Anda di halaman 1dari 7

1.

4 Perjanjian-Perjanjian Yang Dilarang


1. Oligopoli
Menurut Black’s Law Dictionary, oligopoli adalah:
“Economic condition where only a few companies sett substantially similar or
standardized products.”
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oligopoli adalah:
“Keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit sehingga
mereka atau seorang dari mereka dapat memengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar
yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.”
Dalam pasar oligopoly, masing-masing pedagang mempunyai kekuatan untuk
menentukan pasar. Para pedagang dapat saling bersaing yang dampaknya seperti apa
yang terjadi pada pasar persaingan sempurna. Penjual akan berlomba memberikan
yang terbaik bagi konsumennya dengan tingkat harga tertentu. Namun, jika penjual
atau produsen dalam pasar oligopoly ini bukannya bersaing melainkan berkolusi
membuat perjanjian, baik secara tertulis maupun tidak tertulis untuk menentukan
harga, menentukan produksi, atau membagi wilayah pasar secara geografis, hal ini
akan menyebabkan kemampuan mereka memengaruhi pasar menjadi semakin besar.
Jumlah barang yang tersedia di pasar semakin sedikit, harga yang harus dibayar oleh
pembeli semakin tinggi, maka terjadilah inefisiensi alokatif.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, oligopoly dikelompokkan ke dalam
kategori perjanjian yang dilarang yang mana melarang pelaku usaha membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi, pemasaran barang atau jasa yang mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini patut diduga Ketika telah
terjadi dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa tertentu.1

2. Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga merupakan sebuah strategi yang bertujuan untuk mencapai
keuntungan yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga antar pelaku usaha,
maka akan menghilangkan persaingan harga produk yang mereka jual, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya surplus konsumen yang seharusnya dinikmati pembeli atau
konsumen terpaksa beralih ke produsen atau penjual.2
Di sisi lain, perjanjian penetapan harga dikategorikan perjanjian yang dilarang
sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, karena penetapan
1
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 121.
2
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
harga akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang
terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1,
pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang akan
diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sehingga dengan adanya perjanjian
tersebut dapat meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan
perjanjian tersebut.
a. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999)3
Perjanjian penetapan harga sebetulnya merupakan Tindakan yang dilarang dalam
asas persaingan. Hal ini dapat merugikan konsumen karena bentuk harga yang
lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.4

b. Diskriminasi harga (price discrimination) - Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999


Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang memberlakukan
diskriminasi terhadap kedudukan konsumen tang satu dengan konsumen lainnya,
dengan memberikan harga yang berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang
sama.5

c. Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) – Pasal 7 UU No. 5


Tahun 1999
Merupakan bentuk penjualan dengan cara jual rugi yang bertujuan untuk
mematikan pesaingnya. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga
yang tidak wajar, di mana harga lebih rendah daripada biaya variable rata-rata.6

d. Penetapan harga jual Kembali (resale price maintenance) – Pasal 8 UU No. 5


Tahun 1999
Dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain, di mana penerima barang atau jasa selaku
distributornya tidak boleh menjual Kembali barang atau jasa yang telah
diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang lebih rendah daripada harga
yang telah dijanjikan sebelumnya, sebab hal itu dapat menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat.7

3
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan suatu harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di atas tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
4
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 144.
5
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 145.
6
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 151.
7
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 157.
3. Pembagian Wilayah (Market Division) – Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi
wilayah pemasaran sebagai salah satu strategi yang dilakukan untuk menghindari
terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah
pemasaran yang menjadi bagiannya tanpa harus melakukan persaingan. Kategori
perjanjian ini dapat mengakibatkan hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha.
Selain itu, dapat membuat pelaku usaha melakukan Tindakan pengurangan produksi ke
tingkat yang tidak efisien, bahkan mereka dapat melakukan eksploitasi terhadap
konsumen dengan menaikkan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi
sebelumnya.8

4. Perjanjian Pemboikotan (Pasal 10)


Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk perjanjian antara pelaku usaha
untuk mengusir usaha lain dari pasar yang sama, atau untuk mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing di pasar yang sama, kemudian hanya melindungi untuk
mendapatkan keuntungannya.9
Agar praktik pemboikotan yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat berjalan sukses, maka
diperlukan bantuan dan dukungan seluas dari pelaku usaha seluas mungkin, karena tanpa
adanya keterlibatan luas dari pelaku usaha biasanya akan sulit untuk mencapai
keberhasilan. Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku
usaha di dalam suatu pasar, membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat
bertambah apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang
menjalankan usahanya sehingga berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen
untuk memilih pelaku usaha yang memungkinkan memberikan kepuasan terbesar kepada
konsumen.
Pasal 3 huruf e dan UNTACD Model Law menegaskan, bahwa “menolak secara kolektif
untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya adalah termasuk
cara yang paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tidak menjadi anggota
kelompok tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.”10

5. Perjanjian Kartel
Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur kuota produksi,
dan alokasi pasar. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kartel dapat terjadi
jika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaingnya yang bertujuan untuk
8
Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”, Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,1993, hlm 147.
9
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
10
UNTACD, Draft Commentaries, hlm. 24.
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa
sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Praktik kartel dapat
berjalan sukses apabila usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah
mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena apabila
terdapat Sebagian kecil pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel, biasanya
kartel tidak akan efektif dalam memengaruhi pasokan produk di pasar, karena
kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang
tidak terlibat dalam perjanjian kartel.11

6. Perjanjian Trust (Pasal 12)


Merupakan perjanjian yang dilakukan di antara pelaku usaha dengan cara
menggabungksn diri menjadi perseroan lebih besar, tetapi eksistensi perusahaan masing-
masing tetap ada.
Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar, pada kenyataannya
tidak cukup hanya dengan membuat perjanjian kartel di antara mereka, tetapi mereka pun
terkadang membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust),
dengan menjaga dan mempetahankan keberlangsungan hidup masing-masing
perusahaan/perseroan anggotanya.
Trust ini merupakan wadah antar-perusahaan yang didesain untuk membatasi persaingan
dalam bidang usaha atau industry tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk secara kolektif
mengendalikan pasokan dengan melibatkan trustee sebagai coordinator penentu harga.
Trust terbentuk dengan cara didirikan sebuah “holding company”. Holding company atau
parent company atau controlling company adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk
memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain atau mengatur satu atau lebih
perusahaan lain dan mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.12

7. Perjanjian Oligopsoni
Merupakan perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu
pasar oleh dua sampai tiga pelaku usaha atau dua sampai tiga kelompok pelaku usaha
tertentu. Hal ini tercantum pada Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 yang dapat disimpulkan
bahwa perjanjian oligopsony dilarang jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

11
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 185.
12
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta:PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.
84.
a. Secara bersama-sama
b. Menguasai pembelian dan penerimaan pasokan atas suatu barang, jasa, atau barang
dan jasa tertentu
c. Dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang
d. Menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu jenis barang atau jenis tertentu
e. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti yang diketahui dari Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 di atas, telah dirumuskan
secara rule of reason, berarti oligopsoni tidak selamanya dilarang selama tidak
menimbulkan monopolisasi atau menciptakan persaingan tidak sehat.

8. Perjanjian Integrasi Vertikal


Merupakan perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang
atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau
proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.13
Oleh karena itu terdapat dampak negative yang mungkin muncul dari suatu integrasi
vertical, maka UU No 5 Tahun 1999 memasukkan integrasi vertical ke dalam pengaturan
kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau
merugikan masyarakat.”
Seperti yang diketahui bahwa integrasi vertical akan berdampak positif pada persaingan
dan memungkinkan berdampak buruk pada persaingan. Dengan kata lain, pelaku usaha
sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai
produski berbagai produk yang termasuk dalam rangkaian produksi suatu barang atau
jasa yang masing-masing diolah lebih lanjut selama tidak menimbulkan persaingan usaha
yang tidak sehat dan perjanjian tersebut memiliki alas an yang dapat diterima, maka
perjanjian tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.14
9. Perjanjian Tertutup (Exclusive Distribution Agreement)
Merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dengan pelaku usaha lain yang yang
menetapkan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memberikan atau tidak
menyediakan produk kepada peserta tertentu atau di tempat tertentu.
Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat exclusive
distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Pasal tersebut menyatakan: “Pelaku
13
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 205.
14
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada
tempat tertentu.”
Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 diterapkan dengan pendekatan per se illegal, Oleh karena
itu, pada saat pelaku usaha mencapai kesepakatan dengan pelaku usaha lain, di dalamnya terdapat
persyaratan bahwa pihak penerima barang dan / atau jasa hanya menyediakan atau tidak
memberikan kembali barang dan / atau jasa kepada pihak tertentu dan / atau di tempat tertentu. 15

10. Perjanjian Tertutup (Tying Agreement)


Tindakan yang diambil oleh perusahaan untuk mencapai kesepakatan dengan pelaku usaha lain
dari level yang berbeda untuk mensyaratkan penjualan atau sewa guna barang atau jasa dari level
yang berbeda hanya dapat dilakukan jika pembeli atau penyewa juga akan membeli atau
menyewakan barang lain. Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: ”Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain
dari pelaku usaha pemasok.”
Dari pasal 15 ayat (2) dapat diketahui bahwa tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di
antara pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Ketegasan pasal tersebut dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying
agreement dirumuskan secara per se illegal, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktik tying agreement tanpa harus
melihat akibat dari praktik tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan
kepada pelaku usaha yang melanggarnya.

11. Perjanjian Tertutup (Vertical Agreement On Discount)


Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan
bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: 1. harus bersedia
membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau 2. tidak akan membeli barang
dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku
usaha pemasok.”
Dengan kata lain, jika seorang pelaku usaha ingin mendapatkan potongan harga untuk suatu
produk tertentu yang dibeli dari pelaku usaha lain, maka pelaku usaha tersebut harus bersedia
membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut, atau tidak bersedia membeli produk lain yang
sama atau serupa. Akibatnya, khusus mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang
menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain
dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying
agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin
mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan
oleh pelaku usaha tersebut.
Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika ada
pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) tersebut, tanpa harus

15
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat
dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum.

12. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri


Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan
perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai