Anda di halaman 1dari 312

penerbitwidina@gmail.

com

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA

Tim Penulis:
Ida Bagus Anggapurana Pidada, Margie Gladies Sopacua, Juanrico Alfaromona Sumarezs
Titahelu, Hardi Fardiansyah, Nanda Dwi Rizkia, Yusep Mulyana, Sherly Adam,
Christina Bagenda, Irwanto, Mhd Ansori Lubis, Reimon Supusepa, Nanci Yosepin
Simbolon, Deassy J.A. Hehanussa, Achmad Surya.

Desain Cover:
Fawwaz Abyan

Tata Letak:
Handarini Rohana

Editor:
Evi Damayanti

ISBN:
978-623-459-151-4

Cetakan Pertama:
September, 2022

Hak Cipta 2022, Pada Penulis

Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang


Copyright © 2022
by Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung
All Right Reserved

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau


seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT:
WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG
(Grup CV. Widina Media Utama)
Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas
Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

Anggota IKAPI No. 360/JBA/2020


Website: www.penerbitwidina.com
Instagram: @penerbitwidina

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang teramat dalam dan tiada kata lain yang patut kami
ucapkan selain rasa syukur, karena berkat rahmat dan karunia-Nya buku
yang berjudul "Hukum Pidana" ini telah dapat di terbitkan untuk dapat
dikonsumsi oleh khalayak banyak. Mengetahui dan mematuhi hukum
adalah suatu kewajiban yang harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap
warga negara. Seperti halnya hukum pidana.
Dimana Hukum pidana merupakan ketentuan ataupun undang-
undang atas pemberian sanksi terhadap suatu bentuk pelanggaran.
Umumnya, hukum pidana digunakan untuk menghukum seseorang yang
berbuat kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, penipuan, dan aksi
kriminal lainnya.
Oleh karena itu, Hukum pidana memiliki beberapa tujuan paling
mendasar, salah satunya memperbaiki orang yang telah melakukan
kejahatan supaya tidak mengulangi perbuatannya. Berdasarkan
definisinya, hukum adalah suatu peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat yang ditentukan atau dikukuhkan oleh pemerintah.
Sehingga Hukum juga kerap diartikan sebagai undang-undang dan
peraturan untuk mengendalikan pergaulan hidup masyarakat. Bisa juga
diartikan, bahwa hukum pidana adalah hukum yang terdiri dari norma-
norma berisi beberapa kewajiban dan larangan yang terkait suatu sanksi
hukuman jika diabaikan.
Selain itu, hukum pidana juga bisa diartikan sebagai peraturan berupa
norma ataupun sanksi yang sengaja dibuat untuk mengatur segala tingkah
laku manusia. Tujuannya untuk menjaga keadilan, ketertiban, dan
meminimalkan tindak kejahatan. Tak bisa dipungkiri, bahwa manusia
memiliki sifat tamak yang bisa berbuat dan berkehendak sesuai keinginan
hatinya. Jika keinginan dan kemauan tersebut tidak dibatasi, bisa saja
manusia tersebut menjadi ancaman bagi manusia lainnya.

iii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Bahkan, sifat semacam ini juga bisa mengeksploitasi dan


mengeksplorasi dunia. Itulah sebabnya, mengapa hukum pidana maupun
jenis lainnya diciptakan. Salah satunya untuk membatasi ruang gerak
manusia supaya tidak berbuat seenak hatinya. Bukan hanya itu saja,
hukum juga bertujuan agar tercipta suatu tatanan masyarakat yang aman,
tentram dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Secara garis besar, hukum
pidana memiliki tujuan untuk melindungi segala kepentingan umum,
seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP.
Hukum selalu memiliki implikasi secara langsung kepada masyarakat luas,
di mana jika terjadi suatu tindak pidana, maka akan berdampak buruk
pada keamanan, kesejahteraan, ketenteraman, dan ketertiban umum di
lingkungan masyarakat.
0leh karena itu buku yang berjudul Hukum Pidana ini hadir sebagai
bagian dari upaya untuk menambah khazanah, diskusi MSDM dalam
organisasi. Akan tetapi pada akhirnya kami mengakui bahwa tulisan ini
terdapat beberapa kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena
sejatinya kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Maka dari itu, kami
dengan senang hati secara terbuka untuk menerima berbagai kritik dan
saran dari para pembaca sekalian, hal tersebut tentu sangat diperlukan
sebagai bagian dari upaya kami untuk terus melakukan perbaikan dan
penyempurnaan karya selanjutnya di masa yang akan datang.
Terakhir, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada seluruh pihak
yang telah mendukung dan turut andil dalam seluruh rangkaian proses
penyusunan dan penerbitan buku ini, sehingga buku ini bisa hadir di
hadapan sidang pembaca. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu pengetahuan
di Indonesia, khususnya terkait Hukum Pidana.

September, 2022

Penulis

iv
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ················································································· iii


DAFTAR ISI ····························································································· v
BAB 1 PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA ······················ 1
A. Pendahuluan ······················································································ 2
B. Pengertian Hukum Pidana ································································· 3
C. Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata ································ 6
D. Karakteristik Hukum Pidana ······························································ 8
E. Karakteristik Hukum Pidana Dalam Ultimum Remedium ················· 9
F. Ruang Lingkup Hukum Pidana ························································· 11
G. Rangkuman Materi ·········································································· 11
BAB 2 PEMBAGIAN DAN FUNGSI HUKUM PIDANA ································· 17
A. Pendahuluan ···················································································· 18
B. Pembagian Hukum Pidana······························································· 20
C. Sistematika Hukum Pidana ······························································ 28
D. Tugas, Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana ········································ 30
E. Rangkuman Materi ·········································································· 37
BAB 3 SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ············································· 41
A. Pendahuluan ···················································································· 42
B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia ·························· 44
C. Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana ···················································· 52
D. Sumber-Sumber Hukum Pidana ······················································ 57
E. Rangkuman Materi ·········································································· 60
BAB 4 ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ······················································· 65
A. Pendahuluan ···················································································· 66
B. Asas Legalitas ··················································································· 66
C. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan ················································ 68
D. Asas Tidak Berlaku Surut ································································· 70
E. Asas Larangan Penggunaan Analogi ················································ 73
F. Rangkuman Materi ·········································································· 76
BAB 5 SEJARAH HUKUM PIDANA ··························································· 79
A. Latar Belakang ················································································· 80
B. Tahapan Sebelum Zaman Penjajahan ············································· 80

v
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

C. Tahapan Zaman Kolonial Belanda ··················································· 81


D. Tahapan Zaman Pendudukan Jepang ·············································· 84
E. Tahapan Zaman Republik ································································ 85
F. Rangkuman Materi ·········································································· 97
BAB 6 DELIK TINDAK PIDANA ·······························································101
A. Pendahuluan ·················································································· 102
B. Rangkuman Materi ········································································ 117
BAB 7 UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA ··············································129
A. Pendahuluan ·················································································· 130
B. Rincian Pembahasan Materi ·························································· 130
C. Rangkuman Materi ········································································ 131
BAB 8 ACARA PERSIDANGAN TINDAK PIDANA ······································145
A. Pendahuluan ·················································································· 146
B. Sistem Peradilan Pidana Indonesia················································ 148
C. Pelimpahan Perkara Pidana Menurut Hukum Acara
Pidana Pada Praktik Peradilan ······················································· 152
D. Penyelesaian Perkara Pidana Pada Pengadilan ····························· 153
E. Alur Peradilan Pidana ···································································· 155
F. Rangkuman Materi ······································································· 161
BAB 9 PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ············································165
A. Pendahuluan ·················································································· 166
B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ······································ 168
C. Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana ·································· 171
D. Pertanggungjawaban Langsung (Direct Liability) ·························· 179
E. Individualisme dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ········· 180
F. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana ····················· 182
G. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana ··················· 183
H. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ···················· 187
I. Istilah Pertanggungjawaban Pidana ············································· 191
J. Rangkuman Materi ······································································ 194
BAB 10 PIDANA TURUT SERTA ······························································199
A. Pendahuluan ·················································································· 200
B. Pengertian Penyertaan ·································································· 202
C. Bentuk-Bentuk Penyertaan ··························································· 204
D. Syarat Turut Serta Melakukan ······················································ 207

vi
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

E. Perbedaan Doenplegen Dengan Uitlokken ···································· 208


F. Yang Menggerakkan, Membujuk,
Memancing, Menganjurkan ·························································· 209
G. Pentingnya Ajaran Penyertaan Dalam Hukum Pidana ·················· 212
H. Rangkuman Materi ········································································ 213
BAB 11 HUBUNGAN SEBAB AKIBAT PIDANA ·········································217
A. Pendahuluan ·················································································· 218
B. Ajaran Sebab Akibat ······································································ 219
C. Teori Sebab Akibat ········································································ 223
D. Rangkuman Materi ········································································ 231
BAB 12 TEORI PEMIDANAAN ································································235
A. Pendahuluan ·················································································· 236
B. Teori Absolut ················································································· 237
C. Rangkuman Materi ········································································ 247
BAB 13 PENAFSIRAN PIDANA ·······························································255
A. Pendahuluan ·················································································· 256
B. Urgensi Penafsiran ········································································ 258
C. Penemuan Hukum Oleh Hakim ····················································· 259
D. Jenis-Jenis Penafsiran Dalam Undang-Undang Pidana·················· 262
E. Rangkuman Materi ········································································ 270
BAB 14 RESTORATIF JUSTICE PIDANA ···················································273
A. Pendahuluan ·················································································· 274
B. Pengertian Restoratif Justice ························································· 275
C. Tujuan Restoratif Justice ······························································· 277
D. Prinsip-Prinsip Restoratif Justice ··················································· 279
E. Jenis Perkara Pidana Yang Dapat Diselesaikan Melalui
Restoratif Justice············································································ 284
F. Rangkuman Materi ········································································ 285
GLOSARIUM ························································································288
PROFIL PENULIS ···················································································294

vii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

viii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 1: PENGERTIAN DAN
KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA

Ida Bagus Anggapurana Pidada, S.H., M.H

Universitas Mahendradatta, Denpasar Bali

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 1
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK
HUKUM PIDANA

Gambar. Ilustrasi Tindak Pidana

A. PENDAHULUAN
Hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi
hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan
untuk meninjau kembali dari pemerintah, sementara hukum internasional
mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan, lingkungan, peraturan atau tindakan militer. Dengan adanya
hukum diharapkan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih teratur
dengan perlindungan setiap individu agar tidak menindas individu lainnya.

2 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam Hukum itu sendiri dikelompokkan dalam berbagai jenis hukum


yang pertama lahir adalah hukum pidana dan hukum perdata. Seiring
dengan perkembangan zaman mulai muncul bagian-bagian hukum yang
lain seperti Hukum Tata Negara, Hukum Perdagangan dan lain sebagainya
yang merupakan pecahan dari hukum perdata. Sementara itu dalam
Hukum Pidana sendiri kemudian lahir hukum pidana yang bersifat umum
dan hukum yang bersifat khusus, hukum humaniter. Ada pula Hukum yang
memuat terkait pemidanaan dan juga perdata dalam suatu aturan
perundang-undangan. Meskipun mengalami berbagai perubahan, pada
hakekatnya hukum pidana memiliki ciri khas khusus melalui karakteristik
yang akan banyak dibahas dalam BAB ini.
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat
dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun
kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktivitas kesehariannya.
Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa
ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat
merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana
dimaksud tidak hanya terkait kerugian. Sebagaimana yang kita pahami
dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa
dan raga. Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan
nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan
psikis. Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Belanda strafrecht Straf berarti pidana, dan recht berarti hukum. Apabila
dilihat secara historis, menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum
pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk
pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya
dari istilah hukum perdata untuk pengertian burgerlijkrecht atau
privaatrecht dari bahasa Belanda (Wirjono Prodjodikoro, 1989).

B. PENGERTIAN HUKUM PIDANA


Pada prinsipnya ada dua pengertian yang berbeda tentang Hukum
Pidana, yang disebut dengan ius poenale dan ius puniendi. Ius poenale
merupakan pengertian Hukum Pidana yang obyektif. Hukum Pidana dalam
pengertian ini menurut Mezger adalah, “Aturan-aturan hukum yang

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 3

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

mengikatkan pada suatu perbuatan tertentu yang memenuhi syarat-syarat


tertentu suatu akibat yang berupa pidana” (Sudarto, 1974).
Sementara itu Hazewinkel–Suringa memberikan pengertian yang lebih
luas, dikatakannya Hukum pidana tersebut meliputi:
a. perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya telah ditentukan
ancaman sanksi terlebih dahulu telah ditetapkan oleh lembaga negara
yang berwenang,
b. Aturan-aturan yang menentukan bagaimana atau dengan alat apa
negara dapat memberikan reaksi pada mereka yang melanggar
aturan-aturan tersebut,
c. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-
peraturan tersebut pada waktu tertentu dan di wilayah negara
tertentu.

Demikian pula dengan Muljatno mengatakan, hukum pidana


memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancamkan
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut (Mulyatno, 1980).

Pengertian hukum pidana obyektif di atas menunjukkan adanya dua


sisi dalam hukum pidana, yaitu sisi yang mengatur tentang aturan
perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang serta orang yang melanggar
larangan tersebut, dan ancaman pidananya, disebut dengan hukum
pidana substantif atau hukum pidana materiil. Sementara di sisi yang lain
mengatur tentang bagaimana negara yang memiliki hak dalam
melaksanakan proses peradilan untuk menjalankan penuntutan, mengadili
dan melaksanakan pidana terhadap orang yang bersalah, disebut dengan
hukum pidana formil.

4 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dua macam hukum pidana tersebut tidak dapat dipisahkan dalam


upaya penegakkan hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur
tentang prinsip kesalahan (guilt in principle), sedangkan hukum pidana
formil mengatur prosedur untuk menentukan seseorang secara fakta
bersalah (guilty in fact) (George P. Fletcher, 1980). Hukum pidana
materil/substantif mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang,
sikap batin seseorang untuk dapat dikatakan bersalah bila melakukan
perbuatan yang dilarang, dan ancaman pidana bila perbuatan tersebut
dilakukan.Sedangkan untuk menentukan seseorang secara fakta bersalah
diperlukan pembuktian. Pembuktian ini dilakukan oleh penegak hukum
menurut aturan yang telah ditentukan, sehingga tidak terjadi kesewenang-
wenangan. Peraturan tentang bagaimana menegakkan hukum pidana
materil inilah yang disebut sebagai hukum pidana formil. Hukum pidana
formil pada prinsipnya mengatur tentang siapa yang berwenang
melakukan pembuktian, bagaimana caranya membuktikan, apa yang
dapat dipakai sebagai alat bukti, bagaimana perlakuan terhadap orang
yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana, serta menentukan siapa
yang berwenang dan bagaimana melaksanakan putusan pengadilan. Jadi
hukum pidana formil mengatur tentang tatacara penegakan hukum pidana
materil.
Sementara itu pengertian Hukum Pidana ius puniendi, atau pengertian
hukum pidana subyektif memiliki dua pengertian yaitu: (Mangkepriyanto,
2019).
1. Pengertian luas; adalah berhubungan dengan hak negara/alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau menentukan ancaman
pidana terhadap suatu perbuatan.
2. Pengertian sempit, yaitu hak negara untuk menuntut perkara-perkara
pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang
melakukan tindak pidana

Hak yang sifatnya khusus ini memastikan bahwa hukum pidana


termasuk dalam ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang
mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat hukum umum.
Hak yang diberikan pada negara sejalan dengan kewajiban yang harus

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 5

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dilakukan, yaitu menjaga ketertiban dan keamanan, serta menciptakan


kesejahteraan bagi warga masyarakat.

C. PERBEDAAN HUKUM PIDANA DAN HUKUM PERDATA


Hukum perdata dikatakan merupakan serangkaian hukum yang
mengatur kepentingan perseorangan antara hubungan individu satu
dengan lainnya sehingga disebut dengan Hukum Privat (private law).
Sedangkan hukum pidana merupakan serangkaian hukum tertulis dimana
di dalamnya mengatur berbagai perbuatan yang dilarang, dengan adanya
sanksi tertentu bagi pelanggar sehingga disebut dengan Hukum Publik
(Public Law). Meskipun demikian perbedaan ini tentunya juga dapat
dibantah, karena dalam hukum pidana itu sendiri ada yang disebut dengan
delik umum (biasa) ada juga delik aduan yang bersifat dengan pribadi
antara hubungan antar individu sehingga hanya dapat diproses apabila
ada pengaduan dari yang bersangkutan. Dengan demikian sesungguhnya
bukan ini perbedaan sesungguhnya dari hukum pidana dan hukum
perdata.
Perbedaan yang lebih jelas dan mendasar dari hukum pidana dan
perdana adalah dilihat dari sumber-sumber hukumnya. Apabila hukum
pidana sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan
sementara dalam hukum perdata menggunakan perjanjian sebagai
sumber hukum yang utama. Meskipun demikian dalam hukum perdata
tentunya tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
khususnya KUH Perdata.
Perbedaan lainnya terlihat dari proses hukum yang dilalui. Apabila
hukum pidana secara umum harus melalui instansi kepolisian, kejaksaan
baru kemudian dapat diperiksa di pengadilan. Meskipun dalam tindak
ppidana khusus seperti korupsi proses pidana ini terdapat perbedaan-
perbedaan. Sementara itu dalam proses hukum perdata sama sekali tidak
melalui proses di kepolisian dan kejaksaan karena proses hukumnya
langsung melalui pengadilan.
Perbedaan lainnya adalah antara pihak-pihak utama yang terlibat
dalam bersengketa, apabila hukum pidana pihak yang terlibat dalam
sengketa adalah penuntut umum dalam hal ini kejaksaan sebagai
perwakilan negara yang menuntut terdakwa baik didampingi ataupun

6 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

tidak didampingi kuasa hukumnya. Sementara pidana utama yang terlibat


dalam sengketa perdata adalah tergugat dan penggugat.
Perbedaan lainnya terlihat dari hasil yang diharapkan, dalam hukum
pidana harapan dari penuntut umum adalah dapat menuntut sanksi
penjara, kurungan dan/atau denda terhadap terdakwa sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu dalam
perkembangannya juga penuntut umum dapat menuntut sanksi yang
lainnya seperti pencabutan hak, restitusi ataupun sanksi hukum lainnya.
Sementara itu dalam hukum perdata yang digugat bisa lebih beragam
seperti ganti kerugian, menuntut suatu kondisi ataupun keputusan hakim
tertentu, hak asuh anak, status dan lain sebagainya.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum
Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga
pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada
korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap
Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna
memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan
tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena
sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana
sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika
sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)

Gambar. Perbedaan Hukum Acara Dalam Arti Luas dan Sempit

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 7

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

D. KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA


Kaidah Hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum yang
bersifat publik, yaltu hubungan hukum yang teratur dan titik beratnya
tidak berada pada kepentingan seseorang individu yang ¡nconcreto secara
langsung dirugikan, melainkan terserah kepada pemerintah (aparatur
penegak hukum) sebagai waku dan kepentingan umum”. Seperti
dikemukakan oleh beberapa pakar, antara lain (Sakoeno, 2016).
1. Van Apeldooren (Inleiding tot de studie van bet Nederlandserecht,
beranggapan bahwa: “Hukum pidana adalah hukum public, karena ia
memandang dalam suatu tindak pidana, yaitu suatu pelanggaran tata
tertib hukum dan tidak melihat dalam penistiwa tindak pidana itu
suatu pelanggaran kepentingan khusus danipada individual.
Penuntutannnya tidak dapat diserahkan kepada individual yang
dirugikan, akan tetapi harus dijalankan oleh pemerintah (Jaksa
Penuntut Umum).
2. Prof. Van Hamel, memandang hukum pidana sebagai hukum public,
karena yang menjalankan hukum pidana ¡tu sepenuhnya terietak di
tangan pemerintah.
3. Prof. Simons, memandang hukum pidana sebagai hukum public,
karena hukum pidana itu mengatur hubungan antara individu dengan
masyarakat. Hukum Pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat
dan juga dijalankannya, karena kepentingan masyarakat itu benar-
benar memerlukannya.

Berdasarkan beberapa pandangan para pakar di atas, maka jelaslah


bahwa hukum pidana adalah hukum publik, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara individu dengan Negara dan masyarakat, dan hukum
pidana itu dilaksanakan untuk kepentingan umum (publik). Ditinjau dan
sifatnya, maka ilmu hukum pidana itu bersifat dogmatis, yang dituangkan
dalam kata-kata hukum. Untuk mendapat kejelasan tentang apa-apa yang
dimaksud oleh kata-kata itu, maka diperlukan adanya penafsiran hukum.
Selanjutnya objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana positif.

8 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

E. KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA DALAM ULTIMUM


REMEDIUM
Ultimum remedium dalam hukum pidana memiliki pengertian bahwa
apabila suatu perkara dapat ditempuh melalui jalur lain seperti hukum
perdata ataupun hukum administrasi hendaklah jalur tersebut ditempuh
sebelum mengoperasionalkan hukum pidana. Asas ultimum remedium
menjelaskan bahwa yang boleh di pidana yaitu mereka yang menciptakan
“onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua
non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa
perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat
ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang
terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat
keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga
memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa
pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian
tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga
jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
Dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan
dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan
tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan Hukum Pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum
Pidana dalam konteks ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum
Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar
sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku. Dan mengenai
penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh
hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap
kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana
penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat
mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang
keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan
sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi-sanksi hukum
tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana. Namun melihat sisi lainnya
melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan ultimum remedium ini
harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan
ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 9

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang


apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat
menyebabkan orang main hakim sendiri.
Sanksi pidana merupakan solusi terakhir (ultimum remedium) dari
rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. Solusi terakhir ini
merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang
hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum
pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu
bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan
sebagai primum remedium (solusi yang utama). Ketentuan pengaturan
mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam
UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi.
Apabila ditinjau dari perspektif sosiologis terdapat perbuatan-
perbuatan yang dinilai merupakan suatu kejahatan/tindakan yang “luar
biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat sehingga memang harus
diberikan hukuman pidana sebagai solusi yang paling utama. Sehingga
dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain,
karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau
menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut.
Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “solusi terakhir”
(ultimum remedium) lagi, banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan aturan UU yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka
yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium
remedium). Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang
melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah
tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium
bagi mereka, mengingat adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya penjatuhan pidana
penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat
menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan
kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun
yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa
pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya,
hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas
agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

10 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

F. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA


Ruang lingkup hukum pidana dibagi atas hukum pidana materil dan
juga hukum pidana formil. Hukum pidana formil adalah hukum yang
digunakan sebagai dasar para penegak hukum. Sederhananya, hukum
pidana formil mengatur bagaimana Negara menyikapi alat perlengkapan
untuk melakukan kewajiban untuk menyidik, menjatuhkan, menuntut dan
melaksanakan pidana.
Hukum Pidana materil atau sering disebut Hukum Pidana Substantif,
sering hanya disebut dengan istilah hukum pidana saja adalah perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan diancam dengan
pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Di Indonesia
sumber Hukum pidana ini ada pada KUHP dan Undang-undang di luar
KUHP yang mengatur tentang tindak pidana khusus, seperti UU No. 31
tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, UU No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika.
Hukum Pidana formil/Hukum Acara Pidana, adalah aturan-aturan yang
mengatur tentang bagaimana negara dengan perantara alat-alatnya (polisi,
jaksa, hakim) melaksanakan haknya untuk mengenakan Pidana
sebagaimana telah diancamkan. Sumber hukumnya adalah UU No. 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No.
18 tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan korban, UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, UU No. 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, UU No.11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan dalam peraturan-peraturan
tersebar diberbagai ketentuan Undang-undang tentang tindak pidana
khusus.

G. RANGKUMAN MATERI
Hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 11

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana


yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi
hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan mereka yang akan dipilih. Pada dasarnya, kehadiran hukum
pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman
kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam
melaksanakan aktiitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan
ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam
masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian.
Sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga
mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakup
tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini
mencakup perasaan atau keadaan psikis. Istilah hukum pidana merupakan
terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafrecht straf berarti pidana, dan
recht berarti hukum. Apabila dilihat secara historis, menurut Wirjono
Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak
pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa
Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk
pengertian burgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda.
Pada prinsipnya ada dua pengertian yang berbeda tentang Hukum
Pidana, yang disebut dengan ius poenale dan ius puniendi. Ius poenale
merupakan pengertian Hukum Pidana yang obyektif. Hukum Pidana dalam
pengertian ini menurut Mezger adalah, “Aturan-aturan hukum yang
mengikatkan pada suatu perbuatan tertentu yang memenuhi syarat-syarat
tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Pengertian hukum pidana
obyektif di atas menunjukkan adanya dua sisi dalam hukum pidana, yaitu
sisi yang mengatur tentang aturan perbuatan-perbuatan tertentu yang
dilarang serta orang yang melanggar larangan tersebut, dan ancaman
pidananya, disebut dengan hukum pidana substantif atau hukum pidana
materil. Sementara disisi yang lain mengatur tentang bagaimana negara
yang memiliki hak dalam melaksanakan proses peradilan untuk
menjalankan penuntutan, mengadili dan melaksanakan pidana terhadap
orang yang bersalah, disebut dengan hukum pidana formil.

12 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dua macam hukum pidana tersebut tidak dapat dipisahkan dalam


upaya penegakkan hukum pidana. Hukum pidana materil mengatur
tentang prinsip kesalahan (guilt in principle), sedangkan hukum pidana
formil mengatur prosedur untuk menentukan seseorang secara fakta
bersalah (guilty in fact).
Hukum perdata dikatakan merupakan serangkaian hukum yang
mengatur kepentingan perseorangan antara hubungan individu satu
dengan lainnya sehingga disebut dengan Hukum Privat (private law).
Sedangkan hukum pidana merupakan serangkaian hukum tertulis dimana
di dalamnya mengatur berbagai perbuatan yang dilarang, dengan adanya
sanksi tertentu bagi pelanggar sehingga disebut dengan Hukum Publik
(Public Law). Meskipun demikian perbedaan ini tentunya juga dapat
dibantah, karena dalam hukum pidana itu sendiri ada yang disebut dengan
delik umum (biasa) ada juga delik aduan yang bersifat dengan pribadi
antara hubungan antar individu sehingga hanya dapat diproses apabila
ada pengaduan dari yang bersangkutan. Dengan demikian sesungguhnya
bukan ini perbedaan sesungguhnya dari hukum pidana dan hukum
perdata. Perbedaan yang lebih jelas dan mendasar dari hukum pidana dan
perdana adalah dilihat dari sumber-sumber hukumnya. Apabila hukum
pidana sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan
sementara dalam hukum perdata menggunakan perjanjian sebagai
sumber hukum yang utama. Meskipun demikian dalam hukum perdata
tentunya tidak terlepas dari peraturan perundangundangan yang berlaku
khususnya KUH Perdata.
Sanksi pidana merupakan solusi terakhir (ultimum remedium) dari
rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. Solusi terakhir ini
merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang
hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum
pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu
bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan
sebagai primum remedium (solusi yang utama). Ketentuan pengaturan
mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam
UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi.

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 13

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

TUGAS DAN EVALUASI


1. Jelaskan latar belakang lahirnya hukum pidana?
2. Jelaskan mengapa hukum pidana penting bagi masyarakat?
3. Jelaskan pengertian hukum pidana secara umum?
4. Jelaskan pengertian hukum pidana berdasarkan pandangan para ahli?
5. Jelaskan apa saja perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dan
berikan contoh kasusnya?
6. Jelaskan apa saja perbedaan mengkhusus dari hukum pidana
dibandingkan hukum yang lainnya?
7. Jelaskan apa yang dimaksud karakteristik hukum pidana?
8. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan pidana sebagai ultimum
remedium?
9. Jelaskan ruang lingkup dari hukum pidana?
10. Jelaskan hambatan-hambatan apa yang mempersulit penerapan
ultimum remedium

14 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Z. (1987). Asas-asas hukum pidana: bagian pertama. Penerbit


Alumi.
Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta.
Ahmad Nindra Ferry, 2002, Efektiitas Sanksi Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar.
Perpustakaan Unhas, Makassar.
Andi Fuad Usfa. 2006. Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi. UMM Pers.
Malang.
Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,
Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
Pradnya Paramit., Jakarta. Andi Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I.
Jakarta: Sinar Graika.
Watampone, Jakarta.
Barda Nawawi Arif, 1993, Sari Kuliah “Hukum Pidana II”, Badan
Penyediaan Bahan Kulah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.15
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” Prenada
Media, Jakarta.
Chazawi Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja
Graindo, Jakarta.
Mangkepriyanto, E. (2019). Hukum Pidana dan Kriminologi. Guepedia.
Mulyatno, Azas-azas Hukum Pidana (1983) Jakarta: Bina Aksara
Sudarto. (1974). Suatu dilema dalam pembaharuan sistim pidana
Indonesia: pidato diucapkan pada pengukuhan jabatan gurubesar
tetap dalam hukum pidana pada Universitas Diponegoro di
Semarang pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 1974. Pusat Studi
Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Diponegori.
Prodjodikoro, W. (1989). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Kedua.

Pengertian dan Karakteristik Hukum Pidana | 15

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

16 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 2: PEMBAGIAN DAN FUNGSI
HUKUM PIDANA

Dr. Margie Gladies Sopacua, S.H., M.H

Fakultas Hukum Universitas Pattimura

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 2
PEMBAGIAN DAN FUNGSI HUKUM PIDANA

A. PENDAHULUAN
Konsep negara hukum yang terkenal di dunia dapat diketahui
diantaranya terdapat 2 (dua) yaitu Konsep Eropa Kontinental yang
terfokus pada negara hukum (rechtstaat) dan Konsep Anglo Saxon yang
terfokus pada peran hukum atau biasa dikenal dengan Rule of the Law.
Konsep yang sedang dijalankan oleh Indonesia lebih tertuju pada konsep
Eropa kontinental yang menitikberatkan kepada kedaulatan hukum.
Frederich Stahl mengatakan terdapat unsur pendukung konsep hukum
Eropa kontinental yang salah satunya adalah berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan (Sulistiyono, 2007).
Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat memiliki tujuan guna
menjamin dan menciptakan keamanan dan ketertibaban dalam setiap
interaksi masyarakat, rasa aman yang dirasakan masyarakat merupakan
rasa aman dari segala macam ancaman, teror dan juga segala perbuatan
lain yang merugikan hak dan kepentingan setiap manusia. Namun sebagai
hal pembeda dengan Hukum perdata, maka konteks hukum pidana dalam
hal ini adalah menjaga hak dan keamanan jiwa dan raga dari masyarakat.
Pendefinisian Hukum pidana harus dimaknai sesuai dengan sudut pandang
yang menjadi acuannya. Pada prinsipnya secara umum ada dua pengertian
tentang hukum pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan ius puniend.
Ius poenale merupakan pengertian hukum pidana objektif. Mezger
mendefinisikan berkaitan dengan hukum pidana merupakan "aturan-
aturan hukum yang membatasi suatu perbuatan tertentu yang sehingga
memenuhi syarat tertentu yang mengakibatkan suatu akibat yang berupa
pidana. Dalam konteks hukum pidana modern reaksi atas tindakan dan
sanksi dari kejahatan tersebut tidak hanya berupa hukum pidana,
melainkan lebih luas dari itu yakni tindakan yang bertujuan sebagai upaya

18 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

melindungi masyarakat dari perbuatan yang merugikan (Ida Bagus Surya


Darma Jaya, 2015).
Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik
(masyarakat umum), apabila diperinci sifat hukum publik tersebut dalam
hubungannya dengan hukum pidana maka akan ditemukan cirri-ciri
hukum publik sebagai berikut (S.R Sianturi, 1998):
1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat
dengan orang perorang;
2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perorang;
dan
3. Penuntutan seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana tidak
bergantung kepada perorangan (yang dirugikan) melainkan pada
umumnya negara/penguasa wajib menuntut berdasarkan
kewenangannya.

Tindak Pidana Kriminal (kejahatan) merupakan bagian dari suatu hal


yang terdapat pada kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang suatu
tindak kriminal (kejahatan) tidak lepas dari kita sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa serta tidak lepas dari suatu bagian hukum yaitu
hukum pidana dalam mempelajari masalah-masalah ataupun isu-isu
tentang kriminal (kejahatan) tersebut, bahkan apabila terjadi dalam
masyarkat di Indonesia, hal tersebut merupakan suatu persoalan
tersendiri, oleh sebab dengan banyaknya penduduk yang beraneka ragam
di Indonesia serta banyaknya masalah dan juga beraneka ragam jenis
kejahatan.
Keberadaan hukum pidana dalam kehidupan masyarakat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Norma hukum
pidana dipandang sebagai salah satu norma yang dapat melindungi
kehidupan moralitas masyarakat dan kepentingan masyarakat itu sendiri,
yakni berupa ketertiban dan kedamaian. Salah satu fungsi hukum pidana
adalah untuk memperkuatkan (beschreming) terhadap aturan hukum dan
sanksi bidang hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum tata negara
dan hukum administrasi negara yang ada. Hukum pidana juga diharapkan
melindungi berbagai hak dan kepentingan masyarakat (publik) dalam

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 19

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

bentuk memberikan sanksi pidana bagi pelakunya bagi orang yang


dipandang merusak tatanan masyarakat (Yoserwan, 2020).
Hukum pidana sangat berkaitan dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Bersamaan dengan kemajuan masyarakat serta bangsa
dan negara maka banyak ketentuan yang belum terdapat dalam KUHP,
dan di atur di luar KUHP, misalnya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
sebagiamana dirubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), Undang-undang
Nomor 23 tahun 2003 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor
11 tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (selanjutnya disebut dengan UU PKDRT), Undang-undang Nomor
10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan, dan undang-undang lainnya yang diatur di luar
KUHP.
Hukum pidana adalah suatu ketetapan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak diperkenankan untuk dilakukan
dan apabila perbuatan tersebut di lakukan atau dilanggar maka si
pembuat akan menerima sanksi sesuai dengan apa yang telah diatur
dalam peraturan-perundang-undangan tersebut. Salah satu contoh nya
yaitu perbuatan mencuri yang telah diatur dalam Pasal 362 KUHP, apabila
pencurian itu dilakukan oleh si pembuat maka akan dikenakan sanksi
berupa pidana penjara sesuai dengan isi Pasal tersebut, artinya sudah ada
larangan bahwa tidak diperbolehkan untuk mengambil barang sesuatu
yang bukan kepunyaannya tetapi jika tetap masih dilakukan maka Pasal
362 KUHP akan diberlakukan bagi si pembuat tersebut.

B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


Hukum pidana terbagi atas beberapa bagian diantaranya adalah
hukum pidana tertulis dan hukum pidana yang tidak tertulis, hukum
pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP), hukum pidana
objektif dan hukum pidana subjektif, hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus, hukum pidana nasional, hukum pidana internasional, serta

20 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

hukum pidana lokal. Dibawah ini adalah penjelasan tentang pembagian


hukum pidana tersebut yaitu;
1. Hukum Pidana Tertulis Dan Hukum Pidana Yang Tidak Tertulis
Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana tertulis dan hukum
pidana tidak tertulis jarang ditemukan karena sifat dan karakter hukum
pidana pada dasarnya haruslah tertulis. Hal ini didasarkan pada asas
legalitas tertulis dalam hukum pidana dengan salah satu makna yang
terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah prinsip lex scripta yang
berarti aturan pidana haruslah tertulis. Pembagian hukum pidana menjadi
hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis didasarkan pada
bentuk atau wadahnya. Hukum pidana tertulis disebut juga dengan hukum
pidana undang-undang tertulis yang terdiri dari hukum pidana kodifikasi
seperti KUHP tertulis dan KUHAP tertulis dan hukum pidana di luar
kodifikasi tertulis, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-
undangan. Hukum pidana yang dijalankan oleh negara adalah hukum
pidana tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas. Hukum pidana tidak
tertulis disebut juga hukum pidana adat yang keberlakuan dipertahankan
dan dapat dipaksakan oleh masyarakat adat setempat. Hukum pidana adat
tidak dapat dijalankan meskipun berdasarkan Pasal 5 (3b) UndangUndang
Nomor. 1/Drt/1951 memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum
pidana adat dalam arti yang sangat terbatas. Hukum pidana tertulis
disebut juga dengan hukum pidana undangundang yang terdiri dari hukum
pidana kodifikasi seperti KUHP dan KUHAP dan hukum pidana di luar
kodifikasi, yang tersebar di berbagai peraturan perundangundangan.
Hukum pidana tidak tertulis disebut juga hukum pidana adat yang
keberlakuannya dipertahankan dan dapat dipaksakan oleh masyarakat
adat setempat (Zainab Ompu Jainah, 2018)
Berdasarkan hal tersebut maka secara singkat dapat diketahui antara
lain:
1) Hukum Pidana tertulis terdiri dari dua bentuk, yaitu:
a. Hukum Pidana yang dikodifikasikan yaitu Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP); dan
b. Hukum Pidana yang tidak dikodifikasikan contohnya Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 21

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,


Undang-undang Pelindungan Anak, Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak, undang-undang Pengahapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Undang-undang Perpajakan dan lain
sebagainya yang diatur di luar KUHP
2) Hukum Pidana tidak di kodiikasi, contohnya Hukum Pidana Adat.
Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan berlaku hanya
untuk masyarakat-masyarakat tertentu saja atau berlaku di daerah-
daerah tertentu.

2. Hukum Pidana Materil (KUHP) dan Hukum Pidana Formil (KUHAP)

Hukum pidana, terbagi dalam 2 (bentuk) berdasarkan materi yang


diatur didalamnya yakni yang jamak kita dengar dengan Hukum Pidana
Materil dan Hukum Pidana Formil. Mengutip dari pendapat Tirtamidjaja
menjelaskan berkaitan dengan Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana
Formil yakni (Simons dalam buku P.A.F.lamintang, 1997):
a. Hukum Pidana Materil merupakan kumpulan dari aturan hukum yang
menentukan pelanggaran pidana, mengatur bentuk syarat-syarat bagi
pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukan kenapa orang
dapat dihukum dan bisa ditetapkan hukuman atas pelanggaran pidana
yang dilakukan olehnya; dan
b. Hukum Pidana Formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur
berkaitan dengan upaya mempertahankan hukum pidana materil

22 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau


dengan kata lain mengatur tentang cara bagaimana Hukum Pidana
Materil diwujudkan sehingga memperoleh kaputusan hakim serta
mengatur cara melaksanakan putusan hakim tersebut. J.M Van
Bemmelen membedakan Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana
Formil yakni Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang
disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancam terhadap perbuatan
itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana hukum acara
pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan.

Secara garis besar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


berisikan mengenai;
a. Bab I tentang ketentuan umum
b. Bab II tentang ruang lingkup berlakunya undang-undang
c. Bab III tentang dasar peradilan
d. Bab IV tentang penyidik dan penuntut umum
e. Bab V tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan badan,
pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat
f. Bab VI tentang tersangka dan terdakwa
g. Bab VII tentang bantuan hukum
h. Bab VIII tentang berita acara
i. Bab IX tentang sumpah atau janji
j. Bab X tentang wewenang pengadilan untuk mengadili
k. Bab XI tentang koneksitas
l. Bab XII tentang ganti kerugian dan rehabilitasi
m. Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
n. Bab XIV tentang penyidikan
o. Bab XV tentang penuntutan
p. Bab XVI tentang pemeriksaan sidang pengadilan
q. Bab XVII tentang upaya hukum biasa
r. Bab XVIII tentang upaya hukum luar biasa
s. Bab XIX tentang pelaksanaan putusan pengadilan

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 23

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

t. Bab XX tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan


pengadilan
u. Bab XXI tentang ketentuan peralihan
v. Bab XXII tentang ketentuan penutup

Berdasarakan pengertian di atas maka menurut penulis hukum pidana


materil berisikan tentang peraturan yang bersifat tentang perbuatan-
perbuatan pidana yang dilarang dan disertai ancaman pidana. Sedangkan
hukum pidana formil berisikan tentang peraturan tentang cara bagaimana
negara beserta perlengkapannya dalam menegakkan hukum pidana
materiil melalui suatu proses peradilan pidana.

3. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif


Simons menyatakan bahwa hukum pidana itu dapat dibagi menjadi
hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan
hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjective zin. Hukum
pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang
juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Sedangkan Hukum
Pidana dalam arti subjektif (Ius puniendi) tersebut, oleh Simons telah yakni
Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas
pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum
lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan--peraturan di
mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan
dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri. Hukum pidana d alam arti
subjektif itu mempunyai dua pengertian, yakni; (Ilyas, 2012)
a. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni
hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah
ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan hukum.

24 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sudarto menyatakan bahwa pengertian hukum pidana subjektif atau


Ius puniendi, memiliki dua pengertian yaitu (Ida Bagus Surya Darma Jaya,
2015):
a. Pengertian luas, yaitu hubungan dengan hak negara atau alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau menentukan ancaman
pidana terhadap suatu perbuatan;
b. Pengertian sempit, yaitu hak negara untuk menuntut perkara-perkara
pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang
melakukan tindak pidana

Hukum pidana objektif atau ius poenale merupakan suatu keharusan


yang berisikan perintah serta larangan pidana yang jika melanggarnya
akan larangan dan kaidah tersebut diancam dengan pidana oleh badan
yang memiliki hak, sedangkan hukum pidana yang subjektif atau jus
puniendi yaitu merupakan hak negara untuk dapat menuntut pidana, dan
hak dalam menjatuhkan pidana serta hak dalam pelaksanaan atau
melaksanakan pidana.

4. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus


Pembagian hukum pidana selain yang telah disebutkan terlebih dahulu
adalah hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang diarahkan secara umum serta
pemberlakuannya bersifat umum dan diberlakukan kepada semua warga
Negara yang merupakan subjek hukum (orang) tanpa dibedakan dari
aspek derajatnya sebagai pribadi subjek hukum tertentu, KUHP dan
Undang-undang tersebar di luar KUHP. Hukum pidana umum secara
materiil sumber hukumnya terdapat pada udang-undang nomor 1 tahun
1946 Tentang KUHP dan secara formil sumber hukumnya terdapat pada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Hukum pidana khusus adalah ketentuan hukum pidana yang tujukan
secara khusus dan pemberlakuannya juga bersifat khusus serta hanya
kepada orang-orang tertentu saja. Berbicara mengenai hukum pidana
khusus secara materiil dikatakan sebagi sebuah penyimpangan dari KUHP
dan/atau secara formil juga dikatakan menyimpang dari KUHAP. Maka
atas dasar pengaturan tersebut, hukum pidana khusus terdiri atas dua

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 25

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

bagian diantaranya yaitu hukum pidana khusus di atur di luar KUHP.


Contoh Hukum Pidana khusus diantaranya adalah Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang
Pelindungan Anak, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, undang-
undang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang
Perpajakan dan lain sebagainya yang diatur diluar KUHP.

5. Hukum Pidana Nasional


Hukum pidana nasional adalah hukum yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia yang disebut sebagai kodifikasi hukum pidana. Hukum pidana
nasional berupa hukum pidana materiil (KUHP) maupun hukum pidana
formil (KUHAP), dan juga berupa hukum pidana umum maupun hukum
pidana khusus.

6. Hukum Pidana Internasional


Roling mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai hukum
yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata dilakukan jika terdapat unsur-unsur
internasional di dalamnya. Menurut George Sehwarzenberger
sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita, memberi enam pengertian
terhadap hukum pidana internasional (Atmasasmita, 2003):
a. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum
pidana nasional;
b. Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional yang
diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional;
c. Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan internasional
yang ditetapkan sebagai ketentuan di dalam hukum pidana nasiona;
d. Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana
nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan
masyarakat bangsa yang beradab;
e. Hukum pidana internasional dalam arti kerjasama internasional
sebagai mekanisme administrasi peradilan nasional; dan
f. Hukum pidana internasional dalam arti kata materil

26 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Shinta Agustina dengan mengutip pendapat Edmund M. Wise


menyatakan bahwa hukum pidana internasional dalam pengertian yang
paling luas meliputi tiga topic, diantaranya yaitu; (Shinta Agustina, 2006)
a. Kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap
kasuskasus yang melibatkan unsur asing. Hal ini terkait yurisdiksi
tindak pidana internasional, pengakuan putusan pengadilan asing dan
kerjasama antar negara dalam menanggulangi tindak pidana
internasional;
b. Prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan
kewajiban pada negara-negara dalam hukum pidana atau hukum
acara pidana nasional negara yang bersangkutan. Kewajiban tersebut
antara lain untuk menghormati hak-hak asasi seorang tersangka atau
hak untuk menuntut dan menjatuhi pidana terhadap pelaku tindak
pidana internasional; dan
c. Mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum pidana
internasional termasuk instrumen penegakan hukumnya. Dalam hal ini
adalah pembentukan mahkamah pidana internasional

Anthony Aust menyatakan bahwa terminologi hukum pidana


international biasanya digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek
internasional yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan internasional
(Anthony Aust). Antonio aturan internasional mengenai larangan-larangan
kejahatan internasional dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan
hukuman beberapa kejahatan (Antonio Cassese, 2003).
Pengertian hukum pidana internasional yang telah dikemukakan telah
terlebih dahulu, maka dapat diketahui bahwa hukum pidana internasional
secara materiil berbicara tentang perilaku-perilaku atau perbuatan yang
dalam hukum internasional merupakan kejahatan internasional sedangkan
secara formilnya hukum pidana internasional dalam konteks pemahaman
penegakan hukum pidana internasional merupakan bagian internasional
dalam hukum pidana nasional. maka secara singkat penulis memberikan
definisi hukum pidana internasional adalah seperangkat peraturan-
peraturan hukum yang membahas tentang kejahatan internasional serta
penegakan hukumnya yang dilaksanakan oleh negara dan hal tersebut

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 27

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

merupakan dasar dari suatu kerjasama internasional, atau juga oleh


masyarakat internasional dalam suatu lembaga internasional dan hal itu
memiliki sifat permanen maupun bersifat ad-hoc.

7. Hukum Pidana Lokal


Hukum pidana lokal adalah ketentuan hukum pidana yang dimuat
dalam Peraturan Daerah (selanjutnya disebut dengan PERDA) dan bersifat
lokal. Hukum pidana lokal disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(selanjutnya disebut dengan DPRD) bersama-sama dengan Gubernur,
Bupati ataupun Walikota. Bentuk dari hukum pidana lokal diatur dalam
sejumlah peraturan daerah dan diberlakukan khusus bagi daerah lokal saja.
Adapun pembatasan terhadap ancaman pidana lokal yang boleh
dituangkan atau diatur ke dalam suatu peraturan lokal daerah. Salah satu
contohnya yaitu dalam peraturan daerah tidak diperbolehkan memuat
sanksi pidana yang berupa pidana penjara.

C. SISTEMATIKA HUKUM PIDANA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Ketentuan Pasal 6


sebagaimana dikenal dengan Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch-
Indie menjadi Wetbook van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang masih berlaku hingga saat ini, sebagaimana kita ketahui

28 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

terdiri dari tiga buku dan 569 Pasal dengan penjelasan sistematikanya
sesuai dengan bagan di atas adalah sebagai berikut:
1. Buku Kesatu Tentang Ketentuan-Ketentuan Umum yang terdiri dari:
a. Bab I Tentang Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam
Perundang-Undangan
b. Bab II Tentang Pidana;
c. Bab III Tentang Hal-Hal Yang Menghapuskan, Mengurangkan Atau
Memberatkan Pengenaan Pidana;
d. Bab IV Tentang Percobaan;
e. Bab V Tentang Penyertaan Dalam Melakukan Perbuatan Pidana 6)
Bab VI Tentang Perbarengan;
f. Bab VII Tentang Mengajukan Dan Menarik Kembali Pengaduan
Dalam Hal Kejahatan-Kejahatan Yang Hanya Dituntut Atas
Pengaduan;
g. Bab VIII Tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana Dan
Menjalankan Pidana;
h. Bab IX Tentang Arti Beberapa Istilah Yang Dipakai Dalam Kitab
Undang-undang
2. Buku Kedua Tentang Kejahatan yang terdiri dari:
a. Bab I Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
b. Bab II Tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil
Presiden
c. Bab III Tentang Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap
Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
d. Bab IV Tentang Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan
Hak Kenegaraan
e. Bab V Tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
f. Bab VI Tentang Perkelahian Tanding (Bab Ini Berdasarkan Pasal V
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Telah Dihapus)
g. Bab VII Tentang Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan
Umum Bagi Orang Atau Barang
h. Bab VIII Tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
i. Bab IX Tentang Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
j. Bab X Tentang Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
k. Bab XI Tentang Pemalsuan Meterai Dan Merek

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 29

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

l. Bab XII Tentang Pemalsuan Surat


m. Bab XIII Tentang Kejahatan Terhadap Asal-Usul Pernikahan
n. Bab XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan
o. Bab XV Tentang Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
p. Bab XVI Tentang Penghinaan
q. Bab XVII Tentang Membuka Rahasia
r. Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
s. Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa
t. Bab XX Tentang Penganiayaan
3. Buku Ketiga Tentang Pelanggaran-Pelanggaran yang terdiri dari :
a. Bab I Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau
Barang Dan Kesehatan Umum
b. Bab II Tentang Pelanggaran Ketertiban Umum
c. Bab III Tentang Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
d. Bab IV Tentang Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Pernikahan
e. Bab V Tentang Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan
Pertolongan
f. Bab VI Tentang Pelanggaran Kesusilaan
g. Bab VII Tentang Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman Dan
Pekarangan
h. Bab XVIII Tentang Pelanggaran Jabatan
i. Bab IX Tentang Pelanggaran Pelayaran

D. TUGAS, TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM PIDANA


Impian rakyat Indonesia dalam mempejuangkan bangsa ini sehingga
menjadi merdeka adalah untuk memastikan agar masyarakat dapat hidup
bebas tanpa adanya tekanan dan intimidasi dari pihak manapun. Bahkan
masyarakat harus dapat hidup sejahtera dan selalu mendapatkan
perlindungan serta keadilan. Dengan demikian kedamaian dan
ketentraman dalam menjalani roda kehidupan sebagai rakyat Indonesia
benar-benar dapat di nikmati. Pendiri bangsa ini juga sangat memegang
apa yang tertuang di dalam UUD 1945 alinea ke empat UUD 1945, yaitu
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

30 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia


yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
dan seterusnya merupakan impian bagi setiap warga negara. Alinea ini
juga merupakan standar atau acuan dalam merancang, membentuk dan
memberlakukan Undang-undang bahkan untuk pemberlakuan hukum
yang berlaku di negera ini (Amrunsyah, 2019).
Berbicara tentang dinamika kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat sebagai makhluk sosial tidak lepas dari persoalan
pelanggaran hukum. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari hukum
tersebut yaitu menjaga dan memelihara ketertiban serta keteraturan
hidup dalam pergaulan hidup bermasyarakat, namun kenyataan sehari-
hari dapat dilihat bahwa banyak perbincangan lewat media elektronik
mapun media sosial tindak pidana diistilahkan sebagai sebuah kejahatan,
kriminal, ataupun pelanggaran hukum yang bermakna negatif.
H.L.A Hart, hukum pidana memiliki tugas utama untuk melindungi
masyarakat terhadap kejahatan yang diakibatkan oleh setiap pelanggaran
undang-undang. Menurut Hart, hukum pidana itu tidak saja bertujuan
untuk memperbaiki pelaku kejahatan agar tidak melakukan kejahatan,
tetapi juga untuk mencegah masyarakat melakukan kejahatan. Sedangkan
Wilkins, tujuan hukum pidana adalah memperkecil kemungkinan pelaku
kejahatan mengulangi perbuatannya (Bemmelen, 1984).
Tujuan hukum antara lain adalah: untuk mewujudkan ketentraman
dan keadilan. Dengan demikian bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka
tentu saja sebagaimana dipertanyakan sebelumnya adalah apa yang salah
dan dimana letak salahnya. Seperti yang disinyalir oleh Satjipto Rahardjo
bahwa, Indonesia negara dengan segala kemajemukan. Hukum memang
mempengaruhi kehidupan sosial budaya, tetapi pada waktu yang sama
hukum juga dibentuk oleh kondisi sosial budaya. Hukum merupakan
variabel yang tak mandiri dalam masyarakat, sehingga perkembangannya
juga akan ditentukan oleh apa yang terjadi di sektor kehidupan
masyarakat yang lain (Satjipto Rahardjo, 1987).
Tujuan dari hukum pidana menurut penulis adalah;
1. Melindungi kepentingan setiap orang
2. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak malakukan suatu
perbuatan yang membawa akibat pada dirinya

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 31

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

3. Memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak mengulangi


perbuatannya

Hukum itu sendiri untuk sebagian besar orang merupakan hal yang
sangat dihindari atau bahkan ditakuti karena keakrabannya dengan kata
sanksi dan penjara. Semua orang secara alami, takut untuk terkena
konsekuensi yang akan didapat dari melanggar hukum tersebut. Oleh
karena itu bagi orang awam, eksistensi hukum itu sendiri telah
memberikan mereka batasan dalam berperilaku dan berbuat dalam
lingkungan bermasyarakat. Memberikan batasan dalam perilaku inilah
tepatnya yang merupakan salah satu fungsi hukum. Namun secara sadar
maupun tidak sadar, manusia memiliki sifat alami untuk memberontak
ketika dikekang sehingga sering kali terjadi pelanggaran aturan dan norma
di masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya memiliki
kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lain. Dengan interaksi
ini, setiap kelakuan manusia dapat menimbulkan sebab akibat (causality)
terhadap manusia lain yang tidak jarang menciptakan suatu peristiwa
hukum. Fungsi hukum pidana, yaitu sebagai suatu kebijakan untuk
menanggulangi kriminalitas dan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kebijakan yang berfokus pada memberikan perlindungan masyarakat
(social defense policy) dan kesejahteraan masyarakat (Adalia Safira Rahma,
Riska Andi Fitrionio, Aldi Danuarta & Rizka Chamami, 2022).
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman
apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Hukum pidana
bukanlah yang mengadakan norma hukum itu sendiri, tetapi sudah
terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan di
taatinya norma-norma lain tersebut. Fungsi Hukum Pidana, terbagi
menjadi dua yaitu (Zainab Ompu Jainah, 2018):
1. Secara umum, yaitu fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi
hukum pidana sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada
umumnya karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat dan
2. Secara khusus, yaitu fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk
melindungi suatu kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan

32 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa


pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan
dan yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau
untuk memberikan aturanaturan untuk melindungi yang pihak yang
telah dirugikan. Sebagai hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi
sebagai berikut:
1) Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang
menyerang atau memperkosanya. Kepentingan hukum
(rechtersebutelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan
dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi,
anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib
dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh
perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk
terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang
kehidupan. Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan
hukum itu meliputi :
a. Hak-hak (rechten);
b. Hubungan hukum (rechtersebutetrekking);
c. Keadaan hukum (rechtstoestand)
d. Bangunan masyarakat (sociale instellingen);

Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam


yaitu:
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),
kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak
milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan
nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila;
b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan
dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya;
c. Kepentingan hukum negara (staatersebutelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat,

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 33

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan


wakilnya.

Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa


dipisahkan. Contoh: kepetingan hukum yang diatur dalam hukum
pidana materil (KUHP) larangan mencuri (Pasal 362 KUHP),
larangan menghilangkan nyawa (Pasal 338 KUHP). Pasal 363 KUHP
melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas
hak milik kebendaan pribadi dan Pasal 338 KUHP adalah
melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap
hak individu atau nyawa orang. Untuk melindung kepentingan
hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman
penjara). Misalnya Pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman
penjara maksimum 5 tahun dan Pasal 338 KUHP dapat diancam
hukuman penjara maksimum 15 tahun.

2) Fungsi Memberi dasar legitimasi bagi negara Fungsi hukum pidana


yang dimaksud disini adalah tiada lain memberi dasar legitimasi
bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan
dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum
pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat
dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa
yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah
diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara
dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum
yang dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya bagaimana cara
negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya
tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan,
penuntutan, pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara
diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja.
Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara tindakan
negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas; dan
3) Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara. Sebagaimana
diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua di atas adalah

34 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat


besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan
sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas
harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana
untuk melindungi kepentingan hukum yang dlindungi. Namun
tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak
melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi
manusia.
Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya
dalam rangka negara menjalankan fungsinya mempertahankan
kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat
disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban
hukum masyarakat itu, menjadi wajib.
Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil
dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat
yang dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan
hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran hukum pidana,
pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap
melakukan tindakan hukum.
Misalnya jika seseorang membunuh (Pasal 338 KUHP) negara tidak
boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu
juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa
penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika
ketentuan di atas dilanggar oleh negara maka akan terjadi
kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan.
Jika akibat suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat,
maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak tercapai.
Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan
saja.

Sudarto menyatakan bahwa fungsi hukum pidana dibagi menjadi dua


yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana sama
seperti fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur hidup masyarakat
atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat. Fungsi khusus

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 35

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan


yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana. Berkaitan
dengan perlindungan terhadap kepentingan individu, paling tidak ada tiga
hal yang di lindungi (Hiariej, 2014);
1) Perlindungan terhadap nyawa. Oleh karena itu, dalam KUHP terdapat
pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap nyawa;
2) Perlindungan terhadap harta benda yang dituangkan dalam Pasal-
pasal yang bertalian dengan kejahatan terhadap harta benda; dan
3) Perlindungan terhadap kehormatan, baik kesusilaan maupun nama
baik. Dengan demikian di dalam KUHP juga terdapat pasal-pasal yang
barkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan dan kejahatan yang
berkaitan dengan pencemaran nama baik

Sebagaimana diketahui bahwa fungsi khusus dari hukum pidana


adalah untuk menjaga, membela dan melindungi kepentingan dari hukum,
maka untuk itulah yang harus dijaga, dibela serta dilindungi bukan semata-
mata kepentingan individu melainkan juga kepentingan masyarakat dan
kepentingan negara. Maka karena itulah dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) terdapat Pasal-pasal
yang ada kaitannya dengan kejahatan terhadap keamanan negara sebagai
bentuk perlindungan terhadap kepentingan negara, serta dalam KUHP
terdapat Pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
kepentingan umum sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan
suatu masyarakat.
Selanjutnya fungsi khusus hukum pidana yang kedua yaitu
memberikan keabsahan kepada negara dalam rangka menjalankan
fungsinya melindungi kepentingan hukum. Jika terjadi pelanggaran
terhadap kepentingan hukum negara, masyarakat dan atau individu, maka
dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang negara dapat
menjalankan alat-alat kekuasaannya untuk memberi perlindungan
terhadap kepentingan hukum yang di langgar. Dapat dikatakan bahwa
fungsi khusus hukum pidana yaitu memberi keabsahan kepada negara
untuk menjalankan fungsinya melindungi kepentingan hukum dalam
konteks hukum pidana formil (Fitri Wahyuni, 2017).

36 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

E. RANGKUMAN MATERI
Hukum pidana adalah suatu ketetapan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak diperkenankan untuk dilakukan
dan apabila perbuatan tersebut di lakukan atau dilanggar maka si
pembuat akan menerima sanksi sesuai dengan apa yang telah diatur
dalam peraturan-perundang-undangan tersebut. Hukum pidana terbagi
atas beberapa bagian diantaranya adalah hukum pidana tertulis dan
hukum pidana yang tidak tertulis, hukum pidana materiil (KUHP) dan
hukum pidana formil (KUHAP), hukum pidana objektif dan hukum pidana
subjektif, hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana
nasional, hukum pidana internasional, serta hukum pidana local.
KUHP berisikan 569 Pasal dan terdiri atas tiga (3) buku dimana buku I
berisikan tentang Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 103),
buku II beriskan tentang Pelanggaran (Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
dan buku III berisikan tentang kejahatan (Pasal 489 sampai dengan Pasal
569). Tugas utama untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang
diakibatkan oleh setiap pelanggaran undang-undang sedangkan tujuan
dari hukum pidana menurut penulis adalah; Melindungi kepentingan
setiap orang, untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan
suatu perbuatan yang membawa akibat pada dirinya dan memberikan
efek jera kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya
Secara umum, yaitu fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi
hukum pidana sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya
karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat dan secara khusus, yaitu
fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu
kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana yang telah
ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih
tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-
aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan.

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 37

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

TUGAS DAN EVALUASI


1. Jelaskan pengertian dari hukum publik menuru S.R Sianturi
2. Jelaskalah apa yang dimaksudkan dengan;
a. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis
b. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil
c. Hukum Pidana Obektif dan Hukum Pidana Subjektif
d. Hukum Pidana Nasional, Hukum Pidana Internasional dan Hukum
Pidana Lokal
3. Menurut George Sehwarzenberger sebagaimana dikutip Romli
Atmasasmita, memberikan tentang enam pengertian dari hukum
pidana internasional. Jelaskan keenam pengertian tersebut
4. Jelaskan tugas dan tujuan dari pada Hukum Pidana
5. Zainab Ompu Jainah menyatakan bahwa fungsi hukum pidana terbagi
atas dua (2) bagian yaitu fungsi secara umum dan fungsi secara khusus.
Jelaskan kedua fungsi tersebut

38 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Adalia Safira Rahma, Riska Andi Fitrionio, Aldi Danuarta, M., & Rizka
Chamami, Y. S. C. (2022). Penerapan Fungsi Hukum Pidana Dalam
Kasus Investasi Bodong. Jurnal Analisis Hukum (JAH, 5(1), 56–65.
https://doi.org/10.38043/jah.v5i1.3483
Amrunsyah. (2019). Impian Yang Terabaikan (Implementasi dari Tujuan
Hukum dan Hukum Pidana di Indonesia). LĒGALITĒ: Jurnal
Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam, 4(1181–204).
Antonio Cassese, (Ed). A. Rahman Zainuddin. (2003). Hak-Hak Asasi
Manusia di Dunia Yang Berubah. Yayasan Obor Indonesia.
Atmasasmita, R. (2003). Pengantar Hukum Pidana Internasiona. Refika
Aditama.
Bemmelen. (1984). Hukum Pidana I. Binacipta.
Fitri Wahyuni. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (M Rizqi
Azmi (ed.); Edisi ke-1). PT Nusantara Persada Utama.
Hiariej, S. dalam E. O. . (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma
Pustaka.
Ida Bagus Surya Darma Jaya. (2015). Hukum Pidana Materil & Formil :
Pengantar Hukum Pidana. USAID-The Asia Foundation-Kemitraan
Partnership.
Ilyas, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang.
S.R Sianturi. (1998). Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di
Indonesia (Cetakan Ke). Alumni AHAEM PTHAEM.
Satjipto Rahardjo. (1987). Permasalahan Hukum di Indonesia. Alumni.
Shinta Agustina. (2006). Hukum Pidana Internasional dalam Teori dan
Praktek. Andalas University. Press.
Simons dalam buku P.A.F.lamintang. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Sulistiyono, A. (2007). Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma
Moral. Lembaga Pengembengan Pendidikan (LPP) dan UPT
Penerbitan dan percetakan UNS (UNS PRESS) Universitas Sebelas
Maret.

Pembagian dan Fungsi Hukum Pidana | 39

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Yoserwan. (2020). Fungsi Sekunder Hukum Pidana Dalam Penanggulangan


Tindak Pidana Perpajakan (The Secondary Function of Criminal Law
in Combating Tax Crime). Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, 20(2),
165–176.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.v20..165-
176
Zainab Ompu Jainah. (2018). Kapita Selekta Hukum Pidana (Intan Nurina
Seftiniara (ed.); Cetakan pe). Tira Smart.

40 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 3: SUMBER-SUMBER HUKUM
PIDANA

Dr. Juanrico Alfaromona Sumarezs Titahelu, S.H., M.H

Fakultas Hukum Universitas Pattimura

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 3
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA

A. PENDAHULUAN
Hukum merupakan wadah untuk melindungi masyarakat. Oleh karena
itu suatu Negara akan memiliki nilai-nilai yang beradab jika Negara itu
berdasarkan hukum, dan hukum di Indonesia adalah hal yang esensial,
sebagaimana berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945), mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”
(Basri, 2021).
Oleh karena itu, Negara memiliki peran penting dalam melindungi
hak-hak rakyatnya secara adil dan beradab karena salah satu kunci
kekuatan suatu Negara tidak terlepas dari bagaimana Negara dapat
melindungi rakyatnya dari segala ancaman baik fisik maupun
ancaman lainnya. Artinya ada perlindungan hak asasi manusia (HAM)
yang harus ditekankan secara fundamental di dalam Negara (Santosa,
2011).
Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada di negara Indonesia,
pengaturan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut dengan KUHP) sebagai salah satu hukum positif.
Seperti halnya ilmu hukum lainnya, hukum pidana mempunyai tujuan
umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat. Kemudian tujuan
khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah
terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras
dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
hukum yaitu orang (martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain sebagainya),
masyarakat dan negara.
Hukum pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi
yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan hukum pidana, sering juga dikatakan bahwa hukum pidana

42 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Namun, pada kondisi


sekarang ini, dan juga sering dilihat pada pemberitaan di media, hukum
pidana bukan lagi menjadi upaya penyelesaian sengketa yang terakhir.
Hukum pidana justru menjadi upaya penyelesaian yang diutamakan atau
premium remedium. Hal ini karena memang dimungkinkan tidak ada
upaya penyelesaian yang lain. Selain itu diakibatkan kurang adanya
pemahaman mengenai hukum pidana yang di dalamnya diatur mengenai
sanksi yang cukup berat bagi pelakunya. Oleh karenanya, kurang adanya
pertimbangan untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan inilah yang
akhirnya kini hukum pidana bergeser menjadi premium remedium
(Rahmawati, 2013).
Pelaksanaan hukum pidana di Indonesia dianggap kurang efektif
dalam menangani berbagai kasus kejahatan yang bermunculan. Hal ini
disebabkan oleh sanksi yang diberikan kepada pelaku dinilai kurang efektif
dalam memberikan efek jera yang menyebabkan pelaku tersebut
mengulangi perbuatannya setelah bebas dari penjara atau jerat pidananya.
Sebagai warga yang berkedudukan di negara hukum, diharuskannya suatu
kesadaran untuk taat pada konstitusi. Tetapi hal ini sulit diwujudkan
karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum negara kita
sendiri.
Kata “hukum” itu sendiri untuk sebagian besar orang merupakan hal
yang sangat dihindari atau bahkan ditakuti karena keakrabannya dengan
kata sanksi dan penjara. Semua orang secara alami, takut untuk terkena
konsekuensi yang akan didapat dari melanggar hukum tersebut. Olehnya
bagi orang awam, eksistensi hukum itu sendiri telah memberikan mereka
batasan dalam berperilaku dan berbuat dalam lingkungan bermasyarakat.
Memberikan batasan dalam perilaku inilah tepatnya yang merupakan
salah satu fungsi hukum. Namun secara sadar maupun tidak sadar,
manusia memiliki sifat alami untuk memberontak ketika dikekang
sehingga sering kali terjadi pelanggaran aturan dan norma di masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya memiliki kecenderungan untuk
berinteraksi dengan manusia lain. Dengan interaksi ini, setiap kelakuan
manusia dapat menimbulkan sebab akibat (causality) terhadap manusia
lain yang tidak jarang menciptakan suatu peristiwa hukum (Rahma et al.,
2022).

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 43

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Hukum pidana, memiliki makna lain yaitu sebagai ‘hukuman’, yang


merupakan sejumlah peraturan-peraturan hukum yang mengatur dan
memutuskan perbuatan apa saja yang merupakan pelanggaran dan
dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana, selain itu juga
memuat tentang hukuman apa yang dijatuhi jika si pembuat melanggar
ketentuan yang telah dimuat dan diatur dan terbukti melaksanakan suatu
tindak pidana itu. Pengertian ini sudah menggambarkan bahwa hukum
pidana di buat untuk mengatur tentang sanksi pidana yang akan dijatuhi
kepada seseorang jika si pembuat melakukan sebuah tindakan kriminal
(kejahatan) ataupun pelanggaran, yang telah diatur dalam hukum positif.

B. ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA


Indonesia sejak merdeka telah menyadari urgensi pembaharuan
hukum pidana peninggalan pemerintah kolonial dengan hukum pidana
yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum negera dan
masyarakat Indonesia yang sudah merdeka. Langkah pertama adalah
dengan menetapkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Pemberlakuan Wetbook van Strafrecht Nederland Indie (WvSNI) yang
sekarang dikenal dengan KUHP dengan beberapa perubahannya). Langkah
ini setidaknya untuk menghindari adanya kekosongan hukum di bidang
pidana, sebelum dibuat hukum pidana baru yang memang benar-benar
produk dari negara merdeka Indonesia, yang lebih sesuai dari aspek
filosofi, nilai, asas, dan normanya dengan nilai-nilai Pancasila dan ke-
Indonesia-an lainnya. Dalam pembaharuan hukum pidana (KUHP), tidak
saja diperlukan kajian mendalam terhadap KUHP yang berlaku (lama)
maupun nilai-nilai filosofi Pancasila dan ke-Indonesia-an lainnya yang
hidup di masyarakat, akan tetapi juga harus memperhatikan nilai nilai
yang hidup dan berkembang di masyarakat Interhadional yang beradab
(Iksan, 2007).
Perbaikan sistem hukum di Indonesia sebagai negara hukum memang
harus diawali dengan membangun paradigma substansi hukum. Melalui
reformasi substansi hukum, maka potensi untuk memperbaiki struktur
hukum dan budaya menjadi sistematis dan lebih terarah (Sihombing,
2019).

44 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Kata asas berasal dari bahasa arab “asasun” yang berarti dasar
atau prinsip, sedangkan kata ”legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex
yang berarti undang-undang atau dari kata jadian legalis yang berarti
sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian
arti legalitas adalah keabsahan menurut undang-undang (Khasan, 2017).
Secara umum asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang
menjadi ratio legis pembentukan hukum. Salah satu fungsi asas hukum
yakni agar konsistensi tetap terjaga dalam suatu sistem hukum. Asas
legalitas merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana
dengan tujuan utamanya adalah pencapaian kepastian hukum di dalam
penerapannya dan mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Berbeda
dengan asas hukum lainnya yang bersifat abstrak, asas legalitas justru
tertuang secara eksplisit dalam undangundang (KUHP).
Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak dan justru menjadi latar
belakang pembentukan aturan yang sifatnya konkrit dan tetuang dalam
bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan Asas legalitas di Indonesia
secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undangundang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”,yang
dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium: “nullum delictum, nulla
poena, sine praevia lege poenali” (Sofyan & Azisah, 2016).
Asas legalitas merupakan dasar hukum, kaidah hukum, norma hukum
ataupun sebagi sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan itu
adalah delik ataukah tidak. Hakikat ataupun dasar asas legalitas ini yakni
mengatur tentang sumber hukum. Asas legalitas merupakan jaminan
hukum dalam melindungi, menjaga dari penyalahgunaan wewenang
apartur negara dan juga menjami ketertiban setiap orang dalam
penegakan Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 Ayat 1 KUHP mengatur bahwa “tiada suatu perbuatan dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu, dilakukan. Asas legalitas dalam
bahasa latin dikenal sebagai” nullum delictum sine praevia lege peonali”
dalam artian bahwa peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana
dalam undang- undang tidak ada terlebih dahulu. Inilah asas legalitas

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 45

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

sebagai suatu asas yang mengatur berlakunya hukum pidana berdasarkan


waktu. Terhadap Pasal 1 ayat (1) KUHP terdapat hal yang sangat penting
diantaranya adalah;
1. Perbuatan pidana dapatlah ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan.
2. Perundang-undangan yang dimaksudkan harus ada sebelum
terjadinya perbuatan pidana itu.

Asas legalitas mengandung tiga makna atau pengertian, yaitu sebagai


berikut:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-
undang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kias) dan
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (Moeljatno, 2008)

Namun terhadap hal tersebut diatas berkaitan dengan asas nullum


delictum utrecht berkeberatan dan mengungkapkan:
1. Asas nullum delictum ini kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif;
2. Konsekuensi asas nullum delictum tersebut adalah dapat di pidana
mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan
yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran
ketertiban umum; dan
3. Ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kejahatan tetapi
tidak disebut oleh hukum sebagai suatu kejahatan karena belum di
tulis, maka tidak dapat dihukum.
4. Asas nullum delictum tersebut menjadi suatu halangan bagi hakim
pidana ketika menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan
yang diikategorikan tercela namun belum dirumuskan dalam hukum
yang ada (Sastrawidjaja, 1990).

46 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Asas legalitas merupakan dasar hukum, kaidah hukum, norma hukum


ataupun sebagai sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan itu
adalah delik ataukah tidak. Hakikat ataupun dasar asas legalitas ini yakni
mengatur tentang sumber hukum. Asas legalitas merupakan jaminan
hukum dalam melindungi, menjaga dari penyalahgunaan wewenang
apartur negara dan juga menjamin ketertiban setiap orang dalam
penegakan Hak Asasi Manusia.
Asas legalitas merupakan salah satu asas fundamental dalam hukum
pidana. Keberadaan asas ini ialah untuk melindungi warga dari
kesewenang-wenangan penguasa. Namun, di sisi lain asas ini mempersulit
keberadaan hukum kebiasaan yang tidak tertulis dan tumbuh secara
alamiah dalam masyarakat. Adapun tujuan asas legalitas, diantaranya
yaitu:
1. Melindungi warga negara dari perbuatan yang sewenang-wenang dari
negara;
2. Melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-
wenang pemerintah negara;
3. Melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan yang sewenang-
wenang;
4. Merupakan ekspresi legal positivism dalam hukum pidana (Annisa
Hafizah & Ablisar, 2022)

Secara substansial, asas legalitas hanya melaksanakan dua fungsi,


yaitu fungsi perlindungan yang melindungi warga negara dari kesewenang-
wenangan kekuasaan penguasa dan kewenangan hakim dan fungsi
pembatasan yang membatasi kekuasaan penguasa dan/atau kewenangan
hakim. Fungsi perlindungan hanya ditujukan untuk kepentingan pelaku.
Pelaku tidak akan dituntut selama perbuatan mereka bukanlah mala
prohibita (bertentangan dengan undang-undang). Fungsi pembatasan juga
hanya ditujukan untuk kepentingan pelaku, karena penguasa tidak boleh
menuntut pelaku yang melakukan criminal extra ordinari (perbuatan
pidana yang belum atau tidak dilarang oleh undang-undang pidana),
walaupun menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi korban.

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 47

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 3 makna, diantaranya yaitu:


1) Dilakukan perubahan dalam perundang-undangan;
2) Perubahan terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang
diancam pidana menurut undang-undang; dan
3) Undang-undang yang baru lebih menguntungkan bagi kepentingan
terdakwa (Firmansyah & Sigid, 2015).

Dalam konteks perubahan yang terjadi dalam hukum pidana, dikenal


beberapa teori yang sering digunakan, diantaranya yakni:
a. Teori Formal (folmele leer)
Perubahan yang terjadi dalam perundang-undangan baru terjadi
apabila redaksi (teks) undang-undang hukum pidana sendiri berubah.
Namun apabila terjadi perubahan dalam perundang-undangan di luar
undang-undang hukum pidana, walaupun ada hubungannya dengan
undang-undang hukum pidana itu bukanlah merupakan perubahan
dalam perundang-undangan me-nurut arti perkataan Pasal 1 ayat (2)
KUHP. Penganut teori ini adalah Simons;

b. Materil Terbatas (beperkte materiele leer)


Perubahan dalam Undang-undang terjadi setiap terjadi perubahan
yang disesuaikan dengan suatu perubahan perasaan atau keyakinan
hukum pada pembuat undang-undang. Perubahan keadaan karena
waktu tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam perundang-
undangan menurut arti perkataan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Akan tetapi
teori ini dapat menerima pula perubahan dalam perundang-undangan
di luar undang-undang hukum pidana apabila perubahan itu
mempengaruhi undang-undang hukum pidana tersebut. Salah satu
penganut teori ini ialah van Geuns; dan

c. Teori Materil Tidak Terbatas (onbeperkte materiele leer)


Perubahan dalam perundang-undangan itu adalah setiap perubahan
baik dalam perasaan atau keyakinan hukum pada pembuat undang-
undang maupun dalam keadaan menurut waktu, merupakan
perubahan perundang-undangan menurut arti perkataan Pasal 1 ayat

48 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

(2) KUHP. Teori ini mempunyai penganut paling banyak. (Sastrawidjaja,


1990)

Beberapa ahli hukum pidana berpendapat tentang berbagai aspek dari


asas legalitas. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam tradisi Civil
Law System ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat
yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan (law)
Penuntutan dan pemidanaan harus didasarkan pada undang-undang
(hukum yang tertulis). Undang-undang harus mengatur mengenai
tingkah laku yang dianggap sebagai perbuatan pidana. Kebiasaan tidak
dapat dijadikan dasar untuk menuntut dan memidana seseorang.
2. Rektroaktivitas (rektroactivity)
Undang-undang yang merumuskan perbuatan pidana tidak dapat
diberlakukan surut (retro-aktif). Seseorang tidak dapat dituntut atas
dasar undang-undang yang berlaku surut. Pemberlakuan secara surut
merupakan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi
manusia. Namun demikian dalam praktek, penerapan asas ini terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Menurut Romli Atmasasmita bahwa
prinsip hukum non-retroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran
pidana biasa sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan
pelanggaran biasa sehingga prinsip non-retroaktif tidak bisa
dipergunakan.
3. Lex Certa
Pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci
mengenai perbuatan yang disebut dengan perbuatan pidana,
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar sehingga tidak ada
perumusan yang ambigu. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya memunculkan
ketidakpastian hukum. Dalam praktek tidak selamanya pembuat-
undang-undang dapat memenuhi persyaratan itu, sehingga lebih
banyak menggunakan metode penafsiran dalam hukum pidana atau
menggali sumber hukum lainnya melalui yurisprudensi, doktrin dan
sebagainya.

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 49

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

4. Analogi
Ilmu hukum pidana memberi peluang untuk dilakukan interpretasi
terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang. Untuk itu dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran
yaitu penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis,
penafsiran historis, penafsiran teleologis, penafsiran kebalikan
(penafsiran a-contrario), penafsiran membatasi (penafsiran restriktif)
dan penafsiran memperluas (penafsiran ekstensif). Salah satunya yang
dilarang dalam hukum pidana adalah menggunakan analogi untuk
memberikan makna cakupan perbuatan yang dapat dipidana karena
dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan akan
memicu ketidakpastian hukum. Analogi terdapat bilamana suatu
perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada aturan yang
mengaturnya sebagai perbuatan pidana tetapi diterapkan ketentuan
pidana yang berlaku untuk perbuatan lain yang mempunyai sifat atau
bentuk yang sama dengan perbuatan itu sehingga kedua perbuatan itu
dipandang analog satu sama lain. Penerapan analogi dalam praktek
hukum dipicu oleh fakta perkembangan masyarakat yang sedemikian
cepat yang tidak diiringi oleh dinamisme hukum pidana tertulis
sehingga terkadang hukum tertinggal dari apa yang diatuirnya
(Yuherawan, 2016).

Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP draft tahun 2010 masih


mempertahankan asas legalitas sebagai asas fundamental. Pasal 1 ayat (1)
RUU KUHP menentukan bahwa:
“Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan”.

Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut menentukan bahwa:


“Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi”.

50 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Namun asas legalitas tersebut mengalami perluasan dalam ketentuan


selanjutnya. Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menentukan konsep yang berbeda
dari adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Ayat (3)
menentukan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya
Ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3)
dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka seseorang dapat dituntut dan
dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat meskipun
perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan
bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat
ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan
berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat
juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan
tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat
pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa
ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya
tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat tertentu (Widayat, 2011)
Perluasan asas legalitas tersebut menggambarkan adanya
pertentangan antara ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat
(3) dan ayat (4) RUU KUHP. Pertentangan tersebut terjadi karena Pasal 1
ayat (1) RUU KUHP menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan
yang dianggap melanggar hukum itu terjadi. Dengan demikian ketentuan
ini menghendaki adanya kepastian hukum. Sedangkan ketentuan Pasal 1
ayat (3) RUU KUHP mengesampingkan kepastian hukum dengan
mengedepankan keadilan (untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat tertentu). Di satu sisi, melalui asas legalitas dalam Pasal

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 51

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1 ayat (1) RUU KUHP, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan
cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis
(untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara).
Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP juga
kontradiktif dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP. Larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran
analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu
dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya
diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan
tersebut dipandang analog satu dengan yang lain (Ibid, Widayat).

C. ILMU BANTU DALAM HUKUM PIDANA


Ilmu hukum pidana adalah ilmu pengetahuan normatif yang mengkaji
hukum pidana positif, termasuk sanksi dan asas-asas hukumnya. Ilmu
hukum pidana harus menganalisis, menyusun secara sistimatis aturan-
aturan tersebut, mencari asas-asas yang menjadi dasar dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku, memberikan penilaian terhadap asas-
asas tersebut. Ilmu Hukum Pidana memberikan penilaian apakah asas-asas
tersebut telah sesuai dengan tata susila dan jiwa bangsa, menilai apakah
peraturan-peraturan yang berlaku sejalan dengan asas-asas yang ada. Ilmu
ini dalam arti sempit disebut dengan strafrechtsdogmatik (Sudarto, 1981).
Sementara itu Remelink menyatakan bahwa:
1. Ilmu hukum pidana harus menerangkan, menganalisis dan
mensistimatisasikan hukum pidana positif dalam rangka
penerapannya yang tepat. Dengan demikian diharapkan ilmu hukum
pidana dapat memunculkan asas-asas yang melandasi ketentuan-
ketentuan perundang-undangan, baik yang mendasari ketentuan
umum maupun mengenai rumusan pidana khusus
2. Ilmu hukum pidana juga memiliki fungsi kritik, yaitu melakukan
analisis logis yuridis terhadap asa-asas hukum pidana untuk dapat
menyelaraskan antara undang-undang hukum pidana dengan asas-
asas tersebut. Hal ini dilakukan dengan argumentasi berdasarkan
tertib hukum yang berlandaskan pada sistem nilai tertentu

52 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

3. Ilmu hukum pidana juga melingkupi penelaahan proses beracara,


karena penerapan hukum pidana terlaksana melalui aturan-aturan
prosesuil, dan
4. Ilmu hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari sejarah dalam hal
perluasan pengertian, perkembangan peraturan-peraturan hukum
pidana memerlukan kajian sosiologis dan psikologis dan kejiwaan, dan
juga kajian filsafat dalam hal mencari pembenaran pemidanaan
(Remelink, 2003).

Simons mengharapkan obyek kajian Ilmu hukum pidana lebih luas lagi.
Ilmu hukum pidana diharapkan selain mempelajari dan menjelaskan
hukum pidana yang berlaku (aturan-aturan yang berlaku dan asas-asas
yang menjadi dasar dari aturan-aturan tersebut, baik berkenaan dengan
asas-asas umum, maupun yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan
khusus) yang disebut sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat dogmatis
murni, juga harus mempelajari hukum yang harus dibentuk (ius
constituendum). Ilmu hukum pidana harus membicarakan diantaranya,
tentang tujuan yang diinginkan oleh negara dalam hal mempidana
seseorang yang melakukan kejahatan, bagaimana tujuan tersebut dapat
dicapai, dasar hukum dan hak negara untuk menghukum dan sebagainya
(Lamintang, 1987).
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa Ilmu hukum pidana adalah
ilmu tentang hukum pidana. Hukum Pidana sebagai obyek dari ilmu
hukum pidana lebih merupakan obyek yang abstrak, sedangkan obyek
ilmu hukum yang lebih kongkrit sama dengan ilmu hukum pidana pada
umumnya, yaitu perbuatan dan tingkah laku manusia dalam pergaulan
hidup bermasyarakat. Ilmu Hukum Pidana, merupakan ilmu
kemasyarakatan yang normatif (normative maatchappij wetenschap),
yaitu ilmu normatif tentang hubungan-hubungan antar manusia atau ilmu
normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia dalam kehidupan
masyarakat. Ilmu hukum pidana dapat dibagi dua, diantaranya adalah;
1. Ilmu Hukum Pidana Normatif dalam arti sempit karena hanya
mempelajari dogma-dogma yang ada dalam hukum pidana positif
yang sedang berlaku (ius constitutum), disebut juga Ilmu hukum

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 53

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pidana positif, yang berupa: ilmu hukum pidana materiil atau


substantive dan ilmu hukum pidana formal.
2. Ilmu Hukum Pidana Normatif atau dogmatik dalam arti luas, selain
mempelajari hukum pidana positif juga mempelajari hukum pidana
yang seharusnya (ius constituendum). Dalam hal ini ilmu hukum
pidana memasuki ilmu tentang kebijakan pidana, yaitu mempelajari
tentang bagaimana seharusnya hukum pidana itu dibuat, disusun dan
digunakan untuk mengatur atau mengendalikan tingkah laku manusia,
khususnya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka melindungi
dan mensejahterakan masyarakat. Jadi ilmu hukum pidana juga
mengandung aspek kebijakan penanggulangan kejahatan dan
kebijakan perlindungan atau kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini
dapat pula dikatakan ilmu hukum pidana juga mempelajari tentang
bagaimana seharusnya penegak hukum melakukan penanggulangan
terhadap kejahatan, menyangkut pengaturan dan kebijakan
mengalokasikan kekuasaan, baik kekuasaan menetapkan hukum
(kekuasaan formulatif atau legislatif) mengenai perbuatan apa yang
dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat diancamkan, maupun
kekuasaan untuk menerapkan hukum pidana (kekuasaan aplikatif atau
yudikatif) dan kekuasaan untuk menjalankan atau melaksanakan
hukum pidana (kekuasaan eksekutif atau administratif) (Arief, 1994).

Hukum pidana merupakan peraturan-peraturan hukum atau


ketentuan-ketentuan yang berbicara tentang kejahatan serta pidana.
Kemudian yang menjadi objek dari kriminologi yang merupakan bagian
dari ilmu bantu dalam hukum pidana yaitu orang(subjek hukum) yang
melaksanakan kejahatan tersebut sebagai suatu fenomena dalam
kehidupan masyarakat sebagai bagian dari masyarakat sosial.
Hukum pidana memiliki hubungan dengan kriminologi tentu tidak
dapat di pungkiri. Beberapa sarjana seperti Simons dan Van Hamel bahkan
mengatakan bahwa Kriminologi adalah ilmu yang mendukung ilmu hukum
pidana. Alasan-alasan yang dikemukakan adalah penyelesaian perkara
pidana tidak cukup mempelajari pengertian dari hukum pidana yang
berlaku, mengkonstruksikan dan mensistimatisasi saja, tetapi perlu juga
diselidiki penyebab tindak pidana itu, terutama mengenai pribadi pelaku,

54 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dan selanjutnya perlu dicarikan jalan penanggulangannya (Moeljatno,


1980).
Kriminologi sebagai bagian dari Ilmu Hukum Pidana diantaranya
Zevenbergen dengan beberapa alasan:
a. Ilmu Hukum Pidana mempelajari hukum pidana positif
b. Pidana merupakan imbalan bagi seseorang pelaku tindak pidana;
c. Metode Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana adalah deduktif. Artinya
ketentuan-ketentuan hukum pidana sudah ada, maka berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum pidana inilah dinilai apakah suatu
tindakan termasuk suatu tindak pidana atau tidak. Sedangkan metode
Kriminologi adalah empiris induktif. Artinya berdasarkan penyelidikan
secara empiris, dikaji apakah suatu tindakan dalam kenyataannya
berupa suatu kejahatan atau tidak, tanpa terikat kepada ketentuan-
ketentuan hukum positif (Sianturi, 1998).

Ada perbedaan pengertian kejahatan dalam hukum pidana (perbuatan


yang ditentukan jahat menurut perundang-undangan yang disebut dengan
istilah strafbaarfeit) dengan pengertian kejahatan menurut kriminologi
(perbuatan yang oleh masyarakat dianggap anti sosial yang disebut
dengan strafwardig). Perbuatan kejahatan dalam pengertian kriminologi
sangat luas, dan tidak seluruhnya menjadi bagian dari kejahatan kajian
ilmu hukum pidana. Demikian pula sebaliknya tidak seluruh kejahatan
yang menjadi kajian ilmu hukum pidana, menjadi kajian kriminologi. Ilmu
bantu dalam hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Viktimologi adalah ilmu yang pada awal perkembangannya mengkaji
tentang peran korban dalam suatu kejahatan, kemudian berkembang
menjadi ilmu yang obyek kajian terpentingnya sekarang adalah
bagaimana memberikan perlindungan pada korban dalam sistem
peradilan pidana, bahkan korban pada umumnya. Viktimologi dapat
membantu hukum pidana untuk menanggulangi/menyelesaikan
persoalan korban kejahatan. Viktimologi telah mendorong hukum
pidana memperhatikan-hak-hak korban kejahatan seperti dikenalnya
restitusi, kompensasi, bantuan psikologi atau sosial, dan membantu
terealisasinya hakhak korban dalam proses peradilan pidana (acces to
justice) (Mertha et al., 2016).

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 55

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

2. Kriminologi menurut Sutherland adalah ilmu yang mempelajari


tentang kejahatan, penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap
kejahatan. Tugas ilmu pengetahuan hukum pidana adalah
menjelaskan (interpretasi) hukum pidana, mengkaji norma hukum
pidana (konstruksi) dan penerapan ketentuan yang berlaku terhadap
suatu tindak pidana yang terjadi (sistematisasi) (Sianturi, 1986).
3. Sosiologi, antropologi, pisikologi dan beberapa ilmu lainnya yang
berperan dalam hukum pidana. Sosiologi kriminal menyelidiki faktor-
faktor sosial seperti misalnya kemakmuran rakyat, pertentangan kelas
di lapangan sosial dan ekonomi, penggangguran dan sebagainya yang
mempengaruhi perkembangan kejahatan tertentu di daerah tertentu.
Antropologi kriminal menyelidiki bahwa manusia yang berpotensi
berbuat jahat mempunyai tanda-tanda fisik tertentu. Lambroso
mengadakan penelitian secara antropologi mengenai penjahat dalam
rumah penjara. Kesimpulan yang ia dapatkan bahwa penjahat
mempunyai tanda-tanda tertentu, tengkoraknya isinya kurang
(pencuri) daripada orang lain, penjahat pada umumnya mempunyai
tulang rahang yang lebar, tulang dahi yang melengkung ke belakang
dan lain-lain. Psikologi kriminal mencoba memberikan pemahaman
bahwa ada faktor kejiwaan tertentu yang mempengaruhi seseorang
untuk berbuat kejahatan, mulai gangguan dari tingkat yang paling
rendah sampai pada tingkat yang paling tinggi (kleptomania, pedopilia,
neurose, psikopat dan lain-lain (Bawengan, 1991).

Ilmu bantu yang terdapat hukum pidana adalah ilmu bantu yang
berupaya untuk menerangkan, menyelidiki ataupun menelaah kaidah-
kaidah hukum pidana secara positif (baik hukum pidana umum maupun
yang khusus), sanksi pidana, serta dasar-dasar atau prinsip-prinsip dalam
hukum pidana. Selain itu juga kriminologi merupakan bagian dari ilmu
yang berfungsi penting dalam kemajuan hukum pidana, membantu dalam
mewujudkan suatu upaya menanggulangi tindak kejahatan, mulai tahap
formulasi, aplikasi, maupun administrasi, sehingga dapat menciptakan
suatu hukum pidana yang rasional serta tidak berbenturan dengan nilai-
nilai yang terdapat dalam masyarakat.

56 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

D. SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA


Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan
sistem di luar kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa yang
termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan
yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum.
Namun di luar KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang
perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam
hal ini, Loebby Loqman membedakan sumber-sumber hukum pidana
tertulis di Indonesia adalah (Effendi, 2011):
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;
3. Undang-undang Hukum Pidana Khusus; dan
4. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana (Effendi,
2011).

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana


khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi;
2. UU No. 9 Tahun 1967 tentang Narkoba; dan
3. UU No. 16 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme.

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab


UndangUndang Hukum Pidana maupun Undang-undang, juga terdapat
dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan
sebagainya. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Di negara-negara Anglo Saxon tidak
dikenal satu kodifikasi atas kaidahkaidah hukum pidana. Masing-masing
tindak pidana diatur dalam satu Undang-undang saja. Hukum pidana
Inggris misalnya, walupun bersumber dari Common Law dan Statute Law
(undang-undang), hukum pidana Inggris terutama bersumber pada
Common Law, yaitu bagian dari hukum Inggris yang bersumber dari
kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 57

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dan


dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu dikembangkan
dan diunifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga
merupakan suatu precedent. Oleh karena itu, Common law ini sering juga
disebut case law atau juga disebut hukum precedent.
Lain halnya dalam negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.
Hukum pidana dikodifikasikan dalam suatu kitab Undang-undang.
Berbagai tindak pidana diatur dalam satu kitab Undang-undang. Tetapi
ternyata sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak pidana di
luar KUHP. Inilah yang disebut sebagai tindak pidana khusus dalam arti
sebenarnya. Contoh undang-undang ini adalah Undang-undang Anti
Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, Undang-undang Traficking dan
lain sebagainya (Jainah, 2018).
Secara umum hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa
sumber hukum yakni:
a. KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana
Indonesia terdiri atas:
1. Tiga Buku KUHP, yaitu Buku I Baguan Umum, Buku II tentang
Kejahatan, Buku III tentang Pelanggaran. Adapun sistematika Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yaitu
a) Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103);
b) Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488) dan
c) Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
2. Memorie van Toelichting (MvT) atau penjelasan terhadap KUHP.
Penjelasan ini tidak seperti penjelasan dalam perundang-undangan
Indonesia. Penjelasan ini disampaikan bersama rancangan KUHP pada
tweede kamer (parlemen Belanda) pada tahun 1881 dan diundangkan
tahun 1886. KUHP sendiripun telah mengalami banyak perubahan
maupun pengurangan. Dengan demikian undang-undang yang
mengubah KUHP jugs merupakan sumber hukum pidana Indonesia.
3. Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus,
seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika, UU Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT);

58 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

4. Beberapa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum


tentang istilah dalam hukum pidana, misalnya perbuatan apa saja
yang dimaksud dengan penganiayaan sebagaimana dirumuskan Pasal
351 KUHP yang dalam perumusan pasalnya hanya menyebut
kualifikasi (sebutan tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur
tindak pidananya. Dalam salah satu yurisprudensi dijelaskan bahwa
terjadi penganiayaan dalam hal terdapat perbuatan kesengajaan yang
menimbulkan perasaan tidak enak, rasa sakit dan luka pada orang lain.
Selain itu Pasal 351 ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa penganiayaan
disamakan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain.
Yurisprudensi Nomor Y.I.II/1972 mengandung kaidah hukum tentang
hilangnya sifat melawan hukum perbuatan yakni bahwa suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas
hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3
faktor yakni, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani,
terdakwa tidak mendapat untung; dan
5. Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan
tercela menurut pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP.
Hukum adat (hukum pidana adat) masih tetap berlaku sebagai hukum
yang hidup (The living law). Keberadaan hukum adat ini masih diakui
berdasarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) Sub b.
Seperti misalnya delik adat Bali Lokika Sanggraha sebagaima
dirumuskan dalam Kitab Adi Agama Pasal 359 adalah hubungan cinta
antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum
terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar
suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si
wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk
mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa
alasan yang sah. Delik ini hingga kini masih sering diajukan ke
pengadilan.

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 59

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

E. RANGKUMAN MATERI
Hukum pidana, memiliki makna lain yaitu sebagai ‘hukuman’, yang
merupakan sejumlah peraturan-peraturan hukum yang mengatur dan
memutuskan perbuatan apa saja yang merupakan pelanggaran dan
dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana, selain itu juga
memuat tentang hukuman apa yang dijatuhi jika si pembuat melanggar
ketentuan yang telah dimuat dan diatur dan terbukti melaksanakan suatu
tindak pidana itu. Pengertian ini sudah menggambarkan bahwa hukum
pidana di buat untuk mengatur tentang sanksi pidana yang akan dijatuhi
kepada seseorang jika si pembuat melakukan sebuah tindakan kriminal
(kejahatan) ataupun pelanggaran, yang telah diatur dalam hukum positif.
Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak dan justru menjadi latar
belakang pembentukan aturan yang sifatnya konkrit dan tetuang dalam
bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan Asas legalitas di Indonesia
secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu” yang
dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium: “nullum delictum, nulla
poena, sine praevia lege poenali”. Asas legalitas merupakan dasar hukum,
kaidah hukum, norma hukum ataupun sebagai sumber hukum untuk
menyatakan suatu perbuatan itu adalah delik ataukah tidak. Hakikat
ataupun dasar asas legalita ini yakni mengatur tentang sumber hukum.
Asas legalitas merupakan jaminan hukum dalam melindungi, menjaga dari
penyalahgunaan wewenang aparatur negara dan juga menjami ketertiban
setiap orang dalam penegakan Hak Asasi Manusia.
Ilmu bantu dalam hukum pidana diantaranya yaitu; Viktimologi adalah
ilmu yang pada awal perkembangannya mengkaji tentang peran korban
dalam suatu kejahatan, kemudian berkembang menjadi ilmu yang obyek
kajian terpentingnya sekarang adalah bagaimana memberikan
perlindungan pada korban dalam sistem peradilan pidana, bahkan korban
pada umumnya; Kriminologi menurut Sutherland adalah ilmu yang
mempelajari tentang kejahatan, penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap
kejahatan; dan Sosiologi kriminal menyelidiki faktor-faktor sosial seperti
misalnya kemakmuran rakyat, pertentangan kelas di lapangan sosial dan
ekonomi, pengangguran dan sebagainya yang mempengaruhi

60 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

perkembangan kejahatan tertentu di daerah tertentu; Antropologi


kriminal menyelidiki bahwa manusia yang berpotensi berbuat jahat
mempunyai tanda-tanda fisik tertentu. Lambroso mengadakan penelitian
secara antropologi mengenai penjahat dalam rumah penjara, serta
Psikologi kriminal mencoba memberikan pemahaman bahwa ada faktor
kejiwaan tertentu yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat
kejahatan, mulai gangguan dari tingkat yang paling rendah sampai pada
tingkat yang paling tinggi (kleptomania, pedopilia, neurose, psikopat dan
lain-lain).
Sumber hukum pidana diantaranya adalah KUHP (Wet Boek van
Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia Memorie van
Toelichting (MvT) atau penjelasan terhadap KUHP Beberapa yurisprudensi
yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah dalam hukum
pidana dan di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang
dan tercela menurut pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Apakah yang dimaksudkan dengan hukum pidana menurut Nur
Ainiyah Rahmawati
2. Pasal 1 Ayat 1 KUHP mengatur tentang apa dan jelaskan makna dari
Pasal tersebut
3. Menurut Sastrawidjaja konteks perubahan yang terjadi dalam hukum
pidana, dikenal ada terdapat beberapa teori yang sering digunakan,
Jelaskanlah teori-teori tersebut
4. Jelaskan ilmu bantu atau ilmu hukum dalam hukum pidana
5. Jelaskan sumber-sumber hukum pidana

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 61

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Andi Sofyan, H. N. azisah. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana (Kadarudin


(ed.); Cetakan Ke). Pustaka Pena Press.
Annisa Hafizah, M., & Ablisar, R. L. (2022). Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam. Mahadi, Indonesia
Journal Of Law, 1(1).
Arief, B. N. (1994). Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia).
Basri, H. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Indonesia. SIGn Jurnal Hukum,
2(2), 104–121. https://doi.org/https://doi.org/10.37276/sjh.v2i2.90
Bawengan, G. W. (1991). Pengantar Psikologi Kriminil. PT. Pradnya
Paramita.
Effendi, E. (2011). Suatu Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Refika
Aditama.
Firmansyah, H., & Sigid, R. (2015). Hukum Pidana Matriil & Formiil :
Berlakunya Hukum Pidana,. USAID-The Asia Foundation-Kemitraan
Partnership.
Iksan, M. (2007). Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana : Studi Komparatif
Asas Legalitas Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam
(Jinayah). Jurnal Serambi Hukum, 11(1), 1–26.
Jainah, Z. O. (2018). Kapita Selekta Hukum Pidana (Intan Nurina Seftiniara
(ed.); 1st ed.). Tira Smart.
Khasan, M. (2017). “Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asaslegalitas
Hukum Pidana Islam.” Jurnal Rechts Vinding, 6(1), 25.
Lamintang, P. A. . (1987). Dasar-dasar Hukum Pidana. Penerbit Sinar baru.
Mertha, I. K., Ariawan, I. G. K., Jaya, I. B. S. D., Suardana, W., Darmadi, A. N.
Y., Widhiyaastuti, I. G. D., & Gatrawan, I. N. (2016). Bahan Ajar
Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Moeljatno. (1980). Asas-asas Hukum Pidana. Gajah Mada University Press.
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Rahma, A. S., Fitrionio, R. A., Aldi, D. M., & Rizka, C. Y. S. C. (2022).
Penerapan Fungsi Hukum Pidana Dalam Kasus Investasi Bodong.

62 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Jurnal Analisis Hukum, 5(1), 56–65.


https://doi.org/https://doi.org/10.38043/jah.v5i1.3483
Rahmawati, N. A. (2013). Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium
Atau Premium Remedium. Jurnal Recidive, 2(1), 39–43.
Remelink, J. (2003). Hukum Pidana. P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Santosa, H. (2011). Ancaman terhadap Dasar Negara “Pancasila” bagi
Rakyat Indonesia dalam Berbangsa dan Bernegara. Humanika:
Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, 11(2), 1–13.
https://doi.org/https://doi.org/10.21831/hum.v11i1.20997
Sastrawidjaja, S. (1990). Hukum Pidana I. C.V. Armico.
Sianturi, S. R. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya. Alumni
Ahaem-Petehaem.
Sianturi, S. R. (1998). Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di
Indonesia. Alumni AHAEM PTHAEM.
Sihombing, E. N. A. . (2019). Eksistensi Paralegal Dalam Pemberian
Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin (The Existence Of
Paralegals In Providing Legal Aid To The Poor). Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum, 6(1), 6.
Sofyan, A., & Azisah, H. N. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana (Kadarudin
(ed.)). Pustaka Pena Press.
Sudarto. (1981). Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.
Widayat, L. S. (2011). Perluasan Asas Legalitas Dalam RUU KUHP. Jurnal
Negara Hukum, 2(2), 307–327.
Yuherawan, D. S. B. (2016). Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana.
Setara Press.

Sumber-Sumber Hukum Pidana | 63

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

64 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 4: ASAS – ASAS HUKUM
PIDANA

Hardi Fardiansyah, S.E, S.H, M.A, M.Ec.Dev

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Dharma Andigha, Bogor

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 4
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

A. PENDAHULUAN
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan seperti:
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar langgar tersebut, Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancam (hukum pidana materil), Menentukan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Hukum acara pidana).

B. ASAS LEGALITAS
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental,
dimana menurut Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa
syarat: pertama, nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang
berarti, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan
bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, nullum crimen,
noela poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada perbuatan pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari
makna ini, adalah bahwa semua perbuatan pidana harus tertulis. Ketiga,
nullum crimen, noela poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.
Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan perbuatan
pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan
kepastian hukum. Keempat, nullum crimen, noela poena sine lege stricta,

66 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
undang yang ketat.
Konsekuensi dari makna ini secara implisit adalah tidak
diperbolehkannya analogi dimana ketentuan pidana harus ditafsirkan
secara ketat, sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru (Eddy O.
S. Hiariej, 2009). Asas legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menentukan “suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan
pidana yang telah ada”. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu
perbuatan yang tercela, yaitu adanya ketentuan dalam undang-undang
pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan
suatu sanksi terhadapnya. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut,
dijelaskan bahwa:
1. Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana
menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan
hukum tidak tertulis, tidak dimungkinkan.
2. Ketentuan pidana itu harus lebih dulu ada dari pada perbuatan itu;
dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.

Rumusan dari Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas


ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa, artinya
bilamana terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkannya. Asas legalitas mempunyai 2 fungsi yaitu fungsi
instrumental: tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut; dan fungsi
melindungi: tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang
dimana atas dasar kedua fungsi asas legalitas tersebut, seorang ahli
hukum pidana Jerman Anzelm Von Feuerbach (1775-1833) merumuskan
asas legalitas dalam bahasa Latin:
1. Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
menurut undang-undang;
2. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
3. Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa
pidana menurut undang-undang.

Asas – Asas Hukum Pidana | 67

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat: nullum crimen,


nulla poena sine praevia lege poenali: tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Terdapat 7 (tujuh) aspek yang dapat dibedakan dari asas legalitas,
sebagai berikut:
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut
undang-undang;
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex-certa);
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang;
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-
undang.

Dari penjelasan tersebut di atas bahwa asas legalitas dalam pasal 1


ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni:
1. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila
perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang
mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;
2. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana)
tidak boleh menggunakan analogi; dan
3. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh
berlaku surut (Asas yang melarang keberlakuan surut suatu undang-
undang). Surut adalah suatu hukum yang mengubah konsekuensi
hukum, terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum fakta-
fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan

C. ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN


Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau dalam istilah lain disebut
dengan Geen Straf Zonder Schuld, atau No Punishment Without Fault, atau
Actus non facit reum nisi mens sist rea. Asas ini berasal dari Yurisprudensi
Hooge Raad (Belanda) pada tanggal 14 Februari 1916. Asas hukum pidana

68 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

ini berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban dalam hukum


pidana yang dilandaskan pada presumsi bahwa schuld tidak dapat
dimengerti tanpa adanya melawan hukum (wederrechtelijke), tetapi
sebaliknya, melawan hukum mungkin tanpa adanya kesalahan.
Berdasarkan asas ini, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan
pidana dan telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam delik,
perlu dibuktikan pula apakah dia dapat dipertanggungjawabkan atau tidak
atas perbuatannya tersebut, artinya apakah dia mempunyai kesalahan
atau tidak, dimana pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut
persoalan ‘perbuatan’, sedangkan masalah apakah ‘orang’ yang
melakukan perbuatan tersebut kemudian dapat dipertanggungjawabkan,
adalah persoalan yang lain. Dinyatakan oleh Moeljatno, bahwa “perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar”. Selanjutnya Moeljatno
menyatakan, perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu
subjek delik yang dituju oleh norma hukum (normaddressaat), perbuatan
yang dilarang (strafbaar), dan ancaman pidana (strafmaat). Ketiga hal ini
merupakan masalah kriminalitas yang termasuk dalam lingkup tindak
pidana. Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya mempersoalkan
segi-segi subjektif dari pembuat tindak pidana. Dalam tahap ini, persoalan
tidak lagi berkisar pada masalah perbuatan dan sifat melawan hukumnya,
melainkan berkaitan dengan dalam keadaan bagaimanakah pembuat
dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana. Sedangkan menurut
Edward Omar Sharif Hiarij, setelah apa yang disampaikan Moeljatno
tersebut, maka mengubah sistem hukum pidana di Indonesia, baik secara
praktik maupun teoretis. Sekalipun asas ini tidak dipraktikkan secara masif
di dalam praktik hukum pidana dan tidak diterapkan dalam KUHP, namun
setelah melalui proses yang cukup panjang dan dengan dimasukkannya
asas ini secara eksplisit di dalam RKUHP yang akan datang, maka dapat
dikatakan bahwa asas ini akan kembali ke “rumahnya” lagi. Tindak pidana
hanya membahas perbuatan secara objektif, sedangkan hal-hal yang
bersifat subjektif terkait dengan sikap batin pembuat tindak pidana harus
dikeluarkan dari pengertian tindak pidana, karena sikap batin pembuat
termasuk dalam lingkup kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang

Asas – Asas Hukum Pidana | 69

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

menjadi dasar etik dapat dipidananya si pembuat. Pemisahan tindak


pidana dan pertanggungjawaban pidana bertujuan untuk memberikan
kedudukan seimbang dalam penjatuhan pidana berdasarkan prinsip daad
en dader strafrecht yang memperhatikan keseimbangan monodualistik
antara kepentingan individu dan masyarakat. Artinya, walaupun telah
melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan, oleh
karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sifat perbuatan yang
dilarang mengandung pengertian bahwa tindak pidana didasarkan pada
asas legalitas sebagai dasar utama yang menempatkan perbuatan dengan
ancaman sanksi sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Seperti
dikatakan William, “the act constituting a crime may in some
circumstances be objectively innocent”. Dari sini terlihat perbedaan tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya berorientasi
pada perbuatan yang dilarang berdasarkan norma hukum, sedangkan
pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada sikap-sikap subjektif yang
didasarkan kepada kewajiban hukum seseorang untuk mematuhi hukum.
Pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertujuan
untuk mempertegas fungsi-fungsi hukum pidana. Di satu sisi, tindak
pidana menekankan fungsi komunikasi untuk memberikan gambaran yang
jelas kepada masyarakat tentang pedoman bertindak dan bertingkah laku.
Dalam kerangka itu, tindak pidana harus dirumuskan secara sederhana
dan jelas sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat luas sebagaimana
diungkapkan oleh Paul H. Robinson, “to be effective, the rules of conduct
must be simple, based on objective criteria with easily communicable and
comprehensible standard”, di sisi lain, pertanggungjawaban pidana
menekankan fungsi ajudikasi yang memberikan pedoman bagi hakim
untuk menentukan keadaan-keadaan tertentu yang menjadi dasar dapat
dipertanggungjawabkannya pembuat dan oleh karenanya dapat di pidana.

D. ASAS TIDAK BERLAKU SURUT


Asas "Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku
surut". Berlaku surut dikenal juga dengan istilah “retroaktif”. Asas ini
merupakan asas undang-undang hukum pada umumnya dan juga
merupakan asas hukum pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian

70 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang
merupakan tindak pidana atau tidak. Selain itu, asas nonretroaktif ini juga
disebutkan dalam Pasal 28I Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, yang berbunyi:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Semula dianut bahwa setiap orang dianggap (suatu fiksi) mengetahui


isi undang-undang. Tetapi kemudian anggapan ini ditinggalkan dan diganti
dengan suatu pendapat bahwa: "Setiap orang terikat pada suatu Undang-
undang sejak ia dinyatakan berlaku". Pendapat ini telah ditegaskan dalam
putusan Mahkamah Agung pada tahun 1955. Berarti bahwa setiap orang
"tidak perlu merasa terikat" kepada Undang-undang (dalam hal ini hukum
pidana) untuk melakukan suatu tindakan tertentu yang belum/tidak
diancam dengan pidana, walaupun kelak ditentukan sebagai tindak pidana.
Dengan perkataan seandainya ia melakukan suatu tindakan tertentu yang
baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan
pidana, penindak tidak dapat dipidana atas dasar ketentuan yang baru itu.
Jika konsekuen asas "tidak berlaku surut" dianut, dalam hal sebaliknya pun
seharusnya berlaku hal yang sama. Misalnya dalam hal seseorang
melakukan suatu tindakan yang diancam dengan pidana menurut undang-
undang, kemudian ketentuan pidana itu dihapuskan, sebelum penindak
diadili, seharusnya penindak tetap dipidana berdasarkan ketentuan pidana
(yang lama) yang berlaku pada saat tindakan dilakukan. Bukankah
"ketentuan penghapusan pidana yang baru" itu, juga tidak boleh berlaku
surut?. Penyimpangan dari asas nonretroaktif ini dalam KUHP sendiri
diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang menyatakan: “Suatu hukum
yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih
menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama”. Pasal ini
berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus
perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir. Ternyata sebagaimana

Asas – Asas Hukum Pidana | 71

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas "tidak berlaku surut"
tersebut, tidak secara mutlak dianut.
Sebenarnya yang menjadi asas adalah non-retroaktif, yaitu asas yang
melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Asas ini sesuai
dengan pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”).
Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan lagi dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan


ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu
daripada perbuatan itu”

Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum


Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas
ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh
pembentuk undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan
keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk,
yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak
pidana atau tidak.
Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1


ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku
surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi
tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang
pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam
putusan terakhir.

72 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut
dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
(“UU Pengadilan HAM”):

“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum


diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc”

Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap


pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa:

“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat non-


retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-
hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya
ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU
Pengadilan HAM.

E. ASAS LARANGAN PENGGUNAAN ANALOGI


Asas "Dilarang menggunakan analogi" dalam penerapan hukum
pidana. Menggunakan analogi dalam hukum pidana berarti: menganggap
“sesuatu” sebagai termasuk dalam pengertian dari suatu istilah/ketentuan
Undang-undang hukum pidana, karena "sesuatu" itu banyak sekali
kemiripannya atau kesamaannya dengan istilah/ketentuan tersebut.
Dengan perkataan lain analogi terjadi, bilamana menganggap bahwa
sesuatu peraturan hukum tertentu juga meliputi suatu hal yang banyak
kemiripannya/kesamaannya dengan yang telah diatur, padahal semulanya
tidak demikian. Analogi biasanya terjadi dalam hal-hal ada "sesuatu" yang
pada saat pembuatan sesuatu peraturan hukum, "sesuatu yang baru" itu
tidak terpikirkan atau tidak mungkin dikenal oleh pembuat Undang-
undang pada zaman itu. Di kalangan para sarjana, terdapat perbedaan

Asas – Asas Hukum Pidana | 73

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pandangan tentang boleh/tidaknya menggunakan analogi. Mereka yang


berpegang teguh pada asas legalitas pada umumnya tidak dapat
menerima penggunaan analogi.94 Sehubungan dengan dua contoh
terdahulu, Tavarne berpendapat, bahwa penggunaan analogi telah
dilakukan oleh HR yang juga disetujuinya. Dalam hai ini HR dianggap
bertindak sebagai pembentuk Undang-undang (rechts-vinding). Sebaliknya
walaupun Van Hattum menyetujui putusan HR tersebut, namun beliau
tidak sependapat bahwa dalam pengambilan putusan tersebut telah
digunakan analogi. Selanjutnya Pompe mengatakan antara lain: "Pada
umumnya analogi diperbolehkan dalam hal penyempurnaan undang-
undang. Ada yang melihat penggunaan analogi sebagai penyelesaian
pertentangan yang terdapat dalam "tubuh" kepastian hukum yang
dilindungi oleh Pasal I KUHP. Pertentangan tersebut terjadi antara
kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat. Dari
contoh pencurian aliran listrik misalnya, dapat dikatakan pada saat
putusan dijatuhkan, kepentingan hukum individu telah dirugikan karena
mengutamakan kepentingan masyarakat. Dan seandainya "contoh
perandaian" tersebut di atas adalah suatu kenyataan, maka di sini pun
jelas sekali ternyata pengutamaan kepentingan masyarakat, dengan
sedikit mengesampingkan kepastian hukum. Dilarangnya penggunaan
penafsiran secara analogi dalam hukum pidana itu adalah dengan maksud
agar suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang
terlarang menurut undang-undang itu, jangan sampai kemudian secara
analogi dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang, hingga
pelakunya menjadi dapat dihukum karena telah melakukan suatu
perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan yang terlarang menurut undang-undang. Para guru besar pada
umumnya berpendapat bahwa penafsiran hukum secara analogi itu tidak
boleh dipergunakan dalam hukum pidana, walaupun dengan batas-batas
yang berbeda-beda. Menurut Prof. Van Hamel menyatakan bahwa:
“Peraturan tentang nullum delictum dan selanjutnya melarang
penggunaan penafsiran secara analogi, oleh karena penafsiran semacam
itu bukan hanya dapat memperluas banyaknya delik-delik yang telah
ditentukan oleh undang-undang, melainkan juga dapat menjurus pada
lebih diperberatnya atau lebih diperingannya hukuman yang dapat

74 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dijatuhkan bagi perbuatan yang mana pun yang dilakukan tidak


berdasarkan undang-undang”. Menurut Prof. Simmons mengatakan
bahwa: “Asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP itu melarang setiap
penerapan hukum secara analogi dalam hukum pidana, oleh karena
penerapan hukum semacam itu dapat membuat suatu perbuatan yang
semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana
kemudian menjadi suatu tindak pidana”. Prof. Pompe berpendapat bahwa
penggunaan penafsiran secara analogi itu hanya dapat dibenarkan, yakni
apabila memang benar bahwa dalam undang-undang itu terdapat suatu
kekosongan atau leemte, yang disebabkan misalnya karena pembentuk
undang-undang lupa mengatur suatu perbuatan tertentu atau tidak
menyadari kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa dikemudian hari
dan merumuskan ketentuan-ketentuan pidana yang ada secara demikian
sempit sehingga perbuatan atau peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat
dimasukkan ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Bemmalen yang berpendapat bahwa “Pasal 1 ayat (1) KUHP
itu juga merupakan suatu jaminan untuk mencegah dilakukannya
tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak
kepolisian. Setiap penyidikan dan penuntutan itu dimulai dengan suatu
sangkaan, yaitu bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana.
Sejak awal pihak kepolisian dan pihak kejaksaan itu dipaksa oleh pasal 1
ayat (1) KUHP untuk menyelidiki apakah suatu peristiwa tertentu itu
benar-benar merupakan suatu peristiwa seperti yang telah diatur dalam
suatu ketentuan pidana atau bukan. Dengan demikian, mereka itu dapat
dengan mudahnya mengatakan, bahwa apa yang telah terjadi itu mirip
dengan suatu tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindak pidana, dan oleh karena itu mereka berhak melakukan
penahanan atas seorang tersangka atau melakukan penyitaan atas benda-
benda tertentu”. Apa yang dikatakan Prof. Bemmanlen di tersebut
memang benar, yaitu untuk mencegah agar usaha penuntutan oleh
penuntut umum atas diri tersangka di depan pengadilan menjadi tidak sia-
sia, oleh karena tersangka kemudian telah dibebaskan oleh hakim karena
ternyata orang tersebut tidak terbukti melakukan suatu tindak pidana.
Larangan dalam menggunakan penafsiran secara analogi dalam hukum
pidana itu dimaksudkan untuk mencegah timbulnya suatu keadaan,

Asas – Asas Hukum Pidana | 75

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dimana adanya suatu ketidakpastian hukum bagi masyarakat itu menjadi


diperbesar. Masyarakat perlu mendapat kepastian dari ketentuan-
ketentuan yang tertulis dalam undang-undang, yaitu tentang perbuatan
yang mana adalah merupakan perbuatan yang terlarang dan perbuatan
yang mana adalah perbuatan yang tidak dilarang.

F. RANGKUMAN MATERI
Azas di dalam Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan seperti: Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar langgar tersebut,
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu saat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan (hukum pidana materiil),
menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut (Hukum acara pidana).

TUGAS DAN EVALUASI


1. Jelaskan secara singkat asas-asas dalam Hukum Pidana seperti yang
telah dijelaskan di atas?
2. Bagaimana menurut anda penerapan asas Hukum Pidana di Indonesia

76 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar-dasar Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997.
Prof. Moeljatno, S.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor,
1995.
Hiariej, Eddy O. S. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta:
Erlangga. 2009
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaruan. Malang: UMM Press, 2008

Asas – Asas Hukum Pidana | 77

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

78 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 5: SEJARAH HUKUM PIDANA

Dr. Nanda Dwi Rizkia, S.H., M.H

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Dharma Andigha

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 5
SEJARAH HUKUM PIDANA

A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, bahwa
Hukum Pidana Indonesia yang berlaku sekarang adalah hukum pidana
peninggalan kolonial, berupa terjemahan dari Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch-Indie 1915. Adapun sejarah hukum pidana bagi bangsa
Indonesia perlu dikemukakan secara tahapan kronologis perjalanan
sejarah bangsa, yaitu dimulai hukum pidana sebelum zaman penjajahan,
selanjutnya hukum pidana pada masa penjajahan Belanda, lantas hukum
pidana pada masa pendudukan Jepang kemudian hukum pidana pada
masa Republik seperti dibawah ini.1

B. TAHAPAN SEBELUM ZAMAN PENJAJAHAN


Di nusantara pada masa sebelum zaman penjajahan, yaitu sebelum
Belanda masuk menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara, banyak data
yang menguatkan bahwa telah berlaku norma-norma kepidanaan berupa
norma pidana adat. Norma pidana adat itu berlaku secara terpisah
menurut wilayah kekuasaan setiap kerajaan. Diantaranya ada yang tertulis
dan ada pula yang tidak tertulis. Dengan kata lain ada kerajaan yang telah
membukukan dan memberlakukan norma pidana yang secara turun-
temurun telah berlaku dan diakui pada setiap angkatan generasi suatu
masyarakat, dan ada pula kerajaan yang hanya memberlakukan dan
menerapkan norma-norma pidana yang berlaku dan diakui oleh
sekelompok masyarakat secara turun-temurun untuk setiap kasus
kejahatan atau pelanggaran. Beberapa data yang menguatkan telah

1
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.hlm.10

80 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

berlakunya norma pidana adat sebelum masuknya penjajahan Belanda di


nusantara, antara lain:
1. Belum lama berselang, di beberapa daerah negara kesatuan Republik
Indonesia masih ada apa yang dinamakan Peradilan Adat yang
dijalankan oleh penguasa-penguasa daerah yang masih
memberlakukan Hukum Pidana Adat. Pengadilan-pengadilan Adat ini
mempunyai nama yang menunjukkan keistimewaan khas setiap
daerah, misalnya di Palembang disebut Rapat, di Bali disebut RadKerta,
di Lombok disebut Rad-Sasak dan di Garontalo disebut Majlis.
2. Diketemukannya di pulau Bali suatu Kitab Perundang-Undangan
Mojopahit yang tertulis dalam bahasa Jawa kuno. Kitab ini telah
diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. Slamet Muljono. Di
dalamnya termuat sejumlah pasal mengenai pidana dan sejumlah
pasal lainnya mengenai keperdataan.
3. Di kalangan masyarakat adat Lampung dikenal kitab perundang
undangan yang disebut Kitab Kuntara Adat Lampung. Kitab tersebut
sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip yang tertulis dalam
tulisan Aksara Lampung. Kitab tersebut di samping memuat aturan
norma pemerintahan adat, pandangan hidup masyarakat adat, juga
memuat norma aturan keperdataan dan kepidanaan. Semua ini
merupakan bukti sejarah bahwa bangsa Indonesia sejak lama telah
mengenal aturan hukum, termasuk aturan hukum pidana.

C. TAHAPAN ZAMAN KOLONIAL BELANDA


Sejak masuknya bangsa Belanda dan tata hukumnya di nusantara
tahun 1596 berlakulah dualisme hukum di Indonesia, yaitu di samping
berlakunya Hukum Belanda Kuno yang berazaskan hukum Romawi yang
dibawa masuk ke nusantara bersama kapal dagang Belanda pertama di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang disebut juga Hukum Kapal, di
wilayah-wilayah nusantara secara turun temurun telah berlaku aturan
Hukum Adat masing-masing komunitasnya. Jadi dengan masuknya Hukum
Kapal Belanda dan diberlakukan di bandar-bandar perdagangan nusantara,
bagi bangsa Indonesia berlaku atasnya dua tatanan hukum, yaitu Hukum
Kapal Belanda dan Hukum Adat. Hukum Kapal ini berlaku terus sampai

Sejarah Hukum Pidana | 81

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

beberapa tahun setelah berdirinya V.O.C (Verinigde Of Indische Compagne)


tahun 1602.
Lambat laun Hukum Kapal itu dirasakan tidak mampu lagi
menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi di sejumlah bandar
perdagangan di nusantara, sehingga dirasakan perlu adanya aturan hukum
baru yang mampu mengatasi perkembangan masalah hukum di daerah-
daerah yang dikuasai oleh V.O.C. Maka pada tahun 1609 Staten General
(Badan Federasi Tertinggi) di negeri Belanda memberikan kekuasaan untuk
menciptakan sendiri peraturan kepada pengurus V.O.C. di Banten. Oleh
karena itu di daerah yang dikuasai V.O.C. dibuat dan diberlakukan
peraturan hukum untuk penyelesaian perkara tertentu di masing-masing
daerah perdagangan yang dikuasai V.O.C. Di samping itu pimpinan Heeren
Zeventien (Tujuh Belas Penguasa) di negeri Belanda juga menetapkan
peraturanperaturan untuk diberlakukannya di daerah kewenangan V.O.C.
Semua peraturan, baik yang dibuat oleh pengurus pusat V.O.C di Banten
maupun yang dibuat oleh pimpinan Heeren Zeventien di negeri Belanda
itu dimuat dalam papan pengumuman yang ditempelkan pada dinding
kantor V.O.C., sehingga kemudian disebut Pelakat.2
Selanjutnya setelah Pelakat disusun dan disempurnakan serta
dihimpun dalam satu buku pada tahun 1642 oleh Mr. Joan Maetsyucker
pejabat Hof van Justitie di Batavia dan mendapat pengesahan dari Heeren
Zeventein di negeri Belanda pada tahun 1650 namanya dirubah menjadi
Statuta van Batavia (Statuta Betawi) dan diberlakukan untuk seluruh
wilayah kekuasaan V.O.C. Setelah itu Pelakat-Pelakat yang baru masih
terus bermunculan. Karena kelalaian staf-staf V.O.C menertibkan sejumlah
Pelakat yang muncul kemudian, akhirnya pada tahun 1700 terjadi
kekacauan sejumlah Pelakat yang muncul setelah 1642. Baru kemudian
pada tahun 1766 sejumlah Pelakat setelah tahun 1642 selesai dihimpun
dan disusun oleh Oppercoopman Crean dengan nama Nieuw Statuten van
Batavia (Statuta Batavia Baru), tapi pengesahannya ditolak oleh Heeren
Zeventein di negeri Belanda. Walaupun demikian dalam praktik
pengadilan di nusantara Statuta Batavia Baru itu tetap berlaku sebagai

2
P, M. Schinggyt Tryan, Nyoman Serikat P, and Pujiyono. “Tinjauan Yuridis Terhadap
Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses Peradilan Pidana.”Diponegoro Law
Journal5, no. 4 (2016), hlm.22

82 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

peraturan resmi. Himpunan peraturan yang dibuat oleh V.O.C itu


semuanya mencakup hukum privat dan hukum pidana. Untuk hukum
privat terus berlaku sampai diberlakukannya kodifikasi hukum privat bagi
orang Eropah tahun 1848. Adapun untuk peraturan pidananya berlaku
terus sampai diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen
tahun 1866 tanggal 1 Januari 1867 (Stb. 1866 nomor 55) bagi orang
Eropah. Sedangkan bagi bangsa Indonesia asli dan Timur Asing berlaku
terus sampai diberlakukannya Wetboek van Strafrecht tanggal 1 Januari
1873 (Stb. 1872 nomor 85). Kitab khusus hukum pidana tersebut,
keduanya merupakan saduran dari Code Penal Prancis yang disebut juga
dengan Code Penal Napoleon yang telah berlaku di negeri Belanda sejak
tahun 1810. Jelasnya Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866
berdasarkan azas konkordansi tetap memberlakukan Code Penal Prancis
dengan mengadakan perubahan dan penyesuaian seperlunya.
Sedangkan Wetboek van Strafrecht 1872 meniru Wetboek van
Strafrecht voor de Eropeanen 1866 dengan perubahan dan penyesuaian
serta pengecualian seperlunya. Dengan demikian di negeri Belanda pada
saat itu terjadi praktek Dualisme Hukum, khususnya menyangkut
kepidanaan, yaitu di samping tetap diberlakukannya Code Penal Prancis,
juga diberlakukan pula Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866.
Sehingga kedua aturan pidana dari kedua Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana itu semuanya berlaku bagi bangsa Belanda di negeri asalnya. Atas
dasar azas konkordansi kedua norma aturan pidana tersebut berlaku juga
bagi bangsa Belanda yang ada di Indonesia. Di nusantara berdasarkan azas
konkordansi terjadi pula pengaruh yang sama, yaitu terjadi praktek
Dualisme Hukum. Bagi bangsa Indonesia asli di samping berlaku Hukum
Adat juga berlaku Wetboek van Strafrecht 1872. Sedangkan bagi bangsa
Timur Asing (Cina, Arab dan India), di samping berlaku hukum asal masing-
masing bangsa berlaku pula hukum adat setempat yang dianut di
nusantara dan Wetboek van Strafrecht 1872. Perkembangan selanjutnya,
menjelang priode akhir abad ke 19 mulai dirasakan perlunya unifikasi
hukum pidana. 3

3
Rizal, Moch Choirul. Diktat Hukum Acara Pidana. Kediri: Fakultas Syariah IAIN Kediri, 2021.
Hlm.32

Sejarah Hukum Pidana | 83

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Maka pada tahun 1881 pemerintah Belanda mengadakan kodifikasi


hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb. 1881 nomor
35) dan diberlakukan secara nasional mulai 1 September 1886 serta
sekaligus menggantikan Code Penal Prancis - Wetboek van Strafrecht voor
de Eropeanen 1866 dan Wetboek van Strafrecht 1872. Sejak
diberlakukannya Wetboek van Strafrecht 1881 itu tidak lagi terdapat
praktek dualisme Hukum Pidana di negeri Belanda. Karena sejak saat itu
hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda tidak ada lain lagi kecuali
Wetboek van Strafrecht 1881. Jadi mulai 1 September 1886 di negeri
Belanda sudah melakukan unifikasi hukum pidana. Untuk upaya unifikasi
hukum pidana yang berlaku di wilayah jajahan Belanda (Indonesia
sekarang) baru diadakan kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
baru berdasarkan pengumuman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915,
sehingga terbentuklah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khusus untuk
wilayah jajahan (Indonesia) yang disebut Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie 1915 yang merupakan perubahan dan penyesuaian
dari Wetboek van Strafrecht 1881. Kemudian berdasarkan firman raja
Belanda (Invoerings-verordening) tanggal 4 Mei 1917 (Stb. 1917 nomor
497) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915 dinyatakan
berlaku di seluruh wilayah nusantara mulai 1 Januari 1918 sekaligus
menggantikan Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen 1866 dan
Wetboek van Strafrecht 1872. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari
1918 secara resmi terlaksana unifikasi hukum pidana di Indonesia. Dalam
artian sejak tanggal tersebut telah berlaku satu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana untuk seluruh penduduk di seluruh wilayah nusantara.

D. TAHAPAN ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG


Pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang memasuki dan menduduki wilayah
nusantara setelah mengalahkan pasukan Sekutu. Sejak saat itu pasukan
Jepang mengambil alih kedudukan negara anggota Sekutu di antaranya
Belanda di Indonesia sebagai penjajah. Dengan masuknya tentara Jepang
menguasai wilayah pendudukan kolonial Belanda di Indonesia berarti
sekaligus menggantikan penjajahan Belanda di Indonesia. Penjajahan
bangsa Jepang di Indonesia ini mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap dinamika aturan hukum pidana di Indonesia. Demi kepentingan

84 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kekuasaan dan pemerintahannya dalam beberapa hal tertentu


pemerintahan Jepang mengeluarkan maklumat yang memuat ketentuan
pidana dan memberlakukannya di seluruh wilayah pendudukannya.
Namun demikian sepanjang sejarah pendudukan Jepang di Indonesia tidak
pernah mencabut berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-
Indie 1915. Dengan demikian sepanjang sejarah pendudukan Jepang
hukum pidana yang berlaku di Indonesia terdapat dua aturan pidana
secara bersamaan, yaitu aturan pidana yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Jepang dan aturan pidana peninggalan pemerintahan
kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915.
Jadi selama Jepang berkuasa di Indonesia kembali berlaku Dualisme
Hukum Pidana.

E. TAHAPAN ZAMAN REPUBLIK


Bangsa Indonesia baru dapat keluar dari cengkraman penjajah dan
mencapai kemerdekaannya pada hari Jum‘at tanggal 17 Agustus 1945,
yaitu sejak dibacakannya Naskah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia oleh wakil bangsa Indonesia Soekarno-Hatta, yang kemudian
menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indinesia pertama.
Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 langsung diberlakukan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai Sumber Hukum Tertinggi dalam tertib hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 dinyatakan, bahwa segala lembaga negara dan peraturan hukum
yang ada pada waktu itu (Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch-Indie
1915 dan ketentua-ketentuan pidana pemerintahan Jepang) masih tetap
berlaku selama belum diganti dengan yang baru menurut UUD 1945 itu
sendiri. Dengan demikian sampai dengan 18 Agustus 1945, dualisme
hukum pidana kembali berlaku karena Aturan Pidana Pemerintahan
Jepang masih berlaku terus di Indonesia. Selanjutnya pemerintah Republik
Indonesia merasa dan menyadari perlu diupayakannya kembali unifikasi
hukum pidana. Maka dalam keadaan darurat selanjutnya pada tanggal 26
Pebruari 1946 dikeluarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 termuat
dalam Berita Republik Indonesia II nomor 9 tentang hukum pidana yang
berlaku di Republik Indonesia yang isinya hal-hal berikut:

Sejarah Hukum Pidana | 85

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Mencabut berlakunya semua peraturan hukum pidana yang


dikeluarkan oleh pemerintah Jepang.
2. Mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh
Panglima Tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
3. Peraturan-peraturan hukum pidana yang masih tetap dan terus
berlaku di Republik Indonesia adalah peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.
4. Merobah kata Nederlandsche-Indie atau Nederlandschen-Indisch
dalam peraturan hukum pidana yang masih berlaku menjadi kata
Indonesia atau Indoneseschen.
5. Merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie
menjadi Wetboek van Strafrecht dan selanjutnya diterjemahkan
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6. Semua kata Nederlandsch Ondordaan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana diganti dengan Warga Negara Indonesia.
7. Mencabut atau merubah beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang
Hukum pidana. 8) Memuat beberapa tindak pidana baru.
8. Menetapkan bahwa Undang-Undang ini berlaku buat pulau Jawa dan
Madura mulai tanggal 26 Pebruari 1946.

Jonkers dalam bukunya “Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel” yang


diterbitkan pada tahun 1940 menuliskan pada kalimat pertama
mengatakan De Nederlander, die over wijdezeeen en oceanen baan koos
naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda
yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk
menetap di tanah-tanah jajahannya, membawa hukumnya sendiri untuk
berlaku baginya. Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat
Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat Indonesia di
bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa
kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa
masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan
berkembang sebelum itu atau setelahnya,4 yang hidup dimasyarakat tanpa

4
Ramli, Ahmad M. Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2004.hlm.20

86 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa


penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi
hukum di Indonesia, dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840,
namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana.
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire
strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan ini menentukan hukum pidana yang
sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dan mengalami sedikit
perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire
strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan
kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana, usaha ini akhirnya
membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari
1866. Wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de
europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang
berlaku di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht
atau dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
pemerintah Republik Indonesia.5
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-
undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru.
Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya
hukum pidana yang berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 8 Tahun 1946 diberlakukan juga untuk daerah Sumatra)
dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 untuk
diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualisme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di
Indonesia sekarang ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain dalam Undang-
Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor
16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum
Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang
5
Widodo. Memerangi Cybercrime. Yogyakarta: CV.Aswaja Presindo, 2013.hlm.19

Sejarah Hukum Pidana | 87

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Penambahan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pembajakan Udara pada


Bab XXIX Buku ke II KUHP.
Pada prinsipnya ada dua pengertian yang berbeda tentang Hukum
Pidana, yang disebut dengan ius poenale dan ius puniendi. Ius poenale
merupakan pengertian Hukum Pidana yang obyektif. Hukum Pidana dalam
pengertian ini menurut Mezger adalah, “Aturan-aturan hukum yang
mengikatkan pada suatu perbuatan tertentu yang memenuhi syarat-syarat
tertentu suatu akibat yang berupa pidana.”6 Dari definisi ini terlihat bahwa
hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:” perbuatan yang memenuhi
syarat tertentu”, dan “pidana”. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
mengandung dua hal: “perbuatan jahat (perbuatan yang dilarang)” dan
“orang yang melakukan perbuatan tersebut.”7
Sementara itu Hazewinkel–Suringa memberikan pengertian yang lebih
luas, dikatakannya Hukum pidana tersebut meliputi:
a. perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya telah ditentukan
ancaman sanksi terlebih dahulu telah ditetapkan oleh lembaga negara
yang berwenang,
b. Aturan-aturan yang menentukan bagaimana atau dengan alat apa
negara dapat memberikan reaksi pada mereka yang melanggar
aturan-aturan tersebut,
c. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-
peraturan tersebut pada waktu tertentu dan di wilayah negara
tertentu

Demikian pula dengan Muljatno mengatakan, hukum pidana


memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan ,
yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancamkan

6
Sudarto, Hukum Pidana IA, (Malang : Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat,
1974), hal. 6.
7
Ibid,

88 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat


dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat


memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang
dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya
dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat
membantu memberikan gambaran/ deskripsi awal tentang hukum pidana.
Pidana artinya = hukuman; sanksi; rasa sakit; penderitaan. Hukum Pidana
berarti: Hukum Hukuman atau peraturan-peraturan tentang hukuman/
pidana. Hukuman/Pidana ada atau dijatuhkan karena: D ada yang
melanggar norma-norma hukum pidana atau, D ada pelanggaran
peraturan-peraturan pidana atau D ada pelanggaran norma-norma
hukuman (pidana).8
Kata “hukuman” sebenarnya merupakan penamaan bagi semua akibat
hukum karena melanggar suatu norma hukum, misalnya: D Pelanggaran
Perdata, sanksinya adalah sanksi/ hukuman Perdata D Pelanggaran
Administrasi, sanksinya adalah sanksi/ hukuman Administrasi D
Pelanggaran Pidana, sanksinya adalah sanksi/ hukuman Pidana.
Pompe: “Hukum Pidana adalah semua peraturan hukum yang
menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana
dan apa macam pidananya yang bersesuaian
Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Pidana adalah peraturan
hukum mengenai pidana” Kata PIDANA berarti hal yang dipidanakan -------
-- oleh instansi yang berkuasa, dilimpahkan ---------- kepada seorang
oknum --------- sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga merupakan
hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Satochid Kartanegara (cenderung pada perumusan Simons): “Hukum
Pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari
hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-
keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau

8
Prodjodjokro,Wirjono, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco, Jakarta-
Bandung. 1981, hlm.11

Sejarah Hukum Pidana | 89

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

keharusan mana disertai ancaman pidana dan apabila hal ini dilanggar,
maka timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan/
melaksanakan pidana.
Istilah “pidana” yang digunakan dalam KUHP karangan Moeljatno
sebenarnya bersinonim dengan kata “hukuman” yang digunakan dalam
KUHP karangan R. Soesilo. Hukuman adalah penamaan bagi semua akibat
hukum karena telah melanggar suatu norma hukum. Apabila yang
dilanggar adalah norma hukum disiplin, maka ganjarannya adalah
hukuman disiplin. Apabila yang dilanggar adalah hukum perdata, maka
diberi ganjaran atau hukumannya adalah sanksi perdata, dan untuk
pelanggaran hukum administrasi diberi hukuman administrasi atau sanksi
administrasi. Sedangkan terhadap pelanggaran hukum pidana akan diberi
hukuman pidana atau sanksi pidana. Mengenai kata majemuk yang
terakhir disebutkan, yakni ‘hukuman pidana’, menurut S. R. Sianturi,
memang sering dipermasalahkan, sebab kedua kata yang telah
dimajemukkan tersebut mempunyai arti yang sama. Kata ‘pidana’
merupakan juga istilah lain kata derita, nestapa, pendidikan,
penyeimbangan, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya permasalahan ini
cenderung diselesaikan dengan menyepakati untuk mempersingkat istilah
‘hukuman pidana’ dengan satu kata saja yaitu ‘pidana’. 9
Istilah pidana dipandang lebih praktis, hemat, dan sekaligus dapat
memperjelas makna jika misalnya disambung dengan kata penjara,
tambahan, kurungan, denda, dan sebagainya. Menurut Sudarto bahwa
yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan Ruslan Saleh menyatakan bahwa pidana
adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Selanjutnya, H. L. A.
Hart menyatakan bahwa pidana haruslah: 10
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan;

9
Riawan Tjandra, W, Hukum Acara Pidana dalam teori dan Praktek, Ghalia Indonesia
Jakarta. 2008, hlm.10
10
Soesilo,R Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8, Bogor. 1995, hlm.122

90 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau benar melakukan


tindak pidana;
c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan
hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan
suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disusun oleh R.


Soesilo, dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukuman ialah
suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim sebagai
vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.
Menurut Van Hamel, arti pidana atau straf adalah: Mengenal Hukum
Pidana suatu penderitaan yang bersifat khusus yang suatu penderitaan
yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.11
Menurut W.L.G. Lemaire Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-
norma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian
dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana
(hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan
bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana
yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. 12

11
Soerjono Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Penegakan Hukum, Sinar Gfrafika Jakarta,
2004, hlm.12
12
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Penerbit. Armico, Bandung, 1985,
hlm.22

Sejarah Hukum Pidana | 91

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Menurut Simons, bahwa pidana atau straf adalah: “suatu penderitaan


yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran
terhadap suatu putusan hakim yang telah dijatuh bagi seorang yang
bersalah”. Selanjutnya Algra-Janssen telah merumuskan pidana atau straf
sebagai: alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk
memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut
kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh
terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu
seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana. Menurut
Lamintang bahwa dari ketiga rumusan mengenai pidana yang terakhir
disebutkan, dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya
merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Hal ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat
mempunyai tujuan. Yang mempunyai tujuan adalah kata pemidanaan yang
bersinonim dengan kata penghukuman. 13
Andi Hamzah mengutip pengertian pidana yang berlaku di Rusia sejak
tahun 1999 dengan mengemukakan bahwa pidana dimaksudkan sebagai
prevensi umum dan prevensi khusus, dengan penekanan pada prevensi
khusus dan pendidikan ulang (reeducation) terhadap pelaku. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa pemidanaan itu bukanlah pembalasan (bahasa Rusia
= vosmesdie), artinya tidak merupakan penghapusan dosa, sesuai yang
tercantum dalam KUHP Rusia tahun 1926 Pasal 9 yang menyebutkan
bahwa tujuan pemidanaan adalah sebagai suatu pertahanan masyarakat
(social defence) yaitu prevensi khusus, prevensi umum, dan pendidikan
ulang. Ditambahkan pula bahwa tindakan tersebut bukanlah bertujuan
untuk pembalasan atau balas dendam (bahasa Rusia = kaara). Menurut
Sudarto, bahwa perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan
penghukuman. Lebih lanjut dikatakan bahwa: “penghukuman itu berasal
dari kata ‘hukum’ sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum
atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya
menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.
Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,maka istilah tersebut harus
13
Waluyo,Bambang, Pidana dan Pimidanaan, Penerbit. Sinar Grafika Jakarta, 2004, hlm.19

92 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang


kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim, sehingga pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh
hakim mempunyai makna sama dengan “sentence” atau “veroordeling”.14
Andi Zainal Abidin Farid mengemukakan istilah hukum pidana
bermakna jamak yang meliputi:
a. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaian-
nya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara
yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan
diindahkan oleh setiap orang;
b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa
dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran-peraturan-peraturan itu;
dengan kata lain hukum penitensier atau hukum sanksi.
c. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya
peraturanperaturan itu pada waktu dan wilayah negara tertentu.
Menurut Sudarto Hukum Pidana memiliki fungsi umum dan fungsi
khusus:
- Fungsi umum Hukum Pidana adalah untuk mengatur hidup
kemasyarakatan dan menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Oemar Senoadji Hukum adalah alat untuk
menuju ke policy dalam bidang ekonomi. Sosial dan kebudayaan.
- Fungsi khusus Hukum Pidana adalah untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya, dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya
lebih tajam dari sanksi hukum yang lainnya. Kepentingan hukum
meliputi orang, kelompok orang (masyarakat, negara, dan
sebagainya

Kebanyakan sarjana berpandangan bahwa Hukum Pidana adalah


Hukum Publik, diantaranya adalah Simons, Pompe, Van Hamel, Van
Scravendijk, Tresna, Van Hattum dan Han Bing Siong. Hukum Pidana
merupakan bagian dari hukum yang bersifat publik, karena mengatur
hubungan antara warga masyarakat dengan negara. Hal ini berbeda

14
Fajar, Mukti, and Achmad Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.hlm.21

Sejarah Hukum Pidana | 93

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dengan Hukum Perdata yang bersifat privat yang mengatur hubungan


antara warga masyarakat satu dengan warga masyarakat yang lainnya.
Namun demikian ada pula sarjana yang berpandangan lain, berdasarkan
sejarah kelahirannya dikatakan bahwa Hukum Pidana bukanlah hukum
yang mandiri, tetapi tergantung pada hukum yang lain. Beberapa sarjana
yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik antara
lain van Kan, Paul Scholten, Logeman, Binding dan Utrecht. Pada
umumnya para sarjana ini berpendapat bahwa hukum pada pokoknya
tidak mengadakan kaidah-kaidah (norma) baru, melainkan norma hukum
pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya (hukum
perdata, hukum tata Negara dan sebagainya) dan juga sudah ada sanksi-
sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan tertentu sanksi tersebut sudah
tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih
berat yang disertai dengan sanksi pidana. Binding mengatakan bahwa
norma tidak terdapat pada peraturan pidana tetapi dalam aturan-aturan
di luar hukum pidana, baik hukum tertulis (hukum perdata, hukum dagang
dan lainnya) maupun hukum tidak tertulis. Aturan pidana hanya untuk
mengatur hubungan negara dengan penjahat, hanya memuat ancaman
pidana belaka, aturan ini hanya dipergunakan untuk memidana seseorang
yang tidak taat akan norma-norma.15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, tidak seluruh sarjana
sependapat hukum pidana adalah hukum publik. Dilihat dari sejarah
perkembangannya hukum pidana berasal dari hukum privat yang
kemudian berkembang menjadi hukum pidana publik, selanjutnya
meletakkan kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut di tangan
negara (penguasa) dalam upaya menciptakan ketertiban. Namun demikian,
masih ada aturan-aturan hukum pidana yang bersifat privat, sehingga
negara tidak serta merta bisa menegakkannya, tidak memiliki kewajiban
untuk menjalankannya tanpa adanya permohonan dari pihak yang
dirugikan. Kerugian pihak korban dianggap lebih besar daripada

15
Ginting, Philemon. “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi
Melalui Hukum Pidana.” Universitas Diponegoro, 2008. Hlm.23

94 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kepentingan masyarakat dan bersifat sangat pribadi. Hal ini dapat


diketahui dari keberadaan delik aduan dalam hukum pidana.16
Pembagian hukum pidana dilakukan dengan mempelajari atau
mengamati syarat, hakikat dan tujuan dari hukum itu sendiri serta
kepentingan manusia sebagai individu maupun insan bermasyarakat yang
perlu dilindungi dan lapangan ilmu pengetahuan hukum pidana
pengelompokan dianggap penting sebagai bahan pengkajian hukum
secara sistematis dan orientasi pada independensi keil-muan dan tidak
kalah penting secara praktis adalah legalitas dalam penerapan hukumnya.
Pembagian Hukum Pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan wilayah berlakunya : a) Pidana umum (berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia, KUHP dan Undang-undang tersebar di luar
KUHP) b) Hukum Pidana Lokal (Perda untuk daerah-daerah tertentu)
2. Berdasarkan bentuknya : a) Hukum Pidana tertulis terdiri dari dua
bentuk, yaitu: Hukum Pidana yang dikodifikasikan yaitu Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP); dan Hukum Pidana yang tidak
dikodifikasikan (tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-
undang tersendiri seperti UU Tindak Pidana Ekonomi, UU
Pemberantasan Tindak Pidana/korupsi, Uang, UU Kekerasan dalam
Rumah Tangga, dan sebagainya). b) Hukum Pidana tidak tertulis
(Hukum Pidana Adat) adalah hu-kum yang berlaku hanya untuk
masyarakat-masyarakat terten-tu. Dasar hukum keberlakuannya pada
zaman Hindia Belanda adalah Pasal 131 IS (indische staatregeling) atau
AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving). Pada zaman UUDS Pasal 32,
43 Ayat (4), Pasal 104 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 13, Pasal 16 Ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dalam Pasal 5 Ayat
(1), UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dalam Pasal Ayat (3 sub b).
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus a) Hukum pidana
umum adalah ketentuan-ketentuan hukum pi-dana yang berlaku
secara umum bagi semua orang. b) Hukum pidada khusus adalah
ketentuan-ketentuan hukum pidana yang pengaturannya secara
khusus yang titik berat pada golongan tertentu (militer) atau tertentu,
seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi. Khususannya

16
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997.hlm.39

Sejarah Hukum Pidana | 95

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

meliputi tindak pidananya (desersi atau insubordinasi dalam tindak


pidana di kalangan militer) dan acara penyelesaian per-kara pidananya
(in absensia, pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi)17

Prinsip penerapan antara kedua jenis hukum pidana ini berlaku asas
lex spesialis derogatlegi generalis bahwa hukum pidana khusus lebih
diutamakan daripada ketentuan umum (Asas ini terdapat dalam Pasal 63
ayat 2 KUHP) 4) Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
a. Hukum pidana materil adalah hukum yang mengatur atau ber-isikan
tingkah laku yang diancam pidana, siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan dan berbagai macam pidana yang dapat
dijatuhkan.
b. Hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah seperang-kat
norma atau aturan yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan
kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan
dan melaksanakan pidana dalam suatu kasus tindak pidana.

Hukum pidana pada dasarnya merupakan hukum atau ketentuan-


ketentuan mengenai kejahatan dan pidana. Sedangkan objek kriminologi
sebagai ilmu pembantu hukum pidana adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri sebagai gejala dalam masyarakat. Kriminologi
menurut Sutherland adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan,
penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Tugas ilmu
pengetahuan hukum pidana adalah menjelaskan (interpretasi) hukum
pidana, mengkaji norma hukum pidana (konstruksi) dan penerapan
ketentuan yang berlaku terhadap suatu tindak pidana yang terjadi
(sistematisasi). Hukum pidana memiliki hubungan dengan kriminologi
tentu tidak dapat di pungkiri. Beberapa sarjana seperti Simons dan Van
Hamel bahkan mengatakan bahwa Kriminologi adalah ilmu yang
mendukung ilmu hukum pidana. 18

17
Machmud, Shahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012. Hlm.66
18
Maskun, and Wiwik Meilararti. Aspek Hukum Penipuan Berbasis Internet. Bandung: Keni
Media, 2017.hlm.19

96 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Alasan alasan yang dikemukakan adalah penyelesaian perkara pidana


tidak cukup mempelajari pengertian dari hukum pidana yang berlaku,
mengkonstruksikan dan mensistimatisasi saja, tetapi perlu juga diselidiki
penyebab tindak pidana itu, terutama mengenai pribadi pelaku, dan
selanjutnya perlu dicarikan jalan penanggulangannya. Demikian pula
Mardjono Reksodipoetro melihat betapa pentingnya Kriminologi bagi
hukum pidana, tentu saja berkaitan dengan hasil penelitian Kriminologi
yang dapat mendukung perkembangan hukum pidana. Aspek yang
menonjol dalam Kriminologi sebagi ilmu pengetahuan empirik adalah
penelitiannya mengenai pelanggar hukum. Kriminologi berusaha
mengungkapkan faktorfaktor yang menjadi suatu kausa kejahatan
(meningkatnya kejahatan) atau proses yang berlangsung dalam proses
peradilan pidana ataupun penelitian-penelitian mengenai pemahaman
tentang pembinaan yang efektif pada terpidana.19

F. RANGKUMAN MATERI
Selain kriminologi ada sosiologi, antropologi, pisikologi dan beberapa
ilmu lainnya yang berperan dalam hukum pidana. Sosiologi kriminal
menyelidiki faktor-faktor sosial seperti misalnya kemakmuran rakyat,
pertentangan kelas di lapangan sosial dan ekonomi, penggangguran dan
sebagainya yang mempengaruhi perkembangan kejahatan tertentu di
daerah tertentu. Antropologi kriminal menyelidiki bahwa manusia yang
berpotensi berbuat jahat mempunyai tandatanda fisik tertentu. Lambroso
mengadakan penelitian secara antropologi mengenai penjahat dalam
rumah penjara. Kesimpulan yang ia dapatkan bahwa penjahat mempunyai
tanda-tanda tertentu, tengkoraknya isinya kurang (pencuri) daripada
orang lain, penjahat pada umumnya mempunyai tulang rahang yang lebar,
tulang dahi yang melengkung ke belakang dan lain-lain. Psikologi kriminal
mencoba memberikan pemahaman bahwa ada faktor kejiwaan tertentu
yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kejahatan, mulai gangguan
dari tingkat yang paling rendah sampai pada tingkat yang paling tinggi
(kleptomania, pedopilia, neurose, psikopat dan lain-lain).20

19
Suseno, Sigid. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.hlm.88
20
Sumarwani, Sri. “Tinjauan Yuridis Pemidanaan Cybercrime Dalam Perspektif Hukum
Pidana Positif.” Jurnal Perubahan Hukum 1, no. 3, 2014, hlm.21

Sejarah Hukum Pidana | 97

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

TUGAS DAN EVALUASI


1. Jelaskan Sejarah Hukum Pidana?
2. Jelaskan Para Pakar Hukum Pidana?

98 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA
Fajar, Mukti, and Achmad Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017
Ginting, Philemon. “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi
Informasi Melalui Hukum Pidana.” Universitas Diponegoro, 2008
Harahap, M. Yahya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1997
Machmud, Shahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012
Maskun, and Wiwik Meilararti. Aspek Hukum Penipuan Berbasis Internet.
Bandung: Keni Media, 2017
P, M. Schinggyt Tryan, Nyoman Serikat P, and Pujiyono. “Tinjauan Yuridis
Terhadap Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses
Peradilan Pidana.”Diponegoro Law Journal5, no. 4 (20160)
Prodjodjokro, Wirjono, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit.
Eresco, Jakarta-Bandung. 1981,
Ramli, Ahmad M. Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2004
Riawan Tjandra, W, Hukum Acara Pidana dalam teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia Jakarta. 2008,
Rizal, Moch Choirul. Diktat Hukum Acara Pidana. Kediri: Fakultas Syariah
IAIN Kediri, 2021
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Penerbit. Armico,
Bandung, 1985
Soerjono Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Penegakan Hukum, Sinar
Gfrafika Jakarta, 2004
Soesilo, R Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8,
Bogor. 1995
Sudarto, Hukum Pidana IA, (Malang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat, 1974),

Sejarah Hukum Pidana | 99

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sumarwani, Sri. “Tinjauan Yuridis Pemidanaan Cybercrime Dalam


Perspektif Hukum Pidana Positif.” Jurnal Perubahan Hukum 1, no. 3,
2014
Suseno, Sigid. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: PT. Refika Aditama,
2012
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pimidanaan, Penerbit. Sinar Grafika Jakarta,
2004
Widodo. Memerangi Cybercrime. Yogyakarta: CV.Aswaja Presindo, 2013

100 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 6: DELIK TINDAK PIDANA

Dr. H. Yusep Mulyana, S.H., M.H

Universitas Pasundan

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 6
DELIK TINDAK PIDANA

A. PENDAHULUAN
Tindak pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan
strafbaar feit atau delict (bahasa Belanda) atau criminal act (bahasa
Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa
Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik
pandai bangsa Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum
pidana adalah “tindak pidana”. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan
dari istilah bahasa belanda, yaitu Delict atau Strafbaar feit.
Disamping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah
dipakai beberapa istilah lain, yaitu:21
a. Peristiwa pidana
b. Perbuatan pidana
c. Pelanggaran pidana
d. Perbuatan yang dapat dihukum

Perbuatan yang boleh dihukum feit telah ada empat istilah yang
dipergunakan dalam bahasa Indonesia, yakni:22
1. Peristiwa Pidana (Pasal 14 ayat 1 UUD 1950)
2. Perbuatan Pidana atau perbuatan yang dapat atau boleh dihukum (UU
No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
pengadilan sipil Pasal 5 sub c)

21
M.Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Remadja Karta, Bandung, 2014, hlm. 1.
22
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana dalam Hukum pidana,
Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2016, hlm.3

102 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

3. Tindak Pidana (UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota


konstituante dan DPR)
4. Pelanggaran Pidana (Mr. Tirtaamidjadja, Pokok-pokok Hukum Pidana
1995)

Moeljatno dalam hal ini mempergunakan istilah perbuatan pidana dan


mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1. Perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkan
adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan
atau kekuatan alam.
2. Perkataan tindak berarti langka dan baru dalam bentuk tindak-tanduk
atau tingkah laku.
3. Perkataan perbuatan sudah lajim dipergunakan dalam kecakapan
sehari-hari seperti perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan
seterusnya dan juga istilah teknis seperti perbuatan melawan hukum
(onrechmatigedaad).

Bahwa perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan,


dan juga lebih praktis daripada istilah-istilah lainnya. Istilah ini lebih
banyak dipergunakan oleh orang maupun undang-undang sendiri. Istilah
tindak yang sering diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk praktisnya
saja, seharusnya ditulis dengan tindak pidana. Istilah tindak pidana ini
tidaklah berarti dilakukan oleh seseorang serta menunjukan terhadap si
pelaku maupun terhadap akibatnya.
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar
feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu
penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan
strafbaar feit tersebut.
Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda yaitu kenyataan
berarti sebagian dari suatu kenyataan sedang strafbaar berarti dapat di
hukum, hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat di
terjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum
yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui

Delik Tindak Pidana | 103

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai


pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk
undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang
sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan strafbaar feit, maka
timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit tersebut.
Menurut VOS pengertian strafbaar feit adalah: 23 suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu
kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan diancam pidana. C.S.T.
Kansil mengatakan pengertian delict sebagai berikut: delik adalah
perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu
bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sungguh pun demikian beliaupun mengakui bahwa sangatlah
berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif yakni
hanya dengan menggunakan pendapat-pendapat secara teoritis. Hal mana
akan disadari dengan melihat kedalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, oleh karena di dalamnya dapat dijumpai sejumlah besar strafbaare
feiten yang dari rumusan-rumusannya dapat diketahui bahwa tidak
satupun dari strafbaar feiten tersebut memiliki sifat-sifat umum sebagai
suatu strafbaar feit yakni bersifat weederrechtelijk dan strafbaar atau
yang bersifat melanggar hukum, telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja dan dapat dihukum.
Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap strafbaar
feit, oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma itu harus
merupakan suatu prilaku atau yang telah dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja. Dalam kepustakaan hukum pidana Indonesia, istilah
“tindak pidana” merupakan Istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari
istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. 24 Sebenarya banyak istilah yang
digunakan yang menunjuk pada pengertian strafbaarfeit. Misalnya,

23
Vos, terpetik dalam Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2012, hlm. 8
24
A.Fuas Usfa,dkk, Pengantar Hukum Indonesia, UMM Press. Universitas Muhammdiyah
Malang, 2014. hlm. 3

104 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat


dihukum, hal yang diancam dengan hukum dengan perturan-peraturan
yang dapat dikenakan hukuman.
Moeljatno menggunakan istilah tindak pidana dengan perbuatan
pidana yang didefinisikan oleh beliau sebagai “perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan Hukum yang mana disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.25
Dalam hukum pidana delik dikenal dalam beberapa istilah seperti
perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan yakni, “Perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang tindak pidana”.
Menurut Van der Hoeven (Laden Marpaung, 2005: 7), rumusan
tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya
tetapi manusianya. Selain itu menurut kamus hukum Ilham Gunawan
(2002: 75) bahwa: “Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-
undang pidana dan karena itu bertentangan dengan undang-undang yang
dilakukan dengan sengaja oleh orang-orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
Istilah delik (tindak pidana) berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat
dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP),
tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaar
feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti
dan isi dari istilah itu, sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.
Selanjutnya, Adami Chazawi (2008: 67-68), menerangkan bahwa di
Indonesia sendiri setidaknya dikenal ada tujuh istilah yang digunakan
sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang
pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari strafbaar feit
antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran
pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum
dan terakhir adalah perbuatan pidana.

25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1. PT Radja Grafindo Persada, Jakarta,
2012, hlm.13

Delik Tindak Pidana | 105

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Strafbaaf feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari
tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,
ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh (Andi
Hamzah, 2008: 86) dalam menerjemahkan Strafbaar feit adalah istilah
perbuatan pidana. Begitu pula dengan Ter Haar (Moeljatno, 2002 : 18)
memberi definisi untuk delik yaitu tiap-tiap penggangguan keseimbangan
dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok
orang.
Menurut Bambang Waluyo (2008: 6) pengertian tindak pidana (delik)
adalah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbaar feiten).
R. Abdoel Djamali (2005: 175) menambahkan bahwa peristiwa pidana
yang juga disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana.
Selanjutnya menurut Pompe (P.A.F. Lamintang, 1997: 182) perkataan
“strafbaar feit” itu secara toeritis dapat dirumuskan sebagai “suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.
Adapun Istilah Perbuatan Pidana Lebih tepat Alasannya Adalah26:
1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,
yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan
ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
2. Antara larang (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan
oleh karena perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang
menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih
tepat digunakan istilah perbuatan pidana. Suatu pengertian abstrak
26
Ibid, hlm. 71

106 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

yang menunjuk pada dua kejadian konkrit, yaitu: pertama, adanya


kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat
atau menimbulkan kejadian itu.

Unsur-unsur tindak pidana menurut P.A.F Lamintang ada 2 (dua) yaitu


unsur obyektif dan unsur subyektif, adapun unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:27
a. Unsur obyektif adalah suatu unsur di luar perbuatan si pelaku dimana
Unsur-unsur tindakan ini harus dilakukan. Unsur obyektif terdiri dari:
1) Sifat melanggar hukum atau (wederrechtelijkheid)
2) Kualitas dari si pelaku. misalnya “keadaan sebagai seorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur Subjektif adalah suatu unsur yang terdapat atau melekat pada
diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan
termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Unsur Subjektif terdiri dari :28
1) Kesengajaan atau Ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa).
2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan, seperti di
tentukan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3) Macam- macam maksud atau Oogmerk seperti terdapat dalam
kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan
sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau yang dalam bahasa belanda
dikenal dengan met voorbedachte rade seperti tercantum dalam
pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih
dahulu.

27
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2014,
hlm. 192
28
Ibid, hlm. 193

Delik Tindak Pidana | 107

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

5) Perasaan takut atau dalam bahasa Belanda disebut dengan vrees


seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP pembuangan anak
sendiri.

Menurut bukunya Teguh Prasetyo jenis tindak pidana dibagi ke


beberapa delik yaitu sebagai berikut:29
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Delik Kejahatan (Rechtsdelict) dan Delik Pelanggaran (Westdelict)
masing-masing delik tersebut dalam KUHP menempatkan dalam buku
ke II kejahatan dan Buku ke III pelanggaran, kejahatan kadang sering
disebut dengan delik hukum sedangkan pelanggaran disebut dengan
delik Undang – Undang.
a. Delik hukum (Rechtdelicht) adalah bahwa pelanggaran yang
dilakukan melanggar dalam norma masyarakat sebagai tindakan
melawan hukum seperti pembunuhan dan melukai orang lain.
b. Delik undang – undang (Westdelict) adalah apabila pelanggaran
yang dilakukan dalam hidup bermasyarakat itu melawan aturan
yang sudah ditetapkan oleh undang – undang seperti mengenakan
helm saat berkendara dengan mengunakan sepeda motor.
2. Delik Formal (Formeel delict) dan Delik Materiil (Materieel delict) Delik
Formal (Formeel delict) adalah perbuatan yang sudah menjadi delik
apabila telah selesai melakukan perbuatan. Contoh delik Formal
adalah Pasal 362 KUHP tentang pencurian Sedangkan Delik Materiil
atau (Materieel delict) adalah perbuatan yang telah terjadi karena
akibat perbuatan yang tidak dikehendaki. Contoh Delik Materiil adalah
Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
3. Delik Sengaja (Opzettelijke delicten) dan Delik Kealpaan (Culpooze
delicten) Delik sengaja (Opzettelijke delicten) yaitu suatu perbuatan
yang dalam melakukan suatu tindakannya dilakukan dengan sengaja.
Contoh Pasal 310 KUHP tentang penghinaan Sedangkan Delik kealpaan
(Culpooze delicten) yaitu suatu perbuatan yang dalam melakukan
suatu tindakannya dengan tidak sengaja. Contoh Pasal 360 ayat 2
KUHP yang menyebabkan orang lain luka- luka.

29
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm, 58 - 61

108 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

4. Delik Commisionis
Delik Commisionis adalah delik yang merupakan suatu tindakan
pelanggaran yang bersifat larangan karena berkenaan dengan
larangan seperti tindakan membunuh, mencuri, menganiaya.
Sedangkan Delik Omissionis adalah delik yang merupakan suatu
tindakan pelanggaran yang bersifat perintah, karena berkenaan
dengan tidak berbuat sesuatu atau perintah, contohnya Pasal 217, 218,
224 dan 397 angka 4 KUHP.
5. Delik Aduan (Klacht delicht) dan Delik Bukan Aduan (Gewone delicten).
Delik aduan (Klacht delicht) adalah suatu tindak pidana apabila dari
salah satu pihak yang merasa dirugikan melakukan pengaduan maka
dapat diproses penuntutan. Sedangkan Delik bukan aduan atau delik
biasa (Gewone delicten) adalah suatu tindak pidana apabila salah satu
pihak tidak melakukan pengaduan maka tetap bisa melakukan proses
penuntutan.

Delik aduan ada 2 (dua) jenis yaitu:


a. Delik aduan absolut (Onsplitsbaar) adalah perbuatannya dapat
dituntut apabila mendapatkan pengaduan dari pihak yang dirugikan
dengan hanya menyebutkan suatu peristiwa saja. Delik aduan absolut
ini tersebut misalnya ada pada Pasal 284 KUHP.
b. Delik aduan relatif (Splitsbaar) adalah perbuatan dapat dituntut
apabila pengadu bisa menyebutkan seseorang yang diduga sebagai
pelaku yang merugikan dirinya. Delik-delik aduan relatif ini tersebut
dalam Pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang


yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. 30
Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa
pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat di pidana
serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena
kelakuannya itu.

30
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 12.

Delik Tindak Pidana | 109

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan
yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Menurut
Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moeljatno bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, unsur-unsur kesalahan
yakni:
1. Mampu bertanggung jawab
2. Mempunyai kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa); dan
3. Tidak adanya alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur yakni


sebagai berikut:
1. Kemampuan bertanggung jawab
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggung jawab harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang
baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum (faktor akal); dan
b. Kemampuan untuk menentukan keinsyafan tentang baik dan
buruknya (perasaan/kehendak).
2. Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (culpa)
a. Kesengajaan, ada 2 (dua) teori yang berkaitan dengan pengertian
sengaja, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau
membayangkan.
1) Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
Contoh, A mengarahkan pisau kepada B dan A menusuk hingga B
mati; A adalah sengaja apabila A benar-benar menghendaki
kematian B.
2) Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia
tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia
hanya dapat menginginkan, mengharapkan dan membayangkan
adanya suatu akibat. Sengaja apabila suatu akibat yang
ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud
tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan
sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.

110 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam ilmu hukum pidana dibedakan menjadi 3 (tiga) macam sengaja,


yakni sebagai berikut31:
1. Sengaja sebagai maksud, dalam VOS definisi sengaja sebagai
maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat
perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah
mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka
sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya.
2. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa agar tujuan dapat
tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang
berupa pelanggaran juga.
3. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan
besar dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping
pelanggaran pertama.

b. Kealpaan (culpa)
Culpa terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan
dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun
perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat
berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang
oleh undang-undang atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu
sama sekali.

Dalam culpa atau kealpaan, unsur terpentingnya adalah pelaku


mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya
dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat di hukum
dan dilarang oleh undang-undang.

31
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti. 2007, hlm.
116.

Delik Tindak Pidana | 111

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas:


1. Culpa dengan kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah, tetap saja timbul akibat tersebut.
2. Culpa tanpa kesadaran, dalam hal ini, si pelaku tidak
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam oleh UU, sedang ia harusnya memperhitungkan
akan suatu akibat. Sehingga berdasarkan atas perbedaan antara kedua
hal di atas sebagai berikut: Culpa dengan kesadaran ini ada jika yang
melakukan perbuatan itu ingat akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi,
tetap saja ia berani melakukan tindakan itu karena ia tidak yakin
bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan bertindak
demikian kalau ia yakin bahwa itu akan timbul.

Di dalam Buku II dan Buku III Kitab undang-undang Hukum Pidana


(KUHP) Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan delik
yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang atau yang
diperintahkan untuk dilakukan dan kepada barang siapa yang
melanggarnya atau tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum.
Selain unsur - unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan
untuk dilakukan, dicantumkan juga sikap batin yang harus dimiliki oleh
pembuat delik agar ia dapat dipidana atau dengan kata lain Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berdasarkan pandangan monistis
terhadap delik.
Dalam merumuskan delik terdapat 3 (tiga) dasar pembedaan cara
dalam merumuskan Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP), yakni
sebagai berikut:
1. Cara Pencatuman Unsur - Unsur dan Kualifikasi Delik;
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan; dan
3. Dari Sudut Pembedaan Delik Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih
Berat dan Bentuk yang Lebih Ringan

112 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dengan cara ini maka terdapat 3 (tiga) cara rumusan yang terdiri dari:
1. Dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman
pidana;
2. Dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan
mencantumkan ancaman pidana; dan
3. Sekedar mencantumkan kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan
mencantumkan ancaman pidana.

Dari ketiga cara tersebut ada delik yang dirumuskan tanpa menyebut
unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Ancaman pidana
dan kualifikasi memang bukan unsur delik. Kualifikasi dicantumkan
sekedar untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian delik
yang dimaksudkan, sementara itu mengenai selalu dicantumkan ancaman
dalam rumusan delik karena ancaman pidana ini merupakan ciri mutlak
dari suatu larangan perbuatan sebagai delik.
Mencatumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini
digunakan terutama dalam hal merumuskan delik dalam bentuk pokok
atau standar dengan mencatumkan unsur objektif maupun subjektif
misalnya pada ketentuan yang diatur dalam:
1. Pasal 338 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pembunuhan;
2. Pasal 362 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pencurian;
3. Pasal 368 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pengancaman;
4. Pasal 369 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pemerasan;
5. Pasal 372 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penggelapan;
6. Pasal 378 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penipuan; dan
7. Pasal 406 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pengrusakan.

Delik Tindak Pidana | 113

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Unsur pokok atau unsur esensial adalah unsur yang membentuk


pengertian yuridis dari delik tertentu itu. Unsur - unsur ini dapat dirinci
secara jelas dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik
tersebut dan menjatuhkan pidana, semua unsur itu harus dibuktikan
dalam persidangan. seperti contohnya pada ketentuan yang diatur dalam
Pasal 368 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dengan unsur -
unsur sebagai berikut:
1. Unsur Objektif, terdiri dari:
a. Memaksa (tingkah laku)
b. Seseorang (yang dipaksa)
Dengan:
1) Kekerasan;
2) Ancaman kekerasan.
c. Agar orang:
1) Menyerahkan benda;
2) Memberi utang;
3) Menghapuskan piutang.
2. Unsur Subjektif, terdiri dari :
a. Dengan maksud untuk menguntungkan :
1) Diri sendiri;
2) Orang lain.
b. Dengan melawan hukum.

Kekerasan dan ancaman kekerasan adalah cara atau upaya dalam


perbuatan memaksa. Sementara itu menyerahkan benda, memberi utang,
menghapuskan piutang merupakan unsur akibat (akibat konstitutif) yang
dituju perbuatan atau yang diinginkan pembuat, yang harus terwujud
untuk terjadinya pemerasan secara sempurna.
Mencatumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencatumkan
ancaman pidana. Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam
merumuskan delik dalam Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Delik yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi
dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi
tertentu, misalnya terhadap delik pada:

114 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Pasal 242 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang


mengatur tentang sumpah palsu.
2. Pasal 160 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penghasutan;
3. Pasal 220 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang laporan palsu;
4. Pasal 305 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang membuang anak;
5. Pasal 341 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pembunuhan anak;
6. Pasal 415 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penggelapan oleh Pegawai Negeri.

Delik yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit.
Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja, hal mana dalam model
perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Delik yang
dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh
suatu rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (vide: Pasal
351 ayat (1) KUHP).
Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini
dapat diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS
Belanda. Penganiayaan disini dapat diartikan menimbulkan derita atau
nestapa atau rasa sakit pada orang lain. Sedangkan dalam Pasal 351 ayat
(4) Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) penganiayaan
dianalogikan oleh pembuat Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP)
dengan sengaja merusak kesehatan.
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan:
1. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan
secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang
menjadi pokok larangan dalam rumusan ini adalah melakukan perbuatan
tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya delik, jika perbuatan
yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, delik itu selesai pula tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Misalnya pada
ketentuan yang diatur dalam Pasal 362 Kitab undang - undang Hukum

Delik Tindak Pidana | 115

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pidana (KUHP), hal mana jika perbuatan mengambil selesai, maka


pencurian selesai atau jika membuat palsu (surat) dan memalsu (surat)
selesai dilakukan, kejahatan itu selesai (vide: Pasal 263 KUHP).
Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 362 Kitab undang - undang
Hukum Pidana (KUHP) merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu
mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang
lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana
seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu
adanya maksud pengambil untuk memilikinya dengan melawan hukum.
Unsur delik ini dinamakan unsur melawan hukum yang subjektif, yaitu
kesengajaan pengambil barang itu diarahkan ke perbuatan melawan
hukum sehingga menjadi unsur objektif bagi yang berpandangan monistis
atau merupakan unsur actus reus bagi yang berpandangan dualistis
terhadap delik.

2. Dengan Cara Materil


Perumusan dengan cara materil maksudnya ialah yang menjadi pokok
larangan delik yang dirumuskan itu adalah pada menimbulkan akibat
tertentu disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstituif. Titik
beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat sedangkan wujud
perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.
Misalnya pada ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 338 Kitab
undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang
pembunuhan, hal mana yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat
hilangnya nyawa orang lain sedangkan wujud apa dari perbuatan
menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi soal apakah perbuatan itu
dilakukan dengan menembak, meracun atau sebagainya.
Dalam hubungannya dengan selesainya delik, maka untuk selesainya
delik bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, akan tetapi
bergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang
telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibat
belum timbul maka delik itu belum selesai yang terjadi adalah percobaan.
Dari Sudut Pembedaan Delik Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih
Berat dan Ringan:

116 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Perumusan dalam bentuk pokok


Bentuk pokok pembuat undang - undang selalu merumuskan secara
sempurna yaitu dengan mencatumkan semua unsur-unsurnya secara
lengkap. Dengan demikian rumusan pokok ini merupakan pengertian
yuridis dari delik itu, misalnya ketentuan yang diatur dalam :
1. Pasal 338 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Pasal 362 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
3. Pasal 372 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
4. Pasal 378 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
5. Pasal 369 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
6. Pasal 406 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP).

Perumusan dalam bentuk yang diperingan dan yang diperberat


Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari delik
yang bersangkutan, unsur - unsur bentuk pokoknya tidak di ulang kembali
atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pada bentuk pokok
misalnya pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 364, Pasal 373 dan Pasal
379 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) atau kualifikasi bentuk
pokok misalnya pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 339, Pasal 363
dan Pasal 365 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian
menyebutkan unsur - unsur diperingan atau diperberatnya delik.32

B. RANGKUMAN MATERI
Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh
karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikatakan merupakan subyek tindak pidana. Strafbaarfeit yaitu: Suatu
prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai prilaku yang harus
ditiadakan, oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.

32
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/01/cara-merumuskan-delik-hukum-pidana.html/diakses
21 April 2022

Delik Tindak Pidana | 117

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Jenis-jenis Tindak Pidana (Delik)


Hukum pidana mengenal jenis-jenis delik atau tindak pidana yang
dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, sebagaimana
tersebut di bawah ini:
1. Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)
Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-
pasal KUHP Indonesia yang berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi,
pembentuk undang-undang tidak menjelaskan secara tegas apa yang
dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran, juga tidak ada
penjelasan mengenai syarat-syarat yang membedakan antara delik
kejahatan dengan delik pelanggaran.
Secara doktrinal apa yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah
perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang seharusnya dipidana karena
bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur
dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau
delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan
itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-
undang. Delik pelanggaran ini sering disebut sebagai mala quia prohibia
atau delik undang-undang, artinya perbuatan itu baru dianggap sebagai
delik setelah dirumuskan dalam undang-undang.

a) Delik Formil (Formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)


Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai
dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-
undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu
perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa
menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-
undang adalah perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu
akibat yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu,
dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan
perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.

118 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

b) Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (Culpa)


Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan
sementara delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena
kesalahan atau kealpaan.

c) Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)


Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan
membutuhkan atau disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang
dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan maka delik itu tidak dapat
dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat
dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.

d) Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)


Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
Delik umum ini sering disebut gemene delicten atau algemene delicten.
Sementara delik khusus adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu,
pegawai negeri atau anggota militer.

e) Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem


Commissa
Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang. Apabila perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan
perbuatan secara aktif berarti melakukan delik commisionis. Suatu
perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang disebut delik
ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu
dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis.
Sementara delik commisionis per ommisionem commissa adalah delik
yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat
sesuatu.

f) Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut


Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali
perbuatan saja, artinya perbuatan yang terlarang dan diancam pidana
oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai

Delik Tindak Pidana | 119

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang


meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya
saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

g) Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran


Menurut Konferensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang
dimaksud dengan delik politik adalah suatu kejahatan yang menyerang
baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga
Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delik-delik
yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik
campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik
dan setengah umum. Atau dengan kata lain bahwa delik ini seolah-
olah Nampak sebagai delik umum, tetapi sebenarnya delik itu
merupakan tujuan politik, atau sebaliknya.

h) Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi


Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk
pokok atau sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana.
Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk khusus
karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat
atau mengurangi ancaman pidanya.

2. Delik Terhadap Nyawa Orang (Pembunuhan)


Tindak pidana terhadap “Nyawa” dalam KUHP dimuat pada Bab XIX
dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang” yang diatur dalam Pasal
338 sampai dengan Pasal 350. Mengamati pasal-pasal tersebut maka
KUHP mengaturnya sebagai berikut:
a. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia.
b. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang sedang/baru
dilahirkan.
c. Kejahatan yang ditujukan terhadap anak yang masih dalam kandungan.

Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat KUHP adalah sebagai berikut:


a. Pembunuhan (Pasal 338)
b. Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339)

120 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

c. Pembunuhan berencana (Pasal 340)


d. Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341)
e. Pembunuhan bayi berencana (Pasal 342)
f. Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344)
g. Membujuk / membantu oragng agar bunuh diri (Pasal 345)
h. Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346)
i. Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347)
j. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya
(Pasal 348)
k. Dokter / Bidan / Tukang obat yang membantu pengguguran / matinya
kandungannya (Pasal 349).

3. Delik Penganiayaan
“Menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka
pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit
atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan
kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa penganiayaan adalah merupakan
suatu tindak pidana. penganiayaan telah diatur dalam Bab XX Pasal 351 -
358 KUHP. Delik penganiayaan termasuk suatu kejahatan yang dapat
dikenai sanksi oleh undang-undang.

4. Delik Terhadap Kehormatan Orang (Penghinaan)


Kejahatan penghinaan membedakannya menjadi: penghinaan umum
(diatur dalam bab XVI buku II KUHP), dan penghinaan khusus (tersebar di
luar bab XVI buku II KUHP). Objek penghinaan umum adalah berupa rasa
harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik
orang pribadi (bersifat pribadi). Sebaliknya penghinaan khusus, objek
penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai
kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.

5. Delik Terhadap Kesusilaan


Perbuatan asusila secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan ada
hubungannya dengan norma kesopanan, tetapi dalam hal tindak pidana
asusila yang terpenting dan perlu dilihat yaitu sejauh mana pelanggaran

Delik Tindak Pidana | 121

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kesusilaan (perbuatan asusila) tersebut dilakukan. Definisi dari tindak


pidana kesusilaan secara umum adalah semua perbuatan yang dilakukan
untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu
kehormatan kesusilaan. Dalam hal tindak pidana kesusilaan sebenarnya
tidak ada definisi atau pengertian yang menjelaskan arti dari tindak pidana
kesusilaan.
Dalam KUHPidana delik kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 281-
283 KUHP, unsur-unsur tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur Pasal
281 KUHPidana adalah unsur subjektif. Yaitu “dengan sengaja” dan unsur
objektif, yaitu “barang siapa”, “merusak kesusilaan” dan “di depan umum”.
Unsur subjektif Pasal 281 KUHPidana adalah unsur dengan sengaja
(opzettelijk) yang meliputi unsur-unsur seperti, merusak kesusilaan dan di
depan umum. Selain itu delik kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 27
Ayat (1) Undang-Undang ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik). Ketentuan ini mengatur persoalan dengan sengaja dan tanpa
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
kejahatan kesusilaan.

6. Delik Harta Kekayaan


Kejahatan terhadap harta kekayaan dalam KUHP terdapat pada buku II
tentang kejahatan: Bab XXII pencurian, Bab XXIII Pemerasan dan
Pengancaman; Bab XXIV Penggelapan; Bab XXV Perbuatan curang; Bab
XXVI merugikan orang berpiutang atau yang mempunyai hak; Bab XXVII
menghancurkan atau merusak barang; Bab XXX penadahan. Kejahatan
terhadap harta kekayaan sendiri diartikan sebagai suatu penyerangan
terhadap kepentingan hukum orang atas benda milik orang lain. Setiap
tindak kejahatan memiliki unsur-unsur tersendiri, baik yang subjektif atau
objektif. Keberadaan Unsur-unsur tersebut menjadi parameter seseorang
terdakwa tertuduh melakukan tindak pidana kejahatan.
Perbedaan pokok antara macam-macam tindak pidana tersebut
adalah:
1. Pencurian (diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya.
2. Pemerasan (afpersing); memaksa orang lain dengan kekerasan untuk
memberikan sesuatu.

122 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

3. Pengancaman (afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman


untuk memberikan sesuatu.
4. Penipuan (oplichting): membujuk orang lain dengan tipu muslihat
untuk memberikan sesuatu.
5. Penggelapan barang (verduistering): memiliki barang bukan haknya
yang sudah ada di tangannya.
6. Merugikan orang yang berpiutang: sebagai orang yang berpiutang
berbuat sesuatu terhadap kekayaan sendiri dengan merugikan si
berpiutang (creditor).
7. Penghancuran atau perusakan barang: melakukan perbuatan terhadap
barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu.
8. Penadahan: menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh
orang lain secara tindak pidana.

7. Delik Yang Ditujukan Terhadap Keamanan Negara


Pada hakikatnya, KUHP merumuskan perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan sanksi pidana sebagai reaksi terhadap
mereka yang melakukan tindak pidana. Formulasi delik yang terdapat
dalam KUHP, sejatinya ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum
perorangan atau individu (individuale belangen), masyarakat (sociale
belangen), serta kepentingan hukum negara (staat belangen).
Salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukum negara,
antara lain diwujudkan dalam berbagai rumusan delik tentang kejahatan
terhadap keamanan negara. Rumusan-rumusan delik tersebut
dimaksudkan untuk melindungi serangan individu maupun kelompok yang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan kehendaknya
terhadap negara, berupa makar maupun penyebaran ajaran yang
bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Sebagai hukum pidana materiel yang merupakan umbrella act dari
hukum pidana nasional, tampaknya KUHP tidak memberikan batasan
pengertian secara rinci tentang delik makar. Hanya, dalam ketentuan Pasal
87 KUHP menyebutkan, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu
perbuatan apabila ada niat, untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan seperti disebut Pasal 53 KUHP”. Atas dasar hal
itulah, sebagian akademisi berpendapat bahwa frasa ‘makar’ yang

Delik Tindak Pidana | 123

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

terdapat dalam Pasal 104 KUHP berasal dari frasa aanslag (Belanda)
ataupun attempt (Inggris), yang lazim diterjemahkan sebagai delik
percobaan.
Menurut pakar hukum pidana Noyon dan Langemeijer, bahwa aanslag
merupakan sebagian dari tindak pidana yang ingin dilakukan orang, baik
tindak pidana itu telah selesai dilakukan maupun tidak. Meskipun
disepadankan dengan frasa aanslag ataupun attempt, delik makar tidak
harus memenuhi seluruh syarat-syarat dalam delik percobaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Hal itu karena
delik makar hanya memiliki dua unsur utama, yaitu niat dan permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering) sehingga acap kali disebut percobaan
tidak lengkap.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Bagaimana definisi delik tindak pidana menurut para pakar hukum?
2. Apa saja jenis delik? Apa itu delik dalam hukum pidana? Apa saja jenis
tindak pidana? Apa unsur delik materil dengan formil?
3. Bagaimana membedakan suatu pasal pidana apakah itu masuk delik
formil atau delik materil? Misalnya dari rumusan pasal ada kata kunci
tertentu yang menjadi acuan. Kedua, seringkali pasal pidana disebut
sebagai delik aduan, sehingga penegak hukum seolah-olah pasif
sebelum adanya aduan dari seseorang atau korban. Bagaimana juga
membedakan pasal pidana mengenai delik aduan atau delik biasa?
4. Kejahatan terhadap nyawa itu termasuk pada tindak pidana apa saja?
5. Apa unsur-unsur tindak pidana pembunuhan?
6. Berikan contoh kasus pembunuhan dengan analisa secara hukum?
7. Apakah kasus penganiayaan/pemukulan yang sudah ditutup bisa
dibuka kembali?
8. Di kampung saya terjadi pengeroyokan tanpa ada saksi yang melihat.
Para pelaku meminta perdamaian, tetapi pelaku seakan-akan
mempermainkan si korban. Pihak si korban merasa tidak senang dan
berencana untuk mengadakan pengaduan ke pihak berwenang.
Apakah suatu pengeroyokan tanpa saksi dapat diproses secara hukum?
Hanya berlandaskan surat keterangan visum.

124 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

9. Jika ada seseorang yang mengalami pemukulan dengan luka biru


apakah bisa dipidana penjara atau denda? Saya pernah mendengar
dari orang tua kalau polisi tidak akan menangani kasus ringan seperti
ini. Bagaimana jika korban hanya mengalami luka biru atau memar?
Sebenarnya luka memar dan luka biru itu berbeda kan? Dan
bagaimana jika tersangka masih di bawah 18 tahun?
10. Berikan penjelasan mengenai Pencemaran nama baik melalui sosial
media?
11. Sebutkan contoh kasus dan analisa hukum mengenai Pencemaran
nama baik melalui sosial media?
12. Jelaskan badan hukum sebagai objek pencemaran nama baik?
13. Apakah setiap pelanggaran hukum pidana merupakan pelanggaran
terhadap kesusilaan?
14. Perbuatan yang merusak kesusilaan terdapat pada pasal berapa?
15. Apa saja tindak pidana kesusilaan? Apa yang dimaksud dengan delik
kesusilaan?
16. Tindak pidana apa saja yang termasuk dalam delik harta kekayaan?
17. Apa saja sumber-sumber yang diduga sebagai asal tindak pidana
pencucian uang?
18. Apakah adanya tindak pidana asal menjadi suatu keharusan dalam
tindak pidana pencucian uang? Bagaimana cara mencegah terjadinya
tindak pidana pencucian uang?
19. Makar termasuk delik apa? Pasal 170 KUHP termasuk delik apa?
20. Apakah makar termasuk tindak pidana pelanggaran hukum?
21. Apa saja kejahatan terhadap keamanan negara?

Delik Tindak Pidana | 125

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. H.A.K. Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II), Jilid I,
Alumni, Bandung, 2002
A. Fuas Usfa, dkk, Pengantar Hukum Indonesia, UMM Press. Universitas
Muhammdiyah Malang, 2014
Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
_____, Hukum Pidana Positif Penghinaan (edisi revisi), Media Nusa
Creative, Malang, 2013
______, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1. PT Radja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012
_______, Pelajaran Hukum Pidana I Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2012.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Bambang Waluyo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, PT Bulan Bintang
bintang, Jakarta, 2010
Bawengan. Gerson W, Hukum Pidana Didalam Teori dan Praktek,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2003
Chazawi. Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta, 2002
E,Y Kanter dan S.R. Sianturi dalam Amir Ilyas, Asas – asas Hukum Pidana,
Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP – Indonesia, Yogyakarta,
2014
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum,
Vol. 6 No. 11 Tahun 1999
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2002
http//www.negarahukum.com /hukum/delikpenghinaan.html. di
akses pada 21 April 2022
http://kbbi.web.id, diakses 21 April 2022
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/01/cara-merumuskan-
delik-hukum-pidana.html/diakses 21 April 2022
J.satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan
Hukum, Cita Aditya Bakti, Jakarta, 2005

126 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap kesusilaan dan Masalah


Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
_____, Tindak Pidana terhadap Penghormatan, Sinar Grafika, Jakarta,
2010
M. Sudrajat Bassar, Tindak tindak Pidana Tertentu didalam KUHP, CV.
Remaja Karya Bandung, 2015
M.Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Remadja Karta, Bandung, 2014
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2012
Moeljatno, (1): Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 2005
______ (2): K.U.H.P. (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Cetakan XX,
Bumi Aksara, Jakarta, 2008
______, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 2003
______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penerbit Bumi
Aksara, Jakarta, 2009
_____, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana dalam Hukum
pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 2016
Moljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara Jakarta, 2017
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2014
______,Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan terhadap Kepentingan
Hukum Negara, Bandung: Sinar Baru, 2007
_______(1) : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007
________(2): Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Terhadap, Harta
Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru, Bandung, 2008
_______ (3) : Hukum Penitensier Indonesia, CV Armico, Bandung, 2004
______, dan C. Djisman Samosir, (4) : Delik-Delik Khusus, kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari
Hak Milik, Tarsito, Bandung, 2009

Delik Tindak Pidana | 127

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Penghimpunan Solahuddin, Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana


dan Perdata (KUHP, KUHAP dan KUHPerdata), Visimedia, Jakarta,
2008
R Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan
Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya – Indonesia, 2001
R.Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Urainnya, Penerbit Alumni AHM-
PTHM, Jakarta, 2003
Rocky, Marbun. Kiat jitu menyelesaikan masalah. Visi Media, Jakarta, 2011
Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Penerbit
Aksara Baru, Jakarta, 2013
________. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Aksara
Baru, Jakarta, 2003.
S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya,
Jakarta , penerbit Alumni AHM- PTHM, cet 1, 2002
Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2014.
SR Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit AHM-
PTHM, Jakarta, 2003
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap
Subyek Hukum Dalam KUHP, Djambatan, Jakarta, 2003
Utrecht, Hukum Pidana I, Cetakan Fotografis, Penerbit Universitas,
Bandung, 1997
Vos, terpetik dalam Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2012
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung,
Penerbit Eresco Jakarta, 2011
_______. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Edisi 2, PT Eresco,
Bandung, 2005
Z. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Yarsif Watam Pone, Jakarta, 2010.
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

128 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 7: UNSUR-UNSUR TINDAK
PIDANA

Dr. Sherly Adam, S.H., M.H

Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 7
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

A. PENDAHULUAN
Hukum pidana salah satu bagian dari ilmu hukum yang dipelajari dan
merupakan mata kuliah pengetahuan dasar yang mempelajari 3 (tiga)
persoalan pokok dan mendasar dalam hukum pidana meliputi tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Dalam
mempelajari pokok bahasan tindak pidana meliputi sub-sub pokok
bahasan yaitu istilah tindak pidana, pengertian tindak pidana, unsur-unsur
tindak pidana maupun cara perumusan tindak pidana diharapkan dapat
menambah dan memperdalam pemahaman yang Komprehensif tentang
tindak pidana lebih khusus unsur-unsur tindak pidana.

B. RINCIAN PEMBAHASAN MATERI


Materi pembahasan tindak pidana, dengan sub pokok bahasan unsur-
unsur tindak pidana yang meliputi:
a. Unsur Subjektif
b. Unsur Objektif

Disamping itu terdapat juga Pembagian Unsur-Unsur Tindak Pidana


dibedakan dari 2 (dua) sudut Pandang:
1. dari sudut teoritis; dan
2. dari sudut undang-undang

130 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

C. RANGKUMAN MATERI
Sebelum membahas tentang unsur-unsur tindak pidana sebaiknya
terlebih dahulu diperhatikan tentang pengertian straftbaar feit yang
diterjemahkan sebagai “tindak pidana” tersebut. Straftbaar feit berasal
dari bahasa Belanda terdiri dari kata strafbaar berarti dapat dihukum, dan
kata feit berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van
de werklijkeheid”. Jadi straftbaar feit dapat dimaknai dengan “sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.Walaupun demikian
sebenarnya bukan kenyataan yang dapat dihukum tapi “manusia” selaku
pribadi yang dapat dihukum. (P. A. F. Lamintang, 1984, p,172)
Demikian pula perlu diperhatikan tentang istilah Van Bemmelen
tentang “bestandelen” untuk menyatakan bagian inti tindak pidana.
Bestandelen ini terdapat dalam lukisan delik (delicstsomchrijving),
sehingga untuk mengetahui bagain inti suatu delik harus dilihat dari
redaksi undang-undangnya. Sedangkan “elementen”, adalah unsur-unsur
yang secara diam-diam ada yang tidak diuraikan dalam rumusan tindak
pidana (unsur-unsur ini berupa kesalahan, kemampuan bertanggungjawab
dan sifat melawan hukum). (Van Bemmelen, 1984, p, 99).
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan Pasal 362 KUHP yang
rumusannya berbunyi, “Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya
atau sebagaian milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan
hukum, dipidana karena melakukan pencurian ....”. Bagian inti tindak
pidana tersebut adalah: perbuatan “mengambil”; yang diambil adalah
barang; barang tersebut adalah kepunyaan orang lain seluruhnya atau
sebagian saja; pengambilan barang tersebut dilakukan dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum. Semua bagian inti tersebut harus
dibuktikan oleh penuntut umum dalam persidangan. Sedangkan
elementen/unsur-unsur (kenmerk) adalah “kesengajaan” sebagai unsur
yang harus diterima secara diam-diam.
Selanjutnya bestandelen atau bagian dari tindak pidana yang diuraikan
di atas sering disebut dengan unsur-unsur dalam arti sempit, hal ini
berbeda dengan istilah unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas yang
merupakan unsur yang harus ada untuk menentukan bahwa suatu
rumusan merupakan “tindak pidana”.

Unsur-unsur Tindak Pidana | 131

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak


pidana, umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara
unsur (elemen) perbuatan dan unsur (elemen) kesalahan
(pertanggungjawaban pidana). Unsur perbuatan ini disebut juga unsur
objektif sedangkan unsur kesalahan disebut juga unsur subjektif.
Bambang Poernomo menyatakan bahwa pembagian secara mendasar
di dalam melihat elemen perumusan delik hanya mempunyai 2 (dua)
elemen yang terdiri dari:
1. Bagian yang objektif yang menunjuk bahwa delict/strafbaarfeit terdiri
dari suatu perbuatan (een doen of nalaten) dan akibat yang
bertentangan dengan hukum positif sebagai yang melawan hukum
(onrechmatig) yang menyebabkan diancam dengan pidana oleh
peraturan hukum, dan
2. Bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan daripada
delict/strafbaarfeit

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa elemen


delict/strafbaarfeit itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya
suatu kelakuan bertentangan dengan hukum (onrechtmatig atau
wederrechtlijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang
pembuat/dader yang mampu bertanggung jawab atau dapat
dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheit) kelakuan yang bertentangan
dengan hukum itu. (Bambang Poernomo, 1978, p, 98)
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam memasukkan suatu
rumusan tindak pidana ke dalam unsur tersebut adalah “perbuatan
manusia”. Karena dengan demikian, seseorang dapat melakukan apa yang
dilarang oleh undang-undang. Tindak pidana yang terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) biasanya dapat dijabarkan menjadi
unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subyektif adalah hal-hal yang bersifat khusus atau berkaitan dengan
pidana dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pikiran pelaku
tindak pidana. Unsur objektif adalah unsur yang berhubungan dengan
situasi, yaitu suatu keadaan yang harus dilakukan tindakan pidana.

132 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:


1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat(1) KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
dan
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:


1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan
Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur-unsur dalam tindak pidana merupakan unsur yang harus ada


untuk menentukan bahwa suatu rumusan merupakan tindak pidana.
Terdapat dua sudut pandang mengenai unsur-unsur tindak pidana,
yakni
a. Unsur tindak pidana menurut sudut pandang teoritis
b. Unsur tindak pidana menurut undang-undang

Sudut pandang teoritis merupakan sudut pandang para ahli hukum


tentang unsur-unsur tindak pidana yang tercermin pada bunyii
rumusannya. Sedangkan, sudut pandang undang-undang adalah
bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumusakan menjadi tindak
pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
ada.

Unsur-unsur Tindak Pidana | 133

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Berikut penjelasan unsur-unsur tindak pidana berdasarkan kedua


sudut pandang tersebut.
 Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis
Adami Chazawi menguraikan beberapa unsur tindak pidana menurut
para teoritis sebagai berikut: (Adami Chazawi, 2005, p,79-81):
1. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
2. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Diadakan tindakan penghukuman.
3. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana;
c. Dalam peraturan perundang undangan.
4. Menurut Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-
unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan.
5. Menurut Schravendijk, jika dirinci unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut :
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);
e. Dipersalahkan/kesalahan.

Ketika menyimpulkan dari semua pendapat ahli teori tentang unsur-


unsur tindak pidana, pada dasarnya ada kesamaan antara semua
pendapat. Artinya, persamaan mengandung elemen pembuat dan elemen
perbuatan.

134 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sudut pandang teoritis sendiri terbagi atas aliran monisme dan aliran
dualisme yang menerangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana.
- Pandangan monisme
Pandangan ini dipelopori oleh Simons, Van Hammel, Mezger, Van
Bemellen, Wirjono Projodikoro. Yang merumuskan unsur-unsur delik
sebagai berikut :
1. Mencocoki rumusan delik.
2. Bersifat melawan hukum.
3. Ada kesalahan yang terdiri dari dolus dan culpa dan tidak ada alasan
pemaaf.
4. Dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian apabila salah satu unsur diatas tidak terpenuhi maka
seseorang tidak dapat dipidana.
Aliran monisme adalah aliran yang menggabungkan unsur objektif
(per-buatan pidana) dan unsur subjektif (pertanggungjawaban pidana)
menjadi satu bagian yang utuh. Semua unsur delik tersebut diatas harus
terpenuhi jika akan memidana seorang pelaku. Pandangan monisme
memiliki akar historis yang berasal dari ajaran finale handlingslehre yang
dipopulerkan oleh Hans Welsel pada tahun 1931 yang mana inti ajaran ini
bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari
perbuatan.
Simons menentukan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Selanjutnya unsur-unsur ini oleh Simon dibagi dua, yaitu: unsur obyektif
dan unsur subyektif. Unsur obyektif meliputi perbuatan orang, akibat yang
terlihat dari perbuatannya, mungkin adanya keadaan tertentu yang
menyertai. Kemudian unsure subyektifnya adalah orang yang mampu
bertanggung jawab dan kesalahan (kesangajaan atau kealpaan).
Van Bemmelen juga dikatagorikan sebagai penganut aliran monistis
karena dicampurkannya hal dapat dipidananya perbuatan dan
pembuatnya. Menurut Bemmelen seseorang yang melakukan tindak
pidana sekaligus melakukan seseuatu yang dapat disebut melawan hukum.

Unsur-unsur Tindak Pidana | 135

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Wirjono Prodjodikoro dapat digolongkan sebagai bagian dari aliran


monistis. Hal ini dapat dilihat dari pendapatnya tentang tindak pidana,
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana”. (Wirjono Prodjodikoro, Wirjono. 1981, p, 51)

- Pandangan dualisme
Pandangan ini dipelopori oleh Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh.
Unsur-unsur delik menurut pandangan ini terbagi atas unsur subjektif dan
unsur objektif.
1. Unsur-unsur subjektif (pembuat). Yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan
b. Ada kesalahan, sedangkan
2. Unsur-unsur objektif (perbuatan), Yaitu
a. Mencocoki rumusan delik
b. Bersifat melawan hukum

Aliran Dualisme yaitu aliran yang memisahkan antara unsur-unsur


tindak pidana yaitu unsur objektif (unsur perbuatan) dan unsur subjektif
(unsur pertanggungjawaban pidana). Menurut aliran ini unsur objektif
hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu,
perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu
perbuatan dijatuhi pidana. Sedangkan unsur sub-jektif hanya dapat
dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada
pembuat. Karenanya pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat
setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Ini dengan mudah
dapat diterapkan terhadap kasus yang memperalat orang gila atau anak di
bawah umur untuk melakukan kejahatan sebab jika tidak maka pelaku
intelektual tidak dapat dijangkau dalam hukum pidana.
Aliran dualisme ini memisahkan unsur perbuatan pidana yaitu unsur
objektif (unsur perbuatan) dan unsur subjektif (unsur
pertanggungjawaban pidana). Menurut kecenderungan ini, unsur-unsur
objektif hanya dapat dimasukkan dalam tindak pidana. Berdasarkan hal
tersebut maka perbuatan tersebut tidak dipidana, sehingga tindak pidana
hanya dapat dilarang. Namun, faktor subjektif hanya dapat dimasukkan

136 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dalam pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada pembuat. Oleh


karena itu, pembuat hanya akan dipidana jika terbukti melakukan tindak
pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukan. Ini dapat dengan mudah ditransfer ketika digunakan oleh orang
yang sakit jiwa atau anak di bawah umur untuk melakukan kejahatan. Jika
tidak, Anda tidak akan dapat menghubungi pelaku mental di bawah
hukum pidana.
Mulyatno mengatakan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus
ada unsur-unsur: kelakuan dan akibat, hal ikhwal atau keadaan yang
menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
unsur melawan hukum obyektif dan subyektif. Dapat dikatakan bahwa
secara singkat, bahwa unsur-unsur perbuatan pidana tersebut meliputi,
perbuatan manusia, memenuhi rumusan dalam undang-undang, bersifat
melawan hukum. Selanjutnya kesalahan dan kemampuan
bertanggungjawab tidak termasuk unsur perbuatan pidana, tetapi melekat
pada orangnya. Namun demikian orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan kalau tidak melakukan perbuatan pidana.
Walaupun demikian harus pula diingat bahwa adanya perbuatan pidana
belum cukup untuk mempidana seseorang ( Muljatno, 1980, p, 153).
Pendapat Muljatno ini mengikuti pendapat dari Herman Kontorowic
yang mengkritik para penganut paham monistis karena
mencampuradukkan unsur Handlung dan Schuld. Menurutnya kesalahan
seseorang bukanlah sifat perbuatannya, tetapi sifat orang yang melakukan
perbuatan tersebut. Handlung adalah perbuatan yang dilarang atau
perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, sedangkan kesalahan yang
merupakan bagian dari pertanggungjawaban menyangkut dapat
dipidananya pelaku perbuatan tersebut. Selanjutnya dikatakan Strafbaar
Handlung mensyaratkan suatu tat (perbuatannya), Tatbestandmazigkeit
(hal mencocoki rumusan undang-undang), dan tidak adanya alasan
pembenar. Sementara itu Handelde (pembuat) mensyaratkan adanya
schuld dan tidak adanya alasan pemaaf. Jadi Strafbaar Handlung
(perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang dirangkum dalam
rumusan undang-undang dan tidak adanya alasan pembenarsehingga
dalam pengertian perbuatan pidana tidak lagi dimasukkan sikap
pembuatnya. (Andi Zaenal Abidin, 2007, p 55-58).

Unsur-unsur Tindak Pidana | 137

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Roeslan Saleh mengatakan pokok pikiran perbuatan pidana diletakkan


semata-mata pada perbuatannya. Selanjutnya dikatakan pula pokok
pikiran perbuatan pidana adalah “perbuatan”, tidak mungkin pengertian
ini juga meliputi sifat-sifat dari orang yang melakukan perbuatan.
Peraturan-peraturan yang melarang perbuatan tertentu itulah yang
disebut perbuatan pidana. Demikian pula dikatakan bahwa dalam
peraturan tersebut ditentukan pula tentang akibat dilanggarnya
perbuatan tersebut yaitu diancamnya orang yang melakukan perbuatan
tersebut dengan pidana.88 Jadi menurut Roeslan Saleh yang dilarang
adalah perbuatannya, sementara yang diancam dengan pidana adalah
orang yang melakukan perbuatan tersebut.

 Sudut Pandang Unsur Tindak Pidana Menurut Undang-Undang


Dalam KUUHP termuat rumusan-rumusan tentang tindak pidana yang
kemudian dikelompokkan menjadi kejahatan (buku II KUUHP), dan
pelanggaran (Buku III KUUHP). Dalam rumusan-rumusan tindak pidana
dalam KUUHP dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
- Unsur tingkah laku.
- Unsur melawan hukum.
- Unsur kesalahan.
- Unsur akibat konstitutif.
- Unsur keadaan yang menyertai.
- Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di tuntut pidana.
- Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.
- Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
- Unsur objek hukum tindak pidana.
- Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana, dan
- Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dalam rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat


diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu; (Adami Chazawi, 2005, p
82).
a. Unsur tingkah laku;
Mengenai larangan perbuatan

138 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

b. Unsur melawan hukum;


Suatu sifat tercelanya dan terlarangannya dari satu perbuatan, yang
bersumber dari undang-undang dan dapat juga bersumber dari
masyarakat;
c. Unsur kesalahan;
Mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada
saat memulai perbuatan;
d. Unsur akibat konstitutif;
Unsur ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel delicten) atau
tindak pidana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak
pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat
pidana, dan tindak pidana dimana akibat merupakan syarat
terpidananya pembuat;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
Unsur tindak pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku
dalam mana perbuatan dilakukan
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak
pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika ada pengaduan dari
yang berhak mengadu;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
Unsur ini berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur
syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana
sebagaimana pada tindak pidana materiil
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
Unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan, yang
menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
Tindak pidana ini selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
Unsur kepada siapa rumusan tindak pidana itu ditujukan tersebut,
contoh; ‘barangsiapa’ (bij die) atau ‘setiap orang.

Unsur-unsur Tindak Pidana | 139

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.


Unsur ini berupa unsur pokok yang membentuk tindak pidana, sama
dengan unsur syarat tambahan lainnya, seperti unsur syarat tambahan
untuk memperberat pidana.

Dari 11 (sebelas) unsur di atas, dua merupakan unsur subjektif suatu


tindak pidana yaitu unsur kesalahan dan unsur melawan hukum,
sedangkan sembilan lainnya merupakan unsur objektif. Unsur objektif
adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin orang atau
pembuatnya, yaitu semua unsur mengenai perbuatannya, akibat dari
perbuatan dan keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan
dan obyek kejahatan. Sedangkan unsur subjektif adalah semua unsur yang
dapat mempengaruhi pikiran atau berhubungan dengan keadaan batin
seseorang. Semua unsur di atas dibagi menjadi unsur pembuat dan unsur
tindakan. Sehingga unsur tindak pidana menurut teoritis dan menurut
undang-undang masih memiliki beberapa kesamaan.
Dalam penjabaran delik tersebut akan diketahui bahwa telah
dilakukan suatu perbuatan atau perbuatan manusia, dengan perbuatan
tersebut seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum.
KUHP mencakup berbagai tindak pidana yang masing-masing dapat dirinci
menjadi unsur subjektif dan unsur objektif.
Menurut R. Abdoel Djamali, peristiwa pidana yang juga disebut tindak
pidana atau delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa-peristiwa hukum dapat
dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur
pidananya. Unsur-unsur tindak pidana tesebut terdiri dari:
a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan
hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan
ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif
disini adalah tindakannya.
b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki
oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku
(seseorang atau beberapa orang) (R. Abdoel Djamali, 2010, p, 175).

140 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Menurut A.Fuad Usfa, dalam bukunya “Pengantar Hukum Pidana”


mengemukakan bahwa:
a. Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan Culpa);
2. Maksud pada suatu perobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1) KUHP);
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya terdapat
dalam tindak pidana pencurian;
4. Merencakan terlebih dahulu, seperti misalnya yangterdapat dalam
Pasal 340 KUHP.
b. Unsur Objektif
Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:
1. Perbuatan manusia, berupa:
a. Act, yakni perbuatan aktif atau positif;
b. Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatannegatif yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2. Akibat (Result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang diperintahkan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan dan sebagainya.
3. Keadaan-keadaan (Circumstances)
Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain:
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan ;
c. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan perilaku dari hukum (Lamintang, 1997, p, 193).

Pokok perbedaannya antara aliran monistis dengan dualistis adalah


pada terpisah/tidaknya unsur kesalahan (pertanggungjawaban pidana)
dengan unsur-unsur yang lain.
Bagi aliran monistis unsur:
1. Unsur tingkah laku,
2. Bersifat melawan hukum, dan

Unsur-unsur Tindak Pidana | 141

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

3. Kesalahan
Merupakan unsur yang mutlak harus ada dan melekat dalam tindak
pidana.

Sedangkan untuk pandangan dualistis yang dipandang sebagai unsur


mutlak dalam tindak pidana adalah:
1. Tingkah laku manusia dan
2. Sifat melawan hukum
Sementara itu unsur kesalahan melekat pada orangnya.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Sebutkan unsur-unsur tindak pidana
2. Jelaskan unsur-unsur subjektif dan unsur objektif
3. Terdapat dua sudut pandang mengenai unsur-unsur tindak pidana,
yakni: Unsur tindak pidana menurut sudut pandang teoritis dan unsur
tindak pidana menurut undang-undang. Jelaskan kedua sudut
pandang mengenai unsure-unsur tindak pidana tersebut.
4. Dalam KUHP termuat rumusan-rumusan tentang tindak pidana yang
kemudian dikelompokkan menjadi kejahatan (buku II KUUHP), dan
pelanggaran (Buku III KUHP). Sebutkan rumusan-rumusan tindak
pidana dalam KUHP tersebut.
5. Jelaskan Pokok perbedaannya antara aliran monistis dengan dualistis
adalah pada terpisah/tidaknya unsur kesalahan (pertanggungjawaban
pidana) dengan unsur-unsur yang lain.

142 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2005, Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo


Persada. Jakarta
Andi Zaenal Abidin, 1987, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama,
Alumni, Bandung
Andi Zaenal Abidin, 2007, Hukum Pidana Bagian Pertama. Jakarta: Sinar
Grafika, Jakarta
Bambang Poernomo, 1978, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakarta
Muljatno, 1980, Asas-Asas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Press,
Yogjakarta
P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung
--------, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung,
R. Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Rajawali
Pers, Jakarta
Van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian
umum), Terjemahan Hasnan, Binacipta, Bandung
Wirjono Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas hukum Pidana di Indonesia,
Bandung: P.T. Eresco, 1981

Unsur-unsur Tindak Pidana | 143

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

144 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 8: ACARA PERSIDANGAN
TINDAK PIDANA

Christina Bagenda, S.H., M.H., C.P.C.L.E., C.Mt., C.Ps

Fakultas Hukum Universitas Flores

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 8
ACARA PERSIDANGAN TINDAK PIDANA

A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tersebut diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, penegasan isi konstitusi ini bermakna bahwa segala aspek
kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum. Hubungan manusia dengan manusia juga diatur
oleh hukum, setiap orang yang melakukan tindak pidana akan
dihukumsesuai aturan hukum pidana. Dalam pelaksanaannya sebelum
dijatuhi hukuman atau vonis orang yang diduga melakukan tindak pidana
akan diadili di pengadilan. Dalam proses persidangan didasarkan pada
asas-asas hukum yang berlaku seperti: “pemeriksaan dilakukan secara
langsung dan lisan, terdakwa wajib hadir pada saat persidangan dan
sebagainya (Rasyid Ariman, 2007:7).
Tahap-tahap dan tata cara persidangan perkara pidana di pengadilan
neeri secara umum di atur dalam KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Sistem peradilan pidana selalu terjadi
interaksi dengan lingkungannya, hal ini terjadi karena SPP adalah bagian
dari lingkungan di mana SPP itu berada. Interaksi ini ditandai dengan
bekerjanya SPP dalam menyelesaikan setiap tindak pidana yang terjadi di
masyarakat. Dalam mengungkap suatu tindak pidana SPP mengharuskan
memasuki wilayah-wilayah yang diduga terjadinya kejahatan untuk
melakukan penyidikan atau penyidikan untuk menjadikan suatu tindak
pidana menjadi jelas dan terang. Interaksi ini terus berlangsung sepanjang
tindak pidana masih terjadi di masyarakat (Rusli Muhamad, 2011:1).
Interdependensi sebagai bentuk interface lainnya adalah
menunjukkan bahwa SPP dalam menjalankan aktifitas tergantung kepada
apa yang terjadi di dalam lingkungannya, termasuk dalam keberhasilan
mencapai tujuannya. SPP sangat mengharapkan dan membutuhkan

146 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

informasi dan sarana prasarana dari masyarakatnya, tanpa dukungan ini


SPP akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya itu. Demikian
sebaliknya, masyarakat dan lingkungannya membutuhkan dan sangat
tergantung pada SPP dalam upaya mengendalikan tingkat kejahatan
sehingga keamanan, ketertibab dan kesejahteraan dapat terwujud (Rusli
Muhamad, 2011:2).
Karakteristik sistem peradilan pidana demikian tidak dapat dihindari,
sebagai konsekwensinya karakteristik keebukaan dan hakikat sifat sistem
peradilan pidana sebai open sistem. La Parta mengambarkan interface
sebagai berikut (Muladi, 1995:2): Peringkat (level) 1: society; Peringkat
(level) 2: economics, technology, education, dan politics; peringkat (level) 3:
subsystems of criminal justice system.
Selain itu, sistem peradilan pidana memiliki tujuan yang khas yang
mencerminkan karakteristik dari SPP itu sendiri. Tujuan SPP meliputi
tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan
jangka pendek lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana dan mereka
yang potensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku sadar akan
pebuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi, demikian pula
orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan semakin
berkurang. Selanjutnya sistem peradilan pidana memiliki karakter
keterbukaan yang mengandung arti bahwa sistem peradilan pidana
membuka diri terhadap perkembangan yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat, baik behuibungan denan pekembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang berkaitan dengan ide-ide atau ajran-ajaran dasar atau
teori-teori hukum termasuk pula perkembangan di bidang-bidang lainnya
(Rusli Muhamad, 2011:4-5).
Karakteristik transformasi nilai yang melekat pada sistem peradilan
pidana adalah nilai-nilai yang telah disepakati dan tercermin dalam
rumusan sila-sila dalam Pancasila. Jika kita bersandar pada nilai-nilai
Pancasila maka berbagai nilai yang harus mendapat perhatian sistem
peradilan pidana, nilai-nilai tersebut adalah nilai Ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai keadilan, nilai kebenaran kepatutan dan kejujuran,
semua ini adalah nilai-nilai universal yang harus mendapat perhatian bagi
seluruh komponen sistem peradilan pidana (Rusli Muhamad, 2011:7).

Acara Persidangan Tindak Pidana | 147

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Bentuk karakteristik terakhir dari sistem peradilan pidana adalah


berupa mekanisme kontrol. Karakteristik ini menunjukkan bahwa sistem
peradilan pidana adalah menjalankan pengawasan sebagai respon
terhadap penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana adalah
menjadi perangkat hukum yang dapat digunakan dalam menanggulangi
berbagai bentuk kriminilitas sebagai bagian dari upaya perlindungan
masyarakat. Karakteristik ini dapat terlihat dan melekat antara lain pada
fungsi sistem peradilan pidana itu sendiri. Adapun fungsi sistem peradilan
pidana adalah (Rusli Muhamad, 2011:9-10):
1. Fungsi preventif yaitu SPP dijadikan sebagai lembaga pengawasab
sosial dalam upaya mencegah terjadinya suatu tindak pidana. Fungsi
ini dapat diwujudkan dalam bekerjanya SPP dan upaya-upaya lainnya
yang mendukung upaya pencegahan tindak pidana;
2. Fungsi represif yaitu SPP dijadikan sebagai lembaga penindakan untuk
menyelenggarakan suatu peradilan terhadap pelaku tindak pidana
dengan menggunakan sarana hukum pidana, hukum acara pidana, dan
hukum pelaksanaan pidana

B. SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA


Sistem menurut Prof. Soebekti adalah suatu susunan atau tatanan
yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas baian yang bekaitan satu
sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu
pemikiran untuk mencapai tujuan. Dalam suatu sistem yang baik tidak
boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara baian-bagian
tersebut, dan juga tidak boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih
(overlapping) diantara baian-bagian itu (Soebekti, 1979:349).
Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya
merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana
dalam gerakannya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi,
dan interpendensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat,
masyarakat ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi, serta subsistem-
subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal
justice system) (Muladi, 1995).

148 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang


terdapat di dalam ataupun di luar Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dapat dijelaskan bahwa sistem peradilan pidana di
Indonesia mempunyai perangkat struktur atau sub sistem kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan serta Advokat atau
penasehat hukum sebagai quasi sub sistem. Masing-masing sub sistem ini
akan diuraikan sebagai berikut:
1. Sub Sistem Kepolisian
Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendapatkan
perhatian adalah tugas dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai
penegak hukum, polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana,
sebagai salah satu sub sistem. Dalam sistem peradilan pidana, polisi
merupakan pintu gerbang bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala
sesuatu dimulai. Posisi awal ini menempatkan polisi pada posisi yang tidak
menguntungkan. Sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan
dan bila perlu penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang
kuat bahwa orang tersebut pelaku tindak pidana Satjipto Rahardjo
menyebut tugas kepolisian sebagai multi fungsi, yaitu tidak sebagai polisi
saja tetapi juga sebagai jaksa dan hakim sekaligus (Satjipto Rahardjo,
1993). Sebagai penegak hukum, tugas kepolisian telah dicantumkan dalam
KUHAP. Dalam KUHAP, wewenang kepolisian baik sebagai penyelidik
maupun sebagai penyidik telah dicantumkan secara terperinci dalam Pasal
5 dan setrusnya yang secara garis besar dapat disebutkan sebagai berikut:
a). Di bidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik
tindak pidana umum; b). Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan
penyidikan tambahan; c). Kepolisian berperan sebagai koordinator dan
pengawas penyidik pegawai negeri sipil.

2. Sub Sistem Kejaksaan


Lembaga kejaksaan sebagai lembaga yang bertugas melakukan
penuntutan terhadap suatu tindak pidana. Dalam peraturan perundang-
undangan tentang organisasi peradilan dan kebijaksanaan justisi atau
Reglement op de Rechtterlijke Organisatie en het beleid der justitie (R.O),
kejaksaan dikenal dengan sebutan Openbaar Ministerie (O.M), yang
bertugas sebagai lembaga penuntut dan pelaksana dari putusan

Acara Persidangan Tindak Pidana | 149

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pengadilan pidana dari semua tingkat pengadilan. Di dalam UU No. 16


Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 dijelaskan bahwa kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Kekuasaan tersebut dilaksanakan secara merdeka, artinya dalam
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut, jaksa senantiasa
bertindak berdasarkan hukum, artinya selalu berpedoman pada asas
legalitas. Akan tetapi juga wajib mempehatikan norma-norma agama,
kesopanan, dan kesusilaan serta menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, dan juga menjaga
kehormatan dan martabat profesinya.

3. Sub Sistem Pengadilan


Lembaga Pengadilan adalah pelaksanaan atau penerapan hukum
terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang bersifat melihat,
putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembahasan maupun
pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga
pengadilan sangat penting, dikarenakan pada hakikatnya pengadilan
merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan
barometer daripada kemampuan bangsa melaksanakan norma-norma
hukum dalam negara, sehingga tanpa pandang bulu siapa yang melanggar
hukum akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya,
dan semua kewajiban yang berdasarkan hukum akan terpenuhi (Djoko
Prakoso, 1987). Berbicara tentang lembaga peradilan pasti berbicara
tentang hakim. Landasan hukum wewenang hakim antara lain dapat
dilihat dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tenatng Hukum Acara Pidana (KUHAP),
serta UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Wewenang hakim yang utamanya adalah mengadili yang
meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus pekara
pidana. Dalam hal ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP yang dilandasi
asas kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak.

150 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

4. Sub Sistem Pemasyarakatan


Pemasyarakatan adalah sub sistem terakhir dalam sistem peradilan
pidana. Sebagai sebuah sub sistem paling akhir, terdapat tujuan dan
harapan dari sistem peradilan pidana terpadu. Harapan dan tujuan dari
sub sistem ini, berupa aspek pembinaan dari penghuni Lemabga
Pemasyarakatan (LAPAS) yang disebut narapidana. Tata cara
pelaksanaannya pembinaan telah diatur dengan UU No. 12 Tahun 1995
Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Untuk itulah dibentuk sistem
pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem
peradilan pidana, dan juga merupakan rangkaian penegakan hukum,
bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.

5. Advokat sebagai Quasi Sub Sistem


Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat, menjadi landasan hukum penting bai profesi advokat sebagai
salah satu pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)
UU No. 18 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa advokat berstatus
penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No.
18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud dengan
advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah advokat sebagai salah
satu perangkjat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan
setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan. Dalam ketentuan perundang-undangan dan praktik dalam
peradilan, dapat dijelaskan bahwa advokat memiliki berbagai kedudukan
dalam sistem peradilan, yaitu: a). Sebagai Penasehat Hukum; b). Sebagai
Pembela (Pleite atau Pleader); c). Sebagai Penegak Hukum. Selain itu,

Acara Persidangan Tindak Pidana | 151

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kedudukan advokat sebagai penegak hukum dapat dikatakan demikian


karena kewajibannya yaitu menegakkan hukum juga karena adanya surat
keputusan Mahkamah Agung Nomor 1291/5/1970 yang menetapkan
kedudukan advokat adalah sejajar dengan alat negara penegak hukum
lainnya.

C. PELIMPAHAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA


PIDANA PADA PRAKTIK PERADILAN
Pada hakekatnya dalam praktik peradilan pidana dikenal adanya tiga
jenis pelimpahan perkara pidana ke pengadilan negeri yang diatur oleh
kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1. Acara Pemeriksaan Biasa
Ini diatur dalam Bab XVI Bagian Ketiga dan Keempat Pasal 152 sampai
dengan Pasal 202 KUHAP. Dengan melalui penafsiran argumentum a
contrario dari ketentuan Pasal 203 ayat (1) KUHAP dapatlah disebutkan
bahwa pelimpahan perkara denan acara biasa dilakukan apabila menurut
penuntut umum perkara tersebut pembuktian serta penerapan hukumnya
sulit dan sifatnya tidak sederhana. Dalam praktik peradilan apabila jaksa
melakukan pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan biasa lasimnya
menggunakan sarana administrasi sebagaimana ditentukan oleh
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-518/A/J-
A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 Tentang Administrasi Pekara Tindak
Pidana yang berisikan tentang aspek-aspek: (a). Surat pelimpahan perkara
acara pemeriksaan biasa (P-31); (b). Tanda terima surat pelimpahan
perkara acara pemeriksaan biasa (P-33) (Lilik Mulyadi, 2007: 29-31).

2. Acara Pemeriksaan Singkat


Ini diatur dalam Bab XVI Baian Kelima Pasal 203 dan Pasal 204 KUHAP.
Sedangkan yang menjadi ciri dasar dari pengertian acara pemeriksaan
singkat adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan menuntut penuntut umum pembuktian,
penerapan hukumnya mudah serta sifatnya sederhana (Pasal 203 ayat (1)
KUHAP). Dalam praktik peradilan apabila jaksa melakukan pelimpahan
perkara dengan acara pemeriksaan singkat dengan titik tolak Keputusan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-518/A/JA/11/2001 tanggal 1

152 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

November 2001 tanggal 31 Desember 1992 dipergunakan sarana


administrasi sebagai berikut: (a). Surat pelimpahan perkara secara
pemeriksaan singkat (P-32); (b). Tanda terima surat pelimpahan perkara
acara pemeriksaan singkat (P-33) (Lilik Mulyadi, 2007: 41-43).

3. Acara Pemeriksaan Cepat


Pelimpahan acara pemeriksaan cepat dilakukan oleh Penyidik atas
kuasa penuntut umum (Pasal 205 ayat (2) KUHAP) diatur dalam Bab XVI
baian Keenam Pasal 205 sampai dengan Pasal 216 KUHAP). Acara
pemeriksaan disini dibai menjadi dua jenis, yaitu: (a). Acara pemeriksaan
tindak pidana ringan (tipiring), diatur dalam Bab XVI Baian Keenam
Paragraf 1 Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP; (b). Acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan diatur dalam Paragraf 2
Pasal 211 sampai dengan Pasal 216 KUHAP (Lilik Mulyadi, 2007: 44-45).

D. PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA PENGADILAN


Pola penyelesain perkara pidana di Pengadilan negeri adalah melalui
tiga tahap, yaitu: Tahap Penerimaan berkas perkara, Kedua Tahap
Persiapan dan Ketiga Tahap Persidangan.
1. Tahap penerimaan berkas perkara pidana
Tahap ini dilakukan di 2 meja. Pada meja pertama dilayani oleh Kepala
Sub Kepaniteraan Pidana. Hal-hal yang dilayani di Meja pertama ini adalah
sebagai berikut: (a). Menerima berkas perkara pidana dan petugas yang
berwenang lengkap dengan surat tuduhan; (b). Mendaftarkan perkara
pidana dalam buku register perkara pidana biasa, singkat, cepat,
permohonan pemeriksaan praperadilan 10 perkara ganti kerugian 20; (c).
Memberi nomor registe dan mengirimkan kepada panitera perkara; (d).
Menerima barang-barang bukti dan dicatat seteliti mungkin dalam buku
register barang bukti. Sedangkan Meja kedua langsung dibawah
pengamatan panitera perkara dengan memberi pelayanan sebagai berikut:
(a). Menyerahkan petikan ataupun salinan putusan PN/PT/MA kepada
yang berkepentingan; (b). Menerima permintaan banding atau kasasi; (c).
Menerima memori/kontra banding atau kasasi; (d). Menerima
permohonan grasi dan penangguhan pelaksanaan putusa PN/PT/MA,

Acara Persidangan Tindak Pidana | 153

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap (Rusli Muhamad, 2011: 127-128).

2. Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini yaitu: (a).
Panitera perkara sebelum meneruskan bekas pekara yang baru
diterimanya itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, telebih dahulu
mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana; (2). Selambat-
lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima
panitera perkara, berkas-berkas perkara pidana itu harus sudah diterima
oleh Ketua Pengadilan Negeri; (c). Setelah itu ketua PN mencatat dalam
buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran
secara garis besarnya mengenai duduk pekaranya (pekara pidana dapat
diserahkan kepada wakil Ketua PN untuk dipelajari); (d). Selambat-
lambatnya 7 hari seterimanya perkara tersebut, Ketua/Wakil Ketua PN
harus sudah menunjuk Majelis Hakim yang seterusnya akan
menyelesaikannya, dengan surat penetapan yang dicatat dalam buku
tersebut; (e). Bersamaan dengan penunjukkan Majelis Hakim, berkas
perkara diberikan kepada Ketua Hakim yang bersangkutan melalui
panitera pekara; (f). Pada masing-masing majelis hakim diperbantukan
untuk suatu waktu tertentu seorang panitera pengganti yang selama
periode tadi akan mendampingi Majelis yang besangkutan dalam
mencatat dan menangani segala hal yang perlu dalam rangka pemeriksaan
perkara dari mulai sampai akhir; (g). Sebelum menyidangkan suatu
perkara-perkara pidana ketua majelis terlebih dahulu harus menentukan
arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari
berkas perkara yang bersangkutan; (h). Sebelum persidangan dimulai
jurusita pengganti harus mengecek dahulu apakah Terdakwa, Saksi dan
Penuntut Umum, sudah datang dan lengkap berada di sidang pengadilan
Negeri; (i). Apakah sudah lengkap, maka hal ini dilaporkan pada panitera
pengganti yang bersangkutan, yang pada gilirannya melaporkannya pada
Ketua Majelis yang akan memeriksa perkaranya; (j). Setelah itu Ketua
Majelis memerintahkan agar persidangan dimulai; sebagai tambahan dari
hal tersebut diatas adalah Majelis Hakim paling lambat 14 hari setelah

154 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

menerima berkas perkara harustelah menetapkan hari sidang, jika perkara


itu adlah perkara biasa (Rusli Muhamad, 2011: 128-130).

3. Tahap penyelesaian perkara/Tahap Persidangan


Tahap penyelesaian perkara disidang pengadilan dapat dilakukan
denan menggunakan tiga acara pemeriksaan perkara, yaitu acara
pemeriksaan biasa, singkat dan cepat. Pembaian dalam tiga acara ini
sebenarnya merupakan perwujudan untuk menjabarkan asas peradilan
cepat, sederhana dan biaya ringan. Disamping itu didasarkan pula atas
berat ringannya berikut:kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.

E. ALUR PERADILAN PIDANA


Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa
tahapan, suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu
peristiwa hukum, tetapi untuk menentukan apakah peristiwa hukum itu
merupakan suatu tindak pidana atau bukan haruslah diadakan suatu
penyelidikan. Alur untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana adalah
melalui;
1. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana (delik)
aduan yang merugikan (Pasal 1 angka 25 KUHAP);
2. Laporan, yaitu pemeberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana (Pasal 1 angka 24 KUHAP);
3. Terangkap tangan, yaitu tetangkapnya seseorang pada waktu sedang
melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian padanya ditemukan
benda yang disuga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut.

Acara Persidangan Tindak Pidana | 155

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian


tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana untuk menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.
Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan menurut
Pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidik memiliki kewajiban dan
kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenanan antara
lain sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang buktu;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: (a).
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan; (b). Pemeriksaan dan penyitaan surat; (c). Mengambil
sidik jari dan memotret orang; (d). Membawa dan menghadapakan
seseorang kepada penyidik;
6. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan sebagaimana tersebut diatas.

Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa


suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan
dengan Tahap Penyidikan. Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP yang dimaksud
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang diatur dalam undang-undang ini yang mana
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menentukan tersangkanya.
Pihak yang berwenang melakukan penyidikan menurut Pasal 6 KUHAP
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai berikut:

156 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana;


2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3. Menyuruh behenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang dipelukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
11. Dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
yang berlaku;
12. Bembuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan;
13. Penyidik menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum;
14. Penyerahan berkas perkara dilakukan: (a). Pada tahap pertama
penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; (b). Dalam hal
penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
15. Berita acara dibuat untuk setiap tindakan mengenai: (a). Pemeriksaan
tersangka; (b). Penangkapan; (c). Penahanan; (d). Penggeledahan; (e).
Pemasukan rumah; (f). Penyitaan benda; (g). Pemeriksaan surat; (h).
Pemeriksaan saksi; (i). Pemeriksaan ditempat kejadian; (j).
Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; (k). Pelaksanaan
tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang;
16. Melakukan penyidikan tambahan, jika penuntut umum
mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan
petunjuk dari penuntut umum;
17. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik dapat
mengadakan pengguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang
jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;

Acara Persidangan Tindak Pidana | 157

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

18. Karena jabatannya hakim sewaktu-waktu dapat mencabut


penagguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat yang sudah ditentukan;
19. Melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari
penuntut umum, jika penuntut umum mengembalikan hasil
penyidikan untuk dilengkapi;
20. Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum
dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi
oleh penasehat hukum.

Waktu melakukan penyelidikan dan penyidikan, para aparat penegak


hukum melakukan suatu upaya paksa, yaitu serangkain tindakan untuk
kepentingan penyidikan, yakni:
1. Penangkapan, menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa penangkapan sementara waktu
kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang;
2. Penahanan, menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang;
3. Penyitaan, menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud dan/atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan;
4. Penggeledahan rumah, menurut Pasal 1 angka 17 KUHAP,
penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki
rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang;

158 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

5. Penggeledahan badan, menurut Pasal 1 angka 18 KUHAP,


penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk
disita.

Kemudian para penyidik menuangkan hasil penyidikan tersebut


kedalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan BAP ini kemudian
diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk dipelajari dan
diperiksa kelengkapannya sebagai dasar untuk membuat surat dakwaan.
Menurut Pasal 38 KUHAP, penuntut umum mengembalikan BAP tersebut
kepada penyidik apabila penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut
belum lengkap. Pengembalian tersebut disertai petunjuk tentang hal yang
harus dilakukan untuk dilengkapi oleh penyidik dalam waktu 14 hari
setelah penerimaan berkas perkara. Apabila penuntut umum menilai
bahwa berkas perkara tersebut telah lengkap, maka penuntut umum
kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke Tahap
Penuntutan.
Pasal 1 angka 7 KUHAP menyatakan bahwa penuntutan adalah
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam
hal dan cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan, dalam KUHAP, diatur
mengenai wewenang penuntut umum dalam hal:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
denan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang keentuan
dari dan waktu pekara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik

Acara Persidangan Tindak Pidana | 159

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang


yang telah ditentukan;
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
10. Melaksanakan penetapan hakim;
11. Atas pertimbangan terdakwa, penuntut umum dapat mengadakan
penagguhan penahanan denan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang, berdsarkan syarat yang ditentukan;
12. Karena jabatannya hakim sewaktu-waktu dapat mencabut
penagguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat yang sdudah ditentukan.

Setelah penuntutan dilanjutkan ke Tahap Pemeriksaan di Sidang


Pengadilan, tahap ini dimulai dengan pembukaan sidang pengadilan,
dimana hakim memanggil terdakwa dan memeriksa identitas terdakwa
dengan cermat.
Adapun proses jalannya persidangan dalam hukum acara pidana
secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
1. Sidang ke- 1 Pembacaan Surat Dakwaan;
2. Sidang ke- 2 Eksepsi (kalau ada);
3. Sidang ke-3 Tanggapan Penuntut Umum atas Eksepsi (bila dalam
bentuk tetulis);
4. Sidang ke-4 Putusan Sela;
5. Sidang ke-5 Pembuktian (Pemeriksaan alat bukti dari Penuntut Umum)
6. Sidang ke-6 Pembuktian (Pemeriksaan saksi atau alat bukti dari
penasehat hukum);
7. Sidang ke-8 Pembacaan Pembelaan (Pledoi);
8. Sidang ke-9 Pembacaan Tanggapan Atas Pembelaan (Replik)
9. Sidang ke-10 Pembacaan Jawaban atas Tanggapan Pembelaan (Duplik)
10. Sidang ke-11 Pembacaan Putusan Akhir oleh Majelis Hakim

160 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

F. RANGKUMAN MATERI
Sistem Peradilan Pidana adalah jaringan peradilan yang bekerja sama
secara tepadu diantara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tetentu
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebaai sebuah sistem, Sistem
Peradilan Pidana tidak bebeda dengan sistem lainnya akan teapi
mempunyai ciri yang dapat membedakan denan sistem lainnya. Ciri-ciri
dari Sistem Peradilan Pidana adalah: (1). Interface (sitem peradilan pidana
selalu saling berhadapan denan lingkungannya); (2). Tujuan, ini meliputu
tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; (3).
Keebukaan, sistem peradilan pidana memiliki karakter keerbukaan yang
mengandung arti bahwa sistem peradilan pidana membuka diri tehadap
perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat; (4).
Transformasi nilai, menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana dalam
kerjanya harus menyertakan dan memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap
tindakan dan kebijakan yang dilakukan; (5). Mekanisme kontrol, bentuk
terakhir ini adalah bahwa sistem peradilan pidana menjalankan
pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana didalamnya tekandung gerak sistematik dari
subsistem pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Lembaga Pemasyarakatan, yang secara keseluruhan dan merupakan suatu
kesatuan berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang
menjadi tujuan sistem peradilan pidana, yaitu menanggulangi kejahatan
atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi yang dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam praktik peradilan dikenal tiga jenis pelimpahan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yaitu: (1). Acara Pemeriksaan Biasa; (2). Acara
Pemeriksaan Singkat; (3). Acara Pemeriksaan Cepat. Seperti telah
dijelaskan diatas, bahwa pola penyelesaian perkara pidana di pengadilan
negeri adalah melalui tiga tahap, yaitu: (1). Tahap penerimaan berkas
perkara; (2). Kedua adalah Tahap Persiapan dan Ketiga adalah Tahap
Persidangan. Sedangkan tahapan dalam proses peradilan pidana terdiri
dari Tahap Penyelidikan dan Penyidikan, Tahap Penuntutan, Tahap
Pemeriksaan Pengadilan dan tahap Pelaksanaan Putusan.

Acara Persidangan Tindak Pidana | 161

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

TUGAS DAN EVALUASI


Setelah membaca Bab 9 Tentang Acara Persidangan Tindak Pidana,
pembaca dapat melakukan pengujian secara mandiri atas pembacaan
materi tersebut. Pengujian mandiri antara lain:
1. Bagaimana penerapan sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana model restorative justice yang diterapkan dalam
penyelesaian perkara pidana?
3. Mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia?
4. Mengapa Hukum Acara Pidana memerlukan bantuan ilmu yang lain?
5. Apakah bisa jika jaksa membuat petanyaan menjerat yang tujuannya
untuk memiliki informasi yang mendalam kepada terdakwa?

162 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Ariman, Rasyid.Syarifudin, Pettanase, dan Fahmi, Raghib. (2007). Sistem


Peradilan Pidana Indonesia. Palembang: Unsri Pres
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, semarang:
Penerbit Universitas Diponegoro
Muhamad, Rusli. (2011). Sistem Peradilan Pidana Indonesia dilengkapi
dengan Undang-undang di bidang sistem Peradilan Pidana.
Yogyakarta: UII Pres
Mulyadi, Lilik. (2007). Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (teori,
Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
Soebekti. (1979). Sistem Hukum Nasional Yang akan Datang, Termuat
Dalam Nukum dan Pembangunan. Nomor 4 Tahun IX, Juli, Jakarta:
Fakultas Hukum UI
Lab. Praktek Peradilan, UKM FH KOMMPAS, Modul SOP Persidangan.
Fakultas Hukum Trunojoyo Madura
Mahkamah Agung RI. (1994), Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan Buku II. Jakarta: Penerbit Mahkamah Agung
RI
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana

Acara Persidangan Tindak Pidana | 163

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

164 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 9: PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA

Dr. Irwanto, S.Pd.T., M.Pd

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 9
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. PENDAHULUAN
Bentuk kejahatan dalam hukum pidana sebagai tindak pidana
merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana
dan disertai dengan adanya sanksi pidana untuk yang melanggarnya
(Bambang Poernomo, 1988) Dalam arti luas kejahatan tidak hanya
ditentukan oleh perundang-undangan dalam hukum pidana saja,
melainkan pula perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan adanya
nestapa atau kerugian (Arif Gosita, 1983). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31
Tahun 1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun
2001) telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak
pidana korupsi.
Hal tersebut secara jelas terlihat pada ketentuan Pasal 1 butir 1 UU
Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa unsur “setiap orang
adalah orang perseroangan atau termasuk korporasi.” Hal ini merupakan
lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih
menempatkan individu atau orang perseorangan sebagai pelaku tindak
pidana. Kejahatan itu tidak statis tetapi sangat dinamis, artinya kejahatan
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Kendati
hakikat dari kejahatan sejak dulu hingga sekarang adalah tetap sama, yaitu
merugikan berbagai kepentingan dan kerugian yang ditimbulkan tidak
sama. Kejahatan yang sifatnya konvensional, baik pelaku, modus operandi,
maupun hasil yang didapat tidak sebanding dngan resiko yang ditanggng
oleh pelaku, demikian juga dengan keberpihakan hukum (Rodliyah, 2020).

166 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi menimbulkan akibat yang


lebih luas dan korbannya lebih banyak walaupun terkadang bukan korban
secara langsung. Kebakaran hutan yang dilakukan korporasi jelas dampak
yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Masyarakat menjadi terhambat
beraktifitas karena asap yang menganggu penglihatan dan pernafasan.
Bukan hanya dialami oleh satu negara, Kebakaran hutan yang tejadi di
Indonesia asapnya sampai ke negara tetangga. Belum lagi kerusakan
lingkungan yang terjadi karenanya. Penerbangan terganggu dan
mengakibatkan kerugian triliunan. Tidak mungkin dampak yang timbul
menjadi sangat luas apabila hanya dilakukan oleh satu orang saja.
Sebagaimana diketahui KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek
hukum.
Salah satu indikasi yang dipakai adalah adanya Pasal 59 dalam buku I
KUHP yang menyatakan “Dalam hal menentukan hukuman karena
pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus, atau
komisari, mak hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris,
jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya” Jadi
dalam pasal tersebut tidak mengancamkan pidana kepada orang yang
tidak melakukan tindak pidana. Artinya walaupun dia melakukan itu untuk
korporasi atau badan hukum tersebut, korporasi tidak dapat dikenakan
pidana. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat
terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kesemuanya
merumuskan hal-hal dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan
pidana. Pengecualiaan pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai
pengecualiaan adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu
dapat berarti pengecualiaan adanya kesalahan. Merumuskan
pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan
dengan fungsi refresif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum hukum pidana
berarti dipidana.
Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan
syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap
seseorang pembuat tindak pidana. Dalam mempertanggungjawabkan
seseorang dalam hukum pidana, harus terbuka kemungkinan bagi

Pertanggungjawaban Pidana | 167

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pembuat untuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian. Jika sistem


hukum tidak membuka kesempatan demikian, maka dapat dikatakan tidak
terjadi proses yang wajar (due process) dalam mempertanggungjawabkan
pembuat pidana. Pada gilirannya hal ini akan berhadapan dengan prinsip-
prinsip keadilan. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum
pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidanaterhadap orang itu,
tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya
meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya (Iin
Rahmawati, dkk, 2011).

RINCIAN PEMBAHASAN MATERI


UU KUP tersebut juga tidak banyak membahas mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi wajib pajak sekalipun hal ini cukup
penting untuk dapat disebutkan karena pertanggungjawaban ini memiliki
implikasi terhadap siapa saja yang dapat di pidana dan faktor apa yang
mendasari pemidanaan itu dan apabila memang ada pihak-pihak tertentu
yang dapat dikenai sanksi pidana, maka pertanggungjawaban pidana ini
ternyata juga berakibat pada siapa yang memiliki tanggungjawab untuk
membuktikannya (Wan Juli, dkk, 2012).

B. PENGERTIAN PERTANGGUNGJWABAN PIDANA


Dalam hukum pidana dikenal istilah pertanggungjawaban, bahasa
belanda menyebutkan toerekenbaarheid, dalam bahasa Inggris criminal
responsibility atau criminalliability. Pertanggungjawaban pidana, Roeslan
Saleh menyebut “pertanggungjawaban pidana”, sedangkan Moeljatno
mengatakan “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, ahli hukum
lainnya lebih banyak menyebutkan sebagai “pertanggungjawaban pidana”
(Sampur Dongan Simamora & Mega Fitri Hertini, 2015).
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi
falsafah hukum, Roscoe Pound menyatakan bahwa: I..use simple word
“liability” for the situation whereby one may exact legaly and other is
legaly subjeced to the excaxtion” pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang
akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan (Romli
Atmasasmita, 2000). Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang

168 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan


tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang
ada dalam suatu masyarakat. Selain Roscoe Pound, Ada beberapa para
ahli memberikan pengertian pertanggungjawaban pidana diantaranya:
a. Simons mengatakan kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan
suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu
upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut
orangnya dapat dibenarkan. Selanjutnya dikatakannya, seorang pelaku
tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila: Pertama, mampu
mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum. Kedua, mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tadi (Teguh Prasetyo, 2010).
b. Berbeda dengan Simons, Van Hamel memberikan pengertian
pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan
kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu pertama,
mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh
dari perbuatan-perbuatan sendiri. Kedua, mampu untuk menginsyafi
bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat. Ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat
(Eddy O.S. Hiarij, 2014).
c. Pompe memberikan pertanggungjawaban pidana dalam batasan
unsur-unsur yaitu kemampuan berpikir pada pelaku yang
memungkinkan menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya,
pelaku dapat mengerti makna dan akibat dari tingkah lakunya serta
pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya
(tentang makna dan akibat tingkah lakunya) (Teguh Prasetyo, 2010).

Apabila dilihat dari pendapat-pendapat para ahli tersebut di atas,


pertanggungjawaban pidana berbeda dengan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
kemudian dijatuhi pidana, tergantung dari pada perbuatan tersebut
mengandung kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban hukum
pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder
schuld; Actus non facit reum nisi mens sis rea) yang artinya penilaian

Pertanggungjawaban Pidana | 169

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pertanggungjawaban pidana itu ditujukan kepada sikap batin pelakunya,


bukan penilaian terhadap perbuatannya. Pengecualian prinsip actus reus
dan mens rea adalah hanya pada delik-delik yang bersifat strict liability
(pertanggungjawaban mutlak), dimana pada tindak pidana yang demikian
itu adanya unsur kesalahan atau mens rea tidak perlu dibuktikan
(Hasbullah F. Sjawie, 2015).
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan
pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya
terkandung makna dapat dicelanya sipembuat atau perbuatannya. Jadi,
apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak
pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana seperti hal nya diatas,
berarti berbicara mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana
(Eddy O.S. Hiarij, 2014) ada dua pandangan mengenai
pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan yang monistis oleh Simon
dan pandangan yang dualistis oleh Herman Kotorowicz. Menurut
Pandangan monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat,
yang lazim disebut unsur subjektif.
Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya,
maka dapatlah disimpulakan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan
syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau
terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana (Muladi &
Dwidja Priyatno, 2010). Maka dari itu para penganut pandangan monistis
tentang strafbaar feit atau crminal acti berpendapat, bahwa unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang
meliputi; Pertama, kemampuan bertanggungjawab, yaitu mampu
memahami secara sungguh-sungguh akibat yang bertentang dengan
ketertiban masyarakat, Kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa
perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat dan mampu
untuk menentukan kehendak berbuat. Ketiga kemampuan tersebut
bersifat komulatif. Artinya salah satu saja kemampuan bertanggungjawab
tidak terpenuhi, maka seseorang dianggap tidak dapat dipertanggung
jawabkan.

170 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

C. SYARAT-SYARAT PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan tidak akan dimintai
pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan
perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan
hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah dia
selalu dapat dipidana, orang yang melakukan perbuatan pidana hanya
akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kesalahan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, adapun syarat-syarat dapat
tidaknya dimintai pertanggungjawaban (pidana) kepada seseorang harus
adanya kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian
yaitu:
a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab dapat dilihat dari keadaan
batin orang yang melakukan perbuatan pidana untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan
pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sehat
inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran
yang dianggap baik oleh masyarakat (Andi Matalatta, 1987). Sementara
bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-ukuran
tersebut tidak berlaku baginya dan tidak ada gunanya untuk diadakan
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III
Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal nya
atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akal nya karena sakit berubah
akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di rumah sakit
gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditentukannya dalam ayat diatas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan


masih muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang
disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan pengahapusan

Pertanggungjawaban Pidana | 171

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pidana yang umum yang dapat disalurkan dari alasan-alasan khusus


seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Jadi bagi Jonkers
yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan
jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi karena
umumnya masih muda, terkena Hipnotis dan sebagainya (Roeslan Saleh,
1983).
Dengan demikian berdasarkan pendangan Jonkers, Roeslan Saleh
mengatakan bahwa anak yang melakukan perbuatan pidana tidak
mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau
belum menginsyafi makna perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri
dan karakteristik kejiwaan yang khusus yakni belum memiliki fungsi batin
yang sempurna sehingga tidak mempunyai kesalahan berupa kesengajaan
dan kealpaan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak pidana

b. Adanya Kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)


Dipidananya seseorang, tidaklah cukup orang itu melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun rumusannya memenuhi rumusan delik dalam
Undang-undang dan tidak dibenarkan karena hal tersebut belum
memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu
adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subective guilt). Disinilah
pemberlakuan Asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (geen straf zonder
schuld) atau Nulla Poena Sine Culpa. Dari apa yang telah disebutkan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri dari beberapa unsur ialah:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat
(schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si
pembuat harus normal.
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3) Tidak adanya alasan yang mengahapus kesalahan atau tidak ada
alasan pemaaf.

172 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Apabila ketiga unsur tersebut diatas terpenuhi maka orang yang


bersangkutan bisa dintakan bersalah atau mempunyai
pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana. Sekalipun kesalahan
telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban
pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan
masih terjadi perdebatan diantara para ahli. Van Hamel mengatakan
bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian Psichologis,
perhubungan antara keadaan si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya”. Kesalahan adalah pertanggungjawaban
dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkeheid rechttens).
Sedangkan Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya
keadaan physchis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana
dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatannya
yang dilakukan sedemikian rupa, untuk adanya suatu kesalahan harus
diperhatikan dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni:
1) Adanya keadaan physchis (bathin) yang tertentu, dan
2) Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin dengan perbuatan
yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang
pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua
tergantung pada yang pertama. Setelah mengetahui pengertian dari pada
kesalahan, maka kesalahan itu sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Dengan sengaja (dolus)
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (criminal wetboek) tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-
undang”. Dalam Memori Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman
sewaktu pengajuan Criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjawab Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915), dijelaskan: “sengaja”
diartikan:” dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan
tertentu”. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan,
kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari
kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang
dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan

Pertanggungjawaban Pidana | 173

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pengertian “sengaja” yaitu toeri kehendak dan teori pengetahuan atau


membayangkan (Moeljatno, 1983).
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan, atau membayangkan adanya suatu akibat
adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu
tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan dan karena itu tindakan
yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan terlebih dahulu
telah diabuat. Teori menitikberatkan pada apa yang diketahui atau
dibayangkan sipembuat ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Berbeda dengan teori pengetahuan, teori kehendak, sengaja adalah
kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-
undang. Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”
(voorhomen) dan dengan rencana terlebih dahulu (meet voorberacterade).
Dalam Pasal 53 KUHP tentang Percoabaan di katakan “percobaan
melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu
bukan semata-mata di sebabkan karena kehendaknya sendiri”. Adapun
pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis yaitu
antara lain:
1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)
2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid
van zakerheid of noodzakelijkheid).
3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met
waarschijkheidbewustzjin).

Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti dalam


praktek peradilan di Indonesia. Didalam beberapa putusannya, Hakim
menjatuhkan putusannya tidak semata-mata kesengajaan sebagai
kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktek
peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim
menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan seorang Terdakwa.

174 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

2. Kelalaian (culpa)
Undang-undang tidak memberikan definisi yang dimaksud dengan
kelalaian itu. Tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam Mvt (Memori van
toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja
dan kebetulan. Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa
merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa
kelalaian itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam Memori
jawaban Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan
kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya,
sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti
mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan (Andi
Hmazah, 2008).
Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada
dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak
menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana adalah
perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya
sangat mudah dipahami, yaitu bagi kelalaian yang menimbulkan akibat
kelalaian itu maka terciptalah delik kelalaian, Misal Pasal 359 KUHP,
sedangkan bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian
atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.

3. Tidak adanya Alasan Penghapus Pidana


Salah satu untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bagi
seseorang yakni, apakah kepada orang tersebut ada atau tidaknya alasan
penghapus pidana. Dalam KUHP dimuat dalam Bab I Buku III tentang hal-
hal yang menghapuskan atau memberatkan pengenaan pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa KUHP yang berlaku sekarang ini secara
umum dapat dibagi menjadi dua bagian umum yang terdapat dalam
bagian kesatu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri
dari dua buku sebagaimana terdapat dalam buku kedua (tentang
kejahatan) dan buku ketiga tentang pelanggaran (yang berlaku secara
khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam
pasal tersebut).

Pertanggungjawaban Pidana | 175

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku


kesatu (tentang pengaturan umum) secara keseluruhan membahas
tentang adanya alasan penghapus pidana yaitu sebagai berikut:
1. Alasan Pemaaf
Mengenai alasan pemaaf hal ini tertuang dalam Pasal 44, Pasal 48
sampai dengan Pasal 51 KUHP, sebab Pasal 45 sampai dengan Pasal 47
KUHP telah dicabut berdasarkan Pasal 63 Undang-undang No 3 Tahun
1997 tentang peradilan anak. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut yaitu:
Pasal 44 KUHP (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya) berbunyi
1) Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggunjawabkan padanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal tidak dapat dihukum.
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit
berubah akalnya maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit
gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditentukan dalam ayat diatas ini hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 44 KUHP ini mempunyai maksud bahwa terhadap pelaku


yang sakit jiwanya atau terganggu jiwanya terjadi sebelum perbuatan
dilakukan. Disamping itu berdasarkan ayat 3 ini, kewenangan untuk
menghukum pelaku adalah hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi
maupun jaksa penuntut umum) berdasarkan saksi ahli dalam ilmu
kejiwaan (Psikiatri). Walaupun demikian hakim dalam memberikan
putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri,
Hakim dapat menolak atau menerima keterangan Psikiatri berdasarkan
kepatutan atau kepantasan.
Pasal 48 KUHP (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)
yang berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh
sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum”.
Dalam Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan
dengan paksaan tersebut, akan tetapi menurut Memori van Toeliching
yang dimaksud dengan paksaan itu adalah suatu kekuatan, suatu
dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak dapat di tahan (R.

176 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Soesilo, 2000). Dengan demikian, tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan
alasan pengahpus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar
tidak dapat dilawan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebabnya adanya
paksaan itulah ia melakukan tindak pidana maka kepadanya ia tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana. Pasal 49 ayat 1 KUHP (perbuatan
yang dilakukan untuk membela diri) yang berbunyi: “Barang siapa
melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk
mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada
saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Dalam hal ini, Hakim lah yang berperan dalam menentukan apakah
benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang
mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu
pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu
sesungguhnya tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap
merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi pelakunya
dinyatakan tidak bersalah atau kesalahannya di hapuskan. Pasal 50 KUHP
(melaksanakan peraturan perundang-undangan) yang berbunyi:
1) Barang siapa yang melakukan perbuatan yang menjalankan peraturan
perundang-indangan tidak boleh dihukum.
2) Perintah jabatan yang diberkanoleh kuasa yang tidak berhak tidak
membebaskan dari hukuman, kecuali oleh pegawai yang dibawahnya
atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan
diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan
perintah itu menjadi kewajiban pegawai dibawah pemerintah tadi.

Dalam penjelasan pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang


melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan
tetapi karena dilakukan karena perintah undang-undang si pelaku tidak
dapat dimintai pertanggunjawaban, asalkan perbuatan nya itu dilakukan
untuk kepentingan umum. Pasal 51 KUHP (melakukan perintah jabatan
yang sah) yang berbunyi:

Pertanggungjawaban Pidana | 177

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah


jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan tidak berhak
dihukum.
2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak
membebaskan dari hukuman, kecuali oleh pegawai yang dibawahnya
atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan
diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan
perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah pemerintah
tadi.

Dalam hal ini ada alasan pemaaf untuk menghapuskan kesalahannya


walaupun suatu perintah yang ia laksanakan sah atau tidak sah dengan
syarat, perintah itu dipandang sebagai perintah yang syah, dilakukan
dengan itikad baik dan pelaksanaannya perintah itu harus dalam ruang
lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia lakukan). Sebaliknya, jika
perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugastugasnya yang biasa ia
lakukan, maka itikad baiknya melakukan perintah itu diragukan.

2. Tidak Adanya Alasan Pembenar


Didalam bagian kedua, terdapat juga bagian khusus yang tertuang
dalam buku kedua (pengaturan khusus) secara keseluruhan membahas
tentang adanya alasan penghapus pidana yaitu di dalam: Pasal 166 KUHP
Ketentuan Pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku bagi orang jika
pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya,
bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena
perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua atau ketiga
dari keturanan menyimpang dari suaminya (istrinya) atau bagi orang lain,
yang kalau dituntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberikan
keterangan sebagai saksi, berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Jadi menurut Pasal 166 KUHP, kedua pasal tersebut (164 dan 165)
tidak berlaku apabila sipelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk
menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri atau
terhadap sanak keluarga dalam keturunan luru dan kesampung sampai
derajat ketiga, atau terhadap suami atau istri atau terhadap sesorang
dalam perkaranyaia dapat dibebaskan dari kewajiban memberikan

178 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kesaksian dimuka sidang pengadilan (Prodjodikoro, 2002). Pasal 186 Ayat


(1) KUHP “Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu
tidak dapat dihukum”. Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini diatur
dalam Bab VI KUHP yaitu tentang perkelahian “satu lawan satu” yang
terdapat dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 186 KUHP. Akan tetapi
saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau menyaksikan perang tanding
ini (misalnya dalam olaraga tinju, karate, dan lain sebagainya) tidak dapat
boleh dihukum berdasarkan Pasal 186 ayat (1) ini.
Pasal 314 ayat (1) KUHP “kalau orang yang dihinakan dengan
keputusan hakim yang sudah tetap, telah dipersalahkan dengan
melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan
hukuman karena memfitnah”. Dalam hal ini ada satu hal yang dapat
menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila
ternyata apa yang dilakukan (yang dituduhkan / dihinakan) kepada orang
itu, terbukti benar karena keputusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang yang dihinakan itu telah
dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/ dituduhkan
kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang dilakukan oleh
sipenghina atau pencemar nama baik dihapuskan (hulang).

D. PERTANGGUNGJAWABAN LANGSUNG (DIRECT LIABILITY)


Konsep pertanggungjawaban langsung menandai reaksi terhadap
kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam pertanggungjawaban
pengganti. Pertanggungjawaban langsung bertujuan untuk membebankan
kesalahan korporasi terhadap orang yang menduduki jabatan strategis dan
struktural yang mewakili jiwa dan pikiran korporasi, sehingga pegawai
bawahan termasuk middle manager tidak lagi menjadi target utama
pertanggungjawaban korporasi. Pertanggungjawaban langsung
memfokuskan pembebanan tanggung jawab korporasi kepada pihak-pihak
yang dianggap mampu mewakili pikiran dan jiwa korporasi berdasarkan
jabatan struktural dan fungsional yang dimiliki. Putusan Tesco
Supermarket dengan tegas menolak pertanggungjawaban korporasi yang
dibebankan kepada pegawai yang dinilai tidak merepresentasikan
korporasi. Sebab, pertanggungjawaban korporasi hanya dibebankan

Pertanggungjawaban Pidana | 179

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kepada orang yang dinilai berkompeten mewakili korporasi (Halimah


Humayra Tuanaya, 2017).
Dengan demikian, perspektif pertanggungjawaban langsung
menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan organ korporasi adalah
perbuatan korporasi yang tidak dapat direduksi menjadi perbuatan
personal organ korporasi. Oleh karena itu, sepanjang suatu perbuatan
dilakukan oleh pengawai dalam kerangka korporasi, maka perbuatan
tersebut adalah perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban yang
dibebankan kepada pembuat (pegawai) harus dianggap sebagai
pertanggungjawaban korporasi.

E. INDIVIDUALISME DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


KORPORASI
Kendati literatur hukum pidana mengintroduksi teori realis dalam
menentukan subyektifitas hukum korporasi, praktik hukum menunjukkan
kecenderungan individualisme dalam memandang korporasi masih
mendominasi teori dan praktik hukum pidana. Secara teoritik,
individualisme mempunyai korelasi dengan teori abstraksi yang
memandang korporasi sebagai sekumpulan orang yang
mengorganisasikan diri secara hukum dalam sebuah korporasi. Dalam
konteks ini, korporasi hanya diidentifikasi sebagai subyek delik melalui
pengurus yang mengelola korporasi. Identifikasi merupakan fiksi hukum
yang menyamakan organ korporasi dengan institusi korporasi. Meksipun
secara hukum korporasi dipersalahkan atas delik yang dilakukan
pegawainya, namun pertanggungjawaban dan pemidanaan dibebankan
kepada organ yang menjalankan korporasi. Reduksi korporasi ke dalam
individu secara kolektif yang menjalankan korporasi menyebabkan atribusi
pertanggungjawaban dibebankan kepada organ tersebut. Organ korporasi
disamakan dengan korporasi berdasarkan ketentuan hukum yang
menentukan demikian. Oleh karenanya, ketercelaan korporasi hanya
bersifat fiksi sebagaimana fiksi hukum mewarnai teori abstraksi.
Sebaliknya, teori realis mempunyai korelasi teoritik dengan
pandangan korporatisme yang berpendapat tentang kemandirian
personalitas korporasi. Korporasi adalah sebuah sistem yang diberi hak
dan kewajiban oleh hukum untuk menjalin hubungan hukum dan

180 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

melakukan perbuatan hukum, di mana dalam pelaksanaannya tidak selalu


bergantung kepada orang-perorangan dalam korporasi. Sistem korporasi
ditunjukkan dengan adanya tujuan untuk mengumpulkan keuntungan,
struktural kepemimpinan, mekanisme pengambilan keputusan yang tidak
hanya didasarkan kepada satu orang saja dan kompleksitas budaya
korporasi yang tidak memungkinkan untuk direduksi dalam individualitas
organ korporasi. Berdasarkan perspektif ini, korporasi tidak selayaknya
dianggap sebagai benda mati karena secara sosiologis dampak-dampak
dari justru menghasilkan implikasi yang lebih buruk bagi kehidupan sosial
seperti kasus lumpur lapindo dan kasus limbah Newmont. Meluapnya
lumpur Lapindo dan tercemarnya Teluk Buyat tidak dihasilkan dari
perbuatan individu semata melainkan dihasilkan dari keputusan korporasi
yang bersifat struktural dan sistematis. Dalam konteks inilah, korporasi
layak dijadikan subyek delik dan dipertanggungjawabkan secara
institusional atas delik yang terjadi.
Teori realis memandang subyektifitas hukum korporasi dilekatkan
kepada institusi korporasi, bukan dikaitkan dengan organnya, sehingga
korporasi dapat dipersalahkan secara institusional manakala korporasi
terbukti melakukan delik. Pengaruh teori abstraksi yang mengandalkan
individualisme korporasi terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi
terlihat dalam bentuk pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability)
dan pertanggungjawaban langsung (direct liability) yang menerapkan fiksi
hukum. Kendati pertanggungjawaban langsung seolah mengesankan
penolakan terhadap fiksi hukum, namun praktik menunjukkan
pertanggungjawaban tidak dilekatkan kepada korporasi melainkan kepada
organ korporasi yang kompeten. Oleh karena korporasi dan organ
korporasi merupakan dua entitas berbeda, maka hukum melakukan fiksi
terhadap keduanya sehingga atribusi pertanggungjawaban kepada organ
korporasi dianggap sebagai atribusi pertanggungjawaban kepada
korporasi. Dengan demikian kedua bentuk pertanggungjawaban tidak
terlepas dari fiksi hukum yang menjadi ciri khas individualisme (Halimah
Humayra Tuanaya, 2017).

Pertanggungjawaban Pidana | 181

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

F. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA


Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat
dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak
pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya
tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dipidananya pembuat
adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya
akan di pidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak
pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan. Ini
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut (Teguh
Prasetyo, 2011).
Berdasarkan hal tersebut Sudarto, juga menyatakan hal yang sama,
bahwa: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a
panel provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut
perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada
orang tersebut.
Sebagai syarat dapat di pidananya seseorang, kesalahan selalu
dianggap ada apabila telah dilakukan suatu perbuatan pidana. Anggapan
ini baru hapus apabila terbukti lain. Dalam hal ini, kesalahan dapat
diartikan sebagai suatu yang dapat dicelakan kepada seseorang (D.
Schaffmeister, N. Keijzer, & E.PH. Sutorius, 2011). Adami Chazawi
menerangkan bahwa kesalahan adalah unsur yang mengenai keadaan
batin pelaku menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat
melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya
hubungan antara hal-hal tersebut dengan keadaan batin pembuat inilah,
pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada seseorang (Adami
Chazawi, 2010).

182 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Proses penyelidikan dan penyidikan sebagai tersangka, di mana


seseorang sebelum disidik selalu ditanyakan salah satunya umur dan
keadaan kesehatannya. Pertanggungjawaban pidana dimulai pada saat
pemeriksaan sebagai tersangka apa yang ia lakukan atas perbuatan
pidananya dituangkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pada
tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim setelah sidang
dinyatakan terbuka untuk umum selalu bertanya mengenai identitas
terdakwa sebagai persyaratan formil dan mengenai kondisi kesehatannya
sehingga persidangan dapat dilanjutkan. Apabila terdakwa dinyatakan
terbukti bersalah oleh hakim maka hakim melalui putusannya (vonis)
menjatuhkan sanksi pidana penjara disertai dengan sanksi denda yang
harus dibayar. Apabila denda tidak dibayar oleh terpidana maka dapat
diganti dengan hukuman subsider berupa pidana pengganti sebagaimana
yang dimaksud ketentuan Pasal 30 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

G. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA


Pendapat yang memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban
pidana pertama-tama dianut oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman,
Herman Kantorowic. Ini disebut dan diperkenalkan oleh Moeljatno dalam
Pidato Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember
1955 yang berjudul Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam
Hukum Pidana (Andi Zainal Abidin, 1981). Menurut Kantorowicz, untuk
adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat (Strafvorasserzungen)
diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (Strafbare
handlung), laku sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya schuld
atau kesalahan subyektif pembuat (Andi Hamzah, 2007).
Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak,
jika telah melakukan suatu tindak pidana dan unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu
tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan
dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat
melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggung-jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawab (pidana)-kan

Pertanggungjawaban Pidana | 183

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

(Tisnaamidjaja, 1987). Kemampuan bertanggungjawab tidak diatur secara


jelas dalam KUHP. KUHP hanya memberikan rumusan secara negatif atas
kemampuan bertanggungjawab ini terdapat di dalam ketentuan Pasal 44
KUHP yang menyatakan kapan seseorang tidak dapat dipertanggung
jawabkan atas perbuatannya karena sebagai berikut:
1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya.
Keadaan ini menunjuk pada suatu keadaan dimana jiwa seseorang itu
tidak tumbuh dengan sempurna. Termasuk dalam kondisi ini adalah
idiot, imbisil, bisu tuli sejak lahir dan lain-lain.
2. Jiwanya terganggu karena suatu penyakit.
Dalam hal ini jiwa seseorang itu pada mulanya berada dalam keadaan
sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit. Termasuk
dalam kondisi ini misalnya maniak, kisteria, melankolia, gila dan lain-
lain (Tongat, 2006).

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab, bilamana pada


umumnya:
1. Keadaan jiwanya
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara,
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan, dan
c. Tidak terganggu karena terkejut, hynotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam dan
lain sebagainya. Dalam perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
2. Kemampuan jiwanya
a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya
b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak dan,
c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut (Kanter &
Sianturi, 2002).

Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur


kesalahan dalam arti luas, yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat,
b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya
sengaja atau kesalahan dalam arti sempit.

184 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapuskan dapatnya


dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat (Andi
Hamzah, 2007).

Kesalahan merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.


Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat
dari segi masyarakat patut dapat dicela. Dengan demikian seseorang
mendapat pidana, tergantung pada dua hal:
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum (unsur obyektif)
(Budayawan Tahir, 2018).
b. Terhadap pelakunya ada unsur kesengajaan dalam bentuk
kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan hukum tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (unsur subyektif).

Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana,


pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dapat disimpulkan
pembuatnya dapat dicela, karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak
ingin melakukan tindak pidana. Setara dengan dapat berbuat lain adalah
telah berbuat yang tidak diharapkan dan berbuat sesuatu yang
sebenarnya dapat dihindari. Kesalahan normatif menyebabkan ukuran
dapat dicelanya seseorang berada di luar dari diri orang itu sendiri. Dicela
atau tidak yang bersangkutan diukur dari bagaimana umumnya reaksi
orang yang sepadan dengan pembuat ketika menghadapi keadaan yang
sama. Dengan demikian, kesalahan diukur dari pencelaan masyarakat atas
umumnya sikap batin yang demikian ketika melakukan tindak pidana
(Chairul Huda, 2005).
Kesalahan adalah merupakan unsur dari tindak pidana (di samping
juga merupakan unsur dari pertanggung-jawaban pidana). Kesalahan
diartikan sebagai suatu perbuatan yang di dalamnya ada ketercelaan
tertentu misalnya salah atau tidaknya terdakwa Pasal (158 KUHAP),
terdakwa bersalah (Pasal 183, Pasal 189, Pasal 193 KUHAP), kesalahan
terdakwa (Pasal 191 KUHP), dalam hal ini belum jelas apakah dolus atau
culpa. Seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak dengan
suatu kehendak mengenai kelanjutan perbuatannya atau akibatnya.

Pertanggungjawaban Pidana | 185

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Ditinjau dari sudut moral atau kesusilaan masyarakat maka ia akan berarti
hubungan batin dari seseorang dengan kelakuannya dan/atau akibat
kelakuan itu. Hal itu seharusnya dapat dihindari, tetapi ia tetap
melakukannya untuk mana ia dicela dari sudut kesadaran kesusilaan atau
kepatutan dalam masyarakat (Kanter dan Sianturi, 2002).
Menurut Pompe (Martiman Prodjohamidjojo, 1997) menyatakan:
Kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela dan pada
hakekatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum. Hakekatnya
tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum di dalam hukum positif,
berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan, yang mengarah kepada
sifat melawan hukum dan kemampuan bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan
oleh orang adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian,
terjadinya pertanggungjawaban pidana krena telah tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu
perbuatan tertentu (Chairul Huda, 2005).
Menurut van Hamel (Martiman Prodjohamidjojo, 1997), menyatakan
bahwa:
Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat.
c. Penentuan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa toerekenings vastbaarheid mengandung
pengertian kecakapan.

Roeslan Saleh (1982) menyatakan bahwa dilihat dari masyarakat


menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan, dulu orang
berpandangan psikologis mengenai kesalahan seperti juga pembentuk
WvS Belanda, sekarang pandangan normatif. Suatu peristiwa pidana itu
tidak hanya berwujud sebagai suatu perbuatan saja, melainkan dapat juga

186 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

berwujud sebagai suatu kejadian (peristiwa) yang dapat menimbulkan


hukuman (pidana). Jadi seseorang itu dapat saja dituntut untuk
bertanggung jawab atas suatu kejadian itu bukanlah akibat dari
perbuatannya dan terjadinya pun sama sekali di luar kehendaknya bila:
a. Kejadian tersebut menimbulkan korban atau kerugian bagi pihak lain.
b. Benda atau sesuatu yang menjadi sumber kejadian tersebut berada di
bawah kekuasaan/tanggung jawab orang yang bersangkutan.
c. Penyebab kejadian atau peristiwa tersebut bukanlah hal yang luar
biasa misalnya gempa bumi, bencana alam dan sebab-sebab lainnya
yang tidak dapat diatasi oleh manusia.

Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat


dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan
terhadapnya. Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hukum. Beberapa
perbuatan yang dibenarkan secara etis dapat dipidana. Peraturan hukum
dapat memaksa keyakinan etis pribadi kita singkirkan. Celaan obyektif
dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat menjadi celaan subyektif.
Dalam hal ini pembuat dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela
karena sebenarnya ia dapat berbuat lain jika ia tidak menghendaki seperti
itu (Budayawan Tahir, 2018).

H. TEORI-TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI


Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan
dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak
termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak pidana menunjuk pada
dilarangnya suatu perbuatan. Pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan
secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat di
jatuhi pidana karena perbuatannya itu. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut
pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana
pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia
dapat dicela oleh karena perbuatannya. Dalam mempertanggungjawabkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana terdapat beberapa teori, sebagai
berikut:

Pertanggungjawaban Pidana | 187

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Teori Direct Corporate Criminal Liability


Corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin
identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan dari agen tertentu suatu
korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap
sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Teori ini juga berpandangan
bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing
mind”. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan
dengan korporasi. Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas
nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu
merupakan mens rea korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh
karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggung
jawaban pribadi. Terkait dengan uraian tersebut, agen atau orang-orang
yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggung jawab
adalah korporasi, tindakan mereka sesungguhnya identik dengan tindakan
korporasi (Russel Heaton, 2013).
Korporasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia.
Korporasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang
dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak
sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di lingkungan
korporasi itu hanyalah ada karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan
dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau
kehendak perusahaan. Pada pihak lain, direktur atau pejabat setingkatnya
mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan
dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin mereka merupakan
sikap batin korporasi (Russel Heaton, 2013).

2. Teori Strict Liability


Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak
mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih
dari actus reus. Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault). Konsep ini dirumuskan sebagai the
nature of strict liability offences is that they are crimes which do not
require any mens rea with regard to at least one element of their “actus
reus” (konsep pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk
pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya

188 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan)


(Barda Nawawi Arief, 2002).
Pendapat lain mengenai strict liability dikemukakan oleh Roeslan
Saleh, sebagai berikut: Dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi
lenyap, jika ada salah satu keadaan yang memaafkan. Praktik pula
melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat
menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam
perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk penanganan
pidananya cukup dengan strict liability. L.B. Curzon mengemukakan tiga
alasan mengapa dalam strict liability aspek kesalahan tidak perlu
dibuktikan. Pertama, adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya
peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit
untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan.
Sedangkan Lord Pearce sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie
berpendapat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi pembentuk
undang-undang menetapkan penggunaan strict liability dalam hukum
pidana, yaitu karena: (1) karakteristik dari suatu tindak pidana; (2)
pemidanaan yang diancamkan; (3) ketiadaan sanksi sosial (the absence of
social obluqoy); (4) kerusakan tertentu yang ditimbulkan; (5) cakupan
aktivitas yang dilakukan; dan (6) perumusan ayat-ayat tertentu dan
konteksnya dalam suatu perundang-undangan. Keenam faktor tersebut
menunjukkan bahwa betapa pentingnya perhatian publik (public concern)
terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict
liability agar keamanan masyarakat (public safety), lingkungan hidup
(environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the
economic interest of the public), terjaga (Yusuf Shofie, 2011).

3. Teori Vicarious Liability


Vicarious liability biasanya dikenal dengan sebutan pertanggung
jawaban pidana pengganti, yang diartikan sebagai pertanggung jawaban
seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggung jawab atas tindakan
orang lain (a vicarious liability is one where in one person, though without

Pertanggungjawaban Pidana | 189

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

personal fault, is more liable for the conduct of another). Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain,
seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup
pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of
another, as for example, when the acts done within scope of employment).

4. Teori Aggregasi
Teori ini adalah bahwa merupakan suatu langkah yang tepat bagi
suatu korporasi untuk dipersalahkan walaupun tanggung jawab pidana
tidak ditujukan kepada satu orang individu, melainkan pada beberapa
individu. Teori aggregasi membolehkan kombinasi tindak pidana dan/atau
kesalahan tiap-tiap individu agar unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan
yang mereka perbuat terpenuhi. Tindak pidana yang dilakukan seseorang
digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau ia adalah akumulasi
kesalahan atau kelalaian yang ada pada diri tiap-tiap pelaku. Ketika
kesalahan-kesalahan tersebut, setelah dijumlahkan, ternyata memenuhi
unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea, maka teori aggregasi
terpenuhi di sini.

5. Corporate Culture Model


Untuk corporate culture model, pertanggungjawaban pidana
dibebankan kepada korporasi bila berhasil ditemukan bahwa seseorang
yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang
rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi yang memiliki
kewenangan telah memberikan wewenang atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana tersebut. Sebagai suatu keseluruhan,
korporasi adalah pihak yang harus juga bertanggung jawab karena telah
dilakukannya perbuatan melanggar hukum dan bukan orang yang telah
melakukan perbuatan itu saja yang bertanggung jawab, tetapi korporasi di
mana orang itu bekerja. Dengan kata lain, menurut corporate culture
model, tidak perlu ditemukan orang yang bertanggung jawab atas
perbuatan yang melanggar hukum itu untuk dapat
dipertanggungjawabkan perbuatan orang itu kepada korporasi. Sebaliknya,
pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi sebagai suatu

190 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

keseluruhan adalah pihak yang harus bertanggung jawab karena telah


dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang
melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.

I. ISTILAH PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


Pertanggung jawaban dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban pidana, dalam Bahasa belanda torekenbaarheid,
dalam Bahasa inggris criminal responsibility atau criminalliability (Aryo
Fadlian, 2020). Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman
terhadap pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau
menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana
karenanya menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak
pidana kepada pembuatnya.
Meninjau perumusan Simons strafbaarfeit harus merupakan,
perbuatan manusia, perbuatan itu adalah wederrechtelijke (bertentangan
dengan hukum), perbuatan itu di lakukan oleh orang yang dapat di
pertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar), dan orang itu dapat di
permasalahkan (M. Holyone N Singadimedja). Mempertanggungjawabkan
seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara
objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan
pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak
pidana. Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu
pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur
mental dalam tindak pidana.8 Seseorang dinyatakan mempunyai
kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban
pidana (Admaja Priyatno, 2004).
Untuk dapat mengenakan pidana pada pelaku karena melakukan
tindak pidana, aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana
berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri
seseorang sehingga sah jika dijatuhi hukuman. Pertanggungjawaban
pidana yang menyangkut masalah pembuat dari tindak pidana, aturan
mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan regulasi mengenai
bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban. Jadi
perbuatan yang dilarang oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan

Pertanggungjawaban Pidana | 191

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pada sipembuatnya, artinya hukuman yang objektif terhadap hukuman itu


kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Pertanggungjwaban pidana
tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi orang yang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidananya kalau tidak melakukan
perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana tidak
selalu dia dapat dipidana (Aryo Fadlian, 2020).
Van Hamel, mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu
keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam
kemampuan untuk:
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;
b. Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang
oleh masyarakat, dan
c. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan.

Menurut Mulyatno, istilah hukuaman yang berasal dari kata straf dan
istilah dihukum, yang erasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-
istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan
menggunakan pidana untuk menterjemahkan isitlah straf, dan sitilah
diancam dengan pidana untuk menggantikan istilah wordt gestraf.
Menurutnya kata straf itu diterjemahkan dengan hukuman, maka
strafrecht seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”. Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa “dihukum”, berarti “diterapi hukum”, baik
hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat
dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana,
sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata
(Aryo Fadlian, 2020).

Syarat Pertanggungjawaban Pidana:


a. Dengan sengaja (dolus)
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (criminal wetboek) tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-
undang”. Dalam Memori Van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman
sewaktu pengajuan Criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjawab Kitab

192 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915), dijelaskan: “sengaja”


diartikan:” dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan
tertentu”. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan,
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia
hanya dapat menginginkan., mengharpkan, atau membayangkan adanya
suatu akibat adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan dan karena itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan terlebih
dahulu telah diabuat.
Teori menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan
sipembuat ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Berbeda
dengan teori pengetahuan, teori kehendak, sengaja adalah kehendak
untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”
(voorhomen) dan dengan rencana terlebih dahulu (meet voorberacterade).
Dalam Pasal 53 KUHP tentang Percoabaan di katakan “percobaan
melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu
bukan semata-mata di sebabkan karena kehendaknya sendiri”. Adapun
pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis yaitu
antara lain:
1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)
2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid
van zakerheid of noodzakelijkheid)
3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan seklai terjadi (opzet met
warschijkheidbewustzjin)

b. Kelalaian (culpa)
Undang-undang tidak memberikan definisi yang dimaksud dengan
kelalaian itu. Tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam Mvt (Memori van
toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja
dan kebetulan. Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa
merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa
kelalaian itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam Memori
jawaban Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan

Pertanggungjawaban Pidana | 193

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya,


sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti
mempergunakan kemampuannya yang ia harusmempergunakan.
Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua
macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak
menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana adalah
perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya
sangat mudah dipahami, yaitu bagi kelalaian yang menimbulkan akibat
kelalaian itu maka terciptalah delik kelalaian. Misal Pasal 359 KUHP,
sedangkan bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian
atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana (Aryo
Fadlian, 2020).

c. Tidak adanya alasan penghapusan pidana


Salah satu untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bagi
seseorang yakni, apakah kepada orang tersebut ada atau tidaknya alasan
penghapus pidana. Dalam KUHP dimuat dalam Bab I Buku III tentang hal-
hal yang menghapuskan atau memberatkan pengenaan pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa KUHP yang berlaku sekarang ini secara
umum dapat dibagi menjadi dua bagian umum yang terdapat dalam
bagian kesatu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri
dari dua buku sebagaimana terdapat dalam buku kedua (tentang
kejahatan) dan buku ketiga tentang pelanggaran (yang berlaku secara
khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam
pasal tersebut) (Aryo Fadlian, 2020).

J. RANGKUMAN MATERI
Teori pertanggungjawaban pidana merupakan teori yang tepenting
dan mendasar dalam keilmuan hukum pidana. Asas yang berkorelasi
dalam pertanggungjawaban pidana merupakan asas dasar dari hukum
pidana mislanya “tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf
zonder should: Actus non factim reum nisi mens sis rea). Untuk
menerapkan hukum pidana tidak bisa mengindahkan pertanggungjawaban
pidana, sulit untuk bisa diterapkan pidana jika tidak memahami
pertanggungjawaban pidana karena pidana merupakan

194 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pertanggungjawaban yang seseorang lakukan yang mengandung unsur


kesalahan.

TUGAS DAN EVALUASI


Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan jelas.
1. Jelaskan yang dimaksuud dengan pertanggungjawaban pidana?
2. Tuliskan dan jelaskan syarat-syarat pertanggungjawaban pidana?
3. Dalam mempertanggungjawabkan korporasi sebagai subjek hukum
pidana terdapat beberapa teori, tuliskan dan jelaskan teori yang
dimaksud?
4. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga
jenis, sebutkan dan jelaskan?
5. Tuliskan unsur-unsur yang dikatakan sebagai kesalahan dalam
pertanggungjawaban pidana?

Pertanggungjawaban Pidana | 195

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
Andi Hamzah, 2015, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Andi Hmazah, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm.
125
Andi Matalatta, 1987 Victimilogy Sebuah Bunga Rampai, Pusat Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 41-42.
Aryo Fadlian, 2020. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM SUATU
KERANGKA TEORITIS. Jurnal Hukum POSITUM Vol. 5, No.2, Des 2020,
Hal. 10-19 E-ISSN: 2541-7193 P-ISSN: 2541-7185. Fakultas Hukum
Universitas Singaperbangsa Karawang.
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
E.Y.Kanter, S.R.Sianturi, 2002, Asas-asa Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, cetakan ketiga.
Eddy O.S. Hiarij, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hlm 121.
Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada
Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, hlm 11.
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm, 171-
176.
Muladi & Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 63.
Prodjodikoro, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, Refika
Aditama, Bandung, Hlm 224-225.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentar Lengkapnya Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, Hlm 61.
Roeslan Saleh, 1983, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”
dan pengertian dalam hukum pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 84.
Romli Atmasasmita, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung, Hlm. 65.

196 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sampur Dongan Simamora & Mega Fitri Hertini, 2015, Hukum Pidana
Dalam Bagan, FH. Untan Press, Pontianak, hlm 166.
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Depok, Hlm
85.

Pertanggungjawaban Pidana | 197

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

198 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 10: PIDANA TURUT SERTA

Dr. Mhd Ansori Lubis S.H., M.M., M.Hum

Universitas Darma Agung

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 10
PIDANA TURUT SERTA

A. PENDAHULUAN
Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-
unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP.
Wujud atau bentuk dari penyertaan deelneming yaitu turut melakukan
medeplegen dan pembantuan (medeplichtigheid) yang dikandungan
dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tujuan dirumuskannya tindak pidana yang dalam undang-undang baik
sebagai kejahatan ataupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek
hukum pidana) dan hanya sebagian terdapat tindak pidana yang ditujukan
pada suatu badan hukum yang terdapat diluar KUHP.
Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan
tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun
sering terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang.
Dalam hal ini dinamaka sebagai suatu penyertaan atau Deelneming.
Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua
bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang- orang baik secara psikis
maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga
melahirkan suatu tindak pidana.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “penyertaan”
berasal dari kata serta yang memiliki arti ikut, mengikut, turut, dengan,
bersama-sama dengan, beserta, mengiringi, menyertai, menemani, untuk
membantu, iku-ikut, ikut campur, membarengi.2 Yang kemudian
penyertaan memiliki arti turut sertanya seseorang atau lebih dalam suatu
tindak pidana.
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
(tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan
(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu

200 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

seseorang lain melakukan tindak pidana. Menurut VanHamel, memberikan


definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian
pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut
pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku
dengan tindakan sendiri.
Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya
orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP. Ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya
berbunyi:
1. Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua
orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi
bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua
orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa
kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan jadi
melakukan anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), orang yang dengan sengaja
membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan
memberikan sesuatu, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman dan tipu daya.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu
melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau
sebelum (jika tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.

Di lihat dari sudut pertanggungjawabannya maka pasal 55 ayat (1)


KUHP di atas pelaku tindak pidana adalah sebagai penanggung jawab
penuh, yang artinya pelaku di ancam dengan hukuman maksimum pidana
pokok dari tindak pidana yang dilakukan.

Pidana Turut Serta | 201

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam doktrin hukum pidana orang yang di peralat di sebut sebagai


manus ministra sedangkan orang yang memperalat di sebut sebagai
manus domina juga di sebut sebagai middelijke dader (pembuat tidak
langsung).
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut
rumusannya berbunyi: (1). Mereka yang dengan sengaja telah
memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut. (2). Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah
setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana.
Pada mulanya yang disebut dengan turut berbuat itu ialah bahwa masing-
masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi
semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan
Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri,
mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab
pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan.
Ajaran penyertaan tidak diatur di dalam KUHP, maka akan sangat tidak
adil ketika pada suatu tindak pidana terdapat seorang yang mempunyai
niat untuk mewujudkan suatu tindak pidana dengan menyuruh atau
membujuk orang lain untuk melakukannya. Seorang yang menyuruh
tersebut tidak dapat dijangkau oleh hukum pidana dan tidak dapat di
pidana, karena tidak melakukan tindak pidana atau tidak menimbulkan
suatu akibat sebagaimana dilarang di dalam rumusan tindak pidana.

B. PENGERTIAN PENYERTAAN
Menurut Projodikoro bahwa dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP
diadakan lima golongan peserta delik, yaitu:
1. Yang melakukan perbuatan (plegen, dader);
2. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader);
3. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader)
4. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker);
5. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)

202 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama


melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger)
peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya
melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen
dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong,
sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk
“medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan”
(medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.

Pasal 55 KUHP:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
- 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu;
- 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau
dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja
membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
- (2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan
sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya,
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Perbedaan yang paling mendasar antara penyertaan dan pembantuan


dalam tindak pidana adalah: mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo
menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja
memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak
sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah
kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan

Pidana Turut Serta | 203

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

“sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa


pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada,
sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah
memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu tidak dihukum. Niat untuk melakukan kejahatan itu harus
timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau
keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan
sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan”
(uitlokking).
Perbedaan kedua, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran
yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan
yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai
kepentingan dan tujuan dari pelaku. Ukuran kesengajaan dapat berupa
soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana,
atau hanya untuk memberikan bantuan, atau soal kehendak si pelaku
untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak
pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama
menghendakinya. Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan
yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan
sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk
mencapai tujuan dari pelaku utama.

C. BENTUK-BENTUK PENYERTAAN
Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dalam Pasal 55 dan 56
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua
orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi
bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua
orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa

204 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan jadi


melakukan anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), Orang yang dengan sengaja
membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan
memberikan sesuatu, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman dan tipu daya.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu
melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau
sebelum (jika tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.

Orang yang melakukan adalah seseorang yang hanya sendirian saja


telah melakukan atau mewujudkan seluruh unsur dari suatu tindak pidana,
orang yang menyuruh melakukan adalah bukan orang itu sendiri yang
melakukan tindak pidana akan tetapi menyuruh orang lain untuk
melakukannya, akan tetapi yang disuruh itu haruslah hanya merupakan
alat saja, ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat di
pertanggungjawabkan atas perbuatannya, sedangkan orang yang turut
melakukan.
Berbagai kejahatan seksual baik dalam bentuk perzinahan,
pemerkosaan pencabulan maupun pelecehan seksual yang menimpa
perempuan dewasa maupu anak-anak dapat berakibat pada penyebaran
penyakit kelamin seperti AIDS. Tak jarang pula korban perkosaan yang
sampai menyebabkan kehamilan.
Tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur, termasuk pula
ke dalam salah satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji
secara mendalam. Sebagaimana diketahui, tindak pidana perkosaan yang
menimpa kaum wanita baik dewasa, remaja hingga anak merupakan
perbuatan yang melanggar norma social yaitu kesopanan, agama dan
kesusilaan.
Salah satu Faktor yang menyebabkan kebebasan anak melakukan
perksoaan adalah yang mendorong anak untuk melakukan perbuatan yang
tidak sesuai dengan umurnya dan tidak bisa membendung hawa nafsunya
sehingga menyebabkan melakukan perkosaan terhadap temannya. Jika
perbuatan tersebut dilakukan oleh perorangan, tentu akan mudah
mengidentifikasi pelakunya. Namun, bila dilakukan secara bersama akan

Pidana Turut Serta | 205

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

ditemukan kemungkinan bahwa kasus tersebut masuk dalan pembantuan


dan penyertaan dalam pertanggungjawabannya.
Yang termasuk tindak pidana biasa adalah yang diatur di dalam Pasal
285 dan Pasal 286 KUHP. Sedangkan Pasal 287 KUHP merupakan delik
aduan, apabila yang bersangkutan (korban) berusia antara 12 sampai
dengan 15 tahun. Dengan demikian terhadap Pasal 287 yang korbannya
adalah perempuan berusia di bawah 12 tahun merupakan tindak pidana
biasa. Jenis tindak pidana aduan dalam Pasal 287 menjadi gugur dan
berubah menjadi tindak pidana biasa jika akibat persetubuhan tersebut
menyebabkan anak yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun
tersebut mengalami luka, atau meninggal dunia. Tindak pidana aduan
tersebut juga dapat berubah menjadi tindak pidana biasa apabila
pelakunya adalah orang yang seharusnya memberikan perlindungan,
mempunyai kewenangan atau berkewajiban memberikan bantuan secara
professional kepada korban.
Teori Penyertaan Tindak Pidana Penyertaan (deelneming) terjadi
apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga
harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang tersangkut
dalam tindak pidana tersebut. Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak
pidana dapat dikategorikan sebagai:
1. Yang melakukan;
2. Yang menyuruh melakukan;
3. Yang turut melakukan;
4. Yang menggerakkan/ menganjurkan untuk melakukan;
5. Yang membantu melakukan.

Dalam Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa ancaman pidana penjara
bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah paling lama 1/2 dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP pada Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287. Yang
termasuk tindak pidana biasa adalah yang diatur di dalam Pasal 285 dan
Pasal 286 KUHP. Sedangkan Pasal 287 KUHP merupakan delik aduan,
apabila yang bersangkutan (korban) berusia antara 12 sampai dengan 15
tahun. Dengan demikian terhadap Pasal 287 yang korbannya adalah

206 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

perempuan berusia di bawah 12 tahun merupakan tindak pidana biasa.


Jenis tindak pidana aduan dalam Pasal 287 menjadi gugur dan berubah
menjadi tindak pidana biasa jika akibat persetubuhan tersebut
menyebabkan anak yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun
tersebut mengalami luka, atau meninggal dunia.
Majelis akan mempertimbangkan dakwaan ketiga, dimana Para
Terdakwa didakwa melakukan perbuatan yang melanggar dan diancam
pidana dalam pasal 290 ke-1 KUHP jo pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, dimana
untuk dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam pasal tersebut perbuatan Para Terdakwa harus memenuhi unsur-
unsur : 1. Unsur Barangsiapa. 2. Unsur melakukan perbuatan cabul dengan
seorang wanita. 3. Unsur padahal diketahui bahwa wanita itu pingsan atau
tidak berdaya.
Bahwa visum merupakan surat yang dibuat oleh pejabat dan dibuat
atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat bukti surat.
Dengan demikian visum memiliki nilai pembuktian di persidangan
Bukti visum et repertum (visum) dikategorikan sebagai alat bukti surat.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 187 KUHAP yang menyatakan:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu;
2. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya;

D. SYARAT TURUT SERTA MELAKUKAN


Kemungkinan beberapa orang bersama-sama melakukan tindak
pidana semua dari mereka yang terlibat memenuhi semua unsur, ada yg
memenuhi semua unsur, ada yg sebagian unsur, bahkan ada yang tidak
memenuhi unsur sama sekali; semua hanya memenuhi sebagian unsur

Pidana Turut Serta | 207

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

saja; syarat: kerjasama secara sadar, tidak perlu ada kesepakatan tapi
harus ada kesengajaan untuk: bekerja sama dan mencapai tujuan yang
sama berupa terjadinya suatu tindak pidana; permufakatan jahat.
Kerjasama secara fisik, ada pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan
perbuatan yang langsung menyebabkan selesainya suatu delik.

E. PERBEDAAN DOENPLEGEN DENGAN UITLOKKEN


Bentuk penyertaan uitlokkenn ini hampir sama dengan doenplegen
yakni dalam mewujudkan delik ada 2 pihak yang terlibat orang yang
menyuruh, orang yang membujuk, dan orang yang disuruh, orang yang di
bujuk.
Adapun perbedaanya pada doenplegen (menyuruh melakukan) adalah:
1. Orang yang disuruh tergolong orang yang tidak
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sebab pada nya tidak
dapat dipidana karena ada alasan peniadaan pidana yang melekat
pada unsur si pembuat dan yang dipidana adalah si penyuruh (manus
domina).
2. Daya upaya atau sarana yang di pakai penyuruh untuk menggerakan
tidak ditentukan secara limitative dalam undang-undang artinya dapat
berupa apa saja.

Sedangkan pada uitlokken (membujuk untuk melakukan):


1. Orang yang dibujuk (pelaku materiil) dapat dipertanggungjawabkan
atau dapat dapat dipidadana karena melakukan suatu tindak pidana.
Demikian halnya si pembuat dipidana karena menggerakan orang
untuk melakukan tindak pidana;
2. Daya upaya yang digunakan pembujuk ditentukan secara limitative
dalam undang-undang yakni pemberian perjanjian, slah memakai
kekuasaan atau pengaruh dengan paksaan, ancaman atau tipu
muslihat atau dengan memberikan kesempatan, ikhtiar atau
keterangan.

208 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sedangkan apa yang dimaksud uitlokken/pembujukan adalah:


Syarat adanya uitlokken/pembujukan adalah:
1. Ada pelaku materiil
2. Dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
3. Ada sengaja menggerakan oranglain melakukan tindak pidana
4. Daya upaya meggerakan
5. Keputusan kehendak pelaku mewujdukan upaya datangnya dari kaum
intelektual
6. Ada percobaan yang dianjurkan

Sebagai doenpleggen pelaku materil sebagai alat tangan doenplegen


sehingga tindak pidana yang dilakukannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya dan yang bertanggungjawab adalah
pelaku intelektual (manus domina).
Kemudian ada lagi tentang pembantuan (medeplechteid) yang diatur
dalam pasal 56 KUHP:
Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan suatu kejahatan:
- Ke 1: barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
- Ke 2: barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan melakukan kejahatan itu.

Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah melakukan


mededaer bukan lagi membantu. Perbuatan membantu adalah perbuatan
yang sifatanya memudahkan sipelaku melakukan kejahatannya yang
terdiri atas bagaian materiil atau immaterial.
Pasal 56 KUHP mempunyai bentuk pembantuan sebagai berikut:
1. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke 1 KUHP);
2. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan memberi
kesempatan, sarana dan keterangan (Pasal 56 ke 2 KUHP).

F. YANG MENGGERAKKAN, MEMBUJUK, MEMANCING,


MENGANJURKAN
Syarat ada kesengajaan utk menggerakkan org lain melakukan tindak
pidana yaitu dengan upaya-upaya yang diatur secara limitatif dalam pasal
55 ayat (1) butir 2 kuhp : pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan,

Pidana Turut Serta | 209

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pengaruh, kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu daya atau dgn


memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan. Ada yg tergerak utk
melakukan tindak pidana dengan upaya-upaya di atas; yg digerakkan
dapat dipertanggungjawabkan hukum pidana yang menggerakkan
bertanggung jawab terhadap akibat yg timbul.
Pemidanaan terhadap penggerak (uitlokker), diancam pidana yang
sama dengan pelaku langsung (yang digerakkan/uitgelokte), pada
penggerakan yang berhasil (geslaagde uitlokking) penggerakan yang
sampai pada taraf percobaan yang dapat dipidana. Pasal 163 bis 1:
penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking/poging tot uitlokking =
mencoba menggerakkan) penggerakan tanpa akibat (zonder gevolg
gebleven uitlokking) - pemidanaan terhadap penggerak: maksimal 6 tahun
penjara atau denda rp. 4500, tetapi tidak boleh lebih berat daripada:
pidana untuk percobaan kl percobaannya dapat dipidana pidana karena
melakukan tapi dalam hal percobaan melakukan tapi tidak dapat dipidana
Pasal 163 bis menurut Pompe, Jonkers, Hazewinkel-suringa: pasal 163
bisa berlaku juga pada doeplegen, karena istilah yang digunakan dalam
rumusan pasalnya bukan uitlokken tetapi trachten te bewegen (yang
maknanya lebih luas dari uitlokken) pasal 163 bis berlaku pada doenplegen,
asalkan daya upaya yang digunakan terbatas pada daya upaya yang
disebut pasal 55 ayat (1) ke-2 kuhp
Penggerakan yang berhasil sampai dalam taraf percobaan yg dapat
dipidana pasal 53 pasal 163 bisa penggerakan yang gagal, pasal 163 bisa
penggerakan tanpa akibat: mengundurkan diri yang digerakkan melakukan
tindak pidana lain. Tanggungjawab penggerak sebatas perbuatan yang
digerakkan beserta akibat-akibatnya (Pasal 55 ayat 2).
Doenplegen dalam hal delik jabatan, apabila seorang pegawai negeri
menyuruh orang yang bukan pegawai negeri untuk melakukan tapi yang
diatur dalam bab XVIII KUHP apakah yang menyuruh dapat dipidana,
dapat apakah yang disuruh dapat dipidana, tergantung: Mengetahui atau
tidak bahwa yang menyuruhnya adalah pegawai negeri kalau dia
mengetahui tapi tetap melakukan berarti dapat dipidana, sekaligus artinya
adalah tidak terjadi menyuruh melakukan.

210 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Apabila seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh seorang


pegawai negeri untuk melakukan delik jabatan: - pendapat Van Hamel,
Simons (para sarjana yang klasik): tidak mungkin terjadi konstruksi seperti
itu karena yang menyuruh harus memenuhi kualitas pelaku - pendapat
Jonkers, Vos (para sarjana yang lebih modern) dan hr: mungkin saja
seorang bukan pegawai negeri menyuruh seorang pegawai negeri.
Turut melakukan beberapa orang bersama-sama melakukan
Kemungkinannya semua dari mereka yang terlibat, masing- masing
memenuhi semua unsur tp ada yang memenuhi semua unsur; ada yang
memenuhi sebagian saja, bahkan ada yang sama tidak memenuhi unsur
delik semua hanya memenuhi sebagian-sebagian saja unsur delik.
Syarat turut melakukan ada kerja sama secara sadar tidak perlu ada
kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan: - untuk bekerja sama, dan -
untuk mencapai hasil yang berupa tapi Ada pelaksanaan bersama-sama
secara fisik (tidak dalam arti bahwa para peserta harus bersama-sama
berada di lokasi kejadian).
Membantu melakukan pasal 56 – 57 kuhp dilakukan sengaja: tdk ada
niat utk melakukan tindak pidana, tdk ada kepentingan lebih lanjut, hanya
sekedar membantu saja. Dibagi atas: membantu sebelum tindak pidana
dilakukan dan pada saat tindak pidana dilakukan sarana: kesempatan,
daya upaya, keterangan yang dipidana hanya jika membantu melakukan
kejahatan (ps. 56 dan 60) ancaman pidana: -1/3
Membantu melakukan (pasal 56, 57 kuhp) harus dilakukan dengan
sengaja menurut pasal 56, ada 2 jenis:
1. Membantu sebelum tp dilakukan sarananya: kesempatan, daya upaya
(alat), keterangan
2. Membantu pada saat tp dilakukan sarananya: boleh apa saja yang
dipidana hanya membantu melakukan kejahatan (lihat pasal 56 dan
pasal 60 kuhp)

Ancaman pidana maksimal bagi seorang pembantu: pidana bagi


pelaku kejahatan dikurangi 1/3-nya. Tambahan tindakan-tindakan sesudah
tindak pidana terjadi: pasal 221, 223, 480, 481, 482, 483 penyertaan
mutlak perlu: ps. 149, 238, 279, 284, 345. Penyertaan dalam penyertaan

Pidana Turut Serta | 211

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

G. PENTINGNYA AJARAN PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA


Dengan percobaan (melakukan tindak pidana) penyertaan juga
memperluas sifat dapat dipidana. Dalam hal ini ada 2 pandangan tentang
sifat dapat dipidannya penyertaan yakni:
a. Sebagai dasar memperluas dapat dipidannya orang
Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana.
Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
b. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan.
penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana
hanya bentuknya istimewa. Pandangan ini dianut oleh Pompe,
Moeljatno dan Roeslan Saleh.

Dalam penerapannya oleh JPU dalam surat dakwaan ketentuan


tentang penyertaan tidak dapat berdiri sendiri tanpa di junctionkan
dengan suatu tindak pidana. Karena hal tersebut tidak dapat dipandang
sebagai suatu delik melainkan unsur pertanggungjawaban pidana.
Selain itu tidak dapat dikatakan misalnya delik penyertaan pencurian
melainkan penyertaan dalam delik pencurian Pasal 362 KUHP jo Pasal 55
atau penyertaan delik pembunuhan Pasal 338 jo pasal 55 KUHP.
Pentingnya ajaran penyertaan dalam hukum pidana dapat dimaknai
sebagai berikut:
1. Jika ajaran penyertaan dalam hukum pidana tidak diatur dalam Bab I
KUHP maka sangat tidak adil jika suatu tindak pidana terdapat seorang
mempunyai niat mewujudkan suatu tindak pidana dengan menyuruh
atau membujuk oranglain untuk melakukannya dan orang tersebut
tidak dapat dijangkau hukum pidana dan tidak dapat dipidana karena
si penyuruh atau si pembujuk tidak melakukan perbuatan atau tidak
menimbulkan suatu akibat sebagaimana dilarang dalam rumusan delik.
2. Pengaturan penyertaan dalam ketentuan dimaksudkan merangkum
unsur-unsur umu dalam KUHP dan delik khusus yang terdapat diluar
KUHP.

212 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

H. RANGKUMAN MATERI
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
(tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan
(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
seseorang lain melakukan tindak pidana. Menurut VanHamel, memberikan
definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian
pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut
pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku
dengan tindakan sendiri.
Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya
orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP. Ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya
berbunyi:
1. Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua
orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi
bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua
orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua
orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan jadi melakukan
anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), Orang yang dengan sengaja
membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan memberikan
sesuatu, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,
ancaman dan tipu daya.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu
melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum
(jika tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.

Pidana Turut Serta | 213

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah


setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana.
Pada mulanya yang disebut dengan turut berbuat itu ialah bahwa masing-
masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi
semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Di lihat dari sudut pertanggungjawabannya maka pasal 55 ayat (1)
KUHP di atas pelaku tindak pidana adalah sebagai penanggung jawab
penuh, yang artinya pelaku di ancam dengan hukuman maksimum pidana
pokok dari tindak pidana yang dilakukan.
Dalam doktrin hukum pidana orang yang di peralat di sebut sebagai
manus ministra sedangkan orang yang memperalat di sebut sebagai
manus domina juga di sebut sebagai middelijke dader (pembuat tidak
langsung).
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut
rumusannya berbunyi: (1). Mereka yang dengan sengaja telah
memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut. (2). Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Bentuk penyertaan uitlokkenn ini hamper sama dengan doenplegen
yakni dalam mewujudkan delik ada 2 pihak yang terlibat orang yang
menyuruh, orang yang membujuk, dan orang yang disuruh, orang yang
dibujuk.
Adapun perbedaanya pada doenplegen (menyuruh melakukan) adalah:
1. Orang yang disuruh tergolong orang yang tidak dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana sebab pada nya tidak dapat dipidana karena ada
alasan peniadaan pidana yang melekat pada unsur si pembuat dan yang
dipidana adalah si penyuruh (manus domina).
2. Daya upaya atau sarana yang dipakai penyuruh untuk menggerakan
tidak ditentukan secara limitative dalam undang-undang artinya dapat
berupa apa saja.
Sedangkan pada uitlokken (membujuk untuk melakukan):
1. Orang yang dibujuk (pelaku materiil) dapat dipertanggungjawabkan
atau dapat dapat dipidadana karena melakukan suatu tindak pidana.
Demikian halnya si pembuat dipidana karena menggerakan orang untuk
melakukan tindak pidana;

214 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

2. Daya upaya yang digunakan pembujuk ditentukan secara limitative


dalam undang-undang yakni pemberian perjanjian, slah memakai
kekuasaan atau pengaruh dengan paksaan, ancaman atau tipu muslihat
atau dengan memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Kapan penyebutan Deelneming dilakukan?
2. Apa Perbedaan Uitlokker dengan Medepleger?
3. Apa saja bagian Deelneming?
4. Apa itu Perkosaan? Dan apakah diajukan delik aduan?
5. Apa itu Visum Et Repertum?

Pidana Turut Serta | 215

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Muhammad Ansori Lubis, dkk, Hukum Pidana, CV Andalan Bintang Ghonim,
2019, Medan.
Sudarto, 1986,. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Santoso, Topo, 2012. Kriminologi. Rajawali Pers, Jakarta
Soesilo, R. 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.
Utomo, Warsito Hadi, 2005. Hukum Kepolisian Di Indonesia. Cipta
Manunggal, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kepolisian Negara
Indonesia sebagaimana diperbahrui Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat
Kepolisian Daerah
Perkap No 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan tata Kerja Pada
Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor
Kitab undang-undang hukum pidana
Kitab undang-undang

216 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 11: HUBUNGAN SEBAB
AKIBAT PIDANA

Dr. Reimon Supusepa, S.H., M.H

Fakultas Hukum Universitas Patimura

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 11
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT PIDANA

A. PENDAHULUAN
Tiga masalah pokok dalam hukum pidana adalah tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Tindak pidana berkiatan
dengan perbuatan pidana (Srafbaar feit) sebagai suatu perbuatan yang
dilarang atau perintah dan disertai sanksi pidana apabila melanggar atau
tidak melaksanakan perintah. Berkaitan dengan itu maka yang menjadi
dasar dalam pelaksanaan hukum pidana (hukum pidana materiil) adalah
berkaitan dengan asas legalitas, yakni dapat tidaknya seseorang dipidana
bergantung dari ada tidaknya perbuatan pidana atau tindak pidana itu
dilarang oleh aturan pidana. Hukum pidana Indonesia sebagai sistem
hukum yang merupakan adopsi dari hukum Belanda dalam menetapkan
perbuatan pidana atau tercelanya suatu perbuatan adalah menggunakan
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan dalam pasal 1 ayat (1) yang dikenal
dengan asas legalitas, merupakan tolak ukur dalam menentukan atau
mengetahui secara pasti dan jelas, perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana. Perumusan dalam pasal 1 ayat (1) yang dikenal dengan
asas legalitas, merupakan tolak ukur dalam menentukan atau mengetahui
secara pasti dan jelas, perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana.
Pidana didefinisikan sebagai aturan hukum yang mengikat kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang
berupa pidana. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal,
yaitu sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar
pengarunya kepada timbulnya akibat itu (Moeljanto, Asas-Asas Hukum
Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hal: 7):
1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
2. Pidana

218 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dengan adanya ketentuan tersebut maka, barangsiapa yang terbukti


melanggar ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan
atau dengan kata lain telah memenuhi semua unsur yang telah tercantum
dalam undang-undang pidana maka secara formal perbuatan tersebut
merupakan perbuatan pidana terlepas dari apakah perbuatan tersebut
benar-benar dirasakan oleh masyarakat tidak patut.
Selanjutnya persoalan kedua lebih berkaitan dengan asas kesalahan
atau asas culpalibitas, di mana seseorang baru dapat dipidana, jika
memiliki kesalahan (culpa) yang mesti dibuktikan oleh pengadilan. Dengan
kesalahan (guilt, schuld) tersebut hakim kemudian memiliki alasan untuk
menjatuhkan pidana. Sedangkan persoalan yang ketiga berkaitan dengan
jenis, berat dan lamanya pidana serta tujuan yang hendak dicapai dari
penjatuhan pidana itu.
Khususnya yang berkaitan dengan permsalahan yang pertama, sering
timbul perdebatan dikalangan ahli hukum pidana, baik mengenai arti
maupun hakikat dari tindak pidana. Perdebatan ini beralasan, mengingat
unsur-unsur tindak pidana dapat meliputi baik unsur objektif, yakni
perbuatan yang dilarang termasuk akibat, maupun unsur subjektif yakni
keadaan tertentu yang mensyaratkan pelaku dapat dipidana.

B. AJARAN SEBAB AKIBAT


Menurut Ajaran hukum pidana dikenal suatu ajaran
“causalitas“ secara harfiah berasal kata yakni “causa” yang berarti
“sebab“ (oorzaak). Ajaran causalitas dapat diartikan sebagai hal sebab-
akibat, hubungan logis antara sebab dan akibat, setiap peristiwa selalu
memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain, sebab dan
akibat membentuk rantai yang bermula di suatu masa lalu, Yang menjadi
fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan makna di atas), tetapi makna
yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat
menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
suatu akibat tertentu.
Dihubungkan dengan konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa
latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 219

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktin tersebut dirumuskan
dengan an act does not make a person guility, unless the mind is legally
blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah
yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).
Ajaran Kausalitas dihubungkan dengan jenis-jenis tindak pidana yang
pertama Delik Materiil merupakan perbuatan yang menyebabkan
konsekuensi-konsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang
tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan delik,
misalnya. Pasal. 338, Pasal 359, Pasal 360.
Kedua adalah Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per
omissionem/oneigenlijke omissiedelicten) merupakan pelaku tidak
melakukan kewajiban yang dibebankan padanya dan dengan itu
menciptakan suatu akibat yang sebenarnya tidak boleh ia ciptakan. Ia
sekaligus melanggar suatu larangan dan perintah; ia sesungguhnya harus
menjamin bahwa suatu akibat tertentu tidak timbul.
Ketiga dihubungkan dengan Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir yang
merupakan tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang
berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena
akibat-akibat khusus yang dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana
yang lebih berat ketimbang sanksi yang diancamkan pada delik pokok
tersebut. Pengkualifikasian delik juga dapat dilakukan atas dasar akibat
yang muncul setelah delik tertentu dilakukan, mis. Ps 351 (1) Ps 351 (2)/ Ps
351 (3)
Ajaran sebab-akibat atau “causalitas” ini oleh pembentuk undang-
undang tidak dirumuskan secara jelas dalam KUHP (WvS), namun dalam
beberapa pasal tertentu yang merupakan sebab dari suatu akibat tertentu
dinyatakan, seperti pasal 338, 351, 359, 209, 210 KUHP.
Persoalan ada tidaknya hubungan sebab-akibat antara kealpaan yang
salah dari bencana yang timbul di serahkan kepada penilaian hakim.
Dengan kata lain, hal yang dapat diduga dari suatu akibat merupakan
unsur dari suatu kesalahan ini termasuk didalamnya dan tidak perlu
dituduhkan secara khusus.

220 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Teori sebab akibat (kausalitas) diperlukan untuk menentukan adanya


hubungaan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang
dilarang. Oleh karena itu keberadaan teori ini sangat diperlukan untuk
tindak pidana materiil, dan tindak pidana yang dikualifikasikan oleh
akibatnya. Hal ini disebabkan dalam tindak pidana materiil terdapat unsur
akibat konstitutif, yaitu berkaitan dengan apa yang menjadi sebab dari
akibat yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan tersebut dan
pihak mana yaang bertanggungjawab atas tindak pidana tersebut.
Umumnya paham causalitateit mencari jawaban atas pertanyaan
“kapan sesuatu perbuatan itu dapat dianggap sebagai sebab dari suatu
akibat yang dilarang oleh Undang-undang”. Pertanyaan ini mendasar
dalam hukum pidana, karena suatu akibat yang terjadi tidak mungkin
berdiri sendiri, melainkan atas dasar sebab yang menyertainya. Di dalam
proses pembuktian, di dalam ajaran hukum pidana dikenal jenis tindak
pidana materiil dan tindak pidan formil, di mana inti dari tindak pidana
ada yang bertumpu pada perbuatan yang dilarang (delik formil) dan ada
yang didasarkan pada akibat yang terjadi (delik materiil). Ajaran causalitas
lebih bertumpu pada rumusan tindak pidana (delik) materiil, yakni akibat
yang terjadi. Namun untuk membuktikan akibat yang terjadi, perlu dicari
sebab yang relevan dari hubungan sebab akibat tersebut.
Untuk mengetahui pemikiran teoritis di atas, maka selanjutnya akan di
kemukakan ajaran causalitas atau sebab akibat yang terdapat di dalam
ajaran atau doktrin hukum pidana.
Hal kausalitas ini sangat berhubugan dengan delik-delik materil,
karena dalam delik materil yang dilarang oleh undang-undang adalah
akibatnya. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis delik dan
diantaranya jenis yang penting bagi ajaran causalitas adalah perbedaan
diantara “delik formil dan delik meteriil“
Dikatakan bahwa antara kerugian negara dan orang tadi harus ada
hubungan causal, sehingga jika hubungan causal ini dapat dibuktikan,
maka dapat ditetapkan pula bahwa kerugian negara itu adalah karena
kelakukan dari si A tadi, karenanya si A dapat dituntut dan diminta
pertanggungjawab pidana dari padanya.

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 221

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam delik di atas di mana unsur akibat ditentukan dalam rumusan,


maka penentuan elemen kelakuan yang menimbulkan akibat tersebut
diadakan dengan menggunakan ajaran tentang causalitas. Tanpa adanya
hubungan causal antara akibat yang tertentu dengan kelakukan si A yang
didakwa menimbulkan akibat tadi, maka tak mungkin dapat dibuktikan
bahwa si A telah melakukan tindak pidana tersebut, apalagi
dipertanggungjawabkan kepadanya.
Setelah kita meninjau kembali perbedaan antara delik formil dan
materiil itu, dapatlah dipahami, bahwa yang menjadi dasar penuntutan
adalah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang, yang berarti bahwa
perbuatan itu dalam jenis delik tersebut menjadi unsur dari delik, agar
orang dapat dipersalahkan. Akan tetapi, apabila ditinjau lebih dalam, maka
tiap perbuatan dapat menimbulkan sesuatu akibat, yaitu misalnya
memberi keterangan palsu dibawah sumpah yang tergolong jenis tindak
pidana formil, sehingga dapat menimbulkan akibat hilangnya keterangan
yang sebenarnya dari apa yang seharusnya disampaikan.
Walaupun demikian dalam tindak pidana formil, akibat yang timbul
karena sesuatu perbuatan tidak menjadi soal, karena yang dilarang adalah
perbuatan di dalam tindak pidana.
Ketentuan bagi jenis tindak pidana formil ini adalah berlainan dengan
tindak pidana materiil, di mana yang menjadi unsur dari tindak pidana
berupa sesuatu akibat, sedangkan perbuatannya sendiri tidak dijadikan
objek.
Pada Arrest Hoge Militer Gerechtschof, 8 Februari 1924, antara lain
ditentukan sebab dari akibat yang menggunakan ajaran adanya hubungan
langsung antara kelakuan dan akibat “(causaliteit van het onmiddelijk en
dadelijk gevolg). Ini bersumber dari pasal 1248 Burgerlijk Wetboek
tentang “kewajiban ganti rugi” (schade-vergoedings-plicht). Tersimpul dari
pasal 1248 tersebut, bahwa kerugian hanya meliputi keadaan yang
ditimbulkan secara langsung karena tidak ditepatinya perjanjian.
Dari penjelasan di atas, maka diasumsikan bahwa setiap sebab tidak
terbatas kepada suatu kejadian atau tindakan yang dapat di pidana saja,
melainkan berlaku untuk semua kejadian atau peristiwa, dan setiap
penyebab mengandung suatu akibat, ibarat hukum alam yang terjadi
akibat adanya reaksi terhadap setiap aksi.

222 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Von Buri dalam membahas ajaran sebab-akibat, mengemukakan


bahwa dalam praktek adalah lebih serasi jika selalu disesuaikan dengan
perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat., Terhadap akibat
secara kasuistis perlu diadakan keseimbangan antara kesadaran hukum
perseorangan atau kelompok masyarakat tertentu dengan ajaran
condition sine quanon (teori syarat), teori umum keseimbangan dan teori
khusus secara berimbang, factor keadaan tempat dan waktu juga
mempengaruhi penilian tersebut.

C. TEORI SEBAB AKIBAT


Di dalam perkembangan doktrin hukum pidana, di kenal bebeapa
ajaran hukum pidana mengenai ajaran causalitas, seperti:
1. Teori Condition Sine Qua Non (teori syarat)
Teori ini berasal dari seorang ahli hukum pidana Jerman yan
bernaman Von Buri pada tahun 1873 yang menyatakan bahwa suatu
penyebab ialah semua factor yada ada dan tidak dapat dihilangkan untuk
menimbulkan suatu akibat.
Menurut ajaran teori ini, suatu kejadian yang merupakan akibat
biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau faktor
yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang berhubungan.
Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut serta menyebabkan suatu
akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor ybs.
Harus dianggap causa (sebab) akibat itu teori ini juga disebut teori
ekivalensi (aquivelenz-theoire) atau bedingungtheorie. Semua syarat
nilainya sama (ekuivalensi) Ada beberapa sebab, Syarat sama dengan
sebab teori ini membedakan atara faktor syarat (bedingung) dan mana
faktor penyebab (causa). Dengan demikian maka pertanggungjawaban
pidana menjadi lebih diperluas lagi karena perbuatan pelaku dari sudut
objektif hanya sekedar syarat saja dari timbulnya akibat. Kelemahan teori
ini tidak membedakan atara faktor syarat dan faktor penyebab, yang
dapat menimbulkan ketidakadilan contoh: seorang bapak yang
mengendarai mobil yang menimbulkan suara keras pada gesekan ban dan
aspal yang menyebabkan pengguna jalan yang lain meinggal karena kaget
dan membuat kambuh penakit jantung sehingga meninggal di tempat. Jika
dilihat dari unsur kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) maka perbuatan

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 223

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

bapak yang mengendari mobil seharusnya tidak dapat bertanggujawab


secara pidana atas kematian pengguna jalan yang mengalami serangan
jantung mendadak bunyi keras akibat gesekan ban dan aspal. Teori ini
pernah diterapkan di negeri Belanda pada Putusan Hoge Raad tahun 8
April 1929 yang menyatakan bahwa untuk dianggap sebagai sebab
daripada suatu akibat, perbuatan tidak perlu bersifat umum atau normal.

2. Teori Khusus (individualiserende theorie)


Disamping ajaran Von Buri di atas, terdapat berbagai ajaran lainnya
yang pada intinya dalam mencari sebab dari suatu akibat dibatasi pada
suatu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan,
paling dekat atau seimbang dengan timbulnya sesuatu akibat.
Teori yang mengindividualisir ialah teori yang dlam usaha mencari dan
menemukan suatu factor penyebab dari timbunya suatu akibat dengan
cara melihat pada factor yang ada atau terdapat sebab setelah perbuatan
dilakukan artinya peristiwa dan akibatnya terjadi secara langsung atau
konkrit (post faktum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi maka
antara sekian rangkaian faktor yang terjadi melalui suatu rangkaian
peristiwa tersebut, tidak semua merupakan faktor penyebab.
Pendapat lain yang disampaikan oleh Traeger misalnya, membedakan
antara rangkaian peristiwa-peristiwa/kelakuan-kelakuan dan mencari
salah satu diantara peristiwa-peristiwa tersebut, yakni yang paling dekat
menimbulkan akibat yang terlarang itu oleh undang-undang. Ia
membedakan antara syarat dan alasan (voor waarde en aanleiding).
Karena itu, Traeger menurut ajaran teorinya hanya mencari satu faktor
saja, yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat.
Teori ini kemudian berkembang dan yang termasuk teori ini antara
lain : G.E Mulder yang menyampaikan bahwa Sebab adalah syarat yang
paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.
Pendapat lain yang disampaikan oleh Von Bar tidak mempersoalkan
tindakan mana atau kejadian mana yang in concreto memberikan
pengaruh (fisik/psikis) paling menentukan. Yang dipersoalkan adalah
apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan
terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam
rangkaian kausalitas yang ada

224 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Teori-pengaruh-terbesar atau “die meist Bedingung“ dari Breik Meyer.


Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non. Di dalam rangkaian
syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu
dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling
banyak membantu untuk terjadinya akibat.
a. Menurutnya, sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling
besar pengarunya kepada timbulnya akibat itu. Misalnya, jika dua
kuda menghela sebuah kereta, maka perjalalannya kereta itu adalah
disebabkan oleh tarikan dari salah seekor kuda yang terkuat
diantaranya.
b. Teori yang paling menentukan atau die doorslag geeft; de theorie van
het “Gleichgewicht”, Overwichr van positive over negatieve
voorwaardon, yang dikemukakan oleh Binding. Dikatakan bahwa,
setiap peristiwa yang harus dianggap sebagai akibat ialah peristiwa
positip (yang menjurus kepada timbulnya akibat) dan yang lebih
menentukan daripada peristiwa negatif.
c. Teori-kepastian atau die art des Werdens, yang dikemukakan oleh
Kohler. Dikatakannya, yang harus dianggap sebagai sebab adalah
peristiwa yang pasti menimbulkan sesuatu akibat. Teori ini lebih
menonjol jika peristiwa-peristiwa/syarat-syarat itu hampir sama satu
dengan lainnya. Misalnya, jika seseorang sangat peka terhadap
keracunan tertentu, lalu dimakankan kepadanya sejumlah racun
tertentu yang noraliter tidak mengakibatkan matinya orang, maka jika
ia mati “kepekaan-nya” itulah yang memastikan akan timbulnya akibat
itu dari pada racun itu.

3. Teori Umum (generaliseerende theorie)


Teori ini menjelaskan bahwa dalam mencari sebab-sebab dari faktor
yang berpengaruh atau memiliki hubungan dengan timbulnya akibat
adalah dengan menilai faktor yang seara akal serta pengalaman pada
umumnya menimbulkan akibat.
Teori ini menganut ajaran pembatasan, yang mandasarkan
pemikirannya pada fakta sebelum tindak pidana terjadi (ante factum),
yaitu fakta yang pada umumnya menurut perhitungan yang layak, dapat
dianggap sebagai sebab/kelakuan yang menimbulkan akibat. Fakta

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 225

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

mencakupi (strekken) dan selanjutnya menimbulkan akibat. Ajaran ini


disebut sebagai teori umum atau geeraliseerende theorie. Perbedaannya
bertolak penegertian “perhitungan yang layak“. Di dalam perkembangan
teori ini mengenal beberapa bentuk, antara lain:
1. Teori Adequat Subjectif
Adaequatie Theorie atau teori keseimbangan yang dikemukakan oleh J.
Von Kries menyatakan bahwa Sebab adalah keseluruhan faktor positif
& negatif yang tidak dapat dikesampingkan tanpa sekaligus
meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan
pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai
kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret,
tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari
faktor-faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu. Sebab
sama dengan syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu
memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu,
biasanya memunculkan akibat itu, atau secara objectif memperbesar
kemungkinan munculnya akibat tersebut. Apakah suatu tindakan
memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat
diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk pengetahuan:
a. Hukum umum probabilitas dalam peristiwa yang
terjadi/pengetahuan nomologis yang memadai
b. Situasi faktual yang melingkupi peristiwa yang terjadi/
pengetahuan ontologis/pemahaman fakta (empirik)

Karena J. Von Kries mencari faktor penyebab itu adalah pada


dibanyaknannya menimbukan akibat sehingga teori ini sering disebut
juga Teori Subjektive Pronose (peramalan subjektif). Ajarannya ini juga
menjelaskan bahwa peristiwa atau kelakuan yang harus dianggap
sebagai sebab dari pada akibat yang timbul adalah kelakuan yang
menurut perhitungan yang layak seimbang dengan akibat itu.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan perhitungan yang layak ialah,
peristiwa yang diketahui atau yang harus diketahui atau yang harus
diketahui oleh pelaku. Inilah yang dimaksud dengan “subjectieve
prognose“ atau teori keseimbangan subjektif. Alasannya, karena

226 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pengetahuan pelaku erat sekali hubungannya dengan “hubungan


batin pelaku terhadap akibat yang dikehendakinya“.

2. Teori Adequat Objektif


Pada Teori ini ini tidak memperhatikan sikap sikap batin dari si
pembuat sebelum berbuat namun dilihat dari faktor-faktor yang ada
setelah peristiwa senyatanya beserta akibat akibatnya yang dapat
diperkirakan secara nalar atau akal (objektif) faktor tersebut dapat
menimbulkan akibat.
Menurut pendapat Rumelink (Teori Adequat Objectif) menjelaskan
faktor yang ditinjau dari sudut objektif, harus (perlu) ada untuk
terjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang
diketahui atau mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya,
melainkan pada fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah
diketahuinya atau tidak jadi pada apa yang kemudian terbukti
merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwa tersebut.
Menurut pendapat Simons bahwa Sebab adalah tiap-tiap kelakuan
yang menurut garis-garis umum pengalaman manusia dapat
menimbulkan akibat. Pendapat lain yang disampaikan oleh Pompe
bahwa sebab adalah hal yang mengandung kekuatan untuk dapat
menimbulkan akibat

Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, maka dari berbagai teori
sebagaimana diketengahkan, selanjutnya Pompe menambahkan bahwa
sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa atau factor yang padanya
terletak kekuatan yang menimbulkan suatu akibat tertentu.
Menurutnya, faktor-faktor yang mencakup timbulnya akibat itu
merupakan sebab. Karena faktor sedemikian itu nyata, dan dapat
menimbulkan akibat sehingga penentuan sebab sehubungan dengan
penerapan aturan hukum pidana dapat digunakan teori umum
keseimbangan (generaliseerende theorien der adaequate) dalam
pengertian pencakupan (strekking). Demikian juga dapat digunakan teori
khusus dalam pengertian kekuatan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Pompe menggabungkan teori umum dan khusus dalam fahamnya
itu.

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 227

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Penerapan ajaran causalitas dalam tindak pidana. Dalam penjelasan


bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa walaupun ajaran sebab-akibat
oleh pembentuk undang-undang tidak memberikan pengertian, maka
dengan memahami ajaran causalitas dalam doktrin hukum pidana,
setidaknya kita dapat menentukan ajaran apakah yang tepat digunakan
dalam menganalisis kasus-kasus pidana. Itulah sebabnya, tidak akan
atruan yang mengikat hakim untuk menggunakan teori causalitas mana
sebagaimana di dalam doktrin hukum pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebab-akibat
dirumuskan dalam beberapa bentuk, seperti:
1. Penyebab dirumuskan secara jelas, yaitu berupa suatu kelakuan
yang didorong atau diharuskan
Dalam beberapa pasal KUHP telah ditentukan kelakuan atau tindakan
yang dilarang atau diharuskan sebagai penampakan penyebab (causa) dari
suatu akibat tertentu. Perumusan penyebab tersebut antara lain ialah
kata-kata “dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir”
(Pasal 187 ayat 3), “dengan sengaja menimbulkan bahaya bagi lalu lintas
umum, yang digerakan oleh tenaga uap atau mesin lainnya di jalan kereta
api atau trem” (Pasal 194 ayat 2), dan penganiayaan. (Pasal 351 ayat 3),
kelakuan atau tindakan tersebut merupakan sebab (causa, oorzaak) dari
kematian seseorang.
Untuk memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang disebutkan di
atas, tidak disyaratkan lagi untuk mencari sebab dari kelakuan atau
tindakan tersebut. Demikian pula tidak diperlukan rnencari atau
mengungkap akibat lebih jauh dari yang telah ditentukan. Apa sebabnya
pelaku melakukan penganiayaan misalnya, atau apakah akibat dari
kematian seorang ayah yang harus mencari makanan untuk anak-anaknya
yang masih kecil-kecil.
Tidak di isyaratkan dalam rangka pembuktian telah terjadi suatu delik
yang dilarang dalam pasal tersebut. Kalau tidak di ungkapkan penyebab-
penyebab yang lebih jauh kedepan, pengungkapan tersebut lebih
berfungsi sebagai penentuan motif dan alasan yang turut berpengaruh
untuk memastikan tingkat kesalahan (schuld) dari pelaku.

228 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

2. Suatu akibat dirumuskan secara jelas, yaitu berupa suatu kenyataan


yang ditimbulkan oleh suatu penyebab (causa)
Dengan uraian di atas, maka luka atau mati seseorang yang
dirumuskan dalam pasal-pasal 187 ayat (3), 194 ayat (2) dan 351 ayat (3)
dan sebagainya merupakan akibat yang di rumuskan secara jelas. Apabila
dalam hal ini diungkapkan juga misalnya bahwa akibat dari matinya sang
ayah, telaht menelantarkan anak-anaknya yang ditinggal, maka
pengungkapan tersebut lebih berfungsi sebagai keadaan yang
memberatkan (penuntut/penjatuhan) pidana.

3. Dapat disimpulkan bahwa sebab dan akibat itu sebagai dirumuskan


sekaligus
Kalau diperhatikan perumusan pasal 338 KUHP, tentang
“pembunuhan”, yaitu “dengan sengaja merampas nyawa orang lain" atau
dalam Pasal 351 ayat (1) tentang "penganiayaan", tidak jelas yang mana
yang merupakan sebab, dan mana yang berupa akibat.
Pada kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut
termasuk tindak pidana materil yang mensyaratkan adanya akibat, dan
bagaimana pemecahannya. Hanya saja jika perumusan pasal tersebut
diuraikan barulah dapat terlihat bahwa didalamnya (telah tersimpul
adanya sebab dan akibat (Pasal 338 KUHP). Dengan demikian harus
diuraikan sehingga berbunyi: "dengan sengaja melakukan suatu tindakan,
tindakan mana ditujukan untuk mengakibatkan matinya orang lain dan
akibat itu dikehendaki oleh pelaku". Uraian Pasal 351 ayat 1 : "dengan
sengaja melakukan suatu tindakan, tindakan mana ditujukan untuk
mengakibatkan sakitnya/lukanya orang lain dan akibat itu dikehendaki
oleh pelaku”, setelah diadakan penguraian, baru jelas terlihat bahwa
"tindakan itu adalah merupakan sebab sedangkan akibatnya berturut-
turut adalah matinya dan sakitnya/lukanya seseorang lain”.

4. Sebab (causa) dirumuskan berupa suatu kelakuan tertentu, tanpa


mensyaratkan telah timbul akibatnya
Dari Pasal 122 ayat (2) KUHP yang berbunyi "dalam masa perang
dengan sengaja melanggar aturan yang dikeluarkan diumumkan oleh
pemerintah guna keselamatan Negara" dapat disimpulkan bahwa

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 229

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pelanggaran yang dilakukan adalah suatu tindakan yang merupakan sebab


(causa) dan yang akan menimbulkan suatu akibat yaitu terganggunya
keamanan negara.
Jika seseorang melanggar "jam malam" maka pelanggaran itu
merupakan sebab, dan akan terganggunya keamanan negara sebenarnya
belum merupakan akibat, setelah terganggu keamanan negara,
bagaimanapun kecilnya barulah dapat dikatakan telah timbul akibat.
Dalam Pasal ini tidak di isyaratkan apakah telah terjadi gangguan
keamanan Negara, tetapi sudah dipandang gangguan (xoltoold) terjadi.

5. Akibat dirumuskan suatu kenyataan tertentu, tanpa menentukan


suatu kelakuan atau tindakan tertentu sebagai sebabnya
Sebaliknya Pasal 359 dan 360 KUHP hanya merumuskan akibat yang
terjadi, sedangkan sebabnya tidak ditentukan. Akibatnya adalah
menimbulkan luka atau matinya seseorang. Hubungan akibat dengan
sesuatu tindakan yang tidak ditentukan itu adalah kealpaan. Dengan
perkataan lain, hanya akibat saja yang ditentukan sedangkan penyebanya
boleh terjadi sesuatu bentuk tindakan yang berada dalam "pengaruh"
kealpaan pelaku.

6. Perumusan sebab-akibat, dapat disimpulkan sebagai tidak


diperlukan, dalam rangka telah terjadi atas tidaknya sesuatu delik
Dalam tindak pidana formil pada umumnya, tidak dipermasalahkan
ada tidaknya suatu sebab dan akibat untuk menentukan telah terjadinya
suatu delik. Pelaku yang mencuri kuda andong disebabkan kebutuhannya
pada uang untuk merawat keluarganya yang menderita sakit, dan kusir
(yang dirugikan) yang untuk waktu tertentu tidak bisa lagi mencari nafkah
sehari-hari sebagai akibat dari hilangnya kudanya, tidak menjadi persoalan
dalam hal penentuan telah terjadinya tindak pidana pencurian (Pasal 362
KUHP). Demikian pula pemberontak yang telah memberontak kepada
pemerintah dengan senjata, tidak dipersoalkan apa sebabnya ia
memberontak kepada pemerintah dengan senjata, juga tidak dipersoalkan
apa sebabnya memberontak dan apakah telah banyak orang gugur sebagai
akibat pemberontakan itu (Pasal 108 ayat (1) KUHP).

230 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Seperti diutarakan di atas, kalau tidak diungkapkan "apa sebabnya” ia


mencuri, maka yang diungkapkan itu pelaku pengungkapan akibat dalam
hal ini bermaksud untuk menentukan "'keadaan-keadaan" yang dapat
dijadikan sebagai hal-hal yang meringankan atau memberatkan pidana.

7. Perumusan sebab-akibat "tercakup" dalam jiwa pelaku yang


berbentuk "pendorong" (sebab) dan kenyataan/peristiwa yang
dikehendaki (akibat)
Kesalahan adalah suatu unsur yang selalu harus (dianggap) ada dalam
suatu tindak pidana. Ada pengecualian terhadap beberapa tindak pidana,
misalnya tindak pidana fiscal (pajak). Kelalaian (schuld) dalam bentuk
kehendak/niat atau dalam bentuk kealpaan dapat merupakan
“pendorong" bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, yang berarti jika
dilihat dari sudut sebab-akibat, merupakan sebab mengapa ia melakukan
perbuatannya itu, sedangkan apabila terjadi yang dikehendakinya itu
merupakan akibat.

D. RANGKUMAN MATERI
Penerapan hukum pidana materiil yang berkaitan dengan perkara
pidana tidak dijelaskan secara secara terperinci kapan suatu sebab dapat
disebut sebagai akibat yang dapat di hukum. Perlu adanya suatu kajian
teori yang berhubungan dengan sebab akibat (causalitas) yaitu: Teori
Conditio Sine Qua Non, teori yang mengindividualisasi, dan teori yang
menggeneralisasi. Teori yang menggeneralisasi terbagi menjadi 2 yaitu:
teori adequate subjektif dan teori adequat objektif.

TUGAS DAN EVALUASI


Terdapat suatu perkara pidana yakni C pinjam uang ke rumah A,
karena kedatangan B, maka A terlambat; karena terlambat A mengendarai
mobil dengan kecepatan tinggi; A menabrak C sehingga luka-luka; C
dibawa ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat dengan
suntikan tertentu; E salah memberikan obat pada C; C mati. a) Jelaskan
sebab dari suatu akibat merupakan peristiwa yang paling besar
pengaruhnya kepada timbulnya akibat kematian C. b) Jelaskan siapakah

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 231

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pelaku yang terlibat dalam peristiwa kematian C disertai dengan landasan


teori dan dasar hukumnya.

232 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, E. (2011). Suatu Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Refika


Aditama.
Hanafi. (1999). Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana. Jurnal
Hukum, 6(11), 26–43.
Kanter, E. ., & Sianturi, S. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Storia Grafika.
Lamintang, P. A. . (1987). Dasar-dasar Hukum Pidana. Penerbit Sinar baru.
Mawaddaturrokhmah, Muhdar, M., & Apriyani, R. (2020). Penerapan Teori
Conditio Sine Qua Non Dalam Peristiwa Tumpahan Minyak di Teluk
Balikpapan. Risalah Hukum, 16(1), 16–33.
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Remelink, J. (2003). Hukum Pidana. P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Sofyan, A., & Azisah, H. N. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana (Kadarudin
(ed.)). Pustaka Pena Press.
Titahelu, J. A. S. (2019). Pelaksanaan Pembuktian Dalam Tindak Pidana
Terorisme. Belo, 4(2), 145–157.
https://doi.org/10.30598/BELOVOL4ISSUE2PAGE145-157

Hubungan Sebab Akibat Pidana | 233

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

234 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 12: TEORI PEMIDANAAN

Nanci Yosepin Simbolon, S.H., M.H

Universitas Darma Agung

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 12
TEORI PEMIDANAAN

A. PENDAHULUAN
Mengenai teori-teori pemidanaan (dalam banyak literatur hukum
disebut dengan teori hukum pidana/strafrecht-theorien) berhubungan
langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teori teori
ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam
menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti
mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu
dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa negara dalam
menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan
cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, adalah
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pokok bahasan dalam
teori teori pemidaan ini. Pertanyaan yang mendasar tersebut timbul
berhubung dengan kenyataan bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana
subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi
manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri.
Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan,
artinya hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana
mati dan kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya.
Oleh karena itulah, hukum pidana objektif dapat disebut sebagai hukum
sanksi istimewa.
Jelaslah kiranya pidana yang diacamkan (lihat Pasal 10 KUHP) itu
apabila telah diterapkan, justru menyerang kepentingan hukum dan hak
pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Tentulah hak
menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya
boleh dimiliki oleh negara saja. Mengenai negara yang seharusnya
memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat. Negara merupakan
organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban
menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban

236 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka


wajar jika negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Akan tetapi, mengenai jawaban atas pertanyaan dasar hak itu
diberikan dan atau untuk kepentingan apa pidana perlu dijatuhkan, yang
merupakan pertanyaan mendasar dalam teori pemidanaan, terdapat
berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ita akan menarik dan
menetapkan amar putusan, ia terlebih dahulu akan merenungkan dan
mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari
penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik baik terdakwa,
maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan yang demikian teori
hukum pidana dapat membantunya. Ketika jaksa hendak membuat
tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana apakah berat atau ringan,
seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori
pemidanaan yang dianut (Schravendijk, 1955:212).
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini,
namun yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan
besar yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien);
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien);
3. Teori gabungan (vernegings theorien).

B. TEORI ABSOLUT
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar
dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara
berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan
penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat atau negara) yang telah di lindungi. Oleh karena itu, ia harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan)
yang dilakukannnya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan
pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan
bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh
pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul
dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik
terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak

Teori Pemidanaan | 237

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud


satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Pada masyarakat Jawa ada semboyan “utang pati nyaur pati” yang
maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh, atau adanya
semboyan “Oog om oog, tand om tand (mata sama mata, gigi sama gigi)
dari kitab Injil Oude Testament. Dalam kitab suci Alquran surah An Nisaa
ayat 93 yang menyatakan “dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam; kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya” (Wirjono Prodjodikoro, 1981:20).
Ketiga kutipan tersebut di atas menunjukkan bahwa di dalamnya
terkandung makna pembalasan di dalam suatu pidana.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua
arah, yaitu:
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);
2. Ditujukan utuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di
kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

Bila seseorang melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang


terlanggar. Akibat yang timbul, tiada lain berupa suatu penderitaan baik
fisik maupun psikis, ialah berupa perasaan tidak senang, sakit hati, amarah,
tidak puas, terganggunya ketenteraman batin. Timbulnya perasaan seperti
ini bukanlah saja bagi korban langsung, tetapi juga pada masyarakat pada
umumnya. Untuk memuaskan dan atau menghilangkan penderitaan
seperti ini (sudut subjektif), kepada pelaku kejahatan harus diberikan
pembalasan yang setimpal (sudut obejektif), yakni berupa pidana yang
tidak lain suatu penderitaan pula. Oleh sebab itulah, dapat dikatakan
bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik
korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.
Ada beberapa macam dasar atau alasan petimbangan tentang adanya
keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut.
1. Pertimbangan Dari Sudut Ketuhanan
Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu
aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui
pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini. Oleh

238 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan


cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana terhadap pelanggarnya. Keadilan Ketuhanan yang dicantumkan
dalam undang-undang duniawi harus dihormati secara mutlak, dan
barangsiapa yang melanggarnya, harus dipidana oleh wakil Tuhan di dunia
ini, yakni pemerintahan negara. Pemerintahan negara harus menjatuhkan
dan menjalankan pidana sekeras-kerasnya bagi pelanggaran atas keadilan
Ketuhanan itu. Pidana merupakan suatu penjelmaan duniawi dari keadilan
Ketuhanan dan harus dijalankan pada setiap pelanggar terhadap keadilan
Tuhan tersebut. Pandangan berdasarkan sudut Ketuhanan ini dianut oleh
Thomas Van Aquino, Stahl, dan Rambonet.

2. Pandangan Dari Sudut Etika


Pandangan ini berasal dari Emmanuel Kant. Pandangan Kant
menyatakan bahwa menurut rasio, setiap kejahatan itu haruslah diikuti
oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang
dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam
rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh etika tersebut.
Pembalasan melalui penjatuhan pidana ini harus dilakukan pada setiap
pelanggar hukum walaupun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun
yang bersangkutan. Karena pembalasan melalui pidana ini didasarkan
pada etika, teori Kant ini disebut dengan “de ethische vegeldings theorie”.

3. Pandangan Alam Pikiran Dialektika


Pandangan ini berasal dari Hegel. Hegel ini dikenal dengan teori
dialektikanya dalam segala gejala yang ada di dunia ini. Atas dasar pikiran
yang demikian, pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari pikiran yang
demikian, pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan.
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika
seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan,
berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these). Oleh karena
itulah, harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap
pelakunya (synthese) untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau
kembali tegaknya hukum (these). Karena pandangan Hegel ini didasarkan

Teori Pemidanaan | 239

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pada alam pikiran dialektika, teorinya disebut dengan “de dialektische


vergeldings theorie”.

4. Pandangan Aesthetica dari Herbart


Pandangan yang berasal dari Herbart ini berpokok pangkal pada
pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas, maka akan menimbulkan
rasa ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat
dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aesthetica harus dibalas dengan
penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal
artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau
besarnya dengan penderitaan korban/masyarakat yang diakibatkan oleh
kejahatan itu. Karena pandangan Herbart ini didasarkan pada aesthetica,
disebut dengan “de aesthetica theorie”.

5. Pandangan dari Heymans


Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut
Heymans didasarkan pada niat pelaku. Ia menyatakan bahwa “setiap niat
yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan
kepuasan, tetapi niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak perlu
diberikan kepuasan”. Tidak diberi kepuasan ini berupa penderitaan yang
adil. Segala sesuatuu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh
dicapai orang, dan atas dasar inilah Heymans menerangkan unsur
pembalasan di dalam pidana dengan memberi penderitaan kepada
penjahat.
Menurut Leo Polak, pandangan Heymans ini tidak bersifat membalas
pada apa yang telah terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat
pencegahan (Preventif). Teori ini bukan suatu teori pembalasan
sepenuhnya.

6. Pandangan dai Kranenburg


Teori pandangan ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia
mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan
keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota
masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sama dan sederajat. Akan
tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga

240 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

mendapat keuntungan dan kerugian istimewa. Tiap orang akan mendapat


keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih
dahulu diadakannya untuk mendapatkan keuntungan atau kerugian itu.
Berdasarkan pemikiran yang semacam inilah, bila seseorang berbuat
kejaharan yang berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang
lain, maka sudahlah seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan
istimewa yang besarnya sama dengan besarnya penderitaan yang telah
dilakukannya terhadap oran lain itu.

7. Teori Relatif atau Teori Tujuan


Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal ada dasar bahwa
pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam
masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk
menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,
dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari
sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupakan suatu yang
terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu
mempunyai 3 macam sifat, yaitu:
1) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
3) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam,
yaitu:
1) Pencegahan umum (general preventie), dan
2) Pencegahan khusus (speciale preventie).

1) Teori Pencegahan Umum


Diantara teori-teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat
menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut
teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat
ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat jahat.
Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar

Teori Pemidanaan | 241

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan


penjahat itu.
Penganut teori ini, misalnya SENECA (Romawi), berpandangan bahwa
supaya khalayak ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka
perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam
dengan dilakukan di muka umur agara setiap orang akan mengetahuinya.
Penjahat yang dipidana itu dijadikan tontonan orang banyak dan dari apa
yang dilihatnya inilah yang akan membuat semua orang takut untuk
berbuat serupa.
Memidana penjahat dengan cara menakut-nakuti orang-orang (umum)
agar tidak berbuat serupa dengan penjahat yang dipidana itu dari teori
pemidanaan ini dianut di negara-negara Eropa Barat sebelum Revolusi
Prancis (1789-1794). Titik berat pencegahan umum yakni pada
pelaksanaan pidana yang menakutkan orang. Agar khalayak umum
menjadi takut untuk melakukan kejahatan dari melihat penjahat yang
dipidana, eksekusi pidana haruslah bersifat kejam. Agar pelaksanaan
pidana itu diketahui oleh semua orang, eksekusi harus dilakukan dimuka
umum secara terbuka.
Jadi menurut teori pencegahan umum ini, untuk mencapai dan
mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,
pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan di muka umum.
Dalam perkembangannya kemudia teori pencegahan umum dengan
eksekusi yang kejam ini banyak ditentang orang, misalnya Beccaria (1738-
1794) dan Von Feurbach (1775-1833).
Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi
yang disusun secara rasional dan sistematis agar semua orang yang
mengetahui secara jelas dan pasti tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Ia juga menkehendaki agar pidana
mati dan pidana penyiksaan yang dilakukan secara kejam dihapuskan dan
diganti dengan pidana yang memerhatikan perikemanusiaan, dan pidana
yang dijatuhkan yang berupa penderitaan itu jangan sampai melebihi
penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat yang dipidana
tersebut.

242 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang


disebut dengan “psychologische zwang”, menyatakan bahwa sifat
menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana inkonkrito,
tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan dalam UU. Ancaman pidana
harus ditetapkan terlebih dulu dan harus diketahui oleh khalayak umum.
Ketentuan tentang ancaman pidana dan diketahui oleh umum inilah yang
dapat membuat setiap orang menjadi takut untuk melakukan kejahatan.
Ancaman pidana dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan
bagi setiap orang untuk menjadi takut melakukan kejahatan. Ancaman
pidana menimbulkan suatu kontra motif yang menahan kehendak setiap
orang untuk melakukan kejahatan.
Teori Feuerbach ini walaupun pada masa itu merupakan teori yang
lebih maju yang sifatnya menentang teori menakut-nakuti dengan melalui
eksekusi yang kejam seperti penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan di
muka umum sehingga melampaui batas perikemanusiaan, tetapi teori ini
mempunyai beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut:
a. Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan
dipidana dan menjalaninya, perasaan takut terhadap ancaman itu
menjadi tipis bahkan perasaan takut dapat menjadi hilang.
b. Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Sebagaimana diketahui
bahwa ancaman pidana bersifat abstrak, sedangkan pidana yang
dijatuhkan adalah bersifat konkret. Untuk terlebih dulu menentukan
batas-batas beratnya pidana yang diancamkan itu agar sesuai dengan
perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana tertentu itu
merupakan sesuatu hal yang sukar.
c. Orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh), atau juga yang tidak
mengetahui perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya
menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.

Karena adanya kelemahan teori Feuerbach ini, timbulah teori


pencegahan umum yang menitikberatkan sifat menakut-nakuti itu tidak
pada ancaman pidana dalam UU maupunn tidak ada pada eksekusi yang
kejam yang ditentang oleh Feuerbach, melainkan pada penjatuhan pidana

Teori Pemidanaan | 243

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

secara konkret oleh hakim pada penjahat. Teori pencegahan umum pada
penjatuhan pidana ini di pelopori oleh Muller.
Menurut Muller, pencegahan kejahatan bukan terletak pada eksekusi
yang kejam, maupun pada ancaman pidana, tetapi pada penjatuhan
pidana inkokrito oleh hakim. Dengan tujuan memberi rasa takut kepada
penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang
beratnya melebihi dari beratnya ancaman pidananya agar para penjahat
serupa lainnya menjadi schook, terkejut, kemudian menjadi sadar bahwa
perbuatan seperti itu dapat dijatuhi pidana yang berat dan ia menjadi
takut untuk melakukan perbuatan yang serupa.

2) Teori Pencegahan Khusus


Teori pencegahan khusus ini lebih maju jika di bandingkan dengan
teori pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana adalah
mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang
lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat
buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan
nyata. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang
sifatnya ada tiga macam, yaitu:
a. Menakut-nakutinya;
b. Memperbaikinya, dan
c. Membuatnya menjadi tidak berdaya;

Maksud menakut-nakuti ialah bahwa pidana harus dapat memberi ras


takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak
lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-
orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan
yang pernah dilakukannya, pidana yang dijatuhkan terhadap orang seperti
ini haruslah bersifat memperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya
haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau bersifat
membinasakan.
Pembela teori ini, misalnya Van Hamel (1842-1917), berpandangan
bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan
dan alasan dari penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul

244 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya
pidana.
Van Hamel membuat suatu gambaran berikut ini tentang pemidanaan
yang bersifat pencegahan khusus ini.
a. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak
melakukan niat jahatnya.
b. Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara
menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki
dirinya (reclasering).
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan
pidana harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak
berdaya.
d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib
hukum di dalam masyarakat.

3) Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana
(Schravendijk, 1955:218).

a. Teori Gabungan yang Pertama


Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan ini
didukung oleh Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah
pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan
tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan

Teori Pemidanaan | 245

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat


dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum)
masyarakat.
Pakar hukum pendukung teori gabungan pertama ini adalah
Zevenbergen yang berpadangan bahwa maksa setiap pidana adalah suatu
pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum
sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan
pada hukum dan pemerintahan. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan
jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib
hukum itu.

b. Teori Gabungan yang Kedua


Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib
hukum ini antara lain Thomas Aquino dan Vos.
Menurut Simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum;
dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan
pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam
undang-undang. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam
hal pencegahan umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus,
yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membikin tidak
berdayanya penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang
dijatuhkan harus sesuai dengan atau berdasarkan atas hukum dari
masyarakat.
Menurut Thomas Aquino, dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum.
Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan
kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang
melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah bersifat
pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari
pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan dari pidana pada
hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.
Pendukung teori ini yang lain adalah Vos, yang berpandangan bahwa
daya menakut-nakuti dari pidana tidak hanya terletak pada pencegahan
umum yaitu tidak hanya pada ancaman pidananya tetapi juga pada
penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim. Pencegahan khusus yang

246 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

berupa memenjarakan terpidana masih disangsikan efektivitasnya untuk


menakut-nakuti. Alasannya ialah bahwa seorang yang pernah dipidanan
penjara tidak lagi takut masuk penjara, sedangkan bagi seseorang yang
tidak pernah, ia takut untuk dipenjara. Oleh karena itu, diragukan apakah
suatu pidana yang dijatuhkan menurut pencegahan khusus dapat
menahan si pernah dipidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi.
Dikatakan pula oleh Vos bahwa umum anggota masyarakat
memandang bahwa penjatuhan pidana adalah suatu keadilan. Oleh karena
itu, dapat membawa kepuasan masyarakat. Mungkin tentang beratnya
pidana, ada perselisihan paham, tetapi mengenai faedah atau perlunya
pidana, tidak ada perbedaan pendapat. Umumnya penjatuhan pidana
dapat memuaskan perasaan masyarakat, dan dalam hal-hal tertentu dapat
berfaedah yakni terpidana lalu menyegani tata tertib dalam masyarakat.

C. RANGKUMAN MATERI
Jika kita memandang hukum sebagai kaidah, maka tidak boleh tidak,
kita harus mengakui sanksi sebagai salah satu unsur esensialnya. Hampir
semua juris yang berpandangan dogmatik memandang hukum sebagai
kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam
masyarakatnya. Sanksi mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sanksi merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi terhadap
pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial (baik kaidah hukum
maupun kaidah sosial lain yang non hukum).
2. Sanksi merupakan kekuasaan atau alat kekuasaan untuk memaksakan
ditaatinya kaidah sosial tertentu.
3. Sanksi hukum pada garis besarnya dapat dibedakan atas sanksi privat
dan sanksi publik.

1. Syarat-Syarat Pemidanaan
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Achmad Ali “... dengan
adanya sanksi atau ancaman pidana, ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dipertahankan“. Berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang
dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu ditentukan syarat-
syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut segi
perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.

Teori Pemidanaan | 247

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai
asas kesalahan. Asal legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-
ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana,
tetapi juga mengendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana
yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-
orang yang benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana
tanpa kesalahan.
Menurut Leo Polak (Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini), pemidanaan harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbutan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan
tata hukum objektif;
b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana
tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi.
Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan oleh suatu maksud prevensi. Bila
ini terjadi, maka kemungkinan besar penjahat diberikan suatu
penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut
ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran
objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;
c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.
Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu
supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Untuk menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan ialah perbuatan


tersebut harus memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Disamping itu, juga harus ada keyakinan hakim bahwa perbuatan tersebut
betul-betul dilakukan oleh orang yang bersalah.

2. Tujuan Pemidanaan
Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri oleh Jan Remmelink
(Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Pidanannya dalam KUHP Indonesia) dilukiskan sebagai berikut:

248 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri yang harus ditemukan


dalam dirinya sendiri. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap norma. Selama norma belum dilanggar, sanksi
pidana hanya bersifat preventif. Seketika terjadi pelanggaran, daya
kerjanya seketika berubah dan sekaligus menjadi represif.
Berbicara mengenai tujuan pemidanaan, tentunya kita harus melihat
teori-teori pemidanaan yang ada. Teori-teori pemidanaan dapat dibagi
kedalam tiga golongan besar yaitu, teori pembalasan (teori
absolut/distributif), teori tujuan (teori relatif), dan teori gabungan.

Teori Pembalasan (Absolut)


Ajaran pidana absolut dapat dikatakan sama tuanya dengan awal
pemikiran tentang pidana, namun demikian ajaran ini belum ketinggalan
zaman. Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar
pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana pada penjahat.
Negara berhak menjatuhkan pidana, karena penjahat tersebut telah
melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum
(pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Maka oleh karena
itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang
dilakukannya. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada
prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan
tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional
dan karena itu irasional.
Karl O.Christiansen (M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya)
mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori absolut, yakni:
1. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat;
3. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan;
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku;
5. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan
bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi
pelaku.

Teori Pemidanaan | 249

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Ada beberapa macam dasar, pandangan atau alasan perimbangan


tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, ialah:
a. Pertimbangan dari Sudut Ketuhanan
Pandangan dari sudut keagamaan, bahwa hukum adalah suatu aturan
yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui
pemerintah negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, karena
itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara
setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana terhadap pelanggarannya. Keadilan ketuhanan yang
dicantumkan dalam undang-undang duniawi harus dihormati secara
mutlak, dan barang siapa yang melangar harus dipidana oleh wakil
Tuhan di dunia ini, yakni pemerintahan negara. Pemerintahan negara
harus menjatuhkan dan menjalankan pidana sekeras-kerasnya bagi
pelanggaran atas keadilan ketuhanan itu. Pidana adalah merupakan
suatu penjelmaan duniawi dari keadilan Tuhan tersebut. Pandangan
berdasarkan sudut ke-Tuhanan ini dianut oleh Thomas van Aquino,
Sthal dan Rambonet.
b. Pandangan dari Sudut Etika
Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Dalam pandangan Kant
bahwa menurut ratio tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh pidana.
Menjatuhkan pidana adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis
yang merupakan syarat etika. Pemerintah negara mempunyai hak
untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam rangka memenuhi
keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. Pembalasan melalui
pidana ini harus dilaksanakan pada setiap pelanggar hukum, walaupun
tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan.
Karena pembalasan dari pidana ini didasarkan pada etika, maka teori
Kant ini disebut dengan de ethische vergeldings theorie.
c. Pandangan Alam Pikiran Dialektika
Pandangan ini berasal dari Hegel dengan teori dialektikanya dalam
segala gejala yang ada di dunia ini. Atas dasar pikiran yang demikian,
maka pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan.
Hukum atau keadilan adalah merupakan suatu kenyataan (sebagai
these). Jika seorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap
keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these),

250 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

oleh karena itulah harus diikuti oleh suatu pidana berupa


ketidakadilan terhadap pelakunya (synthese) untuk mengembalikan
menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these). Karena
pandangan Hegel ini didsarkan pada alam pikiran dialektika, maka
teorinya disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
d. Pandangan Aesthetica dari Herbart
Pandangan yang berasal dari Herbart ini berpokok pangkal pada
pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas maka akan
menimbulkan rasa ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan
masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aesthetica
harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat
pelakunya. Setimpal artinya harus dirasakan sebagai penderitaan yang
sama berat atau besarnya dengan penderitaan korban/masyarakat
yang diakibatkan oleh kejahatan itu. Karena pandangan Herbart ini
didasarkan pada aesthica, maka disebut dengan de aesthica theorie.
e. Pandangan dari Heymans
Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut
Heymans didasarkan pada niat pelaku. Setiap niat yang tidak
bertentangan dengan kesusilaan, dapat dan layak diberikan kepuasan.
Tidak diberi kepuasan ini adalah berupa penderitaan yang adil. Segala
sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh dicapai
orang, dan atas dasar inilah Heymans menerangkan unsur pembalasan
di dalam pidana dengan memberi penderitaan kepada penjahat.
f. Pandangan dai Kranenburg
Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Dikemukakannya
mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan
dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat
mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Tetapi mereka yang
sanggup mengadakan syarat istimewa juga akan mendapatkan
keuntungan dan kerugian itu. Berdasarkan pemikiran semacam inilah,
maka bila seseorang berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu
penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudah seimbanglah bahwa
penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama dengan
besarnya penderitaan yang telah dilakukan terhadap orang lain.

Teori Pemidanaan | 251

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Teori Tujuan (Relatif)


Ajaran absolut mengajarkan bahwa pidana diniscayakan oleh
kejahatan yang terjadi dan sebab itu negara dengan satu dan lain cara
mendapat pembenaran untuk menjatuhkan pidana. Pandangan berbeda
kita temukan dalam ajaran relatif. Pidana dalam konteks ajaran ini
dipandang sebagai upaya atau sarana pembelaan diri. Berbeda dengan
ajaran absolut, di dalam ajaran relatif, hubungan antara ketidakadilan dan
pidana bukanlah hubungan yang ditegaskan secara a-priori. Hubungan
antara keduanya dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai pidana
yaitu perlindungan kebendaan hukum dan penangkal ketidakadilan atau
tertib di dalam masyarakat.
Menurut Karl O. Christensen ada berapa ciri pokok dari teori relatif ini,
yaitu:
1. Tujuan pidana adalah pencegahan;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesehjetaraan masyarakat;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat
pencegahan kejahatan;
5. Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif, ia mengandung
unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila
tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesehjeteraan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu


mempunyai tiga macam sifat, yaitu; Bersifat menakut-nakuti, bersifat
memperbaiki dan bersifat membinasakan.

Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:

252 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan


itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
3. Teori menggabungkan yang menanggap kedua asas tersebut harus
dititik beratkan sama.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Teori-teori apa saja yang menjadi dasar pemidanaan?
2. Apa saja teori-teori pemidanaan?
3. Apa yang dimaksud dengan teori absolut retributif dengan teori
pemidanaan?
4. Apa inti teori gabungan dalam tujuan pidana?
5. Indonesia menganut teori pemidanaan yang mana?

Teori Pemidanaan | 253

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan


Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan V, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010.
Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993.
, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Cetakan I, Jakarta,
2008.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan VI, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1992.
, Asas-Asam Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
Candra Gautama, Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, Jakarta, 2000.
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah
Prevensinya, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2008.
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011
Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (kuhp buku II) jilid 2, Alumni,
Bandung, 1981
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor,
1996.
Utrecht, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986.

254 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 13: PENAFSIRAN PIDANA

Dr. Deassy J.A. Hehanussa, S.H., M.Hum

Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 13
PENAFSIRAN PIDANA

A. PENDAHULUAN
Salah satu asas penting dalam Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah kejelasan rumusan. Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Namun dalam kenyataan, masih dijumpai istilah yang
tidak jelas dan tentunya membutuhkan penjelasan. Salah satu metode
yang digunakan untuk mendapatkan pemaknaan istilah atau rumusan
peraturan perundang-undangan adalah metode penafsiran.
Setiap undang-undang yang tertulis, seperti Undang-Undang Pidana
memerlukan suatu penafsiran. Upaya mencari kebenaran suatu perkara
pidana misalnya ditentukan pula oleh penafsiran yang tepat atas rumusan
undang-undang. Hal tersebut akan mengakibatkan Undang-Undang
diterapkan dengan benar serta dapat memberikan rasa keadilan bagi para
pihak. Sebaliknya apabila penafsiran yang tidak tepat atas rumusan
undang-undang akan mengakibatkan penerapan undang-undang tersebut
keliru serta dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Untuk keperluan tersebut para penegak hukum khususnya Hakim perlu
memiliki pengetahuan yang maksimal tentang cara-cara menafsirkan
undang-undang dengan sebaik-baiknya dan dapat dibenarkan menurut
ilmu pengetahuan hukum.
Masalah penafsiran dalam doktrin (pendapat para ahli hukum)
merupakan soal yang sangat penting dan juga merupakan hal penting pula
bagi hakim. (Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof Satochid
Kartanegara dan Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Tanpa Tahun, p.

256 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

139). Pentingnya penafsiran dalam hukum pidana karena pelaksanaan


peradilan pidana ditentukan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah
metode interpretasi/penafsiran yang akan digunakan oleh mereka yang
dipercayakan melaksanakan peradilan pidana. (Hamzah, 1994, p. 77).
Dengan perkataan lain, penafsiran merupakan suatu cara atau metode
yang bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak pembuat
undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undnag-undang
secara kurang jelas.
Dalam penerapan hukum pidana tidak dapat dihindari adanya
penafsiran (interpretasi) karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Hukum tertulis tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan
masyarakat.
2. Ketika hukum tertulis dibentuk terdapat suatu hal yang tidak diatur
karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun
setelah undang-undang dibentuk dan diterapkan, muncul persoalan
yang tidak diatur tersebut.
3. Penjelasan arti beberapa istilah/kata dalam undang-undang tidak
mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-
pasal perundang-undangan pidana karena begitu banyaknya rumusan
ketentuan hukum pidana baik rumusan unsur-unsur, bentuk
pertanggungjawaban maupun sanksi (pidana).
4. Seringkali norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum
sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya.

Berdasarkan hal di atas, sangat jelas bahwa perkembangan


masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah
sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, maka untuk
memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai
yang berkembang dan dianut masyarakat tersebut, dalam praktik
penerapan hukum diperlukan penafsiran.
Bab ini akan membahas tentang penafsiran yang digunakan dalam
hukum pidana. Hal-hal yang akan dibahas dalam bagian ini adalah
gambaran umum tentang penafsiran dan alasan menggunakan penafsiran,
penemuan hukum oleh hakim dan jenis-jenis penafsiran (penafsiran

Penafsiran Pidana | 257

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

autentik, gramatikal, sistematis, teleologis, historis, futuristik, penafsiran


ekstensif dan intensif serta penafsiran analogi).

B. URGENSI PENAFSIRAN
Para penegak hukum khususnya Hakim, dalam praktek penyelesaian
kasus tidak dapat menerapkan hukum tanpa menggunakan penafsiran.
Misalnya untuk mendapatkan pengertian tentang “lalai/alpa”, “sengaja”,
“daya paksa”, “perbarengan”, “penyertaan”, “barang”, “mengambil” dan
sebagainya. Penafsiran merupakan hal penting karena hukum tertulis
dalam kenyataannya sulit mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Hal ini berdampak pada dinamika perkembangan yang
berubah seiring dengan perkembangan masyarakat. Hukum dituntut
mengikuti perkembangan tersebut. Penafsiran mungkin menjadi salah
satu hal untuk mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat. Mungkin
juga pengaturan rumusan dalam undang-undang belum menjadi perhatian
pembentuk undang-undang. Setelah pemberlakuan undang-undang
barulah muncul persoalan tentang hal tersebut. Untuk mengisi
kekosongan norma maka penafsiran dapat digunakan. Alasan lain yang
dapat dikemukakan adalah Undang-undang yang dibentuk tidak mungkin
memuat seluruh istilah atau kata penting dan maknanya. Selain itu
seringkali norma yang dirumuskan sangat singkat dan umum sehingga
kurang jelas maksudnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Utrecht
yang mengjelaskan bahwa tiada undang-undang yang sempurna. Tiap
redaksi (perumusan) undang-undang adalah suatu pernyataan kehendak
pembuatnya, dan sering kehendak itu, karena beberapa hal, tidak
dinyatakan dengan tepat. (Utrecht, 1994, p. 201)
Khusus di bidang hukum pidana, kewajiban hakim untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-
undang dengan tepat. Kewajiban tersebut haruslah dilakukan dengan cara
menafsirkan rumusan undang-undang pidana dengan menggunakan
penafsiran yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan rumusan-
rumusan unsur perbuatan termasuk ketentuan pidana tersebut.
Adapun tujuan penafsiran undang-undang menurut Lamintang adalah
untuk menentukan arti yang sebenarnya dari wilbesluit atau dari putusan
kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti yang tertulis di dalam

258 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

rumusan-rumusan dari ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-


undang (Lamintang, 1997, p. 40).
Penafsiran menjadi hal penting dan kebutuhan dalam memecahkan
persoalan, mulai dari hal yang sederhana hingga yang kompleks seperti
yang terdapat dalam undang-undang, kontrak, konvensi, putusan
pengadilan dan sebagainya. Penjelasan undang-undang dengan kata
“cukup jelas”, namun dalam tataran pelaksanaan rumusan pasal tersebut
tidak jelas karena dapat ditafsirkan dengan beberapa pengertian.
Penafsiran menjadi bahasan yang serius tidak hanya dalam berbagai
bidang hukum lain tetapi termasuk hukum pidana.
Penafsiran dokumen tertulis (termasuk peraturan perundang-
undangan) merupakan hal mendasar dalam praktik hukum. Penegak
hukum (Hakim, jaksa, advokat) harus mencari makna dengan
menggunakan berbagai metode interpretasi. Dalam bidang hukum,
interpretasi dapat menjadi persoalan yang diperdebatkan. Apabila makna
yang dari kata-kata dlam sebuah dokumen tidak jelas dan kita perlu
menentukan arti untuk penggunaannya, maka berbagai penafsiran
digunakan. Apakah ada suatu rumusan undang-undang yang jelas
sehingga tidak melakukan penafsiran? Suatu rumusan tidak dapat
dimengerti tanpa penafsiran. Hanya penafsiran yang dapat membuat kita
dapat menyimpulkan suatu makna dari rumusan teks itu jelas artinya.
Menurut Utrecht, jika redaksi suatu undang-undang tidak berhasil
menyatakan dengan tepat kehendak dari pembuat undang-undang itu,
timbul suatu perbedaan antara subjektif wil (kehendak subjektif) dari
pembuat undang-undang tersebut dengan rumusan kata-kata yang
dinyatakannya dalam undang-undang. Undang-undang yang tidak jelas ini
memerlukan penjelasan dari hakim (Utrecht, 1994, p. 201). Selanjutnya
Utrecht mengutip pendapat van Apeldorn bahwa penafsiran pada
pokoknya adalah tidak lain mencari kehendak pembuat undang-undang
yang dinyatakan secara kurang jelas (Utrecht, 1994, p. 202).

C. PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM


Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara,
pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar
putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan

Penafsiran Pidana | 259

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan


menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain
seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ
utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib
untuk menemukan hukum dalam suatu perkara meskipun ketentuan
hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 Pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan bahwa “Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kata menggali biasanya
diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi
masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit,
sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya
dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila
sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus
mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam
putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Melahirkan suatu putusan dalam sistem hukum pidana, hakim sebagai
sebagai penegak hukum tidak hanya terikat kepada peraturan perundang-
undangan yang tertulis saja akan tetapi harus pula melihat dan
menerapkan hukum ataupun norma-norma serta kaedah-kaedah yang
hidup dan diterima oleh masyarakat sebagai suatu hukum. Menerapkan
hukum biasanya lebih mudah, dan sebaliknya menemukan ketentuan yang
bersangkutan dalam udang-undang tidaklah gampang seperti yang
dibayangkan, dan juga dapat terjadi bahwa undang-undang dan
tafsirannya tidak memberi jawaban sehingga orang lalu melarikan pada
analogi.

260 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Jadi hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan walaupun tidak ada
undangundang atau peraturan yang tertulis yang mengatur tentang sutau
peristiwa hukum yang diajukan kedepan hakim, namun hakim wajib
menggali hukum yang ada dan hidup ditengah-tengah masyarakat.
Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering
dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum
atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini,
istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh Hakim,
sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh
lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih
lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga
istilah itu bermakna bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang
tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau
pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu
perkara.
Berkaitan dengan kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, maka pemakaian teori-teori penemuan dan penafsiran
hukum dapat dilakukan dalam memutuskan suatu perkara untuk kasus-
kasus yang hukum/undang-undangnya tidak/belum jelas. Namun
pemakaian teori penemuan dan penafsiran hukum harus dilakukan
dengan cara-cara atau metode penafsiran yang berlaku dalam ilmu hukum.
Alasan digunakannya teori penafsiran hukum oleh hakim dalam mengadili
suatu perkara disebabkan hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan
tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan
aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk
tertulis, dimana sebuah adagium yang menyebutkan bahwa membaca
hukum adalah menafsirkan hukum. Teks hukum sudah jelas adalah satu
cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-
diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan
penjelasan (Susanto, 2005, p. 1).
Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan
hukum umum pada peristiwa konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada
peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau

Penafsiran Pidana | 261

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi dalam


penmuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit. Menemukan hukum
merupakan karya manusiadan ini berarti bahwa setiap penerapan hukum
selalu didahului oleh seleksi subyektif mengenai peristiwa-peristiwa dan
peraturan-peraturan yang relevan. Selanjutnya penerapan selalu berarti
merumus ulang suatu peristiwa abstrak kedalam peristiwa konkrit.
Jazim Hamidi menjelaskan bahwa (Hamidi, 2005, p. 51) penemuan
hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena
penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan,
ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris
dan lain-lain. Akan tetapi dalam dunia penegakan hukum dipahami bahwa
profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum adalah para
hakim, karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit
atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan hukum oleh hakim
dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum
oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu dituangkan dalam
bentuk putusan.

D. JENIS-JENIS PENAFSIRAN DALAM UNDANG-UNDANG PIDANA


Persoalan penafsiran tidak hanya menjadi pembahasan bidang hukum
pidana tetapi bidang hukum lain juga. Dalam bidang hukum lain pun
penafsiran menjadi persoalan penting yang selalu dibahas misalnya
Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Administrasi Negara, Hukum
Internasional dan lain-lain bidang hukum. Adapun penafsiran yang
digunakan bidang lain seperti hukum tata negara, hukum internasional,
hukum perdata dan hukum administrasi negara juga digunakan dalam
hukum pidana.
Hakim pidana dapat menggunakan metode penafsiran yang dipakai
dalam peradilan perdata begitupun dalam bidang hukum lain seperti
hukum internasional, hukum tata negara menggunakan penafsiran
autentik, gramatikal, sistematis dan lainnya. Hukum pidana tidak
mensyaratkan penafsiran apa saja yang digunakan karena penafsiran
didasarkan pada doktrin dan yurisprudensi. (Kartanegara, Tanpa Tahun,

262 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

139-140). Demikian halnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana cara hakim melakukan
penafsiran, cara mana yang akan digunakan, semuanya timbul dalam
praktik hukum.
Pada dasarnya semua penafsiran yang digunakan pembidangan
hukum lain, digunakan pula dalam penafsiran hukum pidana seperti
penafsiran autentik, gramatikal, sistematis, teleologis, sosiologis,
penafsiran ekstensif ekstensif dan a contratio. Namun ada pengecualian
untuk penafsiran analogi. Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP disebutkan bahwa
“Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi”.
Penjelasan Pasal 1 ayat (2) tersebut menyebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan analogi adalah penafsiran dengan cara
memberlakukan suatu ketntuan pidana terhadap suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam
undang-undang dengan cara menyamakan atau mengumpamakan
kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang
telah diatur dalam undang-undang.

1. Penafsiran Autentik
Ketika dihadapkan pada persoalan pengertian suatu kata atau
rumusan/teks dalam undang-undang, misalnya terjadi di dalam
persidangan perkara pidana dan jaksa penuntut umum, hakim dan
penasihat hukum berbeda pandangan tentang terminologi itu, hakim
harus mencari pengertian yang lebih tepat, apa yang harus dilakukannya?
Sering terjadi, para pihak akan mencari dan mencermati pengertian yang
diberikan di dalam undang-undang yang menjadi persoalan, bukan
pengertian atau maksud suatu terminologi atau kata atau rumusan tidak
berada di luar undang-undang, melainkan di dalam undang-undang itu
sendiri.
Menurut Adami Chazawi, penafsiran autentik ini tidak dilakukan oleh
hakim, tetapi oleh pembuat undang-undang sendiri. Menurutnya,
penafsiran autentik sesungguhnya bukan penafsiran melainkan pengertian
atau perluasan arti yang dinerikan oleh pembentuk undang-undang.
Penafsiran autentik itu memuat pengertian contohnya dengan
menggunakan kata: “berarti”, “ialah”, “adalah”, “apabila”, dan kata

Penafsiran Pidana | 263

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

“dimaksud”. Penafsiran autentik itu memuat perluasan arti contohnya


dengan menggunakan kata: “termasuk”, “disamakan”, “dicakup pula” atau
“meliputi”. Disebut penafsiran autentik karena tertulis secara resmi dalam
undang-undang, artinya berasal dari pembentuk undang-undang itu
sendiri. Penafsiran ini dimaksudkan agar dalam praktik hukum tidak
diberikan pengertian lain dari apa yang dimaksud oleh pembuat undang-
undang (Santoso, 2020, p. 362).
Penafsiran autentik dalam KUHP dapat dijumpai pada bab IX Buku I
KUHP yang berisi penafsiran atas beberapa istilah yang digunakan dalam
KUHP seperti aanslaag (makar) atau penyerangan (Pasal 87),
samenspanning atau mufakat jahat (Pasal 88), omwenteling atau
meruntuhkan pemerintah (Pasal 88 bis), melakukan kekerasan (Pasal 89),
luka berat (Pasal 90), kind atau anak (Pasal 91 ayat (4) ), ambtenaar atau
pegawai negeri (Pasal 92).
Contoh yang dapat diberikan, misalnya dalam KUHP ada pasal-pasal
yang menyebut istilah Bapak. Pertanyaannya siapa Bapak itu? Apa ruang
lingkup/cakupan bapak itu?. Pasal 91 ayat (3) KUHP memberikan
penjelasan: “Sebutan bapak termasuk barang siapa yang menjalankan
kekuasaan yang sama dengan kekuasaan bapak”. Dengan demikian,
apabila dalam suatu daerah atau suku atau menurut adat tertentu
kekuasaan bapak dijalankan bukan oleh ayak kandung, tetaplah orang
yang menjalankan kekuasaan bapak itu masuk dalam istilah Bapak sesuai
penafsiran autentik kata Bapak dalam KUHP.
Contoh lain misalnya tentang pencurian di waktu malam. Apa yang
dimaksud dengan di waktu malam? Penjelasan KUHP memberikan batasan
dalam Pasal 98 yang menyatakan: “Malam berarti waktu antara matahari
terbenam dan matahari terbit”. Bagaimana dengan tindak pidana di luar
KUHP ? Penafsiran autentiknya dapat dilihat pada masing-masing undang-
undang tersebut. Contoh lain pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yakni penjelasan Pasal 20 ayat
(1) menyatakan: “yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan
sesuai dengan anggaran dasar termasuk mereka yang dalam kenyataannya
memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang
dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi”.

264 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Penafsiran autentik bukan hanya diberikan oleh undang-undang tetapi


suatu perjanjian internasional atau konvensi juga dapat memberikan
penafsiran autentik.

2. Penafsiran Gramatikal
Interpretasi suatu undang-undang pada dasarnya selalu akan
merupakan penjelasan dari segi bahasa. Dengan kata lain penafsiran
gramatikal berkaitan dengan bahasa yang merupakan suatu sarana yang
penting bagi hukum. Oleh karena itu hukum terikat pada bahasa.
Penafsiran bentuk ini dinamakan dengan penafsiran gramatikal.
Penafsiran gramatikal merupakan suatu cara menafsirkan atau
menjelaskan makna undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata, atau bunyi dari kalimatnya. Penafsiran gramatikal,
bukan hanya sekedar membaca undang-undang saja. Ketentuan suatu
undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Yang
artinya, ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata
dari undang-undang.
Penafsiran gramatikal didasarkan pada kata-kata undang-undang. Jika
kata-kata undang-undang sudah jelas, menurut penafsiran ini, harus
diterapkan sesuai dengan kata-kata, walaupun seandainya maksud
pembuat undang-undang berbeda. Penggunaan penafsiran gramatikal
juga berkaitan dengan alat bantu, yakni kamus bahasa. Disamping itu hal
penting lainnya adalah peranan ahli bahasa yang digunakan dalam
peraturan perundang-undangan, perjanjian, surat wasiat dan lain-lain
(Santoso, 2020, p. 369).
Menyangkut penafsiran gramatikal, persoalan yang dihadapi hukum
pidana Indonesia karena hukum pidana kodifikasi Indonesia saat ini masih
menggunakan KUHP yang aslinya berbahasa Belanda. Menurut Andi
Hamzah bagaimana dapat menafsirkan kata-kata dalam Bahasa Belanda?
Kalau yang ditafsirkan adalah terjemahannya, penafsirannya dapat
meleset. Contoh delik penyuapan di KUHP (Pasal 418) digunakan istilah
Bahasa Belanda aannemen (menerima). Jika mengacu pada kata
menerima di dalam Bahasa Indonesia, di dalam bahasa Belanda ada dua,
yaitu: aannemen dan ontvangen, jelas keliru karena suap itu harus berada
di tangan, sementara yang dimaksud dengan aannemen dalam ketentuan

Penafsiran Pidana | 265

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

itu menerima sudah setuju untuk disuap yang mungkin saja belum ada di
tangannya (Hamzah, 1994, pp. 80-81).

3. Penafsiran Sistematis
Terbentuknya suatu undang-undang pasti berhubungan dengan
perundang-undangan lainnya karena tidak ada undang-undang yang
berdiri sendiri lepas dari keseluruhan perundang-undangan. Dengan
perkataan lain, undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan. Dalam kaitan demikian, Sudikno Mertokusumo
menjelaskan bahwa menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan dilakukan dengan
menghubungkan dengan undang-undang lain disebut interpretasi
sistematis. Selanjutnya disebutkan bahwa menafsirkan undang-undang
tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan.
(Mertokusumo, 1999, pp. 157-158). Sejalan dengan pemikirannya, Eddy
O.S. Hiariej menjelaskan bahwa tidak hanya mengacu pada pasal-pasal
yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya
dari undang-undang yang sama atau undang-undang lain bahkan sistem
hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. (Hiariej, 2016, p. 105)
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu
penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain
dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada
perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu
perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud.
Contoh yang dapat diberikan tentang kata “kerugian keuangan negara”
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kata
“kerugian keuangan negara”, jika ditafsirkan secara autentik
pengertiannya terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999. Kata “kerugian
keuangan negara” berbeda dengan kata “kerugian negara” sebagaimana
diatur dalam UU lainnya misalnya UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang berwenang memeriksa adanya kerugian negara. Praktik yang
terjadi dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi baik tahap
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, hasil pemeriksaan

266 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BPK yang dipakai dalam tahapan tersebut, padahal istilah yang digunakan
dalam UU BPK adalah “kerugian negara”.

4. Penafsiran Teleologis/Sosiologis
Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan masyarakat. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang
disesuaikan dengan keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar
penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian hukum
berdasarkan asas keadilan masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dengan penafsiran teleologis ini,
undang-undang yang masih berlaku, tetapi sudah usang atau sudah tidak
sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan, dan
kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu
diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Dalam
konteks ini, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang
sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau
menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama di waktu sekarang.
Dengan demikian peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan
keadaan yang baru. Dengan demikian, peraturan yang lama dibuat aktual.
(Mertokusumo, 1999, pp. 156-157).

5. Penafsiran Historis/Sejarah
Makna suatu Undang-Undang dapat dipahami dan dijelaskan dengan
mempelajari sejarah pembentukannya. Penafsiran ini dikenal dengan
penafsiran historis. Dengan kata lain penafsiran historis didasarkan pada
maksud pembuat Undang-Undang ketika diciptakan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, ada dua macam penafsiran historis yakni: (1) penafsiran
menurut sejarah undang-undang dan (2) penafsiran menurut sejarah
hukum (Mertokusumo, 1999, p. 158).
Penafsiran menurut sejarah undang-undang merupakan jenis
penafsiran yang melihat maksud pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya dan tercantum dalam teks undang-undang. Penafsiran
menurut sejarah bersumber dari notulensi/rekaman proses dan
pembahasan yang dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk

Penafsiran Pidana | 267

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Undang-Undang dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk


Peraturan Daerah.
Dengan perkataan lain, Penafsiran ini juga dinamakan penafsiran
sempit dan hanya menyelidiki “apakah maksud pembuat undang-undang
dalam menetapkan peraturan perundang-undangan itu atau siapa yang
membuat rancangan untuk undang-undang, apa dasar-dasarnya, apa yang
diperdebatkan dalam sidang-sidang DPR dan sebagainya sehingga undang-
undang itu dapat ditetapkan secara resmi.
Sedangkan penafsiran sejarah hukum berusaha memahami undang-
undang dalam konteks sejarah hukum secara keseluruhan. Penafsiran ini
dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran wetshistorisch
termasuk di dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini menyelidiki
apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu
pernah berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku
atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain,
misalnya KUH Pidana yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS)
Negeri Belanda. WvS ini berasal dari Code Penal Perancis. Masuknya Code
Penal Perancis ke Negeri Belanda berdasarkan asas konkordansi sama
halnya dengan masuknya WvS Negeri Belanda ke Indonesia sebagai negara
jajahan.

6. Penafsiran Futuristik
Penafsiran ini dilakukan dengan cara merujuk RUU yang sudah
disiapkan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan
cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa yang akan datang. Dengan
perkataan lain, hakim dapat saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap
norma yang dilakukannya didasarkan atas penelaahan dari sudut pandang
hukum baru. Dengan perkataan lain, penafsiran futuristik menafsirkan
dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (rancangan undang-undang yang telah disahkan namun
ditunda masa berlaku efektif).

268 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

7. Penafsiran Intensif dan Penafsiran Ekstensif


Penafsiran Intensif sering disebut dengan penafsiran restriktif
(penafsiran membatasi). Penafsiran ini membatasi arti perkataan atau
istilah yang terdapat dalam ketentuan undang-undang. Misalnya Pasl 346
KUHP tentang abortus provocatus criminalis (pengguguran kandungan
yang dapat dipidana), syaratnya jika janin dalam perut seorang wanita itu
masih hidup. Jika janin sudah mati maka tidak termasuk pengertian
abortus menurut pasal ini sehigga tidak dapat dipidana berdasarkan pasal
ini.
Sedangkan penafsiran ekstensif (penafsiran memperluas) arti kata
atau istilah yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa
dapat dimasukan kedalamnya. Misalnya istilah “mengambil” sebagai salah
satu unsur delik pencurian, secara umum dimaknai sebagai perbuatan
memindahkan barang dari tempat asal ke tempat lain dengan tangan.
Tetapi makna ini diperluas sehingga termasuk pula perbuatan pencurian
dengan mengalirkan suatu barang berupa listrik dalam suatu kabel secara
melawan hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi restriktif adalah
penjelasan atau penafsiran membatasi. Untuk menjelaskan suatu
ketentuan undang-undang, ruang lingkup ketentuan itu dibatasi.
Sedangkan pada penafsiran ekstensif, batas-batas dari pengertian secara
gramatikal dilampaui. Misalnya, istilah “tetangga” jika ditafsirkan secara
restriktif, tidak termasuk tetangga penyewa, namun jika ditafsirkan secara
luas, termasuk penyewa dari pekarangan sebelahnya (Mertokusumo, 1999,
p. 160).

8. Penafsiran Analogi
Suatu peraturan perundang-undangan terkadang terlalu sempit ruang
lingkupnya. Oleh karena itu,untuk dapat menerapkan undang-undang
pada peristiwa tertentu, hakim akan memperluasnya dengan metode
“argumentum per analogiam” atau analogi. Dengan analogi itu, peristiwa
yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang telah diatur dalam undang-
undang diperlakukan sama.

Penafsiran Pidana | 269

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan


umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali atas
yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu
peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-
undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam
undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang
diatur dalam undang-undang (Mertokusumo, Penemuan Hukum, 2010, p.
87).
Analogi biasa terjadi apabila suatu peraturan hukum pidana tidak
meliputi suatu perbuatan yang menurut pendapat banyak orang
seharusnya dilarang juga dengan ancaman pidana karena sangat mirip
dengan perbuatan yang disebutkan dalam suatu peraturan hukum pidana
sebagai suatu tindak pidana.
Dalam hukum pidana Indonesia dan juga hukum pidana di negara lain,
analogi dilarang digunakan dalam hukum pidana walaupun masih terdapat
pro dan kontra soal pemberlakuan analogi dalam hukum pidana. Adapun
alasan yang dikemukakan oleh pihak yang menyetujui penggunaan analogi
dalam hukum pidana yakni perkembangan masyarakat yang sangat cepat
sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat tersebut. Sedangkan yang menentang penggunaan penafsiran
analogi dalam hukum pidana adalah penerapan analogi sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan ketidak pastian hukum dalam masyarakat.

E. RANGKUMAN MATERI
1. Penafsiran menjadi hal penting dan kebutuhan dalam memecahkan
persoalan, mulai dari hal yang sederhana hingga yang kompleks seperti
yang terdapat dalam undang-undang, kontrak, konvensi, putusan
pengadilan dan sebagainya. Penjelasan undang-undang dengan kata
“cukup jelas”, namun dalam tataran pelaksanaan rumusan pasal
tersebut tidak jelas karena dapat ditafsirkan dengan beberapa
pengertian. Penafsiran menjadi bahasan yang serius tidak hanya dalam
berbagai bidang hukum lain tetapi termasuk hukum pidana.
2. Penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang
sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa
saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa,

270 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain. Akan tetapi dalam dunia
penegakan hukum dipahami bahwa profesi yang paling banyak
melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya
hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus
diselesaikan.
3. Pada dasarnya semua penafsiran yang digunakan pembidangan hukum
lain, digunakan pula dalam penafsiran hukum pidana seperti penafsiran
autentik, gramatikal, sistematis, teleologis, sosiologis, penafsiran
ekstensif ekstensif dan a contratio. Namun ada pengecualian untuk
penafsiran analogi yang tidak digunakan dalam hukum pidana.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Penafsiran tidak dapat dielakan dalam penerapan hukum pidana.
Jelaskan urgensi penafsiran dalam Hukum Pidana.
2. Jelaskan makna Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 Tahun
2009 bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat dikaitkan dengan fungsi hakim sebagai penemu hukum.
3. Jelaskan jenis-jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum pidana
4. Jelaskan perbedaan penafsiran intensif dan ekstensif disertai contoh
5. Penafsiran analogi dalam penerapan hukum pidana dilarang
digunakan. Jelaskan dasar pertimbangannya.

Penafsiran Pidana | 271

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA
Hamidi, J. (2005). Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru
Dengan Interpretasi. Yogyakarta: UII Press.
Hamzah, A. (1994). Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Rineka Cipta.
Hiariej, E. O. (2016). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.
Kartanegara, S. (Tanpa Tahun ). Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof.
satochid Kartanegara dan Pendapat para Ahli Hukum Terkemuka.
Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Lamintang, P. (1997). Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya bakti.
Mertokusumo, S. (1999). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Mertokusumo, S. (2010). Penemuan Hukum. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya.
Santoso, T. (2020). Hukum Pidana Suatu Pengantar. Depok: PT
RajaGrafindo Persada.
Susanto, A. F. (2005). Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: PT Refika Aditama.
Utrecht, E. (1994). Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya:
Pustaka Tinta Mas.

272 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

HUKUM PIDANA
BAB 14: RESTORATIF JUSTICE
PIDANA

Achmad Surya, S.H., M.H.Li

Universitas Gajah Putih

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

BAB 14
RESTORATIF JUSTICE PIDANA

A. PENDAHULUAN
Penegakan hukum Indonesia bisa dikatakan “communis opinio
doctorum”, yang artinya bahwa, penegakan hukum yang sekarang
dianggap telah gagal dalam mencapaui tujuan yang diisyaratkan oleh
Undang-Undang (Rizky, p, 4). Oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah
alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System, dimana
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan
pendekatan normative (Dignan, p, 27). James Dignan dalam karyanya
Understanding Victims and Restorative Justice mengungkapkan istilah
keadilan restoratif berawal ketika Albert Eglash, berupaya membedakan
tiga bentuk peradilan pidana, yakni retributive justice, distributive justice,
dan restorative justice. Menurut Eglash, sasaran keadilan retributif adalah
penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Adapun
sasaran keadilan distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan.
Konsep restoratif justice telah muncul dari dua puluh tahun yang lalu
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana khusunya terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. Restoratif justice adalah sebuah konsep
yang menunjukkan berbagai praktik keadilan dengan nilai-nilai yang sama,
tetapi prosedur yang sangat bervariasi (Braithwaite, 2002). Restoratif
justice juga merupakan kerangka berpikir yang baru yang mampu
digunakan untuk menanggapi kejahatan oleh aparat penegak hukum.
Penulis pada pembahasan materi akan menjelaskan secara singkat
pengertian restoratif justice, tujuan restoratif justice, prinsip-prinsip
restoratif justice dan jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui
restoratif justice.

274 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

B. PENGERTIAN RESTORATIF JUSTICE


Sebagaimana diketahui bahwa para pakar memiliki beragam
pandangan atau pemikiran tentang istilah restoratif justice, semisal
communitarian justice, making amends, positive justice, relational justice,
reparative justice, dan community justice (Santoso, p, 195). Dapat
dicontohkan, Andi Hamzah memaknai restorative justice sebagai peradilan
restorative, sama halnya dengan criminal justice yang diterjemahkan
dengan peradilan pidana (Suhariyanto, p, 19). Bagir Manan tidak
sependapat dengan pakar yang menyamakan restorative justice sebagai
peradilan restoratif, karena menurutnya bahwa “konsep restorative
justice adalah cara penyelesaian perbuatan atau tindak pidana diluar
proses peradilan (out of criminal judicial procedure) atau sekurang-
kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana. Oleh
karena itu, Bagir Manan berpendapat bahwa restorative justice
merupakan konsep pemidanaan yang hanya tidak terbatas pada
ketentuan hukum pidana formal dan materiil.
Istilah restorative justice pertama kali diperkenalkan dalam literatur
dan praktik peradilan pidana kontemporer pada 1970-an. Namun
beberapa bukti yang cukup kuat menunjukkan bahwa konsep tersebut
pada dasarnya berakar dari tradisi kuno dan dapat ditelusuri ke belakang
dalam adat istiadat dan agama sebagian besar masyarakat tradisional.
Beberapa penulis berpendapat bahwa nilai-nilai restorative justice telah
bersemayam sejak lama dalam tradisi peradilan yang berkembang dalam
peradaban Yunani dan Romawi kuno (Braithwaite, p, 64). Istilah umum
tentang pendekatan restorative diperkenalkan untuk pertama kali oleh
Albert Eglash yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk,
menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas
tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu
alternative pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif
dan keadilan rehabilitative (Hutauruk, p. 9).
Pengertian keadilan restoratif secara umum adalah “restorative justice
is concerned with healing victims wounds, restoring off enders to law
abiding lives, and repairing harm done to interpersonal relationships and
the community”. (Keadilan restoratif berkaitan dengan penyembuhan luka
korban, memulihkan pelanggar hidup taat hukum, dan memperbaiki

Restoratif Justice Pidana | 275

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

kerusakan dilakukan untuk hubungan interpersonal dan masyarakat) yang


artinya kurang lebih restorative justice (keadilan restoratif) berfokus untuk
menyembuhkan luka yang diderita korban (fisik maupun psikis), membuat
pelaku menjadi taat hukum, memperbaiki hubungan sesama manusia
serta kepada masyarakat akibat suatu tindak pidana (Satriana dan Dewi, p,
23). Keadilan restoratif adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau
keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama
seperti ia memperlakukan korban. Teori ini berpijak pada perbedaan yang
penting dalam retributivisme, yakni: antara retributive negative dan
retributive positif (Kaligis, p, 125).
Keadilan restoratif tidak hanya ditujukan pada pelaku saja sebagai
pokok utama prosesnya, sebaliknya untuk merehabilitasi keadilan dan
hukum. Teori restorasi ini menganggap bahwa penjatuhan pidana tidak
memberikan “pembalasan” dan “perbaikan” terhadap pelaku kejahatan,
tetapi tidak juga menyangkal bahwa terhadap pelaku kejahatan harus
mendapatkan sanksi. Hanya saja teori ini lebih menitikberatkan kepada
penyelesaian konflik dari pada pemenjaraan. Menurut teori ini
pemenjaraan bukanlah jalan terbaik untuk menangani masalah kejahatan.
Pemenjaran menurut teori ini adalah suatu bentuk civilization of criminal
law. Tony F. Marshal dalam mengambarkan defenisi restorative justice
membuat segitiga sebagai berikut (Marshall, p, 1):

V : Victim (korban)
0 : Offender (pelaku)
C : Community (lingkungan)
J : Justice (keadilan)

Menurut Marlina, restorative justice adalah proses penyelesaian


tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa
korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu
pertemuan untuk bersama-sama berbicara (Marlina, p, 180). Sedangkan
menurut Koesriani Siswosoebroto bahwa dalam keadilan restorative
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restorative

276 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum


pidana pada umumnya yaitu serangan pada individu, masyarakat dan
hubungan kemasyarakatan (Siswosoebroto, p, 6).
Berdasarkan penjelasan diatas, restoratif justice (keadilan restoratif)
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan, dan
prinsip restoratif justice (keadilan restoratif) yaitu korban mendapatkan
ganti kerugian yang menderita kerugian, perdamaian serta kesepakatan
yang dapat memulihkan keadaan korban.

C. TUJUAN RESTORATIF JUSTICE


Menurut Helen Cowie dan Dawn Jennifer sebagaimana dikutip oleh
Hadi Supeno, tujuan dilaksanakan restorative justice atau keadilan
restorative sebagai berikut (Supeno, p, 165):
a. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau
menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi
tentang keadilan.
b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal
memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan
sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan
langsung, antara korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi
mengubah cara berhubungan satu sama lain.
c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat
anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya
agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalias
serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

Menurut Handbook on Restorative Justice Programmes yang dikutip


oleh Hasbi Hasan, tujuan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1. Mendukung korban, memberi mereka suara, mendorong mereka
untuk mengekspresikan kebutuhannya, memungkinkan mereka untuk
berpartisipasi dalam proses penyelesaian dan memberikan bantuan
kepada mereka;

Restoratif Justice Pidana | 277

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

2. Memperbaiki hubungan yang rusak karena kejahatan dengan cara


mencari suatu konsensus tentang bagaimana cara terbaik untuk
menanggapinya;
3. Mencela perilaku kriminal sebagai tindakan yang tidak dapat diterima
dan memperkuat kembali nilai-nilai masyarakat;
4. Mendorong pertanggungjawaban semua pihak yang terkait, terutama
pelaku;
5. Mengidentifikasi hasil yang bersifat restoratif dan berorientasi ke
depan;
6. Mengurangi residivisme dengan mendorong perubahan pada pelaku
individu dan memfasilitasi reintegrasi mereka ke dalam masyarakat;
7. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan dan
menginformasikan otoritas yang bertanggung jawab untuk melakukan
strategi pengurangan kejahatan.

Sedangkan menurut Susan Sharpe, program restorative justice


bertujuan untuk (Sharpe, p, 37):
a. Menempatkan keputusan penting ke tangan mereka yang paling
terdampak oleh kejahatan;
b. Membuat keadilan lebih memulihkan dan, idealnya, lebih
transformatif; dan
c. Mengurangi kemungkinan pelanggaran di masa depan.

Susan Sharpe melanjutkan bahwa untuk mencapai tujuan ini


mensyaratkan beberapa hal berikut: (1) korban terlibat dalam proses dan
merasa puas atas proses tersebut; (2) pelanggar mengerti bahwa tindakan
mereka berdampak terhadap orang lain dan bertanggung jawab atas
tindakannya; (3) hasil membantu memperbaiki kerugian dan
menyodorkan alasan-alasan atas pelanggaran semacam rencana khusus
yang disesuaikan dengan kebutuhan korban dan pelaku; dan (4) korban
dan pelaku memperoleh rasa penutupan (closure) dan keduanya
dintegrasikan kembali ke masyarakat (Sharpe, p, 38).

278 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

D. PRINSIP-PRINSIP RESTORATIF JUSTICE


Prinsip dasar restoratif justice (keadilan restoratif) adalah adanya
pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan
memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan
kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Ada tiga prinsip
dasar untuk membentuk Restoratif Justice yaitu: a. Terjadi pemulihan
kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan; b. Pelaku
memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi);
c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat
berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.
Menurut “UN Resolutions and Decisions adopted by ECOSOC at its
substantive session of 2002” yang dikutip oleh Eka Fitri Andriyanti, prinsip-
prinsip dasar keadilan restoratif adalah sebagai berikut (Andriyanti, p. 327-
329):
1. Proses restoratif adalah setiap proses dimana korban dan pelaku dan
apabila perlu termasuk setiap individu atau anggota masyarakat yang
dirugikan oleh kejahatan, ikut serta bersamasama secara aktif di
dalam memecahkan persoalan-persoalan yang timbul akibat kejahatan,
dengan bantuan dari seorang fasilitator. Proses keadilan restorative
mencakup mediasi, konsiliasi, pertemuan (conferencing) dan
pemidanaan.
2. Program keadilan restoratif adalah setiap program yang
mendayagunakan proses restoratif dan berusaha untuk mencapai hasil
atau akibat (restorative outcomes) berupa kesepakatan sebagai hasil
dari suatu proses restoratif, termasuk tanggapan/reaksi dan program-
program seperti reparasi, restitusi, dan pelayanan masyarakat, yang
sesuai dengan kebutuhan individual dan kolektif serta tanggungjawab
pihak-pihak dan ditujukan untuk mengintegrasikan kembali korban
dan pelaku.
3. Pihak-pihak adalah korban, pelaku tindak pidana dan individu anggota
masyarakat lain yang dirugikan oleh suatu tindak pidana dan mungkin
dilibatkan dalam proses keadilan restoratif.
4. Fasilitator atau mediator adalah setiap orang yang berperan untuk
memfasilitasi proses keadilan restoratif dengan cara yang adil dan
tidak memihak.

Restoratif Justice Pidana | 279

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

5. Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam setiap tahap


sistem peradilan pidana.
6. Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila terdapat bukti-
bukti yang cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana dan disertai
dengan kebebasan serta kesukarelaan korban dan pelaku. Dalam hal
ini termasuk kebebasan pelaku dan korban untuk mengundurkan diri
dari persetujuan setiap saat selama proses. Kesepakatan juga harus
dicapai secara sukarela dan memuat kewajiban-kewajiban yang wajar
serta proporsional.
7. Kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan dengan
kasus yang terkait, dan partisipasi pelaku tidak dapat digunakan
sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses hukum berikutnya.
8. Disparitas akibat ketidakseimbangan baik kemampuan maupun
perbedaan kultural harus diperhatikan dalam melaksanakan proses
keadilan restoratif.
9. Keamanan para pihak harus diperhatikan dan dijamin dalam proses
keadilan restoratif.
10. Apabila proses keadilan restoratif tidak tepat atau tidak mungkin
dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada pejabat sistem
peradilan pidana, dan suatu keputusan harus diambil untuk segera
memproses kasus tersebut tanpa penundaan. Dalam hal ini pejabat
peradilan pidana harus berusaha untuk mendorong pelaku untuk
bertanggungjawab berhadapan dengan korban dan masyarakat yang
dirugikan dan terus mendukung usaha reintegrasi korban dan pelaku
dalam masyarakat.
11. Pedoman dan standar yang dirumuskan harus jelas melalui responsive
regulation berupa produk legislatif, yang mengatur penggunaan
proses keadilan restoratif.
12. Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang mengendalikan
pelaksanaan keadilan restoratif.
13. Di bawah hukum nasional, korban dan pelaku harus memiliki hak
untuk berkonsultasi pada konsultan hukum sehubungan dengan
proses keadilan restoratif dan apabila perlu untuk menterjemahkan
dan menafsirkan.

280 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

14. Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau dibujuk dengan
cara-cara tidak jujur untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif
atau untuk menerima hasilnya.
15. Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses keadilan
restoratif, para pihak harus diberi informasi lengkap tentang hak-
haknya, hakekat proses dan konsekuensinya yang mungkin terjadi
akibat keputusannya.
16. Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuali atas persetujuan pihak-
pihak harus terbuka.
17. Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses keadilan restoratif
apabila diperlukan diawasi oleh lembaga judisial, atau digabungkan
dalam keputusan judisial dengan status yang sama dengan keputusan
judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus yang sama.
18. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang dibuat dalam
rangka proses keadilan restoratif harus dikembalikan dalam proses
restoratif atau peradilan pidana dan proses harus segera dilaksanakan
tanpa penundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan,
berbeda dengan keputusan pengadilan, tidak dapat digunakan sebagai
pembenaran untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat dalam
proses peradilan selanjutnya.
19. Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak memihak,
dengan menghormati martabat para pihak. Dalam kapasitas tersebut,
fasilitator harus menjamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan
menghormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak untuk
menemukan penyelesaian yang relevan antar mereka.
20. Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik terhadap kultur
setempat dan masyarakat serta apabila diperlukan memperoleh
pelatihan sebelum melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator.
21. Negara harus merumuskan strategi nasional dan kebijakan untuk
mengembangkan keadilan restoratif dan memajukan budaya yang
kondusif untuk mendayagunakan keadilan restoratif di antara para
penegak hukum, lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat
setempat.
22. Konsultasi harus dilakukan antara lembaga peradilan pidana dan
administrator proses keadilan restoratif untuk mengembangkan

Restoratif Justice Pidana | 281

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

pemahaman bersama dan memperkuat efektivitas keadilan restoratif


dan hasilnya, untuk meningkatkan perluasan program-program
restoratif yang digunakan, dan menjajagi kemungkinan cara-cara agar
pendekatan keadilan restoratif dapat digabungkan dalam praktek
peradilan pidana.
23. Negara bersama masyarakat (civil society) harus mengembangkan
riset untuk mengevaluasi program-program keadilan restoratif dengan
menilai tingkat penggunaan hasilnya, dukungan sebagai pelengkap
atau alternatif proses peradilan pidana dan menciptakan hasil positif
bagi semua pihak. Proses keadilan restoratif sangat dibutuhkan untuk
melaksanakan perubahan secara konkrit. Negara harus meningkatkan
secara berkala dan modifikasi yang diperlukan dari program-
programnya.
24. Hasil dari riset dan evaluasi harus menjadi pedoman kebijakan
selanjutnya dan pengembangan program.
25. Sekali lagi ditegaskan bahwa segala asas dasar di atas tidak akan
berpengaruh terhadap setiap hak pelaku atau korban yang telah diatur
dalam hukum nasional atau hukum internasional

Sementara itu, Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada pada


tahun 1998 yang dikutip oleh Marlina, memberikan penjelasan kembali
terhadap definisi restoratif justice dengan 5 prinsip kunci dari restoratif
justice yaitu (Marlina, p. 174) :
1. Restorative justice invites full participation and consens us (restorative
justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban
dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu
juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa
kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh
tetangga yang secara tidak langsung merasa tidak aman atas
kejahatan tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak
mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya
pelaku ham diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses
peradilan tradisional.
2. Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice
berusaha menyembuhkan kerusakan kerugian yang ada akibat

282 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

terjadinya tindakan kejahatan). Sebuah pertanyaan penting tentang


restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan,
untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya?
Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai
proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan
mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah
merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal
itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga
butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari
kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah
mengenai konflik. Apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi
padanya yang menjadi permulaan sehingga dia terlibat atau bahkan
melakukan kejahatan, dan mereka butuh kesempatan untuk
memperbaiki semuanya.
3. Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative
justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan,
karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa
dia atau mereka melanggar hukun, dia juga harus menunjukkan
kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana
perbuatan yaitu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan
menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat
menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata
untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.
4. Restorative justice seeks to recinite what hasbeen devided (restorative
justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang
telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal). Tindakan
kriminal telah memisahkan atau memecah orang dengan
masyarakatnya, ha lini merupakan salah satu bahaya yang
disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan
kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan
masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau
stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan
pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat.
Perspektif restorative justice adalah julukan “korban” dan “pelaku”

Restoratif Justice Pidana | 283

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan


dan dibebaskan dari masa lalunya Mereka tidak dideklarasikan sebagai
peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau
akibat yang menjadi objek penderita.

Sedangkan menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Rudy Rizky, inti
gagasan dan prinsip restoratif justice, antara lain (Rizky, p, 7):
a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana;
b. Mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa
atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian
terhadap korban dan mencegah pelaku tidak mengulangi lagi
perbuatan pidana;
c. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai
suatu pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh
seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok
orang); dan
d. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan
cara-cara yang lebih informal dan personal. Daripada penyelesaian
dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal.

E. JENIS PERKARA PIDANA YANG DAPAT DISELESAIKAN MELALUI


RESTORATIF JUSTICE
Perkara pidana yang dapat diselesaikan diluar pengadilan melalui
restoratif justice adalah sebagai berikut (Yudaningsih, p. 72-73):
a. Pelanggaran hukum pidana termasuk kategori delik aduan, baik aduan
yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
b. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut.
c. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”,
bukan “kejahatan” yang hanya diancam dengan pidana denda.
d. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana dibidang
hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai
ultimum remedium (sanksi pamungkas/terakhir dalam penegakan
hukum).

284 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

e. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba


ringan dan apparat penegak hukum menggunakan wewenangnya
untuk melakukan diskresi.
f. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan dan tidak diproses
ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang
hukum yang dimilikinya.
g. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran
hukum pidana adat yang diselesaikan melalui Lembaga adat.
h. Pelanggaran hukum pidana kesehatan yang disebabkan oleh kelalaian
tenaga medis.

F. RANGKUMAN MATERI
Restoratif justice (keadilan restoratif) adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan. Tujuan dan prinsip restoratif justice yaitu:
membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana, dan
mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa
atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian
terhadap korban dan mencegah pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan
pidana. Jenis perkara pidana yang dapat diselesaikan melalui restoratif
justice adalah tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan, baik
aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

TUGAS DAN EVALUASI


1. Sebutkan prinsip-prinsip restoratif justice?
2. Jelaskan tujuan restoratif justice?
3. Sebutkan dan jelaskan jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui restoratif justice?
4. Bagaimanakah pandangan saudara terhadap penerapan restoratif
justice oleh aparat penegak hukum pada saat ini?

Restoratif Justice Pidana | 285

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Braithwaite, J. (2002). Restorative Justice & Responsive Regulation.
Oxpord : Oxford University Press.
Dignan, J. (2005). Understanding Victims And Restorative Justice. New
York : Open University Press.
Hutauruk, R.H. (2013). Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
Kaligis, O.C. (2006). Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka.
Terdakwa dan Terpidana. Bandung : Alumni.
Marlina, (2009). Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama.
Rizky, R, (ed). (2008). Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran
dalam Dekade Terakhir). Jakarta: Perum Percetakan Negara
Indonesia.
Santoso, T. (2020). Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Satriana, I. M.W.C dan Dewi, N.M.L. (2021). Sistem Peradilan Pidana
Perspektif Restorative Justice. Denpasar : Udayana University Press.
Sharpe, S. (1998). Restorative Justice : A Vision for Healing and Change.
Canada : Edmonton Victim Offender Mediation Society.
Siswosoebroto, K. (2009). Pendekatan Baru dalam Kriminologi. Jakarta :
Universitas Trisakti.
Suhariyanto, B, dkk. (2021). Kajian Restorative Justice: Dari Perspektif
Filosofis, Normatif, Praktik, dan Persepsi Hakim. Jakarta : Kencana.
Supeno, H. (2015). Kriminalisasi Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Artikel
Andriyanti, E.K, “Urgensitas Implementasi Restorative Justice Dalam
Hukum Pidana Indonesia”. Vol. 8, No. 4, November 2020.

286 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Hasan, H. “Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana


Anak Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli
2013.
Marlina. (2006). “Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di
Kota Medan)”, Disertasi, Sumatera Utara: Universitas Sumatera
Utara.
Yudaningsih, L.P. “Penanganan Perkara Anak Melalui Restorative Justice”.
Jurnal Ilmu Hukum Jambi. Vol. 5, No. 2, Oktober 2014.

Restoratif Justice Pidana | 287

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

GLOSARIUM

Aanslaag: Istilah bahasa Belanda yang berarti Makar seperti terdapat


dalam Pasal 104 KUHP.

Abortus provocatus criminalis: Pengguguran kandungan adalah tindakan


pengguguran kehamilan tanpa alasan medis dan dilarang oleh hukum
serta dilakukan oleh orang yang tidak berwenang sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan.

Ambtenaar: Istilah bahasa Belanda yang pegawai negeri.

Aannemen: Kata bahasa Belanda yang berarti menerima.

Argumentum per analogiam: Atau sering disebut analogi. Pada analogi,


peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur
dalam undang-undang diperlakukan.

Bentuk kejahatan: Dalam hukum pidana sebagai tindak pidana merupakan


suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan disertai
dengan adanya sanksi pidana untuk yang melanggarnya.

Code Penal: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Perancis.

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dalam hukum pidana: Dikenal istilah pertanggungjawaban, bahasa


belanda menyebutkan toerekenbaarheid, dalam bahasa Inggris criminal
responsibility atau criminalliability. Pertanggungjawaban pidana, Roeslan
Saleh menyebut “pertanggungjawaban pidana”.

De will: Sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan


merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat
ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada
dua teori yang berkaitan dengan pengertia “sengaja” yaitu toeri kehendak
dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Distributive justice: Adalah proses peradilan yang adil.

Hakim lah yang berperan: Dalam menentukan apakah benar terdapat


hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan
kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang
melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya tindak pidana.
Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang melawan
hukum, akan tetapi pelakunya dinyatakan tidak bersalah atau
kesalahannya di hapuskan.

Glosarium | 289

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Ketidakmampuan bertanggungjawab: Dengan alasan masih muda usia


tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu
bertanggungjawab adalah alasan pengahapusan pidana yang umum yang
dapat disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUHP.

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan: Suatu keadaan psikis


sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik
ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan.

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya: Dapat disamakan dengan


pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya
terkandung makna dapat dicelanya sipembuat atau perbuatannya.

Kesalahan adalah: Adanya keadaan physchis yang tertentu pada orang


yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatannya yang dilakukan sedemikian rupa, untuk
adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal disamping melakukan
tindak pidana, yakni: (a) Adanya keadaan physchis (bathin) yang tertentu,
dan (b) Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin dengan
perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

290 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Omwenteling: Istilah bahasa Belanda yang berarti meruntuhkan


pemerintahan yang sah

Out of criminal judicial procedure: Adalah tindak pidana diluar proses


peradilan.

Pengecualian prinsip: Actus reus dan mens rea adalah hanya pada delik-
delik yang bersifat strict liability (pertanggungjawaban mutlak), dimana
pada tindak pidana yang demikian itu adanya unsur kesalahan atau mens
rea tidak perlu dibuktikan.

Restoratif Justice (Keadilan Restoratif): Adalah penyelesaian perkara


tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban.

Retributive justice: Adalah teori hukuman bahwa ketika pelaku melanggar


hukum.

Glosarium | 291

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Strafbaar feit: Adalah sama dengan syarat penjatuhan pidana, sehingga


seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti
pelakunya dapat dipidana.

Samenspanning: Istilah bahasa Belanda yang berarti permufatakan jahat.

Subjektif wil: Kehendak subjektif.

Wetboek van Strafrecht: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda

Wilbesluit: Putusan kehendak pembentuk undang-undang.

292 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Glosarium | 293

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

PROFIL PENULIS

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Ida Bagus Anggapurana Pidada, S.H., M.H


Penulis kelahiran Denpasar, 18 Pebruari 1992. Pria
asal Karangasem ini menamatkan pendidikan
terakhir Magister Hukum, dengan predikat
Cumlaude (Dengan Pujian). Penulis kini tengah
menempuh pendidikan S3 Program Doktor Ilmu
Hukum di Universitas Udayana. Penulis adalah dosen
tetap Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta.
Penulis yang juga menjadi praktisi hukum (advokat) ini aktif dalam
berbagai kegiatan sosial dan berprestasi diberbagai bidang baik di bidang
hukum, politik, budaya maupun sosial kemasyarakatan. Prestasinya ini
pula yang mengantarkannya mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar
saat menempuh pendidikan S1 di Temple University, Philadelphia,
Pennsilvania, United State of America (U.S.A). Penulis juga aktif dalam
berbagai kegiatan sosial pengabdian masyarakat dan gemar menulis jurnal
dan karya tulis lainnya. Besar harapan penulis untuk menorehkan karya-
karya untuk dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk kemajuan
bangsa Indonesia sehingga meningkatkan daya saing global di dunia
Internasional.

Dr. Margie Gladies Sopacua, S.H., M.H


Penulis adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Pattimura Ambon seak tahun 2009, dan
lahir di Ambon, tanggal 31 Oktober 1981. Penulis
merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar Sarjana
Hukum (S.H) Pada Tahun 2004, dan melanjutkan
studi Magister Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado dengan konsentarsi pada
bidang Pidana dan Hak Asasi Manusia dan meraih gelar Magister Hukum
(M.H) tahun 2006. Kemudian pada tahun 2016 Penulis melanjutkan studi
S3 Doktor ilmu Hukum pada Program Studi Doktor Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar dan meraih gelar Doktor (Dr) pada
Tahun 2019, selain itu juga penulis aktif pada Lembaga Bantuan Hukum
dan Klinik Hukum (LBHKH) Fakultas Hukum Universitas Pattimura hingga

Profil Penulis | 295

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

saat ini. Penulis juga giat dalam pelaksanaan Tri Dharma salahsatunya
menulis pada book chapter berjudul “Sosiologi Kesehatan” yang
diterbitkan oleh Penerbit Widina Bhakti Persada tahun 2022.

Dr. Juanrico Alfaromona Sumarezs Titahelu, S.H., M.H


Penulis lahir di Jakarta, 23 November 1980. Penulis
merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada tahun 2004. Kemudian
melanjutkan studi Magister Ilmu Hukum pada
Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
Manado dan meraih gelar Magister Hukum (M.H)
tahun 2006. Penulis melanjutkan studi S3 dan meraih gelar Doktor Ilmu
Hukum pada Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar tahun 2016. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai CPNS pada
Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon dan tahun 2010 diangkat
sebagai PNS dengan status dosen tetap. Saat penulis dipercayakan sebagai
Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pattimura
periode 2020-2024. Beberapa artikel telah banyak diterbitkan di jurnal
nasional dan internasional diantaranya Strengthening Pela-Gandong
Alliance Based on John Rawls’ Theory of Justice (2015), The Essence of
Human Rights Violations in Social Conflict in Maluku (After the Riots in
1999) (2019), The Effectiviness of Law Number 6 Year 2018 and Law
Number 4 Year 1984 in Handling The Covid-19 Pandemic for Inter Island
Travel in Ambon City (2021), Legal Efforts Of Special Detachment 88 Anti-
Terror Investigator, Poice Of Republik Of Indonesia After The Decision Of
The Constitutional Court Number 130/PUU/2015 (2021), Kejahatan
Terhadap Kekayaan Negara (2021). Selain itu penulis juga aktif dalam
kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Beberapa Book Chapter
yang dikerjakan dan diterbitkan oleh Penerbit Widina yaitu Hukum Media
Massa (Mei 2021) dan Kebijakan Publik (Juli 2021), Public Relations
(Komunikasi Strategis, Digital dan Bertanggung Jawab Sosial) (November
2021), Manajemen Pariwisata (April 2022).

296 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Hardi Fardiansyah, S.E, S.H, M.A, M.Ec.Dev


Penulis mempunyai latar belakang pendidikan
dibidang hukum, ekonomi & politik. Hal tersebut
membuat penulis untuk mempelajari multidisiplin
ilmu untuk menunjang kariernya sebagai advokat,
trainer, pembicara dan Konsultan di beberapa
Perusahaan BUMN, Pemerintah Daerah maupun
Perusahaan Swasta. Pada saat ini Penulis juga
berprofesi sebagai Akademisi dengan menjabat Ketua II Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum Dharma Andigha dan sedang menyelesaikan Program Doktor
di bidang Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Penulis memiliki
ketertarikan menulis dibidang hukum, ekonomi, administrasi dan politik
serta aktif menulis buku dan beberapa karya berupa jurnal ilmiah, nasional
maupun internasional dengan harapan dapat memberikan kontribusi
positif bagi bangsa dan negara yang sangat tercinta. Email Penulis:
hardifardiansyah.law@gmail.com

Dr. Nanda Dwi Rizkia, S.H, M.H


Ketertarikan penulis tentang politik dimulai pada
tahun 2009 silam. Hal tersebut membuat penulis
untuk masuk ke sekolah ilmu hukum di Universitas
Islam Bandung, lulus tahun 2009, penulis kemudian
melanjutkan pendidikan Program Magister Ilmu
Hukum, jurusan hukum bisnis, di Universitas
Pancasila, Jakarta, lulus tahun 2016, dan melanjutkan
kembali Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjajaran, Bandung,
lulus tahun 2019. Penulis memiliki kepakaran dibidang hukum bisnis,
hukum pasar modal, hukum surat berharga, hukum perusahaan, hukum
pajak, hukum hak kekayaan intelektual, hukum perdata, filsafat hukum,
teori hukum, dan hukum perdata internasional, Hukum Persaingan Usaha,
Hukum Perbankan, untuk mewujudkan karir sebagai dosen profesional,
dan juga sebagai advokat, penulis pun aktif menulis buku dan beberapa
karya ilmiah nasional maupun internasional dengan harapan dapat
memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negera yang sangat

Profil Penulis | 297

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

tercinta ini atas dedikasi dan kerja keras dalam menulis buku. Email
Penulis: nandadwirizkia.law@gmail.com

Dr. H. Yusep Mulyana, S.H., M.H


Penulis lahir di Garut 21 Juli 1981, Lulusan S-1
Universitas Pasundan dan S-2 Pascasarjana
Universitas Pasundan Bandung, S-3 Universitas
Pasundan. Pengalaman Penelitian Perancang Perda
dan Raperda Tentang Perangkat Desa Kabupaten
Garut tahun 2016, Pengabdian kepada Masyarakat
Sosialisasi Tentang Tata Cara Pemilihan Umum. Serta
Anggota DPRD Garut Masa Tahun 2014-2019, sekarang sebagai Kepala
Laboratorium Hukum Unpas.

Dr. Sherly Adam, S.H., M.H


Penulis lahir di Ambon 19 September 1974,
menyelesaikan studi Sarjana Hukum bagian Hukum
Pidana tahun 1998 di Fakultas Hukum Universitas
Pattimura Ambon. Magister Hukum pada Tahun
2009 di Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar,
Bali dan Doktor Hukum pada tahun 2016 di
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Sejak tahun 2004 sampai sekarang bertugas sebagai Dosen Tetap di
Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon. Karya/Publikasi Ilmiah
Penelitian yang dihasilkan: Eksistensi Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
dalam Sistem Pemidanaan (Jurnal INOPSTEK, volume 4 nomor 1 Januari
2011), Peranan Keluarga Dalam Pemberantasan dan Penanggulangan
Korupsi (Penelitian Mandiri: dalam Kompilasi Pemikiran Tentang Dinamika
Hukum Dalam Masyarakat ISBN: 9786021713747 Penerbit CV Anugerah
Sejati Ambon), Penegakan Hukum Tindak Pidana Di Bidang Perikanan
Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana, IJRD, Vol 2, 2015, Fungsi Keterangan
Ahli Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan, Jurnal Belo Fakultas
Hukum Universitas Pattimura, 2015, Law Enforcement of Fisheries Crimes
Based on The Criminal Justice System (Penelitian Mandiri) : Jurnal
Internasonal, 2019, Penelitian Mandiri pada Jurnal Sasi Volume 26 Nomor

298 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

1. Dengan judul Koordinasi Kelembagaan Dalam Peneggelaman Kapal Hasil


Tindak Pidana Perikanan, 2020.

Christina Bagenda, S.H., M.H., C.P.C.L.E., C.Mt., C.Ps


Penulis adalah dosen tetap di Prodi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Flores Ende dari tahun
2003 sampai dengan sekarang. Sekarang menjabat
sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum. Pengajar Mata kuliah Hukum Perdata,
Hukum Dagang, Hukum Perikatan, Hukum Bisnis
dan aspek Hukum Dalam ekonomi (Prodi
Manajemen). Selain mengajar penulis juga aktif dalam menulis Book
Chapter di berbagai Penerbit dan juga menulis di Jurnal Terakreditasi sinta
2, 3 dan 4. Melakukan Penelitian (Penelitain kerjasama Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kab Ende) di akhir tahun 2021
yaitu mengenai “Laporan Survei Indek Kepuasan Masyarakat (IKM)
Terhadap Pelayanan Publik Kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu pada 6 Kecamatan” serta penelitian awal Tahun 2022
yaitu: “Persepsi Mahsiswa Terhadap desain Implementasi Merdeka Belajar
Kampus Merdeka: Survei pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Flores (Dipublikasikan Di Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 4 No. 1 Tahun 2022),
mengikuti bebagai pelatihan: Pelatihan Ahli Hukum Kontrak, Pelatihan
Motivator, Pelatihan Publik Speaking dan Pelatihan Hypno teraphys. Email
Penulis: baendatitin@gmail.com

Dr. Irwanto, S.Pd.T., M.Pd


Penulis lahir di Jambu (Sulawesi-Selatan), 10
Oktober 1983 merupakan Dosen bidang Pendidikan
Vokasional Teknik Elektro, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa (UNTIRTA), Serang-Banten. Semua
Pendidikan mulai dari program Sarjana, Magister
dan Doktor di selesaikan di Universitas Negeri
Yogyakarta Dengan Jurusan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK).
Penyandang gelar Doktor dengan predikat Sangat Memuaskan merupakan

Profil Penulis | 299

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Doktor ke 108 Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dan


merupakan Doktor ke 18 Program Studi Pendidikan Teknologi Kejuruan
(PTK) Universitas Negeri Yogyakarta. Di luar itu, juga sebagai asisten
pengajar Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. Untuk Mata Kuliah Statistik Pendidikan,
Manajemen Pendidikan, Teknik Analisis Data Kuantitatif dan Metode
Penelitian Pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. Dalam kesibukannya itu, Irwanto masih aktif sebagai tenaga
pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten, di program
studi pendidikan vokasional teknik elektro pada Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten.
Adapun mata kuliah yang diberikan adalah Matematika Teknik 1,
Matematika Teknik 2, Elektronika Daya, Metodologi Penelitian Pendidikan
Teknik Elektro, Telaah Kurikulum Pendidikan Kejuruan, Pengelolaan
Pendidikan, Literasi ICT dan Media Pembelajaran, Pembinaan Kompetensi
Pembelajaran, Mikrokontroller, Neuro Fuzzy, Praktik Elektronika Daya,
Manajemen Pendidikan Kejuruan, Medan Elektromagnet, Struktur dan
Organisasi Komputer, Kurikulum dan Pembelajaran, dan lain-lain. Juga
telah menulis puluhan artikel ilmiah dan ilmiah populer. Ia pernah
melakukan studi banding bidang vokasional antara lain, Malaysia,
Singapura untuk menambah wawasan studi dalam bidang pendidikan
vokasional teknik elektro (PVTE) tersebut, sehingga keahlian yang dimiliki
adalah manajemen pendidikan kejuruan yang ditekuni sampai sekarang ini.

Dr. Mhd Ansori Lubis, S.H, M.M., M.Hum


Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum dan
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Darma Agung sampai saat ini, Penulis
juga merupakan Wakil Rektor I Universitas Darma
Agung. Dengan riwayat Pendidikan: S1 Hukum di
Universitas Andalas Padang Tahun 1991. S2 Ilmu
manajemen di Sekolah Tinggi Manajemen IMMI
Jakarta Tahun 2002, S2 Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara Tahun
2007 dan S3 Ilmu Hukum di Prodi Doktor Universitas Islam Sultan Agung
(PDIH UNISSULA-Semarang).

300 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dr. Reimon Supusepa, S.H., M.H


Penulis lahir di Ambon, 2 Juni 1980, merupakan anak
ketiga dari 3 bersaudara. Menyelesaikan studi S1
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga tahun 2004, kemudian melanjutkan studi
Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 2008
dan menyelesaikan studi S3 Doktor Ilmu Hukum pada
Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin tahun 2014. Mengabdikan diri sebagai dosen pada Fakultas
Hukum Universitas Pattimura sebagai CPNS pada tahun 2005 dan diangkat
sebagai PNS tahun 2006. Beberapa penulisan ilmiah telah diterbitkan pada
jurnal nasional dan jurnal internasional diantaranya : Problematika
Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Jurnal Belo
2019), Penal Mediation Role In Solving The Criminal Case (International
Journal of Advanced Research, 2014), Probematika Dalam Pemeriksaan
Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum (Jurnal Konstitusi PKHK
Universitas Janabadra, 2012).

Nanci Yosepin Simbolon, S.H., M.H


Penulis adalah seorang kelahiran Medan 19 Juni 1987,
lulus S1 di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Sumatera Utara tahun 2009,
lulus S2 di Program Magister Ilmu Hukum di
Universitas Sumatera Utara tahun 2011. Mengampu
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas
Hukum Universitas Darma Agung, dan pernah
mengikuti penelitian dari program Simlibtamas pada tahun 2018, dan
telah menulis beberapa artikel ilmiah yang terakreditasi secara nasional.
Saat ini sedang melanjutkan pendidikan S-3 di Universitas Sumatera Utara.

Profil Penulis | 301

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

Dr. Deassy J.A. Hehanussa, S.H, M.Hum


Penulis lahir di Ambon, 27 Desember 1965.
Mengambil konsentrasi Hukum Pidana dan
menyelesaikan S1 Tahun 1989 di Fakultas Hukum
UNPATTI Ambon. S2 (Magister) diselesaikan pada
Fakultas Hukum Universitas Airlangga-Surabaya
tahun 1996. Program Doktor (S3) diselesaikan pada
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Tahun 2013. Sejak tahun 1991 menjadi dosen tetap
Fakultas Hukum Universitas Pattimura sampai sekarang. Dalam karier
sebagai Dosen pernah menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Pidana
dan Ketua Bagian Hukum Pidana. Beberapa penelitian dan pengabdian
masyarakat telah dilakukan baik didanai oleh RISTEKDIKTI, internal
Perguruan Tinggi maupun kerjasama dengan beberapa Kabupaten/Kota di
Maluku yang menghasilkan beberapa produk Peraturan Daerah. Telah
menulis beberapa book chapter antara lain: Aspek Legal Pengelolaan Laut
Banda (Penerbit IPB Press Tahun 2016), Mediasi Penal Sebagai Pola
Penyelesaian Tindak Pidana Berbasis Kearifan Lokal di Maluku (Penerbit
Kanisius Tahun 2016). Disamping berbagai publikasi pada Jurnal Nasional
maupun Internasional.

Achmad Surya, S.H., M.H.Li


Penulis lahir di Medan pada Tanggal 6 April 1985.
Penulis menempuh sarjana strata (S1) Fakultas
Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta, kemudian
melanjutkan studi (S2) Magister Hukum Litigasi di
Universitas Gadjah Mada, dan saat ini sedang studi
(S3) pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Andalas. Penulis merupakan staf pengajar/dosen di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Putih, selain itu juga
aktif mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon
dan melakukan penelitian dan pegabdian kepada masyarakat, serta telah
menerbitkan beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan dibeberapa jurnal
ilmiah nasional dan jurnal nasional terakreditasi.

302 | Hukum Pidana

penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com

penerbitwidina@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai