Anda di halaman 1dari 138

EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL

Pengkajian Filosofi, Sejarah dan Tujuan


Pembentukannya Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL:


PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN
PEMBENTUKANNYA DALAM DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA

LAPORAN PENELITIAN

Koordinator Peneliti :
Tri Cahya Indra Permana, SH., MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN KEADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

LAPORAN PENELITIAN

EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL :


PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN
PEMBENTUKANNYA DALAM DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA

Koordinator Peneliti :
Tri Cahya Indra Permana, SH., MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN


BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI
2014

KATA PENGANTAR
Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan
Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan
satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan Yaitu :
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Peradilan Militer;
berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah satu tugas
dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat
Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita)
maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.
Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang
Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni :
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;
Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung
RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
adalah Penelitian (Puslitbang).
Berdasarkan DIPA 2014 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah
melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi
tupoksinya. Salah satunya adalah Penelitian "EKSISTENSI DAN
PERAN KOMISI YUDISIAL : PENGKAJIAN FILOSOFI,
SEJARAH DAN TUJUAN PEMBENTUKANNYA DALAM
DINAMIKA
KETATANEGARAAN
INDONESIA"
yang
merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut
i

dilaksanakan diwilayah Hukum Pengadilan di Jakarta. Hasilnya


telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Laporan.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih
atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari
pengumpulan bahan-bahan sampai dengan selesainya
penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian
"EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL :
PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN
PEMBENTUKANNYA
DALAM
DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA".
Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh
dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Jakarta, September 2014


KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN

NY. SITI NURDJANAH, SH., MH

ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Balitbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2014 telah
berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni
menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup Discussion
(FGD) untuk mendiskusikan Proposal Penelitian berjudul
"EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL :
PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN
PEMBENTUKANNYA
DALAM
DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA" kegiatan FGD Proposal
tersebut berlangsung di Jakarta. Setelah FGD Proposal,
dilanjutkan dengan memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian
Kepustakaan di Jakarta, melalui kompilasi bahan dan data
penelitian, seleksi serta analisis terhadap berbagai data, bahan,
referensi kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang
relevan, serta dilengkapi sejumlah wawancara dengan para
narasumber yang kompeten. Terhadap hasil Penelitian tersebut
kemudian dilakukan Kegiatan Focus Grup Discussion (FGD)
untuk membahas dan mendiskusikan Hasil Penelitian dengan
tujuan
untuk
mendapatkan
masukan
dalam
rangka
penyempurnaan hasil penelitian.
FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil Penelitian
telah diikuti oleh para undangan, antara lain meliputi beberapa
Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim Tinggi Pengawasan, Hakim
Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim
Yusitisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti
Puslitbang Mahkamah Agung, peneliti dari Instarisi atau
Lembaga lain, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Staf
Puslitbang. Dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai
masukan, kritik dan usulan bagi penyempurnaan proposal
maupun hasil penelitian. Diharapkan mampu meningkatkan
iii

kualitas dan kemanfaatan hasil penelitian, baik bagi kalangan


internal Mahkamah Agung beserta segenap jajaran dan
hirarkinya, maupun bagi para stake holder lainnya.
Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai bentuk
pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah
Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya
pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan
manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.


NIP. 19590107 198303 1 005

iv

SEKAPUR SIRIH
Puji Syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas
limpahan berkahnya sehingga penelitian dengan judul Eksistensi dan
Peran KY : Pengkajian Filosofi, Sejarah dan Tujuan Pembentukannya
dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dapat kami selesaikan.
Pembahasan mengenai pengawasan terhadap Hakim, baik didalam
teori maupun di dalam praktek selalu menarik untuk diteliti karena
berkaitan dengan upaya kita mewujudkan Peradilan yang Agung
sesuai dengan visi Mahkamah Agung.
Dari sudut pandang pengawasan, upaya mewujudkan
Peradilan yang Agung dapat dilakukan dengan menciptakan
pengawasan peradilan yang baik dan bersih karena ibarat kata pepatah
membersihkan lantai yang kotor hanya dapat dilakukan dengan sapu
yang bersih. Karena itu, beberapa hal yang menarik dari penelitian
ini antara lain pembahasan mengenai arti pentingnya pengawasan
terhadap hakim dan begitu pentingnya suatu lembaga pengawasan
eksternal terhadap perilaku hakim untuk menciptakan peradilan yang
baik dan bersih dengan segala kompleksitasnya. Masalah lain yang
tidak kalah menariknya adalah mengenai tepat atau tidaknya
pelembagaan KY didalam UUD 1945, pasang surut wewenang KY
serta eksistensi dan peran KY dalam hal-hal yang menarik perhatian
publik dan menarik secara akademik.
Sebagai koordinator peneliti yang kebetulan berprofesi
sebagai hakim, peneliti sedikit mengetahui bagaimana praktek
bersih-bersih terhadap peradilan dan pengusulan calon Hakim
Agung yang dilakukan oleh KY mendapat hambatan-hambatan, dan
ditengah keterbatasan baik keterbatasan personil, anggaran dan
wewenang KY tetap berusaha memenuhi harapan publik. Penelitian
ini juga membahas mengenai peran KY didalam Majelis Kehormatan
Hakim, sehingga cukup memberikan contoh kasus-kasus pelanggaran
etika oleh hakim. Dengan kajian yang dibantu oleh Focus Group
Discussion (FGD), maka penelitian ini diharapkan dapat berguna
untuk dibaca oleh para mahasiswa, akademisi, anggota dewan dan
lebih utama lagi para hakim.
v

Satu hal yang juga patut peneliti apresiasi adalah bagaimana


Wakil Ketua KY, Anggota KY, Kapuslitbang MA RI, dan beberapa
hakim tinggi dan hakim tingkat pertama serta rekan-rekan peneliti
seolah-olah bergotong royong memberi masukan kepada kami demi
selesainya penelitian ini dengan sebaik-baiknya.
Alhasil, setelah selesainya penelitian ini kita dapat mengetahui
betapa sulitnya menjalankan profesi sebagai hakim terlebih di era
keterbukaan ini sebagaimana sulitnya menegakkan hukum dan
keadilan guna memberikan jaminan bagi hak asasi manusia khususnya
hak untuk memperoleh keadilan. Oleh karenanya dengan membaca
hasil penelitian ini juga menyadarkan kepada kita bahwa pengawasan
terhadap hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sesuai
dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat juga dapat
dilakukan bukan hanya oleh KY dan Badan Pengawasan Mahkamah
Agung namun juga oleh masyarakat secara luas.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini, wabil khusus
kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kumdil MA RI Ibu Siti
Nurdjanah, SH., MH dan Kapuslitbang Kumdil MARI Bapak Prof.
Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS beserta jajarannya yang telah
mempercayakan penelitian ini kepada kami. Wakil Ketua KY Bapak
Dr. H. Abbas Said, SH dan Anggota KY Bapak Dr. Jaja Ahmad Jayus,
SH. Para Hakim Tinggi baik di PT TUN Jakarta maupun di Puslitbang
MA RI, Bapak Dr. Dani Elpah, SH., MH, Bapak Dr. Bunyamin
Alamsyah, SH., M.Hum, Bapak Dr. Disiplin F Manao, SH., MH, dan
Bapak Dr. Santer Sitorus, SH. Pimpinan dan rekan-rekan hakim
tingkat pertama, Bapak Hendro Puspito, SH., M.Hum, Bapak Ujang
Abdullah, SH., Msi, Bapak Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH, Teguh Satya
Bhakti, SH., MH dan rekan-rekan di Puslitbang Kumdil MA RI, Dr.
Ismail Ramadhan, SH, Budi Suhariyanto, SH., MH, Mbak Dini dan
Bu Eni serta pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satupersatu karena disela-sela kesibukannya masing-masing masih sempat
untuk memberi masukan, kritik dan saran terhadap sebuah penelitian
yang semoga dapat semakin memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
hukum. Semoga segala bantuan Bapak/Ibu sekalian dicatat sebagai
vi

amal ibadah dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT,
Amin.
Peneliti menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak,
maka penelitian inipun sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya
kritik, saran dan tegur sapa sangat peneliti nantikan demi lebih
menyempurnakan penelitian ini.

Jakarta, Agustus 2014


Koordinator Peneliti,

Tri Cahya Indra Permana

vii

viii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT KUMDIL .

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ...

iii

SEKAPUR SIRIH

DAFTAR ISI .

ix

I.

PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Perumusan Masalah ..
C. Tujuan Penelitian ..
D. Kegunaan Penelitian .
E. Metode Penelitian .
F. Sistematika Penulisan ...

1
1
6
7
7
7
10

II.

TINJAUAN PUSTAKA .

13

III.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Arti Penting Pengawasan Terhadap Hakim .
B. Aspek Filosofis dan Sejarah Pembentukan Komisi
Yudisial ..
C. Persoalan Hukum dalam Pelembagaan KY didalam
UUDN RI Th 1945
D. Apakah KY Lembaga Negara Ad Hoc
E. Ukuran-ukuran Melembagakan Lembaga Negara
Didalam UUD 1945 ..
F. Makna Kemandirian Komisi Yudisial ..
G. Pasang Surut Hubungan KY dan MA ..
H. Nemo Judex in Casua Sua/Nemo Judex in Rex Sua .
I. Pasang Surut Wewenang Komisi Yudisial ...

23
23
31
40
41
44
54
57
58
77

ix

EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL .


A. Preseden Pengembalian Calon Hakim Agung oleh
DPR kepada KY ..
B. Peran Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan
Hakim ..
C. Komisi Yudisial dibeberapa Negara .
D. Persepsi Anggota KY mengenai KY yang Lebih Ideal

83

PENUTUP ...
A. Kesimpulan ...
B. Saran .

105
105
106

DAFTAR PUSTAKA ...

109

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN ..

113

IV.

V.

83
90
96
98

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan kita
diawali dari adanya amandemen UUDN RI Tahun 1945 khususnya
hasil amandemen UUDN RI Tahun 1945 yang ketiga dan ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 9 November
20011. Fakta bahwa Komisi Yudisial ditempatkan di dalam UUDN RI
Tahun 1945 khususnya pada Pasal 24 B, satu bab (didalam bab IX)
dengan pelaku Kekuasaan Kehakiman sudah tidak terbantahkan lagi.
Meskipun pengamandemen Undang-Undang Dasar menyadari bahwa
Komisi Yudisial bukanlah pelaku Kekuasaan Kehakiman, namun
menurut pembentuk Undang-Undang, fungsi Komisi Yudisial
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal itu tercermin dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial menyebutkan bahwa Pasal 24 B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
landasan yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan
memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan
check and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku
kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman.
Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
hasil amandemen itu sendiri menyebutkan sebagai berikut :
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

www.bappenas.go.id diunduh tanggal 27 Februari 2014


1

2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan


dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang.
Adapun tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah untuk
mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk
menegakkan hukum dan keadilan serta untuk meningkatkan integritas,
kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan
pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan
tugasnya2.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 24 B ayat (4) UUDN RI 1945
tersebut, maka dibentuklah Komisi Yudisial berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2004 dengan 2 (dua) wewenang
utama yaitu : mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR
dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku Hakim.
Disamping diberikan wewenang, ada pula tugas-tugas
normatif yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Untuk
kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, maka Komisi
Yudisial bertugas : melakukan pendaftaran calon Hakim Agung,
melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung, menetapkan calon
Hakim Agung dan mengajukan calon Hakim Agung kepada DPR 3.
Untuk kewenangan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku Hakim, Komisi Yudisial bertugas melakukan
pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim berdasarkan pedoman
perilaku Hakim.

www.komisiyudisial.go.id, diunduh tanggal 24 Februari 2014


Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
2
3

Sebagai sebuah Komisi Negara yang memiliki dua


kewenangan utama, maka penempatan Komisi Yudisial ke dalam
Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 membuatnya sejajar dengan
lembaga negara lainnya yang juga dimuat didalam UUDN RI Tahun
1945. Koerniatmanto Soetoprawiro 4 mengatakan bahwa pengertian
lembaga negara sama dengan pengertian Badan Negara menurut para
penyusun UUD 1945 yang menurut Ketetapan MPRS No.
VIII/MPRS/1965, Lembaga Negara tersebut antara lain :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Kementerian Negara.
d. Dewan Pertimbangan Agung.
e. Pemerintah Daerah.
f. Badan Pemeriksa Keuangan.
g. Mahkamah Agung.
h. Lembaga-Lembaga Negara berdasarkan peraturan perundangundangan.
Seiring dengan dinamika ketatanegaraan kita melalui
amandemen UUDN RI Tahun 1945, memang telah ada Lembaga
Negara yang eksistensinya dihapuskan dari Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
ada lembaga negara yang dipertahankan keberadaannya, namun
sebaliknya ada Lembaga Negara yang dilahirkan melalui UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 antara lain Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) serta Dewan Pertimbangan Presiden5.

4
Koerniatmanto
Soetoprawiro,
Latar
Belakang Konsep
Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum Amandemen) dalam
buku Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.
B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008 halaman 185
5
Pasal 16 UUDN RI 1945 mengamanatkan kepada Presiden untuk
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam UndangUndang
3

Amandemen UUDN RI Tahun 1945 merupakan bentuk


politik hukum pembentuk Undang-Undang yang telah merespon
perkembangan kondisi masyarakat termasuk kondisi lembaga
peradilan kita. Menurut Mahfud MD6, politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus
pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan
negara seperti yang tercantum didalam Pembukaan UUD 1945.
Persoalan muncul ketika Lembaga Negara yang kelahirannya
dimuat didalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 adalah
sebuah Komisi Negara bernama Komisi Yudisial. Sebagai sebuah
Komisi Negara bukankah Komisi Yudisial memiliki kedudukan yang
juga sejajar dengan Komisi Negara yang lain seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham),
Komisi Kejaksaan (Komjak), Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi (KI),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi-Komisi lain yang
pelembagaannya tidak dimuat didalam UUD 1945. Namun dari sekian
banyaknya komisi negara, hanya ada 2 (dua) komisi yang
kelahirannya dimuat didalam UUDN RI Tahun 1945 yaitu Komisi
Yudisial dan komisi pemilihan umum7. Timbul pertanyaan mendasar
apakah sudah sedemikian gentingkah kondisi dunia peradilan kita
dimata para anggota MPR saat itu sehingga harus menempatkan
Komisi Yudisial kedalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945?
Fungsi check and balances (saling mengawasi dan saling
menyeimbangkan) yang termuat didalam penjelasan umum UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juga telah
menempatkan Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara yang
seolah-olah berkedudukan seimbang dengan pelaku kekuasaan
6

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2009, halaman 1
7
Pasal 22E ayat (5) UUDN RI Tahun 1945 menyebut komisi
pemilihan umum dengan awalan huruf kecil
4

kehakiman yaitu Makamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan


bukan sebagai lembaga supporting system dari pelaku kekuasaan
kehakiman.
Akibat kedudukan yang seolah-olah seimbang tersebut,
maka pada awal kehadiran Komisi Yudisial, sempat terjadi
ketidakharmonisan hubungan antara KY dan MA seperti perbedaan
pendapat yang sangat mencolok terkait dengan kewenangan Komisi
Yudisial dalam mengawasi Hakim Agung dan terkait laporan dari
masyarakat mengenai masalah teknis yudisial yang diajukan kepada
Komisi Yudisial.
Hal yang pertama telah menghasilkan judicial review dari 31
(tiga puluh satu) orang Hakim Agung ke Mahkamah Konstitusi dan
telah diputus melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
005/PUU/IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006. Hal yang kedua hingga
saat ini masih menjadi perdebatan yang pada initinya Mahkamah
Agung menilai Komisi Yudisial tidak berhak memasuki masalah
teknis yudisial sebab hal tersebut merupakan wilayah/domain para
Hakim yang hanya dapat dibatalkan oleh peradilan tingkat
banding/kasasi/PK, Komisi Yudisial dipihak lain berpandangan justru
melalui putusan pengadilan yang merupakan pintu masuk untuk
melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dapat diketahui ada
tidaknya pelanggaran kode etik oleh hakim.
Persoalan yang muncul baru-baru ini adalah adanya pasang
surut kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi dan membentuk
panel ahli untuk memilih Hakim pada Mahkamah Konstitusi yang
ditegaskan didalam Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan kemudian ditetapkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi namun
beberapa pasal didalamnya telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11
Februari 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat saja dimaknai
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak ingin diawasi oleh Komisi
5

Yudisial karena telah memiliki Majelis Kehormatan Hakim sendiri,


namun disisi lain dapat pula dimaknai bahwa Mahkamah Konstitusi
melalui putusannya ingin mengembalikan kewenangan konstitusional
Komisi Yudisial sesuai UUD 1945.
Disamping itu muncul pula ketidakharmonisan hubungan
Komisi Yudisial dengan DPR terkait dengan pengembalian calon
Hakim Agung yang dimohonkan persetujuan oleh KY kepada DPR.
Hal tersebut diduga sebagai akibat dari dipangkasnya kewenangan
DPR oleh MK untuk melakukan fit and proper test terhadap calon
Hakim Agung serta balas dendam atas pernyataan salah seorang
anggota Komisi Yudisial yang mengaku pernah didatangi anggota
DPR untuk meloloskan salah satu calon Hakim Agung. Akibat dari itu
semua kemudian muncul ungkapan rekruitmen calon Hakim Agung
yang mubazir.
Meskipun ketidakharmonisan antara Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi serta
Komisi Yudisial dan DPR tersebut diatas hingga kini masih timbul
dan tenggelam, namun satu yang pasti bahwa pelaksanaan tugas
pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial kepada Hakim tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka
terdapat beberapa persoalan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
a. Apakah landasan filosofis sejarah pembentukan Komisi
Yudisial oleh MPR melalui amandemen UUDN RI Tahun
1945?
b. Sebagai sebuah Komisi Negara, apakah tepat apabila
pelembagaan Komisi Yudisial ditempatkan didalam Bab IX
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945?
c. Bagaimana dinamika wewenang Komisi Yudisial berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, peraturan
perundang-undangan lainnya serta berdasarkan Putusan
Lembaga Peradilan?
6

d. Bagaimana eksistensi dan peran Komisi Yudisial dalam


melaksanakan kewenangannya sesuai Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi tujuan secara teoritis
dan tujan secara praktis. Tujuan secara teoritis antara lain untuk
mengetahui aspek filosofis, sejarah hukum dan kondisi-kondisi hukum
khususnya dunia peradilan yang melatarbelakangi dibentuknya
Komisi Yudisial dan alasan mengapa pengaturan mengenai Komisi
Yudisial ditempatkan didalam Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Disamping itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apa sesungguhnya kewenangan Komisi Yudisial yang secara
otentik/sahih ditentukan didalam UUDN RI Tahun 1945 serta secara
praktis untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan peran Komisi
Yudisial dalam menjalankan kewenangannya.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian juga dibedakan kegunaan secara teoritis dan
kegunaan secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai aspek filosofis, sejarah hukum
dan kondisi yang melatarbelakangi dibentuknya Komisi Yudisial dan
alasan mengapa Komisi Yudisial ditempatkan didalam UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta memberi gambaran
mengenai kewenangan Komisi Yudisial. Sedangkan secara praktis,
penelitian diharapkan dapat memberi masukan bagi Komisi Yudisial,
Mahkamah Agung, DPR dan MPR terkait eksistensi dan peran Komisi
Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia.
E. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan sebuah karya berupa hasil penelitian,
maka penulis akan melakukan penelitian dengan menggunakan
metode tertentu sebagai berikut :
7

a. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sejarah, pendekatan cita Negara (staatsidee) dan pendekatan kualitatif
serta pendekatan studi perbandingan. Dani Elpah8 mengatakan
Pendekatan sejarah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sejarah hukum peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini yang diselidiki adalah sejarah hukumnya suatu
peraturan perundang-undangan, misalnya memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan di Lembaga
Legislatif, surat menyurat antara pemerintah dengan
komisi yang ada di Lembaga Legislatif.
2. Sejarah peraturan perundang-undangan, yang diselidiki
dalam hal ini adalah maksud pembentuk peraturan
perundang-undangan pada waktu membuatnya (suasana
kebatinan).
Pendekatan cita Negara (staatsidee) merupakan pendekatan
untuk memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa yang
terkandung didalamnya guna membangun ketatanegaraan yang lebih
tepat. Pendekatan ini untuk menghindari penerimaan mentah-mentah
terhadap pendekatan original intens para pembentuk Undang-Undang
yang sangat mungkin tidak tepat. Sedangkan pendekatan kualitatif
yaitu suatu pendekatan analisis non-statistik atau non-matematis.
Metode ini bertujuan untuk memahami atau mengerti gejala hukum
yang akan diteliti dengan menekankan pada permasalahanpermasalahan secara mendalam. Adapun pendekatan studi
perbandingan digunakan untuk membandingkan Komisi Yudisial RI
dengan Komisi Yudisial di beberapa negara guna membangun Komisi
Yudisial yang lebih ideal bagi Indonesia.

Dani Elpah, Penormaan Konsep Kepentingan Umum Dalam


Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Mataram,
2013, hlm 34
8

b.

Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dari penelitian ini adalah deskriftif analitis dan
yuridis normatif. Deskriftif karena penelitian ini akan
menggambarkan bagaimana kondisi hukum dan dunia peradilan kita
sehingga Komisi Yudisial telah dibentuk. Kemudian menggambarkan
mengenai apa saja kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana
Komisi Yudisial menjalankan kewenangannya dalam dinamika sistem
ketatanegaraan kita. Selanjutnya dianalisis guna menemukan kaidah
hukum baru yang dapat memperkaya kajian futuristik mengenai halhal apa saja yang seharusnya diatur di dalam Undang-Undang Dasar
kita khususnya pada bab mengenai kekuasaan kehakiman.
c.

Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dimaksudkan agar diperoleh data yang
berhubungan erat dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini akan digunakan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh dari tangan pertama,
dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka data
yang akan digunakan hanyalah data sekunder. Sedangkan data
sekunder adalah data yang bersumber atau diperoleh dari studi
kepustakaan9 yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan Pengadilan, bahan hukum
sekunder berupa buku-buku literatur hukum, hasil penelitian dan
karya ilmiah, serta bahan hukum tersier berupa artikel-artikel hukum
dan kamus hukum.
d.

Metode Analisis Data


Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis
secara kualitatif induktif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
dibahas dengan menggunakan metode berpikir induktif. Analisis
kualitatif adalah suatu kegiatan untuk memanfaatkan bahan hukum
9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas


Indonesia Press, Jakarta, 1984, halaman 52
9

primer, sekunder dan tersier untuk dipergunakan dalam memecahkan


masalah penelitian, sedangkan metode berpikir induktif adalah
metode berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus
untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan disusun dan disajikan dalam suatu
karya tulis ilmiah yang terdiri dari 4 (empat) bab, dan tiap bab akan
dirinci menjadi beberapa sub bab. Bab pertama (pendahuluan)
merupakan pengantar dan pedoman bagi pembahasan berikutnya.
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab dua berupa tinjauan pustaka yang menguraikan tentang
landasan teori atau kerangka pemikiran yang nantinya akan sangat
membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian antara lain teori-teori
mengenai negara hukum (rechtstaat), teori-teori mengenai kekuasaan
kehakiman (judicial power), teori-teori mengenai kewenangan
(theorie van het gezag) dan teori mengenai pengawasan.
Selanjutnya bab tiga berupa hasil penelitian dan analisis
terhadap hasil penelitian. Pada bab ini diuraikan mengenai hasil
penelitian, analisis data dan pembahasan yang mendalam terhadap
hasil penelitian yang meliputi hal-hal sebagai berikut : aspek filosofis,
sejarah hukum dibentuknya Komisi Yudisial, kondisi dunia peradilan
(termasuk kondisi badan Pengawasan Mahkamah Agung) yang
melatarbelakangi dilahirkannya Komisi Yudisial, Suasana kebatinan
pada saat amandemen UUDN RI 1945 khususnya amandemen yang
ketiga, kiprah awal Komisi Yudisial dalam menjalankan
kewenangannya, ketidakharmonisan hubungan
antara Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung, Judicial Review Para Hakim Agung
ke Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
kewenangan pengawasan Komisi Yudisial, eksistensi dan peran
Komisi Yudisial dalam kasus pemeriksaan Hakim, Peran Komisi
Yudisial dalam rekruitmen Hakim Agung, penilaian terhadap
rekomendasi Komisi Yudisial, Ketidakharmonisan hubungan antara
10

Komisi Yudisial dan DPR, Ketidakharmonisan hubungan antara


Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi, makna kewenangan DPR
menyetujui Hakim Agung yang diajukan Komisi Yudisial, Peran KY
dalam seleksi calon Hakim Agung, pasang surut kewenangan Komisi
Yudisial dalam melakukan pengawasan dan rekruitmen Hakim
Konstitusi, Kewenangan Komisi Yudisial Pasca putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 dan
kewenangan Komisi Yudisial dalam perekrutan calon hakim.
Selanjutnya bab empat berupa penutup yang berisi tentang
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta saran-saran yang
dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
hasil penelitian.

11

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Agar penelitian ini tetap fokus pada permasalahan yang telah
diuraikan, maka diperlukan kerangka pemikiran yang berguna sebagai
pisau analisis dalam membahas hasil penelitian. Kerangka pemikiran
tersebut meliputi teori-teori Negara Hukum, Kekuasaan Kehakiman
dan teori kewenangan.
Didalam penjelasan umum UUDN RI Tahun 1945 disebutkan
bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsep negara hukum
rechtstaat bertumpu pada tradisi hukum civil law system yang lekat
dengan ajaran hukum legisme yang mementingkan Undang-Undang
tertulis, meletakkan aspek kepastian hukum Undang-Undang dan
menganggap hakim hanya sebagai corong undang-undang (wet).
Sedangkan rule of law berkembang dalam masyarakat common law,
hukum rakyat, hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga aspek
keadilan merupakan unsur yang utama10.
Menurut Lili Rasjidi11, Indonesia telah memilih negara
hukum sebagai bentuk negara, yang berarti bahwa setiap tindakan dan
akibatnya yang dilakukan oleh semua pihak di negara ini harus
didasarkan atas hukum dan diselesaikan menurut hukum, sehingga
hukum merupakan sarana utama untuk mengatur kehidupannya.
Prinsip negara hukum yang dianut oleh NKRI adalah Negara
Hukum Pancasila yang bersifat prismatik dan integratif, yaitu prinsip
negara hukum yang mengintegrasikan atau menyatukan unsur-unsur
yang baik dari beberapa konsep yang berbeda (yaitu unsur-unsur
dalam rechtstaat, the rule of law, konsep negara hukum formil dan
10
Martitah, Konsep Prismatik Pancasila Sebagai Landasan Politik
Konstitusi Indonesia, Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi Universitas
Negeri Semarang, Volume II Nomor 2, November 2010, halaman 193
11
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka
Pembinaan Hukum Nasional, dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika
Aditama, Bandung, 2008 halaman 129
13

negara hukum materiil) dan diberi keIndonesiaan (seperti


kekeluargaan, kebapakan, keserasian, keseimbangan dan musyawarah
yang semuanya merupakan akar-akar dari budaya hukum Indonesia)
sebagai nilai spesifik sehingga menjadi prinsip Negara Hukum
Pancasila. Prinsip kepastian hukum dalam rechtstaat dipadukan
dengan keadilan dalam the rule of law. Kepastian hukum harus
ditegakkan untuk memastikan bahwa keadilan di dalam masyarakat
juga tegak12.
Untuk memastikan tegaknya hukum dan keadilan, maka oleh
para pendiri negara kita (The Founding Fathers) dibentuklah
Lembaga Negara yang berfungsi sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang bersifat mandiri sebagaimana diatur didalam Pasal
24 UUDN RI Tahun 1945;
Secara normatif, kemandirian lembaga peradilan telah
mendapat jaminan dari UUDN RI Tahun 1945 dan telah menjadi
kesepakan para ahli hukum bahwa salah satu ciri negara hukum
adalah adanya peradilan yang merdeka dan tidak memihak serta
terbebas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Menurut Kusnu Goesniadhie S13, dari konsep negara hukum
seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka
dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas
melarang kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk
membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang
merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah
dijamin oleh konstitusi tersebut.
Meskipun UUDN RI Tahun 1945 telah menjamin adanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan tetapi didalam
implementasinya pelaku kekuasaan kehakiman seringkali berjalan
melenceng dari kewajiban hukumnya untuk menegakkan hukum dan
12

Arief Hidayat, Bernegara itu Tidak Mudah (dalam perspektif Politik


dan Hukum) Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Undip, 4 Februari 2014, halaman 31-32
13
Kusnu Goesniadhie S, www.kgsc.wordpress.com diunduh tanggal
27 Februari 2014
14

keadilan. Kehadiran Komisi Yudisial dengan 2 (dua) wewenang


utamanya yaitu mengusulkan calon Hakim Agung dan melakukan
pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim diharapkan mampu
mewujudkan peradilan yang merdeka dan tidak memihak serta
terbebas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya.
Melalui seleksi Hakim Agung yang baik dan akuntabel
diharapkan akan diperoleh Hakim Agung yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan, Mengingat kedudukan Hakim Agung yang
sangat strategis yaitu sebagai puncak karier seorang Hakim yang
menjadi panutan bagi Hakim-Hakim di Pengadilan tingkat banding
dan tingkat pertama. Hakim Agung yang baik akan membawa
pengaruh kebaikan bagi Hakim di pengadilan tingkat banding dan
pengadilan tingkat pertama.
Sedangkan dari wewenang pengawasan eksternal terhadap
Hakim, Komisi Yudisial diharapkan dapat menjaga keluhuran harkat
dan martabat profesi Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan dapat meningkat.
Pengawasan eksternal terhadap dunia peradilan sangatlah
penting sebagaimana disampaikan oleh Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia dalam Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu
Rekomendasi) yang dikutip oleh A. Ahsin Thohari14 yang
menyebutkan monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan
semangat korps (lesprit de corps), sehingga obyektifitasnya sangat
diragukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas
pengembangan profesi hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah :
(1) tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang
seharusnya dilakukan oleh masyarakat.
(2) Organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan
prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk
menyampaikan keluhan, sementara dewan-dewan

14

A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,


ELSAM, Jakarta, 2004, halaman 10
15

kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima


keluhan masyarakat.
(3) Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi
kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dari
profesi itu sendiri.
(4) Belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para
pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga
martabat luhur dari profesinya, dan.
(5) Tidak adanya kesadaran etis dan moral diantara para
pengemban profesi bahwa mentaati keputusan dewan
kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting
dalam menjaga martabat profesi.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, bermoral dan bebas dari
bentuk intervensi serta steril dari praktek tidak terpuji merupakan
conditio sine quanon dalam rangka menegakkan dan menjunjung
tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Dalam
konteks perjuangan menuju terwujudnya praktek penyelenggaraan
negara yang bersih, diperlukan upaya yang strategis dan fundamental
bagi terwujudnya komitmen akhlak dan moral serta kualitas
profesionalisme dari para Hakim selaku sumber daya insani utama15.
Hadirnya lembaga pengawas eksternal bagi kekuasaan
kehakiman memang telah membuahkan beberapa kali judicial review
di Mahkamah Konstitusi yang antara lain mempersoalkan
kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi. Namun kewenangan-kewenangan yang diuji
tersebut adalah kewenangan KY yang lahir dari Undang-Undang
bukan kewenangan yang lahir dari Undang-Undang Dasar 1945.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani mendefinisikan teori
kewenangan sebagai teori yang mengkaji dan menganalisis tentang
kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya
baik dalam lapangan hukum publik maupun lapangan hukum privat,
sehingga unsur-unsur yang tercantum dalam teori kewenangan

15

Titik Triwulan Tutik, ibid halaman 81


16

meliputi : adanya kekuasaan, adanya organ pemerintah dan sifat


hubungan hukumnya16.
Dari kacamata politik, kewenangan itu sendiri merupakan
kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimation power) yang
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kewenangan yang bersifat
prosedural dan kewenangan yang bersifat substantif. Kewenangan
prosedural berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan kewenangan substansial berdasarkan faktor yang melekat
pada pemimpin seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan lainlainnya17.
Sedangkan dari kacamata hukum, Ateng Syafrudin
menjelaskan mengenai perbedaan kewenangan dan wewenang sebagai
berikut :
Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan
wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan
(authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh Undang-Undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu saja
dari kewenangan. Didalam kewenangan terdapat wewenangwewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang
pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan18.

16

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum


pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, halaman 186
17
Syahrial Syarbani dkk, Pengetahuan Dasar Ilmu Politik, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2011, halaman 36-37
18
Ibid halaman 184
17

Dari pendapat para ahli tersebut diatas, maka dapat


disimpulkan bahwa kewenangan merupakan genus dari wewenang.
Sedangkan wewenang merupakan spesies dari kewenangan.
Philipus Mandiri Hadjon membagi cara memperoleh
wewenang atas dua cara yaitu :
1. Atribusi; dan
2. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan
(besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti
materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk
memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa
kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah
adalah kewenangan asli karena kewenangan itu diperoleh langsung
dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Dengan
kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang
sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah
yang bersangkutan.
Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain.
Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung
jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat
tertentu yaitu :
1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu didalam peraturan perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi
berwenang untuk memberi penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut.

18

5. Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi


memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan
wewenang tersebut.
Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada
bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada
bawahan untuk membuat keputusan a/n pejabat tata usaha negara
yang memberi mandat. Tanggung jawab tidak berpindah ke
mandataris, melainkan tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini
dapat dilihat dari kata a.n oleh adanya keputusan yang dikeluarkan
oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.19
Philipus Mandiri Hadjon20 menyatakan bahwa berkaitan
dengan lingkup kompetensi suatu jabatan, kemungkinan terdapat tiga
bentuk kewenangan yaitu kewenangan menyangkut kompetensi
absolut (bevoegheid ratione materiae), kewenangan menyangkut
kompetensi relatif (bevoegheid ratione loci), dan kewenangan dari
segi waktu (bevoegheid ratione temporis).
Senada dengan pendapat Philipus Mandiri Hadjon tersebut,
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan akan
menormakan batas-batas kewenangan didalam Pasal 5 ayat (3) yang
menyebutkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan dan
atau Badan Hukum lainnya dibatasi oleh wilayah, materi dan waktu.
Didalam peraturan perundang-undangan, selain wewenang
suatu lembaga negara dikenal juga istilah tugas lembaga negara. Jika
sumber dari wewenang sudah disebutkan diatas yaitu atribusi, delegasi
dan juga terkadang mandat, namun tugas bersumber dari wewenang
itu sendiri. Dengan demikian tugas lembaga Negara merupakan
pengejawantahan dari wewenang lembaga Negara.
Sebagai contoh untuk melaksanakan wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku Hakim, maka Komisi Yudisial berdasarkan Pasal 20
Undang-Undang Komisi Yudisial mempunyai tugas :

19

op cit, halaman 195-196


Philipus Mandiri Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm. 327
19
20

a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap


perilaku hakim;
b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan
pelanggaran Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku
Hakim;
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap
laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim secara tertutup;
d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran
Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim;
e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap
orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum
yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat
hakim;
f. mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan
hakim.
g. dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum
untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
Tugas pengawasan KY terhadap hakim merupakan bentuk
pengawasan eksternal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
negara diluar Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Paulus Effendi Lotulung sebagaimana dikutip oleh SF Marbun
menyebutkan bahwa contoh pengawasan eksternal lainnya misalnya
pengawasan dalam bidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui mass
media (Pers, TV), pengawasan politis (political control) oleh partai
politik dan Dewan Perwakilan Rakyat berupa hearing, pengawasan
yuridis (yudicial control) oleh Pengadilan dalam hal timbul sengketa
antara rakyat dengan pemerintah, baik melalui pengadilan umum
(perdata) maupun pengadilan tata usaha negara21.
21

SF Marbun, Hukum Administrasi Negara II, FH UII Press,


Yogyakarta, 2013, halaman 4
20

Hasil dari pengawasan yang dilakukan oleh lembaga eksternal


tersebut dapat berbeda-beda. Pengawasan eksternal yang dilakukan
oleh BPK dapat berupa Laporan Hasil Audit yang dapat digunakan
oleh lembaga negara lain. Pengawasan eksternal oleh KY dapat
berupa rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap hakim sedangkan
hasil pengawasan eksternal oleh lembaga peradilan dapat berupa
penetapan atau putusan.
Oleh karena Pengawasan eksternal oleh lembaga peradilan
juga bersifat kontrol yuridis, maka dalam hal ini pengadilan dapat
menyatakan batal suatu keputusan pemerintah dan perintah untuk
mencabut keputusan tersebut. Disamping itu jika ada keadaan yang
sangat mendesak dari anggota masyarakat yang akan sangat dirugikan
jika keputusan pemerintah itu terlanjur dilaksanakan, maka lembaga
peradilan (dalam hal ini peradilan tata usaha negara) dapat
memerintahkan kepada pemerintah untuk menunda pelaksanaan surat
keputusan selama pemeriksaan sampai adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap asalkan disisi lain tidak ada kepentingan
umum dalam rangka pembangunan yang menuntut segera
dilaksanakannya keputusan tersebut.

21

22

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Arti Penting Pengawasan Terhadap Hakim
Pada hakikatnya, dalam setiap pengawasan apapun, maksud
utama dan yang selalu menjadi esensi dari setiap bentuk pengawasan
adalah tujuan untuk mencegah dan menghindari sedini mungkin
terjadinya berbagai kesalahan, kekeliruan, atau penyalahgunaan
wewenang, disamping juga untuk menindak atau memulihkan
manakala hal-hal tersebut sudah terjadi. Suatu sistem pengawasan
yang baik pelaksanaannya akan menjadi katup penekan bagi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan
tersebut22.
Terkait dengan pengawasan terhadap Hakim, sebelum
membahas lebih jauh mengenai praktek pengawasan oleh Komisi
Yudisial, pertanyaan yang sangat mendasar sesungguhnya apakah
landasan filosofis yang mendasari perlunya pengawasan terhadap
Hakim sedemikian rupa oleh Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan
Mahkamah Agung, bahkan Pers, serta Lembaga Swadaya Masyarakat
melebihi profesi lain sehingga Hakim seolah-olah sulit untuk
bertindak sebagai manusia yang sewajarnya ?
Pertama, peneliti yang kebetulan juga berprofesi sebagai Hakim
menyadari dan merasakan betul bagaimana kebebasan Hakim didalam
memutus suatu perkara yang memang dijamin oleh konstitusi,
sedemikian bebasnya bahkan pembinaan oleh pimpinan pengadilan
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memutus perkara.
Didalam menjalankan tugasnya, Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia
hanya bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan pada Tuhan Yang
Maha Esa. Kebebasan yang demikian, jika tidak diawasi secara ketat
sangatlah rawan untuk diselewengkan yang dapat menyebabkan
munculnya tirani peradilan.

22

Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan


Kekuasaan, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta 2013, halaman 33
23

Bahkan sedemikian bebasnya Hakim dalam memutus perkara,


menurut Mahfud MD, bagi Hakim yang korup, setiap soal hukum
yang muncul memang selalu bisa diputus. Jika mau memenangkan
salah satu pihak dalam suatu perkara ada dalil undang-undangnya, dan
jika mau mengalahkannya juga ada dalil undang-undangnya23.
Ungkapan Mahfud MD tersebut menunjukan bahwa betapa mudahnya
hukum dipermainkan oleh Hakim yang tidak amanah, bahkan putusan
seolah-olah bisa dijadikan sebagai barang dagangan.
Kedua, pelanggaran kode etik bagi Hakim ibarat bahaya laten
yang dapat muncul atau dilakukan oleh Hakim sewaktu-waktu bahkan
tanpa disadari oleh Hakim yang bersangkutan, misalnya menundanunda sidang padahal para pihak yang bersengketa telah hadir
lengkap. Sebagaimana diketahui bahwa bagi Hakim, pelanggaran
kode etik belum tentu pelanggaran hukum, sedangkan pelanggaran
hukum sudah pasti pelanggaran juga terhadap kode etik.
Ketiga, intervensi bagi Hakim dalam memutus perkara
dirasakan begitu kuatnya terutama intervensi yang datang dari
pimpinan, rekan sejawat dan intervensi oleh uang. Dalam kasus ini,
tidak ada relevansinya antara tingginya jabatan dengan potensi
pelanggaran kode etik yang dilakukan, atau dengan kata lain tidak
jaminan Hakim junior lebih banyak melanggar kode etik dibandingkan
dengan Hakim senior. Bahkan tidak ada jaminan pula, Hakim Tinggi
yang dipercaya sebagai Hakim Tinggi Pengawas tidak melanggar
kode etik dan pedoman perilaku Hakim.
Keempat, budaya hukum masyarakat kita sudah bergeser dari
yang semula mereka datang ke pengadilan untuk mencari keadilan,
namun saat ini yang dicari bukan lagi keadilan melainkan
kemenangan, sehingga tidak jarang menggunakan berbagai macam
cara (semisal intimidasi terhadap Hakim24) untuk memperoleh

23

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Kewenangan Komisi Yudisial,


dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, halaman 453
24
Bentuk intimidasi bisa saja menggunakan tangan Pers atau
Lembaga Swadaya Masyarakat dengan berkirim surat resmi kepada Majelis
Hakim mengenai perkara yang akan diputusnya, dengan tembusan kepada
24

kemenangan. Pengawasan penting agar hakim tidak takut terhadap


intimidasi yang ditujukan kepadanya.
Kelima, keadilan yang substantif haruslah ditempuh dengan
cara-cara yang formal sesuai dengan hukum acara yang berlaku,
sehingga tidak boleh Hakim memutus suatu perkara dengan cara
mengabaikan aspek formal dari keadilan. Disamping hukum acara
merupakan jalan untuk memperoleh keadilan, hukum acara
merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperative, ketat dan
mengikat sehingga tidak dimungkinkan penafsiran dari Hakim.
Pelanggaran terhadap hukum acara sudahlah pasti merupakan
pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim.
Sebuah contoh yang sangat masyhur dicontohkan oleh Kadi
(Hakim) Surekh yang bertugas pada masa pemerintahan kalifah Ali
Bin Abu Thalib, dimana beliau bukan hanya memperhatikan aspek
substantif dari keadilan namun juga tetap memperhatikan aspek
formal untuk mencapai keadilan yang substantif. Selain Kadi (Hakim)
Surekh memposisikan sama antara Ali Bin Abu Thalib yang notabene
adalah seorang Presiden dengan pihak yang telah dituduhnya mencuri
baju perang, Kadi Surekh juga telah menolak saksi yang akan
diajukan oleh Ali Bin Abu Thalib karena saksi tersebut adalah Husein,
meskipun beliau adalah cucu Nabi dan pemimpin para pemuda di
Surga, namun ada larangan bagi seseorang untuk menjadi saksi jika ia
mempunyai hubungan darah dengan salah satu pihak yang
bersengketa.
Aspek formal yang juga diperhatikan oleh Kadi Surekh adalah
bagaimana ia menolak gugatan Ali Bin Abu Thalib karena sudah
menjadi prinsip yang bersifat universal bahwa siapa yang mendalilkan
harus dapat membuktikannya sementara Ali Bin Abu Thalib tidak
dapat mendalilkan tuduhannya tersebut.
Keenam, Hakim harus diberi kesadaran bahwa segala tindaktanduknya selalu diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun
praktek pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim tidak diketahui oleh
Presiden, KPK, dll yang tujuannya agar Hakim menjadi takut dan memutus
perkara sesuai dengan yang diharapkan
25

manusia/pengawas, namun Hakim harus disadarkan bahwa Tuhan


yang Maha Mengawasi mengetahui segala gerak-gerik manusia,
bahkan yang tersirat didalam hati yang kesemuanya nanti akan
dimintai pertanggungjawaban termasuk putusan hakim kelak akan
dimintai pertanggungjawaban.
Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya kurang lebih :
Beribadahlah engkau seolah-olah melihat Allah, apabila engkau tidak
dapat melihat Allah, maka Allah pasti melihat engkau. Hakim harus
diberi kesadaran bahwa putusannya diawali dengan irah-irah Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga putusan
yang akan dijatuhkannya tidak lepas dari pengawasan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Ketujuh, sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa diingkari
bahwa dua dari tiga golongan Hakim akan masuk ke neraka
sebagaimana sabda Rasullulah Muhammad SAW : Hakim ada tiga
macam, satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah Hakim
yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran dan memutuskan
dengannya. Sedangkan yang mengetahui kebenaran dan menyimpang
darinya dalam menetapkan hukum, dia di neraka, dan yang
menetapkan hukum dengan didasari oleh kebodohan, juga di neraka
(HR Abu Dawud melalui sahabat Nabi Abu Raidah) 25.
Jika mengacu pada hadits tersebut, maka menurut golongan,
Hakim yang akan masuk neraka berjumlah 2/3 (dua pertiga), namun
demikian jika mengacu pada jumlah, maka bisa saja Hakim yang akan
masuk neraka melebihi dari dua pertiganya. Wajar kiranya jika Hakim
harus mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan
dengan profesi yang lain mengingat demikian besar tanggung jawab
sekaligus risiko menjadi seorang Hakim.

25

Hadits ini dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Secercah Cahaya


Ilahi, Hidup Bersama Al Quran, Penerbit Mizan, Bandung, 2007, halaman
60
26

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa dua hal pokok yang


yang harus dimiliki oleh para Hakim adalah pengetahuan dan
kehendak berbuat adil dengan penjelasan sebagai berikut26 :
Keadilan yang didambakan oleh naluri manusia
menuntut adanya penegak hukum. Karena itu pula, Al Quran
tidak membatasi dirinya hanya dengan memberi tuntutan dan
nasihat moral, tetapi juga menjadikan dirinya sebagai sumber
hukum serta memerintahkan umatnya agar menjadi penegakpenegak hukum (Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan. QS An Nisa :
135), bukan sekedar penonton pasif, pengkritik-pengkritik
terhadap kejahatan dan atau pelaku kejahatan.
Perincian penerapan keadilan harus dicari setelah
memahami teks ajaran, kondisi, dan kasus-kasus yang
ditangani. Sebelum mengharuskan pengetahuan tentang
hukum, ditekankannya bahwa kehendak berlaku adil harus
menghiasi jiwa penegak hukum. Bahkan hal ini mendahului
pengetahuan tentang hukum.
Kehendak berlaku adil mengantar manusia untuk tekun
mempelajari kasus yang dihadapinya sehingga mengantarnya
mengetahui standar yang ditetapkan Tuhan. Sebaliknya,
pengetahuan hukum yang dimiliki, bila tidak dibarengi dengan
tekad berbuat adil, dapat dijadikan dalih untuk menyimpang
dari keadilan.
Dua orang Hakim yang menghadapi kasus yang sama ,
bisa memberikan putusan yang berbeda karena perbedaan
tingkat pemahaman, sebagaimana yang pernah dialami oleh
Nabi Daud dan Sulaiman. Yang terpuji adalah yang lebih
dalam pemahamannya terhadap kasus, petunjuk teks, jiwa
ajaran dan kondisi sosial budaya yang dihadapi. Karena itu
sekedar keinginan untuk berlaku adil dan pengetahuan hukum
saja belumlah cukup. Semua itu harus disertai dengan apa
yang diistilahkan oleh Al Quran dengan Hikmah, yaitu
26

M. Quraish Shihab, Ibid, halaman 60-63


27

kemampuan dalam penerapan sehingga kemaslahatan dapat


diraih dan untuk kemudaratan dapat ditampik.
Memang, boleh jadi seorang Hakim terjerumus didalam
kesalahan, tetapi selama hatinya tidak menyimpang dari
kehendak berbuat seadil mungkin, maka kesalahan yang
dilakukan dapat ditoleransi Tuhan. Apabila seorang Hakim
menetapkan hukum dan ia telah berijtihad (mencurahkan
segala kesungguhananya untuk mencapai kebenaran),
kemudian ternyata putusannya benar, maka dia memperoleh
dua ganjaran, dan dia berijtihad dan keliru, maka dia
memperoleh satu ganjaran (HR AL Bukhari, Muslim, dan
Abu Dawud dari Amr bin Al Ash).
Akan tetapi perlu dicatat bahwa berlarut dalam
kesalahan yang telah diketahui adalah penganiayaan.
Janganlah ketetapan yang engkau tetapkan hari ini
menghalangi engkau meluruskannya jika akalmu menemukan
kesalahannya. Sesungguhnya kebenaran itu telah terwujud
sejak dahulu, dan kembali kepada kebenaran adalah lebih baik
daripada berlarut didalam kesalahan, demikian antara lain
pesan yang konon ditulis oleh Umar Bin Khaththab kepada
Abu Musa Al Asyari, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Al-Daruquthni, dan Al Baihaqi.
Kedelapan, Hakim adalah profesi yang sangat mulia (noble
profession) karena ia adalah wakil Tuhan didunia yang dapat
menentukan nasib seseorang yang diadilinya, sehingga oleh karenanya
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sangat perlu
untuk dijaga. Cara menjaga perilaku Hakim agar tetap mulia adalah
dengan melakukan pengawasan.
Disamping arti penting pengawasan eksternal terhadap
Hakim, ternyata terdapat dampak positif atas kehadiran lembaga
pengawasan eksternal seperti Komisi Yudisial, yang bukan hanya
berdampak terdahap hakim melainkan secara lebih luas juga terhadap
seluruh pegawai pengadilan. Kehadiran Komisi Yudisial membuat
Badan Pengawasan Mahkamah Agung dirasakan lebih garang
ketimbang sebelum hadirnya Komisi Yudisial. Tidak jarang dalam
28

kasus yang sama, Badan Pengawas Mahkamah Agung menjatuhkan


sanksi terhadap Hakim terperiksa sedangkan Komisi Yudisial yang
juga memeriksa Hakim yang bersangkutan menyatakan Hakim
terperiksa dinyatakan tidak bersalah27. Semakin garangnya Badan
Pengawasan Mahkamah Agung juga membuat pegawai pengadilan
lebih terawasi, mengingat Badan Pengawasan Mahkamah Agung
bukan hanya berwenang mengawasi Hakim melainkan juga seluruh
pegawai pengadilan.
Meskipun telah hadir KY sebagai lembaga pengawas
eksternal, pelaksanaan pengawasan oleh Mahkamah Agung (dalam hal
ini dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung) tidak
bisa dihilangkan karena hal tersebut sebagai amanat dari Pasal 32
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang masih berlaku hingga saat ini yang menyebutkan sebagai berikut
:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan
para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam
melaksanakan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua lingkungan peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran,
atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di
semua lingkungan peradilan.

27
Kasus seperti ini pernah terjadi terhadap 3 (tiga) orang Hakim
PTUN Banjarmasin berinisial B, S.H., EN, S.H,M.H dan AB, S.H,M.H yang
telah diperiksa oleh KY dan dinyatakan tidak bersalah, namun atas kasus
yang sama ketiganya dijatuhi hukuman disiplin berupa pemotongan
remunerasi sebesar 90% selama 6 (enam) bulan dan tidak diperkenankan
memegang perkara selama 6 (enam) bulan atas dasar rekomendasi hasil
pemeriksaan Badan Pengawasan Mahkamah Agung
29

(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan


dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi
kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Menurut Wildan Suyuthi28, obyek pengawasan Mahkamah
Agung meliputi 3 (tiga) hal sebagai berikut :
1. Pengawasan bidang teknis peradilan atau teknis yudisial
yaitu segala sesuatu yang menjadi tugas pokok Hakim yaitu
menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya, dalam kaitan ini
termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut
dilaksanakan.
2. Pengawasan bidang administrasi peradilan yaitu segala
sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pengadilan.
Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari
Mahkamah Agung oleh karena sangat erat kaitannya
terhadap teknis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak
akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan
diabaikan.
3. Pengawasan terhadap perbuatan pejabat peradilan.
Pengawasan Mahkamah Agung terhadap perbuatan dan
tingkah laku para Hakim/Panitera tidak semata-mata
dilakukan ketika Hakim/Panitera menjalankan tugasnya tapi
juga terhadap perbuatan diluar kedinasan.
Dengan masih berlakunya Pasal 32 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka dengan demikian,
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Komisi Yudisial tidak
mengambil alih wewenang Mahkamah Agung dalam hal pengawasan
terhadap perilaku hakim, melainkan hanya menduplikasi sebagian
kecil wewenang pengawasan yang sudah dimiliki oleh Mahkamah
Agung tersebut. Jika digambarkan,maka wewenang pengawasan
eksternal KY terhadap hakim dan wewenang pengawasan internal MA
terhadap hakim dan badan peradilan adalah sebagai berikut :
28

Wildan Suyuthi, Etika Profesi, Kode Etik dan Hakim Dalam


Pandangan Agama, Mahkamah Agung, Jakarta, 2007halaman 100
30

Wewenang pengawasan KY
terhadap Hakim
- Pengawasan eksternal terhadap
perilaku
Hakim
dengan
berpedoman pada KEPPH
- Produk
yang
dikeluarkan
berupa rekomendasi kepada
Ketua Mahkamah Agung

Wewenang pengawasan MA terhadap


Hakim dan Badan Peradilan
Pengawasan
internal
tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan
yang meliputi : perilaku hakim
dengan berpedoman pada KEPPH
dan perilaku seluruh pegawai MA
dan Badan Peradilan dibawah MA
dengan berpedoman pada PP Nomor
53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil
Pengawasan
internal
terhadap
pelaksanaan teknis judisial oleh
hakim
Pengawasan
internal
terhadap
administrasi
yang
meliputi
:
administrasi perkara, administrasi
umum, administrasi kepegawaian
dan administrasi keuangan
Produk yang diterbitkan dapat berupa
petunjuk, pembinaan, dan atau sanksi

B.

Aspek Filosofis dan Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial


Mengingat arti pentingnya sebuah pengawasan baik internal
maupun eksternal, maka jauh sebelum dibentuknya Komisi Yudisial,
Mahkamah Agung pernah membentuk suatu lembaga yang bernama
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) pada tahun 1968
yang tugasnya dirancang tidak hanya berperan dalam pengangkatan
Hakim, tetapi turut serta juga dalam proses pemilihan Ketua MA.
Peran MPPH disini sebatas mengajukan dua nama bakal calon Ketua
MA kepada DPR-GR. Setelah dipilih DPR-GR, calon Ketua MA
diangkat oleh Presiden, sedangkan wakil Ketua MA dipilih oleh dan
dari para Hakim Agung, tanpa keterlibatan MPPH. Sementara untuk

31

Hakim Agung, peran MPPH langsung mengusulkan ke Presiden yang


berwenang melakukan pengangkatan29.
MPPH akhirnya secara resmi diasosiasikan dengan ide
pembentukan KY dalam buku Naskah Komprehensif Perubahan
UUD 1945 : Latar belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 19992002. Buku terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi ini adalah dokumen otentik yang merekam
proses pembahasan amandemen UUD 1945 di MPR dalam kurun
waktu 1999-200230.
Jika mengacu pada kenyataan sejarah tersebut, tidak banyak
yang mengetahui bahwa sesungguhnya dibentuknya Komisi
Yudisial adalah atas inisiasi dari Mahkamah Agung yang
menginginkan ada suatu lembaga yang membantu pimpinan
Mahkamah Agung dalam mengawasi perilaku para Hakim untuk
diberikan pembinaan, tindakan hukuman atau pemberhentian bagi
para Hakim.
Namun demikian, Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
dirasakan masih belum cukup untuk menjamin independensi lembaga
peradilan karena sifatnya masihlah pengawasan internal yang
cenderung mengedepankan esprit de corp. oleh karenanya setelah
dibentuknya MPPH pada tahun 1968 tidak diketahui lagi jejak
kiprahnya, terlebih secara formal MPPH tidak termuat didalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sejalan dengan terjadinya Kejatuhan Rezim Soeharto pada
Tahun 1998 yang menuntut adanya Reformasi termasuk didalamnya
Reformasi dibidang Peradilan, maka telah memunculkan kembali
pentingnya pengawasan bagi Hakim baik dengan ide membentuk
Dewan Kehormatan bagi Hakim atau ide pelembagaan Komisi
Yudisial sebagai bagian dari reformasi peradilan.

29

Elza Fais dkk, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Cikal


Bakal, Pelembagaan dan Dinamika Wewenang, diterbitkan oleh Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Tahun 2013, halaman 15
30
Ibid, halaman 13
32

Dalam rapat PAH III BP MPR tahun 1999, belum ada


pembicaan khusus mengenai Komisi Yudisial. Hamdan Zoelva justru
mengusulkan dibentuknya dewan kehormatan hakim. Hamdan Zoelva
menyatakan : oleh karena itu perlu dibentuk dan dimuat dalam UUD
ini, kita bentuk suatu dewan kehormatan hakim yang kita bentuk dari
unsur-unsur baik kalangan Hakim, dari kalangan ahli hukum maupun
dari kalangan orang-orang yang memiliki integritas yang tinggi.
Merekalah yang akan menilai kinerja hakim itu sendiri, dan mereka
pulalah yang akan merekomendir apakah Hakim itu termasuk Hakim
Agung diberhentikan atau tidak. Jadi inilah satu-satunya lembaga
yang kami anggap mempunyai kompetensi untuk menilai kinerja
Hakim, tidak bisa DPR misalnya untuk menilai hakim, karena hakim
dan Mahkamah Agung itu benar-benar suatu lembaga yang mandiri
jadi tidak bisa dinilai oleh lambaga lain. Yang bisa menilai suatu
dewan tersendiri atau dewan kehormatan hakim31.
Usulan Hamdan Zoelva tersebut nampaknya kurang mendapat
persetujuan dari anggota MPR yang lain. Ahli Maria S.W Sumarjono
bahkan berpendapat memang didalam perubahan kedua, disitu ada
disebut dewan kehormatan, tetapi Bapak-Bapak mungkin melihat
malah justru dihilangkan oleh tim ahli, apakah ini tidak perlu. Kami
berfikir memang perlu, tapi kalau didalam Undang-Undang Dasar,
kasian Hakim saja yang ada dewan kehormatan, yang lembagalembaga lain bagaimana? padahal yang kami tahu DPR itu ada kode
etiknya, didalam Tatib dan sebagainya. Jadi dewan kehormatan tidak
perlu dicantumkan didalam Undang-Undang Dasar32.
Rumusan ketentuan tentang Komisi Yudisial diajukan oleh
beberapa pihak, sehingga rumusan didalam amandemen UUD 1945
bukanlah rumusan ahistoris yang tiba-tiba muncul. Rumusan tersebut
lahir melalui proses dan perdebatan yang cukup panjang dalam
pembahasan perubahan UUD 1945. Bahkan diluar persidangan, para
anggota MPR RI, berbagai kelompok masyarakat juga menyusun
31

Parwoto Wignjosumarto, Kompilasi Peraturan PerundangUndangan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional,
Tatanusa, Jakarta, 2012, halaman 244
32
Ibid, halaman 265
33

kajian dan rumusan perubahan-perubahan untuk diusulkan kepada


PAH I MPR RI seperti yang dilakukan oleh Aliansi strategis (LIPILSM-Universitas) kerjasama Hans Seidel Foundation pada Agustus
2000. Forum Aliansi Strategis ini menyepakati bahwa dalam rangka
penegakkan hukum dan pengembangan kekuasaan peradilan ini perlu
ditegaskan secara konstitusional. Komisi Yudisial, menurut Aliansi
Strategis ini dipandang perlu untuk dikembangkan dan dikonstitusikan
keberadaannya, dan merupakan komisi yang bersifat independen,
yang dibentuk oleh DPR dan DPD yang disahkan oleh Presiden33.
Upaya pelembagaan Komisi Yudisial dapat dilihat dalam
perdebatan-perdebatan atas kehendak dari anggota MPR yang lainnya
pada saat amandemen terhadap lembaga yang dibentuknya tersebut.
Beberapa anggota MPR menghendaki Komisi Yudisial sebagai
Lembaga Negara yang independen dan permanen, yang merupakan
rumpun dari kekuasaan Yudikatif.
Pada Rapat Pleno PAH I BP MPR ke-35, 25 September 2001,
dengan agenda pembahasan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,
Ketua PAH I Harun Kamil membuka pembahasan dengan
menyampaikan bahwa rapat ini membahas Bab IX Pasal 24 dan Pasal
25 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Rapat Pleno itu, Soewarno
dari F-PDI Perjuangan mengomentari rumusan Pasal 24B, Hakim
Agung diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul Komisi
Yudisial. Menurut Soewarno bahwa yang menetapkan Hakim Agung
sebagai anggota lembaga tinggi negara adalah MPR merupakan pasal
yang tepat.
F-PDI Perjuangan juga setuju bahwa KY bersifat mandiri.
Namun dia mengusulkan agar Ketua dan Wakil Ketua diserahkan
kepada lembaga itu sendiri, bukan ditentukan dari luar34.
Terhadap pandangan Soewarno tersebut, Harjono dari F-PDI
Perjuangan memiliki pandangan yang berbeda. Ia berpendapat jika
33

Ibid, halaman 48
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2000) Tahun Sidang
2001, Buku Tiga (Jakarta : Sekretariat Jenderal, 2008), hlm 283 sebagaimana
dikutip oleh Elza Fais dkk, Ibid, halaman 91
34
34

kewenangan untuk mengesahkan Hakim Agung ada di tangan


Presiden, bukan di tangan MPR, sebab kalau Hakim Agung
dibutuhkan padahal hanya untuk mengisi beberapa pos, MPR harus
bersidang untuk masalah itu. Dengan demikian, apabila Komisi
Yudisial menjadi sebuah komisi yang permanen, dan dia dipercaya
untuk memilih mekanisme yang baik, Presiden tinggal
mengesahkannya saja. Hal ini terkait jika ingin menghindari pengaruh
Presiden pada pengangkatan Hakim-Hakim Agung. Untuk itulah KY
ini dibuat sebagai lembaga yang independen, lalu dia menyaring dan
hasil dari saringannya tersebut disahkan oleh Presiden menjadi Hakim
Agung35.
Pandangan Soewarno mengenai Hakim Agung diangkat dan
diberhentikan oleh MPR atas usul Komisi Yudisial karena yang
menetapkan Hakim Agung sebagai anggota lembaga tinggi negara
adalah MPR, pada akhirnya kandas jika melihat pada Pasal 24B
UUDN RI Tahun 1945 hasil amandemen.
Selanjutnya Pataniari Siahaan dari F-PDI Perjuangan
mengusulkan bahwa dalam Bab IX seyogyanya selain ada masalah
lembaga-lembaga yang menyangkut MA dan ada yang menangani
masalah-masalah konstitusi, tetapi ada juga lembaga yang menangani
seleksi recruitment hakim agung dan terhadap hakim-hakim. Karena
semua sepakat bahwa mutu para Hakim masih tetap menjadi
pertanyaan di kalangan masyarakat36.
Zain Badjeber dari F-PPP menginformasikan bahwa KY saat ini
sedang digagas di Badan Legislasi dengan anggota sebanyak sembilan
orang, terdiri atas dua mantan Hakim Agung, tiga tokoh masyarakat
agama, dua dari perguruan tinggi dan dua dari advokat/organisasi
advokat. Hal ini berarti bahwa kalau konsep ini sampai diterima maka
itulah kurang lebih gambaran dari KY yang bertugas untuk
mengusulkan Hakim Agung ke DPR37.

35

Ibid, halaman 108


Ibid, halaman 92
37
Ibid, halaman 96
36

35

Selanjutnya I Dewa Gede Palguna dari F-PDI Perjuangan


berpendapat mengenai keanggotaan dari Hakim Agung. Menurutnya
Hakim Agung mestinya memang melalui DPR, khusus pengesahannya
diresmikan secara administratif oleh Presiden berdasarkan usul dari
KY. Didalam memilih anggota KY, F-PDI Perjuangan kembali pada
prinsip-prinsip presidential system yang hendak dicapai, yang salah
satu cirinya adalah harus mencerminkan mekanisme check and
balances38.
Pada Rapat PAH I BP MPR ke 36, 26 September 2001, Harjono
dari F-PDI Perjuangan menyoal tentang Rekruitment Hakim.
Menurutnya, dalam ketentuan KY masih terbatas untuk menyeleksi
calon-calon Hakim Agung. Oleh karena itu muncul suatu pertanyaan,
kalau Hakim Agung sekarang itu sudah ada kemungkinan masuknya
non karier, kenapa itu hanya pada Hakim Agung saja, pada Hakim
Tinggi dan pada Hakim Tingkat Pertama kenapa juga tidak dibuka
mekanisme seperti itu ? apa bedanya sebetulnya ? Bagi Harjono, titik
yang paling kritis sebetulnya bukan di MA, justru di di Pengadilan
Tingkat I dan Tingkat II. Kalau di Tingkat I dan Tingkat II itu
keadilan sudah dirasakan, kasasi itu harus bisa dikurangi. Oleh karena
itu, bicara tentang persoalan KY, barangkali juga mulai dipikirkan.
Apakah hal ini tidak dipergunakan sebagai cara untuk mengubah
recruitment hakim39.
Selanjutnya Hamdan Zoelva dari F-PBB menjelaskan bahwa
KY, merupakan kebutuhan praktis yang disebabkan oleh adanya
kenyataan-kenyataan konkret yaitu tidak adanya suatu lembaga atau
institusi yang bisa mengawasi tingkah laku Hakim, baik Hakim
pengadilan negeri maupun Hakim MA, yang pada waktu itu hanya ada
kode etik. Selain kode etik, memang Irjen Kehakiman. Kalaupun
sekarang dipindahkan semua kepada MA, MA akan mengadakan satu
Irjen, Irjen MA. Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan hanya
semata-mata pengawasan internal. Hal yang dikhawatirkan adalah
bahwa apabila para Hakim tidak bisa memberikan putusan tanpa
38
39

Ibid, halaman 97
Ibid, halaman 100
36

berpihak. Oleh karena itu dibutuhkan satu lembaga, satu komisi


independen yang keberadaannya tidak di internal lembaga peradilan
tersebut dan keanggotaannya benar-benar independen. Komisi yang
independen itu dibentuk oleh Undang-Undang, sehingga kewenangan
dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh komisi ini diharapkan
akan lebih independen dan tidak pernah mempunyai masalah internal
dengan Hakim-Hakim yang ada. Dengan demikian, kewenangan
komisi ini jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari Irjen dan juga jauh
lebih kuat dari DKH yang ada pada waktu itu40.
Sutjipno dari F-PDI Perjuangan menyatakan bahwa KY
memang harus permanen. Sedangkan mengenai fit and proper test
sutjipno mengatakan seperti perploncoan. Praktik tersebut tidak layak
sebagai cara untuk menilai seseorang, padahal yang dihitung adalah
akhlak dan profesinya41.
Agun Gunandjar Sudarsa dari F-PG menjelaskan bahwa Pasal
24B menyangkut masalah pengangkatan Hakim Agung merupakan
upaya agar pengangkatan Hakim Agung kedepan terlepas dari sisi-sisi
kepentingan partai politik dan juga dalam rangka menggunakan
prinsip pembagian dan pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu Hakim
Agung harus diangkat dan diproses oleh sebuah KY yang didalamnya
memang terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi dan
keahlian untuk menentukan para Hakim, karena Hakim bukan jabatan
seperti anggota DPR atau jabatan publik lainnya. Akan tetapi Hakim
merupakan sebuah jabatan profesional yang membutuhkan keahlian
disamping sikap arif42.
Selanjutnya dalam rapat paripurna MPR RI ke-6 tanggal 8
November 2001 yang dipimpin oleh M. Amien Rais. Pada kesempatan
tersebut, Ketua Komisi A, Jakob Tobing menyampaikan hasil kerja
Komisi A yang diantaranya adalah hasil pembahasan Rancangan
Perubahan Ketiga UUD 1945. Adapun rumusan yang disampaikan
oleh Ketua Komisi A, Jakob Tobing adalah sebagai berikut :

40

Ibid, halaman 103


Ibid, halaman 111
42
Ibid, halaman 123
41

37

Pasal 24 B
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang.
Hasil rumusan tersebut yang kemudian disepakati sebagai
naskah Pasal 24B perubahan ketiga UUD 194543.
Menjadi pertanyaan sesungguhnya apa alasan yang paling
utama (raison detre) bagi anggota MPR melembagakan KY didalam
UUD 1945? apakah pelembagaan KY didalam UUD 1945 merupakan
variasi, ciri khas atau bahkan anomali ? Dari perdebatan-perdebatan
yang tampak dari para anggota MPR tersebut diatas, tampak bahwa
alasan utama selain dari menjadikan kedudukan KY lebih kuat dan
independen adalah keinginan adanya suatu lembaga didalam Bab IX
yang menangani seleksi rekruitmen hakim agung sehingga
penempatannya lebih bersifat ciri khas.
Keinginan untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bebas
dan mandiri sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 sebelum
amandemen bukan hanya dengan cara memperkuat lembaga
pengawasan, termasuk juga menjadikan Mahkamah Agung sebagai
lembaga satu atap terhadap pembinaan hakim baik urusan finansial,
administrasi dan organisasi maupun urusan teknis yudisial guna
menghindari intervensi dari kekuasaan lembaga lain dalam hal ini

43

Ibid, halaman 128


38

kekuasaan eksekutif melalui Departemen Kehakiman atau


Departemen Agama44.
Kelahiran Komisi Yudisial berjalan beriringan dengan proses
realisasi penyatuan atap pengelolaan pengadilan. Sebagian kalangan
bahkan berpendapat bahwa lahirnya Komisi Yudisial adalah
konsekuensi logis dari penyatuan atap. Dasar pertimbangannya adalah
kekhawatiran jika penyatuan atap justru akan menciptakan suatu
monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Makanya, dibutuhkan
sebuah lembaga penyeimbang yang menjalankan fungsi check and
balances45.
Titik Triwulan Tutik mengatakan bahwa gagasan yang
melatarbelakangi lahirnya Komisi Yudisial adalah agar warga
masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan
dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan
pemberhentian Hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat
imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat
diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas
kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika46.
Meskipun kelahiran Komisi Yudisial beriringan dengan
penyatuan satu atap, namun pelembagaan Komisi Yudisial lebih
dahulu dilakukan melalui amandemen UUDN 1945 yang ketiga pada
44

Dahulu urusan financial, administrasi dan organisai peradilan umum


dan peradilan tata usaha negara berada di bawah Departemen Kehakiman
sedangkan peradilan agama berada dibawah Departemen Agama
45
Prim Fahrur Razi : Sengketa Kewenangan Pengawasan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Tesis, Universitas Diponegoro,
2007, halaman 17, diunduh dari
eprints.undip.ac.id/15789/1/Prim_Fahrur_Razi.Pdf tanggal 7 Juni 2014
46
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, kedudukan dan wewenang Komisi
Yudisial sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007,
halaman 77-78
39

tahun 2001, sedangkan penyerahan kewenangan Departemen


Kehakiman dan Departemen Agama dalam hal urusan finansial,
administrasi dan organisasi Hakim kepada Mahkamah Agung baru
terlaksana pada tahun 2004.
Komitmen atau inisiasi untuk membentuk Komisi Yudisial oleh
Mahkamah Agung juga diwujudkan dalam bentuk penyusunan naskah
akademis Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Hal-hal yang
dimuat didalam naskah akademis Undang-Undang KY antara lain
mengenai Komisi Yudisial dalam perbandingan, landasan hukum
Komisi Yudisial, kewenangan Komisi Yudisial, organisasi dan
kedudukan Komisi Yudisial, komposisi dan jumlah anggota,
persyaratan dan mekanisme pengangkatan/pemberhentian serta masa
jabatan, pertanggungjawaban Komisi Yudisial, dan hukum acara
untuk pemeriksaan pengaduan terhadap perilaku hakim.
C. Persoalan Hukum dalam Pelembagaan KY didalam UUDN
RI Tahun 1945
Setelah disahkannya perubahan ketiga terhadap UUD Negara
RI Tahun 1945, justru kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan
terhadap pelembagaan Komisi Yudisial yang ditempatkan didalam
Undang-Undang Dasar 1945 oleh para Anggota MPR. Pertanyaan
tersebut sangatlah wajar mengingat lembaga negara yang dibentuk
MPR tersebut bernama Komisi Yudisial yang seolah-oleh bersifat ad
hoc/sementara sebagaimana Komisi Negara lainnya (tidak seluruhnya)
yang telah ditetapkan bersifat ad hoc. Secara sederhana, jika KY
merupakan lembaga negara ad hoc maka sangat tidak tepat jika
pelembagaannya ditempatkan didalam UUD 1945, namun jika KY
bukan lembaga negara ad hoc, maka bisa saja tepat jika dilembagakan
didalam UUD 1945.
Untuk dapat menilai tepat atau tidak tepatnya penempatan
Komisi Yudisial didalam Undang-Undang Dasar, pertanyaan pertama
yang harus dijawab terlebih dahulu adalah apakah KY lembaga negara
ad hoc atau bukan.

40

D. Apakah KY Lembaga Negara Ad Hoc?


Pertanyaan tersebut seringkali diajukan karena terpengaruh
nama lembaga yang menggunakan kata Komisi. Sebagaimana
diuraikan diatas, meskipun bernama Komisi bukanlah berarti suatu
Komisi Negara bersifat ad hoc. Adapun penamaan Lembaga baru ini
sebagai Komisi Yudisial terpengaruh dengan nama mayoritas Komisi
Yudisial di Luar Negeri yang memang dimaksudkan untuk bersifat ad
hoc. Sebagai contoh di New South Wales Negara Bagian Australia,
para anggota Komisi Yudisial didalam satu tahun hanya bersidang
sekitar 5 (lima) kali dan anggota Komisi Yudisial tidak melepaskan
jabatannya sebagai Hakim Agung. Oleh karenanya betul-betul bersifat
ad hoc dengan demikian tepat kiranya jika diberi nama judicial
commission (Komisi Yudisial)47.
Bandingkan dengan Komisi Yudisial RI yang pada tahun 2011
menerima 1.71048 laporan dari masyarakat, tahun 2012 menerima
1.27649 laporan masyarakat dan pada tahun pada 2013 telah menerima
1.800 lebih laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim, dan
atas laporan dugaan pelanggaran yang telah diverifikasi dan yang
dinyatakan memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti di pleno kan
terlebih dahulu50.
Meskipun ada 2 (dua) Komisi Negara yang disebutkan didalam
UUDN RI Tahun 1945 yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Komisi
Yudisial. Pasal 22E ayat (5) UUDN RI Tahun 1945 menyebutkan :
(5). Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Penyebutan kata
komisi pemilihan umum didalam Pasal 22E ayat (5) tersebut
menggunakan awalan huruf kecil, sedangkan penulisan kata Komisi
Yudisial didalam UUDN 1945 menggunakan awalan huruf besar,
47
Hasil wawancara dengan Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH.MH tanggal 7
Mei 2014 yang telah melakukan studi banding ke Komisi Yudisial NSW,
Australia
48
www.komisi yudisial.go.id diunduh tanggal 5 Juni 2014
49
www.tribunnews.com diunduh tanggal 5 Juni 2014
50
Hasil FGD Proposal dengan Wakil Ketua KY Dr. H. Abbas Said,
SH.MH
41

sama dengan Lembaga Negara lainnya yaitu Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
serta Badan Pemeriksa Keuangan.
Penggunaan huruf besar dan huruf kecil pada penulisan awalan
lembaga negara didalam Konstitusi bukan tanpa maksud, melainkan
ada maksudnya. Penggunaan huruf besar menunjukan bahwa nama
dari lembaga negara tersebut sudah pasti sesuai dengan nama yang
tercantum didalam UUDN RI Tahun 1945. Sedangkan penggunaan
huruf kecil dalam kata komisi pemilihan umum (Pasal 23E UUDN RI
Tahun 1945) menunjukan bahwa nama lembaga yang akan dibentuk
belum tentu bernama Komisi Pemilihan Umum51. Demikian halnya
dengan dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 juga menggunakan
awalan huruf kecil yang berarti nama lembaganya belum tentu
bernama Dewan Pertimbangan.
Perbedaan lainnya antara KY dengan Komisi Negara lainnya
adalah KY berada pada rumpun Yudikatif dengan fungsi sesuai
dengan original intensnya adalah check and balances terhadap
Mahkamah Agung, sedangkan Komisi Negara lainnya berada pada
rumpun Eksekutif dengan tugas melaksanakan urusan pemerintahan.
Sebagai contoh Komisi Kejaksaan yang diatur didalam Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2011 dengan tegas didalam Pasal 2 ayat (2)
disebutkan bahwa Komisi Kejaksaan berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden serta Komisi Kepolisian Nasional berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 disebutkan didalam Pasal 2
ayat (2) bahwa Kompolnas berkedudukan dibawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
Atas dasar hal tersebut, maka tidaklah tepat kiranya jika kita
menilai suatu lembaga negara hanya dari namanya saja. Orang-orang
barat mengatakan Dont judge the book by its cover, melainkan juga
harus melihat pada 2 (dua) hal yaitu : Pertama, melihat pada rumusan
51

Peneliti mengutip pendapat Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH.MH dalam


wawancara tanggal 7 Mei 2014 di Gedung Komisi Yudisial
42

pengaturannya didalam Undang-Undang sebagaimana diuraikan diatas


dan Kedua, melihat pada original intent (maksud asli) dari pembentuk
Komisi Yudisial, apakah ingin menjadikan Komisi Yudisial sebagai
lembaga negara ad hoc/sementara atau lembaga negara permanen.
Dari rumusan pengaturan tentang Komisi Yudisial didalam
Pasal 24B UUD 1945 memang tidak tampak apakah KY Lembaga
Negara Permanen ataukah Lembaga Negara ad hoc. Bandingkan
dengan rumusan tentang komisi pemilihan umum yang termuat
didalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan :Pemilihan
Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dari rumusan tersebut sudah
sangat gamblang disebutkan bahwa komisi pemilihan umum bersifat
tetap yang berarti tidak bersifat ad hoc atau sementara.
Sedangkan dari risalah perubahan UUDN RI Tahun 1945 sejak
perubahan pertama sampai dengan perubahan ketiga, tidak tampak
satu pendapatpun dari anggota MPR yang menginginkan Komisi
Yudisial bersifat sementara atau ad hoc, justru sebaliknya beberapa
pendapat yang muncul menginginkan Komisi Yudisial sebagai
lembaga yang bersifat tetap atau permanen sebagaimana diuraikan
diatas. Artinya sejak awal memang anggota MPR menginginkan agar
KY menjadi lembaga negara yang permanen atau tetap bukan ad hoc
atau sementara.
Ad hoc itu sendiri diartikan sebagai sejak semula dimaksudkan
sementara sampai terjadi situasi normal52. Dengan demikian Lembaga
Negara ad hoc dapat dipahami sebagai lembaga negara yang
pembentukannya memang dimaksudkan untuk bersifat sementara,
pada umumnya dikarenakan adanya keadaan yang tidak normal
sampai keadaan menjadi normal kembali.
Oleh karena KYRI bukanlah lembaga negara ad hoc, maka
meskipun kelak seluruh hakim telah berperilaku baik, KYRI harus
tetap ada akan tetap dibutuhkan. Pertanyaan selanjutnya adalah
meskipun tidak bersifat ad hoc, mengapa pelembagaan KY

52

www.mahfudmd.com diunduh tanggal 17 Juni 2014


43

ditempatkan di Undang-Undang Dasar 1945, tidak cukup hanya di


dalam Undang-Undang saja?
Kembali kepada original intent para anggota MPR dalam
beberapa risalah sidang umum MPR, mayoritas menghendaki Komisi
Yudisial sebagai lembaga yang berfungsi sebagai lembaga check and
balances dari pelaku kekuasaan kehakiman, sehingga Komisi Yudisial
ditempatkan didalam UUD 1945 satu bab dengan pelaku kekuasaan
kehakiman dalam rumpun yudikatif.
Karena Komisi Yudisial bukan Lembaga Negara Ad Hoc,
melainkan Lembaga Negara tetap, maka boleh saja jika
pelembagaannya ditempatkan didalam UUD 1945 mengingat bukan
hanya Komisi Yudisial saja Komisi Negara yang disebutkan didalam
UUD 1945. Terlebih-lebih Komisi Yudisial telah diposisikan sebagai
Lembaga Negara yang berfungsi sebagai check and balances dari
Mahkamah Agung. Sebaliknya akan menjadi tidak wajar atau tidak
tepat jika Komisi Yudisial dimaksudkan sebagai Lembaga Negara ad
hoc namun ditempatkan didalam UUD 1945.
E.

Ukuran-Ukuran Untuk Melembagakan Lembaga Negara


Didalam UUD 1945
Mahkamah Konstitusi didalam pertimbangan hukum Putusan
Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 telah
mempertimbangkan mengenai kedudukan lembaga negara yang
pelembagaannya ditempatkan didalam UUD 1945, sebagai berikut :
Menimbang, bahwa disamping itu Mahkamah Konstitusi
juga berpendapat bahwa hal diatur atau tidaknya suatu
lembaga Negara dalam Undang-Undang Dasar juga tidak
boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan
derajat konstitusional lembaga Negara yang bersangkutan.
Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara dan
kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD 1945
dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan
mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, tidak dapat
diartikan bahwa UUD 1945 memandang Kepolisian Negara itu
lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya
44

daripada Kejaksaan Agung. Demikian halnya dengan komisikomisi Negara seperti Komisi Yudisial yang diatur secara rinci,
komisi pemilihan umum yang diatur secara umum dalam UUD
1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain-lain
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang belaka, untuk
menentukan status hukum kelembagaannya maupun para
anggota dan pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain
sebagainya, tergantung kepada pembentuk undang-undang
untuk mengaturnya dalam Undang-Undang. Oleh karena itu,
agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar
lembaga Negara, pembentuk undang-undang harus berusaha
dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang rinci dan
jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga
Negara dimaksud.
Jika mengacu pada alasan-alasan tersebut diatas, maka tidak
menjadi persoalan kiranya jika Komisi Yudisial pelembagaannya
ditempatkan didalam UUD 1945 karena memang tidak ada larangan,
namun pertanyaan didalam penelitian ini adalah bukan soal boleh atau
tidak boleh akan tetapi soal tepat ataukah tidak tepat jika pelembagaan
KY dimuat didalam UUD 1945.
Jika mengacu pada besar atau kecilnya wewenang
konstitusional KY, sesungguhnya kewenangan konstitusional KY
tidaklah besar yaitu hanya mengusulkan pengangkatan calon Hakim
Agung untuk mendapat persetujuan DPR dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.
Komisi Negara lain yang tidak dilembagakan didalam UndangUndang Dasar bahkan bersifat ad hoc seperti KPK bahkan memiliki
wewenang yang jauh lebih besar dari KY.
Fungsi check and balances yang diinginkan para anggota MPR
sebagaimana tampak dalam original intens para pembentuk KY juga
telah dinyatakan tidak tepat oleh MK melalui pertimbangan hukum
didalam perkara 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 sebagai
berikut :
45

Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Konstitusi,


UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang
kekuasaan Negara dalam bidang legislative, eksekutif dan
yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan
DPD, Presiden Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan
Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga-lembaga Negara yang utama (main state organs,
principal state organs). Lembaga-lembaga Negara dimaksud
itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan
fungsi-fungsi kekuasaan Negara yang utama (main state
function, principal state function), sehingga oleh karenanya
lembaga Negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga
Negara utama (main state organs, principal state organs atau
main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang
lain diikat oleh prinsip check and balances. Dengan
demikian prinsip check and balances itu terkait erat dengan
prinsip pemisahan kekuasaan Negara (separation of powers),
dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan
antar semua jenis lembaga Negara, seperti misalnya dalam
konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Oleh karena itu memahami hubungan antara lembaga
Negara dalam perspektif check and balances diluar konteks
pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan Negara (separation of
powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa
Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka
pengawasan itu bukanlah dalam rangka check and balances
dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan
peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku
individu-individu hakim;
Menimbang, bahwa prinsip check and balances itu
sendiri dalam praktek memang sering dipahami secara tidak
tepat. Sebagaimana ternyata dari keterangan dalam
persidangan bahwa salah satu perspektif yang digunakan
dalam merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya
46

dengan Pasal 24A UUD 1945 adalah prinsip check and


balances, yaitu dalam rangka mengimbangi dan mengendalikan
kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa original intent
perumusan suatu norma dalam Undang-Undang Dasar pun
dapat didasarkan atas pengertian yang keliru tentang suatu
pengertian tertentu. Kekeliruan serupa terulang kembali dalam
penjelasan umum UUKY yang berbunyi, Pasal 24B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang
hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi
Yudisial untuk mewujudkan check and balances. Walaupun
Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan Kehakiman namun
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Oleh
karena itu Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir
Undang-Undang Dasar (the sole judicial interpreter of the
constitution) tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada
metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan diri
hanya kepada original intent perumusan Pasal UUD 1945,
terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan
tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu
system dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang
melandasi Undang-Undang dasar itu sendiri secara
keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.
Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 dalam
konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung didalamnya
guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat
dalam upaya mencapai cita Negara (staatsidee), yaitu
mewujudkan Negara hukum yang demokratis dan Negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum, yang merupakan
penjabaran pokok pikiran yang terkandung didalam
pembukaan UUD 1945;
Dari pertimbangan hukum tersebut diatas, tampak bahwa MK
telah menilai original intent dari anggota MPR telah keliru memahami
makna check and balances dalam hubungan antara MA dan KY,
47

namun demikian MK tidak mempersoalkan lagi rumusan UUD 1945


karena bukan pada porsinya MK menilai UUD 1945, melainkan MK
hanya mempersoalkan original intent dari para anggota MPR yang
dinilainya kurang tepat sehingga menghasilkan rumusan UUD 1945
yang sejatinya juga kurang tepat.
Disamping itu, KY sebagai lembaga pengawas eksternal
terhadap individu Hakim bukan MA53, adalah satu-satunya lembaga
negara yang dimuat didalam UUD 1945, padahal pada setiap cabang
kekuasaan juga ada pengawas eksternalnya. Bagaimana dengan
lembaga pengawas eksternal pada cabang kekuasaan lainnya ?
mengapa tidak dimuat juga didalam UUD 1945 ? Jika mengacu pada
asas persamaan perlakuan, maka lembaga pengawas eksternal DPR
dan lembaga pengawas eksternal eksekutif juga harus dimuat didalam
UUD 1945. Hal tersebut sudah pernah disampaikan oleh Maria SW
Sumarjono kepada para anggota MPR namun nampaknya pendapat
ahli tersebut tidak ikuti.
Mengacu pada doktrin, secara garis besar, materi atau kaidah
konstitusi menurut J.G. Steenbeek sebagaimana dikutip oleh
Bunyamin Alamsyah berisi 3 (tiga) hal pokok yaitu :
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
negara.
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang
bersifat fundamental. dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang bersifat fundamental54.

53

Faktanya KY memang tidak berwenang memeriksa administrasi


peradilan baik administrasi perkara maupun administrasi umum, termasuk
pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai pada badan peradilan dibawah
MA. Hal tersebut juga meruntuhkan statement fungsi KY sebagai lembaga
check and balances dari MA yang terdapat didalam peraturan perundangundangan organik
54
Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, YPI Al-Musdariyah, Bandung,
2010, halaman 41
48

Terkait dengan materi atau kaidah konstitusi yang kedua


menurut J.G. Steenbeek tersebut diatas, dapat difahami bahwa
sedemikian banyaknya lembaga negara di Indonesia, hanyalah yang
bersifat fundamental yang tepat dilembagakan didalam UUD 1945.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, KY bukanlah lembaga negara yang bersifat
fundamental (main state organs, principal state organs atau main
state institution) melainkan supporting element atau state auxiliary
organ.
Disamping itu, jika seluruh lembaga negara, termasuk
didalamnya lembaga negara yang berfungsi sebagai supporting
element atau state auxiliary organ dilembagakan didalam UndangUndang Dasar 1945, maka UUD 1945 akan menjadi UUD yang paling
obesitas di dunia.
Disamping alasan-alasan tersebut diatas, suasana kebatinan
yang melingkupi pada saat amandemen UUD 1945 yang ketiga
menunjukkan penegakkan hukum dan keadilan oleh lembaga
peradilan berada pada titik nadir. Umar Sholehudin mengutip hasil
jajak pendapat harian Kompas awal Oktober 2001 menyebutkan
bahwa sebanyak 72,7% responden menilai WNI belum mendapat
perlakuan yang adil. 71% responden menilai tidak ada satupun
institusi hukum yang adil. Mengenai putusan pengadilan, sebanyak
45,3% responden menilai putusan pengadilan didasarkan pada
pertimbangan uang, 30,5% menilai karena pertimbangan politik dan
hanya 9,3% responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan
di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum55.
Tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap
pengadilan tersebut yang menimbulkan euphoria reformasi peradilan
sehingga menuntut pelembagaan KY sebagai lembaga pengawas
eksternal hakim didalam UUD 1945 agar posisinya dirasakan lebih
kuat.

55

Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Perspektif


Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang, 2011, halaman 2
49

Jika mengacu pada alasan-alasan dan doktrin serta suasana


kebatinan yang melingkupi pada saat amandemen UUD 1945 tersebut
diatas, maka sesungguhnya disamping wewenang KY yang relatif
kecil, juga karena bukan lembaga negara yang bersifat fundamental,
(dalam kekuasaan kehakiman, lembaga negara yang fundamental
adalah pelaku kekuasaan kehakiman). Oleh karenanya tanpa
mengurangi rasa hormat saya kepada pimpinan dan para anggota
Komisi Yudisial, maka menurut peneliti, kurang tepat kiranya jika
pelembagaan Komisi Yudisial ditempatkan didalam Bab IX UUD
1945, satu bab dengan pelaku kekuasaan kehakiman.
Taufik Sri Sumantri sebagaimana dikutip oleh Imam Anshori
Saleh bahkan mengatakan bahwa penempatan KY didalam Bab IX
UUD 1945 oleh MPR dianggap sebagai sebuah kecelakaan56. Jika
pelembagaan KY didalam Bab IX UUD 1945 adalah sebuah
kecelakaan, maka kemungkinan selanjutnya adalah apakah sebaiknya
pelembagaan KY tetap didalam UUD 1945 namun diluar bab IX (bab
tersendiri) ataukah dikeluarkan dari UUD 1945 dan cukup didalam
Undang-Undang saja ?
Imam Anshori Saleh mengatakan konsep yang tepat untuk
memperkuat kewenangan konstitusional Komisi Yudisial dalam
pengawasan hakim adalah dengan mengajukan amandemen atau
usulan perubahan UUD 1945, untuk menata ulang penempatan
Komisi Yudisial, tidak lagi berada di satu bab dengan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, yakni bab tentang Kekuasaan
Kehakiman. Perlu penegasan penormaan tentang pengawasan KY
terhadap hakim-hakim juga termasuk terhadap Hakim Konstitusi57.
Meskipun Imam Anshori Saleh berpendapat seperti tersebut
diatas, namun Imam Anshori Saleh tidak menyebutkan usulan secara
eksplisit KY akan dimasukkan didalam bab apa didalam UUD 1945
jika dikeluarkan dari kekuasaan kehakiman serta seberapa urgennya

Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Upaya


Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam
Pengawasan Peradilan, Setara Press, Malang, 2014, halaman 228
57
Ibid, halaman 246
50
56

peran KY sehingga harus mendapat tempat di bab tersendiri didalam


UUD 1945 diluar bab IX UUD 1945.
Membandingkan Komisi Yudisial dengan Badan Pemeriksa
Keuangan yang mendapatkan bab tersendiri didalam UUD 1945
memerlukan pengkajian yang mendalam khususnya mengenai besar
kecilnya kewenangan yang dimiliki oleh BPK. Jangan sampai
pelembagaan KY didalam UUD 1945 secara tersendiri diluar bab IX
terpisah dari MA dan MK merupakan kecelakaan beruntun dari
tidak tepatnya pelembagaan KY didalam UUD 1945.
Akibat dari pelembagaan KY didalam UUD 1945 yang tidak
seimbang dengan wewenang konstitusionalnya, maka kecenderungan
KY akan selalu meminta untuk diperkuat kewenangannya dengan
wewenang-wewenang baru diluar apa yang sudah ditentukan oleh
UUD 1945 semisal rekruitmen terhadap hakim MK, pengawasan
terhadap Hakim MK dan wewenang polisional berupa penjatuhan
sanksi terhadap Hakim. Beberapa diantara tambahan wewenang KY
didalam Undang-Undang organik telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi karena terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945.
Mengacu pada asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, maka
putusan MK yang telah membatalkan beberapa wewenang tambahan
KY tidak boleh dipandang sebagai upaya untuk melemahkan atau
bahkan mengamputasi kewenangan KY, melainkan sebuah upaya
dari MK berdasarkan wewenangnya untuk menempatkan wewenang
KY sesuai dengan porsinya sesuai dengan kedudukan konstitusional
KY didalam UUD 1945.
Dengan menggunakan ukuran-ukuran untuk menempatkan
sebuah lembaga negara didalam UUD 1945 antara lain seberapa
fundamental lembaga negara tersebut serta seberapa besar wewenang
lembaga negara tersebut, maka oleh karena KY bukanlah lembaga
negara yang bersifat fundamental, serta wewenang konstitusional KY
juga relatif kecil, maka pelembagaan KY didalam UUD 1945 bukan
hanya tidak tepat didalam Bab IX UUD 1945 namun juga didalam
UUD 1945 secara keseluruhan, melainkan lebih tepat kiranya jika
pelembagaannya cukup didalam Undang-Undang saja.
51

Hal mana sesungguhnya juga sudah ditegaskan didalam Pasal


24 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945 yang berbunyi :Badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang. Ketika Undang-Undang Dasar sudah menyatakan
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang, namun tetap melembagakan
KY sebagai lembaga negara yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman didalam Undang-Undang Dasar 1945, maka dipastikan
UUD 1945 mengandung konflik norma.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan anggota MPR didalam
menempatkan KY didalam UUD 1945 memang tergambar adanya
keinginan menjadikan KYRI sebagai lembaga yang merupakan ciri
khas keIndonesiaan, namun demikian jika berbicara mengenai
pelembagaannya, maka lebih nampak sebagai anomali sehingga
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 harus diadakan kembali
amandemen untuk yang kelima kalinya dengan mengeluarkan
pelembagaan Komisi Yudisial dari Undang-Undang Dasar 1945.
Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Bab V mengatur mengenai badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 38
mengatur sebagai berikut :
(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya
serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman.
(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Penyelidikan dan penyidikan.
b. Penuntutan.
c. Pelaksanaan putusan.
d. Pemberian jasa hukum.
e. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
(3) Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undangundang.
52

Dari ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kekuasaan


Kehakiman tersebut terdapat suatu keanehan dimana fungsi
pengawasan dan rekruitmen hakim yang menjadi wewenang utama
KY tidak dimasukkan sebagai fungsi yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan fungsi KY berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya KY lebih tepat
dilembagakan didalam Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman didalam Bab V yang mengatur mengenai badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman;
Jika diringkas, maka setidaknya terdapat 4 (empat) alasan
mengapa pelembagaan Komisi Yudisial harus dikeluarkan dari UUD
1945 :
1. Komisi Yudisial bukanlah lembaga negara yang bersifat
fundamental ataupun berfungsi sebagai check and balances
dari pelaku kekuasaan kehakiman melainkan pengawasan
eksternal terhadap perilaku hakim sehingga KY bersifat
supporting organ dari MA. Terhadap hal tersebut, MK telah
menilai original intent dari anggota MPR telah keliru
memahami makna check and balances.
2. Wewenang konstitusional KY relatif kecil dan produknya
hanyalah berupa rekomendasi.
3. Lembaga pengawas eksternal dari cabang kekuasaan yang
lain (eksekutif dan legislatif) tidak dilembagakan didalam
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Pasal 24 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945 menyebutkan
:Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang
Namun demikian, meskipun wewenang konstitusional KY
relatif kecil, bukan berarti dampaknya tidak besar. Telah peneliti
ungkapkan diatas, bahwa dengan hadirnya KY telah membuat Badan
Pengawasan Mahkamah Agung lebih garang sehingga ada kasus
laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim yang oleh KY hakim
terlapor dinyatakan tidak bersalah tapi justru oleh Badan Pengawas
53

Mahkamah Agung dinyatakan bersalah dengan sanksi yang cukup


berat.
Disamping itu meskipun wewenang KY relatif kecil, tugas dan
peranan KY sangat penting, sebab telah diuraikan didalam konsideran
menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting
dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim
yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Mahfud MD mengatakan bahwa hukum merupakan produk
politik. Sebagai fakta sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti
Undang-Undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa
mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Mahfud juga mengutip pendapat KC Wheare
bahwa konstitusi merupakan resultante (produk kesepakatan politik)
sesuai dengan situasi politik, ekonomi, dan sosial pada saat dibuat.
Jadi konfigurasi politik, ekonomi, sosial dan budaya sangatlah
berpengaruh atau menentukan produk konstitusi dan peraturan
perundang-undangan58.
Dengan demikian, jikapun anggota MPR kelak memahami
ketidaktepatan pelembagaan KY didalam UUD 1945 sebagaimana 4
(empat) alasan yang peneliti kemukakan diatas, namun apabila pada
saat amandemen kelima UUD 1945, kondisi dunia peradilan dan
Mahkamah Agung pada khususnya masih dianggap belum
menunjukan perbaikan, bukan tidak mungkin KY akan tetap
dilembagakan didalam UUD 1945 bahkan didalam bab tersendiri.
F.

Makna Kemandirian KY
Meskipun KY bersifat mandiri secara kelembagaan, apakah
wewenang KY betul-betul bersifat mandiri atau membantu DPR
dalam rangka memperoleh Hakim Agung yang berkualitas dan
mempunyai integritas yang tinggi terhadap penegakkan hukum dan
58

Moh Mahfud MD, op cit halaman 7


54

keadilan di Indonesia serta membantu Mahkamah Agung dalam


rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim ?
Kedudukan KY yang bersifat mandiri tidak bisa dilepaskan dari
sejarah perekrutan Hakim Agung yang dahulu sangat kental nuansa
politisnya. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, Hakim Agung diangkat oleh
Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendengar pendapat
Mahkamah Agung dan Pemerintah. Oleh karena lembaga pengusulnya
adalah DPR tentu saja kepentingan politis tidak bisa dilepaskan dari
usulan DPR kepada Presiden.
Kedudukan KY yang mandiri bebas dari pengaruh Mahkamah
Agung maupun kekuasan negara lainnya merupakan solusi sekaligus
syarat mutlak untuk mendapatkan calon Hakim Agung yang
berintegritas dan berkualitas, begitu pula dalam hal pengawasan
terhadap Hakim, KY bersifat mandiri tidak berada dalam pengaruh
Mahkamah Agung maupun Hakim Agung.
Perlu dibedakan antara menjalankan wewenang dan
memastikan hasil kerja KY. Wewenang KY mengusulkan calon
Hakim Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim
tidak selalu sama dengan hasil kerja KY. Meskipun KY, lembaganya
bersifat mandiri, namun wewenangnya tidak sepenuhnya bersifat
mandiri melainkan bersifat supporting system yaitu bersinergi dengan
DPR untuk mendapatkan Hakim Agung yang berkualitas dan
berintegritas serta membantu MA dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim
sebagaimana ide awal pembentukan MPPH yang telah diasosiasikan
sebagai cikal bakal pembentukan KY.
Bersinergi dengan DPR untuk memperoleh Hakim Agung yang
terbaik karena wewenang KY hanyalah sampai pada tahap
mengusulkan calon Hakim Agung untuk mendapatkan persetujuan
DPR. Jika dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013
tanggal 9 Januari 2014 dimana KY cukup mengajukan satu orang
55

calon Hakim Agung untuk setiap lowongan kepada DPR, maka sinergi
antara KY dan DPR akan semakin terasa, meskipun tetap saja KY
tidak dapat memastikan bahwa usulannya pasti disetujui oleh DPR.
Logika hukum yang normal akan mengatakan jika seleksi Calon
Hakim Agung yang dilakukan oleh KY sudah baik dan benar, maka
DPR tinggal menyetujuinya, namun sebaliknya jika seleksi Calon
Hakim Agung yang dilakukan oleh KY tidak cukup baik dan benar,
maka wewenang DPR pula untuk menolaknya.
Selanjutnya mengenai frasa wewenang lain dan dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku Hakim dalam pasal ini haruslah dibaca satu nafas
sehingga tidak menyebabkan bias dalam mengartikan wewenang lain
tersebut. Meskipun KY memiliki kewenangan menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim,
namun KY tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada
Hakim, melainkan sebatas merekomendasikan penjatuhan sanksi
terhadap Hakim kepada Ketua Mahkamah Agung. Untuk itulah
diperlukan pula sinergitas antara KY dan Mahkamah Agung
sebagaimana sinergitas KY dan DPR.
Menjadi persoalan hingga saat ini ketika apa yang sudah
direkomendasikan oleh KY tidak dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung khususnya karena adanya perbedaan persepsi mengenai
masalah teknis yudisial. Jaja Ahmad Jayus, Komisioner KY didalam
wawancara mencontohkan didalam putusan Peninjauan Kembali,
Hakim Agung telah membuat pertimbangan yang menyatakan
pengajuan PK telah melebihi tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak ditemukannya novum oleh karenanya Peninjauan Kembali
dinyatakan tidak diterima. Menurut beliau hal tersebut meskipun
persoalan teknis yudisial namun beririsan dengan kode etik, karena
Hakim Agung seharusnya mengetahui bahwa tenggang waktu
pengajuan PK bukanlah 14 (empat belas) hari sejak ditemukannya
novum melainkan 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
ditemukannya novum. Hal teknis yudisial tersebut, jika tidak
disamakan persepsinya antara pemahaman Komisi Yudisial dan
56

Mahkamah Agung, maka selalu akan menjadi pengganjal sinergitas


hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Dari uraian tersebut diatas dapat difahami kiranya bahwa
Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat permanen
dan mandiri dengan tafsiran sebagaimana putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006
tersebut diatas. Mengapa peneliti mendasarkan pada putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, karena orang boleh saja
berdebat dan berbeda pendapat tentang kedudukan Komisi Yudisial
bahkan pengebirian kedudukan dan wewenang KY melalui tirani
konstitusional MK, akan tetapi ketika hal tersebut sudah diputuskan
oleh Lembaga Peradilan, maka pendapat dalam putusan itulah yang
dijadikan sebagai pedoman berdasarkan asas Res Judicata Pro
Veritate Habetur.
G. Pasang Surut Hubungan KY dan MA
Pasang surut hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
sudah tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUUIV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang pada pokoknya membatalkan
wewenang pengawasan eksternal Komisi Yudisial terhadap Hakim
Agung.
Meskipun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung didalam Pasal 32 A ayat (2) menyebutkan
Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh
Komisi Yudisial, namun para hakim agung hingga saat ini tidak lagi
mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, justru
Mahkamah Agung mendukung dengan ditandatanganinya Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
Republik
Indonesia
Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009
dan
02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
tanggal 8 April 2009 dimana didalam terminologi Hakim diartikan
Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim di semua lingkungan Badan
Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung termasuk Hakim
Ad Hoc.
57

Dengan terminologi hakim tersebut, maka Kode Etik dan


Pedoman Perilaku Hakim bukan hanya berlaku bagi Hakim tingkat
pertama dan Hakim pada tingkat banding, melainkan juga bagi Hakim
Agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung dan semua badan
peradilan dibawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus
2006 yang pada pokoknya membatalkan wewenang pengawasan
eksternal Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung tidak lagi memiliki
dampak hukum terhadap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasang surut hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
kembali terjadi pada saat Mahkamah Agung menjatuhkan putusan
Nomor : 36 P/HUM/2011 tanggal 9 Februari 2012 karena Komisi
Yudisial pada pokoknya menganggap bahwa Mahkamah Agung telah
melanggar asas nemo judex in rex sua yang bermakna tidak
seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang
menyangkut dirinya sendiri.
H. Nemo Judex in Causa Sua/Nemo Judex in Rex Sua
KY sesunggunya kecewa dengan putusan MK Nomor 12/PUU-XII/2014 karena MK dianggap telah melanggar suatu asas
hukum yaitu nemo judex in causa sua/nemo judex idoneus in propia
casua, oleh karenanya sebelum dijatuhkannya putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, KY telah membuat pernyataan sikap yang dimuat
didalam websitenya tertanggal 10 Februari 2014 yang diberi judul
PRESS RELEASE Keterangan Tertulis Komisi Yudisial Atas Perkara
Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014 Tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2014 Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada
pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
II. Tentang Asas Hukum
2.1. Mencermati persoalan yang diajukan Pemohon, penting
bagi Mahkamah
Konstitusi untuk menengok kembali asas hukum di dalam
hukum acara, seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi
58

dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa),


atau juga sering di sebut dengan asas (dalam bahasa
latin)Nemo iudex in causa sua (or nemo iudex in sua causa)
adalah no-one should be a judge in their own case. It is a
principle of natural justice that no person can judge a case in
which they have an interest. The rule is very strictly applied to
any appearance of a possible bias, even if there is actually
none: "Justice must not only be done, but must be seen to be
done"
1.2.

Dalam penegakan hukum modern, kontrol terhadap


lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan
merupakan hal yang mustahil, hal ini untuk menjaga
imparsialitas hakim dan kepercayaan publik. Sebagai
yurisprudensi, Pengadilan Tingkat Banding HAM
Eropa membatalkan putusan The Royal Court
(Pengadilan Tingkat Pertama) dengan menyatakan
hakim The Royal Court tidak imparsial, karena
memutus menolak perkara Pemohon yang berakibat
pelemahan kepentingan hakim.

2.3. Terkait dengan permohonan Uji Materil Undang-Undang


Nomor 4 Tahun
2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, telah
menempatkan Mahkamah Konstitusi, sebagai hakim bagi
dirinya sendiri. Menurut Saldi Isra, (http://www.saldiisra.
web.id/) secara universal, asas hanya bisa disimpangi kalau
dinyatakan secara tertulis, di luar itu penyimpangan tidak
diperbolehkan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi tidak
dapat menyimpanginya, karena hal itu dapat menimbulkan
bias dan menggerus nilai-nilai objektivitas, netralitas dan
59

imparsialitas yang seharusnya di junjung oleh Mahkamah


Konstitusi.
2.4. Selama ini Mahkamah Konstitusi menggunakan argument
dalam putusanNo.005/PUU IV/2006 bahwa berperkara di
MK tidak sama berperkara di pengadilan biasa, sehingga
asas itu tidak dapat diberlakukan di lingkungan peradilan
Mahkamah Konstitusi. Pandangan ini keliru dan tidak dapat
dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip/ asas nemo
judex idoneus in propria causa. Dengan kata lain
argumentasi itu tidak beralasan atau bahkan grundloss
(tanpa dasar) dan tidak didasarkan pada fondasi yang kokoh,
yaitu tidak memiliki landasan filosofis yang memadai.Karena
selama ini phrase berperkara di MK tidak sama berperkara
di pengadilan biasa tidak dapat dijelaskan secara memadai.
Bahkan sejatinya Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan
tata negara yang memiliki fungsi memeriksa, mengadili dan
memutus perkara pada hakekatnya sama dengan fungsi
pengadilan lain.
2.5. Penyimpangan terhadap asas ini juga bertentangan
dengan prinsip atau asas kepatutan dan etika moral,
sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum
Satya Arinanto, Tidak etis apabila Mahkamah Konstitusi
memutus, memeriksa apalagi mengabulkan pengujian UU
Nomor 4 tahun 2014. (Kompas, Rabu- 5 Februari 2014, hlm
15).
2.6. Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi
persoalan ini hendaknya
memperhatikan prinsip keadilan dan kebijaksanaan,
sebagaimana tertuang Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang sifat adil dan sifat negarawan yang harus dimiliki
hakim yaitu sikap yang penuh kearifan dan kebijaksanaan,
visioner dan berjiwa besar. Setelah putusan Mahkamah
60

Konstitusi No. 005/PUU IV/2006, dalam persoalan ini


sikap adil dan sikap negarawan Hakim Mahkamah
Konstitusi akan kembali diuji.
2.7. Berdasarkan hal itu maka seluruh dasar argumentasi
pemohon menjadi tidak relevan dan tidak logis atau tidak
memiliki landasan hukum yang kuat, oleh karena itu sudah
sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak menerima
permohonan pemohon yaitu tidak melanjutkan kepada
pemeriksaan substansi atau menolak seluruh permohonan
pemohon tersebut.
Namun demikian, oleh karena hal tersebut telah menjadi
putusan, pada akhirnya KY menerimanya berdasarkan asas Res
Judicata Pro Veritate Habitur yang berarti setiap putusan Hakim
adalah hukum, oleh karenanya harus dilaksanakan sebab tidak
melaksanakan putusan Hakim berarti tindakan melawan hukum dan
putusan Hakim meskipun belum berkekuatan hukum tetap, harus
dianggap benar sampai ada putusan lain yang menyatakan
membatalkan putusan tersebut.
Putusan MK Nomor 1-2/PUU/XII/2014 tanggal 13 Februari
2014 tersebut adalah putusan terhadap permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, terhadap
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Materi yang diuji didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi
Undang-Undang yang berkaitan dengan Komisi Yudial dan
Mahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut :
- Pasal 18A ayat (1) : Hakim Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan
61

Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan


kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
Pasal 18B : Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh
Komisi Yudisial.
Pasal 18 C ayat (3) : Panel Ahli harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b. memiliki kredibilitas dan integritas;
c. menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah magister;
e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
f. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu
paling singkat 5 (lima) tahun sebelum panel ahli dibentuk;
Pasal 27A ayat (1) : Mahkamah Konstitusi bersama-sama
dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi
norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam
menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan
perilaku hakim konstitusi.
Pasal 27A ayat (4) : Untuk menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan
Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang bersifat tetap.
Mengenai asas nemo judex in rex sua, didalam
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyebutkan sebagai
berikut : terhadap pandangan yang menyatakan Mahkamah
seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap UndangUndang yang mengatur Mahkamah Konstitusi tidaklah tepat.
Disamping hal demikian tidak dilarang oleh UUD 1945,
Mahkamah tidak bisa menolak untuk mengadili suatu
permohonan pengujian undang-undang walaupun menyangkut
dirinya, karena persoalannya apabila nyata-nyata terdapat
62

Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi yang


bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak dapat dilakukan
pengujian secara hukum, maka pertanyaannya peradilan mana
lagi yang secaraa konstitusional berwenang mengadili
pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang
tersebut. Jika Mahkamah dilarang menguji Undang-Undang
yang mengatur tentang Mahkamah, maka Mahkamah akan
menjadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui
pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan,
yaitu manakala posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat
dari DPR atau sebaliknya. DPR memang dapat melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang tetapi perubahan tersebut
lebih bersifat politis. DPR dan Presiden tidak berwenang
melakukan pengujian melalui mekanisme peradilan dalam
penegakkan konstitusi. Adanya legislative review tidak dapat
disamakan dengan judicial review, karena dalam melakukan
legislative review DPR bersama Presiden sebenarnya tidak
melakukan pengujian tetapi melakukan perubahan UndangUndang yang hasilnya tidak secara serta merta menjadi tidak
bertentangan dengan UUD 1945, yang tidak dapat diuji oleh
Mahkamah. DPR dan Presiden menurut UUD 1945 tidak
mempunyai kewenangan untuk menyatakan suatu UndangUndang bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.
Mahkamah Agung didalam putusan Nomor : 36
P/HUM/2011
tanggal
9
Februari
2012,
juga
mempertimbangkan mengenai asas Nemo Judex in Rex Sua
dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan
hukumnya tidak ada, atau hukumnya kurang lengkap,
melainkan harus mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
b. Tidak ada badan peradilan lain yang berwenang secara
absolut untuk menyidangkan permohonan Hak Uji
Materiil ini kecuali Mahkamah Agung.
63

c. Secara logika hukum, seharusnya yang khawatir


terlanggar asas nemo judex in rex sua ini adalah para
pemohon hak uji materil karena diasumsikan bahwa
hakim tidak dapat berlaku netral dan akan memihak
Mahkamah Agung (Termohon I). in casu para pemohon
hak uji materil tidak menaruh keberatan dan tidak
khawatir terlanggarnya asas nemo judex in rex sua, tetapi
justru Termohon II (Komisi Yudisial) yang keberatan,
padahal kepentingannya parallel (sama) dengan
Termohon I (Mahkamah Agung) yaitu agar permohonan
hak uji materil tersebut ditolak.
d. Obyek sengketa ini yaitu Surat Keputusan Bersama
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada
hakekatnya bukanlah produk hukum yang dibuat sendiri
oleh Mahkamah Agung melainkan bersama-sama dengan
badan lain yaitu Komisi Yudisial, sehingga tidaklah tepat
apabila dikatakan asas nemo judex in rex sua dalam kasus
ini diartikan sebagaimana yang dimaksudkan bahwa
Mahkamah Agung dilarang memeriksa dan mengadili
produk hukumnya sendiri, karena yang diperiksa ini
merupakan produk bersama dengan badan lain, dimana
tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri dan
harus bertanggung jawab sendiri.
e. berdasarkan rangkaian alasan/pertimbangan a s/d d
tersebut diatas, maka keberatan Termohon II terhadap
terlanggarnya asas nemo judex in rex sua tidak beralasan
nalar yang sehat (common sense) sehingga harus ditolak,
dan karenanya dari segi formil atau prosedural
Permohonan Hak Uji Materiil adalah cukup beralasan dan
dapat diterima.
Bagi peneliti, terlepas bagaimana pertimbangan hukum di
dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tersebut
diatas, namun karena perkara tersebut mengandung conflict of interest
bagi Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, maka dengan
diperiksa pokok perkaranya sesungguhnya sudah bertentangan dengan
64

asas nemo judex in rex sua/nemo judex in causa sua. Namun demikian
Mahkamah Konstitusi telah membuat pengecualian dari asas nemo
judex in rex sua (asas hukum mengatakan tidak ada prinsip tanpa
pengecualian), yaitu dalam hal ketentuan didalam Undang-Undang
merupakan pelemahan, maka meskipun Mahkamah Konstitusi
memiliki kepentingan atas ketentuan tersebut, tetap dapat memeriksa
dan mengadilinya. Begitu pula halnya dengan Mahkamah Agung,
meskipun tidak termuat didalam pertimbangannya, namun butir-butir
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dimohonkan tidak sah
dan tidak berlaku umum merupakan bentuk pelemahan terhadap
Hakim dan Kekuasaan Kehakiman sehingga oleh karenanya
Mahkamah Agung boleh tetap memeriksa pokok perkaranya.
Ciri khas dari asas, adalah belum tertuang dalam bentuk
norma, sehingga memang secara normatif belum ada aturan yang
melarangnya. Secara normatif (secara sempit) Kewajiban/Hak ingkar
yang diatur didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memang
barulah hak ingkar pencari keadilan, kewajiban ingkar Hakim dan
kewajiban ingkar Panitera, namun belum mengenal kewajiban ingkar
lembaga peradilan. Mengenai hak ingkar pencari keadilan, Pasal 17
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mendefinisikan sebagai hak seseorang yang diadili untuk
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang
hakim yang menyidangkan perkaranya.
Keberatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan karena
Ketua Pengadilan adalah Pejabat yang berwenang untuk menunjuk
Hakim/Majelis Hakim dengan penetapan untuk memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan suatu sengketa/perkara. Adapun kewajiban ingkar
Hakim dan Panitera adalah kewajiban bagi Hakim atau Panitera untuk
mengundurkan diri dari perkara yang diadili dalam hal memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ditentukan didalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kewajiban ingkar Hakim dan Kewajiban ingkar Panitera telah
diatur dalam hukum positif kita sekaligus solusinya yaitu
mengundurkan diri dengan ancaman sanksi, namun sesungguhnya hal
tersebut juga belum cukup, sebab bagaimana jika Hakim telah
65

mengajukan permohonan mengundurkan diri namun ditolak oleh


Ketua Pengadilan, lalu apa sanksinya bagi Ketua Pengadilan yang
menolak pengunduran diri Hakim atau Penitera/Panitera Pengganti
yang memiliki hubungan baik langsung ataupun tidak langsung
dengan para pihak yang berperkara? hingga saat ini hukum positif kita
juga belum mengaturnya.
Kewajiban ingkar Lembaga Peradilan adalah kewajiban bagi
lembaga peradilan untuk menyatakan didalam putusan bahwa lembaga
peradilan yang bersangkutan tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara karena ada konflik kepentingan atas lembaga
peradilan yang memeriksa dan mengadili perkaranya.
Kewajiban ingkar lembaga peradilan berkaitan erat dengan
kewajiban Pengadilan yang lain yaitu Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hakim dianggap
tahu akan hukumnya (ius curia novit) sehingga ia harus menggali
hukum yang hidup di masyarakat.
Oleh karenanya kewajiban ingkar lembaga peradilan juga
menjawab pertanyaan jika seluruh hakim di suatu lembaga peradilan
tidak boleh memeriksa suatu perkara , maka siapa yang akan
memeriksanya ? jawaban atau solusi atas pertanyaan tersebut berbeda
dengan solusi atas kewajiban ingkar hakim yaitu hakim harus
mengundurkan diri melainkan Hakim tetap harus mengadilinya
dengan putusan menyatakan gugatan/permohonan tidak diterima (niet
onvankelijk verklaard) karena tidak berwenang untuk mengadili.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, jika pengadilan
menyatakan tidak berwenang padahal nyata-nyata substansi perkara
yang diperiksanya adalah wewenang absolut pengadilan tersebut,
maka pengadilan mana lagi yang berwenang untuk memeriksanya ?
Sulit memang untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun karena hal
tersebut merupakan pembatasan dari wewenang pengadilan, maka
tidak harus ada pengadilan lain yang berwenang memeriksa
perkaranya. Analoginya sama ketika PTUN menerima perkara yang
obyek sengketanya diterbitkan dalam keadaan perang, keadaan
66

bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang


membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, PTUN harus menyatakan tidak berwenang berdasarkan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, namun bukan berarti ada lembaga peradilan lain yang
berwenang untuk mengadilinya.
Kewajiban ingkar lembaga peradilan merupakan bentuk
pembatasan kewenangan peradilan yang sesungguhnya sudah ada.
Akar ontologis dari pembatasan kewenangan peradilan adalah
menjaga agar peradilan menjalankan tugasnya dengan fair, adil dan
tidak memihak serta tidak digunakan sebebas-bebasnya oleh para
Hakim. Lembaga peradilan dibentuk dengan dilekati wewenangwewenang yang sudah ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang,
sehingga pembatasan tersebut dimaksudkan agar lembaga peradilan
tetap on the track pada rail kewenangannya.
Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, juga telah diatur
beberapa ketentuan yang membatasi kewenangan Peradilan Tata
Usaha Negara misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagai berikut :
Pasal 48
1) Dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka
sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administratif yang tersedia.
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
yang dimaksud dengan ayat (1) jika upaya administratif
yang bersangkutan telah digunakan.
Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
67

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana


alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Mahfud MD dalam makalahnya59 juga memberikan batasan
kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam menguji UndangUndang terhadap UUD 1945 kedalam sepuluh rumusan negatif
(pelarangan) sebagai berikut :
Pertama, dalam melakukan pengujian MK tidak boleh
membuat putusan yang bersifat mengatur; pembatalan
undang-undang tak boleh disertai pengaturan, misalnya
dengan putusan pembatalan yang disertai dengan isi, cara, dan
lembaga yang harus mengatur kembali isi UU yang dibatalkan
tersebut. Ini harus ditekankan karena bidang pengaturan
adalah ranah legislatif. Jadi MK hanya boleh mengatakan
suatu UU atau isinya konstitusional atau inkonstitusional yang
disertai pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Kedua, dalam melakukan pengujian MK tidak boleh membuat
ultra petita (putusan yang tidak diminta oleh pemohon) sebab
dengan membuat ultra petita berarti MK mengintervensi ranah
legislatif. Meski begitu ada juga yang berpendapat bahwa
ultra petita boleh dilakukan oleh MK jika isi undang-undang
yang dimintakan judicial review berkaitan langsung dengan
pasal-pasal lain yang tak dapat dipisahkan. Pemikiran seperti
itu wajar tetapi bagi penulis sendiri kalau sebuah pasal
undang-undang yang dimintakan uji materi ada kaitan dengan
pasal-pasal lain yang tidak diminta untuk dibatalkan maka
pembatalan tak bisa dilakukan atas pasal yang tidak diminta
itu karena kalau itu dilakukan berarti merambah ke ranah
59

Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan


Mahkamah Konstitusi, www.mahfudmd.com diunduh tanggal 8 Mei 2014
68

legislatif. Bahwa pasal yang dibatalkan itu berkaitan dengan


pasal lain, biarkanlah pembetulan/revisinya dilakukan oleh
lembaga legislatif sendiri melalui legislative review. Toh, jika
ada pasal di dalam undang-undang menjadi tidak berlaku
karena ada pasal lain yang dibatalkan oleh MK dengan
sendirinya pasal tersebut tak dapat dilaksanakan sehingga
dengan sendirinya pula lembaga legislatif dituntut untuk
melakukan legislative review.
Ketiga, dalam membuat putusan MK tidak boleh menjadikan
undang-undang sebagai dasar pembatalan undang-undang
lainnya, sebab tugas MK itu menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap UUD, bukan undang-undang
terhadap undang-undang lainnya. Tumpang tindih antar
berbagai undang-undang menjadi kewajiban lembaga
legislatif untuk menyelesaikannya melalui legislative review.
Keempat, dalam membuat putusan MK tidak boleh
mencampuri masalah-masalah yang didelegasikan oleh UUD
kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan atau
dalam undang-undang sesuai dengan pilihan politiknya
sendiri. Apa yang diserahkan secara terbuka oleh UUD untuk
diatur oleh undang-undang berdasar pilihan politik lembaga
legislatif tidak bisa dibatalkan oleh MK kecuali jelas-jelas
melanggar UUD 1945. Di dalam UUD 1945 sendiri banyak
masalah yang diserahkan untuk diatur berdasar kebutuhan dan
pilihan politik lembaga legislatif yang tentunya tidak dapat
dicampuri oleh lembaga lain, termasuk oleh MK.
Kelima, dalam membuat putusan MK tidak boleh
mendasarkan pada teori yang tidak secara jelas dianut oleh
konstitusi, sebab teori itu amat banyak dan bermacam-macam
sehingga pilihan atas satu teori bisa bertentangan dengan
pilihan atas teori lain yang sama jaraknya dengan UUD.
Begitu juga, putusan MK tidak boleh didasarkan pada apa
69

yang berlaku di negara-negara lain, semaju apa pun negara


tersebut; sebab di negara-negara lain pun ketentuan
konstitusinya dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu yang harus
menjadi dasar adalah isi UUD 1945 dan semua original intentnya.
Keenam, dalam melakukan pengujian MK tidak boleh
melanggar asas nemo judex in causa sua,yakni memutus halhal yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri.
Ketujuh, para hakim MK tidak boleh berbicara atau
mengemukakan opini kepada publik atas kasus konkret yang
sedang diperiksa MK, termasuk di seminar-seminar dan pada
pidato-pidato resmi. Ini penting agar dalam membuat putusan
nantinya hakim MK tidak tersandera oleh pernyataannya
sendiri dan masyarakat pun tidak terpolarisasi oleh dugaandugaan tentang putusan yang akan dikeluarkan oleh MK.
Kedelapan, para hakim MK tidak boleh mencari-cari perkara
dengan menganjurkan siapa pun untuk mengajukan gugatan
atau permohonan ke MK. Biarlah yang mengambil inisiatif
untuk itu justisiabelen sendiri.
Kesembilan, para hakim MK tidak boleh secara proaktif
menawarkan diri sebagai penengah dalam silang sengkata
politik antar lembaga negara atau antar lembaga-lembaga
politik, sebab tindakan menawarkan diri itu sifatnya adalah
politis, bukan legalistik. Mungkin menjadi penengah politik
itu bertujuan baik, tetapi itu bukanlah ranah MK. Ada banyak
lembaga lain yang lebih proporsional untuk menengahi
perseteruan politik melalui kerja-kerja politik. Biarkanlah
dinamika politik bekerja, bergulat, dan selesai di ranahnya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
koridor-koridor etis yang tersedia.
70

Kesepuluh, MK tidak boleh ikut membuat opini tentang


eksistensi atau tentang baik atau buruknya UUD, atau apakah
UUD yang sedang berlaku itu perlu diubah atau
dipertahankan. MK hanya wajib melaksanakan atau mengawal
UUD yang sudah ada dan berlaku sedangkan urusan
mempertahankan atau mengubah adalah urusan lembaga lain
yang berwenang.
Secara normatif asas nemo judex in rex sua/nemo judex in
causa sua yang pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban ingkar
Hakim dan Kewajiban ingkar Panitera tersebut diatur didalam
Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman khususnya di dalam Pasal 17 ayat (1), sampai dengan ayat
(3) sebagai berikut :
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera.
(2) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak
yang diadili atau advokat.
(3) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), putusan dinyatakan tidak sah dan
terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan
sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
71

(5) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sering tidak menimbulkan
masalah karena sudah dipahami betul oleh para Hakim, karena Hakim
pada saat memeriksa saksi juga menerapkan ketentuan yang tidak
boleh didengar ketarangannya sebagai saksi dengan mengacu pada
hubungan keluarga dan semenda (hubungan karena adanya ikatan
perkawinan). Namun agar masyarakat dapat juga memahami sejauh
mana hubungan keluarga dan semenda sampai derajat ketiga, dapat
peneliti gambarkan sebagai berikut :

72

AA

BB

AA
K

Q
Q
Q
M

Keterangan :
A : Hakim atau Panitera
B : Suami atau Istri Hakim/Panitera meskipun telah bercerai
Warna Kuning hubungan keluarga sedarah keatas G,H : Orang
tua, K,L,M,N : Kakek dan Nenek, U,V,W,X : kakek/nenek
buyut dan hubungan keluarga sedarah kebawah sampai derajat
ketiga, C : Anak, E : Cucu, S : Cicit
73

Warna Merah hubungan semenda keatas : I,J : mertua,


O,P,Q,R : Kakek/Nenek dari suami/istri, Y,Z, AA,BB :
Kakek/Nenek Buyut dari Suami/Istri dan hubungan semenda
kebawah sampai derajat ketiga : D Menantu, F : suami/istri
dari cucu, T : suami/istri dari cicit
Akan tetapi yang sering menimbulkan masalah adalah
sebagaimana yang diatur didalam ayat (3) yaitu mengenai apa yang
dimaksud dengan mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. Didalam
penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan
langsung atau tidak langsung adalah termasuk apabila hakim atau
panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau
perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang
bersangkutan sebelumnya.
Digunakannya kata termasuk dalam penjelasan pasal
tersebut menunjukan bahwa pengertian kepentingan langsung atau
tidak langsung sangatlah luas yang tidak mungkin undang-undang
menyebutkan seluruhnya karena didalam prakteknya terus
berkembang. Penulis memberi contoh-contoh yang tidak disebutkan
didalam penjelasan pasal 17 ayat (3) misalnya apabila seorang Hakim
memiliki hubungan pertemanan semasa kuliah di Fakultas Hukum
dengan advokat dalam perkara yang diperiksanya, atau seorang Hakim
pernah atau sedang menjadi mahasiswa dari seorang dosen/profesor
yang juga menjadi advokat di dalam perkara yang diperiksanya.
Contoh lain apabila seorang Hakim memeriksa perkara suatu
organisasi kemasyarakatan/organisasi keagamaan dimana ia pernah
menjadi anggota organisasi tersebut serta seorang Hakim yang
istri/suaminya bekerja sebagai PNS di salah satu Pemerintah
Kabupaten/Kota, padahal Bupati/Walikota dimana istri/suami Hakim
tersebut bekerja, menjadi pihak didalam suatu perkara.
Dari contoh-contoh tersebut dapat dikatagorikan bahwa
Hakim telah memiliki kepentingan terhadap perkara yang
ditanganinya meskipun kepentingannya secara tidak langsung namun
dapat mempengaruhi netralitasnya dalam memutus suatu perkara.
74

Oleh karena Undang-Undang tidak mengatur secara lengkap


apa yang dimaksud dengan kepentingan langsung atau tidak langsung
sedangkan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat
menyebabkan putusan menjadi tidak sah dan juga mengandung sanksi
bagi Hakim minimal berupa sanksi administrasi, maka kekurangan
tersebut telah dilengkapi didalam Pedoman Perilaku Hakim, yang
menjadi acuan bagi Hakim dalam berperilaku, baik didalam kedinasan
maupun di dalam hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan.
Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yang dituangkan dalam Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009
tanggal 8 April 2009 didalam poin 5.1.2. mengatur bahwa Hakim
tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik
kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau
hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga
mengandung konflik kepentingan. Apabila muncul keragu-raguan
bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara, lebih baik memilih
mengundurkan diri.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pada Pasal 79 ayat (3) menyebutkan bahwa apabila
terdapat keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai kewajiban
hakim mengundurkan diri dari perkara tersebut, maka Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang menetapkannya.
Apabila yang memeriksa perkara tersebut adalah Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara, maka yang berwenang menetapkannya adalah
Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Nerara.
Selanjutnya didalam Pedoman Perilaku Hakim disebutkan
bahwa Hakim yang memiliki konflik kepentingan wajib
mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang
bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat
seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin
timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan
tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
75

Dalam kasus konkrit, Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri


dari para Hakim Agung dan para Komisioner Komisi Yudisial dalam
putusan
Nomor.
03/MKH/I/201060
pernah
mengusulkan
pemberhentian dengan tidak hormat Hakim RBR, SH seorang Hakim
di Pengadilan Negeri Kupang karena mengadili suatu perkara dimana
ia memiliki hubungan pribadi dan kekeluargaan dengan para pihak
yang berperkara, namun ia tidak mengundurkan diri dari memeriksa
perkaranya. Meskipun didalam pembelaannya Hakim RBR, SH
tersebut menyatakan merasa tidak punya kepentingan dan masih bisa
bersikap adil, namun pembelaan tersebut ditolak oleh Majelis
Kehormatan Hakim.
Akibat dari tindakan Hakim RBR, SH tersebut, berdasarkan
Pasal 17 ayat (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, maka ia
dapat dikenai sanksi administrasi dan terhadap putusannya dinyatakan
tidak sah sehingga perkaranya harus diperiksa ulang oleh
Hakim/Majelis Hakim yang berbeda.
Jika digambarkan Hak Ingkar dan Kewajiban Ingkar
sebagaimana diuraikan diatas adalah sebagai berikut :
No.
Hak Ingkar
Kewajiban Ingkar
1.
- Hak Ingkar Pencari - Kewajiban
Ingkar
Hakim.
Keadilan. Solusinya
Solusinya
mengajukan
mengajukan
permohonan pengunduran diri
permohonan kepada
dari perkara yang disidangkan
Ketua
Pengadilan - Kewajiban Ingkar Panitera.
agar Hakim/Panitera
Solusinya
mengajukan
yang menyidangkan
permohonan pengunduran diri
perkaranya diganti
dari perkara yang disidangkan
- Kewajiban Ingkar Lembaga
Peradilan
(belum
ada
pengaturannya).
Solusinya
Pengadilan tetap memeriksa
perkaranya namun putusannya
menyatakan Pengadilan tidak
60

Buletin Komisi Yudisial, edisi Februari-Maret 2010, hlm 5


76

berwenang untuk
perkara tersebut

mengadili

Maftuh Effendi mengatakan dalam kasus-kasus tertentu


dimana terjadi benturan antara asas nemo judex in rex sua dan asas ius
curia novit, hakim karena jabatannya dapat mengesampingkan asas
nemo judex in rex sua dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut
: pertama, secara yuridis tidak ada lembaga lain yang mempunyai
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan apabila
sengketa itu dibiarkan dapat mengganggu tertib hukum dalam
masyarakat; kedua, hakim harus seselektif mungkin dan penuh kehatihatian, artinya tidak begitu mudah untuk mengesampingkan asas
tersebut; dan ketiga, berpegang teguh pada ide dasar hukum yang
tertinggi yaitu keadilan61.
I.

Pasang Surut Wewenang Komisi Yudisial


Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa terdapat 2 (dua)
wewenang konstitusional KY berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 yaitu : mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. wewenang tersebut ditegaskan
kembali didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial. Namun demikian, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juga memberikan wewenang
pengawasan bukan hanya terhadap Hakim Agung dan para hakim di
lembaga peradilan di bawah MA tetapi juga terhadap Hakim
Konstitusi.
Sebagai lembaga negara yang baru yang ingin segera
menunjukkan peran dan eksistensinya, pada periode awal lahirnya KY
antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2006, banyak sekali terjadi
ketidakharmonisan hubungan antara KY dan MA hingga pada
61

Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang (Kajian tentang Putusan Mahkamah
Agung RI Tahun 2005-2011), Puslitbangkumdil Mahkamah Agung RI, 2013,
halaman 72
77

puncaknya 31 (tiga puluh satu) orang Hakim Agung mengajukan


judicial review kepada MK mengenai kewenangan KY.
Teguh Satya Bhakti mengatakan pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan
"kekuasaan" dengan semata-mata mempergunakan kekuasaannya
yang diatur di dalam UUKY, tanpa mau melihat Peraturan Perundangundangan yang lain, yang seharusnya juga menjadi acuan dan
pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, telah mengakibatkan
sepak terjang KY telah melampaui batas wewenangnya, sehingga
sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim62. Hal itu
tercermin dari pendapat Fajrul Falaakh yang mengatakan bahwa
semangat komisioner KY periode pertama memandang Hakim
berengsek semua63.
Setelah permohonan judicial review 31 (tiga puluh satu) orang
hakim agung dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka wewenang
KY untuk mengawasi Hakim Agung, termasuk Hakim Konstitusi
(meskipun tidak dimintakan) kembali gugur.
Dalam perkembangannya KY mendapatkan wewenang
tambahan dari Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 yaitu melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama
Mahkamah Agung dan selanjutnya KY kembali mendapat tambahan
wewenang sebagaimana termuat didalam Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai berikut :
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc
di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan.
62
Teguh Satya Bhakti, Pola Hubungan Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial menurut Amandemen UUD 1945 (Studi Tentang Peranan Komisi
Yudisial dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006), http://teguhalexander.blogspot.com/
2008/12/pola-hubungan-mahkamah-agung-dan-komisi.html diunduh tanggal
9 Juni 2014
63
Iman Anshori Saleh, op cit halaman vi
78

b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,


serta perilaku hakim.
c. Menetapkan Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. dan
d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
Di tahun 2009, KY mendapat tambahan wewenang
berdasarkan undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu melakukan proses seleksi
pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung.
Ditahun yang sama pula KY mendapat kembali wewenang
tambahan berupa pengusulan pembentukan MKH berdasarkan Pasal
11A angka 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan Bersama MARI dan
KYRI Nomor : 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang
Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi
Undang-Undang diberikan kembali tambahan 3 (tiga) wewenang baru
bagi Komisi Yudisial sebagai berikut :
- Pasal 18B menyebutkan : Panel Ahli menyelesaikan
tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial. Dengan demikian
Komisi Yudisial berwenang untuk membentuk Panel Ahli
yang berwenang melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi
Calon Hakim Konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden.
79

Pasal 27A ayat (1) menyebutkan : Mahkamah Konstitusi


bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan
menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi .
- Pasal 27A ayat (4) : Untuk menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan
Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang bersifat tetap.
Tambahan wewenang tersebut tidak lepas dari tertangkapnya
AM Mantan Ketua MK oleh KPK yang kemudian direspon oleh
Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam fase ini, wewenang KY mencapai puncaknya,
bahkan KY telah membentuk panel ahli untuk melakukan uji
kelayakan dan kepatutan bagi Calon Hakim Konstitusi sebelum
ditetapkan oleh Presiden demi menantisipasi kekosongan 2 (dua)
orang hakim MK yaitu AM yang tertangkap KPK dan Harjono yang
akan memasuki masa pensiun padahal menjelang pelaksanaan
Pemilihan Umum 2014 sudah semakin dekat sehingga komposisi 9
(sembilan) orang Hakim MK harus segera dilengkapi.
Akan tetapi kerja KY membentuk panel ahli kembali menjadi
sia-sia karena MK melalui putusan Nomor : 1-2/PUU-XII/2014
tanggal 11 Februari 2014 telah membatalkan bukan hanya terhadap
Pasal-pasal yang menjadi dasar wewenang KY melaksanakan
wewenang tambahannya tersebut diatas melainkan seluruh ketentuan
didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang pengesahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Alasan dibatalkannya tambahan 3 (tiga) wewenang KY
tersebut pada pokoknya adalah menurut Mahkamah Konstitusi,
Undang-Undang yang mengatur pengajuan calon Hakim Konstitusi
melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial - walaupun 3
-

80

(tiga) dari 7 (tujuh) orang anggotanya masing-masing ditunjuk oleh


Mahkamah Agung, DPR dan Presiden telah nyata-nyata mereduksi
kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR dan Presiden.
Sama halnya apabila pengajuan Rancangan Undang-Undang,
termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang
dibentuk oleh lembaga negara yang lain adalah juga pasti mereduksi
kewenangan Presiden. Demikian juga DPD yang mengajukan
Rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR yang harus melalui
Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang lain juga akan
mereduksi kewenangan DPD. Begitu pula dengan kewenangan
Komisi Yudisial dalam mengusulkan calon Hakim Agung jika harus
melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara lain juga akan
mereduksi kewenangan Komisi Yudisial. Lain halnya apabila lembaga
negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi
secara intern untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya
dalam mengajukan calon Hakim Konstitusi. Hal demikian tidaklah
bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan
konstitusional lembaga negara yang direduksi64.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU
4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal
tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor
005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang menegaskan secara
konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait
dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan
Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang
demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus
dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi
menjaga tegaknya konstitusi65.
Setelah dijatuhkannya putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014
tanggal 11 Februari 2014 tersebut diatas, maka wewenang KY yang
tersisa secara keseluruhan adalah sebagai berikut :

64

Putusan MK Nomor : 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014


halaman 108-109
65
Ibid, halaman 115
81

a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad


hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan.
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
c. Menetapkan Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. dan
d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
e. Melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama
Mahkamah Agung
f. Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim

82

BAB IV
EKSISTENSI DAN PERAN KY
Secara de facto, eksistensi dan peran KY dimulai sejak
dilantiknya anggota KY periode pertama tanggal 2 Agustus 2005
hingga saat ini. Demikian banyaknya peran KY, maka yang menarik
perhatian publik dan menarik secara akademik saja yang akan
diungkapkan oleh peneliti.
A. Preseden Pengembalian Calon Hakim Agung oleh DPR
kepada KY
Hadirnya KY sesungguhnya telah membawa angin segar
dalam hal pencalonan hakim agung. Dengan dilibatkannya unsur
supra struktur dari Mahkamah Agung, maka telah mengikis praktik
like or dislike dan perkoncoisme dari pimpinan Mahkamah Agung
yang dahulu menjadi penentu siapa saja yang dapat diangkat menjadi
Hakim Agung. Zaman dahulu jika sudah menjadi Ketua Pengadilan
Tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan maka sudah
hampir dipastikan akan menjadi Hakim Agung, sedangkan saat ini
jabatan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut bukan lagi jaminan untuk
menjadi Hakim Agung terlebih sudah dibuka pula keran calon hakim
agung dari jalur non karier, membuat kompetisi untuk menjadi hakim
agung semakin berat.
Dari sekian banyaknya usulan calon hakim agung yang
diajukan oleh KY kepada DPR, anggota Komisi Yudisial merasa
kecewa dengan pengembalian tiga orang calon Hakim Agung (dhi Dr.
Sunarto, SH dkk) oleh DPR karena DPR telah mengembalikan tiga
calon Hakim Agung tersebut kepada KY tanpa menyebutkan alasan
mengapa para calon Hakim Agung dikembalikan (peneliti telah
mengkonfirmasi kepada anggota KY Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH pada
saat wawancara dengan beliau di gedung KY tanggal 7 Mei 2014).
Dugaan adanya faktor non hukum justru sangat mengemuka
karena sebelum diajukannya calon Hakim Agung oleh KY kepada
DPR telah ada beberapa kejadian yang mempengaruhinya yaitu :
83

1. Munculnya istilah loby toilet sebagai akibat dari diketahui


adanya perbincangan anggota DPR berinisial BN dengan
Calon Hakim Agung berinisial SD di toilet gedung DPR di
sela-sela dilakukannya fit and proper test terhadap Calon
Hakim Agung.
2. Dikabulkannya permohonan pengujian Pasal 8 ayat
(2),(3),dan (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung serta Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi
kewenangan DPR memilih Calon Hakim Agung melalui
mekanisme fit and proper test. Permohonan judicial review
tersebut diajukan oleh Dr. Made Dharma Weda, SH, MH, Dr.
RM. Panggabean, SH.MH dan Dr. ST. Laksanto Utomo,
SH.MH.
Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 yang diuji tersebut pada awalnya berbunyi sebagai
berikut :
2) Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
3) Calon Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga)
nama calon untuk setiap lowongan.
4) Pemilihan Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima
Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 yang diuji tersebut pada awalnya berbunyi
sebagai berikut :
84

4) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari


terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
menetapkan dan mangajukan 3 (tiga) calon Hakim Agung
kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim
Agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Setelah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka bunyi Pasal 8
ayat (2),(3) dan (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tersebut menjadi sebagai berikut :
2) Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
3) Calon Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1
(satu) nama calon untuk setiap lowongan.
4) Persetujuan Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima
Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut :
4) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
menetapkan dan mangajukan 1 (satu) calon Hakim
Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan
Hakim Agung dengan tembusan disampaikan kepada
Presiden.
3. Komentar salah seorang Anggota Komisi Yudisial Imam
Anshori Saleh sebagaimana termuat dalam Bulletin Komisi
Yudisial Edisi September-Oktober 2013 halaman 41 sebagai
berikut :
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan
Informasi Komisi Yudisial itu memaparkan memang kerap
85

ada praktik percobaan suap dalam seleksi CHA. Imam


mengaku sering mendapat telepon dari para anggota dewan
dari beberapa fraksi yang meminta calon tertentu diloloskan
dalam seleksi awal CHA di KY.
Dengan gamblang Imam mengungkap adanya percobaan
suap saat proses seleksi CHA oleh oknum anggota DPR.
Katanya, ada oknum anggota dewan yang sempat
menjanjikan imbalan sebesar Rp. 1,4 miliar atau Rp. 200 juta
untuk masing-masing Anggota KY yang berjumlah 7 orang
jika calon tersebut lolos. Tawaran tersebut disampaikan
melalui oknum anggota DPR RI yang merupakan perantara
salah seorang peserta CHA. Namun, secara tegas KY
menolak tawaran itu.
Lebih lanjut, Imam telah memaparkan hal tersebut pada rapat
pleno KY Tahun 2012 untuk menentukan calon Hakim Agung
yang lolos ke seleksi lanjutan. Imam membuka adanya praktik
suap itu. Akhirnya, semua anggota KY sepakat bila calon
yang dititipkan itu dinyatakan tidak lolos.
Pengakuan Imam diperkuat pernyataan Ketua Bidang
Pengawasan Hakim dan Investigasi Eman Suparman.
Identitas anggota Komisi III DPR yang mencoba menawarkan
uang masing-masing Rp. 200 juta kepada tujuh unsur
pimpinan KY mulai terkuak. Bahkan Eman menyebutkan,
oknum yang mencoba menyuap adalah oknum dari Partai
Demokrat. Eman mengaku mendapat informasi tersebut dari
Imam Anshori Saleh, komisioner KY yang pertama membuka
masalah ini ke publik66.
Dikabulkannya permohonan pengujian Pasal 8 ayat
(2),(3),dan (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
berisi kewenangan memilih DPR melalui mekanisme fit and proper
66

Buletin Komisi Yudisial, Edisi September-Oktober 2013, halaman

41
86

test, loby toilet dan Komentar salah seorang Anggota Komisi Yudisial
Imam Anshori Saleh sebagaimana diuraikan diatas sangat jelas
korelasinya. Imam Anshori Saleh seolah-olah ingin menegaskan
bahwa mekanisme fit and proper test yang dilakukan oleh DPR
selama ini bukanlah mekanisme yang tepat untuk memperoleh Hakim
Agung yang berkualitas dan berintegritas, karena bisa saja Hakim
Agung yang dipilih oleh DPR adalah yang melakukan loby kepada
Anggota DPR.
Sebaliknya DPR yang sempat mengancam akan melaporkan
Imam Anshori Saleh dengan tuduhan pencamaran nama baik, dengan
pengembalian tiga orang calon Hakim Agung seolah-olah ingin
menunjukkan bahwa calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY
tidaklah memenuhi kriteria yang diinginkan oleh DPR, sehingga
kinerja KY patut untuk dipertanyakan.
Pengembalian calon Hakim Agung oleh DPR meskipun
disesalkan oleh anggota KY, namun merupakan keniscayaan sebab
adanya kewenangan DPR untuk menyetujui tentu saja dilengkapi
dengan kewenangan untuk menolak calon Hakim Agung yang
diajukan oleh KY. Hal mana, sesuai dengan asas contrarius actus,
yaitu berwenangnya suatu badan/pejabat untuk menerbitkan suatu
keputusan, maka berwenang pula untuk mencabut, begitu pula
berwenangnya suatu badan/pejabat untuk menyetujui, maka
berwenang pula untuk menolak.
Hal yang disayangkan justru ketika DPR mengembalikan /
menolak calon Hakim Agung tanpa disertai dengan alasan apapun,
karena hal tersebut merupakan preseden buruk bagi praktek bernegara.
Didalam hukum administrasi, terdapat asas-asas umum pemerintahan
yang baik yang salah satunya adalah asas motivasi yang artinya setiap
keputusan seharusnya disebutkan motivasi atau alasannya didalam
konsideran mengapa badan/pejabat tata usaha Negara menerbitkan
keputusan tersebut.
Preseden buruk tersebut tidak lepas juga dari adanya tuntutan
masyarakat agar DPR tidak lagi menyelenggarakan fit and proper test
bagi calon hakim agung. Namun demikian, jika Putusan MK Nomor
27/PUU-XI/2013 tersebut difahami betul, sesungguhnya tidak ada
87

larangan bagi DPR untuk tetap menyelenggarakan fit and proper test
bagi calon hakim agung meskipun yang diajukan hanya 1 (satu) calon
untuk masing-masing lowongan, sebab bagaimana mungkin DPR
mengetahui kualitas calon hakim agung jika tanpa dilakukan fit and
proper test. Namun demikian fit and proper test oleh DPR haruslah
dilakukan secara transparan sehingga tidak menimbulkan kesan
dilakukannya fit and proper test demi mencapai komitmen-komitmen
tertentu antara anggota DPR dengan calon hakim agung.
Jika preseden buruk ini tidak segera dicarikan solusinya, maka
kemungkinan hal ini terulang kembali sangatlah besar terjadi, sebab
disisi lain, kewenangan KY sebagaimana termuat dalam UUD 1945
hanyalah sebatas mengusulkan calon Hakim Agung kepada DPR
tanpa wewenang untuk mengajukan upaya hukum apapun jika para
calon Hakim Agung yang diajukan ditolak/dikembalikan.
Atas dasar praktek bernegara yang seperti itu, perlu kiranya
dipikirkan kembali upaya untuk mengharmonisasikan hubungan DPR
dan KY, termasuk solusi hukum untuk mencegah preseden buruk
sebagaimana diuraikan diatas agar tidak merugikan para calon Hakim
Agung yang sudah bersusah payah mengikuti proses seleksi untuk
menjadi Hakim Agung dan juga merugikan keuangan negara karena
uang negara yang dikeluarkan oleh KY untuk menyelenggarakan
seleksi calon Hakim Agung tidaklah sedikit.
Untuk itu perlu kiranya ada satu norma didalam UndangUndang yang memberikan batasan kepada DPR berapa kali dapat
menolak calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY serta
mewajibkan kepada DPR untuk memberikan alasan sesuai asas
motivasi untuk setiap keputusan pengembalian calon Hakim Agung
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Solusi tersebut sesungguhnya
sangat sulit terwujud sebab pembuatan Undang-Undang merupakan
wewenang DPR sehingga hampir tidak mungkin DPR membatasi
wewenangnya sendiri melalui Undang-Undang yang dibuatnya jika
tidak ada kelompok penekan. Namun kesadaran DPR untuk
membangun pola hubungan yang baik dengan Komisi Yudisial
kiranya dapat membantu melunakkan hati para anggota DPR agar
88

kewenangannya untuk menyetujui/menolak calon hakim agung


digunakan secara bertanggung jawab.
Jika upaya untuk membatasi wewenang DPR dan mewajibkan
DPR membuat alasan/motivasi dalam setiap keputusan pengembalian
calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY, tidak juga dilakukan
oleh DPR, barangkali perlu juga untuk dilakukan rekonstruksi
hubungan kelembagaan negara.
Jika hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sudah
diputuskan dalam putusa MK Nomor : 005/PUU-IV/2006 tanggal 23
Agustus 2006 yang menegaskan KY sebagai Supporting Organ dari
MA yang merupakan Main Organ, lalu apakah KY juga merupakan
supporting organ dari DPR dalam rangka menemukan Hakim Agung
yang berkualitas dan berintegritas ?
Mengenai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung, Pasal 14 Undang-Undang KY menyebutkan sebagai berikut :
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas :
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung.
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung.
c. menetapkan calon Hakim Agung. dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR
(2) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah
Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama
Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling
lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari
Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung.
Didalam penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf b disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan seleksi dalam ketentuan ini meliputi
penelitian administrasi, pengumuman untuk mendapatkan masukan
masyarakat terhadap pribadi dan tingkah laku calon, rekomendasi dari
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
89

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Pasal 19 Undang-Undang KY menyebutkan
sebagai berikut :
(1) DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan
kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam
pasal 18 ayat (5).
(2) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung
ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak Presiden menerima calon yang diajukan DPR.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat
Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
Dari ketentuan-ketentuan diatas, norma hukum baru
mengantisipasi jika jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah dilampaui
tapi belum juga ditetapkan oleh DPR, maka Presiden berwenang untuk
mengangkat Hakim Agung, namun norma hukum belum
mengantisipasi adanya pengembalian calon hakim agung oleh DPR
serta belum mengatur pula mengenai kriteria-kriteria apa yang dapat
dipakai oleh DPR untuk menyetujui atau menolak calon hakim agung,
sehingga dengan demikian diperlukan penelitian lanjutan mengenai
hal ini.
B.

Peran KY dalam Majelis Kehormatan Hakim


Pasal 11 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung mengatur mengenai keanggotaan Majelis
Kehormatan Hakim yaitu terdiri atas 3 (tiga) orang hakim agung dan 4
(empat) orang anggota Komisi Yudisial.
Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri bagi
Hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang90

undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa


pemberhentian67.
Komposisi keanggotaan didalam MKH yang mengatur 3
(tiga) orang hakim agung dan 4 (empat) orang anggota Komisi
Yudisial, menurut peneliti juga kurang mencerminkan rasa keadilan
dengan alasan jumlah 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial lebih
didasarkan pada stigma jika hakim agung tidak akan obyektif dan
cenderung membela corps hakim, sehingga 4 anggota KY sudah pasti
lebih menentukan putusan MKH. Komposisi yang lebih ideal kiranya
3 (tiga) orang hakim agung atau pengurus IKAHI68, 3 (tiga) orang
anggota KY dan 1 (satu) orang akademisi.
Dalam hal bagaimana hakim dan hakim agung diberhentikan,
telah diatur didalam peraturan perundang-undangan. Khusus untuk
hakim agung diatur didalam Pasal Pasal 11 dan Pasal 11A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
yang menyatan sebagai berikut :
Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung dan hakim agung
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas
usul Mahkamah Agung karena :
a. Meninggal dunia.
b. Telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun.
c. Atas permintaan sendiri secara tertulis.
d. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter. atau

67
Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MARI dan KYRI Nomor :
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara
Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis
Kehormatan Hakim
68
Peran Ikahi kiranya dapat dianalogikan dalam pemberhentian
Dokter bukan Menteri Kesehatan yang dilibatkan tetap Ikatan Dokter
Indonesia karena pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap
etika profesi
91

e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.


Pasal 11A
(1) Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat
dalam masa jabatannya apabila :
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Melakukan perbuatan tercela.
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya
terus menerus selama 3 (tiga) bulan.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
atau
f. Melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
Sedangkan pemberhentian bagi Hakim diatur didalam
Undang-Undang sektoral semisal didalam Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum atau didalam Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sama-sama diatur didalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) untuk
pemberhentian dengan hormat dan didalam Pasal 20 untuk
pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya karena :
a. Atas permintaan sendiri secara tertulis.
b. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus.
c. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua,
wakil ketua dan hakim pengadilan negeri dan 67 (enam
puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua dan hakim
pengadilan tinggi. atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
92

(2) Ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan yang meninggal


dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden.
Pasal 20
(1) Ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. Dipidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Melakukan perbuatan tercela.
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1869. dan atau
f. Melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dikenal dua terminologi
pemberhentian terhadap hakim yaitu diberhentikan dengan hormat dan
pemberhentian tidak dengan hormat. Dua terminologi tersebut juga
sangan lazim digunakan dalam pemberhentian jabatan-jabatan lain
seperti PNS, anggota kepolisian dan lain-lain. Didalam
perkembangannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 telah
mempekenalkan terminologi baru dalam pemberhentian hakim yaitu
pemberhentian tetap dengan hak pensiun sebagaimana disebutkan
didalam Pasal 22 D ayat 2 huruf c angka 4.
Persoalan yang muncul adalah KY dan MA melalui Majelis
Kehormatan Hakim telah beberapa kali memutus pemberhentian
terhadap hakim dengan pemberhentian tetap dengan hak pensiun tanpa
melihat berapa usia dan masa kerja hakim yang bersangkutan. Secara
materil, sesungguhnya telah diatur sebagaimana disebutkan diatas
bahwa pelanggaran terhadap kode etik atau pedoman perilaku hakim

69

Larangan merangkap jabatan


93

termasuk katagori yang dapat dijatuhi hukuman pemberhentian tidak


dengan hormat.
Sedangkan hak pensiun bagi hakim belum diatur tersendiri
didalam peratuan perundang-undangan yang bersifat khusus
melainkan masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai mensyaratkan
pegawai yang berhak menerima pensiun yaitu pegawai yang
diberhentikan dengan hormat, telah mencapai usia sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun dan masa kerja untuk pensiun
sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun.
Persoalan lanjutan dari putusan MKH yang memutuskan
diberhentikan tetap dengan hak pensiun terhadap hakim junior yang
usianya belum mencapai 50 (lima puluh) atau masa kerja belum
mencapai 20 (dua puluh) tahun adalah bagaimana apabila hakim yang
bersangkutan kelak tidak mendapatkan hak pensiun sesuai UndangUndang Nomor 11 Tahun 1969. Bukankah itu berarti putusan MKH
tersebut hanyalah sebagai pelipur lara yang sangat sulit untuk
direalisasikan? Bagaimana pula jika pemberhentian tersebut kelak
dipersoalkan menurut hukum oleh Hakim yang bersangkutan? untuk
itu agar kiranya dihindari penjatuhan putusan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun dari pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan
diatas, setidaknya menjadi bahan pemikiran juga dikalangan hakim
terkait apakah putusan MKHr dapat diajukan sebagai obyek gugatan
di pengadilan? Jika membandingkan dengan pemberhentian tidak
dengan hormat anggota kepolisian, maka haruslah didahului dengan
prosedur sidang kode etik anggota Polri yang kemudian SK
ditindaklanjuti dengan penerbitan surat keputusan pemberhentian
tidak dengan hormat oleh pejabat yang berwenang. Surat Keputusan
pemberhentian tidak dengan hormat anggota Polri sudah sangat biasa
menjadi obyek gugatan di PTUN bahkan tidak jarang gugatannya
dikabulkan karena ada cacat prosedur didalam pelaksanaan sidang
etik. Dengan analogi pemberhentian anggota Polri, maka jika kelak
94

pemberhentian terhadap hakim telah diterbitkan Surat Keputusan oleh


Presiden, maka dengan menggunakan analogi tersebut diatas, dapat
saja kiranya Keputusan Presiden tentang pemberhentian hakim
dijadikan sebagai obyek gugatan di PTUN.
Berikut ini adalah sedikit informasi mengenai Hukuman Disiplin
periode januari-maret 2014 yang dirilis oleh Badan Pengawas
Mahkamah Agung yang antara lain berisi tentang pemberhentian tetap
dengan hak pensiun kepada beberapa hakim yang tergolong junior,
kecuali Jmn, SH.MH wakil ketua PTUN Banjarmasin.

95

C. KY di beberapa Negara
Komisi Yudisial di beberapa negara dimuat sebagai bahan
perbandingan dengan Komisi Yudisial di Indonesia. Untuk itu hanya
dimuat beberapa negara yang peneliti anggap menarik dengan meneliti
96

kedudukan, keanggotaan dan wewenang dari Komisi Yudisial di


negara tersebut.
KY di New South Wales
New South Wales (NSW) adalah satu-satunya negara bagian
di Australia yang menggunakan Komisi Yudisial. Judicial Commision
di NSW beranggotakan 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari 6 (enam)
anggota resmi yang merupakan ketua-ketua dari pengadilan pada 6
jurisdiksi (wilayah hukum) yang ada di New South Wales. 4 (empat)
anggota lainnya ditunjuk oleh Gubernur NSW. Yang menjadi ketua
Komisi Yudisial adalah Ketua Mahkamah Agung NSW70.
Adapun kewenangan Komisi Yudisial New South Wales
adalah sebagai berikut71 :
(1) Membantu Pengadilan untuk mencapai konsistensi dalam
penjatuhan hukuman.
(2) Mengatur dan mengawasi pengorganisasian yang tepat atas
pendidikan dan pelatihan yang berlanjut bagi para hakim.
(3) Memeriksa pengaduan-pengaduan terhadap para hakim.
(4) Memberikan pertimbangan kepada pihak kejaksaan dalam
hal-hal tertentu yang dipandang perlu.
(5) Berhubungan dengan orang-orang dan lembaga lain dalam
kaitannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut diatas.
KY di Perancis
Organisasi Komisi Yudisial di Perancis disebut Conseil
Superiur de la Magistrature (CSM). Kepengurusan CSM diketuai

70
Susanti Adi Nugroho mengutip dari Ernie Schmatt, Implementation
of Judicial Commision in New South Wales as a comparative Perspektif for
The Establishment of Judicial Commision in Indonesia, makalah pada
seminar sehari yang diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang MARI dan
Australian Legal Resources Internasional di Jakarta Tanggal 24 Juli 2002
halaman 3
71
ibid, halaman 25
97

oleh Presiden Perancis dan Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua.


Anggotanya sebagai berikut72 :
- Satu anggota ditunjuk oleh ketua senat.
- Satu anggota ditunjuk oleh Ketua Assemblee Nationale.
- Satu anggota dari lingkungan Counseil deEtat.
- Satu Anggota dari lingkungan Cour de Comptes (Kantor
Oditur Jenderal)
- 6 anggota diangkat oleh Sitting Magistrate melalui suatu
sistem perwakilan.
- 6 anggota diangkat oleh Kantor Kejaksaan juga melalui sitem
perwakilan.
Conseil Superiur de la Magistrature mempunyai kewenangan
yang lebih terbatas daripada Komisi Yudisial di New South Wales
yaitu mencakup 73:
1. Membuat usulan pengangkatan dan kenaikan pangkat para
Hakim di Perancis.
2. Memeriksa para Hakim yang diduga atau dituduh melakukan
pelanggaran.
D. Persepsi Anggota KY mengenai KY yang Lebih Ideal
Menurut anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, KYRI
saat ini belumlah ideal karena masih terkendala pada tiga hal yaitu
anggaran, personil, dan wewenang. Mengenai anggaran, di masa
awal berdirinya, pada tahun 2005 Komisi Yudisial memperoleh
alokasi anggaran sebesar Rp. 7.500.000.000,- untuk 5 (lima) bulan.
Pada masa itu Komisi Yudisial belum memiliki kode satker tersendiri
sehingga alokasi anggarannya dimasukkan di satker Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi. Tahun berikutnya di Tahun 2006, KY
memperoleh anggaran dari APBN sebesar Rp. 47.000.000.000,- dan
dana dari Partnership of Governance Reform sebesar Rp.
1.717.066.600,-. Anggaran terbesar diberikan di Tahun 2007

72

Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis Komisi Yudisial,


Mahkamah Agung RI, 2004, halaman 12
73
ibid, halaman 22
98

berjumlah Rp. 101.909.089.000,- Pada tahun tersebut KY juga


memperoleh Anggaran Biaya Tambahan (ABT) berjumah Rp.
11.000.000.000,-74.
Alokasi anggaran yang terberat dirasakan KY pada tahun
2014. Pada tahun 2014 alokasi anggaran yang diperoleh KY
berjumlah Rp. 83,75 Milyar. Berdasarkan realisasi penyerapan
anggaran sampai dengan 23 Mei 2014, maka sisa Pagu tahun anggaran
2014 berjumlah Rp. 57,4 Milyar. Sisa Pagu tersebut dikurangi belanja
operasional hingga 31 Desember 2014 sebesar Rp. 26,88 Milyar,
kemudian belanja tetap dan kontraktual sebesar Rp. 5,57 Milyar.
Sehingga sisa anggaran Komisi Yudisial berjumlah Rp. 24,95 Milyar.
Dengan diterbitkannya Inpres Nomor. 4 Tahun 2014 tentang LangkahLangkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian /
Lembaga dalam rangka Pelaksanaan APBN TA 2014 tertanggal 19
Mei 2014, jumlah Rp. 24, 95 Milyar dikurangi penghematan dan
pemotongan sebesar Rp. 22,88 Milyar, sehingga sisa anggaran
berjumlah Rp. 2,07 Milyar. Sisa anggaran tersebut digunakan untuk
membiayai aktivitas kegiatan atau program KY sampai dengan akhir
tahun75.
Kurangnya anggaran menyebabkan kegiatan-kegiatan
strategis KY tidak dapat terlaksana dengan optimal seperti investigasi
dan penulusuran jejak rekam calon Hakim Agung dan penanganan
laporan masyarakat terhadap Hakim. penelusuran terhadap rekam
jejak calon Hakim Agung membutuhkan biaya untuk mengetahui
kehidupan sosial hingga investigasi dilakukan sampai dengan tempat
tinggal Calon Hakim Agung.
Begitu pula penanganan laporan masyarakat terhadap Hakim
memerlukan investigasi dan pemeriksaan yang memerlukan biaya
yang cukup besar seperti biaya perjalanan, hotel dan lain-lain.
Sebaliknya jika KY memanggil Hakim dan saksi untuk diperiksa di
Jakarta, KY juga harus mengganti biaya perjalanan Hakim, uang

74

Kiprah 8 Tahun Komisi Yudisial, Mengukuhkan Sinergitas


Memperkokoh Kewenangan, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2013
75
www.komisiyudisial.go.id diunduh tanggal 2 Juni 2014
99

harian, termasuk menanggung biaya hotel bagi Hakim terperiksa jika


berasal dari luar daerah yang tidak mungkin kembali ke daerahnya di
hari yang sama pada hari pemeriksaan.
Dampak yang paling besar dari dipotongnya anggaran KY
tersebut adalah dihentikannya semua kegiatan kecuali penerimaan
laporan masyarakat termasuk seleksi Calon Hakim Agung untuk
sementara waktu. Dampak lanjutan dari dihentikannya seleksi Calon
Hakim Agung tentu saja jumlah Hakim Agung semakin berkurang
karena tidak ada pengganti Hakim Agung yang Purna Bhakti dan
akibatnya beban kerja Hakim Agung yang ada akan semakin berat.
Mengenai personil/SDM, pada tahun 2012, KY telah
menerima 31 (tiga puluh satu) CPNS dan begitu pula pada Tahun
2014 terdapat tambahan CPNS lagi sebanyak 39 (tiga puluh sembilan)
orang. Jumlah tersebut dirasakan masih kurang untuk menunjang
kegiatan-kegiatan KY, oleh karenanya KY telah membentuk 6 (enam)
kantor penghubung di 6 (enam) kota besar di Indonesia yaitu
Surabaya, Makassar, Medan, Mataram, Semarang dan Samarinda76.
Namun demikian jika dikaitkan dengan minimnya anggaran, maka
penambahan personil tidak banyak membantu kegiatan-kegiatan
strategis yang diagendakan KY.
Sedangkan mengenai keanggotaan Komisi Yudisial dahulu
didalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial hanya diatur keanggotaan Komisi Yudisial
terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan
anggota masyarakat. Saat ini didalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ditentukan jumlah
anggota Komisi Yudisial secara definitif yaitu 2 (dua) orang mantan
hakim, 2 (dua) orang praktisi hukum, 2 (dua) orang akademisi hukum
dan 1 (satu) orang anggota masyarakat.
Terhadap komposisi yang sudah ditentukan secara definitif
tersebut diatas, anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus
76

Kiprah 8 Tahun Komisi Yudisial, Mengukuhkan Sinergitas


Memperkokoh Kewenangan, Komisi Yudisial, 2013, halaman 141
100

menyatakan sudah cukup ideal77, sedangkan Wakil Ketua Komisi


Yudisial Abbas Said mengatakan setidak-tidaknya komposisi anggota
Komisi Yudisial yang berlatar belakang mantan hakim pada periode
ketiga nanti sudah akan bertambah dibanding periode kedua yang
hanya 1 (satu) orang. Menurutnya anggota Komisi Yudisial yang
berlatar belakang mantan hakim akan lebih mudah membedakan mana
persoalan teknis yudisial dan mana yang bukan masalah teknis
yudisial78.
Mengenai wewenang, anggota KY Jaja Ahmad Jayus merasa
wewenang KY yang hanya mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap
Hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 D ayat (3) Undang-Undang KY membuat KYRI masih belum
ideal. KYRI akan lebih ideal menurutnya jika diberi wewenang untuk
menjatuhkan sanksi terhadap hakim . Hal tersebut dikarenakan
banyaknya rekomendasi/usulan penjatuhan sanksi yang diajukan oleh
KY kepada pimpinan Mahkamah Agung tidak dipatuhi79.
Imam Anshori Saleh80 mengatakan sebagai Institusi yang
mendapat kewenangan langsung dari UUD 1945 untuk mengawasi
hakim guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat dan perilaku hakim, kepada Komisi Yudisial sangatlah tepat
diberikan kewenangan polisional, dalam arti menindak secara
langsung hakim yang terbukti melanggar KEPPH (Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim).
Tambahan wewenang polisional KY yang diusulkan Imam
Anshori Saleh tidak boleh hanya didasarkan pada adanya rekomendasi
KY yang tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. sehingga seolaholah KY merasa kecewa karena hasil kerjanya kurang dihargai oleh
Mahkamah Agung. Perasaan kecewa yang menghinggapi KY tidak
lepas karena KY memposisikan diri sebagai lembaga check and
77

Hasil wawancara tanggal 7 Mei 2014 di Gedung KY Lantai 4


Pendapat pada saat FGD Proposal tanggal 22 April 2014 di Ruang
Rapat Puslitbang Kumdil MA-RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 lt.10 Jakarta
Pusat
79
op cit
80
Imam Anshori Saleh, op cit hlm 246
101
78

balances yang setara kedudukannya dengan MA dan bukan


supporting organ dari MA.
Dalam kasus konkrit, beberapa hasil pengawasan KY memang
tidak diikuti oleh Mahkamah Agung salah satunya yang menarik
perhatian publik adalah dalam kasus Antasari Azhar mantan ketua
KPK. Dalam kasus tersebut, Komisi Yudisial mengajukan
rekomendasi kepada Mahkamah Agung agar hakim yang memutus
perkara Antasari yaitu Sdr. Herry Swantoro, Sdr. Prasetyo Ibnu
Asmoro dan Sdr. Nugroho Setiadji agar dijatuhi sanksi 6 bulan non
palu. Rekomendasi didasarkan data investigasi Komisi Yudisial yang
menyatakan hakim yang bersangkutan telah mengabaikan fakta di
persidangan yaitu hakim tidak mempertimbangkan alat bukti (dalam
hal ini antara lain keterangan ahli tentang pesan singkat SMS berupa
ancaman Antasari terhadap korban, pesan singkat SMS dalam HP
Antasari dan Nasaruddin yang tidak dibuka di persidangan, baju
korban yang tidak pernah dihadirkan sebagai barang bukti dan
keterangan ahli balistik tentang senjata yang dipakai untuk menembak
korban)81.
Tidak dipatuhinya rekomendasi penjatuhan sanksi oleh KY
tersebut karena Mahkamah Agung menilai KY telah memasuki
wilayah teknis yudisial. adapun para hakim yang diusulkan untuk
dijatuhkan sanksi tersebut saat ini telah menduduki jabatan yang
cukup strategis yaitu Sdr. Herry Swantoro sebagai Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum, Sdr. Prasetyo Ibnu Asmoro menjadi Hakim
Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jambi dan Sdr. Nugroho Setiadji
sebagai Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah
Agung.
Wewenang polisional KY juga akan menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi Hakim karena wewenang MA untuk
mengawasi perilaku hakim hingga kini tidak pernah dihapus. Sangat
mungkin pelapor melaporkan dugaan pelanggaran kode etik atau
pedoman perilaku hakim kepada KY dan Bawas MA sekaligus,

81

Putusan Nomor : 36 P/HUM/2011 tanggal 9 Februari 2012


102

sehingga sangat mungkin pula kedua lembaga tersebut sama-sama


menjatuhkan sanksi pada hakim atas laporan yang sama.

103

104

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tersebut diatas, maka dapat peneliti
simpulkan beberapa hal :
1. Kebebasan dan kemandirian hakim dalam memutus perkara telah
mendapat jaminan dari UUD 1945. Kebebasan dan kemandirian
tersebut tidak boleh digunakan sebebas-bebasnya, sehingga
didalam pelaksanaannya dibutuhkan pengawasan baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Desakan pembentukan
lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim sangatlah
kuat, disamping keraguan akan pengawas internal juga
terpuruknya kondisi dunia peradilan telah membuat anggota MPR
melembagakan Komisi Yudisial didalam Bab IX UUD 1945 agar
kedudukannya lebih kuat.
2. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 bukan hanya tidak tepat
didalam Bab IX satu bab dengan pelaku kekuasaan kehakiman,
melainkan juga apabila ditempatkan di Bab tersendiri didalam
UUD 1945. Meskipun KY bukanlah lembaga negara ad hoc
melainkan lembaga negara yang bersifat tetap dan mandiri, namun
KY adalah lembaga negara yang bersifat supporting organ dengan
kewenangan yang relatif kecil sehingga lebih tepat dilembagakan
didalam Undang-Undang.
3. Sejak dilembagakan didalam Bab IX UUD 1945 dengan 2 (dua)
wewenangnya, KY telah mengalami pasang surut kewenangan
dimana puncaknya KY memiliki 9 (sembilan) wewenang. Saat ini
wewenang KY tersisa 6 (enam) dimana 3 (tiga) wewenang
bersifat mandiri sedangkan 3 (tiga) wewenang lain bersifat
bersama-sama Mahkamah Agung. Tambahan wewenang yang
diberikan kepada KY diantaranya terbukti telah bertentangan
dengan UUD 1945, oleh karenanya Presiden dan DPR harus
berhati-hati dalam menambah wewenang bagi KY.
4. Secara de facto, eksistensi dan peran KY dimulai sejak pelantikan
anggota KY periode pertama tanggal 2 Agustus 2005. Sebagai
105

lembaga negara yang relatif baru didalam menjalankan


wewenangnya KY sering berbenturan dengan lembaga negara
lain khususnya MA, DPR dan MK serta sering berbenturan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus
dengan MA, pasang surut hubungan begitu nampak sering terjadi
mulai dari tidak diikutinya rekomendasi KY hingga berujung pada
gugatan 31 (tiga puluh satu) Hakim Agung. Hubungan keduanya
membaik dengan ditandatanganinya keputusan bersama mengenai
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tanggal 8 April
2009. Namun hubungan kembali merenggang dengan
dikabulkannya Uji Materil terhadap Keputusan Bersama butir 8
dan butir 10 KEPPH oleh Mahkamah Agung. Saat ini hubungan
kembali membaik seiring dengan disepekatinya beberapa
Keputusan Bersama MA dan KY termasuk tentang Tata Cara
Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan
Majelis Kehormatan Hakim.
B. Saran
1. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 oleh anggota MPR adalah
tidak tepat. Sebagaimana lembaga pengawas eksternal pada
cabang kekuasaan lainya, maka pelembagaan KY lebih tepat
didalam Undang-Undang. Untuk itu peneliti menyarankan
dilakukannya amandemen kelima terhadap UUD 1945 yang salah
satunya untuk mengeluarkan KY dari UUD 1945. Disamping itu
Mahkamah Agung juga perlu untuk terus berbenah diri mengingat
kondisi dunia peradilan pada saat dilakukannya amandemen UUD
1945 sangat berpengaruh bagi political will pengamandemen
UUD 1945.
2. Mengingat sering terjadinya benturan antara KY dengan lembaga
negara lain dan benturan antara KY terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka peneliti menyarankan
bagi KY untuk lebih mensinergikan perannya dengan lembaga
negara lain khususnya MA dan DPR serta mensinergikan
perannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Agar peran KY dalam pengawasan terhadap perilaku hakim juga
106

dapat maksimal, maka perlu kiranya untuk dirumuskan didalam


peraturan perundang-undangan mengenai pengertian teknis
yudisial.
3. KYRI yang ada saat ini memang belum sepenuhnya ideal.
Mengingat luasnya wilayah kerja pengawasan terhadap perilaku
hakim se Indonesia, maka anggaran dan personil KY perlu untuk
ditambah agar peran KY semakin optimal.
4. Didalam menjalankan perannya, KY beberapa kali meminta untuk
diperkokoh kewenangannya yang terkadang bertabrakan dengan
wewenang lembaga negara lain. Untuk itu peneliti menyarankan
kepada KY agar lebih fokus terhadap wewenang yang telah
dimilikinya dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.

107

108

DAFTAR PUSTAKA
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,
ELSAM, Jakarta, 2004
Arief Hidayat, Bernegara itu tidak mudah (dalam perspektif Politik
dan Hukum) Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang
Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Undip, 4 Februari 2014
Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, YPI Al-Musdariyah,
Bandung, 2010
Dani Elpah, Penormaan Konsep Kepentingan Umum Dalam UndangUndang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi,
Mataram, 2013
Elza Fais dkk, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Cikal
Bakal, Pelembagaan dan Dinamika Wewenang, diterbitkan
oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Tahun 2013
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Upaya
Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial
dalam Pengawasan Peradilan, Setara Press, Malang, 2014
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan
Hukum Nasional, dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta,
SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Koerniatmanto
Soetoprawiro,
Latar
Belakang
Konsep
Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
Amandemen) dalam buku Butir-Butir Pemikiran Dalam
Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr. B. Arief Sidharta,
SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang (Kajian tentang Putusan
Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011), Puslitbangkumdil
Mahkamah Agung RI, 2013
Martitah, Konsep Prismatik Pancasila Sebagai Landasan Politik
Konstitusi Indonesia, Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian
109

Konstitusi Universitas Negeri Semarang, Volume II Nomor 2,


November 2010
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009
-------------------------, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi, www.mahfudmd.com diunduh tanggal
8 Mei 2014
-------------------------, Politik Hukum Kewenangan Komisi Yudisial,
dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al
Quran, Penerbit Mizan, Bandung, 2007
Parwoto Wignjosumarto, Kompilasi Peraturan PerundangUndangan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi
Kepolisian Nasional, Tatanusa, Jakarta, 2012
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan
Kekuasaan, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta 2013
Philipus Mandiri Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995
Prim Fahrur Razi, Tesis: Sengketa Kewenangan Pengawasan
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Universitas
Diponegoro, 2007, halaman 17, diunduh dari eprints.undip.ac.
id/15789/1/Prim_Fahrur_Razi.Pdf
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum
pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013
SF Marbun, Hukum Administrasi Negara II, FH UII Press,
Yogyakarta, 2013
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, 1984
Syahrial Syarbani dkk, Pengetahuan Dasar Ilmu Politik, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2011
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, kedudukan dan wewenang Komisi
Yudisial sebagai Lembaga Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007
110

Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Perspektif


Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang, 2011
Wildan Suyuthi, Etika Profesi, Kode Etik dan Hakim Dalam
Pandangan Agama, Mahkamah Agung, Jakarta, 2007
www.bappenas.go.id diunduh tanggal 27 Februari 2014
www.kgsc.wordpress.com diunduh tanggal 27 Februari 2014
www.komisiyudisial.go.id, diunduh tanggal 24 Februari 2014 dan 2
Juni 2014
Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUU/IV/2006 tanggal 23
Agustus 2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 tanggal 9 Januari 2014
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11
Februari 2014
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36 P/HUM/2011 tanggal 9
Februari 2012

111

112

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN

113

114

Anda mungkin juga menyukai