Anda di halaman 1dari 100

TITIK SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA


DENGAN PERADILAN UMUM
DALAM SENGKETA PERTANAHAN

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014
TITIK SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN PERADILAN UMUM
DALAM SENGKETA PERTANAHAN

LAPORAN PENELITIAN

Koordinator Peneliti :
Dr. DANI ELPAH, SH., MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN KEADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014
LAPORAN PENELITIAN

TITIK SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA


PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN PERADILAN UMUM
DALAM SENGKETA PERTANAHAN

Koordinator Peneliti :
Dr. DANI ELPAH, SH., MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014
KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan


Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan
satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan Yaitu :
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Peradilan Militer;
berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah
satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat
Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita)
maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.
Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang
Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni :
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;
Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung
RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
adalah Penelitian (Puslitbang).
Berdasarkan DIPA 2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai
macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah
Penelitian "TITIK SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN PERADILAN
UMUM DALAM SENGKETA PERTANAHAN" yang
merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut

i
dilaksanakan diwilayah Hukum Pengadilan di Jakarta. Hasil nya
telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Laporan.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih
atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari
pengumpulan bahan-bahan sampai dengan selesainya
penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian
"TITIK SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA DENGAN PERADILAN UMUM
DALAM SENGKETA PERTANAHAN".
Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh
dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Jakarta, September 2014


KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN

NY. SITI NURDJANAH, SH., MH

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas


segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Balitbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2014 telah
berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni
menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup Discussion (FGD)
untuk mendiskusikan Proposal Penelitian berjudul "TITIK
SINGGUNG KEWENANGAN ANTARA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA DENGAN PERADILAN UMUM DALAM
SENGKETA PERTANAHAN" kegiatan FGD Proposal tersebut
berlangsung di Jakarta. Setelah FGD Proposal, dilanjutkan
dengan memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian Kepustakaan di
Jakarta, melalui kompilasi bahan dan data penelitian, seleksi
serta analisis terhadap berbagai data, bahan, referensi
kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang relevan, serta
dilengkapi sejumlah wawancara dengan para narasumber yang
kompeten. Terhadap hasil Penelitian tersebut kemudian
dilakukan Kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) untuk
membahas dan mendiskusikan Hasil Penelitian dengan tujuan
untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnaan hasil
penelitian.
FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil Penelitian
telah diikuti oleh para undangan, antara lain meliputi beberapa
Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim Tinggi Pengawasan, Hakim
Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim
Yusitisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti
Puslitbang Mahkamah Agung, peneliti dari Instarisi atau
Lembaga lain, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Staf
Puslitbang. Dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai
masukan, kritik dan usulan bagi penyempurnaan proposal

iii
maupun hasil penelitian. Diharapkan mampu meningkatkan
kualitas dan kemanfaatan hasil penelitian, baik bagi kalangan
internal Mahkamah Agung beserta segenap jajaran dan
hirarkinya, maupun bagi para stake holder lainnya.
Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai bentuk
pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah
Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya
pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan
manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.


NIP. 19590107 198303 1 005

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT KUMDIL . i

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ………... iii

DAFTAR ISI ………………………………………………….... v

BAB I PENDAHULUAN …………………………….….. 1


1.1 Latar Belakang ………….……..…………..…. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………..... 11
1.3 Tujuan Penelitian …………………………..… 12
1.4 Manfaat Penelitian ………………………….... 12
1.5 Metode Penelitian …………………………..... 12

BAB II FORUM PENYELESAIAN SENGKETA


PETANAHAN ………………………………..…… 17
2.1 Latar Belakang ………….……..…………..….. 17
2.2 Wewenang Lembaga Peradilan Dalam
Penyelesaian Sengketa Pertanahan …………… 21
2.2.1 Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara . 23
2.2.2 Wewenang Peradilan Umum ……………. 26

BAB III BATAS KEWENANGAN PERADILAN TATA


USAHA NEGARA DAN PERADILAN UMUM
DALAM SENGKETA PERTANAHAN ………… 29
3.1 Pengertian Titik Singgung Kewenangan
Mengadili ……………………………………... 29
3.2 Batas Kewenangan Mengadili Sengketa
Pertanahan Antara Peradilan Tata Usaha
Negara Dengan Peradilan Umum Menurut
Doktrin ………………………………………... 30

v
3.3 Batas Kewenangan Mengadili Sengketa
Pertanahan …………………………………….. 34
3.3.1 Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung
RI Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 tanggal
14 Oktober 1993 ……………………….. 34
3.3.2 Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor :
41/Td.TUN/V/1996 …………………….. 35
3.3.3 Buku II Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara 36
3.3.4 Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Nomor 07 Tahun 2012 …………………. 38
3.4 Yurisprudensi Batas Kewenangan Mengadili
Sengketa Pertanahan Antara Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Umum ………….. 39
3.4.1 Pengertian Yurisprudensi ……………… 39
3.4.2 Yurisprudensi dan Kekuatan Mengikat ... 41
3.4.3 Yurisprudensi Batas Kewenangan
Peradilan Umum Dalam Menyelesaikan
Sengketa Pertanahan …………………… 44
3.4.4 Batas Kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa
Pertanahan Menurut Yuriprudensi ……... 51
3.4.5 Forum Competens (Lebih Dahulu
Menyelesaikan Sengketa Pertanahan …... 57

BAB IV QUO VADIS SENGKETA PERTANAHAN ……. 61

BAB V PENUTUP …………………………..…………….. 67


5.1 Kesimpulan ……………………...……………. 67
5.2 Saran ………………………………………….. 68

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….. 71

vi
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN ………………………….. 77

vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Badan-badan peradilan sebagai sub sistem dari sistem
kekuasaan kehakiman menurut konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) Perubahan
Ketiga diadakan dalam rangka untuk menegakkan hukum dan
keadilan, baadan-badan peradilan tersebut terdiri dari 4 (empat)
lingkungan peradilan, yaitu pertama lingkungan peradilan umum,
kedua lingkungan peradilan agama, ketiga lingkungan peradilan
militer, dan keempat lingkungan peradilan tata usaha negara.
Keseluruhan lingkungan badan-badan peradilan tersebut berada di
bawah dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan
tertinggi di dalam wilayah Negara Republik Indonesia {vide Pasal 24
ayat (2) perubahan ketiga}.
Disamping adanya 4 (empat) lingkungan badan-badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, dikenal dan dapat dibentuk
pengadilan khusus yang mempunyai kewenagan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan, yang
dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan
anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan
tindak pidana korupsi dan pengadilan perikanan yang berada di
lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di
lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana ditentukan di
dalam Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 27 ayat (1) dan penjelasannya
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157 Tanbahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 5076).
Akibat hukum (rechtsgevolg) dengan adanya diferensiasi 4
(empat) lingkungan badan-badan peradilan dan adanya pengadilan
khusus di dalam salah satu lingkungan badan peradilan adalah, adanya

1
pembagian ruang lingkup kekuasaan/kewenangan (kompetensi)
mengadili antar badan-badan peradilan tersebut baik yang bersifat
absolut maupun relatif. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum maupun sesudah perubahan secara
expressis verbis tidak menentukan ruang lingkup kekuasaan /
kewenangan (kompetensi) badan-badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung, mengenai susunan, kedudukan, keanggotaan dan
hukum acara badan-badan peradilan sesuai ketentuan Pasal 24A ayat
(5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ketiga pengaturan
lebih lanjut diserahkan kepada pembentuk undang-undang
(wetgever) dengan undang-undang (bij de wet).
Kekuasaan / kewenangan (kompetensi) masing-masing
lingkungan badan peradilan di Indonesia pertama-tama diatur oleh
undang-undang yang memayungi (umbrella act) seluruh badan-badan
peradilan, yaitu di dalam undang-undang tentang kekuasaan
kehakiman. Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman di
Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan saat ini telah
mengalami beberapa kali perubahan dan pergantian undang-undang,
terakhir yang berlaku sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Tolok ukur yang menentukan kekuasaan/kewenangan
(kompetensi) masing-masing lingkungan badan peradilan yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) dapat dilakukan
pemetaan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

2
Tabel 1
Pemetaan Keuasaan/Kewenangan (Kompetensi) Lingkungan Badan
Peradilan Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman

No. Lingkungan Tolok Ukur Dasar Hukum


Peradilan Wewenang

1 Peradilan Umum Obyek (perkara pidana Pasal 25 ayat (2)


dan perdata)

2 Peradilan Agama Subyek (antara orang- Pasal 25 ayat (3)


orang beragama islam)

3 Peradilan Militer Obyek (tindak pidana Pasal 25 ayat (4)


militer)

4 Peradilan Tata Usaha Obyek (sengketa tata Pasal 25 ayat (5)


Negara usaha negara)

Memperhatikan pemetaan kekuasaan / kewenangan


(kompetensi) masing-masing badan peradilan sebagaimana disebutkan
di dalam Pasal 25 ayat (2) sampai dengan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) dapat
disimpulkan mengggunakan, pertama tolok ukur obyek, dan kedua

3
tolok ukur subyek, penggunaan tolok ukur obyek dan subyek masih
bersifat abstrak belum diberi isi atau substansi, dari aspek logika
masih sebatas dan merupakan suatu konsep.
Penjabaran lebih jauh dan lebih konkrit mengenai
kekuasaan/kewenangan (kompetensi) masing-masing badan peradilan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang (bij dewet) dari masing-
masing lingkungan badan peradilan, misalnya kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana telah dirubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 Tambahan Lembaran
Negara Nomor Republik Indonesia Nomor 5079). Kekuasaan /
kewenangan (kompetensi) Peradilan Umum diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 20 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327) sebagaimana
telah dirubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5077).
Dengan dianutnya sistem lebih dari satu set lingkungan
badan-badan peradilan (duality of yurisdiction), dan dapat
dibentuknya pengadilan khusus di dalam salah satu lingkungan badan
peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka
dimungkinkan timbulnya sengketa kewenangan mengadili antar
lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan
peradilan yang lain, dan dimungkinkan pula timbulnya titik singgung
kewenangan peradilan yang satu dengan lingkungan badan peradilan

4
yang lain, misalnya antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Negeri. Titik singgung antara Peradilan Tata Usaha
Negara dengan pengadilan negeri menurut Mahkamah Agung, antara
lain berkaitan dengan sertifikat tanah.1
Timbulnya titik singggung kewenangan mengadili antara
Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum dalam sengketa
pertanahan khususnya yang berkaitan dengan sertifikat dapat terjadi
oleh karena, sertifikat sebagai suatu beschikking ada dalam yurisdiksi
(objek) peradilan tata usaha negara. Di pihak lain, sengketa
kepemilikan atau sengketa hak atas tanah ada dalam yurisdiksi (objek
peradilan umum (peradilan keperdataan).2 Dalam penilaian Philipus
M. Hadjon sengketa sertifikat sebagai sengketa tata usaha negara
semu, karena sengketa tata usaha negara tersebut mempunyai aspek
hukum perdata yang dominan.3 Karakteristik sertifikat hak atas tanah
dikemukakan oleh Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala sebagai
berikut :4
Sertifikat HAT adalah produk pemerintah yang lahir karena
hukum dan konkrit sifatnya karena ditujukan untuk subyek dan obyek
yang ditentukan. Sertifikat HAT juga bersifat individual dan final
karena tidak ditujukan untuk masyarakat umum akan tetapi hanya
bagi mereka yang tercantum dalam sertifikat tersebut serta tidak
memerlukan persetujuan instansi lain. Bila dilihat dari akibat yang
ditimbulkan maka tindakan pemerintah dalam kegiatan pemberian
SHAT adalah bertujuan untuk menimbulkan keadaan hukum baru

1
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis
Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Edisi 2009, hal. 78.
2
Bagir Manan, Hakim Dan Sengketa Tanah, Dalam Varia Peradilan
Tahun XXV No. 290 Januari 2010, hal. 17.
3
Philipus M. Hadjon, Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 (1991-2001),Makalah Pembanding dalam Seminar Sehari Sepuluh
Tahun Peratun, Jakarta, 20 Januari 2001, hal. 2.
4
Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, Pembatalan dan Kebatalan
Hak Atas Tanah (Edisi Revisi), Tugujogjapustaka, Yogyakarta, 2005, hal. 76.

5
(rechtscheppende / constitutieve beschikking) sehingga lahir pula hak-
hak dan kewajiban-kewajiban hukum tertentu.
Disamping sebagai produk Tata Usaha Negara, SHAT adalah
tanda bukti hak kebendaan berupa tanah dengan segala hak dan
kewajiban yang bersifat keperdataan. Atas SHAT tersebut, subyek hak
dapat mempertahankan, meletakkan beban dengan hak lain,
menciptakan hubungan-hubugan hukum, yang kesemua ini tunduk
kepada ketentuan-ketentuan dalam hukum privat
Adanya dimensi hukum publik dan dimensi hukum
perdata dalam sengketa yang berkaitan dengan pertanahan dan
masing-masing dimensi hukum publik dan hukum privat tunduk pada
yurisdiksi badan peradilan yang berbeda, sehingga dapat dikatakan
sebagai sengketa dengan 2 (dua) wajah, dan hal menimbulkan suatu
kesan dan anggapan dalam sengketa pertanahan terdapat kekuasaan
bersama (concurrent authority) dalam mengadilinya. Dalam konteks
inilah perlu disadari oleh para pelaksana hukum (aparatur pemerintah),
penerap hukum (advokat), penegak hukum (para yuris) serta
masyarakat umumnya, sehingga tepat dan benar dalam melihat dan
menggunakan hukum untuk menyelesaikan perkara menyangkut
tanah.5 Penggunaan hukum yang tepat dan benar dalam sengketa
pertanahan akan mempercepat proses penyelesaian sengketa, sehingga
kepastian hukum dan keadilan dapat segera diperoleh oleh pencari
keadilan (yustisiabelen).
Olden Bidara Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
Republik Indonesia Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
mengemukakan, sering Hakim Tata Usaha Negara tak dapat
menentukan batas kewenangannya, maksudnya adalah sengketa yang
berkaitan dengan tanah.6 Para hakim tata usaha negara sering kali
membuat putusan berdasarkan penilaian mereka sendiri tentang

5
Ibid, hal. 83.
6
Olden Bidara, Beberapa Titik Singggung Antara Pengadilan Tata
Usaha Negara Dan Pengadilan Negeri, Tanpa penerbit dan Tahun, hal. 15.

6
kepemilikan, dan melakukan pengujian seolah-olah mereka adalah
hakim perdata.7 Terdapat sengketa pertanahan yang berkaitan dengan
sertifikat yang pada tingkat pertama dan tingkat banding (yudec factie)
diputus merupakan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara, akan
tetapi dalam tingkat kasasi (yudec yuris) oleh Mahkamah Agung
diputus merupakan masalah perdata yang menjadi kewenangan
peradilan umum, bahkan terdapat putusan yang baru pada tingkat
Peninjauan Kembali diputus merupakan masalah perdata dan bukan
menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kondisi tersebut mengundang komentar dari Bagir Manan
mantan Ketua Mahkamah Agung RI, kehadiran badan peradilan tata
usaha negara ikut menggandakan kegaduhan persoalan pertanahan.8
Kegaduhan masalah pertanahan yang bersumber dari badan peradilan
dialami oleh Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan
sengketa, maupun konplik pertanahan, antara lain disebabkan adanya
tumpang tindih putusan pengadilan baik TUN, perdata maupun pidana
yang saling bertentangan menyangkut obyek yang sama,9 keadaan
yang demikian akan menyulitkan Badan Pertanahan dalam melakukan
pendaftaran peralihan hak yang didasarkan atas adanya putusan
lembaga peradilan yang saling bertentangan.
Dengan kondisi yang demikian persoalan yang dihadapi
dalam sengketa pertanahan yang di dalamnya mengandung titik
singgung kewenangan mengadili adalah, pertama berkaitan dengan
piliha hukum (choice of law), dan kedua berkaitan dengan pilihan
pengadilan (choice of forum). Menjatuhkan pilihan hukum terhadap
salah satu bentuk hukum (rechtsfiguur) yaitu hukum publik atau
hukum perdata dalam penyelesaian sengketa pertanahan yang di

7
Adrian W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Penerjemah Indra Krishnamurti, Huma, Jakrta, 2010, hal. 223.
8
Bagir Manan, op. cit. hal. 17.
9
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Laporan
Akuntablitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2012, hal. 32-33

7
dalamnya mengandung titik singgung kewenangan mengadili
bermakna meniadakan aspek bentuk hukum (rechtsfiguur) yang lain
dan kompetensi salah satu badan peradilan, meskipun dilihat dari
aspek objectum litis dan subjectum litis telah memenuhi karakteristik
kekuasaan/kewenagan (kompetensi) badan peradilan tertentu.
Menggunakan kedua bentuk hukum (rechtsfiguur), baik hukum publik
atau hukum perdata secara simultan dalam penyelesaian sengketa
pertanahan yang di dalamnya mengandung titik singgung kewenangan
mengadili dan diselesaikan oleh dua forum yang berbeda tidak akan
mendatangkan problema jika putusannya adalah searah atau sama,
manakala putusan yang diberikan oleh masing-masing lembaga
peradilan tidak searah atau berbeda hal ini akan menimbulkan
kekacauan hukum (legal disorder) dan ketidakpastian hukum.
Kedepan perlu dicari formula yang tepat forum yang dapat
menyelesaikan secara tuntas sengketa pertanahan baik dari aspek
hukum publik maupun hukum perdata secara simultan, mengingat
sengketa pertanahan dari tahun ke-tahun menempati rangking 1
(pertama) dari jumlah perkara yang masuk dan diputus di lingkungan
pengadilan tata usaha negara, hal ini dapat terlihat dari statistik
perkara peradilan tata usaha negara di seluruh Indonesia tahun 2011
dan tahun 2012 sebagai berikut : 10

10
Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Statistik Perkara Peradilan Tata
Usaha Negara Tahun 2012, hal. 115-116, hal. 27..

8
Tabel 1
Jenis-Jenis Perkara Yang Masuk Dan Putus
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Seluruh Indonesia Tahun 2011

No Jenis Perkara Masuk Putus


1. Pertanahan 524 536
2. Kepegawaian 245 231
3. Pajak 16 8
4. Perijinan 128 135
5. Lelang 81 73
6. Tender 24 33
7. Merek 2 2
8. Badan hukum 15 8
9. Kehutanan 11 5
10. Perumahan 7 8
11. Pilkada 61 60
12. Partai Politik 18 12
13. Lingkungan hidup 2 0
14 Pendidikan 5 11
15 Kependudukan / 5 3
Kewarganegaraan
15 Dll 292 2303

9
Tabel 2
Jenis-Jenis Perkara Yang Masuk Dan Putus
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Seluruh IndonesiaTahun 2012.11

No Jenis Perkara Masuk Putus


1. Pertanahan 629 567
2. Kepegawaian 249 232
3. Pajak 6 11
4. Perijinan 127 117
5. Lelang 58 70
6. Tender 40 30
7. Merek 0 0
8. Badan hukum 16 16
9. Kehutanan 8 9
10. Perumahan 1 1
11. Pilkada 95 88
12. Partai Politik 26 27
13. Dan Lain-lain 306 277

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Tahun 2013, jumlah perkara kasasi perdata biasa yang
diterima oleh Mahkamah Agung RI selama kurun waktu tahun 2013
dari peradilan umum seluruh Indonesia diklasifikasi menjadi 13 (tiga
belas) jenis perkara perdata biasa, di antaranya adalah klsifikasi
sengketa tanah jumlah yang masuk 1075 perkara atau 32,77%,

11
Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Statistik Perkara Peradilan Tata
Usaha Negara Seluruh Indonesia Tahun 2013, hal.29.

10
menempati urutan ke 2 (dua) setelah sengketa perbuatan melawan
hukum berjumlah yang berjumlah 1115 perkara atau 33, 99 %.12
Memperhatikan data mengenai jumlah sengketa pertanahan
yang masuk dan diputus di Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan umum sebagaimana tersebut pada tabeli 1 dan tabel 2 di
atas, dapat diambil suatu kesimpulan animo masyarakat begitu tinggi
kepada lembaga peradilan untuk meminta penyelesaian sengketa
pertanahan, baik yang diajukan melalui pengadilan tata usaha negara
maupun yang diajukan melalui perdilan umum, hal ini haruslah
diimbangi dan didukung oleh substansi hukum dan sumber daya
manusia yang handal khususnya para hakim untuk lebih mendalami
dimensi hukum publik dan hukum perdata, termasuk pengetahuan
yang berkaitan dengan substansi sengketa pertanahan.

1.2. Rumusan Masalah


Bertolak dari judul penelitian dan latar belakang masalah
sebagaimana diuraikan atas, maka isu sentral dan sekaligus menjadi
judul dalam penelitian ini adalah “Titik Singgung Kewenangan
Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Dalam
Sengketa Pertanahan” adalah untuk menganalisis aspek kewenangan
peradilan tata usaha negara dan peradilan umum dalam sengketa
pertanahan. Berdasarkan isu sentral tersebut maka dapat dirumuskan
permasalahan hukum berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang menjadi ruang lingkup kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam
dalam sengketa pertanahan ?.
2. Bagaimanakah kriteria-kriteria untuk menentukan
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan

12
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Tahun 2013, hal. 23.

11
umum dalam sengketa pertanahan yang di dalamnya
mengandung titik singggung kewenagan mengadili ?.

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis keberadaan instrumen hukum, ruang lingkup
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum dalam
sengketa pertanahan, dan untuk mengetahui, memahami, dan
menganalisis kriteria-kriteria apa yang dapat menentukan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam sengketa
pertanahan yang mengandung titik singgung kewenangan mengadili.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi kepentingan teoretis dan praktis. Kontribusi untuk kepentingan
teoretis memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum administrasi berupa konsep dan teori
yang berkaitan dengan kewenangan badan peradilan. Kontribusi
secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi masyarakat, praktisi hukum khususnya hakim dalam
mengenali aspek-aspek hukum publik dan aspek-aspek hukum perdata
dalam mengadapi sengketa pertanahan.

1.5. Metode Penelitian


Secara harfiah metode berarti menggambarkan jalan atau
cara totalitas yang ingin dicapai dan dibangun,13 metode sebagai suatu
jalan atau cara juga dikemukakan oleh Van Peursen, metode secara
harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus

13
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005, hal. 635.

12
ditempuh, menjadi : penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut
suatu rencana tertentu.14
Berdasarkan arti secara harfiah dan perkembangan arti dari
metode tersebut, maka metode mempunyai peranan yang sangat
penting dalam suatu penelitian, yaitu sebagai pemandu bagi seorang
peneliti dalam melaksanakan proses penelitian.
Penelitian dengan judul “Titik Singgung Kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Dalam
Sengketa Pertanahan”, sesuai dengan penugasan dari Puslitbang
Kumdil Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI adalah
merupakan penelitian kepustakaan. Penelitian yang berbasis
kepustakaan adalah merupakan salah satu bentuk dari penelitian
hukum doktrinal.15 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
hukum doktrinal yang berbasis kepustakaan menurut Khusbal Vibhute
dan Filipos Aynalem adalah :
1. Aims to study case law and statutory law, with a view to find
law ( bertujuan mempelajari putusan hakim dan peraturan
perundang-undangan dengan maksud untuk menemukan
hukum).
2. Aims at cosistency and certainty of law, (bertujuan untuk
menemukan konsistensi dan kepastian hukum).
3. (to some extenc) looks into the purpose and policy af law that
exists, (tujaun penelitian hukum doktrinal diantaranya
diperluas untuk melihat tujuan dan kebijakan hukum yang
ada) dan

14
Van Peursen dalam Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif , Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal.26.
15
Khusbal Vibhute dan Filipos Aynalem dalam Dyah Ochtorina
Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hal. 11

13
4. Aims to study legal institution (mempelajari lembaga-lembaga
hukum).16

Tujuan penelitian hukum doktrinal pada angka 1, 2, 3, dan 4


tersebut di atas dalam penelitian ini akan tergambar dalam uraian
materi bab-bab selanjutnya dari laporan penelitian ini. Adapun metode
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Pendekatan Masalah
Dalam rangka menganalisis permasalahan, peneltian ini
menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan peraturan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan
dengan cara mengkaji dan memahami konsep-konsep hukum yang
berkaitan judul penelitian dan isu hukum dalam penelitian ini.
Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)
dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis secara mendalam
berbagai macam peraturan perundang-undangan yang ada
hubungannya dengan judul dan isu hukum dalam penelitian ini.
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara
mengkaji dan menganalisis putusan badan peradilan peradilan yang
ada hubungannya dengan judul dan isu hukum dalam penelitian ini.

2. Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini,
adalah terdiri dari bahan hukum primair dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan
dalam arti yang luas, khususnya yang ada hubungannya dengan judul
dan isu hukum dalam penelitian ini, sedangkan baahan hukum

16
Ibid, hal. 11-12.

14
sekunder meliputi, literatur, jurnal, makalah, majalah ilmu hukum,
hasil seminar, dll.

3. Langkah-Langkah Penelitian
Langkah-langkah dalam penelitian ini meliputi, penyusunan
proposal penelitian, seminar judul dalam Focus Discusion Group
(FGD), pelaksanaan penelitian yaitu menghimpun bahan-bahan
hukum, mempelajari dan menganalisa bahan-bahan hukum, seminar
hasil melalui Focus Discusion Group (FGD), dan penulisan laporan
penelitian.

15
16
BAB II
FORUM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

2.1. Pengertian Sengketa Pertanahan


Penggunan istilah “sengketa” dalam konteks Peradilan Tata
Usaha Negara mempunyai arti yang khusus, yaitu dikaitkan dengan
fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara untuk menilai perbedaan
pendapat mengenai penerapan hukum,17 sedangkan dalam konteks
Peradilan Umum istilah yang sering dipergunakan adalah istilah
“perkara”.
Secara ius constituendun menurut Pasal 1 angka 1 Rancangan
Undang-Undang Tentang Pertanahan, yang dimaksud dengan
pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran,
penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan
tanah, serta perbuatan mengenai tanah yang di atur dengan hukum
tanah.18 Tanah menurut Penjelasan Pasal 4 ayat 1 jo Penjelasan Pasal
1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria ( Lembaran Negara 1960-104 Tambahan lembaran
Negara Nomor 2043) adalah permukaan bumi. Pengertian Tanah
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 Pasal 1 angka 4 diperluas
tanah tidak saja berkaitan dengan permukaan bumi akan tetapi
termasuk ruang atas tanah dan bawah tanah.
Sengketa pertanahan telah diberikan pengertian secara otentik
oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Pertanahan, di dalam Pasal 1 angka 1, dijelaskan yang di
maksud dengan sengketa rertanahan adalah perbedaan pendapat
mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran
hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti

17
Penjelasan Umum Angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
18
Rancangan Undang-Undang Tentang Pertanahan, Pasal 1 angka 1.

17
haknya antara para pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara
pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional.
Pengertian pertanahan di dalan Pasal 1 anglka 1 Rancangan
Undang-Undang Tentang Pertanahan lebih luas jika dibandingkan
dengan ruang lingkup pertanahan sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 1 angka 1 PMNA/KBPN Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Pertanahan.

Tabel 3
Diferensiasi Ruang Lingkup Pertanahan
Pasal 1 angka 1
Pasal 1 angka RUU
PMNA/KBPN
Pertanahan
No. 1 Th. 1999
Ruang  pendaftaran,  keabsahan suatu hak,
Lingkup  penyediaan,  pemberian hak atas
Pertanahan  peruntukan, tanah,
 penguasaan,  pendaftaran hak atas
 penggunaan. tanah.
 Pemeliharaan tanah,  termasuk peralihannya
serta dan
 perbuatan mengenai  penerbitan tanda bukti
tanah. haknya

Unsur-unsur persamaannya ada pada ruang lingkup


pendaftaran hak, perbuatan mengenai tanah dapat disamakan
dengan peralihan. Sengketa pertanahan sangat dimungkinkan timbul
di dalam ruang lingkup sebagaimana disebutkan di dalam ruang
lingkup Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Pertanahan
maupun di dalam ruang lingkup sebagaimana disebutkan di dalam
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan
pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Petanahan.

18
Kegiatan yang bersifat administratif dalam proses pendaftaran
hak atas tanah dapat dilakukan perincian sebagai berikut :
 Kegiatan yang bersifat administratif sebekum penerbitan
sertifikat hak atas tanah meliputi :
1) Konversi Hak Atas Tanah.
2) Pengakuan dan Penegasan Hak Atas Tanah
3) Pemberoan Hak Atas tanah
4) Penolakan Hak Atas Tanah.
5) Redribusi Tanah dan Konsolidasi tanah
6) Perwakapafan tanah.
 Kegiatan yang bersifat administrtaif setelah penerbitan
sertifikat.
1) Peralihan hak Atas Tanah
2) Pemindahan Hak Atas Tanah
3) Perpanjangan waktu Hak Atas Tanah.
4) Pembaharuan Hak Atas Tanah.
5) Perubahan Hak Atas Tanah.
6) Pembatalan Hak Atas Tanah.
7) Pencabutan Hak Atas Tanah.
8) Pembebanan Hak Atas tanah.
9) Perubahan Data Karena Putusan dan Penetapan
Pengadilan.
10) Perubahan Data Karena Perubahan Nama.
11) Hapusnya Hak Atas Tanah.
12) Penggantian Sertifikat
 Kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan
sertifikat
1) Pemecahan Bidang Tanah.
2) Pemisahan Bidang Tanah.

19
3) Penggabungan Bidang Tanah.19

Pengertian sengketa pertanahan sebagaimana dirumuskan di


dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala
Badan pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Petanahan telah mengakomodir pengertia
sengketa dalam arti yang khusus dalam konteks Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu sama-sama diberi arti “perbedaan pendapat” , dilihat
dari aspek subjektum litis telah mengakomodir subjektum litis pada
perkara di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu
“antara para pihak-pihak yang berkepentingan” sebagai subjektum
litis pihak yang berperkara di Peradilan Umum dan antara “pihak
yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional” sebagai subjektum litis pihak yang
bersengketa di Peradilan Umum. Dilihat dari objectum litis tidak
terakomodir objectum litis pada Peradilan Tata Usaha Negara yaitu
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Sengketa pertanahan menurut Sarjita adalah, perselisihan yang
terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-
pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanah, yang
diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadila.20 Pengertian
sengketa pertanahan yang dikemukakan oleh Sarjita tersebut tepat jika
dikaitkan dengan sengketa pertanahan dari aspek hukum perdata,
sedangkan dari aspek sengketa hukum publik/ administrasi tidak
nampak. Sengketa pertanahan dari aspek hukum publik/administrasi
adalah sengketa antara warganegara yang kepentingannya dirugikan
oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat

19
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Raim Lubis, Hukum Pendaftaran
tanah, cv Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 210-212.
20
Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan,
Tugojogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, hal. 8.

20
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang ada hubungannya
dengan pertanahan.

2.2. Wewenang Lembaga Peradilan Dalam Penyelesaian


Sengketa Pertanahan
Untuk menyatakan apa yang menjadi wewenang lembaga-
lembaga peradilan di dalam buku-buku kepustakaan dan dalam
praktek persidangan sehari-hari secara simultan, diberi makna yang
sama atau sejajar dipergunakan beberapa istilah yang berbeda di
antaranya adalah :
1. kompetensi.
2. Yurisdiksi.
3. Wewenang.
4. Kekuasaan
Secara historis pada era kerajaan Romawi, yaitu pada abad ke
3 (tiga), para ahli hukum profesional (juri) telah menggunakan istilah
imperium untuk kekuasaan dan iurisdictio untuk hakim.21 Pada
awalnya iurisdictio dipergunakan untuk istilah yang berhubungan
dengan otoritas hakim untuk memulihkan hukum sipil.22 Dalam
perkembangannya istilah iurisdictio yang dalam bahasa Belanda
jurisdictie, dalam bahasa Inggris jurisdiction, dan dalam bahasa
Indonesia yurisdiksi dipergunakan untuk menentukan wilayah atau
daerah kekuasaan hukum daripada pengadilan, baik yang menyangkut
kekuasaa absolut maupun yang relatif.
Pengkajian dari aspek Hukum Tata Negara dan hukum
administrasi, wewenang mempunyai kedudukan yang sangat penting,
oleh karena merupakan konsep inti sebagaimana dikemukakan oleh
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbek, Het begripbevoegdheid is dan ook

21
Rowe & Scholfield, The Cambridge History of Greek and Roman
Political, diterjemahkan oleh Aris Ananda, Setyo hermanto, Tri Wibowo, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, cet. Pertama, hal. 743.
22
Ibid, hal. 750.

21
een kernbegrif in het staats-en admistratief recht.23 Kekuasaan dan
wewenang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi dari setiap cabang
kekuasaan, tanpa kekuasaan dan wewenang organ dari cabang
kekuasaan tidak akan berfungsi ibarat benda mati yang memberi ruh
adalah keuasaan atau wewenang.
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia
buah karya N. E. Algra, et.al secara tajam membedakan istilah
bevoegdheid (competentie) dalam arti wewenang dengan macht
dalam arti kekuasaan. Penggunaan istilah bevoegdheid menunjuk
kepada wewenang pengadilan yang bersifat absolut maupun
wewenang relatif,24 sedangkan untuk istilah macht dikaitkan dengan
istilah rechterlijk menunjuk kepada kekuasaan kehakiman dalam arti
keseluruhan badan-badan resmi kehakiman dan para pejabat
pengadilan yang menjadi bagian dari fungsi kehakiman sebagai bagian
dari ketatanegaraan, dan pelaksananya.25 Berdasarkan diferensiasi
tersebut maka istilah macht maknanya lebih luas jika dibandingkan
dengan bevoegdheid (competentie).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menggunakan 2
(dua) istilah, yaitu pertama “Kekuasaan Pengadilan” hal ini dapat
terlihat dalam judul dari Bab III, kedua istilah “wewenang” hal ini
dapat terlihat dari rumusan Passl. 47, Pasal 48 ayat (2),Pasal 50,

23
F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het staats-en
Administratief Recht, Alphen aan den Rijn, Samson H.D. Samson H,D.
TjeenkWillik : Samson H.D.Tjeenk Willink, 1985 , p. 26.
24
N.E. Algra, et al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-
Indonesia, Binacipta, 1983, hal. 51. lihat pula Martin Basiang dalam The
Contemporary Law Dictionary First Edition, hal. 34, lihat pula Sugeng
Riyanto, et al, Bahasa Belanda Sebagai Bahasa Sumber Hukum Privatrecht,
Staatrecht Administratiefrecht, Erasmus Taalcentrum, Jakarta, hal.
25
Ibid, hal. 283

22
Pasal 51, Pasal 49, dan Pasal 77. Di dalam bab III dengan judul
“Kekuasaan Kehakiman” di dalam Pasal 52 di sisipkan mengenai
fungsi pengawasan dari lembaga peradilan (toezicht fungtie).
Penggunaan istilah wewenang dalam undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara dikaitkan dengan fungsi untuk mengadili (judiciel
functie), istilah “kekusaan pengadilan” di dalam undag-undang
Peradilan Tata Usaha Negara dipergunakan untuk menunjuk fungsi
mengadili dan fungsi pengawasan, dengan demikian dapat dirumuskan
sebagai berikut :

Kekuasaan Peradilan TUN = Fungsi (mengadili + Pengawasan)

Kekuasaan Peradilan Umum = Fungsi (Mengadili + Penasehatan + Pengawasan )

Kekuasaan Peradilan Umum = Fungsi (Mengadili+Penasehatan+Pengawasan)

Undang-Undang Nmor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah


diubabh beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum menggunakan 2 istilah yaitu,
pertama istilah “Kekuasaan Pengadilan” dapat dilihat dari judu Bab
III Kekuasaan Pengadilan, kedua istilah “Wewenang” dapat dilihat
dari rumusan Pasal 50, Pasal 51 terkait dengan fungsi mengadili
(judiciel fungtie), Pasal 52 terkait dengan fungsi penasehat, dan Pasal
53 dan Pasal 54 terkait dengan fungsi pengawasan (toezicht fungtie),
dengan dengan dapat dirumuskan sebagai berikut :

2.2.1. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara


Secara expressis verbis di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor

23
51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak
terdapat penyebutan tentang wewenang Peradilan Tata Usaha Negara
untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa
pertanahan.
Subjectum litis dalam Sengketa Tata Usaha Negara adalah
orang atau badan hukum perdata {vide Pasal 53 ayat (1)} melawan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara {vide Pasal 1 angka (8)}
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dalam perkembangan praktek peradilan tata usaha
negara Badan atau Pejabat Tata Usaha dapat menjadi Penggugat
dalam hal mempertahankan hak-hak keperdataan yang dimiliki oleh
suatu institusi, dan sebaliknya dalam praktek orang atau badan hukum
perdata dapat didudukkan sebagai Tergugat melalui lembaga
intervensi. Dalam sengketa Keterbukaan Informasi Publik sudah
diberi landasan yuridis bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dapat bertindak sebagai penggugat untuk memohon pembatalan
Putusan non ajudikasi dari Komisi Imformasi.
Objkctum litis, dalam Sengketa Tata Usaha Negara adalah
berupa Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 1 angka 9 dengan perluasan (expantion)
Pasal 3 yang dikenal dengan istilah Keputusan Fiktif Negatif, dengan
pembatasan langsung (direct retriction) yaitu ketentuan di dalam Pasal
2 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Fundamentum fetendi, sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa dalam bidang hukum publik, dengan demikian di dalam
fundamentum petendi harus tergambar dengan jelas bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan atau bertentangan dengan asas-asas umum

24
pemerintahan yang baik {vide Pasal 53 ayat (2) sub a dan b} Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dikatakan mengandung
cacat yuridis atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku apabila, pertama, dikeluarkan oleh badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang tidak berwenang, kedua melanggar peraturan
perundang-undangan yang bersifat prosedural formal, dan ketiga
melanggar peratutan perundang-undangan yang bersifat material /
substansial.
Fundamentun petendi dalam hal gugatan didasarkan atas
ketentuan Pasal 3 adalah sikap diam dari Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara padahal ada kewajiban dan wewenang untuk
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dan atau sikap diam
terhadap permohonan yang diajukan oleh orang atau badan hukum
perdata padahal ada kewajiban dan wewenang untuk mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara.
Petitum gugatan dalam Sengketa Tata Usaha Negara adalah
berisi tunttutan agar Keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau direhabilitasi, petitum lain yang dapat dimintakan oleh
Penggugat sesuai ketentuan Pasal 97 ayat (9) adalah :
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru.
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Ruang lingkup sengketa pertanahan yang meliputi
pendaftaran, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan,
pemeliharaan tanah, serta penerbitan tanda bukti hak dimungkinkan
menjadi Sengketa Tata Usaha Negara jika memenuhi syarat subjectum

25
litis, objctum litis dan fundamentun petendi sebagaimana diuraikan
diatas. Misalnya penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah, Surat
Keputusan Pemberian Hak, Surat Keputusan Penolakan Pemberian
Hak, Surat Keputusan Perpanjangan / Penolakan Hak Atas Tanah, dll.

2.2.2. Wewenang Peradilan Umum


Wewenang Pengadilan Negeri dilihat dari fungsi mengadili
(judiciel functie) ditentukan di dalam Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Unfdang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 dan diubah
lagi dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum menentukan : Pengadilan Negeri bertugas
dan berwenang menerima, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perkara perdata.
Ketentuan Pasal 50 tersebut sudah membakukan istilah
“perkara” bukan sengketa dengan istilah “sengketa” seperti di
Peradilan Tata Usaha Negara, kata perkara menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia versi online bermakna masalah atau persoalan.26
perdata bermakna hubungan antara orang perorangan dan atau
hubungan dengan badan hukum perdata (rechtspersoon).
Dari aspek teoretis dan aspek praktik, perkara perdata dapat
dibedakan menjadi perkara perdata yang mengandung unsur
perselisihan (contentius) atau perkara perdata yang sesungguhnya
(murni) di dalamnya terdapat para pihak yaitu pihak Penggugat dan
pihak Tergugat, dan perkara perdata yang tidak mengandung unsur
perselisihan (voluntair) atau disebut juga dengan perkara perdata yang
tidak sesungguhnya (semu), oleh karena di dalamnya tidak terdapat

26
http://kbbi.web.id/perkara, Kamus versi online/daring (dalam
jaringan).

26
para pihak yang ada hanya satu pihak saja yaitu Pemohon. Misalnya
dalam permohonan pengangkatan anak, penetapan ganti nama dll.
Dalam perkara pertanahan sesuai dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI tanggal 6 April 1978 Nomor : 1341
K/SIP/197427, memuat kaidah hukum sebagai berikut ; Pengadilan
tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan
penetapan “hak atas tanah” tanpa adanya sengketa atas hak tersebut,
yurisprudensi ini telah diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung
berikutnya yaitu tanggal 11 Mei 1987 Nomor : 1210 K/PDT/198528
memuat kaidah hukum sebagai berikut ; Pengadilan Negeri yang telah
memeriksa/ memutus permohonan tentang penentuan hak atas tanah
tanpa suatu sengketa, menjalankan yurisdiksi voluntair yang tidak ada
dasar hukumnya, permohonan tersebut seluruhnya dinyatakan tidak
dapat diterima.
Klasifikasi perkara perdata menurut Mahkamah Agung
Republik Indonesia terdiri dari, pertama perkara perdata, dan kedua
perkara perdata khusus.29 Perkara perdata diklasifikasi lagi menjadi :
1. Perbuatan melawan hukum.
2. Sengketa tanah.
3. Perlawanan (sita, eksekusi, lelang).
4. Perjanjian/kontrak.
5. Wanprestasi.
6. Perceraian.
7. Warisan.
8. Bantahan terhadap penetapan
9. Harta bersama
10. Saham.

27
http:/jdih,mahkamahagung,go.id/v2/beranda/database/3.-
Yurisprudensi /Perdata/Tahun 1974
28
Ibid. Tahun 1985.
29
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI
2013, hal. 23. 24.

27
11. Yayasan.
12. Class action.30

Untuk perkara perdata khusus diklasifikasi lagi menjadi :


1. PHI.
2. Kepailitan.
3. Haki.
4. Parpol.
5. KPPU.
6. BPSK.
7. Arbitrase.
8. PKPU.
9. Sengketa Informasi.31
Aspek keperdataan dalam sengketa pertanahan adalah
berkaitan dengan status keabsahan suatu hak atas tanah, peralihan hak
atas tanah, pembebanan suatu hak atas tanah, dan perbuatan melawan
hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad/OOD) yang
dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkaitan
dengan sengketa pertanahan. Pengadilan Negeri dalam Menjalankan
yurisdiksi sengketa pertanahan tidak berwenang menggunakan acara
pemeriksaan secara voluntair harus dengan acara pemeriksaan
contentius.

30
Ibid, hal. 23.
31
Ibid, hal. 24.

28
BAB III
BATAS KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA
NEGARA DAN PERADILAN UMUM DALAM SENGKETA
PERTANAHAN

3.1. Pengertian Titik Singgung Kewenangan Mengadili.


Sebagaimana diuraikan di dalam latar belakang masalah,
dalam sengketa pertanahan terdapat titik singggug kewenangan
mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.
Sengketa pertanahan yang mengandung titik singgung kewenangan
mengadili antara lain berkaitan dengan Sertifikat Hak Atas Tanah.
Konsep titik singgung kewenangan mengadili merupakan
konsep yang timbul dan populer di dalam praktek peradilan. Dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah
Agung, serta di dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
dan Undang-Undang Peradilan Umum tidak terdapat konsep yuridis
mengenai titik singgung yang dikenal adalah konsep yuridis “sengketa
kewenangan mengadili”.
Titik singgung kewenangan mengadili adalah, terkaitnya
kewenangan dua lembaga peradilan dalam suatu sengketa dalam
obyek tertentu yang sedang berjalan pada salah satu lembaga peradilan
atau yang berjalan secara simultan. Titik singgung akan melahirkan
batas-batas kewenangan mengadili antara 2 (dua) lembaga peradilan.

29
Sengketa Sertifikat Hak Atas Tanah

Kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara
Kewenangan
Peradilan umum

Titik Singgung

3.2. Batas Kewenangan Mengadili Sengketa Pertanahan Antara


Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum
Menurut Doktrin

Pandangan yang cukup populer dan tidak asing di kalangan


Hakim Peradilan Tata Usaha Negara pada awal-awal berdirinya
Peradilan Tata Usaha Negara dan merupakan bahan yang diberikan
pada Pelatihan Tekhnis Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah
pendapat dari Olden Bidara mantan Ketua Muda Bidang Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengemukakan sebagai berikut :
Adalah wewenang pula dari Badan Peradilan tata Usaha
Negara untuk memeriksa dan memutus tentang keputusan / penetapan
atau memo atau nota dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
termasuk tentang sertifikat hak milik atas tanah. Bila Sertifikat ini
dinyatakan batal atau tidak sah oleh Badan Peradilan Tata
Usaha Negara {Pasal 53 (1) Undang - Undang Nomor 5 Tahun1986},
maka dengan sendirinya hal ini secara tidak langsung dapat
memberikan dampak atau kepemilikan tanah yang bersangkutan.
Akan tetapi untuk menentukan siapa nanti menjadi pemilik yang sah

30
atas tanah tersebut, bukanlah wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara.32
Untuk menentukan batas mana yang menjadi wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara dan mana yang menjadi wewenang
Peradilan Umum dalam sengketa pertanahan terkait dengan penerbitan
sertifikat menurut H. Eddy Pranjoto WS setelah meramu pendapat dari
Philipus M. Hadjon dan Indroharto memberikan pendapat sebagai
berikut :
Sertifikat hak atas tanah yang berasal dari adanya penetapam,
yaitu pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah negara
dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai dan hak pengelolaan, termasuk tanah negara yang
menjadi objke landreform dan hak-hak yang diberikan
menurut Pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun
1997, tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 tahun 1997,
tentang Pendaftaran tanah. Penetapan yang kemudian
menerbitkan sertifikat hak atas tanah tersebut oleh Philipus M.
Hadjon disebut dengan keputusan tata usaha negara
konstitutif, sedangkan sertifikat yang berasal dari tanah adat
disebut sebagai keputusan tata usaha negara deklaratif.
Indroharto mengartikan konstitutif yaitu keputusan tata usaha
negara yang melahirkan atau menghapuskan suatu hubungan
hukum dan deklarator yaitu untuk menetapkan mengikatnya
suatu hubungan hukum. Apabila mengikuti pandanagn
tersebut, maka terhadap keputusan BPN yang bersifat
konstitutif bila terjadi sengketa yang berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan yaitu Badan Peradilasn Tata

32
Olden Bidara, Beberapa Titik Singgung Antara Pengadilan Tata
Usaha negara dan Pengadilan Negeri, tanpa penerbit dan tanpa tahun.

31
Usaha Negara, sedangkan yang bersifat deklaratif menjadi
wewenang Badan Peradilan Umum.33
Irawan Soerodjo mengemukan, batas kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam menyelesaikan
sengketa pertanahan sertifikat dapat dilihat dari sisi aspek perbuatan
hukum yang melahirkan keputusan .
Jika ditinjau dari aspek perbuatan hukum hak atas tanah yang
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
sebagai perbuatan perdata, maka gugatan terhadap tindakan
hukum tersebut menurut pendapat saya adalah merupakan
kompetensi peradilan umum dan karenanya harus diajukan ke
Pengadilan Negeri. Hal tersebut adalah dengan pertimbangan
jika ditinjau dari aspek hukum materiil maka transaksi
tersebut adalah dalam lingkup hukum perdata dan karenanya
merupakan kopetensi Peradilan Umum. 34
Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan yang telah memperoleh
wewenang atas dasar pendelegasian wewenang pemerintahan
tersebut menerbtikan keputusan Tata Usaha Negara yang
kemudian menjadi obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha
Negara maka Kepala Kantor Pertanahan menurut hukum
harus dianggap bertanggung jawab atas terbitnya keputusan
Tata Usaha Negara tersebut dan karenanya ia dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara.35
Sertifikat tanah merupakan refleksi dari suatu penetapan
tertulis sehingga setiap adanya gugatan berhubungan dengan

33
H. Eddy Pranjoto W.S., Antinomi Norma Hukum Pembatalan
Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan badan
Pertanahan Nasional, CV. Utomo, Bandung, 2006, hal. 111
34
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,
Arkola, Surabaya, 2003, hal. 205.
35
Ibid, hal.205-206.

32
sertifikat tanah menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara.36
Metode lain untuk menentukan batas kewenangan Peradilan
Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sengketa pertanahan
adalah dengan jalan melihat kualifikasi perbuatan apa yang dilakukan
dan lingkup peraturan apa yang dilanggar.37 Bila menyangkut hukum
perdata maka peradilan perdatalah yang berwenang
menyelesaikannya, tetapi bila yang dilanggar peraturan hukum
administrasi negar maka peradilan administrasilah yang berwenang
menyelesaikannya.38
Berdasarkan doktrin-doktrin tersebut di atas terdapat
keseragaman (koherensi) pendapat yaitu terkait dengan sengketa
pertanahan penyelesaiannya merupakan wewenang 2 (dua) lingkungan
kekuasaan pengadilan yang berbeda yaitu Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan Umum, akan tetapi menyangkut ukuran mana
yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
umum satu sama lain berbeda, dengan menggabungkan doktrin-
dokterin tersebut dapat diperoleh cara untuk menentukan kompetensi
peradilan adalah dengan cara :
1. Substansi yang disengketakan menyangkut hak atau tidak
2. Melihat asal usul penerbitan sertifikat (deklaratur atau
konstitutif)
3. Dilihat dari aspek perbuatan hukum (rechtshandeling)
yang melahirkan penerbitan sertifikat.
4. Dengan melihat kualifikasi perbuatan hukum dan
peraturan apa yang melahirkan penerbitan sertifikat.

36
Ibid, hal. 207.
37
Sarjita dan Hasan basri Nata Menggala, op.cit.hal. 78.
38
Ibid.

33
3.3. Batas Kewenangan Mengadili Sengketa Pertanahan Antara
Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum
Menurut Judicial Policy Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Judicial policy yang dimaksud adalah ketentuan kebijakan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, seperti
Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI), Petunjuk
Pelaksanaan, Pedoman Tekhnis, dan pengarahan-pengarahan tertulis
Pimpinan Mahkamah Agung RI di dalam forum-forum resmi.
Cukup banyak judicial policy yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung RI terkait dengan masalah sengketa pertanahan,
hal ini menunjukkan betapa seriusnya masalah sengketa pertanahan
karena menyangkut 2 (dua) lingkungan peradilan yang berbeda disatu
sisi, dan di sisi lain Mahkamah Agung RI sebagai puncak dari seluruh
lembaga peradilan yang ada di Indonesia wajib menjaga kesatuan
hukum (eenheid in de recht-praak).

3.3.1. Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung RI Nomor


: 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Pada angka V.1. Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung RI
Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 tentang
kewenangan hakim Peradilan Tata Usaha negara dan hakim Peradilan
umum dalam memeriksa sengketa tanah yang diajukan dalam waktu
yang bersamaan memberikan pedoman dan petunjuk sebagai berikut :
Kalau terjadi gugatan mengenai tanah diajukan ke
peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
dalam waktu yang bersamaan, maka yang menjadi
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara hanya
mengenai sertifikat tanahnya, apakah prosedur penerbitan
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Sedangkan mengenai soal kepemilikan adalah wewenang
dari Peradilan Umum.

34
Dengan demikian tidak perlu menunggu putusan
mengenai tanah tersebut milik siapa.39

Pembatasan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk


mengadili sengketa pertanahan yang dibatasi hanya pada aspek
prosedural/formal penerbitan sertifikat, ha ini bermakna
mempersempit keberlakuan norma Pasal 53 ayat (2) sub a Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, di dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) sub a Undang-Undang
tersebut ruang lingkup pengujian norma kongkrit indivudial oleh
Peradilan Tata Usaha Negara tidak asaja dari aspek prosedural, akan
tetapi meliputii aspek material/substansial dan wewenang.

3.3.2. Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor : 41/Td.TUN/V/1996
Petunjuk pelaksanaan Nomor : 41/Td.TUN/V/1996 ini
merupakan hasil dari rumusan diskusi pelatihan tehnis yustisial
Hakim Peratun di Batu Malang tentang Keputusan Tata Usaha Negara
yang berkaitan dengan masalah pertanahan. memberikan petunjuk di
dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa atas
sertifikat aspal dan sertifikat ganda sebagai berikut :
Dalam hal diajukan gugatan terhadap sertifikat aspal atau
sertifikat ganda ke Peratun maka Hakim TUN tidak
harus menunggu penyelesaian perkara pidana atau
perdatanya, melainkan dapat langsung memberikan
putusan tentang sah tidaknya atau batalnya penerbitan
sertifikat tersebut, kecuali jika ada satu atau dua perkara

39
Gunawan Wanaradja, Kompilasi Pranata Peradilan Tata Usaha
Negara, Penerbit Pustaka, Bandung. Hal. 424.

35
yang benar-benar di dalam penyelesaiannya harus
menunggu perkara perdata atau pidana.40
Persamaan antara Petunjuk Pelaksanaan Mahkamah Agung
RI Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 dengan Pada angka V. Mahkamah
Agung RI Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 adalah Peradilan Tata Usaha
Negara tidak perlu menunggu putusan Peradilan umum dalam
menngadili sengketa tanah.

3.3.3. Buku II Pedoman Teknis Administrasi Dan


Teknis Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai pedoman administrasi dan pedoman teknis bagi
jajaran Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Buku II tersebut,
terdapat bagian pada huruf AA. b.yang memberikan pedoman yang
berkaitan dengan permasalahan titik singgung wewenang peradilan
terkait dengan sertifikat tanah sebagai berikut :
Suatu bidang tanah diterbitkan dua sertifikat, yaitu atas nama
A dan B, Akibatnya timbul sengketa yaitu A menggugat kantor
pertanahan atas terbitnya sertifikat atas nama B ke Pengadilan TUN,
dan B menggugat A Ke Pengadilan Negeri tentang kepemilikan.
Kedua perkara tersebut tidak dapat berjalan secara bersamaan,
karena sertifikat adalah tanda bukti kepemilikan / hak atas tanah, maka
sebelum seseorang mengajukan gugatan tentang keabsahan sertifikat
ke Pengadilan TUN, sepanjang masih dipersoalkan tentang
kepemilikan / hak atas tanah yang bersangkutan, terlebih dahulu harus
dibuktikan secara hukum siapa sebenarnya yang mempunyai
kepemilikan/hak atas tanah tersebut.
Dengan demikian, Pengadilan TUN harus menyatakan tidak
berwenang dan tidak dapat mengadili perkaranya (di-NO).41

40
Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
Gema Peratun, Tahun IV No. 9 Triwulan IV, Februari 1997, hal. 158.
41
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis
Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Edisi 2009, Jakarta, hal. 78-79.

36
Pedoman di dalam Buku II ini menggeser Petunjuk
Pelasanaan Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Petunjuk pelaksanaan Nomor : 41/Td.TUN/V/1996 sengketa
pertanahan tidak bisa berjalan secara bersamaan di Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Umum.
Pedoman lain di dalam Buku II yang menyangkut kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara dalam mengadili sengketa pertanahan
diberi petunjuk sebagai berikut :
Apabila yang dipersoalkan oleh penggugat bukan tentag
kepemilikan atas tanah, melainkan prosedur penerbitan sertifikat oleh
kantor pertanahan yang mengandung cacat yuridis, karena
diterbitkan secara bertentangan dengan aturan hukum yang
menjadi dasar penerbitan atau bertentangan dengan AAUPB,
maka Hakim TUN harus jeli dengan melihat objectum litis yang
menjadi dasar gugatan. Dalam Hal yang demikian sesuai praktek dan
yurisprudensi, Pengadilan TUN berwenang untuk memeriksa
perkaranya. 42
Ukuran untuk menentukan batas wewenang Peradilan Tata
Usaha Negara berdasarkan Buku II Pedoman Pedoman Teknis
Administrsai Dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Persoalan yang digugat bukan tenatng kepemilikan,
melainkan prosedur penerbitan sertifikat.
2. Penerbitan sertifikat mengandung cacat yuridis, yang
diterbitkan secara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
3. Objectum litis sesuai dengan objek Sengketa Tata Usaha
Negara.
Dalam hal ukuran tersebut terpenuhi Peradilan Tata Usaha Negara
berwenang untuk memeriksa perkara pertanahan.

42
Ibid , hal. 79.

37
3.3.4. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07
Tahun 2012
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012
ini adalah untuk memberi legalisasi terhadap hasil Rapat Pleno Kamar
Chandra yang dilaksanakan pada tanggal 11 sampai dengan tanggal
13 April 2011, di dalam rapat Pleno tersebut telah dirumuskan ukuran
atau kriteria untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa
tata usaha negara atau sengketa perdata (kepemilikan), ukuran-ukuran
yang dapat dipergunakan adalah :
a. Apabila yang menjadi obyek sengketa (objectum litis)
tentang keabsahan KTUN, maka merupakan sengketa
TUN.
b. Apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan
kewenangan, keabsahan prosedur penerbitan KTUN,
maka termasuk sengketa TUN; atau
c. Apabila satu-satunya penentu apakah hakim dapat
menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah
substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi
kewenangan peradilan perdata; atau
d. Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik)
dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat
digolongkan sebagai sengketa TUN.43

Kriteria yang tersebut pada huruf a, dan huruf b sifatnya


terukur untuk diimplementasikandi dalam praktek peradilan tata usaha
negara, sedangkan kriteria yang tersebut pada huruf b dan c sifatnya
tidak terukur, hal ini akan muncul dalam proses jawab menjawab dan
proses pembuktian.

43
Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2012 Tentang
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

38
Dalam proses pemeriksaan persiapan kriteria yang tersebut
pada huruf a dan b biasanya sudah clear sebelum masuk ke acara
pemeriksaan biasa, dalam prakteknya meskipun kriteria pada huruf a
dan b sudah terpenuhi (clear), bisa terjadi setelah proses jawab
menjawab, dan proses pembuktian terdapat aspek hukum perdata yang
muncul kepermukaan, dalam situasi demikian Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara memerlukan pertimbangan dan interpretasi, apakah
aspek perdata tersebut merupakan satu-satunya penentu atau norma
hukum publik dapat menyelesaikan sengketa. Pada akhirnya Hakim
Peradilan Tata Usaha Negara akan melakukan pilihan hukum (choice
of law).

3.4. Yurisprudensi Batas Kewenangan Mengadili


Sengketa Pertanahan Antara Peradilan Tata Usaha
Negara Dan Peradilan Umum
3.4.1. Pengertian Yurisprudensi.
Secara etimologi, yurisprudensi berasal dari bahasa latin, dari
kata ius, iuris artinya hukum44 dan prudentia artinya pengetahuan,45
kata prudentia kemudian menjadi Jurisprudentia yang bermakna
pengetahuan hukum. Bahasa Inggris Jurisprudence berarti ilmu
hukum dan dalam bahasa Jerman menggunakan istilah Jurisprudenz.
Dalam bahasa Belanda Jurisprudentie artinya sejajar dengan
yurisprudensi dalam bahasa Indonesia.
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia
terdapat beberapa pengertian dari istialh jurisprudentie /
yurisprudensi:
1. Peradilan (dalam pengertian umum, pengertian abstrak).

44
K. Prent c. m. et. al. Kamus latin-indonesia, Kanisius, Jogjakarta,
1969, hal. 476
45
Ibid, hal. 698.

39
2. Ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh
Peradilan (sebagai kebalikan dari ajaran hukum/doktrin dari
pengarang-pengarang terkemuka).
3. Pengumpulan yang sistematis dari putusan Mahkamah Agung
dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti
oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal
yang serupa.46

Unsur-unsur dari sebuah yurisprudensi menurut Sudikno


Mertokusumo adalah sebagai berikut :
1. Setiap putusan hakim.
2. Kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari
tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang
pada umumnya diberi annotatie oleh pakar di bidang
peradilan.
3. Pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim
dan dituangkan dalam putusannya.47
Menurut R. Subekti yurisprudensi adalah, putusan-putusan
Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah
Agung sendiri yang sudah tetap (constant).48
Ditinjau dari perspektif wilayah keberlakuannya, Bagir Manan
membedakan sifat antara hukum yurisprudensi dengan putusan hakim.
Hukum yuriprudensi adalah hukum positif yang berlaku
secara umum yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Putusan
hakim adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus berlaku pada

46
Mr. N.E. Algra, et. al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea
Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hal. 228.
47
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 2001, hal. 52.
48
R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1991, cet. Ke 4, hal. 110.

40
subyek yang terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan.
Pada saat putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas
atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan
sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.49
Persamaan antara hukum yurisprudensi dengan putusan
hakim adalah sama-sama bersumber dari putusan hakim. Dalam
sistem common law putusan hakim disebut dengan case law atau
judge made law.

3.4.2. Yurisprudensi Dan Kekuatan Mengikat


Dalam kepustakaan-kepustakaan Pengantar Ilmu Hukum,
sudah menjadi pandangan umum di kalangan para sarjana hukum
bahwa putusan pengadilan (yurisprudensi) merupakan salah satu
sumber hukum dalam arti yang formal disamping undang-undang,
kebiasaan, traktat, dan pendapat ahli hukum (doktrin). Pengertian
sumber hukum dalam arti yang formal berhubungan dengan
pertanyaan “dimanakah kita bisa dapatkan atau temukan aturan-aturan
hukum yang mengatur kehidupan kita itu?50
Kekuatan mengikat suatu putusan hakim terdahulu bagi
hakim yang berikutnya dalam memutus perkara yang sejenis (similiar
similibus), terdapat dua padangan atau aliran, yaitu pandangan
pertama, yaitu aliran yang menganut asas stare decisis atau asas
precedent, menurut aliran ini, hakim berikutnya wajib mengikuti
putusan hakim yang terdahulu dalam hal kasusnya sama, pandangan
kedua, yaitu aliran bebas stare decisis atau bebas precedent
merupakan kebalikan dari aliran stare decisis atau precedent, hakim
berikutnya tidak terikat kepada putusan hakim terdahulu

49
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta,
2004, cetakan pertama, hal. 33
50
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu
Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung, 2000, cetakan ke-1, hal. 54.

41
Abdul Kadir Mappong Mantan Wakil Ketua Mahkamah
Agung Bidang Yudisial mengemukakan, yurisprudensi di Indonesia
tidak bersifat stare decisis tetapi bersifat persuasive yang berarti boleh
disimpangi asalkan saja dipertimbangkan mengapa penyimpangan itu
dilakukan (not binding).51
Yurisprudensi mempunyai persuasive precedent artinya,
kekuatan yang memberi keyakinan, selain bersifat persuasive
precedent, terikatnya hakim di Indonesia terhadap putusan yang
terdahulu yang muatan materinya sama, menurut Paulus Effendi
Lotulung didasarkan atas alasan-alasan (a) memang berpendapat sama
dengan putusan sebelumnya, (b) apabila menyimpang nanti pada
akhirnya akan dibatalkan juga dalam tingkat pemeriksaan yang lebih
tinggi, (c) supaya ada kesatuan terhadap kasus yang sama,52
sedangkan menurut E. Utrecht terdapat 3 (tiga) alasan yang dijadikan
acuan oleh hakim-hakim bawahan untuk mengikuti putusan hakim
yang lebih tinggi yaitu :
1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama
apabila keputusan itu dibuat oleh pengadilan Tinggi atau
oleh Mahkamah Agung… dapat dikatakan : karena suatu
sebab yang psikologis, maka seorang hakim menurut
keputusan seorang hakim lain yang berkedudukan lebih
tinggi
2. Di samping sebab yang psikologis itu ada juga sebab
praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang
telah diberi oleh seseorang hakim yang berkedudukannya

51
Abdul Kadir Mappong, dalam Yurisprudensi MARI Jilid 6 TUN, PT
Pilar Yuris Ultima, Jakarta, 2009, hal. V.
52
Paulus Effendi Lotulung, Yurisprudensi Dalam persfektif
Pengembangan Hukum Administrasi Negara Indonesia. Pidato Pengukuhan
Diucapkan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Ilmu
Hukum Administrasi Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Bogor Tanggal 24 September 1994, dalam Gema Peratun, Tahun II No. 6
November 1994, hal. 105.

42
lebih tinggi. Bila seseorang hakim memberi keputusan yang
isinya berbeda dari pada isi keputusan seorang hakim yang
berkedudukannya lebih tinggi. Yaitu seorang hakim yang
mengawasi pekerjaan hakim yang disebut pertama , maka
sudah tentu pihak yang tidak menerima keputusan itu
meminta apel atau revisi, yaitu naik banding. Pihak yang
tidak menerima keputusan tersebut akan meminta
perkaranya dapat dibawa kemuka hakim itu yang
kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan hakim yang
telah memutuskan perkaranya, dan yang pernah memberi
keputusan mengenai suatu perkara yang coraknya sama
tetapi bunyinya keputusan berlainan.
3. Hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui
isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian
pendapat.53

Alasan huruf a yang dikemukan oleh Paulus Effendi


Lotulung sama dengan alasan pada angka 3 yang dikemukakan oleh E.
Utrecht, untuk alasan pada huruf b dan alasan pada angka 2
penguraiannya berbeda tetapi akhir yang dituju putusan akan
dibatalkan. Ditinjau dari aspek logika, jika Hakim bawahan mengikuti
putusan hakim yang lebih tinggi didasarkan atas argumentasi karena
mempunyai kekuasaan (gezag), bukan disebabkan karena nilai
penalaran, maka argumentasi tersebut termasuk dalam kategori
kesesatan yang bersifat Argumentum ad verecundiam atau
argumentum auctoritatis. Dalam hal hakim bawahan mengikuti
putusan hakim yang lebih tinggi tidak didasarkan atas nilai suatu
penalaran tetapi didasarkan atas alasan jika menyimpang akan
dibatalkan juga termasuk dalam katagori kesesatan yang bersifat
Argumentum ad baculum.

53
E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta,
1983, cetakan kesepuluh, hal. 84-85.

43
3.4.3. Yurisprudensi Batas Kewenangan Peradilan Umum
Dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan.
Batas-batas kewenangan Peradilan Umum dalam
menyelesaikan sengketa pertanahan berdasarkan yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia seperti termuat dalam
yurisprudensi-yurisprudensi yang didasarkan atas tahun putusan dan
diterbitkannya yurisprudensi oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagai berikut :
1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 350 K/Sip/1968,
memuat kaidah hukum sebagai berikut :
Pembatalan surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh
Instansi Agraria secara syah, buaknlah wewenang
Pengadilan melainkan wewenang adminsitrasi, pihak
yang dimenangkan oleh Pengadilan harus meminta
pembatalan surat bukti hak milik itu kepada Instansi
Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
diperolehnya.54
2. Putusan Makamah Agung Nomor 383 K/SIP/1971
tanggal 3 Nopember 1971. Kaidah hukum dari
yurisprudensi tersebut adalah :
Tidak dimintakannya pembatalan hak milik, dalam hal
ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya
gugatan. Menyatakan batal surat bukti hak milik yang
dikeluarkan oleh instansi Agraria secara sah tidak
termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-
mata termasuk wewenang administrasi. Pembatalan
surat bukti hak harus dimintakan oleh pihak yang

54
Mahkamah Agung RI, Ringkasan Yurisprudensi Mahkamah gung
RI, Jakarta, 1993, cet. kedua, hal.274-275.

44
dimenangkan Pengadilan kepada instansi Agraria
berdasarkan putusan pengadilan yang diperolehnya. 55
Catatan :
Yurisprudensi tersebut termasuk dalam kualifikasi
Pembatasan Wewenang Peradilan Umum Secara
Langsung (direct rectriction) dalam sengketa
pertanahan sampai dengan persoalan status hak
(kepemilikan). Mengenai pembatalan surat bukti hak
milik (surat bukti hak milik antara lain adalah Sertifikat
Hak Atas Tanah) tidak menjadi wewenang Peradilan
Umum.
Sebagai perbandingan wewenang pencabutan sertifikat
hak atas tanah tetap menjadi domain dari Badan atau
pejabat Tata Usaha Negara meskipun Peradilan Tata
Usaha Negara di dalam amar putusam telah
membatalkan atau dinyatakan tidak sah sertifikat hak
atas tanah.
3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 716 K/Sip/1973
tanggal 5 September 1973,
kaiedah hukum dari yurisprudensi tersebut adalah
sebagai berikut :
Pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat sertifikat
adalah semata-mata wewenang dari Kantor Pendaftaran
Tanah bukan termasuk wewenang pengadilan negeri,
maka gugatan penggugat mengenai pencabutan /
pembatalan sertifikat nomor 171 tidak dapat diterima.56

55
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1971.
56
Mahkamah Agung RI, Ringkasan Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, Jakarta, 1993, cet. kedua, hal. 110.

45
4. Putusan mahkamah Agung RI Nomor 1198 K/Sip/1973
tanggal 6 Jnaurai 1976, yang memuat kaidah hukum
sebagai berikut :
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan
Mahkamah Agung RI, petitum D dan E dari gugatan. (D.
menyatakan batal setidak-tidaknya membatalkan surat
keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi tanggal 10-3-
1967 No. 7/D/2786/67 dan menyatakan batal atau
membatalkan sertifikat HGB No. 550 tanggal 17-5-1971
No. 943/S/1971 tertulis a.n. Djoko Soedjono. E.
memetrintahkan kepada Tergugat 1 untuk memberi izin
balik nama mengenai persil jl. Iris No. 2 Surabaya kepada
Penggugat dan selanjutnya memerintahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan dan pengawasan Pendaftaran
tanah untuk mengeluarkan sertifikat tersebut diatas
kepada Penggugat).
Karena pengeluaran sertifikat itu semata-mata wewenang
administrasi dan bukan wewenang pengadilan negeri
sehingga pembatalannya juga wewenang adminsitrasi
bukan wewenang pengadilan.57
5. Putusan mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1341 k/SIP/1974 tanggal 6 April 1978, memuat kaidah
hukum sebagai berikut :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
permohonan penetapan “hak atas tanah” tanpa adanya
sengketa atas hak tersebut.58
Catatan
Yurisprudensi tersebut termasuk dalam kualifikasi
pembatasan wewenang Peradilan Umum secara tidak

57
Ibid, hal. 273.
58
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1974.

46
langusng (indirect retriction) mengapa demikian oleh
karena ketidakwenangan Peradilan Umum bersifat
sementara, persoalannya ada pada acara pemeriksaan yang
digunakan yaitu acara voluntair seharusnya mengenai
penetapan siapa yang menjadi pemilik dilakukan dengan
acara pemeriksaan contentius.
6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321
K/SIP/1978 tanggal 6 April 1978, memuat kaidah hukum
sebagai berikut :
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk membatalkan
surat milik yang dikeluarkan oleh instansi lain.59
Catatan :
Sama (similiar similibus) dengan kaidah hukum Putusan
Makamah Agung Nomor 383 K/SIP/1971 tanggal 3
Nopember 1971 pembatasan wewenang secara langsung
(direct retriction).
7. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 684
K/SIP/1982 tanggal 9 Mei 1983, memuat kaidah hukum
sebagai berikut :
Karena penguasaan tanah sengketa oleh tergugat adalah
secara melawan hukum, maka tanpa harus membuktikan
lebih dahulu siapa pemilik tanah itu, tanah harus
dikembalikan dulu dalam keadaan semula, yaitu harus
diserahkan lagi kepada Penggugat dan jika Tergugat
merasa sebagai pemilik tanah tersebut harus mengajukan
gugatan di muka Pengadilan Negeri.60

59
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1978.
60
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1982.

47
Catatan
Gugatan penguasaan tanah secara melawan hukum maupun
gugatan terhadap kepemilikan menjadi wewenang
Pengadilan Negeri.
8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 034
PK/PDT/1984 tanggal 2 Oktober 1984, memuat kaidah
hukum sebagai berikut :
Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan
Dirjen Agraria, karena mengandung unsur yang melawan
hukum dinyatakan tidak berkekuatan hukum.61
Catatan
Yurisprudensi tersebut memberi kompetensi kepada
Pengadilan Negeri menyatakan surat keputusan Badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan
tanah dinyatakan melawan hukum dan tidak berkekuatan
hukum. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
membatalkan surat keputusan, terminologi yang digunakan
adalah “melawan hukum” dan akibat hukum surat
keputusan tersebut adalah “tidak berkekuatan hukum”.
9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1210 K/PDT/1985 tanggal 11 Mei 1987, memuat kaidah
hukum sebagai berikut :
Pengadilan Negeri yang telah memeriksa/memutus
permohonan tentang penetuan hak atas tanah tanpa ada
suatu sengketa, menjalankan yurisdiksi voluntair yang
tidak ada dasar hukumnya, permohonan tersebut
seharusnya dinyatakan tidak dapat diteriam.
Catatan :
Koherensi dan konsistensi dengan Putusan mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1341 k/SIP/1974

61
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1984.

48
tanggal 6 April 1974, pembatasan tidal langsung (indirect
retriction) kompetensi Peradilan umum.
10.Putusan Mahkamah Agung Nomor 4540 K/PDT/1998
tanggal 26 September 2000, memuat kaidah hukum
sebagai berikut :
Bahwa penerbitan sertifikat hak atas tanah melalui “prona”
(Proyek Nasional) bukan ditentukan oleh status tanah asal,
tetapi merupakan cara pensertifikatan tanah dengan proses
cepat dan biaya ringan, karena mendapat subsidi dari
Pemerintah.62
Catatan :
Yurisprudensi tersebut menilai aspek prosedural penerbitan
sertifikat, aspek prosedural penerbitan sertifikat tunduk
pada tatanan hukum publik/administrasi.
11.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
620/PDT/1999 tanggal 29 Oktober 1999, memuat kaidah
hukum sebagai berikut :
Bila yang digugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan objek gugatan menyangkut perbuatan yang
menjadi wewenang pejabat tersebut maka yang berwenang
untuk mengadili perkara tersebut adalah Peradilan Tata
Usaha Negara bukan Pengadilan Negeri.63
Catatan :
Ukuran untuk menentukan batas wewenang antara
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum adalah
dengan melihat subjectum litis dan objectum litis dari
gugatan, jika yang digugat adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dan objek gugatannya menyangkut suatu

62
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1998
63
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1999.

49
perbuatan yang menjadi wewenang pejabat tersebut, maka
yang berwenang mengadili adalah Peradilan Tata Usaha
Negara.
Perlu diperjelas bahwa perbuatan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tersebut haruslah berupa penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) atau sikap
diam (fiktif negatif) bukan merupakan perbuatan faktual
meskipun dalam ruang lingkup wewenangnya.
12.Putusan Mahkamah Agung Republil Indonesia Nomor
1588 K/PDT/2001 tanggal 30 Juni 2004, memuat kaidah
hukum sebagai berikut :
Sertifikat tanah yang terbit lebih dahulu dari akta jual beli
tidak berdasarkan hukum dan dinyatakan batal, penerbitan
sertifikat tanah tanpa ada permohonan dari pemilik adalah
tidak sah.64
Catatan :
Yurisprudensi tersebut tidak konsistensi dengan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 034
PK/PDT/1984 tanggal 2 Oktober 1984, semestinya
penerbitan sertifikat dinyatakan melawan hukum dan
sertifikat tidak mempunyai akibat hukum, bukan dengan
menyatakan sertifikat batal dan tidak sah. Terminologi
sertifikat batal dan tidak sah adalah merupakan kompetensi
dari Peradilan Tata Usaha Negara.

64
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 2001

50
3.4.4. Batas Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan
Menurut Yurisprudensi.
Analisa terhadap putusan Mahkamah Agung RI yang terkait
dengan batas-batas wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, pertama
dengan meneliti putusan Mahakam Agung RI yang menyatakan
Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili dan yang
berwenang adalah Peradilan Umum, kedua dengan meneliti Putusan
Mahkamah RI yang menyatakan Peradilan Tata Usaha Negara
berwenang mengadili, ketiga menganalisa ukuran untuk menyatakan
tidak berwenang dan berwenangnya Peradilan Tata Usaha Negara.

3.4.4.1. Putusan Mahkamah Agung Yang Menyatakan


Peradilan Tata Usaha Negara Tidak Berwenang
Mengadili Karena Terdapat Aspek Perdata.
1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 93 K/TUN/1996
tanggal 24 Pebruari 1998, dalam sengketa antara Franklin
Arthur Bernades Rambing sebagai
Penggugat/Pembanding/Termohon Kasasi melawan
Camat Kepala Wilayah Kecamatan Wenang Kotmadya
Manado sebagai Tergugat I/Terbanding I/Pemohon Kasasi
I dan Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kotamadya
Manado sebagai Tergugat II/Terbanding II/Pemohon
Kasasi II. Objek sengketa yang dimohonkan pembatalan
adalah, Akte Jual Beli Nomor : 15/KW/VII/1994 tanggal
22 Juli 1994 yang diterbitkan oleh Camat Kepala Wilayah
Kecamatan Wenang Kotmadya Manado (Tergugat
I/Terbanding I/Pemohon Kasasi I) dan Sertifikat Hak
Milik No. 237/Ranomuut atas nama Wenny Waroka,
Peter Wroka, Arthur Waroka yang diterbitkan oleh

51
Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kotamadya Manado
sebagai (Tergugat II/Terbanding II/Pemohon Kasasi II).65
Catatan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 93 K/TUN/1996
tanggal 24 Pebruari 1998, dilihat dari aspek objectum litis
adalah Akte Jual Beli Nomor : 15/KW/VII/1994 tanggal
22 Juli 1994 Sertifikat Hak Milik No. 237/Ranomuut atas
nama Wenny Waroka, Peter Waroka, Arthur Waroka dan
subjectum litis adalah Franklin Arthur Bernades Rambing
melawan Camat Kepala Wilayah Kecamatan Wenang
Kotmadya Manado dan Kepala Kantor Pertanahan
Nsional Kotamadya Manado. Posita gugatan dari pihak
Penggugt adalah mempermasalahkan keabsahan dan
penerbitan Akte Jual Beli Nomor : 15/KW/VII/1994
tanggal 22 Juli 1994 dan Sertifikat Hak Milik No.
237/Ranomuut atas nama Wenny Waroka, Peter Wroka,
Arthur Waroka adalah cacat hukum oleh karena
diterbitkan diatas tanah di bagian A milik Penggugat
yang seharusnya diterbitkan dibagian tanah B,
sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan diterbitkan secara sewenang.
Mahkamah Agung mempertimbangkan untuk mengetahui
ada kekeliruan mengenai pisik tanah sengketa dan
kepemilikannya atas tanah sengketa maka hal
tersebut perlu diperiksa dan ditetapkan oleh
Pengdilan Perdata, baru kemudian dapat ditetapkan
apakah ada kekeliruan dalam penerbitan Sertfikat Hak
No. 237/1982 atas nama Wenny Waroka dkk, karena
didasarkan atas data yang keliru.

65
Mahkamah Agung RI, Kumpulan Putusan Yurisprudensi Tata
Usaha Negara, cetakan kedua, Jakarta, 2005, hal. 350-395.

52
Mahkamah Agung tidak mengunakan ukuran subjectum
litis, objectum litis, fundamentum petendi dan petitum
gugatan untuk menetukan wewenang lembaga peradilan,
yang digunakan ukuran adalah keadaan senyatanya /
faktual dari pisik tanah yang tumpang tindi.
Kualifikasi cacat hukum administrasi dalam penerbitan
sertfifikat menurut Pasal 1007 Peraturan Menteri Negara
Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut :
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalaha subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar;
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/TUN/2000


tanggal 28 Pebruari 2001, dalam sengketa antara Hardono
Watjono Mulyo, sebagai (Penggugat / Pembanding /
Termohon Kasasi) melawan Kepala Kantor Pertanahan
Kotamadya Surabaya sebagai (Tergugat Asal /
Terbanding / Pemohon Kasasi I) dan PT. Mahapura Jaya,
sebagai (Penggugat Intervensi / Terbanding / Pemohon
Kasasi II). Objek sengketa yang dimohonkan pembatalan
adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 1078 /
Kelurahan Sambikerep luas 173.777776 m2 atas nama
PT. Mahapura Jaya yang diterbitkan oleh Kepala Kantor

53
Pertanahan Kotamadya Surabaya (Tergugat Asal /
Terbanding.66

Catatan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/TUN/2000
tanggal 28 Pebruari 2001 dilihat dari aspek subjectum
litis, objectum litis dan petitum gugatan sesuai dengan
domain Peradilan Tata Usaha Negara. Posita gugatan
Penggugat adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
: 1078/Kelurahan Sambikerep atas nama PT. Mahapura
Jaya diterbitkan diatas tanah milik Penggugat yang
diperoleh dari Akte Jual beli dengan Ny. Mani Mbok
Rani berdasarkan Akta Jual beli tanggal 15 April 1986
yang dibuat dihadapan Lurah Sambikerep yang dihadiri
para saksi dan diketahui Camat Lakarsantri Kota
Surabaya dengan luas 750 m2 sesuai Keterangan
Ketetapan IPEDA No. 1258 persil No. 19 Klas II
sebagian dari luas 820 m2.
Berdasarkan penjelasan dari Kantor Pertanahan Kota
Surabaya tanggal 26 Agustus 1998 No. 500.1.7861 atas
tanah milik Penggugat tersebut yang luasnya + 820 m2
adalah telah dilepaskan haknya oleh Ny. Mani Mbok
Ratinah kepada PT Mahapura Jaya dan oleh Tergugat
telah diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor :
1078/Kelurahan Sambikerep atas nama PT. Mahapura
Jaya.
Penggugat dalam posita gugatan mendalilkan Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor : 1078/Kelurahan
Sambikerep atas nama PT. Mahapura Jaya. Cacat hukum

66
Ibid, hal. 398-445.

54
oleh karena didasarkan atas akta pelepasan hak yang
cacat hukum yaitu akta pelepasan hak yang tidak sah.
Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa gugatan
Pengugat pada dasarnya adalah mengenai sengketa kepemilikan tanah
sengketa antara Penggugat dengan Tergugat Intervensi. Bahwa
mengenai sengketa kepemilikan adalah merupakan wewenang
Peradilan Umum, oleh karenanya gugatan Penggugat haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 347 K/TUN/2007
tanggal 21 Agustus 2008.
Pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini
mengenyampingkan aspek hukum publik/hukum
administrasi, dengan pertimbangan, Tergugat II Intervensi
telah memiliki Sertifikat Hak Milik Nomor. 1934/Desa
Sumerta tanggal 10 April 1985, sedangkan Para
Penggugat mendalilkan memiliki tanah objek sengketa
berdasarkan warisan, berdasarkan pertimbangan tersebut
Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk
mengadili
Terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 93
K/TUN/1996 tanggal 24 Pebruari 1998 dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 16 K/TUN/2000 tanggal 28 Pebruari 2001 tidak
diikuti secara konsisten oleh putusan-putusan Mahkamah Agung RI
berikutnya :

3.4.4.2. Putusan Mahkamah Agung Yang Menyatakan


Peradilan Tata Usaha Negara Berwenang Untuk
Mengadili dan Mengenyampingkan Aspek
Perdata.
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 429 K/TUN/2012
tanggal 22 Januari 2013, antara Ny. Dra. A.J.
Mangkuwinoto dkk sebagai Pemohon Kasasi dahulu Para
Penggugat/Terbanding melawan Kepala Kantor

55
Pertanahan Kota Bogor sebagai Termohon Kasasi dahulu
Tergugat Pembanding dan Wandi Senjaya, Risma
Manulang sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat
Tergugat II, III Intervensi/Pembanding. Objek sengketa
adalah :
a. SHM No. 665/Tanah Baru tanggal 14 Mei 2001,
luas 606 M2. Atas nama Wandi
b. SHM No. 666/Tanah Baru tanggal 14 Mei 2001,
Luas 503 M2, atas nama Risma Manulang.
c. SHM No. 2020/Tanah Baru tanggal 18 Maret
2010, luas 700 M2 atas nama Wandi Senjaya
d. SHM No. 2021/Tanah baru tanggal 18 Maret
2010, luas 682 M2, atas nama Rohati Binti Suta.
Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 429
K/TUN/2012 tanggal 22 Januari 2013 adalah sebagai
berikut :
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena
Judec Factie/Pengadilan Tinggi salah menerapkan
hukum menyatakan sengketa Tata Usaha Negara sebagai
sengketa Perdata, oleh sebab itu harus dibatalkan dan
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa tanpa mempertimbangkan “substansi Milik” atas
tanah diatasnya diterbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara Objek Sengketa, Peradilan Tata Usaha Negara
dapat menguji bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
Objek Sengketa diterbitkan secara cacat yuridis
prosedural material substansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 75/K/TUN/2008
tanggal 4 Juni 2008, Pertimbangan dalam Putusan
Mahkamah Agung ini bersifat mengenyampingkan aspek

56
perdata, menonjolkan aspek prosedural/formal, sertifikat-
sertifikat tanah obyek sengketa mengandung cacat
prosedural dan tidak cermat dan tidak hati-hati dalam
menerbitkan objek sengketa.
4. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Serang
Nomor : 49/G/2013/PTUN. SRG tanggal 10 April
2013.
Para pihak dalam sengketa ini adalah Soepono sebagai
Penggugat melawan Kakanwil BPN Banten sebagai
tergugat , objek sengketa Keputusan Kakanwil BPN
Banten 36/IX/2013 tentang Permohonan Pembatalan
SHGB No. 40, 41 dan 42 atas nama Samsidi Muliatno.
Pertimbangan Hukum dalam Eksepsi Kompetensi Absolut
: Uraian Aspek perdata dalam posita gugatan adalah untuk
memperkuat dalil gugatan sehingga eksepsi ditolak,
Pengadilan Tata Usaha Negara Serang berewneang
memeriksa perkara a quo.

3.4.5. Forum Competens (Lebih Dahulu Menyelesaikan


Sengketa Pertanahan)
Maksud dari forum competens, adalah berkaitan dengan
pertanyaan peradilan manakah yang lebih dahulu harus
menyelesaikan sengketa pertanahan, apakah Peradilan Tata Usaha
Negara atau Peradilan Umum, oleh karena sengketa pertanahan
meruapakan sengketa dua wajah yang di dalamnya mengandung unsur
hukum publik dan hukum privat yang tunduk pada forum yang
berbeda.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dilakukan analisa
terhadap yurisprudensi Mahkamah Agung RI sebagai berikut :
1 Putusan Mmahkamah Agung RI Nomor : 06
PK/TUN/2008 tanggal 5 Mei 2008, memuat kaidah
hukum sebagai berikut:

57
Untuk menghindari putusan yang berbeda antara dua
badan peradilan sebaiknya ditempuh penyelesaian
sengketa ke Peradilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu
mengingat terbatasnya tenggang waktu menggugat. Dan
putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang terbit terlebih
dahulu dapat menjadi bahan pertimbangan badan
peradilan lainnya/berikutnya yang lebih lama dalam
proses penyelesaian sengketa.67
2 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 06 PK/TUN/2008
tanggal 5 Mei 2008 inisejalan dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1687 K/Pdt/1998 tanggal 29
September 1999 yang memuat abstrak hukum sebagai
berikut : Putusan “Pengadilan TUN" yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian diajukan
sebagai alat bukti dipersidangan Peradilan Umum, adalah
merupakan bukti otentik yang mempunyai kekuatan
bukti sempurna, sehingga diktum dalam putusan
Pengadilan TUN tersebut, harus diterima oleh Peradilan
Umum sebagai suatu kebenaran Peradilan umum adalah
Peradilan yang menetapkan bahwa tanah sengketa adalah
hak milik dan memerintahkan kepada Kantor Pertanahan
untuk menerbitkan Sertifikat Tanah atas nama Penggugat
di atas tanah ex Tanah Hak Milik No. 2398 atas nama
Tergugat I yang sudah dinyatakan batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1687 K/Pdt/1998
tanggal 29 September 1999 tidak sejalan dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 154 PK/TTUN/2010 tanggal
10 Januari 2011, adapun pertimbangan hukum Putusan

67
Badan Penelitian Dan Pengembangan & Diklat Kumdil Mahkamah
Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010, hal. 446.

58
Mahkamah Agung Nomor : 154 PK/TTUN/2010 tanggal
10 Januari 2011 sebagai berikut;
Bahwa batalnya Keputusan TUN yang berkaitan dengan
hak atas tanah tidak serta merta menghilangkan hak
pemegang haknya atas tanah tersebut. Tetapi sebaliknya
putusan yang menentukan substansi hak atas tanah di
Pengadilan Perdata dapat dijadikan landasan bagi
pejabat TUN yang berwenang untuk mengubah Surat
Keputusan TUN tentang hak atas Tanah tersebut
menjadi ke atas nama pihak yang mendapat titel hak
oleh putusan hakim perdata.

59
60
BAB IV
QUO VADIS SENGKETA PERTANAHAN

Dengan menempatkan sengketa pertanahan sebagai suatu


genus, maka sengketa pertanahan merupakan kewenangan bersama
(concurent authority) antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara untuk mengadilinya, antara Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan umum merupakan 2 (dua) lingkungan peradilan
yang berbeda. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang diberikan oleh
H. Eddy Pranjoto WS terkait dengan kewenangan pembatalan
pemberian hak atas sebagai berikut :
Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
penyelesaiannya merupakan wewenang dua lingkungan kekuasaan
yang berbeda, yaitu Badan Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan
Peradilan Umum dari lingkungan Kekuasaan Kehakiman serta Badan
Pertanahan Nasional dari kekuasaan eksekutif. Dua lingkungan
kekuasaan yang berbeda untuk menyelesaikan pembatalan
keputusan pemberian hak atas tanah tersebut dapat berakibat adanya
antinomi norma hukum.68
Sengketa pertanahan sebagai suatu genus dihubungkan
dengan batas-batas kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Umum menurut doktrin, judicial policy, dan yurisprudensi
Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dan dipaparkan dalam Bab
III tersebut diatas, maka dengan menggunakan pola berpikir secara
species tidaklah terjadi kekuasaan bersama (concurent authority)
untuk mengadilinya, oleh karena masing-masing lembaga peradilan
mempunyai obyek yang berbeda, misalnya Peradilan umum
kewenangan mengadili terkait dengan sengketa kepemilikan,
sedangkan terkait dengan surat-surat keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

68
H. Eddy Pranjoto WS, op. cit. hal. 178.

61
Meskipun antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Umum mempunyai batas-batas kewenangan dan obyek sengkta
sendiri-sendiri, akan tetapi implementasinya dalam praktek untuk
menentukan batas-batas kewenangan lembaga peradilan dalam
sengketa pertanahan tidaklah mudah. Dalam praktek peradilan
batasan antara dua tatanan hukum ini menjadi sumir dan sulit
dilakukan secara tegas.69
Meskipun sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 321 K/SIP/1978 tanggal 6 April 1978
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk membatalkan surat milik
yang dikeluarkan oleh instansi lain, akan tetapi berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 034
PK/PDT/1984 tanggal 2 Oktober 1984 Pengadilan Negeri mempunyai
wewenang untuk menyatakan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengandung unsur yang
melawan hukum dan menyatakan tidak berkekuatan hukum.
Aspek prosedural formal penerbitan sertifikat diatur dan
merupakan perbuatan yang didasarkan atas ketentuan hukum publik
yang menjadi ranah domain Peradilan Tata Usaha Negara,
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4540 K/PDT/1998 tanggal
26 September 2000 dalam pertimbangan hukum menilai masalah
prosedural / formal penerbitan sertifikat yang didasarkan atas Proyek
Nasional (Prona).
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK/TTUN/2010
tanggal 10 Januari 2011 yang memuat salah satu pertimbangan
hukum, bahwa batalnya Keputusan TUN yang berkaitan dengan hak
atas tanah tidak serta merta menghilangkan hak pemegang haknya atas
tanah tersebut. Tetapi sebaliknya putusan yang menentukan substansi
hak atas tanah di Pengadilan Perdata dapat dijadikan landasan bagi
pejabat TUN yang berwenang untuk mengubah Surat Keputusan TUN

69
Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, op.cit, hal. 78.

62
tentang hak atas Tanah tersebut menjadi ke atas nama pihak yang
mendapat titel hak oleh putusan hakim perdata.
Pertimbangan hukum tersebut terkesan Pengadilan Tata Usaha
Negara merupakan putusan lembaga peradilan yang tidak tuntas
dalam sengketa pertanahan, disisi lain berdasarkan yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/SIP/1978
tanggal 6 April 1978 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
membatalkan surat hak milik yang dikeluarkan instansi lain, hanya
terbatas pada sengketa yang terkait tentang kepemilikan sesuai
yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/TUN/2000 tanggal
28 Pebruari 2001, dengan demikian terkesan pula putusan Peradilan
Umum dalam sengketa pertanahan merupakan putusan yang tidak
tuntas.
Kedepan diperlukan lembaga peradilan yang dapat
menyelesaikan sengketa pertanahan secara tuntas, baik dari aspek
tatanan hukum publik seperti terkait dengan penilaian terhadap surat-
surat keputusan, maupun yang terkait dengan aspek tatanan hukum
perdata seperti masalah keabsahan status kepemilikan. Penanganan
penyelesaian sengketa pertanahan dalam satu lembaga peradilan lebih
efisien, efektif dan ekonomis serta mempercepat akses kepastian
hukum dan keadilan bagi para pihak (yustisiabelen).
Pembentukan peradilan pertanahan (agraria) yang bersifat
mandiri di luar lingkungan peradilan yang sudah ada akan menabrak
konstitusi Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
menyatakan; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di dalam
Rancangan Undang-Undang Tentang Pertanahan diatur secara khusus,
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang sengketa pertanahan
adalah :

63
Pasal 1
18. Pengadilan Pertanahan adalah pengadilan khusus yang
dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perkara pertanahan.

Pasal 60
Sengketa mengenai status kepemilikan tanah dan kebenaran
material data psisik dan data yuridis, didelesaikan melalui
badan peradilan.

Pasal 61
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk
pengadilan pertanahan sebagaimana diamksud dalam
Pasal 60 pada setiap pengadilan negeri yang berada di
setiap ibukota provinsi;
(2) Wilayah hukum Pengadilan Pertnahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi provinsi yang
bersangkutan;
(3) Pengadilan pertanahan merupakan pengadilan khusus
yang berada di bawah lingkungan peradilan umum;
(4) Pengadilan Pertanahan bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus sengketa di bidang pertanahan.

Pembentukan Pengadilan Pertanahan sebagai Pengadilan


Khusus yang berada pada salah satu lingkungan peradilan, yaitu di
bawah lingkungan Pengadilan Negeri telah sesuai dengan Pasal 24
ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Ke Tiga
yuncto Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi yang perlu diharmonisasi
adalah ketentuan mengenai ruang lingkup kompetensi absolut
Pengadilan Pertanahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 60 dan
Pasal 61 ayat (4) Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan perlu

64
penegasan pengertian sengketa pertanahan terkait dengan subjectum
litis dan objectum litis agar sengketa pertanahan merupakan
Pengadilan Pertanahan sebagai pengadilan Khusus yang bersifat unity
of yurisdiction yang tidak bisa interpretasi lain.

65
66
BAB V
PENUTUP

Dengan menghubungkan uraian di dalam Bab I pendahuluan


dengan Bab II Forum Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Bab III
Batas Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Dan Peradilan
Umum Dalam sengketa Pertanahan, Bab IV Quo Vadis Sengketa
Pertanahan, dapat diberikan kesimpulan dan saran sebagai berikut :

5.1. Kesimpulan.
1. Sengketa pertanahan adalah sengketa 2 (dua) wajah
yang di dalamnya terdapat aspek hukum
publik/administrasi yang menjadi domain Peradilan
Tata Usaha Negara dan aspek hukum perdata yang
menjadi domain Peradilan Umum.
2. Sengketa pertanahan sebagai suatu genus
penyelesaian sengketanya merupakan kekuasaan
bersama (concurent authority) antara Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Umum, dari segi species
sengketa pertanahan terdapat batas-batas kewenangan
antara Peradilan Tata Usaha dengan Peradilan Umum
yang tidak saling memasuki,
3. Identifikasi terhadap ruang lingkup kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam sengketa
pertanahan adalah berkaitan dengan semua surat
keputusan yang bersangkutan dengan pertanahan
tidak terbatas pada penerbitan sertifikat hak atas tanah
dan sikap diam (fiktif Negatif) dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
4. Identifikasi terhadap ruang lingkup kewenangan
Peradilan umum dalam sengketa pertanahan adalah,
acara pemeriksaan bersifat contentius bukan
voluntair, sengketa kepemilikan, perbuatan melawan

67
hukum dalam bidang pertanahan, terminolgi dalam
amar putusan menyatakan sertifikat tidak mempunyai
kekuatan hukum, bukan menyatakan batal atau tidak
sah.
5. Kriteria untuk menentukan kewenangan lembaga
peradilan dalam sengketa pertanahan dapat dilihat
dari beberpa aspek yaitu, substansi yang
disengketakan menyangkut hak atau tidak, melihat
asal usul penerbitan sertifikat (deklaratur atau
konstitutif), dilihat dari aspek perbuatan hukum
(rechtshandeling) yang melahirkan penerbitan
sertifikat, dengan melihat kualifikasi perbuatan
hukum dan peraturan apa yang melahirkan penerbitan
sertifikat tersebut, subjectum litis, objectum litis,
fundamentun petentdi dan petitum gugatan.
6. Terdapat diskresi Hakim untuk mempertimbangkan
pilihan hukum (choice of law) dalam menghadapi
sengketa pertanahan, antara menyelesaikan dengan
instrumen hukum publik/administrasi yang menjadi
wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan atau
diselesaikan dengan hukum perdata yang menjadi
wewenang Perdailan Umum.

5.2. Saran
1. Dalam sengketa pertanahan terdapat unsur hukum
publik dan unsur keperdataan yang masing-masing
tunduk pada forum yang berbeda, untuk lebih efisien,
efektif dan ekonomis serta mempercepat akses
kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak
(yustisiabelen) serta menghindari disparitas putusan,
disarankan untuk sengketa pertanahan dibentuk
peradilan khusus dengan pilihan pada salah satu
lingkungan peradilan, yaitu pada Pengadilan Negeri

68
sesuai Rancangan Undang-Undang Tentang
Pertanahan dengan lebih memperjelas ruang lingkup
kompetensi absolut dari segi subjetum litis dan
objectu litis.
2. Sengketa pertanahan merupakan sengketa dua wajah
yang di dalamnya mengandung unsur hukum publik
dan hukum privat sehingga memerlukan keakhlian
khusus bagi hakim-hakim yang menangani sengketa
pertnahan, dengan demikian diperlukan hakim
bersertifikasi.

69
70
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Algra, N.E. et. al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda
Indonesia , Binacipta, Jakarta
Basjah Sjachran, Eksistensi Dan Tplok Ukur Badan Peradilan
Administrasi, Alumni, Bandung. 1977
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Laporan
Akuntablitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun Anggaran
2012.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Sekolah Tingggi
Pertanahan Nasional, Reformasi Agraria, Mandar Maju,
Bandung, 2002.
Badan Penelitian Dan Pengembangan & Diklat Kumdil Mahkamah
Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010.
Bedner, Adrian W. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Penerjemah Indra Krishnamurti, Huma, Jakarta, 2010.
Bidara, Olden, Beberapa Titik Singggung Antara Pengadilan Tata
Usaha Negara Dan Pengadilan Negeri, Tanpa penerbit dan
tahun.
Cides, Kebijakan Tata Ruang Nasional dan Aspek Pertanahan Dalam
Perspektif Pertumbuhan Dan Pemertaaan, jakrata, 1996.
Ditjen Badan Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Statistik Perkara
Peradilan Tata Usaha Negara
Hadjon,Philipus M. Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 (1991-2001), Makalah Pembanding dalam Seminar Sehari
Sepuluh Tahun Peratun.
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Anem Kosong
Anem, cet.Kesembilan, Jakarta, 1989.
Hartanto, J. Andy, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual beli Tanah
Yang Belum Terdaftar Hak Atas tanahnya, Laksbang Justisia,
Surabaya, 2014.

71
Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik Dan
Hukum Perdata, LPPH-HAN, Bogor, 1999.
Abdul Kadir Mappong, dalam Yurisprudensi MARI Jilid 6 TUN, PT
Pilar Yuris Ultima, Jakarta, 2009.
Kansil, C.S.T. Dan Kansil, Christine, S.T., Kitab Undang-Undamg
Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Sidharta, Arief, Pengantar Ilmu Hukum
Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung, 2000.
Mahendra, A.A. Oka, Tanah Dan Pembangunan, Pustaka Manikgeni,
Denpasar, 1997.
Mahkamah Agung, Masalah Pertanahan, Jakarta, 1998.
_____________, Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan
(Suatu Tinjauan Yuridis, 1998.
Mahkamah Agung RI, Kumpulan Putusan Yurisprudensi Tata Usaha
Negara, cetakan kedua, Jakarta
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2013,
hal. 23. 24.
Manan, Bagir Hakim Dan Sengketa Tanah, Dalam Varia Peradilan
Tahun XXV No. 290.
Manan, Bagir Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta,
2004.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Mappong, Abdul Kadir dalam Yurisprudensi MARI Jilid 6 TUN, PT
Pilar Yuris Ultima, Jakarta, 2009.
Mustafa, Bachsan, Hukum Agraria dalam perspektif, Remadja Karya
CV, Bandung, 1985
Lubis, Mhd. Yamin dan LUBIS, Abd. Rahim, Hukum Pendaftaran
Tanah, cv. Mandar Maju, Bandung, 2010.
Lotulung, Paulus Effendi Yurisprudensi Dalam persfektif
Pengembangan Hukum Administrasi Negara Indonesia. Pidato
Pengukuhan Diucapkan Pada Upacara Penerimaan Jabatan
Sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara Pada

72
Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Tanggal 24
September 1994, dalam Gema Peratun, Tahun II No. 6
November 1994
Mujiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia
Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Badan Peradilan, dalam
Jurnal Hukum No. 3. Vol. 14.
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Bandung, 1991.
Murhaini, Suriansyah, Kewenangan Pemerintah daerah Mengurus
Pertnahan, LaksBang Justtis, Surabaya, 2009.
Noor, Aslan, Konsep Hak Milik Atas tanah Bagi Bangsa Indonesia
Dtinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
bandung, 2006.
Prent c. m. K et. al. Kamus latin-indonesia, Kanisius, Jogjakarta,
1969
Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, Pembatalan dan Kebatalan
Hak Atas Tanah (Edisi Revisi), Tugujogjapustaka, Yogyakarta.
_______________________________, Masalah Pelaksanaan Urusan
Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah, Tugu Jogjapustaka,
Yogyakarta, 2005.
Setiawan Yudhi, Instrumen Hukum Campuran
(gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT Radja
Grafindo Persada, Jakrta, 2009.
Subekti, R, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung, Alumni, Bandung, 1991, c
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, PT Prestasi
Pustakakarya, Jakarta, 2011.
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah DiIndonesia,
Arkola, Surabaya, 2003.
Sutomo, Pembebasan, Pencabutan, Permhonan Hak Atas Tanah,
Usaha nasional, Surabaya, 1984.
Parlindungan, A.P., Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung,
1984.

73
____________________, Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut
Sistem UUPA, cv. Mandar Maju, Bandung, 2008.
_____________________, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, cv.
Mandar maju, Bandung, 2009.
Pranjoto, Eddy, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak
Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Bbadan
Pertanahan Nasional, CV. Utomo, Bandung, 2006.
Utrecht.E / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta,
1983.
Wanaradja, Gunawan, Kompilasi Pranata Peradilan Tata Usaha
Negara, Penerbit Pustaka, Bandung

Daftar Peraturan Perundang-Undangan


Undang-Undang dasar Negara RI Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
Undang-Undamg Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
kehakiman.
Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan
http:/jdih,mahkamahagung,go.id/v2/beranda/database/3.-
Yurisprudensi/Perdata/Tahun 1974
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1971
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1974
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1978
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1982

74
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1984
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1985
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1988
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1990
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1991
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1998
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 1999
http:/jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/3.-
yurisprudensi/perdata/tahun 2001

75
76
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN

77
78

Anda mungkin juga menyukai