LAPORAN PENELITIAN
Koordinator Peneliti :
Tri Cahya Indra Permana, SH., MH.
LAPORAN PENELITIAN
Koordinator Peneliti :
Tri Cahya Indra Permana, SH., MH.
KATA PENGANTAR
Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan
Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan
satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan Yaitu :
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Peradilan Militer;
berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah satu tugas
dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat
Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita)
maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.
Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang
Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni :
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;
Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung
RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
adalah Penelitian (Puslitbang).
Berdasarkan DIPA 2014 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah
melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi
tupoksinya. Salah satunya adalah Penelitian "EKSISTENSI DAN
PERAN KOMISI YUDISIAL : PENGKAJIAN FILOSOFI,
SEJARAH DAN TUJUAN PEMBENTUKANNYA DALAM
DINAMIKA
KETATANEGARAAN
INDONESIA"
yang
merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Balitbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2014 telah
berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni
menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup Discussion
(FGD) untuk mendiskusikan Proposal Penelitian berjudul
"EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL :
PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN
PEMBENTUKANNYA
DALAM
DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA" kegiatan FGD Proposal
tersebut berlangsung di Jakarta. Setelah FGD Proposal,
dilanjutkan dengan memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian
Kepustakaan di Jakarta, melalui kompilasi bahan dan data
penelitian, seleksi serta analisis terhadap berbagai data, bahan,
referensi kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang
relevan, serta dilengkapi sejumlah wawancara dengan para
narasumber yang kompeten. Terhadap hasil Penelitian tersebut
kemudian dilakukan Kegiatan Focus Grup Discussion (FGD)
untuk membahas dan mendiskusikan Hasil Penelitian dengan
tujuan
untuk
mendapatkan
masukan
dalam
rangka
penyempurnaan hasil penelitian.
FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil Penelitian
telah diikuti oleh para undangan, antara lain meliputi beberapa
Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim Tinggi Pengawasan, Hakim
Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim
Yusitisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti
Puslitbang Mahkamah Agung, peneliti dari Instarisi atau
Lembaga lain, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Staf
Puslitbang. Dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai
masukan, kritik dan usulan bagi penyempurnaan proposal
maupun hasil penelitian. Diharapkan mampu meningkatkan
iii
KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI
iv
SEKAPUR SIRIH
Puji Syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas
limpahan berkahnya sehingga penelitian dengan judul Eksistensi dan
Peran KY : Pengkajian Filosofi, Sejarah dan Tujuan Pembentukannya
dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dapat kami selesaikan.
Pembahasan mengenai pengawasan terhadap Hakim, baik didalam
teori maupun di dalam praktek selalu menarik untuk diteliti karena
berkaitan dengan upaya kita mewujudkan Peradilan yang Agung
sesuai dengan visi Mahkamah Agung.
Dari sudut pandang pengawasan, upaya mewujudkan
Peradilan yang Agung dapat dilakukan dengan menciptakan
pengawasan peradilan yang baik dan bersih karena ibarat kata pepatah
membersihkan lantai yang kotor hanya dapat dilakukan dengan sapu
yang bersih. Karena itu, beberapa hal yang menarik dari penelitian
ini antara lain pembahasan mengenai arti pentingnya pengawasan
terhadap hakim dan begitu pentingnya suatu lembaga pengawasan
eksternal terhadap perilaku hakim untuk menciptakan peradilan yang
baik dan bersih dengan segala kompleksitasnya. Masalah lain yang
tidak kalah menariknya adalah mengenai tepat atau tidaknya
pelembagaan KY didalam UUD 1945, pasang surut wewenang KY
serta eksistensi dan peran KY dalam hal-hal yang menarik perhatian
publik dan menarik secara akademik.
Sebagai koordinator peneliti yang kebetulan berprofesi
sebagai hakim, peneliti sedikit mengetahui bagaimana praktek
bersih-bersih terhadap peradilan dan pengusulan calon Hakim
Agung yang dilakukan oleh KY mendapat hambatan-hambatan, dan
ditengah keterbatasan baik keterbatasan personil, anggaran dan
wewenang KY tetap berusaha memenuhi harapan publik. Penelitian
ini juga membahas mengenai peran KY didalam Majelis Kehormatan
Hakim, sehingga cukup memberikan contoh kasus-kasus pelanggaran
etika oleh hakim. Dengan kajian yang dibantu oleh Focus Group
Discussion (FGD), maka penelitian ini diharapkan dapat berguna
untuk dibaca oleh para mahasiswa, akademisi, anggota dewan dan
lebih utama lagi para hakim.
v
amal ibadah dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT,
Amin.
Peneliti menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak,
maka penelitian inipun sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya
kritik, saran dan tegur sapa sangat peneliti nantikan demi lebih
menyempurnakan penelitian ini.
vii
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT KUMDIL .
iii
SEKAPUR SIRIH
DAFTAR ISI .
ix
I.
PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Perumusan Masalah ..
C. Tujuan Penelitian ..
D. Kegunaan Penelitian .
E. Metode Penelitian .
F. Sistematika Penulisan ...
1
1
6
7
7
7
10
II.
TINJAUAN PUSTAKA .
13
III.
23
23
31
40
41
44
54
57
58
77
ix
83
PENUTUP ...
A. Kesimpulan ...
B. Saran .
105
105
106
109
113
IV.
V.
83
90
96
98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan kita
diawali dari adanya amandemen UUDN RI Tahun 1945 khususnya
hasil amandemen UUDN RI Tahun 1945 yang ketiga dan ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 9 November
20011. Fakta bahwa Komisi Yudisial ditempatkan di dalam UUDN RI
Tahun 1945 khususnya pada Pasal 24 B, satu bab (didalam bab IX)
dengan pelaku Kekuasaan Kehakiman sudah tidak terbantahkan lagi.
Meskipun pengamandemen Undang-Undang Dasar menyadari bahwa
Komisi Yudisial bukanlah pelaku Kekuasaan Kehakiman, namun
menurut pembentuk Undang-Undang, fungsi Komisi Yudisial
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal itu tercermin dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial menyebutkan bahwa Pasal 24 B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
landasan yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan
memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan
check and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku
kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman.
Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
hasil amandemen itu sendiri menyebutkan sebagai berikut :
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
4
Koerniatmanto
Soetoprawiro,
Latar
Belakang Konsep
Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum Amandemen) dalam
buku Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.
B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008 halaman 185
5
Pasal 16 UUDN RI 1945 mengamanatkan kepada Presiden untuk
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam UndangUndang
3
a. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sejarah, pendekatan cita Negara (staatsidee) dan pendekatan kualitatif
serta pendekatan studi perbandingan. Dani Elpah8 mengatakan
Pendekatan sejarah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sejarah hukum peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini yang diselidiki adalah sejarah hukumnya suatu
peraturan perundang-undangan, misalnya memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan di Lembaga
Legislatif, surat menyurat antara pemerintah dengan
komisi yang ada di Lembaga Legislatif.
2. Sejarah peraturan perundang-undangan, yang diselidiki
dalam hal ini adalah maksud pembentuk peraturan
perundang-undangan pada waktu membuatnya (suasana
kebatinan).
Pendekatan cita Negara (staatsidee) merupakan pendekatan
untuk memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa yang
terkandung didalamnya guna membangun ketatanegaraan yang lebih
tepat. Pendekatan ini untuk menghindari penerimaan mentah-mentah
terhadap pendekatan original intens para pembentuk Undang-Undang
yang sangat mungkin tidak tepat. Sedangkan pendekatan kualitatif
yaitu suatu pendekatan analisis non-statistik atau non-matematis.
Metode ini bertujuan untuk memahami atau mengerti gejala hukum
yang akan diteliti dengan menekankan pada permasalahanpermasalahan secara mendalam. Adapun pendekatan studi
perbandingan digunakan untuk membandingkan Komisi Yudisial RI
dengan Komisi Yudisial di beberapa negara guna membangun Komisi
Yudisial yang lebih ideal bagi Indonesia.
b.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dari penelitian ini adalah deskriftif analitis dan
yuridis normatif. Deskriftif karena penelitian ini akan
menggambarkan bagaimana kondisi hukum dan dunia peradilan kita
sehingga Komisi Yudisial telah dibentuk. Kemudian menggambarkan
mengenai apa saja kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana
Komisi Yudisial menjalankan kewenangannya dalam dinamika sistem
ketatanegaraan kita. Selanjutnya dianalisis guna menemukan kaidah
hukum baru yang dapat memperkaya kajian futuristik mengenai halhal apa saja yang seharusnya diatur di dalam Undang-Undang Dasar
kita khususnya pada bab mengenai kekuasaan kehakiman.
c.
11
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Agar penelitian ini tetap fokus pada permasalahan yang telah
diuraikan, maka diperlukan kerangka pemikiran yang berguna sebagai
pisau analisis dalam membahas hasil penelitian. Kerangka pemikiran
tersebut meliputi teori-teori Negara Hukum, Kekuasaan Kehakiman
dan teori kewenangan.
Didalam penjelasan umum UUDN RI Tahun 1945 disebutkan
bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsep negara hukum
rechtstaat bertumpu pada tradisi hukum civil law system yang lekat
dengan ajaran hukum legisme yang mementingkan Undang-Undang
tertulis, meletakkan aspek kepastian hukum Undang-Undang dan
menganggap hakim hanya sebagai corong undang-undang (wet).
Sedangkan rule of law berkembang dalam masyarakat common law,
hukum rakyat, hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga aspek
keadilan merupakan unsur yang utama10.
Menurut Lili Rasjidi11, Indonesia telah memilih negara
hukum sebagai bentuk negara, yang berarti bahwa setiap tindakan dan
akibatnya yang dilakukan oleh semua pihak di negara ini harus
didasarkan atas hukum dan diselesaikan menurut hukum, sehingga
hukum merupakan sarana utama untuk mengatur kehidupannya.
Prinsip negara hukum yang dianut oleh NKRI adalah Negara
Hukum Pancasila yang bersifat prismatik dan integratif, yaitu prinsip
negara hukum yang mengintegrasikan atau menyatukan unsur-unsur
yang baik dari beberapa konsep yang berbeda (yaitu unsur-unsur
dalam rechtstaat, the rule of law, konsep negara hukum formil dan
10
Martitah, Konsep Prismatik Pancasila Sebagai Landasan Politik
Konstitusi Indonesia, Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi Universitas
Negeri Semarang, Volume II Nomor 2, November 2010, halaman 193
11
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka
Pembinaan Hukum Nasional, dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika
Aditama, Bandung, 2008 halaman 129
13
14
15
16
18
19
21
22
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Arti Penting Pengawasan Terhadap Hakim
Pada hakikatnya, dalam setiap pengawasan apapun, maksud
utama dan yang selalu menjadi esensi dari setiap bentuk pengawasan
adalah tujuan untuk mencegah dan menghindari sedini mungkin
terjadinya berbagai kesalahan, kekeliruan, atau penyalahgunaan
wewenang, disamping juga untuk menindak atau memulihkan
manakala hal-hal tersebut sudah terjadi. Suatu sistem pengawasan
yang baik pelaksanaannya akan menjadi katup penekan bagi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan
tersebut22.
Terkait dengan pengawasan terhadap Hakim, sebelum
membahas lebih jauh mengenai praktek pengawasan oleh Komisi
Yudisial, pertanyaan yang sangat mendasar sesungguhnya apakah
landasan filosofis yang mendasari perlunya pengawasan terhadap
Hakim sedemikian rupa oleh Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan
Mahkamah Agung, bahkan Pers, serta Lembaga Swadaya Masyarakat
melebihi profesi lain sehingga Hakim seolah-olah sulit untuk
bertindak sebagai manusia yang sewajarnya ?
Pertama, peneliti yang kebetulan juga berprofesi sebagai Hakim
menyadari dan merasakan betul bagaimana kebebasan Hakim didalam
memutus suatu perkara yang memang dijamin oleh konstitusi,
sedemikian bebasnya bahkan pembinaan oleh pimpinan pengadilan
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memutus perkara.
Didalam menjalankan tugasnya, Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia
hanya bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan pada Tuhan Yang
Maha Esa. Kebebasan yang demikian, jika tidak diawasi secara ketat
sangatlah rawan untuk diselewengkan yang dapat menyebabkan
munculnya tirani peradilan.
22
23
25
27
Kasus seperti ini pernah terjadi terhadap 3 (tiga) orang Hakim
PTUN Banjarmasin berinisial B, S.H., EN, S.H,M.H dan AB, S.H,M.H yang
telah diperiksa oleh KY dan dinyatakan tidak bersalah, namun atas kasus
yang sama ketiganya dijatuhi hukuman disiplin berupa pemotongan
remunerasi sebesar 90% selama 6 (enam) bulan dan tidak diperkenankan
memegang perkara selama 6 (enam) bulan atas dasar rekomendasi hasil
pemeriksaan Badan Pengawasan Mahkamah Agung
29
Wewenang pengawasan KY
terhadap Hakim
- Pengawasan eksternal terhadap
perilaku
Hakim
dengan
berpedoman pada KEPPH
- Produk
yang
dikeluarkan
berupa rekomendasi kepada
Ketua Mahkamah Agung
B.
31
29
Parwoto Wignjosumarto, Kompilasi Peraturan PerundangUndangan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional,
Tatanusa, Jakarta, 2012, halaman 244
32
Ibid, halaman 265
33
Ibid, halaman 48
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2000) Tahun Sidang
2001, Buku Tiga (Jakarta : Sekretariat Jenderal, 2008), hlm 283 sebagaimana
dikutip oleh Elza Fais dkk, Ibid, halaman 91
34
34
35
35
Ibid, halaman 97
Ibid, halaman 100
36
40
37
Pasal 24 B
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang.
Hasil rumusan tersebut yang kemudian disepakati sebagai
naskah Pasal 24B perubahan ketiga UUD 194543.
Menjadi pertanyaan sesungguhnya apa alasan yang paling
utama (raison detre) bagi anggota MPR melembagakan KY didalam
UUD 1945? apakah pelembagaan KY didalam UUD 1945 merupakan
variasi, ciri khas atau bahkan anomali ? Dari perdebatan-perdebatan
yang tampak dari para anggota MPR tersebut diatas, tampak bahwa
alasan utama selain dari menjadikan kedudukan KY lebih kuat dan
independen adalah keinginan adanya suatu lembaga didalam Bab IX
yang menangani seleksi rekruitmen hakim agung sehingga
penempatannya lebih bersifat ciri khas.
Keinginan untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bebas
dan mandiri sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 sebelum
amandemen bukan hanya dengan cara memperkuat lembaga
pengawasan, termasuk juga menjadikan Mahkamah Agung sebagai
lembaga satu atap terhadap pembinaan hakim baik urusan finansial,
administrasi dan organisasi maupun urusan teknis yudisial guna
menghindari intervensi dari kekuasaan lembaga lain dalam hal ini
43
40
52
daripada Kejaksaan Agung. Demikian halnya dengan komisikomisi Negara seperti Komisi Yudisial yang diatur secara rinci,
komisi pemilihan umum yang diatur secara umum dalam UUD
1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain-lain
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang belaka, untuk
menentukan status hukum kelembagaannya maupun para
anggota dan pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain
sebagainya, tergantung kepada pembentuk undang-undang
untuk mengaturnya dalam Undang-Undang. Oleh karena itu,
agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar
lembaga Negara, pembentuk undang-undang harus berusaha
dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang rinci dan
jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga
Negara dimaksud.
Jika mengacu pada alasan-alasan tersebut diatas, maka tidak
menjadi persoalan kiranya jika Komisi Yudisial pelembagaannya
ditempatkan didalam UUD 1945 karena memang tidak ada larangan,
namun pertanyaan didalam penelitian ini adalah bukan soal boleh atau
tidak boleh akan tetapi soal tepat ataukah tidak tepat jika pelembagaan
KY dimuat didalam UUD 1945.
Jika mengacu pada besar atau kecilnya wewenang
konstitusional KY, sesungguhnya kewenangan konstitusional KY
tidaklah besar yaitu hanya mengusulkan pengangkatan calon Hakim
Agung untuk mendapat persetujuan DPR dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.
Komisi Negara lain yang tidak dilembagakan didalam UndangUndang Dasar bahkan bersifat ad hoc seperti KPK bahkan memiliki
wewenang yang jauh lebih besar dari KY.
Fungsi check and balances yang diinginkan para anggota MPR
sebagaimana tampak dalam original intens para pembentuk KY juga
telah dinyatakan tidak tepat oleh MK melalui pertimbangan hukum
didalam perkara 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 sebagai
berikut :
45
53
55
Makna Kemandirian KY
Meskipun KY bersifat mandiri secara kelembagaan, apakah
wewenang KY betul-betul bersifat mandiri atau membantu DPR
dalam rangka memperoleh Hakim Agung yang berkualitas dan
mempunyai integritas yang tinggi terhadap penegakkan hukum dan
58
calon Hakim Agung untuk setiap lowongan kepada DPR, maka sinergi
antara KY dan DPR akan semakin terasa, meskipun tetap saja KY
tidak dapat memastikan bahwa usulannya pasti disetujui oleh DPR.
Logika hukum yang normal akan mengatakan jika seleksi Calon
Hakim Agung yang dilakukan oleh KY sudah baik dan benar, maka
DPR tinggal menyetujuinya, namun sebaliknya jika seleksi Calon
Hakim Agung yang dilakukan oleh KY tidak cukup baik dan benar,
maka wewenang DPR pula untuk menolaknya.
Selanjutnya mengenai frasa wewenang lain dan dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku Hakim dalam pasal ini haruslah dibaca satu nafas
sehingga tidak menyebabkan bias dalam mengartikan wewenang lain
tersebut. Meskipun KY memiliki kewenangan menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim,
namun KY tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada
Hakim, melainkan sebatas merekomendasikan penjatuhan sanksi
terhadap Hakim kepada Ketua Mahkamah Agung. Untuk itulah
diperlukan pula sinergitas antara KY dan Mahkamah Agung
sebagaimana sinergitas KY dan DPR.
Menjadi persoalan hingga saat ini ketika apa yang sudah
direkomendasikan oleh KY tidak dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung khususnya karena adanya perbedaan persepsi mengenai
masalah teknis yudisial. Jaja Ahmad Jayus, Komisioner KY didalam
wawancara mencontohkan didalam putusan Peninjauan Kembali,
Hakim Agung telah membuat pertimbangan yang menyatakan
pengajuan PK telah melebihi tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak ditemukannya novum oleh karenanya Peninjauan Kembali
dinyatakan tidak diterima. Menurut beliau hal tersebut meskipun
persoalan teknis yudisial namun beririsan dengan kode etik, karena
Hakim Agung seharusnya mengetahui bahwa tenggang waktu
pengajuan PK bukanlah 14 (empat belas) hari sejak ditemukannya
novum melainkan 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
ditemukannya novum. Hal teknis yudisial tersebut, jika tidak
disamakan persepsinya antara pemahaman Komisi Yudisial dan
56
asas nemo judex in rex sua/nemo judex in causa sua. Namun demikian
Mahkamah Konstitusi telah membuat pengecualian dari asas nemo
judex in rex sua (asas hukum mengatakan tidak ada prinsip tanpa
pengecualian), yaitu dalam hal ketentuan didalam Undang-Undang
merupakan pelemahan, maka meskipun Mahkamah Konstitusi
memiliki kepentingan atas ketentuan tersebut, tetap dapat memeriksa
dan mengadilinya. Begitu pula halnya dengan Mahkamah Agung,
meskipun tidak termuat didalam pertimbangannya, namun butir-butir
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dimohonkan tidak sah
dan tidak berlaku umum merupakan bentuk pelemahan terhadap
Hakim dan Kekuasaan Kehakiman sehingga oleh karenanya
Mahkamah Agung boleh tetap memeriksa pokok perkaranya.
Ciri khas dari asas, adalah belum tertuang dalam bentuk
norma, sehingga memang secara normatif belum ada aturan yang
melarangnya. Secara normatif (secara sempit) Kewajiban/Hak ingkar
yang diatur didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memang
barulah hak ingkar pencari keadilan, kewajiban ingkar Hakim dan
kewajiban ingkar Panitera, namun belum mengenal kewajiban ingkar
lembaga peradilan. Mengenai hak ingkar pencari keadilan, Pasal 17
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mendefinisikan sebagai hak seseorang yang diadili untuk
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang
hakim yang menyidangkan perkaranya.
Keberatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan karena
Ketua Pengadilan adalah Pejabat yang berwenang untuk menunjuk
Hakim/Majelis Hakim dengan penetapan untuk memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan suatu sengketa/perkara. Adapun kewajiban ingkar
Hakim dan Panitera adalah kewajiban bagi Hakim atau Panitera untuk
mengundurkan diri dari perkara yang diadili dalam hal memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ditentukan didalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kewajiban ingkar Hakim dan Kewajiban ingkar Panitera telah
diatur dalam hukum positif kita sekaligus solusinya yaitu
mengundurkan diri dengan ancaman sanksi, namun sesungguhnya hal
tersebut juga belum cukup, sebab bagaimana jika Hakim telah
65
(5) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sering tidak menimbulkan
masalah karena sudah dipahami betul oleh para Hakim, karena Hakim
pada saat memeriksa saksi juga menerapkan ketentuan yang tidak
boleh didengar ketarangannya sebagai saksi dengan mengacu pada
hubungan keluarga dan semenda (hubungan karena adanya ikatan
perkawinan). Namun agar masyarakat dapat juga memahami sejauh
mana hubungan keluarga dan semenda sampai derajat ketiga, dapat
peneliti gambarkan sebagai berikut :
72
AA
BB
AA
K
Q
Q
Q
M
Keterangan :
A : Hakim atau Panitera
B : Suami atau Istri Hakim/Panitera meskipun telah bercerai
Warna Kuning hubungan keluarga sedarah keatas G,H : Orang
tua, K,L,M,N : Kakek dan Nenek, U,V,W,X : kakek/nenek
buyut dan hubungan keluarga sedarah kebawah sampai derajat
ketiga, C : Anak, E : Cucu, S : Cicit
73
berwenang untuk
perkara tersebut
mengadili
Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang (Kajian tentang Putusan Mahkamah
Agung RI Tahun 2005-2011), Puslitbangkumdil Mahkamah Agung RI, 2013,
halaman 72
77
80
64
82
BAB IV
EKSISTENSI DAN PERAN KY
Secara de facto, eksistensi dan peran KY dimulai sejak
dilantiknya anggota KY periode pertama tanggal 2 Agustus 2005
hingga saat ini. Demikian banyaknya peran KY, maka yang menarik
perhatian publik dan menarik secara akademik saja yang akan
diungkapkan oleh peneliti.
A. Preseden Pengembalian Calon Hakim Agung oleh DPR
kepada KY
Hadirnya KY sesungguhnya telah membawa angin segar
dalam hal pencalonan hakim agung. Dengan dilibatkannya unsur
supra struktur dari Mahkamah Agung, maka telah mengikis praktik
like or dislike dan perkoncoisme dari pimpinan Mahkamah Agung
yang dahulu menjadi penentu siapa saja yang dapat diangkat menjadi
Hakim Agung. Zaman dahulu jika sudah menjadi Ketua Pengadilan
Tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan maka sudah
hampir dipastikan akan menjadi Hakim Agung, sedangkan saat ini
jabatan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut bukan lagi jaminan untuk
menjadi Hakim Agung terlebih sudah dibuka pula keran calon hakim
agung dari jalur non karier, membuat kompetisi untuk menjadi hakim
agung semakin berat.
Dari sekian banyaknya usulan calon hakim agung yang
diajukan oleh KY kepada DPR, anggota Komisi Yudisial merasa
kecewa dengan pengembalian tiga orang calon Hakim Agung (dhi Dr.
Sunarto, SH dkk) oleh DPR karena DPR telah mengembalikan tiga
calon Hakim Agung tersebut kepada KY tanpa menyebutkan alasan
mengapa para calon Hakim Agung dikembalikan (peneliti telah
mengkonfirmasi kepada anggota KY Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH pada
saat wawancara dengan beliau di gedung KY tanggal 7 Mei 2014).
Dugaan adanya faktor non hukum justru sangat mengemuka
karena sebelum diajukannya calon Hakim Agung oleh KY kepada
DPR telah ada beberapa kejadian yang mempengaruhinya yaitu :
83
41
86
test, loby toilet dan Komentar salah seorang Anggota Komisi Yudisial
Imam Anshori Saleh sebagaimana diuraikan diatas sangat jelas
korelasinya. Imam Anshori Saleh seolah-olah ingin menegaskan
bahwa mekanisme fit and proper test yang dilakukan oleh DPR
selama ini bukanlah mekanisme yang tepat untuk memperoleh Hakim
Agung yang berkualitas dan berintegritas, karena bisa saja Hakim
Agung yang dipilih oleh DPR adalah yang melakukan loby kepada
Anggota DPR.
Sebaliknya DPR yang sempat mengancam akan melaporkan
Imam Anshori Saleh dengan tuduhan pencamaran nama baik, dengan
pengembalian tiga orang calon Hakim Agung seolah-olah ingin
menunjukkan bahwa calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY
tidaklah memenuhi kriteria yang diinginkan oleh DPR, sehingga
kinerja KY patut untuk dipertanyakan.
Pengembalian calon Hakim Agung oleh DPR meskipun
disesalkan oleh anggota KY, namun merupakan keniscayaan sebab
adanya kewenangan DPR untuk menyetujui tentu saja dilengkapi
dengan kewenangan untuk menolak calon Hakim Agung yang
diajukan oleh KY. Hal mana, sesuai dengan asas contrarius actus,
yaitu berwenangnya suatu badan/pejabat untuk menerbitkan suatu
keputusan, maka berwenang pula untuk mencabut, begitu pula
berwenangnya suatu badan/pejabat untuk menyetujui, maka
berwenang pula untuk menolak.
Hal yang disayangkan justru ketika DPR mengembalikan /
menolak calon Hakim Agung tanpa disertai dengan alasan apapun,
karena hal tersebut merupakan preseden buruk bagi praktek bernegara.
Didalam hukum administrasi, terdapat asas-asas umum pemerintahan
yang baik yang salah satunya adalah asas motivasi yang artinya setiap
keputusan seharusnya disebutkan motivasi atau alasannya didalam
konsideran mengapa badan/pejabat tata usaha Negara menerbitkan
keputusan tersebut.
Preseden buruk tersebut tidak lepas juga dari adanya tuntutan
masyarakat agar DPR tidak lagi menyelenggarakan fit and proper test
bagi calon hakim agung. Namun demikian, jika Putusan MK Nomor
27/PUU-XI/2013 tersebut difahami betul, sesungguhnya tidak ada
87
larangan bagi DPR untuk tetap menyelenggarakan fit and proper test
bagi calon hakim agung meskipun yang diajukan hanya 1 (satu) calon
untuk masing-masing lowongan, sebab bagaimana mungkin DPR
mengetahui kualitas calon hakim agung jika tanpa dilakukan fit and
proper test. Namun demikian fit and proper test oleh DPR haruslah
dilakukan secara transparan sehingga tidak menimbulkan kesan
dilakukannya fit and proper test demi mencapai komitmen-komitmen
tertentu antara anggota DPR dengan calon hakim agung.
Jika preseden buruk ini tidak segera dicarikan solusinya, maka
kemungkinan hal ini terulang kembali sangatlah besar terjadi, sebab
disisi lain, kewenangan KY sebagaimana termuat dalam UUD 1945
hanyalah sebatas mengusulkan calon Hakim Agung kepada DPR
tanpa wewenang untuk mengajukan upaya hukum apapun jika para
calon Hakim Agung yang diajukan ditolak/dikembalikan.
Atas dasar praktek bernegara yang seperti itu, perlu kiranya
dipikirkan kembali upaya untuk mengharmonisasikan hubungan DPR
dan KY, termasuk solusi hukum untuk mencegah preseden buruk
sebagaimana diuraikan diatas agar tidak merugikan para calon Hakim
Agung yang sudah bersusah payah mengikuti proses seleksi untuk
menjadi Hakim Agung dan juga merugikan keuangan negara karena
uang negara yang dikeluarkan oleh KY untuk menyelenggarakan
seleksi calon Hakim Agung tidaklah sedikit.
Untuk itu perlu kiranya ada satu norma didalam UndangUndang yang memberikan batasan kepada DPR berapa kali dapat
menolak calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY serta
mewajibkan kepada DPR untuk memberikan alasan sesuai asas
motivasi untuk setiap keputusan pengembalian calon Hakim Agung
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Solusi tersebut sesungguhnya
sangat sulit terwujud sebab pembuatan Undang-Undang merupakan
wewenang DPR sehingga hampir tidak mungkin DPR membatasi
wewenangnya sendiri melalui Undang-Undang yang dibuatnya jika
tidak ada kelompok penekan. Namun kesadaran DPR untuk
membangun pola hubungan yang baik dengan Komisi Yudisial
kiranya dapat membantu melunakkan hati para anggota DPR agar
88
67
Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MARI dan KYRI Nomor :
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara
Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis
Kehormatan Hakim
68
Peran Ikahi kiranya dapat dianalogikan dalam pemberhentian
Dokter bukan Menteri Kesehatan yang dilibatkan tetap Ikatan Dokter
Indonesia karena pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap
etika profesi
91
69
95
C. KY di beberapa Negara
Komisi Yudisial di beberapa negara dimuat sebagai bahan
perbandingan dengan Komisi Yudisial di Indonesia. Untuk itu hanya
dimuat beberapa negara yang peneliti anggap menarik dengan meneliti
96
70
Susanti Adi Nugroho mengutip dari Ernie Schmatt, Implementation
of Judicial Commision in New South Wales as a comparative Perspektif for
The Establishment of Judicial Commision in Indonesia, makalah pada
seminar sehari yang diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang MARI dan
Australian Legal Resources Internasional di Jakarta Tanggal 24 Juli 2002
halaman 3
71
ibid, halaman 25
97
72
74
81
103
104
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tersebut diatas, maka dapat peneliti
simpulkan beberapa hal :
1. Kebebasan dan kemandirian hakim dalam memutus perkara telah
mendapat jaminan dari UUD 1945. Kebebasan dan kemandirian
tersebut tidak boleh digunakan sebebas-bebasnya, sehingga
didalam pelaksanaannya dibutuhkan pengawasan baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Desakan pembentukan
lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim sangatlah
kuat, disamping keraguan akan pengawas internal juga
terpuruknya kondisi dunia peradilan telah membuat anggota MPR
melembagakan Komisi Yudisial didalam Bab IX UUD 1945 agar
kedudukannya lebih kuat.
2. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 bukan hanya tidak tepat
didalam Bab IX satu bab dengan pelaku kekuasaan kehakiman,
melainkan juga apabila ditempatkan di Bab tersendiri didalam
UUD 1945. Meskipun KY bukanlah lembaga negara ad hoc
melainkan lembaga negara yang bersifat tetap dan mandiri, namun
KY adalah lembaga negara yang bersifat supporting organ dengan
kewenangan yang relatif kecil sehingga lebih tepat dilembagakan
didalam Undang-Undang.
3. Sejak dilembagakan didalam Bab IX UUD 1945 dengan 2 (dua)
wewenangnya, KY telah mengalami pasang surut kewenangan
dimana puncaknya KY memiliki 9 (sembilan) wewenang. Saat ini
wewenang KY tersisa 6 (enam) dimana 3 (tiga) wewenang
bersifat mandiri sedangkan 3 (tiga) wewenang lain bersifat
bersama-sama Mahkamah Agung. Tambahan wewenang yang
diberikan kepada KY diantaranya terbukti telah bertentangan
dengan UUD 1945, oleh karenanya Presiden dan DPR harus
berhati-hati dalam menambah wewenang bagi KY.
4. Secara de facto, eksistensi dan peran KY dimulai sejak pelantikan
anggota KY periode pertama tanggal 2 Agustus 2005. Sebagai
105
107
108
DAFTAR PUSTAKA
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,
ELSAM, Jakarta, 2004
Arief Hidayat, Bernegara itu tidak mudah (dalam perspektif Politik
dan Hukum) Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang
Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Undip, 4 Februari 2014
Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, YPI Al-Musdariyah,
Bandung, 2010
Dani Elpah, Penormaan Konsep Kepentingan Umum Dalam UndangUndang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi,
Mataram, 2013
Elza Fais dkk, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Cikal
Bakal, Pelembagaan dan Dinamika Wewenang, diterbitkan
oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Tahun 2013
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Upaya
Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial
dalam Pengawasan Peradilan, Setara Press, Malang, 2014
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan
Hukum Nasional, dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta,
SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Koerniatmanto
Soetoprawiro,
Latar
Belakang
Konsep
Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
Amandemen) dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta,
SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang (Kajian tentang Putusan
Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011), Puslitbangkumdil
Mahkamah Agung RI, 2013
Martitah, Konsep Prismatik Pancasila Sebagai Landasan Politik
Konstitusi Indonesia, Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian
109
111
112
113
114