Anda di halaman 1dari 12

a.

Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh undang-undang


(monopoly of law).
Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk
menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Selain
itu, undang-undang juga memberikan hak istimewa dan perlindungan hukum
dalam jangka waktu tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat
tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan
teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Pemberian hak-hak ekslusif atas
penemuan baru , baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual pada
dasarnya adalah merupakan bentuk lain monopoli yang diakui dan dilindungi oleh
undang-undang.

b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan usaha yang sehat (Monopoly by Nature)
Monopoli bukanlah suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila kedudukan
tersebut diperoleh dengan mempertahankan posisi tersebut melalui kemampuan
prediksi dan naluri bisnis yang profesional. Kemampuan sumber daya manusia
yang profesional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam
mempertahankan posisinya akan membuat perusahaan memiliki kinerja yang
unggul, sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi
antara kualitas dan harga barang, jasa, dan pelayanan sebagaimana yang
dikehendaki konsumen. Dalam hal ini perusahaan dapat menyediakan keluaran
(output) yang lebih efisien daripada apa yang dihasilkan perusahaan-perusahaan
lain.
Pelaku usaha atau perusahaan yang memiliki kinerja unggul seperti itu
sering memiliki rahasia dagang yang meskipun tidak memperoleh hak ekslusif
dan pengakuan dari negara, namun dengan teknologi rahasianya tersebut,
perusahaan mampu menempatkan posisinya sebagai perusahaan monopoli.
Perusahaan seperti ini jelas memiliki kontribusi terhadap efisiensi ekonomi dan
kesejahteraan konsumen. Adanya Undang-Undang Antimonopoli hanyalah untuk
memastikan bahwa kekuataan yang dimiliki perusahaan seperti itu tidak
disalahgunakan untuk mematikan persaingan usaha.

c. Monopoli yang diperoleh melalui Lisensi dengan menggunakan mekanisme


kekuasaan (Monopoly by License)
Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para
pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbulkan distorsi
ekonomi karena menggangu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien. Umumnya
monopoly by licence berkaitan erat dengan para pemburu rente ekonomi yang
mengganggu keseimbangan pasar untuk kepentingan mereka. Berbagai kelompok
usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam pemerintahan pada umumnya
memiliki kecendrungan melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti itu,
meskipun tidak semuanya memiliki rent seeking behavior

d. Monopoli karena terbentuknya struktur pasar

Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu


yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau
sebaliknya, dengan menggunakan modal yang sangat besar untuk memperoleh
posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada. Unsur-unsur yang
mempengatuhi perilaku para pelaku usaha tersebut manifestasinya dalam praktik
bisnis sehari-hari adalah sedapat-dapatnya menghindari munculnya pesaing baru,
karena munculnya pesaing atau rivalitas dalam berusaha akan menurunkan tingkat
keuntungan.

1. Praktik Monopoli

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Antimonopoli dirumuskan bahwa yang


dimaksud dengan praktik monopoli adalah pemusatan kekuataan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
2. Pemusatan Kekuatan Ekonomi

Pemusatan Kekuataan Ekonomi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang


Antimonopoli adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu
atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.

3. Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Antimonopoli menyatakan bahwa persaingan


usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

3. Pengecualian Berlakunya UU Antimonopoli

Pasal 50 UU Antimonopoli memberikan pengecualian-pengecualian berlakunya


semua ketentuan dalam undang-undang. Diantara pengecualian-pengecualian tersebut
terdapat beberapa jenis perjanjian, yaitu:
a. perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
b. perjanjian yang berkaitan dengan HaKI, serta perjanjian yang berkaitan
dengan waralaba,
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan,
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan,
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan dan perbaikan standar
hidup masyarakat,
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi,
g. perjanjian ekspor yang tidak menggangu kebutuhan dan.atau pasokan pasar
dalam negeri,
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil, atau
i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
a. Oligopoli
Menurut Black’s Law Dictionary, oligopoli adalah: “economic condition where
only a few companies sell substansially similar or standardized products”

Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2) Oligopoli adalah:


(1) “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuksecara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa,
sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.

b. Penetapan Harga
Menurut Black’s Law Dictionary, penetapan harga adalah: “ a combination
formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing,
pegging, or stabilizing the price of a commodity”

Perjanjian penetapan harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Ketentuan Pasal Pasal 5 ayat (1) dan (2) di atas adalah perjanjian penetapan harga
atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan.
Penetapan harga ini dapat dilakukan sesama pelaku usaha yang menghasilkan
produk barang dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan harga yang harus
dibayar oleh konsumen.

c. Pembagian Wilayah
Pembagian wilayah adalah perjanjian yang bertujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 9 UU Antimonopoli.

Perjanjian pembagian wilayah dapat bersifat vertikal maupun horizontal.


Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi
persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar.

d. Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan yang dilarang dalam UU Antimonopoli dibagi dalam 2
(dua) macam yaitu perjanjian yang bertujuan menghalangi pelaku usaha lain
untuk melakukan usaha yang sama, baik tujuan pasar dalam negeri maupun luar
negeri, dan perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2).

Pasal 10 ayat (1)


“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri”

Pasal 10 ayat (2)


“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain
sehingga perbuatan tersebut:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan/atau jasa dari pasar bersangkutan, dan

c. Kartel
Kartel adalah perjanjian yang mengandung maksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang - Undang Antimonopoli

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,


yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

e. Trust
Trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa. Pasal 12 Undang-Undang Antimonopoli, berbunyi:

“ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”.
.
f. Oligopsoni
Adalah perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 13 Undang-Undang Antimonopoli.

g. Integrasi Vertikal
Dari sudut pandang perusahaan, integrasi vertikal memberi manfaat karena
memungkinkan perusahaan bersangkutan untuk mengurangi biaya produksi dan
distribusinya dengan cara mengintegrasikan kegiatan kegiatan yang berurutan atau
karena integrasi menjamin penyediaan saluran-saluran integrasi yang dapat
mempertahankan daya saing. Apabila suatu perusahaan telah menguasai satu atau
lebih tahapan vertikal, maka integrasi vertikal dapat membawa dampak anti
persaingan. Sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 14 Undang-Undang
Antimonopoli.

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.

h. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

i. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri


Perjanjian dengan pihak luar negeri adalah perjanjian yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
yang tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang
Antimonopoli.

1. Kegiatan yang Dilarang


Dalam Undang - Undang Antimonopoli tidak ditentukan suatu rumusan mengenai apa
yang dimaksud “kegiatan” sebagaimana “perjanjian” . Oleh karena itu, dengan
berdasarkan pengertian “perjanjian” yang dirumuskan dalam Undang-undang
Antimonopoli tersebut dapat dirumuskan bahwa “kegiatan” adalah suatu aktivitas
yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha yang berkaitan dengan proses dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Undang - Undang Antimonopoli mengatur kegiatan-
kegiatan yang dilarang yaitu:

a. Monopoli
Sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 bahwa monopoli adalah penguasaan
atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Lebih lanjut kegiatan monopoli diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang -
Undang Antimonopoli yang menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Monopsoni
Pada prinsipnya, monopsoni adalah menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
c. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang Antimonopoli.

Pasal 19:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 di atas, jelas bahwa menolak atau menghalangi


pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau
dengan alasan non ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial,
dan lain-lain.

Pasal 20:

“ Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat”

Pasal 21:
“ Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”

e. Persekongkolan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 persekongkolan atau konspirasi adalah bentuk
kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol, merupakan kegiatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal
22, 23, dan 24 Undang - Undang Antimonopoli.

Dari ketentuan Pasal 22, 23, dan 24, dapat dikatakan bahwa kegiatan
persekongkolan yang dilarang itu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
(1) Persekongkolan yang berkaitan dengan tender, mencakup pegaturan atau
penentuan pemenang tender yang tidak wajar.
(2) Persekongkolan yang berkaitan dengan informasi atau rahasia perusahaan,
yaitu persengkokolan untuk mendapatkan informasi yang dikategorikan
sebagai rahasia perusahaan dari pelaku usaha pesaing dengan cara ilegal
(3) Persengkolan yang berkaitan dengan upaya menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pelaku usaha pesaingnya dengan
cara curang dan ilegal.
3. Pendekatan dalam Hukum Persaingan Usaha

Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam


penerapannya, yaitu pendekatan perse ilegal dan pendekatan rule of reason.
a. Pendekatan Perse Ilegal
Perse Ilegal adalah suatu perbuatan yang secara inheren bersifat dilarang
atau ilegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau praktik yang bersifat
dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan
tersebut.
Mengenai apa yang dimaksud dengan Perse Ilegal itu dapat juga diartikan
sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan
melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian
apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha.
Perbuatan-perbuatan seperti perjanjian penetapan harga, perjanjian
pemboikotan, dan perjanjian pembagian wilayah adalah contoh-contoh jenis
perbuatan yang diklasifikasikan sebagai Perse Ilegal.

b. Pendekatan Rule of Reason

Rule of Reason adalah suatu doktrin yang dibangun berdasarkan penafsiran


atas ketentuan Sherman Antitrust oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang
diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey vs. United State pada
tahun 1911. Pendekatan rule of reason, yaitu penerapan hukum dengan
mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan atas suatu
perbuatan pelaku usaha. Untuk menerapkan prinsip ini tidak hanya diperlukan
ilmu hukum, tetapi penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Dengan perkataan lain,
melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar
hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan
apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan
akibatnya terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau
mempunyai pertimbangan lainnya. Pertimbangan atau argumentasi yang perlu
dipertimbangkan antara lain adalah aspek ekonomi, keadilan, efisiensi,
perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu, dan fairness.
Untuk menerapkan prinsip rule of reason yang diperlukan tidak hanya
pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan ilmu ekonomi, karena dalam banyak
kasus bukan tidak mungkin perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha itu secara
ekonomi dapat dibenarkan.

Anda mungkin juga menyukai