Anda di halaman 1dari 142

STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF TERHADAP TINDAK KEJAHATAN PEDOFILIA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH :

RIKI APRIANTO
NIM 1316111356

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
BENGKULU, 2017 M / 1438 H
MOTTO

▪  ☺ ☺


   
❖ ▪  ☺
 

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan


melihat (balasan) nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya pula.”
(QS. Al Zalzalah (99) : 7-8)

Jika dunia membuatmu kecewa, karena semua mimpimu tertunda.


Percayalah, bahwa semuanya telah diatur oleh semesta. Agar kelak
kita mendapatkan yang terindah.
PERSEMBAHAN

Semesta dengan semua kemungkinan tak terbatasnya. Para jiwa yang


saling terkait dalam sebuah jaring laba-laba. Demi sebuah gelar tak
terbayarkan. Semua pengorbanan telah dipertaruhkan. Untuk teman sekaligus
musuh yang bernama waktu. Terima kasih telah menjadikan aku berilmu. Kata
demi kata terangkai tuk semesta dan seisinya. Seiring do’a kupersembahkan
skripsi ini kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Abdul Hanan dan Ridayani (Alm), terima kasih
atas semua cinta, kasih, dan do’a yang kalian berikan. Kunamai diriku kebun
harapan. Kebun yang segala jenis tanaman bisa tumbuh. Sedangkan Kalian
bak sepasang petani, yang senantiasa menyiramiku setiap hari.
2. Keluarga besar tanpa terkecuali, terima kasih atas celoteh yang bernama
motivasi.
3. Sahabat-sahabat Sosialzone, Ayu, Andi, Antika, Amirul, Azwar, Debi, Deni,
Ebby, Erty, Feby, Ganes, Lidya Liyah, Imro, Irfan, Mardani, Nanik, Riri,
Ria, Rina, Rezha, Sherly, dan Sudarty. Ketika kesibukan melanda kita
semua, hanya do’a yang menyatukan kita. Aku tahu kalian semua setia.
4. Keluarga D’cangkul, Amir, Afif, Belly, Dadan, Dayu, Endang, Fauzi, Kaka,
Kiki, Khairia, Rizky, Resy, Tika, Ulan, dan Zelmi. Syukurku bertambah
tatkala Semesta mempertemukan kita. Aku harap keluarga ini tetap
terpelihara.
5. Sahabat-sahabat seperjuangan Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI)
Angkatan 2013, terima kasih karena kalian mau menjadi saudara-saudaraku.
Demi dzat yang jiwaku digenggaman-Nya, kesuksesan kita raih bersama.
6. Saudara-saudaraku lainnya Anna Safitri, Zadiel Huda, Medy Deka
Pratama, Muhammad Safrizal, Agustian Sanjaya, M. Zainul Fadhli,
Maksum Nasution, Ibnu Hamid, Meilda Karunia Putri, Rindi Dwi H,
Indah Yastina, Dewi Rohmawati, Riska Yulia Antika, Anwar Hakim,
Saprian Utama, Witri Ulandari, Indah Pertiwi, dan Susan Anggraini.
Rangkaian kalimat bersahaja. Tak kan cukup menggambarkan kalian semua.
7. Dan untuk almamaterku, terima kasih.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan puji syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat dan

karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, “Studi

Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Tindak Kejahatan

Pedofilia”.

Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah berjuang

untuk menyampaikan ajaran Islam yang lurus untuk meraih kehidupan yang

bahagia di dunia maupun akhirat.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum

Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bengkulu. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari

berbagai pihak. Dengan demikian penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih

kepada :

1. Prof. Dr. H. Sirajjudin M, M.Ag, M.H, selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Bengkulu

2. Dr. Imam Mahdi, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Bengkulu

3. Yusmita, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Syari’ah Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu


4. Nenan Julir, L.c, M.Ag, selaku Ketua Prodi Hukum Keluaga Islam (HKI)

Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu

5. Masril, M.H, selaku Pembimbing I yang telah memberikan banyak ilmu,

bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini

6. H. M. Fairuzzabady, M.A, selaku Pembimbing II yang telah memberikan

banyak ilmu, bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen penguji pada sidang munaqasah Fakultas Syari’ah.

8. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah Iain Bengkulu yang telah mengajar dan

membimbing serta memberikan berbagai ilmunya dengan penuh keikhlasan.

9. Staf dan karyawan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bengkulu yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam hal

administrasi.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kelemahan

dan kekurangan dari berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini ke depannya.

Bengkulu, 10 Februari 2017

Penulis

Riki Aprianto
NIM. 1316111356
ABSTRAK

Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Tindak


Kejahatan Pedofilia oleh Riki Aprianto NIM 1316111356.
Masalah yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu bagaimana komparasi hukum
Islam dan hukum positif terhadap tindak kejahatan Pedofilia. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komparasi hukum Islam dan
hukum positif terhadap tindak kejahatan Pedofilia. Adapun jenis penelitian dalam
skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan
data, informasi, dan fakta yang ada penulis menggunakan berbagai macam buku
yang berkaitan dengan pokok permasalahan. untuk menyusun dan menganalisa
data-data yang terkumpul, maka penulis menggunakan metode deskriptif analisis.
Selain itu penulis juga menggunakan analisis komparatif, tujuannya untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan penerapan
hukum Islam dan hukum positif terhadap pelaku tindak kejahatan Pedofilia. Dari
hasil penelitian ini ditemukan bahwa (1) Dalam hukum Islam dan hukum positif
terdapat perbedaan istilah pengertian, dasar hukum dan bentuk-bentuk hukuman
bagi pelaku pedofilia, (2) Dalam hukum Islam dan hukum positif terdapat
kelebihan dan kekurangaannya masing-masing.

Kata kunci : Hukum Islam, Hukum Positif, Pedofilia


ABSTRACT

Comparative Study of Islamic Law and Positive Law Against Pedophilia’s


Crime by Riki Aprianto NIM 1316111356.
The problems that is studied in this thesis, namely how does the
comparative of Islamic law and positive law against Pedophilia’s crime. The
purpose of this study is to determine how does the comparative of Islamic law and
positive law against pedophilia’s crime. The type of research in this thesis is
Library Research. For getting the data, informations, and the facts, the writers use
a variety of books related to the subject matters. To collate and analyze the data,
the authors use descriptive method of analysis. Moreover, the authors also use a
comparative analysis, in order to find out the similarities and differences, as well
as the advantages and disadvantages of the application of Islamic law and positive
law against the Pedophilia’s crime. From the results of this study is found that (1)
In Islamic law and positive law there are differences in terms of definition, legal
basis and forms of punishment for Pedophiles, (2) In Islamic law and positive law
there are their own advantages and disadvantages.

Keywords : Islamic Law, Positive Law, Pedophilia


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................iii
SURAT PERNYATAAN ......................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ..................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................14
C. Batasan Masalah .................................................................................15
D. Tujuan Penelitian ................................................................................15
E. Manfaat Penelitian ..............................................................................15
F. Metode Penelitian ...............................................................................16
G. Tinjauan Pustaka ................................................................................20
H. Kerangka Teori ...................................................................................21
I. Sistematika Penulisan .........................................................................24

BAB II LANDASAN TEORI


A. Pengertian Pedofilia............................................................................26
B. Macam-Macam Pedofilia ...................................................................29
C. Faktor Penyebab Disorientasi Seksual Pada Pelaku Pedofilia ...........30
D. Dampak Pedofilia Terhadap Anak .....................................................31
E. Pengertian Anak Dan Batasan Usianya ..............................................37

BAB III TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF


TERHADAP TINDAK KEJAHATAN PEDOFILIA
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kejahatan Pedofilia.........50
B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Tindak Kejahatan Pedofilia .......73

BAB IV KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF


TERHADAP TINDAK KEJAHATAN PEDOFILIA
A. Komparasi Definisi Pedofilia Menurut Hukum Islam Dan Hukum
Positif ................................................................................................100
B. Komparasi Dasar Hukum Pedofilia Menurut Hukum Islam Dan
Hukum Positi.....................................................................................102
C. Komparasi Bentuk-Bentuk Hukuman Pedofilia Menurut Hukum
Islam Dan Hukum Positif ..................................................................104

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................109
B. Saran ..................................................................................................110

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Kasus Kekerasan Anak berdasarkan Klaster tahun 2011-2015 .........3
Tabel 1.2 Jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2011 sampai tahun 2015 .............4
Tabel 4.3 Pelaku Pedofilia Beserta Hukumannya ......................................................98
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat

dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam kehidupan

sehari-hari ada berbagai komentar tentang peristiwa kejahatan yang berbeda

satu dengan yang lain. Dalam kehidupan nyata ternyata tak mudah untuk

memahami kejahatan itu sendiri.”1 “Kejahatan adalah perbuatan yang sangat

anti sosial, yang ditentang oleh negara. Dari definisi yang formil sudah terlihat

bahwa penentangan tersebut berupa hukuman.”2

“Setiap negara di dunia yang memiliki kedaulatan penuh mempunyai


hukum pidana yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk
kejahatan dan sanksi hukuman bagi pelakunya. Tujuannya adalah untuk
mengatur tingkah laku masyarakat agar tidak melanggar hak-hak orang lain
baik individu maupun kelompok. Dengan hukum pidana tersebut diharapkan
kejahatan-kejahatan yang dapat melanggar hak-hak individu maupun kelompok
dapat dikurangi karena pada setiap jenis kejahatan telah ditetapkan sanksi
hukumannya. Namun, begitu pada kenyataannya didalam kehidupan
bermasyarakat masih ada juga yang melakukan perbuatan tidak baik dan
melanggar hukum. Bahkan, sampai melanggar hak-hak masyarakat baik yang
dewasa sampai anak-anak. Hal itu merupakan salah satu bentuk dari akibat
moralitas individu itu sendiri.” 3

“Permasalahan perlindungan anak sebagai objek kejahatan telah dibahas


dalam beberapa pertemuan berskala internasional antara lain Deklarasi Jenewa

1
Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001), h. 1
2
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta : Pustaka Sarjana, 1977), h. 23
3
Fitrotin Jamilah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Dunia Cerdas, 2014),
h. 24
tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of
Human Rights tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20 November 1958,
Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the Rights of the Child
(Deklarasi Hak-Hak Anak). Kemudian instrumen internasional dalam
perlindungan anak yang termasuk dalam instrumen HAM yang diakui oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah UN Rules for The Protection of Juveniles
Desprived of Their Liberty, UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial
Measures (Tokyo Rules), UN Guidelines for The Prevention of Juvenile
Delinquency (The Riyadh Guidelines).”4

Instrumen-instrumen di atas telah menetapkan seperangkat hak anak dan

kewajiban negara-negara yang menandatangani dan meratifikasinya untuk

melindungi anak dalam hal pekerja anak, pengangkatan anak, konflik

bersenjata, peradilan anak, pengungsi anak, eksploitasi, kesehatan, pendidikan

keluarga, hak-hak sipil, dan hak-hak ekonomi, sosial dan ekonomi, sosial dan

budaya yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang

rentan menjadi korban (victim).

“Selain dari instrumen-instrumen internasional tersebut, perlindungan


terhadap anak sebagai objek kejahatan ini sudah secara implisit diakui oleh
masyarakat internasional, terbukti dengan diakuinya kejahatan perdagangan
anak dan kejahatan kesusilaan terhadap anak (termasuk perkosaan dan
perbuatan cabul) sebagai salah satu dari kejahatan internasional (International
Crimes).”5

Tujuan dan dasar pemikiran perlindungan hukum terhadap anak tidak

dapat dilepaskan dari tujuan bagaimana mewujudkan kesejahteraan anak

sebagai bagian integral dari mewujudkan kesejahteraan sosial secara

menyeluruh. Dengan prinsip bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa

karena di pundaknya terletak tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh

4
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung : Mandar
Maju, 2005), .h. 15
5
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung : Eresco,
2005), h. 50
generasi-generasi sebelumnya. Sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan

negara, anak-anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia

dewasa yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan

bermoral tinggi serta terpuji. Perlindungan anak merupakan hal mutlak yang

harus diperhatikan dalam wujud memberikan kesejahteraan dalam konteks

kesejahteraan sosial secara keseluruhan.

“Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan


tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai
dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan
suatu tindakan hukum yang berakibat hukum. Oleh karena itu, perlu adanya
jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu
diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Untuk itu, kegiatan perlindungan
anak memiliki dua aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak
anak. Lalu yang kedua aspek menyangkut pelaksanaan kebijakan dan
peraturan-peraturan tersebut”.6

Namun, di lain pihak perlindungan anak mendapat tantangan yang cukup

serius, karena dari angka kasus kekerasan terhadap anak di tanah air

menunjukan intensitas yang terus meningkat. Hal ini dapat kita lihat dari tabel

di bawah ini :

Tabel 1.1

Data Kasus Kekerasan Anak Berdasarkan Klaster Tahun 2011-2015

No Klaster/Bidang Tahun Jumlah


2011 2012 2013 2014 2015
1 Anak Sebagai Korban Kekerasan 94 57 215 273 197 836
Fisik(Penganiayaan,
Pengeroyokan, Perkelahian, dsb).

6
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indoesia, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2012), h. 3
2 Anak Sebagai Korban Kekerasan 35 16 74 41 58 224
Psikis (Ancaman, Intimidasi, dsb)
3 Anak Sebagai Korban Penculikan 26 45 47 34 16 168
4 Anak Sebagai Korban 18 86 62 94 59 319
Pembunuhan
5 Anak Sebagai Korban Kekerasan 329 746 590 1217 1738 4620
Seksual .
6 Jumlah 502 950 988 1659 2026 6167
Sumber :http://bankdata.kpai.go.id
Tabel 1.2
Jumlah Penduduk Indonesia Dari Tahun 2011 Sampai Tahun 2015
No Tahun Jumlah Penduduk

1 2011 237 juta jiwa

2 2012 245 juta jiwa

3 2013 248 juta jiwa

4 2014 252 juta jiwa

5 2015 254 juta jiwa

Sumber : https://www.bps.go.id
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di tanah air menunjukan

intensitas yang terus meningkat secara kuantitas maupun kualitas. Dapat dilihat

dari tabel diatas pada tahun 2011 terdapat 329 kasus, tahun 2012 terdapat 746

kasus, tahun 2013 terdapat 590 kasus, tahun 2014 terdapat 1.217 kasus dan

pada tahun 2015 terdapat 1738 kasus. Jika kita bandingkan dengan jumlah

penduduk Indonesia dimana setiap tahunnya bertambah sebesar 2 sampai 8

juta jiwa atau sekitar 1,49 persen, maka dapat disimpulkan bahwa kasus

kekerasan pada anak di Indonesia meningkat secara kuantitas. Sedangkan


secara kualitas kekerasan pada anak juga meningkat, hal ini dapat dilihat dari

jenis, bentuk dan modus operandi yang dipakai oleh pelaku semakin beragam.

Masalah kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan serta patut dikatagorikan sebagai

jenis kejahatan melawan manusia (crime against humanity). Perlu diketahui

misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya kejahatan seksual itu

bermacam-macam seperti perzinahan, homoseksual, samen leven (kumpul

kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas

(hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara

berganti-ganti pasangan).

Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang

tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara kekerasan. Ada di antara kejahatan

seksual (seksual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan

suka sama suka atau melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk

melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran.

Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan itu juga dapat berefek pada

terjadinya kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak

yang merasa memiliki uang banyak menguasai transaksi, mengidap kelainan

seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-

cara kekerasan.

Salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan

Pedofilia. “Pedofilia adalah tindakan manusia dewasa yang memiliki perilaku

seksual menyimpang dengan anak-anak. Kata itu berasal dari bahasa Yunani,
paedo (anak) dan philia (cinta). Pedofilia dapat disebut juga sebagai perbuatan

cabul dan seksual baik dengan unsur kekerasan ataupun ancaman kekerasan”.7

Pedofilia sebagai kelainan seksual pada seseorang untuk bertindak

dengan menjadikan anak-anak sebagai instrumen atau sasaran dari tindakan itu,

umumnya bentuk tindakan itu berupa pelampiasan nafsu seksual. Tindak

pelecehan seksual ini sangat meresahkan karena yang menjadi korban adalah

anak-anak. Pelecehan seksual ini menimbulkan trauma psikis yang tidak bisa

disembuhkan dalam waktu singkat. Dampak tindak kekerasan seksual itu

memang berbeda-beda, tergantung dari bagaimana perlakuan pelaku terhadap

korban.

“Pedofilia merupakan aktifitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa

terhadap anak-anak di bawah umur. Kadang-kadang, si-anak yang

menyediakan diri menjadi pasangan orang dewasa setelah melalui bujukan

halus. Tetapi yang lebih sering adalah Pedofilis memaksa dengan ancaman

kepada anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan kesenangan seksual.”8

“Kebanyakan Pedofilis adalah pria, tetapi dalam pemusatan hasrat


erotisnya sering juga melibatkan anak perempuan. Mereka akan mencari anak-
anak yang polos, untuk dijadikan mangsanya dengan bujukan atau rayuan,
memberikan gula-gula, coklat, bahkan uang jajan. Seringkali pula mangsanya
adalah anak-anak dari temannya sendiri, seperti anak tetangga atau bahkan
anak-anak saudaranya.”9

Anak merupakan insan pribadi yang memiliki dimensi khusus dalam

kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang

7
Marwan, Kamus Hukum, (Surabaya : Reality Publisher, 2009), h. 486
8
Mohammad Asmawi, Lika-liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya,(Yogyakarta :
Darussalam Offset, 2005), h. 93
9
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, (Bandung : Refika Aditama, 2001), h. 50
tua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam

mempengaruhi kepribadian si-anak ketika menyongsong fase kedewasaannya

kelak. “Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang

akan datang, sehingga tidak berlebihan jika negara memberikan suatu

perlindungan bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat

menghancurkan masa depannya.”10

Pedofilia adalah penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang

dewasa dimana korbannya adalah anak-anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam

yang dimaksud dengan anak dibawah umur adalah mereka yang belum dewasa.

“Ukuran dewasa disini yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19

(sembilan belas) tahun untuk laki-laki.”11 “Sedangkan dalam Undang-undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.”12

Dalil apapun yang menjadikan anak sebagai korban dalam perilaku

seksual merupakan sebuah penyimpangan. Perilaku seksual yang melibatkan

anak-anak baik untuk tujuan objek seksual maupun untuk komersial,

memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak. Di antara kaum

Pedofilia ini, ada juga yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak

sendiri. Apabila sudah terlaksana hasrat seksualnya biasanya anak-anak yang

10
Witanto, Hukum Keluarga, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2012), h. 4
11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akapress, 2010), h.
117
12
Pasal 1UU Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
polos tersebut diancam dengan kekerasan agar tidak berani menceritakan

peristiwa yang dialaminya kepada orang lain, termasuk kepada orang tuanya

sendiri.

Seorang Pedofilis umumnya melakukan tindakan karena dimotivasi oleh

keinginan untuk memuaskan fantasi seksualnya. Namun, Pedofilis sendiri tidak

segan menghabisi nyawa korbannya ketika korban menolak untuk disodomi.

“Kriminolog Adrianus Meliala, membagi Pedofilia dalam dua jenis yaitu


Pedofilia Homoseksual dan Pedofilia Heteroseksual. Pedofilia Homoseksual
adalah perilaku seksual menyimpang yang dilakukan oleh pria dewasa kepada
anak laki-laki dibawah umur. Sedangkan Pedofilia Heteroseksual yaitu
perilaku seksual menyimpang yang dilakukan oleh pria dewasa kepada anak
perempuan di bawah umur.”.13

Selain itu, Pedofilia harus diwaspadai karena secara fisik, para Pedofilis

tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lain. Pedofilis bisa berbaur,

bergaul, tanpa ada yang tahu pelaku adalah seorang Pedofilis, sampai akhirnya

masyarakat tersentak ketika Pedofilis memakan korban. “Umumnya yang

banyak menjadi korban adalah anak-anak yang berada di tempat pariwisata

karena dari berbagai kasus yang ada, pelakunya kebanyakan para wisatawan

dan orang-orang asing”.14 Di masyarakat, kasus-kasus Pedofilia ditengarai

banyak terjadi. Namun masih sedikit terungkap dan diketahui publik. Menurut

Adrianus Meliala :

“Hal itu tidak semata terkait dengan peradaban masyarakat Indonesia


sebagai orang timur, tapi juga perilaku para Pedofilis yang makin
canggih dan meninggalkan pendekatan kekerasan. Penderita Pedofilia
bahkan banyak dari kalangan menengah ke atas. Ini terbukti kalangan
Pedofilis menggunakan berbagai cara dan modus untuk menjerat

13
Reimon Supusepa, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan
Pedofilia, Jurnal Sasi (Kekerasan Anak Dan Wanita), No. 2 Vol. 17 (April-Juni, 2011), h. 39
14
Muhammad Zainuddin, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan
Kejahatan Pedofilia, (Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007), h. 7
korbannya. Beberapa di antaranya dengan memberi beasiswa, menjadi
orang tua asuh, dan memberi berbagai barang dan fasilitas. Hal tersebut
juga ditambah dengan kesulitan menyusun profil tunggal dari pelaku
kejahatan Pedofilia, sehingga para pelaku masih sulit diidentifikasi dan
diprediksi apalagi terhadap para individu-individu yang bertendensi
pedofilia. Terlepas dari itu, secara kategoris, diketahui bahwa para
Pedofilis umumnya laki-laki. Aksi kejahatan mereka tidak semata-mata
dilatarbelakangi oleh motif seksual. Pelaku kejahatan Pedofilia memiliki
alur dan substansi berpikir yang distortif, fantasi, dan rangsangan yang
menyimpang, serta manipulatif “.15

Dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa

jenis-jenis sanksi pidana ada dua yaitu pidana penjara dan denda. Lalu setelah

terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, muncullah hukuman kebiri kimia

dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagai hukuman tambahan.

“Bentuk hukuman dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dalam pasal 81 ayat 1 yaitu maksimum pidana penjara 15 (lima belas)

tahun, dan maksimum pidana denda Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah)”.16

Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Undang-undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan tidak dapat digunakan untuk menanggulangi

jenis kejahatan Pedofilia di bidang kesusilaan yang berkenaan dengan delik

15
Muhammad Zainuddin, Kebijakan Hukum..., h. 7
16
Pasal 81 ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak
pencabulan, terlebih Pedofilis menggunakan pencabulan anak untuk tujuan-

tujuan seksual yang karena perkembangan telah menjadi suatu fenomena atau

bentuk baru dari pencabulan (sex abuse) atau bentuk dari kejahatan kesusilaan

secara umum. Oleh karena itu, dengan alasan inilah penulis juga menggunakan

KUHP yang merupakan induk dari berbagai ketentuan pidana yang ada di

Indonesia.

Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan pencabulan yang

menyerang kehormatan kesusilaan dirumuskan dalam17 :

Pasal 289 :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”

Pasal 290 :
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin.
3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh
diluar perkawinan dengan orang lain.

Pasal 291:
1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.

17
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h. 116-119
2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285,286,287 dan 290
mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Pasal 292 :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

Pasal 293 :
1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau
dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul dengan dia, padahal tentang belum ke- dewasaannya, diketahui atau
selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
yang dilakukannya itu.
3) Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah
masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan.

Pasal 294 :
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya,
anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa yang
pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya
ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena
jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya
dipercayakan atau diserahkan kepadanya;
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam
penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu,
rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Pasal 295 :
1) Diancam :
1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa yang dalam
hal anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, ataupun oleh pembantunya atau bawahannya yang belum
cukup umur, dengan sengaja menyebabkan dan mempermudah dilakukan
perbuatan cabul dengannya.
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa yang
dalam hal dilakukannya perbuatan cabul oleh orang selain yang
disebutkan dalam butir 1 tersebut di atas yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya belum dewasa dengan orang lain, dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul
tersebut.
2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau
kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 296 :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu
rupiah”.

Beberapa jenis delik kesusilaan yang diatur dalam KUHP dalam

perkembangannya banyak juga dilakukan atau terjadi pada kejahatan seksual.

Seperti adanya fenomena Pedofilia yang nyata-nyata bertentangan dengan

kesusilaan. Apabila muncul perbuatan atau kejahatan Pedofilia, maka akan

digunakan pasal-pasal dalam Bab XIV yang berkaitan dengan unsur tindak

pidana dari jenis kejahatan tersebut

Islam sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu, yakni

melalui perlindungannya untuk semua urusan individu yang bersifat materidan

moral. Islam menjaga kehidupan tiap individu, menjaga semua yang menjadi

sandaran hidupnya.

Didalam Al-Qur’an maupun hadits tidak ditemukan nash yang

menjelaskan hukum perbuatan Pedofilia. Oleh karena itu penulis menggunakan

metode qiyas sebagai suatu pendekatan hukum Islam dalam skripsi ini. “Qiyas

adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya secara jelas
dengan suatu kasus yang ada hukumnya secara jelas yang disebabkan oleh

adanya persamaan kasus dalam ‘illat hukumnya”.18 Dalam hal ini peneliti

menggunakan beberapa pendapat ahli fiqh yang diambil dari beberapa buku

yaitu Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, Matan Ghoyah Wattaqrib karangan

Musthafa Daib Al-Bagha, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar karangan

Moh. Rifai, Moh. Zuhri dan Salomo, lalu Rawai’ul Bayan karangan

Muhammad Ali Ash-Shabuni. Untuk menjawab permasalahan terkait

penerapan hukum Islam terhadap tindak kejahatan Pedofilia Penulis

mengambil pendapat ahli fiqh tentang hukum perbuatan liwath yang sudah ada

hukumnya secara jelas di dalam nash, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an dan

hadits dibawah ini :

Firman Allah Swt :

  


  
   
  

“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu


(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas. (QS. Al-‘Araf (7) : 81).

   


   
 ✓☺
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”(QS. Al-A’raf (7) : 84)

18
Suansar Khatib, Ushul Fiqh, (Bogor : IPB Press, 2014), h. 37
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda19 :

,ٍ‫ْـن ُمـ َحـ َّمـد‬ ِ ‫عـبْـدُ ْالـ َع ِـزي‬


ُ ‫ْـر ب‬ َ ‫ ثـنا‬: ‫بـن خَـال ٍد قَاال‬ ُ ‫صـبَّاحِ َوأَب ُْـوبَـ ْك ِـر‬ ُ ‫َحـدَّثَـنَا ُمـ َحـ َّمـدُ ب‬
َّ ‫ْـن الـ‬
ُ‫صـلى هللا‬ َّ َ ِ‫سو َل هللا‬ َ
ُ ‫َّاس أ َّن َر‬ ِ ‫عـب‬
َ ‫ْـن‬ِ ‫ـن اب‬
ِ ‫ع‬َ ,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬ ْ ‫ع‬َ ,‫ع ْـم ِـرو‬ َ ‫ْـن أ َ ِبى‬
ِ ‫ع ْـم ِـروب‬َ ‫ـن‬ ْ ‫ع‬ َ
ْ ُ
‫ـوط فَـ ْقـتُـلـواالفَا ِعـ َل‬ ُ
ِ ‫ـوم ل‬ َ ‫ـن َو َجـ ْد تُـ ُمـوهُ يَـ ْعـ َمـ ُل‬
ِ َ‫عـ َمـ َل ق‬ ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم قَا َل‬ َّ
َ ‫سـل‬ َ ‫عـلَـ ْي ِه َو‬َ
) 2561 ‫ ( روى الحـديـشيـن اب ماجـه رقـمى‬.) ‫َوالـ َمـ ْفـعُ ْـو َل ِب ِه‬ ْ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Abu


Bakar bin Khalad, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziz bin Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
dari kalian yang menemukan orang yang melakukan perbuatan kaum nabi
Luth, maka bunuhlah pelaku dan obyek dari pelaku itu”. (HR. Ibnu Majah
Nomor 2561)

Adapun alasan peneliti menggunakan hukum Islam dan hukum positif

dalam peneliti skripsi ini karena peneliti tertarik untuk membandingkan

bagaimana penerapan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak

kejahatan Pedofilia serta apa saja kelebihan dan kekurangan dari kedua hukum

tersebut. Oleh karena itu peneliti berpikir penting untuk meneliti lebih lanjut

dalam sebuah skripsi berjudul “Studi Komparatif Hukum Islam Dan

Hukum Positif Terhadap Tindak Kejahatan Pedofilia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan permasalahan

yaitu bagaimana komparasi hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak

kejahatan Pedofilia?

19
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Lebanon : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2009), h.
236
C. Batasan Masalah

Pedofilia Homoseksual terdiri dari dua jenis. Pertama, pedofilia

Homoseksual dimana pelakunya seorang laki-laki dewasa dan korbannya anak

laki-laki di bawah umur. Kedua, Pedofilia Homoseksual dimana pelakunya

seorang wanita dewasa dan korbannya anak perempuan di bawah umur.

Peneliti membatasi pokok permasalahan pada Pedofilia Homoseksual jenis

pertama yang pelakunya seorang laki-laki dewasa dan korbannya anak laki-laki

di bawah umur.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana

komparasi hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak kejahatan Pedofilia.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya

ilmu pengetahuan para pembaca khususnya bagi mahasiswa dan akademisi

lainnya. Selain itu dengan adanya penelitian ini penelti berharap dapat

menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah

dengan memberikan kontribusi pemikiran hukum Islam dan hukum positif

terhadap tindak kejahatan Pedofilia.


2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan

dan landasan bagi peneliti lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan

masukan bagi para pembaca. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat

bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui bagaimana komparasi

hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak kejahatan Pedofilia

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library

Research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian, yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam buku-buku dan

karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan fokus penelitian.

2. Sumber Data

Mengingat skripsi ini menggunakan metode Library Research, maka

data diambil dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :

Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber asli yang

memuat informasi yang berhubungan dengan pokok masalah.Adapun data

primer dari penelitian ini adalah :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan.

c. Buku Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan

Norma Kepatutan, karangan Theo Lamintangdan Lamintang.

d. Buku Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap

Anak, karangan Ismantoro Dwi Yuwono.

e. Buku Kekerasan Seksual Pada Anak, karangan DadangHawari.

f. Buku Lika-Liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya, karangan

Mohammad Asmawi.

g. Buku Fiqih Sunnah, karangan Sayyid Sabiq.

h. Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam, karangan Anas Tohir Sjamsuddin.

i. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, karangan Moh Rifa’i, Moh

Zuhri, dan Salomo.

j. Buku Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukum, karangan Muhammad

Ali Ash-Shabuni.

k. Buku Hukum Pidana Islam, karangan M. Nurul Irfan.

Sumber data sekunder adalah data yang didapatkan di luar dari sumber

data primer yaitu berita dari majalah dan koran, skripsi, tesis dan jurnal

yang relevan dengan fokus penelitian.


3. Metode Pengumpulan Data

Dalam rangka mendapatkan data yang akurat, untuk mendukung

penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode pengumpulan data yakni

Metode Dokumen (Dokumentation).

Metode Dokumen adalah metode yang dilakukan dengan cara mencari

dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, surat,

majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian.20

Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk

menjawab semua permasalahan.

Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini, pertama diadakan

penelitian kepustakaan terhadap buku-buku tentang hukum pidana nasional,

seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kemudian

mengumpulkan data-data tentang Pedofilia menurut hukum Islam, yang

dirujuk dari buku-buku fiqih yang bersumber dari Al-qur’an dan hadits.

Setelah data didapatkan, kemudian iketahui penerapan hukum Islam dan

selanjutnya dilakukan analisa secara keseluruhan.

4. Metode Analisis Data

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa

data-data yang terkumpul, maka metode yang peneliti gunakan adalah

20
Suharsimi Akunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1993), h. 202
metode deskriptif analisis. “Metode deskriptif analisis yaitu suatu bentuk

analisa yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Analisis deskriprif

bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian

berdasarkan data yang diperoleh.”21

Dengan demikian peneliti akan menggambarkan bagaimana penerapan

hukum Islam dan hukum positif terhadap pelaku tindak kejahatan Pedofilia.

Selain itu metode analisis data yang juga peneliti gunakan dalam penelitian

ini adalah analisis komparatif, tujuannya untuk mengetahui persamaan dan

perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan hukum Islam dan hukum positif

terhadap tindak kejahatan Pedofilia.

“Analisis Komparatif memang telah banyak dikenal sejak Weber,

Durkheim dan juga Manheim, dimana analisis komparatif menggunakan

logika perbandingan dengan data komparatif dan eksplisit yang dapat

mengarah ditemukannya keragaman dan selanjutnya bukan mustahil

menghasilkan modifikasi teori.”22

G. Tinjauan Pustaka

Pembahasan tentang kasus Pedofilia sudah banyak dibahas dan dikaji

oleh banyak peneliti. Peneliti telah melakukan telaah terhadap skiripsi ataupun

tesis yang membahas tentang kasus Pedofilia antara lain :

Muhammad Zainuddin, S.H., Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka

Penanggulangan Kejahatan Pedofilia, Universitas Diponegoro, Semarang,

21
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung : Alfabeta,
2013), h. 148
22
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Yogyakarta : Reka Serasin, 1992),
h. 88
2007. Tesis ini menjelaskan bagaimana upaya penegakan hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan Pedofilia sebagai salah satu bentuk penyakit

masyarakat suatu patologi sosial. Selain itu tesis ini juga membahas tentang

bagaimana aplikasi hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan Pedofilia.

Desita Rahma Setiawati, Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum

Terhadap Korban Tindak Pidana Pedofilia Di Indonesia, Universitas Sebelas

Maret, Surakarta, 2010. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pengaturan

tindak pidana Pedofilia di Indonesia serta apa saja bentuk-bentuk perlindungan

yang diberikan terhadap korban tindak pidana Pedofilia di Indonesia.

Lukman Hakim Harahap, Studi Tentang Proses Penyidikan Kasus

Pedofilia di Polresta Yogyakarta,Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2014. Skripsi ini menggambarkan bagaimana proses penyelidikan

dan penyidikan Pedofilia di Polresta Yogyakarta sesuai Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1948 tentang Hukum Acara Pidana. Selain

itu skripsi ini juga menjelaskan faktor-faktor apa saja yang dihadapi oleh

penyidik dalam menangani kasus Pedofilia di Yogyakarta.

Ahmad Sandi, Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia Dalam Perspektif

Hukum Islam Dan Peluang Penerapannya Di Indonesia, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015. Skripsi ini menjelaskan bagaimana

pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap hukuman kebiri bagi

pelaku tindak pidana Pedofilia serta seberapa besar peluang kemungkinan

diterapkan di Indonesia.
Sedangkan dalam skripsi ini peneliti memaparkan bagaimana penerapan

hukum Islam dan hukum positif terhadap pelaku tindak kejahatan Pedofilia,

kemudian penulis menganalisa dan membandingkan letak kesamaan dan

perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan kedua hukum tersebut.

H. Kerangka Teori

“Menurut Sigmund Freud setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi)

yang selalu menuntut untuk disalurkan.”23 Namun demikian, tuntutan untuk

menyalurkan libido yang ada pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat

direalisasikan oleh manusia, penyebabnya adalah karena adanya norma-norma

sosial, seperti norma agama, kesusilaan dan hukum. Didalam norma-norma

sosial inilah diatur syarat-syarat apa saja yang berlaku untuk menyalurkan

libido yang selalu menuntut untuk disalurkan tersebut.

“Libido yang terperangkap di dalam tubuh manusia dan selalu menuntut


untuk segera disalurkan. Karena manusia tidak dapat menahan libido yang
selalu meluap-luap itu, tindakan yang dilakukan manusia kemudian adalah
mengkompensasikannya dalam bentuk interaksi sosial lainnya, misalnya
melakukan kegiatan olahraga, belajar, bekerja, masuk dalam organisasi-
organisasi politik, membuat perkumpulan-perkumpulan dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang diorientasikan mengalihkan atau mengkompensasikan penyaluran
libido yang selalu menuntut untuk disalurkan. Pengalihan libido tersebut adalah
pengalihan ke dalam bentuk yang positif.”24

Pengalihan libido terjadi karena adanya norma sosial yang berlaku di

dalam masyarakat. Namun demikian, untuk mengalihkan libido kedalam

bentuknya yang positif, norma sosial saja belum cukup. Harus ada kontrol yang

ketat secara kolektif dari masyarakat terhadap pelaku yang ada dilingkungan

23
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015), h. 7
24
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 8
masyarakat setempat. Hal ini diikuti pula dengan kontrol yang ketat dan tegas

terhadap pemberlakuan dan penaatan norma-norma sosial yang ada. Jika,

kontrol secara kolektif ini tidak dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan

akan mendorong munculnya tindakan-tindakan pengalihan libido dalam bentuk

yang negatif. Pengalihan dalam bentuk yang negatif inilah yang dinamakan

kekerasan seksual. Jika hal ini terjadi, maka anak-anaklah yang paling rentan

mengalami kekerasan seksual dari orang dewasa.

Ketika libido yang meluap-luap, harus ada media untuk menyalurkannya.

Sama seperti manusia normal lainnya, media pelampiasan bagi seorang

Pedofilis adalah saluran untuk mendapatkan rasa nikmat dalam bersetubuh.

“Erich Fromm mengidentifikasikan Pedofilia adalah penyakit

penyimpangan seksual yang masuk dalam kategori sadisme. Erich Fromm

mengatakan, dengan berperilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa

terhadap korbannya dan semakin korban merasa sakit ketika disodomi atau

disetubuhi, maka pelaku semakin merasa berkuasa terhadap korban.”25

Dalam syariat Islam, Allah Swt melarang perbuatan kaum Nabi Luth a.s

dan semisalnya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-qur’an dan hadits

di bawah ini :

1. Al-Qur’an

  


  
   
  

25
Erich Fromm, Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 429
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas”.(QS. Al-‘Araf (7) : 81).

2. Hadits

Rasulullah Saw. Bersabda :

ِ ‫عـبْـدُ ْالـ َع ِـزي‬


ُ ‫ْـر ب‬
,ٍ‫ْـن ُمـ َحـ َّمـد‬ ُ ‫صـبَّاحِ َوأَب ُْـو َبـ ْك ِـر‬
َ ‫ ثـنا‬: ‫بـن خَـال ٍد قَاال‬ ُ ‫َحـدَّثَـنَا ُمـ َحـ َّمـدُ ب‬
َّ ‫ْـن الـ‬
ُ‫صـلَّى هللا‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫َّاس أ َ َّن َر‬
ِ ‫عـب‬
َ ‫ْـن‬
ِ ‫ـن اب‬
ِ ‫ع‬ َ ,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ْـن أ َ ِبى‬
َ ,‫ع ْـم ِـرو‬ ِ ‫ع ْـم ِـروب‬َ ‫ـن‬ ْ ‫ع‬ َ
ْ ُ‫ـوط فَـ ْقـتُـل‬
‫ـواالفَا ِعـ َل‬ ِ ُ‫ـوم ل‬ َ ‫ـن َو َجـ ْد تُـ ُمـوهُ َيـ ْعـ َمـ ُل‬
ِ َ‫عـ َمـ َل ق‬ ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم قَا َل‬ َ َّ‫سـل‬
َ ‫عـلَـ ْي ِه َو‬
َ
) 2561 ‫ ( روى الحـديـشيـن اب ماجـه رقـمى‬.) ‫َو ْالـ َمـ ْفـعُ ْـو َل ِب ِه‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Abu


Bakar bin Khalad, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziz bin Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
dari kalian yang menemukan orang yang melakukan perbuatan kaum nabi
Luth, maka bunuhlah pelaku dan obyek dari pelaku itu.”(HR. Ibnu Majah
Nomor 2561)
Bagi manusia normal media yang dapat digunakan sebagai media

penyaluran libido adalah lawan jenisnya dan sudah dewasa. Namun bagi

seorang Pedofilis lawan jenis yang sudah dewasa adalah monster yang

menakutkan.

Selain itu Pedofilis menganggap jika bersetubuh dengan orang dewasa

tidak akan bisa merasa berkuasa dan menguasainya, maka kemudian

Pedofilismengalihkan ketertarikan seksualnya kepada anak-anak.

Jika dicermati, kejahatan Pedofilia ini tergolong dalam kejahatan

terhadap kesusilaan. Makna kesusilaan ini harus diartikan sebagai hal-hal yang

termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam

pergaulan masyarakat, tidak hanya berkaitan dengan pengertian kesusilaan


dalam bidang seksual. Tetapi dalam menentukan materi atau substansinya

harus bersumber dan mendapat sandaran kuat dari moral agama.

I. Sistematika Penulisan

Agar Penulisan skripsi ini lebih mengarah pada tujuan pembahasan,

maka diperlukan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana

antara satu bab dan bab lainnya saling mendasari dan berkaitan. Hal ini guna

memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam

memahami dan menangkap hasil penelitian ini. Adapun sistematika dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama dari skripsi ini adalah pendahuluan yang berisi latar

belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan sistematika penulisan.

Bab kedua akan membahas landasanteori yang meliputi pengertian

Pedofilia, macam-macam Pedofilia, faktor penyebab disorientasi seksual pada

pelaku Pedofilia, dampak-dampak Pedofilia, serta pengertian anak dan batasan

usianya.

Bab ketiga dalam skripsi ini akan membahas tinjauan hukum islam dan

hukum positif terhadap tindak kejahatan pedofilia yang meliputi definisi

Pedofilia menurut hukum Islam dan hukum positif, dasar hukum Pedofilia

menurut hukum Islam dan hukum positif, dan bentuk-bentuk hukuman bagi

pelaku Pedofilia menurut hukum Islam dan hukum positif.

Bab keempat dalam skripsi ini adalah hasil penelitian yang membahas

komparasi hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak kejahatan Pedofilia.
Bab kelima dalam skripsi ini adalah penutup sebagai hasil akhir dari

penelitian sekaligus merupakan akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang

berisi kesimpulan dan saran.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pedofilia

“Pedofilia adalah tindakan manusia dewasa yang memiliki perilaku

seksual menyimpang dengan anak-anak. Kata itu berasal dari bahasa Yunani,

paedo yang berarti anak dan philia yang berarti cinta.”26 “Akan tetapi, terjadi

perkembangan kemudian, sehingga secara umum digunakan sebagai istilah

untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psikoseksual dimana

individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.”27 Pedofilia

merupakan aktifitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-

anak di bawah umur.

“Menurut Erich Fromm, Pedofilia adalah penyakit penyimpangan seksual

yang masuk dalam kategori sadisme. Erich Fromm mengatakan dengan

berprilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya

dan semakin korban merasa sakit ketika disetubuhi maka pelaku semakin

merasa berkuasa terhadap korban.”28

Menurut penulis apabila pelaku Pedofilia terbukti mengalami penyakit

mental atau gangguan kejiwaan, maka pelaku tidak dapat dihukum. Hal ini

berdasarkan pasal 44 ayat 1 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa melakukan

26
Marwan, Kamus Hukum, (Surabaya : Reality Publisher, 2009), h. 486
27
Sawatri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, (Bandung : PT. Refika
Aditama, 2005), h. 71
28
Erich Fromm, Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 429
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat

dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”29

Oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada

pelaku apakah ia mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. Seperti pada kasus

Pedofilia Robot Gedek, Baekuni (Babe), Emon, Samai (Ropii) dan Kasus

Pedofilia di JIS (Jakarta International School), dan TPA (Taman Pendidikan

Al-Qur’an), pelaku melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar dengan akal

yang sehat. Bahkan perbuatan tersebut dilakukan dengan perencanaan yang

matang dan dilakukan berulang-ulang.

Dalam kasus Pedofilia, sodomi merupakan puncak segala kegiatan

terhadap korban setelah pelaku melakukan pendekatan secara perlahan-lahan,

seperti memberikan hadiah, uang, berprilaku baik kepada anak dan orang tua

korban.

Dalam hukum pidana Islam, Pedofilia disebut dengan liwath yang

merupakan satu akar kata dengan nama Nabi Luth dimana masyarakatnya

tertarik dengan sesama jenis. Istilah ini biasanya ditujukan untuk laki-laki yang

tertarik dengan laki-laki pula. Penyimpangan seksual ini pertama kali terjadi di

kalangan umat Nabi Luth a.s dan tidak pernah terjadi pada masa-masa

sebelumnya.

Firman Allah Swt :

 
  
☺  
 
29
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h. 23
▪   
   
  
    
☺  
   
 ☺  
 ☺  
 ☺  
     
☺ ☺ 
 ☺  
   
☺  
  
   
☺  
   
  
   
 
 ☺ 
  
    
  
   ☺
   

“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah)
tatkala Dia berkata kepada mereka, "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu?". Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum
yang melampaui batas.Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah
mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian
Kami selamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia
Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan
kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang berdosa itu.”(QS. Al-Araf (7) : 80-84)
“Pedofilis biasanya akan mencari anak-anak yang polos, untuk dijadikan

mangsanya dengan bujukan atau rayuan, memberikan gula-gula, coklat, uang

jajan, bahkan kekerasan yang berujung pada pembunuhan apabila hasrat

seksualnya tidak dipenuhi. Seringkali pula mangsanya adalah anak-anak dari

temannya sendiri, seperti anak tetangga atau bahkan anak-anak saudaranya.”30

Dalil apapun yang menjadikan anak-anak korban dalam perilaku seksual

merupakan sebuah penyimpangan. Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak

baik untuk tujuan objek seksual maupun untuk komersial, memberikan

pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak.

Dari beberapa definisi Pedofilia diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

yang dimaksud Pedofilia adalah suatu bentuk disorientasi seksual atau

penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak di

bawah umur. Dalam melakukan aksinya, biasanya Pedofilis melakukan banyak

cara untuk memenuhi hasrat seksualnya seperti merayu, membujuk,

memberikan uang, makanan dan melakukan pendekatan persuasif lainnya.

Namun terkadang Pedofilis tidak segan menggunakan ancaman kekerasan

bahkan pembunuhan apabila hasrat seksualnya tidak terpenuhi.

B. Macam-Macam Pedofilia

Objek seksual pada Pedofilia adalah anak-anak dibawah umur. Pedofilia

terdiri dari dua jenis, yaitu31:

1. Pedofilia Homoseksual.

30
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, (Bandung : Refika Aditama, 2001), h.50
31
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015), h. 44
Pedofilia Homoseksual terdiri dari dua jenis. Pertama, pedofilia

Homoseksual dimana pelakunya seorang laki-laki dewasa dan korbannya

anak laki-laki di bawah umur. Kedua, Pedofilia Homoseksual dimana

pelakunya seorang wanita dewasa dan korbannya anak perempuan di bawah

umur.

2. Pedofilia Heteroseksual

Pedofilia Heteroseksual juga terbagi dua jenis. Pertama, Pedofilia

Heteroseksual dimana pelakunya seorang laki-laki dewasa dan korbannya

anak perempuan di bawah umur. Kedua, Pedofilia Heteroseksual dimana

pelakunya seorang wanita dewasa dan korbannya anak laki-laki di bawah

umur.

“Secara lebih singkat, Robert G Meyer dan Paul Salmon membedakan

beberapa tipe Pedofilia. Tipe pertama adalah mereka yang memiliki perasaan

tidak mampu secara seksual, khususnya bila berhadapan dengan wanita

dewasa. Tipe kedua adalah mereka yang punya perhatian khusus terhadap

ukuran alat vitalnya.”32

C. Faktor Penyebab Disorientasi Seksual Pada Pelaku Pedofilia

Penyebab munculnya penyimpangan seksual ini bisa disebabkan oleh33 :

1. Pengalaman masa kecilnya yang tidak mendukung perkembangan

kedewasaannya.

32
Mohammad Asmawi, Lika-Liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya, (Yogyakarta :
Darussalam Offset, 2005), h. 95
33
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 44
2. Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan ketidak-

mampuan penderita menjalin relasi heterososial dan homososial yang wajar.

3. Kecenderungan keperibadian antisosial yang ditandai dengan hambatan

perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan

perkembangan moral.

4. Rendahnya tatanan etika dan moral.

5. Trauma karena pernah mendapatkan kekerasan seksual dari orang dewasa.

Sedangkan menurut Erich Fromm, kemunculan Pedofilia disebabkan

oleh dua hal34 :

1. Pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang Pedofilis telah

terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian

dan tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu

mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang

dewasa yang membuat anak ketakutan, misalnya selalu diancam akan

dihukum jika tidak mau melakukan ini dan itu. Pada saat-saat seperti ini lah

kemudian anak merasa dirinya hancur dan diinjak di bawah kaki orang

dewasa.

2. Anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa. Tidak ada

stimulasi, tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan

potensinya, tahun-tahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan

seperti ini lah kemudian anak akan mengembangkan kepribadian yang

dingin hingga dia menginjak masa dewasanya.

34
Erich Fromm, Akar Kekerasan..., h. 430
Gabungan dari dua faktor penyebab itulah yang kemudian menggiring

anak mengembangkan ketertarikan menguasai dan menyakiti orang lain

sebagai bentuk perlawanannya atas kondisi yang tidak kondusif dalam

menumbuhkan kedewasaannya itu.

Ada percampuran antara rasa takut terhadap orang dewasa, rasa benci

dan rasa jijik dan ada pula dorongan rasa mencari kompensasi. Akhirnya,

kompensasi itu ditemukannya pada sosok anak-anak yang bisa dikuasainya.

Rasa berkuasa itu akan muncul pada seorang Pedofilis bila ia melakukan

tindakan sadis dalam berhubungan seksual.

D. Dampak-Dampak Pedofilia

Anak yang menjadi korban kejahatan Pedofilia akan terkondisikan atau

mengalami dampak-dampak negatif sebagai berikut :

1. Muncul Trauma Fisik Pada Anak

Trauma ini muncul karena rasa sakit yang amat sangat ketika pelaku

melakukan perbuatan kejinya pada korban. “Trauma ini akan semakin

mendalam dialami oleh anak apabila rasa sakit tersebut diikuti oleh infeksi

pada dubur, rasa nyeri ketika buang air besar atau tertular penyakit kelamin

seperti sipilis atau terinfeksi HIV/AIDS.”35

2. Muncul Trauma Psikis Pada Anak

Kemunculan trauma ini disebabkan oleh norma-norma sosial yang

ditanamkan pada diri anak oleh lingkungan keluarga dan sosialnya. Semakin

35
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 45
dalam tertanam norma-norma sosial tersebut ke dalam diri anak, maka anak

tersebut akan semakin trauma dalam jangka waktu yang lama.

“Trauma psikis ini biasanya ditampakkan oleh anak melalui

perubahan perilaku yang aneh, perilaku yang belum pernah ditampilkan

oleh anak sebelum dia menjadi korban kejahatan Pedofilia,misalnya anak

menjadi paranoid (mudah curiga terhadap orang lain), gelisah, pelupa dan

sering mengalami kebingungan”.36Trauma psikis ini biasanya juga akan

membuat anak menjadi pendiam karena selalu dihantui rasa ternoda karena

telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh.

3. Muncul Disorientasi Moral Pada Anak

Menurut M. Irsyad Thamrin yang dikutip oleh Ismantoro Dwi

Yuwono dalam bukunya yang berjudul Penerapan Hukum Dalam Kasus

Kekerasan Seksual Terhadap Anakbahwa, “ Disorientasi moral pada anak

rauma ini muncul disebabkan oleh seringnya korban mengalami kekerasan

seksual berupa sodomi dari pelaku, sehingga anak tidak bisa membedakan

mana perilaku seksual yang baik dan mana yang tidak”37. Ketidakmampuan

untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk inilah yang

dinamakan dengan disorientasi moral.

Disorientasi moral ini akan semakin mendalam apabila korban tidak

mendapatkan pertolongan dan perlindungan dari orang dewasa setelah anak

menjadi korban dan kejahatan Pedofilia.Ketika anak berada pada kondisi

36
Dadang Hawari, Kekerasan Seksual Pada Anak, (Jakarta : Universitas Indonesia,
2003), h. 95
37
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 46
atau terkondisikan dalam disorientasi moral, ketika dikemudian hari anak

tumbuh menjadi manusia dewasa dia akan memiliki potensi menjadi

seorang penjahat Pedofilia. Semua tindakan kekerasan (termasuk kejahatan

Pedofilia) kepada anak-anak umumnya akan direkam di bawah alam sadar

mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang

hidupnya. Anak yang mendapatkan perlakuan kejam akan menjadi agresif,

yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula.

“Ketika seorang anak korban Pedofilia tumbuh menjadi dewasa dan

kemudian menjadi penjahat Pedofilia, maka pada saat inilah dia memiliki

status ganda, yakni di satu sisi dia adalah korban dari kejahatan Pedofilia

dimasa lalu (masa kecilnya) dan disisi lain dia berperan sebagai pelaku atau

penjahat Pedofilia (dimasa dewasanya).”38

Menurut Erich Fromm dalam bukunya Akar Kekerasan : Analisis

Sosio-Psikologis Atas Watak Manusiamengatakan bahwa,

“Disorientasi moral yang terjadi pada anak dan tidak tertangani oleh
orang dewasa hingga anak tumbuh menjadi dewasa akan memberikan
pelajaran yang keliru pada anak bahwa kenikmatan seksual akan
diperoleh dengan cara menyakiti korban. Secara keliru pula dia
membangun kesadaran bahwa dengan melakukan tindakan itu dia
berkuasa terhadap korban, kekuasaan yang dibangunnya untuk
mengatasi rasa tertekan dan hampa jiwa”.39

Islam mengeraskan hukuman atas tindak kriminal ini karena ia

memiliki pengaruh yang sangat buruk dan dapat menimbulkan banyak

38
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 46
39
Erich Fromm, Akar Kekerasan...,h. 436
bahaya, baik dalam skala individu maupun kelompok. Adapun bahaya-

bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan ini yaitu40 :

a. Salah satu akibat yang ditimbulkan dari praktik liwath/Pedofilia adalah

membuat laki-laki menghindari perempuan. Bahkan, terkadang, akibat

itu sampai membuat laki-laki tidak bisa melakukan hubungan seks

dengan perempuan. Dengan begitu, tujuan terpenting dari suatu

pernikahan yaitu untuk melahirkan generasi menjadi gagal. Meskipun

laki-laki tersebut diprediksi bisa menikah, maka istri dari laki-laki yang

seperti itu hanya akan menjadi salah satu korban yang dirugikan dari

sekian banyak korban yang lain. Istri tersebut tidak akan mendapatkan

ketenangan, cinta dan kasih sayang dari suaminya yang notabene semua

itu merupakan dasar bagi terbentuknya kehidupan berkeluarga yang

berkesinambungan.

b. Gangguan Otak

Praktik Pedofilia dapat menyebabkan pelakunya kehilangan

keseimbangan otak cukup serius, kekacauan yang menyeluruh didalam

pikiranya, kondisi stagnasi yang tidak wajar di dalam imajinasinya dan

kedunguan yang parah dalam akalnya serta hasratnya sangat lemah.

Semangat kerja pelaku menjadi lemah dan tugas-tugas yang diberikan

kepadanya menjadi kacau.

c. Penyakit Hitam

40
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, terj. M. Ali Nursyidi dan Hunainah M., (Jakarta :
Pena Pundi Aksara, 2009), h. 269-274
Perbuatan Pedofilia bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit

hitam ataupun ia dapat menjadi faktor dominan yang memunculkan dan

membangkitkan penyakit itu. Memang sudah menjadi hal yang maklum

apabila perbuatan keji semacam ini menjadi sebuah sarana yang

memberikan pengaruh besar bagi munculnya penyakit ini. Hal ini dilihat

dari peran seorang Pedofilis yang dapat menggandakan penyakit ini dan

mempersulit biaya pengobatannya.

d. Menyebabkan Dekadensi Moral

Praktik Pedofilia dapat menyebabkan kedunguan akhlak dan

penyakit psikologi yang berbahaya. Karena itu, orang-orang yang

melakukankecenderungan seks menyimpang semacam itu biasanya

merupakan orang yang berakhlak buruk, tidak normal dan hampir tidak

mampu membedakan antara hal-hal yang terpuji dan hal yang hina.

Mereka memiliki semangat yang lemah, tidak menyesali perbuatan dosa

dan tidak memiliki nurani yang dapat mencegah mereka untuk

melakukan dosa.

e. Menganggu Kesehatan

Kelainan seksual ini dapat menyebabkan tekanan jantung dan

stroke bagi para pelakunya. Mereka dibiarkan dalam kondisi lemah

secara total sehingga menyebabkan mereka mudah terkena berbagai

penyakit dan membuat mereka (seolah-olah) menjadi barang rampasan

aneka ragam kecacatan dan penyakit yang menahun.


f. Dapat melemahkan pusat-pusat pembuangan utama yang ada di dalam

tubuh dan memusnahkan kehidupan sel-sel spermatozoid di dalam nya,

serta memberikan pengaruh kepada penghimpunan zat-zat sperma. Pada

akhirnya, ia bahkan mampu untuk melenyapkan untuk mendapatkan

keturunan. Selain itu, ia juga bisa mengalami kemandulan sehingga dapat

berakibat kepada kematiannya.

E. Pengertian Anak Dan Batasan Usianya

Terkait dengan tindak kejahatan Pedofilia terhadap anak, hal ini

memunculkan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan anak dan batas umur

seseorang dapat dikatakan sebagai anak-anak, maka dari itu akan dijelaskan

sebagai berikut :

1. Pengertian Anak Secara Sosiologis

Dalam masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum

adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan

dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas

usia semata-mata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan

sosial dalam pergaulan hidup masyarakat. Seseorang disebut dewasa apabila

ia secara fisik telah memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan yang dapat

mendukung penampilannya.

Dikemukakan oleh Ter Haar bahwa saat seorang menjadi dewasa

ketika saat ia (laki-laki atau perempuan) sebagai orang yang sudah menikah,

meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya dan memiliki
rumah sendiri sebagai suami istri muda yang merupakan keluarga yang

berdiri sendiri. Lebih jauh Soepomo mengemukakan bahwa :

“Tidak ada batas umur yang pasti bilamana anak menjadi dewasa, hal
itu hanya dapat dilihat dari ciri-ciri yang nyata. Anak yang belum
dewasa disebut belum cukup umur, belum baligh, belum kuat, yaitu
anak yang karena usianya masih muda, masih belum dapat mengurus
diri sendiri, yang sungguh masih kanak-kanak. Kami tidak
menemukan petunjuk bahwa hukum adat mengenal batas umur yang
pasti. Seseorang dianggap telah dewasa sejak dapat bekerja, sejak ia
kuat mengurus harta bendanya dan keperluan-keperluan lainnya,
dengan perkataan lain, sejak ia mampu mengurus diri sendiri dan
melindungi kepentingannya sendiri. Hanya dari ciri-ciri yang nyata
dapat dilihat apakah seseorang sudah dapat bekerja atau belum,
apakah ia sudah dapat bekerja atau belum, apakah ia sudah atau belum
dapat berdiri sendiri dan ikut serta dalam kehidupan hukum dan sosial
di desa, daerah atau lingkungannya”.41

Dari pernyataan tersebut, ukuran kedewasaan yang diakui oleh

masyarakat dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :

a. Dapat bekerja sendiri (mandiri)

b. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab

c. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.

Dengan demikian tampak jelas bahwa dilihat dari aspek sosiologis

kriteria seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak, bukan semata-

mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan

dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri

menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada.

41
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013), h. 2
“Dalam pandangan hukum adat, begitu tubuh anak tumbuh besar dan

kuat, mereka dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang

dilakukan orang tuanya.”42 Pada umumnya mereka dianggap telah mampu

memberi hasil untuk memenuhi kepentingan diri dan keluarganya.

Disamping itu mereka juga sudah dapat diterima dalam lingkungannya.

Oleh karena itu pendapatnya didengar dan diperhatikan. Pada saat itulah

seseorang diakui sebagai orang yang telah cukup dewasa.

2. Pengertian Anak Secara Psikologis

Ditinjau dari aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-

fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri

tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping ditentukan

atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan

jiwa yang dialaminya. Dalam fase-fase perkembangan yang dialami seorang

anak, diuraikan bahwa Masa kanak-kanak terbagi dalam 43:

a. Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur dua tahun.

b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun.

c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara usia 5-12 tahun.

d. Masa remaja antara usia 13-20 tahun.

e. Masa dewasa muda antara usia 21-25 tahun.

Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan

seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi

42
Nandang Sambas, Peradilan Pidana..., h. 2
43
Nandang Sambas, Peradilan Pidana..., h. 3
untuk menentukan batasan terhadap seorang anak nampak adanya berbagai

macam kriteria, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan

pertumbuhan jiwa. Dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan

sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa kanak-kanak

terakhir, yaitu sejak dilahirkan sampai usia 12 tahun. Namun karena dikenal

adanya masa remaja, maka setelah masa kanak-kanak berakhir seorang anak

belum dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa, melainkan

baru menginjak remaja (pubertas). Pada masa remaja ini merupakan masa

pertumbuhan baik dari segi rohani maupun jasmani. Pada masa ini

umumnya mengalami suatu bentuk krisis, berupa kehilangan keseimbangan

jasmani dan rohani. Pada masa remaja atau pubertas bisa dibagi dalam

empat fase 44:

a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral atau pra-pubertas.

b. Masa menentang kedua, fase negative Trotzelter kedua, periode

Verneinung.

c. Masa puber sebenarnya, mulai kurang dari 14 tahun. Masa pubertas

wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada pubertas anak

laki-laki.

d. Fase odolesenssi, mulai usia kurang lebih 17 tahun sampai sekitar19

tahun atau 21 tahun.

Atas dasar hal tersebut, seorang dikualifikasikan sebagai seorang

anak, apabila ia berada pada masa bayi hingga masa remaja awal, antara

44
Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung : Alumni, 1979), h. 150
usia 16-17 tahun. Sedangkan lewat masa tersebut seorang sudah termasuk

kategori dewasa, dengan ditandai adanya kestabilan, tidak mudah

dipengaruhi oleh pendirian orang lain dan propaganda seperti pada masa

remaja awal.

3. Pengertian Anak Secara Yuridis

Secara yuridis, kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum.

Dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan

seorang anak menyangkut kepada persoalan-persoalan hak dan kewajiban,

seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan

sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak

dan lain-lain. Sedangkan dalam lapangan hukum pidana menyangkut

masalah pertanggung jawaban pidana.

Karena adanya berbagai kepentingan yang hendak dilindungi oleh

masing-masing lapangan hukum, membawa akibat kepada adanya

perbedaan penafsiran terhadap perumusan kriteria seorang anak. Perumusan

seorang anak dalam berbagai rumusan undang-undang tidak memberikan

pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan yang merupakan

pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu dan tujuan

tertentu.

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak pasal 1 angka 2 merumuskan bahwa, “Anak adalah seorang yang


belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.45

Dalam penjelasannya diuraikan lebih lanjut bahwa batas umur 21 tahun

ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha

kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan

kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Selanjutnya

dijelaskan pula bahwa, batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan

batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula

mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai

kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

Dalam KUH Perdata ketentuan yang merumuskan kategori dewasa

dan belum dewasa dapat ditemukan dalam pasal 330 KUH Perdata yang

merumuskan bahwa46 :

a. Bila peraturan perundang-undangan menggunakan istilah belum dewasa,

maka sejauh mengenai penduduk Indonesia dengan istilah ini

dimaksudkan semua orang yang belum genap 21 tahun dan yang

sebelumnya tidak pernah kawin.

b. Bila perkawinan dibubarkan sebelum mereka berumur 22 tahun, maka

tidak kembali berstatus belum dewasa.

c. Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak.

Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa batas antara belum

dewasa (minderjeriggheidh) dengan telah dewasa (meenderjarigheid)

adalah umur 21 tahun, kecuali :


45
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 9
46
Tim Aksara Sukses, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Aksara Sukses,
2013), h. 133
a. Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun atau

b. Pendewasaan (venia aetetis) sebagaimana yang diatur dalam pasal 419

KUH perdata.

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

walaupun tidak secara tegas mengatur ketentuan tentang ukuran seseorang

digolongkan sebagai seorang anak, namun apabila dikaji dari beberapa

ketentuan yang tercantum didalamnya, tersirat makna yang menunjukkan

batas pendewasaan seseorang. Dalam pasal 6 ayat 2 yang mengatur tentang

syarat perkawinan ditegaskan bahwa adanya keharusan bagi seseorang yang

belum mencapai usia 21 tahun untuk mendapat izin dari kedua orang tua.

Sedangkan pasal 7 ayat (1) memuat batas umur minimum bagi seseorang

yang akan melangsungkan perkawinan, dimana bagi seorang pria berusia 19

tahun sedangkan bagi wanita telah berumur 16 tahun. Begitu juga apa yang

diatur dalam pasal 47 ayat (1), dinyatakan bahwa anak yang belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin berada dibawah

kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang

tuanya. Selanjutnya dalam pasal 50 ayat (1) dinyatakan bahwa, anak yang

belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin yang tidak berada

dibawah kekuasaan orangtua, maka ia berada dibawah kekuasaan wali.

Dari beberapa ketentuan tersebut ternyata Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan tiga kriteria usia, yang

meliputi :

a. Usia syarat kawin yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun


b. Usia izin kawin dimana bagi mereka yang akan menikah dibawah usia 21

tahun harus ada izin dari orangtuanya.

c. Usia dewasa yaitu 18 tahun atau telah kawin.

“Apabila digunakan penafsiran secara argumetum a contrario,

nampak jelas bahwa yang dimaksud telah dewasa menurut undang-undang

perkawinan tersebut adalah setiap orang yang telah berusia 18 tahun.

Mereka melakukan perbuatan hukum tanpa harus diwakili oleh orangtua

atau walinya.”47

Dalam kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan

kriteria seorang anak walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia,

namun apabila diteliti beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur

masalah batas usia anak, juga terdapat keanekaragaman.

“Menurut pasal 45 KUHP seseorang yang dikategorikan berada

dibawah umur atau belum dewasaapabila ia belum mencapai umur 16 tahun.

Pasal 283 KUHP menentukan batas kedewasaan apabila sudah mencapai 17

tahun. Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 287 KUHP, batas umur

dewasa bagi seseorang wanita adalah 15 tahun.”48

Dari ketiga ketentuan tersebut apabila diterapkan terhadap persoalan

pertanggungjawaban pidana, maka yang dikategorikan sebagai anak

(dibawah umur) adalah apabila belum mencapai usia 16 tahun. Hal inilah

yang membedakan keadaan seseorang termasuk dalam kategori sebagai

seorang anak atau seseorang yang telah dewasa. “Batas usia tersebut dalam
47
Nandang Sambas, Peradilan Pidana..., h. 6
48
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indoesia, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2012), h. 5
lingkungan Pengadilan Tinggi Jakarta telah diperluas menjadi 18 tahun,

sebagaimana termuat dalam surat edaran Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta

tanggal 15 Juli 1974.”49

“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah

mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 tahun (delapan belas)

tahun dan belum pernah kawin.”50 Batas usia tersebut sejalan dengan

penentuan seorang anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

15 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut,

anak didik pemasyarakatan, baik anak pidana, anak negara maupun anak

sipil, adalah anak binaan yang belum mencapai usia 18 tahun. Begitu juga

menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Konsep KUHP menentukan usia 18 tahun sebagai batas usia seorang

anak di Indonesia, sebagai batas pertanggungjawaban bagi seorang anak.

Secara tegas Pasal 113 konsep KUHP tahun 2002, menyatakan bahwa,

“Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak

pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan (ayat 1). Pidana dan tindakan

bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas)

49
Nashriana, Perlindungan Hukum..., h. 5
50
M.Nasir Djamil, Anak Bukan..., h. 9
tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana (ayat

2).”51

Dari berbagai peraturan hukum positif yang mengatur batas usia

seorang anak di Indonesia, tampaknya belum ada keseragaman baik yang

diatur dalam aspek hukum pidana maupun dalam hukum perdata.

Dikategorikan seorang anak di bawah umur apabila seorang anak berada

diantara usia 12 tahun sampai 21 tahun. Namun, dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang dibentuk pada periode selanjutnya secara umum

membatasi kategori seorang anak pada usia dibawah 18 tahun.

Dalam hukum Islam anak-anak disebut dengan ath-thifl. Abu Haitsam

berkata, “seseorang anak disebut thifl sejak ia lahir dari kandungan ibunya

hingga ia baligh.”52

Allah Swt berfirman :

ْ ‫ثُـ َّم ي‬
.ً‫ُـخ ِـر ُجـ ُكـ ْم ِطـ ْفـال‬

“...kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak”. (QS. Ghaafir : 67)

Kata thifl (bentuk tunggal) disini menempati posisi athfaal (bentuk

jamak). Hal ini terbukti bahwa kata tersebut ditujukan kepada sekumpulan

orang. Seakan-akan maknanya kalian terlahir dalam keadaan thifl (anak-

anak).

Allah Swt berfirman :

51
Nandang Sambas, Peradilan Pidana..., h. 7
52
Abu Abdillah Ahmad, Ensiklopedi Anak, terj. Ali Nur, (Jakarta : Darus Sunnah, 2012),
h. 58
    ...
  
 ...  
“...atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS. An-
Nur (24) : 31)

Orang Arab menyebutkan kata jaariyah (anak-perempuan) dengan

thiflah dan thifl (anak/anak perempuan). Jaariyatan (dua orang anak

perempuan) dengan sebutan thifl. Jaawaar (beberapa orang anak

perempuan) juga dengan sebutan thifl. Ghilman (dua orang anak laki-laki)

disebut thifl dan ghulaam (beberapa anak laki-laki) juga disebut thifl. Ada

juga mengatakan kata thifl, thiflah, athfaal, thiflaani, thiflataani, dan

thiflaatun secara analogi memiliki makna yang sama.

Bayi yang baru lahir disebut thifl, baik dalam bentuk tunggal maupun

dalam bentuk jamak. Sama seperti kata junub.

Dalam kitab An-Nihaayah, thifl adalah anak kecil, baik yang

berkelamin laki-laki maupun perempuan. Boleh juga dikatakan thifl untuk

anak laki-laki dan thiflah untuk anak perempuan. Jadi yang dimaksud

dengan thifl adalah seorang anak sejak ia lahir hingga mencapai usia

dewasa.”53

Dalam hukum Islam terdapat beberapa kategori perkembangan

seseorang terkait dengan kewajiban melaksanakan syar’i. Seseorang

dikategorikan mukallaf yaitu seseorang laki-laki muslim dan wanita

muslimah yang sudah berakal/baligh.

53
Abu Abdillah Ahmad, Ensiklopedi Anak..., h. 59
‫‪Dalam Hadits riwayat Tirmidzi54 :‬‬

‫ع ْ‬
‫ـن‬ ‫ق َ‬ ‫سـفَا اْالَ ْز َر ِ‬ ‫اق ب ُ‬
‫ْـن ي ُْـو ُ‬ ‫ي‪َ ,‬حـدَّ ثَـنَا اِ ْس َح ُ‬ ‫الوا ِس ِط ُّ‬
‫ْـر َ‬
‫ْـن َو ِزي ٍ‬‫َحـدَّ ثَـنَا ُمـ َح َّمـدُ ب ُ‬
‫عـ َلى َر ُ‬
‫س ْـو ِل هللاِ‬ ‫ضـتُ َ‬ ‫ع ِـر ْ‬ ‫ـر‪ ,‬قَا َل ‪ُ :‬‬ ‫عـ َم َ‬ ‫ع ْن اب ِ‬
‫ْـن ُ‬ ‫ع ْن نَا فِـعٍ‪َ ,‬‬‫ـر َ‬ ‫عـ َم َ‬
‫عـبَيْـ ِدهللاِ ب ِْن ُ‬‫ُ‬
‫عـ ْش َرة ً فَـلَ ْم يَـ ْقـبَ ْـلـنِي‪ ,‬فـعُ ِـر ْ‬
‫ضـتُ‬ ‫ْـن أ َ ْربَـ َع َ‬
‫ْـش َوأَنَااب ُ‬ ‫سـلَّ َ‬
‫ـم فِي َجـي ٍ‬ ‫صـلّى هللاُ َ‬
‫عـلَيْـ ِه َو َ‬ ‫َ‬
‫عـ ْش َرة َ فَـقَـ ِبلَـنِ ْي ‪ .‬قَا َل نَافِـ ٌع ‪َ :‬و َحـدَّ ثْـتُ‬
‫ـس َ‬
‫ْـن خ َْم َ‬‫ْـس َوأَنَا اب ُ‬ ‫عـلَيْـ ِه ِم ْن قَا ِب ٍل فِي َجـي ٍ‬ ‫َ‬
‫ْـر‪ .‬ثُـ َّم‬‫ْـر َو ْال َكـبِي ِ‬ ‫عـبْـد ِْالـ َع ِـزي ِ‬
‫ْـزفَـقَا َل ‪ :‬هَـذَا َحـدُّ َما َبيْـنَ ال َّ‬
‫صـ ِغـي ِ‬ ‫ـر بْـنَ َ‬ ‫ِب َهـذَا ْال َحـ ِديْـثِعُـ َم َ‬
‫ـر‪َ ,‬حـدَّثْـنَا‬ ‫عـ َم َ‬ ‫ْـن أ َ ِبي ُ‬
‫ـرة َ‪َ .‬حـدَّثَـنا اب ُ‬‫عـ ْش َ‬
‫ـس َ‬‫َـم َ‬‫ـن َيـبْـلُـ ُغ ْالـخ ْ‬ ‫ض ِلـ َم ْ‬
‫ـر َ‬ ‫َـب أ َ ْن يُـ ْف َ‬‫َكـت َ‬
‫ـن‬ ‫ع ِ‬‫ـر‪َ ,‬‬‫عـ َم َ‬ ‫ابـن ُ‬‫عـن ِ‬ ‫ِ‬ ‫ـن نَافـعٍ‪,‬‬ ‫ع ْ‬‫ـر‪َ ,‬‬ ‫عـ َم َ‬ ‫عـ َبـ ْيـدِهللا ب ُ‬
‫ْـن ُ‬ ‫ـن ُ‬‫ع ْ‬‫عـ َيـيْـنَـةَ‪َ ,‬‬
‫ْـن ُ‬ ‫سـ ْفـ َي ُ‬
‫ـان ب ُ‬ ‫ُ‬
‫عـبْـ ِد‬
‫ـر بْـنَ َ‬ ‫عـ َم َ‬‫ـر فِـيْـ ِه ( أ َ َّن ُ‬ ‫سـلَّ َ‬
‫ـم‪ ,‬نَـحْ َـوهُ‪َ .‬ولَـ ْم َيـ ْذ ُك ْ‬ ‫صـلَّى هللاُ َ‬
‫عـلَـيْـ ِه َو َ‬ ‫يِ َ‬‫الـنَـ ِبـ ّ‬
‫ـي‬‫عـ َيـيْـنَـةَ فِ ْ‬‫ْـن ُ‬ ‫ـر اب ُ‬‫ْـر)‪َ ,‬وذَ َك َ‬ ‫ْـر َو ْال َكـ ِبـي ِ‬
‫صـ ِغـي ِ‬‫َـب أ َ َّن هَـذَا َحـدُّ َما َبـيْـنَ الـ َّ‬ ‫ْالـ َع ِـزي ِ‬
‫ْـز َكـت َ‬
‫عـبْـ ِد ْالـ َع ِـزي ِ‬
‫ْـز‪َ ,‬فـ َقـا َل ‪ :‬هَـذَا َحـدُّ َما َبـيْـنَ‬ ‫ـر بْـنَ َ‬ ‫َحـ ِديْـثَـ ِه‪َ .‬قا َل نَا ِفـ ٌع‪َ .‬حـدّثْـتُ ِبـ ِه ُ‬
‫عـ َم َ‬
‫عـلَى‬‫ـحيْـ ٌح‪َ .‬و ْالـ َعـ َم ُل َ‬
‫ص ِ‬‫ـن َ‬ ‫س ٌ‬
‫ْـث َحـ َ‬ ‫سى ‪ :‬هَـذَا َحـ ِد ي ٌ‬ ‫الـذُّ ِ ّريَّـ ِة َوالـ ُمـقَا ت َـلَ ِة‪ .‬قَا َل أَبُـو ِعـيْـ َ‬
‫ي‬ ‫ار ِك َوالـ َّ‬
‫شا ِفـ ِعـ ُّ‬ ‫ْـن ْالـ ُمـ َب َ‬
‫ي واب ُ‬ ‫ـان ْالـث َ ْـو ِر ُّ‬ ‫هَـذَا ِعـ ْنـدَ أ َ ْهـ ِل ْالـ ِع ْـل ِـم‪َ ,‬و ِبـ ِه َيـقُـو ُل ُ‬
‫سـ ْفـ َي ُ‬
‫الر َجا ِل‪َ .‬و َقا َل أَحْ ـ َمـدُ‬ ‫ـرة َ فَـحْ ـ ُكـ ُمـهُ ُحـ ْكـ ُم َّ‬
‫عـ ْش َ‬ ‫ـس َ‬ ‫َـم َ‬
‫ـر ْونَ خ ْ‬ ‫اق‪َ .‬ي َ‬ ‫َوأَحْ ـ َمـدُ َو ِإسْـ َح ُ‬
‫ـرة َ‪ ,‬أ َ ْو ْ‬
‫االخـتِـالَ ُم‪ ,‬فَإ ِ ْن لَـ ْم‬ ‫عـ ْش َ‬‫ـس َ‬‫َـم َ‬ ‫غخ ْ‬ ‫غ ثَـالَ ثَـةُ َمـنَا ِز َل ‪ :‬بُـلُـو ُ‬ ‫اق‪ْ ,‬الـبُـلُـو ُ‬ ‫َوإِسْـ َح ُ‬
‫ف ِسـنُّـهُ َوالَاحْ ـتِـالَ ُمـهُ فَا ْ ِال ْنـبَاتُ ( يَـ ْعـنِى ْالـعَـانَـةَ )‪(.‬روى الحـد يشين‬
‫ـر ْ‬
‫يُـ ْع َ‬
‫الـتـرمـذي ر ْقمى ‪)1366‬‬
‫‪“Muhammad bin Wazir Al-Washiti, menceritakan kepada kami, Ishaq‬‬
‫‪bin Yusuf Al-Azraq menceritakan kepada kami dari Sufyan dari Ubaidillah‬‬
‫‪bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata,“Saya ditunjukkan kepada‬‬
‫‪Rasulullah Saw untuk menjadi tentara (perang) saya pada waktu itu baru‬‬
‫‪berumur empat belas tahun dan Rasulullah tidak mau menerimaku. Dan‬‬
‫‪pada tahun berikutnya saya ditunjukkan lagi untuk menjadi tentara perang‬‬
‫‪dan Rasulullah mau menerimaku. Nafi’ berkata, “Saya menceritakan hadits‬‬
‫‪ini kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka dia berkata, ”Itulah batas antara‬‬
‫‪anak kecil dan dewasa. Kemudian dia mencatat dan mewajibkan bagi orang‬‬
‫‪yang sudah berumur lima belas tahun (untuk maju perang atau‬‬
‫‪menjalankan syari’at agama). Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami‬‬
‫‪Sofyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari Ubaidillah bin Umar‬‬
‫‪dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi Saw ia menceritakan hadits seperti‬‬
‫‪hadits diatas dan ia tidak menyebut didalam hadits nya bahwasanya Umar‬‬

‫‪54‬‬
‫‪Imam Tirmizi, Sunan At-Tirmidzi, (Jilid 3, Beirut : Dar al-Fikr, 2009), h. 77‬‬
bin Abdul Aziz mencatat sesungguhnya ini adalah batas antara anak kecil
dan dewasa. Ibnu ‘Uyainah menyebut didalam haditsnya ia berkata, “Saya
menyebut hadits ini kepada Umar bin Abdul Aziz, maka ia berkata, “Inilah
batas antara akil balighnya anak kecil dan orang yang berhak diperangi
(apabila ia tidak islam). Abu Isa berkata hadits ini hasan shahih.
Melaksanakan hadits ini menurut sebagian ulama, diantaraya Sofyan As-
Tsauri, Ibnu Mubarak, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq mereka berpendapat
bahwasanya anak kalau ia sudah mencapai umur lima belas tahun, maka ia
dihukumi seperti hukumnya orang dewasa dan jikalau anak itu mimpi
keluar mani sebelum umur lima belas tahun, maka hukumnya ia juga seperti
orang dewasa. Ahmad dan Ishaq berkata, “Akil balig itu ada tiga macam,
dengan mencapainya umur lima belas tahun atau mimpi keluar mani,
jikalau ia tidak tahu umurnya dan tidak tahu mimpi keluarmaninya, maka
dengan cara tumbuhnya bulu kemaluan”. (HR. Tirmidzi Nomor 1366)

Dari hadits diatas seseorang dapat dikatakan anak-anak apabila belum

mencapai akil baligh. Akil baligh ditandai oleh tiga hal yaitu telah berumur

lima belas tahun, mimpi keluar mani dan tumbuhnya bulu kemaluan.

Berdasarkan uraian diatas dapat dibandingkan definisi anak menurut

hukum positif dan hukumIslam. Dalam hukum positif belum ada

keseragaman dari berbagai peraturan yang mengatur batas usia seorang

anak. Sedangkan dalam hukum Islam jelas dikatakan bahwa seseorang dapat

dikatakan anak-anak apabila belum mencapai akil baligh.


BAB III

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

TINDAK KEJAHATAN PEDOFILIA

A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kejahatan Pedofilia

1. Definisi Pedofilia

Dalam hukum Islam belum dikenal istilah Pedofilia, untuk pengertian

lain yang mendekati perbuatan semisal Pedofilia adalah liwath yang

merupakan satu akar kata dengan nama kaum Nabi Luth dimana

masyarakatnya tertarik dengan sesama jenis. “Liwath adalah perbuatan yang

dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penisnya) kedalam

dubur laki-laki lain.”55 “Istilah ini biasanya ditujukan untuk laki-laki yang

tertarik dengan laki-laki pula. Penyimpangan seksual ini pertama kali terjadi

55
Musthafa Daib Al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib, terj. Fuad Kauma, (Semarang :
Toha Putra, 1993), h. 143
di kalangan umat Nabi Luth a.s dan tidak pernah terjadi pada masa-masa

sebelumnya.”56

Firman Allah Swt :

 
  
   
  


“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu


(kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum
yang melampaui batas.”(QS. Al-A’raf (7) : 81)

Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada

kaumnya Luth a.s karena kaum Nabi Luth a.s adalah kaum yang pertama

kali melakukan perbuatanini, Allah Swt menamakan perbuatan ini dengan

fahisy (keji/jijik), sebagaimana perkataan Allah Swt dalam surat Al-A’raf

(7) ayat 80 :

  


 
  
   
 ✓☺
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di
dunia ini) sebelummu?.” (QS. Al-A’raf (7) : 80)

Jadi, dalam hukum Islam belum ada istilah pasti untuk perbuatan

Pedofilia. Oleh sebab itu peneliti mengambil Liwath sebagai istilah yang

paling mendekati dengan perbuatan Pedofilia. Alasan yang peneliti gunakan

56
M. Nurul Irfan, Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual, (Jakarta : Amzah, 2014), h. 128
yang pertama, pelaku dan objek perbuatan Liwath dan Pedofilia sama-sama

laki-laki. Kedua, Liwath dan Pedofilia adalah perbuatan yang memasukkan

dzakar kedalam dubur (lubang belakang). Sehingga keduanya sama dalam

hukumnya yaitu haram.

2. Dasar Hukum Pedofilia

Dalam hukum pidana Islam, perbuatan liwath/Pedofilia diatur di

dalam Al-Qur’an dan hadits berikut ini :

a. Al-Qur’an

1) Surah Al-‘Araf (7) : 84


 
   
 
 ✓☺
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu). Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa
itu.”(QS. Al-A’raf (7) : 80-84)

2) Surah Huud (11) : 82-83

  ☺


 
 
  
  
   ▪
  
 ✓☺

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum
Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani
mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,
yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu Tiadalah jauh dari
orang-orang yang zalim.” (QS. Huud (11) : 82-83)

b. Hadits
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda :

ُ ‫ْـر ب‬
‫ْـن‬ ِ ‫عـبْـدُ ْالـ َع ِـزي‬
َ ‫ ثـنا‬: ‫بـن خَـال ٍد قَاال‬ ُ ‫صـبَّاحِ َوأَب ُْـوبَـ ْك ِـر‬ ُ ‫َحـدَّثَـنَا ُمـ َحـ َّمـدُ ب‬
َّ ‫ْـن الـ‬
ِ‫سو َل هللا‬ُ ‫َّاس أ َ َّن َر‬
ِ ‫عـب‬َ ‫ْـن‬
ِ ‫ـن اب‬
ِ ‫ع‬َ ,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬
ْ ‫ع‬
َ ,‫ع ْـم ِـرو‬ َ ‫ْـن أَبِى‬
ِ ‫ع ْـم ِـروب‬ ْ ‫ع‬
َ ‫ـن‬ َ ,ٍ‫ُمـ َحـ َّمـد‬
ِ ُ‫ـوم ل‬
‫ـوط‬ َ ‫ـن َو َجـ ْد تُـ ُمـوهُ يَـ ْعـ َمـ ُل‬
ِ َ‫عـ َمـ َل ق‬ َ َّ‫سـل‬
ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم قَا َل‬ َ ُ‫صـلَّى هللا‬
َ ‫عـلَـ ْي ِه َو‬ َ
) 2561 ‫ ( روى الحـديـشيـن اب ماجـه رقـمى‬.) ‫ـواالفَا ِعـ َل َو ْالـ َمـ ْفـعُ ْـو َل ِب ِه‬ ْ ُ‫فَـ ْقـتُـل‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Abu


Bakar bin Khalad, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
Abdul Aziz bin Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu
Abbas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa dari kalian yang menemukan orang yang melakukan
perbuatan kaum nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan obyek dari pelaku
itu.”(HR. Ibnu Majah hadits no. 2561)57

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah Saw

juga memerintahkan untuk membunuh pelaku liwath :

ِ ‫عـبْـدُ ْالـعَ ِـزي‬


ُ ‫ْـز‬
,ٍ‫بـن ُمـحـ َّمـد‬ ُّ ‫ي ِ الـنُّـفَـيْـ ِل‬
َ ‫ أخـبـرنا‬, ‫ي‬ ّ ‫عـ ِل‬
َ ‫ْـن‬ ُ ‫عـ ْبدُهللا‬
ِ ‫بـن ُمـ َحـ َّمـ ِد ب‬ َ ‫حـدثـنا‬
ِ‫سـو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫َّاس قَا َل‬
ٍ ‫عـب‬ َ ‫ابـن‬ِ ‫ عـن‬,َ‫ عـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬,‫عـم ِـرو‬ ْ ‫ْـن أبـي‬ ِ ‫ع ْـم ِـرو ب‬ َ ‫عـن‬
ْ ُ‫عـ َمـ َل قَ ْـو ِم لُـوطٍ فَا ْقـتُـل‬
‫ـواالفَا ِعـ َل‬ َ ‫ـن َو َجـ ْدتُـ ُمـوهُ يَـ ْعـ َم ُل‬ َ َّ‫سـل‬
ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم‬ َ ‫عـلَيْـ ِه َو‬
َ ُ‫صـ ّل هللا‬
َ
‫بـن أبـي‬ َ ‫ عـن‬,‫ْـن بِالَ ٍل‬
ِ ‫ع ْـم ِـرو‬ ُ ‫ان ب‬ ُ ُ‫ َر َوه‬: َ‫ قَا َل أَبُـودَ ُاود‬.) ‫َوالـ َمـ ْفـعُـو ِل بِـ ِه‬
ُ ‫سـلَـيْـ َم‬
,ُ‫َّاس َر َفـعَه‬
ٍ ‫عـب‬
َ ‫ابـن‬ِ ‫ عـن‬,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬ْ ‫ع‬َ ,‫ـور‬ ِ ‫ص‬ُ ‫بـن َم ْنـ‬
ُ ُ‫عـبَّاد‬ َ ُ‫ َو َر َواه‬,ُ‫ع ْـم ٍـرو ِمـثْـلَـه‬
َ
ِ ‫ْـن عـن ِعـ ْك ِـر َمـةَ عـن اب‬
‫ْـن‬ َ ‫ْـن ْالـ ُحـ‬
ِ ‫صي‬ ِ ‫ْـم عـن دَ ُاودَ ب‬
َ ‫ـريْـجٍ عـن إبْـراهـي‬ ُ ‫َو َر َواهُ اب‬
َ ‫ْـن ُج‬
) 4462 ‫ ( روي الـحـديـشـيـن أبُـوداود رقـمى‬.ُ‫اس َرفَـعـه‬ ٍ َ‫عـب‬ َ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ali
An Nufaili berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin
Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia
berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang
kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah;
pelaku dan objeknya.” Abu Dawud berkata, “Sulaiman bin Bilal
meriwayatkannya dari Amru bin Abu Amru seperti hadits tersebut. Dan
Abbad bin Manshur meriwayatkannya dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan
ia memarfu'kannya. Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ibrahim, dari

57
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Lebanon : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2009), h.
236
Dawud Ibnul Hushain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia
memarfu'kannya”. (HR. Abu Daud no. 4462)58

3. Bentuk-Bentuk Hukuman Pedofilia

a. Hukuman Mati

“Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad

(sebagian merupakan pendapat Imam Syafi’i). Mereka mengatakan

bahwa hukuman liwath adalah dibunuh. Pendapat ini diriwayatkan dari

Abu Bakar Ash-hidiq r.a, Umar bin Khattab r.a dan Ibnu Abbas.

Sekelompok ulama cenderung memilih pendapat ini.”59 Sebagian

pengikut Hanafi mengambil kesepakatan sahabat bahwa hukumannya

dibunuh.

Para sahabat Rasulullah Saw, Nashir, Qasim bin Ibrahim didalam

salah satu fatwa mereka berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku

Liwath/Pedofilia adalah dibunuh meskipun ia belum menikah. Mereka

beralasan dengan dalil-dalil berikut ini :

1) Hadits yang berbunyi :


‫ْـر‬ِ ‫عـبْـدُ ْالـ َع ِـزي‬
َ ‫ ثـنا‬: ‫بـن خَـال ٍد قَاال‬ ُ ‫صـبَّاحِ َوأَب ُْـوبَـ ْك ِـر‬ ُ ‫َحـدَّثَـنَا ُمـ َحـ َّمـدُ ب‬
َّ ‫ْـن الـ‬
‫َّاس أ َ َّن‬
ِ ‫عـب‬ َ ‫ْـن‬
ِ ‫ـن اب‬ َ ,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬
ِ ‫ع‬ ْ ‫ع‬َ ,‫ع ْـم ِـرو‬َ ‫ْـن أ َ ِبى‬ِ ‫ع ْـم ِـروب‬
َ ‫ـن‬ْ ‫ع‬َ ,ٍ‫ْـن ُمـ َحـ َّمـد‬ ُ ‫ب‬
َ ‫ـن َو َجـ ْد تُـ ُمـوهُ يَـ ْعـ َمـ ُل‬
ِ ‫عـ َمـ َل َق‬
‫ـوم‬ َ َّ‫سـل‬
ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم قَا َل‬ َ ُ‫صـلَّى هللا‬
َ ‫عـلَـ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬
ُ ‫َر‬
‫ ( روى الحـديـشيـن اب ماجـه رقـمى‬.) ‫ـواالفَا ِعـ َل َو ْالـ َمـ ْفـعُ ْـو َل ِب ِه‬ ْ ُ‫ـوط فَـ ْقـتُـل‬
ِ ُ‫ل‬
) 2561
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan
Abu Bakar bin Khalad, keduanya berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari

58
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1999), h. 153
59
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukum, terj. M. Zuhri
Dan M. Qodirun Nur, (Semarang : CV. Asy-Syfa, 1994), h. 72
Ikrimah dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,“Barangsiapa dari kalian yang menemukan orang
yang melakukan perbuatan kaum nabi Luth, maka bunuhlah pelaku
dan obyek dari pelaku itu.”(HR. Ibnu Majah hadits no. 2561)

2) “Hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a bahwa beliau merajam orang

yang berbuat perbuatan ini. Dalam hal ini Syafi’i berkata,

“Berdasarkan dalil ini, kami mengambil kesimpulan bahwa hukuman

bagi pelaku liwath adalah dirajam, baik jika ia muhsan maupun belum

(ghairu muhsan).”60

3) Hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar r.a bahwa dia pernah

mengumpulkan orang-orang untuk memperbincangkan seorang laki-

laki yang dinikahi laki-laki, layaknya perempuan dinikahi. Lalu dia

menanyakan hal itu kepada para sahabat Nabi Saw. Ketika itu sahabat

yang paling tegas mengeluarkan pendapat adalah Ali bin Abi Thalib

r.a dia berkata, “Dosa ini tidak pernah dilanggar oleh satu umatpun

dari umat-umat terdahulu, kecuali satu umat. Kalian sudah tahu apa

yang Allah perbuat terhadap mereka. Kami berpendapat bahwa laki-

laki itu dibakar saja.”61 Lalu Abu Bakar r.a menulis surat kepada

Khalid bin Walid r.a yang berisi perintah untuk membakar laki-laki

itu.

Para ulama berbeda pendapat tentang cara pembunuhan perbuatan ini 62:

1) Dibunuh dengan pedang, kemudian dibakar. Hal ini karena

kemaksiatan dari perbuatan liwath/Pedofilia sangatlah besar. Pendapat


60
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, terj. M. Ali Nursyidi dan Hunainah M., (Jakarta :
Pena Pundi Aksara, 2009), h. 274
61
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan..., h. 73
62
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan..., h. 74
ini diriwayatkan dari Abu bakar dan Ali bin Abi Thalib r.a. Mundziri

berkata, “Abu Bakar, Ali, Abdullah bin Zubair dan Hisyam bin Abdul

Malik r.a membakar pelaku liwath/Pedofilia.

2) Dilemparkan dengan batu. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Dengan pendapat inilah Imam Malik dan Ahmad berfatwa. Nakh’i

berpendapat bahwa seandainya memungkinkan untuk merajam orang

yang berzina sebanyak dua kali, maka orang yang mempratikkan

perbuatan kaum Luth a.s juga harus dirajam.

3) Dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Inilah pendapat yang mahsyur di

kalangan Mazhab Imam Malik.

4) Dirobohi dinding. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar Ash

Sidiq r.a.

Para ulama menyebut berbagai macam cara diatas, karena Allah

Swt menyiksa kaum Luth a.s dengan setiap macam siksaan itu. Allah Swt

berfirman :

  ☺


 
 
  
  
“Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth
itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka
dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi”. (QS. Hud :
82).

b. Hukuman Pezina

Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan)

didasarkan pada ayat Al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara


bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. “Rajam dari segi bahasa

berarti melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya”63.

Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman

Allah Swt dalam surat An-Nur ayat 2 :

 
  
  ☺
☺   
    
  
  
☺ 
 
 ✓☺
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur (24) : 2)

Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadits Nabi Saw :

‫طانَ ب ِْن‬ َّ ‫ع ْن ِح‬ َ ‫س ِن‬ َ ‫ع ْن ْال َح‬


َ ‫ور‬ٍ ‫ص‬ُ ‫ع ْن َم ْن‬ َ ‫ي أ َ ْخبَ َرنَا ُه‬
َ ‫ش ْي ٌم‬ ِ ‫و َحدَّثَنَا يَحْ يَى ب ُْن يَحْ يَى الت َّ ِم‬
ُّ ‫يم‬
‫سلَّ َم ُخذُوا‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫اَّلل‬ َ ِ‫اَّلل‬ ُ ‫ت قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ ِ ‫ام‬ِ ‫ص‬ َّ ‫عبَادَة َ ب ِْن ال‬ ُ ‫ع ْن‬ ّ ‫الرقَا ِش‬
َ ِ‫ي‬ َّ ‫ع ْب ِد‬
َّ ِ‫اَّلل‬ َ
ِ ِّ‫ب بِالثَّي‬
‫ب‬ ُ ّ‫سنَ ٍة َوالث َّ ِي‬
َ ‫ي‬ ُ ‫يال ْالبِ ْك ُر بِ ْالبِ ْك ِر َج ْلدُ ِمائ َ ٍة َونَ ْف‬
ً ِ‫سب‬
َ ‫اَّللُ لَ ُه َّن‬
َّ ‫ع ِنّي قَ ْد َجعَ َل‬ َ ‫عنِّي ُخذُوا‬ َ
ُ‫اْل ْسنَا ِد ِمثْلَه‬ ِ ْ ‫ور بِ َهذَا‬
ٌ ‫ص‬ ُ ‫ش ْي ٌم أ َ ْخبَ َرنَا َم ْن‬
َ ‫ع ْم ٌرو النَّاقِدُ َحدَّثَنَا ُه‬ َ ‫الرجْ ُم و َحدَّثَنَا‬َّ ‫َج ْلدُ ِمائ َ ٍة َو‬
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi
telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Manshur dari Al Hasan
dari Hitthan bin Abdullah Ar Raqasyi dari 'Ubadah bin Shamit dia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ikutilah
semua ajaranku, ikutilah semua ajaranku. Sungguh, Allah telah
menetapkan hukuman bagi mereka (kaum wanita), perjaka dengan
perawan hukumannya adalah cambuk seratus kali dan diasingkan
selama setahun, sedangkan laki-laki dan wanita yang sudah menikah
63
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2016), h. 61
hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam." Dan telah
menceritakan kepada kami 'Amru An Naqid telah menceritakan kepada
kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Manshur dengan isnad
seperti ini.” (HR. Muslim no. 3199).

Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya

dikenakan sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun hukum

rajam, karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral

dan akal. Kenapa zina diancam dengan hukuman yang berat. Hal ini

disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh Islam dan pelakunya

dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal

dengan disaksikan orang banyak) jika muhsan. “Jika ghairu muhsan,

maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun ke

tempat sejauh jarak meng-qashar shalat (80 Km)”.64 Dalam pandangan

Islam zina merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan

harkat kemanusiaan secara umum.

Sa’id bin Musayab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah,

Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya, dan Syafi’i didalam

salah satu fatwa mereka berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku

liwath/Pedofilia adalah seperti hukuman bagi pelaku zina.65 Apabila

pelakunya belum menikah, dia dicambuk dan diasingkan. Sementara itu,

bila pelakunya sudah menikah (muhsan), hukumannya adalah dirajam.

Mereka beralasan dengan dalil berikut :

64
Anas Tohir Sjamsuddin, Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam (Surabaya : Al-Ikhlas,
1982), h. 156
65
Mustafa Daib Al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib..., h. 143
1) Dalil pertama menyatakan bahwa liwath/Pedofilia termasuk salah satu

bentuk dari sekian banyak bentuk perzinaan. Hal ini karena dalam

praktikknya, perbuatan liwath/Pedofilia adalah perbuatan

memasukkan kemaluan dalam kemaluan. Karena itu, subjek dan objek

perbuatan ini termasuk ke dalam cakupan keumuman dalil yang

menjelaskan pelaku zina muhsan dan ghairu muhsan. Hal ini

dikuatkan oleh hadits berikut ini.

Rasulullah Saw bersabda,

ِ ‫ فَ ُه َما زَ انِ َي‬,‫الـر ُجـ َل‬


.‫ان‬ َّ ‫اِذَا أَتَى‬
َّ ‫الـر ُجـ ُل‬

“Apabila seorang laki-laki menyetubuhi laki-laki lain, maka


mereka berdua telah berzina”. (HR. Baihaqi)
Karena termasuk zina maka dihukum sesuai dengan zina yaitu

bagi yang sudah pernah menikah (muhsan) dirajam dan jika belum

menikah di cambuk 100 kali apabila orang merdeka dan 50 kali bagi

hamba sahaya. Kemudian diasingkan selama satu tahun.

Tidak ada ketentuan tentang urutan-urutan antara dicambuk

dengan dibuang atau dibuang dahulu kemudian dijilid. Abu Bakar r.a

telah membuang seorang akibat berzina ke Fadk, Umar bin Khattab r.a

membuang pelaku zina ke Syam, Utsman bin Affan membuang pelaku

zina ke Mesir kemudian Ali bin Abi Thalib membuang pelaku zina ke

Basrah.66

66
Moh Rifa’i, Moh Zuhri, dan Salomo, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar
(Semarang : Toha Putra, 1978), h. 373
2) Dalil rasio yang digunakan adalah sesungguhnya zina merupakan

istilah dari pekerjaan memasukkan farji ke dalam farji lain yang

disenangi secara naluri tetapi diharamkan dari segi syari’at. Dubur

(lubang belakang) juga termasuk farji, sebab qubul (lubang depan)

disebut farji karena adanya lubang. Arti ini (adanya lubang) juga

dijumpai pada dubur, jadi keduanya sama didalam hukumnya.

3) Menggunakan qiyas, yaitu dalil-dalil yang berlaku bagi kedua pelaku

zina, sekalipun tidak mencakup kedua pelaku liwath/Pedofilia, tetapi

kedua pelaku liwath/Pedofilia bisa disamakan dengan mereka dengan

jalan qiyas. Pemenuhan nafsu syahwat disamping kepada jalan depan

juga kepada jalan belakang keduanya diingini. Perbuatan itu sangat

jelek, maka sudah sepantasnya dilarang. Dan yang pantas menjadi

pencegahnya adalah had.

c. Hukuman Ta’zir

1) Pengertian Ta’zir dan Tujuan Sanksi Ta’zir

Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang

berarti man’uwa radda (mencegah dan menolak). Ta’zir dapat berarti

addaba (mendidik) atau azhamu wa waqra yang artinya

mengagungkan dan menghormat. Sedangkan menurut bahasa ta’zir

adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah

yang tidak dikarenakan had dan tidak pula kifarat.67

67
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Teras, 2009), h.
177
Syari’at tidak menentukan macam-macam hukuman untuk

setiap jarimah takzir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan

hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam

hal ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang

sesuai dengan macam jarimah tak’zir serta keadaan pelaku. Jadi,

hukuman jarimah ta’zir tidak mempunyai batas waktu. Adapun tujuan

pemberlakuan sanksi ta’zir adalah68 :

a) Preventif, mencegah orang lain agar tidak melakukan jarimah

b) Represif, membuat pelaku jera sehingga tidak mengulangi

c) Kuratif, membawa perbaikan sikap bagi pelaku

d) Edukatif, memberikan pengajaran dan pendidikan sehingga

diharapkan dapat memperbaiki pola hidup pelaku.

2) Macam-macam Sanksi Ta’zir

1) Sanksi Ta’zir yang Berkaitan Dengan Badan

1. Hukuman Mati

Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman mati

sebagai ta’zir. Menurut ulama kalangan Hanafiyah, hukuman

mati sebagai ta’zir dapat diberlakukan sebagai siyasah

(pertimbangan politik) bagi pelaku jarimah-jarimah tertentu

yang sangat keji dan dilakukan secara berulang-ulang serta

dengan pertimbangan kemaslahatan umum, seperti terhadap

pelaku pembunuhan dengan benda keras, liwath, pembunuhan

68
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana..., h. 94
terhadap seorang muslim, penghinaan berulang kali, dan

pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw. Demikian juga orang

yang berulang kali mencuri, merampok, mempraktikkan sihir,

dan orang-orang zindik, bahkan seseorang yang melakukan

perselingkuhan dengan wanita lain yang tidak halal.

Menurut sebagian ulama kalangan Syafi’iyah, hukuman

mati sebagai ta’zir dapat diberlakukan terhadap orang yang

mengajak pihak lain berlaku bid’ah dan melakukan

penyimpangan-penyimpangan agama yang bertentangan dengan

Al-qur’an dan hadits. Dikalangan ulama Syafi’iyah juga ada

yang berpendapat bahwa pelaku liwath harus diganjar dengan

hukuman mati sebagai ta’zir, tanpa dibedakan pelaku yang

sudah pernah menikah secara sah atau belum. Hal ini merupakan

pendapat minoritas ulama Syafi’iyah. Adapun mendapat

mayoritas mereka tetap tidak mengakui adanya hukuman mati

sebagai ta’zir sebagaimana dinyatakan Abdul Qadir Audah

sebagai berikut :

“Ulama kalangan Syafi’iyah dan toko-toko besar ulama


kalangan Malikiyyah tidak memperbolehkan diberlakukannya
hukuman mati sebagai ta’zir. Mereka cenderung memilih untuk
memperlama masa penahanan (penjara seumur hidup) bagi
pelaku kejahatan yang dapat merusak dan membahayakan
sampai pada masa yang tidak ditentukan agar kriminalitasnya
tidak menyebar di masyarakat. pendapat seperti ini diikuti oleh
sebagian ulama Hanabilah.”69

69
M. Nurul Irfan, Gratifikasi..., h. 131
Menurut ulama kalangan Malikiyah, hukuman mati

sebagai ta’zir diperbolehkan bagi mata-mata perang yang

beragama Islam, tetapi berpihak kepada musuh. Sementara itu,

Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa dalam sebuah riwayat,

Imam Malik membolehkan hukuman mati yang diberlakukan

kepada kaum Qadariyyah karena dinilai fasad, bukan karena

kemurtadan mereka. selanjutnya ulama kalangan Malikiyah,

Wahbah az-Zuhaili, tidak menyinggung tentang eksekusi mati

bagi golongan Qadariyah yang konon merupakan pendapat

Imam Malik.Az-Zuhaili hanya mengatakan, Ulama Malikiyah,

Hanabillah dan lain-lain memperbolehkan diberlakukannya

hukuman mati bagi mata-mata perang beragama Islam yang

membocorkan berita kepada musuh dan membahayakan kaum

muslimin. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i

tidak membolehkannya.

Menurut ulama kalangan Hanabilah antara lain Ibnu Aqil

berpendapat bahwa hukuman mati sebagai ta’zir dibolehkan

bagi mata-mata perang beragama Islam yang membocorkan

rahasia kepada musuh dan membahayakan kaum muslimin.

“Pendapat ini sama dengan pendapat sebagian mereka yang

mengatakan bahwa pelaku bid’ah yang menyimpang dan

menodai ajaran Islam juga dapat dihukum mati. demikian pula

setiap orang yang selalu berbuat kerusakan sehingga merugikan


banyak pihak dan dapat diberantas hanya dengan hukuman mati,

maka orang seperti itu harus diganjar dengan hukuman mati

sebagai ta’zir.”70

2. Hukuman Cambuk

Hukuman ini cukup dalam memberikan efek jera bagi

pelaku jarimah ta’zir. Jumlah cambukan dalam jarimah hudud

zina ghairu muhsan dan penuduhan zina telah dijelaskan di

dalam nash keagamaan. Mengenai batas tertinggi hukuman ini

terjadi perbedaan pendapat tentang dikalangan fuqaha. Menurut

pendapat yang terkenal di kalangan ulama-ulama Maliki, batas

tertinggi diserahkan kepada penguasa, karena hukuman ta’zir

didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas berat ringan

jarimah. Imam Malik memperbolehkan penjatuhan hukuman

lebih dari seratus kali cambuk, meskipun dalam jarimah hudud

hukuman tersebut tidak lebih dari seratus kali.

“Ulama Hanafiyah, yaitu Imam Abu Hanifah dan

Muhammad mengatakan bahwa batas tertinggi hukuman

cambuk dalam jarimah ta’zir adalah tiga puluh sembilan kali”.71

Sedang menurut Abu Yusuf adalah tujuh puluh lima kali.

Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada hadits rasulullah :

70
M. Nurul Irfan, Gratifikasi..., h. 137
71
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana..., h. 99
َ‫ْـر َحـ ٍّد فَـ ُه َـو ِمـنَ ْالـ ُمـ ْعـت َـ ِديْـن‬
ِ ‫غي‬َ ‫ـن بَـلَـ َغ َحـدَّا فِي‬
ْ ‫َم‬

“Barang siapa yang mencapai had (batas tertinggi) bukan


pada jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang salah”.(HR.
Baihaqi)

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, kata-kata

had (batas tertinggi) pada hadits tersebut ialah setiap “batas

tertinggi” apa saja, sedang empat puluh jilid merupakan batas

tertinggi bagi seorang hamba sahaya yang melakukan jarimah

qadzaf. Kalau jumlah tersebut dikurangi satu maka akan menjadi

batas tertinggi bagi hukuman ta’zir, yaitu tiga puluh sembilan

kali.

Bagi Abu Yusuf yang dimaksud dengan kata-kata had

(batas tertinggi) ialah batas tertinggi bagi orang-orang merdeka

dan sedikit-dikitnya adalah delapan pulu kali cambuk.

Seharusnya batas tertinggi untuk jarimah ta’zir adalah tujuh

puluh sembilan jilid dan mengurangi satu kali. “Akan tetapi Abu

Yusuf berlandas pada tindakan Ali Bin Abi Thalib r.a yang

menjadikan batas tertinggi hukuman ta’zir adalah tujuh puluh

lima kali, dengan dikurangi lima kali jilid dari batas terendah

orang merdeka.”72

Di kalangan Madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat

pertama sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad,

dan pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf.

72
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), h.
307
Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa hukuman jilid

dalam ta’zir boleh lebih dari tujuh puluh lima kali, tetapi tidak

sampai seratus kali, dengan syarat bahwa ta’zir yang hampir

sejenis dengan jarimah hudud yang dijatuhi hukuman hudud.

Jadi misalnya jarimah bermain-main dengan perempuan tidak

dijatuhi hukuman seratus kali jilid melainkan lebih ringan.

Dalam Mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga

diantaranya sama dengan pendapat Mazhab Syafi’i. Pendapat

keempat mengatakan bahwa jilid yang diancamkan atas sesuatu

perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang

dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi boleh

melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya.

“Pendapat kelima mengatakan hukuman ta’zir tidak boleh lebih

sepuluh kali. Seorang tidak boleh di jilid lebih dari sepuluh kali,

kecuali dalam salah satu hukuman hudud.”73

Dari berbagai macam pendapat diatas tentang hukuman

tertinggi jilid, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman ta’zir

tidak boleh melebihi hukuman had pada umumnya atau

hukuman had perbuatan sejenisnya.

2) Sanksi Ta’zir yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang

1. Hukuman Penjara

73
Ahmad Hanafi, Asas-Asas..., h. 308
Dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman penjara

yaitual-habsu yang berarti al-man’u (pencegahan atau

penahanan) dan al-sijnu yang artinya sama dengan al-habsu.

Dengan demikian, kedua kata tersebut mempunyai arti yang

sama dan ulama juga menggunakan keduanya. “Menurut Ibnu

Qayyim, al-habsu bermakna menahan seseorang untuk tidak

melakukan perbuatan hukum, baik tahanan itu ditahan di rumah,

masjid maupun di tempat lain.”74

Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi menjadi

dua, yaitu hukuman penjara terbatas dan hukuman penjara tidak

terbatas. Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara

yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara

terbatas ini diterapkan untuk pelaku jarimah penghinaan,

penjualan khamar, riba, pelanggaran kehormatan, kesaksian

palsu dan lain-lain. Adapun lamanya hukuman penjara tidak ada

kesepakatan di kalangan ulama.

Sebagian ulama, seperti dikemukakan oleh Imam Al-

Zaila’i yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, berpendapat bahwa

lamanya penjara bisa dua atau tiga bulan, bahkan bisa juga

kurang atau lebih dari itu. “Sebagian menurut Imam Al-

Mawardi, hukuman penjara dalam ta’zir berbeda-beda karena

tergantung kepada pelaku dan jenis jarimahnya. Diantara pelaku

74
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana..., h. 101
ada yang dipenjara selama satu hari dan ada pula yang lebih

lama dari itu”.75

Tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha mengenai batas

maksimum hukuman penjara terbatas ini. Menurut Syafi’iyah,

batas maksimumnya adalah satu tahun. Mereka meng-qiyaskan

nya kepada hukuman pengasingan dalam had zina yang lamanya

hanya satu tahun dan hukuman takz’ir tidak boleh melebihi

hukuman had. Akan tetapi, tidak semua ulama Syafi’iyah

menyepakati pendapat tersebut. “Seperti yang dikemukakan oleh

Imam Al-Mawardi bahwa diantara para pelaku ada yang

dikenakan hukuman penjara selama satu hari dan ada pula

sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”76 Hal ini tergantung

kepada pelaku dan jarimahnya. Adapun pendapat yang dinukil

dari Abdullah Al-Zubairi bahwa masa hukuman penjara

ditetapkan selama satu atau enam bulan. Al-Zaila’i

menyebutkan masa hukuman penjara masa hukuman penjara

adalah selama dua atau tiga bulan, bahkan bisa kurang atau lebih

dari itu. Dengan demkian, tidak ada batas maksimum yang pasti

dan dijadikan pedoman umum untuk hukuman penjara sebagai

ta’zir. Oleh sebab itu, hal tersebut diserahkan kepada hakim

dengan memperhatikan jenis jarimah, pelaku, tempat, situasi,

dan kondisi. Sementara itu, mengenai batas minimum juga tidak

75
Makhrus Munajat, Hukum Pidana..., h. 203
76
M.Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam..., h. 102
ada kesepakatan dikalangan ulama. Menurut sebagian ulama,

seperti Imam Al-Mawardi, batas minimum hukuman penjara

adalah satu hari. Akan tetapi, menurut Ibnu Qudamah , tidak ada

ketentuan yang pasti karena diserahkan kepada penguasa atau

hakim. Ibnu qudamah melanjutkan, apabila hukuman penjara

(ta’zir) ditentukan batasnya, sama dengan had dan itu berarti

tidak ada bedanya antara hukuman had dan ta’zir.

Sedangkan hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi

waktunya. Dengan kata lain, berlangsung terus sampai orang

yang terhukum itu meninggal atau bertobat. Hukuman ini

dikenakan antara lain kepada orang yang dituduh membunuh

dan mencuri, melakukan liwath, mempratikkan sihir, serta

mencuri untuk ketiga kalinya.

2. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan dijatuhkan kepada pelaku jarimah

yang dikhawatirkan membawa pengaruh buruk kepada orang

lain sehingga pelakunya harus diasingkan.

Ulama berbeda pendapat mengenai tempat pengasingan.

Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya

menjauhkan (membuang) pelaku dari negeri Islam ke negeri

bukan Islam. Menurut Umar Bin Abdul Aziz dan Said Bin

Jubayyir, pengasingan itu artinya dibuang dari satu kota ke kota

lain. Imam Syafi’i berkata bahwa jarak kota asal dengan kota
pembuangan adalah jarak perjalanan qasar. Maksud

pembuangan itu adalah untuk menjauhkannya dari keluarga dan

tempat tinggalnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan satu

pendapat dari Imam Malik, pengasingan itu artinya

dipenjarakan.

Lamanya masa pengasingan juga tidak ada kesepakatan

dikalangan fuqaha.

“Menurut Syafi’i dan Hanabilah, masa pengasingan tidak


boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa
pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah masa pengasingan bisa
lebih dari satu tahun sebab pengasingan disini merupakan
hukuman ta’zir, bukan hukuman had.”77

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan

tetapi, mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan

menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa atau hakim.

Abu Hanifah Al-Mu’ayyid Billah, Murtadha, berpendapat bahwa

hukuman bagi pelaku liwath adalah dengan hukuman ta’zir. Hal ini

karena praktik itu tidaklah termasuk zina. Karena itu, hukuman atas

praktik itu tidak sama dengan hukuman zina. Menurut mereka zina

merupakan nama bagi senggama yang dilakukan oleh seorang laki-laki

melalui lubang depan (qubul). Sedangkan liwath merupakan nama bagi

persetubuhan yang dilakukan seorang lelaki kepada sesama lelaki.

Bagaimana bisa liwath dikatakan zina sementara para sahabat lebih

77
Makhrus Munajat, Hukum Pidana..., h. 207
faham dengan bahasa dan arti-arti yang dimaksud. Seandainya liwath

sama dengan zina maka dalil tidak akan membuat mereka berselisih dan

berijtihad.

Dari berbagai pendapat diatas tentang hukuman bagi pelaku

liwath/Pedofilia Syaukani men-tarjihkan (menguatkan) pendapat yang

pertama yang mengatakan bahwa hukuman liwath/Pedofilia adalah

hukuman mati dan menganggap dhaif pendapat lainnya. Sebab besarnya

dosa perbuatan ini menarik siksaan yang amat pedih yang akan mencabut

perbuatan itu sampai ke akar-akarnya, dapat menghancurkan hawa nafsu

para fasiq yang selalu melakukan kekejian dan menghukum orang-orang

yang selalu berbuat kerusakan. Tidak ada cara lain yang lebih mengena

dan bermanfaat didalam mewujudkan maksud-maksud itu selain dari

hukuman bunuh.

Dari berbagai macam bentuk hukuman bagi pelaku Pedofilia,

peneliti lebih setuju kepada hukuman mati dengan alasan :

1) Umumnya pelaku liwath/Pedofilia diperintahkan untuk dibunuhhal ini


karena banyak riwayat hadits yang memerintahkan untuk membunuh

pelaku perbuatan ini, diantaranya hadits dari Ibnu Abbas riwayat

Ahmad, Abu Dawud (hadits no. 4462), Ibnu Majah (hadits no. 2561),

At-Tirmidzi (hadits no.275), Al-Hakim (hadits no. 355), dan Al-

Baihaqi, hadits itu berbunyi :

ِ ‫عـبْـدُ ْالـ َع ِـزي‬


‫ْـر‬ ُ ‫صـبَّاحِ َوأَب ُْـو َبـ ْك ِـر‬
َ ‫ ثـنا‬: ‫بـن خَـال ٍد قَاال‬ ُ ‫َحـدَّثَـنَا ُمـ َحـ َّمـدُ ب‬
َّ ‫ْـن الـ‬

‫َّاس أ َ َّن‬
ِ ‫عـب‬
َ ‫ْـن‬
ِ ‫ـن اب‬
ِ ‫ع‬َ ,َ‫ـن ِعـ ْك ِـر َمـة‬
ْ ‫ع‬ َ ‫ْـن أَبِى‬
َ ,‫ع ْـم ِـرو‬ ِ ‫ع ْـم ِـروب‬ ْ ‫ع‬
َ ‫ـن‬ ُ ‫ب‬
َ ,ٍ‫ْـن ُمـ َحـ َّمـد‬
َ ‫ـن َو َجـ ْد تُـ ُمـوهُ يَـ ْعـ َمـ ُل‬
ِ ‫عـ َمـ َل َق‬
‫ـوم‬ َ َّ‫سـل‬
ْ ‫ ( َم‬: ‫ـم قَا َل‬ َ ُ‫صـلَّى هللا‬
َ ‫عـلَـ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬
ُ ‫َر‬

‫ ( روى الحـديـشيـن اب ماجـه رقـمى‬.) ‫ـواالفَا ِعـ َل َو ْالـ َمـ ْفـعُ ْـو َل ِب ِه‬
ْ ُ‫ـوط فَـ ْقـتُـل‬
ِ ُ‫ل‬

) 2561

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan


Abu Bakar bin Khalad, keduanya berkata; telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Amru bin Abu Amru dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,“Barangsiapa dari kalian yang menemukan orang
yang melakukan perbuatan kaum nabi Luth, maka bunuhlah pelaku
dan obyek dari pelaku itu”.(HR. Ibnu Majah hadits no. 2561)

2) Pendapat yang mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan

liwath sebagaimana hukuman zina, ini tidak bisa dijadikan pegangan

karena hujjahnya lemah, diantara hujjah mereka adalah hadits dari

Abu Musa Al-Asy’ary r.a,78 dia berkata Rasulullah Saw bersabda :

ِ ‫ فَ ُه َما زَ ا ِن َي‬,‫الـر ُجـ َل‬


.‫ان‬ َّ ‫اِذَا أَتَى‬
َّ ‫الـر ُجـ ُل‬
“Apabila seorang laki-laki menyetubuhi laki-laki lain, maka
mereka berdua telah berzina”. (HR. Baihaqi)

Hadits ini dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah.79

3) Pendapat Imam Syaukani yang men-tarjihkan (menguatkan) pendapat

pertama yang mengatakan bahwa hukuman liwath/Pedofilia adalah

dibunuh dan menganggap dhaif pendapat yang mengatakan hukuman

liwath sama seperti hukuman zina dan pendapat yang mengatakan

pelaku liwath dihukum ta’zir.

B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Tindak Kejahatan Pedofilia

78
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., h. 275
79
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., h. 275
1. Definisi Pedofilia

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana

melakukan perbuatan melanggar kesusilaan dengan seorang anak di bawah

umur dari jenis kelamin yang sama ataupun yang di dalam doktrin sering

disebut Homoseksualitas oleh pembentuk undang-undang. Aturan ini telah

diatur dalam pasal 292 KUHP yang rumusan aslinya di dalam bahasa

Belanda berbunyi sebagai berikut80 :

“De meerderjarige die met een minderjarige van hetzelfde geslacht,


wiens minderjarige hij kent of redelijkerwijs moet vermoeden, ontucht
pleegt, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren”

“Orang dewasa yang melakukan suatu tindakan melanggar


kesusilaan dengan anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, yang
kebelum-dewasaannya ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”

Sejak saat Wetboek van Strafrecht terbentuk pada tahun 1881 hingga

saat mulai diberlakukan di negeri Belanda pada tahun 1886, para pembentuk

Wetboek van Strafrecht belum melihat homoseksual sebagai perbuatan yang

perlu dilarang dan diancam dengan pidana, tetapi baru 25 tahun kemudian

masalah homoseksualitas mulai dibicarakan di dalam parlemen dan setelah

melalui suatu perdebatan yang sengit, barulah parlemen kerajaan Belanda

dapat menerima untuk memandang homoseksualitas dalam arti terbatas

sebagai sesuatu yang perlu dilarang dan diancam dengan pidana didalam

undang-undang.

80
Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma
Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h. 152
Parlemen kerajaan Belanda menerima untuk memandang

homoseksualitas dalam arti terbatas sebagai sesuatu yang perlu dilarang dan

diancam dengan pidana, hanyalah terbatas pada homoseksualitas yang

dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan anak-anak dibawah umur.

“Tindak pidana homoseksual itu, pembentuk undang-undang yang


diatur dalam suatu ketentuan pidana, yang kemudian dengan undang-undang
tanggal 20 Mei 1911, Staatsblad tahun 1911 No. 130 telah ditambahkan ke
dalam Wetboek van Strafrecht yang dewasa ini dikenal sebagai ketentuan
pidana yang diatur dalam pasal 248 bis Wetboekvan Strafrecht atau sebagai
ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 292 KUHP.”81

Jadi, istilah Pedofilia dalam KUHP merujuk pada perbuatan

homoseksual, tidak hanya ditujukan bagi pelaku laki-laki dewasa dengan

korban anak laki-laki, akan tetapi juga ditujukan bagi pelaku perempuan

dewasa dengan anak perempuan di bawah umur.

2. Dasar Hukum Pedofilia

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP merupakan induk dari berbagai ketentuan pidana yang ada

di Indonesia, yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I Ketentuan Umum,

buku II tentang Kejahatan dan buku III tentang Pelanggaran. KUHP

membagi semua tindak pidana yang termuat di dalamnya menjadi dua

golongan besar yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran

(overtredingen). Penggolongan ini praktis penting karena di dalam

KUHP terdapat ketentuan yang hanya dapat dikenakan terhadap

kejahatan saja seperti dalam hal percobaan dan penyertaan.

81
Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus..., h. 152
“Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dirumuskan
dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294,
Pasal 295, dan Pasal 296 yang semuanya merupakan kejahatan. Beberapa
jenis delik kesusilaan yang diatur dalam KUHP dalam perkembangannya
banyak juga terjadi pada kejahatan seksual. Seperti adanya fenomena
Pedofilia yang nyata-nyata bertentangan dengan kesusilaan. Apabila
muncul perbuatan atau kejahatan Pedofilia, maka akan digunakan pasal-
pasal dalam Bab XIV yang berkaitan dengan unsur tindak pidana dari
jenis kejahatan tersebut.”82

Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP yang dekat dengan

pengertian Pedofilia dan dapat digunakan terhadap perbuatan Pedofilia

ini antara lain pasal-pasal tentang kejahatan kesusilaan dalam Bab XIV

yaitu pasal tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul yang

dirumuskan sebagai kejahatan yang termuat dalam Pasal 289, Pasal 290,

Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, dan Pasal 296 KUHP sebagai

berikut :

Pasal 289 :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun”
Pasal 290 :
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin,

82
Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus..., h. 153
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau
bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.

Pasal 291 :
1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285,286,287 dan 290
mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.

Pasal 292 :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun”

Pasal 293 :
1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau
dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa
dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum ke-
dewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya yang dilakukannya itu.
3) Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah
masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan.

Pasal 294 :
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau
bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam
penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah
piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke
dalamnya.

Pasal 295 :
1) Diancam :
1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa yang
dalam hal anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di
bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang
belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau
penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh pembantunya
atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan sengaja
menyebabkan dan mempermudah dilakukan perbuatan cabul
dengannya.
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa
yang dalam hal dilakukannya perbuatan cabul oleh orang selain
yang disebutkan dalam butir 1 tersebut di atas yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa dengan orang
lain, dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
dilakukannya perbuatan cabul tersebut.
3. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian
atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 296 :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
lima belas ribu rupiah.”

b. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,

martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-
undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak

adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang

berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Meskipun Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan

kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak

namun terkait hal ini masih memerlukan suatu undang-undang mengenai

perlindungan anak sebagai landasan yuridis pelaksanaan kewajiban dan

tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-

undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak

dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan

nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anakterdapat dalam Bab XI A Pasal 81, dan Pasal 82

dimana pasal-pasal ini diubah dan ditambah oleh Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyangkut perihal hukuman Kebiri :

Pasal 81 :

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76D83 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,
aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih
dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku.
7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik.
8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-
sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan.
9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 81A :

83
Pasal 76D : “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan
memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan
setelah terpidana menjalani pidana pokok.
2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan
kesehatan.
3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal 82 :

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76E84 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,
aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih
dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat,gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku.
6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik.

84
Pasal 76E : “Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-
sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan.
8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.”

Pasal 82A

1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6)


dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana
pokok.
2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan
kesehatan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Bentuk-Bentuk Hukuman Pedofilia

a. Hukuman Mati

Hukuman mati adalah puncak dari segala hukuman. Hukuman mati

bagi pelaku Pedofilia didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat 5 :

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal


76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Pedofilis dihukum mati apabila dalam perbuatannya menimbulkan

korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, korban


mengalami gangguan jiwa, terjangkit penyakit menular, hilangnya fungsi

reproduksi, dan/atau mengakibatkan korban meninggal dunia.

b. Hukuman Penjara

Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan

kemerdekaan. Pidana penjara bagi Pedofilis (pelaku) didasarkan pada

beberapa aturan di bawah ini :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 290 ayat 2 dan 3 :

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :


2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun
atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya
untuk kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang
lain.

Pasal 291 :
1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289 dan
290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285,286,287 dan 290
mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.

Pasal 292 :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.”
Dari aturan diatas diketahui bahwa Pedofilis dihukum 7 tahun

penjara jika korban adalah anak yang berusia dibawah 15 tahun atau

belum masanya untuk dikawin. Selain itu jika perbuatan tersebut

menyebabkan luka berat pada tubuh, maka dihukum 12 tahun penjara

dan 15 tahun penjara apabila menyebabkan korban meninggal.

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat 1 dan 5 :

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 82 :

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pedofilis diancam dengan pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 ayat 1

apabila melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan

tipu muslihat, serangkaian kebohongan, membujuk atau memaksa

Anak melakukan persetubuhan dengannya, pelaku dapat dikenai

pidana penjara paling singkat 5 (lima) dan paling lama 15 (lima belas)
tahun. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat, gangguan

jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi

atau menyebabkan korban meninggal dunia maka pelaku dapat

dipidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun.

c. Hukuman Denda

“Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk

mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan

pembayaran sejumlah uang tertentu.”85 Pidana denda bagi Pedofilis

(pelaku) didasarkan pada Perpu RI No. 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Pasal 81 :

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 82 :

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pedofilis diancam dengan pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 ayat 1

apabila melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu

muslihat, serangkaian kebohongan, membujuk atau memaksa Anak

85
R. Tressna, Asas-Asas Hukum Pidana..., h. 130
melakukan persetubuhan dengannya, pelaku dapat dikenai pidana denda

paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

d. Hukuman Kebiri

Ada dua macam bentuk hukuman kebiri yaitu :

1. Surgical Castration (Kebiri Bedah)

Secara prosedur, kebiri bedah adalah proses mengurangi atau

bahkan menghilangkan gairah seksual baik pria maupun wanita.

Namun, pada masa kelam Eropa pengebirian bedah dilakukan sebagai

salah satu hukuman atas pelanggaran yang lebih terarah kepada aliran

sesat atau ilmu hitam. Pengebirian bedah pada wanita dicapai dengan

cara menghilangakn sel telur pada ovarium atau disebut dengan

oophorectomy. Selama proses operasi atau oophorectomy ini relatif

memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Setelah operasi pun wanita

membutuhkan waktu sekurangnya 4 sampai 6 minggu untuk pulih

sebelum berkatifitas secara normal. Sedangkan pada pria pengebirian

bedah memiliki prosedur yang relatif sederhana dan biasanya dapat

beraktifitas kembali secepat mungkin setelah operasi.86

Kebiri bedah memang dianggap sangat efektif dalam

mencapai beberapa tujuan yang salah satunya adalah menurunkan

gairah seksual kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual untuk

86
Ahmad Sandi, Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Peluang Penerapannya Di Indonesia, (Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015), h. 49
mencegah timbulnya residivisme. Pengebirian bedah membawa

beberapa konsekuensi jangka panjang antara lain87 :

a. Seutuhnya mengalami kemandulan

b. Hilangnya kemampuan untuk mencapai ereksi atau kekuatan

massa otot dan hilangnya hasrat

c. Sulit menjalin kontak seksual dengan lawan jenis

d. Bulu pada bagian muka dan kemaluan akan berhenti tumbuh

e. Ketidakmampuan untuk memproduksi hormon testosteron

f. Hilangnya simbolik kedewasaan dan kewanitaan

g. Infeksi jangka panjang

Efek samping diatas merupakan hal yang umunya terjadi bagi

para tindak pidana yang menjalani hukuman kebiri bedah. Dengan

berjalannya waktu serta perkembangan zaman yang merubah

pemikiran orang Eropa pada umumnya, hingga lahirlah beberapa

pemikiran tentang human right yang menganggap bahwa pengebirian

bedah adalah suatu hukuman yang dianggap keji dan tidak sesuai.

Alasan tersebut didasari perkembangan medis yang menjadi dasar

hukuman kebiri kimia atau injeksi antiandrogen timbul sebagai salah

satu alternatif yang dirancang untuk tetap memberikan hukuman

namun disesuaikan dengan keadaan.

2. Chemical Castration (Kebiri Kimia)

87
Ahmad Sandi, Hukum Kebiri..., h. 50
Pada tahun 1996 California menjadi negara bagian pertama yang

memberlakukan undang-undang yang mengatur pengebirian kimia

sekitar sebulan setelah RUU California ditandatangani menjadi

undang-undang.88

Memang pengebirian kimia tidak benar-benar menghapus rahim

atau testis seseorang melainkan mengubah fisiologi pelaku melalui

suntikan dengan obat khusus yang biasa disebut devo-provera.

Prosedur ini dimaksud untuk mencapai tujuan yang sama dengan

kebiri bedah, oleh karena itu legislatif di beberapa negara bagian

Amerika Serikat menetapkan pengebirian kimia sebagai bentuk

hukuman yang tepat bagi para pelaku tindak pidana kekeran

seksual.

Selain California, Florida adalah salah satu negara bagian di

Amerika Serikat yang memberlakukan hukum kebiri pada tahun

1997 sesuai dengan pasal 97-184. Dengan diberlakukannya hukuman

kebiri tersebut adalah bentuk usaha untuk menindaklanjuti banyaknya

kasus mengenai pelecehan seksual dan kekerasan seksual terutama

pada anak- anak.89

Fungsi dari pengebirian kimia itu sendiri adalah sebagai metode

sterilisasi, mengurangi libido seksual pelaku dan pengobatan untuk

kondisi medis tertentu, serta tujuan yang ingin dicapai yaitu

retribution, deterrence (pencegahan), incapacitation

88
Ahmad Sandi, Hukum Kebiri..., h. 51
89
Ahmad Sandi, Hukum Kebiri..., h. 51
(ketidakmampuan), rehabilitation (rehabilitasi). Menurut para pakar

kriminolog berpendapat apabila tujuan tersebut tidak dicapai

secara keseluruhan masih dianggap lebih baik daripada hukuman

penjara saja yang berlakukan.

Kebiri kimia berbeda dengan kebiri fisik yang memotong penis

atau testis (kantung sperma). “Kebiri kimia adalah memasukkan (baik

melalui suntikan maupun pil) bahan kimia antiandrogen90 kedalam tubuh

dengan tujuan akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau birahi

seksual pelaku kejahatan seksual termasuk para pelaku Pedofilia.”91

Hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual di Indonesia diatur

dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik

Indonesia nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu :

Pasal 81 ayat 7

“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat


(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik.”
Pasal 81A
1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan
setelah terpidana menjalani pidana pokok.
2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan
kesehatan.
3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

90
Antiandrogen adalah hormon zat lain yang menggantikan atau menghalangi masuknya
androgen didalam inti sel hormon. Zat ini menghambat sekresi testosteron dari testis tapi ia sendiri
secara biologis atau fungsional tidak aktif atau lemah.
91
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015), h. 53
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Hukuman kebiri kimia dilaksanakan untuk jangka waktu paling

lama dua tahun setelah terpidana menjalani pidana pokok. Kemudian

pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi di bawah

pengawasan kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum, sosial dan kesehatan secara berkala.

4. Kasus-Kasus Pedofilia di Indonesia

a. Kasus Pedofilia Robot Gedek

Siswanto atau lebih dikenal dengan Robot Gedek, hidup dijalanan

sejak berusia empat tahun. Sejak kecil seringkali menerima cacian,

penghinaan, pukulan, tendangan dari orang tuanya dan dari orang dewasa

lain yang berada disekitarnya. Pria kelahiran Ketandan, Batang, Jawa

Tengah ini bertinggi badan tidak lebih dari 150 cm. Ketika beranjak

dewasa dia hidup sebatang kara sebagai seorang gelandangan dan bekerja

sebagai pemulung.

Robot Gedek ditangkap oleh Polisi di stasiun Kereta Api Tegal

pada Sabtu, 27 Juli 1996. Ia ditangkap oleh aparat penegak hukum karena

telah melakukan sodomi sejumlah anak jalanan dan kemudian

membunuhnya.

“Menurut pengakuannya, ia telah melakukan sodomi dan

membunuhnya tidak kurang dari delapan anak jalanan yang berusia

berkisar 11-15 tahun. Sodomi dan pembunuhan ini dilakukannya selama

dua tahun yaitu 1994 sampai 1996 di Jakarta dan Jawa tengah (Kroya dan
Pekalongan).”92 Dalam melakukan aksinya, Robot Gedek melakukan

pendekatan persuasif kepada anak-anak calon korbannya.Pendekatan ini

biasanya dilakukan dengan cara membujuk korban dengan memberikan

uang sebesar seribu rupiah. Tidak hanya memberikan uang, Robot Gedek

selalu mengajak anak-anak calon korbannya untuk bersenang-senang

bermain ding-dong. Atas perbuatan jahatnya, Robot Gedek diproses

secara hukum. Dalam persidangan Robot Gedek dituntut hukuman mati

oleh Jaksa Penuntut Umum. “Pengadilan menilai kejahatan yang

dilakukan oleh Robot Gedek itu adalah kejahatan yang terencana dan

perhitungan yang matang, oleh karena itu maka dalam persidangan yang

berlangsung 1997, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis

mati kepada Robot Gedek.”93

b. Kasus Pedofilia Babe

“Baekuni adalah nama asli dari seorang pria yang dipanggil dengan

sebutan Babe. Babe adalah anak seorang petani miskin di daerah

Magelang, Jawa Tengah. Dia dilahirkan pada tahun 1961.”94

Babe kecil dianggap sebagai anak yang tidak cerdas karena

disekolahnya sering tidak naik kelas. Hal inilah yang kemudian membuat

orang tua Babe sering melakukan kekerasan terhadapnya, baik kekerasan

fisik maupun verbal.

92
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 68
93
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 71
94
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, (Bandung : Refika Aditama, 2001), h. 125
“Sama halnya seperti Robot Gedek, untuk mendekati korbannya,

cara yang dilakukan oleh Babe adalah melakukan pendekatan persuasif

terhadap calon korbannya. Walaupun ada kesamaan cara pendekatan,

namun ada perbedaan antara Robot Gedek dan Babe yaitu Babe hanya

mendekati anak-anak yang bersih untuk menjadi korbannya sedangkan

Robot Gedek tidak.”95

Setelah korban berhasil didekati Babe, tindakan selanjutnya adalah

mengajak anak laki-laki calon korbannya tersebut untuk berhubunga

seksual. Jika si-calon korban menolak, maka ia akan dibunuh lalu

disodomi.

“Perilaku jahat Babe terungkap ketika orang tua Ardiansyah


(korban) melapor ke polisi bahwa anaknya tersebut telah hilang.
Berdasarkan laporan tersebut, maka aparat penegak hukum membongkar
kasus tersebut. Dari sinilah kemudian kejahatan dan kekerasan seksual
terhadap anak yang dilakukan Babe terungkap. Ketika diperiksa di
Kepolisian Daerah Metro Jaya, Babe mengaku bahwa telah membunuh
dan kemudian melakukan sodomi terhadap tujuh orang anak. Empat
diantaranya dimutilasi dan yang lainnya hanya dibunuh saja tanpa
dimutilasi.”96

“Atas perbuatannya ini, Babe divonis hukuman seumur hidup oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 6 Oktober 2010. Putusan vonis

dari Pengadilan Negeri ini tidak diterima oleh Babe, karena menurutnya

vonis itu terlalu berat.”97 Oleh karena itu ia melakukan upaya hukum

banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, namun justru Babe dijatuhi

hukuman mati. Tidak berhenti disini saja, tim pengacara Babe melakukan

95
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 73
96
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 75
97
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h 76
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, namun upaya hukum tersebut

ditolak.

c. Kasus Pedofilia Di Jakarta International School (JIS)

“Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta International


school terungkap ketika salah satu orang tua murid dari JIS memberikan
laporan kepada pihak kepolisian (Polda Metro Jaya) bahwa laki-lakinya
telah mengalami kekerasan seksual dengan cara disodomi oleh beberapa
petugas kebersihan (cleaning service) di sekolah tersebut. Tidak hanya
itu saja, karena kekerasan seksual tersebut, anaknya tersebut tertular
penyakit Herpes.”98

Ada 6 petugas kebersihan yang dibekuk oleh polisi untuk dimintai

keterangan. Diantara ke-6 petugas kebersihan tersebut, tiga diantaranya

yaitu Agun, Firziawan dan Afrisca Setyani memberikan keterangan

tentang bagaimana mereka melakukan kekerasan seksual terhadap anak

di JIS. Salah satu kekerasan seksual yang mereka lakukan yaitu kepada

anak berinisial AK berusia enam tahun yang merupakan murid taman

kanak-kanak di JIS.

Para pelaku diperiksa oleh kepolisian Polda Metro Jaya secara

intensif. Dalam proses pemeriksaan tersebut, satu diantara tersangkanya

bernama Azwar bunuh diri di dalam sel Polda Metro Jaya tepatnya di

dalam kamar mandi dengan cara meminum cairan pembersih toilet.

“Seiring berjalannya proses pemeriksaan terhadap tersangka

kejahatan seksual, kasus-kasus serangan para Pedofilis di JIS

98
M.Nurul Irfan, Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual, (Jakarta : Amzah, 2014), h. 126
bermunculan, hal ini ditandai dengan tindakan para orang tua murid yang

melaporkan adanya kejahatan Pedofilia yang dialami oleh anak-anak lain

selain AK di JIS”.99 Bahkan dari laporan tersebut terindikasi bahwa para

pelaku kejahatan Pedofilia tidak hanya berasal dari para petugas

kebersihan tetapi beberapa guru yang mengajar di JIS juga dilaporkan

telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak didiknya di JIS.

Berdasarkan laporan dari orang tua murid tersebut, guru-guru yang

berasal dari luar negeri diperiksa oleh pemerintah.

“Dalam pemeriksaan tersebut terungkap ada sebanyak 20 guru dari

Amerika Serikat, Taiwan, Kanada, Singapura dan Australia yang

menyalahi izin tinggal. Dan yang paling banyak yaitu guru dari Amerika

Serikat. Salah satu pelanggaran izin tinggal yang mereka lakukan yaitu

tidak sesuainya pekerjaan yang dilaporkan ke kantor keimigrasian

dengan kenyataannya.”100 Ke-enam petugas kebersihan ini dituntut

dengan pasal 292 KUHP dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

d. Kasus Pedofilia Emon

Ahmad Sobari atau akrab dipanggil dengan Emon karena tingkah

laku dan lenggak-lenggoknya yang kemayu. Emon adalah anak remaja

berusia 24 tahun yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Kesulitan

99
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 79
100
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 80
ekonomis dirasakannya semenjak dia masih anak-anak hingga saat dia

sudah bekerja sebagai buruh pabrik bernama PT. Inaco.

Kejahatan Emon terungkap ketika seorang bernama Juanda, ayah

dari seorang anak yang mengaku hampir menjadi korban sodomi Emon

melapor ke pihak POLRES Sukabumi.

Dalam melakukan kejahatan seksualnya, Emon selalu menjanjikan

untuk memberikan uang kepada calon-calon korbannya uang sebesar Rp.

25.000 sampai Rp. 50.000. Anak-anak yang menjadi korban berusia

berkisar 6-13 tahun. “Menurut pengakuan Emon, korban-korbannya

selalu dibawa ke semak-semak dan motel kosong yang tidak terurus di

sekitar pemandian air panas yang letaknya jauh dari keramaian. Selain

dua lokasi tersebut, tempat lain yang menjadi favorit Emon adalah toilet

atau WC masjid, kolong jembatan dan di rumah nya sendiri pada waktu

sore hari sepulang kerja.”101

Menurut pengakuan Emon, calon-calon korbannya tak pernah

berkata tidak. Apabila menolak, calon korban akan terus dirayunya atau

menurut pengakuan beberapa korban, diseret ke tempat eksekusi dan

kemudian disodomi secara paksa. Setiap anak yang menjadi korban

selalu disodomi oleh Emon sebanyak 2 sampai 3 kali, bahkan ada yang

sampai 7 kali”.102Dan setelah setiap kali melakukan sodomi terhadap

korbannya Emon selalu menepati janjinya yaitu memberikan uang

sebesar Rp. 25.000 sampai 50.000.

101
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 90
102
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 90
Akibat negatif dari kekerasan seksual terhadap anak yang

dilakukan oleh Emon tersebut, dari 13 korban yang diperiksa oleh pihak

kepolisian yang bekerjasama dengan dokter kepolisian, ada 3 anak yang

mengalami kerusakan parah pada anusnya. Anus rusak dan berdarah dan

jika buang air besar, anak akan merasakan sakit yang luar biasa dan

mengeluarkan darah yang tidak sedikit.

Semenjak Emon dilaporkan oleh Juanda dan kemudian kasusnya

meledak di media masa, banyak orang tua yang berasal dari Sukabumi

melapor ke POLRES Sukabumi untuk melapor hal itu. Tercatat sebanyak

110 orang tua yang melapor. Namun dari hasil pemeriksaan yang

dilakukan oleh petugas kepolisian, sekitar 50-an anak yang sudah

dipastikan menjadi korban kejahatan seksual Emon.

“Menurut pengakuan Emon sendiri, anak-anak yang telah menjadi


korban sodomi adalah 55 anak. Sedangkan jumlah anak yang ada di
dalam catatan buku harian miliknya adalah 120 anak. Jumlah ini,
menurut Emon, ada yang calon dan ada yang sudah menjadi korban.
Emon mengaku, dia selalu mencatat anak-anak yang akan menjadi
korban dan telah menjadi korban. Alasan Emon menuliskannya di buku
harian adalah sebagai fantasi ketika muncul keinginan untuk
bersetubuh.”103

Atas tindakan tersebut, Emon diancam dengan pasal 82 Undang-

undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak j.o pasal 293

KUHP tentang Pencabulan Anak dan pasal 64 KUHP tentang Perbuatan

Berlanjut.

e. Kasus Pedofilia Di Taman Pendidikan Al-Qur’an

103
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 93
Kasus ini terjadi di sebuah Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) di

sekitar kompleks rumah susun sewa daerah Marisso, Makasar, Sulawesi

Selatan. Ada pun pelaku kekerasan seksual di TPA tersebut bernama

Lukman, petugas kebersihan di Masjid Nur Ilham.

Lukman oleh warga setempat dipercayai sebagai guru mengaji di

komplek perumahan rumah susun itu, di TPA di kawasan pesisir pantai.

Tidak hanya itu, Lukman juga diberi tempat tinggal di kamar berukuran

kecil di dekat masjid.

“Berdasarkan pengakuan Lukman di Kepolisian dalam kasus ini dia


telah melakukan sodomi terhadap lima orang anak (santri) di Taman
Pendidikan Al-qur’an itu di tahun 2013 dan 2014. Menurut
pengakuannya, ia melakukan hal itu karena pada masa kecilnya di juga
pernah di sodomi oleh orang dewasa. Dan oleh karena itulah dia ingin
merasakan sendiri bagaimana rasanya jika dia yang melakukan
sodomi.”104

Kasus ini terbongkar ketika salah satu korban berinisial I (berumur

sembilan tahun) santri TPA dan juga siswa kelas 4 SD di kecamatan

Mariso, mengadu kepada orang tuanya jika ia pernah disodomi oleh

Lukman di kamar tempat tinggal Lukman dan di ruang sekretaris TPA

sepulang mengaji. Ibu yang mendapatkan pengaduan dari anaknya

tersebut langsung melapor ke MAPOLSEKTA Mariso.

Petugas Kepolisian yang mendapatkan laporan dari orang tua I

langsung bergerak dan meringkus Lukman. Atas perbuatannya tersebut

Lukman dijerat dengan pasal 392 KUHP dengan hukuman lima tahun

penjara.

104
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 95
f. Kasus Pedofilia Samai Alias Ropii

Korban sodomi berinisial EM (berumur 14 tahun) pada 21 Mei

2014 ditemani oleh orang tuanya memberikan laporan kepada pihak

Kepolisian POLRES Tegal bahwa dirinya telah menjadi korban sodomi

dari seorang buruh serabutan bernama Samai alias Ropii, yang bertempat

tinggal di desa Lebaksiu Lor RT. 02 RW. 02 Kecamatan Lebasiu

Kabupaten Tegal, provinsi Jawa Tengah. Menurut pengakuan dari EM

dia mendapatkan kekerasan seksual dari Samai di tepi sungai di Desa

Kambangan Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal.

Berdasarkan laporan dari EM, kemudian pihak kepolisian POLRES

Tegal meringkus Samai alias Ropii untuk diperiksa dan dimintai

keterangan. Setelah dimintai keterangan oleh polisi, diketahui bahwa

tidak hanya EM yang menjadi korban, tetapi ada ratusan anak yang telah

menjadi korban prilaku seksualnya yang menyimpang.

“Untuk memperkuat alat bukti atas laporan dari korban EM dan


pemeriksaan korban-korban lainnya serta keterangan yang diberikan oleh
Samai, pihak kepolisian POLRES Tegal melakukan penggeledahan di
rumah Samai. Dari penggeledahan tersebut ditemukan ratusan nomor
seluler HandPhone) dan puluhan foto yang didalammnya terdapat
gambar Samai dan anak-anak korban sodominya. Barang lain yang
ditemukan oleh pihak kepolisian adalah beberapa gelang perempuan,
bedak perhiasan, sembilan SIM card dan 20 foto perempuan.”105

Menurut pengakuan Samai sendiri, sama seperti halnya Robot

Gedek, Babe, Emon dan Lukman, sewaktu kecilnya pernah menjadi

korban sodomi oleh orang dewasa yang tidak dikenalnya. Atas

105
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum..., h. 98
perbuatannya Samai diancam hukuman dengan 15 tahun penjara sesuai

pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Berdasarkan kasus konkret kekekerasan seksual terhadap anak

(Pedofilia) di Indonesia dimulai dari kasus Pedofilia Robot Gedek

(Siswanto) sampai kasus pedofilia Samai alias Ropii menunjukkan bahwa

aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum positif untuk memberi

hukuman atau sanksi kepada pelaku tidak seragam antar satu pelaku dengan

pelaku lainnya seperti yang ditunjukkan tabel dibawah ini:

Tabel 3.1
Pelaku Pedofilia Beserta Hukumannya

Pelaku Pasal Hukuman


Robot Gedek/Siswanto 340 KUHP Mati
Babe/Baekuni 340 j.o 365 ayat 1 Seumur Hidup
KUHP subsider 338 j.o
65 ayat 1 KUHP
Africa S, Agun dan 292 KUHP dan UU 5 tahun
Firziawan (Kasus JIS) Perlindungan Anak No.
23 tahun 2000
Emon 64 KUHP, 293 KUHP jo 15 tahun
82 UU Perlindungan
Anak No. 23 tahun 2000
Lukman 392 KUHP 5 tahun
Samai/Ropii 82 UU Perlindungan 5 tahun
Anak No. 23 tahun 2000
j.o 293 KUHP
Bedasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ketidakseragaman

hukuman yang diterima oleh pelaku Pedofilia dikarenakan oleh

ketidakseragaman karakter dari kasus itu sendiri dan penilaian terkait

seberapa banyak anak yang telah menjadi korban pelaku. Hal ini terlihat

dari kasus Pedofilia Emon dan Samai. Mereka berdua sama-sama

diancam dengan pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Demikian pula dengan Robot Gedek dan Babe. Dua

pelaku kekerasan seksual pada anak ini sama-sama dihukum seumur

hidup dan hukuman mati. Penjatuhan hukuman antara satu dengan

lainnya berbeda karena alasan jenis dan karakter dari kejahatan itu

sendiri yang berbeda-beda.


BAB IV

KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

TINDAK KEJAHATAN PEDOFILIA

A. Komparasi Definisi Pedofilia Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Perbedaan dan Persamaan

Perbedaan hukum Islam dan hukum positif yaitu dalam hukum Islam

belum dikenal istilah Pedofilia. Oleh sebab itu peneliti mengambil liwath

sebagai istilah yang paling mendekati dengan perbuatan tersebut. Alasan

yang peneliti gunakan yang pertama, pelaku dan objek perbuatan liwath dan

Pedofilia sama-sama laki-laki. Kedua, liwath dan Pedofilia adalah perbuatan

yang memasukkan dzakar (alat kelamin) ke dalam dubur (lubang belakang).

Sedangkan dalam hukum positif istilah Pedofilia dikenal dengan

Homoseksual sebagaimana yang terdapat dalam pasal 292 KUHP yang

berbunyi :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain


cxviiesame kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Istilah Pedofilia dalam pasal 292 KUHP diatas merujuk pada

perbuatan yang tidak hanya ditujukan bagi pelaku laki-laki dewasa dengan

korban anak laki-laki di bawah umur, akan tetapi juga ditujukan bagi pelaku

perempuan dewasa dengan anak perempuan di bawah umur.

Persamaannya yaitu hukum Islam dan hukum positif sama-sama

memaknai Pedofilia sebagai perbuatan yang dilarang, melanggar norma-

norma dan merupakan perbuatan yang menodai harkat dan martabat

manusia. Oleh sebab itu pelakunya dapat dihukum berat.

2. Kekurangan dan Kelebihan

Kekurangan hukum Islam adalah belum adanya istilah dan definisi

pasti mengenai perbuatan Pedofilia. Istilah lain yang mendekati perbuatan

semisal Pedofilia adalah liwath yang merupakan satu akar kata dengan nama

kaum Nabi Luth a.s dimana masyarakatnya tertarik dengan sesama jenis.

Kelebihan hukum positif yaitu sudah memiliki istilah yang pasti

mengenai perbuatan Pedofilia, bahkan istilah tersebut sudah ada sejak lama,

yaitu ketika KUHP dibuat. Namun karena perbuatan ini semakin parah,

maka pemerintah membuat undang-undang khusus yang mengatur

permasalahan tersebut yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23

Tahun 2002, lalu di revisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,

kemudian direvisi kembali menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


B. Komparasi Dasar Hukum Pedofilia Menurut Hukum Islam dan Hukum

Positif

1. Perbedaan dan Persamaan

Perbedaan hukum Islam dan hukum positif yaitu dalam hukum Islam

dasar hukum yang digunakan untuk menghukum pelaku Pedofilia adalah

Al-Qur’an surah Al-‘Araf ayat 84, dan surah Huud ayat 82-83, serta hadits

riwayat Ibnu Majah nomor 2561, hadits riwayat Abu Daud nomor 4462.

Sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh hukum positif yaitu pasal

289, pasal 290, pasal 292, pasal 293, pasal 294, pasal 295, dan pasal 296

KUHP, serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 81, pasal

81A, pasal 82, pasal 82A.

Persamaan hukum Islam dan hukum positif yaitu pelaku Pedofilia

diberi hukuman atas perbuatannya, sehingga hal ini dapat menjadi pelajaran

bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa.

2. Kekurangan dan Kelebihan

Kekurangan hukum Islam yaitu belum ada aturan khusus yang

mengatur tentang perbuatan Pedofilia. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan

dasar hukum perbuatan liwath sebagai dasar hukum perbuatan tersebut.

Sedangkan dalam hukum positif sudah ada peraturan yang mengatur

masalah Pedofilia, akan tetapi selalu berubah-ubah karena aturan tersebut


murni buatan manusia yang pasti banyak kelemahannya, sehingga harus

diperkuat dengan cara direvisi.

Kelebihan hukum Islam yaitu dasar hukum perbuatan Pedofilia adalah

Al-qur’an dan hadits. Dasar hukum ini sangatlah kuat karena umat Islam

tidaklah mungkin mengingkari Al-qur’an dan hadits yang merupakan

sumber hukum tertinggi yang wajib dilaksanakan, diyakini dan diikuti.

Selain itu aturan-aturan dalam Al-qur’an dan hadits tidak mungkin

mengalami revisi atau perubahan seperti pada KUHP dan Undang-undang

Perlindungan Anak. Sedangkan kelebihan hukum positif yaitu sudah ada

aturan khusus yang mengatur tentang perbuatan Pedofilia. Pedofilia telah

diatur dalam KUHP pasal 289, pasal 290, pasal 292, pasal 293, pasal 294,

pasal 295, dan pasal 296 KUHP. Akan tetapi, karena perbuatan Pedofilia

mengalami intensitas yang terus meningkat baik kualitas maupun kuantitas,

maka pemerintah membuat aturan khusus yang mengatur permasalahan

tersebut yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002,

lalu di revisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kemudian

direvisi kembali menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

C. Komparasi Bentuk-Bentuk Hukuman Pedofilia Menurut Hukum Islam

Dan Hukum Positif

1. Perbedaan dan Persamaan


Perbedaan hukum Islam dan hukum positif yaitu dalam hukum Islam

ada beberapa hukuman yang dapat digunakan untuk menghukum pelaku

Pedofilia yaitu :

a. Hukuman Mati

Para sahabat Rasulullah Saw, Nashir, Qasim bin Ibrahim dan

Syafi’i didalam salah satu fatwa mereka berpendapat bahwa hukuman

bagi pelaku liwath/Pedofilia adalah dibunuh meskipun ia belum menikah,

terlepas apakah ia menjadi pelaku atau menjadi objek.

Hukuman dengan di bunuh ini ada tiga model (cara membunuh)

bagi yang melakukan liwath dan model ini datang riwayatnya dari

sebagian sahabat, yaitu dibunuh dengan pedang, kemudian dibakar,

dilemparkan dengan batu, dijatuhkan dari tempat yang tinggi dan

dirobohi dinding.

b. Hukuman Pezina

Sa’id bin Musayab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah,

Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu thalib, Imam Yahya, dan Syafi’i didalam

salah satu fatwa mereka berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku

liwath/Pedofilia adalah seperti hukuman bagi pelaku zina.” Apabila

pelakunya belum menikah, dia dicambuk dan diasingkan. Sementara itu,

bila pelakunya sudah menikah (muhsan), hukumannya adalah dirajam.106

c. Hukuman Ta’zir

106
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. M. Ali Nursyidi dan Hunainah M. Thahir Makmun
(Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009), h. 276
“Ta‘zir adalah hukuman yang disyari’atkan atas orang yang berbuat

dosa (maksiat), tidak berupa had dan tidak pula berupa qishash.”107

Berbeda dengan qishash dan hudud, bentuk sanksi ta’zir tidak disebutkan

secara tegas dalam Al-qur’an dan hadits. Untuk menentukan jenis dan

ukurannya menjadi wewenang hakim atau penguasa setempat. Tentu

dalam memutuskan suatu jenis dan ukuran sanksi ta’zir ini harus tetap

memperhatikan nash secara teliti dan mendalam sebab hal itu

menyangkut kemaslahatan umum. Hukuman ta’zir ada beberapa macam

yaitu :

2) Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan

a) Hukuman Mati

b) Hukuman cambuk

3) Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

a) Hukuman Penjara

b) Hukuman Pengasingan

Dari berbagai pendapat diatas tentang hukuman bagi pelaku

liwath/Pedofilia, Syaukani men-tarjih-kan (menguatkan) pendapat yang

pertama yang mengatakan bahwa hukuman liwath/Pedofilia adalah

hukuman mati, akan tetapi hukuman Ta’zir tetap dibutuhkan jika ternyata

alat bukti yang digunakan dinilai belum cukup untuk membuktikan bahwa

seseorang benar-benar telah melakukan tindak kekerasan seksual Pedofilia.

107
M. Nurul Irfan,Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016), h. 93
Peneliti juga berpendapat bahwa pelaku Pedofilia dihukum mati, hal

ini didasarkan pada beberapa alasan yaitu :

1) Umumnya pelaku liwath/Pedofilia diperintahkan untuk dibunuh hal ini

karena banyak riwayat hadits yang memerintahkan untuk membunuh

pelaku perbuatan ini, diantaranya hadits dari Ibnu Abbas riwayat Ahmad,

Abu Dawud (hadits no. 4462), Ibnu Majah (hadits no. 2561), At-Tirmidzi

(hadits no.275), Al-Hakim (hadits no. 355), dan Al-Baihaqi.

2) Pendapat yang mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan

liwath/Pedofilia sebagaimana hukuman zina, ini tidak bisa dijadikan

pegangan karena hujjahnya lemah.

3) Pendapat Imam Syaukani yang men-tarjihkan (menguatkan) pendapat

pertama yang mengatakan bahwa hukuman liwath/Pedofilia adalah

dihukum mati dan menganggap dhaif pendapat lainnya.

Kemudian, dalam hukum positif ada beberapa hukuman yang dapat

digunakan untuk menghukum pelaku Pedofilia yaitu :

a. Hukuman Mati

Hukuman ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 5. Tidak seperti hukum Islam yang

memiliki banyak cara dalam pelaksanaannya, dalam hukum positif

hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak mati.

b. Hukuman Penjara
Hukuman ini terdapat dalam KUHP Pasal 290 ayat 2 dan 3, Pasal

291 ayat 1 dan 2, dan Pasal 292. Serta Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat 1 dan 5, Pasal 82 ayat 1.

c. Hukuman Denda

Pidana denda bagi Pedofilis (pelaku) didasarkan pada Perpu RI

No. 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 81 ayat 1 dan 82 ayat 1

dengan denda maksimal Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

d. Hukuman Kebiri

Hukuman kebiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 7 dan pasal 81A.

Persamaan hukum Islam dan hukuman positif yaitu sama-sama

memiliki hukuman mati sebagai kuman maksimum yang dapat diberlakukan

bagi pelaku Pedofilia, akan tetapi dalam hukum Islam ada hukuman ta’zir

yang dibutuhkan jika alat bukti yang digunakan dinilai belum cukup untuk

membuktikan bahwa seseorang benar telah melakukan tindak kekerasan

seksual Pedofilia.

2. Kekurangan dan Kelebihan


Kekurangan hukum Islam yaitu belum ada ketentuan yang jelas

mengenai hukuman bagi pelaku Pedofilia. Hukuman bagi pelaku Pedofilia

disamakan dengan hukuman perbuatan liwath. Perbedaannya adalah pada

perbuatan liwath, pelaku dan objek perbuatan tersebut sama-sama dikenakan

hukuman. Sedangkan pada perbuatan Pedofilia hukuman hanya dikenakan

pada pelakunya saja, tidak pada korban.

Kelebihan hukum Islam yaitu adanya hukuman mati sebagai hukuman

maksimum dan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau hukuman

pengganti. Sedangkan kelebihan hukum positif yaitu sudah ada ketentuan

yang jelas mengenai hukuman bagi pelaku Pedofilia, selain itu hukum

positif selalu berusaha menghukum berat pelaku Pedofilia, hal ini

dibuktikan dengan adanya hukuman jenis baru yaitu hukuman kebiri kimia

dan pemasangan chip elektronik.


BAB V
PENUTUP

B. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Perbedaan dan Persamaan

Perbedaan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak kejahatan

Pedofilia yaitu pertama, dalam hukum Islam belum dikenal istilah Pedofilia,

untuk pengertian lain yang mendekati perbuatan tersebut adalah liwath.

Sedangkan dalam hukum positif dikenal dengan istilah Homoseksual.

Kedua, dasar hukum Pedofilia dalam hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan

hadits, sedangkan dalam hukum positif yaitu KUHP dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak. Ketiga, dalam hukum Islam pelaku

Pedofilia dapat dihukum mati atau dihukum ta’zir. Sedangkan dalam hukum

positif pelaku Pedofilia dapat dihukum mati, hukuman penjara, hukuman

denda dan hukuman kebiri.

Sedangkan persamaan hukum Islam dan hukum positif yaitu pertama,

hukum Islam dan hukum positif sama-sama memaknai Pedofilia sebagai

perbuatan yang dilarang, melanggar norma dan merupakan perbuatan yang

menodai harkat dan martabat manusia. Kedua, pelaku Pedofilia diberi

hukuman atas perbuatannya, sehingga hal ini dapat menjadi pelajaran bagi

masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa. Ketiga, hukum Islam

dan hukuman positif sama-sama memiliki hukuman mati sebagai hukuman

maksimum bagi pelaku Pedofilia, walaupun cara pelaksanaannya berbeda-

beda.

2. Kekurangan dan Kelebihan

Kekurangan hukum Islam dan hukum positif yaitu pertama, dalam

hukum Islam belum adanya istilah dan definisi pasti mengenai perbuatan

Pedofilia. Sedangkan, dalam hukum positif, sudah ada istilah dan definisi

yang jelas tentang Pedofilia. Kedua, dalam hukum Islam belum ada aturan

khusus yang mengatur tentang perbuatan Pedofilia. Sedangkan dalam

hukum positif sudah ada peraturan yang mengatur masalah Pedofilia.

Kelebihan hukum Islam yang pertama, dasar hukumnya sangatlah

kuat yaitu Al-qur’an dan hadits. Kedua, memiliki hukuman mati sebagai

hukuman maksimum dan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau


hukuman pengganti. Sedangkan kelebihan hukum positif, pertama sudah

memiliki istilah yang pasti mengenai perbuatan Pedofilia. Kedua, sudah ada

aturan khusus yang mengatur tentang perbuatan Pedofilia. Ketiga, selalu

berusaha menghukum berat pelaku Pedofilia.

C. Saran

Dari pembahasan dan kesimpulan yang dikemukakan di atas ada

beberapa saran yang bisa penulis kemukakan sebagai berikut :

1. Hukum Islam harus lebih banyak membahas masalah perbuatan Pedofilia.

Karena pembahasan khusus mengenai perbuatan tersebut masih sedikit dan

belum banyak orang yang menulisnya.

2. Dalam hukum positif Perlu adanya keseragaman hukuman bagi pelaku

Pedofilia, seperti hukuman mati pada hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : Akapress.

Abdillah Ahmad, Abu. 2012. Ensiklopedi Anak. terj. Ali Nur. Jakarta : Darus
Sunnah.

Abu Daud, Imam. 1999. Sunan Abu Daud. Beirut : Dar Al-Fikr.

Akunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta


: Rineka Cipta.

Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 1994. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukum.


terj. M. Zuhri Dan M. Qodirun Nur. Semarang : CV. Asy Syifa, 1994.

Asmawi, Mohammad. 2005. Lika-Liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya.


Yogyakarta : Darussalam Offset.

Bakri. 1993. Hukum Pidana Dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Bonger. 1977. Pengantar Tentang Kriminologi.Jakarta : Pustaka Sarjana.

Daib Al-Bagha, Musthafa. 1993. Matan Ghoyah Wattaqrib. terj. Fuad Kauma.
Semarang : Toha Putra.

Djamil, M. Nasir.2013Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Dwi Yuwono, Ismantoro. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan


Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Faisal Salam, Moch. 2005. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia.Bandung :
Mandar Maju.

Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak


Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hamzah, Andi. 2011. KUHP dan KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta.

Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hawari, Dadang. 2003. Kekerasan Seksual Pada Anak. Jakarta : Universitas


Indonesia.

Ibnu Majah, Imam. 2009. Sunan Ibnu Majah. Lebanon : Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah.
Irfan, M. Nurul. 2016. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Amzah.

Irfan, M. Nurul. 2014. Gratifikasi dan kriminalitas seksual. Jakarta : Amzah.

Jamilah, Fitrotin. 2014. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Dunia


Cerdas.

Kartono, Kartini. 1979. Psikologi Anak. Bandung : Alumni.

Khatib, Suansar. 2014. Ushul Fiqh. Bogor : IPB Press.

Lamintang dan Theo Lamintang. 2011. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar


Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan.Jakarta : Sinar Grafika.

Marwan. 2009. Kamus Hukum. Surabaya : Reality Publisher.

Muhajir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Reka


Serasin.

Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam Di Indonesia. Yogyakarta : Teras.

Nashriana. 2012. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indoesia. Jakarta :


Rajawali Pers.

Prasetyo, Teguh. 2009. Hukum Pidana. Jakarta : Rajawali.

Rifa’i, Moh, Moh Zuhri, dan Salomo. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul
Akhyar. Semarang : Toha Putra.

R. Tressna. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Surabaya : Pustaka Tinta Mas.


Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah, Jilid 3, terj. M. Ali Nursyidi dan Hunainah M.
Jakarta : Pena Pundi Aksara

Sambas, Nandang. 2013. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen


Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya.Yogyakarta :
Graha Ilmu.

Sandi, Ahmad. Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Peluang Penerapannya Di Indonesia. Skripsi, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2015.

Santoso, Topo. 2001. Kriminologi.Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.

Supardi, Sawatri. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung :


PT. Refika Aditama.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung


:Alfabeta.

Supusepa, Reimon.Perkembangan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan


Kejahatan Pedofilia, Jurnal Sasi (Kekerasan Anak Dan Wanita) No. 2
Vol. 17 April-Juni 2011

Tim Aksara Sukses. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta :


Aksara Sukses.

Tirmizi, Imam. 2009. Sunan At-Tirmidzi. Jilid 3. Beirut : Dar al-Fikr.

Tohir Sjamsuddin, Anas. 1982. Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam. Surabaya :
Al-Ikhlas.

UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014

Witanto. 2012.Hukum Keluarga. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban


Kekerasan Seksual. Bandung : Refika Aditama.

Zainuddin, Muhammad. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka


Penanggulangan Kejahatan Pedofilia. Universitas Diponegoro : Tesis,
Program Studi Ilmu Hukum. 2007.
Lampiran-lampiran
~~~

Anda mungkin juga menyukai