Anda di halaman 1dari 20

1

Hukum Kontrak Internasional

Ujian Tengah Semester

Tulisan ini dipergunakan untuk memenuhi komponen nilai ujian tengah semester

Oleh: Bimo Aryo Tejo

NPM: 110110110197

Dosen: Prof, Dr, Huala Adolf, S.H, LL.M

Prita Amalia, S.H, M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
“DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA UJIAN TENGAH SEMESTER INI
MURNI DIKERJAKAN SENDIRI TANPA ADANYA BANTUAN DARI ORANG LAIN”
2

BAB 1

LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS DAN KASUS POSISI

LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS

Dalam melakukan suatu kegiatan perusahaan memang sangat menyentuh


berbagai macam pola kehidupan yang ada dalam masyarakat seperti halnya masalah-
masalah kelangsungan dari pada perusahaan itu sendiri.Perubahan masyarakat dewasa
ini yang sering lebih mengarah terhadap perkembangan dari pada teknologi
modernisasi.Seperti yang kita ketahui , Pada zaman globalisasi saat ini tengah melanda
dunia ,terutama Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan terutama dalam sektor
hukum ekonomi , yaitu dalam hukum kotrak khususnya kontrak dagang.
Menyebabkan berkembangnya jenis kontrak , meliputi kontrak dagang nasional atau
domestic yaitu suatu kontrak yang dilaksanakan antara 2 pihak baik perusahaan atau
perorangan , disuatu negara dengan perusahaan atau perorangan di negara lain .
Dari sifat dan ruang lingkup hukum yang mengikatnya, kontrak dapat berupa kontrak
nasional dan kontrak internasional. Kontrak nasional tidak lain adalah kontrak yang
dibuat oleh dua individu (subjek hukum) dalam suatu wilayah negara yang tidak ada
unsur asingnya. Sedangkan kontrak internasional adalah suatu kontrak yang di
dalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).3) Unsur asing dalam hal ini
adalah adanya keterkaitan sistem hukum dari (negara) salah satu pihak yang terlibat
dalam kegiatan kontrak tersebut sebagaimana pilihan hukum (choice of law) yang
disepakati diantara keduanya1.

Kontrak Dagang merupakan bidang hukum yang sangat penting di era ini
terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis
internasional2. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional
bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma,
dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk
dipatuhi oleh para pihak di masing-masing perusahaan bahkan Negara.

Perdagangan dewasa ini sangat pesat kemajuannya. Perkembangan tersebut


tidak hanya pada apa yang diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan
1
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, PT. Refika litama, Bandung, 2007, hlm 1.
2
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung, Alumni, 1976, hlm 3.
3

itu sendiri. Pada awalnya perdagangan dilakukan secara barter antara dua belah pihak
yang langsung bertemu dan bertatap muka yang kemudian melakukan suatu
kesepakatan mengenai apa yang akan dipertukarkan tanpa ada suatu perjanjian.
3
Setelah ditemukannya alat pembayaran maka lambat laun berter berubah menjadi
kegiatan jual beli sehingga menimbulkan perkembangan tata cara perdagangan. Tata
cara perdagangan kemudian berkembang dengan adanya suatu perjanjian diantara
kedua belah pihak yang sepakat mengadakan suatu perjanjian perdagangan
yang di dalam perjanjian tersebut mengatur mengenai apa hak dan kewajiban diantara
kedua belah pihak.
Bagi suatu perusahaan penentuan kebijaksanaan yang berkaitan dengan
masalah, apakah pengukuran dan pengakuan pendapatan harus sesuai dengan prinsip
akuntansi yang diterima umum. Hal ini penting dan harus dilaksanakan. Pengakuan
perlu dilakukan pada saat yang tepat atas suatu kejadian ekonomi yang menghasilkan
pendapatan. Jumlah pendapatan yang diakui juga harus diukur secara tepat dan pasti.
Permasalahan ini akan selalu muncul bila terjadi sebuah transaksi yang berhubungan
dengan pendapatan dalam suatu perdagangan 4

Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari yang berupa


hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan
jasa berdasarkan suatu kontrak dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan
potensi untuk melahirkan suatu sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap
didahului dengan penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi. Jika cara penyelesaian
negosiasi gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti
penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik
kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di
antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu
perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak
atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. Dasar
hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa
adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu
kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul..

3
Ibid
4
Ibid hlm 5
4

Kontrak dapat diartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian


kontrak dan perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara
tertulis,akan tetapi pada dasrnya kontrak adalah dokumen tertulis yang memuat
keinginan – keinginan para pihak untuk mencapai tujuan komersilnya serta bagaimana
pihak yang diuntungkan dilindungi ,atau dibatasi dalam tanggung jawabnya dalam
mencapai tujuan tersebut, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan
antara dua pihak dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk
melakukan sesuatu hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut dibuat
tertulis maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian secara
sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini memberikan arti bahwa kontrak
dapat disamakan dengan perjanjian. Perjanjian terjadi antara kedua belah pihak yang
saling berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu
perikatan diantara kedua belah pihak tersebut. Perikatan terdapat di dalam perjanjian
karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian disamping oleh undang-undang. Hal
tersebut daitur dan disebutkan dalam Pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik
karena undang-undang”. Pengertian perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum,
perikatan dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau
lebih,yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

KASUS POSISI
PT PRIMA JAYA INDAH yang bergerak di Usaha Pertambangan mengirimkan
surat No. 019/EVER-LETT/IV/2011 pada tanggal 15 april 2011 untuk meminta
konfirmasi EVERPIONEER terkait rencana termohon mengirimkan 9 orang ke lokasi
pemuatan batubara guna melakukan inspeksi dan analisa sampel batu bara akan tetapi
karena PT Everpioneer belum juga mengeluarkan surat ijin masuk (ke lokasi pemuatan)
sebagaimana diminta oleh pemohon pada tanggal 15 april 2012 maka pemohon
menanyakan kembali surat ijin masuk dimaksud pada tanggal 19 april 2011 dengan
mengirimkan surat no. 023/EVER-LETT/IV/2011. EVERPIONEER melakukan
wanprestasi terhadap pelaksanaan perjanjian jual-beli dan dengan tindakan
EVERPIONEER yang menghambat tim PRIMA JAYA INDAH yang akan melakukan
5

inspeksi batu bara sebelum pemuatn, sangat kuat indikasinya bahwa pihak
EVERPIONEER sengaja menutupi kualitas (kandungan NAR) batu bara yang dijualnya
terhadap pemohon, karena sebelumnya termohon sudah mengetahui bahwa kandungan
NAR batubara yang dijualnya berada dibawah spesifikasi yang diperjanjikan dalam
perjanjian jual-beli dan juga termohon melalui saksinya Anton Mustika Yahya dalam
pemeriksaan Arbitrase BANI telah melakukan tipu daya dengan menyampaikan
keterangan yang menyesatkan, sebagaimana tertera pada putusan BANI halaman 17
butir 1, yang mana akibat dari pernyataan termohon yang menyesatkan tersebut, arbiter
dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana tertera pada putusan BANI telah menilai
adanya ketidak konsistenan terkait tuduhan pemohon selaku pembeli batubara.
Termohon telah menyembunyikan fakta-fakta (maupun dokumen) yang menentukan
terhadap hasil putusan BANI di dalam proses pemeriksaan arbitrase, dan dengan
tindakannya tersebut EVERPIONEER juga telah terbukti melakukan tipu daya untuk
mempengaruhi penilaian arbitrer dalam mempetimbangkan secara hukum dan memutus
perkara arbitrase.

BAB III PERMASALAHAN HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

PERMASALAHAN HUKUM

1. Bagaimana pembaruan hukum kontrak/perjanjian di Indonesia dalam rangka


mendukung dan meningkatkan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis
internasional ?
2. Bagaimana hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia dan Internasional jika
disangkutkan dengan kontrak PT EVERPIONEER dan PT PRIMA JAYA INDAH?

TINJAUAN TEORITIK

Prinsip-Prinsip UNIDROIT

1. Kebebasan Berkontrak
2. Itikad Baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
3. Diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di Negara setempat
4. Kesempatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
6

5. Larangan bernegosiasi dengan itikad buruk


6. Kewajiban menjaga kerahasiaan
7. Perlindungan pihak yang lemah dari syarat-syarat baku
8. Syarat sahnya kontrak
9. Dapat dibatalkan apabila kontrak mengandung perbedaan besar (gross disparity)
10. Conta proferentem dalam penafsiran kontrak baku
11. Menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)
12. Pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeure)5

Prinsip-prinsip kontrak internasional UNIDROIT ini merupakan sumber hukum


kontrak internasional yang dibuat sebagai upaya menciptakan suatu harmonisasi hukum
dan aturan-aturan dalam perdagangan internasional agar perbedaan suatu sistem
hukum dengan sistem hukum lainnya tidak menjadi hambatan bagi para pihak dalam
melakukan transaksi perdagangan internasional6.

- Prinsip Kebebasan Berkontrak


Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam lima prinsip hukum
1. Kebebasan menentukan isi kontrak
2. Kebebasan menentukan bentuk kontrak
3. Kontrak mengikat sebagai undang-undang
4. Aturan memaksa sebagai pengecualian
5. Sifat Internasional dan tujuan UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran
kontrak
Prinsip-prinsip UNIDROIT berada pada wilayah kebebasan berkontrak, merupakan
pilihan hukum dan tidak bersifat memaksa. Penggunaan prinsip-prinsip UNIDROIT
dapat dikesampingkan atau dimodifikasi dan apabila para pihak tidak menundukan
diri pada prinsip-prinsip UNIDROIT maka mereka harus tunduk pada aturan
memaksa dari prinsip-prinsip hukumnya.

- Prinsip Itikad Baik (good faith) dan Transaksi Jujur (fair Dealing)
1. Landasan utama setiap kontrak internasional
2. Prinsip ini bersifat memaksa

5
UNIDROIT, www.unidroit.org, diakses tanggal 16 Oktober Pukul 21.20 wib.
6
Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian
Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 34-35.
7

3. Meliputi seluruh proses kontrak, mulai dari negosiasi, pembuatan pelaksaan sampai
berakhirnya kontrak.

- Prinsip Diakuinya Praktek Kebiasaan dalam Transaksi Bisnis sebagai Hukum Memaksa
1. Seseorang yang melakukan hubungan kontraktual dengan mitra bisnis di luar negeri,
dalam praktek harus tunduk pada hukum kebiasaan setempat.
2. Praktek bisnis yang sudah biasa berlaku diantara para pihak secara otomatis akan
mengikat para pihak, kecuali para pihak secara tegas mengabaikannya.

Tujuan Prinsip UNIDROIT

1. Menciptakan aturan yang berimbang, sehingga actor perdagangan internasional


yang berbeda tingkat ekonomi, system politik dan system hukum dapat
menggunakannya.
2. Menjawab kebuntuan pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa
3. Memberikan kesatuan tafsiran terhadap klausa kontrak
4. Model hukum dalam merancang kontrak.

Secara umum prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT pada dasarnnya memiliki


kesamaan dengan prinsip-prinsip hukum kontrak yang berlaku di Indonesia baik
dalam tujuan pembentukannya maupun dalam prinsip pengaturannya. Tujuan yang
sama yaitu bahwa kedua prinsip yang berlainan teritorial tersebut diciptakan sebagai
upaya untuk memudahkan para pihak dalam bertransaksi sehingga perbedaan
sistem yang ada tidak lagi dijadikan sebagai kendala untuk menciptakan
harmonisasi. Harmonisasi tersebut akan terwujud ketika prinsip-prinsip kontrak
UNIDROIT serta prinsip hukum kontrak yang berlaku di Indonesia mampu
mendorong terlaksananya tujuan pokok dari keseluruhan point yang ada.

Perbedaan yang secara nyata tidak mungkin dapat dihilangkan ialah aspek
teritorial dimana penerapan prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT sasaran utamanya
adalah teritory internasional sedangkan prinsip-prinsip hukum kontrak Indonesia
berada dalam teritorial Indonesia sehingga hanya berlaku secara nasional. Namun
demikian bukan berarti bahwa prinsip-prinsip nasional secara mutlak tidak dapat
digunakan untuk transaksi internasional, justru prinsip-prinsip yang terakumulasi
8

sebagai hukum nasional ini merupakan akar dari pembentukan kontrak internasional
karena kontrak internasional muncul sebagai hukum nasional yang diberi unsur
asing yaitu berbedanya kebangsaan, domisili, pilihan hukum, tempat penyelesaian
sengketa, penandatanganan kontrak, objek, bahasa, dan mata uang yang digunakan
semuanya dilekati oleh unsur asing sehingga menimbulkan perbedaan sistem
diantara kontrak internasional dengan ketentuan kontrak di indonesia. Namun
demikian diantara keduanya memiliki prinsip fundamental yang sama7.

Dari aspek pengaturannya, antara prinsip UNIDROIT dengan prinsip-prinsip


hukum kontrak Indonesia memiliki banyak kesamaan antara lain:

1. Adanya prinsip konsensualisme. Dalam kontrak UNIDROIT kesepakatan para


pihak merupakan hal yang mutlak bagi terbentuknya suatu kontrak meskipun tidak
dibuat secara formal (tertulis). Demikian juga dalam prinsip hukum kontrak di
Indonesia, konsensus para pihak yang termuat dalam pasal 1320 tentang syarat
sahnya perjanjian yang salah satunya adalah adanya sepakat para pihak merupakan
sesuatu yang paling penting meskipun tidak dilakukan secara tertulis karena dalam
ketentuan pasal tersebut pun tidak menyebutkan adanya kewajiban para pihak untuk
menuangkan kesepakatannya dalam bentuk tertulis. Formalitas tulisan hanya
dibutuhkan sebagai alat pembuktian jika terjadi sengketa yang mengharuskan
dibuktikannya suatu alasan persengketaan.

2. Adanya prinsip kebebasan berkontrak, yang pada intinya memberikan peluang


kepada para pihak untuk menentukan apa yang mereka sepakati, baik berkaitan
dengan bentuk maupun isi dari kontrak itu sendiri. Prinsip kebebasan berkontrak ini
dilandasi oleh teori kehendak dan teori pernyataan sebagaimana juga sesuai
diterapkan pada prinsip konsensualisme karena tanpa adanya kehendak dan
pernyataan maka tidak akan timbul konsensus diantara para pihak sehingga jika
tidak ada kesepakatan maka daya mengikat dari suatu kontrak akan tidak berlaku.

3. Adanya prinsip itikad baik, yang pada intinya bertujuan untuk menciptakan
keadilan bagi para pihak dalam bertransaksi. Prinsip ini merupakan landasan utama
untuk para pihak mengadakan kontrak, sesuai dengan teori kepercayaan sebagai

7
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
hlm 195-200.
9

daya mengikatnya suatu kontrak karena diawali dengan itikad baik maka akan
menumbuhkan saling kepercayaan sehingga kontrak dapat direalisasikan dengan
baik. Setiap pihak harus menjiunjung tinggi prinsip ini dalam keseluruhan jalannya
kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai kepada
berakhirnya kontrak.

4. Prinsip kepastian hukum. Adanya prinsip kepastian hukum memberikan


perlindungan bagi para pihak dari itikad tidak baik pihak –pihak bersangkutan
ataupun pihak ketiga. Kontrak yang telah disepakati dianggap berlaku mengikat
seperti undang-undang bagi para pembuatnya dan tidak bisa diubah tanpa
persetujuan dari pihak-pihak yang membuatnya.

5. Konsekuensi dari pelaksanaan semua prinsip di atas pada akhirnya akan bermuara
pada suatu teori gevaarzetting yang intinya adalah sebuah konsekuensi akhir yang
harus diterima oleh adanya akibat dilaksanakannya suatu kehendak membuat
kontrak. Keuntungan ataupun kerugian yang ditimbulkan itu sudah harus menjadi
tanggung jawabnya para pihak yang bersangkutan. Pelanggaran dari kesepakatan
yang telah dibuat antara para pihak akan menimbulkan kerugian yang wajib
ditanggung oleh pihak yang mendapat kerugian tersebut tanpa tuntutan kepada
pihak yang lainnya.
6. Pilihan hukum yang digunakan sejak proses negosiasi, pada tahap ini sudah tidak
lagi dapat digunakan karena pada tahap ini adalah tahap pencapaian hasil dari
segala kontrak yang telah disepakati bersama diantara para pihak.8

Penerapan Prinsip UNIDROIT di Indonesia

Secara umum prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT pada dasarnya memiliki


kesamaan dengan prinsip-prinsip hukum kontrak yang berlaku di Indonesia baik dalam
tujuan pembentukannya maupun dalam prinsip pengaturannya. Prinsip berlainan
territorial tersebut diciptakan sebagai upaya untuk memudahkan para pihak dalam
bertransaksi sehingga perbedaan system tidak lagi dijadikan sebagai kendala untuk
menciptakan harmonisasi. Harmonisasi tersebut akan terwujud ketika prinsip-prinsip
kontrak UNIDROIT serta prinsip hukum kontrak berlaku di Indonesia mampu mendorong
terlaksananya tujuan pokok dari keseluruahan poin yang ada.
8
Ibid, hlm 208-210.
10

Perbedaan secara nyata tidak mungkin dapat dihilangkan ialah aspek territorial
dimana penerapan prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT sasaran utamanya adalah territory
internasional sedangkan prinsip-prinsip hukum kontrak Indonesia berada dalam
territorial Indonesia sehingga hanya berlaku secara nasional. Namun demikian bukan
berarti bahwa prinsip-prinsip nasional secara mutlak tidak dapat digunakan untuk
transaksi internasional, justru prinsip-prinsip yang terakumulasi sebagai hukum nasional
ini merupakan akar dari pembentukan kontrak internasional karena kontrak internasional
muncul sebagai hukum nasional yang di beri unsur asing yaitu berbedanya kebangsaan,
domisili, pilihan hukum, tempat penyelesaian sengketa, penandatangan kontrak, objek,
bahasa, dan mata uang yang digunakan semuanya dilekati oleh unsur asing sehingga
menimbulkan perbedaan system diantara kontrak internasional dengan ketentuan
kontrak di Indonesia. Namun demikian diantara keduanya memiliki prinsip yang sama9.

BAB III

RINGKASAN PUTUSAN

A. Para Pihak
1. EVERPIONEER CO. LTD., yang diwakili oleh Direktur Mr. Kim Sam Youn,
berkedudukan di superior Building 12th Floor, Daechil-Dong 945-5, Gangnam-Gu,
Seoul, Korea, dalam hal ini memberi kuasa kepada Dosdo B.C.H Siahaan, S.H, dan
kawan-kawan, para Advokat pada Law Firm Krisna Hernandi & Partners, berkantor
di CBD-BIDEX No. F-26, Jalan Pahlawan Seribu, BSD City, Tanggerang Selatan,
berdasarkan surat kuasa khusus pada tanggal 20 Juli 2012 dan kemudian member
kuasa khusus (substitusi) kepada Payan Siregar, S.H, berdasarkan Surat Kuasa
Subsitusi tertanggal 29 Januari 2013, sebagai pemohon Bandung dahulu Pemohon
(Termohon Arbitrase)
2. PT. PRIMA JAYA INDAH, yang diwakili oleh Direktur Hasan Kasim, berkedudukan di
Jl, Raya Kosambi Barat No.8 Tanggerang, dalam hal ini member kuasa kepada Tony
Budidjaja, S.H, LL.M, MCIarb., dan kawan-kawan, para Advokat dan Asistten
Advokat pada kantor Hukum BudiJaja & Associates, berkantor di Land Mark Center
II Lantai 8 Jl, Jenderal Sudirman No. 1 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus

9
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 145
11

tertanggal 10 Oktober 2012, sebagai Termohon Banding dahulu Termohon


(pemohon Arbitrase).
B. Nomor Putusan
Putusan Nomor 13 B/Pdt.Sus-Arbt/2014
C. Kepala Putusan
Terlampir
D. Ringkasan Pertimbangan
Terlampir
E. Amar Putusan
Bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan mempertimbangkan permohonan
banding dari pemohon banding sebagai berikut:
• Bahwa Pemohon Pembatalan/Termohon Arbitrase telah mengajukan
permohonan banding atas putusan No.325/Pdt.G/Arb/2012/PN.Jkt.Pst
tanggal 3 April 2013, akan tetapi Pemohon tidak mengajukan memori
banding; Bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan mempertimbangkan permohonan
banding dari pemohon banding sebagai berikut:

• Bahwa putusan Judex Facti dapat dibenarkan sepanjang mengenai amar


bahwa permohonan tidak dapat diterima, tetapi Mahkamah Agung tidak
sependapat mengenai pertimbangan yang mendasari untuk tidak dapat
diterimanya permohonan Pemohon Pembatalan tersebut karena Judex
Facti (Pengadilan Negeri Niaga) salah mempertimbangkan alasan
sehingga gugatan tidak dapat diterima;

Bahwa menurut Mahkamah Agung pertimbangan terhadap perkara a quo adalah


sebagai berikut:
• gugatan a quo tidak kurang pihaknya;
• Bahwa BANI sebagai lembaga yang diberikan Kewenangan oleh undangundang
untuk menyelesaikan sengketa, tidak wajib/harus ikut digugat,
sekalipun BANI tidak ikut digugat dalam pemeriksaan di Pengadilan
Negeri;
• Bahwa Pemeriksaan di Pengadilan Negeri tetap bisa dilangsungkan
dengan cukup meneliti dan mengevaluasi putusan BANI apakah telah
dilaksanakan sesuai undang-undang atau tidak;
12

Bahwa selama putusan BANI yang dimintakan keberatan oleh pihak yang
diselesaikan perkaranya secara arbitrase, Pengadilan harus sudah
menganggap cukup, sekalipun harus dibatalkan tidak membawa
konsekwensi apapun terhadap BANI yang berperkara adalah pihak-pihak;
• Bahwa memperhatikan dengan saksama ketentuan dalam Pasal 70 dan
“penjelasan”nya adalah sangat imperative untuk dapat memeriksa
“substansi putusan Arbitrase”;
• Bahwa tidak ada putusan Pengadilan “terdahulu” yang telah
mengakomodir syarat Pasal 70 baik dalam angka a, b dan c yang
dilampirkan ataupun diajukan Pemohon/Termohon Arbitrase dalam
perkara ini;
• Bahwa dengan demikian “syarat formil” dalam mengajukan gugatan
pembatalan putusan arbitrase belum terpenuhi, sehingga gugatan harus
dinyatakan tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan
banding yang diajukan oleh Pemohon Banding EVERPIONEER CO. LTD tersebut
harus ditolak dengan perbaikan pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 325/PDT.G/ARB/2012/ PN.JKT.PST. tanggal 3 April 2013;

Menimbang, bahwa oleh karena putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan,


maka Pemohon Banding dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding
ini;
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI
Menolak permohonan banding dari Pemohon Banding: EVERPIONEER CO.
LTD tersebut;
Menghukum Pemohon Banding/Pemohon Pembatalan/Termohon Arbitrase untuk
membayar biaya dalam tingkat banding sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Rabu tanggal 5 Maret 2014 oleh Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, SH.,MA.,
13

Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H.
Soltoni Mohdally, SH.,MH., dan Dr. Abdurrahman, SH.,MH., Hakim-Hakim Agung
masing-masing sebagai Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-Anggota
tersebut dan dibantu oleh Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH., Panitera Pengganti,
dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota-anggota, K e t u a,
Panitera Pengganti,
Biaya-biaya:
1. Meterai : Rp 6.000,00
2. Redaksi : Rp 5.000,00
3. Administrasi Kasasi : Rp489.000,00 +
Jumlah : Rp500.000,00

BAB IV

ANAISIS KASUS

Bahwa terhadap putusan Lembaga Arbitrase/Badan Arbitrase Nasional


Indonesia Nomor 420/VIII/ARB-BANI/2011 Tanggal 8 Juni 2012 tersebut, pemohon
Pembatalan telah mengajukan permohonan pembatalan di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada pokoknya atas dalil-dalil yaitu:
Dasar Hukum Pembatalan atas Putusan Arbitrase dengan bahwa Permohonan ini dapat
diajukan dan dikabulkan apabila Putusan BANI mengandung Unsur-Unsur yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase:
huruf (b) dan (c), yang menyatakan:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:

(a). surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu
(b). setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
(c). putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
14

Berdasarkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, alasan-alasan permohonan


pembatalan putusan arbitrase yang ditentukan dalam ketentuan pasal 70 UU Arbitrase
harus dibuktikan dengan putusan pengadilan10. Setelah pengadilan menyatakan bahwa
alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, putusan pengadilan tersebut dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolah
permohonan11. Permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal 71 UU
Arbitrase harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri. Contoh Kasus Everneen VS Prima Jaya Indah dimana kenyataanya, pada saat
pemeriksaan arbitrase, termohon (pemohon Arbitrase) telah menyembunyikan fakta-
fakta (termasuk dokumen) yang seharusnya juga diungkapkan kepada Arbitrer, akan
tetapi termohon (Pemohon Arbitrase) hanya mengungkapkan hal-hal yang
menguntungkan pihak Termohon (pemohon Arbitrase) dengan mengdiskreditkan
Pemohon (termohon Arbitrase), dalam hal ini Pemohon (Termohon Arbitrase)
menguraikan kenyataan adanya fakta/dokumen yang disembunyikan dan/atau terdapat
tipu daya yang dilakukan Termohon (Pemohon Arbitrase) dalam pemeriksaan arbitrase
BANI tersebut.
Dan faktanya pihak BANI juga telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena telah memeriksa dan memutus perkara arbitrase dengan melanggar ketentuan
yang diatur dalam peraturan dan prosedur (Rules and Procedures) BANI itu sendiri.
Terdapat banyak perdebatan dalam interpretasi terhadap alasan-alasan pembatalan
putusan arbitrase yang terdapat pada ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Beberapa ahli
hukum berpendapat bahwa alsan yang dikemukakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase
bersifat limitative. Disisi lain terdapat pula ahli hukum yang berpendapat bahwa alasan-
alasan pembatalan yang terdapat dalam pasal 70 UU Arbitrase tidak bersifat limitative.
Alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase seperti halnya diatur dalam
ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase bukan merupakan satu-satunya alasan untuk
membatalkan suatu putusan arbitrase. Pendapat tersebut didukung argumentasi bahwa
alasan yang tidak diatur dalam pasal 70 UU Arbitrase bukan berarti tidak dapat
dipergunakan.

10
Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase
11
Ibid
15

UNIDROIT principle sebagai bagian dari Lex Mercatoria

Lex Mercatoria, diartikan sebagai hukum yang seragam (uniform law) yang
keberadaannya diterima oleh komunitas komersial di berbagai negara dan sebagian ahli
mendefinisikan Lex Mercatoria sebagai hukum kebiasaan komersial internasional.

Lex Mercatoria

1. Disparitas kemampuan ekonomi akibat tingkat perbaikan ekonomi yang berbeda,


sehingga ada Negara maju dan Negara berkembang
2. Penguasaan yang tidak seimbang terhadap teknologi dan informasi
3. Kendala tradisi hukum yang berbeda antara common law, civil law dan system hukum
sosialis
4. Perubahan nilai tukar dan social politik yang menimbulkan keadaan yang mempengaruhi
pelaksanaan kontrak.

Dalam CISG
Rules designed for cross-border contracts of sale
What else can be said in favour of an application of the CISG?
If we compare the CISG to national law, we will find that the CISG is specially designed
for international contract of sale.In the new German sales law, the buyer, in case of a
defective good, has to give the seller the chance to cure--let's say to repair the defect.
But if the seller does not do that, and if there is still some lack of conformity, the buyer
has the right to declare the contract avoided. And if the buyer declares the contract
avoided, the seller has to tak e back the goods, and he has to pay back the price to the
buyer.12

Dalam hal ini kontrak Internasional kebanyakan bertujuan mengenai Sale of


Goods atau perdagangan barang dan macam kontrak tersebut diatur dalam prinsip-
prinsip dalam UNIDROIT mengenai prinsip-prinsip UNIDROIT hukum kontrak Indonesia
banyak mengambil unsur didalam pasal tersebut.

Dari aspek pengaturannya, antara prinsip UNIDROIT dengan prinsip-prinsip


hukum kontrak Indonesia memiliki banyak kesamaan antara lain:
1. Adanya prinsip konsensualisme
Dalam kontrak UNIDROIT kesepakatan para pihak merupakan hal yang mutlak bagi
terbentuknya suatu kontrak meskipun tidak dibuat secara formal (tertulis). Demikian juga
12
Paul Gruber, The Covention of International Sale of Goods (CISG) in arbitration, 2014, hlm 7.
16

dalam prinsip hukuk kontrak di Indonesia, consensus para pihak yang termuat dalam
Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian yang salah satunya adalah adanya sepakat
para pihak merupakan sesuatu yang paling penting meskipun tidak dilakukan secara
tertulis karena dalam ketentuan pasal tersebut pun tidak menyebutkan adanya
kewajiban para pihak untuk menuangkan kesepakatannya dalam bentuk tertulis.
Formalitas tulisan hanya dibutuhkan sebagai alat pembuktian jika terjadi sengketa yang
mengharuskan dibuktikannya suatu alasan persengketaan.
2. Adanya prinsip kebebasan berkontrak
Pada intinya memberikan peluang kepada para pihak yang menentukan apa yang
mereka sepakati, baik berkaitan dengna bentuk maupun isi dari kontrak itu sendiri.
Prinsip kebebasan berkontrak ini dilandasi oleh teori kehendak dan teori pernyataan
sebagaimana juga sesuai diterapkan pada prinsip konsensualisme karena tanpa adanya
kehendak dan pernyataan maka tidak akan timbul consensus diantaranya para pihak
sehingga tidak ada kesepakatan maka daya mengikat dari suatu kontrak tidak akan
berlaku.
3. Adanya prinsip itikad baik
Pada intinya bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi para pihak dalam bertransaksi.
Prinsip ini merupakan landasan utama untuk para pihak mengadakan kontrak, sesuai
dengan teori kepercayaan sebagai daya mengikatnya suatu kontrak karena diawali
dengan itikad baik maka akan menumbuhkan saling kepercayaan sehingga kontrak
dapat direalisasikan dengan baik. setiap pihak harus menjunjung tinggi prinsip ini dalam
keseluruhan jalannya kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan
sampai kepada berakhirnya kontrak.
4. Prinsip Kepastian Hukum
Adanya prinsip kepastian hukum memberikan perlindungan bagi para pihak dari itikad
tidak baik pihak-pihak bersangkutan ataupun pihak ketiga. Kontrak yang telah disepakati
dianggap berlaku mengikat seperti undang-undang bagi para pembuatnya dan tidak bisa
diubah tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang membuatnya13.
5. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan membuat kontrak hanya untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer
menegaskan: pasa umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau

13
UNIDROIT: An Overview, http://www.unidroit.org, diakses tanggal 16 Oktober, pukul 22.44 wib.
17

perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu
syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
kontrak untuk kepentingan pihak ketiga dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya. Jika dibandungkan kedua pasal itu maka Pasal 1317
KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318
KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warsnya dan orang-orang yang
memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, pasal 1317 KUHPer
mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang
lingkup yang luas14.

Penerapan Prinsip UNIDROIT di Indonesia

Secara umum prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT pada dasarnya memiliki


kesamaan dengan pri15nsip-prinsip hukum kontrak yang berlaku di Indonesia baik dalam
tujuan pembentukannya maupun dalam prinsip pengaturannya. Prinsip berlainan
territorial tersebut diciptakan sebagai upaya untuk memudahkan para pihak dalam
bertransaksi sehingga perbedaan system tidak lagi dijadikan sebagai kendala untuk
menciptakan harmonisasi. Harmonisasi tersebut akan terwujud ketika prinsip-prinsip
kontrak UNIDROIT serta prinsip hukum kontrak berlaku di Indonesia mampu mendorong
terlaksananya tujuan pokok dari keseluruahan poin yang ada.

Perbedaan secara nyata tidak mungkin dapat dihilangkan ialah aspek territorial
dimana penerapan prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT sasaran utamanya adalah territory
internasional sedangkan prinsip-prinsip hukum kontrak Indonesia berada dalam
14
Torkis L. Tobing, Asas-asas dalam Berkontrak: Suatu TInjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian,
kilstobing.blog.plasa.com
15
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 88.
18

territorial Indonesia sehingga hanya berlaku secara nasional. Namun demikian bukan
berarti bahwa prinsip-prinsip nasional secara mutlak tidak dapat digunakan untuk
transaksi internasional, justru prinsip-prinsip yang terakumulasi sebagai hukum nasional
ini merupakan akar dari pembentukan kontrak internasional karena kontrak internasional
muncul sebagai hukum nasional yang di beri unsure asing yaitu berbedanya
kebangsaan, domisili, pilihan hukum, tempat penyelesaian sengketa, penandatangan
kontrak, objek, bahasa, dan mata uang yang digunakan semuanya dilekati oleh unsur
asing sehingga menimbulkan perbedaan system diantara kontrak internasional dengan
ketentuan kontrak di Indonesia. Namun demikian diantara keduanya memiliki prinsip
yang sama.16

Konsekuensi dari pelaksanaan semua prinsip diatas pada akhirnya akan


bermuar pada suatu teori gevaarzetting yang intinya adalah sebuah konsekuensi akhir
yang harus diterima oleh adanya akibat dilaksanakannya suatu kehendak membuat
konrak (J. Satrio, 1995: 195-210). Keuntungan ataupun kerugian yang ditumbulkan
sudah harus menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan. Pelanggaran dari
kesepakatan yang telah dibuat antara para pihak akan menimbulkan kerugian yang
wajib ditanggung oleh pihak yang mendapat kerugian tersebut tanpa tuntutan kepada
pihak lainnya. Pilihan hukum digunakan sejak proses negosiasi, pada tahap ini sudah
tidak ada lagi dapat digunakan karena pada tahap ini adalah tahap pencapaian hasil dari
segala kontrak yang telah disepakati bersama diantara para pihak.

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pembaruan


hukum kontrak/perjanjian di Indonesia khususnya buku III tentang Perikatan merupakan
suatu keharusan dalam rangka mendukung dan meningkatkan pelaksanaan
perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Prinsip dalam UNIDROIT diratifikasi di
Indonesia bertujuan untuk harmonisasi dan unifikasi kontrak internasional dan prinsip ini
harus diterapkan dalam setiap kontrak internasional. Pembaruan hukum kontrak
dilakukan sebagai upaya harmonisasi dalam konteks hukum kontrak internasional
menjembatani perbedaan system hukum yang menghambat pelaksanaan perdagangan
16
Taryana Sunandar, oc cit, hlm 10.
19

dan transaksi bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing Negara


akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki
kecepatan dan kepastian.

Prinsip UNIDROIT sudah seharusnya menjadi suatu rujukan yang dijadikan


bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum kontrak nasional (RUU KUHPerdata)
untuk menggantikan BW khususnya buku III tentang perikatan dan lebih khusus lagi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bab II tentang perikatan yang dilahirkan dari
Kontrak atau Perjanjian.

SARAN

Harmonisasi hukum kontrak nasional dengan internasional dapat terwujud


dengan adanya usaha dari para praktisi hukum itu sendiri, misalnya dengan
memperbanyak adanya pelatihan-pelatihan pengetahuan hukum kontrak internasonal
khsusunya yang mengacu pada prinsip UNIDROIT dan lebih mensosialisasikan prinsip
kontrak internasional UNIDROIT pada pihak-pihak praktisi hukum yang terutama
berhubungan langsung dengan pelaksanaan hukum perjanjian. Hal ini dirasa perlu
karena semakin berkembangnya zaman yang ada akibat globalisasi sehingga para
praktisi hukum sendiri harus selalu mengikuti perkembangan yang ada mengacu pada
prinsip UNIDROIT agar lebih memahami prinsip umum yang berkembang dan
meningkatkan keterampilan hukum mereka masing-masing.

DAFTAR PUSKATA

Adolf Huala 2007, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: PT. Refika litama, , ,

Adolf, Huala,2005, Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Gautama,Sudargo,1976, Kontrak Dagang Internasional, Bandung:, Alumni,

J. Satrio,1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

Sunandar, Taryana, 2004, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian
Sengketa Bisnis Internasional,Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta,
20

International Journal

Franco Ferrari , Fundamental breach of contract under the UN Sales Convention - 25 years article 25
CISG. International Business Law Journal, 2005

Leonardo Graffi, Case law on the concept of "fundamental breach" in the Vienna Sales
Convention,International Business Law Journal , 2003

Peter Gruber , The Convention on the International Sale of Goods (CISG) in arbitration International
Business Law Journal, 2009

Joshua D.H. Karton, International commercial arbitrators' approaches to contractual interpretation,


International Business Law Journal, 2012

Michele Vanwijck-Alexandre, Anticipatory breach and instalment contracts in the CISG, International
Business Law Journal, 2001
,

Anda mungkin juga menyukai