Anda di halaman 1dari 223

ILMU DAN PEMBENTUKAN

PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
ILMU DAN PEMBENTUKAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.


Judul Buku:
Ilmu dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Penulis:
Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.

Editor:
Murni

Desain Sampul:
Tim Penerbit

Penata Isi:
ayuanitasarii45@gmail.com

Edisi Pertama, Oktober 2022


Edisi Kedua, Desember 2022

Jumlah Halaman:
x + 212 hlm | 15 x 23 cm.

Diterbitkan Oleh:
Damera Press
Jl. Pagujaten Raya No. 9, Pasar Minggu,
Pejaten Timur, Jakarta Selatan
Telp : 081513178398
Email : damerapress@gmail.com
www.damerapress.co.id

ANGGOTA IKAPI

ISBN:
978-623-09-0455-4

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya
dalam bentuk apapun tanpa seizin dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah Swt


akhirnya dapat diselesaikan penulisan buku dengan judul Ilmu dan
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini. Sholawat dan salam
penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad
saw, yang telah memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia dan
membawa ummatnya dari alam kegelapan ke alam yang penuh ilmu
dan pengetahuan. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan
dukungannya sehingga dapat menyelesaikan penulisan buku ini.
Sebetulnya penulisan buku ini sudah dimulai sebelum terjadinya
pandemi covid-19, namun karena kesibukan dan alasan pandemi
covid-19 penulisannya tidak dapat diselesaikan bahkan terhenti sama
sekali. Pada awal tahun 2022 di suatu acara penulis bertemu dengan
Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H. (Perancang Peraturan Perundang-

v
undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Kementrian Hukum dan HAM). Setelah pertemuan tersebut , penulis
menawarkan kepada Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H. untuk
membantu menyelesaikan penulisan buku ini. Alhamdulillah Dr.
Hendra, di tengah kesibukannya mau menerima tawaran tersebut
bahkan sangat antusias untuk membantu penyelesaian penulisan buku
yang sudah cukup lama terhenti tersebut.
Buku ini selain membahas teori peraturan perundang-undangan
juga membahas mengenai proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Pembahasan mengenai proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mengikuti tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun
2022. Mudah-mudahan buku ini dapat menambah wawasan bagi para
pembacanya, baik dari segi teori perundang-undangan maupun praktik
pembentukan peraturan perundang-undangan. Penulis menyadari
bahwa buku sederhana ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan sangat penulis
tunggu dan hargai agar buku ini menjadi semakin baik di masa
yang akan datang. Dalam setiap tulisan tidak terkecuali naskah ini
penulis selalu menyadari kekurangan bahkan kesalahan. Hal tersebut
sepenuhnya tanggung jawab penulis. Namun, tidak kurang tanggung
jawab para pembaca, untuk mengritik dan mengoreksi kesalahan, agar
pembaca lain tidak tersesat.
Peran penting lain juga ada pada penerbit. Terima kasih atas
kesediaan Penerbit Damera Press mencetak buku ini. Akhirya kepada
Sang Pencipta alam ini kita berserah diri, semoga Allah Swt memberi
petunjuk kepada kita semua. Mudah-mudahan buku yang sangat
sederhana ini bemanfaat bagi para pembacanya dan dapat membantu
dalam memahami Ilmu dan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang meliputi teori mengenai perundang-undangan dan
pembentukan serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Harapan selanjutnya, semoga buku ini dapat memberikan

vi ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


sumbangan ke arah terbentuknya peraturan perundang-undangan yang
baik. Amin ya Rabbal Alamin dan salam sehat selalu untuk kita semua.

Jakarta, Desember 2022


Penulis,

Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.

KATA PENGANTAR vii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 PERENCANAAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 45
BAB 3 PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 71
BAB 4 PEMBAHASAN RANCANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 83
BAB 5 PENGESAHAN ATAU PENETAPAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 113
BAB 6 PENGUNDANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 121

DAFTAR PUSTAKA 139


LAMPIRAN 145
BIODATA PENULIS 211

ix
-1-
PENDAHULUAN

A. Sejarah Pengaturan Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945, Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Konsekuensi dengan dianutnya
Negara Hukum, maka segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan
harus didasarkan pada hukum. Pengertian hukum biasanya mengacu
pada hukum yang tertulis, baik dalam bentuk peraturan perundang-
undangan maupun dalam bentuk produk hukum lain selain peraturan
perundang-undangan, atau hukum yang tidak tertulis, baik dalam
bentuk asas-asas umum pemerintahan yang baik maupun bentuk
hukum tidak tertulis lainnya, seperti norma kebiasaan, adat istiadat,
norma sopan santun, dan lain sebagainya. Titik berat bahasan dalam
tulisan ini adalah hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan negara hukum ini,
maka segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan

1
pada peraturan perundang-undangan. Begitu juga warga negara dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Tanpa ada dasar hukum dalam peraturan
perundang-undangan tindakan-tindakan yang dilakukan tidak akan
mempunyai legitimasi. Dengan demikian, peraturan perundang-
undangan mempunyai peran yang sangat sentral dan strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Karena peran yang sangat sentral dan
strategis itulah, pembentukan peraturan perundang-undangan harus
dilakukan dengan cara dan metode yang baik.
Pembentukan1 peraturan perundang-undangan2 di Indonesia
telah sama tuanya dengan umur negara Republik Indonesia atau
bahkan lebih tua kalau kita mengikuti sejarah negara kita sebelum
Indonesia merdeka. Bagi negara-negara yang dalam menyelenggarakan
pemerintahannya lebih mengutamakan sendi peraturan perundang-
undangan3 boleh dikatakan pembentukan peraturan perundang-
undangan lahir mengikuti lahirnya negara tersebut. Dengan demikian,
pembentukan peraturan perundang-undangan sudah ada sejak negara
Indonesia ada, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudah
Indonesia merdeka.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
selama ini telah diatur dalam berbagai bentuk aturan, baik yang
berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia

1
Dalam praktik orang sering menggunakan istilah ini dengan pembuatan,
penyusunan, atau istilah lainnya. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan istilah resmi atau baku
yang digunakan adalah pembentukan.
2
Istilah ini juga sering digunakan dengan istilah yang berbeda, antara lain
dengan istilah peraturan perundangan, peraturan perundang-undangan atau
perundang-undangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan istilah yang baku adalah
peraturan perundang-undangan.
3
Secara umum, sistem hukum konvensional dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu kelompok sistem hukum Anglo Saxon dan Eropa Continental. Sistem Anglo
Saxon lebih mengutamakan sendi putusan hakim (pengadilan) dalam penegakan
hukumnya. Sedangkan dalam sistem Eropa Continental lebih mengutamakan sendi
peraturan perundang-undangan. Dalam praktik perkembangan ketatanegaraan saat
ini sudah tidak lagi memisahkan kedua sistem tersebut secara ketat, tetapi bahkan
kedua sistem tersebut bercampur dan saling mengisi, serta saling melengkapi.

2 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


merdeka. Pengaturan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan akan dibagi menjadi dua babak, yaitu pengaturan sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan
pengaturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Pengaturan Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011
Pengaturan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 telah diatur dan tersebar dalam berbagai bentuk aturan atau
ketentuan, antara lain:4
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat
AB (Stb. 1847: 23) yang mengatur ketentuan-ketentuan
umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan, ketentuan AB
tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan nasional.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang
Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat. Undang-undang ini merupakan undang-undang dari Negara
Bagian RI Yogyakarta.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan
Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia
Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah
sebagai Undang-Undang Federal.
4. Selain undang-undang tersebut, terdapat pula ketentuan;
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah;

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


4

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 3
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun
1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran
Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara;
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia beserta Lampirannya;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun
1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999
tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
5. Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara
lain mengenai tata cara pembahasan Rancangan Undang-Undang
dan Rancangan Peraturan Daerah serta pengajuan dan pembahasan
Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Daerah usul inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Selain ketentuan-ketentuan di atas juga telah dilahirkan Ketetapan
MPRS/MPR yang mengatur mengenai jenis dan tata urutan
peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Jenis dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
b. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
sebagai pengganti Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.

Dalam rangka pembentukan undang-undang yang baik, MPR RI


menganggap penting bahwa tata cara pembentukan undang-undang
diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, pada Perubahan Kedua
(II) Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan pada tanggal 18
Agustus 2000, disisipkanlah Pasal 22 A yang menentukan: “Ketentuan

4 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan Undang-undang”.5
Kemudian, sebagai pelaksanaan Pasal 22 A Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 disusunlah Rancangan Undang-undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan
Usul Inisiatif DPR. Setelah melalui pembahasan yang cukup intens di
DPR, maka pada tanggal 22 Juni 2004 disahkanlah Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Pengundangan undang-undang ini ditempatkan dalam
Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53 dan Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4389. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
merupakan pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan
dalam bentuk undang-undang yang pertama kali yang mengatur
secara lengkap dan terpadu. Undang-Undang ini merupakan landasan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Pertimbangan yang melatarbelakangi
pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah:
1. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah
satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang
hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode
yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;
2. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses
pembentukan peraturan perundang-undangan;
3. Untuk menggantikan ketentuan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum
ketatanegaraan Republik Indonesia.6

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 secara garis besar


mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

5
Lihat Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Lihat bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
6

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 5
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 terdiri atas 58 pasal dan 13 bab dengan
sistematika sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-Pasal 4);
- Bab II Asas Peraturan Perundang-undangan (Pasal 5-Pasal 7);
- Bab III Materi Muatan (Pasal 8-Pasal 14);
- Bab IV Perencanaan Penyusunan Undang-Undang (Pasal 15-Pasal
16);
- Bab V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
17-Pasal 31);
- Bab VI Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang
(Pasal 32-Pasal 39);
- Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah
(Pasal 40-Pasal 43);
- Bab VIII Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
44);
- Bab IX Pengundangan dan Penyebarluasan (Pasal 45-Pasal 52);
- Bab X Partisipasi Masyarakat (Pasal 53);
- Bab XI Ketentuan Lain-lain (Pasal 54);
- Bab XII Ketentuan Peralihan (Pasal 55); dan
- Bab XIII Ketentuan Penutup (Pasal 56-Pasal 58).

Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004


telah ditetapkan 3 Peraturan Presiden dan 1 Peraturan Menteri Hukum
dan HAM, yaitu:
1. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional;
2. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden;
3. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,

6 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan;
4. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor:
M.HH.01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

Pada saat yang bersamaan, selain Undang-Undang Nomor 10


Tahun 2004 juga ada aturan atau ketentuan yang relevan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.7
3. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
1/DPR/I/2009-2010 tentang Tata Tertib;
4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor
I/DPD/2009-2010 tentang Tata Tertib.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,


sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tersebut Menteri
Dalam Negeri juga telah mengeluarkan 2 peraturan menteri, yaitu:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah;
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Pengaturan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20118


Pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terbaru saat ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Undang-Undang ini sering disebut dengan Undang-Undang MD 3.


7

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


8

undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No.
13 Tahun 2022

1 | PENDAHULUAN 7
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004. Undang-undang ini diundangkan dalam Lembaran Negara RI
Tahun 2011 Nomor 82 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5234. Latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 karena undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, masih terdapat kekurangan dan belum dapat
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.9 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan cara dan metode yang pasti,
baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk peraturan perundang-undangan.10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdiri atas 104 pasal dan
13 bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-Pasal 4);
- Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
5-Pasal 6);
- Bab III Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 7-Pasal 15);
- Bab IV Perencanaan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
16-Pasal 42);
- Bab V Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 43-Pasal
63);
- Bab VI Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
64);
- Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang
(Pasal 65-Pasal 74);
- Bab VIII Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 75-Pasal 80);

9
Lihat bagian Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
10
Lihat bagian Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

8 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


- Bab IX Pengundangan (Pasal 81-Pasal 87);
- Bab X Penyebarluasan (Pasal 88-Pasal 95);
- Bab XI Partisipasi Masyarakat (Pasal 96);
- Bab XII Ketentuan Lain-lain (Pasal 97-Pasal 99);
- Bab XIII Ketentuan Penutup (Pasal 100-Pasal 104).

Undang-undang ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.11 Tidak seperti pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang dituangkan dalam
beberapa Perpres, peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 khusus yang terkait dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan disederhanakan pengaturannya hanya dalam
1 Perpres, yaitu Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 terdiri atas 191 pasal
11 bab, dengan sistematika sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1);
- Bab II Perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Pasal 2-Pasal 44);
- Bab III Tata Cara Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 45-Pasal 86);
- Bab IV Pembahasan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan
Peraturan Daerah (Pasal 87-Pasal 109);
- Bab V Tata Cara Pengesahan atau Penetapan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 110-Pasal 146);
- Bab VI Pengundangan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
147-Pasal 161);
- Bab VII Penerjemahan Peraturan Perundang-undangan (Pasal
162-Pasal 166);

Lihat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


11

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 9
- Bab VIII Penyebarluasan (Pasal 167-Pasal 187);
- Bab IX Partisipasi Masyarakat (Pasal 188);
- Bab X Ketentuan Peralihan (Pasal 189);
- Bab XI Ketentuan Penutup (Pasal 190-Pasal 191).

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 juga mencabut dan


menyatakan tidak berlaku 3 peraturan presiden pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu:12
1. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional;
2. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden; dan
3. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan.

Selain itu, juga ada beberapa peraturan perundang-undangan


yang relevan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

12
Lihat Pasal 190 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

10 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Kemudian, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ditetapkan menjadi
Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 tentang Pegawai
Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Rangkap sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki
Jabatan Rangkap. Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur
tentang perangkapan jabatan bagi Perancang Peraturan Perundang-
undangan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan
Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya.
5. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 16 Tahun 2015
tentang Tata Cara Pengundangan Dalam Lembaran Negara RI,
Tambahan Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, dan Tambahan
Berita Negara RI.
6. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 19 Tahun 2015
tentang Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan.
7. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 20 Tahun 2015
tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan,
dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor 40 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 20 Tahun
2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian,
Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan.
8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 41/
KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang

1 | PENDAHULUAN 11
Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka
Kreditnya.

Pada saat tulisan ini disusun juga sedang dilakukan kajian untuk
melakukan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011. Badan Pembinaan Hukum Nasional beberapa tahun
terakhir ini membentuk tim penyusunan Naskah Akademis dalam
rangka perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Namun, hasilnya belum final dan tampaknya rencana perubahan
tersebut belum menjadi prioritas karena belum masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).

B. Jenis dan Hierarki, Fungsi Serta Materi Muatan PUU


1. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-perundangan
Terkadang orang mempertanyakan mana istilah yang paling tepat,
apakah jenis atau bentuk peraturan perundang-undangan? Kedua
istilah tersebut pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu
untuk menjelaskan mengenai berbagai macam peraturan perundang-
undangan. Kalau kita membicarakan mengenai jenis biasanya di
dalamnya sekaligus terkandung hierarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan. Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 adalah jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan.13
Jenis peraturan perundang-undangan Indonesia bisa berbeda-beda
tergantung pada masa berlakunya konstitusi. Hal ini terjadi karena
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ditentukan oleh

Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


13

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

12 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


penguasa pada saat itu dan sistem ketatanegaraan yang berlaku pada
saat itu juga. Yang dapat dipastikan bahwa pada setiap masa berlakunya
konstitusi, selalu ada jenis Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang
Dasar selalu menempati posisi yang tertinggi. Karena Undang-Undang
Dasar selalu menempati posisi tertinggi maka konsekuensinya semua
peraturan perundang-undangan yang pertingkatannya berada di
bawahnya tidak boleh bertentangan dan semua peraturan perundang-
undangan yang pertingkatannya lebih rendah harus bersumber pada
Undang-Undang Dasar.
Mengapa kita harus tahu dan mempelajari mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan? Pengetahuan mengenai jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan sangat penting bagi kita
semua, terutama para pembentuk (perancang) peraturan perundang-
undangan karena:
a. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus ada landasan
hukum atau dasar hukum14 yang jelas dan landasan hukum
peraturan perundang-undangan tersebut selalu berbentuk
peraturan perundang-undangan. Tidak bisa yang dijadikan
landasan hukum itu hukum lain selain peraturan perundang-
undangan, misalnya putusan pengadilan, akta notaris, perjanjian,
norma-norma tidak tertulis seperti norma sopan santun, kebiasaan,
adat istiadat, norma agama. Meskipun tidak dapat dijadikan
dasar hukum, hukum lain selain peraturan perundang-undangan
dapat dijadikan sumber hukum oleh para pembentuk peraturan
perundang-undangan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan tertentu.
b. Meskipun yang dijadikan landasan hukum selalu peraturan
perundang-undangan, namun tidak semua peraturan perundang-
undangan dapat dijadikan landasan hukum, hanya peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
pertingkatannya.

Landasan hukum dalam teknik pembentukan peraturan perundang-


14

undangan lazimnya dituangkan dalam dasar hukum “mengingat”.

1 | PENDAHULUAN 13
c. Dasar hukum peraturan perundang-undangan lazimnya
memuat peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar
kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan
pembentukan peraturan perundang-undangan.15
d. Hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dijadikan
dasar hukum. Peraturan perundang-undangan yang sudah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku tidak boleh dijadikan dasar hukum.
Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut juga tidak boleh
dijadikan dasar hukum.
e. Berkaitan dengan perbedaan materi muatan yang harus diatur
dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan. Apabila kita
memahami dengan baik mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan maka kita sangat terbantu untuk menentukan
bahwa suatu masalah tertentu akan menjadi materi muatan jenis
peraturan perundang-undangan tertentu.
f. Agar tercipta ketertiban dan keharmonisan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana diuraikan di depan bahwa jenis peraturan perundang-


undangan dan produk hukum lainnya itu berbeda-beda tergantung
pada masa berlakunya konstitusi. Dari zaman Indonesia menyatakan
kemerdekaannya sampai sekarang konstitusi kita dapat dibagi ke dalam
periode sebagai berikut:
I. Periode Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (1945-1949);
II. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950);
III. Periode Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (1950-1959);
IV. Periode Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli
1959;

15
Lihat Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan angka 28,
Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

14 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


V. Periode Orde Baru
VI. Periode Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasca
Amandemen I, II, III, IV).

I. Periode Undang-Undang Dasar 1945 (1945-1949)


Sebagaimana diketahui bersama Undang-Undang Dasar 1945
periode pertama hanya bertahan selama 4 tahun. Pada periode
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945, ada beberapa jenis peraturan perundang-
undangan dan produk hukum, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD
1945);
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal 22
UUD 1945);
d. Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);
e. Penetapan Presiden;
f. Peraturan Presiden;
g. Penetapan Pemerintah;
h. Maklumat Pemerintah;
i. Maklumat Presiden;
j. Pengumuman Pemerintah;
k. Peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman
Hindia Belanda yang masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, misalnya Wet dan Ordonantie.

II. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950)


Republik Indonesia Serikat hanya bertahan selama 8 bulan dan
kemudian bangsa Indonesia memilih untuk kembali ke bentuk
negara kesatuan. Jenis peraturan perundang-undangan dan produk
hukum pada periode berlakunya KRIS adalah:

1 | PENDAHULUAN 15
a. Konstitusi (UUD) RIS;
b. Undang-Undang (Pasal 127 UUD RIS), ada 2 jenis UU,
yaitu: UU yang dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat (Pasal 127a Konstitusi RIS) dan UU
yang dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama DPR (Pasal
127b Konstitusi RIS). UU yang dibentuk oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan Senat memuat pengaturan
tentang daerah bagian atau bagiannya dan hubungan antara
RIS dengan daerah bagiannya (Pasal 127a Konstitusi RIS).
Sedangkan UU yang dibentuk oleh Pemerintah dan DPR
memuat pengaturan mengenai hal-hal lain yang tidak diatur
dalam Pasal 127a Konstitusi RIS;
c. Undang-Undang Darurat (Pasal 139 Konstitusi RIS). Undang-
Undang Darurat merupakan hak Pemerintah atas kuasa dan
tanggung jawab sendiri menetapkan UU Darurat untuk
mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah Federal yang
karena keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera;
d. Peraturan Pemerintah (Pasal 41 KRIS);
e. Peraturan Menteri.

III. Periode Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (1950-1959)


UUD Sementara 1950 praktis berlaku hanya 9 tahun. Pada masa
UUD Sementara 1950 peraturan perundang-undangan dan produk
hukum yang berlaku adalah:
a. UUD Sementara 1950;
b. Undang-Undang;
c. UU Darurat (Pasal 96 UUDS 1950);
d. Peraturan Pemerintah (Pasal 98 UUDS 1950);
e. Keputusan Presiden;
f. Peraturan Menteri;
g. Keputusan Menteri;
h. Peraturan Daerah.

16 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


IV. Periode UUD 1945 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah terjadinya kondisi politik yang tidak stabil pada waktu itu
dan ditambah dengan Konstituante yang tidak dapat mengambil
keputusan mengenai rancangan konstitusi, maka akhirnya
dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno
dalam bentuk Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 yang
menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Setelah kembali ke UUD
1945, peraturan perundang-undangan dan produk hukum yang
dikeluarkan pada masa itu kembali kepada ketentuan sebagaimana
diatur dalam UUD 1945 periode 1945-1949. Selain itu, karena
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UUD 1945
dianggap belum dapat memenuhi kebutuhan maka Presiden
berkirim surat ke Ketua DPR-GR Nomor 2262/HK/59 tanggal
20 Agustus 1959.16 Secara keseluruhan, peraturan perundang-
undangan pada masa berlakunya UUD 1945 pasca Dekrit Presiden
5 Juli 1959, yang mendasarkan pada UUD 1945 dan Surat Presiden
kepada Ketua DPR-GR Nomor 2262/HK/59 tanggal 20 Agustus
1959, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. UUD 1945;
b. Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Penetapan Presiden, yaitu peraturan yang dibuat untuk
melaksanakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
f. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945 dan Peraturan Presiden untuk melaksanakan
Penetapan Presiden;

16
A. Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teori,
Sejarah, dan Perbandingan dengan Beberapa Negara Bikameral, (Edisi Revisi), Setara
Press, Malang, 2015, hal. 44.

1 | PENDAHULUAN 17
g. Peraturan Pemerintah, untuk melaksanakan Peraturan
Presiden, bukan Peraturan Pemerintah sebagaimana huruf d
(bukan PP yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);17
h. Keputusan Presiden, untuk melaksanakan Peraturan Presiden
dalam melakukan atau meresmikan pengangkatan;
i. Peraturan Menteri, untuk mengatur sesuatu yang dibuat oleh
departemen;
j. Keputusan Menteri, untuk melaksanakan atau meresmikan
pengangkatan.

V. Periode Orde Baru


Pada masa Orde Baru telah dikeluarkan dua Ketetapan MPR yang
mengatur mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan RI, yaitu:
1. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan RI, yang meliputi:
a. UUD 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Keputusan Presiden;
f. Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri;
- Instruksi Menteri;
- dan lain-lain.

2. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Tertib


Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
yang meliputi:

Dihapuskan dengan Surat Presiden Nomor 3639/HK/59 agar tidak ada


17

Peraturan Pemerintah yang berbeda jenis.

18 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


a. UUD 1945;
b. Ketetapan MPR RI;
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden;
g. Peraturan Daerah.

VI. Periode UUD Negara RI Tahun 1945 (Pasca Amandemen I, II, III,
IV)
Pasca Amandemen UUD 1945 (Amandemen I, II, II, dan IV)
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur
dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389). Setelah UU No. 10 Tahun
2014 berusia kurang lebih 10 tahun keluar UU baru sebagai
pengganti UU No. 10 Tahun 2004, yaitu UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 5234). Peraturan perundang-undangan pada periode
UUD Negara RI Tahun 1945 (Pasca Amandemen I, II, III, IV,)
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan18, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan adalah:
a. UUD Negara RI Tahun 1945;
b. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
c. Peraturan Pemerintah;

18
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 19
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah, yang meliputi:
1) Peraturan Daerah Provinsi, termasuk dalam jenis
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qonun yang berlaku di
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus
serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.19
2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.20
Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud di atas, dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga diakui
keberadaan peraturan perundang-undangan lain dan peraturan
perundang-undangan tersebut mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.21 Termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan ini antara lain, peraturan
yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU,
DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.22
2. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:23
a. UUD Negara RI Tahun 1945;
b. Ketetapan MPR;

19
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
20
Lihat Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
21
Lihat Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
22
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
23
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

20 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


c. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi, termasuk dalam Peraturan
Daerah Provinsi adalah Qonun yang berlaku di Provinsi
Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta
Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;24 dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, termasuk dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qonun yang
berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.25
Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
di atas, dalam UU No. 12 Tahun 2011 dikenal juga peraturan
perundang-undangan lain yang mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi
Yudisial, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah
atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.26 Peraturan perundang-undangan tersebut diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.27
Untuk menjelaskan mengenai diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-
undangan selain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.
12 Tahun 2012 dapat diambil sebagai contoh Peraturan

24
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
25
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
26
Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
27
Lihat Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 21
Menteri Hukum dan HAM. Untuk menguji/mengecek
apakah Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat atau tidak,
pertama harus dicek terlebih dahulu apakah Peraturan Menteri
Hukum dan HAM tersebut merupakan perintah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (UU, PP, Perpres) atau
tidak. Kalau tidak ada perintah dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi jangan langsung terburu-buru
menyatakan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tersebut tidak diakui keberadaanya dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Kita harus lakukan tahap kedua,
yaitu dicek apakah Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tersebut dikeluarkan berdasarkan kewenangannya atau bukan.
Pada dasarnya kewenangan penyelenggaraan pemerintah
sudah dibagi habis, lazimnya melalui Peraturan Presiden,
ke kementerian/lembaga, artinya tidak ada satu pun urusan
yang tidak ada kementerian/lembaga yang mengurusinya.
Apabila Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan
Menteri yang mengatur masalah tertentu dan masalah tersebut
bukan merupakan kewenangannya, maka Peraturan Menteri
Hukum dan HAM tersebut tidak diakui keberadaanya dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
dikenal pada setiap periode berlakunya konstitusi di atas
pasti menimbulkan diskusi antara pro dan kontra. Pro dan
kontra tersebut bisa terjadi baik mengenai jenisnya maupun
hierarkinya. Di bawah ini matrik mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan dari tahun 1945-2017.

22 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


JENIS DAN HIERARKI PUU DARI 1945-2018
No. Periode Dasar Jenis dan Hierarki PUU atau
Konstititusi Hukum Produk Hukum lainnya

1 UUD Tahun 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal a. UUD 1945;


Periode I (1945- 20 ayat (1), Pasal 22, b. Undang-Undang;
1949) Pasal 5 ayat (2) UUD c. Peraturan Pemerintah
1945 Pengganti UU (Perpu);
d. Peraturan Pemerintah.

Produk hukum lainnya:

e. Penetapan Presiden;
f. Peraturan Presiden;
g. Penetapan Pemerintah;
h. Maklumat Pemerintah;
i. Maklumat Presiden;
j. Pengumuman Pemerintah;
k. Peraturan perundang-
undangan yang berasal
dari zaman Hindia Belanda
yang masih tetap berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945,
misalnya Wet, Ordonantie.

2 Konstitusi RIS Pasal 127a, Pasal a. Konstitusi RIS;


(1949-1950) 127b, Pasal 139, Pasal b. Undang-Undang;
141 Konstitusi RIS c. Undang-Undang Darurat;
d. Peraturan Pemerintah;

Produk hukum lainnya:

Peraturan Menteri.

3 UUDS 1950 (1950- 1. Pasal 96, Pasal 98 a. UUDS 1950;


1959) UUDS 1950 b. Undang-Undang;
c. Undang-Undang Darurat;
d. Peraturan Pemerintah.

Produk hukum lainnya:

e. Keputusan Presiden;
f. Peraturan Menteri;
g. Keputusan Menteri;
h. Peraturan Daerah.

1 | PENDAHULUAN 23
No. Periode Dasar Jenis dan Hierarki PUU atau
Konstititusi Hukum Produk Hukum lainnya

2. Pasal 1 UUNo. a. Undang-Undang/Peraturan


1 Tahun 1950 Pemerintah Pengganti UU
tentang Jenis dan (Perpu);
Bentuk Peraturan b. Peraturan Pemerintah;
yang Dikeluarkan c. Peraturan Menteri.
oleh Pemerintah
Pusat

4 UUD 1945 Setelah 1. Pasal 5 ayat (1), a. UUD 1945;


Dekrit Presiden 5 Pasal 20 ayat (1), b. Undang-Undang;
Juli 1959 (1959- Pasal 22, Pasal 5 c. Peraturan Pemerintah
2000) ayat (2) UUD 1945 Pengganti UU (Perpu);
d. Peraturan Pemerintah.

2. Surat Presiden e. Penetapan Presiden;


kepada Ketua DPR- f. Peraturan Presiden;
GR Nomor 2262/ g. Peraturan Pemerintah;
HK/59 tanggal h. Keputusan Presiden;
20 Agustus 1959 i. Peraturan Menteri dan
tentang Bentuk Keputusan Menteri.
Peraturan Negara

3. Ketetapan MPRS a. UUD 1945;


No. XX/MPRS/1966 b. Ketetapan MPR;
tentang c. Undang-Undang/Peraturan
Memorandum Pemerintah Pengganti UU
DPR-GR mengenai (Perpu);
Sumber Tertib d. Peraturan Pemerintah;
Hukum RI dan Tata e. Keputusan Presiden;
Urutan Peraturan f. Peraturan Pelaksanaan
Perundang- lainnya seperti Peraturan
undangan RI Menteri, Instruksi Menteri,
dan lain-lain.

4. Ketetapan MPR a. UUD 1945;


No. III/MPR/2000 b. Ketetapan MPR RI;
tentang Sumber c. Undang-Undang;
Hukum dan Tata d. Peraturan Pemerintah
Urutan Peraturan Pengganti UU (Perpu);
Perundang- e. Peraturan Pemerintah;
undangan f. Keputusan Presiden;
g. Peraturan Daerah.

24 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


No. Periode Dasar Jenis dan Hierarki PUU atau
Konstititusi Hukum Produk Hukum lainnya

5 UUD Negara RI 1. Pasal 7 ayat (1) a. UUD Negara RI Tahun


Tahun 1945 (Pasca UU No. 10 Tahun 1945;
Amandemen I, II, 2004 tentang b. Undang-Undang/Peraturan
III, IV/ 2000-2017) Pembentukan Pemerintah Pengganti UU
Peraturan (Perpu);
Perundang- c. Peraturan Pemerintah;
undangan d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah, yang
terdiri atas:
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota; dan
h. Peraturan Desa/ peraturan
yang setingkat.

2. Pasal 7 ayat (1) a. UUD Negara RI Tahun


UU No. 12 Tahun 1945;
2011 tentang b. Ketetapan MPR;
Pembentukan c. Undang-Undang/Peraturan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU
Perundang- (Perpu);
undangan d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Daerah Provinsi;
f. Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.

1 | PENDAHULUAN 25
2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
Secara umum, keberadaan peraturan perundang-undangan
mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi
umum peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen
hukum suatu negara/pemerintahan untuk mengatur segala dimensi
yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta
penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara/pemerintahan.
Sedangkan fungsi khusus peraturan perundang-undangan adalah
sebagai penentu atau petunjuk mengenai sistem ketatanegaraan yang
dianut oleh suatu negara/pemerintahan. Di bawah ini akan diuraikan
fungsi dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan.
a. Undang-Undang Dasar
1) Sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD Negara RI
Tahun 1945, dapat disimpulkan bahwa fungsi yang diemban
oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 adalah:
a) Menyatakan pembentukan suatu Pemerintahan Negara
Indonesia;
a) Menyatakan penyusunan kemerdekaan kebangsaan
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia.
2) Norma dalam UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan norma
fundamental negara (state fundamental norm) yang merupakan
landasan filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan
bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam peraturan perundang-undangan.

b. Undang-Undang
Fungsi yang diemban oleh Undang-Undang adalah:
1) Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945.
2) Mengatur hal-hal yang diperintahkan oleh UU untuk diatur
dengan UU.

26 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


3) Mengatur hal-hal yang sesuai dengan materi muatannya diatur
dengan UU.
Fungsi UU untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD
Negara RI Tahun 1945 meliputi hal-hal yang terkait dengan:
a) Hak asasi manusia (HAM).
b) Hak dan kewajiban warga negara.
c) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara.
d) Wilayah negara dan pembagian daerah.
e) Kewarganegaraan dan kependudukan.
f) Keuangan negara.

Kemudian, keenam hal di atas lebih dirinci lagi ke dalam


delegasian yang diberikan oleh UUD pada UU dengan frasa
“diatur dengan atau diatur dalam UU”, yang meliputi:
1) Pemilihan umum.
2) Syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
3) Tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
4) Penetapan keadaan bahaya.
5) Pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain kehormatan.
6) Kementerian Negara.
7) Penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8) Hubungan wewenang antara pusat dan daerah.
9) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pusat
dan daerah.
10) Daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
11) Susunan DPR.
12) Hak anggota DPR.
13) Tata cara pembentukan UU.

1 | PENDAHULUAN 27
14) Syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR.
15) Susunan dan kedudukan DPRD.
16) Syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPRD.
17) Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa.
18) Macam dan harga mata uang.
19) Keuangan negara.
20) Bank Sentral.
21) Badan Pemeriksa Keuangan.
22) Kekuasaan kehakiman.
23) Wewenang Mahkamah Agung.
24) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung.
25) Susunan, kedudukan, keanggotan Komisi Yudisial.
26) Mahkamah Konstitusi.
27) Syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai
hakim.
28) Warga negara dan penduduk.
29) Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan.
30) Pertahanan dan keamanan.
31) Perekonomian nasional.
32) Pengaturan cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
33) Pengaturan bumi dan air dan kekayaan alam.
34) Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
35) Pemeliharaan fakir miskin.
36) Pengembangan sistem jaminan sosial.
37) Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.

28 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


38) Bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu
kebangsaan.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)


Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Negara
RI Tahun 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) berfungsi untuk mengatur hal ihwal kegentingan yang
memaksa. Perpu merupakan hak subyektif Presiden untuk
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau
selevel dengan UU tanpa terlebih dahulu dilakukan pembahasan
dengan DPR. Karena merupakan hak subyektif Presiden, maka
tidak ada ukuran atau kriteria obyektif yang digunakan dalam
rangka menentukan kriteria hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Oleh karena tidak ada kriteria obyektif dalam menentukan hal
ihwal kegentingan yang memaksa, maka sering timbul pro dan
kontra. Sebetulnya pro dan kontra tersebut bisa diakhiri manakala
kita menyadari bahwa hak subyektif untuk menentukan hal ihwal
kegentingan yang memaksa oleh UUD Negara RI Tahun 1945
diberikan kepada Presiden. Pendek kata, berdasarkan Pasal 22 ayat
(1) UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menenentukan apakah
suatu masalah itu termasuk dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa atau bukan itu sepenuhnya menjadi hak Presiden. Dalam
perkembangannya, untuk mengatasi pro dan kontra tersebut, ada
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)28 yang memberikan solusi
mengenai “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yaitu:
1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai.
3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian


28

atas UU No. 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi.

1 | PENDAHULUAN 29
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

d. Peraturan Pemerintah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD Negara RI Tahun
1945, fungsi Peraturan Pemerintah adalah untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan menjalankan UU
sebagaimana mestinya adalah bahwa materi muatan Peraturan
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam
UU yang bersangkutan.
e. Peraturan Presiden
Fungsi Peraturan Presiden adalah:
1) Melaksanakan ketentuan UU.
2) Melaksanakan ketentuan PP.
3) Mengatur kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kewenangan Presiden;
4) Mengesahkan/meratifikasi perjanjian internasional tertentu
selain yang harus disahkan/diratifikasi dengan UU.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah berfungsi:
1) Menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.29
2) Menjabarkan lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.30
g. Peraturan Kepala Daerah
Fungsi Peraturan Kepala Daerah adalah:

Lihat Pasal 236 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
29

Daerah.
30
Lihat Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

30 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1) Melaksanakan Peraturan Daerah.31
2) Hal-hal lain yang menjadi lingkup tugas dan tanggung jawab
serta kewenangan kepala daerah.

3. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan


Meskipun sudah ditentukan rambu-rambunya, menentukan materi
muatan peraturan perundang-undangan merupakan tahap yang paling
sulit dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang
dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.32 Di bawah ini
diuraikan materi muatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
jenis dan hierarkinya.
a. Materi Muatan UUD
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak memberikan petunjuk tentang materi
muatan UUD padahal dalam tata urutan/hierarki peraturan
perundang-undangan, UUD merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan naskah UUD Negara RI Tahun
1945, materi muatan UUD dapat disimpulkan sebagai berikut:
I. Pembukaan33
1) Pernyataan kemerdekaan merupakan hak segala bangsa;
2) Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan;
3) Hasil perjuangan pergerakan kemerdekaan Negara
Republik Indonesia;
4) Pembentukan suatu Pemerintah Negara Indonesia;
5) Tujuan pembentukan negara.

31
Lihat Pasal 246 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
32
Lihat Pasal 1 angka 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
33
Lihat Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.

1 | PENDAHULUAN 31
II. Batang Tubuh
1) Bentuk negara (Pasal 1 ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945);
2) Pemegang kedaulatan (Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945);
3) Dasar negara (Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun
1945);
4) Keberadaan MPR yang meliputi unsur keanggotaan (Pasal
2 UUD Negara RI Tahun 1945) dan wewenangnya (Pasal
3 UUD Negara RI Tahun 1945);
5) Hal-hal yang berkaitan dngan Presiden (Pasal 4 s.d Pasal
15 UUD Negara RI Tahun 1945);
6) Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16 UUD Negara RI
Tahun 1945);
7) Kementerian Negara (Pasal 17 ayat (4) UUD Negara RI
Tahun 1945);
8) Pemerintahan Daerah serta susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat (1)
dan Pasal 18 ayat (7) UUD Negara RI Tahun 1945);
9) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (Pasal 18A
ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945);
10) Pemerintahan daerah khusus dan pemerintahan daerah
istimewa (Pasal 18B ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945);
11) Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun
1945);
12) Susunan DPR, hak DPR dan hak anggota DPR, syarat dan
tata cara pemberhentian anggota DPR (Pasal 19, Pasal
20A ayat (4), dan Pasal 22B UUD Negara RI Tahun 1945);

32 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


13) Pembentukan UU (Pasal 22A UUD Negara RI Tahun
1945);
14) Susunan dan kedudukan DPD (Pasal 22C ayat (4) UUD
Negara RI Tahun 1945);
15) Syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPD (Pasal
22D ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945);
16) Pemilu (Pasal 22E ayat (6) UUD Negara RI Tahun 1945);
17) APBN (Pasal 23 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945);
18) Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara (Pasal 23A UUD Negara RI Tahun
1945);
19) Macam dan harga mata uang (Pasal 23B UUD Negara RI
Tahun 1945);
20) Hal-hal lain mengenai keuangan negara (Pasal 23C UUD
Negara RI Tahun 1945);
21) Bank sentral (Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945);
22) Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 22, Pasal 23F dan Pasal
23G UUD Negara RI Tahun 1945);
23) Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24, Pasal 24A s.d. Pasal
24C, dan Pasal 25 UUD Negara RI Tahun 1945);
24) Wilayah Negara (Pasal 25A UUD Negara RI Tahun 1945);
25) Warga Negara dan Penduduk (Pasal 26 s.d. Pasal 28 UUD
Negara RI Tahun 1945);
26) Hak Asasi Manusia (HAM) (Pasal 28A s,d, Pasal 28J UUD
Negara RI Tahun 1945);
27) Agama (Pasal 29UUD Negara RI Tahun 1945);
28) Pertahanan dan Keamanan Negara (Pasal 30 UUD Negara
RI Tahun 1945);
29) Pendidikan dan Kebudayaan (Pasal 31 dan Pasal 32 UUD
Negara RI Tahun 1945);

1 | PENDAHULUAN 33
30) Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (Pasal
33 dan Pasal 34 UUD Negara RI Tahun 1945);
31) Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A s.d. Pasal 36C
UUD Negara RI Tahun 1945);
32) Perubahan UUD (Pasal 37 UUD Negara RI Tahun 1945);
33) Aturan Peralihan (Pasal I s.d. Pasal III UUD Negara RI
Tahun 1945);
34) Aturan Tambahan (Pasal I dan Pasal II UUD Negara RI
Tahun 1945)

b. Materi Muatan UU
Materi muatan Undang-Undang adalah substansi yang berkaitan
dengan:34
1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara RI
Tahun 1945;
2) Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
3) Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional tertentu;
4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
c. Materi Muatan Perpu
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti UU sama dengan
materi muatan UU35 hanya kondisi dan prosesnya saja yang
berbeda.
d. Materi Muatan PP
Materi muatan PP meliputi:

34
Lihat Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
35
Lihat Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

34 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1) Materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya36;
2) Materi muatan PP sekitar tugas, fungsi dan wewenang
kepemerintahan yang memang diperintahkan untuk
melaksanakan UU;
3) Materi muatan PP lebih pada hal-hal yang bersifat teknis
administratif;
4) PP tidak boleh mencantumkan pidana dan larangan lain yang
sifatnya memberikan beban kongkret kepada masyarakat
terkait dengan HAM.
e. Materi Muatan Perpres
Materi muatan Peraturan Presiden lebih luas dari materi muatan
PP, yaitu berisi:37
1) Materi yang diperintahkan oleh UU;
2) Materi untuk melaksanakan PP;
3) Materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan:
4) Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional tertentu yang
bukan menjadi materi muatan UU.
f. Materi Muatan Perda
Peraturan Daerah (Perda) berisi materi muatan dalam rangka:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
2) Menampung kondisi khusus daerah;
3) Penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi;38

36
Lihat Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
37
Lihat Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
38
Lihat Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

1 | PENDAHULUAN 35
4) Pemberian sanksi pidana berupa ancaman pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).39

C. Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-


Undangan
Lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia
sangat banyak dan dapat dibedakan antara pembentuk peraturan
perundang-undangan tingkat pusat dan pembentuk peraturan
perundang-undangan tingkat daerah. Selain itu, juga dapat dibedakan
berdasarkan jenis peraturan perundang-undangannya. Banyaknya
pembentuk peraturan perundang-undangan sudah barang tentu akan
sangat berpengaruh pada kualitas peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, agar bisa dihasilkan peraturan perundang-undangan yang
baik maka pembentuk peraturan perundang-undangan harus dibekali
dengan pengetahuan yang cukup, baik terkait dengan substansi maupun
pengetahuan dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
1. Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat
a. Lembaga Negara40
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR RI);
2) Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI);
3) Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI);
4) Presiden RI;
5) Mahkamah Konstitusi RI (MK RI);
6) Mahkamah Agung RI (MA RI);
7) Komisi Yudisial RI (KY RI);
8) Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RIRI)

39
Lihat Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
40
Lembaga Negara ini adalah lembaga negara berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945 setelah Amandemen I, II, III, IV).

36 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


b. Kementerian atau setingkat kementerian41
1) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan;
2) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
3) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Sumber Daya;
4) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan;
5) Kementerian Sekretaris Negara;
6) Kementerian Dalam Negeri;
7) Kementerian Luar Negeri;
8) Kementerian Pertahanan;
9) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
10) Kementerian Keuangan;
11) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
12) Kementerian Perindustrian;
13) Kementerian Perdagangan;
14) Kementerian Pertanian;
15) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
16) Kementerian Perhubungan;
17) Kementerian Kelautan dan Perikanan;
18) Kementerian Ketenagakerjaan;
19) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi;
20) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
21) Kementerian Kesehatan;
22) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;

41
Kementerian ini adalah kementerian pada masa Pemerintahan Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (Kabinet Kerja).

1 | PENDAHULUAN 37
23) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
24) Kementerian Sosial;
25) Kementerian Agama;
26) Kementerian Pariwisata;
27) Kementerian Komunikasi dan Informatika;
28) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;
29) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak;
30) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi;
31) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional;
32) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional;
33) Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
34) Kementerian Pemuda dan Olah Raga;
35) Kejaksaan Agung;
36) Kepolisian Negara.
c. Lembaga Pemerintah Nonkementerian
1) Badan Intelejen Negara (BIN);
2) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
3) Badan Ekonomi Kreatif (BEK);
4) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
5) Badan Informasi Geospasial (BIG);
6) Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla);
7) Badan Kepegawaian Negara (BKN);
8) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN);
9) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG);

38 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


10) Badan Narkotika Nasional (BNN);
11) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
12) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT);
13) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI);
14) Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
15) Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten);
16) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM);
17) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
18) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
19) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
20) Badan Pusat Statistik (BPS);
21) Badan SAR Nasional (Basarnas);
22) Badan Standardisasi Nasional (BSN);
23) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan);
24) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
25) Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (LIPI);
26) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP);
27) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas);
28) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan);
29) Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg);
30) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
d. Lembaga lain yang oleh peraturan perundang-undangan
diberikan kewenangan sebagai pembentuk peraturan
perundang-undangan
1) Bank Indonesia (BI);
2) Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
3) Komisi Pemilihan Umum (KPU);

1 | PENDAHULUAN 39
4) KPPU;
5) Ombudsman RI;
6) LPSK;
7) PPATK;
2. Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
Pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah terdiri
atas pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat provinsi
dan pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat kabupaten/
kota. Pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat provinsi
adalah gubernur (beserta dinas-dinasnya) dan DPRD provinsi.
Saat ini NKRI terdiri atas 34 provinsi, maka pembentuk peraturan
perundang-undangan tingkat provinsi adalah 34 gubernur (beserta
dinas-dinasnya) dan 34 DPRD provinsi. Sedangkan pembentuk
peraturan perundang-undangan tingkat kabupaten kota adalah
bupati/walikota (beserta dinas-dinasnya) dan DPRD kabupaten/
kota. Pada saat tulisan ini disusun jumlah kabupaten di seluruh
Indonesia adalah 415 (tidak termasuk Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu di DKI Jakarta), sedangkan jumlah kota adalah
93 (tidak termasuk 5 kota administrasi di DKI Jakarta). Jumlah total
kabupaten dan kota di Indonesia adalah 508. Dengan demikian,
pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat kabupaten/
kota adalah 508 bupati/walikota (beserta dinas-dinasnya) dan
DPRD kabupaten/kota. Adapun rincian jumlah kabupaten dan
kota di seluruh provinsi di Indonesia adalah:42
a. Provinsi Aceh: 18 kabupaten dan 5 kota.
b. Provinsi Sumatera Utara: 25 kabupaten dan 8 kota.
c. Provinsi Sumatera Barat: 12 kabupaten dan 7 kota.
d. Provinsi Riau: 10 kabupaten dan 2 kota.
e. Provinsi Kepulauan Riau: 5 kabupaten dan 2 kota.

42
Sumber: Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan
Otonomi Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam
Negeri, 2014.

40 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


f. Provinsi Jambi: 9 kabupaten dan 2 kota.
g. Provinsi Bengkulu: 9 kabupaten dan 1 kota.
h. Provinsi Sumatera Selatan: 13 kabupaten dan 4 kota.
i. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: 6 kabupaten dan 1 kota.
j. Provinsi Lampung: 13 kabupaten dan 2 kota.
k. Provinsi Banten: 4 kabupaten dan 4 kota.
l. Provinsi Jawa Barat: 18 kota dan 9 kota.
m. Provinsi DKI Jakarta: 1 kabupaten administrasi dan 5 kota
administrasi.
n. Provinsi Jawa Tengah: 29 kabupaten dan 6 kota.
o. Provinsi DI Yogyakarta: 4 kabupaten dan 1 kota.
p. Provinsi Jawa Timur: 29 kabupaten dan 9 kota.
q. Provinsi Bali: 8 kabupaten dan 1 kota.
r. Provinsi Nusa Tenggara Barat: 8 kabupaten dan 2 kota.
s. Provinsi Nusa Tenggara Timur: 21 Kabupaten dan 1 kota.
t. Provinsi Kalimantan Barat: 12 kabupaten dan 2 kota.
u. Provinsi Kalimantan Selatan: 11 kabupaten dan 2 kota.
v. Provinsi Kalimantan Tengah: 13 kabupaten dan 1 kota.
w. Provinsi Kalimantan Timur: 7 kabupaten dan 3 kota.
x. Provinsi Kalimantan Utara: 4 kabupaten dan 1 kota.
y. Provinsi Gorontalo: 5 kabupaten dan 1 kota.
z. Provinsi Sulaewsi Selatan: 21 kabupaten dan 3 kota.
aa. Provinsi Sulawesi Tenggara: 15 kabupaten dan 2 kota.
bb. Provinsi Sulawesi Tengah: 12 kabupaten dan 1 kota.
cc. Provinsi Sulawesi Utara: 11 kabupaten dan 4 kota.
dd. Provinsi Sulawesi Barat: 6 kabupaten.

1 | PENDAHULUAN 41
ee. Provinsi Maluku: 9 kabupaten dan 2 kota.
ff. Provinsi Maluku Utara: 8 kabupaten dan 2 kota.
gg. Provinsi Papua: 28 kabupaten dan 1 kota.

D. Landasan Konstitusional Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan
Setiap peraturan perundang-undangan mempunyai dasar
pengaturannya dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Dasar inilah yang
lazim disebut dengan landasan/dasar konstitusional pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dasar konstitusional pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat diuraikan dalam bentuk matrik
di bawah ini.

LANDASAN KONSTITUSIONAL PEMBENTUKAN PUU


No. Jenis PUU Landasan Konstitusional Ketetentuan Norma
(UUDNRI Tahun 1945)

1 Undang-undang a. Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan


membentuk Undang-
undang.

b. Pasal 21 Anggota DPR berhak


mengajukan RUU.

c. Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak mangajukan


RUU kepada DPR.

d. Pasal 22D ayat (1) DPD dapat mengajukan


kepada DPR RUU yang
berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta
penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan
pusat dan daerah.

42 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


No. Jenis PUU Landasan Konstitusional Ketetentuan Norma
(UUDNRI Tahun 1945)

2 Peraturan Pasal 22 Dalam hal ihwal kegentingan


Pemerintah yang memaksa, Presiden
Pengganti berhak menetapkan Perppu.
Undang-undang
(Perppu)

3 Peraturan Pasal 5 ayat (2) Presiden menetapkan PP


Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.

4 Peraturan Pasal 4 ayat (1) Presiden RI memegang


Presiden kekuasaan pemerintahan
(Perpres) menurut UUD.

5 Peraturan Pasal 18 ayat (6) Pemerintah Daerah berhak


Daerah (Perda) menetapkan Perda dan
peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas
pembantuan.

E. Persiapan Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan
Sesuai dengan jenisnya, pembahasan mengenai persiapan
pembentukan peraturan perundang-undangan dibagi ke dalam: persiapan
pembentukan Undang-Undang/Perpu, persiapan pembentukan PP,
persiapan pembentukan Perpres, dan persiapan pembentukan Perda.
1. Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Inisatif (prakarsa) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU)
dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden yang disusun berdasarkan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam keadaan tertentu
DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Yang
dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:

1 | PENDAHULUAN 43
a. Untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-Undang;
b. Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional
tertentu;
c. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
d. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam;
e. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menteri Hukum dan HAM.
RUU yang diajukan oleh DPR disiapkan oleh komisi yang
membidangi substansi RUU atau Baleg DPR. Dalam
mempersiapkan RUU, DPR dibantu oleh Badan Keahlian.
2. Persiapan Pembentukan Perpu
3. Persiapan Pembentukan PP
4. Persiapan Pembentukan Perpres
5. Persiapan Pembentukan Perda

44 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


-2-
PERENCANAAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Tahap yang paling awal dan sangat penting dalam pembentukan


peraturan perundang-undangan adalah perencanaan. Hingga saat ini
perencanaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
belum dilakukan dengan baik. Kebanyakan orang masih menganggap
bahwa perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan
hanya sekadar formalitas belaka. Untuk dapat dikatakan peraturan
perundang-undangan yang baik maka prosesnya harus dilakukan
melalui perencanaan yang baik pula. Diharapkan dengan melalui
perencanaan yang baik, maka akan baik pula peraturan perundang-
undangan yang dihasilkan, baik substansinya, prosedurnya maupun
teknik penyusunannya. Selain itu, dengan perencanaan yang baik maka
biaya peraturan perundang-undangan akan bisa direncanakan dengan
baik melalui anggaran yang sudah ditentukan. Pembentukan peraturan
perundang-undangan memerlukan biaya, bisa dibayangkan bagaimana
jadinya apabila pembentukan peraturan perundang-undangan tanpa
ada biaya sama sekali karena tidak melalui perencanaan yang baik.

45
Sebagaimana kita ketahui bersama, secara tersurat ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Karena sudah secara tersurat, maka menjadi
kewajiban negara untuk mewujudkan Negara Hukum tersebut dengan
melalui pembangunan hukum nasional. Pembangunan hukum nasional
ini harus dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam
Sistem Hukum Nasional (SHN) yang menjamin perlindungan hak dan
kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI Tahun 1945. Sistem Hukum Nasional (SHN) adalah sistem
hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling
menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI Tahun 1945.43
Pembangunan hukum nasional harus serasi dan selaras dengan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan
dalam rangka mewujudkan tujuan negara. The founding fathers kita
telah menetapkan bahwa tujuan negara kita adalah: 1) melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan
kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4)
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan.44 Sebagaimana diuraikan di atas
bahwa pembangunan hukum nasional harus serasi dan selaras
dengan pembangunan nasional, maka pembangunan hukum nasional
juga harus diarahkan dalam rangka: 1) melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan
umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan. Oleh karena itu, roh pembangunan hukum adalah Alinea IV
Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
Pembangunan hukum merupakan tindakan atau kegiatan
yang dimaksudkan untuk membentuk kehidupan hukum ke arah

43
Lihat Penjelasan Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
44
Lihat Alinea IV Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.

46 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


yang lebih baik dan kondusif. Sebagai bagian dari pembangunan
nasional, pembangunan hukum harus terintegrasi dan bersinergi
dengan pembangunan bidang lain, serta memerlukan proses yang
berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan hukum tidak hanya
ditujukan untuk hukum dalam arti positif yang identik dengan
peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga hukum dalam arti
yang lebih luas yang menunjuk pada sebuah sistem. Dalam dokumen
perencanaan pembangunan45, pembangunan bidang hukum meliputi:
1) materi hukum; 2) kelembagaan dan penegakan hukum; 3) kesadaran
hukum masyarakat; 4) pelayanan hukum. Karena unsur-unsur tersebut
saling mempengaruhi, hukum harus dibangun secara simultan, sinkron,
dan terpadu.
Pembangunan materi hukum diarahkan untuk pembaruan
peraturan perundang-undangan dalam mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang
bersumber pada Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, yang
antara lain mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum, serta
pengembangan dan penelitian hukum. Pembangunan kelembagaan dan
penegakan hukum adalah tindakan atau kegiatan yang dimaksudkan
untuk memelihara dan mempertahankan tertib hukum. Sementara
itu, pembangunan kesadaran hukum masyarakat adalah tindakan atau
kegiatan untuk meningkatkan abstraksi mengenai perasaan hukum dari
subjek hukum yang berkaitan dengan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi
dalam diri manusia mengenai keserasian antara keteriban dengan
ketenteraman yang dikehendaki. Indikator kesadaran hukum adalah
pengetahuan tentang peraturan hukum, sikap terhadap peraturan
hukum dan pola perilaku hukum. Sedangkan pembangunan pelayanan
hukum adalah tindakan atau kegiatan untuk mendukung berjalannya
penegakan hukum, meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, serta
meningkatnya pelayanan administrasi hukum.
Salah satu bidang pembangunan hukum yang erat sekali kaitannya
dengan tulisan ini adalah pembangunan materi hukum yang diarahkan

Lihat Bab III Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana


45

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 47


untuk pembaruan peraturan perundang-undangan. Menurut hemat
penulis, bisa saja ketiga bidang pembangunan hukum yang lainnya juga
dilakukan melalui pembangunan substansi hukum dengan melakukan
pembaruan peraturan perundang-undangan. Pembaruan peraturan
perundang-undangan bisa dilakukan melalui revisi atau pembentukan
baru sama sekali peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kelembagaan dan penegakan hukum, kesadaran hukum masyarakat,
dan pelayanan hukum. Di bawah ini diuraikan perencanaan sesuai
dengan jenis peraturan perundang-undangan.

1. Perencanaan UU
Agar pembahasan dan substansi UU bisa lebih efektif dan efisien
maka proses pembentukan UU harus dilakukan melalui tahapan
perencanaan yang baik. Tahapan perencanaan tersebut meliputi:
a. Penyusunan Naskah Akademis; b. Penyusunan Prolegnas,
yang teridiri atas: Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas
Prioritas Tahunan; c. Penyusunan RUU Kumulatif Terbuka; dan d.
Penyusunan RUU di luar Prolegnas. Di bawah ini diuraikan satu
per satu tahapan perencanaan tersebut.
a. Penyusunan Naskah Akademis (NA)
NA disusun dalam rangka penyusunan RUU. NA adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, RanPerda
Provinsi, RanPerda Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan masyarakat.46 Meskipun namanya
Naskah Akademis tetapi tidak berarti penyusunannya hanya
menjadi monopoli kalangan akademis, kalangan non-akademis
pun bisa menyusun Naskah Akademis asal dalil-dalil, alasan-
alasan atau solusi yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan
secara akademis/ilmiah. Mengapa dalil-dalil, alasan-alasan
atau solusi yang diberikan harus secara ilmiah/akademis?

Lihat Pasal 1 angka 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


46

Peraturan Perundang-undangan.

48 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Karena dalil-dalil, alasan-alasan atau solusi yang bersifat
ilmiah lazimnya bisa diukur dan hasilnya objektif dan biasanya
didukung oleh teori-teori yang berkaitan. Oleh karena itu,
biasanya pemrakarsa dalam menyusun NA melibatkan para
ahli/akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Penyusunan NA dalam rangka penyusunan RUU dilakukan
oleh pemrakarsa. Pemrakarsa RUU ada 3, yaitu DPR, DPD,
dan Pemerintah (Presiden). Dalam hal pemrakarsa RUU
adalah DPR, maka penyusunan NA dilakukan oleh Komisi
atau Baleg dan dibantu oleh Badan Keahlian DPR. Dalam hal
pemrakrsanya adalah DPD, maka penyusunan NA dilakukan
oleh Panitia PUU. Sedangkan kalau pemrakarsanya Pemerintah
(Presiden), maka NA disiapkan oleh kementerian/lembaga
yang tugas dan fungsinya terkait dengan substansi yang
akan diatur dan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum
dan HAM, dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN). Koordinasi ini dilakukan dalam rangka penyelarasan
NA. Penyelarasan dilakukan terhadap sistematika dan materi
muatan NA. Setelah dilakukan penyelarasan, hasilnya
disampaikan kepada pemrakarsa.
Penyusunan NA dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan
NA. Sistematika NA adalah sebagai berikut:47
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

47
Lihat Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 49


BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UU
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG

b. Penyusunan Prolegnas
Dalam rangka memperbaiki kualitas peraturan perundang-
undangan, penyusunan UU dilakukan melalui perencanaan
yang disebut Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen
perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara
terencana, terpadu, sistematis. 48 Prolegnas merupakan
skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.49
Penyusunan Prolegnas dilakukan secara terencana maksudnya
adalah bahwa penyusunan Prolegnas diarahkan pada kegiatan
penyusunan konsep pembentukan UU yang akan dikerjakan
pada kurun waktu tertentu dan bersifat menyelesaikan
kebutuhan hukum ke depan. Dalam melakukan perencanaan
pembentukan UU, acuan utamanya adalah kebutuhan
hukum. Penentuan kebutuhan hukum didasarkan pada Pasal
18 UU No. 12 Tahun 2011. Setelah dilakukan pemetaan
kebutuhan hukum berdasarkan Pasal 18 UU No. 12 Tahun
2011, maka dituangkanlah ke dalam Prolegnas Jangka
Menengah. Prolegnas Jangka Menengah menjadi dasar utama
atau parameter penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan (1
tahunan).

48
Lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
49
Lihat Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

50 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Sementara itu, yang dimaksud dengan penyusunan Prolegnas
dilakukan secara terpadu adalah bahwa penyusunan Prolegnas
dilakukan secara terkoordinasi, baik antara DPR, DPD50,
dan Pemerintah maupun di lingkungan internalnya masing-
masing. Koordinator penyusunan Prolegnas di lingkungan
DPR adalah Badan Legislasi (Baleg). Koordinator penyusunan
Prolegnas di lingkungan DPD adalah Panitia PUU. Sampai saat
ini, peran DPD dalam proses pembentukan UU (termasuk
dalam penyusunan Prolegnas) pasca adanya Putusan MK
No. 92/PUU-X/2012 belum ada mekanisme yang jelas,
bahkan belum ada kelegowoan dari DPR untuk melaksanakan
Putusan MK tersebut. Sedangkan koordinator penyusunan
Prolegnas di lingkungan Pemerintah adalah Menteri Hukum
dan HAM. Ketiga koordinator penyusun Prolegnas (DPR,
DPD, Pemerintah) menyusun daftar prioritas Prolegnas
masing-masing untuk diajukan ke Baleg DPR untuk dilakukan
pembahasan bersama. Setelah disetujui di Baleg DPR, maka
daftar prioritas Prolegnas tersebut dibahas di tingkat paripurna
untuk disetujui menjadi Prolegnas.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan penyusunan Prolegnas
dilakukan secara sistematis adalah bahwa Prolegnas disusun
berdasarkan metode dan parameter tertentu untuk menjamin
tercapainya tujuan. Parameter yang digunakan adalah syarat
substantif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 UU No. 12
Tahun 2011 dan syarat teknis. Metode penyusunan Prolegnas
diatur dalam peraturan masing-masing lembaga pembentuk
UU. Untuk DPR metode penyusunan Prolegnas diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk Pemerintah metode
penyusunan Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden.
Untuk DPD belum ada pengaturannya.

50
Pasal 20 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan bahwa “Penyusunan Prolegnas dilaksanakan
oleh DPR dan Pemerintah.” Dengan Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dinyatakan
bahwa Pasal 20 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “penyusunan Prolegnas dilaksakan oleh DPR, DPD, dan
Pemerintah.”

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 51


Prolegnas memuat program pembentukan UU dengan judul
RUU, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dalam RUU
dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya merupakan keterangan mengenai konsepsi RUU, yang
meliputi:51
1) Latar belakang dan tujuan penyusunan;
2) Sasaran yang ingin diwujudkan; dan
3) Jangkauan dan arah pengaturan.

Materi atau konsepsi yang telah disusun melalui pengkajian


dan penyelarasan kemudian dituangkan dalam Naskah
Akademik.
Peran Prolegnas dalam pembangunan hukum adalah:
1) Memberikan gambaran obyektif mengenai arah politik
pembentukan UU dalam jangka waktu tertentu, yaitu
jangka waktu 5 tahunan dan tahunan;
2) Memberikan skala prioritas program pembentukan UU
dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional;
3) Memberikan pedoman dan arah bagi lembaga yang
berwenang membentuk UU;
4) Sebagai sarana untuk mewujudkan sinergi, baik antar
lembaga pembentuk UU (DPR, DPD, Pemerintah)
maupun di dalam internal masing-masing lembaga
pembentuk UU;
5) Merupakan peta kebutuhan pembentukan UU pada masa
tertentu.

51
Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

52 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Penyusunan Prolegnas terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu:
1) Prolegnas Jangka Menengah, dan 2) Prolegnas Prioritas
Tahunan.
1) Prolegnas Jangka Menengah
Dalam rangka penyusunan Prolegnas Jangka Menengah,
masing-masing lembaga pembentuk UU menyiapkan
rancangan awal Prolegnas Jangka Menengah (5 tahunan)
berdasarkan kebutuhan masing-masing. Penyusunan
dan penetapan Prolegnas Jangka Menengah (5 tahunan)
dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR dan
dapat dilakukan evaluasi setiap akhir tahun bersamaan
dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas
tahunan.52 Menurut pengamatan penulis dari ketiga
lembaga pembentuk UU ini belum ada pola baku dalam
menyusun Prolegnas. Jika dibandingkan antara ketiga
lembaga pembentuk UU, Pemerintah agak lebih tertib
dan berpola meskipun belum berjalan dengan baik.
Berikut diuraikan proses penyusunan Prolegnas di
lingkungan Pemerintah. Sebagaimana diuraikan di atas,
bertindak sebagai koordinator penyusunan Prolegnas
di lingkungan Pemerintah adalah Kementerian Hukum
dan HAM, dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN). Pada awalnya, Kementerian Hukum
dan HAM lebih banyak bertindak sebagai koordinator
dan mengumpulkan saja usulan RUU yang akan menjadi
prioritas Prolegnas dari kementerian/lembaga, karena
kementerian/lembagalah yang paling mengetahui akan
kebutuhan RUU. Namun, dalam perjalanannya proses
tersebut diubah Kementerian Hukum dan HAM lah yang
menentukan kebutuhan akan RUU tersebut.

52
Lihat Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 53


Dalam proses penyusunan Prolegnas, Kementerian
Hukum dan HAM menyiapkan rancangan awal Prolegnas
Jangka Menengah sebagai penjabaran visi, misi, program
prioritas Presiden jangka menengah. Penyusunan
rancangan awal Prolegnas ini paralel dengan penyusunan
rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Karena terkait dengan RPJMN,
maka pembahasannya dilakukan bersama-sama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Hasilnya bisa berupa Daftar RUU atau arah kerangka
regulasi. Daftar RUU disusun berdasarkan hasil penelitian
atau pengkajian yang memuat: a) judul, b) konsepsi,
c) dasar penyusunan, d) keterkaitan dengan peraturan
perundang-undangan lain.
Dalam menyusun Prolegnas Jangka Menengah ini,
penyusunan daftar RUU dilakukan melalui penelitian
dan pengkajian terhadap syarat-syarat substantif yaitu:53
1) Perintah UUD Negara RI Tahun 1945;
2) Perintah Ketetapan MPR;54
3) Perintah UU lainnya;
4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN);
5) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN);
6) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM);

53
Lihat Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
54
Sampai saat ini masih ada beberapa Ketetapan MPR yang memerlukan tindak
lanjut untuk disusun UU tetapi belum dilaksanakan, antara lain: a) Ketetapan MPR
RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
b) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
c) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan;
d) Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

54 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


7) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana
Strategis (Renstra) DPR;55
8) Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Kemudian, proses selanjutnya adalah Kementerian


Hukum dan HAM menyampaikan daftar RUU yang
sesuai dengan kebutuhan kepada kementerian/lembaga
untuk mendapatkan masukan atau tanggapan. Masukan
atau tanggapan kementerian/lembaga dapat berupa usul
penambahan atau pengurangan terhadap konsep daftar
RUU. Masukan atau tanggapan ini menjadi bahan dalam
finalisasi Rancangan Prolegnas Jangka Menengah.
Proses berikutnya, Menteri Hukum dan HAM
menyampaikan Rancangan Prolegnas kepada Menteri
PPN/Kepala Bappenas, Menteri Sekretaris Negara,
Menteri Keuangan,dan Menteri Dalam Negeri (Tim
Pengarah) untuk disepakati dan dituangkan dalam
Prolegnas Jangka Menengah sebagai prioritas kerangka
regulasi dalam RPJMN. Selanjutnya, Menteri Hukum
dan HAM menyampaikan hasil Prolegnas Jangka
Menengah kepada Presiden untuk mendapatkan
persetujuan. Jika Presiden menyetujuinya, Menteri
Hukum dan HAM menyampaikan kepada DPR melalui
Baleg sebagai Prolegnas Jangka Menengah usulan
Pemerintah. Selanjutnya, Prolegnas Jangka Menengah
usulan Pemerintah tersebut disampaikan kepada DPR
melalui Baleg untuk selanjutnya dibahas bersama untuk
mendapatkan persetujuan sebagai Prolegnas Jangka
Menengah.

55
Berdasarkan Putusan MK No. Register 92/PUU-XI/2013, Pasal 18 huruf g
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “rencana
kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD”.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 55


Untuk lebih memperjelas dalam proses penyusunan
Prolegnas Jangka Menengah, berikut ini proses
penyusunan Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-
2019 di lingkungan Pemerintah dalam bentuk flow chart.

2) Prolegnas Prioritas Tahunan


Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan
sebagai pelaksanaan Prolegnas Jangka Menengah
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan APBN.56
Mengapa penetapan Prolegnas prioritas tahunan
dilakukan sebelum penetapan APBN? Hal ini dilakukan
untuk menghindari jangan sampai suatu RUU yang
menjadi prioritas tahun yang bersangkutan tidak terbiayai
karena tidak dianggarkan dalam APBN. Dalam praktik,
penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan jauh
setelah penetapan APBN. Proses yang tidak sesuai
dengan ketentuan UU tersebut harus dilakukan
perbaikan. Biasanya, proses penetapan APBN untuk
tahun berikutnya sudah dilakukan pada bulan Agustus/
September tahun yang berjalan. Sedangkan penetapan

Lihat Pasal 20 ayat (5) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


56

Peraturan Perundang-undangan.

56 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Prolegnas prioritas tahunan untuk tahun berikutnya
dilakukan pada bulan November/Desember tahun yang
berjalan. Kalau mau mengikuti ketentuan UU, seharusnya
penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan sebelum
bulan Agustus/September tahun yang berjalan atau
bisa juga penetapan Prolegnas prioritas tahunan tetap
dilakukan pada bulan November/Desember tahun yang
berjalan tetapi untuk Prolegnas prioritas tahunan 2 tahun
berikutnya. Misalnya, pada bulan November/Desember
2017 nanti akan ditetapkan Prolegnas prioritas tahunan,
bukan untuk Prolegnas prioritas tahun 2018 tetapi untuk
Prolegnas prioritas tahun 2019.
Untuk lebih memperjelas mengenai proses penyusunan
Prolegnas prioritas tahunan, berikut ini diuraikan proses
penyusunan Prolegnas tahunan tahun 2017. Dasar utama
penyusunan Prolegnas prioritas tahunan tahun 2017
adalah Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019. Dalam
praktik, ada juga RUU yang tidak masuk dalam daftar
RUU Prolegnas Jangka Menengah tetapi menjadi RUU
Prolegnas tahunan. Dari RUU yang termasuk dalam
Daftar RUU Prolegnas Jangka Panjang (long list) kemudian
dikombinasikan dengan RUU luncuran (warisan)
Prolegnas tahunan tahun 2016. Setelah itu disesuaikan/
dicocokan lagi dengan Rencana Kerja Pemerintah/Renstra
DPR/Renstra DPD. Tahap terakhir adalah dikaitkan
dengan urgensi, apakah RUU tersebut sangat urgent atau
tidak untuk menjadi RUU prioritas tahun 2017.
Untuk penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan di
lingkungan Pemerintah, tata caranya diatur dalam
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 12 Tahun2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Tata cara tersebut dapat
digambarkan dalam flow chart sebagai berikut:

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 57


Untuk proses penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan
tahun yang berjalan di lingkungan Pemerintah, selain
persyaratan substantif sesuai dengan Pasal 18 UU No.
12 Tahun 2011 juga ditambah dengan persyaratan teknis
berupa dokumen-dokumen yang harus dilampirkan.
Dalam hal persyaratan teknis tersebut belum dipenuhi,
maka akan ditolak untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas
Tahunan. Syarat teknis tersebut meliputi:
a) Ada Naskah Akademiknya (NA);
b) Ada surat keterangan hasil penyelarasan NA dari
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
Kementerian Hukum dan HAM;
c) Ada draft RUU;
d) Ada surat keterangan telah selesai rapat panitia antar
kementerian (PAK) dari pemrakarsa;57

57
Dalam praktik, sering terjadi RUU hasil panitia antar kementerian/lembaga
(PAK) belum sepenuhnya menjadi RUU yang disepakati oleh kementerian/
lembaga. Ketidaksepakatan itu tampak pada waktu RUU tersebut dibahas dalam
proses pengharmonisasian di Kementerian Hukum dan HAM. Idealnya, RUU yang
dikirim oleh pemrakarsa untuk proses pengharmonisasian ke Kementerian Hukum
dan HAM sudah selesai dan tidak ada lagi perdebatan yang prinsipiil. Namun,

58 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


e. Ada surat keterangan telah selesai pengharmonisasian
dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan, Kementerian Hukum dan HAM.
f. Khusus untuk RUU di luar Prolegnas harus ada izin
prakarsa dari Presiden.

Setelah proses di atas dilalui, maka tersusunlah RUU


Prolegnas Prioritas Tahunan. Alur proses penyusunan
Prolegnas di lingkungan Pemerintah dapat digambarkan
dalam flow chart sebagai berikut:

c. Penyusunan RUU Kumulatif Terbuka


Maksud diberikannya ruang RUU Kumulatif Terbuka dalam
Prolegnas Prioritas Tahunan adalah untuk menampung RUU
yang sangat urgent dan mendesak untuk segera disahkan pada
tahun yang bersangkutan. Kriteria yang digunakan untuk
menentukan urgensitas atau kemendesakan RUU adalah:
1) Pengesahan perjanjian internasional tertentu58;

kenyataannya tidak demikian. Oleh karena itu, proses pengharmonisasian menjadi


tambah lama dan bertele-tele. Hal ini terjadi karena mengemukanya ego sektoral
dan ditambah lagi wakil yang terlibat dalam PAK dan wakil yang terlibat dalam
proses pengharmonisasian berbeda dan selalu berganti-ganti.
58
Tidak semua pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU,
tetapi hanya perjanjian internasional tertentu saja yang harus disahkan dengan UU.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 59


2) Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi;
3) Pengesahan APBN;
4) Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah
provinsi dan kabupaten/kota;
5) Penetapan atau pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perppu).

Untuk penyusunan RUU pengesahan perjanjian internasional


tertentu proses yang harus ditempuh adalah diawali dengan
pengajuan izin prakarsa oleh pemrakarsa (dalam hal ini
Kementerian Luar Negeri) kepada Presiden dan disertai
dengan konsepsi RUU. Sedangkan untuk RUU yang disusun
sebagai akibat (tindak lanjut) putusan MK, proses yang harus
ditempuh adalah pemrakarsa mengajukan usul penyusunan
RUU dan disertai dengan dokumen teknis. Untuk RUU
pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota saat ini lebih cenderung yang
mengajukan adalah DPR karena keterkaitannya dengan daerah
pemilihan (dapil) anggota DPR. Beberapa tahun terakhir ini
Pemerintah tidak mengajukan usulan RUU daerah pemekaran,
malah justru mengusulkan untuk dilakukan moratorium.
Untuk RUU APBN dan RUU Penetapan/Pencabutan Perppu
menjadi UU tidak diperlukan Naskah Akademis.

Berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional


pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU apabila berkenaan
dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pengesahan perjanjian yang materinya di luar materi di atas cukup dilakukan
dengan Peraturan Presiden.

60 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


d. Penyusunan RUU di luar Prolegnas
Dalam keadaan tertentu pembentuk UU (DPR, DPD59, dan
Pemerintah) dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas yang
mencakup:60
1) Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik,
atau bencana alam61; dan
2) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui
bersama alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.

Khusus untuk RUU di luar Prolegnas yang diusulkan oleh


Pemerintah, prosedur yang ditempuh adalah pemrakarsa
(Kementerian/Lembaga) mengajukan izin prakarsa kepada
Presiden disertai dengan penjelasan mengenai urgensi
penyusunan RUU tersebut dan konsepsi pengaturan RUU.
Jika disetujui oleh Presiden, maka pemrakarsa menyusun RUU
sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Kemudian,

59
Berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 DPD adalah pembentuk
UU juga.
60
Lihat Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
61
Bandingkan dengan kewenangan Presiden untuk membentuk Perppu yang
dituangkan dalam Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 dengan syarat “dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Penulis berpendapat bahwa “keadaan luar
biasa, keadaan konflik, atau bencana alam” termasuk dalam kriteria “dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa” yang harus mendapatkan penanganan yang
segera tanpa melalui proses pembentukan UU yang normal. Apabila ditempuh
melalui prosedur pembentukan UU yang normal, jangan-jangan kondisi “tidak
normal” tersebut sudah berubah menjadi normal, sudah tidak genting dan
memaksa, keadaan luar biasanya sudah menjadi biasa, keadaan konfliknya sudah
selesai, bencana alamnya sudah bisa diatasi. Oleh karena itu, dalam hal diperlukan
pengaturan untuk mengatasi “keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam” sebaiknya jangan ditempuh proses penyusunan UU melalui jalur biasa/
normal tetapi ditempuh melalui jalur “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”
atau jalur Perppu.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 61


pemrakarsa menyampaikan RUU di luar Prolegnas tersebut
kepada Menteri Hukum dan HAM dengan melampirkan izin
prakarsa dari Presiden dan dokumen kesiapan teknis. Tahapan
berikutnya, Menteri Hukum dan HAM mengajukan RUU di
luar Prolegnas tersebut kepada Pimpinan DPR melalui Baleg
DPR untuk mendapatkan persetujuan agar dimasukkan atau
ditambahkan ke dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.

2. Perencanaan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan


Presiden (Perpres)
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 penyusunan PP dilakukan
melalui perencanaan yang disebut program penyusunan PP.62 Begitu
juga untuk penyusunan Perpres, dilakukan melalui perencanaan
yang disebut program penyusunan Perpres.63 Perencanaan tersebut
ditetapkan dengan Keputusan Presiden untuk jangka waktu 1
(satu) tahun dan dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum
dan HAM. Perencanaan Program Penyusunan PP dan Program
Penyusunan Perpres dilakukan berdasarkan:
a. Hasil inventarisasi PP dan Perpres yang disiapkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM (Badan Pembinaan Hukum
Nasional);
b. Usulan Kementerian/lembaga yang sudah diseleksi
berdasarkan kebutuhan/urgensi, kesiapan substantif dan
kesiapan teknis.

62
Lihat Pasal 24 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
63
Lihat Pasal 30 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

62 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Dalam praktik, Kementerian Hukum dan HAM (BPHN)
menentukan kriteria agar PP masuk dalam Program Penyusunan
PP. Penentuan prioritas Program Penyusunan PP ditentukan
berdasarkan:
a. Persyaratan substantif:
1) Merupakan delegasi UU;
2) Sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
b. Kesiapan teknis:
1) Sudah dibentuk Panitia Antar Kementerian/lembaga
(lebih diutamakan);
2) Sudah ada draft RPP.

Dalam keadaan tertentu dapat disusun RPP di luar Program


Penyusunan PP dengan syarat pemrakrsa mengajukan izin prakarsa
kepada Presiden dan disertai dengan penjelasan urgensitas
disusunnya PP. Kriteria agar dapat menyusun RPP di luar Program
Penyusunan PP adalah:
a. Berdasarkan kebutuhan UU, misalnya RPP tentang
Pelaksanaan UU APBN;

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 63


b. RPP akibat putusan MA atau akibat putusan MK terhadap
UU berpengaruh terhadap PP;
c. RPP yang bersifat mendesak yang ditentukan oleh Presiden
untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.

Sama seperti penyusunan PP, untuk dapat masuk dalam prioritas


Program Penyusunan Perpres juga ada kriterianya, yaitu:
a. Persyaratan substantif:
1. Merupakan delegasi UU; atau
2. Merupakan delegasi PP;
3. Sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
b. Kesiapan teknis:
1. Sudah dibentuk Panitia Antar Kementerian/lembaga
(lebih diutamakan);
2. Sudah ada draft RPP.

Dalam keadaan tertentu juga dapat disusun RPerpres di luar


Program Penyusunan Perpres, yaitu dalam rangka melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan berdasarkan ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.

64 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Dalam rangka pelaksanaan Program Penyusunan PP dan Perpres
telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Setiap kementerian/lembaga menyampaikan laporan
perkembangan Program Penyusunan PP atau Perpres kepada
Menteri Hukum dan HAM;
b. Pelaporan dilakukan secara online melalui Sistem Pelaporan
yang dipantau langsung oleh Kantor Staf Presiden;
c. Menteri Hukum dan HAM bersama Tim Pengarah64 melakukan
Evaluasi Pelaksanaan Prolegnas, Program Penyusunan PP dan
Perpres.

Sebagai gambaran, berikut ini diuraikan program perencanaan


penyusunan peraturan perundang-undangan tahun 2016.
a. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun
2016 prakarsa Pemerintah berjumlah 18 RUU, dengan rincian:
1. 13 RUU Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2016;
2. 5 RUU Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2016 Perubahan.

64
Tim Pengarah selama ini terdiri atas wakil dari Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/Bappenas.

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 65


b. Program Penyusunan PP Tahun 2016 berjumlah 196 RPP,
dengan rincian:
1. 85 RPP luncuran tahun 2015;
2. 111 RPP baru, 45 RPP diantaranya merupakan RPP
tentang Penyertaan Modal Negara.
c. Program Penyusunan Perpres Tahun 2016 berjumlah 91
RPerpres, dengan rincian:
1. 55 RPerpres luncuran tahun 2015;
2. 36 RPerpres baru.

3. PUU yang Memerlukan dan Tidak Memerlukan Izin Prakarsa


Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan ada
peraturan perundang-undangan yang memerlukan izin prakarsa
dari Presiden dan ada peraturan perundang-undangan yang tidak
memerlukan izin prakarsa dari Presiden.

Selain itu, juga ada peraturan perundang-undangan yang tidak


memerlukan izin prakarsa dari Presiden, yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh
Presiden, dimuat dalam Instruksi Presiden dan/atau dibahas
dalam sidang kabinet.

66 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


b. Peraturan perundang-undangan yang merupakan paket
kebijakan ekonomi yang dikoordinasikan oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
c. Peraturan perundang-undangan yang merupakan paket
kebijakan reformasi hukum yang dikoordinasikan oleh Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Implikasi persetujuan Presiden atas pengajuan izin prakarsa adalah:


a. Dalam hal mendapatkan persetujuan Presiden, maka
kementerian/lembaga pemrakarsa melakukan penyusunan dan
pembahasan RUU/RPP/RPerpres secara terkoordinasi dengan
kementerian/lembaga yang tugas dan fungsinya terkait dengan
substansi yang akan diatur dengan berpedoman pada UU
No. 12 Tahun 2011 dan Perpres No. 87 Tahun 2014, dengan
ketentuan:
1. Kementerian/lembaga pemrakarsa memulai penyusunan
RUU/RPP/RPerpres setelah izin prakarsa dari Presiden
keluar dan diterima.
2. Penyusunan RUU/RPP/RPerpres harus diselesaikan
dalam tahun yang bersangkutan.
b. Dalam hal tidak mendapatkan persetujuan Presiden,
kementerian/lembaga pemrakarsa tidak dapat melanjutkan
penyusunan dan pembahasan RUU/RPP/RPerpres.
c. Dalam hal pengajuan RUU/RPP/RPerpres kepada Presiden
guna penetapannya, substansi RUU/RPP/RPerpres harus
konsisten dengan konsep pengaturan RUU/RPP/RPerpres
yang telah mendapat persetujuan Presiden.

4. Perencanaan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota


Tidak berbeda dengan peraturan perundang-undangan di tingkat
Pusat, penyusunan Perda Provinsi juga dilakukan dalam Prolegda
Provinsi. 65 Substansi yang dituangkan dalam Prolegda juga

65
Lihat Pasal 32 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 67


tidak berbeda dengan substansi pada Prolegnas dan program
penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat Pusat lainnya.
Prolegda Provinsi disusun oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi untuk jangka waktu 1 tahun dan ditetapkan
sebelum penetapan Ranperda Provinsi tentang APBD.66 Prioritas
penyusunan Perda didasarkan pada:67
a. Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. Rencana pembangunan daerah;
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. Aspirasi masyarakat daerah.

Prolegda yang disepakati menjadi Prolegda Provinsi ditetapkan


dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi dan ditetapkan dengan
Keputusan DPRD Provinsi. Dalam Prolegda juga dapat dimuat
daftar kumulatif terbuka Perda yang terdiri atas Perda sebagai
akibat putusan Mahkamah Agung dan Perda tentang APBD
Provinsi. Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur
dapat mengajukan Ranperda di luar Prolegda, yaitu:68
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam;
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
atas suatu Ranperda yang dapat disetujui bersama oleh alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi dan biro hukum.

Perundang-undangan. Dalam UU N0. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


istilah yang digunakan adalah Program Pembentukan Perda, bukan Prolegda.
66
Lihat Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
67
Lihat Pasal 35 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
68
Lihat Pasal 38 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

68 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Untuk penyusunan Perda Kabupaten/Kota, perencanaannya
dilakukan melalui Prolegda Kabupaten/Kota. Ketentuan mengenai
perencanaan penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota tunduk pada
ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Prolegda Provinsi.

5. Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya


Dasar hukum perencanaan penyusunan peraturan perundang-
undangan lainnya adalah Pasal 42 UU No. 12 Tahun 2011.
Perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya
merupakan kewenangan instansi yang bersangkutan dan dalam
menyusunnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
instansi. Sebagai dasar, perencanaan penyunan peraturan tersebut
adalah perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau berdasarkan kewenangan. Perencanaan penyusunan peraturan
perundang-undangan tersebut ditetapkan dengan keputusan
pimpinan instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 tahun.
Dalam praktik, belum semua instansi melaksanakan perencanaan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dan
menjadi kewenangannya.

Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa urgensi


perencanaan peraturan perundang-undangan adalah:

2 | PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 69


a. Meningkatkan tertib administrasi di bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan;
b. Menjaga agar peraturan perundang-undangan berada dalam
kesatuan Sistem Hukum.
c. Memberikan gambaran objektif tentang kebutuhan dan
permasalahan pembentukan peraturan perundang-undangan.
d. Merupakan sarana pengendali kegiatan pembentukan
peraturan perundang-undangan dengan memfokuskan
kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan menurut skala prioritas yang ditetapkan.
e. Memastikan bahwa rencana pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak kontra produktif, tetapi selaras
dengan dan mendukung program kebijakan Pemerintah.

70 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


-3-
PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Sesuai dengan jenisnya, pembahasan mengenai penyusunan


peraturan perundang-undangan dibagi ke dalam: penyusunan Undang-
Undang/Perpu, penyusunan PP, penyusunan Perpres, dan penyusunan
Perda.

1. Penyusunan Undang-Undang
Inisatif (prakarsa) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU)
dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), atau Presiden yang disusun berdasarkan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU yang diajukan
disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
a. RUU Inisiatif DPR
RUU inisiatif DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, Baleg DPR atau DPD. Dalam mempersiapkan
RUU, DPR dibantu oleh Badan Keahlian. Pengharmonisasian,

71
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU inisiatif DPR
dikoordinasikan atau dilakukan oleh Baleg DPR. Namun,
anggota DPR yang tidak masuk dalam Baleg sering
mempermasalahkan kenapa Baleg yang mengharmonisasikan
RUU inisiatif DPR padahal anggota DPR yang duduk di komisi
tetapi tidak duduk di Baleg itu sama posisinya dengan anggota
DPR yang duduk di Baleg.
Dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan
RUU di luar Prolegnas. Yang dimaksud dengan keadaan
tertentu adalah:
1) Untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-Undang;
2) Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional
tertentu;
3) Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
4) Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik,
atau bencana alam;
5) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu

RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi


(Baleg) DPR dan Menteri Hukum dan HAM.
Penyebarluasan dalam rangka memberikan informasi atau
memperoleh masukan dari masyarakat atas dibentuknya RUU
oleh DPR dilakukan oleh Baleg DPR. Biasanya pemberian
informasi atau masukan atas RUU tersebut dilakukan melalui
kunjungan kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
RUU yang sudah disepakati oleh DPR kemudian disampaikan
kepada Presiden untuk dilakukan pembahasan bersama.

b. RUU Inisiatif Pemerintah (Presiden)


Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap RUU disusun
berdasarkan Prolegnas. Selain itu, normatifnya setiap RUU
juga harus disertai Naskah Akademis (NA), kecuali RUU
tentang APBN, RUU tentang Penetapan Perpu menjadi UU,

72 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


dan RUU tentang Pencabutan UU atau Pencabutan Perpu.
RUU yang diajukan oleh (inisiatif) Presiden disiapkan oleh
pemrakarsa, yaitu kementerian/lembaga. Kementerian/
lembaga yang menjadi pemrakarsa adalah kementerian/
lembaga yang tugas dan fungsinya secara teknis menangani
substansi yang akan diatur dalam UU tersebut.
Pada waktu menyusun RUU, kementerian/lembaga yang
menjadi pemrakarsa harus melibatkan kementerian/lembaga
lain dan pemangku kepentingan (stake holder) yang terkait
dengan substansi yang akan diatur dalam RUU. Pelibatan
kementerian/lembaga lain atau pemangku kepentingan ini
biasanya ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Antar
Kementerian (PAK) dan/atau antar non kementerian.
Keanggotaan PAK dan/atau antar non kementerian terdiri atas
kementerian/lembaga yang terkait dengan substansi, dapat
juga melibatkan ahli (hukum), praktisi, akademisi, perancang
peraturan perundang-undangan. Pemrakarsa mengajukan
surat permitaan kepada kementerian/lembaga yang terkait
untuk menugaskan pejabat yang akan menjadi anggota PAK
disertai dengan konsepsi atau gambaran substansi. Kemudian,
pemrakarsa menunjuk pejabat yang berwenang dan menguasai
secara teknis substansi yang akan diatur untuk menjadi
ketua PAK. PAK ini dituangkan dalam Keputusan Menteri/
Kepala Lembaga yang menjadi pemrakarsa. Keputusan ini
biasanya berlaku untuk satu tahun dan anggaran dibebankan
pada anggaran isntansi pemrakarsa. Pemrakarsa dengan
tim sekretariatnya melakukan penyiapan, pengolahan, dan
perumusan substansi RUU.
Selanjutnya, pemrakarsa mengadakan Rapat PAK. Pembahasan
dalam rapat menitikberatkan pada permasalahan yang bersifat
prinsipiil. Anggota PAK memberikan masukan sesuai dengan
lingkup tugasnya masing-masing. Rapat PAK dilakukan sesuai
dengan kebutuhan tergantung apakah substansinya sudah
mendapatkan kesepakatan atau belum. Apabila sudah dicapai
kesepakatan substansinya, ketua tim melaporkan kepada

3 | PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 73


pimpinan kementerian/lembaga pemrakarsa. Draft RUU yang
sudah disepakati merupakan draft akhir RUU dan diparaf oleh
anggota PAK.
Selanjutnya, RUU hasil PAK dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi. Permohonan untuk
melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pementapan
konsepsi RUU dilakukan oleh pemrakarsa dengan surat yang
ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM, dalam hal ini
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Persyaratan
administratif yang harus dipenuhi untuk bisa dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
RUU adalah:
1) Ada Naskah Akademik;
2) Masuk dalam prioritas Prolegnas Tahunan;
3) Penjelasan mengenai urgensi dan pokok-pokok pikiran;
4) Keputusan mengenai pembentukan PAK;
5) Naskah RUU yang telah mendapat (paraf) persetujuan
dari anggota PAK;
6) Izin prakarsa Presiden dalam hal RUU tersebut tidak
masuk Prolegnas.

Setelah permohonan pengharmonisasian, pembulatan


dan pemantapan konsepsi RUU diterima oleh Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, maka dilakukanlah
rapat pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi RUU dengan melibatkan berbagai kementerian/
lembaga terkait atau stake holders. Berapa kali dilakukan rapat
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
biasanya tergantung pada berat-ringannya, netral-tidaknya,
banyak yang berkepentingan-tidaknya atas substansi yang
diatur dalam RUU tersebut. Apabila substansi yang diatur
dalam RUU tersebut ringan, netral, tidak banyak yang
berkepentingan biasanya bisa cepat dilakukan kesepakatan
sehingga rapatnya juga bisa cepat selesai. Namun, sebaliknya

74 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


apabila substansinya berat, tidak netral, banyak yang
berkepentingan rapatnya bisa berlarut-larut dan memakan
waktu yang tidak sedikit. Tidak sedikit, substansi tertentu
RUU yang harus mendapatkan persetujuan dari menteri/
pimpinan lembaga tertentu yang terkait betul. Bahkan ada
substansi RUU yang harus diputuskan oleh Presiden dengan
dibahas dalam rapat (kabinet) terbatas (Ratas). Kalau
pengambilan keputusannya sampai berlarut-larut, biasanya
menyangkut kewenangan kementerian/lembaga tertentu, ego
sektoral.
Apabila telah terjadi kesepakatan mengenai substansi,69
maka Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
(Kementerian Hukum dan HAM) menyerahkan hasil
kesepakatan rapat pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi tersebut kepada pemrakarsa. Selanjutnya,
pemrakarsa mengirim RUU tersebut kepada Presiden, melalui
Menteri Sekretaris Negara untuk tindak lanjut.70 Kemudian,
Presiden melalui surat (Surpres) menyampaikan RUU
tersebut kepada DPR untuk dilakukan pembahasan.

2. Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti UU


(Perpu)
Dasar hukum penyusunan Perpu adalah Pasal 22 UUD Negara
RI Tahun 1945, yang menentukan “Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang”. Dalam menyusun Perpu, Presiden

69
Biasanya RUU hasil kesepakatan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi tersebut diberi paraf oleh wakil atau pimpinan kementerian/
lembaga yang terkait. Pemberian paraf semacam ini tidak diatur, namun hal ini
menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa rumusan yang dihasilkan
memang sudah disepakati bersama.
70
Sebelum RUU tersebut disampaikan kepada Presiden, Menteri Sekretaris
Negara mengirimkan RUU tersebut kepada menteri-menteri terkait untuk
mendapatkan paraf persetujuan. Permintaan paraf kepada para menteri terkait
juga tidak diatur, tetapi hal semacam ini juga menjadi penting bahwa RUU yang
disampaikan kepada Presiden sudah disepakati oleh menteri-menteri terkait.

3 | PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 75


menugaskan penyusunan Rancangan Perpu kepada menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur
dalam Perpu. Dalam praktik, penyusunan Perpu tidak melibatkan
banyak kementerian/lembaga, tapi kementerian tertentu saja.
Biasanya yang terlibat adalah Kementerian Sekretariat Negara,
Kementerian Hukum dan HAM, kementerian yang terkait dengan
substansi yang akan diatur dalam Perpu, dan kementerian lain
yang sangat terkait. Proses penyusunannya juga tidak seperti
proses penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
yang biasa. Tidak perlu melalui perencanaan, pembentukan PAK,
dan proses-proses lain sebagaimana proses penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan biasa. Waktunya juga biasanya
cukup singkat.
Yang sering menjadi bahan perdebatan yang cukup alot dalam
penyusunan Perpu adalah mengenai kriteria kegentingan yang
memaksa. Kriteria kegentingan memaksa sekarang sudah ada
panduannya, yaitu Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yang
antara lain menyatakan:
a. Adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU;
b. UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; dan
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perpu yang sudah selesai penyusunannya diajukan kepada Presiden


untuk ditetapkan. Perpu yang sudah ditetapkan oleh Presiden
kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM ke dalam
Lembaran Negara. Setelah diundangkan maka Perpu tersebut
berlaku sepenuhnya. Kemudian, Perpu yang sudah ditetapkan oleh
Presiden dan diundangkan tersebut diajukan ke DPR pada masa
sidang berikutnya untuk mendapatkan persetujuan. Pemaknaan
persetujuan di sini diartikan tidak harus selalu setuju, tetapi juga

76 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


untuk tidak setuju. DPR hanya bisa menyatakan setuju dan tidak
setuju saja, tidak bisa DPR menyatakan setuju tetapi dengan
perubahan.
Apabila DPR setuju terhadap Perpu tersebut maka pemberian
persetujuannya dituangkan dalam UU tentang Penetapan Perpu
menjadi UU. Apabila DPR tidak memberikan persetujuan, maka
Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan
UU tentang Pencabutan Perpu yang diajukan oleh DPR atau
Presiden.

3. Penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan


Presiden (Perpres)
Pembahasan mengenai penyusunan PP dan Perpres dijadikan satu
karena pada prinsipnya proses penyusunannya sama. RPP dan
RPerpres disusun berdasarkan Program Penyusunan PP/Perpres.
Program Penyusunan PP/Perpres disiapkan dan dilaksanakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Pembahasan lebih detail
mengenai Program Penyusunan PP/Perpres bisa dilihat dalam Bab
II.
Penyusunan RPP/RPerpres disiapkan oleh pemrakarsa diawali
dengan pembentukan PAK/nonkementerian. Pemrakarsa mengirim
surat kepada kementerian/lembaga untuk mengirim wakilnya yang
akan duduk dalam keanggotaan PAK/non kementerian. Setelah
PAK/non kementerian terbentuk, dilakukanlah rapat PAK/non
kementerian. Rapat PAK/non kementerian biasanya membahas
hal-hal yang prinsipiil. Rumusan detailnya diserahkan kepada tim
kecil yang ada pada pemrakarsa.
Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga Pemerintah
nonkementerian dapat mengajukan RPP/RPerpres di luar
perencanaan Progsun PP/Perpres. Keadaan tertentu tersebut
ditentukan berdasarkan kebutuhan undang-undang atau putusan
Mahkamah Agung71. Dalam hal pemrakarsa ingin mengajukan

Lihat: Pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan


71

3 | PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 77


penyusunan RPP/RPepres di luar perencanaan Progsun PP/
Perpres, pemrakarsa harus memulai dengan pengajuan izin
prakarsa kepada Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara
disertai penjelasan mengenai urgensi perlunya disusun RPP/
RPepres.
Kementerian Sekretariat Negara akan melakukan klarifikasi
kepada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
yang mengusulkan penyusunan RPP/RPepres untuk mendapatkan
penjelasan mengenai urgensi penyusunan RPP/RPepres tersebut.
Dalam hal Presiden memberikan izin, maka Menteri Sekretaris
Negara atas nama Presiden akan memberikan persetujuan atas
izin prakarsa penyusunan RPP/RPepres. Namun, apabila Presiden
menilai tidak terdapat urgensi terhadap penyusunan atas RPP/
RPepres dimaksud, maka Menteri Sekretaris Negara atas nama
Presiden akan mengembalikan izin prakarsa tersebut kepada
Menteri atau atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
yang mengusulkan penyusunan RPP/RPepres disertai alasan tidak
diberikannya persetujuan.
Namun, khusus terhadap RPP/RPepres yang berkaitan dengan
substansi hak keuangan atau kelembagaan pemerintah, sebelum
dilakukan penyusunan dalam PAK/nonkementerian juga perlu
mendapat izin prinsip terlebih dahulu dari:
a. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi khusus untuk kelembagaan pemerintah; dan
b. Kementerian Keuangan, khusus untuk menilai pada beban
keuangan negara.

Selain itu, terhadap Rpepres yang berkaitan dengan pengesahan


perjanjian internasional, sebelum dilakukan penyusunan dalam
PAK/nonkementerian juga perlu mendapat izin prinsip terlebih
dahulu dari Kementerian Luar Negeri. Adapun tahapan dalam
penyusunan RPP/RPepres terdiri atas:

Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan.

78 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


a. Konsepsi terhadap RPP/RPepres;
b. Pembentukan PAK dan/atau Nonkementerian;
c. Rapat PAK dan/atau Nonkementerian;
d. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RPP/RPepres; dan
e. Penyampaian RPP/RPepres ke Presiden untuk ditetapkan.

Tahap konsepsi merupakan tahapan sangat penting dilakukan


oleh setiap kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian,
walaupun terkadang tidak semua kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian melakukan tahapan konsepsi dalam
penyusunan RPP/RPepres dikarenakan tidak diatur secara eksplisit
baik dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaanya. Oleh
karena itu, tahap konsepsi RPP/RPepres biasanya dilakukan secara
internal oleh Biro Hukum kementerian atau lembaga Pemerintah
nonkementerian dengan unit teknis pada kementerian atau
lembaga Pemerintah nonkementerian yang memiliki keterkaitan
sangat erat dengan materi muatan dari RPP/RPerpres.
Dalam tahap konsepsi RPP/RPepres beberapa hal kegiatan bisa
dilakukan, antara lain memantapkan secara konsepsi terhadap:
(a) tujuan dan dasar penyusunan dari RPP/RPepres; (b) gambaran
umum arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan RPP/
RPepres; (c) keterkaitan materi muatan RPP/RPepres dengan
Peraturan Perundang-undangan lain baik secara vertikal maupun
horizontal; (d) isu krusial dalam RPP/RPepres; dan (e) hal lain
yang berpotensi akan berkembang pada tahap rapat PAK dan/atau
Nonkementerian kedepan.
Selain itu, dalam tahap konsepsi ini penting untuk mendapat
kejelasan dari instansi pemrakarsa/pengusul terkait politik hukum
suatu RPP/RPepres. Menurut Sudarto politik hukum adalah
kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang

3 | PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 79


dikehendaki72. Politik hukum inilah yang akan menjadi pedoman
dalam merumuskan norma-norma dalam RPP/RPepres dengan
memperhatikan:
a. Keselarasan substansi dengan Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan
perundang-undangan lain;
b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dan Rencana Kerja
Pemerintah;
c. Asas hukum pembentukan dan asas materi muatan peraturan
perundang-undangan; dan
d. Putusan pengadilan.

Selain secara substansi, tahap konsepsi terhadap RPP/RPepres,


juga dilakukan untuk menyesuaikan RPP/RPepres dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya, tahap pembentukan PAK dan/atau Nonkementerian,
dimana dalam tahap ini kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian melakukan inventarisir terhadap kementerian/
lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga, dan/atau kelompok
masyarakat yang akan dilibatkan dalam keanggotaan PAK dan/atau
Nonkementerian. PAK dan/atau Nonkementerian merupakan
kepanitiaan yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian yang menjadi pemrakarsa atas RPP/
RPepres. Dalam keanggotaan PAK dan/atau Nonkementerian
paling sedikit terdiri dari unsur73:

72
Dikutip dari Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum. Badan Penyediaan
Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007 ,
hlm 13.
73
Lihat: Pasal 45 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor

80 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum;
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau
lembaga lain yang terkait dengan substansi yang diatur dalam
RPP/RPerpres; dan
perancang Peraturan Perundang-undangan.
Selain keanggotaan PAK dan/atau Nonkementerian, menteri/
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang menjadi
pemrakarsa dapat mengikutsertakan ahli hukum, praktisi, atau
akademisi yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan
materi RPP/RPerpres.
Selanjutnya yakni tahapan rapat PAK dan/atau Nonkementerian,
dalam tahap ini merupakan tahap penyusunan dari RPP/
RPerpres yang dilakukan oleh seluruh anggota PAK dan/atau
Nonkementerian dengan menitikberatkan pembahasan pada
permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai pokok pikiran,
lingkup atau objek yang akan diatur, jangkauan, arah pengaturan,
dan harmonisasi konsepsi dari RPP/RPerpres74.
Dalam tahap rapat PAK dan/atau Nonkementerian kegiatan yang
dilakukan antara lain75:

87 Tahun 2014 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan


Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf a.
74
Lihat: Pasal 48 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf a”.
75
Buku Tanya Jawab Seputar Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Tingkat Pusat. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan.

3 | PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 81


a. Anggota memberi masukan terhadap rancangan peraturan
perundang-undangan yang telah disiapkan oleh pemrakarsa
sesuai dengan lingkup tugas masing-masing kementerian/
lembaga;
b. Anggota panitia antar kementerian dan/atau antar non
kementerian wajib menyampaikan laporan kepada dan/atau
meminta arahan dari menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian, atau pimpinan lembaga terkait masing-
masing mengenai perkembangan penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan dan/atau permasalahan yang
dihadapi;
c. Ketua panitia antar kementerian dan/atau antar non
kementerian melaporkan perkembangan penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan dan/atau
permasalahan yang dihadapi kepada pemrakarsa untuk
memperoleh keputusan atau arahan;
d. Ketua panitia antar kementerian dan/atau antar non
kementerian menyampaikan kepada pemrakarsa mengenai
hasil perumusan akhir rancangan peraturan perundang-
undangan yang telah mendapatkan paraf persetujuan seluruh
anggota panitia antar kementerian dan/ atau antar non
kementerian pada setiap lembar naskah rancangan peraturan
perundang-undangan yang disertai dengan penjelasan atau
keterangan secukupnya; dan
e. Pemrakarsa menyampaikan permohonan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan
perundang-undangan yang telah mendapatkan paraf
persetujuan anggota panitia zntar kementerian dan/atau
antar non kementerian kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.

82 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


-4-
PEMBAHASAN
RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pembahasan jenis


peraturan perundang-undangan tingkat pusat saja. Pembahasan dalam
bab ini akan dilakukan sesuai dengan jenis peraturan perundang-
undangan, yaitu Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Undang-
Undangan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Rperpu).
Proses pembentukan undang-undang telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI
1945) yaitu76: Pasal 20 ayat (1) bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
memiliki kewenangan penuh untuk membentuk Undang-Undang,
Pasal 5 ayat (1) dijelaskan Presiden berhak mengajukan Rancangan
Undang-Undang (RUU) kepada DPR. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat
(2) UUDNRI 1945 mengatur bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan

76
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2017, hlm. 135.

83
Presiden guna mendapatkan persetujuan bersama77. Dalam Undang-
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal
1 angka 2 dijelaskan peraturan perundang-undangan ialah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum dan mengikat secara umum
yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
diberikan kewenangan melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan78. Peraturan perundang-undangan
menurut Soehino yaitu sebuah proses atau tata cara pembentukan
peraturan perundangan negara dari jenis dan tingkatan paling rendah
ke tingkatan paling tinggi, yang didapatkan secara atribusi dan delegasi
dari kekuasaan perundang-undangan hingga seluruh produk peraturan
perundang-undangan79.
Hadirnya undang-undang dalam suatu negara tentu memiliki
kedudukan yang penting dan strategis, baik ditinjau dari fungsi
Undang-Undang, konsepsi negara hukum, dan hirarki norma hukum
yang berlaku. Di dalam negara hukum Undang-Undang merupakan
salah satu bentuk formulasi norma hukum dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Tentunya dalam pembentukan Undang-Undang yang ideal harus
berpatokan terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik (beginselen van behoorlijke wetgeving) dan juga
berlandaskan pada asas-asas hukum umum (algemen rechtsbeginselen)
yang di dalamnya memuat asas negara berdasar atas hukum (rechstaat)
pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi negara serta kedaulatan
rakyat. Negara hukum menjadi dasar yang berlaku secara universal
dalam bekerjanya sistem hukum dan pemerintahan80.

77
Dermina Dalimunthe, “Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”,Jurnal Al-Maqasid,
Vol.4 No.2, 2018, hlm. 59.
78
Lihat; Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
79
Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan,
Liberty,Yogyakarta,1981, hlm. 2.
80
Philipus, M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam

84 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A. Pembentukan Rancangan Undang-Undang
Membentuk sebuah Undang-Undang merupakan kekuasaan yang
melekat pada DPR, selain kekuasaan pengawasan dan anggaran yang
dimilikinya. Wewenang pembentukan Undang-Undang ini diwujudkan
ke dalam fungsi legislasi DPR yang bersumber dari UUDNRI 1945.
Secara konstitusional kewenangan pembentukan Undang-Undang
tercantum dalam Pasal 20 UUDNRI 1945, yang berbunyi sebagai
berikut:
1. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20
ayat (1) UUDNRI 1945);
2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal
20 ayat (2) UUDNRI 1945);
3. Jika, rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang dimaksud tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa
itu (Pasal 20 ayat (3) UUDNRI 1945);
4. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat
(4) UUDNRI 1945); dan
5. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib (Pasal 20 ayat (5) UUDNRI 1945.

Kekuasaan pembentukan Undang-Undang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 20 ayat (1) UUDNRI 1945 di atas, juga diperkuat dengan
adanya fungsi legislasi DPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A
UUDNRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Bahkan secara individual

Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban,


Surabaya, 2007, hlm. 7.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 85


anggota DPR juga diberikan hak untuk mengajukan usul Rancangan
Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUDNRI 1945
yang menjelaskan bahwa anggota DPR berhak mengajukan usul
Rancangan Undang-Undang.
Kekuasaan membentuk Undang-Undang pada DPR merupakan
wewenang atribusi yang diberikan oleh UUDNRI 1945 yang dipegang
oleh Presiden, pra amandemen (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dipegang
oleh Presiden. Akibatnya beban untuk membentuk Undang-Undang
yang diwujudkan dalam fungsi legislasi DPR menjadi tanggung jawab
DPR sepenuhnya saat ini. Dengan kata lain dengan adanya amandemen
terhadap UUDNRI 1945 telah mendudukkan posisi DPR sebagai
lembaga utama pembentuk Undang-Undang, sedangkan Presiden
masih tetap memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang dalam
wujud “Hak” mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR
(Pasal 5 ayat (1) UUDNRI 1945), sekaligus mempunyai tugas untuk
mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
antara DPR dan Presiden untuk menjadi Undang-Undang.
Selain berasal dari DPR, usul pembentukan Undang-Undang
juga bisa berasal dari Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut
DPD). DPD memiliki fungsi dan kewenangan yang salah satunya
terkait dengan pembentukan Undang-Undang. Kewenangan DPD
dalam pembentukan Undang-Undang juga telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI
1945). Terdapat 3 (tiga) kewenangan DPD dalam pembentukan
Undang-Undang yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945,
yakni: “dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”, “ikut membahas Rancangan Undang-Undang”,
dan “memberikan pertimbangan kepada DPR” terhadap Rancangan
Undang-Undang tertentu.
Ketentuan dalam UUDNRI 1945 dimaksud tentu memerlukan
penjabaran atau pengaturan lebih lanjut. Pada saat ini terdapat 2 (dua)
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-
Undang yang menjabarkan hal tersebut, yakni Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-

86 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Penjabaran dalam kedua Undang-Undang tersebut menerjemahkan
bahwa mengenai beberapa hal, misalnya DPD mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada DPR maka Rancangan Undang-Undang
tersebut kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang inisatif
DPR dan DPD hanya bisa ikut dalam membahas Rancangan Undang-
Undang tertentu tersebut, maka pembahasan tersebut dilakukan
sebatas memberikan pandangan dan pendapat. Sedangkan terhadap
makna memberikan pertimbangan dijabarkan bahwa pertimbangan
tersebut dalam bentuk tertulis dan disampaikan sebelum dimulainya
pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tertentu.
Oleh karena itu, jika dilihat dalam Pasal 22D UUDNRI 1945 dan
kedua Undang-Undang tersebut, maka fungsi dan kewenangan yang
dimiliki DPD memang sangat terbatas dalam bidang legislasi, meskipun
kedudukannya sejajar dengan DPR dan Presiden, ternyata dalam praktik
pembentukan Undang-Undang hanya diberi fungsi yang sangat terbatas
dibandingkan lembaga DPR dan Presiden . Apa yang disebutkan dalam
Pasal 22D UUDNRI 1945 dimaksud, menunjukkan bahwa fungsi dan
kewenangan DPD memang sangat terbatas81.
Oleh karena itu, mendasarkan pada ketentuan dalam 2 (dua)
Undang-Undang tersebut, memunculkan keberatan DPD yang
menganggap bahwa norma yang tercantum dalam 2 (dua) Undang-
Undang tersebut mereduksi kewenangan yang seharusnya atau yang
diberikan oleh UUDNRI 1945. Maka dari itu, DPD pernah mengajukan
uji materi (judicial review) terhadap 2 (dua) Undang-Undang tersebut
tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Adapun hal yang dimohonkan
oleh DPD pada saat itu, yakni:
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan Rancangan Undang-
Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUDNRI

Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen


81

Konsitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011., hlm. 69.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 87


1945, yang menurut DPD, Rancangan Undang-Undang dari DPD
harus diperlakukan setara dengan Rancangan Undang-Undang
dari Presiden dan DPR;
2. Kewenangan DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang
yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945 bersama DPR
dan Presiden;
3. Kewenangan DPD memberi persetujuan atas Rancangan Undang-
Undang yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945;
4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas (Program Legislasi
Nasional) yang menurut DPD sama halnya dengan keterlibatan
Presiden dan DPR dalam penyusunan Prolegnas; dan
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap Rancangan
Undang-Undang yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945;

Berdasarkan permohonan yang telah diajukan oleh DPD kepada


Mahkamah Konstitusi pada saat itu, maka Mahkamah Konstitusi
telah memutuskan permohonan uji materi (judicial review) dimaksud,
mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/
PUU-X/2012 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya
adalah mengabulkan sebagian permohonan DPD, bukan keseluruhan
permohonan. Namun demikian, putusan yang menerima permohonan
DPD dapat dikatakan telah memberikan perubahan besar terhadap
pelaksanaan fungsi DPD di bidang legislasi saat ini82.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
tersebut secara tidak langsung telah memperkuat kewenangan
konstitusional DPD dalam 3 (tiga) aspek, yakni:

82
Zahratul Idami, Kewenangan DPD setelah adanya Keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012, (Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 63 Th. XVI,
Fakultas Hukum Universitas Siah Kuala, Darusalam, Banda Aceh, Agustus 2014).
hlm. 304.

88 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan Rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan daerah;
2. Kewenangan DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan daerah; dan
3. Keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas).

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012


tersebut, maka proses penyusunan Prolegnas dilakukan oleh 3 (tiga)
lembaga tinggi negara, yakni DPR, DPD, dan Presiden (Pemerintah),
dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Di lingkungan lembaga DPR dengan cara Badan legislatif (Baleg)
menyusun prolegnas di lingkungan DPR berdasarkan usulan
anggota, Fraksi, Komisi dan/atau masyarakat;
2. Di lingkungan lembaga DPD dengan cara Panitia Perancang
Undang-Undang menyusun Prolegnas di lingkungan DPD
berdasarkan usulan Anggota, Provinsi, Komite, dan/atau
masyarakat; dan
3. Di lingkungan Pemerintah dengan cara dikoordinasikan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia menyusun prolegnas di
lingkungan pemerintah.

Maka dari itu, kewenangan DPD Pasca Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yakni telah menempatkan
kedudukan DPD yang setara dengan DPR dan Presiden dalam
pembentukan Undang-Undang. Telah terjadi perubahan dalam Proses
Penyusunan dan Pengajuan Rancangan Undang-Undang di DPR, yakni:
1. Mekanisme penyusunan prolegnas Rancangan Undang-Undang;
2. Pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPD;
3. Proses Pengajuan dan pembahasan RUU dari DPR; dan
4. Proses pengajuan dan pembahasan RUU dari Presiden.

Selanjutnya, kewenangan Presiden dalam mengajukan Rancangan


Undang-Undang, juga telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUDNRI 1945
disebutkan: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 89


kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)83. Kemudian dalam”Pasal 20
ayat (2) UUDNRI 1945, disebutkan84: “Setiap Rancangan Undang-
Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.”
Ketentuan Pasal 20 ayat (2) menyebutkan secara tegas kata
“Presiden” sebagai pejabat ataupun lingkungan jabatan yang membahas
bersama dan menyetujui bersama DPR atas suatu Rancangan Undang-
Undang, walaupun pada praktik pembahasan suatu Rancangan
Undang-Undang tidak pernah Presiden yang secara langsung hadir
dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang dan memang
akan sangat sulit jika Presiden secara pribadi harus hadir dalam rapat
pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang di DPR mengingat
pekerjaan pembahasan Rancangan Undang-Undang merupakan
pekerjaan yang panjang dan cukup lama.
Maka dari itu, dalam pembahasan suatu Rancangan Undang-
Undang, Presiden selalu menugaskan menteri-menteri yang bertugas
membantu dalam berbagai urusan pemerintahan dalam mewakili
Presiden membahas suatu Rancangan Undang-Undang. Selain itu,
seringkali pembahasan Rancangan Undang-Undang akan lebih efektif
justru jika Presiden diwakili menteri-menteri atau pejabat di lingkungan
kementeriannya untuk pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang
di DPR.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 ayat (5) UUDNRI 1945 disebutkan85:
“Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-
Undang dan wajib diundangkan”. Proses pembentukan suatu Undang-
Undang setidaknya meliputi kegiatan pengusulan suatu Rancangan
Undang-Undang, pembahasan, persetujuan, dan pengesahan.

83
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
84
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
85
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

90 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Sebuah Rancangan Undang-Undang baik itu yang diusulkan
oleh DPR maupun oleh Presiden harus dibahas bersama DPR dengan
Presiden untuk mendapatkan persetujan bersama. Dalam proses
persetujuan tentunya ada pilihan untuk setuju atau tidak setuju,
sehingga melekat hak Presiden untuk tidak memberikan persetujuan
atas suatu RUU yang diajukan oleh DPR. Dalam proses pembahasan
suatu Rancangan Undang-Undang, kedudukan DPR dengan Presiden
adalah sejajar yang memungkinkan salah satu pihak tidak memberikan
persetujuannya atas suatu Rancangan Undang-Undang yang diajukan,
walaupun dalam praktik pembahasan yang dilakukan bersama sampai
dicapai kesepakatan mengenai isi Rancangan Undang-Undang.
Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari setelah suatu Rancangan
Undang-Undang disetujui bersama tetapi Presiden tidak juga
melakukan pengesahan suatu RUU atau dengan perkataan lain melekat
hak Presiden untuk tidak mengesahkan suatu Rancangan Undang-
Undang, walaupun Rancangan Undang-Undang itu tetap sah menjadi
undang-undang seperti halnya undang-undang lainnya yang disahkan
oleh Presiden dan harus diundangkan oleh menteri yang mempunyai
tugas dan fungsi untuk mengundangkan suatu peraturan perundang-
undangan.

B. Tahapan Pembahasan Rancangan Undang-Undang


Dalam proses pembahasan beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas DPR dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama;
2. DPD wajib ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan pengabungan daerah, pengelolaan
sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3. DPD bisa memberikan pertimbangan atas Rancangan Undang-
Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
serta agama;

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 91


4. Dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang, wajib
masyarakat diberikan kesempatan berpartisipasi;
5. Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang wajib dilakukan baik
oleh DPR, DPR, dan Presiden sesuai dengan usul Rancangan
Undang-Undang dari masing-masing lembaga; dan
6. Khusus untuk penyebarluasan Rancangan Undang-Undang dari
Presiden, maka diserahkan kepada instansi Pemrakarsa pengusul
Rancangan Undang-Undang.

Tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui


2 (dua) tingkat pembicaraan86:
1. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran,
atau rapat Panitia Khusus; dan
2. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan 3 (tiga) kegiatan, yaitu87:


1. Pengantar Musyawarah. Dalam tahapan ini:
a. Jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR, DPR
memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan
pandangan;
b. Jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden,
Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan
pandangan;

86
Lihat: Pasal 67 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
87
Lihat: Pasal 68 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

92 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


c. Jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR dan
berkaitan dengan kewenangan DPD, DPR memberikan
penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan;
dan
d. Jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dan
berkaitan dengan kewenangan DPD, Presiden memberikan
penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan.
2. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam tahapan
ini, DIM diajukan oleh:
a. Presiden, jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
dan
b. DPR, jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden
dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait
dengan kewenangan DPD.
3. Penyampaian Pendapat Mini. Dalam tahapan ini, pendapat mini
disampaikan di akhir pembicaraan tingkat I oleh:
a. Fraksi;
b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
kewenangan DPD; dan
c. Presiden.

Sebagai catatan, dalam pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan


dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan atau pendapat mini88.
Sedangkan pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan
yang dilakukan dengan 3 (tiga) kegiatan, yaitu89:

88
Lihat: Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
89
Lihat: Pasal 69 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 93


1. Penyampaian laporan yang yang berisi proses, pendapat mini fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan
anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna
(dalam hal tidak dapat tercapai secara musyawarah mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak);
dan
3. Penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri
yang ditugasi.

Secara formil pembentukan peraturan perundang-undangan


telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa
tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai
dari tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Lebih
lanjut, pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang dimaknai
sebagai suatu rangkaian kegiatan lanjutan dan dapat dikategorikan
sebagai agenda utama dari proses pembentukan Undang-Undang.
Secara umum, suatu Rancangan Undang-Undang dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Rancangan Undang-Undang usulan DPR90;
2. Rancangan Undang-Undang usulan Pemerintah (Presiden)91; dan
Rancangan Undang-Undang usulan DPD92.

Setiap Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR,


DPD atau Presiden, dibahas DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama terhadap Rancangan Undang-Undang yang akan
dijadikan suatu Undang-Undang. RUU yang telah disetujui bersama

90
Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
91
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
92
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

94 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Adapun keikutsertaan DPD dalam pembahasan suatu Rancangan
Undang-Undang terbatas hanya pada Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah93.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di tingkat I dapat
mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila
terdapat materi Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
lembaga negara atau lembaga lain tersebut.
Adapun agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang dalam
Tingkat I bertujuan untuk menyempurnakan rumusan Rancangan
Undang-Undang. selain itu, dalam menentukan metode rapat
pembahasan Rancangan Undang-Undang dalam tingkat I didasarkan
oleh penugasan yang diberikan Badan Musyawarah DPR. Sedangkan
mekanisme pembicaraan tingkat I dapat dilakukan melalui rapat kerja,
rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim
sinkronisasi, atau melalui mekanisme lain sepanjang disepakati oleh
pimpinan dan anggota rapat yang terdiri dari Fraksi-Fraksi.
Khusus terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
mekanismenya dilakukan sesuai dengan hasil pembahasan yang telah
disepakati sebelumnya dalam rapat Badan Anggaran. Pembahasan
Rancangan Undang-Undang dalam pembicaraan tingkat I dapat
dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat
diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR sesuai
dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan badan legislasi atau pimpinan panitia khusus.

93
Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 95


Untuk mengawali pembahasan Rancangan Undang-Undang
dalam pembicaraan tingkat I pertama-tama rapat kerja antara komisi,
gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus atau badan anggaran
bersama dengan menteri yang mewakili Presiden terlebih dahulu
menyepakati jadwal rapat pembicaraan tingkat I. Selanjutnya dalam
pengantar musyawarah yang menjadi langkah awal dalam Pembahasan
Rancangan Undang-Undang dalam Pembicaraan Tingkat I, kegiatan
yang dilakukan meliputi:
1. Jika, suatu Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR, maka DPR
mengawali kegiatan dengan memberikan penjelasan Rancangan
Undang-Undang, untuk selanjutnya Presiden menyampaikan
pandangannya sebagai tanggapan atas usulan Rancangan Undang-
Undang tersebut;
2. Jika, suatu Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR dan
berkaitan dengan kewenangan DPD, maka tahapan kegiatannya
akan dilakukan sama dengan angka 1, hanya saja dalam hal
penyampaian pandangan dilakukan oleh Presiden bersama-sama
dengan DPD;
3. Jika, suatu Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD dan
berkaitan dengan kewenangan DPD, maka DPD mengawali
kegiatan dengan memberikan penjelasan Rancangan Undang-
Undang, untuk selanjutnya DPR dan Presiden menyampaikan
pandangannya sebagai tanggapan atas usulan Rancangan Undang-
Undang tersebut;
4. Jika, suatu Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden,
maka Presiden mengawali kegiatan dengan memberikan penjelasan
Rancangan Undang-Undang, untuk selanjutnya Fraksi-Fraksi di
DPR menyampaikan pandangannya sebagai tanggapan atas usulan
Rancangan Undang-Undang tersebut; dan
5. Jika, suatu Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dan
berkaitan dengan kewenangan DPD, maka Presiden mengawali
kegiatan dengan memberikan penjelasan Rancangan Undang-
Undang, untuk selanjutnya Fraksi-Fraksi di DPR bersama-sama
dengan DPD menyampaikan pandangannya sebagai tanggapan
atas usulan Rancangan Undang-Undang tersebut.

96 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Setelah dilakukan pengantar musyawarah, tahapan selanjutnya
dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang adalah pembahasan
daftar inventarisasi masalah (DIM). DIM digunakan sebagai alat bantu
dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang untuk mengatasi
berbagai persoalan tertentu. DIM berisi substansi yang sedang dibahas
dan setiap substansi ini dijabarkan menjadi permasalahan atau isu
yang dihadapi untuk kemudian dijabarkan lagi ke dalam bentuk
solusi ataupun usulan regulasi untuk mengatasi permasalahan terkait
substansi tersebut.
Penyusunan DIM biasanya diterapkan dengan format tabulasi yang
terdiri dari beberapa kolom antara lain substansi dalam Rancangan
Undang-Undang yang dibahas, hasil diskusi permasalahan dan solusi
permasalahannya, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah substansi
pembahasan. Penyusunan DIM dapat diajukan oleh:
1. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari usulan DPR;
2. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari usulan Presiden;
3. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari usulan Presiden;
4. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari usulan
Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD;
5. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari
usulan DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD; atau
6. DPD dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari
usulan DPR sepanjang terkait dengan kewenangan DPD.

Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan


Legislasi, atau pimpinan panitia khusus memberikan penjelasan atau
keterangan atas Rancangan Undang-Undang serta tanggapan terhadap
DIM dan pertanyaan yang diajukan menteri apabila Rancangan
Undang-Undang berasal dari DPR dan penjelasan atau keterangan
atas Rancangan Undang-Undang serta tanggapan terhadap DIM dan
pertanyaan yang diajukan oleh DPD jika Rancangan Undang-Undang
berkaitan dengan kewenangan DPD.
Sedangkan Menteri yang mewakili Presiden untuk membahas
Rancangan Undang-Undang bersama dengan komisi, gabungan

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 97


komisi, atau panitia khusus memberikan penjelasan atau keterangan
atas Rancangan Undang-Undang serta tanggapan terhadap DIM
dan pertanyaan yang diajukan Fraksi/Anggota apabila Rancangan
Undang-Undang berasal dari Presiden dan penjelasan atau keterangan
atas Rancangan Undang-Undang serta tanggapan terhadap DIM dan
pertanyaan yang diajukan oleh DPD jika Rancangan Undang-Undang
berkaitan dengan kewenangan DPD.
DPD memberikan penjelasan atau keterangan atas Rancangan
Undang-Undang serta tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang
diajukan Fraksi/Anggota atau menteri yang mewakili Presiden untuk
membahas Rancangan Undang-Undang Rancangan Undang-Undang
berasal dari DPD.
Keseluruhan materi Rancangan Undang-Undang dibahas oleh
suatu rapat kerja yang dipimpin oleh pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan badan legislasi, atau pimpinan panitia
khusus dengan menteri yang mewakili Presiden dan alat kelengkapan
DPD (jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan
DPD). Mekanisme pembahasan DIM itu sendiri disusun berdasarkan
ketentuan:
1. DIM dari fraksi, pemerintah dan/atau DPD yang rumusan
substansinya telah sesuai, dinyatakan dengan istilah “tetap”
dan langsung disetujui sesuai dengan rumusan dalam naskah
Rancangan Undang-Undang;
2. DIM yang masih perlu penyempurnaan secara redaksional langsung
diserahkan kepada tim perumus;
3. Dalam hal substansi sudah disetujui perumus tetapi rumusan
masih perlu penyempurnaan, maka naskah Rancangan Undang-
Undang diserahkan kepada tim perumus;
4. Dalam hal substansi belum disetujui, maka dilakukan pembahasan
lebih lanjut dalam rapat panitia kerja. Rapat panitia kerja
sebagaimana dimaksud juga dapat membahas substansi di luar
DIM apabila diajukan oleh anggota atau menteri dan substansi
yang diajukan mempunyai keterkaitan dengan materi yang sedang
dibahas serta mendapat persetujuan rapat.

98 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam
pembahasan DIM sangat dimungkinkan terjadi penolakan substansi
naskah Rancangan Undang-Undang. Jika hal tersebut terjadi, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui suatu rapat kerja yang dibentuk
oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus atau
badan anggaran dengan keanggotaan paling banyak separuh dari jumlah
anggota alat kelengkapan DPR yang membentuknya. Pada dasarnya,
panitia kerja(panja) memiliki tugas untuk membahas substansi
Rancangan Undang-Undang, memberi masukan atau materi lain yang
diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi,
rapat kerja badan legislasi, rapat kerja panitia khusus atau rapat kerja
badan anggaran.
Tahapan ketiga dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang
dalam Pembicaraan Tingkat I adalah penyampaian pendapat mini.
Pendapat mini merupakan suatu bentuk pernyataan sikap dari pihak-
pihak yang terlibat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang,
dapat berisi persetujuan maupun penolakan dan penyampaian kritik
dan saran terhadap suatu Rancangan Undang-Undang yang sedang
dibahas. Penyampaian pendapat mini dapat disampaikan oleh Fraksi,
Presiden dan DPD (apabila suatu Rancangan Undang-Undang berkaitan
dengan kewenangan DPD) tergantung dari pengusul Rancangan
Undang-Undang tersebut. Dalam hal DPD tidak memberikan
pandangan atau menyampaikan pandangan, maka hal tersebut tidak
akan berdampak terhadap jalannya pembicaraan Rancangan Undang-
Undang di Tingkat I.
Langkah terakhir dalam Pembicaraan Tingkat I Pembahasan
Rancangan Undang-Undang adalah pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan adalah penentuan sikap dan persetujuan
atas suatu Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas yang
menentukan apakah suatu Rancangan Undang-Undang tersebut dapat
disahkan menjadi Undang-Undang atau tidak. Pengambilan keputusan
Rancangan Undang-Undang dalam rapat kerja dilaksanakan berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dan dihadiri oleh lebih dari
separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh
unsur Fraksi. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan atas suatu
atau beberapa rumusan Rancangan Undang-Undang, permasalahan

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 99


yang ada akan dilaporkan dalam rapat kerja untuk selanjutnya diambil
keputusan dalam rapat paripurna DPR. Pengambilan keputusan pada
akhir Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan acara:
1. Pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi,
panitia khusus, atau Badan Anggaran;
2. Laporan panitia kerja;
3. Pembacaan naskah Rancangan Undang-Undang;
4. Pendapat akhir mini sebagai sikap akhir Fraksi, Presiden, dan DPD
jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan
DPD;
5. Penandatanganan naskah Rancangan Undang-Undang; dan
6. Pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan
Tingkat II.

Setelah langkah-langkah dalam Pembicaraan Tingkat I yang


dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia
khusus, atau badan anggaran dengan pemerintah (yang diwakili
oleh menteri) telah selesai dilakukan, maka pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II untuk
mengambil keputusan dalam rapat paripurna DPR yang didahului:
1. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini Fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap Fraksi dan
anggota secara lisan melalui mekanisme musyawarah untuk
mufakat atau voting yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna
DPR; dan
3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang
mewakilinya.

Apabila Rancangan Undang-Undang telah disetujui bersama oleh


DPR dan Presiden (yang diwakili oleh menteri), Rancangan Undang-
Undang tersebut disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden
untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian Rancangan
Undang-Undang dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)

100 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Namun, jika suatu
Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden maka Rancangan Undang-Undang tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

C. Tahapan Pembahasan RUU Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Pasal 22 UUDNRI 1945 merupakan dasar hukum bagi Presiden
menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu). Pasal 22 terdiri dari 3 ayat yang berbunyi “(1) Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut”94.
Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 menggunakan istilah “kegentingan
yang memaksa” yang dapat ditafsirkan adanya suatu keadaan yang
genting yang memaksa untuk menanggulangi kegentingan tersebut
dengan cara-cara diluar prosedur yang biasanya. Namun, Pasal
22 UUDNRI Tahun 1945 tidak menentukan lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa”.
Makna “kegentingan yang memaksa” sebenarnya bisa kita temukan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 atas
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
telah menentukan 3 (tiga) syarat agar suatu keadaan secara objektif
dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa, yakni:95

94
Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
95
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 atas Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 101


1. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah
hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang yang berlaku;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum. Kalaupun Undang-Undang tersebut
telah tersedia, dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan;
dan
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan
memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan
sesegera mungkin.

Namun demikian, jika memperhatikan kalimat yang tertera di


dalam Pasal 22 ayat (1) UUDNRI 1945, “Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang”, maka di dalamnya terdapat
unsur subjektifitas dari Presiden dalam menafsirkan dan menentukan
tingkatan makna dari “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang
menjadi dasar diterbitkannya Perppu. Keadaan-keadaan seperti apa
yang bisa disebut sebagai kegentingan yang memaksa Presiden untuk
mengeluarkan Perppu ada pada Presiden berdasarkan subjektifitasnya.
Subjektifitas dalam mengeluarkan Perppu akan berubah menjadi
objektif ketika Perppu tersebut disetujui di dalam persidangan DPR
berikutnya yang akan merubahnya menjadi Undang-Undang. Oleh
karena itu, dalam persidangan DPR akan dinilai apakah hal ihwal
kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi yang
dimaknai dengan pemberian persetujuan atau penolakan terhadap
Perppu tersebut96.
Jika, melihat pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan definisi
apa yang disebut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yakni peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.


96

Jakarta: Konstitusi Pers, hlm. 72-73.

102 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa97. Perppu
sebenarnya merupakan suatu peraturan pemerintah yang bertindak
sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perppu
merupakan peraturan pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan
Undang-Undang. Oleh karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama
dengan Undang-Undang, sehingga fungsi maupun materi muatan
dari Perppu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan dari
Undang-Undang98.
Maka dari itu, proses pembentukan Undang-Undang tehadap
penetapan Perppu yakni Perppu yang telah diundangkan dan mulai
berlaku dan mengikat untuk umum, pada persidangan DPR yang
berikut harus diajukan ke DPR yang dilakukan dalam bentuk pengajuan
Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perpu menjadi Undang-
Undang. kemudian, DPR akan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut. Dalam hal Perppu
tersebut disetujui, maka akan dituangkan dalam bentuk Undang-
Undang penetapan Perppu99. Dalam hal Perppu tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut
dan harus dinyatakan tidak berlaku dengan cara Presiden mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu. Undang-
Undang pencabutan Perppu ini akan memuat segala akibat hukum dari
pencabutan Perppu yang ditolak oleh DPR tersebut100.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu
menjadi Undang-Undang dilakukan oleh Pemrakarsa setelah Perppu
ditetapkan oleh Presiden. Selain menyusun Rancangan Undang-Undang
tentang Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang, Pemrakarsa juga

97
Lihat: Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
98
., Maria Farida S. Indrati 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan
Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 93.
99
Lihat: Pasal 52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
100
Ibid.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 103


menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan
Perppu menjadi Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Perppu, Pemrakarsa membentuk panitia antar
kementerian dan/atau antarnonkementerian. Hasil penyusunan
Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi. Setelah
itu, Pemrakarsa kembali menyampaikan hasilnya kepada Presiden101.
Pada persidangan yang berikut, Rancangan Undang-Undang
tentang penetapan Perppu ini harus diajukan ke DPR untuk dibahas
bersama. Pembahasan dilaksanakan melalui mekanisme yang sama
dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang pada umumnya.
Berbeda halnya untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Perppu yang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang
dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang
pada umumnya. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Perppu diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan
persetujuan atas Perppu yang diajukan oleh Presiden, dan pengambilan
keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Perppu tersebut dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR
yang sama dengan rapat paripurna penetapan yang tidak memberikan
persetujuan atas Perppu tersebut102.
Setelah dilakukan dalam rapat PAK dan/atau Nonkementerian,
RPP/RPerpres yang yang telah mendapatkan paraf persetujuan anggota
panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian akan
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
merupakan salah satu tahapan yang wajib dilakukan dalam setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk terhadap

101
Lihat: Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
102
Ibid.

104 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


RPP/RPerpres103. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi terhadap RPP/RPerpres dikoordinasikan oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
terhadap RPP/RPerpres, dimaksudkan untuk104:
1. Menyelaraskan RPP/RPerpres dengan:
a. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain; dan
b. Teknik penyusunan peraturan Perundang-undangan.
2. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam
RPP/RPerpres.

Dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan


pemantapan konsepsi Rancangan RPP/RPerpres, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia melibatkan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi pemrakarsa, kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian dan/atau lembaga lain terkait. Selain itu,
dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi RPP/RPerpres, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat
mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli termasuk dari lingkungan
perguruan tinggi105.

103
Lihat: Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
104
Lihat: Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf a.
105
Lihat: Pasal 52 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana ketentuan ini berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang, namun dalam ketentuan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 105


Terhadap Rancangan RPP/RPerpres yang telah disepakati dalam
rapat pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait untuk
mendapatkan paraf persetujuan pada setiap lembar naskah
RPP/RPerpres. Selanjutnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia menyampaikan kepada kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi Pemrakarsa hasil pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RPP/RPerpres yang telah
mendapatkan paraf persetujuan untuk disampaikan kepada Presiden
agar dapat ditetapkan.

D. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda)


Pembahasan dalam penyusunan Peraturan Daerah ini, hanya
akan membahas mengenai mekanisme penyusunan Peraturan Daerah
di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Gubernur atau Bupati/Walikota dalam menyusun Rancangan
Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota berdasarkan
Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) provinsi atau
kabupate/Kota. Dalam menyusun rancangan perda provinsi, gubernur
membentuk tim penyusun rancangan perda provinsi yang ditetapkan
dengan keputusan gubernur dengan beranggotakan unsur dari106:
1. Gubernur;
2. Sekretaris daerah;

87 Tahun 2014 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan


Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf a.
106
Lihat: Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.

106 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


3. Perangkat daerah pemrakarsa;
4. Perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi;
5. Perangkat daerah terkait; dan
6. Perancang peraturan perundang-undangan.

Sedangkan untuk rancangan perda kabupaten/Kota, bupati/


walikota membentuk tim penyusun rancangan perda kabupaten/
Kota yang ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota dengan
beranggotakan unsur dari:
1. Bupati/walikota;
2. Sekretaris daerah;
3. Perangkat daerah pemrakarsa;
4. Perangkat daerah yang membidangi hukum kabupaten/Kota;
5. Perangkat daerah terkait; dan
6. Perancang peraturan perundang-undangan.

Dalam penyusunan Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan


Perda Kabupaten/Kota, Gubernur atau Bupati/Walikota dapat
mengikutsertakan instansi vertikal yang terkait dan/atau akademisi
dalam keanggotaan tim penyusunan107. Selain itu, Dalam penyusunan
Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota,
tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari
lingkungan perguruan tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai
dengan kebutuhan108.
Dalam proses penyusunan Rancangan Perda Provinsi atau
Rancangan Perda Kabupaten/Kota, Ketua tim penyusun Rancangan
Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota wajib
melaporkan kepada sekretaris daerah provinsi atau kabupaten/kota

Ibid.
107

Lihat: Pasal 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015


108

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 107


mengenai perkembangan dan/atau permasalahan yang dihadapi
dalam penyusunan Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda
Kabupaten/Kota untuk mendapatkan arahan atau keputusan109.
Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota
yang telah disusun diberi paraf koordinasi oleh ketua tim penyusun
dan perangkat daerah pemrakarsa, selanjutnya Ketua tim penyusun
menyampaikan hasil Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda
Kabupaten/Kota kepada gubernur atau bupati/wali kota melalui
sekretaris daerah provinsi atau kabupaten/kota untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi terhadap
Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota110.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
terhadap Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/
Kota di koordinasikan oleh instansi vertikal Kementerian hukum dan
Hak Asasi Manusia111. Dalam melaksanakan Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi terhadap Rancangan Perda
Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/Kota, Kementerian hukum
dan Hak Asasi Manusia mengikutsertakan:
1. Wakil dari gubernur atau bupati/wali kota;
2. Biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota;
3. Perangkat daerah terkait;
4. Instansi vertikal lain terkait;

109
Lihat: Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
110
Lihat: Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
111
Lihat: Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

108 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


5. Perancang peraturan perundang-undangan; dan
6. Peneliti dan/atau tenaga ahli dari perguruan tinggi.

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi


terhadap Rancangan Perda Provinsi atau Rancangan Perda Kabupaten/
Kota bertujuan untuk:
1. Menyelaraskan dengan:
a. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, peraturan perundang-undangan yang setingkat
atau yang lebih tinggi dan Putusan Pengadilan; dan
b. Teknik penyusunan peraturan Perundang-undangan; dan
2. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur.

1. Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan


Dalam Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan “Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan” adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Berdasarkan tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan dimaksud maka tahapan Harmonisasi Rancangan
peraturan perundang-undangan masuk dalam bagian pada tahapan
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Terdapat beberapa pengertian dari harmonisasi, Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia harmonisasi berarti serasi, selaras, sepadan,
sebagai lawan dari kejanggalan dan ketidak selarasan. Selain itu,
harmonisasi juga berarti mencocokkan hal-hal yang bertentangan secara
proporsional agar membentuk suatu keseluruhan sebagai suatu sistem,
sehingga tercipta suatu keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun
2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan,
dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan
diartikan dengan proses penyelarasan substansi Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan dan teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, sehingga menjadi Peraturan Perundang-undangan yang

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 109


merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum
nasional112.
Berdasarkan pengertian di atas maka Harmonisasi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan diartikan dengan proses penyelarasan
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sehingga menjadi sebuah
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang
utuh dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pengharmonisasian terhadap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan selalu bertujuan untuk:
a. Menyelaraskan dengan:
1) Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, peraturan perundang-undangan yang setingkat
atau yang lebih tinggi dan Putusan Pengadilan; dan
2) Teknik penyusunan peraturan Perundang-undangan; dan
b. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam
sebuah Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, harmonisasi terhadap Rancangan Peraturan Perundang-


undangan juga harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-
undangan, seperti asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
asas materi muatan Peraturan Perundang-undangan, dan asas-asas
hukum lain yang berkaitan dengan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan.
Secara teknis pelaksanaan pengharmonisasian rancangan peraturan
perundang-undangan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan
Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi
Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diubah
dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 40

112
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2015
tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan
Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

110 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Prosedur
Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan, khususnya terhadap Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Presiden dengan tahapan sebagai berikut113:
a. Permohonan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan;
b. Pemeriksaan administratif;
c. Analisis konsepsi;
d. Rapat Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan;
e. Paraf persetujuan; dan
f. Penyampaian hasil Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.

Tahapan pengharmonisasian terhadap Rancangan Peraturan


Perundang-undangan mempunyai peran penting dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dimana setiap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal.

113
Lihat: Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20
Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya
diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 40 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian,
Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

4 | PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 111


-5-
PENGESAHAN
ATAU PENETAPAN

Frasa pengesahan atau penetapan digunakan untuk jenis peraturan


perundang-undangan yang berbeda. Frasa pengesahan digunakan untuk
Undang-Undang, sedangkan frasa penetapan digunakan untuk jenis
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah mendapatkan
persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.114 Penyampaian
RUU tersebut kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama.115 Kemudian,

114
Lihat: Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
115
Lihat: Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

113
Presiden mengesahkan RUU tersebut dalam jangka waktu 30 hari
sejak RUU tersebut mendapatkan persetujuan bersama dengan
membubuhkan tanda tangan dalam naskah RUU tersebut.116
Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatangani RUU yang
telah mendapatkan persetujuan bersama tersebut, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan tanpa ditandatangani Presiden.117
Kalimat pengesahannya adalah: “Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar118
Negara RI Tahun 1945.” Konstruksi Presiden tidak menandatangani
sebetulnya tidak pas karena RUU tersebut sudah melalui proses
pembahasan bersama antara DPR dan menteri yang mewakili Presiden.
Menteri yang mewakili Presiden disebutkan dalam Surat Presiden
(Surpres) penyampaian RUU tersebut kepada DPR. Menteri yang
mewakili Presiden biasanya terdiri atas menteri teknis yang tugas dan
fungsinya terkait dengan materi atau substansi yang diatur dalam RUU
dan Menteri Hukum dan HAM. Melihat pada komposisi semacam ini
maka praktis Menteri Hukum dan HAM selalu terlibat dalam setiap
pembahasan RUU di DPR.
Pengesahan memiliki 2 (dua) makna yakni “Pengesahan secara
Materil” dan Pengesahan Secara Formil. Pengesahan secara materil
dimaknai jika suatu Rancangan Undang-Undang telah disahkan menjadi
Undang-Undang, maka secara tidak langsung telah mendapatkan
pengesahan secara materil oleh lembaga legislatif. Terhadap Rancangan
Undang-Undang yang telah disahkan menjadi Undang-Undang tidak

116
Lihat: Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
117
Lihat: Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
118
Lihat: Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

114 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


dapat lagi dilakukan perubahan baik terhadap teknis maupun substansi
dari Undang-Undang dimaksud. Oleh karena itu, makna “pengesahan”
sebenernya memberikan batasan kepada pembentuk Rancangan
Undang-Undang untuk segera Undang-Undang yang telah ditetapkan
dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, sebab berlakunya suatu Undang-Undang selain
disahkan degan membubuhkan tanda tangan pada naskah asli Undang-
Undang, maka harus dilanjutkan ke tahap pengundangan. Oleh karena
itu, dengan kata lain makna “pengesahan secara materil” merupakan
akhir dari proses pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang
menjadi Undang-Undang di lembaga legislatif.
Sedangkan makna “pengesahan secara formil” adalah proses
pengesahan dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah
Undang-Undang. Walaupun Rancangan Undang-Undang yang telah
dinyatakan selesai dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
menjadi Undang-Undang. Akan tetapi tetap secara yuridis, Undang-
Undang tersebut harus ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang
dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, Undang-Undang
tersebut tidak sah meskipun telah disepakati oleh lembaga legislatif.
Maka penandatanganan tetap harus dilakukan tanpa syarat, artinya
penandatanganan tidak boleh mengajukan perubahan maupun tuntutan
lainnya, jadi makna “pengesahan secara formal” merupakan tindakan
administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam
mengesahkan Undang-Undang.
Adapun proses pengesahan Rancangan Undang-Undang dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut119:
1. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
melakukan penelitian atas RUU yang telah mendapat persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan menteri yang ditugasi
mewakili Presiden dalam pembahasan RUU dalam waktu paling

Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 5


119

Tahun 20172017 tentang Tata Cara Penyelesaian Rancangan Undang-Undang,


Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden di Kementerian Sekretariat Negara.

5 | PENGESAHAN ATAU PENETAPAN 115


lama 3 (tiga) hari sejak surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
diterima;
2. jika berdasarkan penelitian ditemukan kesalahan teknik penulisan
yang berdampak pada substansi Rancangan Undang-Undang,
Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
menyusun perbaikan atau menyelenggarakan rapat klarifikasi
dengan mengundang kementerian/lembaga terkait guna
melakukan penelitian kembali atas Rancangan Undang-Undang;
3. hasil Perbaikan atas Rancangan Undang-Undang dapat dilakukan
apabila matriks penyempurnaan telah dibubuhi paraf oleh Ketua
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang atau Ketua Komisi di
DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang;
4. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
menyiapkan naskah Rancangan Undang-Undang dalam Kertas
Presiden dan konsep surat Menteri mengenai permintaan paraf
pada naskah Rancangan Undang-Undang kepada Pemrakarsa
dan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
sejak surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat diterima;
5. Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang membubuhi paraf pada tiap lembar
naskah Rancangan Undang-Undang dengan mencantumkan nama
jelas pada lembar pertama dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
sejak tanggal surat Menteri Sekretaris Negara;
6. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
menyiapkan konsep memorandum Menteri mengenai penyampaian
naskah Rancangan Undang-Undang yang telah diparaf kepada
Presiden guna mendapatkan pengesahan; dan
7. Naskah Undang-Undang yang telah disahkan oleh Presiden
dibubuhi nomor dan tahun oleh Menteri Sekretaris Negara melalui
Deputi Perundang-undangan dan selanjutnya diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran

116 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Adapun Proses penetapan terhadap Perppu dengan ketentuan


sebagai berikut120:
1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden dapat
memerintahkan penyusunan RPerppu;
2. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
menyiapkan konsep surat Menteri Sekretaris Negara mengenai
penyampaian penugasan Presiden kepada menteri/kepala lembaga
pemerintah non kementerian yang bidang tugasnya berkaitan
dengan substansi RPerppu sebagai pemrakarsa untuk menyusun
RPerppu;
3. Dalam penyusunan RPerppu, pemrakarsa berkoordinasi dengan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan menteri/kepala
lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya
berkaitan dengan substansi RPerppu; dan
4. Dalam hal menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian
memandang adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa,
menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian sebagai
pemrakarsa dapat mengajukan RPerppu melalui Menteri Sekretaris
Negara guna mendapatkan penetapan Presiden.

Adapun proses penetapan terhadap RPP/RPerpres dilakukan


dengan ketentuan sebagai berikut121:
1. RPP/RPerpres yang telah dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi yang dikoordinasikan oleh
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia disampaikan oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang menjadi
Pemrakarsa kepada Presiden;

120
Ibid.
121
Ibid.

5 | PENGESAHAN ATAU PENETAPAN 117


2. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
melakukan analisis atas RPP/RPerpres dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari sejak surat Pemrakarsa diterima.
3. Analisis atas RPP/RPerpres dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Daftar Progsun PP/Perpres;
b. perintah Presiden;
c. keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan substansi
pengaturan;
d. teknik penulisan Peraturan Perundang-undangan; dan
e. keterkaitan konsepsi/materi yang diatur dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya.
4. Dalam rangka menyiapkan analisis, Menteri Sekretaris Negara
melalui Deputi Perundang-undangan melakukan rapat klarifikasi
terhadap RPP/RPerpres dengan melibatkan Pemrakarsa,
kementerian/lembaga, dan pihak lain yang terkait;
5. Berdasarkan kesepakatan peserta rapat, terhadap RPP/RPerpres
dapat dilakukan penyempurnaan;
6. Dalam hal pada rapat klarifikasi terdapat substansi yang masih
memiliki permasalahan, Menteri Sekretaris Negara melalui
Deputi Perundang-undangan menyiapkan konsep surat Menteri
mengenai pengembalian RPP/RPerpres kepada Pemrakarsa untuk
dibahas kembali bersama menteri/kepala lembaga pemerintah
nonkementerian yang bidang tugasnya berkaitan dengan substansi
RPP/RPerpres;
7. Dalam hal substansi yang diatur dalam RPP dinilai telah harmonis,
bulat, dan mantap, Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi
Perundang-undangan menyiapkan naskah RPP dalam Kertas
Presiden dan konsep surat Menteri mengenai permintaan paraf
pada naskah RPP kepada Pemrakarsa dan menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya berkaitan
dengan substansi RPP/RPerprs dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari sejak surat Pemrakarsa atau penyempurnaan
RPP/RPerpres diterima;

118 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


8. Menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian membubuhi
paraf pada tiap lembar naskah RPP/RPerpres dengan mencantumkan
nama jelas pada lembar pertama dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal surat Menteri Sekretaris Negara;
9. Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan
menyampaikan konsep pengajuan RPP/RPerpres yang telah
dibubuhi paraf oleh Menteri Sekeretaris Negara kepada Presiden
disertai dengan hasil analisis atas substansi RPP/RPerpres; dan
10. Naskah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang
telah ditetapkan oleh Presiden dibubuhi nomor dan tahun oleh
Menteri Sekretaris Negara melalui Deputi Perundang-undangan,
dan selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .

Adapun proses penetapan terhadap Rancangan Peraturan Daerah


dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut122:
1. Rancangan perda yang telah diberikan nomor registrasi
disampaikan Menteri Dalam Negeri kepada gubernur dan untuk
perda kabupaten/kota disampaikan gubernur kepada bupati/
walikota untuk dilakukan penetapan;
2. Penandatanganan rancangan perda dilakukan oleh kepala daerah;
3. Dalam hal kepala daerah berhalangan sementara atau berhalangan
tetap penandatanganan rancangan perda dapat dilakukan oleh
pelaksana tugas, pelaksana harian atau penjabat kepala daerah;
4. Penandatanganan Perda atau nama lainnya dibuat dalam rangkap
4 (empat);

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang


122

Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan


Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah.

5 | PENGESAHAN ATAU PENETAPAN 119


5. Pendokumentasian naskah asli Perda yang telah ditetapkan
dilaksanakan oleh:
a. DPRD;
b. Sekretaris daerah;
c. Perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau
bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan
d. Perangkat daerah pemrakarsa

120 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


-6-
PENGUNDANGAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengundangan jenis


peraturan perundang-undangan tingkat pusat saja. Pengundangan
dalam bab ini akan dilakukan sesuai dengan jenis peraturan perundang-
undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
(TLNRI), Berita Negara Republik Indonesia (BNRI), dan Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI), yaitu Rancangan Undang-
Undang/Rancangan Perpu, Rancangan Peraturan Pemerintah,
Rancangan Peraturan Presiden, dan Rancangan Peraturan Menteri/
Lembaga.
Pengundangan peraturan perundang-undangan telah ada sejak
masa Pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama yakni
Presiden Soekarno. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Pasal
143 ayat (2) memuat tentang pengumuman untuk undang-undang
sebagai sebuah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat. Ketentuan
serupa juga ditemukan dalam Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Dasar

121
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). UUDS 1950 menggunakan
istilah pengundangan. Istilah pengundangan dapat disepadankan
dengan istilah asing promulgation atau afkondiging123.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUDNRI 1945) tidak ditemukan ketentuan yang demikian.
Namun, pada perubahan kedua UUDNRI 1945 dimuat dalam Pasal
20 ayat (5) bahwa dalam hal suatu rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan124.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pengundangan diatur dalam Bab IX, Pasal 81
sampai dengan Pasal 87125. Sebagai contoh dalam Lampiran II angka
150-155 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan). Selain itu juga diatur lebih lanjut
dalam Pasal 147 sampai dengan Pasal 155 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Perpres 87 Tahun 2014)126, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak

123
Andi Yuliani, Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan,
dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 14 Nomor 04, Desember 2017, hlm.
431-432.
124
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Perubahan Kedua).
125
Lihat: Pasal 81 sampai dengan Pasal 87 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
126
Lihat: Pasal 147 sampai dengan Pasal 155 Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

122 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, serta Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang
Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya.
Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan pengundangan sebagai
penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI), Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia (TLNRI), Berita Negara Republik Indonesia (BNRI),
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI)127. Dalam bahasa
inggris, pengundangan dikenal dengan isitilah promulgation, yang artinya
adalah ”the order given to cause a law to be executed and to make it public, it
differs from publication”128.
Selain itu, Dalam beberapa literatur, pengundangan peraturan
perundang-undangan dapat didefinisikan sebagai (1) pemberitahuan
kepada umum terhadap tindakan pemerintah tertentu; (2) pengumuman
(publikasi) yang membuat sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui
oleh umum; atau (3) perintah yang diberikan agar suatu Peraturan
Perundang-undangan diberlakukan dan diumumkan.
Oleh karena itu, pengundangan peraturan perundang-undangan
merupakan sebuah tahapan penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, sebagai sebuah tahapan maka pengundangan
peraturan perundang-undangan wajib dilakukan oleh setiap pembentuk

127
Lihat: Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
128
Black’s Law Dictionary, sebagaimana dikutip pada tulisan Gunardi SA
Lumbantoruan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pengundangan Peraturan
Lembaga Negara Independen di Indonesia (Analisis Terhadap Polemik Pengundangan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018), dalam Jurnal Rechts
Vinding Volume 9 Nomor 3, Desember 2020, hlm. 410.

6 | PENGUNDANGAN 123
peraturan perundang-undangan. Secara konsep pengundangan
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan daya ikat dan daya
laku peraturan perundang-undangan.
Setelah suatu peraturan diundangkan, maka berlaku fiksi hukum
yang menyatakan indereen wordt geacht de wet te kennen (setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang). Oleh karena itu, maka tidak
dibenarkan menolak penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu
akan adanya peraturan tersebut”129. Meskipun hal ini hanyalah suatu
fiksi, namun disini dapat dilihat daya ikat dari pengaturan tersebut.
Daya ikat suatu peraturan lahir ketika suatu peraturan itu telah
diundangkan, karena pengundangan merupakan bentuk pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri. Negara harus memastikan
bahwa peraturan yang dibuatnya untuk mengatur masyarakat demi
mencapai cita-cita bersama harus diketahui lebih dahulu oleh
masyarakat sebelum diberlakukan. Idealnya, setiap peraturan dibuat
dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat,
dan kesepakatan itulah yang merupakan bentuk pengakuan negara
terhadap kedaulatan rakyat. Namun perkembangan sistem perundang-
undangan kita, telah menimbulkan banyaknya jenis-jenis peraturan
pelaksanaan yang ditetapkan secara sepihak tanpa persetujuan wakil
rakyat. Pengundangan merupakan solusi untuk mengakomodir
perkembangan sistem perundang-undangan kita yang tetap menjaga
pengakuan terhadap kedaulatan rakyat itu.
Selain itu, pengundangan sebuah peraturan perundang-undangan
memiliki makna daya laku. Diundangkannya Peraturan Perundang-
undangan dalam lembaran resmi, maka setiap orang dianggap telah
mengetahuinya dan secara sah berlaku dan mengikat untuk umum.
Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan didasari oleh
keabsahan secara formil dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Keabsahan ini juga disebut dengan “Daya Laku” (validitas). Daya laku
ini ada apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau
lembaga yang berwenang membentuknya130. Dalam konsep hukum

http://www.miftakhulhuda.com/
129

Prof. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: PT


130

Kanisius, 2007). hlm. 39.

124 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


hal dimaksud disebut sebagai Keberlakuan juridis yakni keberlakuan
suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu
dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis yuridis.
Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma
hukum itu sendiri memang (1) ditetapkan sebagai norma hukum
berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) ditetapkan sebagai
norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku;
dan (3) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang
berwenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi
sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat
dikatakan memang berlaku secara juridis131.
Pengundangan Peraturan perundang-undangan juga berkaitan
dengan waktu berlaku mengikatnya suatu peraturan perundang-
undangan, hal tersebut sesuai dengan Pasal 87 Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan
bahwa peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat pada tanggal diundangkan, atau ditentukan
lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Artinya, jika suatu peraturan perundang-undangan tidak diundangkan,
maka peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki daya ikat
kepada masyarakat dan tidak memiliki daya laku, dan tentunya tidak
dapat diberlakukan secara umum kepada masyarakat umum. Dengan
demikian pengundangan peraturan perundang-undangan merupakan
suatu tahapan yang sangat penting dalam tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia (Pasal 82 Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), meliputi132:

131
Wiwin Sri Rahyani, Pencabutan terhadap Perpu Pasca Penolakan dari DPR RI
dalam Sistem Hukum Nasional, Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2011.
132
Lihat: Pasal 82 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

6 | PENGUNDANGAN 125
1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Presiden; dan
4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan


Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia yang ada saat ini seperti Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan. Pada masing-masing Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam Undang-Undangnya memerintahkan untuk
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Kemudian, Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat
pengundangan terhadap penjelasan atas peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan
yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus
diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Sedangkan,
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan atas Peraturan
Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Adapun peraturan pelaksana terkait pengundangan peraturan
perundang-undangan diatur pada Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2015
tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan

126 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 31 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun
2015 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, atau Berita Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
atau Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

A. Praktik Pengundangan di Indonesia


Dalam praktik pengundangan peraturan perundang-undangan
terdapat 4 (empat) cara merumuskan ketentuan pengundangan dalam
sebuah peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Peraturan perundang-undangan dinyatakan berlaku pada tanggal
diundangkan. Artinya, peraturan perundang-undangan mempunyai
daya ikat dan daya laku pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengundangan perundang-undangan perundang-undangan,
sebagai contoh:
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Dalam penutupnya dinyatakan, “Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan”.
2. Peraturan perundang-undangan dinyatakan berlaku beberapa
waktu setelah diundangkan. Artinya, bahwa Peraturan perundang-
undangan mempunyai daya laku pada tanggal diundangkan, tetapi
daya ikatnya setelah tanggal yang ditentukan, sebagai contoh:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Dalam penutupnya dinyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku
setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”.
3. Peraturan perundang-undangan dinyatakan berlaku pada tanggal
diundangkan, tetapi pemberlakuannya dinyatakan berlaku surut
sampai tanggal yang ditentukan, sebagai contoh:

6 | PENGUNDANGAN 127
Peraturan Perundang-undangan di bidang pembayaran tunjangan
kinerja di berbagai kementerian/lembaga
Dalam penutupnya sering dinyatakan, “Peraturan Presiden ini
mulai berlaku terhitung sejak tanggal … (berlaku surut) sejak
tanggal diundangkan.
4. Penetapan saat mulai berlakunya kepada peraturan perundang-
undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu
kodifikasi, atau kepada peraturan perundang-undangan lain yang
lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi, sebagai
contoh:
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai


kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan
lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan
tanggal pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan
prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-
undangan. Dengan demikian, jika tidak ditentukan lain, mengenai
kapan mulai berlakunya suatu ketentuan Peraturan Perundang-
undangan, maka Peraturan Perundang-undangan itu berlaku mengikat
untuk umum sejak tanggal di undangkan.
Apabila tidak diundangkan, Peraturan Perundang-undangan
akan kehilangan kekuatan mengikat terhadap publik maka instrumen
pengundangan merupakan salah satu penguatan yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Masyarakat tidak terikat dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan sebelum Peraturan Perundang-undangan tersebut
diundangkan. Adapun, Rumusan perintah pengundangan peraturan
perundang-undangan, meliputi:
1. Pengundangan dan Penempatan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
(jenis peraturan perundang-undangan) ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

128 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


2. Pengundangan dan penempatan Paturan Perundang-undangan
dalam Berita Negara:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
(jenis per-uu) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Selain itu, pemberlakuan surut terhadap berlakunya suatu


peraturan perundang-undangan pada dasarnya bertentangan dengan
asas-asas pembentukan peraturan yang baik. Asas material dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan salah satunya adalah
asas keadilan dan kepastian hukum. Pemberlakuan surut peraturan
perundang-undangan akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum, karena subjek hukum dalam bertindak akan mendasari segala
tindakan hukumnya pada ketentuan yang berlaku saat itu, bukan pada
ketentuan yang akan datang. Ketidakadilan pada suatu peraturan
perundang-undangan yang diberlakukan surut akan menimbulkan
kesewenang-wenangan terhadap subjek hukum, jika akibat hukumnya
merugikan subjek hukum dari peraturan yang diberlakusurutkan
tersebut.
Pemberlakuan surut atau sering disebut dengan asas retroaktif
adalah pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal
daripada saat pengundangannya. Pemberlakuan peraturan perundang-
undangan pada hakekatnya berlaku pada saat pengundangan, dalam
artian setiap norma yang terkandung dalam peraturan baik itu
memerintahkan maupun melarang atau jenis lainnya sudah berlaku
mulai dari saat peraturan tersebut diundangkan.
Oleh karena itu, pada prinsipnya sebuah peraturan perundang-
undangan tidak dapat dikenakan pada kejadian sebelum peraturan
disahkan sesuai dengan asas legalitas. Lantas apakah pemberlakukan
surut dalam peraturan perundang-undangan masih bisa diterapkan?.
Asas legalitas adalah salah satu asas umum hukum pidana, sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa “Suatu perbuatan
tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-
undangan pidana yang telah ada”. Dengan pengertian tersebut bahwa
asas legalitas diterapkan pada perbuatan pidana atau hukum pidana,
jika dirumuskan dalam norma maka pemberlakuan surut tersebut

6 | PENGUNDANGAN 129
boleh dimuat namun harus dikecualikan untuk ketentuan pidana jika
peraturan tersebut memuat ketentuan pidana.
Selain itu dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bisa menerapkan pemberlakuan surut atas
peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis,
berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak bisa diberlakusurutkan;
2. Rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap
tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu
yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan; dan
3. Awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan
ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan
perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat,
misalnya, saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut
tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan
peraturan perundang-undangan lainnya.

Secara umum pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan


perundang-undangan,kecuali ketentuan pidana dan pembebanan
konkret kepada masyarakat, namun untuk peraturan yang berlaku surut
harus memuat status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan
hukum yang ada dalam tenggang waktu antara tanggal berlaku surut
dan tanggal berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut.
Penormaan hubungan hukum dalam tenggang waktu tersebut
dimaksudkan untuk memberikan “kepastian hukum” dalam tenggang
waktu tersebut agar adanya kejelasan tindakan hukum, hubungan
hukum, dan akibat hukum dengan adanya berlaku surut dalam
peraturan perundang-undangan dengan penempatan norma tersebut
dalam pasal atau bab “ketentuan peralihan”.
Dalam satu peraturan dapat diterapkan 2 (dua) pemberlakuan
sekaligus, diterapkan berlaku surut dan pemberlakuan pada saat
tanggal pengundangan. Dengan kata lain bahwa peraturan perundang-
undangan tersebut berlaku surut pada tanggal sebelum pengundangan

130 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


kecuali norma yang ada “ketentuan pidana” atau “pembebanan
konkret” yang berlaku pada tanggal pengundangan.
Walaupun pemberlakuan surut dapat diterapkan dalam peraturan
perundang-undangan bukan berarti setiap peraturan perundang-
undangan yang bukan kategori norma pidana dan pembebanan
masyarakat dengan mudah diberlakusurutkan, sebab untuk
diberlakusurutkan suatu peraturan perundang-undangan harus ada
alasan yang kuat mengapa ketentuan dimaksud harus diberlakukan
sebelum tanggal pengundangannya, tanpa alasan yang kuat tentu
pemberlakuan surut tersebut akan dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum dan menjadi alat kesewenang-wenangan pembentuk peraturan
perundang-undangan.

Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan


Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan tidak mengatur secara komprehensif mengenai mekanisme
pengundangan peraturan perundang-undangan secara detail dan
komprhensif. Sementara jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
hanya mengatur mengenai mekanisme permohonan pengundangan
peraturan perundang-undangan yang harus disertai dengan 2 (dua)
naskah asli dan 1 (satu) softcopy naskah asli peraturan perundang-
undangan.
Adapun ketentuan yang lebih teknis mengatur tata cara
pengundangan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat
mulai dari Undang-Undang/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Menteri/Lembaga diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 31 Tahun 2017 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2015

6 | PENGUNDANGAN 131
tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, atau Berita Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
atau Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Tata cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia:
a. Surat pengajuan permohonan pengundangan peraturan
perundang-undangan harus dibubuhi tanda tangan basah
serta diterakan cap dinas jabatan;
b. 2 (dua) naskah asli Peraturan Perundang-undangan yang
diketik dengan:
1) jenis huruf bookman old style;
2) ukuran huruf 12 (dua belas); dan
3) kertas F4.
c. 1 (satu) soft copy naskah asli (sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran)
d. Permohonan pengundangan peraturan perundang-undangan
yang sudah lengkap dicatat dalam register dan diperiksa
kesesuaian naskah asli dengan soft copy. Selanjutnya, jika
terdapat perbedaan antara naskah asli dan soft copy, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan berkoordinasi dengan
kementerian atau lembaga untuk menyampaikan naskah asli
dan soft copy yang sama. Apabila, tidak terdapat perbedaan
antara naskah asli dan soft copy yang disampaikan, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan menyampaikan
naskah asli peraturan perundang-undangan kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk ditandatangani.
e. Selanjutnya, Naskah asli peraturan perundang-undangan
yang telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM
diundangkan dengan mencantumkan nomor dan tahun

132 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia.
f. Setelah diundangkan, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan menyampaikan naskah asli peraturan perundang-
undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesekretariatan Negara atau pimpinan
lembaga yang berwenang.
g. Selanjutnya, menerbitkan Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia dalam bentuk lembaran lepas sebagai dokumen
resmi Negara dalam waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan
diundangkan untuk kemudian dimuat dalam sistem informasi
peraturan perundang-undangan yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Peraturan perundang-undangan.

Sumber: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

6 | PENGUNDANGAN 133
2. Tata cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia:
a. Surat pengajuan permohonan pengundangan peraturan
perundang-undangan harus dibubuhi tanda tangan basah
serta diterakan cap dinas jabatan;
b. 2 (dua) naskah asli Peraturan Perundang-undangan yang
diketik dengan:
1) jenis huruf bookman old style;
2) Ukuran huruf 12 (dua belas); dan
3) Kertas F4.
c. 1 (satu) soft copy naskah asli (sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran)
d. Permohonan pengundangan peraturan perundang-undangan
yang sudah lengkap dicatat dalam register dan diperiksa
kesesuaian naskah asli dengan soft copy. Selanjutnya, jika
terdapat perbedaan antara naskah asli dan soft copy, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan berkoordinasi dengan
kementerian atau lembaga untuk menyampaikan naskah asli
dan soft copy yang sama. Apabila, tidak terdapat perbedaan
antara naskah asli dan soft copy yang disampaikan, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan menyampaikan
naskah asli peraturan perundang-undangan kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk ditandatangani.
e. Selanjutnya, Naskah asli peraturan perundang-undangan
yang telah ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan diundangkan dengan mencantumkan
nomor dan tahun Berita Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
f. Setelah diundangkan, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan menyampaikan naskah asli peraturan perundang-
undangan yang telah diundangkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia kepada pemrakarsa peraturan perundang-undangan.

134 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


g. Selanjutnya, menerbitkan Berita Negara Republik Indonesia
dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam
bentuk lembaran lepas sebagai dokumen resmi Negara dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan untuk
kemudia dimuat dalam sistem informasi peraturan perundang-
undangan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Peraturan
perundang-undangan.

Sumber: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

3. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia


memang tidak membedakan prosedur pengundangan peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan
yang diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia, tidak ada perbedaan mendasar, keduanya
tetap dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan agar peraturan perundang-undangan

6 | PENGUNDANGAN 135
yang akan ditempatkan dalam pada Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
dan Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia tidak terjadi tumpang tindih, disharmoni,
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
setingkat, lebih tinggi, dan/atau putusan pengadilan.

Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan secara


Filosofis, Sosiologis, dan Politis
1. Keberlakuan Secara Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila
norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai
filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan
Hans Kelsen mengenai Grund-norm atau dalam pandangan Hans
Nawiasky tentang staatsfundamentalnorm, pada setiap negara selalu
ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi
yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur
dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan. Di Indonesia,
nilai-nilai filosofis negara terkandung dalam Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorm133.

2. Keberlakuan Secara Sosiologis


Keberlakuan Sosiologis mengutamakan pendekatan yang empiris
dengan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan
(recognition theory) yang mengakui keberadaan dan daya ikat serta
kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum
yang bersangkutan, (ii) kriteria penerimaan (reception theory)
yang pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat
untuk menerima daya ikat, daya atur, dan daya paksa dari norma
tersebut, (iii) kriteria faktisitas hukum yang menekankan sejauh

133
Wiwin Sri Rahyani, Pencabutan terhadap Perpu Pasca Penolakan dari DPR RI
dalam Sistem Hukum Nasional, Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2011.

136 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


mana norma hukum itu sungguh-sungguh berlaku efektif dalam
kehidupan masyarakat134.

3. Keberlakuan Secara Politis


Keberlakuan Politis, apabila pemberlakuannya itu didukung oleh
faktor-faktor kekuatan politik yang nyata. Meskipun norma yang
bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput,
sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki
landasan yuridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan
politik yang kuat di parlemen, norma hukum tersebut tidak akan
mendapatkan dukungan politik untuk disahkan sebagai hukum.17
Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan135.

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan merupakan tahapan


penting dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan
dalam suatu negara yang mengaku sebagai negara demokratis. Ciri
suatu negara demokratis adalah kedaulatan berada di tangan rakyat.
Sebagaimana Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan dengan tegas bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan diselenggarakan dengan undang-undang.
Pengundangan merupakan proses akhir dalam tahapan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengundangan
walaupun berada pada proses akhir, pengundangan mempunyai fungsi
yang sangat penting, karena pada saat pengundangan ditentukan kapan
peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mulai mengikat
umum.
Setiap Peraturan Perundang-undangan wajib diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, atau Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan

134
Ibid.
135
Ibid.

6 | PENGUNDANGAN 137
Berita Negara Republik Indonesia., atau Lembaran Daerah dan Berita
Daerah Jika suatu Peraturan Perundang-undangan tidak diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
atau Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, maka Peraturan
Perundang-undangan tersebut tidak mempunyai daya ikat dan daya
laku.

138 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Kebudayaan dan Kebudayaan Konstitusi.
Malang: Intrans Publishing, 2017.
-----------------------, Konstitusi Keadilan Sosial, Serial Gagasan Konstitusi
Sosial Negara Kesejahteraan Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2018.
-----------------------, Teori Hierarki Norma Hukum. Jakarta: Penerbit
Konstitusi Press (Konpress) bekerja sama dengan Jimly School of
Law and Government, Cetakan kedua, 2021.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional 2015-2019, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional, Jakarta: 2012.
Badan Perencaanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Strategi
Nasional Reformasi Regulasi: Mewujudkan Regulasi yang Sederhana dan
Tertib, Jakarta: 2015.
Balance, Tonny, and Andrew Taylor, The Principles and Best Practice of
Economic Regulation. Stone and Webster Consultation (tanpa tahun).

139
Junaidi, Muhammad, Hukum Kosntitusi Pandangan dan Gagasan Modernisasi
Negara Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Mahfud M.D., Moh., Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,
Cetakan ke-7, 2017.
Mas, Marwan, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Rajawali
Pers, 2018.
Palguna, I Dewa Gede, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complaint)
Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusi Warga Negara.
Jakarta: Sinar Grafika, (2013).
Putera, Astomo, Ilmu Perundang-undangan, Teori dan Praktek di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan
Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah
University Press, Surakarta 2002.
----------------------, Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003.
R., Baldwin and Cave, Understanding Regulation - Theory, Strategy and
Practice, Oxford University Press, 1999.
S. Attamimi, A. Hamid, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita
I – Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta 1990.
Seidman, Ann, Robert B. Seidman and Nalin Abeyrkere, Penyusunan
Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang
Demokratis. (Translation Edition), Jakarta: ELIPS, 2001.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Jakarta:
Kanisius, 1998.
Supancana, Ida Bagus Rahmadi, Berbagai Perspektif Harmonisasi Hukum
Nasional dan Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit Univeristas
Katolik Atma Jaya, 2012.
----------------------------------------, Sebuah Gagasan tentang Grand Design
Reformasi Regulasi Indonesia. Center for Regulatory Research (Pusat

140 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Kajian Regulasi) dan British Embassy Jakarta, Jakarta: Penerbit
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, (2017).
Yani, Ahmad, Pembentukan Undang-Undang & Perda. Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Z. Tamanaha, Brian, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford
University Press, Oxford New York, 2006.

JURNAL:
Marzuki, Laica “Membangun Undang-Undang Yang Ideal”, Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 4 No.2, Juni 2007.
Natabaya, HAS.”Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-
undangan (Suatu Pendekatan Input dan Output)”, Jurnal Legislasi
Indonesia,Volume 4 No. 2, Juni 2007.
Setiadi, Wicipto, “ Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk
Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-undangan”. Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 4 Nomor 2, Juni 2007, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM RI.
---------------------. “Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan
Supremasi Hukum (Development of Law in Order to Enhancement
Supremacy of Law)”, Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, Vol. 1 Nomor 1, April 2012, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Kementerian Hukum dan HAM.
----------------------, “Simplifikasi Peraturan Perundang-undangan Dalam
Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Simplification of
Regulations in Order to Support Ease of Doing Business)”. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 7, No. 3,
Desember 2018.
---------------------, “The Urgency of Regulatory Reform in Order to
Support Indonesia’s National Development”, Jurnal Magister
Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Volume 7, No.
4, December 2018.

DAFTAR PUSTAKA 141


MAKALAH/LAPORAN HASIL KAJIAN/LAPORAN TAHUNAN/
KAMUS:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Analisa dan Evaluasi Peraturan
Perundang-undangan Peninggalan Kolonial Belanda”, Tim Analisa
dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di bawah pimpinan
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, 2015.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), “Pemetaan
Hasil Identifikasi terhadap Undang-Undang Sektor yang Berpotensi
Bermasalah”, Workshop diselenggarakan oleh Direktorat Analisa
Peraturan Perundang-undangan, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Jakarta, 5 Desember 2012.
---------------------------, “Regulatory Reform in Indonesia”, Workshop
diselenggaraakan oleh Bappenas & OECD, Jakarta, 25 Maret 2015.
Better Regulation Task Force, “Principles of Good Regulations”, Cabinet
Office, 1998.
Diani Sadiawati, “Sinergitas Kebijakan dan Regulasi Dalam Menghadapi
Tantangan Global”, Seminar Nasional Reformasi Hukum,
Sekretariat Kabinet RI, Jakarta, 28 November 2018.
Eko Widiarto, Aan, Makalah “Mengukur Kualitas Legislasi Dalam
Perspektif Legisprudence”, Konferensi Negara Hukum, Hotel
Bidakara Tahun 2012, Indonesian Corruption Watch, Panduan
Public Review (Eksaminasi Publik Peraturan Perundangan),
Agustus 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online.
Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tahun 2018, “Era Baru Peradilan Modern Berbasis
Teknologi Informasi”, 2019.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD),
“The OECD Report on Regulatory Reform”, 1977.
---------------------------, “OECD Recomendation on Regulatory Quality
Principles”, 1995.

142 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


---------------------------, “Guiding Principles for Regulatory Quality and
Performance”, dalam OECD Taking Stock of Regulatory Reform,
2005.
Sekretariat Kabinet RI, Seminar Nasional Reformasi Hukum: “Menuju
Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien”, Jakarta,
28 November 2018.
S. Jacobzone, C. Choi and C. Miguet, “Indicators of Ragulatory
Management System”, OECD Working Paper on Public
Governance, OECD Publishing, 2007.
Warlan Yusuf, Asep, Bintek Penyusunan Naskah Akademik, Badan
Pembinaan Hukum Nasinal, Jakarta, 16 – 18 Juli 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
-------------------------, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 dan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2022 .
-------------------------, Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA 143


LAMPIRAN

145
LAMPIRAN 147
148 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 149
150 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 151
152 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 153
154 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 155
156 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 157
158 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 159
LAMPIRAN 161
162 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 163
164 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 165
166 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 167
168 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 169
170 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 171
172 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 173
174 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 175
176 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 177
178 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 179
180 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 181
182 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 183
184 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 185
186 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 187
188 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 189
190 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 191
192 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 193
194 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 195
196 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 197
198 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 199
200 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 201
202 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 203
204 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 205
206 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 207
208 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN 209
210 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BIODATA PENULIS

WICIPTO SETIADI dilahirkan di Purbalingga, 11 September


1957, Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jarkarta (UPNVJ). Menyelesaikan
pendidikan: S 1 di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 1982, S 2 pada
Program Pascasarjana UNPAD Bandung, 1991, S 3 (Doktor) pada
Fakultas Hukum UI, 2003. Saat ini sebagai Dosen HTN serta Ilmu dan
Perancangan Peraturan Perundang-undangan pada Fakultas Hukum
UPN Veteran Jakarta, mengajar pada Program Magister Hukum pada FH
UPN Veteran Jakarta, FH UGM Yogyakarta dan FH Unsoed Purwokerto,
Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP. Penguji Eksternal Disertasi
Program Doktor (S 3) di Fakultas Hukum UI, UGM, UNDIP, UNPAD.
Pengajar pada Diklat Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan
Pengembangan SDM, Kementerian Hukum dan HAM. Di samping itu
sebagi Ketua/anggota dalam berbagai Tim Penyusunan/Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di Kementerian Hukum dan HAM
dan Kementerian lain. Jabatan yang pernah diemban adalah: Staf Ahli
Menteri Hukum dan HAM (2015-2017), Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (2014-2015),

211
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM (2010-2014). Sebagai Komisaris PT Nindya Karya (Persero),
tahun 2009-2014, Komisaris PT Adhi Karya (Persero), 2014-Juli 2020.
Kursus/pelatihan yang pernah diikuti: Legislative Drafting di Belanda,
tahun 1985-1986; Program Stage pada Van Vollenhoven Institute,
Leiden University, Belanda, tahun 1996; Training Seminar Hukum
Internasional dan Hukum Dagang Internasional, Kerja sama The
Australian Attorney General’s Department – Direktorat Jenderal Hukum
dan Perundang-undangan, Jakarta 10-14 April 2000. International Law
Course, Monash University, Melbourne, Australia, Mei-Juni 2000;
Disruption Training, Reformulating Strategy in the Era of Disruption, Rumah
Perubahan Rhenald Kasali, 17-18 Mei 2017; Pelatihan Reviewer
Penelitian Angkatan XVII 23-27 September 2019. Diklat penjenjangan
yang pernah diikuti adalah: Diklat Pra Jabatan Tingkat III, Pusdiklat
Pegawai Departemen Kehakiman, tahun 1984, Diklat SPAMA Angkatan
XVII, Pusdiklat Departemen Kehakiman, tahun 1997, Diklat SPIMNAS
Tingkat II, Angkatan V, LAN, tahun 2002, Diklat Pimpinan Tingkat
I, LAN, tahun 2005. Selain itu, sebagai penulis buku dengan judul:
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan,
Penerbit Rajawali Pers, 1994. Menjadi penulis dalam beberapa book
chapter dan artikel dalam beberapa jurnal, baik nasional maupun
internasional dan surat kabar.

212 ILMU DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Anda mungkin juga menyukai