Anda di halaman 1dari 7

Makalah

Perjanjian Yang Terlarang

Disusun Oleh:
Egi Satriyo
NIM.2111150095

Abdul Basit ALfikri


2111150104

Dosen Pengampuh:
Riki Aprianto,S.H.,M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYAR’AH
UIN FATMAWATI SUKARNO NEGRI BENGKULU
TAHUN 2022/2023
Perjanjian Yang Terlarang
A.Pendahuluan
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan wajar. Salah satu peraturan tersebut adalah UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini memuat
sejumlah perjanjian yang dilarang dilakukan dalam persaingan usaha.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian yang
dilarang adalah perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar.
Adapun perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni:
1.Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.Penetapan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen ataupun menetapkan harga
di bawah harga pasar. Terkait penetapan harga, pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Selain itu, para pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang atau
jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan.

3.Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang atau jasa.

4.Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun
pasar luar negeri. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain1.
5.Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

1
http://telathhukum.blogspot.com/2016/02/wilayah-negara-dalam-hukum-internasinoal.html?m=1
file:///C:/Users/Acer/Downloads/797b2c1f242f4cf5a784ff29071030
6.Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama
dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar yang bertujuan untuk
mengontrol produksi atau pemasaran atas barang atau jasa.

7.Oligopsoni
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk bersama-
sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
atau jasa.
8.Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai
produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu.
9.Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau
jasa tersebut kepada pihak atau tempat tertentu. Terkait pernjanjian tertutup, pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Selain itu,
pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
barang atau jasa yang memuat sejumlah persyaratan.
10.Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

B. pembahasan
1. Perjanjian Barter Kedaulatan Wilayah
perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan. Berkaitan dengan
perbatasan antar negara, hukum Internasional memberikan kontribusi yang cukup penting, terutaam
dalam pelaksanaan perundingan dalam penandatanganan persetujuan atau perjanjian perbatasan
antarnegara. hukum Internasional secara tegas dan jelas memberikan batasan tentang pemanfaatan
sementara wilayah perbatasan antarnegara tanpa harus mempengaruhi klaim oleh para pihak. Hal ini
dapat terjadi terlepas dari fakta bahwa para pihak masih belum menyepati garis batas tersebut.
Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat maupun diwilayah laut (batasan maritim) yang
telah disepakati dengan negara tetangga secara tidak langsung meruapkan bukti pengakuan kedaulatan
negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogyanya perlu dituangkan dalam bentuk
perjanjian sedangkan yang sudah disepakati agar diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang hal ini
pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranay terjadi perbedaan penafsiran terhadap
pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.
Pengaturan wilayah udara menurut instrumen Hukum Internasional
Sebagaimana diketahui menurut Hukum Internasionl wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat,
laut dan udara. Kalau wilayah laut merupakan perluasaan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu
negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut. Hal ini kemudian tercermin dalam
Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan
penuh negara di ruang udara di atas wilayah darat dan laut teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan
negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque ad coelum). Namun, kemudian dibatasi
dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa. Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara
di ruang udara di atas wilayahnya, setiap negara dapat melakukan larangan bagi negara-negara lain
untuk terbang di atas wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya. Dewasa ini teori
tersebut telah berubah dengan lahirnya perjanjian Internasional yang mengatur penggunanan ruang
udara dan lahirlah ketentuan-ketentuan umum yang mengatur antara lain tentang kebebasan
penerbangan (freedom of oveflight) dan hak lintas penerbangan (transit). Ketentuan-ketentuan
tersebut menjadi bahan perundingan dalam konferensi Chicago tentang Penerbangan Sipil
Internasional (Chicago Conference on International Civil Aviotion) yang diselenggarakan pada tahu
1944 yang kemudian menghasilkan Chicago Convention on Inter-national Civil Aviation, yang telah
mulai berlaku sejak 1974. Konvensi ini tidak berlaku bagi pesawat udara negara misalnya pesawat
udara militer, bea cukai dan kepolisian. Konferensi yang sama juga menghasilkan pembentukan
organisasi penerbangan sipil International Civil Aviation Organization (ICAO) 9 . Dalam pengaturan
secara Internasional, ruang udara diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dimana Indonesia telah
mematuhi (adhere) sejak 27 april 1950 dengan Surat Duta Besar Republik Indonesia, yang mengakui
adanya kedaulatan setiap Negara yang penuh dan ekslusif di atas wilayah ruang udaranya. Hukum
Internasional mengenal beberapa cara bagi suatu Negara diantaranya adalah ratifikasi. Dalam hal ini
suatu instrumen perjanjian Internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh Negaranegara
yang terlibat dalam suatu perundingan umumnya masih membutuhka adanya penegasan Kembali.
2. Perjanjian Pelarangan Pengembangan Fasilitas pertahanan Dan Pelucutan Senjata 2
Banyak sudah definisi yang diberikan kepada kata “pengawasan senjata” atau “arms control”. Evans
dan Newnham (1998: 33), misalnya, mendefinisikan “pengawasan senjata” sebagai upaya yang
dilakukan dengan maksud membatasi kegiatan untuk memperoleh, mengembangkan serta
menggunakan kemampuan militer. Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr (1990: 413), sebagai contoh lainnya,
menyatakan bahwa “pengawasan senjata” merupakan semacam kebijakan yang bertujuan membatasi
atau mengatur kualitas disain, kuantitas produksi, metode pengembangan, perlindungan, pengawasan,
penyerahan, perencanaan, ancaman maupun penggunaan kekuatan dan senjata militer. Sebuah definisi
lain menyatakan bahwa “pengawasan senjata” merupakan sebuah istilah yang mengacu pada upaya
pembatasan terhadap pengembangan, pembuatan, penimbunan, penyebarluasan serta penggunaan
senjata, utamanya adalah senjata pemusnah massal (“Arms Control”,). Dari tiga contoh definisi di
depan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya “pengawasan senjata” merupakan kebijakan yang
bertujuan membatasi persenjataan: semenjak pembuatan sampai penggunaannya, baik yang

2
file:///C:/Users/Acer/Downloads/4933-10770-1-PB.
http://www.newsbatch.com/armscontrol.htm
menyangkut aspek kualitas maupun kuantitas. Dengan adanya pembatasan persenjataan ini, maka
diharapkan akan tercipta kondisi stabilitas militer. Andaikata kondisi seperti ini terjadi, diperkirakan
kekerasan dalam hubungan antar negara akan menurun dan kesempatan tercapainya perdamaian akan
meningkat.
Ada kata/istilah lain yang mempunyai hubungan dekat dengan pengawasan senjata, akan tetapi
mempunyai pengertian berbeda, yakni “perlucutan senjata”. Menurut Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr
(1990: 413), “perlucutan senjata” adalah penghancuran senjata serta pelarangan pembuatan senjata
pada masa yang akan datang. Sedangkan Evans dan Newnham (1998: 131) menyatakan bahwa
“perlucutan senjata” itu merupakan proses sekaligus tujuan. Sebagai suatu proses, perlucutan senjata
mencakup di dalamnya pengurangan ataupun penghapusan/ penghancuran system persenjataan
tertentu. Sebagai tujuan, perlucutan senjata melingkupi di dalamnya pembentukan suatu dunia tanpa
senjata serta pencegahan upaya mempersenjatai kembali dunia pada masa –masa selanjutnya.
Disamping mempunyai persamaan, antara pengawasan senjata dan perlucutan senjata juga
mempunyai perbedaan. Persamaannya, keduanya mempunyai tujuan memperkecil kemungkinan
terjadinya perang. Para pendukung perlucutan senjata berasumsi jika senjata mengakibatkan
terjadinya perang, maka dengan mengurangi jumlah senjata, kemungkinan terjadinya perang juga
berkurang. Sedangkan tujuan pengawasan senjata, menurut para pendukungnya, adalah untuk
menyetabilkan persaingan militer antar negara. Dalam suasana seperti ini, perasaan takut satu Negara
terhadap Negara lain tidak begitu tinggi. Konsekwensinya, peluang terjadinya perang antar Negara
tidak begitu tinggi pula. Persamaan lain adalah keduanya bertujuan menurunkan anggaran pertahanan
–keamanan. Dengan melakukan pembatasan maupun pengurangan senjata, bahkan, memusnahkan
senjata, maka biaya yang digunakan untuk keperluan militer mengalami penurunan. Sedangkan
anggaran yang diperlukan untuk kebutuhan non militer bisa dinaikkan. Sedangkan perbedaannya,
perlucutan senjata jauh lebih ambisius dibandingakn dengan pengawasan senajata.

3.Perjanjian Penyewa Pangkalan Militer


Filipina dan Amerika Serikat sudah menjalin hubungan sejak lama. Filipina bagi Amerika Serikat
merupakan sekutu yang penting dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Pasifik. Pasca kemerdekaan
yang diberikan Amerika Serikat kepada Filipina pada tahun 1946, kedua negara talah melakukan
berbagai kerja sama di bidang militer. Salah satunya adalah kerja sama sewa yang digunakan oleh
3
militer Amerika Serikat sebagai pangakalan militer mereka di kawasan Asia Pasifik. Pangkaalan
tersebut adalah Subic dan Clark. Filipina dalam kerja sama ini, mendapatkan keuntungan dengan
mendapat pelatihan militer dari pasukan Amerika Serikat selama kerja sama tersebut berlangsung
yaitu 99 tahun. Tahun 1991 perjanjian sewa lahan yang digunakan oleh Amerika Serikat sebagai
pangakalan militer mereka harus dihentikan oleh Pemerintah Filipina dikarenakan hubungan kedua
negara mengalami kerenggangan akibat pergantian kepemimpina. Tahun 2014, tepatnya pada tanggal
28 April, Filipina menerima perjanjian penguatan pertahanan militer dengan Amerika Serikat.
Perjanjian Tersebut diberi nama Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Dalam
perjanjian tersebut membahas tentang membawa kembali kehadiran pasukan Amerika Serikat di
Filipina dengan memberikan akses ke sejumlah pangkalan militer di Filipina salah satunya milik
Amerika Serikat dulu. Kembalinya Pasukan Amerika Serikat ke Filipina dengan memberikan akses
ke sejumlah pangkalan militer padahal dulunya telah ditutup membuat penulis tertarik untuk meneliti
alasan pemerintah Filipina membuat kebijakan tersebut.

3
Joseph Lazar, 1969, “Cession in Lease” of the Guantanamo Bay Naval Station and Cuba’s “Ultimate
Sovereignty”, The American Journal of International Law, vol. 63, no. 1, h. 117.
file:///C:/Users/Acer/Downloads/41927-1021-86101-1-10-20180903.
Perjanjian tentang Status Personel Militer Amerika Serikat di Kuba
Terdapat tiga perjanjian utama dalam pembangunan pangkalan militer dan tentang status personel
Amerika Serikat di Kuba, yakni: 1) Agreement Between the United States and Cuba for the Lease of
Lands for Coaling and Naval Stations22, yang ditandatangani pada tanggal 23 Februari 1903. 2) Lease
to the United States by the Government of Cuba of Certain Areas of Land and Water for Naval Coaling
Stations in Guantanamo and Bahia Honda23, yang ditandatangani pada tanggal 2 Juli 1903, dan 3)
Treaty Between the United States of America and Cuba24, yang ditandatangani pada tanggal 29 Mei
1934. Konsep yurisdiksi yang diberlakukan dalam perjanjian sewa antara Amerika Serikat dan Kuba
adalah complete jurisdiction. Sehingga, Amerika Serikat memiliki kewenangan penuh dalam
menegakkan hukumnya di wilayah yang disewakan terhadapnya, yakni Guantanamo. Hadirnya
klausula complete jurisdiction tersebut bukanlah kehendak salah satu pihak, melainkan atas
persetujuan kedua belah pihak karena dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani oleh
pimpinan kedua negara. Sehingga, hal tersebut memenuhi doktrin mengenai penegakan yurisdiksi di
luar wilayah milik suatu negara, yakni diperbolehkan adanya yurisdiksi ekstrateritorial selama
disepakati dan diperjanjikan. Namun, dalam lingkup perjanjian sewa yang telah disepakati, Amerika
Serikat menunda kedaulatan penuh yang dimiliki Kuba hingga perjanjian tersebut berakhir. Sehingga
Kuba belum dapat menegakkan yurisdiksinya di wilayah dimana Amerika Serikat telah cantumkan
dalam perjanjian sewa tersebut. Selain itu, perjanjian sewa yang diperjanjikan antara Amerika Serikat
dan Kuba disamakan dengan keadaan okupasi. Hal demikian mengakibatkan, dalam keadaan suatu
wilayah diokupasi, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum negara yang melakukan okupasi
tersebut.

D.Penutup
perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan. Berkaitan dengan
perbatasan antar negara, hukum Internasional memberikan kontribusi yang cukup penting, terutaam
dalam pelaksanaan perundingan dalam penandatanganan persetujuan atau perjanjian perbatasan
antarnegara. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque
ad coelum). Namun, kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa. Secara
teoritis dengan adanya kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayahnya, setiap negara dapat
melakukan larangan bagi negara-negara lain untuk terbang di atas wilayahnya, kecuali kalau telah
diperjanjikan sebelumnya. merupakan sebuah istilah yang mengacu pada upaya pembatasan terhadap
pengembangan, pembuatan, penimbunan, penyebarluasan serta penggunaan senjata, utamanya adalah
senjata pemusnah massal (“Arms Control”,). yakni “perlucutan senjata”. Menurut Dougherty dan
Pfaltzgraff, Jr (1990: 413), “perlucutan senjata” adalah penghancuran senjata serta pelarangan
pembuatan senjata pada masa yang akan datang. Sedangkan Evans dan Newnham (1998: 131)
menyatakan bahwa “perlucutan senjata” itu merupakan proses sekaligus tujuan. Sebagai suatu proses,
perlucutan senjata mencakup di dalamnya pengurangan ataupun penghapusan/ penghancuran system
persenjataan tertentu. Sebagai tujuan, perlucutan senjata melingkupi di dalamnya pembentukan suatu
dunia tanpa senjata serta pencegahan upaya mempersenjatai kembali dunia pada masa –masa
selanjutnya. adalah kerja sama sewa yang digunakan oleh 4militer Amerika Serikat sebagai pangakalan
militer mereka di kawasan Asia Pasifik. Pangkaalan tersebut adalah Subic dan Clark.

4
Joseph Lazar, 1969, “Cession in Lease” of the Guantanamo Bay Naval Station and Cuba’s “Ultimate
Sovereignty”, The American Journal of International Law, vol. 63, no. 1, h. 117.
file:///C:/Users/Acer/Downloads/41927-1021-86101-1-10-20180903.
E. Reeferensi

https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/92288
file:///C:/Users/Acer/Downloads/41927-1021-86101-1-10-20180903.

1
file:///C:/Users/Acer/Downloads/4933-10770-1-PB.
http://www.newsbatch.com/armscontrol.htm

1
http://telathhukum.blogspot.com/2016/02/wilayah-negara-dalam-hukum-internasinoal.html?m=1
file:///C:/Users/Acer/Downloads/797b2c1f242f4cf5a784ff29071030

Anda mungkin juga menyukai