2. Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga merupakan sebuah strategi yang bertujuan untuk mencapai
keuntungan yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga antar pelaku usaha,
maka akan menghilangkan persaingan harga produk yang mereka jual, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya surplus konsumen yang seharusnya dinikmati pembeli atau
konsumen terpaksa beralih ke produsen atau penjual.2
Di sisi lain, perjanjian penetapan harga dikategorikan perjanjian yang dilarang
sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, karena penetapan
1
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 121.
2
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
harga akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang
terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1,
pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang akan
diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sehingga dengan adanya perjanjian
tersebut dapat meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan
perjanjian tersebut.
a. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999)3
Perjanjian penetapan harga sebetulnya merupakan Tindakan yang dilarang dalam
asas persaingan. Hal ini dapat merugikan konsumen karena bentuk harga yang
lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.4
3
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan suatu harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di atas tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
4
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 144.
5
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 145.
6
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 151.
7
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 157.
3. Pembagian Wilayah (Market Division) – Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi
wilayah pemasaran sebagai salah satu strategi yang dilakukan untuk menghindari
terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah
pemasaran yang menjadi bagiannya tanpa harus melakukan persaingan. Kategori
perjanjian ini dapat mengakibatkan hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha.
Selain itu, dapat membuat pelaku usaha melakukan Tindakan pengurangan produksi ke
tingkat yang tidak efisien, bahkan mereka dapat melakukan eksploitasi terhadap
konsumen dengan menaikkan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi
sebelumnya.8
5. Perjanjian Kartel
Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur kuota produksi,
dan alokasi pasar. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kartel dapat terjadi
jika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaingnya yang bertujuan untuk
8
Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”, Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,1993, hlm 147.
9
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
10
UNTACD, Draft Commentaries, hlm. 24.
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa
sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Praktik kartel dapat
berjalan sukses apabila usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah
mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena apabila
terdapat Sebagian kecil pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel, biasanya
kartel tidak akan efektif dalam memengaruhi pasokan produk di pasar, karena
kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang
tidak terlibat dalam perjanjian kartel.11
7. Perjanjian Oligopsoni
Merupakan perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu
pasar oleh dua sampai tiga pelaku usaha atau dua sampai tiga kelompok pelaku usaha
tertentu. Hal ini tercantum pada Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 yang dapat disimpulkan
bahwa perjanjian oligopsony dilarang jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
11
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 185.
12
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta:PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.
84.
a. Secara bersama-sama
b. Menguasai pembelian dan penerimaan pasokan atas suatu barang, jasa, atau barang
dan jasa tertentu
c. Dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang
d. Menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu jenis barang atau jenis tertentu
e. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti yang diketahui dari Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 di atas, telah dirumuskan
secara rule of reason, berarti oligopsoni tidak selamanya dilarang selama tidak
menimbulkan monopolisasi atau menciptakan persaingan tidak sehat.
15
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat
dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum.