Anda di halaman 1dari 13

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Menurut UU

No. 5 Tahun 1999


Diva hypermarket yang bergerak di bidang retail merupakan perusahaan yang besar
yang bekerja sama dengan perusahaan retail dari Swiss. Perusahaan yang bergerak di
bidang waralaba retail tersebut awalnya hanya memiliki beberapa outlet di Tangerang.
Ternyata setelah beberapa tahun perusahaan ini semakin maju dan menguasai hampir
30% pangsa pasar. Bintang kejora Supermarket, retail lokal yang menjadi pesaing Diva
hypermarket semakin lama semakin tergerus di dalam persaingan bisnis retail ini. Atas
kesepakatan pihak Diva dan Bintang kejora, maka pihak Diva hypermarket
mengakuisisi 50% saham Bintang kejora Supermarket. Dengan bergabungnya kedua
perusahaan ini, mereka menguasai 75% pangsa pasar. Apakah perbuatan kedua
perusahaan ini bisa dikatakan melakukan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat?

Artikel di dalam www.ilmuku.com menyebutkan bahwa monopoli tidak hanya timbul di


kalangan usaha swasta, namun juga bisa ditimbulkan oleh monopoli negara yang
ditetapkan oleh pemerintah, misalnya: PLN, PAM, Telkom. Monopoli  di kalangan usaha
swasta bisa timbul  karena kekuatan modal, misalnya: pabrik baja, pabrik mobil,
pertamina; karena kerja sama dengan beberapa perusahaan dengan maksud untuk
menguasai pasar dan menghilangkan persaingan, misalnya: kartel, trust, sindikat;
karena diberikan kedudukan monopoli oleh undang-undang, misalnya: hak merek, hak
cipta, franchise; karena keterbatasan pasar (keindahan alam, keahlian istimewa,
misalnya: pemandangan yang indah, seniman; dan juga karena secara historis hanya
ada satu produsen dalam industri.

Adakah dasar hukum yang mengatur mengenai larangan monopoli ini?

Dalam hal ini pemerintah berupaya untuk mencegah adanya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dengan mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Apa yang dimaksud dengan monopoli?

Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat definisi Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Sedangkan yang dimaksud dengan Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan


ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Apa saja  yang diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini?

Beberapa hal yang diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1999 atau juga disebut sebagai UU
Antimonopoli antara lain:

1. Perjanjian yang dilarang, misalnya praktek oligopoli, penetapan harga, pembagian


wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, dan sebagainya. (pasal 4
sampai pasal 16 UU No.5 Tahun 1999)
2. Kegiatan yang dilarang, misalnya praktek monopoli, praktek monopsoni,
persekongkolan, dan sebagainya. (pasal 17 sampai pasal 24 UU No 5 Tahun
1999)
3. Penyalahgunaan posisi dominan. Posisi dominan yang dimaksud adalah keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Adapun penyalahgunaan posisi dominan misalnya jabatan rangkap,
pemilikan saham, dan lain-lain sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai dengan
pasal 27 UU No 5 Tahun 1999.

Bagaimana menilai akuisisi perusahaan tidak berakibat menjadi praktek


monopoli ataupun persaingan tidak sehat?

Untuk mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dikalangan
pelaku usaha, maka UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintah
membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang betugas menilai apakah
suatu perjanjian atau kegiatan usaha bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 1999.
KPPU  merupakan suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain dan  bertanggung jawab kepada Presiden
(pasal 30 UU No. 5 Tahun 1999).

Dalam menilai apakah dalam suatu merger telah terjadi praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, KPPU berpedoman pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha
dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa penilaian
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) mengenai apakah suatu akusisi
mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dengan
melakukan analisa sebagai berikut:

1)    Konsentrasi pasar artinya menilai apakah akuisisi dapat mengakibatkan terjadinya
Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2)    Hambatan masuk pasar artinya mengidentifikasi hambatan masuk pasar (entry
barrier) dalam pasar yang bersangkutan. Apabila  di pasar eksistensi  entry barrier
rendah maka akuisisi cenderung tidak menimbulkan dugaan praktik monopoli, namum
dengan eksistensi hambatan masuk pasar yang tinggi berpotensi menimbulkan dugaan
praktik monopoli

3)    Potensi perilaku anti persaingan artinya penilaian jika akuisisi melahirkan satu
pelaku usaha yang relatif dominan terhadap pelaku usaha lainnya di pasar,
memudahkan pelaku usaha tersebut untuk menyalahgunakan posisi dominannya untuk
mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dan mengakibatkan
kerugian konsumen..

4)    Efisiensi yaitu penilaian jika akusisi dilakukan dengan alasan untuk efisiensi
perusahaan. Dalam hal ini, perlu dilakukan perbandingan antara efisiensi yang
dihasilkan dengan dampak anti-persaingan yang dicapai dalam merger tersebut. Jika
nilai dampak anti-persaingan melampaui nilai efisiensi yang dihasilkan akusisi, maka
persaingan yang sehat akan lebih diutamakan dibanding mendorong efisiensi bagi
pelaku usaha.

5)    Kepailitan artinya yaitu  penilaian jika akusisi dilakukan dengan alasan menghindari
terhentinya badan usaha tersebut beroperasi di pasar. Apabila badan usaha tersebut
keluar dari pasar dan menyebabkan kerugian konsumen lebih besar, maka akusisi
tersebut tidak berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.

Dalam hal ini, apakah akusisi Diva hypermarket terhadap Bintang kejora
Supermarket bisa dianggap sebagai praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat?

Di dalam menilai apakah akusisi Dive hypermarket terhadap Bintang Kejora


supermarket mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha bukan hanya
dikaji berdasarkan besaran pangsa pasar saja, namun juga perlu menganalisa
konsentrasi pasar, entry barrier, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan
kepailitan, dengan pedoman tersebut. Dengan kata lain akusisi Diva hypermarket
terhadap Bintang kejora supermarket belum dapat dikatakan mengakibatkan praktik
monopoli dan persaingan usaha bila hanya mengkaji secara besaran pangsa pasar
saja.

Referensi:

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat

Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan Atau Peleburan


Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan
Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

1. Pengertian

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5
Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1
ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Anti Monopoli.

2. Azas dan Tujuan

Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan


demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah


sebagai berikut :

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai


salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
3. Kegiatan yang dilarang

Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha
patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18

1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli


tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau
beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;atau
b. mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol


dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu
yang dipersyaratkan.

4. Perjanjian yang dilarang

1. Oligopoli

Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :

a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa
yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah
harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan
atau jasa.
4. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa.

6. Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

7. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

8. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung.

9. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan
atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.

5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,


yang terdiri dari:

(a) Oligopoli

(b) Penetapan harga

(c) Pembagian wilayah

(d) Pemboikotan

(e) Kartel

(f) Trust

(g) Oligopsoni

(h) Integrasi vertikal

(i) Perjanjian tertutup

(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri

2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,

yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

(a) Monopoli

(b) Monopsoni

(c) Penguasaan pasar

(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :

(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing

(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi

(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar

(d) Jabatan rangkap

(e) Pemilikan saham

(f) Merger, akuisisi, konsolidasi

6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di


Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur
dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan
menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi
pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan
dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana


denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap


pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; atau

b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau

c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan


timbulnva kerugian pada pihak lain.

Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana

Sumber :

- http://eghasyamgrint.wordpress.com/2011/05/29/pengertian-persaingan-usaha-tidak-sehat/

- http://fikaamalia.wordpress.com

- http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/kegiatan-dan-perjanjian-yg-dilarang-anti-monopoli/

- http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/
Contoh kasus pengaduan konsumen

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi


dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan
menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
dan sebagainya.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan


perlindungan adalah:

Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 , dan Pasal 33.

Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran


Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821

Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.

Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan


Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang


Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota

Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795


/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

Contoh kasusnya :
Berbagai kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus
ini biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari
sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang
menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk
menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial di
internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama
baik.

Muasalnya adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi
keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut. Prita
awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan
sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah Demam
Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita merasakan
berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa penjelasan apa
pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami pembengkakan. Ketika
Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan mendapatkan data medis
dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa awal 27.000 trombosit
bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.  Prita mempertanyakan perbedaan
yang signifikan itu.

Analisis kasus :

Dalam kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di


Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita malah
mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pasal  27 ayat 3
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.” Karena ancaman hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1
UU yang sama lebih dari 5 tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka
tersangka bisa ditahan.

Padahal prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas
layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun
dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari kasus di atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk  menyuarakan
keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku
usaha produk barang atau jasa. keputusan yang kurang berpihak pada keadilan seperti
itu tidak bisa diterima,karna merugikan konsumen.

Sumber :

http://lifeschool.wordpress.com/2009/06/04/kasus-prita-vs-rs-omni/

http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen

http://ra3pila.wordpress.com/2012/03/12/kasus-kasus-perlindungan-konsumen/

http://news.okezone.com/read/2011/07/12/338/478950/kasus-prita-potret-buruk-
pemberdayaan-konsumen

http://seftiean.wordpress.com/2012/11/04/kasus-perlindungan-konsumen/

Anda mungkin juga menyukai