dari banyak anggota-
anggota yang setara, pembuat undang-undang juga mengembangkan
perluasan struktur organisasi internal.)

Dengan adanya mekanisme fraksi yang menghambat ruang gerak setiap

anggota DPR untuk menyuarakan kepentingan konstituennya, maka perlu diubah

dengan sistem komisi yang dibentuk berdasarkan prioritas kelompok masalah

yang akan ditangani.

Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, artinya demokrasi mengakui

dan memperlakukan seluruh rakyat dengan martabat dan hak yang sama, dan oleh

karena itu semua warga negara mempunyai hak mengusulkan calon

penyelenggara negara, memilih dan dipilih menjadi penyelenggara negara.152

Demokrasi sebagai salah satu cara pengorganisasian dan pengelolaan negara

cenderung didefinisikan secara sempit sebagai pemilihan umum yang bebas dan

adil (free and fair) untuk memilih para wakil rakyat dan kepala pemerintahan

tingkat nasional dan/ataupun lokal. Pengertian yang terbatas ini semakin lebih

sempit lagi dewasa ini karena dua kenyataan berikut. Pertama, mekanisme

perwakilan politik, seperti sistem perwakilan rakyat, sistem kepartaian dan sistem

pemilihan umum, semakin kurang efektif mewujudkan tujuan utama sistem politik

demokrasi, yaitu memfasilitasi keterlibatan aktif para warga negara dalam proses

151
David M. Olson, 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative View,
M.E. Sharpe, Armonk, New York, hal. 7.
152
Merphin Panjaitan, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara,
Permata Aksara, Jakarta, hal. 37-38.

73
penyelenggaraan negara, dan membuat dan melaksanakan kebijakan publik demi

kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Dan kedua, dari pemilihan umum

yang satu ke pemilihan umum berikutnya semakin sedikit warga negara yang

berhak memilih yang bersedia menggunakan hak pilihnya, baik dalam pemilihan

umum para wakil rakyat maupun kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional

maupun lokal.153

Hans Kelsen berpendapat mengenai hak politik merupakan hak

berpartisipasi dalam merumuskan kehendak negara sebagai berikut:

they grant to the right holder a role in forming the will of the state,
then even the subjective right of the private law is a political right, for
here, too, the right holder participates in forming the will of the
state.154

(hak-hak politik memberi sebuah peran kepada pemegang hak dalam


merumuskan kehendak negara, maka hak subjektif hukum privat adalah
hak politik, karena dalam hal ini pemegang hak partisipasi dalam
merumuskan kehendak negara.)

Dalam sistem kekuasaan organisasi negara, pemilihan pada pemilihan

umum, setiap orang yang menjadi warga negara berhak dan wajib untuk berkuasa

menentukan wakilnya. Kekuasaannya yang diakui sistem, terlahirkan peristilahan

dalam sistem satu orang satu suara, yang secara implisit bermakna bahwa satu

warga negara memiliki kuasa untuk berkuasa atas kekuasaan atas satu pilihan

demi satu wakil.

Herman Finer mengemukakan bahwa diperlukan partisipasi aktif dari


warga negara sebagai berikut:

153
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 25.
154
Hans Kelsen, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory, Claredon
Press, Oxford, hal. 46.

74
This was due to the more conscious operation of democracy and the
feeling that democratic government required active participation of the
citizen.155

(Hal ini lebih disadari dan dirasakan bahwa aktivitas demokrasi dan
pemerintahan yang demokratis diperlukan partisipasi aktif dari warga
negara.)

Partisipasi politik adalah sebagai satu bentuk kegiatan atau lebih oleh

seseorang atau sekelompok orang dalam upaya secara aktif maupun pasif

mengintervensi suatu realitas berdemensi politis yang memiliki pengaruh secara

langsung ataupun tidak terhadap dirinya atau kelompoknya. 156 Dengan demikian

warga negara menjadi partisipan dalam pembentukan hukum dengan turut

memberi sumbang saran dalam penyusunan undang-undang, juga dengan

mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Dalam kedaulatan rakyat dengan perwakilan, atau demokrasi dengan

perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect

democracy), yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat. Wakil-

wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat

tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang

hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka

waktu yang panjang. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat

bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri

oleh rakyat. Dan untuk menentukannya biasanya dipergunakan lembaga pemilihan

umum.

155
Herman Finer, 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen &
Co. Ltd., London, hal. 372.
156
Rudi Salam Sinaga, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 51.

75
Jadi pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-

wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai

negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu

tertentu.157 Tujuan diadakan pemilihan umum adalah untuk mewujudkan

demokratisasi, mewujudkan hak-hak rakyat, dan mewujudkan partisipasi rakyat

dalam politik untuk melakukan pendidikan politik dan pembangunan politik

masyarakat.158

Adanya ketentuan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum

dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit

menjiwai Pembukaan UUD 1945 dengan ketentuan bahwa seluruh anggota DPR

dipilih oleh rakyat melalui pemilu. 159 Hal ini sesuai dengan paham demokrasi

perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar

pemilihan (representation by election). Dengan adanya seluruh anggota DPR

dipilih melalui pemilu, demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR

makin kuat.160

Andrew Rehfeld bependapat bahwa:

The legitimacy of political representatives thus forms a precondition


for the enactment of legitimate law.161

(Legitimasi perwakilan politik itu merupakan prasyarat guna


membentuk berlakunya hukum yang sah)

157
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakata, hal.
328-329.
158
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang, hal. 170.
159
A.M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 110.
160
Ibid.
161
Andrew Rehfeld, 2005, The Concept Of Constituency: Political Representation,
Democratic Legitimacy, And Institutional Design, Cambridge University Press, New York, hal. 14.

76
Untuk dapat menjadi calon wakil rakyat dengan mengikuti pemilihan

umum, sangat bergantung kepada aturan pemilihan umum yang dianut.

Menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 ditentukan bahwa:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan


Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.

Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakil

rakyat.162 Dengan demikian partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata

kehidupan bernegara. Untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus

menjadi anggota partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partai

politik dan tidak membuka peluang adanya calon perseorangan.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan bahwa:

Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD


kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Bila tujuan yang hendak dicapai berupa sistem kepartaian pluralisme

ekstrim (sistem banyak partai), maka sistem pemilihan pemilihan umum

perwakilan berimbanglah yang dipilih karena lingkup dan besaran daerah

pemilihan (district magnitude) yang luas dan formula proposional untuk

menentukan calon terpilih lebih memungkinkan partai politik kecil untuk

memperoleh kursi.

162
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, Reformasi Sistem Multi-Partai
Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, Teori-
Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 177.

77
Sistem pemilihan umum seperti ini juga lebih tepat untuk menjamin

keterwakilan berbagai kelompok masyarakat yang dari segi jumlah terbilang kecil,

seperti perempuan, kelompok etnik atau kelompok agama. Akan tetapi bila

penduduk yang dikategorikan minoritas itu merupakan para warga negara yang

tidak hanya aktif berpolitik tetapi juga memiliki pengaruh, maka sistem distriklah

yang lebih mampu menjamin kepentingan kelompok minoritas tersebut dalam

kebijakan publik yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih karena mereka memiliki

kemampuan mempengaruhi wakil rakyat. Selain itu, sistem ini juga lebih tepat

untuk menghasilkan anggota dewan lebih sebagai wakil partai daripada wakil

rakyat, dan lebih mampu menghasilkan lembaga legislatif yang lebih

mengedepankan fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi dan anggaran. 163

Tak pelak lagi bahwa kecenderungan kuat politisi Indonesia

menggunakan Sistem Pemilu Proposional, pertama kali didasarkan kepada tatanan

masyarakat majemuk dengan aneka aspirasi, yang secara demokratik memerlukan

perwakilan politik berdasar prinsip proporsionalitas. Apalagi bila diikuti

kenyataan bahwa pengorganisasian masyarakat secara politik lebih berlandaskan

argumen hak politik berupa kebebasan berpartai, tanpa diimbangi dengan alasan

tanggung jawab (kewajiban) politik berupa agregasi kepentingan supaya

memperoleh kekuatan politik yang mencukupi untuk membentuk pemerintahan

yang stabil dan efektif.

Pengalaman negara pengguna Sistem Pemilu Proposional yang sukses

mengembangkan demokrasi maksimal, mengajarkan bahwa kewajiban politisi

163
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 48.

78
partai untuk memperkuat pemerintahan negara, dipenuhi dengan menghidupkan

lembaga koalisi digunakan supaya tercipta kekuatan politik mayoritas, yang

diperlukan oleh pemerintah manapun untuk mampu berkuasa secara efektif dan

sekaligus demokratik.164 Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh

sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang

dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. 165

Ada berbagai hak istimewa politisi partai yang harus dijamin melalui

penggunaan Sistem Pemilu Proposional. Pertama, para wakil partai di parlemen

menentukan peraturan pemilu melalui UU yang mereka tetapkan. Kedua, para

pemimpin partai menentukan calon pemilu. Ketiga, partai memonopoli pengajuan

calon ke KPU. Keempat, melalui nomor urut calon, pengurus partai menentukan

pemenang pemilu. Kelima, sebagai partai peserta pemilu, orpol berhak

menghimpun dan menggunakan dana pemilu. Keenam, setelah pemilu, melalui

fraksi, para penguasa partai menentukan sikap dan langkah anggota parlemen.

Dan ketujuh, pemimpin partai berhak merecall anggota parlemen yang dinilai

tidak loyal melalui pergantian antar waktu (PAW).166

Kelemahan sistem pemilihan umum proporsional (sistem berimbang),

memerlukan mesin politik partai (pengurus partai) yang besar, sampai ke desa-

desa, biaya mahal, dan hubungan antara calon terpilih (anggota parlemen) atau si

164
Arbi Sanit, 2009, Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 214.
165
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 30.
166
Arbi Sanit, Op.Cit., hal. 215.

79
wakil dengan yang diwakili renggang atau sistem proporsional melahirkan tipe

perwakilan partisan. Jadi si wakil bukan wakil rakyat, tetapi wakil partai. 167

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan menciptakan

derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan

yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.168

Dengan demikian demokrasi sangat menekankan terciptanya partisipasi politik

warga negara secara sadar dan bertanggung jawab.

Prinsip demokrasi berusaha menjamin bahwa semua orang atau semua

anggota bisa berpartisipasi dan saling mempengaruhi secara sama rata di dalam

mengatur urusan-urusan organisasi. Prinsip demokrasi menuntut adanya

pengaturan oleh rakyat bagi rakyat (self government) sesuai dengan keputusan

dari DPR dan menuntut adanya pemilu secara bebas yang semua pemilih sama-

sama berhak untuk dipilih.169 Tetapi, proses penentuan aturan dalam membentuk

dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata

bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik di

mana kepentingan merupakan penentu utama. Harap diingat, bahwa politik selalu

berhubungan dengan kepentingan (interest).170 Dengan demikian realitas politik

167
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu . . . , Op.Cit., hal. 121.
168
Andi Faisal Bakti, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang, hal. 90.
169
Eva Etzioni Halevy, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik, (Sobirin
Malian, Pentj), Total Media, Yogyakarta, hal. 29.
170
Afan Gaffar, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hal. 282.

80
ini bahwa pemilu diakui sebagai hal penting dan karenanya diakui dalam

peraturan perundang-undangan.

Proses penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan upaya untuk

memperjelas model keterwakilan dan pola relasi wakil rakyat dengan yang

diwakili. Model pola relasi rakyat dengan lembaga perwakilan rakyat yang

digambarkan di atas, dapat dijadikan alat analisis mengenai pola relasi antara

rakyat dengan DPR di Indonesia, mulai dari konstruksi menurut konstitusi dan

peraturan perundang-undangan, kinerjanya sampai mekanis pertanggungjawaban

wakil rakyat/DPR kepada konstituen/rakyat. 171

Wakil rakyat terpilih yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara

terbanyak memiliki legitimasi politik yang kuat. Hal mana legitimasi seperti itu

tidak didapatkan dalam sistem dengan mekanisme penentuan calon terpilih

berdasarkan nomor urut.172 Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana

keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

dengan cukup akurat mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat.173

171
Sebastian Salang, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi
Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 101.
172
Khairul Fahmi, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 268.
173
Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta, hal.
134.

81
Proposional terbuka sudah mirip dengan sistem distrik karena nomor

urut tidak menentukan. 174 Kalau sudah mengarah ke proposional terbuka atau

distrik maka tidak ada recall karena harus dilaksanakan pemilihan ulang atau

pemilihan sisipan (sela).175

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-

24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka suara pilihan rakyat

menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon

legislatif, sebaliknya dengan rendahnya perolehan suara juga menunjukkan

rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.

Dengan demikian sistem proposional daftar terbuka akan memberikan

kesempatan pemilih untuk menentukan figur elit partai politik mana yang layak

menduduki kursi di DPR. Wakil rakyat terpilih akan lebih memiliki legitimasi

kuat sehingga mereka bertanggung jawab pada konstituen pemilihnya.

Jika seorang wakil rakyat dalam pencalonannya adalah melalui partai

politik dan harus menjadi partai politik tersebut, maka hubungan hukum pertama

kali yang dimiliki oleh wakil rakyat adalah dengan partai yang bersangkutan.

Selanjutnya dengan terpilihnya dia sebagai wakil rakyat, berarti rakyat telah

memberikan amanat kepadanya untuk memperjuangkan aspirasi menjadi

174
Frank Feulner, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPER-United Nations Development
Programme Indonesia, Jakarta, hal. 152.
175
Ibid., hal. 159.

82
kebijakan publik.176 Mengenai representasi, ada representasi yang sudah

terpelihara secara emosional dalam hubungan antara anggota dengan rakyat.177

Namun sayangnya, partai-partai politik yang mendapat kepercayaan

rakyat tidak menyadari bahwa kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara

bertanggungjawab.178 Program partai bukan sebagai wujud pencapaian tujuan

partai melainkan sebagai alat untuk memperoleh simpatik pemilih. Hampir tidak

mungkin membenarkan partai politik memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru

sebaliknya parpol menjadi media pertarungan memperebutkan kekuasaan

berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. 179 Konflik internal dan buruknya

kinerja partai politik berpengaruh terhadap penyikapan masyarakat atas

keberadaan partai politik.180 Dengan demikian partai politik seharusnya tetap

berada pada suatu kaidah atau bingkai norma yang mampu mengarahkan untuk

membawa pada pemahaman dalam bersikap serta berperilaku yang benar dan baik

bagi semua orang.

Dengan menjadikan hasil perolehan suara dalam pemilu sebagai ukuran

kekuatan partai politik, elit partai yang memperoleh suara terbanyak

menjadikannya alat legitimasi untuk berkuasa di dalam parlemen dan kabinet. Di

sini kekuasaan rakyat tersandera oleh elit partai, di luar pertimbangan untuk

176
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Op.Cit., hal. 26.
177
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . Loc.Cit., hal. 159.
178
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 104.
179
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 136.
180
Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif,
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor 3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 293.

83
mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada rakyat. 181 Jika demikian, maka

sesungguhnya parpol bukan lagi sebagai media bagi masyarakat untuk melakukan

diskursus kepentingan bersama di ruang publik tapi justru sebagai satu subjek

politik yang setara berhadapan dengan individu dalam merumuskan apa yang

menjadi kepentingan bersama dan bagaimana mewujudkannya. 182

Dalam pemilu anggota DPR, misalnya, kontrol kuat elite partai yang

dimungkinkan UU pemilu menyebabkan sistem proposional dengan daftar calon

terbuka hanya berlaku dalam teori, namun berpotensi mandul dalam praktik. 183

Partai politik tidak berfungsi sebagai jembatan hubungan antara rakyat dan

anggota partai yang menjadi anggota DPR. Sistem pemilu proporsional telah

mengurangi kedekatan anggota DPR terpilih dengan konstituen yang diwakilinya.

Partai politik tidak sepenuhnya berpikir tentang aspirasi dan kepentingan rakyat.

Terjadi disparitas amat lebar antara agenda yang diusung partai politik dengan

aspirasi rakyat (konstituennya).184 Terlebih lagi, kekuatan kontrol partai kian

nyata dengan dihidupkannya lagi lembaga recall yang memungkinkan partai

mengusulkan pemberhentian anggota DPR.185

Pada saat pelaksanaan pemilihan umum, yang menentukan jadi

tidaknya seseorang sebagai wakil rakyat adalah bergantung kepada pilihan rakyat.

Hal ini menimbulkan hubungan hukum antara wakil rakyat dan rakyat pemilihnya

(konstituen). Bahwa terdapat kemungkinan bahwa pilihan rakyat lebih bergantung

181
Sebastian Salang, Loc.Cit., hal. 104.
182
Abdil Mughis Mudhoffir, Op.Cit., hal. 136.
183
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta, hal. 155.
184
Nyarwi, Loc.Cit.
185
Denny Indrayana, Negara . . . , Loc.Cit.

84
pada partai politiknya dari pada pribadi calon wakil rakyat, tidak menghilangkan

hubungan tersebut.

Seorang calon anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai

peserta pemilu untuk menjadi anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih

dan mengucapkan sumpah jabatan sebagai anggota DPR, memiliki hubungan

hukum, bukan hanya dengan partai politik yang merekrut dan mencalonkannya

dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat pemilih yang kemudian dikukuhkan

dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah sebagai anggota DPR, telah

melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah ada antara partai politik

yang mencalonkan dan calon terpilih tadi.

Hubungan hukum yang baru tersebut, timbul di antara anggota DPR,

dengan rakyat pemilih dan anggota DPR dengan (lembaga) negara DPR.

Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan kewajiban yang dilindungi

oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan bagi yang

bersangkutan untuk menjalankan peran yang dipercayakan padanya, baik oleh

partai maupun oleh rakyat pemilih.186

Demokrasi perwakilan yang kita anut memang selalu berkembang

seirama dengan kompleksitas masyarakat. Dengan tingkat perkembangan yang

demikian kompleks, tidak memungkinkan lagi setiap anggota masyarakat untuk

berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.187 Dengan demikian undang-

undang pemilu menentukan jenis partisipasi rakyat dalam proses penyusunan

undang-undang dan pengambilan keputusan.

186
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Loc.Cit., hal. 26.
187
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 112.

85
2.2. Sistem Kepartaian

Struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu supra

struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik di sini adalah

segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan

negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Hal-hal yang termasuk

dalam supra struktur politik ini adalah mengenai kedudukannya, kekuasaan dan

wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta perhubungannya antara alat-alat

perlengkapan itu satu sama lain.188

Supra struktur politik merupakan mesin politik resmi di suatu negara

sebagai pengerak politik formal. Suasana kehidupan politik pemerintah ini

bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi dan

wewenang/kekuasaan antar lembaga yang satu dengan lainnya. Suasana ini pada

umumnya dapat diketahui dalam konstitusinya atau peraturan perundang-

undangan lainnya.189

Infra struktur politik di sini adalah struktur politik yang berada di

bawah permukaan. Infra struktur politik ini meliputi lima macam komponen, yaitu

komponen partai politik, komponen golongan kepentingan, komponen alat

komunikasi politik, komponen golongan penekan dan komponen tokoh politik

(political figure).190

188
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Rajawali, Jakarta, hal. 39.
189
Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan Struktural
Fungsional, Kelir, Bandung, hal. 82.
190
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar . . . , Loc.Cit.

86
Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang

menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen supra struktur

politik dan infra struktur politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan

keputusan-keputusan politik maupun kebijaksanaan umum. Dalam khasanah

hukum tata negara, keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk

hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-undangan.191

Sistem politik bila ditinjau dari kerangka ketatanegaraan walaupun telah

dibentuk dan disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar tetap akan

dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara.192 Sistem politik dalam perspektif hukum tata negara tidak lain

adalah mekanisme ketatanegaraan yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan

garis-garis yang ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar beserta

peraturan perundang-undangan yang berlaku.193 Kunci kelangsungan sebuah

sistem politik modern adalah keseimbangan.194

Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang

satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk menggerakkan roda

kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif

untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudisial, partai

politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam

191
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220.
192
Ibid., hal. 215.
193
Ibid., hal. 216.
194
Frank Feulner, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia: Tinjauan
Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8-Tahun III, Maret,
Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 25.

87
batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah

tugas, dan sebagainya.195

Robert A. Dahl merumuskan sebagai berikut:

a political system as any persistent pattern of human relationships


that involves, to a significant extent, control, influence, power, or
authority.196

(sistem politik sebagai suatu pola yang tetap dari hubungan-


hubungan antar manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat yang
berarti, pengawasan, pengaruh, kekuasaan atau kewenangan.)

Fungsi utama dalam sistem politik ialah:

1. Perumusan kepentingan rakyat (Identification of interest in the


population) dan
2. Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (Selection of
leaders or official decision maker).197

Dengan demikian kegiatan-kegiatan itu selalu berorientasi kepada

kepentingan rakyat secara keseluruhan dan kepada kepentingan negara serta

proses menjadi pemimpin melalui prosedur pemungutan suara.

Sistem politik yang harus dikembangkan untuk dapat mendukung

terealisasikannya prinsip netralitas birokrasi baru adalah sistem politik yang

egaliter dan responsif. Sistem politik yang egaliter adalah sistem yang menunjuk

bahwa pejabat publik dan pejabat politik mau mengembangkan sikap terbuka

terhadap publik atau warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, golongan,

jabatan dan status sosial. Sistem politik yang egaliter menghendaki adanya dialog

195
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 21.
196
Robert A. Dahl, 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc., Englewood
Cliffs, New Jerssey, hal. 3.
197
Johanes Usfunan, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana Cerdas,
Denpasar, hal. 76.

88
yang intens antara pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif) dengan publik

sebagai warga negara. 198

Sistem politik yang responsif adalah sistem politik yang mampu

menjamin terserapnya aspirasi publik sebagai warga negara dalam pemerintahan.

Birokrasi (legislatif dan eksekutif) dalam hal ini harus mampu menciptakan

ruang-ruang demokrasi demi memperbanyak kesempatan terserapnya aspirasi dari

beragam stakeholders.199

Sistem politik yang egaliter dan responsif dikembangkan sebagai bagian

dari meletakkan kedaulatan adalah di tangan rakyat. Pemerintah (legislatif dan

eksekutif) harus mau menegaskan posisinya sebagai pelayan, pengayom dan

pelindung publik atau warga negara.200

Dengan demikian sistem politik yang egaliter dan responsif dalam

pelaksanaannya adalah adanya komunikasi yang intens antara warga negara

dengan birokrasi dan lembaga perwakilan rakyat patut dijaga secara harmonis dan

saling menghormati. Memposisikan birokrasi sebagai pihak yang layak untuk

dipertimbangkan aspirasinya dalam setiap kebijakan lembaga perwakilan rakyat,

sehingga ada terjalinnya hubungan yang egaliter antara publik, birokrasi dan

lembaga perwakilan rakyat.

Di dalam mekanisme sistem politik Indonesia menurut UUD 1945,

maka untuk menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan keputusan politik

(produk-produk hukum) komponen infra struktur politik berfungsi menyampaikan

198
Dwiyanto Indiahono, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys,
Gava Media, Yogyakarta, hal. 238.
199
Ibid., hal. 239.
200
Ibid., hal. 239-240.

89
berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat

(social demand). Sedangkan supra struktur politik, yakni lembaga-lembaga

negara, khususnya yang menjalankan fungsi representasi rakyat berperan sebagai

sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output

yang berwujud keputusan-keputusan politik. Mekanisme ini berjalan berdasarkan

asas keseimbangan.

Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih menitik

beratkan pada komponen supra struktur politik dalam hal berprakarsa, maka

sistem politik yang dijalankan lebih berwatak sistem politik otoritarian atau

totalitarian. Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititikberatkan pada

kepentingan-kepentingan infra struktur politik, khususnya komponen partai

politik, maka kepentingan masyarakat secara umum akan dinafikan, dan

kepentingan partai politik yang akan ditonjolkan.201

Partai politik adalah salah satu perwujudan hak atas kemerdekaan

berserikat yang terkait erat dengan kebebasan mengeluarkan pendapat serta

kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Hak-hak tersebut merupakan sarana bagi

warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan hak-hak

tersebut merupakan prasyarat demokrasi. 202

Robert A. Dahl mengatakan bahwa:

A democracy is a political system in which the opportunity to


participate in decisions is widely shared among all adult citizens.203

201
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220-221.
202
Muchamad Ali Safaat, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan Praktik
Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
203
Robert A. Dahl, Modern . . . , Op.Cit., hal. 5.

90
(Demokrasi adalah suatu sistem politik di mana kesempatan untuk
berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan diberikan secara luas
kepada semua orang-orang dewasa.)

Demokrasi juga membutuhkan partisipasi politik masyarakat.

Partisipasi politik masyarakat harus berpengaruh kuat dalam proses

penyelenggaraan negara, agar rakyat dapat mengendalikan negara. 204 Partai politik

merupakan salah satu sarana atau wadah bagi warganegara berpartisipasi di

bidang politik.205 Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang secara khusus

mempunyai tugas pokok untuk memanifestasikan kekuatan sosial ke dalam

kekuasaan politik. 206 Partai adalah organisasi yang semata-mata melibatkan

perhatiannya pada politik, mereka benar-benar partai politik dalam arti yang

sebenarnya.207

Keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern

tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih

beradab.208 Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi

yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah,

keberadaan partai politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham

demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem

ketatanegaraan.209 Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat

204
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
205
Silahudin, Op.Cit., hal. 69.
206
J.M. Papasi, 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.
89.
207
Maurice Duverger, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan, (Laila
Hasyim & Afan Gaffar, Pentj), Bina Aksara, Jakarta, hal. 119.
208
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 260.
209
Zainal Abidin Saleh, Op.Cit., hal. 69.

91
ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.210

Kata partai berasal dari kata part yang berarti bagian dan yang

menunjuk kepada bagian dari para warga suatu negara, sedangkan kata partai

menunjuk kepada sekumpulan barang-barang atau segerombolan orang-orang,

jadi kini menunjuk kepada perkumpulan sejumlah warga-warga dari suatu negara,

yang menggabungkan diri dalam suatu kesatuan, yang mempunyai tujuan

tertentu.211

Politik yaitu suatu usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita

atau ideologi.212 Politik ialah hal yang ada hubungannya dengan kekuasaan.213

Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti

negara kota. Orang yang mendiami polis disebut polites. Polites berarti warga

negara. Politikos berarti kewarganegaraan. Dari istilah ini muncullah politike

techne yang berarti kemahiran politik. Ars politica yang berarti kemahiran tentang

soal kenegaraan. Politike episteme berarti ilmu politik. Dari kata inilah kata politik

yang kita gunakan saat ini berasal.214

Dari kata polis tersebut dapat diketahui, bahwa politik merupakan

istilah (terminologis) yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat,

yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar

210
Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, hal. 55.
211
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco,
Bandung-Jakarta, hal. 102.
212
Soelistyati Ismail Gani, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 12.
213
Ibid.
214
Ng. Philipus & Nurul Aini, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 89-90.

92
terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Jadi, di dalam

konsep ini terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas

pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijakan dan

hukum-hukum yang menjadi sasaran pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang

hendak dicapai.

Polis ini mempunyai tujuan untuk memberikan kehidupan yang baik

bagi warga negaranya. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan dan perencanaan

untuk melakukan kegiatan polis tersebut, yakni melalui usaha-usaha yang

dilakukannya dengan mengubah keadaan yang ada sekarang dengan

menggunakan suatu alat kekuasaan di suatu wilayah negara, atau disebut

aktivitas politik. Maka usaha mencapai kesejahteraan lahir batin bagi umat

manusia itu memerlukan semakin banyak aktivitas politik. 215

Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia pasti memiliki tujuan-

tujuan tertentu, demikian pula halnya dengan organisasi yang disebut partai

politik. Tujuan pembentukan suatu partai politik di samping tujuan yang utama

adalah merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam

pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari aktifitas yang dilakukan oleh

partai politik.216

Suatu organisasi politik baru dapat diklaim atau dikatakan partai politik

bila merupakan sekelompok orang yang terorganisasi dan berakar dalam

masyarakat lokal dengan memiliki beberapa tujuan dan beraktivitaskan

215
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 10-11.
216
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 261.

93
menyeleksi kandidat pejabat publik secara berkesinambungan. 217 Karenanya

partai politik perlu menyeleksi individu-individu yang dipercaya untuk

menduduki jabatan-jabatan publik dalam legislatif dan eksekutif, baik tingkat

nasional maupun lokal.218

Organisasi partai politik tidak hanya bertujuan untuk mengorganisasi

beragam ide, gagasan, kepentingan, dan tujuan politik yang sama. Kehadiran

partai politik juga sangat terkait dengan sistem parlemen.219 Sebagai sumber

rekrutmen politik untuk masuk ke DPR maupun ke lembaga lain partai politik

harus dibiarkan tumbuh dari kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. 220

Partai politik dianggap dan dipakai sebagai kendaraan politik oleh

individu-individu untuk meraih kekuasaan. Mendudukan partai politik sebagai

organisasi yang mampu mengantarkan individu untuk berkuasa telah mereduksi

arti penting partai politik di Indonesia.221 Partai politik memainkan peran sentral

dalam menjaga pluralisme ekspresi politik dan menjamin adanya partisipasi

politik, sekaligus juga persaingan politik. Dengan demikian, berbicara tentang

sistem demokrasi secara umum dan persaingan politik pada khususnya tidak akan

dapat dilepaskan dari analisis atas partai politik itu sendiri.222

Kehadiran partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik

modern yang demokratis. Partai politik sebagai suatu asosiasi yang mengaktifkan

217
A.A. Sahid Gatara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Pustaka
Setia, Bandung, hal. 191.
218
Sigit Pamungkas, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta, hal. 134.
219
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik Komunikasi Dan Positioning
Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 57.
220
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, hal. 299.
221
Firmanzah, Op.Cit., hal. 45.
222
Ibid., hal. 44.

94
partisipasi politik rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi

bagi persaingan, dan memunculkan kepemimpinan politik, telah menjadi

keharusan. Dalam perspektif warga negara, pembentukan partai politik merupakan

pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan

pendapat.223

Ketiga prinsip kemerdekaan atau kebebasan diakui dan dijamin oleh

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menentukan:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat.

Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan mengeluarkan pendapat,

berserikat, dan berkumpul tersebut merupakan bagian dari upaya membangun peri

kehidupan kebangsaan kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum.224

Partai politik telah menjadi institusi yang sangat penting dalam sistem

politik demokrasi. Pada banyak negara berperan penting sebagai perekat bangsa

dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan untuk membentuk

bangsa yang padu. Kebebasan memberi hak bagi segenap warga negara untuk

berkumpul dan berserikat, kesetaraan memungkinkan segenap warga negara

dalam derajat yang sama untuk mengaktualisasikan diri dalam politik, dan

223
Andy Ramses M., 2009, Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 149.
224
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok , Op.Cit., hal. 711-712.

95
kebersamaan menempatkan partai politik sebagai wahana untuk mencapai tujuan

bersama dalam negara.225

Kebebasan dalam hal ini mengacu pada kebebasan berekspresi dan

kebebasan berpendapat.226 Kebebasan berkomunikasi memberikan kesempatan

pada beragam suara, ide, gagasan maupun pendapat dan merespons bermacam-

macam tuntutan kebutuhan.227 Kebebasan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia

dalam dunia politik dan sipil tersebut menunjukan bahwa di Indonesia kebebasan

politik telah betul-betul dirasakan. Kebebasan mendirikan partai politik ini

diikuti dengan terbatas.228 Karena tanpa kemerdekaan untuk mengeluarkan

pendapat baik lisan maupun tulisan, maka akan mustahillah kedaulatan yang ada

di tangan rakyat itu dapat direalisasikan dalam kehidupan ketatanegaraan.229

Partai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau

mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-

citakan. Partai politik dibentuk untuk memperjuangkan preskripsi itu menjadi

kenyataan. Ideologi, platform partai atau Visi dan Misi seperti inilah yang

seharusnya menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik.

Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang

menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan

negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik

merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan

225
Andy Ramses M., Loc.Cit.
226
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan, Depok,
hal. 13.
227
Ibid., hal. 14.
228
Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam
Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang, hal. 163.
229
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, Op.Cit., hal. 118.

96
dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi

penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah.

Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi

semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur
230
bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada hakikatnya partai

politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam

hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan tujuan

pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam

pemerintahan secara konstitusional.231

R.H. Soltau mengemukakan tentang partai politik adalah:

a group of citizens more or less organised, who act as a political


unit and who, by the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general policies.232

(sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang


bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang, dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka)

Dengan demikian partai politik merupakan sekumpulan orang yang

memfusikan dirinya ke dalam sebuah organisasi politik yang terstruktur di setiap

230
Ramlan Surbakti, 2009, Perkembangan Partai Politik Indonesia, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 139.
231
Zainal Abidin Saleh, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 70.
232
R.H. Soltau, Op.Cit., hal. 199.

97
level yang bekerja secara kolektif dengan tujuan meraih pengaruh dalam wilayah

kekuasaan pemerintahan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Tujuan partai politik sebagai berikut:

a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukan


orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta
mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada
umumnya,
b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap
kelakuan, tindakan, kebijakan para pemegang otoritas (terutama dalam
keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai
politik yang bersangkutan),
c. Berusaha untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang
masih mentah (raw opinion), sehingga partai politik bertindak sebagai
penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political
issues) yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas. 233

Pada setiap sistem demokrasi, partai politik mempunyai posisi (status)

dan peranan (role) yang sangat penting. Partai politik memainkan peran

penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan

warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang

sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar

yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem

politik yang demokratis.

Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses

pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara

dengan institusi-institusi kenegaraan. Karena dalam negara demokratis, partai

politik memiliki fungsi: (a) sebagai sarana komunikasi politik; (b) sebagai sarana

sosialisasi politik; (c) sebagai sarana recruitment politik dan (d) sebagai sarana

233
Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar,
Sinar Baru, Bandung, hal. 66.

98
pengatur konflik.234 Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di

dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik

telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi.

Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang

sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih

kekuasaan. 235

Secara sadar segala hal yang berkaitan dengan tata kehidupan

berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sangat ditentukan oleh kiprah partai

politik yang termanifestasikan dalam kelembagaan parlemen. 236 Dengan demikian

partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan

masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan.

Partai politik adalah asosiasi warga negara dan karena itu dapat

berstatus sebagai badan hukum (rechts persoon). Akan tetapi, sebagai badan

hukum, partai politik itu tidak dapat beranggotakan badan hukum yang lain. Yang

hanya dapat menjadi anggota badan hukum partai politik adalah perorangan warga

negara sebagai natuurlijke persoons.237 Badan hukum itu dapat dilihat dari segi

kepentingan hukum yang diwakilinya atau pada tujuan aktifitas yang

dijalankannya. Dari segi kepentingannya, badan hukum dapat disebut sebagai

badan hukum publik apabila kepentingan yang menyebabkannya dibentuk

234
Suko Wiyono, 2009, Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan
Presidensial Di Indonesia, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor, Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah
Diskursus Tentang Pemilu, Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk
Sang Penggembala Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans Publising, Malang, hal. 64-65.
235
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 265.
236
Sudarsono, 2012, Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik, dalam
Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana
Malang Press, Malang, hal. 17.
237
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan, Op.Cit., hal. 69.

99
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan publik, bukan kepentingan

orang per orang.238

Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antar partai politik

dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari

partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan

program-program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk

merealisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada

berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.239

Maurice Duverger mengemukakan tentang sistem kepartaian bahwa:

The party system exiting in a country is generally considered to be the


result of the structure of its public opinion.240

(Sistem kepartaian yang nampak di suatu negara yang pada umumnya


dianggap merupakan hasil dari struktur pendapat umum.)

Dengan demikian sistem kepartaian yang berlaku itu memperlihatkan

pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat pada negara tersebut.

Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, pada prinsipnya dikenal

adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:

a. Sistem Partai Tunggal (One Party System). Sistem partai tunggal

meliputi baik negara yang memang benar-benar hanya mempunyai satu

partai di samping itu juga negara di mana ada satu partai yang

dominan.241 Partai-partai politik itu merupakan partai-partai politik

238
Ibid., hal. 78.
239
Leo Agustino, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 112-113.
240
Maurice Duverger, Political, Loc.Cit.
241
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 114.

100
kecil yang keberadaanya dapat dinyatakan tidak mutlak. 242 Dengan

demikian sistem satu partai atau one party system menunjukkan kepada

kita bahwa di suatu negara hanya terdapat satu partai politik yang

dominan, dalam arti partai politik tersebut memainkan peranan yang

dominan dalam kehidupan politik di negara di mana dia berada.

b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Suatu negara dengan sistem dua

partai berarti bahwa dalam negara tersebut ada dua partai atau

mempunyai lebih dari dua partai akan tetapi yang memegang peranan

dominan yaitu dua partai.243 Adapun pengertiannya hanya kedua partai

politik itu saja yang memainkan peranan yang dominan dalam

kehidupan politik di negara di mana keduanya berada.244 Dengan

demikian sistem dua partai atau two party system menunjukkan kepada

kita bahwa di suatu negara hanya terdapat dua partai politik yang

dominan.

c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Dalam negara dengan

bersifat multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama

kekuatannya.245 Partai-partai politik tersebut memainkan peranan yang

dominan dalam kehidupan politik di negara mereka berada.246 Pola

multi partai lebih mencerminkan keanekaragaman sosial, budaya dan

politik, jika dibandingkan dengan pola dua partai. Dalam sistem multi

242
Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta, hal.
73.
243
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 115.
244
Haryanto, Partai, Op.Cit., hal. 47.
245
Soelistyati Ismail Gani, Loc.Cit., hal. 115.
246
Haryanto, Partai, Op.Cit., hal. 60.

101
partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk

suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalisi dengan

partai lainnya.247 Dengan demikian sistem banyak partai atau multy

party system menunjukkan kepada kita bahwa di suatu negara terdapat

partai politik yang jumlahnya lebih dari dua. Pada umumnya negara

yang menganut sistem banyak partai adalah negara yang masyarakatnya

bersifat majemuk.

247
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 116.

102
BAB III

HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI

POLITIK BERKENAAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA

DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM

3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi Yang

Berdasarkan Hukum

Prinsip-prinsip pemerintahan demokratik tersebut harus dijalankan oleh

setiap pemerintah yang berkuasa. Begitu juga halnya dengan pemerintah

Indonesia, karena UUD 1945 juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini

dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat

negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Selanjutnya pada

sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945

berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan.248

Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi

sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai

standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga

dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan

posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok

248
Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum
Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, hal. 24.

103
pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat

menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.249

Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengakui Ketuhanan

Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.250 Demokrasi Pancasila ialah

pemahaman demokrasi yang dijiwai dan disemangati oleh sila-sila Pancasila.251

Dengan demikian paham demokrasi Pancasila bersumber pada kepribadian dan

falsafah hidup bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan

Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

Landasan terpenting yang dipakai untuk menjelaskan demokrasi yang

berasal dari bumi sendiri, yaitu Demokrasi Pancasila, terletak pada sila keempat

Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan). Dengan demikian berdasarkan asas ini maka

rakyat ditempatkan sebagai subjek demokrasi, artinya rakyat sebagai keseluruhan

berhak untuk ikut serta secara aktif menentukan keinginan-keinginannya,

sekaligus sebagai pelakasana dari keinginan-keinginan tersebut, dengan berperan

serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara.

Ada beberapa dogma dasar yang secara tersirat maupun tersurat

terkandung dalam demokrasi ini. Pertama, prinsip musyawarah untuk mencapai

kata mufakat merupakan landasan unik dan spesifik yang terdapat dalam

249
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 391.
250
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga,
hal. 40.
251
H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila Dan UUD45 Dalam Paradigma
Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 84.

104
demokrasi Indonesia. Kedua, prinsip musyawarah/mufakat itu mencerminkan

landasan ideal yang bersumber dari semangat gotong royong dan kekeluargaan

yang dianggap sebagai cermin sejati dari budaya politik Indonesia. Ketiga, dengan

ciri gotong royong dan kekeluargaan ini, Demokrasi Pancasila menolak

pemikiran yang dikembangkan dalam demokrasi liberal Barat yang menempatkan

kepentingan individual sebagai sentral isu. Keempat, penolakan yang tegas

terhadap format yang menempatkan oposisi dan konflik sebagai bagian dari

persaingan politik.252 Begitu juga tata cara Demokrasi Pancasila ketika harus

mengambil keputusan tersebut bukan pilihan secara langsung tetapi melalui

perwakilan. 253

Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum di

Indonesia karena peraturan perundang-undangan apapun di Negara Kesatuan

Republik Indonesia ini, mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan

perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.254

Dengan demikian Pancasila menjadi dasar negara, sebagai jiwa dan kepribadian

bangsa, tujuan dan kesadaran bangsa, cita-cita moral yang meliputi suasana

kejiwaan yang luhur serta merupakan pandangan hidup.

Cara pandang atau paradigma Pancasila yang memiliki posisi ganda

dalam sistem hukum nasional, yaitu berkedudukan sebagai cita hukum (rechtside)

memiliki fungsi konstitutif serta fungsi regulatif dan berkedudukan sebagai norma

252
Daniel Sparingga, 2009, Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan
Prakteknya, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 7.
253
M. Dimyati Hartono, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional, Gramata Publishing,
Depok, hal. 83.
254
Inu Kencana Syafiie, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung, hal. 88.

105
dasar (grundnorm), menyatukan tata hukum kedalam satu susunan norma hierarki.

Fungsi konstitutif berarti Pancasila menjadi dasar pembenar atau legitimasi

filosofis norma-norma hukum dan fungsi regulatif berarti Pancasila menjadi tolok

ukur aturan hukum itu adil atau tidak adil dalam tata hukum Indonesia. Pancasila

sebagai norma dasar (grundnorm), merupakan sumber dari segala sumber hukum

baik bagi norma hukum dalam tata hukum maupun norma moral, etika, kesusilaan

bagi kehidupan bangsa Indonesia.255

Sebagai negara hukum yang telah menentukan Pancasila sebagai

falsafah dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan

harus bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Begitu penting dan

mendasarnya falsafah dan dasar negara tersebut, harus dilakukan dengan

pemikiran yang betul-betul komprehensif, arif dan bijaksana. Harapannya adalah

falsafah dan dasar negara tersebut dapat dijadikan landasan untuk menuju

masyarakat adil dan makmur.256 Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang

memuat ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi.

Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi,

telah terkandung dalam ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia menganut

faham kedaulatan rakyat. 257

255
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Membangun Hukum Indonesia: Paradigma
Pancasila, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara
Press, Malang, hal. 115.
256
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 318.
257
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan
Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 95.

106
Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah

mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2)

UUD 1945 menegaskan bahwa:

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut


Undang-Undang Dasar.

Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan

lazimnya disebut kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD 1945.258 Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan

bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie).

Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya adalah rakyat, dimana dalam

pelaksanaanya disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional

yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).259

Sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi

agar semua aspirasi masyarakat dapat dikonsentrasikan untuk dijadikan keputusan

bersama. Sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa

saling berbenturan.260 Dengan demikian UUD 1945-lah yang menentukan bagian-

bagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaannya kepada badan atau

lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD

1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak

258
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331.
259
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 218-219.
260
Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 41.

107
diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung

dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui Pemilu.261

Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditandai oleh hadirnya

pemilihan yang jujur untuk menentukan wakil-wakil rakyat melalui partai politik.

Prinsip mayoritas melalui pemilihan umum secara ideal memang dapat

memberikan jaminan terhadap dihormatinya prinsip rakyat berdaulat.262 Dengan

demikian makna kedaulatan dibangun untuk menandakan keberadaan orang dalam

komunitas politik tertentu.

Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar,

seperti hak menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan

berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan

dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka

proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan karena

adanya perbedaan-perbedaan dalam akses, kemampuan, status, gender, kelas

sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias baik

terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam

kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum sehingga masing-masing

pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin

tercapainya partisipasi tersebut tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan

hukum yang mendasar.263

261
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331-332.
262
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 18.
263
Suharizal & Firdaus Arifin, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 54.

108
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 264 Hal ini

sebagaimana dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menentukan:

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,


dan fungsi pengawasan.

Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,

tetapi terkait dengan ditegaskan pada Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf

c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah bahwa:

DPR mempunyai fungsi:


a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.

Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 69 ayat (1)

huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diperjelas dengan Pasal 70

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:

(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a
dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.

264
JF. Tualaka (Ed.), Loc.Cit.

109
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang dan APBN.

Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran

(budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di DPR.265 Pada Pasal

69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa:

Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam


kerangka representasi rakyat.

Rumusan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipertegas dengan

Penjelasan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:

Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat


dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik,
transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR
kepada rakyat.

DPR mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat, dan semuanya

merangkap menjadi anggota MPR, serta menjadi partner pemerintah dalam

membuat Undang-Undang.266 Hak-hak anggota DPR yang diatur dalam Pasal 78

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan


265
Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 85.
266
Dann Sugandha, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru, Bandung, hal. 52.

110
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:

a. mengajukan usul rancangan undang-undang;


b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.

Rumusan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dipertegas dengan Penjelasan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:

Huruf a
Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan
menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya
dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang.

Huruf b
Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan
maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPR.

Huruf c
Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara
leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga
ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta
kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat
diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap

111
memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan
sebagai wakil rakyat.

Sebenarnya itu adalah hak anggota DPR dan bagian dari upaya untuk

lebih memahami masalahnya.267 Dengan demikian anggota DPR menyikapi dan

menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk

mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis, untuk menyampaikan

usul dan pendapat secara leluasa ada jaminan kemandirian sesuai dengan

panggilan hati nurani serta kredibilitasnya tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di

dalam proses pengambilan keputusan dengan tetap memperhatikan tata krama,

etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.

Hak imunitas merupakan salah satu hak anggota DPR, sebagaimana

dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 menentukan:

Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar


ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas.

Rumusan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,

tetapi terkait dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:

(1) Anggota DPR mempunyai hak imunitas.


(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik

267
Denny Indrayana, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 330.

112
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian hak imunitas adalah kekebalan hukum yang setiap

anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena

pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis

dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata

Tertib dan Kode Etik.

3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai

Politik Dalam Kaitan Hak Recall

Demokrasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki,

maka sudah barang tentu menjalankan prinsip-prinsipnya yang satu sama lain

saling berkaitan sebagai suatu sistem.268 Sistem demokrasi adalah sistem tentang

pengikut sertaan rakyat dalam hal pengambilan keputusan. Dengan demikian

dalam hal pengambilan keputusan, rakyat atau warga diikutsertakan, di sini ada

dan dilaksanakan demokrasi. Demokrasi adalah wujud prinsip kedaulatan rakyat,

268
Sukarna, Sistim Politik, Op.Cit., hal. 39.

113
sinonimnya adalah kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf

tertinggi dan terakhir wewenang membuat keputusan.269

Demokrasi tidak hanya berarti bahwa sarana-sarana formal sebuah

demokrasi politis berfungsi semestinya, walaupun itu pun penting. Melainkan

yang paling penting ialah agar di segala tingkat masyarakat sendiri dilibatkan

dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut mereka sendiri.

Demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat

untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat. 270 Dengan

demikian, partisipasi rakyat boleh dikatakan merupakan salah satu ciri yang

terpenting dalam demokrasi. Ciri ini menunjukkan adanya prinsip

kewarganegaraan yang aktif dengan bentuk dan corak partisipasi yang berbeda-

beda. Partisipasi publik dalam memperngaruhi kebijakan negara dalam level

tertentu merupakan bagian dari partisipasi politik. 271 Partisipasi publik (partisipasi

politik) dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah keterlibatan masyarakat

dalam forum pengambilan keputusan, dan bukannya sebatas dengar pendapat

ataupun konsultasi semata.272

Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrument-

instrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai

institusi hukum yang tertib.273 Proses terbentuknya hukum nasional yang

269
Soehino, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal.
139-140.
270
Franz Magnis Suseno, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 47.
271
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 83.
272
Ibid., hal. 86.
273
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 35.

114
disepakati haruslah dilakukan melalui proses permusyawaratan sesuai prinsip

demokrasi perwakilan sebagai penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat.274

Dalam negara hukum Indonesia tidak boleh terjadi hukum berdiri

sendiri pada satu sisi sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah

menantang hukum di sisi lain. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah

negara hukum, konstitusi kita UUD 1945 hasil amandemen telah menempatkan

hukum dalam posisi supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia.275

Namun, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan

dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran

serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga

setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan

mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh

dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk

hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin

kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang

dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische

rechtsstaat.276

Dalam negara hukum kekuasaan negara terikat pada hukum. Tidak

semua negara hukum adalah negara demokrasi, karena negara bukan demokrasi

274
Ibid.
275
Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional, Total
Media, Yogyakarta, hal. 125.
276
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, hal. 212.

115
juga bisa taat kepada hukum. Tetapi negara hukum adalah keharusan dalam

demokrasi, artinya suatu negara demokrasi haruslah sekaligus negara hukum.277

Dalam konsep negara hukum yang demokratis terkandung makna

demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu

sendiri ditentukan dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi. 278

Dengan konstitusi, bentuk pemerintahan dapat dijalanan secara demokratis dengan

memerhatikan kepentingan rakyat, melindungi asas demokrasi, menciptakan

kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat, melaksanakan dasar negara,

dan menentukan hukum dengan adil.279

Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah

hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma

hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah

negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi

disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus

merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian

sosial tertinggi. Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara

dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan

baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh

para warga negara harus berdasarkan atas hukum.280 Hukum tertinggi di suatu

277
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
278
Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, hal. 7.
279
Zukarnaen & Beni Ahmad Saebani, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung, hal. 41.
280
Abdul Aziz Hakim, Op.Cit., hal. 8.

116
negara merupakan produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari

seluruh rakyat, yaitu konstitusi.281

Struktur dasar dari demokrasi konstitusional yang modern ialah

keadilan dan kebebasan politik. Oleh karena itulah konstitusi lantas dimengerti

sebagai penataan sistematis terhadap struktur organ-organ negara beserta

kewenangannya dan pembatasannya oleh hak-hak konstitusional, yang

diperjuangkan melalui proses-proses yang panjang, dinamis, serta berhubungan

pula dengan tradisi dan budaya kekuasaan negara.282 Dengan demikian di dalam

negara demokrasi konstitusional, antara demokrasi dan nomokrasi saling

melengkapi.

Dalam pengertian yang sangat sederhana, bahwa di negara hukum itu

tidak ada warga negara yang berada di atas hukum, dan karenanya semua warga

negara harus patuh pada hukum. Oleh karena itu hukum itu harus bersifat

memaksa dan berlaku kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal hukum, biarpun dia

pembuat hukum. Sifat paksa dari hukum itu harus dilakukan oleh perangkat

negara dengan justifikasi peraturan.283

Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan

supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada

kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).284 Karena itu dalam

281
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
282
Pudja Pramana Kusuma Adi, 2010, Telaah Atas Metode-Metode Dari Beberapa
Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan Gagasan-Gagasan Demokrasi
Konstitusional, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 373.
283
Fajlurrahman Jurdi, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi
Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 16.
284
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 47.

117
praktik atau permainan politik segala etika politik dan segala aturan permainan

atau segala macam aturan hukum haruslah dihormati dan ditegakkan. 285 Oleh

karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak

boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa

yang akan melahirkan negara hukum yang totaliter.286

Untuk merealisasikan pelaksanaan UUD 1945 jelas membutuhkan

pemahaman secara utuh dan menyeluruh UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang

utuh terhadap UUD 1945 bagi seluruh komponen bangsa merupakan suatu

kebutuhan karena UUD 1945 adalah konstitusi negara yang memuat norma dan

nilai yang sangat fundamental yang telah disepakati bersama, sebagai landasan

dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai

aturan dasar yang sudah sah, UUD 1945 berisi serangkaian norma yang mengikat

keberlakuannya. Oleh karena itu, UUD 1945 wajib dipatuhi dan ditaati. 287

Sebagai produk politik, UUD 1945 berisi keputusan-keputusan politik

tertinggi, yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikiran politik bangsa yang

akan memandu arah perjalanan bangsa. Dan sebagai sebuah sistem nilai, UUD

1945 juga memuat keyakinan, prinsip-prinsip, dan cita-cita luhur bangsa yang

hendak diwujudkan.288

Undang-Undang Dasar itulah yang menjadi dasar dan rujukan utama

dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Aturan dalam UUD 1945 itulah yang

mengatur dan membagi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri

285
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
286
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
287
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 34.
288
Ibid.

118
dan/atau kepada berbagai lembaga negara.289 Kedudukan setiap lembaga negara

bergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945.290

Selain itu, perlu juga ditinjau substansi ataupun implementasi peraturan-peraturan

pelaksana yang ada di bawah UUD 1945.291

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menetukan bahwa:

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut


Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945

menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti

kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-

masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945.292 Kedaulatan berada

di tangan rakyat, berarti semua kekuasaan negara berasal dari rakyat dan

penyelenggaraan negara berada dalam kendali rakyat, dengan tujuan melayani

rakyat sesuai dengan kehendak rakyat.293 Rakyat berdaulat atas negara yang

mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara

mendapatkan kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas

kekuasaan sebatas fungsinya yang juga terbatas.294 Dengan demikian kedaulatan

tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara

fungsional kepada organ-organ konstitusional.

Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa:

Negara Indonesia adalah negara hukum.

289
Ibid., hal. 46.
290
Ibid., hal. 46-47.
291
Ibid., hal. 34.
292
Jimly Asshiddiqie, Menuju . . . , Op.Cit., hal. 502.
293
Merphin Panjaitan, Op. Cit., hal. 37.
294
Ibid., hal. 116.

119
Pasal ini mengandung makna perwujudan Indonesia yang diidealkan

dan dicita-citakan, karena itu selayaknya ada eksplorasi mengenai reformasi

hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat

mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan berakhlak. 295

Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat Undang-Undang Dasar 1945 di atas

merupakan definisi normatif dari demokrasi.296 Dalam hal pembentukannya,

norma-norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa

negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur, sehingga dalam hal

ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-

lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-

norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infra struktur.297

Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,

negara RI menganut paham kedaulatan rakyat dan paham negara hukum.298

Prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat

(democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.

Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagai negara hukum yang

demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut

constitutional democracy.299 Negara hukum yang dikembangkan bukanlah

absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat (negara hukum yang

demokratis). Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya

295
Ibid., hal. 184.
296
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 4.
297
Benyamin Akzin, dalam Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan
(1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hal. 43.
298
Susilo Suharto, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode
Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 30.
299
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op. Cit., hal. 132.

120
supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. 300 Dengan demikan

setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasar hukum (nomokrasi).

Demokrasi tak dapat dilaksanakan dengan semau-maunya, misalnya,

hanya didasarkan pada kemenangan jumlah pendukung. Demokrasi harus berjalan

di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundang-

undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki,

demokrasi tanpa ketaatan pada kaidah penuntun hukum dapat mengancam

integrasi. 301

Itulah saatnya faham negara hukum mulai dikaitkan dengan kewajiban

negara untuk membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum

dalam Pembukaan UUD 1945 kita. 302 Dengan demikian pengakuan hukum dan

keadilan merupakan syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang

dijamin oleh konstitusi.

Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi adalah

mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).303 Dengan

demikian supaya kekuasaan tidak disalah gunakan maka sebuah konstitusi

300
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 322.
301
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Loc.Cit.
302
Sunaryati Hartono, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka Konsolidasi
Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional,
Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,
Jakarta, hal. 33.
303
Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil, Jurnal
Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hal. 50.

121
dibentuk dan ditetapkan, sehingga di dalam dirinya konstitusi bertujuan

membatasi kekuasaan.

Pembatasan kekuasaan dapat dilihat dari sisi waktu berlangsungnya

kekuasaan dan isi kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara.304

Dibalik itu, konstitusi tertulis (UUD), seperti halnya UUD 1945, yang merupakan

kesepakatan politik rakyat Indonesia, juga memiliki beberapa keuntungan dapat

disebutkan antara lain:

Pertama, ide dasar tentang negara dalam ilmu hukum dinamakan


grundnorm (norma dasar) tercermin secara nyata dan objektif, kedua,
setiap waraga negara dapat menelaah dan menggunakannya sebagai
tolok ukur terhadap tindakan dan perilaku politik, masih sesuai atau
tidak dengan ide dasar yang sudah ditetapkan, dan ketiga, ukuran-
ukuran itu tidak dimungkinkan untuk ditafsirkan atau diinterpretasikan
menurut kemauan subjektif penguasa.305

Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan

yang berbentuk republik. Lebih jauh lagi konstitusi menyebutkan bahwa dasar

negara atau ideologi negara Indonesia terdiri dari lima butir, yang dikenal dengan

nama Pancasila. Konstitusi juga mengemukakan bahwa kedaulatan berada

ditangan rakyat dan Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia memilih

demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara. Sebagai perwujudan dari

304
Miftakhul Huda, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal lebih
Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 4, Nopember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 173.
305
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan
Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 2.

122
demokrasi dilakukan dengan sistem demokrasi perwakilan. 306 Dengan demikian

sebuah konstitusi didasarkan pada keputusan rakyat yang terbatas.

Negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga

prinsip kepastian hukum dalam Rechtsstaat dipadukan dengan prinsip

keadilan dalam The Rule Of Law. Indonesia tidak memilih salah satunya tetapi

memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya. Dan pilihan yang prismatik seperti

ini menjadi niscaya karena pada saat ini sudah sulit menarik perbedaan yang

substantif antara Rechtsstaat dan The Rule Of Law. Kepastian hukum harus

ditegakkan untuk memastikan bahwa keadilan di dalam masyarakat juga tegak. 307

Artinya bahwa dalam negara berdasarkan hukum, keberadaan norma-norma

hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat guna mencapai suatu

ketertiban, merupakan karakter umum dari negara yang diselenggarakan oleh

hukum.308 Hukumlah yang harus ditinggikan dan dijadikan rujukan satu-satunya

oleh negara dalam mengelola kehidupan warganya.309

Pada hal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara

melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum.

Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi

306
Irna Irmalina Daud, 2009, Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia
(Transisi Demokrasi Di Indonesia), dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 168.
307
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 26.
308
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 105.
309
Victor Silaen, Op.Cit., hal. 185.

123
terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan

ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).310

Charles Howard McIlwain mengemukakan bahwa:

A constitutional state was one that had preserved an inheritance of


free institutions. Precedent was the very life of these institutions as it
was of all law.311

(Sebuah negara hukum adalah sesuatu yang telah terpelihara sebagai


suatu warisan dari lembaga-lembaga yang bebas. Preseden merupakan
inti kehidupan dari lembaga-lembaga ini seperti halnya semua hukum.)

Demokratisasi hukum mengandung arti bahwa hukum yang

diberlakukan di sebuah negara benar-benar mencerminkan nilai demokratis dari

berbagai aspeknya. Karena substansi demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat,

maka hukum seharusnya juga mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut.312

Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang

mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap

penyimpangan terhadapnya.313 Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-

prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan

ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat).

Sebaliknya, demokratis haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan

demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi

yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.314

310
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 101.
311
Charles Howard McIlwain, 1947, Constitutionalism Ancient And Modern, Cornell
University Press, Ithaca, New York, hal. 12.
312
Andi Faisal Bakti, Op.Cit., hal. 38-39.
313
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 1.
314
Ibid., hal. 132-133.

124
Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat

norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi

pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban,

keseimbangan sosial dan kepentingan masyarakat. Sebagai seperangkat norma

yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka hukum pertama-tama akan hadir

sebagai sesuatu yang bersifat law in the books, memuat ancangan hepotesis

tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta

memberi ancaman sanksi apabila ada di antara anggota masyarakat yang

melakukan pelanggaran.315

Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan mengenai regulasi

sebagai berikut:

, regulation is the process of elaborating and correcting the policies


required for the realization of a legal purpose. Regulation thus
conceived is a mechanism for clarifying the public interest.316

(, regulasi adalah proses mengelaborasi dan mengoreksi kebijakan-


kebijakan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan hukum.
Regulasi dengan demikian dipahami sebagai mekanisme untuk
mengklarifikasi kepentingan publik.)

Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah bahwa konflik

kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar

kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Hukum menjalankan fungsi

ini dengan menyediakan suatu cara pemecahan konflik kepentingan yang

berdasarkan suatu garis kebijaksanaan atau norma yang rasional dan berlaku

315
Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.
316
Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Harper & Row, New York, hal. 108-109.

125
umum. Dengan adanya hukum konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut

siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada

kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif dengan tidak membedakan

antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan. 317

Berbicara masalah hukum berarti berbicara masalah sistem.

Merealisasikan supremasi hukum berarti menegakkan sebuah sistem, dan

menegakkan sebuah sistem hukum yang baik berarti menegakkan sebuah aturan

main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.318 Sistem hukum merupakan

suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat.

Sistem hukum dapat juga untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya

walaupun penggunaan hukum itu untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya.

Sistem hukum menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta

pelaksanaannya. Melalui sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk

warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh

masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak

seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. 319

Lawrence M. Friedman mengemukakan tentang sistem hukum:

, that they operate with norms or rules, and that they are connected
with the state or have an authority structure that can at least be
analogized to the behavior of the state.320 Structure and substance are
real components of a legal system.321

317
Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 77.
318
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
319
Soerjono Soekanto, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 93.
320
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspective,
Russel Sage Poundation, New York, hal. 11.
321
Ibid., hal. 15.

126
(, bahwa mereka beroperasi dengan norma-norma atau peraturan, dan
bahwa semua itu terhubung dengan negara atau memiliki struktur
otoritas yang bisa dianalogikan dengan perilaku negara. Struktur dan
substansi adalah komponen-komponen riil dari sebuah sistem hukum)

Dengan demikian struktur merupakan bagian yang memberi bentuk dan

batasan terhadap keseluruhan. Bagian yang memberi bentuk tersebut adalah organ

negara. Substansi adalah aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada

dalam sistem tersebut.

Struktur hukum adalah pola yang menunjukan tentang bagaimana

hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini

menunjukan bagaimana pengadilan, pembuat hukum, aparatur hukum, dan organ

negara, menjalankan proses sosialisasi hukum agar dapat berjalan dan atau dapat

dijalankan.

Substansi hukum adalah menyangkut peraturan-peraturan yang dipakai

oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan atau tindakan serta

hubungan-hubungan hukum antara individu yang satu dengan yang lainnya.

Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak

ditunjang oleh adanya substansi hukum yang baik pula. Substansi hukum yang

baik juga tidak dapat dirasakan manfaatnya kalau tidak ditunjang oleh struktur

hukum yang baik.

Jadi sistem hukum yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang

dan konsisten, serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan di antara

satu peraturan perundang-undangan dengan lainnya, baik vertikal maupun

horisontal.

127
Shirley Robin Letwin berpendapat tentang sistem hukum:

A legal system consists of a hierarchy of norms. The hierarchy has the


character of a series of more and more confining frames. Interpretation
of legal norms, or movement from a more general to a less general
norm, consists in fitting a smaller frame into a larger one.322

(Suatu sistem hukum terdiri atas suatu hierarki norma-norma. Hierarki


tersebut memiliki sifat sebagai rangkaian demi rangkaian pembatasan
yang mengikat. Penafsiran norma hukum, atau pergerakan dari suatu
norma yang bersifat umum ke norma yang kurang bersifat umum,
tercakup dalam tindakan mencocokkan pembatasan yang lebih sempit
kepada pembatasan yang lebih luas.)

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan

hierarki. Semakin tinggi hierarkinya semakin tinggi kekuatan mengikatnya, tetapi

sebaliknya semakin rendah hierarkinya semakin rendah kekuatan mengikatnya. 323

Hukum memang harus pasti. Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa

kepastian keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh

dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan.324 Tujuan hukum tidak

bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bernegara dan bermasyarakat yang

tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri,

yakni keadilan (rechtsvaardigheid atau justice). Dengan demikian keberadaan

hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan

hidup lahir batin dalam kehidupan bersama.325

322
Shirley Robin Letwin, 2005, On The History Of The Idea Of Law, Cambridge
University Press, Cambridge, hal. 208.
323
H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 48.
324
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 84.
325
Asep Warlan Yusuf, 2008, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam
Demokrasi Yang Berkeadaban, dalam Sri Rahayu Oktoberina, Dkk, Editor, Butir-Butir
Pemikiran Dalam Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika Aditama,
Bandung, hal. 220-221.

128
Dalam negara hukum, kedudukan warga negara, demikian pula pejabat

pemerintah, adalah sama, dan tidak ada bedanya di muka hukum. Hukum atau

undang-undang itu dibuat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan pemerintah

adalah juga rakyat. Yang membedakannya hanyalah fungsinya, yakni pemerintah

berfungsi untuk mengatur sedangkan rakyat adalah yang diatur. Baik yang

mengatur maupun yang diatur, ada pedomannya, yaitu undang-undang. Keduanya

tidak boleh melanggarnya, malahan sama-sama melaksanakannya. Karena hukum

atau undang-undang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Apabila tidak ada

persamaan di muka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan, akan kebal

hukum, hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah. Dengan demikian

nampak dengan jelas bahwa fungsi hukum atau undang-undang adalah untuk

melindungi warga negara dari para pelanggar hukum.326

Kaidah hukum secara tegas menyebutkan bahwa semua manusia

mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Hal

ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara subyek hukum yang satu dengan

subyek hukum yang lain di depan hukum. Prinsip persamaan kedudukan manusia

di depan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling

mendasar, tapi juga merupakan prinsip keadilan. Hak untuk memperoleh keadilan

merupakan salah satu hak dasar manusia, karena hak itu berhubungan langsung

dengan harkat dan martabat manusia. Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila

ada perlakuan yang sama bagi setiap orang yang mempunyai kondisi yang

326
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 114.

129
sama.327 Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang

berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal terhadap hukum. Ini

yang dimaksud dengan asas kesamaan hukum (Rechtsgleichheit) atau kesamaan

kedudukan dihadapan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetz).328

Hukum (positif) itu adalah merupakan output dari suatu sistem politik

yang berlaku, dengan mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui

proses politik. Input itu berupa aspirasi masyarakat berupa tuntutan dan

dukungan.329 Hukum hakekatnya adalah aturan atau ketentuan yang merupakan

hasil interelasi sistem sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai

dalam masyarakat, perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar

wilayah kekuasaan. Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang

dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan

dominasi sistem politik yang menyelimuti.330 Negara Indonesia adalah negara

hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada

UUD 1945.331

Dekatnya tata hukum dengan realitas sosial terjadi apabila sistem

politik yang dibangun itu merupakan sistem politik yang demokratis, sedang

apabila sistem politik yang dibangun adalah non-demokratis, maka tata hukum

yang ada itu akan menjauhkan masyarakat dengan hukum itu sendiri. Sistem

politik yang demokratis ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada dalam negara

327
Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hal. 17-18.
328
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 80.
329
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 29.
330
Andi Mattalatta, Op.Cit., hal. 576.
331
Ibid., hal. 581.

130
bersangkutan dan ciri khas dari sistem politik itu sendiri yang biasa disebut

sebagai format politik.332

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi

perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa

melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi

politik otoriter senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter

konservatif/ortodoks. Di Indonesia, senantiasa terjadi tolak tarik antara

konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Tolak

tarik tersebut terlihat pula pada perkembangan karakter produk hukum.333

Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum

menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari

konfigurasi politik yang melahirkannya, artinya setiap muatan produk hukum

akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). 334 Dengan

demikian setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter

responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan

politik.

Konfigurasi politik yang berlangsung akan memperlihatkan bagaimana

interaksi politik dalam proses pembentukan hukum terjadi. Sebagaimana yang

telah disebutkan sebelumnya, konfigurasi politik demokratis adalah suatu

susunan/konstelasi kekuatan/kekuasaan politik yang accountable kepada

rakyatnya dan adanya mekanisme yang niscaya mengarahkan untuk selalu

332
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 30.
333
Moh. Mahfud MD, Membangun . . . , Op.Cit., hal. 78-79.
334
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 368.

131
responsif terhadap aspirasi, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan

kepentingan warga masyarakatnya. Dengan demos/populus dan partisipasi rakyat

sebagai substansi dasar dari demokrasi, maka ciri utama konfigurasi politik yang

terjalin dengan demokrasi adalah ditujukan oleh konstelasi kekuatan/kekuasaan

politik yang accountable dan responsif terhadap segala tuntutan/aspirasi,

kebutuhan, dan keinginan warga masyarakatnya.335

Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori

politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup

masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain daripada itu politik juga

menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara, serta

bentuk dan tujuan negara, disamping menyelidiki hal-hal seperti sekelompok elit,

kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai

politik, dan keberadaan pemilihan umum.336 Karenanya agar tercipta kesepakatan

yang seragam demi tercapainya tujuan polis, yakni kebaikan bersama, maka

kesatuan maupun keragaman harus eksis diantara warga negara.337

Dengan demikian politik merupakan hubungan khusus antara manusia

yang hidup bersama, dan dalam hubungan tersebut timbul suatu aturan,

kewenangan, perilaku para pejabat, serta adanya legalitas terhadap kekuasaan dan

berakhirnya suatu kekuasaan.

Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat

menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik-buruknya kekuasaan tadi senantiasa

335
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
336
Inu Kencana Syafiie, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 9.
337
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 5.

132
harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah

ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di

dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah

kompleks susunannya. 338 Namun kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada

semua warga masyarakat. Pembagian kekuasaan yang tidak merata tadi timbul

makna yang pokok dari kekuasaan berupa kemampuan untuk mempengaruhi

pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya

kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai.

Dengan demikian pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh

kepada pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau karena terpaksa.

Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan,

kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta

kemudian kekuatan massa rakyat.339 Menjadi makin jelas, meskipun kekuasaan

mempunyai arti bahkan fungsi yang penting bagi masyarakat yang teratur, yakni

kekuasaan diperlukan agar penegakan hukum menjadi efektif, tetapi hukum dalam

bentuknya yang original membatasi kesewenang-wenangan dari pihak yang

memerintah atau penguasa.340

Secara garis besar, politik berkenaan dengan kekuasaan, pengaruh,

kewenangan pengaturan, serta ketaatan dan ketertiban. Namun, bila kita hendak

menyederhanakan lagi, misalnya antara daya kekuasaan dengan pengaruh terdapat

suatu kesinambungan atau konsekuensi logis. Lalu di antara kewenangan dan

pengaturan juga merupakan konsekuensi logis. Sementara itu, ketaatan dan


338
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 90.
339
Inu Kencana Syafiie, Ilmu , Op.Cit., hal. 10.
340
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat, Op.Cit., hal. 64.

133
ketertiban merupakan akibat atau tujuan dari sistem kekuasaan itu sendiri. Oleh

karena itu, politik atau hal-hal yang menyangkut politik mencakup tiga unsur

pokok, yaitu:

1. Kekuasaan (power );
2. Kewenangan (authority); dan
3. Ketaatan dan ketertiban (obey and order).341

Dapat ditarik benang merah bahwa politik adalah bentuk kegiatan dari

sebuah kekuasaan untuk membuat kebijakan umum yang mengikat masyarakat.342

Kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang

bersifat kelembagaan. Dalam artian yang bersifat individual, kekuatan-kekuatan

politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan

peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang

hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Apabila kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya

orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah

pengikut-pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang (authority)

adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan

kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekusaaan yang ada pada seseorang atau

sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari

masyarakat.343 Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau

pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang

341
H.F. Abraham Amos, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba
Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 423-424.
342
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 78.
343
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 91.

134
memiliki kekuasaan adan wewenang.344 Namun mereka tidak dapat

mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan

tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh

pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Dalam arti

inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. 345

Secara kelembagaan di sini, kekuatan politik bisa berupa lembaga-

lembaga, organisasi-organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan

bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, maka

dengan demikian, kekuatan politik bisa terdiri dari individu-individu dan

lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi yang bertujuan untuk

mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik di dalam sistem politik. 346

Politik adalah menyangkut penentuan kehidupan masyarakat secara

keseluruhan yang kekuasaannya terpusat pada negara. Sebuah keputusan bersifat

politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai

keseluruhan. Suatu tindakan politis adalah tindakan yang menyangkut masyarakat

sebagai keseluruhan.347 Politik menentukan hukum. Dalam hal ini politik

menentukan kelahiran atau pembentukan, wujud, serta kehidupan dan

perkembangan hukum. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa hukum

merupakan hasil karya atau produk politik. Dengan demikian perumusan

ketentuan-ketentuan hukum dan/atau aturan-aturan hukum merupakan perwujudan

344
Ibid.
345
Ibid., hal. 92.
346
P. Anthonius Sitepu, Op.Cit., hal. 185.
347
Jo Priastana, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta, hal. 6.

135
atau bentuk konkrit kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, bahkan

saling bergulat.348

Politik semestinya adalah peletakan signifikansi hukum dan etika atas

fenomena kekuasaan. Ada korelasi yang kuat antara politik (kekuasaan) dan

hukum.349 Politik yang harus menentukan dan memutuskan untuk membentuk

hukum yang responsif agar terjadi kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta

berpemerintahan yang demokratik.350 Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai

undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, bukan hukum dalam arti lain

seperti putusan pengadilan.351

Hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik,

perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi

sesungguhnya perundangan-undangan bukan sekedar endapan dari konstelasi

politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-

undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas

hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum

saling berkaitan secara erat.352

Jadi, dengan politik dimaksudkan bahwa Dogmatika Hukum secara

aktif terlibat pada penataan masyarakat (yang paling didambakan). Mungkin saja

ia melaksanakan aktivitas politik ini dengan suatu cara yang berbeda ketimbang

yang dilakukan oleh partai-partai politik atau oleh para pejabat pemerintahan atau

348
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 126.
349
Hendra Nurtjahjo, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan
Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.
350
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 127.
351
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 70.
352
B. Arif Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu Hukum,
Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 10.

136
anggota parlemen, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa aktivitas-

aktifitasnya seyogyanya dikualifikasi sebagai politik. Dengan itu sekaligus

dikatakan bahwa suatu pemisahan secara tajam antara hukum dan politik adalah

tidak mungkin. 353

Dengan itu kita menyentuh politik dalam arti sesunguhnya politik

adalah proses dari perwujudan ide hukum sebagai demikian (the idea of law as

such). Politik adalah bentuk dari kegiatan manusiawi yang didalamnya berkaitan

dengan penataan masyarakat dari sudut perspektif kebebasan. Arti inilah yang

dimaksudkan jika kita berbicara tentang politik sebagai perumusan perencanaan

dan pelaksanaan kebijakan pemerintah (overheidsbeleid, policy). Namun,

pembentukan kebijakan dan realisasi kebijakan ini tidak boleh dipandang secara

formal murni. Kebijakan itu mempunyai suatu isi, yang mungkin saja tergantung

pada apa yang diinginkan kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga yang

menjalankan kepemimpinan, namun tidak berarti bisa sewenang-wenang. 354

Hans Kelsen menegaskan bahwa:

The choice of one of the several meanings of a legal norm by a legal


authority in its law applying function is a law creating act. So far as
this choice is not determined by a higher legal norm, it is a political
function.355

(Pemilihan salah satu dari sekian banyak makna dari sebuah norma
legal oleh otoritas legal dalam fungsinya sebagai pengaplikasi hukum
adalah sebuah tindakan penciptaan hukum. Selama pilihan ini tidak
ditentukan oleh norma legal yang lebih tinggi, ia merupakan fungsi
politis.)

353
Ibid., hal. 58.
354
Ibid., hal. 105.
355
Hans Kelsen, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The Mirror Of
Science, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 368.

137
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum adalah arah

kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang

hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai

tujuan negara. Untuk menjabarkan hukum ke dalam politik hukum, setiap negara

harus berpijak pada sistem hukum yang dianutnya yang untuk Indonesia adalah

sistem hukum Pancasila.356

M. Solly Lubis mengemukakan bahwa politik hukum adalah salah satu

subsistem di dalam sistem manajemen (pengelolaan) kehidupan nasional kita,

sekaligus sebagai subsistem dari politik nasional. Konsekuensi kesisteman ini,

ialah bahwa politik hukum (legal policy) itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling

berkait bahkan saling mempengaruhi diantara semua sub-sub sistem kehidupan

bangsa dan negara ini. 357

Hubungan politik hukum di Indonesia meliputi:

a. Hak politik dan perwujudannya;


b. Tingkah laku politik elit (penguasa) dan masyarakat sebagai realisasi
hak politik;.
c. Perkembangan hubungan tingkah laku politik dengan hukum;
d. Faktor kultural dari pada struktur sebagai latar belakang dari pola
hubungan tingkah laku politik elit dan masyarakat dengan
perkembangan hukum.358

Atas dasar hal yang demikian itu, maka interaksi politik dan proses

pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi niscaya selalu berorientasi dan

berdasarkan pada kepentingan rakyat. Dalam interaksi tersebut haruslah

menempatkan aspirasi dan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu


356
Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen
Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 49.
357
M. Solly Lubis, Reformasi . . . , Op.Cit., hal. 60.
358
Abdul Latif & Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 177.

138
maupun kelompok tertentu. Dengan demikian, interaksi politik dan proses

pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi meniscayakan bahwa semua

orientasi baik dari elite politik legislatif maupun eksekutif selalu ditujukan kepada

kepentingan dan kebutuhan serta berdasarkan pada aspirasi masyarakat. 359

Di dalam negara hukum pelaksanaan segala sesuatunya harus

berdasarkan/didasarkan pada hukum. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak

memperoleh legalitas hukum dipandang sebagai tindakan yang tidak dapat

dibenarkan menurut hukum.360 Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti

menetapkan keabsahan (validity) kekuasaan dari aspek yuridisnya. Setiap

kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal, berarti memiliki

legalitas. Yang menjadi masalah adalah jika kekuasaan yang dilegalisasi oleh

hukum tersebut bersifat sewenang-wenang atau tidak adil. Hal ini secara

sosiologi, berkaitan erat dengan apa yang disebut legitimasi kekuasaan, yaitu

pengakuan masyarakat terhadap keabsahan hukum.361

Dengan demikian meskipun sebuah kekuasaan telah mendapatkan

legalisasi secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa

kekuasaan tersebut bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan rasa

keadilan masyarakat, maka kekuasaan yang demikian tetap tidak akan

mendapatkan legitimasi/pengakuan dari masyarakat. Ini artinya bahwa konsep

legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan penguasa. 362

359
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
360
Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21.
361
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, Op.Cit., hal. 20.
362
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 84.

139
Kekuasaan itu pada hakikatnya merupakan upaya untuk menemukan keadilan dan

hukum yang adil di masyarakat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. 363

Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai konsep

hukum publik penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara

hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan negara hukum

adalah asas Wet en Rechtmatigheid van bestuur. Dengan adanya asas demokrasi

tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat. Di samping badan perwakilan

rakyat, asas keterbukaan pemerintahan dan lembaga peran serta masyarakat

(inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting

artinya.364 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas

(legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut

bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan.365

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi dasar

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan yang berbasis hukum.

Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan

pemerintahan kepada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak

dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan

jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. 366

363
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 280.
364
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta, hal. 21.
365
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 69.
366
H. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara
Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hal. 133.

140
Nilai adalah konsep alam rasa dan pikiran manusia untuk menjawab

kemanusiaannya dikaitkan dengan hal-hal yang ada di luar dirinya. 367 Nilai yang

dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai

pertimbangan tentang apa yang dinilai. 368 Nilai itu berasal dari keyakinan, aspirasi

dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan dan

menyejahterakan kehidupan fisik dan kejiwaaannya. Sesuatu yang bernilai berarti

sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu. Fungsi nilai adalah sebagai

pendorong (stimulus) dan sekaligus pembatas (limitation) tindakan manusia.

Jelasnya, sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai manfaat/nilai-guna bagi

masyarakat, maka hal itu akan dipakai sebagai landasan bagi anggota masyarakat

untuk mencapai atau melakukan sesuatu dan sebagai pedoman untuk tidak

melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat. 369 Dengan demikian nilai-nilai

yang berasal dari pola-pola keyakinan dan aspirasi masyarakat itu berwujud

kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan yang harus

dipenuhi.

Kehidupan ketatanegaraan menuju atau mengejar cita-cita atau sesuatu

yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini

akan membentuk suatu tata nilai yang terinci dan terkait pada tatanan-tatanan

kehidupan yang membentuk kehidupan kenegaraan.370 Nilai itu merupakan suatu

keadaan yang dapat kita ketahui, namun sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum,

367
I Ketut Artadi, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat
Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal. 53.
368
Amsal Baktiar, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 165.
369
M. Irfan Islamy, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, hal. 120.
370
Abu Daud Busroh, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 204-205.

141
nilai tersebut diturunkan lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum,

sehingga nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum.371 Asas hukum

pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum, dijelmakanlah ke dalam norma

yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dengan demikian asas hukum ini

menjadi dasar bagi keberadaan norma yang berupa peraturan-peraturan hukum

tersebut. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan

hukum dari nilai-nilai etis yang dijunjung tinggi.

Setelah asas hukum dijelmakan ke dalam bentuk norma hukum yang

berupa pedoman, selanjutnya dioperasionalkan untuk mengarahkan sikap dan

tindakan manusia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian nilai

adalah hasil pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri,

maka hal yang mewajibkan manusia bersikap menurut pedoman yang telah

ditentukan, sesungguhnya bukan dipaksakan dari luar diri manusia itu, tetapi

adalah keyakinan dalam diri manusia itu sendiri. Nilai merupakan hasil

pertimbangan manusia yang menjadi pedoman terwujudnya asas-asas hukum,

kemudian asas-asas hukum tersebut yang menjadi unsur pokok pembentukan isi

norma hukum. Selanjutnya norma hukum yang terumus dalam peraturan hukum

itu menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku dalam hidup menurut

hukum.

Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum adalah keadilan.372 Ciri

atau sifat adil dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut: adil (just), bersifat

hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tidak memihak (impartial), sama hak

371
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 49.
372
Ibid., hal. 53.

142
(equal), layak (fair), wajar secara moral) (equitable), benar secara moral

(righteous). Dari rincian diatas ternyata bahwa pengertian adil mempunyai makna

ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali.373

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang

tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya

hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Bismar Siregar dengan

mengatakan, bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum,

akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya

adalah keadilan.374 Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana? Demikian

pentingnya keadilan ini. Lalu, keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Pertanyaan

ini antara lain dijawab Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab

Hukum Justianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg

dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (Iustitia est

constants et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).375 Sehingga supremasi

hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice)

begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal komutatif. Hukum tidak berada

dalam demensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam demensi

kemutlakan keadilan.376 Kepercayaan serta konsekuensi yang berlebihan akan

kemampuan peraturan atau hukum positif dalam menyelesaikan kasus hukum

373
Ibid., hal. 218.
374
Ibid.
375
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138.
376
Sukarno Aburaera, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 179-180.

143
akan mengakibatkan kerugian keadilan (summon ius summa iniuria).377 Dengan

demikian untuk mencari solusi atas kasus hukum yang dihadapi tidak semata-mata

menggunakan koridor peraturan semata.

Klaim kesahihan mengenai apa yang adil hanya dimungkinkan melalui

diskursus yang melibatkan semua pihak. Artinya, ukuran kesahihan hanya bisa

dinyatakan dalam konsensus untuk mencari ukuran paling universal yang bisa

diterima oleh semua pihak. Dari pencapaian kesepakatan yang rasional inilah

dapat diharapkan kepatuhan umum dan yang memungkinkan dapat memenuhi

kepentingan semua pihak. 378

Etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang

yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala

alamiah di dalam masyarakat kelompok.379 Dalam bahasa Yunani, etika berarti

ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan

sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,

mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral,

serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.380 Etika

mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan

tanggung jawab. Etika disebut sebagai fisafat moral. Etika dapat dipakai untuk

pengkajian sistem nilai yang ada.

377
Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 111.
378
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 133.
379
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79.
380
Ibid., hal. 205.

144
Sistem nilai adalah kaitan dan kebulatan nilai-nilai, norma-norma dan

tujuan-tujuan yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat.381 Manusia

berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada

suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh

karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu

aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini

dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem norma-norma yang harus ditaati

orang-orang yang termasuk suatu masyarakat tertentu.382

Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan

seorang individu atau sekelompok masyarakat. Norma hukum dapat digunakan

untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur

sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan. 383

Kata moral selalu mengacu pada baik atau buruknya manusia sebagai

manusia.384 Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang

berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku.385 Moral adalah hasil

penilaian tentang baik-buruk manusia sebagai manusia.386 Moral mengandung

pengertian tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia yang kapasitasnya diarahkan

pada benar-salah, dan kepastiannya untuk diarahkan kepada orang lain sesuai

dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan sikap seseorang dalam

381
M. Irfan Islamy, Loc.Cit.
382
H. Zainuddin Ali, Op.Cit., hal. 78.
383
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 117.
384
H. Zainuddin Ali, Loc.Cit., hal. 78.
385
Mohammad Adib, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 207.
386
Muhamad Erwin, Loc.Cit., hal. 117.

145
hubungannya dengan orang lain. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang

dinilai.

Pada setiap individu mempunyai tendensi langsung untuk berbuat

kebaikan. Jika manusia melakukan kebaikan dalam situasi dan kondisi berupa

apapun, ia telah berjalan sesuai kewajibannya dan boleh dikatakan bahwa manusia

tersebut telah mentaati semua ajaran kebaikan moral.

Moralitas memiliki nilai moral sejati, karenanya perbuatan harus

dikerjakan dengan kewajiban. Suatu perbuatan dan tingkah laku manusia harus

dilakukan berdasarkan kewajiban yang respek terhadap hukum adalah kehendak

yang bersifat objektif lewat hukum, secara subjektif lewat respek murni atas

praktek hukum.

Titik sambung antara etika politik dan etika demokrasi adalah di mana

legitimasi dan perilaku politik dalam melaksanakan sistem pemerintahan

demokratis harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan bermoral.387

Hal ini menyangkut dimensi etis keputusan-keputusan politik dan tindakan-

tindakan politik dari seluruh partisipan proses demokrasi (rakyat, wakil rakyat,

dan seluruh jajaran penyelengara negara).388 Hubungan antara etika (moral

philosophy), dengan ilmu politik melahirkan etika politik.389 Dengan kata lain,

etika politik menuntut agar kekuasaan yang berlaku bersifat legal, memiliki

legitimasi demokratis dan legitimasi moral. Sehingga proses politik yang

berlangsung akan melahirkan kebajikan. 390

387
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 109.
388
Ibid.
389
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 39.
390
Ibid.

146
Etika politik dalam menyelenggarakan ide dan operasionalisasi

demokrasi (etika menjalankan demokrasi) selalu harus dikembalikan kepada

prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu sendiri.391 Etika politik digunakan

untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang

diperlukan dan mana yang dijauhi.392 Etika politik ini juga harus direalisasikan

oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkret dalam pelaksanaan

pemerintahan negara.393

Dominasi kekuasaan elit politik merupakan ajang pertaruhan untuk

menempati posisi strategis pemerintahan negara. Kerancuan tata aturan

perundang-undangan yang diapolitisasikan dalam dunia politik, yang pada

gilirannya mengaburkan kerangka hukum dalam artian politik menghalalkan

segala cara. Justru hal yang demikian itu membuat hukum dipergunakan sebagai

mekanisme politik di luar kontekstual dan tekstual peraturan hukum dan undang-

undang.

Praktik-praktik politik ketatanegaraan yang menyimpang ini membawa

dampak negatif dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Kita

dihadapkan pada dilema dan dikotomi politik yang tidak sadar pikir, melainkan

menyimpang dari substansi aturan hukum untuk melegitimasi kekuasaan negara

dengan cara yang tidak benar. Apabila hal serupa ini terus dipraktikan oleh elite

391
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Loc.Cit.
392
Imam Ropii, 2012, Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya), dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 44.
393
M. Dedi Putra, 2012, Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan Pancasila,
dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas
Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 77.

147
politik, tidak menutup kemungkinan menimbulkan anarkisme konflik

kepentingan. Pertikaian kepentingan antara elite politik dan kepentingan

masyarakat merupakan kedaulatan yang tersobek-sobek jika sudah sampai pada

titik kulminasi tertentu.

David Robertson berpendapat bahwa:

No connotation of political immorality is contained in the phrase


'competitive politics', nor is there any implication about the derivations
of these policies.394

(Tidak ada pengertian politik tidak bermoral yang terkandung dalam


ungkapan 'persaingan politik', juga tidak ada akibat apapun tentang asal
mula dari kebijakan ini.)

Dengan demikian politik harus bermoral walaupun adanya persaingan

politik, serta hasil dari pembuatan kebijakan yang substansi aturan hukumnya

melahirkan kebajikan, tidak melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.

Oleh karena itu, mekanisme hukum dan perundang-undangan perlu

secara tegas menyebutkan larangan merangkap jabatan tersebut janganlah

dipraktikan secara semaunya sendiri dengan menggunakan kendaraan politik

untuk mengklaim keabsahan secara lisan karena bagaimanapun praktrek politik

serupa itu merupakan penodaan terhadap kedaulatan hukum.

Politik yang demikian sama saja menipu secara terang-terangan dan

tidak mendidik masyarakat untuk berpolitik secara santun dan benar dalam batas-

batas kewajaran logika hukum, melainkan memberikan peluang untuk berperilaku

menyimpang dari fakta hukum yang sebenarnya. Perilaku yang demikian akan

394
David Robertson, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son, Ltd.,
New York, hal. 138.

148
mewariskan suatu bentuk tipologi masyarakat yang juga tidak menghargai hakikat

kedaulatan hukum dan keadilan.

Banyaknya kendala politis serta kepentingan elite politik yang sangat

kuatnya persaingan kekuasaan di balik semua itu. Kekuasaan menjadi komoditas

dan skala prioritas berhasil. Pengaruh kekuasaan memang menjadi ajang konflik

kepentingan para elite penguasa.

Demokrasi, merupakan sesuatu yang penting, karena nilai-nilai yang

dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan

berbangsa dan bernegara yang baik. Dengan kata lain, demokrasi dipandang

penting karena merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan

kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik. (good society

and good government).395

Secara general demokrasi dapat dipandang sebagai suatu idea tentang

tatanan kehidupan berpolitik (teori politik). Idea demokrasi ini disandarkan pada

kebebasan, kesamaan, dan kehendak rakyat banyak yang diletakan sebagai alat

ukur politik.396 Demokrasi menjadi hal yang menentukan dalam menyikapi

politik. Atau, jika politik diartikan sebagai perilaku kekuasaan atau sikap tindak

berkuasa, maka demokrasi menjadi ukuran yang determinan dalam perilaku

politik yang dianggap sehat.397

Pemerintahan yang demokratis pada dasarnya adalah pemerintahan

yang mengedepankan kebebasan untuk membangun partisipasi warga negaranya,

395
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 88.
396
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Op.Cit., hal. 16.
397
Ibid., hal. 17.

149
yang sekaligus harus diimbangi dengan ketaatan pada norma hukum yang berlaku,

baik oleh pemerintah maupun oleh warga negaranya tanpa ada pengecualian

(equality before the law).398

Partai politik sebagai sebuah organisasi yang secara sadar didirikan atau

dibentuk didasarkan atas kepentingan yang sama dan sekaligus dirancang dalam

kerangka memiliki kekuasaan memerintah. 399 Namun demikian dalam konteks

hukum tata negara keberadaan partai politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan,

mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu membutuhkan

perangkat atau piranti untuk melengkapi anatomi tersebut. Partai politik

merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun dan

membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut negara itu.400

Partai politik sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi

organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya paham demokrasi dan

kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi

dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan

sistem ketatanegaraan.401 Dominasi peran partai politik tentu tidak menjadi

masalah (besar) jika partai-partai politik menunjukkan kinerja yang fungsional

dan berarti bagi perwakilan politik rakyat.402

398
Suko Wiyono, 2012, Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika Dan
Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi Berdasarkan Pancasila, dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 16.
399
Sudarsono, Op.Cit., hal. 16.
400
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 266.
401
Ibid., hal. 267.
402
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 88.

150
Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan

berkembangnya berbagai partai politik seharusnya juga dibarengi dengan tata

aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh partai politik. Hal ini mengingat

partai politik dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan kepentingan

publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab

itulah persyaratan dan tata cara pendirian partai politik harus diatur dalam

instrumen hukum, yakni undang-undang.

Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk

mendirikan sebuah partai politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain

adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga

(ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke Kementrian

Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini,

maka sejatinya partai politik tidak lain adalah sebuah badan hukum yang

merupakan subyek hak.

Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan melalui akta

notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai konstitusi partai politik. Oleh

sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan

oleh organ tertinggi partai politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam

bentuk kongres atau muktamar dari partai politik yang bersangkutan.403

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik ditentukan bahwa:

403
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 267.

151
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi partai

politik dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik

anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik

masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan

negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan undang-undang dalam mengartikan

partai politik ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh

rumusan yang hanya mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada

kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. 404

Philippe Nonet dan Philip Selznick berpendapat:

, legal action comes to serve as a vehicle by which groups and


organizations may participate in the determination of public policy.405

(, tindakan hukum menjadi kendaraan bagi sekelompok orang atau


organisasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik.)

Secara prinsipil keberadaan partai politik dalam sistem ketatanegaraan

disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga merupakan manifestasi dari

hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap

404
Ibid., hal. 268.
405
Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.Cit., hal. 96.

152
kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas

merupakan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak politik warga negara.406

Sistem kepartaian di Indonesia kelihatannya belum efektif sebagai

saluran partisipasi politik rakyat, khususnya para anggota dan simpatisannya,

karena lebih menonjol sisi sentralisme dan personalisme ketua umum daripada sisi

demokrasi dan partisipatif para anggota walaupun menurut UU dan AD/ART

setiap partai politik kedaulatan partai berada pada anggota.407

Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan

fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut

aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan

dalam AD dan ART partai politik. Selain harus demokratik sesuai dengan asas

kedaulatan partai terletak di tangan para anggota, AD/ART partai politik perlu

dirumuskan secara komperhensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai

kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan semua fungsi partai

politik. Suatu partai politik dapat dikatakan sudah melembaga dari segi

kesisteman apabila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut

AD/ART yang demokratik dan dirumuskan secara komprehensif dan rinci

tersebut.408

Partai politik tampaknya masih lebih menonjol sebagai organisasi

pengurus yang bersifat sentralistik dan personalistik daripada organisasi rakyat

atau organisasi kader dari, oleh dan untuk para anggota atas dasar platform politik

406
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 271.
407
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 33.
408
Ramlan Surbakti, Perkembangan , Op.Cit., hal. 143-144.

153
dan ekonomi tertentu.409 Suatu contoh sederhana sisi sentralisme dan

personalisme ketua umum adalah pada Pasal 9 ayat (3) ART Partai Kebangkitan

Bangsa yang menentukan:

Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan


struktur organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
dan disiplin Partai lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.

Dalam hukum tata negara, wewenang (bevogdheid) dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik,

wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum. Sebagai suatu konsep hukum

publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:

-Pengaruh;
-Dasar hukum;
-Konformitas hukum.

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan

untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa

wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen

konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar

umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang

tertentu).410 Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan

hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang

409
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 34.
410
Philipus M. Hadjon, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 10-11.

154
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-

hubungan hukum.411

Badan hukum publik yang berupa negara untuk dapat menjalankan

tugasnya maka diperlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan

hukum publik tersebut dapat dilihat pada UUD. MPR sebagai pembentuk

konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu

undang-undang. Subjek jabatan atau subjek hukum dalam pengertian organ negara

ada dua kriteria dalam UUD 1945 yang membedakan, yaitu dari segi hierarki

bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan dari segi

fungsinya yang bersifat penunjang dalam sitem kekuasaan negara.

Pemikiran negara hukum menyebabkan, bahwa apabila penguasa ingin

meletakkan kewajiban-kewajiban di atas para warga (masyarakat), maka

kewenangan itu harus ditemukan dalam suatu undang-undang. Di dalamnya juga

terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Parlemen menjadi bagian dari

pembuatan undang-undang dalam arti formal. Pada para warga (masyarakat)

hanya dapat diberikan kewajiban-kewajiban dengan kerjasama dari para wakil

rakyat yang dipilih oleh mereka. Ini berarti, bahwa juga untuk atribusi dan

delegasi kewenangan membuat keputusan harus didasarkan pada suatu undang-

undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu memberikan kewajiban-

kewajiban di atas para warga (masyarakat).412

411
S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 144.
412
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131.

155
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar

ketentuan hukum tata negara. 413 Atribusi merupakan pembentukan wewenang

tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk

wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Pembentukan wewenang dan atribusi wewenang utamanya ditetapkan

dalam UUD. Wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang

berasal dari peraturan perundang-undangan.

Sumber wewenang atribusi yang asalnya bersumber dari MPR berupa

UUD dan bersumber dari DPR bersama-sama Presiden berupa UU, maka ditinjau

dari sumber wewenang, DPR memperoleh kewenangan secara langsung dari

redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Hal ini berarti wewenang tersebut mempunyai legitimasi yang kuat dari

rakyat, karena pada dasarnya undang-undang dibuat oleh wakil rakyat.

Penerimaan wewenang dalam hal atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau

memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern

pelaksana wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima

wewenang (atributaris).414 Dengan demikian DPR dalam melakukan perbuatan

nyata, mengadakan pengaturan, dan mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh

kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atributif. Suatu atribusi

menunjukan pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau

ketentuan hukum tata negara.

413
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 70.
414
Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan
Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII Press, Yogyakarta, hal. 94.

156
Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan, atau pengalihan

kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil

keputusan atas tanggung jawab sendiri.415 Kewenangan yang sudah didelegasikan

kepada lembaga lain itu tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga pemberi

delegasi. Begitu kekuasaan telah dilimpahkan kepada lembaga lain, maka lembaga

penerima limpahan kewenangan itulah penyandang tugas dan kewenangan hukum

atas kekuasaan yang telah dilimpahkan itu.416

Dalam hubungan itu, jika kekuasaan yang dilimpahkan atau

didelegasikan itu adalah kekuasaan membentuk suatu peraturan perundang-

undangan (the power of rule-making atau law-making), maka dengan terjadinya

pendelegasian kewenangan regulasi atau delegation of the rule-making power

tersebut berarti, terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan

perundang-undangan sebagaimana mestinya. 417 Pendelegasian kewenangan

pengaturan itu dapat dilakukan dengan adanya perintah yang tegas mengenai

bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang

didelegasikan. Dengan demikian kedudukan AD dan ART partai politik bukan

merupakan pelimpahan wewenang dari UU kepada AD dan ART partai politik.

Edgar Bodenheimer membagi sumber hukum dalam dua kategori

utama, yaitu formal dan non-fornal. Istilah formal dirumuskan sebagai:

sources which are available in an articulated textual formulation


embodied in authoritative legal document.418

415
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 264.
416
Ibid.
417
Ibid.
418
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation
Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada Upacara

157
(sumber-sumber yang ditemukan dalam artikulasi rumusan teks yang
berbentuk dokumen hukum resmi.)419

Istilah non-formal didefinisikan sebagai:

legally significant materials and considerations which have not


received an authoritative or at least articulated formulation and
embodiment in a formalized legal document.420

(materinya signifikan menurut hukum dan pertimbangannya tidak


memiliki otoritas atau rumusannya tidak diartikulasikan dan tidak
dilembagakan dalam formulasi dokumen hukum.)421

Mengenai autonomic legislation atau legislasi otonom adalah:

the power of persons or organizatios other than the government to


make laws or adopt rules essentially similar in character to laws.422

(kekuasaan badan atau organisasi non pemerintah untuk membentuk


peraturan yang secara essensial karakternya sama dengan aturan
hukum.)423

Kewenangan beragam korporasi dan asosiasi untuk menciptakan hukum

sendiri yang bersifat otonom merupakan suatu tuntutan.424 Dengan demikian AD

dan ART partai politik merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik, sebagai

pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdemensi

moral. Hal tersebut secara tidak langsung terkait dengan bidang hukum dan

menunjukan bahwa muatannya mengandung unsur-unsur filosofis, normatif dan

teknis.

Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Bertempat Di Bali Sidang Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997), Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 6.
419
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum Dan Argumentasi
Hukum, Bali Aga , Denpasar, hal. 60.
420
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 7.
421
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Loc.Cit.
422
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Loc.Cit.
423
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 61.
424
Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 8.

158
Pasal 16 ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2011 tentang Partai Politik menentukan:

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik


apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.

Ketentuan tersebut merupakan keputusan yang menyatakan seseorang

bersalah karena melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak dapat

dibenarkan karena keputusan melanggar peraturan perundang-undangan tidak

sama dengan melanggar AD dan ART, serta keputusan tersebut dilakukan tanpa

melalui proses peradilan. Yang dapat menentukan dengan pasti bahwa seseorang

itu melanggar atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan adalah hakim.

Dengan demikian AD dan ART partai politik harus memuat pengaturan mengenai

mekanisme pemberhentian anggota karena alasan pelanggaran AD dan ART

partai politik ini secara adil, baik dari segi substansinya maupun dari segi

prosedurnya.

Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari kata re

yang artinya kembali, dan call yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata

ini disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali.

Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik

yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seorang atau

beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses

159
pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu

hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya.425

Moh. Mahfud MD mengartikan recall adalah penggantian anggota

lembaga permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya, sehingga tidak lagi

memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.426 Dari segi, dihubungkan

dengan hak partai untuk me-recall anggotanya dari kursi DPR, dapat dikatakan

bahwa pemerintah secara tidak langsung mengontrol mekanisme dan dinamika

kerja DPR dengan menggunakan partai sebagai kepanjangan tangannya. 427

Dengan demikian adanya hal recall ini memberi kesempatan kepada pemerintah

untuk melakukan intervensi ke DPR.

Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak

Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan

Umum. Undang-undang ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas

politik menggantikan Orde Lama. Pencantuman hak recall dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan

Soekarno.428 Dengan demikian hak recall diatur dalam suatu undang-undang

bukan diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

425
Haris Munandar (Ed), dalam Nimatul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 159.
426
Moh. Mahfud MD, Politik . . . , Op.Cit., hal. 254.
427
Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, hal. 144.
428
Nimatul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 160.

160
Royong, karena didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong hanya mengikat secara intern

sedangkan undang-undang akan mengikat juga secara ekstern partai politik atau

organisasi politik yang mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong.

Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 huruf

a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan

Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum bahwa:

Anggota-anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan


sebagai berikut:
a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai
yang bersangkutan.
b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan
satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang
bersangkutan dengan persetujuan induk partainya.
c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan
sesuatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasinya atau
instansi yang bersangkutan.

Rumusan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan

Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum diperjelas dengan

Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum sebagai berikut:

161
Perlu dijelaskan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai penggantian
anggota-anggota menurut pasal 15 ini dengan sendirinya harus
didahului oleh pemberitahuan Pimpinan MPRS DPR-GR sehingga bila
ada selisih pendapat antara anggota yang akan diganti dengan
partai/organisasi massa yang bersangkutan, Pimpinan MPRS/DPR-GR
dapat memberikan jasa-jasa baiknya. Namun demikian dalam taraf
terakhir partai/organisasi massa-lah yang menentukan, dengan
menghindarkan adanya tindakan yang sewenang-wenang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong Menjelang Pemilihan Umum telah mengalami perubahan tiga kali.

Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969

tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1975.

Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-

162
Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (1) diganti dengan

ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

Hak mengganti utusan/Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum


dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi
peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan
hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan

dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (6) diganti dengan

ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

Tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/


Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah."

Peraturan pelaksana yang mengatur penggantian keanggotaan DPR

yang berhenti antar waktu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985.

Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, sejumlah partai

politik yang pernah melakukan recalling terhadap anggota partainya di lembaga

perwakilan rakyat antara lain:

163
Pertama, PPP di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan
recall untuk Syarifudin Harahap, Tamin Achda, Murtadho Makmur,
Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, Ruhani
Abdul hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun
usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984
hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh pimpinan DPR waktu itu
Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian pada tahun 1995 Sri
Bintang Pamungkas direcall oleh Fraksi Persatuan Pembangunanan
(DPR periode 1992-1998) dengan alasan melakukan dosa politik
(melanggar tata tertib partai). Usulan FPP disetujui oleh ketua DPR
Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, PDI di
bawah kepemimpinan Soenawar Soekawati mengusulkan recalling
untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo,
Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng
(semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI
dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk Marsoesi, Dudy
Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi,
Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 1982-
1987). Ketiga, recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman
Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat
kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada Bambang
Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang melakukan
dosa politik (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi ABRI
pernah merecall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen
Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian
kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.429

Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme

recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai

politik untuk menyingkirkan lawan politik di tubuh partainya, tidak lagi diatur

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.430

429
Ibid., hal. 161-162.
430
Ibid., hal. 163.

164
Pengaturan recall kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, yang diatur pada Pasal 85 ayat (1) huruf c sebagai berikut:

Anggota DPR berhenti antar waktu karena:


c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

Rumusan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah diperjelas dengan Penjelasan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:

Usul pemberhentian anggota DPR oleh partai politik didasarkan alasan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

menegaskan bahwa:

Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2)
huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk diresmikan.

165
Dengan demikian pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi

ketentuan pada Pasal 85 ayat (1) huruf c langsung disampaikan oleh Pimpinan

DPR kepada Presiden untuk diresmikan.

Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik menentukan bahwa:

Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan


rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan
rakyat apabila:
b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena
melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Pengaturan recall pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa:

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik


apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2009, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pengaturan recall kembali muncul dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h.

Hegemoni partai politik dalam hak recall masih sangat besar. Setidaknya terbukti

pada periode 2009-2014, recall kembali lagi terjadi pada dua orang anggota

Fraksi Kebangkitan Bangsa, Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choiri, karena

166
berseberangan dengan kebijakan partainya dalam penggunaan hak angket

Century dan Mafia Pajak.431 Mekanisme penyelesaian perselisihan partai

politik diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik sebagai berikut:

(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik


sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau
sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik
kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan
mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan
kepengurusan.

Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik meliputi antara


lain:
(1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;
(2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
(3) pemecatan tanpa alasan yang jelas;
(4) penyalahgunaan kewenangan;
(5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau
(6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik menentukan:

431
Ibid., hal. 168.

167
(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui
pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh
pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan
perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Agung.

Jika mengikuti alur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik tersebut maka persoalan recalling Lily Chadidjah Wahid dan

Effendi Choiri tidak bisa langsung diajukan ke pengadilan negeri tanpa melalui

mekanisme penyelesaian internal partai politik, yakni melalui mahkamah partai

politik.432 Dengan demikian hegemoni partai politik sangat dominan dalam hal

recall.

Hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota

parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukan. 433 Pranata recall dalam

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dikenal dengan nama penggantian antar waktu (PAW).

Kendatipun makna recall tidak sama persis dengan makna penggantian antar

waktu, akan tetapi di dalam penggantian antar waktu terdapat di dalamnya recall

tersebut.434 Pergantian antar waktu pada dasarnya adalah digantinya wakil rakyat

di tengah masa jabatannya. Sama dengan jabatan publik lainnya, pemberhentian

anggota lembaga perwakilan rakyat di tengah masa jabatannya harus diatur secara

432
Ibid., hal. 169.
433
M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 46.
434
Ibid., hal. 48.

168
khusus sebagaimana rekrutmennya. Pemberhentian ini juga harus dikaitkan

dengan proses rekrutmennya. Mekanisnya pun dibuat sedemikian rupa agar

penggantinya mempunyai legitimasi politik yang sama setidaknya secara legal

formal karena ditentukan oleh undang-undang dasar dengan yang digantikannya.

Alasan penggantiannya serta pengganti anggota yang berhenti harus dikaitkan

dengan sistem yang membuat ia terpilih. 435

Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua

aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu

seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara), hanya

menyalurkan pesan konstituennya. Aliran kedua menyatakan bahwa wakil rakyat

seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil rakyat yang

menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan menurut pertimbangan dan

pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh rakyat. Penganut teori

Representative sebagai Trustee (Teori Mandat Penuh) berpendapat bahwa wakil

rakyat, setelah memangku jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif, tidak

lagi bertindak untuk kepentingan partainya, melainkan harus bertindak untuk

kepentingan seluruh bangsa. 436

C.F. Strong mengemukakan:

If it is applied to legislators, there is a danger of turning the


representative into a mere delegate, making him the victim of the

435
Bivitri Susanti, 2009, Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR
Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut
Marutnya Konstitusi, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 450-451.
436
R.M. Ananda B. Kusuma, 2006, Tentang Recall, Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.
156-157.

169
corrupt attacks of any active and intriguing clique, and this would tend
to drive public spirited men out of public life.437

(Jika diterapkan pada pejabat legislatif, dikhawatirkan recall akan


mengubah pejabat legislatif hanya menjadi utusan belaka, korban
serangan korup dari kelompok yang aktif dan berintrik, dan cenderung
mengarahkan orang-orang yang memperhatikan kesejahteraan
masyarakat keluar dari kehidupan publik.)

Ada yang optimis bahwa dengan penetapan calon terpilih melalui suara

terbanyak akan menciptakan atau setidaknya menggeser tipe wakil rakyat dari tipe

yang partisan ke tipe lainnya, misalnya bisa menjadi penyuara rakyat atau utusan

dari konstituennya, atau deligate, atau sebagai trustee, sebagai wali, yang punya

kehendak sendiri atau mungkin kedua-duanya.438

Mengenai tipe wakil rakyat setidaknya yang digunakan adalah beberapa

tipe wakil rakyat yang bisa berkembang, yang bisa diemban, dijalankan oleh

seorang wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya. Pertama, mungkin dia

bertindak sebagai trustee atau wali, dia bertindak atas suaranya sendiri untuk

kepentingan nasional, dan kemudian dia mungkin tidak akan diancam oleh sanksi

seperti recall dan sebagainya. Kemudian tipe lainnya adalah tipe utusan atau tipe

deligate, bahwa si wakil rakyat ini harus menyuarakan serta mau tidak mau dalam

mengambil keputusan sesuai dengan kehendak konstituennya. Dalam hal ini bisa

dilihat bahwa sebenarnya tujuan dari putusan yang diambil oleh wakil rakyat tipe

deligate adalah kepentingan konstituen, kemudian juga kepentingan lokal, local

interest, kemudian suara pembenarannya atau sikapnya itu juga dari konstituen.

437
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 288.
438
Bilal Dewansyah, 2010, Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola
Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke
Politico, dalam Widya P. Setyanto, Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu
2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta Kemanusiaan, Salatiga, hal. 63.

170
Sedangkan yang ketiga, mungkin sekali tipe ini diancam oleh sanksi jika dia tidak

menyuarakan suara konstituennya. 439

Tipe partisan, wakil rakyat akan cenderung bertindak sesuai dengan

pendapat partai politiknya daripada kehendak pribadinya, atau kehendak

konstituennya. Konsep partisan, pada akhirnya menghilangkan hubungan pemilih

dengan wakilnya setelah pemilu, karena yang muncul selanjutnya adalah

hubungan wakil dengan partai dan fraksinya. Hal ini sangat berbeda dengan

konsep partisipatif. Hal yang terpenting dalam hubugan perwakilan itu adalah

adanya mekanisme pertanggungjawaban. Saat ini, partai lebih berkuasa ketimbang

konstituennya. 440 Tipe partisan ini tidak tepat karena akan menghilangkan makna

representasi rakyat.441

Sebenarnya kalau kita hanya beranjak pada sistem suara terbanyak yang

merupakan sub-sistem dari sistem pemilu, asumsi itu mungkin tidak bisa

terwujud. Artinya, kalau hanya beranjak pada sistem pemilu sekarang dengan

penetapan calon terpilih suara terbanyak, maka tipe partisannya masih akan

dominan kalau tidak ada perubahan sistemik lainnya.

Ada 3 (tiga) variabel yang bisa dilihat. Pertama, adanya lembaga recall

oleh parpol, atau yang sering disebut dengan lembaga atau pranata yang namanya

PAW. Kedua, adanya pelembagaan fraksi, dan variabel ketiga adanya

kecenderungan rakyat untuk masih memilih parpol.442

Harold J. Laski mengemukakan mengenai recall bahwa:

439
Ibid., hal. 64.
440
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . , Loc.Cit., hal. 152.
441
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 66.
442
Ibid., hal. 63.

171
, that some form of the device known as the recall would be a
valuable addition to our electoral machinery. It ought not, clearly, to be
a weapon of easy use.443 The recall, so used, is not evidence of a
distrust in representative government, but a means of warning the
legislature that it needs to make itself trusted.444

(, suatu bentuk perangkat yang dikenal sebagai recall akan menjadi


tambahan yang berharga untuk mesin pemilu kita. Ini jelas, tidak harus,
menjadi senjata yang mudah digunakan. Recall itu, jika digunakan,
bukanlah merupakan bukti ketidakpercayaan dalam pemerintahan
berdasarkan perwakilan, namun sarana mengingatkan lembaga legislatif
sangat penting menjadikan dirinya dipercaya.)

Asumsi adanya recall di Indonesia, itu dilakukan atau paling tidak

diputuskan oleh dua lembaga, parpol dan konstituen. Usulan recall atau PAW dari

partai sama sekali tidak perlu ada verifikasi. Hal ini berbeda dengan usulan recall

dari konstituen yang harus diajukan melalui Badan Kehormatan, itu harus ada

verifikasi, pembelaan, dan sebagainya. Akan tetapi kewenangan PAW di parpol

sama sekali mutlak, kalau parpol mengatakan bahwa dia di PAW sudah cukup

disahkan dengan Keputusan Presiden untuk DPR Pusat.445 Harus dipahami bahwa

keputusan politik bukanlah keputusan hukum.446

Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang kepada

konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia menjalankan

fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam dengan adanya

pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara kepentingan politik

443
Harold J. Laski, 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London, hal. 320.
444
Ibid., hal. 321.
445
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67.
446
Denny Indrayana, Cerita . . . , Op.Cit., hal. 158.

172
yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan pendapat parpolnya akan

diancam recall.447

Dengan adanya fraksi karena konsekuensi sistem multi partai untuk

mengoptimalisasi pembuatan keputusan dan efisiensi. Normanya adalah, semua

anggota parlemen wajib berhimpun ke dalam fraksi. Di tata tertib khususnya bisa

dilihat bahwa fraksi ini berperan dalam hak angket, hak menyatakan pendapat,

bahkan pembentukan undang-undang, jadi ada pelembagaan suara di fraksi.

Ketika wakil rakyat berbeda suaranya dengan fraksi, dia akan berhadapan secara

resmi dengan suara fraksinya. Hal ini juga suatu hambatan yang sangat

signifikan.448

Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa objektif

kepada rakyat karena takut kepada fraksi. 449 Adanya sistem recall menyebabkan

banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyarakan aspirasi

rakyat.450 Pengalaman selama ini memperlihatkan, bahwa setiap anggota DPR

yang memperlihatkan penampilan keras, konfrontatif, dan antagonistik terhadap

pemerintah akan menghadapi risiko untuk di recall, apalagi mekanisme recalling

tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang ada.451

Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik menentukan:

Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota


lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai

447
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67-68.
448
Ibid., hal. 68.
449
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . ,Op.Cit., hal. 154.
450
Moh. Mahfud MD, Perdebatan . . . , Op.Cit., hal. 167.
451
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 293-294.

173
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa anggota DPR

adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu.

Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau

pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau

kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik; bahkan jika pikiran, pendapat

atau tindakan anggota DPR itu sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau

kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan.

Manakala partai politik menilai anggota DPR-nya telah berbeda atau

menyimpang dari garis kebijakan partai, partai dapat sewaktu-waktu

menggantinya dengan utusan yang lain.452 Penyelenggaraan kekuasaan negara

ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Karena itu apabila hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan kekuasaan

negara niscaya harus melalui partai politik. Suka atau tidak, partai politiklah yang

menentukan arah, gerak dan dinamika penyelenggaraan negara. Karena perannya

yang sangat sentral dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.453 Peranan partai

sebagai jembatan adalah sangat penting, oleh karena di satu pihak kebijakan

pemerintah perlu dijelaskan kepada semua lapisan masyarakat dan di pihak lain

pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.454

452
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 106.
453
Ramlan Surbakti, Perkembangan , Op.Cit., hal. 141.
454
Miriam Budiardjo, 1981, Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar, dalam
Miriam Budiardjo, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia,
Jakarta, hal. 15-16.

174
Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar partai politik lebih

dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa anggota DPR harus bergabung ke

dalam sebuah fraksi. Dalam proses pengambilan keputusan termasuk dalam

proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar partai politik tetapi

antar fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi partai akan

mempertajam perbedaan kepentingan di DPR. Dalam fungsi legislasi, meskipun

bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan

substansi rancangan undang-undang.455 Meskipun ditegaskan bahwa pembentukan

fraksi untuk optimalisasi dan efektifitas, dengan adanya penegasan bahwa bersifat

mandiri, kepentingan fraksi yang lebih mengutamakan kepentingan partai politik

dibandingkan dengan kepentingan DPR.456

Moh. Hatta juga pernah mengatakan:

Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi


Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya
sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan
partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian
adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak
recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat
totaliter.457

Menurut Mukthi Fadjar, legal policy mengenai hak recall sangat

dipengaruhi oleh kemauan politik (political will) supra struktur politik

(pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang tidak

455
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 280.
456
Ibid., hal. 278.
457
Deliar Noer, dalam Nimatul Huda, Dinamika . . . ,Op.Cit., hal. 159-160.

175
selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa anggota DPR

sebagi wakil rakyat, bukan perwakilan partai.458

Dengan demikian recalling oleh partai politik atas anggotanya yang

duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 16 ayat

(1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu

prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang

sulit dikontrol oleh publik. Jadi perlu dihadapkan pada mekanisme hukum (proses

peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjung tinggi dan suara yang diberikan

rakyat pada pemilu kepada anggota partai politik yang bersangkutan tidak dapat

dengan mudah diciderai oleh kepentingan partai.

Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall partai politik terhadap

keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang

berdasarkan hukum.

458
Ibid., hal. 158.

176
BAB IV

KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP

BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK

4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai Politik

Berdasarkan UUD 1945

Kehidupan bernegara terdiri dari cara dan tujuan bernegara. Cara

bernegara terdiri dari struktur negara dan prosedur kenegaraan. Kebaikan bersama

adalah penerapan martabat manusia dalam cara dan tujuan bernegara. Kondisi ini

dapat terwujud karena rakyat berdaulat atas negara yang dibentuknya itu.459

Cara dan tujuan bernegara berdasarkan martabat manusia adalah cara

dan tujuan demokrasi, dan kebaikan bersama adalah penerapan martabat manusia

dalam cara dan tujuan demokrasi. Cara demokrasi adalah struktur dan prosedur

demokrasi, dan tujuan demokrasi adalah kehidupan yang lebih baik, lebih damai,

lebih aman, lebih tertib, lebih adil, lebih sejahtera sesuai dengan martabat

manusia.460

Demokrasi Pancasila itu meliputi segi bentuk maupun isinya. Segi

bentuk demokrasi Pancasila ialah didasarkan atas permusyawaratan/perwakilan,

yaitu berupa cara pengambilan keputusan yang demokratis, sedangkan segi isinya

ialah bahwa hasil keputusan yang diambil tersebut juga harus demokratis yang

bermuara pada kepentingan seluruh rakyat, dan bukan bagi atau bermuara pada

459
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 33.
460
Ibid.

177
kepentingan perorangan atau golongan.461 Dengan demikian memahami akan hak

dan kewajiban sebagai warga negara sehingga di dalam berdemokrasi ini juga

diperhatikan asas dan pengertian tata cara bernegara sesuai dengan pandangan

hidup dan falsafah hidup yang senantiasa dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

Kedaulatan rakyat adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan dan

equality of the people yang kemudian menghendaki adanya hierarki penguasaan

yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak

tersebut untuk dapat diperintah. Rakyat itu sendiri yang berhak menentukan siapa

dan bagaimana mereka harus diperintah dalam struktur hidup bernegara. Rakyat

berhak sama dalam menarik mandat dari orang-orang yang tidak dapat

mewujudkan dan menjalankan aspirasi mereka.462

DPR dibentuk oleh rakyat lewat partai politik merupakan lembaga

yang amat penting untuk demokrasi, karena mereka yang menempati kursi di

lembaga tersebut adalah wakil-wakil rakyat. Pekerjaan utama mereka adalah

memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mereka wakili,

mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat, dan seterusnya

menyusun undang-undang yang menjamin terwujudnya kepentingan dimaksud.

Sadar bahwa DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang di dalamnya

sarat dengan kepentingan maka sudah seharusnya lembaga tersebut tidak dapat

melepaskan diri dari kegiatan kontrol. 463

Lemahnya akuntabilitas wakil rakyat terpilih tidak terlepas dari

ketiadaan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh rakyat terhadap wakilnya yang
461
H. Subandi Al Marsudi, Op.Cit., hal. 87.
462
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 80.
463
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 248-249.

178
duduk di lembaga perwakilan. Ketiadaan mekanisme kontrol disebabkan tidak

terbangunnya ikatan institusional antara anggota DPR dengan pemilih pasca

pemilu.464 Dengan demikian perlu adanya lembaga yang memiliki tugas utama

sebagai penjaga moral anggota DPR melalui penegakan kode etik yaitu Badan

Kehormatan (BK) DPR.

Kode Etik DPR RI ialah norma-norma atau aturan-aturan yang

merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku

maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut

dilakukan oleh anggota DPR RI.465 Dengan demikian kode etik ini tentu

dimaksudkan untuk ditaati dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi,

sehingga penegakan kode etik dengan baik akan dapat mencerminkan nilai moral

anggota DPR.

Pasal 123 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:

Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat


kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Dengan demikian BK merupakan salah satu alat kelengkapan yang

bersifat tetap. Pembentukan BK di DPR merupakan respon atas sorotan publik

terhadap kinerja sebagian anggota DPR yang buruk, misalnya dalam hal

rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.

464
Khairul Fahmi, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem
Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.152.
465
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 87.

179
Pasal 124 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:

(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan


memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
sidang.
(2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan
ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan
DPR dan pada permulaan tahun sidang.

Dengan demikian susunan keanggotaan BK ditetapkan oleh DPR dalam

Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap

fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang

ketiga. Anggota BK berjumlah 11 (sebelas) orang.

Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:

Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi


atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.

180
Dengan demikian tugas BK antara lain:

1. Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan

keputusan tersebut kepada pimpinan DPR.

2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota

karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap sebagai anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;

melanggar sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban

sebagai anggota; atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan

sebagaiman diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

3. BK mempunyai wewenang untuk: memanggil anggota yang bersangkutan

untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran

yang dilakukan; dan memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang

terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau

bukti lain.

Setelah BK melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan,

pembelaan, bukti-bukti serta sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan

sanksi berupa teguran tertulis yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada

anggota yang bersangkutan. Pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau

pimpinan alat kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk

dibacakan dalam Rapat Paripurna. Pemberhentian sebagai anggota oleh pimpinan

DPR disampaikan oleh pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan. BK

181
dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila anggota yang diadukan terbukti

tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang diumumkan

dalam Rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.466

Rapat-rapat BK bersifat tertutup. Tugas BK dianggap selesai setelah

menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPR.467 Tugas dan wewenang BK

ini diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib DPR.468 Bekerjanya kontrol internal DPR

yang didukung peran aktif masyarakat memiliki arti lebih luas yakni penguatan

konsolidasi demokrasi. 469

Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan

oleh pimpinan partai politiknya atau oleh Badan Kehormatan DPR.

Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan

oleh pimpinan partai politiknya diatur pada Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sebagai berikut:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213


ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h,
dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan
DPR dengan tembusan kepada Presiden.

466
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 190-191.
467
JF. Tualaka (Ed.), Op.Cit., hal. 150.
468
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 87.
469
Sarwono Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 66.

182
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan
usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Dengan demikian pemberhentian anggota DPR diusulkan oleh

pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden

dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan

pemberhentian, pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR

kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. Kemudian

Presiden meresmikan pemberhentian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat

belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan

DPR.

Klausula pada Pasal 214 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

menyebutkan diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR

dengan tembusan kepada Presiden, dapat dimaknai keputusan recalling terhadap

anggota DPR barulah usul dan keputusannya terserah pimpinan DPR dan

Presiden. 470 Dengan demikian jika dilihat pelaksanaan tugas-tugas koordinatif dan

protokoler pimpinan DPR maka pimpinan DPR bukanlah atasan para anggota

DPR. Pelaksanan pergantian antar waktu anggota DPR harus lebih dahulu

470
Nimatul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 166.

183
dimusyawarahkan kepada pimpinan DPR dan peresmiannya dilakukan oleh

Presiden.

Peresmian pergantian anggota DPR oleh Presiden juga dilihat sebagai

bersifat protokoler dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara.471 Dengan

demikian Presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat ikut campur dalam

masalah internal DPR.

Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan

oleh Badan Kehormatan DPR diatur pada Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sebagai berikut:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213


ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah
adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR,
masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan
Kehormatan kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR
yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan
tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan
DPR.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan

471
Ibid., hal. 167.

184
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan
Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang
pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.

Dengan demikian pemberhentian anggota DPR karena tidak dapat

melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota

DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar

sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, tidak menghadiri rapat paripurna

dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya

sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, tidak lagi memenuhi

syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan

setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan

Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat,

dan/atau pemilih. Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian

anggota DPR dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. Dalam

jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR

yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna, pimpinan DPR menyampaikan

keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang

bersangkutan. Kemudian pimpinan partai politik yang bersangkutan

menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan

DPR, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya

keputusan Badan Kehormatan DPR dari pimpinan DPR. Bilamana pimpinan

185
partai politik tidak memberikan keputusan pemberhentian, pimpinan DPR

meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada Presiden untuk

memperoleh peresmian pemberhentian. Presiden meresmikan pemberhentian

dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya

keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik

tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Jadi putusan Badan

Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR tetap mempunyai

kekuatan hukum mengikat, yang tidak dapat dibatalkan oleh rapat paripurna DPR.

Apabila prinsip akuntabilitas akan diperkuat, maka ikatan institusional

tersebut semestinya disediakan dengan mekanisme pemberhentian anggota DPR

atas usul rakyat. Melalui mekanisme recall, pemilih yang tidak puas terhadap

wakilnya diberikan hak untuk mengusulkan agar wakilnya diberhentikan dan

diganti dengan wakil lain menurut kehendak rakyat. Recall merupakan

mekanisme politis yang disediakan bagi masyarakat pemilih untuk menghukum

anggota DPR yang abai dan lalai terhadap mereka.

Indonesia sebagai negara demokratis, namun sistem demokrasinya

belum menyediakan mekanisme demikian dalam peraturan perundang-undangan

terkait. Usul pemberhentian anggota DPR sepenuhnya ada pada partai politik.

Dengan demikian hak recall masih didominasi oleh partai politik. Bila merujuk

pada ketentuan Pasal 213 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terbukti bahwa rakyat tidak punya ruang

untuk mengusulkan pemberhentian seorang anggota DPR. Sebab tidak ditemukan

186
satu ketentuan pun dalam pasal tersebut yang menyediakan ruang bagi rakyat

pemilih untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR. Usul pemberhentian

anggota DPR hanya dimiliki partai politik. Hal ini menjadi salah satu sebab

oligarkhi partai politik tidak dapat ditembus. Persoalan ini yang akhirnya

berdampak terhadap lemahnya pertanggungjawaban anggota legislatif terhadap

pemilihnya.

Di samping alasan akuntabilitas wakil rakyat terpilih, perlunya

disediakan mekanisme usulan recall oleh rakyat juga dalam rangka menjaga

konsistensi penerapan prinsip kedaulatan rakyat. Apabila rakyat sebagai

pemegang kedaulatan berhak memilih siapa wakilnya, maka semestinya pemilih

juga punya hak untuk memberhentikan atau setidak-tidaknya mengusulkan

pemberhentian seorang anggota DPR apabila mereka tidak lagi puas dengan

kinerjanya.

Semua warga negara yang mempunyai hak pilih berhak untuk ikut serta

dalam referendum. Mengenai pengorganisasian penyelenggaraaan, waktu dan

tempat pemungutan pendapat rakyat secara praktis adalah sama seperti

menghadapi pemilihan umum. Sebelum dilakukan pemungutan pendapat rakyat,

kepada seluruh rakyat diberikan penerangan seluas-luasnya mengenai

penyelenggaraan referendum.

Secara teknis pelaksanaan, seorang anggota DPR dapat diusulkan untuk

diberhentikan oleh rakyat yang berada di suatu daerah pemilihnya. Pengusulan

tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan petisi rakyat atau bentuk lain. Petisi

tersebut diajukan kepada pimpinan DPR. Anggota DPR yang bersangkutan mesti

187
diproses melalui Badan Kehormatan untuk diperiksa atas masalah yang diajukan

rakyat dalam petisi dan selanjutnya melakukan proses pemberhentian terhadap

anggota DPR yang bersangkutan.

Selain menyediakan mekanisme recall oleh rakyat, juga mesti

disediakan mekanisme untuk menjaga agar seorang anggota DPR tidak

diberhentikan secara sewenang-wenang oleh partai politik yang mengusulkannya.

Di dalam negara demokrasi adanya perbedaan pendapat adalah

dianggap wajar dan harus tetap dihargai, sepanjang adanya perbedaan itu tidak

menjurus dan membawa akibat negatif, berupa retaknya keutuhan, persatuan dan

kesatuan bangsa. 472 Dengan begitu, setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan

secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan

yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).473

Klausul Penggantian Antar Waktu seringkali dimanfaatkan oleh partai-

partai politik untuk menghukum anggotanya yang dianggap menyimpang dari

garis kebijakan partai, tanpa adanya dasar pelanggaran yang jelas. Padahal soal

pemberhentian anggota DPR tidak dapat dilakukan tanpa kriteria dan prosedur

yang jelas mengingat asumsi bahwa ia dipilih secara ketat dalam pemilihan umum

dan memiliki pertanggungjawaban politik kepada kelompok konstituen tertentu.474

Disamping itu, lembaga recall yang dimiliki oleh setiap partai politik sebagai

472
H. Subandi Al Marsudi, Loc.Cit., hal. 87.
473
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 290.
474
Bivitri Susanti, 2009, Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat (Pembahasan
Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD), dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 433.

188
senjata untuk menarik anggota-anggotanya dari kursi DPR dengan pertimbangan

bersifat sepihak, harus dihapus.475

Kebijakan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan

baik menyangkut politik, harus berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi

hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus

berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Dalam pelaksanaan dan

penyelenggaraan negara segala kebijakan, kekuasaan serta kewenangan harus

dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Dengan demikian

dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut pengambilan

keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.

Kekuasan politik adalah kemampuan negara membuat pihak-pihak lain

berbuat sesuai dengan keputusan negara, dan juga kemampuan pihak-pihak lain

mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan kenegaraan,

termasuk kemampuan untuk melawan negara.476 Dengan demikian kekuasaan

politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga

masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk

mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara.

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara adalah

agency/alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur

hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala

kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu

wilayah dapat memaksakannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan

475
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 247.
476
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 117.

189
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.477 Sistem dan

proses politik penyelenggaraan negara ini dikonstruksikan secara yuridis sebagai

ukuran konstitusionalitas kehidupan politik yang sehat.478 Dengan demikian

mempertahankan hukum dengan dukungan atas nili-nilai dasar yang menjadi

pijakan undang-undang.

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut UUD

1945, tidak mengatur recall, sehingga penentuan recall tersebut diserahkan pada

kebijakan pembuat undang-undang. Dalam membuat dan merumuskan recall,

berikut seluruh unsurnya, pembuat undang-undang terikat pada prinsip-prinsip

demokrasi yang diatur UUD 1945.

Benar bahwa penentuan recall menjadi kebijakan pembuat undang-

undang, namun pembuat undang-undang tidak dapat keluar dari kerangka atau

prinsip-prinsip yang dikandung UUD 1945. UUD 1945 menganut prinsip suara

mayoritas. Hukum yang berkaitan dengan cara pembentukan undang-undang

disebut hukum privat ditentukan oleh hukum publik. Dengan demikian hukum

privat berada dalam naungan hukum publik.

Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang

mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi

harapan dan tuntutan masyarakat. Artinya, peraturan tersebut harus memenuhi

rasa keadilan individu maupun rasa keadilan sosial, serta kepastian hukum.479

477
H. Kabul Budiyono, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung, hal.
27.
478
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 108.
479
Johanes Usfunan , 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Pidato

190
Peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi karena tidak

jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan tujuannya (ambiguous),

atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif), atau terjadi

inkonsistensi dalam menggunakan peristilahan, atau sistematika yang tidak baik,

bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya.

Masalah ketidakjelasan, memungkinkan bermacam-macam interpretasi, sukar

dipahami, penggunaan istilah yang tidak konsisten, bukan sesuatu yang dapat

diabaikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.480

Di dalamnya diungkapkan bahwa pada hukum itu juga terdapat suatu

sisi (aspek) etikal. Terdapat kaidah-kaidah konkret yang berlaku, yang isinya

untuk hukum relevan. Tentang hal itu pikiran kita terarah pada keadilan. Dengan

ini diajukan bahwa hukum dan etika tidak dipisahkan yang satu dari yang

lainnya.481 Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan

bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat

dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi

baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang

melibatkan norma-norma.482

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etika diartikan sebagai

ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral

(akhlak). Secara keilmuan, etika dapat digolongkan dalam etika deskriptif dan

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10.
480
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill-Co,
Jakarta, hal. 17.
481
B. Arif Sidharta, Meuwissen , Op.Cit., hal. 39.
482
Amsal Baktiar, Op.Cit., hal. 165-166.

191
etika normatif. Etika deskriptif menggambarkan apa yang ditemukan di lapangan

secara empiris, mengenai tingkah laku atau moralitas, seperti adat istiadat dan

anggapan tentang perbuatan baik dan buruk atau patut dan tidak patut sekalipun

belum ada aturannya dalam norma hukum. Etika normatif merupakan rangkaian

sistem untuk memberikan petunjuk atau pedoman dalam mengambil keputusan,

keputusan yang menyangkut baik dan buruk, patut dan tidak patut.483

Sumber daya normatif menunjukkan bahwa mereka yang memiliki

kekuasaan dapat memperoleh kepatuhan dari fihak-fihak lain karena yang

bersangkutan memiliki kualitas tertentu, seperti mempunyai sifat bijak menurut

ukuran moral, bijak menurut pemahaman agama ataupun memilki wewenang

yang sah menurut norma yang berlaku.484 Dengan demikian sumber daya normatif

ini memberi hak moral kepada penguasa untuk mengatur mereka.

Partai politik sebagai pemegang hak recall dapat berbuat apa saja atas

haknya. Ia dapat saja tidak menggunakan hak itu, melepaskannya, melaksanakan

atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Jadi yang akan dilakukannya merupakan

suatu pilihan.

Dalam negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam

sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga

perwakilan rakyat merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi. Konstitusi

sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga

yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat

483
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 86.
484
Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program Pascasarjana
(S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Unuiversitas Gadjah Mada, Yogyakata, hal. 47.

192
dalam konstitusi.485 Meski demikian, tentu, jaminan konstitusional yang lebih baik

itu saja tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan

jaminan konstitusional tersebut ke dalam tindakan nyata kehidupan bernegara. 486

Lembaga legislatif adalah simbol demokrasi, tempat berkumpulnya

wakil-wakil rakyat untuk menyalurkan kepentingan suara rakyat, untuk itu

lembaga ini harus membuat kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat.487

DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif

sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak,

dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan

negara.488 Asumsinya adalah bahwa DPR saja yang mewakili rakyat dan

berkompeten mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang.489

Peran utama DPR dalam kaitannya dengan legislasi adalah menjamin

dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah ditetapkan sebagai undang-undang

di dan melalui DPR. Di luar itu, lembaga perwakilan rakyat menjalankan fungsi

legitimasi, komunikasi, dan representasi, dengan catatan bahwa fungsi-fungsi ini

pun tidak secara eksklusif dijalankan DPR.490 Dengan demikian kekuasaan

legislatif dikelilingi oleh pembatasan yang ketat.

485
Charles Simabura, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
486
Denny Indrayana, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi
Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 107.
487
Pahmi Sy, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta, hal. 87.
488
H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 5.
489
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 171.
490
Ibid., hal. 173.

193
Di satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan

betapa kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai organ demokrasi. Tapi,

di pihak lain, hal itu juga mengisyaratkan luasnya tuntutan di masyarakat akan

kehadiran lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan

tugasnya seperti yang diharapkan, serta perlunya usaha-usaha untuk membenahi

dan meningkatkan DPR agar kehadirannya betul-betul bermakna.491

Oleh karena itu, harus disusun strategi agar masyarakat tahu bahwa

DPR adalah sarana untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka. 492

Dalam keadaan seperti ini, interaksi antar warga masyarakat, antara masyarakat

dan negara, dan antar berbagai lembaga negara, harus diatur dalam hukum yang

dibuat bersama oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, dan harus dijalankan oleh

lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan hukum, dan diberlakukan kepada

semua pihak secara sama, tanpa diskriminasi. 493 Terkadang, peran legislatif itu

dilakukan bersama rakyat, yaitu dengan menggunakan sarana referendum.494

Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan kebijakan nasional, yang tidak

terlepas dari hubungan politik dan hukum. Hubungan antara politik dan hukum

berjalan dalam dua arah, sehingga kedua aspek hukum dari kehidupan sebagai

indikator pertumbuhan kesejahteraan rakyat maka dalam rangka menelusuri fakta

yang memungkinkan tumbuhnya kekuatan hukum politik dilihat sebagai variabel

491
Ibid., hal. 177.
492
Frank Feulner, Dkk, Peran , Op.Cit., hal. 153.
493
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151-152.
494
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 172.

194
yang berpengaruh pada hukum positif. Pusat perhatian ialah perkembangan

hukum di tengah masyarakat yang dipengaruhi oleh politik. 495

Demokrasi bukan sekadar prosedur yang bebas nilai, tapi memuat etos

yang harus dimaterialisasikan dalam perilaku kolektif. Keyakinan terhadap

demokrasi tidak cukup hanya disandarkan pada rasionalitas. Keyakinan tersebut

membutuhkan komitmen yang bersungguh-sungguh terhadap sebuah sistem

referensi, sistem nilai atau cara hidup.496 Demokrasi tidak hanya menyaratkan cara

atau prosedur untuk mencapai tujuan, tetapi juga tujuan akhir itu sendiri. Cara dan

tujuan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam nilai dan praktek

demokrasi.497

Nilai-nilai demokrasi harus diterjemahkan untuk menjawab tantangan

nyata, terutama kemakmuran rakyat, lahir dan batin. Kemakmuran lahir bisa

dijawab dengan keamanan dan ekonomi yang tumbuh dan terdistribusi dengan

adil. Kemakmuran batin bisa dicapai dengan kebebasan, tegaknya hukum,

kedalaman praktik beragama, kemartabatan budaya, dan sebagainya.498

Dalam paham demokrasi, ada batasan yang jelas antara mereka yang

menggunakan politik untuk kepentingan pribadi dan mereka yang menganggap

demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kemajuannya melalui mekanisme

495
Abdul Latif & Hasbi Ali, Op.Cit., hal. 176-177.
496
Donny Gahral Adian, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal,
Koekoesan, Depok, hal. 88.
497
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 20.
498
Anas Urbaningrum, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat,
Teraju, Jakarta, hal. 160-161.

195
agregasi.499 Oleh karenanya pembuat undang-undang mestilah tunduk pada

prinsip tersebut dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan

demikian legitimasi harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum

atau peraturan perundang-undangan.

Tujuan hukum memberikan sebanyak mungkin kepada individu

kebebasan apa yang dikehendakinya. Hukum memberikan hak bukan kepada

keinginan manusia sebagai suatu tujuan, melainkan kepada keinginan manusia

yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh hukum. Dengan demikian hak sebagai

suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum dengan cara tertentu.

Hukum merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat

untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Hukum tertulis adalah alat politik

dan merupakan hal yang universal. Kalau dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai

alat rekayasa sosial, peranan elite politik terhadap hukum adalah sangat besar.

Apabila hukum hanya dijadikan alat kekuasaan maka hukum telah digunakan

sebagai mesin kekuasaan.

Hal ini dilakukan sejauh mungkin untuk menghindari berpolitikan yang

bersifat parsial yang semata-mata hanya melihat kepentingan segolongan atau

sekelompok orang, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. 500 Demokrasi

adalah pemerintahan oleh semua untuk kepentingan semua.501 Dengan demikian

499
Amas Mahmud, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi
Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta, hal. 109.
500
Sudarsono, Op.Cit., hal. 22.
501
Merphin Panjaitan, Loc.Cit ., hal. 1.

196
partai politik harus mampu bersikap dan berperilaku dalam berpolitik secara

sopan dan santun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kegotong-royongan,

kebersamaan, kepedulian, keadilan dan kejujuran.

Peraturan hukum yang dibuat merupakan pedoman utama untuk

mencapai perwujudan tujuan negara. Setiap keberlakuan peraturan tertulis

memiliki landasan keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Peraturan

hukum ditetapkan oleh lembaga negara.

Perlindungan terhadap warga negara memang terletak pada negara, jika

negara itu mengakui adanya konsep negara hukum. Dalam konsep ini, suatu

negara dianggap menganut prinsip negara hukum, apabila dalam penyelenggaraan

negara itu dilakukan menurut hukum, yang dituangkan dalam konstitusi.

Jadi, apabila ada sekelompok yang mempunyai kekuasaan dan

berpotensi untuk digunakan sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama

bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya,

karena negara adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum

untuk melaksanakan kepentingan umum menurut ketentuan hukum yang baik.

Dengan adanya negara dan hukum yang pada dasarnya merupakan

perwujudan dari kehendak bersama rakyat berdaulat, oleh sebab itu nilai

kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada

prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari

kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan

tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya.

197
Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan peranan

negara terlihat. Peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara

pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya.

Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi

kehidupan, dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau

pihak tidak diperkenankan untuk bersikap tidak semena-mena.

Masalah-masalah kehidupan yang berkaitan dengan memperoleh nafkah

yang layak menimbulkan masalah di bidang ketenagakerjaan, pendidikan,

keselamatan kerja, kesehatan, lingkungan, dan seterusnya berakibat campur

tangan negara (welfare state) atau pemerintah di bidang kependudukan dan

pengelolaan kesejahteraan pada umumnya. Semuanya menyebabkan pemerintah

harus proaktif mengatur dari perencanaan (planning), pengorganisasian,

pelaksanaan atau penerapan setiap kebijakan (policy) pemerintah demi

kesejahteraan rakyat secara umum.502

Jadi demokrasi dalam level pelembagaan pembuatan keputusan

menuntut persetujuan bersama oleh mayoritas pertisipan yang ditentukan secara

bebas dan sebagai manifestasi dari kesamaan hak dalam menentukan kehendak

(tanpa paksaan dari luar).503 Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, dan

pemerintahan rakyat harus punya tujuan tertentu, yaitu untuk kepentingan rakyat.

Kepentingan seluruh rakyat, bukan sebagian rakyat, juga bukan sebagian besar

rakyat, tetapi untuk kepentingan rakyat seluruhnya.504

502
I Gde Pantja Astawa & Suprin Naa, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan Teori
Negara, Refika Aditama, Bandung, hal. 122.
503
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 81.
504
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 37.

198
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin

dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang

menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. 505

Kehadiran lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan sendirinya menjamin

kehidupan demokrasi, kalau tidak didukung oleh tingkah laku politik yang

mengenjewantahkan nilai-nilai demokrasi. 506

Semua kewajiban dan semua hak berasal dari hukum, karena semua

kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari

hukum. Hukum itu berfungsi untuk menyeimbangkan konflik kepentingan yang

meliputi kepentingan-kepentingan individual (kepentingan-kepentingan privat dari

warga negara selaku perseorangan) dengan kepentingan-kepentingan publik

(khususnya kepentingan-kepentingan negara).

Dengan demikian dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan

dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan

dan kekuatan moral. Sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum

akan kehilangan supremasi dan ciri independennya. Sebuah tatanan yang tidak

berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak

aman dan berbahaya.

505
Ibid.
506
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 246-247.

199
4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai Politik

Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan DPR diatur pada Pasal

213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menentukan:

e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-


undangan;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2011 tentang Partai Politik menentukan:

Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota


lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada kata peraturan perundang-undangan menimbulkan makna yang

kabur, atau terlalu luas (delegasi blanko) karena tidak menjelaskan secara rinci

sehingga menimbulkan berbagai penafsiran yang mengandung kerancuan berpikir.

Penafsiran hukum terikat pada asas-asas umum, diantara lain asas

proposionalitas, asas subsider dan asas patut. Di samping itu telah berkembang

pula berbagai jenis ajaran penafsiran yang dikembangkan oleh para ahli hukum.507

Menurut asas proporsionalitas, hakim dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum

harus berpegang pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif,

antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara materialisme dan

507
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran , Op.Cit., hal. 5.

200
spiritualisme.508 Asas subsider mengandung prinsip bahwa penafsiran syaratnya

hanya apabila peraturan itu tidak jelas. Peraturan yang sudah jelas tidak perlu

ditafsirkan lagi.509 Dalam asas patut, penafsiran dilakukan dengan berpegang pada

prinsip moralitas. Artinya bahwa suatu penafsiran tidak boleh bertentangan

dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma-norma sosial lainnya. 510

Dengan demikian adanya kekaburan norma hukum memberi peluang

kepada partai politik bertindak sewenang-wenang berupa recall terhadap

keanggotaan DPR.

Lebih lanjut Lon L. Fuller menjelaskan norma hukum yang kabur

sebagai berikut:

The desideratum of clarity represents one of the most essential


ingredients of legality.511 Today there is a strong tendency to identify
law, not with rules of conduct, but with a hirarchy of power or
command.512

(Sesuatu yang diinginkan kejelasan menunjukkan salah satu unsur yang


paling penting dari legalitas. Saat ini ada kecenderungan kuat untuk
mengidentifikasi hukum, tidak dengan aturan tentang perilaku,
melainkan dengan hierarki kekuasaan atau perintah.)

Dengan demikian peraturan dirumuskan secara jelas yang artinya

disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. Peraturan bukan dibuat dengan

sengaja menimbulkan kekaburan norma berdasarkan kepentingan penguasa.

Rumusan Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

508
Ibid., hal. 6.
509
Ibid.
510
Ibid.
511
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and
London, hal. 63.
512
Ibid.

201
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat

(2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik

menentukan:

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik


apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hukum tata negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dari

negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari warga

negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten).513 Hak setiap warga

negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan diatur pada Pasal

28D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa:

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam


pemerintahan.

Pengaturan seperti ini adalah konsekuensi dari pengakuan bahwa semua

manusia setara, sehingga tidak satu orangpun boleh menjadi pemerintah tanpa

persetujuan dari yang diperintah. Kesetaran manusia, juga berakibat pengaturan

tentang hubungan antar manusia harus ditetapkan bersama-sama dalam bentuk

peraturan perundang-undangan, dan diberlakukan secara sama terhadap semua

manusia, tanpa kecuali. Oleh karena itu negara demokrasi haruslah negara hukum.

513
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 68.

202
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan

pemerintahan. 514

Hak setiap warga negara atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat

berbentuk ungkapan atau pernyataan dalam bentuk tulisan ataupun lisan diatur

pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat.

Mempengaruhi peraturan dan kebijakan adalah salah satu hak dasar

warga negara yang harus dapat dijamin untuk mengekspresikan diri mereka secara

bebas. Semua hak ini didasari pada prinsip perlakuan yang sama terhadap semua

dan tidak ada diskriminasi.515

Hans Kelsen mengemukakan tentang hak politik merupakan hak pribadi


sebagai berikut:

granting individuals the capacity of participating in the


formation of the will of the state (in the creation of legal norms),
then the rights established by private law, the private rights, too,
are political righs; for they too allow the entitled individual to
take part in the formation of the will of the state.516

(pemberian wewenang kepada individu untuk berpartisipasi


dalam pembentukan kehendak negara (dalam penciptaan norma-
norma hukum), hak yang ditetapkan oleh hukum pribadi, yakni
hak pribadi, juga merupakan hak politik; karena hak itu juga
memungkinkan individu untuk ambil bagian dalam pembentukan
kehendak negara.)

514
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal 1.
515
Bivitri Susanti, Op.Cit., hal. 461.
516
Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press, Berkeley
& Los Angeles, hal. 139.

203
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara, di

samping memiliki hak dasar sebagai individu, setiap warga negara juga

mempunyai hak politik. Hak politik berupa hak untuk ikut serta baik secara

langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.517

Harold J. Laski mengemukakan mengenai hak politik bahwa:

A democratic system, it has been argued, is one in which the will of the
average citizen has channels of direct access to the sources of
authority. There is, therefore, a right to political power.518

(Sistem demokrasi diartikan sebagai suatu warga negara yang memiliki


saluran yang berhubungan langsung dengan sumber kewenangan.
Karena itu ada hak untuk kekuasaan politik.)

Dengan demikian hak politik harus dituangkan ke dalam konstitusi.

Salah satu materi muatan konstitusi ialah adanya pengakuan dan penghormatan

terhadap hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang kemudian diterima

sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itulah salah

satu fungsi utama konstitusi adalah memberikan perlindungan kepada individu-

individu warga negara beserta hak-hak konstitusional mereka.519

Dengan demikian hak politik dijamin oleh konstitusi atau undang-

undang dasar yang dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Karena dicantumkan

dalam konstitusi atau undang-undang dasar maka ia menjadi bagian dari konstitusi

atau undang-undang dasar sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib

menghormatinya. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak

517
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 170.
518
Harold J. Laski, Op.Cit., hal. 115.
519
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.

204
konstitusional sebagai bagian dari konstitusi sekaligus juga berarti pembatasan

terhadap kekuasaan negara.520 Hal itu disebabkan konstitusi yang berasal dari

bahasa Latin, constitutio, yang berarti tempat menempatkan aturan pokok.521

Konstitusi merupakan upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik

rakyat selaku anggota masyarakat hukum. Kehendak politik ini harus dipahami

sebagai kehendak untuk hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik.

Konstitusi mesti dipahami sebagai proses yang membatasi sekaligus memberikan

bentuk tindakan politik.

Konstitusi sebagai kesepakatan politik rakyat yang dituangkan secara

formal ke dalam naskah hukum (UUD 1945) merupakan dan menentukan asas

legalitas yang dianut bangsa Indonesia.522 Konstitusi dalam proses pembentukan

dan implementasinya wajib mengakomodasikan partisipasi. Adanya partisipasi

akan mentransformasikan individu untuk menjadi warga negara yang

demokratis. 523

Hak merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hakikat kemanusiaan

itu sendiri. Hak sebagai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum.

Kepentingan-kepentingan adalah objek keinginanan manusia. Suatu kepentingan

adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok individu yang ingin

dipenuhi oleh individu atau kelompok individu tersebut.

520
Ibid., hal. 111.
521
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 171.
522
I Dewa Gede Atmadja, 2011, Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis, dalam I
Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi: Perspektif Negara angsa Untuk
Menghadirkan Keadilan Kado Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara
Press, Malang, hal. 13.
523
Muhammad Faisal, Op.Cit., hal. 23-24.

205
Seseorang mempunyai hak apabila terdapat suatu alasan untuk

memberikan kepada orang itu kesempatan meskipun ada yang menentangnya atas

dasar kepentingan umum secara keseluruhan. Bukan hak yang diciptakan oleh

hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.

Hak merupakan peranan yang sifatnya boleh tidak dilaksanakan.

Kewajiban atau tugas merupakan sesuatu peranan yang harus dilaksanakan. Hak

dan kewajiban tersebut senantiasa dalam hubungan yang berhadapan dan

berdampingan. Dengan adanya pembatasan hak oleh kewajiban, bila orang

melakukan kewajibannya maka dia memperoleh hak. Hak memiliki hubungan

dengan kewajiban karena hak itu menyangkut keadilan, sehingga hak tidak akan

berjalan bila hak tersebut merugikan hak orang lain Hak dan kewajiban adalah

gagasan atas keberadaan hidup dalam kehidupan. Hak dan kewajiban adalah suatu

gagasan yang diikat atau dilahirkan dalam sebuah sistem yang mengikat, yaitu

sistem kehidupan. Pengakuan atas gagasan hak dan kewajiban yang dimuat dalam

sistem merupakan upaya sistem dalam memberi pengakuan timbal balik demi

pengakuan adanya sistem. Keberhakan dan kewajiban menjadi pranata yang

menjadi junjungan dalam sistem yang menjadi dasar keberlakuan yang bersifat

universal. Hak dan kewajiban berbatas dengan hak dan kewajiban tiap-tiap orang.

Sistem mengharuskan syarat bagi sistem-sistem yang telah ada bahkan

akan hadir berikutnya. Sistem yang mengkonkretkan dirinya dikenal dengan

peristilahan negara. Negara menjadi sistem yang tidak terbantahkan. Apalagi salah

satu prinsip utama dalam demokrasi adalah one man one vote, sehingga pada

akhirnya keputusan dinilai secara kuantitatif, yaitu sebatas jumlah yang setuju dan

206
tidak setuju.524 Rakyat dapat mengendalikan negara karena rakyat mempunyai

kekuasaan politik, dan oleh karena semua warga negara adalah bagian dari rakyat

dan setara, maka masing-masing warga negara mempunyai kekuasaan politik

yang sama, satu orang satu suara.525 Dengan demikian mekanisme demokrasi

cenderung mencerminkan kehendak mayoritas, yang kadang-kadang bertentangan

dengan prinsip umum yang dibuat oleh seluruh rakyat.

Dengan hak-hak asasi manusia dimaksud hak-hak yang melekat pada

manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian masyarakat atau

negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak

boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan

sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis,

kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Hormat

terhadap hak-hak asasi manusia merupakan upaya hukum untuk menjamin bahwa

bagaimanapun kebijaksanaan yang diambil, namun manusia kongkret tidak pernah

akan dikorbankan.526 Demokrasi menghormati dan menjamin pemenuhan hak

asasi manusia. Demokrasi mengakui bahwa manusia dilahirkan merdeka dengan

matabat dan hak yang sama. 527

Mengingat pentingnya kedudukan hak-hak asasi manusia itu, yang

ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan

inti daripada sistem demokrasi, yang khusus menghubungi martabat manusia

pribadi seperti diuraikan diatas itu, maka kiranya tidak berlebih-lebihan jika hak-

524
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 184.
525
Merphin Panjaitan, Op.Cit, hal. 116-117.
526
Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal. 46.
527
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 6.

207
hak asasi manusia itu dalam tinjauan kita tentang sistem pemerintahan demokrasi

itu, kita sebut sudut susila demokrasi. 528

Hidup bersusila, atau hidup berkesusilaan, atau hidup bermoral adalah

tuntutan yang paling pokok dalam menegakkan Pancasila bagi keselamatan

negara, bangsa dan masyarakat, oleh karena Pancasila bukan hanya (secara

deduksi dan induksi) menghimpun norma-norma hukum, tetapi yang paling

banyak menghimpun pula norma-norma moral. Negara Republik Indonesia adalah

negara yang berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisah-

pisahkan.529

Dengan demikian berdasarkan asas hukum maka hukum yang dibuat

oleh penguasa yang berkedudukan lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum

yang dibuat kemudian oleh penguasa yang lebih rendah atau lex superior derogat

legi inferiori.

Berdasarkan pemaparan uraian diatas bahwa Pasal 213 ayat (2) huruf e

dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan

ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Hans Kelsen menegaskan norma hukum yang saling bertentangan


sebagai berikut:
A conflict exists between two norms when that which one of them
decrees to be obligatory is incompatible with that which the other
528
Koentjoro Poerbopranoto, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi,
Eresco, Bandung-Jakarta, hal. 88.
529
Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 103.

208
decrees to be obligatory, so that the observance or application of one
norm necessarily or possibly involves the violation of the other.530

(Konflik ada antara dua norma tatkala salah satu dari norma itu bersifat
wajib tidak sesuai norma lainnya yang juga bersifat wajib, sehingga
ketaatan atau penerapan dari satu norma pasti atau kemungkinan besar
melanggar norma yang lain itu.)

Lon L. Fuller mengemukakan konflik norma hukum sebagai berikut:


It has been suggested that instead of speaking of "contradictions" in
legal and moral argument we ought to speak of incompatibilities, of
things that do not go together or do not go together well.531

(Sebagaimana telah diisyaratkan bahwa sebagai pengganti dari


mengatakan "pertentangan" dalam argumentasi hukum dan moral kita
lebih tepat mengatakan ketidaksesuaian, dari hal-hal yang tidak
menyatu atau tidak menyatu dengan baik.)

Dengan demikian peraturan dibuat tidak boleh mengandung aturan-

aturan yang bertentangan satu sama lain.

Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara,

dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat

bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkatan

sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan souvereniteit

(bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. 532

Dengan gagasan kedaulatan sehingga satu-satunya cara untuk

menyelesaikan kehendak yang saling bertentangan adalah mengandaikan adanya

kehendak yang lebih tinggi yang mengatasi semua kehendak yang saling

bertentangan. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen

mengemukakan jenjang norma hukum sebagai berikut:

530
Hans Kelsen, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford, hal. 123.
531
Lon L. Fuller, Op.Cit., hal. 69.
532
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 214.

209
The relation between the norm regulating the creation of another
norm and this other norm may be presented as a relationship of super
and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
determining the creation of another norm is the superior, the norm
crewated according to this regulation, the inferior norm. The legal
order, especially the legal order the personification of which is the
State, is therefore not a system of norms coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms. The unity of these norms is constituted by the
fact that the creation of one norm the lower one is determined by
another the higher the creation of which is determined by a still higher
norm, and that this regressus is terminated by highest, the basic norm
which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity.533

(Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain


dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan
super dan sub-ordinasi, yang merupakan kiasan keruangan. Norma
yang menentukan pembentukan norma lain adalah superior, sedangkan
norma yang dibuat adalah inferior. Tatanan hukum, khususnya sebagai
personifikasi negara, bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan lainnya, yang berdiri sejajar atau
sederajat, tetapi suatu hierarki dari norma-norma yang memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini
ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni
norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi,
yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi
lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini
diakhiri oleh suatu norma dasar yang tertinggi, karena menjadi dasar
tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, yang membentuk
suatu kesatuan.)

Tata hukum dilihat sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-

norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret,

sampai kepada yang paling konkret.534 Norma dasar yang merupakan norma

tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma

yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh

533
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law . . . , Op.Cit. , hal. 124.
534
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 215.

210
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma

yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma basar itu dikatakan

presupposed.535 Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945.

Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang

dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam

kelompok ini atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-

kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar.536 Dengan demikian

kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakat

sehubungan dengan orang-orang yang ada di dalam lingkungan pergaulannya

serta adanya hak-hak dan kewajibannya. Kedudukan sosial terjadi akibat dari

ditempatkannya seseorang di dalam posisi sosial tertentu berdasarkan kualifikasi

pribadinya sehubungan dengan kualifikasi orang-orang di sekitarnya.

Peranan merupakan pola tindakan atau perilaku yang diharapkan dari

orang yang memilki status tertentu, artinya jika seseorang melakukan hak-hak dan

kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan peranan.

Dalam hal ini, peranan dan kedudukan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan

karena kesalingtergantungan satu dengan yang lainnya. 537 Setiap orang memilki

peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga antara peranan

535
Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hal. 41.
536
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta
Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 45.
537
Ibid., hal. 46.

211
dan kedudukan tersebut menentukan apa yang diperbuat dan kesempatan-

kesempatan yang dapat diambil dari kehidupan masyarakat tersebut.538 Dengan

demikian hubungan sosial yang ada dalam masyarakat adalah hubungan antar

peranan-peranan individu di dalam kehidupan kelompok, yang peranan-peranan

itu diatur oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Suatu status merupakan posisi dalam suatu sistem (sosial), sedangkan

peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.539 Anggota DPR

merupakan pribadi hukum dari jabatan yang memiliki status atau kedudukan

sebagai wakil rakyat yang berperan menyalurkan kepentingan suara rakyat. Yang

dimaksud dengan pribadi hukum dari jabatan yaitu mengenai persoon dalam arti

hukum meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungan jawab,

lahir, dan lenyapnya hak dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan

dan wewenang. 540 Dengan demikian anggota DPR tidak dapat direcall dengan

ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Adanya recall oleh partai politik terhadap anggota DPR maka

dibatasinya hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang

periode masa jabatannya. Penggunaan suatu hak recall oleh partai politik harus

merupakan suatu tindakan menurut hukum, sehingga tidak dapat secara sekaligus

juga menghasilkan suatu tindakan yang melanggar hukum. Pembatasan hak

politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap hak konstitusional warga

538
Ibid.
539
H. Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 57.
540
I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 4.

212
negara yang dijamin oleh konstitusi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi

dari warga negara.

Tindakan partai politik terhadap anggota DPR tersebut tidaklah boleh

dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan

menempatkan peran konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya

harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut

memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya,

dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan

kepentingan bangsa serta NKRI.

Demokrasi berkeadaban dipahami telah mampu mengajarkan sikap

menghargai perbedaan aspirasi politik, menghormati beda pendapat dan

menerimanya sebagai kritik membangun, untuk meraih kekuasaan dilakukan

dengan persaingan yang sehat dan fair, menerima kekalahan tanpa kekerasan,

menyelesaikan konflik melalui jalur hukum dan sikap-sikap lainnya yang

menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak.541 Dengan

demikian anggota DPR bebas berpendapat dan kewajiban bagi tiap orang agar

menghormati hak orang lain dalam bertukar pikir untuk sebuah gagasan atau

fakta, yang pada gilirannya tiap-tiap orang itu nantinya akan berhak

mengemukakan pendapatnya.

Nilai-nilai demokrasi yang universal meliputi kemampuan memiliki

pendapat, keberanian menyampaian pendapat dan kesediaan menerima perbedaan

541
Asep Warlan Yusuf, Op.Cit., hal. 219.

213
pendapat tidak terwujud.542 Dengan demikian jelas memacetkan partisipasi politik

rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, yang pada gilirannya akan berakibat

buruk pada pertumbuhan demokrasi. Dengan suasana tersebut, melahirkan

kepatuhan serta menimbulkan kemandulan kreativitas.

Nilai utama di dalam demokrasi adalah kebebasan (freedom), dan

kebebasan itu sendiri berdemensi dua: kebebasan untuk (freedom for) dan

kebebasan dari (freedom from). Dalam demokrasi yang sejati, kebebasan itu

diperuntukkan bagi individu. Itu berarti setiap orang harus dapat merasakan atau

mengalami secara sungguh-sungguh di dalam hidupnya bahwa ia bebas untuk

melakukan apa saja dan bebas dari belenggu (ikatan/pembatasan), tekanan,

dan/atau paksaan apa saja.543 Dengan demikian anggota DPR sudah sewajarnya

diberikan kebebasan dalam berekspresi serta kebebasan dalam menggunakan hak-

hak politiknya dan tidak ada satu kewenangan lembaga apapun yang dapat

menggunakan hak recall tersebut.

Intervensi partai politik sangat dominan memengaruhi independensi

para anggota DPR yang dikendalikan pimpinan partai politik dengan dalih

melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Dalam kondisi demikian,

membuat anggota DPR mengingkari makna dan hakikat demokrasi atau berpihak

kepada kepentingan rakyat namun harus rela untuk segera berhenti sebagai wakil

rakyat.

Sistem demokrasi meniscayakan pelibatan langsung masyarakat atau

warga negara dalam proses politik dan pemerintahan, sebab politik dan
542
Mashudi, Op.Cit., hal. 42.
543
Victor Silaen, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata Aksara,
Jakarta, hal. 167.

214
pemerintahan yang terlembagakan secara demokratis pada dasarnya merupakan

politik dan pemerintahan perwakilan.544 Disini pengaruh politik terlihat dalam

proses pembentukan keputusan oleh penguasa yang berwenang. Bahkan mungkin

saja bahwa keputusan penguasa yang berwenang itu dapat menjadi keputusan

politik.545 Tersumbatnya aspirasi dari masyarakat juga merupakan satu poin

strategis dalam mendorong masyarakat menuju pada kevakuman demokrasi, dan

terlahirnya ancaman kesengsaraan yang akan dialami masyarakat. 546

Anggota DPR sebagai pejabat publik juga merangkap jabatan di partai

politik, dengan terjadi adanya perbedaan pendapat bisa menimbulkan konflik di

internal partai. Pejabat publik yang merangkap jabatan di partai, ketika partai

dirundung masalah, jelas partai yang harus diutamakan dari tugas jabatan

publiknya, karena jabatan publik itu sementara.547 Dengan demikian kepentingan

partai politik menjadi lebih diutamakan daripada mengutamakan kepentingan

rakyat.

Dalam setiap negara yang demokratis, adalah kewajiban rakyatnya

untuk menjaga agar negara mereka terus maju menuju masyarakat yang lebih

bebas, individu-individu yang lebih bahagia.548 Maka mekanisme-mekanisme

544
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 85.
545
Ibid., hal. 56.
546
Amas Mahmud, Op.Cit., hal. 140-141.
547
Ibrahim R., 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi
Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013 Dengan Tema: Akselerasi
Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada
Rabu 20 Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar, hal. 26.
548
Richard M. Ketchum (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj),
Niagara, Yogyakarta, hal. 195.

215
demokratis, hak-hak asasi manusia, kebebasan-kebebasan demokratis, dan

ketaatan terhadap hukum harus kita bela dan kita kembangkan. 549

Penegasan fungsi DPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR

sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat.

Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara

hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan

dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian

atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai

anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar

hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang.

Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR.

Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa

jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain

yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus

menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu

bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus

tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan

dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.550

Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk

mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum menjadi aturan

permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga


549
Franz Magnis Suseno, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 31.
550
H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 6.

216
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.551 Di dalam

negara tersebut ada stabilitas politik, yaitu tidak terdapat pertentangan-

pertentangan politik ataupun pertentangan-pertentangan ideologi yang disebabkan

oleh penonjolan-penonjolan kepentingan-kepentingan pribadi yang

tersembunyi.552 Negara hukum atau The Rule Of Law yang hendak kita

perjuangkan atau tegakan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artiannya

yang materiil, The Rule Of Law, yang bertujuan untuk menyelenggarakan

kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah, berdasarkan prinsip-prinsip hukum

yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati

(to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fulfil).553

Hukum adalah institusi atau instrumen yang dibutuhkan dan

keberadaannya melekat pada setiap kehidupan sosial atau masyarakat. Hukum

diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang

harmonis. Tanpa aturan hukum, kehidupan masyarakat akan tercerai berai dan

tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial. 554

Keadilan merupakan tujuan hukum yang utama karena hanya dengan

keadilan tatanan kehidupan masyarakat dapat terpelihara. Norma hukum berupa

perintah ataupun larangan bertujuan agar setiap individu anggota masyarakat

551
Kusnu Goesniadhie S., 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara Indonesia,
Nasa Media, Malang, hal. 144.
552
Sukarna, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77.
553
Abdul Mukthie Fadjar, 2013, Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum Yang
Bermartabat, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat,
Setara Press, Malang, hal. 5.
554
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 134-135.

217
melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan

bersama.555

Selain keadilan, hukum juga memilki tujuan lain, yaitu kepastian

hukum dan kemanfaatan. Namun keadilan adalah tujuan tertinggi. Kepastian

hukum merupakan bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan.

Dengan kepastian hukum, setiap perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama

akan mendapatkan sanksi. Ini adalah keadilan dalam bentuk persamaan di

hadapan hukum. Sedangkan kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat

untuk mengarahkan masyarakat, yang tentu saja tidak boleh melanggar

keadilan.556

Sebaliknya, sebagai kaidah normatif sebagai kerangka dan pembatasan

kekuasaan, hukum juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu

sendiri. Namun pada titik ini terdapat potensi penyelewengan hukum, yaitu hanya

dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak memberikan

batasan. Hukum dapat saja digunakan oleh penguasa sebagai alat pembenar,

sehingga melahirkan otoritarianisme yang menisbikan keadilan dan penghormatan

terhadap harkat kemanusiaan. Untuk membendung potensi itu, hukum harus

dibuat secara demokratis. Artinya, normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan

demokrasi, selain proses pembuatannya pun harus demokratis. Hanya dengan

demikian, hukum akan terhindar dari sekadar sebagai pembenar kekuasaan yang

zalim.557

555
Ibid., hal. 135.
556
Ibid., hal. 136.
557
Ibid., hal. 12.

218
Penggunaan suatu hak recall partai politik terhadap anggota DPR dalam

arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan anggota DPR

merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. Penyalahgunaan hak recall partai

politik artinya aktivitas partai politik yang timbul dari penggunaan haknya yang

merugikan anggota DPR dengan menimbulkan ketidaknyamanan atau

terganggunya anggota DPR tersebut.

Tindakan partai politik yang menyimpang berupa recall seharusnya

tidak memilki kekuatan hukum karena anggota DPR memiliki hak imunitas yang

ditentukan pada Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 196 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menentukan sistem pemilu

proposional terbuka yang kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui

Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sistem proposional terbuka dengan

suara terbanyak, seharusnya hak recall terhadap anggota parlemen tidak

sepenuhnya berada di tangan partai politik, tetapi konstituen juga memiliki hak

untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak di-recall ataukah

tidak. Hegemoni partai politik dalam masalah recall anggota partai politik

seharusnya tidak mutlak. Partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi

219
konstituen yang telah memilihnya.558 Dengan demikian hegemoni partai politik

dari dalam melakukan recalling anggota partai politik dari DPR harus sudah

diminimalisasi sedemikian rupa.

Pemberhentian anggota partai politik dari DPR harus menggunakan

mekanisme atau jalur peradilan untuk membuktikan apakah yang bersangkutan

melanggar garis partai atau tidak, serta dikomunikasikan dengan konstituennya.

Andai pun hak recall masih akan dipertahankan, hak recall yang terukur pada

hakikatnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru dimaksudkan

untuk tetap menjaga adanya hubungan yang sehat antara yang diwakili dengan

yang mewakili.559

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang

Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MK

menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang diajukan politisi Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid, menunjukan bahwa anggota

558
Nimatul Huda, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal. 476.
559
Ibid., hal. 477.

220
DPR dicalonkan partai politik, dengan demikian merupakan representasi partai

politik di DPR.

Pada sisi lain dapat ditanggap secara negatif, dengan pandangan bahwa

ketika pemberlakuan terhadap ketentuan yang inkonstitusional itu dapat ditunda,

maka sesungguhnya tidak ada pelanggaran konstitusional serius yang terjadi.

Artinya, ada substansi putusan yang membenarkan rumusan undang-undang yang

dihasilkan oleh DPR. Dalam kondisi yang demikian, tingkat kesalahan yang

dirasakan oleh DPR maupun pemerintah dianggap dapat ditolerir.560

Dengan demikian ditemukan adanya pertentangan antara Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan

UUD 1945, mengenai sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.

Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall apabila tetap dipertahankan

berada ditangan kekuasaan partai politik, maka hak atas partisipasi politik anggota

DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang

diwakilinya untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa tidak ada

jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya,

karena dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.

560
Topane Gayus Lumbuun, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh
DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3-September, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 503-504.

221
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil analisa yang diuraikan penulis maka

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hak recall partai politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara

demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu adanya jaminan terhadap

hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan

hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi.

2. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka

konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai

anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak

ada jaminan kemandirian bagi anggota DPR yang sesuai dengan

panggilan hati nurani dalam menyuarakan aspirasi rakyat serta

kredibilitasnya sebagai pejabat publik.

222
5.2. Saran

Bahwa terhadap simpulan tersebut di atas maka dapat penulis sarankan

sebagai berikut:

1. Kepada partai politik, disarankan agar menolak dan melarang adanya

recall terhadap anggota DPR, jika alasan melakukan pelanggaran AD

dan ART partai politik.

2. Kepada DPR dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan hak recall,

bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan.

223
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Aburaera, Sukarno, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Adi, Pudja Pramana Kusuma, 2010, Telaah Atas Metode-Metode Dari


Beberapa Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan
Gagasan-Gagasan Demokrasi Konstitusional, dalam Hadyanto,
Sophia, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia,
Jakarta.

Adian, Donny Gahral, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal,


Koekoesan, Depok.

Adib, Mohammad, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi,


Dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Agustino, Leo, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

______________, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amal, Ichlasul, & Panggabean, Samsurizal, 2012, Reformasi Sistem Multi-


Partai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam
Amal, Ichlasul, Dkk, Editor, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik,
Tiara Wacana, Yogyakarta.

Amos, H.F. Abraham, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla,


Orba Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta.

__________________, 2007, Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Politik


Peradilan Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Artadi, I Ketut, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat


Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post,
Denpasar.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.

________________, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai


Politik, Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

________________, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,


Konstitusi Press, Jakarta.

________________, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia,


Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

________________, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

________________, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,


Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

________________, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia,


Sinar Grafika, Jakarta.

________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada,


Jakarta.

________________, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,


Sinar Grafika, Jakarta.

Astawa, I Gde Pantja & Naa, Suprin, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan
Teori Negara, Refika Aditama, Bandung.

Atmadja, I Dewa Gede, 1980, Beberapa Pengertian Pokok Tentang Hukum


Tata Negara, Bali Post, Denpasar.

____________________, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka


Sosialisasi Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan
Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang
Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana 10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar.

____________________,2009, Pengantar Penalaran Hukum Dan


Argumentasi Hukum, Bali Aga , Denpasar.

____________________, 2011, Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis,


dalam I Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi:
Perspektif Negara angsa Untuk Menghadirkan Keadilan Kado
Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara
Press, Malang.

____________________, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian


Kenegaraan, Setara Press, Malang.

____________________, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan


Historis, Setara Press, Malang.

____________________, 2013, Membangun Hukum Indonesia: Paradigma


Pancasila, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara
Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang.

Azhari, Aidul Fitriciada, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah


University Press, Surakarta.

Bakti, Andi Faisal, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang.

Baktiar, Amsal, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Budiardjo, Miriam, 1981, Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar,


dalam Budiardjo, Miriam, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik
Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta.

_______________, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Budiyono, H. Kabul, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta,


Bandung.

Busroh, Abu Daud, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta.

________________, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Busroh, Abu Daud & Busro, H. Abubakar, 1991, Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta.

Dahl, Robert A., 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc.,


Englewood Cliffs, New Jerssey.

_____________, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven


& London.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Daud, Irna Irmalina, 2009, Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik


Indonesia (Transisi Demokrasi Di Indonesia), dalam Ramses M.,
Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Dewansyah, Bilal, 2010, Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola


Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe
Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico, dalam Setyanto, Widya P.,
Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009
Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta
Kemanusiaan, Salatiga.

Dicey, A.V. 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution,


Macmilan And CO., Limited, New York.

Djadijono, M. & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi


Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung.

Duncan, Graeme, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge


University Press, Cambridge.

Duverger, Maurice, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In


The Modern State, Methuen & Co. Ltd., London.

_______________, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan,


(Hasyim, Laila, & Gaffar, Afan, Pentj), Bina Aksara, Jakarta.

Ellwein, Warsito & Subagyo, Hari, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai
Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich
Naumann Stiftung fuer die Freiheit, Jakarta.

Ence, Iriyanto A. Baso, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah
Konstitusi), Alumni, Bandung.

Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Fadjar, Abdul Mukthie, 2013, Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum


Yang Bermartabat, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun
Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang.
Fahmi, Khairul, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.

Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan


Historis Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang.

Fatwa, A.M., 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta.

Feulner, Frank, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPER-
United Nations Development Programme Indonesia, Jakarta.

Finer, Herman 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen


& Co. Ltd., London.

Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik Komunikasi Dan Positioning


Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta.

Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Sosial Science


Perspective, Russel Sage Poundation, New York.

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika


Aditama, Bandung.

____________, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung.

Fuller, Lon L., 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New
Haven and London.

Gaffar, Afan, 1990, Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran


Tentang Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, dalam Abar, Akhmad
Zaini, Editor, Beberapa Aspek Pembangunan Orde baru: Esei-Esei
Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo.

___________, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta.

Gaffar, Janedjri M., 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran


Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press
(Konpress), Jakarta.

Gani, Soelistyati Ismail, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia,


Jakarta.
Gareis, Karl, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey
Of The Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book
Company, Boston.

Gatara, A. A. Sahid, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan,


Pustaka Setia, Bandung.

Goesniadhie S., Kusnu, 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara


Indonesia, Nasa Media, Malang.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha
Ilmu, Yogyakarta.

Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia,


Bina Ilmu, Surabaya.

_________________, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia


(Introduction To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

_________________, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

_________________, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana


Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hakim, Abdul Aziz, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hakim, Lukman, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia


Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai
Organ Negara Yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan,
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian
Konstitusi (Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang.

Halevy, Eva Etzioni, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik,
(Malian, Sobirin, Pentj), Total Media, Yogyakarta.

Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan


Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press, Jakarta.

Handoyo, B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju


Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta.
Hardiman, F. Budi, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta.

Hart, H.L.A., 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford.

Hartono, M. Dimyati, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang


Dasar 1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi
Nasional, Gramata Publishing, Depok.

Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta.

________, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program


Pascasarjana (S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Universitas
Gadjah Mada, Yogyakata.

Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta.

Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang.

Huda, Nimatul, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan


Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta.

Husein, HM. Wahyudin, & Hufron, H., 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi


Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans
Publising, Malang.

Ibrahim, Johnny, 2010, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia Publishing, Malang.

Indiahono, Dwiyanto, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy


Analisys, Gava Media, Yogyakarta.

Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika


Aditama, Bandung.

Indrati S., Maria Farida 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi,
Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta.

Indrayana, Denny, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An


Evaluation of Constitution-Making In Transition, Kompas Book
Pusblishing, Jakarta.

_______________, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum


Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta.
_______________, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor,
Buku Kompas, Jakarta.

_______________, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

_______________, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia,


Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Islamy, M. Irfan, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,


Bina Aksara, Jakarta.

Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi


Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.

Jennings, Sir Ivor, 1967, The Law And The Constitution, University of
London Press Ltd, London.

Jurdi, Fajlurrahman, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga


Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model


Pengantar, Sinar Baru, Bandung.

Kelsen, Hans, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The
Mirror Of Science, University of California Press, Berkeley & Los
Angeles.

___________, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell,
New York.

___________, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press,


Berkeley & Los Angeles.

___________, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford.

___________, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory,


Claredon Press, Oxford.

Ketchum, Richard M. (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj),


Niagara, Yogyakarta.

Kriekhoff, Valerine J.L., 1997, Autonomic Legislation Sebagai Sumber


Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada
Upacara Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bertempat Di Bali Sidang
Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997),
Universitas Indonesia, Jakarta.

Kusumaatmadja, Sarwono, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok.

_____________________, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan,


Depok.

Kusnardi, Moh., dan Ibrahim, Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata


Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakata.

Laski, Harold J., 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London.

Latif, Abdul, & Ali, Hasbi, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Legowo, Tommi A., 2009, Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan


Perwakilan Politik, dalam Basyar, Hamdan, Dkk, Editor,
Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan
Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Letwin, Shirley Robin, 2005, On The History Of The Idea Of Law,


Cambridge University Press, Cambridge.

Logemann, J.H.A., 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & Pangkerego, J.C., Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta.

Lubis, M. Solly, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung.

_____________, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung.

_____________, 2010, Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan


Hukum Yang Paradigmatik, dalam Hadyanto, Sophia Dkk, Editor,
Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka
Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta.

Lutfi, Mustafa, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan


Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII
Press, Yogyakarta.

Lutfi, Mustafa, dan Kurniawan, Luthfi J., 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal,
yang Pro Civil Society dan Gender, Setara Press, Malang.
Mahfud MD, Moh., 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta.

________________, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo


Persada, Jakarta.

________________, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

________________, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan


Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

________________, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara


Pascaamandemen Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Mahmud, Amas, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi


Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta.

Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945


Sebelum Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung.

Maksudi, Beddy Iriawan, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara


Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-


Hill-Co, Jakarta.

____________, 2004, DPR, DPD, Dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH
UII Press, Yogyakarta.

Marbun, S.F., 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi


Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta.

Marijan, Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi


Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Marsudi, H. Subandi Al, 2006, Pancasila Dan UUD45 Dalam Paradigma


Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1984, Pengantar Perbandingan Antar


Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta.

___________________________, 1993, Susunan Ketatanegaran Menurut


UUD 1945, dalam Soemantri M., Sri, Dkk, Editor, Ketatanegaran
Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia 30 Tahun Kembali Ke
Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
___________________________, 2008, Lembaga Negara Dan State
Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD
1945, dalam Rangkuti, Siti Sundari, Dkk, Editor, Dinamika
Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan,
Airlangga University Press, Surabaya.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

____________________, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada


Media Group, Jakarta.

Masdar, Amaruddin, Dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar


Politik, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta.

Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan


Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang
Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung.

McIlwain, Charles Howard 1947, Constitutionalism Ancient And Modern,


Cornell University Press, Ithaca, New York.

Meyer, Thomas, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan,


Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta.

Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana


Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta.

Mueller, Dennis C., 1996, Constitutional Democracy, Oxford University


Press, New York.

Napitupulu, Paimin, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni,


Bandung.

Nasution, Adnan Buyung, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas,


Jakarta.

Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar


Maju, Bandung.

Nazriyah, Rini, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek
Di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta.
Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, 1978, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law, Harper & Row, New York.

Notohamidjojo, O., 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,


Salatiga.

Nurdin, Nurliah, 2009, Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan


Rakyat Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat,
dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Nurtjahjo, Hendra, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan


Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

_______________, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta.

Olson, David M., 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative


View, M.E. Sharpe, Armonk, New York.

Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional


Complaint), Sinar Grafika, Jakarta.

Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu


Pemerintahan Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

_______________, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute


for Democracy and Welfarism, Yogyakarta.

Panjaitan, Merphin, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan


Negara, Permata Aksara, Jakarta.

Papasi, J.M., 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Philipus, Ng., & Aini, Nurul, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.

Pito, Toni Andrianus, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik Dari


Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung.

Poerbopranoto, Koentjoro, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan


Demokrasi, Eresco, Bandung-Jakarta.

Prasetyo, Teguh, & Barakatullah, Abdul Halim, 2012, Filsafat, Teori, &
Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan
Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Priastana, Jo, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco,


Bandung-Jakarta.

Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas


Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan
Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum,
Universitas Udayana, Denpasar.

Purnama, Eddy, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap


Sistem Pemerintahan Indonesia Dan Perbandingannya Dengan
Negara-Negara Lain, Nusamedia, Bandung.

Putra, M. Dedi, 2012, Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan


Pancasila, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor,
Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang.

Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Rahman, Arifin, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya.

Ramses M., Andy, 2009, Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.

Ranadireksa, Hendarmin, 2009, Arsitektur Konstitusi Demokratik,


Fokusmedia, Bandung.

Ranawidjaja, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,


Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rehfeld, Andrew, 2005, The Concept Of Constituency: Political


Representation, Democratic Legitimacy, And Institutional Design,
Cambridge University Press, New York.

Ridwan, H. Juniarso, & Sudrajat, Achmad Sodik, 2009, Hukum Administrasi


Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung.

Robertson, David, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son,


Ltd., New York.
Ropii, Imam, 2012, Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya), dalam
Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik,
Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang.

Ross, Alf, 1959, On Law and Justice, University of California Press,


Berkeley & Los Angeles.

Safaat, Muchamad Ali, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan


Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Salim, H., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo


Persada, Jakarta.

Salman S., H.R. Otje, & Susanto, Anthon F., 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama,
Bandung.

Sanit, Arbi, 2009, Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan, dalam


Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Santosa, Pandji, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good


Governance, Refika Aditama, Bandung.

Saragih, Bintan Regen, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung.

Setiadi, Elly M., & Kolip, Usman, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman
Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan
Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Siahaan, Pataniari, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang


Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta.

Sidharta, B. Arif, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu


Hukum, Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama,
Bandung.

Silaen, Victor, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata


Aksara, Jakarta.

Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan


Struktural Fungsional, Kelir, Bandung.
Simabura, Charles, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan
Sistemnya, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Simanjuntak, Leo, 2006, Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara


(Staatsrechtswetenschap), dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru
Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sinaga, Rudi Salam, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sinamo, Nomensen, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata


Aksara, Jakarta.

Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sitepu, P. Anthonius, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Soche, Harris, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di


Indonesia, Hanindita, Yogyakarta.

Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan


Pelaksanaan Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta.

______, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di


Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

______, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo


Persada, Jakarta.

Soltau, R.H., 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers)


Limited, London.

Sparingga, Daniel, 2009, Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan


Prakteknya, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.

Strong, C.F., 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the


Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick &
Jackson Limited, London.
Sudarsono, 2012, Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik,
dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika
Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang.

Sugandha, Dann, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara


Republik Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru,
Bandung.

Suharizal & Arifin, Firdaus, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002,


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suharto, Susilo, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam


Periode Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung.

_______, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam


Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang.

Sunstein, Cass R., 2001, Designing Democracy What Constitution Do,


Oxford University Press, New York.

Surbakti, Ramlan, 2009, Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif, dalam


Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

______________, 2009, Perkembangan Partai Politik Indonesia, dalam


Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta.

Susanti, Bivitri, 2009, Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi


DPR Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan
Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi,
dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

____________, 2009, Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat


(Pembahasan Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD), dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Suseno, Franz Magnis, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah
Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

___________________, Franz Magnis, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

___________________, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

___________________, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan,


Kanisius, Yogyakarta.

Sutiyoso, Bambang, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di


Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Sutrisno, Mudji, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius,


Yogyakarta.

Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung.

Sy, Pahmi, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta.

Syafiie, Inu Kencana, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung.

_________________, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta.

_________________, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia


(SANRI), Bumi Aksara, Jakarta.

Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Syaukani , Imam, & Thohari, A. Ahsin, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Tanya, Bernard L., 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama,


Genta Publishing, Yogyakarta.

Thaib, Dahlan, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional,


Total Media, Yogyakarta.

Tikok, Sumbodo, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung.

Tricahyo, Ibnu, 2009, Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu


Nasional Dan Lokal, Intrans Publishing, Malang.
Tualaka, JF. (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan
Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia


Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.

Urbaningrum, Anas, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan


Rakyat, Teraju, Jakarta.

Usfunan, Johanes, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana


Cerdas, Denpasar.

_______________, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,


Djambatan, Jakarta.

_______________, 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan Perundang-


Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan
Demokratis (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar.

Wade, E.C.S. & Phillips, G. Godfrey 1960, Constitutional Law: An Outline


Of The Law And Practice Of The Constitution, Including Central
And Local Goverment And The Constitutional Relations of The
British Commonwealth, Longmans, London.

Wahidin, Samsul, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka


Pelajar, Yogyakata.

Wahlke, John C., & Eulau, Heinz, 1959, Legislative Behavior A Reader In
Theory And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois.

Wheare, K.C., 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London.

Wiko, Garuda, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi,


Surabaya.

Wiyono, Suko, 2009, Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan


Presidensial Di Indonesia, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor,
Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah Diskursus Tentang Pemilu,
Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk
Sang Penggembala Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans
Publising, Malang.
____________, 2012, Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika
Dan Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi
Berdasarkan Pancasila, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk,
Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana
Malang Press, Malang.

Yuhana, Abdy, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan


UUD 1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR,
Fokusmedia, Bandung.

Yusuf, Asep Warlan, 2008, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam


Alam Demokrasi Yang Berkeadaban, dalam Oktoberina, Sri
Rahayu, Dkk, Editor, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum-
Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika
Aditama, Bandung.

Zukarnaen & Saebani, Beni Ahmad, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung.

II. Jurnal/Majalah/Makalah

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai


Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.

Fahmi, Khairul, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem


Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7,
Nomor 3, Juni, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.

Faisal, Muhammad, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di


Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Feulner, Frank, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia:


Tinjauan Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal
Hukum, Edisi 8-Tahun III, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia, Jakarta.

Hadjon, Philipus M., 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif),


Majalah Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.
Hartono, Sunaryati, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka
Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik
Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta.

Huda, Miftakhul, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal


lebih Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6,
Nomor 4, Nopember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Huda, Nimatul, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Indrayana, Denny, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi


Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1,
Nomor 1, Juli, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Kusuma, R.M. Ananda B., 2006, Tentang Recall, Jurnal Konstitusi,


Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Latif, Abdul, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral
Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Lumbuun, Topane Gayus, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah


Konstitusi Oleh DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3-
September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta.

Mattalatta, Andi, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal


Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta.

Mudhoffir, Abdil Mughis, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara


Komunikasi Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua


Perspektif, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor
3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

R., Ibrahim, 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi


Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013
Dengan Tema: Akselerasi Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan
Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada Rabu 20
Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar.

Salang, Sebastian, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi


Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember,
Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Saleh, Zainal Abidin, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta.

Shubhan, M. Hadi, 2006, Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak
Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.

Sidharta, B. Arief, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum,


Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November, Yayasan Studi
Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Wahid, H.M. Hidayat Nur, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3-September, Direktorat Jendral
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta.

III. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD


1945).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang


Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2813).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang


Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2915).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang


Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang


Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3282).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang


Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4251).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang


Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4310).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai


Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang


Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3302).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang


Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang


Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Anda mungkin juga menyukai