Dengan adanya persaingan usaha yang sehat dan adil, memang dapat membantu
meningkatkan kualitas suatu produk barang dan/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha,
dengan harga yang terjangkau oleh konsumen. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa dibalik praktik usaha bisnis yang jujur dan adil tersebut, ada berbagai macam
persaingan persaingan yang tidak sehat, yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil
terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah, dengan dalih pemeliharaan
persaingan yang sehat.
Tanpa adanya persaingan, tidak akan dapat diketahui apakah kinerja yang dijalankan
sudah mencapai tingkat yang optimal. Ini dikarenakan tidak adanya pembanding yang dapat
dijadikan acuan. Kita akan selalu terjebak pada penilaian subjektif bahwa kita sudah
melakukan yang terbaik. Menurut Michael E. Porter ada lima factor persaingan yang terdapat
pada tiap jenis industry, yaitu:
1. Persaingan industry sesame perusahaan sejenis, yaitu persaingan antara sesame industry
yang memproduksi komoditas yang sama dengan merek berbeda.
2. Peserta potensial, yaitu persaingan dengan perusahaan baru yang secara potensial dapat
mengancam eksistensi perusahaan uang sudah ada.
3. Barang substitusi, yaitu persaingan dengan produk substitusi.
4. Pemasok, yaitu kekuatan tawar menawar para pemasok dalam memasok bahan baku,
tenaga kerja, teknologi, energi dan sebagainya.
5. Pembeli, yaitu kekuatan tawar menawar para pembeli.
Kelima hal tersebut merupakan unsur persaingan yang harus dimiliki dan dikuasai
perusahaan, keterpaduan factor tersebut akan memberi sinergi bagi perusahaan. Para
pengusaha yang mampu menyusun suatu strategi yang terpadu dan lengkap akan mampu
menguasai pasar global.
Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, dalam pasal 17 samapi
dengan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 telah menentukan secara jelas dan terstruktur
mengenai kegiatan yang dilarang yang berdampak merugikan persaingan pasar, meliputi
kegiatan sebagai berikut:
A. KEGIATAN MONOPOLI
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan
pembentukan hukum persaingan. Monopoli itu sendiri sebetulnya bukan merupakan suatu
kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh dengan cara-cara yang fair dan
tidak melanggar hukum. Oleh karenanya monopoli itu sendiri belum tentu dilarang oleh
hukum persaingan, akan tetapi justru yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan dari
perusahaan yang memiliki posisi monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar
bersangkutan yang biasa disebut sebagai praktik monopoli atau monopolizing/monopolisasi.
Suatu perusahaan dikatakan telah melakukan monopolisasi jika pelaku usaha mempunyai
kekuatan untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan lain, dan syarat kedua, pelaku
usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk melakukannnya.
Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha (penjual) ternyata
merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu, dan pada pasar tersebut
tidak terdapat produk substitusi terdekat (pengganti). Akan tetapi karena perkembangan
jaman, maka jumlah satu (dalam kalimat satu-satunya) kurang relevan dengan kondisi riil di
lapangan, karena ternyata banyak usaha industri yang terdiri lebih dari satu perusahaan
mempunyai perilaku seperti monopoli. Berdasarkan kamus Ekonomi Collins yang dimaksud
dengan monopoli adalah:
“Salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu perusahaan
dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta adanya
pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha
lainnya”.
Demikian pula Black’s Law Dictionary memberikan definisi tentang monopoli dari segi
yuridis sebagai berikut:
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
monopoli adalah:
“Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”.
Dari pengertian dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 ini terdapat unsur-unsur
yang dapat dikategorikan sebagai monopoli, yaitu: adanya penguasaan atas produksi, dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu, serta dilakukan oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Jika diamati sebetulnya kegiatan yang merupakan pokok dari berbagai larangan yang
terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah praktik monopoli. Pada dasarnya praktik
monopoli ini merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertenu sehingga
dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita ambil unsur-unsur dari praktik monopoli yaitu:
a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha,
b. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu,
c. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, dan
d. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang
atau jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan penguasaan itu pelaku usaha
tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa (hal ini dikenal pula dengan istilah price
fixing). Sedangkan persaingan tidak sehat dapat terjadi bila persaingan yang terjadi di antara
para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran batang atau jasa
dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum serta dapat menghambat persaingan.
Dengan demikian, tidak semua tindakan penguasaan atas produksi atau pemusatan
merupakan pelanggaran. Monopoli yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan
dan pengelolaan bisnis yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka
panjang sehingga menghasilkan suatu perusahaan yang kuat dan besar serta mampu
menguasai pangsa pasar yang besar pula, tentu saja bukan merupakan tindakan penguasaan
atas produksi dan pemasaran barang dan jasa (monopoli) yang dilarang. Seperti halnya
monopolisasi di Amerika Serikat, menurut ketentuan Section 2 The Sherman Act 1890 tidak
semua monopoli dilarang, yang dilarang adalah justru “monopolization” (di Indonesia akan
menjadi monopolisasi atau praktik monopoli). Praktik monopoli menurut pengertian
Sherman Act ini adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan menggunakan
kekuatan monopoli (monopoly power) atas suatu pasar produk dan atau pasar geografis (pasar
bersangkutan) tersebut. Jadi, dalam hal ini Sherman Act menekankan adanya niat untuk
menguasai (melakukan praktik monopoli) dalam penerapan Section 2 The Sherman Act 1890
ini. Di dalam monopolisasi ini terdapat masalah mendasar, yaitu:
a. Apakah monopoli itu melanggar hukum atau apakah ilegalitas bergantung pada
tindakan yang patut dicela dalam mendapatkan atau mempertahankan kemampuan
untuk ber-monopoli?
UU No. 5 Tahun 1999 membagi dalam 2 (dua) pengaturan substansi yaitu Perjanjian
yang Dilarang dan Kegiatan yang Dilarang. Kegiatan yang termasuk dalam kegiatan yang
dilarang adalah kegiatan monopoli, monopsoni, penguasan pasar serta persekongkolan
(collusive tendering). Perbedaan antara kegiatan yang dilarang dan perjanjian yang dilarang
umumnya dapat dilihat dari jumlah pelaku usahanya. Perjanjian yang dilarang melihat dari
unsur katanya, yaitu perjanjian, hal ini sudah dapat dipastikan harus ada minimal dua pihak,
sementara dalam kegiatan yang dilarang, dalam melakukan kegiatan tesebut dapat dilakukan
oleh hanya satu pihak/pelaku usaha saja. Dalam teori, munculnya monopoli dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
1. Monopoli yang terjadi karena pelaku usaha memiliki kemampuan teknis tertentu
seperti:
Pemegang posisi monopoli yang dimaksudkan di dalam pedoman ini adalah pelaku
usaha yang bukan termasuk ke dalam pelaku usaha monopoli menurut Pasal 51. KPPU dalam
pembuktian adanya dugaan pelanggaran Pasal 17, menggunakan pendekatan rule of reason
yang dapat dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu:
B. KEGIATAN MONOPSONI
“a condition of market in which there is but one buyer for a particular commodity.”
Monopsoni adalah situasi pasar di mana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal; sementaraitu, pelaku usaha atau kelompok usaha yang bertindak sebagai penjual
jumlahnya banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan
bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya.
Pola yang dilakukan oleh praktik monopoli maupun monopsoni sebenarnya hampir
sama yaitu memberlakukan diskriminasi harga, pada saat monopolis memberlakukan
tawaran ambil atau tidak sama sekali maka monopolis tersebut akan mendapatkan
keuntungan maksimal dari konsumen, demikian juga seorang monopsonis akan mendapatkan
keuntungan maksimal dari supplier-nya, tanpa mengurangi output yang terbentuk.
Praktik monopsoni bisa juga mengakibatkan munculnya kartel. Kasus monopsoni yang
kemudian dikategorikan sebagai kasus kartel di Amerika Serikat muncul pada saat-saat awal
lahirnya Sherman Act, yaitu kasus konspirasi para pengusaha pengepakan daging yang
bersepakat untuk mengatur harga beli daging sapi dari peternak. [United States v. Swift &
Co., 122 F. 529 (C.C.N.D. Ill. 1903), aff’d, 196 U.S. 375 (1905)
Selanjutnya di Amerika Serikat, secara per se kartel yang dilakukan oleh pembeli
maupun oleh penjual tidak pernah dibedakan, jadi bisa dikatakan bahwa kartel dapat muncul
juga oleh pelaku monopsoni. Supreme Court Amerika Serikat memutuskan mengenai
penetapan harga yang dilakukan oleh para pembeli dalam kasus gula, dikarenakan alokasi
pasar yang sangat ketat, maka para petani beet (bahan baku gula) hanya dapat menjual pada
3 produsen gula. Ketiga produsen gula tersebut kemudian melakukan penetapan harga di
antara mereka. Penetapan harga antara 3 produsen gula terhadap harga beli beet dari petani
tersebut tidak mempengaruhi harga jual gula kepada konsumen. Keputusan Supreme Court
Amerika Serikat bahwa kasus ini tetap sebagai per se illegal kartel walaupun yang terkena
dampak adalah penjual beet bukan konsumen.
Monopsoni juga dapat dilakukan tanpa menimbulkan kartel, khususnya pada kasus
hambatan masuk ke pasar secara horizontal, di mana para kompetitor bersepakat di antara
mereka untuk menghambat masuknya pesaing baru. Apabila hambatan tersebut dilakukan
oleh para pembeli kompetitor secara teoritis tidak akan dianggap sebagai kartel horizontal.
Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada
pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini pun akan menjual dengan cara
monopoli atau dengan harga yang tinggi. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat
akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat
potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau
suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh kasus monopsoni yang banyak terjadi di
negara-negara berkembang adalah masalah hubungan antara petani dengan pabrik. Biasanya
pada suatu wilayah tertentu hanya terdapat satu pabrik yang akan menampung seluruh hasil
produksi pertanian. Dalam kondisi seperti ini biasanya petani sangat tergantung kepada
produsen, sebaliknya produsen akan berusaha menekan petani. Pada kondisi inilah kemudian
kita menyaksikan ada salah satu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur
dengan tegas kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.
Untuk kasus Indonesia beberapa tahun lalu kita juga melihat ada kasus monopsoni yang
terjadi pada beberapa pasar. Di antaranya pada pasar cengkeh, di mana Badan Penyangga
Pemasaran Cengkeh (BPPC) di bawah koordinasi Tommy Suharto memaksa semua petani
untuk menjual cengkeh mereka pada BPPC dengan harga murah yang disertai dengan
berbagai alasan yang dipaksakan. UU No. 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara
khusus dalam Pasal 18 yang menyatakan, bahwa:
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi membeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan pada Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, maka monopsoni merupakan suatu
keadaan di mana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
suatu produk, sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat, dan apabila pembeli tunggal
tersebut juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa. Syarat-
syarat pembuktian adanya monopsoni adalah sebagai berikut:
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah para pelaku usaha yang
mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa yang di pasar yang bersangkutan. Wujud penguasaan
pasar yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dapat terjadi dalam berbagai
bentuk perilaku penjualan barang dan/ atau jasa di antaranya, jual rugi (predatory pricing)
dengan maksud untuk “mematikan” pesaingnya; dan praktik penetapan biaya produksi secara
curang serta biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang.
Berbagai wujud penguasaan pasar seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha
yang mempunyai market power. Kriteria penguasaan pasar tersebut tidak harus 100%,
penguasaan sebesar 50% atau 75% saja sudah dapat dikatakan mempunyai market power.
Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan
keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar
memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh
pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadangkala melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Kalau hal ini yang terjadi, maka
mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hukum karena melanggar ketentuan-
ketentuan yang ada dalam hukum persaingan. Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa
besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu
perusahaan yang menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar. Oleh
karena itu penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi
perhatian bagi penegak hukum persaingan untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di
dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya
dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan antipersaingan yang bertujuan agar dia
dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
(maksimal).
Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara rule of reason sehingga
penguasaan pasar itu sendiri menurut pasal ini tidak secara mutlak dilarang. Penguasaan
pasar dilarang apabila dari pengasaan pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat atau
mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima. Perlu disimak, bahwa penguasaan pasarnya
sendiri belum tentu bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999, yang kemungkinan
bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 adalah jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh
pelaku usaha perusahaan yang menguasai pasar yang pada akhirnya anti terhadap persaingan
usaha yang sehat.
Terdapat empat jenis kegiatan yang dilarang oleh Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999,
yaitu:
1. Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu untuk Melakukan Kegiatan
Usaha yang sama pada Pasar Bersangkutan
a. Harus dibuktikan bahwa motivasi utama tindakan refusal to deal itu adalah untuk
menguasai pasar
b. Harus dibuktikan bahwa tindakan refusal to deal tersebut dapat mengarah pada
penguasaan pasar
c. Harus dibuktikan bahwa penguasaan pasar itu pada gilirannya akan memberikan
kekuatan pasar yang memungkinkannya untuk menerapkan harga supra competitive
atau menghambat persaingan berikutnya.
Penjual dapat memberikan suatu hak khusus untuk mendistribusikan barang kepada
seorang dealer bahwa dealer yang bersangkutan adalah satu-satunya yang akan
memperoleh penjualan dari penjual yang bersangkutan di suatu wilayah tertentu,
perjanjian semacam ini biasanya tertuang dalam perjanjian franchise. Hak untuk
memilih dealer dan menerapkan peraturan tentang jual beli antara penjual dengan
dealer adalah hak penjual, bahkan penjual memiliki hak untuk dapat menentukan
syarat-syarat khusus dalam penjualan oleh distributornya, di mana hak ini merupakan
bagian dari exclusive selling agreement, dan sifatnya adalah legal.
Suatu kegiatan distribusi barang/jasa yang bersifat vertikal, yang didahului dengan
perjanjian mengenai wilayah distribusi dan target konsumen yang spesifik akan
berdampak hanya kepada para pembeli barang atau jasa tersebut. Sepanjang perjanjian
dan kegiatan tersebut murni bersifat vertikal antara produsen/penjual dan
distributornya maka masih diperbolehkan. Masalah akan muncul apabila pada pasar
bersangkutan terdapat beberapa merek yang sama, dan terdapat beberapa distributor di
pasar bersangkutan yang memasarkan merek yang sama (intrabrand competition).
Kegiatan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu terjadi pada
hubungan pelaku usaha yang bersifat vertikal dalam bentuk larangan kepada
konsumen atau pelanggan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha
pesaingnya melalui kontrak penjualan atau kontrak pemasokan eksklusif (exclusive
dealing). Perjanjian eksklusif melihat apakah di pasar persaingan interbrand (antar
merek) kuat atau tidak. Tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaing dilakukan melalui perjanjian eksklusif atau pengaturan tujuan, bentuk
serta jumlah barang yang dapat dipasok.
Pasal 19 huruf b ini dibaca sebagai kegiatan menghalangi konsumen atau pelanggan
yang ingin berhubungan dengan pelaku usaha lain. Intinya, yang dilarang adalah
kegiatan yang bertujuan untuk mendorong konsumen atau pelanggan agar hanya
berhubungan usaha dengannya, dan menghalanginya berhubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaing. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam kriteria ini antara lain:
a. kewajiban pembelian secara eksklusif;
b. larangan pembelian yang berkaitan dengan pesaing;
c. memberlakukan pembatasan penggunaan (hanya untuk produksi sendiri);
d. pembatasan penjualan kembali;
e. klausula perlindungan konsumen;
f. memasang plakat reklame;
g. memancing pelanggan atau membagi selebaran di muka toko pesaing;
h. menutupi plakat pesaing dengan plakat sendiri;
i. mengiklankan suatu perusahaan penyewaan mobil dalam kolom untuk “Taksi” di
buku telepon.
Pasal 19 huruf c berusaha untuk tetap membuka pasar melalui usaha untuk memerangi
hambatan masuk pasar buatan. Apabila perilaku tersebut dilakukan dalam bentuk
perjanjian maka akan berkaitan dengan Pasal 15 yang mengatur tentang perjanjian
tertutup. Ada berbagai macam perilaku yang termasuk dalam ketentuan ini. Hambatan
penggunaan (restriction on use) adalah salah satunya. Hambatan penggunaan dapat
terjadi ketika perbaikan kendaraan oleh penyalur kendaraan hanya boleh
menggunakan suku cadang yang dipasok oleh produsen dan komponen tersebut hanya
boleh dipasang oleh montir yang menerima latihan khusus dari produsen.
Perjanjian mengikat ekslusif juga termasuk dalam ketentuan ini. Perjanjian tersebut
dapat berupa klausul bahwa pelaku usaha hanya boleh membeli atau memasok
kembali kepada pihak ketiga, barang atau jasa komersial yang diperjanjikan.
Sederhananya, dilarang melakukan hubungan usaha dengan pihak ketiga. Sebagai
contohnya adalah kewajiban penerimaan atau pasokan yang dikenakan oleh produsen
atau penyalur resmi kendaraan bermotor. Pasal 19 huruf c juga mencakup perjanjian
distribusi, di mana produsen barang bermerek menentukan atau malahan melarang
daerah pemasaran dan/atau pembeli daerah tertentu. Perjanjian di mana pemasokan
barang tergantung pada penerimaan barang lain (tying agreement) juga membatasi
saluran pemasokan atau penerimaan.
Dalam rangka perjanjian, pelaku usaha lain atau konsumen diwajibkan untuk
menerima barang atau jasa komersial yang biasanya tidak termasuk barang atau jasa
yang merupakan objek perjanjian primer atau yang diinginkan. Praktik tersebut sering
terjadi dalam rangka kontrak sewa menyewa atau penjualan mesin, di mana penyewa
diwajibkan untuk membeli komponen yang harganya terlalu mahal.
Diskriminasi, untuk dapat memahaminya, pertama yang akan dilakukan adalah untuk
menentukan apakah definisi dari diskriminasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti
diskriminasi adalah membeda-bedakan. Sedangkan dalam kamus berbahasa Inggris
Merriem Webster’s Online Dictionary, “discriminate” tidak memiliki arti yang tegas,
namun pada dasarnya memiliki arti membedakan, memberikan perlakuan yang
berbeda atau memberikan perlakuan yang lebih istimewa kepada satu pihak
dibandingkan kepada pihak yang lain. Namun harus diperhatikan pula bahwa tidak
semua tindakan yang membedakan tersebut bersumber pada niat yang jahat dan tidak
semua hal “diskriminasi” bersifat menyakitkan/ bertujuan melukai pihak lain.
Pada dasarnya setiap pelaku usaha memiliki kecenderungan untuk melakukan
tindakan diskriminasi, entah mereka melakukannya secara sengaja atau tidak sengaja.
Beberapa tindakan yang biasa muncul dalam klaim bahwa telah terjadi praktik
diskriminasi adalah:
a. perbedaan harga jual dan persyaratan dan kondisi kontrak jual beli;
b. perbedaan harga sewa dan persyaratan fasilitas produksi;
c. perbedaan persyaratan dan perlakuan dalam pengakhiran kontrak;
d. perbedaan persyaratan dan perlakuan dalam kontrak yang tidak mensyaratkan
perpanjangan kontrak;
e. perbedaan persyaratan dan kondisi perjanjian waralaba.
Jika pelaku usaha memiliki posisi yang kuat dalam pasar menyalahgunakan posisinya
tersebut untuk mendorong pelaku usaha lain dalam rangka hubungan usaha agar
memberikan syarat istimewa tanpa adanya alasan yang meyakinkan, maka perilaku
yang seperti itu pada umumnya disebut sebagai “diskriminasi pasif”. Perilaku seperti
itu baru dapat dianggap menghambat persaingan jika pembeli tidak memberikan
perlakuan yang sama terhadap semua calon pemasok dalam rangka memperoleh
persyaratan pembelian yang paling menguntungkan, melainkan melakukan
pembedaan secara sistematik.
a. adanya perlakuan istimewa yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku
usaha tertentu; dan/atau
b. perlakuan istimewa tersebut sama sekali tidak berdasarkan pertimbangan yang
beralasan.
Salah satu bentuk perilaku anti persaingan yang menjadi perhatian dalam UU No. 5
Tahun 1999 adalah melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan. Jual
rugi adalah suatu strategi penetapan harga oleh pelaku usaha untuk menyingkirkan pesaingnya
dari pasar bersangkutan dalam upaya mempertahankan posisinya sebagai monopolis atau
dominan. Dalam praktik penentuan biaya variabel ratarata sangat sulit dilakukan, oleh
karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan, bahwa predatory pricing merupakan
tindakan menentukan harga di bawah harga rata-rata atau tindakan jual rugi.
Dapat dikemukakan, bahwa faktor harga merupakan hal yang sangat penting dan
esensial dalam dunia usaha. Oleh karenanya perilaku pelaku usaha yang menetapkan jual rugi
atau harga sangat rendah bertujuan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha para
pesaingnya bertentangan dengan prinsip persaingan yang sehat. Sama seperti penguasaan
pasar yang harus didasarkan pada adanya posisi dominan. Semakin besar diversifikasi
kegiatan pelaku usaha berupa produk dan pasar, makin kuat keuangannya, makin besar pula
kemampuannya untuk melakukan perilaku yang mematikan. Areeda dan Turner berpendapat,
bahwa untuk sukses melakukan jual rugi, maka pelaku usaha harus mempunyai pangsa pasar
yang besar.
Perusahaan yang menurunkan harganya pada level di mana pesaingnya akan mati,
maka akan menaikkan produksinya. Dengan demikian, maka akan semakin besar kerugiannya.
Oleh karena itu perilaku predator hampir tidak mungkin dilakukan perusahaan kecil, bahkan
perusahaan yang besar saja, tetap akan mengalami kerugian pada saat dia melakukan jual rugi.
Dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan, bahwa:
“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Berikut ini adalah unsur-unsur yang harus diperhatikan sebelum menuduh pelaku usaha
atau perusahaan memakai strategi ini:
a. Harus dibuktikan bahwa perusahaan tersebut menjual produknya dengan harga rugi
(menjual di bawah biaya rata-rata). Jika perusahan menjual dengan harga rendah,
namun tidak merugi, maka perusahaan tersebut bersaing secara sehat. Perusahaan
tersebut dapat menjual dengan harga rendah karena jauh lebih efisien dari pesaing-
pesaingnya.
b. Jika terbukti perusahaan menjual dengan harga rugi, masih harus dibuktikan bahwa
perusahaan tersebut memiliki kemampuan yang memungkinkan untuk menjual rugi
disebabkan adakalanya penjual melakukan jual rugi untuk menghindari potensi
kerugian yang lebih lanjut atau untuk sekedar mendapatkan dana untuk keluar dari
pasar (usaha).
c. Telah ditunjukkan bahwa perusahaan hanya akan menerapkan predatory pricing jika
perusahaan tersebut yakin akan dapat menutup kerugian di tahap awal dengan
menerapkan harga yang sangat tinggi (supra competitive) di tahap berikutnya.
Berdasarkan rumusan Pasal 20 ini, dapat kita ketahui bahwa tidak semua kegiatan jual
rugi atau sangat murah otomatis merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal
terjadi indikasi adanya tindakan predator, maka haruslah diperiksa apakah terdapat alasan-
alasan yang dapat diterima dan yang membenarkan tindakan tersebut, dan apakah memang
tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Oleh karenanya predatory pricing (jual rugi) dilarang secara rule of reason
dikarenakan penerapan harga di bawah harga variabel rata-rata di satu sisi akan
menguntungkan konsumen karena konsumen dapat menikmati barang dan atau jasa dengan
harga yang sangat rendah, namun di sisi lain predatory pricing tersebut akan sangat
merugikan pelaku usaha pesaing dikarenakan tidak dapat bersaing dalam hal penentuan harga
suatu barang atau jasa.
Kegiatan jual rugi sering kali dilakukan dalam praktik dagang yang dilakukan eksportir
dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di pasar internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri
atau daripada harga jual kepada negara lain. Jual rugi juga dapat dilakukan oleh produsen
pengekspor yang dengan sengaja banting harga dengan cara menjual rugi atau menjual
dengan harga lebih murah dibandingkan harga jual di dalam negeri atau di negara lain,
dengan harapan dapat mematikan usaha pesaing di pasar yang bersangkutan.
Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan konsumen, namun setelah
menyingkirkan pesaing dari pasar dan menghambat calon pesaing baru, pelaku usaha
dominan atau pelaku usaha incumbent tersebut mengharap dapat menaikkan harga secara
signifikan. Umumnya harga yang ditetapkan untuk menutupi kerugian tersebut merupakan
harga monopoli (yang lebih tinggi) sehingga dapat merugikan konsumen. Praktik ini adalah
upaya untuk memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang ditimbulkan ketika
melakukan jual rugi atau harga rendah. Strategi penetapan harga yang sangat rendah,
diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis atau dominan untuk melindungi
posisinya dengan cara melakukan pemotongan harga secara substansial atau melakukan
peningkatan produksi secara signifikan.
UU No. 5 Tahun 1999 juga menganggap salah satu aspek yang dapat dipersalahkan
sebagai penguasaan pasar yang dilarang adalah kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi. Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa:
“Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Penetapan biaya secara curang, yaitu melakukan kecurangan atau memanipulasi dalam
menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan komponen harga produk
sehingga harga lebih rendah daripada harga sebenarnya. Lebih lanjut penjelasan terhadap
Pasal 21 tersebut menyatakan, bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.
Sebagai bagian dari penguasaan pasar, maka kecurangan dalam menentukan biaya adalah
salah satu strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha untuk mematikan pesaingnya, yaitu
dengan jalan menyatakan biaya produksinya tidak sesuai dengan biaya yang sesungguhnya.
Secara akal sehat, tentu harga yang disampaikan adalah di bawah harga yang sesungguhnya,
dengan demikian dia bisa menjual barang atau jasanya lebih rendah dari para pesaingnya.
Sebetulnya Pasal 21 ini berbeda dengan Pasal 20, walaupun keduanya pada prinsipnya
sama, yaitu akhirnya menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam
Pasal 21 yang penekanannya adalah pada kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
berhubungan dengan biaya produksinya. Berdasarkan rumusan Pasal 21 UU No. 5 Tahun
1999, maka dapat kita ketahui bahwa pasal ini menganut prinsip rule of reason. Dengan
demikian kalau pun telah terjadi kecurangan, si pelaku tidak otomatis melanggar UU No. 5
Tahun 1999. Untuk dinyatakan bersalah, haruslah dibuktikan terlebih dahulu bahwa
kecurangan tersebut tidak mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima dan juga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
Persengkongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefinisikan oleh Pasal 1
ayat (8) UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku udaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersengkongkol. Maka oleh UU hal ini merupakan salah satu
kegiatan yang dilarang. Konspirasi usaha ini tidak perlu dilakukan dalam bentuk perjanjian,
seperti persengkongkolan untuk mencuri rahasia dagang perusahaan pesaingnya yang tidak
mungkin dilakukan dalam suatu perjanjian. Persengkongkolan dilarang dalam Pasal 22, 23,
dan 24 UU No. 5 Tahun 1999. Larangan terhadap persengkongkolan ini termasuk juga
persengkongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain yang belum tentu merupakan
pelaku usaha. Jenis-jenis pesengkongkolan yang dilarang sebagai berikut:
1. Persengkongkolan Tender
Pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat (Pasal 22). Persengkongkolan untuk mengatur pemenang tender
(tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, pengadaan
barang atau penyediaan suatu jasa). Sudah merupakan ketentuan umum bahwa
pemenang tender tidak dapat diatur melainkan siapa yang paling memenuhi syarat
penawaran dia yang menang. Oleh karena itu, dilarang persengkonkolan untuk
menentukan atau mengatur pemenang tender.
Proses yang kompetitif dapat menghasilkan harga yang lebih rendah atau kualitas dan
inovasi yang lebih baik, hanya ketika para perusahaan tersebut bersaing murni
(sebagai contoh, menetapkan persyaratan dan kondisi secara jujur dan berdiri sendiri).
Persekongkolan dalam tender dapat menjadi merusak apabila ia mempengaruhi
pengadaan publik. Persekongkolan tersebut mengambil sumber daya dari para
pembeli dan pembayar pajak, mengurangi kepercayaan publik dalam proses yang
kompetitif, dan mengurangi manfaat suatu pasar yang kompetitif.
a. pesaing setuju untuk memasukkan penawaran yang lebih tinggi daripada penawaran
pelaku usaha yang disepakati sebagai pemenang;
b. pesaing memasukkan penawaran yang diketahui terlalu tinggi untuk diterima, atau
c. pesaing memasukkan penawaran yang mencantumkan kondisi khusus yang
diketahui tidak dapat diterima oleh pembeli. Penawaran palsu ditujukan untuk
memberikan kesan telah terjadi persaingan yang sehat.
“Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan atau bisnis,
mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang”.
Rahasia dagang tersebut termasuk juga informasi industrial know how, seperti yang
dianut oleh hukum Amerika Serikat. Dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 2000
dinyatakan, bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi,
metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi
dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui masyarakat umum.
Kemudian jenis-jenis rahasia dagang yang secara yuridis akan mendapat perlindungan
terbatas adalah informasi yang bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomis, dan dijaga
kerahasiaannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya, yaitu semua langkah
yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan.
Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik
umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang dituangkan ke dalam
ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Dalam ketentuan internal perusahaan juga
ditetapkan bagaimana rahasia dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab
atas kerahasiaan itu.
Di Amerika Serikat, secara yuridis ruang lingkup rahasia dagang meliputi informasi
teknik (technical information) dan informasi nonteknik (non-technical information),
yang seluruhnya mencakup informasi teknikal penelitian dan pengembangan,
informasi proses produksi, informasi pemasok, informasi penjualan dan pemasaran,
informasi keuangan, dan informasi administrasi internal.
Pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
barang dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan/jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan (Pasal 24). Persengkongkolan untuk menghambat pasokan produk
adalah salah satu taktik bisnis yang tidak sehat. Usaha atau daya upaya yang dibuat
dengan tujuan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran dari produk pelaku
usaha pesaingnya, dengan harapan agar produk yang dipasok atau ditawarkan tersebut
menjadi kurang baik dari segi kualitas, dari segi jumlah dan ketetapan waktu yang
dipersyaratkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ini jelas bahwa pelaku usaha dilarang untuk
bersekongkol dengan pihak lain untuk:
a. restrictive trade agreement, yaitu bentuk kolusi di antara para pemasok yang
bertujuan menghapus persaingan secara keseluruhan ataupun sebagian, dan
b. restrictive trade practice, yaitu suatu alat untuk mengurangi atau menghilangkan
persaingan usaha di antara para pemasok produk yang saling bersaing. Misalnya
yang terjadi dalam perjanjian exclusive dealing, refusal to supply.
Referensi dan Bahan Bacaan
1. Areeda, Phillip dan Kaplow. Louis. Antitrust Analysis, Problem, Text, Cases., Little
Brown and Company. Boston, 1988
2. Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul – Minnesote: West
Publishing Co, 1990.
3. Dr. Andi Fahmi Lubis, SE, ME dkk, Hukum Persaingan usaha Buku Text, (Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha), 2017
4. Dr. Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Cetakan ke-3,
(Jakarta: Prenadamedia Group), 2018
Perundang- Perundangan