PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
ILMU DAN PEMBENTUKAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Penulis:
Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.
Editor:
Murni
Desain Sampul:
Tim Penerbit
Penata Isi:
ayuanitasarii45@gmail.com
Jumlah Halaman:
x + 212 hlm | 15 x 23 cm.
Diterbitkan Oleh:
Damera Press
Jl. Pagujaten Raya No. 9, Pasar Minggu,
Pejaten Timur, Jakarta Selatan
Telp : 081513178398
Email : damerapress@gmail.com
www.damerapress.co.id
ANGGOTA IKAPI
ISBN:
978-623-09-0455-4
Bismillahirahmanirrahim.
v
undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Kementrian Hukum dan HAM). Setelah pertemuan tersebut , penulis
menawarkan kepada Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H. untuk
membantu menyelesaikan penulisan buku ini. Alhamdulillah Dr.
Hendra, di tengah kesibukannya mau menerima tawaran tersebut
bahkan sangat antusias untuk membantu penyelesaian penulisan buku
yang sudah cukup lama terhenti tersebut.
Buku ini selain membahas teori peraturan perundang-undangan
juga membahas mengenai proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Pembahasan mengenai proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mengikuti tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun
2022. Mudah-mudahan buku ini dapat menambah wawasan bagi para
pembacanya, baik dari segi teori perundang-undangan maupun praktik
pembentukan peraturan perundang-undangan. Penulis menyadari
bahwa buku sederhana ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan sangat penulis
tunggu dan hargai agar buku ini menjadi semakin baik di masa
yang akan datang. Dalam setiap tulisan tidak terkecuali naskah ini
penulis selalu menyadari kekurangan bahkan kesalahan. Hal tersebut
sepenuhnya tanggung jawab penulis. Namun, tidak kurang tanggung
jawab para pembaca, untuk mengritik dan mengoreksi kesalahan, agar
pembaca lain tidak tersesat.
Peran penting lain juga ada pada penerbit. Terima kasih atas
kesediaan Penerbit Damera Press mencetak buku ini. Akhirya kepada
Sang Pencipta alam ini kita berserah diri, semoga Allah Swt memberi
petunjuk kepada kita semua. Mudah-mudahan buku yang sangat
sederhana ini bemanfaat bagi para pembacanya dan dapat membantu
dalam memahami Ilmu dan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang meliputi teori mengenai perundang-undangan dan
pembentukan serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Harapan selanjutnya, semoga buku ini dapat memberikan
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 PERENCANAAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 45
BAB 3 PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 71
BAB 4 PEMBAHASAN RANCANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 83
BAB 5 PENGESAHAN ATAU PENETAPAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 113
BAB 6 PENGUNDANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 121
ix
-1-
PENDAHULUAN
1
pada peraturan perundang-undangan. Begitu juga warga negara dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Tanpa ada dasar hukum dalam peraturan
perundang-undangan tindakan-tindakan yang dilakukan tidak akan
mempunyai legitimasi. Dengan demikian, peraturan perundang-
undangan mempunyai peran yang sangat sentral dan strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Karena peran yang sangat sentral dan
strategis itulah, pembentukan peraturan perundang-undangan harus
dilakukan dengan cara dan metode yang baik.
Pembentukan1 peraturan perundang-undangan2 di Indonesia
telah sama tuanya dengan umur negara Republik Indonesia atau
bahkan lebih tua kalau kita mengikuti sejarah negara kita sebelum
Indonesia merdeka. Bagi negara-negara yang dalam menyelenggarakan
pemerintahannya lebih mengutamakan sendi peraturan perundang-
undangan3 boleh dikatakan pembentukan peraturan perundang-
undangan lahir mengikuti lahirnya negara tersebut. Dengan demikian,
pembentukan peraturan perundang-undangan sudah ada sejak negara
Indonesia ada, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudah
Indonesia merdeka.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
selama ini telah diatur dalam berbagai bentuk aturan, baik yang
berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia
1
Dalam praktik orang sering menggunakan istilah ini dengan pembuatan,
penyusunan, atau istilah lainnya. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan istilah resmi atau baku
yang digunakan adalah pembentukan.
2
Istilah ini juga sering digunakan dengan istilah yang berbeda, antara lain
dengan istilah peraturan perundangan, peraturan perundang-undangan atau
perundang-undangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan istilah yang baku adalah
peraturan perundang-undangan.
3
Secara umum, sistem hukum konvensional dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu kelompok sistem hukum Anglo Saxon dan Eropa Continental. Sistem Anglo
Saxon lebih mengutamakan sendi putusan hakim (pengadilan) dalam penegakan
hukumnya. Sedangkan dalam sistem Eropa Continental lebih mengutamakan sendi
peraturan perundang-undangan. Dalam praktik perkembangan ketatanegaraan saat
ini sudah tidak lagi memisahkan kedua sistem tersebut secara ketat, tetapi bahkan
kedua sistem tersebut bercampur dan saling mengisi, serta saling melengkapi.
1 | PENDAHULUAN 3
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun
1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran
Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara;
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia beserta Lampirannya;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun
1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999
tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
5. Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara
lain mengenai tata cara pembahasan Rancangan Undang-Undang
dan Rancangan Peraturan Daerah serta pengajuan dan pembahasan
Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Daerah usul inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Selain ketentuan-ketentuan di atas juga telah dilahirkan Ketetapan
MPRS/MPR yang mengatur mengenai jenis dan tata urutan
peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Jenis dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
b. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
sebagai pengganti Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
5
Lihat Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Lihat bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
6
1 | PENDAHULUAN 5
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 terdiri atas 58 pasal dan 13 bab dengan
sistematika sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-Pasal 4);
- Bab II Asas Peraturan Perundang-undangan (Pasal 5-Pasal 7);
- Bab III Materi Muatan (Pasal 8-Pasal 14);
- Bab IV Perencanaan Penyusunan Undang-Undang (Pasal 15-Pasal
16);
- Bab V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
17-Pasal 31);
- Bab VI Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang
(Pasal 32-Pasal 39);
- Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah
(Pasal 40-Pasal 43);
- Bab VIII Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
44);
- Bab IX Pengundangan dan Penyebarluasan (Pasal 45-Pasal 52);
- Bab X Partisipasi Masyarakat (Pasal 53);
- Bab XI Ketentuan Lain-lain (Pasal 54);
- Bab XII Ketentuan Peralihan (Pasal 55); dan
- Bab XIII Ketentuan Penutup (Pasal 56-Pasal 58).
undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No.
13 Tahun 2022
1 | PENDAHULUAN 7
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004. Undang-undang ini diundangkan dalam Lembaran Negara RI
Tahun 2011 Nomor 82 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5234. Latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 karena undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, masih terdapat kekurangan dan belum dapat
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.9 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan cara dan metode yang pasti,
baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk peraturan perundang-undangan.10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdiri atas 104 pasal dan
13 bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-Pasal 4);
- Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
5-Pasal 6);
- Bab III Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 7-Pasal 15);
- Bab IV Perencanaan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
16-Pasal 42);
- Bab V Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 43-Pasal
63);
- Bab VI Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
64);
- Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang
(Pasal 65-Pasal 74);
- Bab VIII Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 75-Pasal 80);
9
Lihat bagian Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
10
Lihat bagian Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
1 | PENDAHULUAN 9
- Bab VIII Penyebarluasan (Pasal 167-Pasal 187);
- Bab IX Partisipasi Masyarakat (Pasal 188);
- Bab X Ketentuan Peralihan (Pasal 189);
- Bab XI Ketentuan Penutup (Pasal 190-Pasal 191).
12
Lihat Pasal 190 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
1 | PENDAHULUAN 11
Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka
Kreditnya.
Pada saat tulisan ini disusun juga sedang dilakukan kajian untuk
melakukan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011. Badan Pembinaan Hukum Nasional beberapa tahun
terakhir ini membentuk tim penyusunan Naskah Akademis dalam
rangka perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Namun, hasilnya belum final dan tampaknya rencana perubahan
tersebut belum menjadi prioritas karena belum masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).
1 | PENDAHULUAN 13
c. Dasar hukum peraturan perundang-undangan lazimnya
memuat peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar
kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan
pembentukan peraturan perundang-undangan.15
d. Hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dijadikan
dasar hukum. Peraturan perundang-undangan yang sudah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku tidak boleh dijadikan dasar hukum.
Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut juga tidak boleh
dijadikan dasar hukum.
e. Berkaitan dengan perbedaan materi muatan yang harus diatur
dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan. Apabila kita
memahami dengan baik mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan maka kita sangat terbantu untuk menentukan
bahwa suatu masalah tertentu akan menjadi materi muatan jenis
peraturan perundang-undangan tertentu.
f. Agar tercipta ketertiban dan keharmonisan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
15
Lihat Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan angka 28,
Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
1 | PENDAHULUAN 15
a. Konstitusi (UUD) RIS;
b. Undang-Undang (Pasal 127 UUD RIS), ada 2 jenis UU,
yaitu: UU yang dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat (Pasal 127a Konstitusi RIS) dan UU
yang dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama DPR (Pasal
127b Konstitusi RIS). UU yang dibentuk oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan Senat memuat pengaturan
tentang daerah bagian atau bagiannya dan hubungan antara
RIS dengan daerah bagiannya (Pasal 127a Konstitusi RIS).
Sedangkan UU yang dibentuk oleh Pemerintah dan DPR
memuat pengaturan mengenai hal-hal lain yang tidak diatur
dalam Pasal 127a Konstitusi RIS;
c. Undang-Undang Darurat (Pasal 139 Konstitusi RIS). Undang-
Undang Darurat merupakan hak Pemerintah atas kuasa dan
tanggung jawab sendiri menetapkan UU Darurat untuk
mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah Federal yang
karena keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera;
d. Peraturan Pemerintah (Pasal 41 KRIS);
e. Peraturan Menteri.
16
A. Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teori,
Sejarah, dan Perbandingan dengan Beberapa Negara Bikameral, (Edisi Revisi), Setara
Press, Malang, 2015, hal. 44.
1 | PENDAHULUAN 17
g. Peraturan Pemerintah, untuk melaksanakan Peraturan
Presiden, bukan Peraturan Pemerintah sebagaimana huruf d
(bukan PP yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);17
h. Keputusan Presiden, untuk melaksanakan Peraturan Presiden
dalam melakukan atau meresmikan pengangkatan;
i. Peraturan Menteri, untuk mengatur sesuatu yang dibuat oleh
departemen;
j. Keputusan Menteri, untuk melaksanakan atau meresmikan
pengangkatan.
VI. Periode UUD Negara RI Tahun 1945 (Pasca Amandemen I, II, III,
IV)
Pasca Amandemen UUD 1945 (Amandemen I, II, II, dan IV)
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur
dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389). Setelah UU No. 10 Tahun
2014 berusia kurang lebih 10 tahun keluar UU baru sebagai
pengganti UU No. 10 Tahun 2004, yaitu UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 5234). Peraturan perundang-undangan pada periode
UUD Negara RI Tahun 1945 (Pasca Amandemen I, II, III, IV,)
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan18, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan adalah:
a. UUD Negara RI Tahun 1945;
b. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
c. Peraturan Pemerintah;
18
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
1 | PENDAHULUAN 19
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah, yang meliputi:
1) Peraturan Daerah Provinsi, termasuk dalam jenis
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qonun yang berlaku di
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus
serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.19
2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.20
Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud di atas, dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga diakui
keberadaan peraturan perundang-undangan lain dan peraturan
perundang-undangan tersebut mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.21 Termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan ini antara lain, peraturan
yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU,
DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.22
2. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:23
a. UUD Negara RI Tahun 1945;
b. Ketetapan MPR;
19
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
20
Lihat Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
21
Lihat Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
22
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
23
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
24
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
25
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
26
Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
27
Lihat Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
1 | PENDAHULUAN 21
Menteri Hukum dan HAM. Untuk menguji/mengecek
apakah Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat atau tidak,
pertama harus dicek terlebih dahulu apakah Peraturan Menteri
Hukum dan HAM tersebut merupakan perintah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (UU, PP, Perpres) atau
tidak. Kalau tidak ada perintah dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi jangan langsung terburu-buru
menyatakan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tersebut tidak diakui keberadaanya dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Kita harus lakukan tahap kedua,
yaitu dicek apakah Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tersebut dikeluarkan berdasarkan kewenangannya atau bukan.
Pada dasarnya kewenangan penyelenggaraan pemerintah
sudah dibagi habis, lazimnya melalui Peraturan Presiden,
ke kementerian/lembaga, artinya tidak ada satu pun urusan
yang tidak ada kementerian/lembaga yang mengurusinya.
Apabila Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan
Menteri yang mengatur masalah tertentu dan masalah tersebut
bukan merupakan kewenangannya, maka Peraturan Menteri
Hukum dan HAM tersebut tidak diakui keberadaanya dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
dikenal pada setiap periode berlakunya konstitusi di atas
pasti menimbulkan diskusi antara pro dan kontra. Pro dan
kontra tersebut bisa terjadi baik mengenai jenisnya maupun
hierarkinya. Di bawah ini matrik mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan dari tahun 1945-2017.
e. Penetapan Presiden;
f. Peraturan Presiden;
g. Penetapan Pemerintah;
h. Maklumat Pemerintah;
i. Maklumat Presiden;
j. Pengumuman Pemerintah;
k. Peraturan perundang-
undangan yang berasal
dari zaman Hindia Belanda
yang masih tetap berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945,
misalnya Wet, Ordonantie.
Peraturan Menteri.
e. Keputusan Presiden;
f. Peraturan Menteri;
g. Keputusan Menteri;
h. Peraturan Daerah.
1 | PENDAHULUAN 23
No. Periode Dasar Jenis dan Hierarki PUU atau
Konstititusi Hukum Produk Hukum lainnya
1 | PENDAHULUAN 25
2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
Secara umum, keberadaan peraturan perundang-undangan
mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi
umum peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen
hukum suatu negara/pemerintahan untuk mengatur segala dimensi
yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta
penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara/pemerintahan.
Sedangkan fungsi khusus peraturan perundang-undangan adalah
sebagai penentu atau petunjuk mengenai sistem ketatanegaraan yang
dianut oleh suatu negara/pemerintahan. Di bawah ini akan diuraikan
fungsi dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan.
a. Undang-Undang Dasar
1) Sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD Negara RI
Tahun 1945, dapat disimpulkan bahwa fungsi yang diemban
oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 adalah:
a) Menyatakan pembentukan suatu Pemerintahan Negara
Indonesia;
a) Menyatakan penyusunan kemerdekaan kebangsaan
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia.
2) Norma dalam UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan norma
fundamental negara (state fundamental norm) yang merupakan
landasan filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan
bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam peraturan perundang-undangan.
b. Undang-Undang
Fungsi yang diemban oleh Undang-Undang adalah:
1) Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945.
2) Mengatur hal-hal yang diperintahkan oleh UU untuk diatur
dengan UU.
1 | PENDAHULUAN 27
14) Syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR.
15) Susunan dan kedudukan DPRD.
16) Syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPRD.
17) Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa.
18) Macam dan harga mata uang.
19) Keuangan negara.
20) Bank Sentral.
21) Badan Pemeriksa Keuangan.
22) Kekuasaan kehakiman.
23) Wewenang Mahkamah Agung.
24) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung.
25) Susunan, kedudukan, keanggotan Komisi Yudisial.
26) Mahkamah Konstitusi.
27) Syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai
hakim.
28) Warga negara dan penduduk.
29) Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan.
30) Pertahanan dan keamanan.
31) Perekonomian nasional.
32) Pengaturan cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
33) Pengaturan bumi dan air dan kekayaan alam.
34) Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
35) Pemeliharaan fakir miskin.
36) Pengembangan sistem jaminan sosial.
37) Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
1 | PENDAHULUAN 29
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
d. Peraturan Pemerintah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD Negara RI Tahun
1945, fungsi Peraturan Pemerintah adalah untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan menjalankan UU
sebagaimana mestinya adalah bahwa materi muatan Peraturan
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam
UU yang bersangkutan.
e. Peraturan Presiden
Fungsi Peraturan Presiden adalah:
1) Melaksanakan ketentuan UU.
2) Melaksanakan ketentuan PP.
3) Mengatur kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kewenangan Presiden;
4) Mengesahkan/meratifikasi perjanjian internasional tertentu
selain yang harus disahkan/diratifikasi dengan UU.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah berfungsi:
1) Menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.29
2) Menjabarkan lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.30
g. Peraturan Kepala Daerah
Fungsi Peraturan Kepala Daerah adalah:
Lihat Pasal 236 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
29
Daerah.
30
Lihat Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
31
Lihat Pasal 246 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
32
Lihat Pasal 1 angka 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
33
Lihat Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
1 | PENDAHULUAN 31
II. Batang Tubuh
1) Bentuk negara (Pasal 1 ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945);
2) Pemegang kedaulatan (Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945);
3) Dasar negara (Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun
1945);
4) Keberadaan MPR yang meliputi unsur keanggotaan (Pasal
2 UUD Negara RI Tahun 1945) dan wewenangnya (Pasal
3 UUD Negara RI Tahun 1945);
5) Hal-hal yang berkaitan dngan Presiden (Pasal 4 s.d Pasal
15 UUD Negara RI Tahun 1945);
6) Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16 UUD Negara RI
Tahun 1945);
7) Kementerian Negara (Pasal 17 ayat (4) UUD Negara RI
Tahun 1945);
8) Pemerintahan Daerah serta susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat (1)
dan Pasal 18 ayat (7) UUD Negara RI Tahun 1945);
9) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (Pasal 18A
ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945);
10) Pemerintahan daerah khusus dan pemerintahan daerah
istimewa (Pasal 18B ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945);
11) Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun
1945);
12) Susunan DPR, hak DPR dan hak anggota DPR, syarat dan
tata cara pemberhentian anggota DPR (Pasal 19, Pasal
20A ayat (4), dan Pasal 22B UUD Negara RI Tahun 1945);
1 | PENDAHULUAN 33
30) Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (Pasal
33 dan Pasal 34 UUD Negara RI Tahun 1945);
31) Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A s.d. Pasal 36C
UUD Negara RI Tahun 1945);
32) Perubahan UUD (Pasal 37 UUD Negara RI Tahun 1945);
33) Aturan Peralihan (Pasal I s.d. Pasal III UUD Negara RI
Tahun 1945);
34) Aturan Tambahan (Pasal I dan Pasal II UUD Negara RI
Tahun 1945)
b. Materi Muatan UU
Materi muatan Undang-Undang adalah substansi yang berkaitan
dengan:34
1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara RI
Tahun 1945;
2) Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
3) Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional tertentu;
4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
c. Materi Muatan Perpu
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti UU sama dengan
materi muatan UU35 hanya kondisi dan prosesnya saja yang
berbeda.
d. Materi Muatan PP
Materi muatan PP meliputi:
34
Lihat Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
35
Lihat Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
36
Lihat Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
37
Lihat Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
38
Lihat Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
1 | PENDAHULUAN 35
4) Pemberian sanksi pidana berupa ancaman pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).39
39
Lihat Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
40
Lembaga Negara ini adalah lembaga negara berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945 setelah Amandemen I, II, III, IV).
41
Kementerian ini adalah kementerian pada masa Pemerintahan Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (Kabinet Kerja).
1 | PENDAHULUAN 37
23) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
24) Kementerian Sosial;
25) Kementerian Agama;
26) Kementerian Pariwisata;
27) Kementerian Komunikasi dan Informatika;
28) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;
29) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak;
30) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi;
31) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional;
32) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional;
33) Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
34) Kementerian Pemuda dan Olah Raga;
35) Kejaksaan Agung;
36) Kepolisian Negara.
c. Lembaga Pemerintah Nonkementerian
1) Badan Intelejen Negara (BIN);
2) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
3) Badan Ekonomi Kreatif (BEK);
4) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
5) Badan Informasi Geospasial (BIG);
6) Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla);
7) Badan Kepegawaian Negara (BKN);
8) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN);
9) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG);
1 | PENDAHULUAN 39
4) KPPU;
5) Ombudsman RI;
6) LPSK;
7) PPATK;
2. Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
Pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah terdiri
atas pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat provinsi
dan pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat kabupaten/
kota. Pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat provinsi
adalah gubernur (beserta dinas-dinasnya) dan DPRD provinsi.
Saat ini NKRI terdiri atas 34 provinsi, maka pembentuk peraturan
perundang-undangan tingkat provinsi adalah 34 gubernur (beserta
dinas-dinasnya) dan 34 DPRD provinsi. Sedangkan pembentuk
peraturan perundang-undangan tingkat kabupaten kota adalah
bupati/walikota (beserta dinas-dinasnya) dan DPRD kabupaten/
kota. Pada saat tulisan ini disusun jumlah kabupaten di seluruh
Indonesia adalah 415 (tidak termasuk Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu di DKI Jakarta), sedangkan jumlah kota adalah
93 (tidak termasuk 5 kota administrasi di DKI Jakarta). Jumlah total
kabupaten dan kota di Indonesia adalah 508. Dengan demikian,
pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat kabupaten/
kota adalah 508 bupati/walikota (beserta dinas-dinasnya) dan
DPRD kabupaten/kota. Adapun rincian jumlah kabupaten dan
kota di seluruh provinsi di Indonesia adalah:42
a. Provinsi Aceh: 18 kabupaten dan 5 kota.
b. Provinsi Sumatera Utara: 25 kabupaten dan 8 kota.
c. Provinsi Sumatera Barat: 12 kabupaten dan 7 kota.
d. Provinsi Riau: 10 kabupaten dan 2 kota.
e. Provinsi Kepulauan Riau: 5 kabupaten dan 2 kota.
42
Sumber: Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan
Otonomi Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam
Negeri, 2014.
1 | PENDAHULUAN 41
ee. Provinsi Maluku: 9 kabupaten dan 2 kota.
ff. Provinsi Maluku Utara: 8 kabupaten dan 2 kota.
gg. Provinsi Papua: 28 kabupaten dan 1 kota.
1 | PENDAHULUAN 43
a. Untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-Undang;
b. Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional
tertentu;
c. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
d. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam;
e. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menteri Hukum dan HAM.
RUU yang diajukan oleh DPR disiapkan oleh komisi yang
membidangi substansi RUU atau Baleg DPR. Dalam
mempersiapkan RUU, DPR dibantu oleh Badan Keahlian.
2. Persiapan Pembentukan Perpu
3. Persiapan Pembentukan PP
4. Persiapan Pembentukan Perpres
5. Persiapan Pembentukan Perda
45
Sebagaimana kita ketahui bersama, secara tersurat ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Karena sudah secara tersurat, maka menjadi
kewajiban negara untuk mewujudkan Negara Hukum tersebut dengan
melalui pembangunan hukum nasional. Pembangunan hukum nasional
ini harus dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam
Sistem Hukum Nasional (SHN) yang menjamin perlindungan hak dan
kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI Tahun 1945. Sistem Hukum Nasional (SHN) adalah sistem
hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling
menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI Tahun 1945.43
Pembangunan hukum nasional harus serasi dan selaras dengan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan
dalam rangka mewujudkan tujuan negara. The founding fathers kita
telah menetapkan bahwa tujuan negara kita adalah: 1) melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan
kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4)
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan.44 Sebagaimana diuraikan di atas
bahwa pembangunan hukum nasional harus serasi dan selaras
dengan pembangunan nasional, maka pembangunan hukum nasional
juga harus diarahkan dalam rangka: 1) melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan
umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan. Oleh karena itu, roh pembangunan hukum adalah Alinea IV
Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
Pembangunan hukum merupakan tindakan atau kegiatan
yang dimaksudkan untuk membentuk kehidupan hukum ke arah
43
Lihat Penjelasan Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
44
Lihat Alinea IV Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
1. Perencanaan UU
Agar pembahasan dan substansi UU bisa lebih efektif dan efisien
maka proses pembentukan UU harus dilakukan melalui tahapan
perencanaan yang baik. Tahapan perencanaan tersebut meliputi:
a. Penyusunan Naskah Akademis; b. Penyusunan Prolegnas,
yang teridiri atas: Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas
Prioritas Tahunan; c. Penyusunan RUU Kumulatif Terbuka; dan d.
Penyusunan RUU di luar Prolegnas. Di bawah ini diuraikan satu
per satu tahapan perencanaan tersebut.
a. Penyusunan Naskah Akademis (NA)
NA disusun dalam rangka penyusunan RUU. NA adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, RanPerda
Provinsi, RanPerda Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan masyarakat.46 Meskipun namanya
Naskah Akademis tetapi tidak berarti penyusunannya hanya
menjadi monopoli kalangan akademis, kalangan non-akademis
pun bisa menyusun Naskah Akademis asal dalil-dalil, alasan-
alasan atau solusi yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan
secara akademis/ilmiah. Mengapa dalil-dalil, alasan-alasan
atau solusi yang diberikan harus secara ilmiah/akademis?
Peraturan Perundang-undangan.
47
Lihat Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
b. Penyusunan Prolegnas
Dalam rangka memperbaiki kualitas peraturan perundang-
undangan, penyusunan UU dilakukan melalui perencanaan
yang disebut Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen
perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara
terencana, terpadu, sistematis. 48 Prolegnas merupakan
skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.49
Penyusunan Prolegnas dilakukan secara terencana maksudnya
adalah bahwa penyusunan Prolegnas diarahkan pada kegiatan
penyusunan konsep pembentukan UU yang akan dikerjakan
pada kurun waktu tertentu dan bersifat menyelesaikan
kebutuhan hukum ke depan. Dalam melakukan perencanaan
pembentukan UU, acuan utamanya adalah kebutuhan
hukum. Penentuan kebutuhan hukum didasarkan pada Pasal
18 UU No. 12 Tahun 2011. Setelah dilakukan pemetaan
kebutuhan hukum berdasarkan Pasal 18 UU No. 12 Tahun
2011, maka dituangkanlah ke dalam Prolegnas Jangka
Menengah. Prolegnas Jangka Menengah menjadi dasar utama
atau parameter penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan (1
tahunan).
48
Lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
49
Lihat Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
50
Pasal 20 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan bahwa “Penyusunan Prolegnas dilaksanakan
oleh DPR dan Pemerintah.” Dengan Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dinyatakan
bahwa Pasal 20 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “penyusunan Prolegnas dilaksakan oleh DPR, DPD, dan
Pemerintah.”
51
Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
52
Lihat Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
53
Lihat Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
54
Sampai saat ini masih ada beberapa Ketetapan MPR yang memerlukan tindak
lanjut untuk disusun UU tetapi belum dilaksanakan, antara lain: a) Ketetapan MPR
RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
b) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
c) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan;
d) Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
55
Berdasarkan Putusan MK No. Register 92/PUU-XI/2013, Pasal 18 huruf g
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “rencana
kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD”.
Peraturan Perundang-undangan.
57
Dalam praktik, sering terjadi RUU hasil panitia antar kementerian/lembaga
(PAK) belum sepenuhnya menjadi RUU yang disepakati oleh kementerian/
lembaga. Ketidaksepakatan itu tampak pada waktu RUU tersebut dibahas dalam
proses pengharmonisasian di Kementerian Hukum dan HAM. Idealnya, RUU yang
dikirim oleh pemrakarsa untuk proses pengharmonisasian ke Kementerian Hukum
dan HAM sudah selesai dan tidak ada lagi perdebatan yang prinsipiil. Namun,
59
Berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 DPD adalah pembentuk
UU juga.
60
Lihat Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
61
Bandingkan dengan kewenangan Presiden untuk membentuk Perppu yang
dituangkan dalam Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 dengan syarat “dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Penulis berpendapat bahwa “keadaan luar
biasa, keadaan konflik, atau bencana alam” termasuk dalam kriteria “dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa” yang harus mendapatkan penanganan yang
segera tanpa melalui proses pembentukan UU yang normal. Apabila ditempuh
melalui prosedur pembentukan UU yang normal, jangan-jangan kondisi “tidak
normal” tersebut sudah berubah menjadi normal, sudah tidak genting dan
memaksa, keadaan luar biasanya sudah menjadi biasa, keadaan konfliknya sudah
selesai, bencana alamnya sudah bisa diatasi. Oleh karena itu, dalam hal diperlukan
pengaturan untuk mengatasi “keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam” sebaiknya jangan ditempuh proses penyusunan UU melalui jalur biasa/
normal tetapi ditempuh melalui jalur “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”
atau jalur Perppu.
62
Lihat Pasal 24 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
63
Lihat Pasal 30 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
64
Tim Pengarah selama ini terdiri atas wakil dari Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/Bappenas.
65
Lihat Pasal 32 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
1. Penyusunan Undang-Undang
Inisatif (prakarsa) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU)
dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), atau Presiden yang disusun berdasarkan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU yang diajukan
disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
a. RUU Inisiatif DPR
RUU inisiatif DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, Baleg DPR atau DPD. Dalam mempersiapkan
RUU, DPR dibantu oleh Badan Keahlian. Pengharmonisasian,
71
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU inisiatif DPR
dikoordinasikan atau dilakukan oleh Baleg DPR. Namun,
anggota DPR yang tidak masuk dalam Baleg sering
mempermasalahkan kenapa Baleg yang mengharmonisasikan
RUU inisiatif DPR padahal anggota DPR yang duduk di komisi
tetapi tidak duduk di Baleg itu sama posisinya dengan anggota
DPR yang duduk di Baleg.
Dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan
RUU di luar Prolegnas. Yang dimaksud dengan keadaan
tertentu adalah:
1) Untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-Undang;
2) Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional
tertentu;
3) Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
4) Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik,
atau bencana alam;
5) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu
69
Biasanya RUU hasil kesepakatan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi tersebut diberi paraf oleh wakil atau pimpinan kementerian/
lembaga yang terkait. Pemberian paraf semacam ini tidak diatur, namun hal ini
menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa rumusan yang dihasilkan
memang sudah disepakati bersama.
70
Sebelum RUU tersebut disampaikan kepada Presiden, Menteri Sekretaris
Negara mengirimkan RUU tersebut kepada menteri-menteri terkait untuk
mendapatkan paraf persetujuan. Permintaan paraf kepada para menteri terkait
juga tidak diatur, tetapi hal semacam ini juga menjadi penting bahwa RUU yang
disampaikan kepada Presiden sudah disepakati oleh menteri-menteri terkait.
72
Dikutip dari Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum. Badan Penyediaan
Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007 ,
hlm 13.
73
Lihat: Pasal 45 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor
76
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2017, hlm. 135.
83
Presiden guna mendapatkan persetujuan bersama77. Dalam Undang-
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal
1 angka 2 dijelaskan peraturan perundang-undangan ialah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum dan mengikat secara umum
yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
diberikan kewenangan melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan78. Peraturan perundang-undangan
menurut Soehino yaitu sebuah proses atau tata cara pembentukan
peraturan perundangan negara dari jenis dan tingkatan paling rendah
ke tingkatan paling tinggi, yang didapatkan secara atribusi dan delegasi
dari kekuasaan perundang-undangan hingga seluruh produk peraturan
perundang-undangan79.
Hadirnya undang-undang dalam suatu negara tentu memiliki
kedudukan yang penting dan strategis, baik ditinjau dari fungsi
Undang-Undang, konsepsi negara hukum, dan hirarki norma hukum
yang berlaku. Di dalam negara hukum Undang-Undang merupakan
salah satu bentuk formulasi norma hukum dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Tentunya dalam pembentukan Undang-Undang yang ideal harus
berpatokan terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik (beginselen van behoorlijke wetgeving) dan juga
berlandaskan pada asas-asas hukum umum (algemen rechtsbeginselen)
yang di dalamnya memuat asas negara berdasar atas hukum (rechstaat)
pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi negara serta kedaulatan
rakyat. Negara hukum menjadi dasar yang berlaku secara universal
dalam bekerjanya sistem hukum dan pemerintahan80.
77
Dermina Dalimunthe, “Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,Jurnal Al-Maqasid,
Vol.4 No.2, 2018, hlm. 59.
78
Lihat; Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
79
Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan,
Liberty,Yogyakarta,1981, hlm. 2.
80
Philipus, M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam
82
Zahratul Idami, Kewenangan DPD setelah adanya Keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012, (Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 63 Th. XVI,
Fakultas Hukum Universitas Siah Kuala, Darusalam, Banda Aceh, Agustus 2014).
hlm. 304.
83
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
84
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
85
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
86
Lihat: Pasal 67 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
87
Lihat: Pasal 68 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
88
Lihat: Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
89
Lihat: Pasal 69 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
90
Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
91
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
92
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
93
Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
94
Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
95
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 atas Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
97
Lihat: Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
98
., Maria Farida S. Indrati 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan
Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 93.
99
Lihat: Pasal 52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
100
Ibid.
101
Lihat: Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
102
Ibid.
103
Lihat: Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
104
Lihat: Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf a.
105
Lihat: Pasal 52 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor
Ibid.
107
109
Lihat: Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
110
Lihat: Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
111
Lihat: Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
112
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2015
tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan
Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
113
Lihat: Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20
Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya
diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 40 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian,
Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
114
Lihat: Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
115
Lihat: Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
113
Presiden mengesahkan RUU tersebut dalam jangka waktu 30 hari
sejak RUU tersebut mendapatkan persetujuan bersama dengan
membubuhkan tanda tangan dalam naskah RUU tersebut.116
Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatangani RUU yang
telah mendapatkan persetujuan bersama tersebut, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan tanpa ditandatangani Presiden.117
Kalimat pengesahannya adalah: “Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar118
Negara RI Tahun 1945.” Konstruksi Presiden tidak menandatangani
sebetulnya tidak pas karena RUU tersebut sudah melalui proses
pembahasan bersama antara DPR dan menteri yang mewakili Presiden.
Menteri yang mewakili Presiden disebutkan dalam Surat Presiden
(Surpres) penyampaian RUU tersebut kepada DPR. Menteri yang
mewakili Presiden biasanya terdiri atas menteri teknis yang tugas dan
fungsinya terkait dengan materi atau substansi yang diatur dalam RUU
dan Menteri Hukum dan HAM. Melihat pada komposisi semacam ini
maka praktis Menteri Hukum dan HAM selalu terlibat dalam setiap
pembahasan RUU di DPR.
Pengesahan memiliki 2 (dua) makna yakni “Pengesahan secara
Materil” dan Pengesahan Secara Formil. Pengesahan secara materil
dimaknai jika suatu Rancangan Undang-Undang telah disahkan menjadi
Undang-Undang, maka secara tidak langsung telah mendapatkan
pengesahan secara materil oleh lembaga legislatif. Terhadap Rancangan
Undang-Undang yang telah disahkan menjadi Undang-Undang tidak
116
Lihat: Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
117
Lihat: Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
118
Lihat: Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
120
Ibid.
121
Ibid.
121
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). UUDS 1950 menggunakan
istilah pengundangan. Istilah pengundangan dapat disepadankan
dengan istilah asing promulgation atau afkondiging123.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUDNRI 1945) tidak ditemukan ketentuan yang demikian.
Namun, pada perubahan kedua UUDNRI 1945 dimuat dalam Pasal
20 ayat (5) bahwa dalam hal suatu rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan124.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pengundangan diatur dalam Bab IX, Pasal 81
sampai dengan Pasal 87125. Sebagai contoh dalam Lampiran II angka
150-155 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan). Selain itu juga diatur lebih lanjut
dalam Pasal 147 sampai dengan Pasal 155 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Perpres 87 Tahun 2014)126, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
123
Andi Yuliani, Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan,
dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 14 Nomor 04, Desember 2017, hlm.
431-432.
124
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Perubahan Kedua).
125
Lihat: Pasal 81 sampai dengan Pasal 87 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
126
Lihat: Pasal 147 sampai dengan Pasal 155 Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
127
Lihat: Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
128
Black’s Law Dictionary, sebagaimana dikutip pada tulisan Gunardi SA
Lumbantoruan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pengundangan Peraturan
Lembaga Negara Independen di Indonesia (Analisis Terhadap Polemik Pengundangan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018), dalam Jurnal Rechts
Vinding Volume 9 Nomor 3, Desember 2020, hlm. 410.
6 | PENGUNDANGAN 123
peraturan perundang-undangan. Secara konsep pengundangan
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan daya ikat dan daya
laku peraturan perundang-undangan.
Setelah suatu peraturan diundangkan, maka berlaku fiksi hukum
yang menyatakan indereen wordt geacht de wet te kennen (setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang). Oleh karena itu, maka tidak
dibenarkan menolak penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu
akan adanya peraturan tersebut”129. Meskipun hal ini hanyalah suatu
fiksi, namun disini dapat dilihat daya ikat dari pengaturan tersebut.
Daya ikat suatu peraturan lahir ketika suatu peraturan itu telah
diundangkan, karena pengundangan merupakan bentuk pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri. Negara harus memastikan
bahwa peraturan yang dibuatnya untuk mengatur masyarakat demi
mencapai cita-cita bersama harus diketahui lebih dahulu oleh
masyarakat sebelum diberlakukan. Idealnya, setiap peraturan dibuat
dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat,
dan kesepakatan itulah yang merupakan bentuk pengakuan negara
terhadap kedaulatan rakyat. Namun perkembangan sistem perundang-
undangan kita, telah menimbulkan banyaknya jenis-jenis peraturan
pelaksanaan yang ditetapkan secara sepihak tanpa persetujuan wakil
rakyat. Pengundangan merupakan solusi untuk mengakomodir
perkembangan sistem perundang-undangan kita yang tetap menjaga
pengakuan terhadap kedaulatan rakyat itu.
Selain itu, pengundangan sebuah peraturan perundang-undangan
memiliki makna daya laku. Diundangkannya Peraturan Perundang-
undangan dalam lembaran resmi, maka setiap orang dianggap telah
mengetahuinya dan secara sah berlaku dan mengikat untuk umum.
Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan didasari oleh
keabsahan secara formil dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Keabsahan ini juga disebut dengan “Daya Laku” (validitas). Daya laku
ini ada apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau
lembaga yang berwenang membentuknya130. Dalam konsep hukum
http://www.miftakhulhuda.com/
129
131
Wiwin Sri Rahyani, Pencabutan terhadap Perpu Pasca Penolakan dari DPR RI
dalam Sistem Hukum Nasional, Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2011.
132
Lihat: Pasal 82 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
6 | PENGUNDANGAN 125
1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Presiden; dan
4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
6 | PENGUNDANGAN 127
Peraturan Perundang-undangan di bidang pembayaran tunjangan
kinerja di berbagai kementerian/lembaga
Dalam penutupnya sering dinyatakan, “Peraturan Presiden ini
mulai berlaku terhitung sejak tanggal … (berlaku surut) sejak
tanggal diundangkan.
4. Penetapan saat mulai berlakunya kepada peraturan perundang-
undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu
kodifikasi, atau kepada peraturan perundang-undangan lain yang
lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi, sebagai
contoh:
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
6 | PENGUNDANGAN 129
boleh dimuat namun harus dikecualikan untuk ketentuan pidana jika
peraturan tersebut memuat ketentuan pidana.
Selain itu dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bisa menerapkan pemberlakuan surut atas
peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis,
berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak bisa diberlakusurutkan;
2. Rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap
tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu
yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan; dan
3. Awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan
ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan
perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat,
misalnya, saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut
tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan
peraturan perundang-undangan lainnya.
6 | PENGUNDANGAN 131
tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, atau Berita Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
atau Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Tata cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia:
a. Surat pengajuan permohonan pengundangan peraturan
perundang-undangan harus dibubuhi tanda tangan basah
serta diterakan cap dinas jabatan;
b. 2 (dua) naskah asli Peraturan Perundang-undangan yang
diketik dengan:
1) jenis huruf bookman old style;
2) ukuran huruf 12 (dua belas); dan
3) kertas F4.
c. 1 (satu) soft copy naskah asli (sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran)
d. Permohonan pengundangan peraturan perundang-undangan
yang sudah lengkap dicatat dalam register dan diperiksa
kesesuaian naskah asli dengan soft copy. Selanjutnya, jika
terdapat perbedaan antara naskah asli dan soft copy, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan berkoordinasi dengan
kementerian atau lembaga untuk menyampaikan naskah asli
dan soft copy yang sama. Apabila, tidak terdapat perbedaan
antara naskah asli dan soft copy yang disampaikan, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan menyampaikan
naskah asli peraturan perundang-undangan kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk ditandatangani.
e. Selanjutnya, Naskah asli peraturan perundang-undangan
yang telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM
diundangkan dengan mencantumkan nomor dan tahun
6 | PENGUNDANGAN 133
2. Tata cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia:
a. Surat pengajuan permohonan pengundangan peraturan
perundang-undangan harus dibubuhi tanda tangan basah
serta diterakan cap dinas jabatan;
b. 2 (dua) naskah asli Peraturan Perundang-undangan yang
diketik dengan:
1) jenis huruf bookman old style;
2) Ukuran huruf 12 (dua belas); dan
3) Kertas F4.
c. 1 (satu) soft copy naskah asli (sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran)
d. Permohonan pengundangan peraturan perundang-undangan
yang sudah lengkap dicatat dalam register dan diperiksa
kesesuaian naskah asli dengan soft copy. Selanjutnya, jika
terdapat perbedaan antara naskah asli dan soft copy, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan berkoordinasi dengan
kementerian atau lembaga untuk menyampaikan naskah asli
dan soft copy yang sama. Apabila, tidak terdapat perbedaan
antara naskah asli dan soft copy yang disampaikan, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan menyampaikan
naskah asli peraturan perundang-undangan kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk ditandatangani.
e. Selanjutnya, Naskah asli peraturan perundang-undangan
yang telah ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan diundangkan dengan mencantumkan
nomor dan tahun Berita Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
f. Setelah diundangkan, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan menyampaikan naskah asli peraturan perundang-
undangan yang telah diundangkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia kepada pemrakarsa peraturan perundang-undangan.
6 | PENGUNDANGAN 135
yang akan ditempatkan dalam pada Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
dan Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia tidak terjadi tumpang tindih, disharmoni,
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
setingkat, lebih tinggi, dan/atau putusan pengadilan.
133
Wiwin Sri Rahyani, Pencabutan terhadap Perpu Pasca Penolakan dari DPR RI
dalam Sistem Hukum Nasional, Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2011.
134
Ibid.
135
Ibid.
6 | PENGUNDANGAN 137
Berita Negara Republik Indonesia., atau Lembaran Daerah dan Berita
Daerah Jika suatu Peraturan Perundang-undangan tidak diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
atau Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, maka Peraturan
Perundang-undangan tersebut tidak mempunyai daya ikat dan daya
laku.
BUKU:
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Kebudayaan dan Kebudayaan Konstitusi.
Malang: Intrans Publishing, 2017.
-----------------------, Konstitusi Keadilan Sosial, Serial Gagasan Konstitusi
Sosial Negara Kesejahteraan Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2018.
-----------------------, Teori Hierarki Norma Hukum. Jakarta: Penerbit
Konstitusi Press (Konpress) bekerja sama dengan Jimly School of
Law and Government, Cetakan kedua, 2021.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional 2015-2019, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional, Jakarta: 2012.
Badan Perencaanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Strategi
Nasional Reformasi Regulasi: Mewujudkan Regulasi yang Sederhana dan
Tertib, Jakarta: 2015.
Balance, Tonny, and Andrew Taylor, The Principles and Best Practice of
Economic Regulation. Stone and Webster Consultation (tanpa tahun).
139
Junaidi, Muhammad, Hukum Kosntitusi Pandangan dan Gagasan Modernisasi
Negara Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Mahfud M.D., Moh., Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,
Cetakan ke-7, 2017.
Mas, Marwan, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Rajawali
Pers, 2018.
Palguna, I Dewa Gede, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complaint)
Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusi Warga Negara.
Jakarta: Sinar Grafika, (2013).
Putera, Astomo, Ilmu Perundang-undangan, Teori dan Praktek di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan
Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah
University Press, Surakarta 2002.
----------------------, Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003.
R., Baldwin and Cave, Understanding Regulation - Theory, Strategy and
Practice, Oxford University Press, 1999.
S. Attamimi, A. Hamid, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita
I – Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta 1990.
Seidman, Ann, Robert B. Seidman and Nalin Abeyrkere, Penyusunan
Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang
Demokratis. (Translation Edition), Jakarta: ELIPS, 2001.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Jakarta:
Kanisius, 1998.
Supancana, Ida Bagus Rahmadi, Berbagai Perspektif Harmonisasi Hukum
Nasional dan Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit Univeristas
Katolik Atma Jaya, 2012.
----------------------------------------, Sebuah Gagasan tentang Grand Design
Reformasi Regulasi Indonesia. Center for Regulatory Research (Pusat
JURNAL:
Marzuki, Laica “Membangun Undang-Undang Yang Ideal”, Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 4 No.2, Juni 2007.
Natabaya, HAS.”Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-
undangan (Suatu Pendekatan Input dan Output)”, Jurnal Legislasi
Indonesia,Volume 4 No. 2, Juni 2007.
Setiadi, Wicipto, “ Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk
Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-undangan”. Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 4 Nomor 2, Juni 2007, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM RI.
---------------------. “Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan
Supremasi Hukum (Development of Law in Order to Enhancement
Supremacy of Law)”, Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, Vol. 1 Nomor 1, April 2012, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Kementerian Hukum dan HAM.
----------------------, “Simplifikasi Peraturan Perundang-undangan Dalam
Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Simplification of
Regulations in Order to Support Ease of Doing Business)”. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 7, No. 3,
Desember 2018.
---------------------, “The Urgency of Regulatory Reform in Order to
Support Indonesia’s National Development”, Jurnal Magister
Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Volume 7, No.
4, December 2018.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
-------------------------, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 dan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2022 .
-------------------------, Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
145
LAMPIRAN 147
148 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 149
150 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 151
152 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 153
154 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 155
156 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 157
158 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 159
LAMPIRAN 161
162 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 163
164 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 165
166 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 167
168 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 169
170 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 171
172 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 173
174 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 175
176 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 177
178 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 179
180 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 181
182 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 183
184 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 185
186 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 187
188 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 189
190 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 191
192 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 193
194 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 195
196 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 197
198 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 199
200 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 201
202 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 203
204 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 205
206 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 207
208 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 209
210 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BIODATA PENULIS
211
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM (2010-2014). Sebagai Komisaris PT Nindya Karya (Persero),
tahun 2009-2014, Komisaris PT Adhi Karya (Persero), 2014-Juli 2020.
Kursus/pelatihan yang pernah diikuti: Legislative Drafting di Belanda,
tahun 1985-1986; Program Stage pada Van Vollenhoven Institute,
Leiden University, Belanda, tahun 1996; Training Seminar Hukum
Internasional dan Hukum Dagang Internasional, Kerja sama The
Australian Attorney General’s Department – Direktorat Jenderal Hukum
dan Perundang-undangan, Jakarta 10-14 April 2000. International Law
Course, Monash University, Melbourne, Australia, Mei-Juni 2000;
Disruption Training, Reformulating Strategy in the Era of Disruption, Rumah
Perubahan Rhenald Kasali, 17-18 Mei 2017; Pelatihan Reviewer
Penelitian Angkatan XVII 23-27 September 2019. Diklat penjenjangan
yang pernah diikuti adalah: Diklat Pra Jabatan Tingkat III, Pusdiklat
Pegawai Departemen Kehakiman, tahun 1984, Diklat SPAMA Angkatan
XVII, Pusdiklat Departemen Kehakiman, tahun 1997, Diklat SPIMNAS
Tingkat II, Angkatan V, LAN, tahun 2002, Diklat Pimpinan Tingkat
I, LAN, tahun 2005. Selain itu, sebagai penulis buku dengan judul:
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan,
Penerbit Rajawali Pers, 1994. Menjadi penulis dalam beberapa book
chapter dan artikel dalam beberapa jurnal, baik nasional maupun
internasional dan surat kabar.