Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH: EKONOMI MANAJERIAL

DOSEN :

KEGAGALAN PASAR

DENGAN ADANYA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KELOMPOK 2:

1. ARFAH PILIANG
2. DEBI ABDILLAH
3. HALIMAHTUSSAKDIAH
4. RIKA

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU 2014
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Pengertian

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5
Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-
undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan praktek monopoli adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

1. Azas dan Tujuan

Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan


demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai
berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.

4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

2. Kegiatan yang dilarang

Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Perjanjian yang dilarang

1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau
jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang
dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.

4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa.

6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja
sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa.

7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan
atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri


Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.

B. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di


Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

C. Contoh Persaingan Usaha Tidak Sehat

A. Kartel

Definisi Kartel, dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, Cartel is a
group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing
with each other. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum
usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa
melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen
atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga,
pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.

Jenis-Jenis Kartel :

Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik kartel, perlu diketahui
pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini, praktik kartel dapat diidentifikasi atau dideteksi
berdasarkan jenis-jenisnya sebagai berikut.

1. Kartel Daerah Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau wilayah.
Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang membagi wilayah pemasarannya
berdasarkan regional tertentu. Perusahaan A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B
menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi berdasarkan distrik
ataupun propinsi. Perusahaan A boleh memasukkan produknya ke wilayah perusahaan B,
tetapi tidak boleh melakukan pemasaran dengan agresif seperti melakukan promo khusus
regional.
2. Kartel Produksi Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan kuota
produksi bagi anggota-anggotanya.

3. Kartel Harga Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk
menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan harga. Modus praktik atau
polanya bisa bervariasi. Mereka bisa menetapkan harga terendah, termasuk kesepakatan
harga untuk musim penjualan (banting harga). Antara kartel harga dan kartel produksi
biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya menjadi satu kesepakatan.

4. Kartel Kondisi Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui praktik
kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis. Misalnya, pembuatan sistem
administrasi (prosedur) dalam pengambilan kredit kendaraan bermotor, penyusunan
mekanisme dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian diskon (potongan harga),
bonus, dan sebagainya.

5. Kartel Pembagian Laba Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk
melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian laba diberikan ke pihak
(anggota) sebagai bentuk kompensasi atas kesepakatan yang telah mereka setujui. Tujuannya
tidak lain untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku kartel.

Dampak terjadinya Kartel


Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian baik perekonomian
suatu Negara maupun bagi konsumen.
1. Kerugian bagi perekonomian suatu Negara antara lain:
a) Dapat menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi
b) Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi
c) Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru
d) Menghambat masuknya investor baru
e) Dapat menyebabkan kondisi perekonomian yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang
kompetitif dibandingkan Negara-negara lain yang menerapkan system persaingan usaha
yang sehat
2. Kerugian bagi konsumen antara lain :
a) Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pasar
yang kompetitif
b) Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu
daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara pelaku usaha
c) Terbatasnya pilihan pelaku usaha

Contoh Kartel di Indonesia

1. Kartel Layanan Pesan Singkat (SMS off-net) Antar Operator

Perkara ini muncul setelah KPPU menerima laporan tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 berkaitan dengan penetapan harga SMS off-net.
Pelanggaran tersebut dilakukan oleh PT Excelkomindo Pratama, Tbk (Terlapor I), PT
Telekomunikasi Selular (Terlapor II), PT Indosat, Tbk (Terlapor III), PT Telkom, Tbk
(Terlapor IV), PT Huchison CP Telecommunication (Terlapor V), PT Bakrie
Telecom(Terlapor VI), PT Mobile 8 Telecom (Terlapor VII), Tbk, PT Smart Telecom
(Terlapor VIII), dan PT Natrindo Telepon Seluler (Terlapor IX).
Pemeriksaan Pendahuluan telah dilakukan pada tanggal 2 November 200713
Desember 2007, dilanjutkan Pemeriksaan Lanjutan sampai dengan 26 Maret 2008,
dengan Ir. Dedie S. Martadisastra sebagai Ketua Tim Pemeriksa, Erwin Syahril, S.H., dan
Dr. Sukarmi, S.H, MH masing-masing sebagai anggota Tim Pemeriksa. Melalui proses
pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa KPPU.

Pada periode 1994 - 2004 hanya terdapat tiga operator telekomunikasi seluler di
Indonesia dan berlaku satu tarif SMS sebesar Rp 350,-. Namun demikian tidak
ditemukan adanya kartel diantara operator pada saat itu karena tarif yang terbentuk
terjadi karena struktur pasar yang oligopoli. Pada periode 2004 - 2007 industri
telekomunikasi seluler ditandai dengan masuknya beberapa operator baru dan mewarnai
situasi persaingan harga. Namun demikian harga SMS yang berlaku untuk layanan SMS off-
net hanya berkisar pada Rp 250-350,-. Pada periode ini Tim Pemeriksa menemukan
beberapa klausula penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250,-
dimasukkan ke dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Interkoneksi antara operator
sebagaimana tertera dalam Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi.

Pada bulan Juni 2007, berdasarkan hasil pertemuan BRTI (Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia) dengan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), ATSI
mengeluarkan surat untuk meminta kepada seluruh anggotanya untuk membatalkan
kesepakatan harga SMS yang kemudian ditindaklanjuti oleh para operator. Namun
demikian Tim Pemeriksa melihat tidak terdapat perubahan harga SMS off-net yang
signifikan di pasar. Pada periode 2007 sampai sekarang, dengan harga yang tidak
berubah Tim Pemeriksa menilai kartel harga SMS masih efektif terjadi sampai dengan April
2008 ketika terjadi penurunan tarif dasar SMS off-net di pasar.

Dengan demikian telah jelas bahwa enam operator telekomunikasi terbukti


melakukan kartel layanan pesan singkat yang merugikan konsumen sebesar Rp. 2,87 triliun
dalam kurun waktu mulai tahun 2004-2007. Menurut Ketua majelis Komisi KPPU Deddi
S. Mardjana keenam operator yaitu Telkomsel, XL, Mobile -8, Telkom, Bakrie Telecom,
dan Smart telah membuat perjanjian tertulis yang mengakibatkan terjadinya kartel SMS.
Perjanjian tersebut dibuat akibat Pemerintah tidak mengatur penghitungan tarif SMS
sehingga mereka melakukan self regulatory Tiga operator lain, yaitu Indosat,
Hutchinson(3) dan Natrindo (Axis) sempat ikut dalam perjanjian tersebut tetapi tidak
melaksanakan kesepakatan dalam perjanjian tersebut sedangkan Bakrie Telecom(Esia),
Mobile8(Fren) dan Smart Telecom sebagai pemain baru dalam bisnis telekomunikasi,
terpaksa mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh operator terdahulu.

Meski perjanjian tersebut akhirnya dibatalkan dan Pemerintah menurunkan tarif


interkoneksi, tidak terjadi penurunan tarif SMS secara signifikan.Artinya, kartel tetap
terjadi. Padahal, pada Bulan Juli 2007 Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI) telah meminta semua oparator membatalkan seluruh perjanjian itu. Berdasarkan
perhitungan KPPU, tarif SMS yang kompetitif seharusnya RP 114 per kirim. Rinciannya,
tarif originasi Rp 38, biaya RSAC (retail service activities cost) 40 persen dari biaya
interkoneksi ditambah margin keuntungan 10 persen.Akibat selesih tarif kompetitif (Rp
114) dengan tarif perjanjian (Rp 250), selama tiga tahun konsumen dirugian RP 2,827
Triliun.
Atas dasar hal tersebut KPPU kemudian menghukum keenam operator tersebut
berdasar tingkat kesalahannya. Telkomsel didenda Rp 25 miliar, XL Rp 25 miliar, Telkom
Rp 18 miliar, Bakrie Rp 4 miliar dan Mobile8 Rp 5 miliar. Denda tersebut harus disetor ke
kas negara. Sementara Smart tidak terkena denda karena sebagai pemain baru,
perusahaan tersebut mempunyai posisi tawar yang paling lemah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang dapat disimpulkan adalah :


1. Bahwa dalam Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, sebagaimana telah disebutkan diatas
maka Hukum persaingan usaha yang dilanggar adalah Kartel ( kartel tariff sms antara
Sembilan operator selular di Indonesia )
2. Unsur-unsur yang dilanggar dalam praktik yaitu unsur pelaku usaha, unsur perjanjian
penetapan harga, dan unsur pelaku usaha.
3. Dari perkara tersebut ada lima operator selular diantaranya yaitu XL.
Telkomsel,Telkom Indonesia, dan Bakrie dikenakan denda dengan pembayaran
sejumlah uang sedangkan empat lainnya dibebaskan dari denda karena tidak terbukti
melakukan kartel.
4. Pendekatan hukum yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara tersebut adalah
rule of reason, yaitu melalui analisa fakta dan bukti-bukti.
5. Dampak dari praktik kartel tersebut adalah menyebabkan kerugian kepada konsumen,
dimana konsumen dituntut untuk membayar tarif sms yang lebih mahal, dan juga tidak
ada kebebasa memilih karena tariff sms di antara operator semuanya sama. Disamping
itu juga menyebabkan para operator new intrant atau operator baru tidak punya pilihan
karena berada pada posisi tawar yang rendah sehingga mau tidak mau harus mengikuti
kebijakan operator terdahulu yang telah memilki pangsa pasar yang besar.

2. Kartel Fuel Surcharge

KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menetapkan sembilan maskapai


penerbangan bersalah karena telah melakukan praktik kartel fuel surchrage. Kesembilan
maskapai itu adalah : PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Mandala
Airlines, PT Sriwijaya Air, PT Travel Express Aviation Service, PT Lion Mentari Airlines,
PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, dan PT Kartika Airlines.

Definisi Fuel Surchage


Fuel Surchage merupakan komponen baru dalam tarif jasa penerbangan Indonesia,
baik domestik maupun internasional yang terpisah dari komponen biaya yang telah ada
selama ini (sumber: Position Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan).
Pemberlakuan fuel surcharge sebagai komponen tarif merupakan upaya maskapai
penerbangan Indonesia seizin Pemerintah (Departemen Perhubungan) selaku regulator, dalam
menghadapi kenaikan biaya akibat harga avtur yang meningkat drastis, seiring dengan
peningkatan harga minyak dunia. Jadi fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif yang
ditujukan untuk menutup biaya maskapai yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata,
sehingga besaran fuel surchrage secara keseluruhan harus sama persis dengan selisih harga
avtur yang harus dibayar maskapai akibat kenaikan harga avtur. Biaya fuel surchrage ini
tidak boleh dijadikan komponen margin oleh maskapai penerbangan.

Penerapan fuel surhchage sendiri merupakan fenomena yang lumrah terjadi dalam
industri penerbangan. Fuel surchrage juga terjadi pada industri penerbangan di negara-negara
lain. Hal yang kemudian menjadi permasalahan dan dikatakan merugikan konsumen oleh
KPPU adalah, ketika harga avtur turun fuel surchage yang dikenakan oleh maskapai
penerbangan tidak ikut turun. Bahkan cenderung naik. Pada titik inilah pelanggaran
dilakukan oleh masakapai karena dianggap mengambil margin dari biaya fuel surcharge yang
dikenakan pada konsumen dan dijadikan sebagai pendapatan perusahaan.

Oleh karena itu KPPU mengeluarkan keputusaan mengenai dugaan pelanggaran


terhadap Pasal 5 dan Pasal 21 UU no 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap sembilan maskapai penerbangan nasional. Kerugian
yang dialami konsumen sejak tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar Rp 5,08 13,8 triliun.
Angka ini terdiri atas sanksi denda dan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen.
Denda dan sanksi yang dikenakan akan digunakan untuk biaya pemerliharaan dan
pembangunan bandara.

Beberapa masakapai yang terkena sanksi merasa keberatan atas putusan KPPU,
ditambah mengetahui akan besarnya jumlah denda dan sanksi yang ditetapkan. Beberapa
diantaranya menyatakan usahanya akan gulung tikar kalau mereka diwajibkan membayar
denda dan sanksi tersebut. Emirsyah sebagai ketua INACA (Indonesia National Air Carriers
Association) yang sekaligus adalah Direktur Utama PT Garuda Indonesia menyatakan
pihaknya akan berkonsultasi dengan kuasa hukumnya dan berencana mengajukan banding.

Dalam hal ini, Menteri Perhubungan Freddy Numberi pernah menyatakan bahwa
pihaknya tidak akan ikut campur dalam persoalan ini. Padahal muncul permintaan dari pihak
INACA agar pemerintah tidak menutup mata akan persoalan yang kini tengah terjadi dalam
industri penerbangan Indonesia. Pemerintah diharapkan mampu menjembatani kedua belah
pihak, antara KPPU dan INACA. Kementrian Perhubungan sendiri pun menyanggupi
pihaknya akan bekerjasama jika dimintai data-data perihal kebijakan fuel surcharge yang
sudah berlangsung selama 5 tahun ini (tahun 2006-2010). Namun agaknya pemerintah sangat
berhati-hati dalam bertindak. Hal ini karena, tidak mungkin pemerintah selaku pihak yang
berwenang tidak tahu menahu mengenai kebijakan fuel surchrage yang ditetapkan oleh ke-9
maskapai ini. Apalagi sudah berjalan selama lima tahun.

Walau bagaimana pun, pihak yang terkena kerugian besar sesungguhnya adalah
konsumen pengguna angkutan udara. Seandainya tidak keluar keputusan oleh KPPU ini,
maka (hampir seluruh) konsumen/masyarakat pengguna angkutan udara tidak menyadari
bahwa harga tiket (harga avtur + fuel surcharge) pesawat yang mereka bayar diluar ketentuan
dari pemerintah.

B. Persaingan Usaha Tidak Sehat Monopoly Yang Terjadi di Carrefour

Bisnis ritel atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting dalam
kegiatan bisnis di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun produsen. Dari
sudut p rodusen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung tombak perusahaan yang akan
sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan. Melalui pengecer pula para produsen
memperoleh informasi berharga tentang komentar konsumen terhadap barangnya seperti
bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala sesuatu mengenai produknya. Sementara jika
dipandang dari sudut konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting
karena bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan pihak konsumen.

Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel


diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR
menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undang-undang tersebut dan lembaga yang
mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara
sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi
manfaat bagi konsumen.

Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan


persaingan usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh
pihak CARREFOUR Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT
Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75 persen saham PT Alfa Retailindo Tbk dari
Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke
KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap
wajar, sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Permasalahan
Dari latar belakang di atas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut: Sejauh
mana PT Carrefour melanggar Undang Undang No.5 Tahun 1999, sanksi apa yang telah
diberikan untuk pelnggaran tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah
dalam menangani kasus tersebut?

Kasus PT Carrefour Indonesia dan keputusan KPPU


Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi
perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU
No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil
alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.

Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau take over .
pengertian acquisition atau take over adalah pengambilalihan suatu kepentingan
pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2
ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat
mencaplok) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari
perusahaan tersebut.

Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan
menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang
harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau
orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi
harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan
pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului
dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan
dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap
memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.

Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan


kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu
Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya
dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU
No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU
No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan
penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan
posisi dominan.

Majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan


perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca
mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%.
sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi
dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999.

Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan
ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-
potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca
akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat
dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan
tersebut karena nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.

C. PENUTUP

Praktek persaingan usaha tidak sehat, juga terkait erat dengan praktek kolusi, korupsi
dan nepotisme, sudah menjadi penyakit kronis dan meluas di Indonesia. Berbagai upaya
mewujudkan iklim persaingan yang sehat dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan
dan regulasi dan penegakan hukum persaingan sudah dilakukan. Namun demikian, untuk
mainstreaming nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek pembangunan eknomi nasional
tidak dapat dilakukan hanya dengan penegakan hukum dengan kehadiran UU No. 5 dan
lembaga KPPU-RI. Gerakan Persaingan yang sehat dalam dunia usaha harus menjadi gerakan
rakyat secara nasional dan oleh semua lapisan. Tidak ada kata lain bagi bangsa Indonesia
selain melakukan segala upaya untuk memberantas praktek monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian nasiona, melemahkan
sistem inovasi nasional dan menciptakan kemiskinan dan kebodohan, terutama dalam
kegiatan usaha dan bisnis di Indonesia.

Melalui upaya penegakan hukum persaingan usaha yang sehat akan mendorong
terwujudnya level playing field. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah juga akan lebih
memperhatikan aksesibilitas, perlakuan, dan kesempatan yang sama bagi pelaku usaha, tanpa
diskriminasi. Masyarakat tentu saja akan lebih sejahtera karena mampu menghemat
pengeluaran atau income saving dan melakukan pilihan-pilhan rasional di pasar. Sementara
dunia usaha mampu tumbuh menjadi besar jika iklim persaingan semakin sehat karena
persaingan akan mendorong peningkatan efisiensi, produktifitas, dan daya saing. Para pelaku
usaha akan tetap memperoleh keuntungan tetapi pada tingkat yang wajar dan sustainable.
Selanjutnya, dengan keuntungan pada tingkat yang wajar, maka semakin kecil potensi bagi
pelaku usaha untuk memberikan kick back atau suap kepada pejabat terkait.

Sangat diyakini oleh banyak negara maju, iklim persaingan usaha yang sehat, menjadi
lokomotif sistem inovasi nasional untuk bekerja, yang selama ini dapat dikatakan tidur dan
kegiatan-kegiatan riset selama ini masih tidak terkait langsung sebagai pendorong
keberhasilan produk-produk nasional dalam pembangunan ekonomi nasional untuk
kebutuhan dalam negeri maupun produk ekspor yang unggul dan diminati dalam menembus
pasar global.

Dengan penegakan hukum, diseminasi nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek dan
sendi-sendi pembangunan ekonomi nasional secara konkrit seperti yang telah diungkap dalam
tulisan ini, dengan income saving dan tabungan serta daya beli masyarakat yang tinggi
sebagai implikasi harga wajar komoditi kebutuhan pokok masyarakat ditambah dengan
kebijakan fiskal pajak maka pembangunan UMKM khusus Usaha Mikro dan Kecil dapat
dipacu untuk berkembang menjadi usaha menengah yang tangguh, menciptakan usaha mikro-
kecil lebih banyak lagi dan akhirnya mengentaskan kemiskinan dengan kemandirian.

Anda mungkin juga menyukai