com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
Tim Penulis:
Ida Bagus Anggapurana Pidada, Margie Gladies Sopacua, Juanrico Alfaromona Sumarezs
Titahelu, Hardi Fardiansyah, Nanda Dwi Rizkia, Yusep Mulyana, Sherly Adam,
Christina Bagenda, Irwanto, Mhd Ansori Lubis, Reimon Supusepa, Nanci Yosepin
Simbolon, Deassy J.A. Hehanussa, Achmad Surya.
Desain Cover:
Fawwaz Abyan
Tata Letak:
Handarini Rohana
Editor:
Evi Damayanti
ISBN:
978-623-459-151-4
Cetakan Pertama:
September, 2022
PENERBIT:
WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG
(Grup CV. Widina Media Utama)
Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas
Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang teramat dalam dan tiada kata lain yang patut kami
ucapkan selain rasa syukur, karena berkat rahmat dan karunia-Nya buku
yang berjudul "Hukum Pidana" ini telah dapat di terbitkan untuk dapat
dikonsumsi oleh khalayak banyak. Mengetahui dan mematuhi hukum
adalah suatu kewajiban yang harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap
warga negara. Seperti halnya hukum pidana.
Dimana Hukum pidana merupakan ketentuan ataupun undang-
undang atas pemberian sanksi terhadap suatu bentuk pelanggaran.
Umumnya, hukum pidana digunakan untuk menghukum seseorang yang
berbuat kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, penipuan, dan aksi
kriminal lainnya.
Oleh karena itu, Hukum pidana memiliki beberapa tujuan paling
mendasar, salah satunya memperbaiki orang yang telah melakukan
kejahatan supaya tidak mengulangi perbuatannya. Berdasarkan
definisinya, hukum adalah suatu peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat yang ditentukan atau dikukuhkan oleh pemerintah.
Sehingga Hukum juga kerap diartikan sebagai undang-undang dan
peraturan untuk mengendalikan pergaulan hidup masyarakat. Bisa juga
diartikan, bahwa hukum pidana adalah hukum yang terdiri dari norma-
norma berisi beberapa kewajiban dan larangan yang terkait suatu sanksi
hukuman jika diabaikan.
Selain itu, hukum pidana juga bisa diartikan sebagai peraturan berupa
norma ataupun sanksi yang sengaja dibuat untuk mengatur segala tingkah
laku manusia. Tujuannya untuk menjaga keadilan, ketertiban, dan
meminimalkan tindak kejahatan. Tak bisa dipungkiri, bahwa manusia
memiliki sifat tamak yang bisa berbuat dan berkehendak sesuai keinginan
hatinya. Jika keinginan dan kemauan tersebut tidak dibatasi, bisa saja
manusia tersebut menjadi ancaman bagi manusia lainnya.
iii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
September, 2022
Penulis
iv
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR ISI
v
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
vi
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
vii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
viii
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 1: PENGERTIAN DAN
KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 1
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK
HUKUM PIDANA
A. PENDAHULUAN
Hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi
hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan
untuk meninjau kembali dari pemerintah, sementara hukum internasional
mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan, lingkungan, peraturan atau tindakan militer. Dengan adanya
hukum diharapkan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih teratur
dengan perlindungan setiap individu agar tidak menindas individu lainnya.
2 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
4 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
6 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
8 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
10 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
G. RANGKUMAN MATERI
Hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
12 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
14 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
16 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 2: PEMBAGIAN DAN FUNGSI
HUKUM PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 2
PEMBAGIAN DAN FUNGSI HUKUM PIDANA
A. PENDAHULUAN
Konsep negara hukum yang terkenal di dunia dapat diketahui
diantaranya terdapat 2 (dua) yaitu Konsep Eropa Kontinental yang
terfokus pada negara hukum (rechtstaat) dan Konsep Anglo Saxon yang
terfokus pada peran hukum atau biasa dikenal dengan Rule of the Law.
Konsep yang sedang dijalankan oleh Indonesia lebih tertuju pada konsep
Eropa kontinental yang menitikberatkan kepada kedaulatan hukum.
Frederich Stahl mengatakan terdapat unsur pendukung konsep hukum
Eropa kontinental yang salah satunya adalah berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan (Sulistiyono, 2007).
Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat memiliki tujuan guna
menjamin dan menciptakan keamanan dan ketertibaban dalam setiap
interaksi masyarakat, rasa aman yang dirasakan masyarakat merupakan
rasa aman dari segala macam ancaman, teror dan juga segala perbuatan
lain yang merugikan hak dan kepentingan setiap manusia. Namun sebagai
hal pembeda dengan Hukum perdata, maka konteks hukum pidana dalam
hal ini adalah menjaga hak dan keamanan jiwa dan raga dari masyarakat.
Pendefinisian Hukum pidana harus dimaknai sesuai dengan sudut pandang
yang menjadi acuannya. Pada prinsipnya secara umum ada dua pengertian
tentang hukum pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan ius puniend.
Ius poenale merupakan pengertian hukum pidana objektif. Mezger
mendefinisikan berkaitan dengan hukum pidana merupakan "aturan-
aturan hukum yang membatasi suatu perbuatan tertentu yang sehingga
memenuhi syarat tertentu yang mengakibatkan suatu akibat yang berupa
pidana. Dalam konteks hukum pidana modern reaksi atas tindakan dan
sanksi dari kejahatan tersebut tidak hanya berupa hukum pidana,
melainkan lebih luas dari itu yakni tindakan yang bertujuan sebagai upaya
18 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
20 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
22 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
24 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
26 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
28 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
terdiri dari tiga buku dan 569 Pasal dengan penjelasan sistematikanya
sesuai dengan bagan di atas adalah sebagai berikut:
1. Buku Kesatu Tentang Ketentuan-Ketentuan Umum yang terdiri dari:
a. Bab I Tentang Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam
Perundang-Undangan
b. Bab II Tentang Pidana;
c. Bab III Tentang Hal-Hal Yang Menghapuskan, Mengurangkan Atau
Memberatkan Pengenaan Pidana;
d. Bab IV Tentang Percobaan;
e. Bab V Tentang Penyertaan Dalam Melakukan Perbuatan Pidana 6)
Bab VI Tentang Perbarengan;
f. Bab VII Tentang Mengajukan Dan Menarik Kembali Pengaduan
Dalam Hal Kejahatan-Kejahatan Yang Hanya Dituntut Atas
Pengaduan;
g. Bab VIII Tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana Dan
Menjalankan Pidana;
h. Bab IX Tentang Arti Beberapa Istilah Yang Dipakai Dalam Kitab
Undang-undang
2. Buku Kedua Tentang Kejahatan yang terdiri dari:
a. Bab I Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
b. Bab II Tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil
Presiden
c. Bab III Tentang Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap
Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
d. Bab IV Tentang Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan
Hak Kenegaraan
e. Bab V Tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
f. Bab VI Tentang Perkelahian Tanding (Bab Ini Berdasarkan Pasal V
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Telah Dihapus)
g. Bab VII Tentang Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan
Umum Bagi Orang Atau Barang
h. Bab VIII Tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
i. Bab IX Tentang Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
j. Bab X Tentang Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
k. Bab XI Tentang Pemalsuan Meterai Dan Merek
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
30 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Hukum itu sendiri untuk sebagian besar orang merupakan hal yang
sangat dihindari atau bahkan ditakuti karena keakrabannya dengan kata
sanksi dan penjara. Semua orang secara alami, takut untuk terkena
konsekuensi yang akan didapat dari melanggar hukum tersebut. Oleh
karena itu bagi orang awam, eksistensi hukum itu sendiri telah
memberikan mereka batasan dalam berperilaku dan berbuat dalam
lingkungan bermasyarakat. Memberikan batasan dalam perilaku inilah
tepatnya yang merupakan salah satu fungsi hukum. Namun secara sadar
maupun tidak sadar, manusia memiliki sifat alami untuk memberontak
ketika dikekang sehingga sering kali terjadi pelanggaran aturan dan norma
di masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya memiliki
kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lain. Dengan interaksi
ini, setiap kelakuan manusia dapat menimbulkan sebab akibat (causality)
terhadap manusia lain yang tidak jarang menciptakan suatu peristiwa
hukum. Fungsi hukum pidana, yaitu sebagai suatu kebijakan untuk
menanggulangi kriminalitas dan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kebijakan yang berfokus pada memberikan perlindungan masyarakat
(social defense policy) dan kesejahteraan masyarakat (Adalia Safira Rahma,
Riska Andi Fitrionio, Aldi Danuarta & Rizka Chamami, 2022).
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman
apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Hukum pidana
bukanlah yang mengadakan norma hukum itu sendiri, tetapi sudah
terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan di
taatinya norma-norma lain tersebut. Fungsi Hukum Pidana, terbagi
menjadi dua yaitu (Zainab Ompu Jainah, 2018):
1. Secara umum, yaitu fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi
hukum pidana sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada
umumnya karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat dan
2. Secara khusus, yaitu fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk
melindungi suatu kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan
32 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
34 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
36 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
E. RANGKUMAN MATERI
Hukum pidana adalah suatu ketetapan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak diperkenankan untuk dilakukan
dan apabila perbuatan tersebut di lakukan atau dilanggar maka si
pembuat akan menerima sanksi sesuai dengan apa yang telah diatur
dalam peraturan-perundang-undangan tersebut. Hukum pidana terbagi
atas beberapa bagian diantaranya adalah hukum pidana tertulis dan
hukum pidana yang tidak tertulis, hukum pidana materiil (KUHP) dan
hukum pidana formil (KUHAP), hukum pidana objektif dan hukum pidana
subjektif, hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana
nasional, hukum pidana internasional, serta hukum pidana local.
KUHP berisikan 569 Pasal dan terdiri atas tiga (3) buku dimana buku I
berisikan tentang Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 103),
buku II beriskan tentang Pelanggaran (Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
dan buku III berisikan tentang kejahatan (Pasal 489 sampai dengan Pasal
569). Tugas utama untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang
diakibatkan oleh setiap pelanggaran undang-undang sedangkan tujuan
dari hukum pidana menurut penulis adalah; Melindungi kepentingan
setiap orang, untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan
suatu perbuatan yang membawa akibat pada dirinya dan memberikan
efek jera kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya
Secara umum, yaitu fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi
hukum pidana sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya
karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat dan secara khusus, yaitu
fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu
kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana yang telah
ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih
tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-
aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
38 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Adalia Safira Rahma, Riska Andi Fitrionio, Aldi Danuarta, M., & Rizka
Chamami, Y. S. C. (2022). Penerapan Fungsi Hukum Pidana Dalam
Kasus Investasi Bodong. Jurnal Analisis Hukum (JAH, 5(1), 56–65.
https://doi.org/10.38043/jah.v5i1.3483
Amrunsyah. (2019). Impian Yang Terabaikan (Implementasi dari Tujuan
Hukum dan Hukum Pidana di Indonesia). LĒGALITĒ: Jurnal
Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam, 4(1181–204).
Antonio Cassese, (Ed). A. Rahman Zainuddin. (2003). Hak-Hak Asasi
Manusia di Dunia Yang Berubah. Yayasan Obor Indonesia.
Atmasasmita, R. (2003). Pengantar Hukum Pidana Internasiona. Refika
Aditama.
Bemmelen. (1984). Hukum Pidana I. Binacipta.
Fitri Wahyuni. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (M Rizqi
Azmi (ed.); Edisi ke-1). PT Nusantara Persada Utama.
Hiariej, S. dalam E. O. . (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma
Pustaka.
Ida Bagus Surya Darma Jaya. (2015). Hukum Pidana Materil & Formil :
Pengantar Hukum Pidana. USAID-The Asia Foundation-Kemitraan
Partnership.
Ilyas, A. (2012). Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang.
S.R Sianturi. (1998). Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di
Indonesia (Cetakan Ke). Alumni AHAEM PTHAEM.
Satjipto Rahardjo. (1987). Permasalahan Hukum di Indonesia. Alumni.
Shinta Agustina. (2006). Hukum Pidana Internasional dalam Teori dan
Praktek. Andalas University. Press.
Simons dalam buku P.A.F.lamintang. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Sulistiyono, A. (2007). Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma
Moral. Lembaga Pengembengan Pendidikan (LPP) dan UPT
Penerbitan dan percetakan UNS (UNS PRESS) Universitas Sebelas
Maret.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
40 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 3: SUMBER-SUMBER HUKUM
PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 3
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA
A. PENDAHULUAN
Hukum merupakan wadah untuk melindungi masyarakat. Oleh karena
itu suatu Negara akan memiliki nilai-nilai yang beradab jika Negara itu
berdasarkan hukum, dan hukum di Indonesia adalah hal yang esensial,
sebagaimana berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945), mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”
(Basri, 2021).
Oleh karena itu, Negara memiliki peran penting dalam melindungi
hak-hak rakyatnya secara adil dan beradab karena salah satu kunci
kekuatan suatu Negara tidak terlepas dari bagaimana Negara dapat
melindungi rakyatnya dari segala ancaman baik fisik maupun
ancaman lainnya. Artinya ada perlindungan hak asasi manusia (HAM)
yang harus ditekankan secara fundamental di dalam Negara (Santosa,
2011).
Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada di negara Indonesia,
pengaturan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut dengan KUHP) sebagai salah satu hukum positif.
Seperti halnya ilmu hukum lainnya, hukum pidana mempunyai tujuan
umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat. Kemudian tujuan
khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah
terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras
dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
hukum yaitu orang (martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain sebagainya),
masyarakat dan negara.
Hukum pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi
yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan hukum pidana, sering juga dikatakan bahwa hukum pidana
42 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
44 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Kata asas berasal dari bahasa arab “asasun” yang berarti dasar
atau prinsip, sedangkan kata ”legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex
yang berarti undang-undang atau dari kata jadian legalis yang berarti
sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian
arti legalitas adalah keabsahan menurut undang-undang (Khasan, 2017).
Secara umum asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang
menjadi ratio legis pembentukan hukum. Salah satu fungsi asas hukum
yakni agar konsistensi tetap terjaga dalam suatu sistem hukum. Asas
legalitas merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana
dengan tujuan utamanya adalah pencapaian kepastian hukum di dalam
penerapannya dan mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Berbeda
dengan asas hukum lainnya yang bersifat abstrak, asas legalitas justru
tertuang secara eksplisit dalam undangundang (KUHP).
Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak dan justru menjadi latar
belakang pembentukan aturan yang sifatnya konkrit dan tetuang dalam
bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan Asas legalitas di Indonesia
secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undangundang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”,yang
dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium: “nullum delictum, nulla
poena, sine praevia lege poenali” (Sofyan & Azisah, 2016).
Asas legalitas merupakan dasar hukum, kaidah hukum, norma hukum
ataupun sebagi sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan itu
adalah delik ataukah tidak. Hakikat ataupun dasar asas legalitas ini yakni
mengatur tentang sumber hukum. Asas legalitas merupakan jaminan
hukum dalam melindungi, menjaga dari penyalahgunaan wewenang
apartur negara dan juga menjami ketertiban setiap orang dalam
penegakan Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 Ayat 1 KUHP mengatur bahwa “tiada suatu perbuatan dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu, dilakukan. Asas legalitas dalam
bahasa latin dikenal sebagai” nullum delictum sine praevia lege peonali”
dalam artian bahwa peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana
dalam undang- undang tidak ada terlebih dahulu. Inilah asas legalitas
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
46 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
48 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
4. Analogi
Ilmu hukum pidana memberi peluang untuk dilakukan interpretasi
terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang. Untuk itu dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran
yaitu penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis,
penafsiran historis, penafsiran teleologis, penafsiran kebalikan
(penafsiran a-contrario), penafsiran membatasi (penafsiran restriktif)
dan penafsiran memperluas (penafsiran ekstensif). Salah satunya yang
dilarang dalam hukum pidana adalah menggunakan analogi untuk
memberikan makna cakupan perbuatan yang dapat dipidana karena
dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan akan
memicu ketidakpastian hukum. Analogi terdapat bilamana suatu
perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada aturan yang
mengaturnya sebagai perbuatan pidana tetapi diterapkan ketentuan
pidana yang berlaku untuk perbuatan lain yang mempunyai sifat atau
bentuk yang sama dengan perbuatan itu sehingga kedua perbuatan itu
dipandang analog satu sama lain. Penerapan analogi dalam praktek
hukum dipicu oleh fakta perkembangan masyarakat yang sedemikian
cepat yang tidak diiringi oleh dinamisme hukum pidana tertulis
sehingga terkadang hukum tertinggal dari apa yang diatuirnya
(Yuherawan, 2016).
50 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
1 ayat (1) RUU KUHP, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan
cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis
(untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara).
Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP juga
kontradiktif dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP. Larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran
analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu
dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya
diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan
tersebut dipandang analog satu dengan yang lain (Ibid, Widayat).
52 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Simons mengharapkan obyek kajian Ilmu hukum pidana lebih luas lagi.
Ilmu hukum pidana diharapkan selain mempelajari dan menjelaskan
hukum pidana yang berlaku (aturan-aturan yang berlaku dan asas-asas
yang menjadi dasar dari aturan-aturan tersebut, baik berkenaan dengan
asas-asas umum, maupun yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan
khusus) yang disebut sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat dogmatis
murni, juga harus mempelajari hukum yang harus dibentuk (ius
constituendum). Ilmu hukum pidana harus membicarakan diantaranya,
tentang tujuan yang diinginkan oleh negara dalam hal mempidana
seseorang yang melakukan kejahatan, bagaimana tujuan tersebut dapat
dicapai, dasar hukum dan hak negara untuk menghukum dan sebagainya
(Lamintang, 1987).
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa Ilmu hukum pidana adalah
ilmu tentang hukum pidana. Hukum Pidana sebagai obyek dari ilmu
hukum pidana lebih merupakan obyek yang abstrak, sedangkan obyek
ilmu hukum yang lebih kongkrit sama dengan ilmu hukum pidana pada
umumnya, yaitu perbuatan dan tingkah laku manusia dalam pergaulan
hidup bermasyarakat. Ilmu Hukum Pidana, merupakan ilmu
kemasyarakatan yang normatif (normative maatchappij wetenschap),
yaitu ilmu normatif tentang hubungan-hubungan antar manusia atau ilmu
normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia dalam kehidupan
masyarakat. Ilmu hukum pidana dapat dibagi dua, diantaranya adalah;
1. Ilmu Hukum Pidana Normatif dalam arti sempit karena hanya
mempelajari dogma-dogma yang ada dalam hukum pidana positif
yang sedang berlaku (ius constitutum), disebut juga Ilmu hukum
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
54 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Ilmu bantu yang terdapat hukum pidana adalah ilmu bantu yang
berupaya untuk menerangkan, menyelidiki ataupun menelaah kaidah-
kaidah hukum pidana secara positif (baik hukum pidana umum maupun
yang khusus), sanksi pidana, serta dasar-dasar atau prinsip-prinsip dalam
hukum pidana. Selain itu juga kriminologi merupakan bagian dari ilmu
yang berfungsi penting dalam kemajuan hukum pidana, membantu dalam
mewujudkan suatu upaya menanggulangi tindak kejahatan, mulai tahap
formulasi, aplikasi, maupun administrasi, sehingga dapat menciptakan
suatu hukum pidana yang rasional serta tidak berbenturan dengan nilai-
nilai yang terdapat dalam masyarakat.
56 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
58 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
E. RANGKUMAN MATERI
Hukum pidana, memiliki makna lain yaitu sebagai ‘hukuman’, yang
merupakan sejumlah peraturan-peraturan hukum yang mengatur dan
memutuskan perbuatan apa saja yang merupakan pelanggaran dan
dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana, selain itu juga
memuat tentang hukuman apa yang dijatuhi jika si pembuat melanggar
ketentuan yang telah dimuat dan diatur dan terbukti melaksanakan suatu
tindak pidana itu. Pengertian ini sudah menggambarkan bahwa hukum
pidana di buat untuk mengatur tentang sanksi pidana yang akan dijatuhi
kepada seseorang jika si pembuat melakukan sebuah tindakan kriminal
(kejahatan) ataupun pelanggaran, yang telah diatur dalam hukum positif.
Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak dan justru menjadi latar
belakang pembentukan aturan yang sifatnya konkrit dan tetuang dalam
bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan Asas legalitas di Indonesia
secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu” yang
dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium: “nullum delictum, nulla
poena, sine praevia lege poenali”. Asas legalitas merupakan dasar hukum,
kaidah hukum, norma hukum ataupun sebagai sumber hukum untuk
menyatakan suatu perbuatan itu adalah delik ataukah tidak. Hakikat
ataupun dasar asas legalita ini yakni mengatur tentang sumber hukum.
Asas legalitas merupakan jaminan hukum dalam melindungi, menjaga dari
penyalahgunaan wewenang aparatur negara dan juga menjami ketertiban
setiap orang dalam penegakan Hak Asasi Manusia.
Ilmu bantu dalam hukum pidana diantaranya yaitu; Viktimologi adalah
ilmu yang pada awal perkembangannya mengkaji tentang peran korban
dalam suatu kejahatan, kemudian berkembang menjadi ilmu yang obyek
kajian terpentingnya sekarang adalah bagaimana memberikan
perlindungan pada korban dalam sistem peradilan pidana, bahkan korban
pada umumnya; Kriminologi menurut Sutherland adalah ilmu yang
mempelajari tentang kejahatan, penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap
kejahatan; dan Sosiologi kriminal menyelidiki faktor-faktor sosial seperti
misalnya kemakmuran rakyat, pertentangan kelas di lapangan sosial dan
ekonomi, pengangguran dan sebagainya yang mempengaruhi
60 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
62 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
64 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 4: ASAS – ASAS HUKUM
PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 4
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
A. PENDAHULUAN
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan seperti:
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar langgar tersebut, Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancam (hukum pidana materil), Menentukan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Hukum acara pidana).
B. ASAS LEGALITAS
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental,
dimana menurut Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa
syarat: pertama, nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang
berarti, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan
bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, nullum crimen,
noela poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada perbuatan pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari
makna ini, adalah bahwa semua perbuatan pidana harus tertulis. Ketiga,
nullum crimen, noela poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.
Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan perbuatan
pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan
kepastian hukum. Keempat, nullum crimen, noela poena sine lege stricta,
66 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
undang yang ketat.
Konsekuensi dari makna ini secara implisit adalah tidak
diperbolehkannya analogi dimana ketentuan pidana harus ditafsirkan
secara ketat, sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru (Eddy O.
S. Hiariej, 2009). Asas legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menentukan “suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan
pidana yang telah ada”. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu
perbuatan yang tercela, yaitu adanya ketentuan dalam undang-undang
pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan
suatu sanksi terhadapnya. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut,
dijelaskan bahwa:
1. Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana
menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan
hukum tidak tertulis, tidak dimungkinkan.
2. Ketentuan pidana itu harus lebih dulu ada dari pada perbuatan itu;
dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
68 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
70 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang
merupakan tindak pidana atau tidak. Selain itu, asas nonretroaktif ini juga
disebutkan dalam Pasal 28I Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, yang berbunyi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas "tidak berlaku surut"
tersebut, tidak secara mutlak dianut.
Sebenarnya yang menjadi asas adalah non-retroaktif, yaitu asas yang
melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Asas ini sesuai
dengan pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”).
Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan lagi dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP:
72 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut
dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
(“UU Pengadilan HAM”):
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
74 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
F. RANGKUMAN MATERI
Azas di dalam Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan seperti: Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar langgar tersebut,
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu saat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan (hukum pidana materiil),
menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut (Hukum acara pidana).
76 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar-dasar Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997.
Prof. Moeljatno, S.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor,
1995.
Hiariej, Eddy O. S. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta:
Erlangga. 2009
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaruan. Malang: UMM Press, 2008
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
78 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 5: SEJARAH HUKUM PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 5
SEJARAH HUKUM PIDANA
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, bahwa
Hukum Pidana Indonesia yang berlaku sekarang adalah hukum pidana
peninggalan kolonial, berupa terjemahan dari Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch-Indie 1915. Adapun sejarah hukum pidana bagi bangsa
Indonesia perlu dikemukakan secara tahapan kronologis perjalanan
sejarah bangsa, yaitu dimulai hukum pidana sebelum zaman penjajahan,
selanjutnya hukum pidana pada masa penjajahan Belanda, lantas hukum
pidana pada masa pendudukan Jepang kemudian hukum pidana pada
masa Republik seperti dibawah ini.1
1
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.hlm.10
80 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
2
P, M. Schinggyt Tryan, Nyoman Serikat P, and Pujiyono. “Tinjauan Yuridis Terhadap
Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses Peradilan Pidana.”Diponegoro Law
Journal5, no. 4 (2016), hlm.22
82 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
3
Rizal, Moch Choirul. Diktat Hukum Acara Pidana. Kediri: Fakultas Syariah IAIN Kediri, 2021.
Hlm.32
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
84 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
4
Ramli, Ahmad M. Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2004.hlm.20
86 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
6
Sudarto, Hukum Pidana IA, (Malang : Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat,
1974), hal. 6.
7
Ibid,
88 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
8
Prodjodjokro,Wirjono, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco, Jakarta-
Bandung. 1981, hlm.11
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
keharusan mana disertai ancaman pidana dan apabila hal ini dilanggar,
maka timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan/
melaksanakan pidana.
Istilah “pidana” yang digunakan dalam KUHP karangan Moeljatno
sebenarnya bersinonim dengan kata “hukuman” yang digunakan dalam
KUHP karangan R. Soesilo. Hukuman adalah penamaan bagi semua akibat
hukum karena telah melanggar suatu norma hukum. Apabila yang
dilanggar adalah norma hukum disiplin, maka ganjarannya adalah
hukuman disiplin. Apabila yang dilanggar adalah hukum perdata, maka
diberi ganjaran atau hukumannya adalah sanksi perdata, dan untuk
pelanggaran hukum administrasi diberi hukuman administrasi atau sanksi
administrasi. Sedangkan terhadap pelanggaran hukum pidana akan diberi
hukuman pidana atau sanksi pidana. Mengenai kata majemuk yang
terakhir disebutkan, yakni ‘hukuman pidana’, menurut S. R. Sianturi,
memang sering dipermasalahkan, sebab kedua kata yang telah
dimajemukkan tersebut mempunyai arti yang sama. Kata ‘pidana’
merupakan juga istilah lain kata derita, nestapa, pendidikan,
penyeimbangan, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya permasalahan ini
cenderung diselesaikan dengan menyepakati untuk mempersingkat istilah
‘hukuman pidana’ dengan satu kata saja yaitu ‘pidana’. 9
Istilah pidana dipandang lebih praktis, hemat, dan sekaligus dapat
memperjelas makna jika misalnya disambung dengan kata penjara,
tambahan, kurungan, denda, dan sebagainya. Menurut Sudarto bahwa
yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan Ruslan Saleh menyatakan bahwa pidana
adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Selanjutnya, H. L. A.
Hart menyatakan bahwa pidana haruslah: 10
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan;
9
Riawan Tjandra, W, Hukum Acara Pidana dalam teori dan Praktek, Ghalia Indonesia
Jakarta. 2008, hlm.10
10
Soesilo,R Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8, Bogor. 1995, hlm.122
90 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
11
Soerjono Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Penegakan Hukum, Sinar Gfrafika Jakarta,
2004, hlm.12
12
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Penerbit. Armico, Bandung, 1985,
hlm.22
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
92 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
14
Fajar, Mukti, and Achmad Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.hlm.21
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
15
Ginting, Philemon. “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi
Melalui Hukum Pidana.” Universitas Diponegoro, 2008. Hlm.23
94 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
16
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997.hlm.39
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Prinsip penerapan antara kedua jenis hukum pidana ini berlaku asas
lex spesialis derogatlegi generalis bahwa hukum pidana khusus lebih
diutamakan daripada ketentuan umum (Asas ini terdapat dalam Pasal 63
ayat 2 KUHP) 4) Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
a. Hukum pidana materil adalah hukum yang mengatur atau ber-isikan
tingkah laku yang diancam pidana, siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan dan berbagai macam pidana yang dapat
dijatuhkan.
b. Hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah seperang-kat
norma atau aturan yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan
kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan
dan melaksanakan pidana dalam suatu kasus tindak pidana.
17
Machmud, Shahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012. Hlm.66
18
Maskun, and Wiwik Meilararti. Aspek Hukum Penipuan Berbasis Internet. Bandung: Keni
Media, 2017.hlm.19
96 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
F. RANGKUMAN MATERI
Selain kriminologi ada sosiologi, antropologi, pisikologi dan beberapa
ilmu lainnya yang berperan dalam hukum pidana. Sosiologi kriminal
menyelidiki faktor-faktor sosial seperti misalnya kemakmuran rakyat,
pertentangan kelas di lapangan sosial dan ekonomi, penggangguran dan
sebagainya yang mempengaruhi perkembangan kejahatan tertentu di
daerah tertentu. Antropologi kriminal menyelidiki bahwa manusia yang
berpotensi berbuat jahat mempunyai tandatanda fisik tertentu. Lambroso
mengadakan penelitian secara antropologi mengenai penjahat dalam
rumah penjara. Kesimpulan yang ia dapatkan bahwa penjahat mempunyai
tanda-tanda tertentu, tengkoraknya isinya kurang (pencuri) daripada
orang lain, penjahat pada umumnya mempunyai tulang rahang yang lebar,
tulang dahi yang melengkung ke belakang dan lain-lain. Psikologi kriminal
mencoba memberikan pemahaman bahwa ada faktor kejiwaan tertentu
yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kejahatan, mulai gangguan
dari tingkat yang paling rendah sampai pada tingkat yang paling tinggi
(kleptomania, pedopilia, neurose, psikopat dan lain-lain).20
19
Suseno, Sigid. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.hlm.88
20
Sumarwani, Sri. “Tinjauan Yuridis Pemidanaan Cybercrime Dalam Perspektif Hukum
Pidana Positif.” Jurnal Perubahan Hukum 1, no. 3, 2014, hlm.21
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
98 | Hukum Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Fajar, Mukti, and Achmad Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017
Ginting, Philemon. “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi
Informasi Melalui Hukum Pidana.” Universitas Diponegoro, 2008
Harahap, M. Yahya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1997
Machmud, Shahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012
Maskun, and Wiwik Meilararti. Aspek Hukum Penipuan Berbasis Internet.
Bandung: Keni Media, 2017
P, M. Schinggyt Tryan, Nyoman Serikat P, and Pujiyono. “Tinjauan Yuridis
Terhadap Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses
Peradilan Pidana.”Diponegoro Law Journal5, no. 4 (20160)
Prodjodjokro, Wirjono, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit.
Eresco, Jakarta-Bandung. 1981,
Ramli, Ahmad M. Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2004
Riawan Tjandra, W, Hukum Acara Pidana dalam teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia Jakarta. 2008,
Rizal, Moch Choirul. Diktat Hukum Acara Pidana. Kediri: Fakultas Syariah
IAIN Kediri, 2021
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Penerbit. Armico,
Bandung, 1985
Soerjono Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Penegakan Hukum, Sinar
Gfrafika Jakarta, 2004
Soesilo, R Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8,
Bogor. 1995
Sudarto, Hukum Pidana IA, (Malang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat, 1974),
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 6: DELIK TINDAK PIDANA
Universitas Pasundan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 6
DELIK TINDAK PIDANA
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan
strafbaar feit atau delict (bahasa Belanda) atau criminal act (bahasa
Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa
Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik
pandai bangsa Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum
pidana adalah “tindak pidana”. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan
dari istilah bahasa belanda, yaitu Delict atau Strafbaar feit.
Disamping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah
dipakai beberapa istilah lain, yaitu:21
a. Peristiwa pidana
b. Perbuatan pidana
c. Pelanggaran pidana
d. Perbuatan yang dapat dihukum
Perbuatan yang boleh dihukum feit telah ada empat istilah yang
dipergunakan dalam bahasa Indonesia, yakni:22
1. Peristiwa Pidana (Pasal 14 ayat 1 UUD 1950)
2. Perbuatan Pidana atau perbuatan yang dapat atau boleh dihukum (UU
No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
pengadilan sipil Pasal 5 sub c)
21
M.Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Remadja Karta, Bandung, 2014, hlm. 1.
22
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana dalam Hukum pidana,
Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2016, hlm.3
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
23
Vos, terpetik dalam Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2012, hlm. 8
24
A.Fuas Usfa,dkk, Pengantar Hukum Indonesia, UMM Press. Universitas Muhammdiyah
Malang, 2014. hlm. 3
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1. PT Radja Grafindo Persada, Jakarta,
2012, hlm.13
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Strafbaaf feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari
tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,
ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh (Andi
Hamzah, 2008: 86) dalam menerjemahkan Strafbaar feit adalah istilah
perbuatan pidana. Begitu pula dengan Ter Haar (Moeljatno, 2002 : 18)
memberi definisi untuk delik yaitu tiap-tiap penggangguan keseimbangan
dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok
orang.
Menurut Bambang Waluyo (2008: 6) pengertian tindak pidana (delik)
adalah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbaar feiten).
R. Abdoel Djamali (2005: 175) menambahkan bahwa peristiwa pidana
yang juga disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana.
Selanjutnya menurut Pompe (P.A.F. Lamintang, 1997: 182) perkataan
“strafbaar feit” itu secara toeritis dapat dirumuskan sebagai “suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.
Adapun Istilah Perbuatan Pidana Lebih tepat Alasannya Adalah26:
1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,
yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan
ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
2. Antara larang (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan
oleh karena perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang
menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih
tepat digunakan istilah perbuatan pidana. Suatu pengertian abstrak
26
Ibid, hlm. 71
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
27
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2014,
hlm. 192
28
Ibid, hlm. 193
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
29
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm, 58 - 61
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
4. Delik Commisionis
Delik Commisionis adalah delik yang merupakan suatu tindakan
pelanggaran yang bersifat larangan karena berkenaan dengan
larangan seperti tindakan membunuh, mencuri, menganiaya.
Sedangkan Delik Omissionis adalah delik yang merupakan suatu
tindakan pelanggaran yang bersifat perintah, karena berkenaan
dengan tidak berbuat sesuatu atau perintah, contohnya Pasal 217, 218,
224 dan 397 angka 4 KUHP.
5. Delik Aduan (Klacht delicht) dan Delik Bukan Aduan (Gewone delicten).
Delik aduan (Klacht delicht) adalah suatu tindak pidana apabila dari
salah satu pihak yang merasa dirugikan melakukan pengaduan maka
dapat diproses penuntutan. Sedangkan Delik bukan aduan atau delik
biasa (Gewone delicten) adalah suatu tindak pidana apabila salah satu
pihak tidak melakukan pengaduan maka tetap bisa melakukan proses
penuntutan.
30
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 12.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan
yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Menurut
Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moeljatno bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, unsur-unsur kesalahan
yakni:
1. Mampu bertanggung jawab
2. Mempunyai kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa); dan
3. Tidak adanya alasan pemaaf.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
b. Kealpaan (culpa)
Culpa terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan
dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun
perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat
berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang
oleh undang-undang atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu
sama sekali.
31
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti. 2007, hlm.
116.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Dengan cara ini maka terdapat 3 (tiga) cara rumusan yang terdiri dari:
1. Dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman
pidana;
2. Dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan
mencantumkan ancaman pidana; dan
3. Sekedar mencantumkan kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan
mencantumkan ancaman pidana.
Dari ketiga cara tersebut ada delik yang dirumuskan tanpa menyebut
unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Ancaman pidana
dan kualifikasi memang bukan unsur delik. Kualifikasi dicantumkan
sekedar untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian delik
yang dimaksudkan, sementara itu mengenai selalu dicantumkan ancaman
dalam rumusan delik karena ancaman pidana ini merupakan ciri mutlak
dari suatu larangan perbuatan sebagai delik.
Mencatumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini
digunakan terutama dalam hal merumuskan delik dalam bentuk pokok
atau standar dengan mencatumkan unsur objektif maupun subjektif
misalnya pada ketentuan yang diatur dalam:
1. Pasal 338 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pembunuhan;
2. Pasal 362 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pencurian;
3. Pasal 368 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pengancaman;
4. Pasal 369 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pemerasan;
5. Pasal 372 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penggelapan;
6. Pasal 378 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang penipuan; dan
7. Pasal 406 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang pengrusakan.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Delik yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit.
Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja, hal mana dalam model
perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Delik yang
dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh
suatu rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (vide: Pasal
351 ayat (1) KUHP).
Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini
dapat diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS
Belanda. Penganiayaan disini dapat diartikan menimbulkan derita atau
nestapa atau rasa sakit pada orang lain. Sedangkan dalam Pasal 351 ayat
(4) Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) penganiayaan
dianalogikan oleh pembuat Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP)
dengan sengaja merusak kesehatan.
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan:
1. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan
secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang
menjadi pokok larangan dalam rumusan ini adalah melakukan perbuatan
tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya delik, jika perbuatan
yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, delik itu selesai pula tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Misalnya pada
ketentuan yang diatur dalam Pasal 362 Kitab undang - undang Hukum
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
B. RANGKUMAN MATERI
Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh
karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikatakan merupakan subyek tindak pidana. Strafbaarfeit yaitu: Suatu
prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai prilaku yang harus
ditiadakan, oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.
32
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/01/cara-merumuskan-delik-hukum-pidana.html/diakses
21 April 2022
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
3. Delik Penganiayaan
“Menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka
pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit
atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan
kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa penganiayaan adalah merupakan
suatu tindak pidana. penganiayaan telah diatur dalam Bab XX Pasal 351 -
358 KUHP. Delik penganiayaan termasuk suatu kejahatan yang dapat
dikenai sanksi oleh undang-undang.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
terdapat dalam Pasal 104 KUHP berasal dari frasa aanslag (Belanda)
ataupun attempt (Inggris), yang lazim diterjemahkan sebagai delik
percobaan.
Menurut pakar hukum pidana Noyon dan Langemeijer, bahwa aanslag
merupakan sebagian dari tindak pidana yang ingin dilakukan orang, baik
tindak pidana itu telah selesai dilakukan maupun tidak. Meskipun
disepadankan dengan frasa aanslag ataupun attempt, delik makar tidak
harus memenuhi seluruh syarat-syarat dalam delik percobaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Hal itu karena
delik makar hanya memiliki dua unsur utama, yaitu niat dan permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering) sehingga acap kali disebut percobaan
tidak lengkap.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. H.A.K. Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II), Jilid I,
Alumni, Bandung, 2002
A. Fuas Usfa, dkk, Pengantar Hukum Indonesia, UMM Press. Universitas
Muhammdiyah Malang, 2014
Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
_____, Hukum Pidana Positif Penghinaan (edisi revisi), Media Nusa
Creative, Malang, 2013
______, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1. PT Radja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012
_______, Pelajaran Hukum Pidana I Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2012.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Bambang Waluyo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, PT Bulan Bintang
bintang, Jakarta, 2010
Bawengan. Gerson W, Hukum Pidana Didalam Teori dan Praktek,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2003
Chazawi. Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta, 2002
E,Y Kanter dan S.R. Sianturi dalam Amir Ilyas, Asas – asas Hukum Pidana,
Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP – Indonesia, Yogyakarta,
2014
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum,
Vol. 6 No. 11 Tahun 1999
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2002
http//www.negarahukum.com /hukum/delikpenghinaan.html. di
akses pada 21 April 2022
http://kbbi.web.id, diakses 21 April 2022
https://www.erisamdyprayatna.com/2021/01/cara-merumuskan-
delik-hukum-pidana.html/diakses 21 April 2022
J.satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan
Hukum, Cita Aditya Bakti, Jakarta, 2005
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 7: UNSUR-UNSUR TINDAK
PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 7
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
A. PENDAHULUAN
Hukum pidana salah satu bagian dari ilmu hukum yang dipelajari dan
merupakan mata kuliah pengetahuan dasar yang mempelajari 3 (tiga)
persoalan pokok dan mendasar dalam hukum pidana meliputi tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Dalam
mempelajari pokok bahasan tindak pidana meliputi sub-sub pokok
bahasan yaitu istilah tindak pidana, pengertian tindak pidana, unsur-unsur
tindak pidana maupun cara perumusan tindak pidana diharapkan dapat
menambah dan memperdalam pemahaman yang Komprehensif tentang
tindak pidana lebih khusus unsur-unsur tindak pidana.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
C. RANGKUMAN MATERI
Sebelum membahas tentang unsur-unsur tindak pidana sebaiknya
terlebih dahulu diperhatikan tentang pengertian straftbaar feit yang
diterjemahkan sebagai “tindak pidana” tersebut. Straftbaar feit berasal
dari bahasa Belanda terdiri dari kata strafbaar berarti dapat dihukum, dan
kata feit berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van
de werklijkeheid”. Jadi straftbaar feit dapat dimaknai dengan “sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.Walaupun demikian
sebenarnya bukan kenyataan yang dapat dihukum tapi “manusia” selaku
pribadi yang dapat dihukum. (P. A. F. Lamintang, 1984, p,172)
Demikian pula perlu diperhatikan tentang istilah Van Bemmelen
tentang “bestandelen” untuk menyatakan bagian inti tindak pidana.
Bestandelen ini terdapat dalam lukisan delik (delicstsomchrijving),
sehingga untuk mengetahui bagain inti suatu delik harus dilihat dari
redaksi undang-undangnya. Sedangkan “elementen”, adalah unsur-unsur
yang secara diam-diam ada yang tidak diuraikan dalam rumusan tindak
pidana (unsur-unsur ini berupa kesalahan, kemampuan bertanggungjawab
dan sifat melawan hukum). (Van Bemmelen, 1984, p, 99).
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan Pasal 362 KUHP yang
rumusannya berbunyi, “Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya
atau sebagaian milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan
hukum, dipidana karena melakukan pencurian ....”. Bagian inti tindak
pidana tersebut adalah: perbuatan “mengambil”; yang diambil adalah
barang; barang tersebut adalah kepunyaan orang lain seluruhnya atau
sebagian saja; pengambilan barang tersebut dilakukan dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum. Semua bagian inti tersebut harus
dibuktikan oleh penuntut umum dalam persidangan. Sedangkan
elementen/unsur-unsur (kenmerk) adalah “kesengajaan” sebagai unsur
yang harus diterima secara diam-diam.
Selanjutnya bestandelen atau bagian dari tindak pidana yang diuraikan
di atas sering disebut dengan unsur-unsur dalam arti sempit, hal ini
berbeda dengan istilah unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas yang
merupakan unsur yang harus ada untuk menentukan bahwa suatu
rumusan merupakan “tindak pidana”.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Sudut pandang teoritis sendiri terbagi atas aliran monisme dan aliran
dualisme yang menerangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana.
- Pandangan monisme
Pandangan ini dipelopori oleh Simons, Van Hammel, Mezger, Van
Bemellen, Wirjono Projodikoro. Yang merumuskan unsur-unsur delik
sebagai berikut :
1. Mencocoki rumusan delik.
2. Bersifat melawan hukum.
3. Ada kesalahan yang terdiri dari dolus dan culpa dan tidak ada alasan
pemaaf.
4. Dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian apabila salah satu unsur diatas tidak terpenuhi maka
seseorang tidak dapat dipidana.
Aliran monisme adalah aliran yang menggabungkan unsur objektif
(per-buatan pidana) dan unsur subjektif (pertanggungjawaban pidana)
menjadi satu bagian yang utuh. Semua unsur delik tersebut diatas harus
terpenuhi jika akan memidana seorang pelaku. Pandangan monisme
memiliki akar historis yang berasal dari ajaran finale handlingslehre yang
dipopulerkan oleh Hans Welsel pada tahun 1931 yang mana inti ajaran ini
bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari
perbuatan.
Simons menentukan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Selanjutnya unsur-unsur ini oleh Simon dibagi dua, yaitu: unsur obyektif
dan unsur subyektif. Unsur obyektif meliputi perbuatan orang, akibat yang
terlihat dari perbuatannya, mungkin adanya keadaan tertentu yang
menyertai. Kemudian unsure subyektifnya adalah orang yang mampu
bertanggung jawab dan kesalahan (kesangajaan atau kealpaan).
Van Bemmelen juga dikatagorikan sebagai penganut aliran monistis
karena dicampurkannya hal dapat dipidananya perbuatan dan
pembuatnya. Menurut Bemmelen seseorang yang melakukan tindak
pidana sekaligus melakukan seseuatu yang dapat disebut melawan hukum.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
- Pandangan dualisme
Pandangan ini dipelopori oleh Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh.
Unsur-unsur delik menurut pandangan ini terbagi atas unsur subjektif dan
unsur objektif.
1. Unsur-unsur subjektif (pembuat). Yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan
b. Ada kesalahan, sedangkan
2. Unsur-unsur objektif (perbuatan), Yaitu
a. Mencocoki rumusan delik
b. Bersifat melawan hukum
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
3. Kesalahan
Merupakan unsur yang mutlak harus ada dan melekat dalam tindak
pidana.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 8: ACARA PERSIDANGAN
TINDAK PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 8
ACARA PERSIDANGAN TINDAK PIDANA
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tersebut diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, penegasan isi konstitusi ini bermakna bahwa segala aspek
kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum. Hubungan manusia dengan manusia juga diatur
oleh hukum, setiap orang yang melakukan tindak pidana akan
dihukumsesuai aturan hukum pidana. Dalam pelaksanaannya sebelum
dijatuhi hukuman atau vonis orang yang diduga melakukan tindak pidana
akan diadili di pengadilan. Dalam proses persidangan didasarkan pada
asas-asas hukum yang berlaku seperti: “pemeriksaan dilakukan secara
langsung dan lisan, terdakwa wajib hadir pada saat persidangan dan
sebagainya (Rasyid Ariman, 2007:7).
Tahap-tahap dan tata cara persidangan perkara pidana di pengadilan
neeri secara umum di atur dalam KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Sistem peradilan pidana selalu terjadi
interaksi dengan lingkungannya, hal ini terjadi karena SPP adalah bagian
dari lingkungan di mana SPP itu berada. Interaksi ini ditandai dengan
bekerjanya SPP dalam menyelesaikan setiap tindak pidana yang terjadi di
masyarakat. Dalam mengungkap suatu tindak pidana SPP mengharuskan
memasuki wilayah-wilayah yang diduga terjadinya kejahatan untuk
melakukan penyidikan atau penyidikan untuk menjadikan suatu tindak
pidana menjadi jelas dan terang. Interaksi ini terus berlangsung sepanjang
tindak pidana masih terjadi di masyarakat (Rusli Muhamad, 2011:1).
Interdependensi sebagai bentuk interface lainnya adalah
menunjukkan bahwa SPP dalam menjalankan aktifitas tergantung kepada
apa yang terjadi di dalam lingkungannya, termasuk dalam keberhasilan
mencapai tujuannya. SPP sangat mengharapkan dan membutuhkan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
2. Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini yaitu: (a).
Panitera perkara sebelum meneruskan bekas pekara yang baru
diterimanya itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, telebih dahulu
mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana; (2). Selambat-
lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima
panitera perkara, berkas-berkas perkara pidana itu harus sudah diterima
oleh Ketua Pengadilan Negeri; (c). Setelah itu ketua PN mencatat dalam
buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran
secara garis besarnya mengenai duduk pekaranya (pekara pidana dapat
diserahkan kepada wakil Ketua PN untuk dipelajari); (d). Selambat-
lambatnya 7 hari seterimanya perkara tersebut, Ketua/Wakil Ketua PN
harus sudah menunjuk Majelis Hakim yang seterusnya akan
menyelesaikannya, dengan surat penetapan yang dicatat dalam buku
tersebut; (e). Bersamaan dengan penunjukkan Majelis Hakim, berkas
perkara diberikan kepada Ketua Hakim yang bersangkutan melalui
panitera pekara; (f). Pada masing-masing majelis hakim diperbantukan
untuk suatu waktu tertentu seorang panitera pengganti yang selama
periode tadi akan mendampingi Majelis yang besangkutan dalam
mencatat dan menangani segala hal yang perlu dalam rangka pemeriksaan
perkara dari mulai sampai akhir; (g). Sebelum menyidangkan suatu
perkara-perkara pidana ketua majelis terlebih dahulu harus menentukan
arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari
berkas perkara yang bersangkutan; (h). Sebelum persidangan dimulai
jurusita pengganti harus mengecek dahulu apakah Terdakwa, Saksi dan
Penuntut Umum, sudah datang dan lengkap berada di sidang pengadilan
Negeri; (i). Apakah sudah lengkap, maka hal ini dilaporkan pada panitera
pengganti yang bersangkutan, yang pada gilirannya melaporkannya pada
Ketua Majelis yang akan memeriksa perkaranya; (j). Setelah itu Ketua
Majelis memerintahkan agar persidangan dimulai; sebagai tambahan dari
hal tersebut diatas adalah Majelis Hakim paling lambat 14 hari setelah
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
F. RANGKUMAN MATERI
Sistem Peradilan Pidana adalah jaringan peradilan yang bekerja sama
secara tepadu diantara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tetentu
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebaai sebuah sistem, Sistem
Peradilan Pidana tidak bebeda dengan sistem lainnya akan teapi
mempunyai ciri yang dapat membedakan denan sistem lainnya. Ciri-ciri
dari Sistem Peradilan Pidana adalah: (1). Interface (sitem peradilan pidana
selalu saling berhadapan denan lingkungannya); (2). Tujuan, ini meliputu
tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; (3).
Keebukaan, sistem peradilan pidana memiliki karakter keerbukaan yang
mengandung arti bahwa sistem peradilan pidana membuka diri tehadap
perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat; (4).
Transformasi nilai, menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana dalam
kerjanya harus menyertakan dan memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap
tindakan dan kebijakan yang dilakukan; (5). Mekanisme kontrol, bentuk
terakhir ini adalah bahwa sistem peradilan pidana menjalankan
pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana didalamnya tekandung gerak sistematik dari
subsistem pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Lembaga Pemasyarakatan, yang secara keseluruhan dan merupakan suatu
kesatuan berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang
menjadi tujuan sistem peradilan pidana, yaitu menanggulangi kejahatan
atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi yang dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam praktik peradilan dikenal tiga jenis pelimpahan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yaitu: (1). Acara Pemeriksaan Biasa; (2). Acara
Pemeriksaan Singkat; (3). Acara Pemeriksaan Cepat. Seperti telah
dijelaskan diatas, bahwa pola penyelesaian perkara pidana di pengadilan
negeri adalah melalui tiga tahap, yaitu: (1). Tahap penerimaan berkas
perkara; (2). Kedua adalah Tahap Persiapan dan Ketiga adalah Tahap
Persidangan. Sedangkan tahapan dalam proses peradilan pidana terdiri
dari Tahap Penyelidikan dan Penyidikan, Tahap Penuntutan, Tahap
Pemeriksaan Pengadilan dan tahap Pelaksanaan Putusan.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 9: PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 9
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. PENDAHULUAN
Bentuk kejahatan dalam hukum pidana sebagai tindak pidana
merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana
dan disertai dengan adanya sanksi pidana untuk yang melanggarnya
(Bambang Poernomo, 1988) Dalam arti luas kejahatan tidak hanya
ditentukan oleh perundang-undangan dalam hukum pidana saja,
melainkan pula perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan adanya
nestapa atau kerugian (Arif Gosita, 1983). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31
Tahun 1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun
2001) telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak
pidana korupsi.
Hal tersebut secara jelas terlihat pada ketentuan Pasal 1 butir 1 UU
Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa unsur “setiap orang
adalah orang perseroangan atau termasuk korporasi.” Hal ini merupakan
lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih
menempatkan individu atau orang perseorangan sebagai pelaku tindak
pidana. Kejahatan itu tidak statis tetapi sangat dinamis, artinya kejahatan
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Kendati
hakikat dari kejahatan sejak dulu hingga sekarang adalah tetap sama, yaitu
merugikan berbagai kepentingan dan kerugian yang ditimbulkan tidak
sama. Kejahatan yang sifatnya konvensional, baik pelaku, modus operandi,
maupun hasil yang didapat tidak sebanding dngan resiko yang ditanggng
oleh pelaku, demikian juga dengan keberpihakan hukum (Rodliyah, 2020).
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang
pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua
tergantung pada yang pertama. Setelah mengetahui pengertian dari pada
kesalahan, maka kesalahan itu sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Dengan sengaja (dolus)
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (criminal wetboek) tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-
undang”. Dalam Memori Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman
sewaktu pengajuan Criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjawab Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915), dijelaskan: “sengaja”
diartikan:” dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan
tertentu”. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan,
kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari
kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang
dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
2. Kelalaian (culpa)
Undang-undang tidak memberikan definisi yang dimaksud dengan
kelalaian itu. Tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam Mvt (Memori van
toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja
dan kebetulan. Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa
merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa
kelalaian itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam Memori
jawaban Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan
kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya,
sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti
mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan (Andi
Hmazah, 2008).
Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada
dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak
menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana adalah
perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya
sangat mudah dipahami, yaitu bagi kelalaian yang menimbulkan akibat
kelalaian itu maka terciptalah delik kelalaian, Misal Pasal 359 KUHP,
sedangkan bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian
atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Soesilo, 2000). Dengan demikian, tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan
alasan pengahpus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar
tidak dapat dilawan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebabnya adanya
paksaan itulah ia melakukan tindak pidana maka kepadanya ia tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana. Pasal 49 ayat 1 KUHP (perbuatan
yang dilakukan untuk membela diri) yang berbunyi: “Barang siapa
melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk
mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada
saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Dalam hal ini, Hakim lah yang berperan dalam menentukan apakah
benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang
mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu
pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu
sesungguhnya tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap
merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi pelakunya
dinyatakan tidak bersalah atau kesalahannya di hapuskan. Pasal 50 KUHP
(melaksanakan peraturan perundang-undangan) yang berbunyi:
1) Barang siapa yang melakukan perbuatan yang menjalankan peraturan
perundang-indangan tidak boleh dihukum.
2) Perintah jabatan yang diberkanoleh kuasa yang tidak berhak tidak
membebaskan dari hukuman, kecuali oleh pegawai yang dibawahnya
atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan
diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan
perintah itu menjadi kewajiban pegawai dibawah pemerintah tadi.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Ditinjau dari sudut moral atau kesusilaan masyarakat maka ia akan berarti
hubungan batin dari seseorang dengan kelakuannya dan/atau akibat
kelakuan itu. Hal itu seharusnya dapat dihindari, tetapi ia tetap
melakukannya untuk mana ia dicela dari sudut kesadaran kesusilaan atau
kepatutan dalam masyarakat (Kanter dan Sianturi, 2002).
Menurut Pompe (Martiman Prodjohamidjojo, 1997) menyatakan:
Kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela dan pada
hakekatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum. Hakekatnya
tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum di dalam hukum positif,
berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan, yang mengarah kepada
sifat melawan hukum dan kemampuan bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan
oleh orang adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian,
terjadinya pertanggungjawaban pidana krena telah tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu
perbuatan tertentu (Chairul Huda, 2005).
Menurut van Hamel (Martiman Prodjohamidjojo, 1997), menyatakan
bahwa:
Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat.
c. Penentuan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa toerekenings vastbaarheid mengandung
pengertian kecakapan.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
personal fault, is more liable for the conduct of another). Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain,
seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup
pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of
another, as for example, when the acts done within scope of employment).
4. Teori Aggregasi
Teori ini adalah bahwa merupakan suatu langkah yang tepat bagi
suatu korporasi untuk dipersalahkan walaupun tanggung jawab pidana
tidak ditujukan kepada satu orang individu, melainkan pada beberapa
individu. Teori aggregasi membolehkan kombinasi tindak pidana dan/atau
kesalahan tiap-tiap individu agar unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan
yang mereka perbuat terpenuhi. Tindak pidana yang dilakukan seseorang
digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau ia adalah akumulasi
kesalahan atau kelalaian yang ada pada diri tiap-tiap pelaku. Ketika
kesalahan-kesalahan tersebut, setelah dijumlahkan, ternyata memenuhi
unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea, maka teori aggregasi
terpenuhi di sini.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Menurut Mulyatno, istilah hukuaman yang berasal dari kata straf dan
istilah dihukum, yang erasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-
istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan
menggunakan pidana untuk menterjemahkan isitlah straf, dan sitilah
diancam dengan pidana untuk menggantikan istilah wordt gestraf.
Menurutnya kata straf itu diterjemahkan dengan hukuman, maka
strafrecht seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”. Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa “dihukum”, berarti “diterapi hukum”, baik
hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat
dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana,
sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata
(Aryo Fadlian, 2020).
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
b. Kelalaian (culpa)
Undang-undang tidak memberikan definisi yang dimaksud dengan
kelalaian itu. Tetapi hal tersebut dapat dilihat dalam Mvt (Memori van
toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja
dan kebetulan. Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa
merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa
kelalaian itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Dalam Memori
jawaban Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
J. RANGKUMAN MATERI
Teori pertanggungjawaban pidana merupakan teori yang tepenting
dan mendasar dalam keilmuan hukum pidana. Asas yang berkorelasi
dalam pertanggungjawaban pidana merupakan asas dasar dari hukum
pidana mislanya “tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf
zonder should: Actus non factim reum nisi mens sis rea). Untuk
menerapkan hukum pidana tidak bisa mengindahkan pertanggungjawaban
pidana, sulit untuk bisa diterapkan pidana jika tidak memahami
pertanggungjawaban pidana karena pidana merupakan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Sampur Dongan Simamora & Mega Fitri Hertini, 2015, Hukum Pidana
Dalam Bagan, FH. Untan Press, Pontianak, hlm 166.
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Depok, Hlm
85.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 10: PIDANA TURUT SERTA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 10
PIDANA TURUT SERTA
A. PENDAHULUAN
Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-
unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP.
Wujud atau bentuk dari penyertaan deelneming yaitu turut melakukan
medeplegen dan pembantuan (medeplichtigheid) yang dikandungan
dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tujuan dirumuskannya tindak pidana yang dalam undang-undang baik
sebagai kejahatan ataupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek
hukum pidana) dan hanya sebagian terdapat tindak pidana yang ditujukan
pada suatu badan hukum yang terdapat diluar KUHP.
Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan
tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun
sering terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang.
Dalam hal ini dinamaka sebagai suatu penyertaan atau Deelneming.
Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua
bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang- orang baik secara psikis
maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga
melahirkan suatu tindak pidana.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “penyertaan”
berasal dari kata serta yang memiliki arti ikut, mengikut, turut, dengan,
bersama-sama dengan, beserta, mengiringi, menyertai, menemani, untuk
membantu, iku-ikut, ikut campur, membarengi.2 Yang kemudian
penyertaan memiliki arti turut sertanya seseorang atau lebih dalam suatu
tindak pidana.
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
(tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan
(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
B. PENGERTIAN PENYERTAAN
Menurut Projodikoro bahwa dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP
diadakan lima golongan peserta delik, yaitu:
1. Yang melakukan perbuatan (plegen, dader);
2. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader);
3. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader)
4. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker);
5. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Pasal 55 KUHP:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
- 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu;
- 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau
dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja
membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
- (2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan
sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya,
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
C. BENTUK-BENTUK PENYERTAAN
Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dalam Pasal 55 dan 56
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua
orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi
bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua
orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
saja; syarat: kerjasama secara sadar, tidak perlu ada kesepakatan tapi
harus ada kesengajaan untuk: bekerja sama dan mencapai tujuan yang
sama berupa terjadinya suatu tindak pidana; permufakatan jahat.
Kerjasama secara fisik, ada pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan
perbuatan yang langsung menyebabkan selesainya suatu delik.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
H. RANGKUMAN MATERI
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
(tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan
(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
seseorang lain melakukan tindak pidana. Menurut VanHamel, memberikan
definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian
pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut
pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku
dengan tindakan sendiri.
Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya
orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP. Ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya
berbunyi:
1. Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat
mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua
orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi
bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua
orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua
orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan jadi melakukan
anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), Orang yang dengan sengaja
membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan memberikan
sesuatu, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,
ancaman dan tipu daya.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu
melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum
(jika tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Muhammad Ansori Lubis, dkk, Hukum Pidana, CV Andalan Bintang Ghonim,
2019, Medan.
Sudarto, 1986,. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Santoso, Topo, 2012. Kriminologi. Rajawali Pers, Jakarta
Soesilo, R. 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.
Utomo, Warsito Hadi, 2005. Hukum Kepolisian Di Indonesia. Cipta
Manunggal, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kepolisian Negara
Indonesia sebagaimana diperbahrui Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat
Kepolisian Daerah
Perkap No 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan tata Kerja Pada
Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor
Kitab undang-undang hukum pidana
Kitab undang-undang
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 11: HUBUNGAN SEBAB
AKIBAT PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 11
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT PIDANA
A. PENDAHULUAN
Tiga masalah pokok dalam hukum pidana adalah tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Tindak pidana berkiatan
dengan perbuatan pidana (Srafbaar feit) sebagai suatu perbuatan yang
dilarang atau perintah dan disertai sanksi pidana apabila melanggar atau
tidak melaksanakan perintah. Berkaitan dengan itu maka yang menjadi
dasar dalam pelaksanaan hukum pidana (hukum pidana materiil) adalah
berkaitan dengan asas legalitas, yakni dapat tidaknya seseorang dipidana
bergantung dari ada tidaknya perbuatan pidana atau tindak pidana itu
dilarang oleh aturan pidana. Hukum pidana Indonesia sebagai sistem
hukum yang merupakan adopsi dari hukum Belanda dalam menetapkan
perbuatan pidana atau tercelanya suatu perbuatan adalah menggunakan
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan dalam pasal 1 ayat (1) yang dikenal
dengan asas legalitas, merupakan tolak ukur dalam menentukan atau
mengetahui secara pasti dan jelas, perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana. Perumusan dalam pasal 1 ayat (1) yang dikenal dengan
asas legalitas, merupakan tolak ukur dalam menentukan atau mengetahui
secara pasti dan jelas, perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana.
Pidana didefinisikan sebagai aturan hukum yang mengikat kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang
berupa pidana. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal,
yaitu sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar
pengarunya kepada timbulnya akibat itu (Moeljanto, Asas-Asas Hukum
Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hal: 7):
1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
2. Pidana
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktin tersebut dirumuskan
dengan an act does not make a person guility, unless the mind is legally
blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah
yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).
Ajaran Kausalitas dihubungkan dengan jenis-jenis tindak pidana yang
pertama Delik Materiil merupakan perbuatan yang menyebabkan
konsekuensi-konsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang
tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan delik,
misalnya. Pasal. 338, Pasal 359, Pasal 360.
Kedua adalah Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per
omissionem/oneigenlijke omissiedelicten) merupakan pelaku tidak
melakukan kewajiban yang dibebankan padanya dan dengan itu
menciptakan suatu akibat yang sebenarnya tidak boleh ia ciptakan. Ia
sekaligus melanggar suatu larangan dan perintah; ia sesungguhnya harus
menjamin bahwa suatu akibat tertentu tidak timbul.
Ketiga dihubungkan dengan Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir yang
merupakan tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang
berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena
akibat-akibat khusus yang dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana
yang lebih berat ketimbang sanksi yang diancamkan pada delik pokok
tersebut. Pengkualifikasian delik juga dapat dilakukan atas dasar akibat
yang muncul setelah delik tertentu dilakukan, mis. Ps 351 (1) Ps 351 (2)/ Ps
351 (3)
Ajaran sebab-akibat atau “causalitas” ini oleh pembentuk undang-
undang tidak dirumuskan secara jelas dalam KUHP (WvS), namun dalam
beberapa pasal tertentu yang merupakan sebab dari suatu akibat tertentu
dinyatakan, seperti pasal 338, 351, 359, 209, 210 KUHP.
Persoalan ada tidaknya hubungan sebab-akibat antara kealpaan yang
salah dari bencana yang timbul di serahkan kepada penilaian hakim.
Dengan kata lain, hal yang dapat diduga dari suatu akibat merupakan
unsur dari suatu kesalahan ini termasuk didalamnya dan tidak perlu
dituduhkan secara khusus.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, maka dari berbagai teori
sebagaimana diketengahkan, selanjutnya Pompe menambahkan bahwa
sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa atau factor yang padanya
terletak kekuatan yang menimbulkan suatu akibat tertentu.
Menurutnya, faktor-faktor yang mencakup timbulnya akibat itu
merupakan sebab. Karena faktor sedemikian itu nyata, dan dapat
menimbulkan akibat sehingga penentuan sebab sehubungan dengan
penerapan aturan hukum pidana dapat digunakan teori umum
keseimbangan (generaliseerende theorien der adaequate) dalam
pengertian pencakupan (strekking). Demikian juga dapat digunakan teori
khusus dalam pengertian kekuatan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Pompe menggabungkan teori umum dan khusus dalam fahamnya
itu.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
D. RANGKUMAN MATERI
Penerapan hukum pidana materiil yang berkaitan dengan perkara
pidana tidak dijelaskan secara secara terperinci kapan suatu sebab dapat
disebut sebagai akibat yang dapat di hukum. Perlu adanya suatu kajian
teori yang berhubungan dengan sebab akibat (causalitas) yaitu: Teori
Conditio Sine Qua Non, teori yang mengindividualisasi, dan teori yang
menggeneralisasi. Teori yang menggeneralisasi terbagi menjadi 2 yaitu:
teori adequate subjektif dan teori adequat objektif.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 12: TEORI PEMIDANAAN
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 12
TEORI PEMIDANAAN
A. PENDAHULUAN
Mengenai teori-teori pemidanaan (dalam banyak literatur hukum
disebut dengan teori hukum pidana/strafrecht-theorien) berhubungan
langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teori teori
ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam
menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti
mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu
dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa negara dalam
menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan
cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, adalah
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pokok bahasan dalam
teori teori pemidaan ini. Pertanyaan yang mendasar tersebut timbul
berhubung dengan kenyataan bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana
subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi
manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri.
Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan,
artinya hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana
mati dan kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya.
Oleh karena itulah, hukum pidana objektif dapat disebut sebagai hukum
sanksi istimewa.
Jelaslah kiranya pidana yang diacamkan (lihat Pasal 10 KUHP) itu
apabila telah diterapkan, justru menyerang kepentingan hukum dan hak
pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Tentulah hak
menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya
boleh dimiliki oleh negara saja. Mengenai negara yang seharusnya
memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat. Negara merupakan
organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban
menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
B. TEORI ABSOLUT
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar
dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara
berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan
penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat atau negara) yang telah di lindungi. Oleh karena itu, ia harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan)
yang dilakukannnya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan
pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan
bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh
pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul
dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik
terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam,
yaitu:
1) Pencegahan umum (general preventie), dan
2) Pencegahan khusus (speciale preventie).
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
secara konkret oleh hakim pada penjahat. Teori pencegahan umum pada
penjatuhan pidana ini di pelopori oleh Muller.
Menurut Muller, pencegahan kejahatan bukan terletak pada eksekusi
yang kejam, maupun pada ancaman pidana, tetapi pada penjatuhan
pidana inkokrito oleh hakim. Dengan tujuan memberi rasa takut kepada
penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang
beratnya melebihi dari beratnya ancaman pidananya agar para penjahat
serupa lainnya menjadi schook, terkejut, kemudian menjadi sadar bahwa
perbuatan seperti itu dapat dijatuhi pidana yang berat dan ia menjadi
takut untuk melakukan perbuatan yang serupa.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya
pidana.
Van Hamel membuat suatu gambaran berikut ini tentang pemidanaan
yang bersifat pencegahan khusus ini.
a. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak
melakukan niat jahatnya.
b. Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara
menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki
dirinya (reclasering).
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan
pidana harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak
berdaya.
d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib
hukum di dalam masyarakat.
3) Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana
(Schravendijk, 1955:218).
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
C. RANGKUMAN MATERI
Jika kita memandang hukum sebagai kaidah, maka tidak boleh tidak,
kita harus mengakui sanksi sebagai salah satu unsur esensialnya. Hampir
semua juris yang berpandangan dogmatik memandang hukum sebagai
kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam
masyarakatnya. Sanksi mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sanksi merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi terhadap
pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial (baik kaidah hukum
maupun kaidah sosial lain yang non hukum).
2. Sanksi merupakan kekuasaan atau alat kekuasaan untuk memaksakan
ditaatinya kaidah sosial tertentu.
3. Sanksi hukum pada garis besarnya dapat dibedakan atas sanksi privat
dan sanksi publik.
1. Syarat-Syarat Pemidanaan
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Achmad Ali “... dengan
adanya sanksi atau ancaman pidana, ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dipertahankan“. Berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang
dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu ditentukan syarat-
syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut segi
perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai
asas kesalahan. Asal legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-
ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana,
tetapi juga mengendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana
yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-
orang yang benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana
tanpa kesalahan.
Menurut Leo Polak (Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini), pemidanaan harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbutan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan
tata hukum objektif;
b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana
tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi.
Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan oleh suatu maksud prevensi. Bila
ini terjadi, maka kemungkinan besar penjahat diberikan suatu
penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut
ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran
objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;
c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.
Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu
supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
2. Tujuan Pemidanaan
Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri oleh Jan Remmelink
(Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Pidanannya dalam KUHP Indonesia) dilukiskan sebagai berikut:
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 13: PENAFSIRAN PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 13
PENAFSIRAN PIDANA
A. PENDAHULUAN
Salah satu asas penting dalam Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah kejelasan rumusan. Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Namun dalam kenyataan, masih dijumpai istilah yang
tidak jelas dan tentunya membutuhkan penjelasan. Salah satu metode
yang digunakan untuk mendapatkan pemaknaan istilah atau rumusan
peraturan perundang-undangan adalah metode penafsiran.
Setiap undang-undang yang tertulis, seperti Undang-Undang Pidana
memerlukan suatu penafsiran. Upaya mencari kebenaran suatu perkara
pidana misalnya ditentukan pula oleh penafsiran yang tepat atas rumusan
undang-undang. Hal tersebut akan mengakibatkan Undang-Undang
diterapkan dengan benar serta dapat memberikan rasa keadilan bagi para
pihak. Sebaliknya apabila penafsiran yang tidak tepat atas rumusan
undang-undang akan mengakibatkan penerapan undang-undang tersebut
keliru serta dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Untuk keperluan tersebut para penegak hukum khususnya Hakim perlu
memiliki pengetahuan yang maksimal tentang cara-cara menafsirkan
undang-undang dengan sebaik-baiknya dan dapat dibenarkan menurut
ilmu pengetahuan hukum.
Masalah penafsiran dalam doktrin (pendapat para ahli hukum)
merupakan soal yang sangat penting dan juga merupakan hal penting pula
bagi hakim. (Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof Satochid
Kartanegara dan Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Tanpa Tahun, p.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
B. URGENSI PENAFSIRAN
Para penegak hukum khususnya Hakim, dalam praktek penyelesaian
kasus tidak dapat menerapkan hukum tanpa menggunakan penafsiran.
Misalnya untuk mendapatkan pengertian tentang “lalai/alpa”, “sengaja”,
“daya paksa”, “perbarengan”, “penyertaan”, “barang”, “mengambil” dan
sebagainya. Penafsiran merupakan hal penting karena hukum tertulis
dalam kenyataannya sulit mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Hal ini berdampak pada dinamika perkembangan yang
berubah seiring dengan perkembangan masyarakat. Hukum dituntut
mengikuti perkembangan tersebut. Penafsiran mungkin menjadi salah
satu hal untuk mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat. Mungkin
juga pengaturan rumusan dalam undang-undang belum menjadi perhatian
pembentuk undang-undang. Setelah pemberlakuan undang-undang
barulah muncul persoalan tentang hal tersebut. Untuk mengisi
kekosongan norma maka penafsiran dapat digunakan. Alasan lain yang
dapat dikemukakan adalah Undang-undang yang dibentuk tidak mungkin
memuat seluruh istilah atau kata penting dan maknanya. Selain itu
seringkali norma yang dirumuskan sangat singkat dan umum sehingga
kurang jelas maksudnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Utrecht
yang mengjelaskan bahwa tiada undang-undang yang sempurna. Tiap
redaksi (perumusan) undang-undang adalah suatu pernyataan kehendak
pembuatnya, dan sering kehendak itu, karena beberapa hal, tidak
dinyatakan dengan tepat. (Utrecht, 1994, p. 201)
Khusus di bidang hukum pidana, kewajiban hakim untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-
undang dengan tepat. Kewajiban tersebut haruslah dilakukan dengan cara
menafsirkan rumusan undang-undang pidana dengan menggunakan
penafsiran yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan rumusan-
rumusan unsur perbuatan termasuk ketentuan pidana tersebut.
Adapun tujuan penafsiran undang-undang menurut Lamintang adalah
untuk menentukan arti yang sebenarnya dari wilbesluit atau dari putusan
kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti yang tertulis di dalam
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Jadi hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan walaupun tidak ada
undangundang atau peraturan yang tertulis yang mengatur tentang sutau
peristiwa hukum yang diajukan kedepan hakim, namun hakim wajib
menggali hukum yang ada dan hidup ditengah-tengah masyarakat.
Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering
dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum
atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini,
istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh Hakim,
sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh
lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih
lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga
istilah itu bermakna bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang
tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau
pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu
perkara.
Berkaitan dengan kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, maka pemakaian teori-teori penemuan dan penafsiran
hukum dapat dilakukan dalam memutuskan suatu perkara untuk kasus-
kasus yang hukum/undang-undangnya tidak/belum jelas. Namun
pemakaian teori penemuan dan penafsiran hukum harus dilakukan
dengan cara-cara atau metode penafsiran yang berlaku dalam ilmu hukum.
Alasan digunakannya teori penafsiran hukum oleh hakim dalam mengadili
suatu perkara disebabkan hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan
tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan
aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk
tertulis, dimana sebuah adagium yang menyebutkan bahwa membaca
hukum adalah menafsirkan hukum. Teks hukum sudah jelas adalah satu
cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-
diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan
penjelasan (Susanto, 2005, p. 1).
Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan
hukum umum pada peristiwa konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada
peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
1. Penafsiran Autentik
Ketika dihadapkan pada persoalan pengertian suatu kata atau
rumusan/teks dalam undang-undang, misalnya terjadi di dalam
persidangan perkara pidana dan jaksa penuntut umum, hakim dan
penasihat hukum berbeda pandangan tentang terminologi itu, hakim
harus mencari pengertian yang lebih tepat, apa yang harus dilakukannya?
Sering terjadi, para pihak akan mencari dan mencermati pengertian yang
diberikan di dalam undang-undang yang menjadi persoalan, bukan
pengertian atau maksud suatu terminologi atau kata atau rumusan tidak
berada di luar undang-undang, melainkan di dalam undang-undang itu
sendiri.
Menurut Adami Chazawi, penafsiran autentik ini tidak dilakukan oleh
hakim, tetapi oleh pembuat undang-undang sendiri. Menurutnya,
penafsiran autentik sesungguhnya bukan penafsiran melainkan pengertian
atau perluasan arti yang dinerikan oleh pembentuk undang-undang.
Penafsiran autentik itu memuat pengertian contohnya dengan
menggunakan kata: “berarti”, “ialah”, “adalah”, “apabila”, dan kata
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
2. Penafsiran Gramatikal
Interpretasi suatu undang-undang pada dasarnya selalu akan
merupakan penjelasan dari segi bahasa. Dengan kata lain penafsiran
gramatikal berkaitan dengan bahasa yang merupakan suatu sarana yang
penting bagi hukum. Oleh karena itu hukum terikat pada bahasa.
Penafsiran bentuk ini dinamakan dengan penafsiran gramatikal.
Penafsiran gramatikal merupakan suatu cara menafsirkan atau
menjelaskan makna undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata, atau bunyi dari kalimatnya. Penafsiran gramatikal,
bukan hanya sekedar membaca undang-undang saja. Ketentuan suatu
undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Yang
artinya, ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata
dari undang-undang.
Penafsiran gramatikal didasarkan pada kata-kata undang-undang. Jika
kata-kata undang-undang sudah jelas, menurut penafsiran ini, harus
diterapkan sesuai dengan kata-kata, walaupun seandainya maksud
pembuat undang-undang berbeda. Penggunaan penafsiran gramatikal
juga berkaitan dengan alat bantu, yakni kamus bahasa. Disamping itu hal
penting lainnya adalah peranan ahli bahasa yang digunakan dalam
peraturan perundang-undangan, perjanjian, surat wasiat dan lain-lain
(Santoso, 2020, p. 369).
Menyangkut penafsiran gramatikal, persoalan yang dihadapi hukum
pidana Indonesia karena hukum pidana kodifikasi Indonesia saat ini masih
menggunakan KUHP yang aslinya berbahasa Belanda. Menurut Andi
Hamzah bagaimana dapat menafsirkan kata-kata dalam Bahasa Belanda?
Kalau yang ditafsirkan adalah terjemahannya, penafsirannya dapat
meleset. Contoh delik penyuapan di KUHP (Pasal 418) digunakan istilah
Bahasa Belanda aannemen (menerima). Jika mengacu pada kata
menerima di dalam Bahasa Indonesia, di dalam bahasa Belanda ada dua,
yaitu: aannemen dan ontvangen, jelas keliru karena suap itu harus berada
di tangan, sementara yang dimaksud dengan aannemen dalam ketentuan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
itu menerima sudah setuju untuk disuap yang mungkin saja belum ada di
tangannya (Hamzah, 1994, pp. 80-81).
3. Penafsiran Sistematis
Terbentuknya suatu undang-undang pasti berhubungan dengan
perundang-undangan lainnya karena tidak ada undang-undang yang
berdiri sendiri lepas dari keseluruhan perundang-undangan. Dengan
perkataan lain, undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan. Dalam kaitan demikian, Sudikno Mertokusumo
menjelaskan bahwa menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan dilakukan dengan
menghubungkan dengan undang-undang lain disebut interpretasi
sistematis. Selanjutnya disebutkan bahwa menafsirkan undang-undang
tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan.
(Mertokusumo, 1999, pp. 157-158). Sejalan dengan pemikirannya, Eddy
O.S. Hiariej menjelaskan bahwa tidak hanya mengacu pada pasal-pasal
yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya
dari undang-undang yang sama atau undang-undang lain bahkan sistem
hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. (Hiariej, 2016, p. 105)
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu
penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain
dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada
perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu
perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud.
Contoh yang dapat diberikan tentang kata “kerugian keuangan negara”
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kata
“kerugian keuangan negara”, jika ditafsirkan secara autentik
pengertiannya terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999. Kata “kerugian
keuangan negara” berbeda dengan kata “kerugian negara” sebagaimana
diatur dalam UU lainnya misalnya UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang berwenang memeriksa adanya kerugian negara. Praktik yang
terjadi dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi baik tahap
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, hasil pemeriksaan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BPK yang dipakai dalam tahapan tersebut, padahal istilah yang digunakan
dalam UU BPK adalah “kerugian negara”.
4. Penafsiran Teleologis/Sosiologis
Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan masyarakat. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang
disesuaikan dengan keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar
penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian hukum
berdasarkan asas keadilan masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dengan penafsiran teleologis ini,
undang-undang yang masih berlaku, tetapi sudah usang atau sudah tidak
sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan, dan
kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu
diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Dalam
konteks ini, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang
sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau
menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama di waktu sekarang.
Dengan demikian peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan
keadaan yang baru. Dengan demikian, peraturan yang lama dibuat aktual.
(Mertokusumo, 1999, pp. 156-157).
5. Penafsiran Historis/Sejarah
Makna suatu Undang-Undang dapat dipahami dan dijelaskan dengan
mempelajari sejarah pembentukannya. Penafsiran ini dikenal dengan
penafsiran historis. Dengan kata lain penafsiran historis didasarkan pada
maksud pembuat Undang-Undang ketika diciptakan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, ada dua macam penafsiran historis yakni: (1) penafsiran
menurut sejarah undang-undang dan (2) penafsiran menurut sejarah
hukum (Mertokusumo, 1999, p. 158).
Penafsiran menurut sejarah undang-undang merupakan jenis
penafsiran yang melihat maksud pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya dan tercantum dalam teks undang-undang. Penafsiran
menurut sejarah bersumber dari notulensi/rekaman proses dan
pembahasan yang dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
6. Penafsiran Futuristik
Penafsiran ini dilakukan dengan cara merujuk RUU yang sudah
disiapkan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan
cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa yang akan datang. Dengan
perkataan lain, hakim dapat saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap
norma yang dilakukannya didasarkan atas penelaahan dari sudut pandang
hukum baru. Dengan perkataan lain, penafsiran futuristik menafsirkan
dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (rancangan undang-undang yang telah disahkan namun
ditunda masa berlaku efektif).
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
8. Penafsiran Analogi
Suatu peraturan perundang-undangan terkadang terlalu sempit ruang
lingkupnya. Oleh karena itu,untuk dapat menerapkan undang-undang
pada peristiwa tertentu, hakim akan memperluasnya dengan metode
“argumentum per analogiam” atau analogi. Dengan analogi itu, peristiwa
yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang telah diatur dalam undang-
undang diperlakukan sama.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
E. RANGKUMAN MATERI
1. Penafsiran menjadi hal penting dan kebutuhan dalam memecahkan
persoalan, mulai dari hal yang sederhana hingga yang kompleks seperti
yang terdapat dalam undang-undang, kontrak, konvensi, putusan
pengadilan dan sebagainya. Penjelasan undang-undang dengan kata
“cukup jelas”, namun dalam tataran pelaksanaan rumusan pasal
tersebut tidak jelas karena dapat ditafsirkan dengan beberapa
pengertian. Penafsiran menjadi bahasan yang serius tidak hanya dalam
berbagai bidang hukum lain tetapi termasuk hukum pidana.
2. Penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang
sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa
saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa,
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain. Akan tetapi dalam dunia
penegakan hukum dipahami bahwa profesi yang paling banyak
melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya
hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus
diselesaikan.
3. Pada dasarnya semua penafsiran yang digunakan pembidangan hukum
lain, digunakan pula dalam penafsiran hukum pidana seperti penafsiran
autentik, gramatikal, sistematis, teleologis, sosiologis, penafsiran
ekstensif ekstensif dan a contratio. Namun ada pengecualian untuk
penafsiran analogi yang tidak digunakan dalam hukum pidana.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Hamidi, J. (2005). Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru
Dengan Interpretasi. Yogyakarta: UII Press.
Hamzah, A. (1994). Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Rineka Cipta.
Hiariej, E. O. (2016). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.
Kartanegara, S. (Tanpa Tahun ). Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof.
satochid Kartanegara dan Pendapat para Ahli Hukum Terkemuka.
Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Lamintang, P. (1997). Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya bakti.
Mertokusumo, S. (1999). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Mertokusumo, S. (2010). Penemuan Hukum. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya.
Santoso, T. (2020). Hukum Pidana Suatu Pengantar. Depok: PT
RajaGrafindo Persada.
Susanto, A. F. (2005). Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: PT Refika Aditama.
Utrecht, E. (1994). Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya:
Pustaka Tinta Mas.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
HUKUM PIDANA
BAB 14: RESTORATIF JUSTICE
PIDANA
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
BAB 14
RESTORATIF JUSTICE PIDANA
A. PENDAHULUAN
Penegakan hukum Indonesia bisa dikatakan “communis opinio
doctorum”, yang artinya bahwa, penegakan hukum yang sekarang
dianggap telah gagal dalam mencapaui tujuan yang diisyaratkan oleh
Undang-Undang (Rizky, p, 4). Oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah
alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System, dimana
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan
pendekatan normative (Dignan, p, 27). James Dignan dalam karyanya
Understanding Victims and Restorative Justice mengungkapkan istilah
keadilan restoratif berawal ketika Albert Eglash, berupaya membedakan
tiga bentuk peradilan pidana, yakni retributive justice, distributive justice,
dan restorative justice. Menurut Eglash, sasaran keadilan retributif adalah
penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Adapun
sasaran keadilan distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan.
Konsep restoratif justice telah muncul dari dua puluh tahun yang lalu
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana khusunya terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. Restoratif justice adalah sebuah konsep
yang menunjukkan berbagai praktik keadilan dengan nilai-nilai yang sama,
tetapi prosedur yang sangat bervariasi (Braithwaite, 2002). Restoratif
justice juga merupakan kerangka berpikir yang baru yang mampu
digunakan untuk menanggapi kejahatan oleh aparat penegak hukum.
Penulis pada pembahasan materi akan menjelaskan secara singkat
pengertian restoratif justice, tujuan restoratif justice, prinsip-prinsip
restoratif justice dan jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui
restoratif justice.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
V : Victim (korban)
0 : Offender (pelaku)
C : Community (lingkungan)
J : Justice (keadilan)
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
14. Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau dibujuk dengan
cara-cara tidak jujur untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif
atau untuk menerima hasilnya.
15. Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses keadilan
restoratif, para pihak harus diberi informasi lengkap tentang hak-
haknya, hakekat proses dan konsekuensinya yang mungkin terjadi
akibat keputusannya.
16. Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuali atas persetujuan pihak-
pihak harus terbuka.
17. Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses keadilan restoratif
apabila diperlukan diawasi oleh lembaga judisial, atau digabungkan
dalam keputusan judisial dengan status yang sama dengan keputusan
judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus yang sama.
18. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang dibuat dalam
rangka proses keadilan restoratif harus dikembalikan dalam proses
restoratif atau peradilan pidana dan proses harus segera dilaksanakan
tanpa penundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan,
berbeda dengan keputusan pengadilan, tidak dapat digunakan sebagai
pembenaran untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat dalam
proses peradilan selanjutnya.
19. Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak memihak,
dengan menghormati martabat para pihak. Dalam kapasitas tersebut,
fasilitator harus menjamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan
menghormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak untuk
menemukan penyelesaian yang relevan antar mereka.
20. Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik terhadap kultur
setempat dan masyarakat serta apabila diperlukan memperoleh
pelatihan sebelum melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator.
21. Negara harus merumuskan strategi nasional dan kebijakan untuk
mengembangkan keadilan restoratif dan memajukan budaya yang
kondusif untuk mendayagunakan keadilan restoratif di antara para
penegak hukum, lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat
setempat.
22. Konsultasi harus dilakukan antara lembaga peradilan pidana dan
administrator proses keadilan restoratif untuk mengembangkan
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Sedangkan menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Rudy Rizky, inti
gagasan dan prinsip restoratif justice, antara lain (Rizky, p, 7):
a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana;
b. Mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa
atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian
terhadap korban dan mencegah pelaku tidak mengulangi lagi
perbuatan pidana;
c. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai
suatu pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh
seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok
orang); dan
d. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan
cara-cara yang lebih informal dan personal. Daripada penyelesaian
dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
F. RANGKUMAN MATERI
Restoratif justice (keadilan restoratif) adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan. Tujuan dan prinsip restoratif justice yaitu:
membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana, dan
mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa
atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian
terhadap korban dan mencegah pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan
pidana. Jenis perkara pidana yang dapat diselesaikan melalui restoratif
justice adalah tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan, baik
aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Braithwaite, J. (2002). Restorative Justice & Responsive Regulation.
Oxpord : Oxford University Press.
Dignan, J. (2005). Understanding Victims And Restorative Justice. New
York : Open University Press.
Hutauruk, R.H. (2013). Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui
Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
Kaligis, O.C. (2006). Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka.
Terdakwa dan Terpidana. Bandung : Alumni.
Marlina, (2009). Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama.
Rizky, R, (ed). (2008). Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran
dalam Dekade Terakhir). Jakarta: Perum Percetakan Negara
Indonesia.
Santoso, T. (2020). Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Satriana, I. M.W.C dan Dewi, N.M.L. (2021). Sistem Peradilan Pidana
Perspektif Restorative Justice. Denpasar : Udayana University Press.
Sharpe, S. (1998). Restorative Justice : A Vision for Healing and Change.
Canada : Edmonton Victim Offender Mediation Society.
Siswosoebroto, K. (2009). Pendekatan Baru dalam Kriminologi. Jakarta :
Universitas Trisakti.
Suhariyanto, B, dkk. (2021). Kajian Restorative Justice: Dari Perspektif
Filosofis, Normatif, Praktik, dan Persepsi Hakim. Jakarta : Kencana.
Supeno, H. (2015). Kriminalisasi Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Artikel
Andriyanti, E.K, “Urgensitas Implementasi Restorative Justice Dalam
Hukum Pidana Indonesia”. Vol. 8, No. 4, November 2020.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
GLOSARIUM
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Glosarium | 289
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Pengecualian prinsip: Actus reus dan mens rea adalah hanya pada delik-
delik yang bersifat strict liability (pertanggungjawaban mutlak), dimana
pada tindak pidana yang demikian itu adanya unsur kesalahan atau mens
rea tidak perlu dibuktikan.
Glosarium | 291
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
Glosarium | 293
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
PROFIL PENULIS
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
saat ini. Penulis juga giat dalam pelaksanaan Tri Dharma salahsatunya
menulis pada book chapter berjudul “Sosiologi Kesehatan” yang
diterbitkan oleh Penerbit Widina Bhakti Persada tahun 2022.
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
tercinta ini atas dedikasi dan kerja keras dalam menulis buku. Email
Penulis: nandadwirizkia.law@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com
penerbitwidina@gmail.com