PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP
KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
Lembar Pengesahan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
NIP. 194412311973021003 NIP. 196107201986091001
Mengetahui
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LL.M. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Judul Tesis : Hak Recall Partai Politik Terhadap Kenggotaan DPR Dalam
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan
Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan
tesis yang berjudul Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD
Wairocana, S.H., M.H. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang
LL.M. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
vi
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu
Universitas Udayana, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
Universitas Udayana.
6. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., pembimbing I dengan penuh
8. Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs., S.H., M.Hum. (almarhum), yang telah
berkenan memberikan inspirasi dan mendorong penulis dari titik nol dalam
perkembangan ilmu hukum dan ilmu politik yang beliau tekuni selama ini.
yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Para pegawai administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
vii
11. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua (Johannes Eddy Setio dan Lanny
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semoga Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
Penulis
viii
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
RINGKASAN TESIS
Tesis ini berjudul: Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia terdiri dari 5 (lima) bab, antara lain :
masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut, yang sebenarnya tidak saja dapat
dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam
pelanggaran kode etik DPR. Partai politik dapat merecall anggotanya dengan
alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang
diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai politik ini cenderung
partai politik maka partai politik akan merecallnya dari keanggotaan DPR.
Disamping latar belakang, pada Bab I terdapat rumusan masalah, ruang lingkup
penelitian.
Bab II merupakan bab yang berisi tentang Sistem Perwakilan Dan Sistem
xi
pemilihan umum proposional daftar terbuka. Dibahas pula suasana struktur
Bab III mengenai Hak Recall Terhadap Anggota DPR Oleh Partai Politik
membahas pengaturan fungsi dan hak yang dimiliki anggota DPR yang
kedudukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik yang
merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik dalam kaitan hak recall partai
politik tersebut.
kekuasaan partai politik berdasarkan UUD 1945 dan terbukti bahwa hak recall
politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya.
simpulan tersebut merupakan inti sari dari jawaban masalah yang kami peroleh
melalui penelitian. Adapun simpulan yang dimaksud adalah hak recall partai
kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia
oleh konstitusi. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka
xii
konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR
tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian
bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan
disarankan agar menolak dan melarang adanya recall terhadap anggota DPR, jika
alasan melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Kedua, kepada DPR
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan
xiii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
ABSTRACT ...................................................................................................... x
xiv
1.7.1. Teori Demokrasi ................................................................ 14
xv
4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai
DAFTAR PUSTAKA
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
berakhir masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut.1 Hak recall partai
politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan
terhadap keanggotaan DPR oleh partai politik. Perlu dikemukakan disini bahwa
recall yang dimaksud dalam tesis ini membahas hak recall oleh partai politik,
karena jika tidak dibatasi demikian, pembahasan recall akan lebih panjang lebar
karena sesuai pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh
partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam pelanggaran
kode etik DPR. Recall keanggotaan DPR ini muncul ketika recall itu dilihat
secara umum, yaitu meliputi recall oleh partai politik maupun oleh DPR sendiri
1
M. Hadi Shubhan, 2006, Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik
Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 46.
1
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Recall dalam tesis ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dapat disebut recall dalam arti
sempit.
Jika recall diartikan dalam arti luas berdasarkan Pasal 213 ayat (2)
Perwakilan Rakyat Daerah memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya
ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang
2
bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme
Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan
kepada partai politik, karena menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h
yang akan bermuara pada pemberhentian seseorang sebagai anggota DPR, serta
pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut
anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota
DPR.
recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata,
keanggotaan DPR diluar garis kebijakan partai politik maka partai politik akan
ayat (2) huruf e dan huruf h UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD, MK menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan
3
huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan ditulis UUD 1945)
yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid.
semata-mata hanya karena melanggar AD dan ART partai politik yang nuansanya
bersifat politik. Ditinjau dari ilmu hukum hal pemberhentian seorang anggota
partai politik dari keanggotaan partai politik akan berdampak pada recall seorang
anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan, mengandung norma kabur
(vague norm). Bahkan menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-Undang
Daerah, apabila AD dan ART partai politik yang dijadikan dasar pemberhentian
dari keanggotaan partai politik bagi seorang anggota DPR, terjadilah konflik
norma, antara norma yang diatur pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan norma yang yang diatur pada Pasal 28D
ayat (3) UUD 1945 sehingga menimbulkan konsekuensi yuridis yang bersifat
Hak recall partai politik terhadap anggotanya tersebut adalah hak yang
merupakan ranah hukum publik yang dapat mengakibatkan DPR untuk tidak
menyuarakan suara rakyat secara total dan tidak ada kebebasan anggota DPR
4
untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall partai politik banyak digunakan
sebagai alasan untuk pemberhentian dari keanggotaan DPR yang tidak tunduk
pada kebijakan partai politik, akibatnya hak recall partai politik menjadi sebuah
DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Hak recall partai
untuk mendudukan para wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka.
Dengan adanya pemilihan umum itulah, rakyat mempunyai hak untuk memilih
5
MPR sebagai lembaga dengan otoritas khusus.2 DPR dan DPD adalah penghuni
mereka memikul pesan moral agar benar-benar berfungsi sebagai wakil sejati.3
hak-hak yang dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat.
tahun 2009 adalah dengan sistem Pemilu proposional terbuka dengan penerapan
suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
2
Samsul Wahidin, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakata, hal. 44.
3
Garuda Wiko, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi, Surabaya, hal.
151.
6
Chadidjah Wahid telah menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan
Kebangkitan Bangsa (PKB) karena dianggap telah diluar batas toleransi dan
sebab direcallnya seorang anggota DPR yang justru bersikap vokal dan kritis
terhadap kebijakan yang tidak memihak rakyat tersebut. Anggota DPR seperti
pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat kekaburan norma hukum dan konflik
sebagai berikut:
1. Apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai dengan
7
1.3. Ruang Lingkup Masalah
untuk mengkaji secara analitis kritikal norma-norma hukum yang dijadikan dasar
Indonesia.
pemaham mengenai hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR serta
8
1.4.2. Tujuan Khusus
penelitian dalam tesis ini. Untuk itu, secara lebih operasional dan terinci yang
1. Untuk mengkaji keterkaitan hak recall partai politik berkenaan dengan prinsip-
9
1.5.2. Manfaat Praktis
tentang masalah hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR dan
2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
Hukum Tata Negara bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah
10
1.6. Orisinalitas Penelitian
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan
sepanjang yang dapat penulis telusuri, di Indonesia hingga saat ini belum ada
hasil penelitian yang komprehensif dalam bentuk tesis ataupun yang berkait
menyangkut masalah dengan hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR
hak recall sebagai suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa
jabatan terhadap anggota DPR oleh partai politiknya atau yang menyinggung hak
recall pun masih tergolong sedikit. Adapun disertasi dan tesis yang membahas
Masa Orde Baru dan Masa Reformasi (Studi Kasus Recalling Sri Bintang
yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu
ini membahas tentang pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai
politik bersifat birokratis dan korporatis pada masa Orde Baru, dan berubah
menjadi bersifat demokratis dan egaliter pada masa reformasi. Recall atau
terhadap disiplin kepartaian oleh pada masa anggota DPR reformasi. Disertasi
11
ini mengungkapkan bahwa Recall telah menjadi instrumen politik untuk
pemerintah yang berarti juga terhadap partai politik, merupakan bagian penting
dari usaha perluasan kendali politik Orde Baru. Recalling terhadap Sri Bintang
yang jelas dalam pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai
politik. Dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, negara yang dipresentasikan oleh
Pamungkas. Ini terbukti dari rangkaian alasan dan prosedur penarikan Sri
DPR. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ilmu politik, berbeda
normatif.
12
di Semarang pada tahun 2008. Dalam tesis ini membahas tentang pergantian
antar waktu anggota Legistlatif Daerah (DPRD), pada dasarnya tidak dapat
khususnya oleh salah satu pihak (umumnya adalah mereka yang dikenakan
terjadi dengan jabatan mereka. Pihak-pihak yang merasa dirugikan ini dalam
upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tesis ini
Bagaimana pergantian antar waktu dalam struktur DPRD yang ideal dalam
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah hak recall oleh
partai politik terhadap keanggotaan DPR. Jadi penelitian ini asli baik dari segi
secara ilmiah.
13
1.7. Landasan Teoritis
dalam penulisan tesis ini, dipergunakan landasan teoritis meliputi teori demokrasi,
teori perwakilan dan teori hak. Teori demokrasi dipilih sebagai grand theory,
karena teori tesebut dapat menjelaskan filosofi tentang konsep politik yang
bersifat makro tentang letak kedaulatan rakyat di dalam sistem politik dan sistem
makna menjadi jembatan antara konsep makro dan realitas mikro tipe perwakilan.
yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Teori hak dipergunakan sebagai
applied theory untuk landasan masuk ke masalah mikro yang menjadi fokus
ditangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk
4
M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 59.
14
masing-masing seperti terlihat dari sudut kemasyarakatan yang ditinjaunya.5
Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-
norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita
merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri
demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus-
kata berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat (penduduk
suatu tempat) dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan (kedaulatan).
Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem
sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya,
kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah
5
Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Alumni, Bandung,
hal. 25.
6
Adnan Buyung Nasution, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas, Jakarta,
hal. 3.
7
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-
Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 67.
15
negara itu pada dasarnya juga diperuntukan bagi seluruh rakyat itu sendiri.
dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-
luasnya.8
tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people,
kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan dipilih dari dan
pemerintahan yang dipilih oleh dan dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi
yang dimaksudkan adalah bahwa suatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat,
bukan atas nama pribadi atau atas dorongan pribadi para elit pemegang
melalui sistem referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di DPR
yang sebelumnya telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum, rakyat
8
Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 293.
9
Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 28-
29.
10
Ibid., hal. 29.
16
mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara
langsung, ataupun diawasi secara tidak langsung oleh para wakil-wakil rakyat di
DPR.
(government for the people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang
Keputusan politik yang hendak dicapai oleh upaya transformasi demokrasi adalah
yang isi dan arahnya bersifat imparsial tidak akan terwujud bila yang menonjol
tirani mayoritas ataupun tirani minoritas. Karena itu siapa saja yang ikut
partisipan yang berasal dari berbagai unsur dalam proses deliberasi, akan
preferensi dan pertimbangan yang diajukan partisipan yang lain. Keputusan yang
bersifat imparsial akan dapat dicapai apabila partisipan dari sebanyak mungkin
kalangan terlibat dalam deliberasi. Karena itu yang diperlukan tidak hanya
11
Ibid.
17
pembuatan keputusan kolektif dengan deliberasi tetapi juga keterwakilan penuh
(full representation).12
unsur keragaman masyarakat, terbukti cukup banyak unsur masyarakat yang tidak
berikut:
12
Ramlan Surbakti, 2009, Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 27.
13
Ibid., hal. 27-28.
14
Cass R. Sunstein, 2001, Designing Democracy What Constitution Do, Oxford
University Press, New York, hal. 7.
18
(Kaum deleberatif yakin bahwa rakyat cenderung untuk terlalu
menekankan ketegangan antara demokrasi, sebagaimana yang
dipahami, dan hak-hak individu. Demokrasi menunjukan dirinya
dengan moralitasmya sendiri yaitu moralitas internal demokrasi.
Moralitas internal demokrasi ini mempersyratkan perlindungan
konstitusional terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk
menyatakan pendapat secara merdeka, hak untuk memilih, hak atas
persamaan politik, dan bahkan hak atas kepemilikan pribadi, sebab
rakyat tidak mungkin menjadi warga negara yang bebas jika apa yang
mereka miliki tunduk pada penyesuaian pemerintahan yang tak terbatas.
Jika dipahami dengan benar, demokrasi tidaklah bertentangan dengan
hak-hak. Demokrasi secara mendalam melindungi hak-hak, yang
dengan demikian berarti membatasi hal-hal yng dapat dilakukan oleh
mayoritas terhadap individu ataupun kelompok. Sebuah konstitusi yang
demokratis disusun dan diinterpretasikan dengan mempertimbangkan
gagasan-gagasan tersebut.)
sebangsa dan setanah air, dan bertindak reasonable, yaitu mempertahankan atau
mengkritik institusi dan program untuk meyakinkan orang lain yang bebas dan
pertimbangan yang masuk akal.15 Karena itu demokrasi deliberatif dinilai lebih
15
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 29.
16
Ibid., hal. 30.
17
F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, hal. 129.
19
Demokrasi konsosiasional sangat tepat dipraktekkan dalam masyarakat
yang timbul dalam masyarakat seperti itu, hal ini disebabkan karena dilibatkannya
para tokoh masyarakat yang mewakili berbagai macam kelompok sosial guna
para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat
majemuk yang merupakan kompromi antara kedua jenis kelompok ekstrem pada
diperlukan adanya kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya
20
akan dapat dipahami secara holistik. Demokrasi yang menempatkan rakyat
process). Pemerintah yang berasal dari rakyat, melaksanakan apa yang menjadi
keterbukaan (transparansi) yang dengannya dapat diketahui secara segera hal yang
melalui prinsip suara mayoritas. Namun segala hal yang ditentukan oleh suara
terbanyak tidak selalu demokratis jika tak dibarengi jaminan hak individu dan
perlindungan hak minoritas.20 Hak-hak minoritas tidak bisa dieliminasi oleh suara
19
Hendarmin Ranadireksa, 2009, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,
Bandung, hal. 83-84.
20
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok, hal.
58.
21
adalah satu paket yang tak dapat dipisah-pisah. Demokrasi merupakan sebuah
sistem nilai dan sistem politik yang telah teruji dan diakui sebagai yang paling
realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti secara
sederhana pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam arti yang (relatif) agak
21
Amaruddin Masdar, dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik,
LKiS Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 79.
22
Robert A. Dahl, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven &
London, hal. 38.
22
luas demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan
yang dikelola dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik
nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun
keputusan politik, tetapi tidak dalam kapasitas personal, tetapi melalui perwakilan
yang ditunjuk dan bertanggung jawab terhadapnya. Dua elemen yang paling
23
Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 53.
24
Nurliah Nurdin, 2009, Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 472.
23
wahana warga masyarakat mengontrol pemerintah. Jadi mempercayakan
baik.
kebijakan publik. Maka yang menjadi soal, terkait dengan banyak hal menyangkut
penilaian atas jalannya demokrasi, yang dimaksud ialah demokrasi tidak langsung
legitimasi politik atas para wakil rakyat. 26 Dengan kata lain, wewenang sebuah
rakyat. Karena itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat
25
Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung, hal. 67.
26
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia: Eksistensi
Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam
Sistem Ketatanegaraan, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian Konstitusi
(Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, hal. 115.
27
Mudji Sutrisno, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 43.
24
kepada yang diperintah. Adanya pertanggungjawaban ini merupakan bukti dan
(Oleh karena itu, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian ini adalah
suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa komunitas
politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintahan harus mempertanggungjawabkan segala
tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Dengan kata lain,
negara konstitusional kontemporer harus berlandaskan pada suatu
sistem perwakilan yang demokratis, yang menjamin kedaulatan rakyat.)
28
Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia,
Hanindita, Yogyakarta, hal. 21.
29
C.F. Strong, 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London, hal.
11.
30
Mustafa Lutfi dan Luthfi J. Kurniawan, 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal, yang Pro Civil Society dan
Gender, Setara Press, Malang, hal. 65.
25
dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintah itu juga harus legitimate,
dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul
sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang
Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang terwakili di dalam DPR dan
anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang rahasia dan
bebas.
31
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 416-417.
32
Sir Ivor Jennings, 1967, The Law And The Constitution, University of London Press
Ltd, London, hal. 61.
33
Ibid., hal. 62.
26
Suatu kehidupan demokrasi dengan menjadikan rakyat menjadi
mewujudkan rakyat yang berdaulat dalam sistem pemerintahan dari sebuah negara
penuh yang diinginkan oleh rakyat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan secara
penuh, karena ada peran pemerintah untuk membatasi hal itu untuk kepentingan
adalah:
1. Negara hukum;
2. Pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Prinsip mayoritas;
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.35
harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak manusia
34
Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan Historis
Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara
Press, Malang, hal. 19.
35
Franz Magnis Suseno, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 58.
27
memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang
pada hukum. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut
konstitusional.37
dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas
yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat
tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan
36
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 107.
37
Aidul Fitriciada Azhari, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University
Press, Surakarta, hal. 71.
38
B. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera
Jurnal Hukum, Edisi 3- Tahun II, November, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,
Jakarta, hal. 123.
28
demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada aturan main.
Negara hukum mengatur agar institusi negara menjadi mesin organisasi yang
tangan institusi, apalagi individu, adalah larangan mutlak dalam negara hukum. Di
samping itu, negara hukum juga menjamin penghormatan hak-hak dasar warga
negara.39
memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini harus diartikan
sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini,
norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-
norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi
39
Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 135.
40
Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 574.
29
konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma
yang mendasari dan mengatur kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam suatu negara.
41
Ibid., hal. 576.
42
Dennis C. Mueller, 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New
York, hal. 43.
43
Denny Indrayana, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An Evaluation
of Constitution-Making In Transition, Kompas Book Pusblishing, Jakarta, hal. 94.
44
Ibid., hal. 88-89.
30
tolok ukur segala tindakan. 45 Dengan demikian dalam sebuah negara hukum
mengemukakan:
We have said that the peculiar attribute of the state as contrasted with
all other units of assocition is the power to make laws and enforce them
by all the means of coercion it cares to employ. This power is called
sovereignty.46
sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi.
45
Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal. 14.
46
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 4-5.
47
H.L.A. Hart, 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford, hal. 70.
31
sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi
yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara
modern. Artinya, di tangan siapa pun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu
Definisi dasar pemegang kuasa tentu saja adalah penguasa. Tetapi tidak akan ada
satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan lain. Itulah mekanisme saling-
dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh
para warga negara harus berdasarkan atas hukum.50 Negara bertugas membuat dan
48
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 111.
49
Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 9.
50
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 8.
32
melaksanakan keadilan sejati yang obyektif itu, setiap penguasa akan merasakan
kenikmatan jiwanya.51
keadaan hukum. Hal ini bermakna bahwa negara harus menjamin setiap orang
bukanlah berarti dapat berbuat sekehendak hati dan semau-maunya, atau semena-
mena, apa lagi sewenang-wenang. Namun segala perbuatan itu meskipun bebas
harus sesuai dengan, atau menurut sebagaimana telah diatur serta ditentukan
perkataan harus sesuai dan menurut kehendak rakyat atau masyarakat. Karena
51
Bernard L. Tanya, Op.Cit., hal. 82.
52
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 47-48.
53
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 125.
33
Courts of the land. In this sense the rule of law is contrasted with every
system of goverment based on the exercise by persons in authority of
wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint.54
orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa
34
There remains yet a third and a different sense in wich the rule of
law or the predomininance of the legal spirit may be described as a
special attribute of English institutions. We may say that the
constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the
general principles of the constitution (as for example the right to
personal liberty, or the right of public meeting) are with us the result of
judicial decisions determining the rights of private persons in
particular cases brought before the Courts; whereas under many
foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of
individuals results, or appears to result, from the general principles of
the constitution.56
(Namun masih ada pengertian ketiga dan berbeda yang rule of law
atau superioritas semangat hukum dapat digambarkan sebagai sifat
khusus dari institusi-institusi Inggris. Dapat kita katakan bahwa
konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan bahwa prinsip-prinsip
umum konstitusi (misalnya, terkait dengan hak akan kebebasan pribadi,
atau hak untuk mengadakan rapat umum) bagi kita merupakan hasil
keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individual pada kasus-
kasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan, sedangkan menurut
banyak konstitusi asing jaminan (sebagaimana adanya) yang diberikan
pada hak-hak individu berasal, atau kelihatan berasal, dari prinsip-
prinsip umum konstitusi.)
Godfrey Phillips mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan the rule
56
Ibid., hal. 187.
35
hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan
untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan
mengenai proses, misalnya "presumption of innocence". 57
bahwa:
57
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, dalam Philipus M. Hadjon, 1987,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 81-82.
58
K.C. Wheare, 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London, hal.
138.
59
Ibid., hal 139.
36
democracy is a form of polity in which either the laws, or the
power to make laws, are assented to by everyone, democracy is
uniquely legitimate.60
60
Graeme Duncan, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge University
Press, Cambridge, hal. 43.
61
Warsito Ellwein & Hari Subagyo, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai Politik
Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit,
Jakarta, hal. 79.
62
John C. Wahlke & Heinz Eulau, 1959, Legislative Behavior A Reader In Theory
And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois, hal. 23.
37
(Namun, meskipun terdapat kesulitan-kesulitan definisi, kita dapat
mengatakan, demi kenyamanan, bahwa gagasan modern mengenai
perwakilan dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) seseorang atau
sekelompok orang yang mewakili memiliki kekuasaan bertindak
untuk, atau atas nama, orang atau kelompok lain; (2) wakil tersebut
dipilih oleh orang-orang yang atas namanya ia bertindak; (3) wakil
tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya kepada orang-orang
yang ia wakili.)
63
A.H. Birch, dalam Toni Andrianus Pito, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori
Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, hal. 108-109.
38
perwakilan formal (formalistic representation). Di dalam kategori ini,
Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada
para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi
menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil tentang apa yang telah
wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili (standing for),
yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public).64
dalam lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat; yang disebut
64
Hanna Fenichel Pitkin, dalam Kacung Marijan, 2010, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40.
39
a. Mandat Imperatif. Wakil bertindak di lembaga perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil tidak
boleh melakukan hal-hal di luar instruksi. Apabila ada hal baru
yang berada di luar instruksi, maka wakil baru boleh bertindak
setelah mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya.
b. Mandat Bebas. Wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari
instruksi yang diwakilinya. Dalam ajaran ini si wakil merupakan
orang-orang yang terpercaya terpilih dan memiliki kesadaran
hukum masyarakat yang diwakilinya. Sehingga si wakil dapat
bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama
rakyat.
c. Mandat Representatif. Wakil dianggap bergabung dalam suatu
lembaga perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat
pada lembaga perwakilan, sehingga wakil sebagai individu tidak
ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya.
Badan perwakilan inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat. 65
65
W.A. Bonger, dalam Eddy Purnama, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat
Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-
negara Lain, Nusamedia, Bandung, hal. 12-13.
66
Ibid., hal. 13-14.
40
Sejalan dengan yang telah diutarakan oleh John C. Wahlke dan Heinz
Eulau, A.H. Birch, Hanna Fenichel Pitkin, W.A. Bonger, serta Gilbert
Party Representation dan tipe partisan, di sini wakil bertindak sesuai dengan
keinginan atau program dari partai yang diwakili. Setelah wakil dipilih oleh
yang dianggap paling wajar, dalam artian bahwa satu atau sejumlah orang
Menurut K. Bartens, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau
kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. 67 Dengan
demikian hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan berupa
67
K. Bartens, dalam Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 239.
41
Komponen suatu hak terutama terletak pada pribadinya, kemerdekaan
dan tanggung jawab. Hanya pribadi yang diberi kebebasan dan kewajiban oleh
hukum moral yang dapat mempunyai hak. 68 Suatu hak dapat saja menemui
pembatasan karena terjadinya konflik antara hak-hak atau dikalahkan oleh hak
Selanjutnya dalam suatu hak itu haruslah pula terdapat komponen yang
kewajiban. 72 Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya maka hak itu
akan hilang.73 Dengan demikian jika hak itu telah dikalahkan oleh hak lain maka
berikut:
68
Ibid., hal. 240.
69
Ibid., hal. 242.
70
Ibid., hal. 241.
71
Ibid., hal. 244.
72
Ibid., hal. 247.
73
Ibid., hal. 243. .
42
object. The idea of an object of the right hardly applies to rights in
personam.74
(Objek sebuah hak. Semangat isi hak yang konkrit in rem (hak atas
sesuatu) meliputi pula objek fisik yang ada hubungannya dengan
tuntutan pemilik hak dengan tidak disertai hak kesenangan. Objek
fisik ini dinamai objek hak. Ketika jenis hak tertentu, seperti
kepemilikan atau hak perbudakan atau kerja paksa dianggap abstrak
maka isi hak didefinisikan secara terpisah dari objek. Pendapat suatu
objek hak tidak pernah dilaksanakan pada hak-hak in personam (hak
terhadap seseorang).)
dikenakan kepada semua orang. Hak in rem juga dapat dikatakan merupakan
perlindungan hukum bagi pemilik hak terhadap setiap orang dan publik. Di
terhadap dunia pada umumnya dan meletakkan kewajiban itu pada orang-orang
74
Alf Ross, 1959, On Law and Justice, University of California Press, Berkeley &
Los Angeles, hal. 184.
75
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan Historis,
Setara Press, Malang, hal. 90.
76
R.H. Soltau, 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers)
Limited, London, hal. 135.
43
(, hampir semua orang dewasa di hampir semua negara punya hak
untuk memberikan suara, untuk dipilih dan untuk memegang jabatan-
jabatan penting.)
kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari
hukum.
tidak diperdapatnya berlakukan ketakadilan. Suatu hak berhenti menjadi hak bila
merugikan hak orang lain. Jadi perimbangan hak dan kewajiban, itulah yang
77
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell, New
York, hal. 78.
78
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 246.
79
Ibid., hal. 247.
44
1.8. Metode Penelitian
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,
1. Hakekat
berupa hukum positif dan norma-norma moral. Bisa terjadi ketidak sesuaian
antara norma-norma hukum positif dan norm-norma moral. Dalam hal ini
80
Johnny Ibrahim, 2010, Teori & Metodologi Penetitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302.
81
Ibid., hal. 57.
45
penerapan logika hanya dibatasi pada penegakan hukum positif sebagai
aturan formal.
2. Sumber-sumber hukum
3. Jenis-jenis hukum
lapangan hukum publik ada Hukum Tata Negara, ada Hukum Administrasi,
kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Jenis penelitian ini bertumpu pada
82
Irving M. Copy Carl Cohen, dalam Philipus M. Hadjon, 2009, Argumentasi Hukum,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 23.
46
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
peraturan lainnya.
diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
dengan isu hukum yang sedang ditangani.84 Hasil dari telaah tersebut merupakan
undangan itu dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara
83
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302.
84
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 93.
85
Ibid.
47
menjinakkan).86 Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur
abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat esensial dan yang
86
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 306.
87
Ibid.
88
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 95.
89
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hal. 108.
90
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 138.
48
dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang
terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif, yang menjadi objek
data.91 Penelitian hukum mengenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan
hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya
normatif.
91
Ibid., hal. 141.
92
Ibid.
49
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2915).
50
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043).
93
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program
Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 33.
51
Selain bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum,
penulis juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan
penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan Sosiologi.
bahan pustaka, yang berkaitan dengan hak recall dan hasil penelitian yang terkait
bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi
94
Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah
Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 14.
52
deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, interpretasi dan sistematisasi.95 Pada
bagian deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari prinsip-
berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar di
yang mengatur tentang hak recall disamping itu juga dilakukan dengan teknik
95
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Op.Cit., hal. 34.
96
Ibid., hal. 35.
53
BAB II
terdiri dari kata syn dan histanai dari kata Greek, yang berarti to place
elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak menghendaki
adanya konflik antar unsur-unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi
hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pengetahuan-
97
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 61.
98
Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara
Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
99
Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 64.
100
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 311.
54
pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.101 Berpikir secara
sistem, berarti secara menyeluruh hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari
saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu sama
lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai tujuan
101
A. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 85.
102
Pandji Santosa, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance,
Refika Aditama, Bandung, hal. 79.
103
Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung, hal. 13.
104
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 8-9.
55
Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu
hubungan pembenaran.105
rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain. Fungsi sistem bagi unsur-unsur,
elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain
telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga
sistem ketatanegaraan suatu negara, kita harus mengetahui lebih dulu lembaga-
105
H.R. Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hal. 89.
106
Sri Soemantri Martosoewignjo, 2008, Lembaga Negara Dan State Auxiliary
Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti, Dkk,
56
Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem
Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi negara
lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain
Dalam pada itu menurut kamus yang sama, ketatanegaraan diberi arti
segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik, dsb.. Dalam kamus itu juga
susunan dan bentuk pemerintahan negara; hukum tata negara, hukum yang
bertalian dengan susunan dan peraturan negara; ilmu tata negara, pengetahuan
Editor, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 197.
107
Abdy Yuhana, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD
1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokusmedia, Bandung, hal. 68.
57
susunan dan bentuk pemerintahan negara, serta hukum tata negara. 108 Soal
Titik temu yang paling jelas antara hukum dan politik ialah dalam
hukum tata negara dan hukum pemerintahan. Karena hukum tata negara
dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan lain
mempelajari ilmu politik karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta
tata negara.111
hukum tata negara. Karena ilmu politik dan ilmu hukum tata negara saling terkait.
Bahwa hukumlah yang menjadi inti, yang berakibat logis hukum tata negara
pengembangannya.112
108
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1993, Susunan Ketatanegaran Menurut UUD
1945, dalam Sri Soemantri M., Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hal. 35-36.
109
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, 1980, Beberapa Pengertian Pokok
Tentang Hukum Tata Negara, Bali Post, Denpasar, hal. 7.
110
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 28-29.
111
Sumbodo Tikok, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung, hal. 44.
112
Leo Simanjuntak, 2006, Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara
(Staatsrechtswetenschap), dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk
Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal.
155.
58
Usep Ranawidjaja mengemukakan bahwa:
In the generally accepted use of the term it means the rules which
regulate the structure of the principal organs of government and their
relationship to each other, and determine their principal functions.116
113
Usep Ranawidjaja, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 20.
114
J.H.A. Logemann, 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & J.C. Pangkerego, Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hal. 88.
115
Karl Gareis, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey Of The
Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book Company, Boston, hal. 96.
59
(Dalam pengunaan yang diterima umum terhadap istilah tersebut hal itu
berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur struktur organ-organ utama
pemerintahan dan hubungan organ-organ itu satu dengan yang lain, dan
menentukan fungsi-fungsi utama dari organ-organ tersebut.)
normatif kepada aspek hukum (juridical thinking) melulu, tetapi juga, dimana
perlu, harus juga mengacu pada segi filosofis dan politis, karena memang menurut
disiplin ilmu hukum tata negara modern ini, ada 3 (tiga) macam rujukan
Ciri yang khas pada norma hukum tata negara, ialah bahwa ia adalah
116
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, 1965, Constitutional Law: An Outline Of The
Law And Practice Of The Constitution, Including Central And Local Goverment And The
Constitutional Relations of The British Commonwealth, Longmans, London, hal. 3.
117
M. Solly Lubis, 2010, Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan
Hukum Yang Paradigmatik, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum
Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 64.
118
M. Solly Lubis, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, hal. 39.
60
1. Bentuk negara yang dikehendaki;
2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan (alat-alat
perlengkapan negara);
3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab masing-
masing alat perlengkapan negara;
4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara vertikal maupun
horizontal); serta
5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan warga negara
berikut hak-hak asasi manusia).119
Ini berarti sanksi dalam hukum tata negara tergantung dari perimbangan
bukanlah keseimbangan antara suatu kepentingan dari aspirasi politik yang ada di
dan berdasarkan tolok ukur yang rasional dan diakui sebagai suatu kesepakatan
Negara sebagai objek penyelidikan itu diselidiki juga oleh lain cabang
ilmu kenegaraan yaitu hukum tata negara. 121 Dengan demikian negara merupakan
suatu institusi yang terbesar dan terpenting dalam suatu bangsa yang berdasarkan
pada suatu sistem hukum yakni pranata yang menyantuni kebenaran dan keadilan
119
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25.
120
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 7-8.
121
Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata
Aksara, Jakarta, hal. 18.
61
Hukum tata negara tidaklah terbatas hanya membahas ketentuan-
kekuasaan dari berbagai alat negara (staat orgaan), termasuk kekuasaan dari
kedaulatan politik. Hukum tata negara menelaah tentang kekuasaan politik diatur
dan dibagi, fungsi lembaga tertentu, hak dan kewajiban politik anggota
warga masyarakat juga menjalankan hak yang sama dalam proses pengambilan
langsung oleh seluruh warga masyarakat, melainkan melalui perwakilan dan para
122
Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 19.
123
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi Politik
Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans Publising, Malang, hal. 76.
124
Thomas Meyer, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, Friedrich-
Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, hal. 13.
62
Dua elemen yang paling esensial pada tipe demokrasi perwakilan ialah
perwakilan:
125
Anis Ibrahim, Loc.Cit.
126
Muhammad Faisal, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di Indonesia:
Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25.
127
Ibid., hal. 25.
128
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung , hal. 212.
63
Indonesia saat ini, menjadi anggota parlemen berarti di satu sisi harus
mampu menunjukkan loyalitas terhadap partai, dan di pihak lain harus
dipilih oleh masyarakat di wilayah tertentu. Namun, dalam banyak
kasus kesetiaan terhadap partai jauh lebih menonjol ketimbang
kesetiaan kepada kelompok masyarakat yang diwakilinya. Bahkan,
lebih ekstrim lagi banyak anggota parlemen yang mengesampingkan
hubungan dengan para pemilih dan memusatkan kesetiaan mereka pada
partai. Ketiga, adalah jenis perwakilan kelompok kepentingan khusus.
Keterkaitan kelompok khusus dengan sendirinya mendorong anggota
untuk lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan yang mereka
wakili. Sebaliknya, keterikatan kepentingan timbal balik yang
berkembang memperkuat posisi perwakilan kelompok kepentingan
dalam tubuh parlemen.129
dan perwakilan daerah saja. Para pemilih hanya sebagai partisipasi terhadap
129
Paimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni, Bandung,
hal. 35-37.
130
Samsul Wahidin, 2011, Konseptualisasi Dan Perjalanan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 28.
131
Maurice Duverger, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In The
Modern State, Methuen & Co. Ltd., London, hal. 372.
64
(Masalah mendasar dalam mengukur tingkat ketepatan perwakilan,
yaitu tingkat kesesuaian antara pendapat umum dan
pengejewantahannya di parlemen.)
mentranformasikan kehendak rakyat (will of the people) ini sebagai nilai yang
akan tetapi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Badan
pejabat negara yang pada prinsipnya dipilih oleh rakyat, menjalankan kekuasaan,
kehidupan demokrasi, yang awal, lembaga legislatif yang memiliki posisi yang
132
Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum
Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung,
hal. 9.
133
Munir Fuady, Teori . . . , Op.Cit. , hal. 134.
65
sangat strategis dan sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang
kedaulatan rakyat serta kedaulatan DPR. Hal ini didasarkan kepada suatu
pandangan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat dan yang memilki
representatif dan aksesibel. Ini berarti kebebasan politik dijamin tetapi sekaligus
umum secara memadai dan adil. Ini menegaskan bahwa demokrasi tetap
134
P. Anthonius Sitepu, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 173.
66
merefleksikan pengakuan dan penerimaan umum.135 Dengan pemahaman seperti
sarana bagi warga negara agar terbiasa melakukan kontrol tertentu terhadap
pembuatan keputusan politik pada saat mereka tidak dapat secara langsung
Wakil rakyat, adalah orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum untuk bertindak mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Wakil rakyat
dalam hal ini lazimnya adalah anggota lembaga perwakilan atau parlemen yang
dan pemilihan umum merupakan suatu rentetan kesatuan yang sulit dipisahkan.
135
Tommi A. Legowo, 2009, Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan
Politik, dalam Hamdan Basyar, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan
Tantangan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 78-79.
136
Ibid., hal. 80.
137
Arifin Rahman, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, hal. 170.
138
Jimly Asshiddiqie, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen
Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 25.
139
Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 143.
67
partai politik. Mereka duduk di lembaga tersebut adalah umumnya melalui
pemilihan umum.140
macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk,
perwakilan rakyat itu pada pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak
warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa
yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat
yang berdaulat.141
terhadap UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana
sekaligus, yakni MPR, DPR dan DPD.142 Hal ini dapat dibenarkan karena
keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD.
UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah
dari kewenangan DPR dan DPD.143 Dengan demikian kedudukan dari ketiga
lembaga negara tersebut sederajat satu sama lain. Keberadaan MPR sendiri
merupakan kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk
140
Ibid., hal. 155.
141
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 153.
142
Abdy Yuhana, Op.Cit., hal. 148.
143
Rini Nazriyah, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek Di
Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 332.
68
Sebagai catatan, karena DPR menjalankan fungsi legislasi (membentuk
UU), begitu pula DPD, meskipun mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, maka
dapat dikatakan dari segi fungsi legislasi itu negara Indonesia menganut sistem
perwakilan bicameralism, tetapi karena fungsi legislasi dari DPD terbatas itu,
144
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian
Kenegaraan, Setara Press, Malang, hal. 113.
69
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR
yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang
kuat.145
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Hal ini ditegaskan pada Pasal 67
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.
Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam
puluh).
145
H.M. Hidayat Nur Wahid, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3-
September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta, hal. 5.
70
Rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
2009-2014, jumlah anggota DPR bertambah menjadi 560 orang. Masa jabatan
anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR
yang baru mengucapkan sumpah/janji.146 Hal ini ditegaskan pada Pasal 74 ayat (4)
Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada
saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
baru. Fraksi Partai Demokrat (F-PD) pada periode ini (2009-2014) menduduki
peringkat teratas, memperoleh 148 kursi dari 560 anggota yang ada. Disusul oleh
Fraksi Partai Golkar (F-PG) sebanyak 106 kursi, Fraksi Partai Demokrasi
146
JF. Tualaka (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan
Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, hal. 144.
71
sebanyak 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) sebanyak 38
kegiatan DPR. Fraksi adalah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari
Tugas fraksi antara lain menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu
efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya yang
Fraksi dibentuk oleh anggota partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi dapat
juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 atau lebih partai politik hasil
pemilihan umum yang memperoleh kurang dari 13 orang atau bergabung dengan
fraksi lain. Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi. Pimpinan
147
M. Djadijono & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi Kinerja Satu
Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal. 67.
148
Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung, hal. 60.
149
Inu Kencana Syafiie, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANRI), Bumi Aksara, Jakarta, hal. 80.
150
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 181.
72
careful procedural rules. As a body of many equal members, a
legislature also develops elaborate internal organization.151
dan memperlakukan seluruh rakyat dengan martabat dan hak yang sama, dan oleh
cenderung didefinisikan secara sempit sebagai pemilihan umum yang bebas dan
adil (free and fair) untuk memilih para wakil rakyat dan kepala pemerintahan
tingkat nasional dan/ataupun lokal. Pengertian yang terbatas ini semakin lebih
sempit lagi dewasa ini karena dua kenyataan berikut. Pertama, mekanisme
perwakilan politik, seperti sistem perwakilan rakyat, sistem kepartaian dan sistem
pemilihan umum, semakin kurang efektif mewujudkan tujuan utama sistem politik
demokrasi, yaitu memfasilitasi keterlibatan aktif para warga negara dalam proses
151
David M. Olson, 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative View,
M.E. Sharpe, Armonk, New York, hal. 7.
152
Merphin Panjaitan, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara,
Permata Aksara, Jakarta, hal. 37-38.
73
penyelenggaraan negara, dan membuat dan melaksanakan kebijakan publik demi
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Dan kedua, dari pemilihan umum
yang satu ke pemilihan umum berikutnya semakin sedikit warga negara yang
berhak memilih yang bersedia menggunakan hak pilihnya, baik dalam pemilihan
umum para wakil rakyat maupun kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional
maupun lokal.153
they grant to the right holder a role in forming the will of the state,
then even the subjective right of the private law is a political right, for
here, too, the right holder participates in forming the will of the
state.154
umum, setiap orang yang menjadi warga negara berhak dan wajib untuk berkuasa
dalam sistem satu orang satu suara, yang secara implisit bermakna bahwa satu
warga negara memiliki kuasa untuk berkuasa atas kekuasaan atas satu pilihan
153
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 25.
154
Hans Kelsen, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory, Claredon
Press, Oxford, hal. 46.
74
This was due to the more conscious operation of democracy and the
feeling that democratic government required active participation of the
citizen.155
(Hal ini lebih disadari dan dirasakan bahwa aktivitas demokrasi dan
pemerintahan yang demokratis diperlukan partisipasi aktif dari warga
negara.)
Partisipasi politik adalah sebagai satu bentuk kegiatan atau lebih oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam upaya secara aktif maupun pasif
langsung ataupun tidak terhadap dirinya atau kelompoknya. 156 Dengan demikian
wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat
tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang
hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka
bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri
umum.
155
Herman Finer, 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen &
Co. Ltd., London, hal. 372.
156
Rudi Salam Sinaga, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 51.
75
Jadi pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-
wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai
masyarakat.158
menjiwai Pembukaan UUD 1945 dengan ketentuan bahwa seluruh anggota DPR
dipilih oleh rakyat melalui pemilu. 159 Hal ini sesuai dengan paham demokrasi
makin kuat.160
157
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakata, hal.
328-329.
158
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang, hal. 170.
159
A.M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 110.
160
Ibid.
161
Andrew Rehfeld, 2005, The Concept Of Constituency: Political Representation,
Democratic Legitimacy, And Institutional Design, Cambridge University Press, New York, hal. 14.
76
Untuk dapat menjadi calon wakil rakyat dengan mengikuti pemilihan
Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakil
rakyat.162 Dengan demikian partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata
kehidupan bernegara. Untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus
menjadi anggota partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partai
memperoleh kursi.
162
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, Reformasi Sistem Multi-Partai
Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, Teori-
Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 177.
77
Sistem pemilihan umum seperti ini juga lebih tepat untuk menjamin
keterwakilan berbagai kelompok masyarakat yang dari segi jumlah terbilang kecil,
seperti perempuan, kelompok etnik atau kelompok agama. Akan tetapi bila
penduduk yang dikategorikan minoritas itu merupakan para warga negara yang
tidak hanya aktif berpolitik tetapi juga memiliki pengaruh, maka sistem distriklah
kebijakan publik yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih karena mereka memiliki
kemampuan mempengaruhi wakil rakyat. Selain itu, sistem ini juga lebih tepat
untuk menghasilkan anggota dewan lebih sebagai wakil partai daripada wakil
argumen hak politik berupa kebebasan berpartai, tanpa diimbangi dengan alasan
163
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 48.
78
partai untuk memperkuat pemerintahan negara, dipenuhi dengan menghidupkan
diperlukan oleh pemerintah manapun untuk mampu berkuasa secara efektif dan
sekaligus demokratik.164 Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh
sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang
dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. 165
Ada berbagai hak istimewa politisi partai yang harus dijamin melalui
calon ke KPU. Keempat, melalui nomor urut calon, pengurus partai menentukan
fraksi, para penguasa partai menentukan sikap dan langkah anggota parlemen.
Dan ketujuh, pemimpin partai berhak merecall anggota parlemen yang dinilai
memerlukan mesin politik partai (pengurus partai) yang besar, sampai ke desa-
desa, biaya mahal, dan hubungan antara calon terpilih (anggota parlemen) atau si
164
Arbi Sanit, 2009, Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 214.
165
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 30.
166
Arbi Sanit, Op.Cit., hal. 215.
79
wakil dengan yang diwakili renggang atau sistem proporsional melahirkan tipe
perwakilan partisan. Jadi si wakil bukan wakil rakyat, tetapi wakil partai. 167
anggota bisa berpartisipasi dan saling mempengaruhi secara sama rata di dalam
pengaturan oleh rakyat bagi rakyat (self government) sesuai dengan keputusan
dari DPR dan menuntut adanya pemilu secara bebas yang semua pemilih sama-
sama berhak untuk dipilih.169 Tetapi, proses penentuan aturan dalam membentuk
mana kepentingan merupakan penentu utama. Harap diingat, bahwa politik selalu
167
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu . . . , Op.Cit., hal. 121.
168
Andi Faisal Bakti, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang, hal. 90.
169
Eva Etzioni Halevy, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik, (Sobirin
Malian, Pentj), Total Media, Yogyakarta, hal. 29.
170
Afan Gaffar, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hal. 282.
80
ini bahwa pemilu diakui sebagai hal penting dan karenanya diakui dalam
peraturan perundang-undangan.
memperjelas model keterwakilan dan pola relasi wakil rakyat dengan yang
diwakili. Model pola relasi rakyat dengan lembaga perwakilan rakyat yang
digambarkan di atas, dapat dijadikan alat analisis mengenai pola relasi antara
rakyat dengan DPR di Indonesia, mulai dari konstruksi menurut konstitusi dan
terbanyak memiliki legitimasi politik yang kuat. Hal mana legitimasi seperti itu
171
Sebastian Salang, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi
Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 101.
172
Khairul Fahmi, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 268.
173
Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta, hal.
134.
81
Proposional terbuka sudah mirip dengan sistem distrik karena nomor
urut tidak menentukan. 174 Kalau sudah mengarah ke proposional terbuka atau
distrik maka tidak ada recall karena harus dilaksanakan pemilihan ulang atau
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka suara pilihan rakyat
kesempatan pemilih untuk menentukan figur elit partai politik mana yang layak
menduduki kursi di DPR. Wakil rakyat terpilih akan lebih memiliki legitimasi
politik dan harus menjadi partai politik tersebut, maka hubungan hukum pertama
kali yang dimiliki oleh wakil rakyat adalah dengan partai yang bersangkutan.
Selanjutnya dengan terpilihnya dia sebagai wakil rakyat, berarti rakyat telah
174
Frank Feulner, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPER-United Nations Development
Programme Indonesia, Jakarta, hal. 152.
175
Ibid., hal. 159.
82
kebijakan publik.176 Mengenai representasi, ada representasi yang sudah
partai melainkan sebagai alat untuk memperoleh simpatik pemilih. Hampir tidak
berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. 179 Konflik internal dan buruknya
berada pada suatu kaidah atau bingkai norma yang mampu mengarahkan untuk
membawa pada pemahaman dalam bersikap serta berperilaku yang benar dan baik
sini kekuasaan rakyat tersandera oleh elit partai, di luar pertimbangan untuk
176
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Op.Cit., hal. 26.
177
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . Loc.Cit., hal. 159.
178
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 104.
179
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 136.
180
Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif,
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor 3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 293.
83
mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada rakyat. 181 Jika demikian, maka
sesungguhnya parpol bukan lagi sebagai media bagi masyarakat untuk melakukan
diskursus kepentingan bersama di ruang publik tapi justru sebagai satu subjek
politik yang setara berhadapan dengan individu dalam merumuskan apa yang
Dalam pemilu anggota DPR, misalnya, kontrol kuat elite partai yang
terbuka hanya berlaku dalam teori, namun berpotensi mandul dalam praktik. 183
Partai politik tidak berfungsi sebagai jembatan hubungan antara rakyat dan
anggota partai yang menjadi anggota DPR. Sistem pemilu proporsional telah
Partai politik tidak sepenuhnya berpikir tentang aspirasi dan kepentingan rakyat.
Terjadi disparitas amat lebar antara agenda yang diusung partai politik dengan
tidaknya seseorang sebagai wakil rakyat adalah bergantung kepada pilihan rakyat.
Hal ini menimbulkan hubungan hukum antara wakil rakyat dan rakyat pemilihnya
181
Sebastian Salang, Loc.Cit., hal. 104.
182
Abdil Mughis Mudhoffir, Op.Cit., hal. 136.
183
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta, hal. 155.
184
Nyarwi, Loc.Cit.
185
Denny Indrayana, Negara . . . , Loc.Cit.
84
pada partai politiknya dari pada pribadi calon wakil rakyat, tidak menghilangkan
hubungan tersebut.
Seorang calon anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai
peserta pemilu untuk menjadi anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih
hukum, bukan hanya dengan partai politik yang merekrut dan mencalonkannya
dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat pemilih yang kemudian dikukuhkan
melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah ada antara partai politik
dengan rakyat pemilih dan anggota DPR dengan (lembaga) negara DPR.
Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan kewajiban yang dilindungi
oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan bagi yang
186
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Loc.Cit., hal. 26.
187
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 112.
85
2.2. Sistem Kepartaian
struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik di sini adalah
segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan
negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Hal-hal yang termasuk
dalam supra struktur politik ini adalah mengenai kedudukannya, kekuasaan dan
bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi dan
wewenang/kekuasaan antar lembaga yang satu dengan lainnya. Suasana ini pada
undangan lainnya.189
bawah permukaan. Infra struktur politik ini meliputi lima macam komponen, yaitu
(political figure).190
188
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Rajawali, Jakarta, hal. 39.
189
Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan Struktural
Fungsional, Kelir, Bandung, hal. 82.
190
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar . . . , Loc.Cit.
86
Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang
menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen supra struktur
politik dan infra struktur politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan
dibentuk dan disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar tetap akan
bangsa dan negara.192 Sistem politik dalam perspektif hukum tata negara tidak lain
adalah mekanisme ketatanegaraan yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan
satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk menggerakkan roda
kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif
politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam
191
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220.
192
Ibid., hal. 215.
193
Ibid., hal. 216.
194
Frank Feulner, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia: Tinjauan
Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8-Tahun III, Maret,
Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 25.
87
batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah
egaliter dan responsif. Sistem politik yang egaliter adalah sistem yang menunjuk
bahwa pejabat publik dan pejabat politik mau mengembangkan sikap terbuka
terhadap publik atau warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, golongan,
jabatan dan status sosial. Sistem politik yang egaliter menghendaki adanya dialog
195
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 21.
196
Robert A. Dahl, 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc., Englewood
Cliffs, New Jerssey, hal. 3.
197
Johanes Usfunan, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana Cerdas,
Denpasar, hal. 76.
88
yang intens antara pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif) dengan publik
Birokrasi (legislatif dan eksekutif) dalam hal ini harus mampu menciptakan
beragam stakeholders.199
dengan birokrasi dan lembaga perwakilan rakyat patut dijaga secara harmonis dan
sehingga ada terjalinnya hubungan yang egaliter antara publik, birokrasi dan
198
Dwiyanto Indiahono, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys,
Gava Media, Yogyakarta, hal. 238.
199
Ibid., hal. 239.
200
Ibid., hal. 239-240.
89
berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat
sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output
asas keseimbangan.
beratkan pada komponen supra struktur politik dalam hal berprakarsa, maka
sistem politik yang dijalankan lebih berwatak sistem politik otoritarian atau
201
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220-221.
202
Muchamad Ali Safaat, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan Praktik
Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
203
Robert A. Dahl, Modern . . . , Op.Cit., hal. 5.
90
(Demokrasi adalah suatu sistem politik di mana kesempatan untuk
berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan diberikan secara luas
kepada semua orang-orang dewasa.)
penyelenggaraan negara, agar rakyat dapat mengendalikan negara. 204 Partai politik
bidang politik.205 Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang secara khusus
perhatiannya pada politik, mereka benar-benar partai politik dalam arti yang
sebenarnya.207
tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih
yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah,
204
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
205
Silahudin, Op.Cit., hal. 69.
206
J.M. Papasi, 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.
89.
207
Maurice Duverger, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan, (Laila
Hasyim & Afan Gaffar, Pentj), Bina Aksara, Jakarta, hal. 119.
208
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 260.
209
Zainal Abidin Saleh, Op.Cit., hal. 69.
91
ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak
Kata partai berasal dari kata part yang berarti bagian dan yang
menunjuk kepada bagian dari para warga suatu negara, sedangkan kata partai
jadi kini menunjuk kepada perkumpulan sejumlah warga-warga dari suatu negara,
tertentu.211
atau ideologi.212 Politik ialah hal yang ada hubungannya dengan kekuasaan.213
Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti
negara kota. Orang yang mendiami polis disebut polites. Polites berarti warga
techne yang berarti kemahiran politik. Ars politica yang berarti kemahiran tentang
soal kenegaraan. Politike episteme berarti ilmu politik. Dari kata inilah kata politik
210
Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, hal. 55.
211
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco,
Bandung-Jakarta, hal. 102.
212
Soelistyati Ismail Gani, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 12.
213
Ibid.
214
Ng. Philipus & Nurul Aini, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 89-90.
92
terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Jadi, di dalam
konsep ini terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas
hendak dicapai.
bagi warga negaranya. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan dan perencanaan
aktivitas politik. Maka usaha mencapai kesejahteraan lahir batin bagi umat
tujuan tertentu, demikian pula halnya dengan organisasi yang disebut partai
politik. Tujuan pembentukan suatu partai politik di samping tujuan yang utama
pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari aktifitas yang dilakukan oleh
partai politik.216
Suatu organisasi politik baru dapat diklaim atau dikatakan partai politik
215
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 10-11.
216
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 261.
93
menyeleksi kandidat pejabat publik secara berkesinambungan. 217 Karenanya
beragam ide, gagasan, kepentingan, dan tujuan politik yang sama. Kehadiran
partai politik juga sangat terkait dengan sistem parlemen.219 Sebagai sumber
rekrutmen politik untuk masuk ke DPR maupun ke lembaga lain partai politik
arti penting partai politik di Indonesia.221 Partai politik memainkan peran sentral
sistem demokrasi secara umum dan persaingan politik pada khususnya tidak akan
modern yang demokratis. Partai politik sebagai suatu asosiasi yang mengaktifkan
217
A.A. Sahid Gatara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Pustaka
Setia, Bandung, hal. 191.
218
Sigit Pamungkas, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta, hal. 134.
219
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik Komunikasi Dan Positioning
Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 57.
220
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, hal. 299.
221
Firmanzah, Op.Cit., hal. 45.
222
Ibid., hal. 44.
94
partisipasi politik rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi
pendapat.223
berserikat, dan berkumpul tersebut merupakan bagian dari upaya membangun peri
kehidupan kebangsaan kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Partai politik telah menjadi institusi yang sangat penting dalam sistem
politik demokrasi. Pada banyak negara berperan penting sebagai perekat bangsa
bangsa yang padu. Kebebasan memberi hak bagi segenap warga negara untuk
dalam derajat yang sama untuk mengaktualisasikan diri dalam politik, dan
223
Andy Ramses M., 2009, Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 149.
224
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok , Op.Cit., hal. 711-712.
95
kebersamaan menempatkan partai politik sebagai wahana untuk mencapai tujuan
pada beragam suara, ide, gagasan maupun pendapat dan merespons bermacam-
dalam dunia politik dan sipil tersebut menunjukan bahwa di Indonesia kebebasan
pendapat baik lisan maupun tulisan, maka akan mustahillah kedaulatan yang ada
kenyataan. Ideologi, platform partai atau Visi dan Misi seperti inilah yang
negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik
merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan
225
Andy Ramses M., Loc.Cit.
226
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan, Depok,
hal. 13.
227
Ibid., hal. 14.
228
Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam
Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang, hal. 163.
229
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, Op.Cit., hal. 118.
96
dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi
semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur
230
bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.
politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam
hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan tujuan
230
Ramlan Surbakti, 2009, Perkembangan Partai Politik Indonesia, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 139.
231
Zainal Abidin Saleh, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 70.
232
R.H. Soltau, Op.Cit., hal. 199.
97
level yang bekerja secara kolektif dengan tujuan meraih pengaruh dalam wilayah
dan peranan (role) yang sangat penting. Partai politik memainkan peran
warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar
yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem
politik memiliki fungsi: (a) sebagai sarana komunikasi politik; (b) sebagai sarana
sosialisasi politik; (c) sebagai sarana recruitment politik dan (d) sebagai sarana
233
Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar,
Sinar Baru, Bandung, hal. 66.
98
pengatur konflik.234 Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di
dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik
Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang
sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih
kekuasaan. 235
partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
Partai politik adalah asosiasi warga negara dan karena itu dapat
berstatus sebagai badan hukum (rechts persoon). Akan tetapi, sebagai badan
hukum, partai politik itu tidak dapat beranggotakan badan hukum yang lain. Yang
hanya dapat menjadi anggota badan hukum partai politik adalah perorangan warga
negara sebagai natuurlijke persoons.237 Badan hukum itu dapat dilihat dari segi
234
Suko Wiyono, 2009, Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan
Presidensial Di Indonesia, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor, Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah
Diskursus Tentang Pemilu, Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk
Sang Penggembala Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans Publising, Malang, hal. 64-65.
235
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 265.
236
Sudarsono, 2012, Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik, dalam
Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana
Malang Press, Malang, hal. 17.
237
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan, Op.Cit., hal. 69.
99
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan publik, bukan kepentingan
dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari
partai di samping itu juga negara di mana ada satu partai yang
238
Ibid., hal. 78.
239
Leo Agustino, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 112-113.
240
Maurice Duverger, Political, Loc.Cit.
241
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 114.
100
kecil yang keberadaanya dapat dinyatakan tidak mutlak. 242 Dengan
demikian sistem satu partai atau one party system menunjukkan kepada
kita bahwa di suatu negara hanya terdapat satu partai politik yang
b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Suatu negara dengan sistem dua
partai berarti bahwa dalam negara tersebut ada dua partai atau
mempunyai lebih dari dua partai akan tetapi yang memegang peranan
demikian sistem dua partai atau two party system menunjukkan kepada
kita bahwa di suatu negara hanya terdapat dua partai politik yang
dominan.
bersifat multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama
politik, jika dibandingkan dengan pola dua partai. Dalam sistem multi
242
Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta, hal.
73.
243
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 115.
244
Haryanto, Partai, Op.Cit., hal. 47.
245
Soelistyati Ismail Gani, Loc.Cit., hal. 115.
246
Haryanto, Partai, Op.Cit., hal. 60.
101
partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk
partai politik yang jumlahnya lebih dari dua. Pada umumnya negara
bersifat majemuk.
247
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 116.
102
BAB III
3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi Yang
Berdasarkan Hukum
Indonesia, karena UUD 1945 juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini
dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat
sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945
permusyawaratan/perwakilan.248
standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga
posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok
248
Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum
Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, hal. 24.
103
pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
berasal dari bumi sendiri, yaitu Demokrasi Pancasila, terletak pada sila keempat
kata mufakat merupakan landasan unik dan spesifik yang terdapat dalam
249
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 391.
250
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga,
hal. 40.
251
H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila Dan UUD45 Dalam Paradigma
Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 84.
104
demokrasi Indonesia. Kedua, prinsip musyawarah/mufakat itu mencerminkan
landasan ideal yang bersumber dari semangat gotong royong dan kekeluargaan
yang dianggap sebagai cermin sejati dari budaya politik Indonesia. Ketiga, dengan
terhadap format yang menempatkan oposisi dan konflik sebagai bagian dari
persaingan politik.252 Begitu juga tata cara Demokrasi Pancasila ketika harus
perwakilan. 253
Republik Indonesia ini, mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan
Dengan demikian Pancasila menjadi dasar negara, sebagai jiwa dan kepribadian
bangsa, tujuan dan kesadaran bangsa, cita-cita moral yang meliputi suasana
dalam sistem hukum nasional, yaitu berkedudukan sebagai cita hukum (rechtside)
memiliki fungsi konstitutif serta fungsi regulatif dan berkedudukan sebagai norma
252
Daniel Sparingga, 2009, Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan
Prakteknya, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 7.
253
M. Dimyati Hartono, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional, Gramata Publishing,
Depok, hal. 83.
254
Inu Kencana Syafiie, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung, hal. 88.
105
dasar (grundnorm), menyatukan tata hukum kedalam satu susunan norma hierarki.
filosofis norma-norma hukum dan fungsi regulatif berarti Pancasila menjadi tolok
ukur aturan hukum itu adil atau tidak adil dalam tata hukum Indonesia. Pancasila
sebagai norma dasar (grundnorm), merupakan sumber dari segala sumber hukum
baik bagi norma hukum dalam tata hukum maupun norma moral, etika, kesusilaan
falsafah dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan
harus bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Begitu penting dan
falsafah dan dasar negara tersebut dapat dijadikan landasan untuk menuju
masyarakat adil dan makmur.256 Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang
Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi,
255
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Membangun Hukum Indonesia: Paradigma
Pancasila, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara
Press, Malang, hal. 115.
256
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 318.
257
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan
Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 95.
106
Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah
bersama. Sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa
bagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaannya kepada badan atau
lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD
1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak
258
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331.
259
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 218-219.
260
Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 41.
107
diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung
pemilihan yang jujur untuk menentukan wakil-wakil rakyat melalui partai politik.
seperti hak menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan
berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan
dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka
sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias baik
terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam
pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin
261
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331-332.
262
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 18.
263
Suharizal & Firdaus Arifin, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 54.
108
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 264 Hal ini
Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan ditegaskan pada Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf
Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 69 ayat (1)
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a
dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
264
JF. Tualaka (Ed.), Loc.Cit.
109
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang dan APBN.
110
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Huruf a
Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan
menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya
dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang.
Huruf b
Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan
maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPR.
Huruf c
Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara
leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga
ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta
kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat
diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap
111
memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan
sebagai wakil rakyat.
Sebenarnya itu adalah hak anggota DPR dan bagian dari upaya untuk
usul dan pendapat secara leluasa ada jaminan kemandirian sesuai dengan
panggilan hati nurani serta kredibilitasnya tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di
Rumusan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
267
Denny Indrayana, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 330.
112
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena
maka sudah barang tentu menjalankan prinsip-prinsipnya yang satu sama lain
saling berkaitan sebagai suatu sistem.268 Sistem demokrasi adalah sistem tentang
dalam hal pengambilan keputusan, rakyat atau warga diikutsertakan, di sini ada
268
Sukarna, Sistim Politik, Op.Cit., hal. 39.
113
sinonimnya adalah kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf
yang paling penting ialah agar di segala tingkat masyarakat sendiri dilibatkan
untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat. 270 Dengan
demikian, partisipasi rakyat boleh dikatakan merupakan salah satu ciri yang
kewarganegaraan yang aktif dengan bentuk dan corak partisipasi yang berbeda-
tertentu merupakan bagian dari partisipasi politik. 271 Partisipasi publik (partisipasi
269
Soehino, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal.
139-140.
270
Franz Magnis Suseno, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 47.
271
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 83.
272
Ibid., hal. 86.
273
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 35.
114
disepakati haruslah dilakukan melalui proses permusyawaratan sesuai prinsip
menantang hukum di sisi lain. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah
negara hukum, konstitusi kita UUD 1945 hasil amandemen telah menempatkan
Indonesia.275
undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang
rechtsstaat.276
semua negara hukum adalah negara demokrasi, karena negara bukan demokrasi
274
Ibid.
275
Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional, Total
Media, Yogyakarta, hal. 125.
276
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, hal. 212.
115
juga bisa taat kepada hukum. Tetapi negara hukum adalah keharusan dalam
demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu
hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma
hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah
sosial tertinggi. Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara
dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh
para warga negara harus berdasarkan atas hukum.280 Hukum tertinggi di suatu
277
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
278
Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, hal. 7.
279
Zukarnaen & Beni Ahmad Saebani, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung, hal. 41.
280
Abdul Aziz Hakim, Op.Cit., hal. 8.
116
negara merupakan produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari
keadilan dan kebebasan politik. Oleh karena itulah konstitusi lantas dimengerti
pula dengan tradisi dan budaya kekuasaan negara.282 Dengan demikian di dalam
melengkapi.
tidak ada warga negara yang berada di atas hukum, dan karenanya semua warga
negara harus patuh pada hukum. Oleh karena itu hukum itu harus bersifat
memaksa dan berlaku kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal hukum, biarpun dia
pembuat hukum. Sifat paksa dari hukum itu harus dilakukan oleh perangkat
supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada
281
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
282
Pudja Pramana Kusuma Adi, 2010, Telaah Atas Metode-Metode Dari Beberapa
Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan Gagasan-Gagasan Demokrasi
Konstitusional, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 373.
283
Fajlurrahman Jurdi, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi
Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 16.
284
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 47.
117
praktik atau permainan politik segala etika politik dan segala aturan permainan
atau segala macam aturan hukum haruslah dihormati dan ditegakkan. 285 Oleh
karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak
pemahaman secara utuh dan menyeluruh UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang
utuh terhadap UUD 1945 bagi seluruh komponen bangsa merupakan suatu
kebutuhan karena UUD 1945 adalah konstitusi negara yang memuat norma dan
nilai yang sangat fundamental yang telah disepakati bersama, sebagai landasan
aturan dasar yang sudah sah, UUD 1945 berisi serangkaian norma yang mengikat
keberlakuannya. Oleh karena itu, UUD 1945 wajib dipatuhi dan ditaati. 287
akan memandu arah perjalanan bangsa. Dan sebagai sebuah sistem nilai, UUD
1945 juga memuat keyakinan, prinsip-prinsip, dan cita-cita luhur bangsa yang
hendak diwujudkan.288
dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Aturan dalam UUD 1945 itulah yang
mengatur dan membagi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri
285
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
286
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
287
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 34.
288
Ibid.
118
dan/atau kepada berbagai lembaga negara.289 Kedudukan setiap lembaga negara
bergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945.290
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945
menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti
di tangan rakyat, berarti semua kekuasaan negara berasal dari rakyat dan
rakyat sesuai dengan kehendak rakyat.293 Rakyat berdaulat atas negara yang
mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara
289
Ibid., hal. 46.
290
Ibid., hal. 46-47.
291
Ibid., hal. 34.
292
Jimly Asshiddiqie, Menuju . . . , Op.Cit., hal. 502.
293
Merphin Panjaitan, Op. Cit., hal. 37.
294
Ibid., hal. 116.
119
Pasal ini mengandung makna perwujudan Indonesia yang diidealkan
hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat
negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur, sehingga dalam hal
ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-
lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-
norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infra struktur.297
Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
(democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagai negara hukum yang
295
Ibid., hal. 184.
296
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 4.
297
Benyamin Akzin, dalam Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan
(1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hal. 43.
298
Susilo Suharto, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode
Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 30.
299
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op. Cit., hal. 132.
120
supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. 300 Dengan demikan
di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundang-
integrasi. 301
dalam Pembukaan UUD 1945 kita. 302 Dengan demikian pengakuan hukum dan
keadilan merupakan syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang
Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi adalah
mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang berhak atas
perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).303 Dengan
300
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 322.
301
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Loc.Cit.
302
Sunaryati Hartono, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka Konsolidasi
Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional,
Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,
Jakarta, hal. 33.
303
Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil, Jurnal
Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hal. 50.
121
dibentuk dan ditetapkan, sehingga di dalam dirinya konstitusi bertujuan
membatasi kekuasaan.
Dibalik itu, konstitusi tertulis (UUD), seperti halnya UUD 1945, yang merupakan
yang berbentuk republik. Lebih jauh lagi konstitusi menyebutkan bahwa dasar
negara atau ideologi negara Indonesia terdiri dari lima butir, yang dikenal dengan
ditangan rakyat dan Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia memilih
304
Miftakhul Huda, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal lebih
Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 4, Nopember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 173.
305
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan
Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 2.
122
demokrasi dilakukan dengan sistem demokrasi perwakilan. 306 Dengan demikian
mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga
keadilan dalam The Rule Of Law. Indonesia tidak memilih salah satunya tetapi
memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya. Dan pilihan yang prismatik seperti
ini menjadi niscaya karena pada saat ini sudah sulit menarik perbedaan yang
substantif antara Rechtsstaat dan The Rule Of Law. Kepastian hukum harus
ditegakkan untuk memastikan bahwa keadilan di dalam masyarakat juga tegak. 307
Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi
306
Irna Irmalina Daud, 2009, Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia
(Transisi Demokrasi Di Indonesia), dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 168.
307
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 26.
308
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 105.
309
Victor Silaen, Op.Cit., hal. 185.
123
terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan
310
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 101.
311
Charles Howard McIlwain, 1947, Constitutionalism Ancient And Modern, Cornell
University Press, Ithaca, New York, hal. 12.
312
Andi Faisal Bakti, Op.Cit., hal. 38-39.
313
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 1.
314
Ibid., hal. 132-133.
124
Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat
norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi
yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka hukum pertama-tama akan hadir
sebagai sesuatu yang bersifat law in the books, memuat ancangan hepotesis
tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta
melakukan pelanggaran.315
sebagai berikut:
kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar
berdasarkan suatu garis kebijaksanaan atau norma yang rasional dan berlaku
315
Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.
316
Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Harper & Row, New York, hal. 108-109.
125
umum. Dengan adanya hukum konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut
siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada
antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan. 317
menegakkan sebuah sistem hukum yang baik berarti menegakkan sebuah aturan
suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat.
walaupun penggunaan hukum itu untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya.
masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak
seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. 319
, that they operate with norms or rules, and that they are connected
with the state or have an authority structure that can at least be
analogized to the behavior of the state.320 Structure and substance are
real components of a legal system.321
317
Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 77.
318
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
319
Soerjono Soekanto, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 93.
320
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspective,
Russel Sage Poundation, New York, hal. 11.
321
Ibid., hal. 15.
126
(, bahwa mereka beroperasi dengan norma-norma atau peraturan, dan
bahwa semua itu terhubung dengan negara atau memiliki struktur
otoritas yang bisa dianalogikan dengan perilaku negara. Struktur dan
substansi adalah komponen-komponen riil dari sebuah sistem hukum)
batasan terhadap keseluruhan. Bagian yang memberi bentuk tersebut adalah organ
negara. Substansi adalah aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada
negara, menjalankan proses sosialisasi hukum agar dapat berjalan dan atau dapat
dijalankan.
oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan atau tindakan serta
Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak
ditunjang oleh adanya substansi hukum yang baik pula. Substansi hukum yang
baik juga tidak dapat dirasakan manfaatnya kalau tidak ditunjang oleh struktur
Jadi sistem hukum yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang
dan konsisten, serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan di antara
horisontal.
127
Shirley Robin Letwin berpendapat tentang sistem hukum:
kepastian keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh
dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan.324 Tujuan hukum tidak
bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bernegara dan bermasyarakat yang
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri,
322
Shirley Robin Letwin, 2005, On The History Of The Idea Of Law, Cambridge
University Press, Cambridge, hal. 208.
323
H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 48.
324
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 84.
325
Asep Warlan Yusuf, 2008, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam
Demokrasi Yang Berkeadaban, dalam Sri Rahayu Oktoberina, Dkk, Editor, Butir-Butir
Pemikiran Dalam Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika Aditama,
Bandung, hal. 220-221.
128
Dalam negara hukum, kedudukan warga negara, demikian pula pejabat
pemerintah, adalah sama, dan tidak ada bedanya di muka hukum. Hukum atau
undang-undang itu dibuat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan pemerintah
berfungsi untuk mengatur sedangkan rakyat adalah yang diatur. Baik yang
persamaan di muka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan, akan kebal
hukum, hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah. Dengan demikian
nampak dengan jelas bahwa fungsi hukum atau undang-undang adalah untuk
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Hal
ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara subyek hukum yang satu dengan
subyek hukum yang lain di depan hukum. Prinsip persamaan kedudukan manusia
di depan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling
mendasar, tapi juga merupakan prinsip keadilan. Hak untuk memperoleh keadilan
merupakan salah satu hak dasar manusia, karena hak itu berhubungan langsung
dengan harkat dan martabat manusia. Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila
ada perlakuan yang sama bagi setiap orang yang mempunyai kondisi yang
326
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 114.
129
sama.327 Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang
berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal terhadap hukum. Ini
Hukum (positif) itu adalah merupakan output dari suatu sistem politik
yang berlaku, dengan mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui
proses politik. Input itu berupa aspirasi masyarakat berupa tuntutan dan
hasil interelasi sistem sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai
dalam masyarakat, perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar
UUD 1945.331
politik yang dibangun itu merupakan sistem politik yang demokratis, sedang
apabila sistem politik yang dibangun adalah non-demokratis, maka tata hukum
yang ada itu akan menjauhkan masyarakat dengan hukum itu sendiri. Sistem
politik yang demokratis ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada dalam negara
327
Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hal. 17-18.
328
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 80.
329
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 29.
330
Andi Mattalatta, Op.Cit., hal. 576.
331
Ibid., hal. 581.
130
bersangkutan dan ciri khas dari sistem politik itu sendiri yang biasa disebut
konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Tolak
akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). 334 Dengan
politik.
332
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 30.
333
Moh. Mahfud MD, Membangun . . . , Op.Cit., hal. 78-79.
334
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 368.
131
responsif terhadap aspirasi, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan
sebagai substansi dasar dari demokrasi, maka ciri utama konfigurasi politik yang
masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain daripada itu politik juga
bentuk dan tujuan negara, disamping menyelidiki hal-hal seperti sekelompok elit,
yang seragam demi tercapainya tujuan polis, yakni kebaikan bersama, maka
yang hidup bersama, dan dalam hubungan tersebut timbul suatu aturan,
kewenangan, perilaku para pejabat, serta adanya legalitas terhadap kekuasaan dan
335
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
336
Inu Kencana Syafiie, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 9.
337
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 5.
132
harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di
dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah
kompleks susunannya. 338 Namun kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada
semua warga masyarakat. Pembagian kekuasaan yang tidak merata tadi timbul
pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya
kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai.
kepada pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau karena terpaksa.
mempunyai arti bahkan fungsi yang penting bagi masyarakat yang teratur, yakni
kekuasaan diperlukan agar penegakan hukum menjadi efektif, tetapi hukum dalam
kewenangan pengaturan, serta ketaatan dan ketertiban. Namun, bila kita hendak
133
ketertiban merupakan akibat atau tujuan dari sistem kekuasaan itu sendiri. Oleh
karena itu, politik atau hal-hal yang menyangkut politik mencakup tiga unsur
pokok, yaitu:
1. Kekuasaan (power );
2. Kewenangan (authority); dan
3. Ketaatan dan ketertiban (obey and order).341
Dapat ditarik benang merah bahwa politik adalah bentuk kegiatan dari
Kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang
politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan
peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang
orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah
kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekusaaan yang ada pada seseorang atau
pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang
341
H.F. Abraham Amos, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba
Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 423-424.
342
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 78.
343
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 91.
134
memiliki kekuasaan adan wewenang.344 Namun mereka tidak dapat
tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
344
Ibid.
345
Ibid., hal. 92.
346
P. Anthonius Sitepu, Op.Cit., hal. 185.
347
Jo Priastana, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta, hal. 6.
135
atau bentuk konkrit kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, bahkan
saling bergulat.348
fenomena kekuasaan. Ada korelasi yang kuat antara politik (kekuasaan) dan
hukum yang responsif agar terjadi kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, bukan hukum dalam arti lain
hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum
aktif terlibat pada penataan masyarakat (yang paling didambakan). Mungkin saja
ia melaksanakan aktivitas politik ini dengan suatu cara yang berbeda ketimbang
yang dilakukan oleh partai-partai politik atau oleh para pejabat pemerintahan atau
348
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 126.
349
Hendra Nurtjahjo, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan
Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.
350
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 127.
351
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 70.
352
B. Arif Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu Hukum,
Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 10.
136
anggota parlemen, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa aktivitas-
dikatakan bahwa suatu pemisahan secara tajam antara hukum dan politik adalah
adalah proses dari perwujudan ide hukum sebagai demikian (the idea of law as
such). Politik adalah bentuk dari kegiatan manusiawi yang didalamnya berkaitan
dengan penataan masyarakat dari sudut perspektif kebebasan. Arti inilah yang
pembentukan kebijakan dan realisasi kebijakan ini tidak boleh dipandang secara
formal murni. Kebijakan itu mempunyai suatu isi, yang mungkin saja tergantung
(Pemilihan salah satu dari sekian banyak makna dari sebuah norma
legal oleh otoritas legal dalam fungsinya sebagai pengaplikasi hukum
adalah sebuah tindakan penciptaan hukum. Selama pilihan ini tidak
ditentukan oleh norma legal yang lebih tinggi, ia merupakan fungsi
politis.)
353
Ibid., hal. 58.
354
Ibid., hal. 105.
355
Hans Kelsen, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The Mirror Of
Science, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 368.
137
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum adalah arah
kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang
hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai
tujuan negara. Untuk menjabarkan hukum ke dalam politik hukum, setiap negara
harus berpijak pada sistem hukum yang dianutnya yang untuk Indonesia adalah
ialah bahwa politik hukum (legal policy) itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling
Atas dasar hal yang demikian itu, maka interaksi politik dan proses
138
maupun kelompok tertentu. Dengan demikian, interaksi politik dan proses
orientasi baik dari elite politik legislatif maupun eksekutif selalu ditujukan kepada
legalitas. Yang menjadi masalah adalah jika kekuasaan yang dilegalisasi oleh
hukum tersebut bersifat sewenang-wenang atau tidak adil. Hal ini secara
sosiologi, berkaitan erat dengan apa yang disebut legitimasi kekuasaan, yaitu
legalisasi secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa
359
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
360
Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21.
361
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, Op.Cit., hal. 20.
362
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 84.
139
Kekuasaan itu pada hakikatnya merupakan upaya untuk menemukan keadilan dan
hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan negara hukum
adalah asas Wet en Rechtmatigheid van bestuur. Dengan adanya asas demokrasi
artinya.364 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas
(legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi dasar
dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan
363
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 280.
364
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta, hal. 21.
365
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 69.
366
H. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara
Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hal. 133.
140
Nilai adalah konsep alam rasa dan pikiran manusia untuk menjawab
kemanusiaannya dikaitkan dengan hal-hal yang ada di luar dirinya. 367 Nilai yang
pertimbangan tentang apa yang dinilai. 368 Nilai itu berasal dari keyakinan, aspirasi
sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu. Fungsi nilai adalah sebagai
masyarakat, maka hal itu akan dipakai sebagai landasan bagi anggota masyarakat
untuk mencapai atau melakukan sesuatu dan sebagai pedoman untuk tidak
yang berasal dari pola-pola keyakinan dan aspirasi masyarakat itu berwujud
dipenuhi.
yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini
akan membentuk suatu tata nilai yang terinci dan terkait pada tatanan-tatanan
keadaan yang dapat kita ketahui, namun sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum,
367
I Ketut Artadi, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat
Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal. 53.
368
Amsal Baktiar, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 165.
369
M. Irfan Islamy, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, hal. 120.
370
Abu Daud Busroh, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 204-205.
141
nilai tersebut diturunkan lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum,
sehingga nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum.371 Asas hukum
yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dengan demikian asas hukum ini
tersebut. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
tindakan manusia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian nilai
adalah hasil pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri,
maka hal yang mewajibkan manusia bersikap menurut pedoman yang telah
ditentukan, sesungguhnya bukan dipaksakan dari luar diri manusia itu, tetapi
adalah keyakinan dalam diri manusia itu sendiri. Nilai merupakan hasil
kemudian asas-asas hukum tersebut yang menjadi unsur pokok pembentukan isi
norma hukum. Selanjutnya norma hukum yang terumus dalam peraturan hukum
itu menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku dalam hidup menurut
hukum.
Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum adalah keadilan.372 Ciri
atau sifat adil dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut: adil (just), bersifat
hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tidak memihak (impartial), sama hak
371
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 49.
372
Ibid., hal. 53.
142
(equal), layak (fair), wajar secara moral) (equitable), benar secara moral
(righteous). Dari rincian diatas ternyata bahwa pengertian adil mempunyai makna
ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali.373
tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya
akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya
pentingnya keadilan ini. Lalu, keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Pertanyaan
ini antara lain dijawab Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab
Hukum Justianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg
begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal komutatif. Hukum tidak berada
373
Ibid., hal. 218.
374
Ibid.
375
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138.
376
Sukarno Aburaera, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 179-180.
143
akan mengakibatkan kerugian keadilan (summon ius summa iniuria).377 Dengan
demikian untuk mencari solusi atas kasus hukum yang dihadapi tidak semata-mata
diskursus yang melibatkan semua pihak. Artinya, ukuran kesahihan hanya bisa
dinyatakan dalam konsensus untuk mencari ukuran paling universal yang bisa
diterima oleh semua pihak. Dari pencapaian kesepakatan yang rasional inilah
yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan
tanggung jawab. Etika disebut sebagai fisafat moral. Etika dapat dipakai untuk
377
Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 111.
378
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 133.
379
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79.
380
Ibid., hal. 205.
144
Sistem nilai adalah kaitan dan kebulatan nilai-nilai, norma-norma dan
berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada
suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh
karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu
aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini
untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur
Kata moral selalu mengacu pada baik atau buruknya manusia sebagai
manusia.384 Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku.385 Moral adalah hasil
pada benar-salah, dan kepastiannya untuk diarahkan kepada orang lain sesuai
dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan sikap seseorang dalam
381
M. Irfan Islamy, Loc.Cit.
382
H. Zainuddin Ali, Op.Cit., hal. 78.
383
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 117.
384
H. Zainuddin Ali, Loc.Cit., hal. 78.
385
Mohammad Adib, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 207.
386
Muhamad Erwin, Loc.Cit., hal. 117.
145
hubungannya dengan orang lain. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai.
kebaikan. Jika manusia melakukan kebaikan dalam situasi dan kondisi berupa
apapun, ia telah berjalan sesuai kewajibannya dan boleh dikatakan bahwa manusia
dikerjakan dengan kewajiban. Suatu perbuatan dan tingkah laku manusia harus
yang bersifat objektif lewat hukum, secara subjektif lewat respek murni atas
praktek hukum.
Titik sambung antara etika politik dan etika demokrasi adalah di mana
tindakan politik dari seluruh partisipan proses demokrasi (rakyat, wakil rakyat,
philosophy), dengan ilmu politik melahirkan etika politik.389 Dengan kata lain,
etika politik menuntut agar kekuasaan yang berlaku bersifat legal, memiliki
387
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 109.
388
Ibid.
389
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 39.
390
Ibid.
146
Etika politik dalam menyelenggarakan ide dan operasionalisasi
diperlukan dan mana yang dijauhi.392 Etika politik ini juga harus direalisasikan
oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkret dalam pelaksanaan
pemerintahan negara.393
segala cara. Justru hal yang demikian itu membuat hukum dipergunakan sebagai
mekanisme politik di luar kontekstual dan tekstual peraturan hukum dan undang-
undang.
dihadapkan pada dilema dan dikotomi politik yang tidak sadar pikir, melainkan
dengan cara yang tidak benar. Apabila hal serupa ini terus dipraktikan oleh elite
391
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Loc.Cit.
392
Imam Ropii, 2012, Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya), dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 44.
393
M. Dedi Putra, 2012, Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan Pancasila,
dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas
Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 77.
147
politik, tidak menutup kemungkinan menimbulkan anarkisme konflik
politik, serta hasil dari pembuatan kebijakan yang substansi aturan hukumnya
tidak mendidik masyarakat untuk berpolitik secara santun dan benar dalam batas-
menyimpang dari fakta hukum yang sebenarnya. Perilaku yang demikian akan
394
David Robertson, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son, Ltd.,
New York, hal. 138.
148
mewariskan suatu bentuk tipologi masyarakat yang juga tidak menghargai hakikat
dan skala prioritas berhasil. Pengaruh kekuasaan memang menjadi ajang konflik
berbangsa dan bernegara yang baik. Dengan kata lain, demokrasi dipandang
kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik. (good society
tatanan kehidupan berpolitik (teori politik). Idea demokrasi ini disandarkan pada
kebebasan, kesamaan, dan kehendak rakyat banyak yang diletakan sebagai alat
politik. Atau, jika politik diartikan sebagai perilaku kekuasaan atau sikap tindak
395
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 88.
396
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Op.Cit., hal. 16.
397
Ibid., hal. 17.
149
yang sekaligus harus diimbangi dengan ketaatan pada norma hukum yang berlaku,
baik oleh pemerintah maupun oleh warga negaranya tanpa ada pengecualian
Partai politik sebagai sebuah organisasi yang secara sadar didirikan atau
dibentuk didasarkan atas kepentingan yang sama dan sekaligus dirancang dalam
hukum tata negara keberadaan partai politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan,
merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun dan
Partai politik sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi
dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan
398
Suko Wiyono, 2012, Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika Dan
Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi Berdasarkan Pancasila, dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 16.
399
Sudarsono, Op.Cit., hal. 16.
400
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 266.
401
Ibid., hal. 267.
402
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 88.
150
Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan
aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh partai politik. Hal ini mengingat
publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab
itulah persyaratan dan tata cara pendirian partai politik harus diatur dalam
mendirikan sebuah partai politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain
adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini,
maka sejatinya partai politik tidak lain adalah sebuah badan hukum yang
sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan
oleh organ tertinggi partai politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam
403
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 267.
151
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap
404
Ibid., hal. 268.
405
Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.Cit., hal. 96.
152
kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas
karena lebih menonjol sisi sentralisme dan personalisme ketua umum daripada sisi
dalam AD dan ART partai politik. Selain harus demokratik sesuai dengan asas
kedaulatan partai terletak di tangan para anggota, AD/ART partai politik perlu
kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan semua fungsi partai
politik. Suatu partai politik dapat dikatakan sudah melembaga dari segi
tersebut.408
atau organisasi kader dari, oleh dan untuk para anggota atas dasar platform politik
406
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 271.
407
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 33.
408
Ramlan Surbakti, Perkembangan , Op.Cit., hal. 143-144.
153
dan ekonomi tertentu.409 Suatu contoh sederhana sisi sentralisme dan
personalisme ketua umum adalah pada Pasal 9 ayat (3) ART Partai Kebangkitan
-Pengaruh;
-Dasar hukum;
-Konformitas hukum.
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen
umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang
hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang
409
Ramlan Surbakti, Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 34.
410
Philipus M. Hadjon, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 10-11.
154
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-
hubungan hukum.411
hukum publik tersebut dapat dilihat pada UUD. MPR sebagai pembentuk
undang-undang. Subjek jabatan atau subjek hukum dalam pengertian organ negara
ada dua kriteria dalam UUD 1945 yang membedakan, yaitu dari segi hierarki
rakyat yang dipilih oleh mereka. Ini berarti, bahwa juga untuk atribusi dan
411
S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 144.
412
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131.
155
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar
dalam UUD. Wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang
UUD dan bersumber dari DPR bersama-sama Presiden berupa UU, maka ditinjau
Hal ini berarti wewenang tersebut mempunyai legitimasi yang kuat dari
Penerimaan wewenang dalam hal atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern
menunjukan pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau
413
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 70.
414
Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan
Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII Press, Yogyakarta, hal. 94.
156
Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan, atau pengalihan
kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil
kepada lembaga lain itu tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga pemberi
delegasi. Begitu kekuasaan telah dilimpahkan kepada lembaga lain, maka lembaga
pengaturan itu dapat dilakukan dengan adanya perintah yang tegas mengenai
415
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 264.
416
Ibid.
417
Ibid.
418
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation
Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada Upacara
157
(sumber-sumber yang ditemukan dalam artikulasi rumusan teks yang
berbentuk dokumen hukum resmi.)419
dan ART partai politik merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik, sebagai
pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdemensi
moral. Hal tersebut secara tidak langsung terkait dengan bidang hukum dan
teknis.
Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Bertempat Di Bali Sidang Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997), Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 6.
419
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum Dan Argumentasi
Hukum, Bali Aga , Denpasar, hal. 60.
420
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 7.
421
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Loc.Cit.
422
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Loc.Cit.
423
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 61.
424
Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 8.
158
Pasal 16 ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
sama dengan melanggar AD dan ART, serta keputusan tersebut dilakukan tanpa
melalui proses peradilan. Yang dapat menentukan dengan pasti bahwa seseorang
Dengan demikian AD dan ART partai politik harus memuat pengaturan mengenai
partai politik ini secara adil, baik dari segi substansinya maupun dari segi
prosedurnya.
Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari kata re
yang artinya kembali, dan call yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata
ini disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali.
Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik
beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses
159
pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu
dengan hak partai untuk me-recall anggotanya dari kursi DPR, dapat dikatakan
Dengan demikian adanya hal recall ini memberi kesempatan kepada pemerintah
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak
Umum. Undang-undang ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas
Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan
bukan diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
425
Haris Munandar (Ed), dalam Nimatul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 159.
426
Moh. Mahfud MD, Politik . . . , Op.Cit., hal. 254.
427
Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, hal. 144.
428
Nimatul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 160.
160
Royong, karena didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib
sedangkan undang-undang akan mengikat juga secara ekstern partai politik atau
Royong.
Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 huruf
161
Perlu dijelaskan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai penggantian
anggota-anggota menurut pasal 15 ini dengan sendirinya harus
didahului oleh pemberitahuan Pimpinan MPRS DPR-GR sehingga bila
ada selisih pendapat antara anggota yang akan diganti dengan
partai/organisasi massa yang bersangkutan, Pimpinan MPRS/DPR-GR
dapat memberikan jasa-jasa baiknya. Namun demikian dalam taraf
terakhir partai/organisasi massa-lah yang menentukan, dengan
menghindarkan adanya tindakan yang sewenang-wenang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang terakhir
Tahun 1975.
162
Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (1) diganti dengan
Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (6) diganti dengan
yang berhenti antar waktu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985
163
Pertama, PPP di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan
recall untuk Syarifudin Harahap, Tamin Achda, Murtadho Makmur,
Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, Ruhani
Abdul hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun
usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984
hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh pimpinan DPR waktu itu
Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian pada tahun 1995 Sri
Bintang Pamungkas direcall oleh Fraksi Persatuan Pembangunanan
(DPR periode 1992-1998) dengan alasan melakukan dosa politik
(melanggar tata tertib partai). Usulan FPP disetujui oleh ketua DPR
Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, PDI di
bawah kepemimpinan Soenawar Soekawati mengusulkan recalling
untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo,
Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng
(semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI
dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk Marsoesi, Dudy
Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi,
Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 1982-
1987). Ketiga, recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman
Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat
kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada Bambang
Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang melakukan
dosa politik (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi ABRI
pernah merecall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen
Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian
kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.429
recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai
politik untuk menyingkirkan lawan politik di tubuh partainya, tidak lagi diatur
429
Ibid., hal. 161-162.
430
Ibid., hal. 163.
164
Pengaturan recall kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22
Rakyat Daerah, yang diatur pada Pasal 85 ayat (1) huruf c sebagai berikut:
menegaskan bahwa:
165
Dengan demikian pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi
ketentuan pada Pasal 85 ayat (1) huruf c langsung disampaikan oleh Pimpinan
Pengaturan recall pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3)
Pengaturan recall kembali muncul dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h.
Hegemoni partai politik dalam hak recall masih sangat besar. Setidaknya terbukti
pada periode 2009-2014, recall kembali lagi terjadi pada dua orang anggota
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choiri, karena
166
berseberangan dengan kebijakan partainya dalam penggunaan hak angket
tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-
431
Ibid., hal. 168.
167
(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui
pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh
pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan
perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Agung.
Partai Politik tersebut maka persoalan recalling Lily Chadidjah Wahid dan
Effendi Choiri tidak bisa langsung diajukan ke pengadilan negeri tanpa melalui
politik.432 Dengan demikian hegemoni partai politik sangat dominan dalam hal
recall.
Hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota
parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukan. 433 Pranata recall dalam
Perwakilan Rakyat Daerah dikenal dengan nama penggantian antar waktu (PAW).
Kendatipun makna recall tidak sama persis dengan makna penggantian antar
waktu, akan tetapi di dalam penggantian antar waktu terdapat di dalamnya recall
tersebut.434 Pergantian antar waktu pada dasarnya adalah digantinya wakil rakyat
anggota lembaga perwakilan rakyat di tengah masa jabatannya harus diatur secara
432
Ibid., hal. 169.
433
M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 46.
434
Ibid., hal. 48.
168
khusus sebagaimana rekrutmennya. Pemberhentian ini juga harus dikaitkan
Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua
aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu
seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara), hanya
seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil rakyat yang
rakyat, setelah memangku jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif, tidak
435
Bivitri Susanti, 2009, Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR
Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut
Marutnya Konstitusi, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 450-451.
436
R.M. Ananda B. Kusuma, 2006, Tentang Recall, Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.
156-157.
169
corrupt attacks of any active and intriguing clique, and this would tend
to drive public spirited men out of public life.437
Ada yang optimis bahwa dengan penetapan calon terpilih melalui suara
terbanyak akan menciptakan atau setidaknya menggeser tipe wakil rakyat dari tipe
yang partisan ke tipe lainnya, misalnya bisa menjadi penyuara rakyat atau utusan
dari konstituennya, atau deligate, atau sebagai trustee, sebagai wali, yang punya
tipe wakil rakyat yang bisa berkembang, yang bisa diemban, dijalankan oleh
bertindak sebagai trustee atau wali, dia bertindak atas suaranya sendiri untuk
kepentingan nasional, dan kemudian dia mungkin tidak akan diancam oleh sanksi
seperti recall dan sebagainya. Kemudian tipe lainnya adalah tipe utusan atau tipe
deligate, bahwa si wakil rakyat ini harus menyuarakan serta mau tidak mau dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kehendak konstituennya. Dalam hal ini bisa
dilihat bahwa sebenarnya tujuan dari putusan yang diambil oleh wakil rakyat tipe
interest, kemudian suara pembenarannya atau sikapnya itu juga dari konstituen.
437
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 288.
438
Bilal Dewansyah, 2010, Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola
Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke
Politico, dalam Widya P. Setyanto, Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu
2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta Kemanusiaan, Salatiga, hal. 63.
170
Sedangkan yang ketiga, mungkin sekali tipe ini diancam oleh sanksi jika dia tidak
hubungan wakil dengan partai dan fraksinya. Hal ini sangat berbeda dengan
konsep partisipatif. Hal yang terpenting dalam hubugan perwakilan itu adalah
konstituennya. 440 Tipe partisan ini tidak tepat karena akan menghilangkan makna
representasi rakyat.441
Sebenarnya kalau kita hanya beranjak pada sistem suara terbanyak yang
merupakan sub-sistem dari sistem pemilu, asumsi itu mungkin tidak bisa
terwujud. Artinya, kalau hanya beranjak pada sistem pemilu sekarang dengan
penetapan calon terpilih suara terbanyak, maka tipe partisannya masih akan
Ada 3 (tiga) variabel yang bisa dilihat. Pertama, adanya lembaga recall
oleh parpol, atau yang sering disebut dengan lembaga atau pranata yang namanya
439
Ibid., hal. 64.
440
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . , Loc.Cit., hal. 152.
441
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 66.
442
Ibid., hal. 63.
171
, that some form of the device known as the recall would be a
valuable addition to our electoral machinery. It ought not, clearly, to be
a weapon of easy use.443 The recall, so used, is not evidence of a
distrust in representative government, but a means of warning the
legislature that it needs to make itself trusted.444
diputuskan oleh dua lembaga, parpol dan konstituen. Usulan recall atau PAW dari
partai sama sekali tidak perlu ada verifikasi. Hal ini berbeda dengan usulan recall
dari konstituen yang harus diajukan melalui Badan Kehormatan, itu harus ada
sama sekali mutlak, kalau parpol mengatakan bahwa dia di PAW sudah cukup
disahkan dengan Keputusan Presiden untuk DPR Pusat.445 Harus dipahami bahwa
Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang kepada
konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia menjalankan
fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam dengan adanya
pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara kepentingan politik
443
Harold J. Laski, 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London, hal. 320.
444
Ibid., hal. 321.
445
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67.
446
Denny Indrayana, Cerita . . . , Op.Cit., hal. 158.
172
yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan pendapat parpolnya akan
diancam recall.447
anggota parlemen wajib berhimpun ke dalam fraksi. Di tata tertib khususnya bisa
dilihat bahwa fraksi ini berperan dalam hak angket, hak menyatakan pendapat,
Ketika wakil rakyat berbeda suaranya dengan fraksi, dia akan berhadapan secara
resmi dengan suara fraksinya. Hal ini juga suatu hambatan yang sangat
signifikan.448
kepada rakyat karena takut kepada fraksi. 449 Adanya sistem recall menyebabkan
banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyarakan aspirasi
447
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67-68.
448
Ibid., hal. 68.
449
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . ,Op.Cit., hal. 154.
450
Moh. Mahfud MD, Perdebatan . . . , Op.Cit., hal. 167.
451
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 293-294.
173
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu.
Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau
pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau
kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik; bahkan jika pikiran, pendapat
atau tindakan anggota DPR itu sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau
ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
negara niscaya harus melalui partai politik. Suka atau tidak, partai politiklah yang
sebagai jembatan adalah sangat penting, oleh karena di satu pihak kebijakan
pemerintah perlu dijelaskan kepada semua lapisan masyarakat dan di pihak lain
452
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 106.
453
Ramlan Surbakti, Perkembangan , Op.Cit., hal. 141.
454
Miriam Budiardjo, 1981, Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar, dalam
Miriam Budiardjo, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia,
Jakarta, hal. 15-16.
174
Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar partai politik lebih
proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar partai politik tetapi
antar fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi partai akan
bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan
fraksi untuk optimalisasi dan efektifitas, dengan adanya penegasan bahwa bersifat
(pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang tidak
455
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 280.
456
Ibid., hal. 278.
457
Deliar Noer, dalam Nimatul Huda, Dinamika . . . ,Op.Cit., hal. 159-160.
175
selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa anggota DPR
(1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu
prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang
sulit dikontrol oleh publik. Jadi perlu dihadapkan pada mekanisme hukum (proses
peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjung tinggi dan suara yang diberikan
rakyat pada pemilu kepada anggota partai politik yang bersangkutan tidak dapat
berdasarkan hukum.
458
Ibid., hal. 158.
176
BAB IV
bernegara terdiri dari struktur negara dan prosedur kenegaraan. Kebaikan bersama
adalah penerapan martabat manusia dalam cara dan tujuan bernegara. Kondisi ini
dapat terwujud karena rakyat berdaulat atas negara yang dibentuknya itu.459
dan tujuan demokrasi, dan kebaikan bersama adalah penerapan martabat manusia
dalam cara dan tujuan demokrasi. Cara demokrasi adalah struktur dan prosedur
demokrasi, dan tujuan demokrasi adalah kehidupan yang lebih baik, lebih damai,
lebih aman, lebih tertib, lebih adil, lebih sejahtera sesuai dengan martabat
manusia.460
yaitu berupa cara pengambilan keputusan yang demokratis, sedangkan segi isinya
ialah bahwa hasil keputusan yang diambil tersebut juga harus demokratis yang
bermuara pada kepentingan seluruh rakyat, dan bukan bagi atau bermuara pada
459
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 33.
460
Ibid.
177
kepentingan perorangan atau golongan.461 Dengan demikian memahami akan hak
dan kewajiban sebagai warga negara sehingga di dalam berdemokrasi ini juga
diperhatikan asas dan pengertian tata cara bernegara sesuai dengan pandangan
hidup dan falsafah hidup yang senantiasa dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak
tersebut untuk dapat diperintah. Rakyat itu sendiri yang berhak menentukan siapa
dan bagaimana mereka harus diperintah dalam struktur hidup bernegara. Rakyat
berhak sama dalam menarik mandat dari orang-orang yang tidak dapat
yang amat penting untuk demokrasi, karena mereka yang menempati kursi di
sarat dengan kepentingan maka sudah seharusnya lembaga tersebut tidak dapat
ketiadaan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh rakyat terhadap wakilnya yang
461
H. Subandi Al Marsudi, Op.Cit., hal. 87.
462
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 80.
463
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 248-249.
178
duduk di lembaga perwakilan. Ketiadaan mekanisme kontrol disebabkan tidak
pemilu.464 Dengan demikian perlu adanya lembaga yang memiliki tugas utama
sebagai penjaga moral anggota DPR melalui penegakan kode etik yaitu Badan
maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut
dilakukan oleh anggota DPR RI.465 Dengan demikian kode etik ini tentu
dimaksudkan untuk ditaati dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi,
sehingga penegakan kode etik dengan baik akan dapat mencerminkan nilai moral
anggota DPR.
terhadap kinerja sebagian anggota DPR yang buruk, misalnya dalam hal
464
Khairul Fahmi, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem
Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.152.
465
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 87.
179
Pasal 124 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang
180
Dengan demikian tugas BK antara lain:
yang dilakukan; dan memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang
bukti lain.
sanksi berupa teguran tertulis yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
pimpinan alat kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk
181
dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila anggota yang diadukan terbukti
ini diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib DPR.468 Bekerjanya kontrol internal DPR
yang didukung peran aktif masyarakat memiliki arti lebih luas yakni penguatan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan
oleh pimpinan partai politiknya diatur pada Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27
sebagai berikut:
466
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 190-191.
467
JF. Tualaka (Ed.), Op.Cit., hal. 150.
468
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 87.
469
Sarwono Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 66.
182
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan
usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan
belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan
DPR.
anggota DPR barulah usul dan keputusannya terserah pimpinan DPR dan
Presiden. 470 Dengan demikian jika dilihat pelaksanaan tugas-tugas koordinatif dan
protokoler pimpinan DPR maka pimpinan DPR bukanlah atasan para anggota
DPR. Pelaksanan pergantian antar waktu anggota DPR harus lebih dahulu
470
Nimatul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 166.
183
dimusyawarahkan kepada pimpinan DPR dan peresmiannya dilakukan oleh
Presiden.
demikian Presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat ikut campur dalam
oleh Badan Kehormatan DPR diatur pada Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27
sebagai berikut:
471
Ibid., hal. 167.
184
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan
Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang
pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.
sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, tidak menghadiri rapat paripurna
dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan
setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan
anggota DPR dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. Dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR
DPR, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
185
partai politik tidak memberikan keputusan pemberhentian, pimpinan DPR
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
kekuatan hukum mengikat, yang tidak dapat dibatalkan oleh rapat paripurna DPR.
atas usul rakyat. Melalui mekanisme recall, pemilih yang tidak puas terhadap
terkait. Usul pemberhentian anggota DPR sepenuhnya ada pada partai politik.
Dengan demikian hak recall masih didominasi oleh partai politik. Bila merujuk
pada ketentuan Pasal 213 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terbukti bahwa rakyat tidak punya ruang
186
satu ketentuan pun dalam pasal tersebut yang menyediakan ruang bagi rakyat
anggota DPR hanya dimiliki partai politik. Hal ini menjadi salah satu sebab
oligarkhi partai politik tidak dapat ditembus. Persoalan ini yang akhirnya
pemilihnya.
disediakan mekanisme usulan recall oleh rakyat juga dalam rangka menjaga
pemberhentian seorang anggota DPR apabila mereka tidak lagi puas dengan
kinerjanya.
Semua warga negara yang mempunyai hak pilih berhak untuk ikut serta
penyelenggaraan referendum.
tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan petisi rakyat atau bentuk lain. Petisi
tersebut diajukan kepada pimpinan DPR. Anggota DPR yang bersangkutan mesti
187
diproses melalui Badan Kehormatan untuk diperiksa atas masalah yang diajukan
dianggap wajar dan harus tetap dihargai, sepanjang adanya perbedaan itu tidak
menjurus dan membawa akibat negatif, berupa retaknya keutuhan, persatuan dan
kesatuan bangsa. 472 Dengan begitu, setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan
secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan
garis kebijakan partai, tanpa adanya dasar pelanggaran yang jelas. Padahal soal
pemberhentian anggota DPR tidak dapat dilakukan tanpa kriteria dan prosedur
yang jelas mengingat asumsi bahwa ia dipilih secara ketat dalam pemilihan umum
Disamping itu, lembaga recall yang dimiliki oleh setiap partai politik sebagai
472
H. Subandi Al Marsudi, Loc.Cit., hal. 87.
473
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 290.
474
Bivitri Susanti, 2009, Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat (Pembahasan
Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD), dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 433.
188
senjata untuk menarik anggota-anggotanya dari kursi DPR dengan pertimbangan
hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus
berbuat sesuai dengan keputusan negara, dan juga kemampuan pihak-pihak lain
politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga
masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk
475
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 247.
476
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 117.
189
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.477 Sistem dan
pijakan undang-undang.
1945, tidak mengatur recall, sehingga penentuan recall tersebut diserahkan pada
undang, namun pembuat undang-undang tidak dapat keluar dari kerangka atau
prinsip-prinsip yang dikandung UUD 1945. UUD 1945 menganut prinsip suara
disebut hukum privat ditentukan oleh hukum publik. Dengan demikian hukum
mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi
rasa keadilan individu maupun rasa keadilan sosial, serta kepastian hukum.479
477
H. Kabul Budiyono, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung, hal.
27.
478
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 108.
479
Johanes Usfunan , 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Pidato
190
Peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi karena tidak
jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan tujuannya (ambiguous),
atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif), atau terjadi
dipahami, penggunaan istilah yang tidak konsisten, bukan sesuatu yang dapat
sisi (aspek) etikal. Terdapat kaidah-kaidah konkret yang berlaku, yang isinya
untuk hukum relevan. Tentang hal itu pikiran kita terarah pada keadilan. Dengan
ini diajukan bahwa hukum dan etika tidak dipisahkan yang satu dari yang
lainnya.481 Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma.482
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral
(akhlak). Secara keilmuan, etika dapat digolongkan dalam etika deskriptif dan
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10.
480
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill-Co,
Jakarta, hal. 17.
481
B. Arif Sidharta, Meuwissen , Op.Cit., hal. 39.
482
Amsal Baktiar, Op.Cit., hal. 165-166.
191
etika normatif. Etika deskriptif menggambarkan apa yang ditemukan di lapangan
secara empiris, mengenai tingkah laku atau moralitas, seperti adat istiadat dan
anggapan tentang perbuatan baik dan buruk atau patut dan tidak patut sekalipun
belum ada aturannya dalam norma hukum. Etika normatif merupakan rangkaian
keputusan yang menyangkut baik dan buruk, patut dan tidak patut.483
yang sah menurut norma yang berlaku.484 Dengan demikian sumber daya normatif
Partai politik sebagai pemegang hak recall dapat berbuat apa saja atas
atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Jadi yang akan dilakukannya merupakan
suatu pilihan.
sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga
yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat
483
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 86.
484
Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program Pascasarjana
(S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Unuiversitas Gadjah Mada, Yogyakata, hal. 47.
192
dalam konstitusi.485 Meski demikian, tentu, jaminan konstitusional yang lebih baik
itu saja tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan
Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak,
negara.488 Asumsinya adalah bahwa DPR saja yang mewakili rakyat dan
di dan melalui DPR. Di luar itu, lembaga perwakilan rakyat menjalankan fungsi
485
Charles Simabura, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
486
Denny Indrayana, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi
Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 107.
487
Pahmi Sy, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta, hal. 87.
488
H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 5.
489
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 171.
490
Ibid., hal. 173.
193
Di satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan
betapa kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai organ demokrasi. Tapi,
di pihak lain, hal itu juga mengisyaratkan luasnya tuntutan di masyarakat akan
kehadiran lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan
Oleh karena itu, harus disusun strategi agar masyarakat tahu bahwa
DPR adalah sarana untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka. 492
Dalam keadaan seperti ini, interaksi antar warga masyarakat, antara masyarakat
dan negara, dan antar berbagai lembaga negara, harus diatur dalam hukum yang
dibuat bersama oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, dan harus dijalankan oleh
lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan hukum, dan diberlakukan kepada
semua pihak secara sama, tanpa diskriminasi. 493 Terkadang, peran legislatif itu
terlepas dari hubungan politik dan hukum. Hubungan antara politik dan hukum
berjalan dalam dua arah, sehingga kedua aspek hukum dari kehidupan sebagai
491
Ibid., hal. 177.
492
Frank Feulner, Dkk, Peran , Op.Cit., hal. 153.
493
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151-152.
494
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 172.
194
yang berpengaruh pada hukum positif. Pusat perhatian ialah perkembangan
Demokrasi bukan sekadar prosedur yang bebas nilai, tapi memuat etos
referensi, sistem nilai atau cara hidup.496 Demokrasi tidak hanya menyaratkan cara
atau prosedur untuk mencapai tujuan, tetapi juga tujuan akhir itu sendiri. Cara dan
tujuan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam nilai dan praktek
demokrasi.497
nyata, terutama kemakmuran rakyat, lahir dan batin. Kemakmuran lahir bisa
dijawab dengan keamanan dan ekonomi yang tumbuh dan terdistribusi dengan
Dalam paham demokrasi, ada batasan yang jelas antara mereka yang
495
Abdul Latif & Hasbi Ali, Op.Cit., hal. 176-177.
496
Donny Gahral Adian, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal,
Koekoesan, Depok, hal. 88.
497
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 20.
498
Anas Urbaningrum, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat,
Teraju, Jakarta, hal. 160-161.
195
agregasi.499 Oleh karenanya pembuat undang-undang mestilah tunduk pada
yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh hukum. Dengan demikian hak sebagai
Hukum merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat
untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Hukum tertulis adalah alat politik
dan merupakan hal yang universal. Kalau dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai
alat rekayasa sosial, peranan elite politik terhadap hukum adalah sangat besar.
Apabila hukum hanya dijadikan alat kekuasaan maka hukum telah digunakan
499
Amas Mahmud, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi
Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta, hal. 109.
500
Sudarsono, Op.Cit., hal. 22.
501
Merphin Panjaitan, Loc.Cit ., hal. 1.
196
partai politik harus mampu bersikap dan berperilaku dalam berpolitik secara
negara itu mengakui adanya konsep negara hukum. Dalam konsep ini, suatu
karena negara adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum
perwujudan dari kehendak bersama rakyat berdaulat, oleh sebab itu nilai
kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada
197
Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan peranan
negara terlihat. Peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara
Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi
kehidupan, dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau
bebas dan sebagai manifestasi dari kesamaan hak dalam menentukan kehendak
pemerintahan rakyat harus punya tujuan tertentu, yaitu untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan seluruh rakyat, bukan sebagian rakyat, juga bukan sebagian besar
502
I Gde Pantja Astawa & Suprin Naa, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan Teori
Negara, Refika Aditama, Bandung, hal. 122.
503
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 81.
504
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 37.
198
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam
kehidupan demokrasi, kalau tidak didukung oleh tingkah laku politik yang
Semua kewajiban dan semua hak berasal dari hukum, karena semua
kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari
dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan
dan kekuatan moral. Sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum
akan kehilangan supremasi dan ciri independennya. Sebuah tatanan yang tidak
berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak
505
Ibid.
506
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 246-247.
199
4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai Politik
Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan DPR diatur pada Pasal
213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
kabur, atau terlalu luas (delegasi blanko) karena tidak menjelaskan secara rinci
proposionalitas, asas subsider dan asas patut. Di samping itu telah berkembang
pula berbagai jenis ajaran penafsiran yang dikembangkan oleh para ahli hukum.507
507
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran , Op.Cit., hal. 5.
200
spiritualisme.508 Asas subsider mengandung prinsip bahwa penafsiran syaratnya
hanya apabila peraturan itu tidak jelas. Peraturan yang sudah jelas tidak perlu
ditafsirkan lagi.509 Dalam asas patut, penafsiran dilakukan dengan berpegang pada
dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma-norma sosial lainnya. 510
keanggotaan DPR.
sebagai berikut:
disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. Peraturan bukan dibuat dengan
508
Ibid., hal. 6.
509
Ibid.
510
Ibid.
511
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and
London, hal. 63.
512
Ibid.
201
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat
(2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menentukan:
Hukum tata negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dari
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan diatur pada Pasal
manusia setara, sehingga tidak satu orangpun boleh menjadi pemerintah tanpa
manusia, tanpa kecuali. Oleh karena itu negara demokrasi haruslah negara hukum.
513
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 68.
202
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. 514
berbentuk ungkapan atau pernyataan dalam bentuk tulisan ataupun lisan diatur
warga negara yang harus dapat dijamin untuk mengekspresikan diri mereka secara
bebas. Semua hak ini didasari pada prinsip perlakuan yang sama terhadap semua
514
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal 1.
515
Bivitri Susanti, Op.Cit., hal. 461.
516
Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press, Berkeley
& Los Angeles, hal. 139.
203
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara, di
samping memiliki hak dasar sebagai individu, setiap warga negara juga
mempunyai hak politik. Hak politik berupa hak untuk ikut serta baik secara
A democratic system, it has been argued, is one in which the will of the
average citizen has channels of direct access to the sources of
authority. There is, therefore, a right to political power.518
Salah satu materi muatan konstitusi ialah adanya pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang kemudian diterima
sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itulah salah
undang dasar yang dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Karena dicantumkan
dalam konstitusi atau undang-undang dasar maka ia menjadi bagian dari konstitusi
517
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 170.
518
Harold J. Laski, Op.Cit., hal. 115.
519
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.
204
konstitusional sebagai bagian dari konstitusi sekaligus juga berarti pembatasan
terhadap kekuasaan negara.520 Hal itu disebabkan konstitusi yang berasal dari
Konstitusi merupakan upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik
rakyat selaku anggota masyarakat hukum. Kehendak politik ini harus dipahami
formal ke dalam naskah hukum (UUD 1945) merupakan dan menentukan asas
demokratis. 523
adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok individu yang ingin
520
Ibid., hal. 111.
521
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 171.
522
I Dewa Gede Atmadja, 2011, Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis, dalam I
Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi: Perspektif Negara angsa Untuk
Menghadirkan Keadilan Kado Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara
Press, Malang, hal. 13.
523
Muhammad Faisal, Op.Cit., hal. 23-24.
205
Seseorang mempunyai hak apabila terdapat suatu alasan untuk
memberikan kepada orang itu kesempatan meskipun ada yang menentangnya atas
dasar kepentingan umum secara keseluruhan. Bukan hak yang diciptakan oleh
Kewajiban atau tugas merupakan sesuatu peranan yang harus dilaksanakan. Hak
dengan kewajiban karena hak itu menyangkut keadilan, sehingga hak tidak akan
berjalan bila hak tersebut merugikan hak orang lain Hak dan kewajiban adalah
gagasan atas keberadaan hidup dalam kehidupan. Hak dan kewajiban adalah suatu
gagasan yang diikat atau dilahirkan dalam sebuah sistem yang mengikat, yaitu
sistem kehidupan. Pengakuan atas gagasan hak dan kewajiban yang dimuat dalam
sistem merupakan upaya sistem dalam memberi pengakuan timbal balik demi
menjadi junjungan dalam sistem yang menjadi dasar keberlakuan yang bersifat
universal. Hak dan kewajiban berbatas dengan hak dan kewajiban tiap-tiap orang.
peristilahan negara. Negara menjadi sistem yang tidak terbantahkan. Apalagi salah
satu prinsip utama dalam demokrasi adalah one man one vote, sehingga pada
akhirnya keputusan dinilai secara kuantitatif, yaitu sebatas jumlah yang setuju dan
206
tidak setuju.524 Rakyat dapat mengendalikan negara karena rakyat mempunyai
kekuasaan politik, dan oleh karena semua warga negara adalah bagian dari rakyat
yang sama, satu orang satu suara.525 Dengan demikian mekanisme demokrasi
negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak
kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Hormat
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan upaya hukum untuk menjamin bahwa
ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan
pribadi seperti diuraikan diatas itu, maka kiranya tidak berlebih-lebihan jika hak-
524
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 184.
525
Merphin Panjaitan, Op.Cit, hal. 116-117.
526
Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal. 46.
527
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 6.
207
hak asasi manusia itu dalam tinjauan kita tentang sistem pemerintahan demokrasi
negara, bangsa dan masyarakat, oleh karena Pancasila bukan hanya (secara
negara yang berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisah-
pisahkan.529
yang dibuat kemudian oleh penguasa yang lebih rendah atau lex superior derogat
legi inferiori.
Berdasarkan pemaparan uraian diatas bahwa Pasal 213 ayat (2) huruf e
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
208
decrees to be obligatory, so that the observance or application of one
norm necessarily or possibly involves the violation of the other.530
(Konflik ada antara dua norma tatkala salah satu dari norma itu bersifat
wajib tidak sesuai norma lainnya yang juga bersifat wajib, sehingga
ketaatan atau penerapan dari satu norma pasti atau kemungkinan besar
melanggar norma yang lain itu.)
Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara,
dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat
bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkatan
kehendak yang lebih tinggi yang mengatasi semua kehendak yang saling
530
Hans Kelsen, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford, hal. 123.
531
Lon L. Fuller, Op.Cit., hal. 69.
532
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 214.
209
The relation between the norm regulating the creation of another
norm and this other norm may be presented as a relationship of super
and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
determining the creation of another norm is the superior, the norm
crewated according to this regulation, the inferior norm. The legal
order, especially the legal order the personification of which is the
State, is therefore not a system of norms coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms. The unity of these norms is constituted by the
fact that the creation of one norm the lower one is determined by
another the higher the creation of which is determined by a still higher
norm, and that this regressus is terminated by highest, the basic norm
which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity.533
norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret,
sampai kepada yang paling konkret.534 Norma dasar yang merupakan norma
tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma
yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
533
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law . . . , Op.Cit. , hal. 124.
534
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 215.
210
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945.
serta adanya hak-hak dan kewajibannya. Kedudukan sosial terjadi akibat dari
orang yang memilki status tertentu, artinya jika seseorang melakukan hak-hak dan
Dalam hal ini, peranan dan kedudukan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan
karena kesalingtergantungan satu dengan yang lainnya. 537 Setiap orang memilki
peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga antara peranan
535
Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hal. 41.
536
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta
Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 45.
537
Ibid., hal. 46.
211
dan kedudukan tersebut menentukan apa yang diperbuat dan kesempatan-
demikian hubungan sosial yang ada dalam masyarakat adalah hubungan antar
peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.539 Anggota DPR
merupakan pribadi hukum dari jabatan yang memiliki status atau kedudukan
sebagai wakil rakyat yang berperan menyalurkan kepentingan suara rakyat. Yang
dimaksud dengan pribadi hukum dari jabatan yaitu mengenai persoon dalam arti
lahir, dan lenyapnya hak dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan
dan wewenang. 540 Dengan demikian anggota DPR tidak dapat direcall dengan
ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang
dibatasinya hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang
periode masa jabatannya. Penggunaan suatu hak recall oleh partai politik harus
merupakan suatu tindakan menurut hukum, sehingga tidak dapat secara sekaligus
politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap hak konstitusional warga
538
Ibid.
539
H. Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 57.
540
I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 4.
212
negara yang dijamin oleh konstitusi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan
dengan persaingan yang sehat dan fair, menerima kekalahan tanpa kekerasan,
demikian anggota DPR bebas berpendapat dan kewajiban bagi tiap orang agar
menghormati hak orang lain dalam bertukar pikir untuk sebuah gagasan atau
fakta, yang pada gilirannya tiap-tiap orang itu nantinya akan berhak
mengemukakan pendapatnya.
541
Asep Warlan Yusuf, Op.Cit., hal. 219.
213
pendapat tidak terwujud.542 Dengan demikian jelas memacetkan partisipasi politik
rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, yang pada gilirannya akan berakibat
kebebasan itu sendiri berdemensi dua: kebebasan untuk (freedom for) dan
kebebasan dari (freedom from). Dalam demokrasi yang sejati, kebebasan itu
diperuntukkan bagi individu. Itu berarti setiap orang harus dapat merasakan atau
dan/atau paksaan apa saja.543 Dengan demikian anggota DPR sudah sewajarnya
hak politiknya dan tidak ada satu kewenangan lembaga apapun yang dapat
para anggota DPR yang dikendalikan pimpinan partai politik dengan dalih
membuat anggota DPR mengingkari makna dan hakikat demokrasi atau berpihak
kepada kepentingan rakyat namun harus rela untuk segera berhenti sebagai wakil
rakyat.
warga negara dalam proses politik dan pemerintahan, sebab politik dan
542
Mashudi, Op.Cit., hal. 42.
543
Victor Silaen, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata Aksara,
Jakarta, hal. 167.
214
pemerintahan yang terlembagakan secara demokratis pada dasarnya merupakan
saja bahwa keputusan penguasa yang berwenang itu dapat menjadi keputusan
internal partai. Pejabat publik yang merangkap jabatan di partai, ketika partai
dirundung masalah, jelas partai yang harus diutamakan dari tugas jabatan
rakyat.
untuk menjaga agar negara mereka terus maju menuju masyarakat yang lebih
544
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 85.
545
Ibid., hal. 56.
546
Amas Mahmud, Op.Cit., hal. 140-141.
547
Ibrahim R., 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi
Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013 Dengan Tema: Akselerasi
Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada
Rabu 20 Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar, hal. 26.
548
Richard M. Ketchum (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj),
Niagara, Yogyakarta, hal. 195.
215
demokratis, hak-hak asasi manusia, kebebasan-kebebasan demokratis, dan
ketaatan terhadap hukum harus kita bela dan kita kembangkan. 549
Indonesia Tahun 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR
sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat.
Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara
hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan
dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian
hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang.
bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus
tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan
216
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.551 Di dalam
tersembunyi.552 Negara hukum atau The Rule Of Law yang hendak kita
perjuangkan atau tegakan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artiannya
yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati
harmonis. Tanpa aturan hukum, kehidupan masyarakat akan tercerai berai dan
tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial. 554
551
Kusnu Goesniadhie S., 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara Indonesia,
Nasa Media, Malang, hal. 144.
552
Sukarna, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77.
553
Abdul Mukthie Fadjar, 2013, Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum Yang
Bermartabat, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat,
Setara Press, Malang, hal. 5.
554
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 134-135.
217
melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan
bersama.555
Dengan kepastian hukum, setiap perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama
keadilan.556
sendiri. Namun pada titik ini terdapat potensi penyelewengan hukum, yaitu hanya
batasan. Hukum dapat saja digunakan oleh penguasa sebagai alat pembenar,
dibuat secara demokratis. Artinya, normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan
demikian, hukum akan terhindar dari sekadar sebagai pembenar kekuasaan yang
zalim.557
555
Ibid., hal. 135.
556
Ibid., hal. 136.
557
Ibid., hal. 12.
218
Penggunaan suatu hak recall partai politik terhadap anggota DPR dalam
merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. Penyalahgunaan hak recall partai
politik artinya aktivitas partai politik yang timbul dari penggunaan haknya yang
tidak memilki kekuatan hukum karena anggota DPR memiliki hak imunitas yang
ditentukan pada Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 196 Undang-Undang
Daerah.
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menentukan sistem pemilu
sepenuhnya berada di tangan partai politik, tetapi konstituen juga memiliki hak
untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak di-recall ataukah
tidak. Hegemoni partai politik dalam masalah recall anggota partai politik
219
konstituen yang telah memilihnya.558 Dengan demikian hegemoni partai politik
dari dalam melakukan recalling anggota partai politik dari DPR harus sudah
Andai pun hak recall masih akan dipertahankan, hak recall yang terukur pada
untuk tetap menjaga adanya hubungan yang sehat antara yang diwakili dengan
yang mewakili.559
Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27
menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-
Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang diajukan politisi Partai
558
Nimatul Huda, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal. 476.
559
Ibid., hal. 477.
220
DPR dicalonkan partai politik, dengan demikian merupakan representasi partai
politik di DPR.
Pada sisi lain dapat ditanggap secara negatif, dengan pandangan bahwa
dihasilkan oleh DPR. Dalam kondisi yang demikian, tingkat kesalahan yang
Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan
berada ditangan kekuasaan partai politik, maka hak atas partisipasi politik anggota
diwakilinya untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa tidak ada
karena dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.
560
Topane Gayus Lumbuun, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh
DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3-September, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 503-504.
221
BAB V
5.1. Simpulan
222
5.2. Saran
sebagai berikut:
223
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Agustino, Leo, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Astawa, I Gde Pantja & Naa, Suprin, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan
Teori Negara, Refika Aditama, Bandung.
Bakti, Andi Faisal, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang.
Busroh, Abu Daud, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta.
Busroh, Abu Daud & Busro, H. Abubakar, 1991, Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ellwein, Warsito & Subagyo, Hari, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai
Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich
Naumann Stiftung fuer die Freiheit, Jakarta.
Ence, Iriyanto A. Baso, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah
Konstitusi), Alumni, Bandung.
Fatwa, A.M., 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta.
Fuller, Lon L., 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New
Haven and London.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Halevy, Eva Etzioni, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik,
(Malian, Sobirin, Pentj), Total Media, Yogyakarta.
Hart, H.L.A., 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford.
Husein, HM. Wahyudin, & Hufron, H., 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
Indrati S., Maria Farida 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi,
Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta.
Jennings, Sir Ivor, 1967, The Law And The Constitution, University of
London Press Ltd, London.
Kelsen, Hans, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The
Mirror Of Science, University of California Press, Berkeley & Los
Angeles.
___________, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell,
New York.
Laski, Harold J., 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London.
Latif, Abdul, & Ali, Hasbi, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Logemann, J.H.A., 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & Pangkerego, J.C., Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta.
Lutfi, Mustafa, dan Kurniawan, Luthfi J., 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal,
yang Pro Civil Society dan Gender, Setara Press, Malang.
Mahfud MD, Moh., 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta.
____________, 2004, DPR, DPD, Dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH
UII Press, Yogyakarta.
Nazriyah, Rini, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek
Di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta.
Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, 1978, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law, Harper & Row, New York.
Papasi, J.M., 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Philipus, Ng., & Aini, Nurul, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Prasetyo, Teguh, & Barakatullah, Abdul Halim, 2012, Filsafat, Teori, &
Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan
Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Priastana, Jo, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta.
Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Ramses M., Andy, 2009, Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Salman S., H.R. Otje, & Susanto, Anthon F., 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama,
Bandung.
Setiadi, Elly M., & Kolip, Usman, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman
Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan
Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Sinaga, Rudi Salam, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta.
Wahlke, John C., & Eulau, Heinz, 1959, Legislative Behavior A Reader In
Theory And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois.
Zukarnaen & Saebani, Beni Ahmad, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung.
II. Jurnal/Majalah/Makalah
Huda, Nimatul, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Latif, Abdul, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral
Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Saleh, Zainal Abidin, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta.
Shubhan, M. Hadi, 2006, Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak
Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.