Anda di halaman 1dari 20

PRAKTEK PENETAPAN HARGA

DI DALAM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Hal yang terpenting dari suatu perjanjian dalam anti monopoli adalah ikatan,
kapan ikatan itu mengikat secara hukum, akan dibagi menjadi dua hal, yaitu : 1

1. Ikatan Hukum

Suatu pihak terikat dengan hukum jika perjanjian tersebut mengakibatkan


kewajiban hukum. Dan akan ada kewajiban pembayaran ganti rugi ketika
dalam perjanjian tersebut salah satu pihak melanggar suatu ketentuan
perjanjian. Ikatan hukum berarti bahwa suatu kewajiban tertentu dilindungi
hukum jika tidak melanggar UU No.5 Tahun 1999

2. Ikatan Ekonomi

Ikatan ekonomi ini lahir karena suatu perjanjian ditaati bukan karena
persyaratan hukum tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi,
contohnya adalah menetapkan harga dibawah harga pasar. Pihak yang ikut
dalam perjanjian ini dan mengikuti strategi adalah pihak yang beruntung, jika
menyimpang pada strategi yang disepakati ini maka akan mengalami
kerugian.

Jika tidak ada suatu perjanjian yang tegas baik tertulis maupun lisan, maka
pihak harus saling memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian
hukum persaingan usaha ada yang disebut dengan express agreement (perjanjian yang
tegas dan nyata) contohnya jika terdapat pengakuan telah terjadi kesepakatan antar

1 A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha


Tidak Sehat Perse Illegal dan Rule of Reason, 2003, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia

1
pelaku usaha baik secara tertulis maupun tidak. Dan tacit agreement (perjanjian
secara diam-diam) contohnya disini adalah jika pelaku usaha membuat pelaku usaha
lain ikut dengan caranya, sehingga seolah-olah terjadi perjanjian.

Namun, perlu diketahui bahwa di antara perjanjian tersebut ada juga


perjanjian-perjanjian yang dilarang. Perjanjian-perjanjian yang dilarang tersebut
dianggap sebagai praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh pelaku
usaha maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap tidak
pernah ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian hal-hal yang tidak halal,
yang dilarang oleh Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pasal 1320
dan pasal 1337 KUH Perdata diatur tentang syarat sahnya perjanjian yang salah
satunya adalah adanya suatu sebab yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh
Undang-Undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Selanjutnya,pasal 1135 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat
tetapi terlarang tidak mempunyai kekuatan atau dianggap tidak pernah ada.

Beberapa perjanjian tersebuat adalah:

a. Perjanjian yang bersifat Oligopoli


b. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
c. Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar
d. Perjanjian Pemboikotan
e. Perjanjian Kartel
f. Perjanjian Trust
g. Perjanjian Oligopsoni
h. Perjanjian Integrasi Vertikal
i. Perjanjian Tertutup
j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Selanjutnya, kita akan membicarakan lebih jauh mengenai price fixing. Dalam
Blacks Law Dictionary, price fixing dikatakan sebagai A combination formed for

2
the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, and
stabilizing the price of comodity. Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi edisi
ke-2 yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan
sebagai penentuan suatu harga (price) umum untuk suatu barang ata jasa oleh suatu
kelompok pemasok secara bersama-sama, sebagai kebalikan tas pemasok yang
menetapkan harganya secara bebas.2 Penentuan harga sering menjadi pencerminan
dari suatu pasar oligopoli yang tidak teratur. Hal ini berarti bahwa price fixing
merupakan salah satu upaya dari para pelaku usaha untuk meraup keuntungan
pribadi, dengan cara menetapkan harga sesuai dengan yang telah disepakati bersama
antar pelaku usaha. Price fixing dapat mengakibatkan hilangnya persaingan dan
menumbuhkan keadaan persaingan yang tidak sehat. 3

Penetapan Harga (Price fixing) dapat dibedakan atas 2 jenis, yaitu :4

a. Penetapan Harga Secara Horizontal (Horizontal Price fixing)

Merupakan penetapan harga atas penjualan suatu barang dan/atau jasa antara 2
pelaku usaha atau lebih yang memiliki tahap/tingkat produksi barang dan/atau
jasa yang sama. Kedua pelaku usaha atau lebih tersebut sebenarnya adalah
saingan, namun oleh karena itulah mereka membuat perjanjian untuk
menetapkan harga yang sama kemudian dipublikasikan. Sebenarnya sudah ada
bentuk persekongkolan di balik itu semua. Hal ini membuat konsumen menjadi
terkecoh, karena harga yang sama dengan produk barang dan/atau jasa yang
sama, padahal dijual atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang berbeda.

2 Angga Poerwandiantoko, Perbedaan dari 11 Perjanjian yang Dilarang Disertai Contohnya, Senin 29 April 2013,
http://anggapoerwandian.blogspot.co.id/2013/04/perbedaan-dari-11-perjanjian-perjanjian.html, diakses tanggal 14 Maret 2017.

3 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm.26.

4 Romli Atmasasmita, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya di Indonesia, (Jakarta: ELIPS Departemen Kehakiman
Republik Indonesia,2000), hlm. 79.

3
b. Penetapan Harga Secara Vertikal (Vertical price fixing)

Merupakan penetapan harga atas penjualan barang dan/atau jasa antara 2 pelaku
usaha atau lebih yang berada pada tahap produksi yang berbeda. Salah satu
pelaku usaha berada pada tahap produksi lebih di atas, dan pelaku usaha lainnya
berada pada tahap produksi yang lebih rendah. Praktiknya adalah pelaku usaha
yang berada pada tahap produksi lebih tinggi akan menetapkan harga yang boleh
dijual atau diperdagangkan oleh pelaku usaha lainnya berada pada tahap produksi
yang lebih rendah.
Beberapa praktik yang merupakan variasi dari tindakan penentuan harga
(price fixing):5

1. Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements

Merupakan praktik pemasaran dalam mana seorang (atau suatu perusahaan)


pengecer atas dasar perjanjian dengan distributor atau produsen setuju untuk
menjual barang dan/atau jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu.

2. Vertical Maximum Price Fixing

Mirip dengan (RPM) Arrangements, Vertikal Maximum Price Fixing terjadi dalam
hal produsen atau distributor suatu produk membuat kesepakatan dengan pengecer
yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk di bawah harga
maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau distributornya.

3. Consignments

Praktik Consignments (penitipan, konsinyasi) dalam konteks usaha terjadi apabila


suatu perusahaan pengecer menjual barang yang secara legal masih menjadi milik
produsen dan sebagai imbalannya, ia memperoleh komisi penjualan. Yang

5 Arie Siswanto, op.cit.,hlm. 40.

4
menimbulkan persoalan bagi produsen ialah menentukan harga produk yang
dititipkannya. Memang salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah diakui,
setidaknya di Amerika Serikat, adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah
menjual produknya kepada pengecer, maka ia tidak bisa lagi menentukan berapa
harga jual yang harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen.

Dapat dikatakan bahwa Perjanjian penetapan harga (price fixing


agreement) merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha
yang bertujuan untukmenghasilkan laba yang setingi-tingginya. Dengan adanya
penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual), maka
akan meniadakan persaingan sehat dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau
pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya
dinikmati oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual.
Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan
menguasai pasar dan menentukan harga yang tidak masuk akal.6
Diperlukan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi Nasional.
Kebutuhan akan suatu Sistem yang sistematis merupakan yang mendasar bagi suatu
Negara. Hukum tanpa berjalan di atas rel yang berfungsi sebagai pondasi, tidak akan
berfungsi dengan baik. Begitupun halnya dengan ekonomi, tanpa disokong oleh suatu
sistem, tidak akan mungkin dapat berjalan sesuai harapan. Dalam rangka
pembangunan ekonomi suatu Negara berkembang, hukum harus berperan secara
optimal. Agar hukum dapat berjalan secara optimal, maka diperlukan hukum dalam
bentuk yang sistematis. Jika inigin memperbaiki pertumbuhan ekonomi di suatu
Negara berkembang, maka harus dilakukan adalah memperbaharui sistem hukum dan
menentukan arah pembangunan secara jelas dan terarah. Sistema hukum yang cocok
diterapkan di Negara yang sedang berkembang adalah Sistem hukum yang bersifat
pro-pasar (market-friendly).7

6 Hamdani Hakim, Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Ekonomi Nasional, Rabu 22 Januari 2014,
http://kiemdhaninspiration.blogspot.co.id/2014/01/persaingan-usaha-tidak-sehat-dan.html., diakses tanggal 14 Maret 2017.

5
Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, kepastian hukum dan stabilitas
ekonomi merupakan hal yang penting dalam pembangunan perekonomiannya.
Investasi merupakan salah satu penyokong perekonomian yang cukup dominan.
Dengan Sistem hukum dan juga sistem politik yang stabil dapat membawa pengaruh
pada tumbuh dan berkembangnnya perekonomian Negara berkembang, senada
dengan transplantasi sistem ekonomi yang pro-pasar ke dalam suatu Negara
berkembang, maka timbul pertanyaan, apakah ekonomi Indonesia sudah
dikategorikan pro-pasar? Menurut penelitian, Indonesia menempati peringkat yang
kurang strategis dibandingkan 117 negara dunia yang dilirik oleh para investor.

Ada beberapa alasan/teori yang mendukung hal tersebut, diantaranya:8

1. Investor tidak melihat kepada Sistem hukum apa yang dianut oleh suatu Negara,
tetapi lebih melihat kepada kepastian hukum.situasi/stabilitas politik suatu Negara.
2. Indonesia dinilai tidak atraktif/tidak kompetitif, karena mata rantai birokrasi yang
sangat panjang.
3. Jika terjadi sengketa, akan diadili di forum arbitrase internasional, tidak dengan
hukum Indonesia.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan ternyata sistem hukum


ekonomi pro-pasar bukanlah satu-satunya parameter untuk mengubah kesejahteraan
negera-negara berkembang seperti Indonesia. Sistem ekonomi yang ideal untuk
Indonesia adalah sistem ekonomi pasar bebas yang terkendali.Dimana Sistem ini
tetap membuka peluang yang seluas-luasnya kepada pasar, dengan tetap dikendalikan
oleh pemerintah sebagai guidenya.

7 Rachmadi Usman S.H. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta. 2004

8 Mustafa kamal Rokan, S.H., M.Hum. Hukum Persaingan Usaha (teori dan praktiknya di Indonesia). PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 2012

6
Perjanjian Price Fixing sendiri dapat berupa:9

1. Horizontal Price Fixing

Horizontal Price Fixing ini adalah perjanjian penetapan harga umum yang
terjadi antar sesame pelaku usaha yang selevel seperti produsen dengan produsen
terhadap barang dan/atau jasa yang sama yang diberlakukan pada pasar yang
bersangkutan yang sama.

2. Vertical Price Fixing


Vertical Price Fixing adalah perjanjian penetapan harga umum yang terjadi
antara pelaku usaha yang tidak selevel, misalnya antara produsen dan distributor
atau dengan pengecer (retailer).

Rasionalitas Pelarangan Penetapan Harga10

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hukum


persaingan karena perilaku kesepakatan penetapan harga akan secara langsung
menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan
yang ada di pasar. Dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun mendekati
biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga akan meningkat. Ketika harga
bergerak turun mendekati biaya produksi maka pasar akan menjadi lebih efisien
sehingga kesejahteraan pun akan meningkat (welfare improvement). Namun ketika
perusahaan-perusahaan melakukan kesepakatan penetapan harga, maka harga akan
naik jauh diatas biaya produksi. Kenaikan harga ini diperoleh dengan cara membatasi
output masing-masing perusahaan yang bersepakat. Kenaikan harga dan penurunan

9 Maria Edietha, PERJANJIAN LISENSI PATENT POOLING TERKAIT ASPEK


HUKUM PERSAINGAN USAHA, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, 2010,hlm. 28

10 http://www.kppu.go.id//,Op.Cit., 19

7
produksi ini akan menurunkan kesejahteraan konsumen (consumer loss) karena
konsumen harus membayar barang dan atau jasa dengan harga yang lebih tinggi
dengan jumlah yang lebih sedikit. Selain itu, kesejahteraan di pasar juga akan turun
(welfare loss) karena berkurangnya jumlah barang dan atau jasa yang ada di pasar.
Oleh karena itu, hilangnya persaingan akibat penetapan harga ini jelas melanggar
hukum persaingan karena merugikan konsumen dan perekonomian secara
keseluruhan.

Dampak Positif Dan Negatif Terhadap Price Fixing

Price Fixing sendiri ada yang diperbolekan dan ada yang tidak diperbolehkan
menurut Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat. Berkaitan dengan dampak positif dan negative
dari praktek price fixing sendiri tergantung dengan bagaimana kondisi atau
situasional sosial yang terjadi saat itu, karena price fixing yang diperbolehkan apabila
ada campur tangan dari pemerintah yang tentunya bertujuan untuk membawa
pengaruh positif bagi sisi masyarakat selaku konsumen dan bagi pelaku usaha selaku
produsen. Adapun dampak positif dari price fixing bagi masyarakat selaku konsumen
yaitu kosumen tidak akan kesulitan mencari barang / jasa yang dibutuhkan dengan
harga umum atau bahkan dengan harga yang murah, sedangkan dampak positif bagi
pelaku usaha selaku produsen tentunya akan menciptakan suatu kondisi persaingan
usaha yang sehat, dimana produsen yang berskala kecil akan bisa tumbuh dalam
persaingan usaha dalam berinovasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku
konsumen. Sedangkan price fixing yang tidak diperbolehkan tentunya yang tidak ada
campur tangan dari pemerintah, karena pastinya akan menciptakan suatu kondisi yang
negatif baik bagi beberapa pelaku usaha yang dianggap sebagai pesaing dan bagi
masyarakat selaku konsumen, dimana dampak negatifnya diantaranya akan
menyebabkan adanya siatuasi kelangkaan atau terbatasnya jumlah produk dipasaran

8
yang disebabkan karena dari produsen yang memang mengurangi jumlah produksi,
adanya penimbunan produk karena enggan menjual, yang membuat masyarakat
kesulitan untuk memperoleh produk yang dibutuhkan, sehingga dalam kondisi
demikian ketika masyarakat selaku konsumen sudah sangat tergantung pada suatu
produk tersebut, pihak produsen akan dengan mudah mempermainkan dan
menetapkan atau menaikkan harga dengan seenaknya, yang tentunya akan merugikan
masyarakat selaku konsumen, selain akan tercipta suatu kondisi adanya persaingan
tidak sehat bagi para pesaing usaha dan akan ada beberapa pelaku usaha yang gulung
tikar yang tentunya akan membawa dampak pada pengurangan tenaga kerja.

Langkah KPPU Dalam Menanggulangi Price Fixing

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan


Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999), dan
dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang
bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang,11 tidak dengan serta merta
dapat menghilangkan segala bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat yang selama ini ada, dan bahkan oleh sebagian kalangan di masyarakat telah
dianggap sebagai suatu hal yang biasa.12

Namun setidaknya kehadiran UU No.5/1999 dan KPPU telah memberikan


secercah harapan bagi masyarakat mengenai adanya upaya untuk segera mengakhiri
segala bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang selama ini

11 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5, LN No.33 tahun 1999, TLN.
No.3817, ps.30 ayat (1).

12 Lihat Ditha Wiradiputra, Fenomena Persekongkolan, Mingguan


Ekonomi dan Bisnis KONTAN (1April 2002).

9
terjadi, sehingga kedepannya tercipta suatu efektifitas dan efesiensi dalam kegiatan
usaha, dimana seperti yang sering dilontarkan oleh banyak cendekiawan, bahwa tidak
adanya efektifitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha telah mengakibatkan dunia
usaha di Indonesia mengalami ekonomi biaya tinggi (high cost economy), 13 hal
tersebut jugalah yang menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya krisis ekonomi
yang melanda negeri ini.

UU No.5/1999 merupakan salah satu hukum positif yang harus ditegakkan di


seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga KPPU sebagai lembaga yang
yang ditugasi oleh UU No.5/1999 untuk mengawasi pelaksanaan dari UU No.5/1999
itu sendiri,14 memiliki kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan dari UU No.5/1999
di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia juga. Bagi KPPU tugas tersebut
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, terlebih bagi suatu lembaga yang masih baru
terbentuk, dimana KPPU sendiri masih harus banyak belajar (terutama kepada
negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan UU Persaingan Usaha) agar dapat
menerapkan UU No.5/1999 sebaik-baiknya, karena menegakan hukum persaingan
usaha merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, dan dalam
banyak hal fakta-fakta saja tidak cukup kuat untuk mengatakan bahwa telah terjadi
suatu pelanggaran terhadap UU No.5/1999 atau tidak,15 terlebih masih banyaknya
13 Hall Hill, Economy dalam Indonesias New Order: The Dynamics of
Socio-Economic Transformations, 1st ed. Edited by Hall Hill (St Leonard,
NSW 2065 Australia: Allen & Unwin Pty Ltd, 1994), p.70-71. lihat juga
Richard Mann, Economic Crisis in Indonesia: The Full Story, (Penang
gateway Books, 1998), hal.99.

14 Pasal 30 ayat (1) UU No.5/1999.

15 Achmad Shauki, UU No.5/1999 dan tantangan bagi KPPU, Makalah


disampaikan pada Diskusi Panel Memperingati 2 tahun diberlakukannya
UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan
Kebijakan Usaha FHUI, Jakarta, 26 Maret 2002, hal.1.

10
kekurangan yang ada di pada UU No.5/1999 itu sendiri. 16 Sebagai perbandingan
dengan competition authority di Jerman, dimana menurut Franz Juergen Saecker
seorang ahli hukum persaingan usaha dari Jerman, Bundeskartellamt atau The
German Cartel Monitoring Commission saja memerlukan waktu lebih kurang sepuluh
tahun untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang memadai agar dapat
menjalankan tugasnya secara baik.17

Tahap Pemeriksaan Oleh KPPU

a. Panggilan

Sebelum proses pemeriksaan dilaksanakan, KPPU terlebih dahulumenyampaikan


panggilan kepada pelaku usaha, saksi atau pihak lain untuk hadirdalam proses
pemeriksaan. Surat panggilan dari KPPU biasanya memuat tanggal,hari, jam
sidang serta tempat persidangan yang akan dilaksanakan.18

Pelaku usaha atau saksi yang telah dipanggil namun tidak hadir
dalampersidangan di KPPU dapat diancam dengan tindakan tidak kooperatif
yang melanggarPasal 42 UU No.5/1999, kemudian perkara diserahkan kepada
kepolisian (Pasal 41ayat 3 UU No.5/1999). Ini berarti bahwa perkara berubah
menjadi perkara pidana.

b. Pemeriksaan

16 Ditha Wiradiputra, UU Persaingan Usaha mendesak direvisi, Bisnis


Indonesia (26 Agustus 2002).

17 The Jakarta Post, Expert says KPPU should exclude business people, (9 September 1999). Dr.
Andi Fahmi Lubis, SE, ME dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Dr. Andi Fahmi
Lubis, SE, ME dan Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI (Ed), Published and Printed with Support of
Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009

18 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, op.cit. p.27.

11
1) Administratif

Prosedur administratif meliputi pemeriksaan identitas dan pembacaan


hakyang dimiliki oleh pelaku usaha, saksi atau pihak lain. Menurut Pasal
39(3), Komisiwajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku
usaha apabilamemang informasi tersebut termasuk rahasia perusahaan.
Menurut Pasal 39(5),dalam melakukan pemeriksaan, anggota Komisi
dilengkapi dengan surat tugas.Menurut ketentuan Pasal 20 Keputusan KPPU
No 05 Tahun 2000, pihak yang diperiksatersebut berhak didampingi oleh
kuasa hukumnya yaitu advokat sebagaimana diatur

dalam UU Advokat No 18 Tahun 2003.

2) Pokok permasalahan

Dalam memeriksa pokok permasalahan, terdapat dua tahap yaitu pemeriksaan


oleh KPPU dan pemberian kesempatan pada pelaku usaha untuk
menyampaikan keterangan atau dokumen. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
KPPU sifatnya searah, artinya KPPU memberikan pertanyaan pertanyaan
kepada pelaku usaha, sedangkan

pelaku usaha tidak diberi kesempatan memberikan tanggapan atas dokumen


yang diperoleh KPPU atau saksi yang telah diperiksa.19

Pelaku usaha diberi kesempatan untuk memeriksa dan membaca BAP


pemeriksaan. Apabila diperlukan dan disetujui KPPU, pelaku usaha dapat
memberikan koreksi atas BAP tersebut. Sebelum sidang ditutup, baik dalam
pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan lanjutan, KPPU memberikan
kesempatan pada pelaku usaha atau saksi untuk memberikan keterangan atau
dokumen tambahan.

19 Ibid Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, hal. 36

12
Bagi pelaku usaha, keterangan atau dokumen tambahan ini berfungsi sebagai
bentuk pembelaan.

3) Pembuktian

Pasal 42 UU No.5/1999 menentukan bahwa yang dapat dijadikan alat bukti


dalam pemeriksaan oleh KPPU terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan terlapor/saksi pelaku usaha.
Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaan perkara yang rumit. Saksi ahli
dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU. Walaupun tidak
ada definisi yang pasti tentang saksi ahli dalam perkara monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, dapat disimpulkan bahwa pengertian ahli disini
adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang praktik monopoli dan
persaingan usaha, dan memahami bidang usaha yang dilakukan oleh pelaku
usaha yang sedang diperiksa.

Pelaku usaha maupun saksi dapat memberikan dokumen untuk menguatkan


posisinya/keterangannya. Setiap dokumen yang diserahkan akan diterima oleh
KPPU.

Majelis KPPU kemudian akan memberikan penilaian terhadap dokumen


tersebut. Dokumen pelaku usaha dianggap mempunyai sifat yang obyektif,
oleh karena itu dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, dokumen
pelaku usaha mempunyai kekuatan pembuktian yang khusus.

Petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti asalkan petunjuk itu mempunyai
kesesuaian dengan petunjuk lainnya atau sesuai dengan perbuatan atau
perjanjian yang diduga melanggar UU Antimonopoli. Suatu petunjuk yang
didapat dalam bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama
dengan kekuatan pembuktian surat atau dokumen. Penggunaan alat bukti

13
petunjuk dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak dapat disama
ratakan, melainkan ditentukan kasus perkasus.

Alat bukti petunjuk merupakan indirect evidence yang dapat diterima dalam
hukum persaingan. Di negara lain juga demikian. Misalnya, di Australia,
untuk menentukan adanya kesepakatan (meeting of the minds) yang
diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum
persaingan, bukti situasional (circumstantial evidence) bisa dipakai yakni
yang berupa: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-
sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa
(dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya.20

4) Pembacaan Putusan

Pasal 43 ayat (3) UU No.5/1999 mensyaratkan setelah 30 hari pemeriksaan


maka KPPU wajib memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran ataupun
tidak. Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU No 5 Tahun 1999 disebutkan
bahwa pengambilan keputusan itu diambil dalam suatu sidang Majelis yang
beranggotakan sekurang kurangnya 3 orang anggota Komisi.

Putusan komisi tersebut harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk
umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha (Pasal 43 ayat (4) UU
No 5 Tahun 1999). Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (4) UU ini yang
dimaksudkan dengan pemberitahuan kepada pelaku usaha tersebut adalah
penyampaian petikan putusan komisi kepada pelaku usaha atau kuasa
hukumnya.

UU No.5/1999 tidak menyebutkan secara rinci apakah petikan putusan


tersebut harus disampaikan secara langsung kepada pelaku usaha (in person)

20 Terry A dan Giugni D, Business, Society and the Society (Ausralia: Harcourt Brace & Company,
1997) pp. 678 679.

14
atau dapat dilakukan dengan metode lain. Dengan berpegang pada asas
efisiensi serta keterbukaan, maka pada asasnya Komisi harus berusaha
memberitahukan putusannya pada pelaku usaha yang bersangkutan pada hari
yang sama dengan hari pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. 21
Dengan mengingat pada pendeknya waktu (yakni 14 hari) yang dimiliki oleh
pelaku usaha untuk mengajukan upaya hokum keberatan terhadap putusan
Komisi, maka selayaknyalah pemberitahuan putusan tidak harus dilakukan
dengan in person melainkan dapat dilakukan dengan bantuan sarana
komunikasi yang modern seperti e-mail atau fax.

KESIMPULAN

Price fixing atau penetapan harga masuk ke dalam Undang-undang Nomor 5


Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam penetapan harga, produsen harus memahami secara mendalam besaran sensitifitas
konsumen terhadap harga, jangan sampai pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan
harga (price fixing) yang dapat merugikan konsumen. Perjanjian menurut versi hukum
persaingan terdapat dalam pasal 1 ayat 7 UU No.5 Tahun 1999 perjanjian adalah suatu
perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau
lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam
Blacks Law Dictionary, price fixing dikatakan sebagai A combination formed for the
purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, and stabilizing the
price of comodity. Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi edisi ke-2 yang disusun
oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan
suatu harga (price) umum untuk suatu barang ata jasa oleh suatu kelompok pemasok

21 Knud Hansen, et all., op.cit. p.396.

15
secara bersama-sama, sebagai kebalikan tas pemasok yang menetapkan harganya secara
bebas.

Dapat dikatakan bahwa Perjanjian penetapan harga (price fixing


agreement) merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
bertujuan untukmenghasilkan laba yang setingi-tingginya. Dengan adanya penetapan
harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual), maka akan
meniadakan persaingan sehat dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan,
yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmati oleh
pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk
mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar
dan menentukan harga yang tidak masuk akal.

Maka Diperlukan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi Nasional. Kebutuhan


akan suatu Sistem yang sistematis merupakan yang mendasar bagi suatu Negara. Hukum
tanpa berjalan di atas rel yang berfungsi sebagai pondasi, tidak akan berfungsi dengan
baik. Begitupun halnya dengan ekonomi, tanpa disokong oleh suatu sistem, tidak akan
mungkin dapat berjalan sesuai harapan. Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu
Negara berkembang, hukum harus berperan secara optimal. Agar hukum dapat berjalan
secara optimal, maka diperlukan hukum dalam bentuk yang sistematis. Jika inigin
memperbaiki pertumbuhan ekonomi di suatu Negara berkembang, maka harus dilakukan
adalah memperbaharui sistem hukum dan menentukan arah pembangunan secara jelas
dan terarah. Sistem hukum yang cocok diterapkan di Negara yang sedang berkembang
adalah Sistem hukum yang bersifat pro-pasar (market-friendly)

16
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Terry A dan Giugni D, Business, Society and the Society (Ausralia:


Harcourt Brace & Company, 1997).

Achmad Shauki, UU No.5/1999 dan tantangan bagi KPPU,


Makalah disampaikan pada Diskusi Panel Memperingati 2
tahun diberlakukannya UU No.5/1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan
Kebijakan Usaha FHUI, Jakarta, 26 Maret 2002,

17
Ditha Wiradiputra, UU Persaingan Usaha mendesak direvisi,
Bisnis Indonesia (26 Agustus 2002).

Dr. Andi Fahmi Lubis, SE, ME dkk, Hukum Persaingan Usaha


Antara Teks dan Konteks, Dr. Andi Fahmi Lubis, SE, ME dan
Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI (Ed), Published
and Printed with Support of Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009

Mustafa kamal Rokan, S.H., M.Hum. Hukum Persaingan Usaha


(teori dan praktiknya di Indonesia). PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2012

Maria Edietha, PERJANJIAN LISENSI PATENT POOLING


TERKAIT ASPEK HUKUM PERSAINGAN USAHA,
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, 2010

Rachmadi Usman S.H. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia.


Gramedi Pustaka Utama, Jakarta. 2004

18
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2008

Romli Atmasasmita, Persaingan Usaha dan Hukum yang


mengaturnya di Indonesia, (Jakarta: ELIPS Departemen
Kehakiman Republik Indonesia,2000)

A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha


Tidak Sehat Perse Illegal dan Rule of Reason, 2003, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia

JURNAL:

The Jakarta Post, Expert says KPPU should exclude business


people, (9 September 1999).

Lihat Ditha Wiradiputra, Fenomena Persekongkolan, Mingguan


Ekonomi dan Bisnis KONTAN (1April 2002).

Hall Hill, Economy dalam Indonesias New Order: The Dynamics


of Socio-Economic Transformations, 1st ed. Edited by Hall Hill
(St Leonard, NSW 2065 Australia: Allen & Unwin Pty Ltd,

19
1994), p.70-71. lihat juga Richard Mann, Economic Crisis in
Indonesia: The Full Story, (Penang gateway Books, 1998),

Hamdani Hakim, Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Ekonomi


Nasional, Rabu 22 Januari 2014,
http://kiemdhaninspiration.blogspot.co.id/2014/01/persaingan-
usaha-tidak-sehat-dan.html., diakses tanggal 14 Maret 2017

Angga Poerwandiantoko, Perbedaan dari 11 Perjanjian yang Dilarang


Disertai Contohnya, Senin 29 April 2013,
http://anggapoerwandian.blogspot.co.id/2013/04/perbedaan-
dari-11-perjanjian-perjanjian.html, diakses tanggal 14 Maret
2017

https://ekonomiana.wordpress.com/tag/penetapan-harga/

http://kampongwisatakite.blogspot.co.id/2016/02/makalah-penetapan-
harga.html

http://www.kppu.go.id// Draft Pedoman Pasal 5 Tentang Penetapan


Harga Uu No. 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

20

Anda mungkin juga menyukai