HAL 37
Setelah sampai baba bestari
Baba Hok menyambut berperi
Disambutnya dengan dipimpinnya jari
Baba Hok di kanan Ci Liung di kiri
HAL 38
Delapan Lebainya berbaju jubbah
Memakai songkok berjambak merah
Rupa pakaian terlalu indah
Duduk beratur empat sebelah
HAL 39
Tik Sing tindak manis lakunya
Digamitnya telur dengan jarinya
Telur termasuk ke dalam bajunya
Seorang pun tiada yang melihatnya
HAL 40
Lalulah diambil istirnya
Dibawa keluar dari pangkingnya
Diiringkan nyonyah serta sekaliannya
Mungkin bertambah pula ramainya
HAL 41
Kapitan berdiri di muka pintu
Memegang Iringkan seorang suatu
Jikalah Tik Sing sampai di situ
Dimasukkan ia ke bawahnya itu
HAL 43
Sungguhpun hamba mereka sudah
Hati di dalam sangatlah gundah
Petang dan pagi tunduk tengadah
Hati yang gila bukanlah mudah
HAL 44
Ada pada suatunya masa
Terubuk sedang senang sentosa
Datang pedendang ikan Kelasa
Mendapatkan Terubuk Ikan berbangsa
HAL 45
Pinggangnya ramping dadanya bidang
Patutlah dengan leher jenjang
Pipinya seperti pauh dilayang
Siapa yang melihat berhati sayang
Petikan 2
HAL 49
Pangkai berbelit di pohon jarak
Jarak tumbuh di tepi serambi
Jalan ditegah oleh syarak
Inilah hokum dibencikan nabi
HAL 51
Banyaklah orang membuat logo
Logo dibuat kayu jati
Dududk mencangkung ayam jago
Melihat musang memakai rok mini
HAL 54
Pramuka penggalang pergi berkemah
Dibimbing Pembina dua tiga
Senantiasalah minta kepada Allah
Diterangkan hati disehatkan jiwa
Kata yang empunya cerita, tersebutlah tempat ini dulunya merupakan hutan
belantara yang lebat. Barang siapa yang sudah masuk ke dalamnya, maka jangan
diharap akan dapat keluar lagi dengan selamat.
Pada suatu hari, ada sekelompok orang Talang yang datang ke sini. Mereka
bermaksud hendak membuka lading dan berkebun. Oleh karena itulah orang-orang
itu langsung saja menebang pohon-pohon yang besar, menebas semak belukar,
menyingkirkan kayu-kayuan yang banyak di sekitar tempat itu, sehingga tempat
tersebut menjadi bersih dan terang.
HAL 71
Setelah bekerja membuka hutan selesai mereka pun lalu melanjutkan
dengan beramai-ramai menyemai benih. Lelaki, perempuan, tua dan muda, bekerja
dengan sungguh-sungguh membuat lubang dengan kayu penugal dan mengisi
lubang itu dengan benih. Sehari suntuk mereka bekerja dengan giat dan rajin.
Apabila hari petang, mereka semua pulang ke pondok dan dangau masing-masing.
Tiba-tiba saja muncul kejadian aneh. Seperti muncul dari dalam tanah,
datang terbungkung-bungkuk seorang perempuan tua berambut putih karena uban.
Sebatang kayu dijadikannya tongkat untuk mengimbangi langkahnya yang
tersangkak-sangkak dan menggeletar perempuan it uterus melangkah menuju ke
tengah tanah kebun yang baru ditaburi benih itu.
Dengan suara serak dan gemetar dia bertanya kepada semua orang yang
ada disitu, “Apa yang sedang kamu kerjakan di sini?”.
HAL 72
“Tidak tahukah kamu bahwa tempat ini ada yang memilikinya?” tanya
perempuan tua itu lagi.
“Kami tidak tahu, Nek!”, jawab ketua suku itu. “Ketika kami membukannya
kemarin tempat ini merupakan hutan lebat”.
“Hutan dan rimba alas dan sawang, semuanya ada yang punya!” seru
peremuan tua itu dengan tegas,
“Maafkanlah kami, Nenenk!” kata pemimpin itu pula. “Lalu apa yang harus
kami lakukan sekarang? Hutan lebat sudah diterangi, tanah sudah ditugal dan benih
sudah ditabur. Apa yang harus kami lakukan, Nek?”.
“Jangan sesiapa pun mencabut tongkat ini” seru perempuan tua itu dengan
suar yang lantanga. “Tongkat inilah yang menjadi tanda kamu semua dibenarkan
membuka ladang di tempat ini “.
HAL 73
Oleh karena tak tahan mendengar bunyi salak anjing yang terus saja
membising sepanjang malam itu, beberapa orang datang ke tempat pemimpin
mereka dan bertanya, “Salak anjing itu membisingkan sekali, Datuk. Tak perlukah
kita menghentikannya?”
Pemimpin mereka menjawab “Jangan diperdulikan salak anjing itu. Itu
bukan anjing biasa, itu anjing jadi-jadian yang menjadi pengiring nenek yang menjadi
pemilik dan penunggu tanah yang kita jadikan ladang itu”.
HAL 74
Dengan sombong orang itu pergi seorang diri ke tengah ladang yang
baru disemai siang tadi sambil mengayunkan parangnya dan mengomel seorang
diri. “Aku tak peduli siapa kamu, anjingmu itu membuat bising dan mengganggu
saja di tempat ini. Akan aku libas kamu dengan parangku ini !”.
Semakin orang itu mendekati ladang itu makin nyaring dan bising salak
anjing itu kedengaran. Semua itu tidak dihiraukan. Ia terus saja melangkah pergi
mendekati tongkat yang telah dipancangkan perempuan tua tadi.
Dengan sekuat tenaga orang itu menetakkan parang pada tongkat yang
tercacak di tengah ladang itu. Tak satu suarapun terdengar, bahkan tidak bunyi desir
pada daun-daun atau suara jangkerik dan binantang malam lainnya.
Kesunyian itu tidak berlangsung lama. Segera pula terdengar salak anjing
yang lebih nyaring, lebih banyak, lebih bising, lebih gegap gempita dibandingkan
dengan sebelumnya.
Orang itu sangat marah karena merasa dipermainkan. Dengan hati panas
ia berteriak, “Nenek celaka ! Engkaulah hantu yang jahat!”.
HAL 75
Akan tetapi alangkah terperanjatnya orang itu ketika melihat dari lubang
bekas tongkat kayu itu tercacak keluar air deras membusu-busu . Ia segera lari
lintang pukang menuju ke tempat teman-teman sesame suku. Sambil berlari itu ia
menjerit-jerit katanya, “Hoi! Hoi” Tolong! Tolong Aku!”.
Hari sudah hamper pagi dan orang-orang sesukunya mendedas kea rah
orang itu. Badannya menggeletar ketika berkata, “Tongkat yang dicacakkan si
perempaun tua itu sudah kucabut dan keluar air membusu-busu!”.
Akhirnya tempat itu menjadi tasik sehingga semua orang yang telah
membuka tempat itu menjadi ladang, pergi ke tempat lain untuk membuka ladang.
Sejak itu pantang larang membuka ladang benar-benar dipegang dengan keras tak
boleh ada orang yang berani secara sombong melanggar pantang larang itu semau
hatinya saja.
HAL 77
Pawang Rusa diam, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mau
menjawab ia takut kepada raja, tidak dijawab berarti dia harus bias menjaring rusa
jantan yang beranak jantan. Perasaannya berkecamuk,hatinya galau mendapat titah
itu.
“Mana ada rusa jantan yang dapat beranak,” gumamnya ketika hendak
menuju pulang, Begitu beratnya, hingga Pawang Rusa menangis sepanjang
perjalanan pulang ke rumah. Bagaimana tidak, jika ia tidak dapat memenuhi titah
raja itu, maka ia yakin hukum pancung menantinya.
HAL 78
Sesampainya di rumah, anak perempuan satu-satunya Pawang Rusa,
Halimah terkejut melihat ayahnya menangis. Halimah sangat sedih billa melihat
ayahnya menangis, apalagi semenjak ibunya meninggal dunia dan meninggalkan
mereka berdua saja. Selama ini, Halimahnya yang merawat ayah dan menyediakan
keperluan ayahnya sehari-hari..
“Ayah, bukankah ayah baru saja bertemu dengan raja? Tidakkah itu
membuat ayah senang?” tanya Halimah. Pawang Rusa diam saja dan airmmata
masih saja jatuh bercucuran.
“Hal apa yang membuat ayah sedih menangis begitu? Bukankah Halimah
selalu ada di samping ayah?” bujuk Halimah lagi.
“Raha memberikan titah kepada ayah untuk dapat menangkap rusa jantan
beranak jantan dalam waktu tujuh hari. Bukankah itu tidak mungkin? Ayah sedih,
sampai kapan rusa jantan yang beranak jantan itu tidak akan pernah dapat ayah
jarring. Hukum pancung akan ayah jalani dank au akan tinggal sendiri, “ jawab
Pawang Rusa panjang lebar masih tetap menangis.
“Bawalah tenang dulu, Yah. Setelah itu barulah kita mencari jalan
keluarnya,” ujar Halimah bijaksana,
“Bagaimana ayah bisa tenang, sementara nyawa tinggal tujuh hari lagi,”
balas Pawang Rusa.
HAL 79
“Kematian itu bukan di tangan raja, tapi ditangan Tuhan, Ayah,” kata
halimah lagi.
“Apabila waktunya telah tiba tujuh hari sesudah perjanjian ayah dengan
raja mulailah ayah mengidap-idap atau menjerit-jerit seperti orang yang hendak
melahirkan. Apabila pesuruh raja semakin dekat dengan rumah kita, menjeritlah
lebih histeris lagi, layaknya orang kesakitan badan. Urusan dengan hulubalang
biadab saya yang mengurus di luar jelas Halimah.
HAL 80
Cemas dan takut bercampur menjadi satu menjelang satu harinya.
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hulubalang suruhan raja datang
menemui Halimah dan bertanya, “Ayahmy ada di rumah? Janjinya kepada raja telah
tiba,”.
“Hamba juga heran mengapa ini sampai terjadi,” jawab Halimah ketika
hulubalang menyampaikan keheranannya.
HAL 81
Begitu sampai di halaman Pawang Rusa, raja bertemu dengan Halimah
dan mengatakan bahwa Halimah berdusta “Mana mungkin seorang laki-laki
melahirkan bayi. Kamu hanya ingin menyembunyikan ayahmu dariku karena tidak
bisa menangkap rusa jantan beranak jantan,” bentak raja.
“Wahai Tuan yang kami muliakan, turunlah dulu dan marilah kita berbicara
di rumah kami yang buruk ini, agar kita dapat mencari jalan keluarnya”, jawab
Halimah dengan nada rendah.
Akan tetapi raja tidak mau peduli dia tetap saja memojokkan pawing rusa
dan mengatakan bahwa Halimah pendusta. Mendengar itu, Halimah berkata dengan
tenang. Apa yang dikatakan Tuan itu memang benar laki-laki tidak mungkin bisa
melahirkan sama dengan permintaan Tuan yang memaksa auah hamba untuk
menjaring rusa jantan beranak jantan. Kalau kami telah berbohong kepada Tuan, itu
karena Tuan yang telah memulai.” Terang Halimah.
HAL 82
Muka Raja Melat merah mendengar penuturan Halimah yang secara tak
langsung telah mempermalukannya di depan hulubalang-hulubalang. Tak lama
setelah itu, raja bergerak pulang menuju istana dan terbebaslah pawing rusa dari
ancaman hukuman pancung. Namun, peristiwa yang baru saja terjadi tidak dapat
dilupakannya. Raja Melat merasa terhina dan kalah oleh anak perempuan pawang
rusa.
Setelah sekian lama berpikir tentang apa yang akan dilakukan terhadap
keluarga pawang rusa, sang raja mendapatkan ide untuk mempersunting Halimah
atau memusahnakan orang-orang pintar di wilayah kekuasaannya. Akhirnya raja
mengambil keputusan untuk memusnahkan kepandaian pawang rusa dan anaknya.
HAL 83
Halimah pulang membawa burung merbah kecil itu. Hatinya memang agak
galau tapi dia tidak sampai kehilangan akal. Ketika masuk hari ketiga perjanjian,
hulubalang datang ke rumah pawang rusa untuk melihat sejauh mana perintah itu
telah dilaksanakan.
“Pulanglah panglima dan hulubalang raja itu dengan membawa pesan dari
Halimah. Betapa terkejutnya raja mendengar pesan yang dibawa hulubalang dan
panglima itu. Raja Melat mengaku kalah dan memberikan hadiah kepada keluarga
pawang rusa tersebut. Pawang rusa diberikan kebebasan untuk menjaring rusa
sedangkan Halimah diangkat menjadi ahli nujum kerajaan.
ANAK DURHAKA
HAL 84
Rawang Takuluak berada di Kuantan Mudik, Rantau Kuantan wilayah
budaya yang menyimpan amat banyak khazanah sastra lisan. Adalah Rawang
Takuluak. Rawang sevutan untuk sawah tadah hujan. Sedangkan Takuluak adalah
tekuluk atau kain panjang yang di jadikan penutup kepala atau tudung kepala.
Rawang Takuluk menjadi cerman didaktis kita kali ini. Betapa usaha-usaha kebaikan
dari orang tua, tidak semestinya dibalas dengan “tuba” keburukan. Cerita ini bukan
perkara merantau, seperti pada motif-motif durhaka lainnya di Riau, tetapi persoalan
bagaimana si anak kehilangan kesempatan memohon maaf kepada orang tua. Mari
kita simak ceritanya berikut ini :
Kata yang empunya cerita, hiduplah seorang emak yang sudah tua dan
seorang anaknya yang mulai beranjak dewasa. Anak gadis orang tua itu cantik jelita
paranya. Bak bunga yang mawar semakin mekar dan menebarkan keharuman
mempesona. Ayahnya sudah lama meninggal. Kehidupan sehari emaknya menjawat
upah menumbuk padai orang-orang dikampungnya. Upah yang diterima biasanya
dijual ke Pekan, sedangkan makannya diambil dari penukut, pecahan beras sisa
hasil tumbukan padai. Meskipun sudah berangkat dewasa, anak gadisnya tidak mau
membantu emaknya ke ladang dan menumbuk padi, khawatir tangannya keras.
HAL 85
Anak gadisnya selalu di bilik saja dan bersolek seharian. Tidak dipedulikan
emaknya yang sudah tua renta masih bekerja menghidupi dirinya. Semua keinginan
anakanya selalu dia penuhi. Begitulah orang tua kasihkan anak semata wayangnya.
Pada suatu hari emak dan anak gadisnya pergi ke pasar. Mereka ke pasar
untuk menjualkan beras upah menumbuk padi orang. Disuruhnya emaknya berjalan
lebih dahulu, karena kalau bersama dia malu bersama emaknya itu karena sudah
tua dan berpakaian compang-camping.
“Sudahlah nak, kamu kan sudah punya kerudung yang emak balikan pecan
lalu,” kata emaknya. Namun anaknya terus menerus merengek minta dibelikan.
HAL 85