Anda di halaman 1dari 22

PERJANJIAN JUA L BEL I RUMAH DAN PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI PEMBELI


Fakultas Hukum Tulang Bawang Lampung
Regina Sangeeta PV Chatterjee
222110012

A. Pendahuluan

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang
teijalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun
juga menyangkut aspek hukum, termasuk Hukum Perdata. Naluri untuk mempertahankan diri,
keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis
mereka ke dalam sebuah perjanjian. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipi) sebagai lawan dari hukum publik.
Maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti
misalnya perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha
dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum Perdata merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam
hubungan kekeluargaan dan didalam pergaulan masyarakat.1 Di dalam KUH Perdata mengenai
perjanjian atau persetujuan yang terdapat pada Buku III Bab II Pasal 1313 KUH Perdata
sampai Pasal 1352 KUH Perdata merupakan hal yang sangat sering kita temui dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu jenis peijanjian adalah perjanjian Jual beli secara angsuran.
Apabila dilihat dari prinsip-prinsip dalam KUH Perdata, perjanjian jual beli pengaturannya diatur
dalam KUH Perdata.
Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di
luar negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri
untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik.

1
Salim, 2014, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cet ke-9, Jakarta: Sinar Grafika,, him. 6.
Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Mereka yang meiihat kesempatan ini mulai
membangun perusahaan- perusahaan perumahan yang memberikan tawaran atas rumah yang
diinginkan masyarakat. Pengadaan perumahan ini dapat dinikmati oleh kelas ekonomi masyarakat
dari kalangan bawah sampai strata elite 2.
Dalam hal ini pemerintah berusaha untuk melaksanakan pembangunan perumahan rakyat.
Dalam prosesnya, kegiatan pembangunan perumahan ini dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta
yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan. Pihak swasta yang bergerak dalam
membangun dan menjual perumahan disebut sebagai "pengembang" atau ''developer". Pada saat
ini dalam pemasarannya pengembang menggunakan berbagai macam konsep, salah satunya adalah
konsep pre project selling. Pre project selling yaitu menjual rumah dengan memesan terlebih
dahulu atau dengan kata lain rumah yang menjadi objek jual beli tersebut masih dalam tahap
perencanaan.
Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pendahuluan. Hasil kesepakatan dalam perjanjian
pendahuluan akan dituangkan dalam perjanjian jual beli (PJB), akibat dari perjanjian tersebut
lahirlah suatu hubungan hukum dalam bentuk perikatan antara pengembang dengan konsumen.
Sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: " tiap-
tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undangundang", selanjutnya
dibuatlah Akta Jual Beli (AJB) rumah dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah
PPAT.
Pengertian mengenai perjanjian pendahuluan tidak diatur di datam K UH Perdata3, akan tetapi
terdapat di dalam Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman, yang menyatakan bahwa: "Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah
susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem peijanjian
pendahuluan Jual beli sesuai dengan ketentuan Peraturan Perimdang-Undangan".

2
RA Sukma "USU Institusional Repository" diakses dari
http://reposito!7.usu.ac.id/bitstream/123456789/44231/4/ChapteT*/o20I.pdf. pada tanggal 8 November 2016 Pukul
20.00
3
http-7/r^sitoiy.mu.ac.id/bitstreaiW123456789/57490/4/Chapter%20I.p^ akses pada tanggal 8 November 2016
Pukul 21.00.
Di dalam praktek perjanjian, pengembangannya dilaksanakan ke dalam suatu bentuk kontrak.
Pada dasamya suatu bentuk kontrak berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan
diantara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut umumnya senantiasa diawati
dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan
bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan)
melalui proses tawar menawar.4
Namun demikian dalam praktek masih banyak ditemukan suatu bentuk perjanjian atau kontrak
yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir yang dikenal perjanjian baku.
Peijanjian baku inilah yang banyak digunakan didalam praktek perjanjian Jual beli.
Kontrak baku pada masa sekarang ini banyak diminati oleh pelaku usaha perdagangan dan
bisnis. Tujuan dibuatnya kontrak baku ini adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi
para pihak yang bersangkutan. Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh
satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan perjanjian sudah dibuat dalam bentuk formulir oleh
salah satu pihak, ketika kontrak ditanda tangani umumnya para pihak hanya mengisi data-data
formulir tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, pihak lain
tidak punya kesempatan untuk melakukan negosiasi atau mengubah klausula yang sudah dibuat
oleh salah satu pihak tersebut sehingga kontrak baku terlihat sangat berat sebelah.5
Adapun hal-hal yang menyebabkan kontrak baku hanya menguntungkan pihak penjual, karena
kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak dalam hal ini pihak
calon pembeli untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya diberikan
kontrak jual beli rumah tersebut tidak banyak memiliki kesempatan untuk mengetahui isi dari
kontrak jual beli rumah tersebut, apalagi terdapak klausula dalam kontrak jual beli rumah yang
ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil dan sulit untuk dimengerti.
Namun demikian, dalam proses pembangunan pengembang kerap kali melakukan kelalaian.
Kelalaian tersebut disebut dengan wanprestasi.

4
Agus Yudha Hemoko, 2008, Hukum Perjanjian "Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersiai", Surabaya:
Laksbang Mediatama, him. 1.
5
Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti,
him. 76.
Misalnya, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumah tidak sesuai dengan harga rumah
yang dijual, menggunakan bahan-bahan yang tidak berkualitas hal ini pun dapat merugikan
konsumen. Hal-hal tersebut diatas pada akhimya melahirkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No 8 Tahun 1999.
Untuk wanprestasi tersebut konsumen dapat memberikan tuntutan kepada pengembang.
Konsumen menurut hukum dapat memilih tuntutan sebagai berikut6:
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
3. Ganti Rugi
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan disertai ganti rugi
Jika ditinjau kontrak baku ini tidaktah melanggar asas kebebasan berkontrak seperti yang
tercantum di dalam pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, karena konsumen
diberi kebebasan menyetujui atau menolak Dalam KUHPerdata ditemukan ketentuan yang
menyebutkan syarat sah suatu perjanjian, yakni Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 13
KUHPerdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perjanjian sah, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orang atau
subjek-subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-
syarat objektif karena mengenai perjanj iannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu7

6
Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, cet ke-XXI, Jakarta: Intermasa, him. 53.
7
Budiman Sinaga, 2005, Hukum Kontrak dan penyelesaian sengketa dari Perspektif Sekretaris, Jakarta: Raja Graflndo
Persada, him. 16.
B. Pembahasan Umum Tentang Perjanjian Jual Beli

Seiring berkembangnya perekonomian, banyak masyarakat melakukan hubungan hukum


guna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya berbagai
transaksi baik berupa barang dan/atau jasa yang menimbulkan peristiwa hukum. Misalnya seperti
penawaran-penawaran yang ditawarkan kepada masyarakat, seperti penawaran akan adanya
pembangunan rumah yang teijadi antara pihak penjual dan pihak pembeli. Dalam pelaksanaanya
hubungan hukum tersebut dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian jual beli rumah.
1. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual Beli termasuk ke dalam kelompok perjanjian bemama, artinya undang-undang telah
memberikan nama sendiri dan pengaturan khusus tertiadap perjanjian ini. Perjanjian bemama
telah diatur dalam Kitab Undang Udang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang.
"Menurut Pasal 1457 KUPerdata, peijanjian jual beli mempakan suatu peijanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan".
Dalam bahasa Inggris jual beli disebut dengan hanya "sale" saja yang berarti "penjualan"
(hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Prancis disebut hanya dengan
"vente" yang juga berarti "penjualan", sedangkan dalam bahasa Jenman dipakainya perkataan
"kauf yang berarti "pembelian"
Peijanjian jual beli pada umumnya merupakan peijanjian konsensual karena mengikat para
pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur essensialia, naturalia dan
aksidentalia dari perjanjian tersebut 8Syarat aksi dentalia adalah unsur perjanjian yang
ditambahkan oleh pihak sebab undang-undang tidak mengatur tentang hal itu.9 Syarat esensialia
adalah syarat yang harus ada dalam perjanjian, kalau syarat ini tidak ada, maka perjanjian
tersebut cacat (tidak sempuma). Artinya tidak mengikat para pihak.10

8
Ahmadi, op.cit., him. 126.
9
Budiman Sinaga, op.cit., him. 20.
10
Richard Burton Simatupang, 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, eel ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, him. 40
Syarat naturalia adalah syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini
tidak ada, maka peijanjian tidak akan cacat tapi tetap sah
Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak seteiah tercapainya kesepakatan, namun
tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan tersebut akan beralih pula
bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang
diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan.11
2. Penyerahan
Penyerahan Berdasarkan Pasal 1475 BW, penyerahan adalah suatu pemindahan barang
yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Cara penyerahan benda yang
diperjualbelikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang dipeijualbelikan tersebut.
Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual
atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari
tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak
sehingga tidak mungktn diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-
simbol tertentu (penyerahan simbiolis), misalnya: penyerahan kunci gudang sebagai simbol
dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut.
b. Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan
melalui akta di bawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas
nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si
berutang atau disetujui secara tertulis oleh si berutang.
c. Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik
nama
3. Azas-Azas Perjanjian Jual Beli
Azas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai
nilai etis, moral dan sosial masyarakat.

11
Ahmadi Mini, op.cit, him, 128
Dengan demikian azas hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum
yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhimya harus dapat dikembalikan pada
azas hukum yang menjiwainya.12
Dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai berikut13:
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahimya
kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah
bahwa lahimya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian,
apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu
belum dilaksanakan pada saat itu.
Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya
berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak
riel tidak berlaku.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seiuas-luasnya
yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perudang-undangan,
kepatutan, dan ketertiban umum.
Dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian diperbolehkan membuat undang-
undang bagi diri sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku jika atau
sekadar tidak diatur atau tidak terdapat dalam perjanjian yang dibuat itu.14
c. Asas Daya Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Dalam perspektif BW daya mengikat kontrak dapat dicermati dalam rumusan Pasal
1338 (1) BW menyatakan bahwa, "semua peijanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

12
Agus Yudha Hemoko, op.cit., him. 88.
13
Ahmadi, op.cit., him. 3.
14
Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung:Citra Aditya Bakti,, him. 177-178
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut
karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.''15
d. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Sementara itu. Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi
terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di
bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak
Begitu petingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundinganperundingan
atau peijanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu
hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini
membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.
Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam balas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang
cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.
Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan-kepentingan sendiri, ia
menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian. Kedua keputusan tersebut
menunjukkan bahwa iktikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian,
yaitu dengan memerhatikan kepentingankepentingan yang wajar dari pihak lain.
Walaupun iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap
praperjanjian, secara umum iktikad baik hams selalu ada pada setiap tahap perjajian
sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

15
Ahmadi, op.cit., him. 4-5
e. Asas Kepribadian
Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian
hanyalah anatara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja. Ruang lingkup ini
hanyalah terbatas pada para pihak dalam perjanjian itu saja. Jadi, pihak ketiga (atau
pihak luar perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian itu.
Ruang lingkup berlakunya peijanjian ini dikenal sebagai prinsip Privity of Contract
atau Asas Kepribadian.
Pasal 1340 KUH Perdata selanjutnya menyatakan bahwa: "Perjanjian-perjanjian
tidak dapat merugikan kepada pihak ketiga dan tidak dapat menguntungkan pihak
ketiga pula kecuali untuk hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata "
Pasal 1317 KUH Perdata memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu
perjanjian kepentingan seorang (pihak ketiga) jika perjanjian atau pembenan tersebut
memuat ketentuan seperti itu. Ketentuan untuk meminta ditetapkannya suatu gaji guna
kepentingan pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali jika pihak ketiga itu telah
menerimanya. Pengecualian dari asas kepribadian yang terdapat dalam Pasal 1317
KUH Perdata tersebut, yaitu janji untuk kepentingan pihak ketiga, sebenamya adalah
memberikan atau menyerahkan haknya kepada pihak ketiga. Jadi, pihak ketiga itu
adalah subjek hak. Hal ini sesuai dengan Pasal 1318 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa jika seorang minta dipeijanjikannya sesuatu hal, dianggap bahwa itu adalah
untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Asas kepribadian selain diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata, juga diatur dalam
Pasal 1315 KUH Perdata yang menentukan bahwa tiada seorang pun dapat
mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji,
melainkan untuk dirinya sendiri. Jika Pasal 1340 KUH Perdata menentukan tentang
tidak bolehnya pihak ketiga mencampuri umsan dalam perjanjian pihak-pihak Iain,
dalam Pasal 1315 KUH Perdata ditentukan bahwa para pihak perjanjian tidak boleh
melepaskan tanggung jawabnya dari perikatan yang dibuatnya. Ketentuan dalam pasal
ini tidak memperbolehkan seseorang membuat perjanjian yang hanya mau haknya saja
tanpa mau memikul kewajibannya atau tanpa mau memenuhi prestasinya sendiri
(seakanakan seperti perjanjian yang tanpa sebab).
4. Syarat Perjanjian Jual Beli
Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak mengenai hal
yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Walaupun dikatakan bahwa kontrak
lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun
masih ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 BW, yaitu:
a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu dan
d. Suatu sebab yang halal
Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan sebagai syarat-
syarat subjektif, karena kedua syarat tertentu mengenai subjeknya atau orang-orang yang
mengadakan kontrak (peijanjian). Sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal. dinamakan sebagai syarat-syarat objektif, karena kedua syarat tersebut
isinya mengenai objek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan.16
Dalam hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya, dari semula tidak pemah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pemah ada
suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan
suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling
menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa peijanjian yang
demikian itu null and void.17
Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan
batal demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
peijanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.

15
Richard Burton, op.cH., him. 28
16
Daeng Naja, op.cit., him. 176.
Jadi, perjanjian yang teiah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian,
nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu
pihak untuk menaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa Inggris)
atau vemietigbaar (bahasa Belanda). Ia selalu diancam dengan pembatalan (canceling)
a. Kesepakatan
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak.
Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah
adanya penawaran dan penenmaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya
penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang
penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan
penerimaan. 16
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya
kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:
1) Dengan cara tertulis;
2) Dengan cara lisan;
3) Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan
4) Dengan berdiam diri
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat kesepakatan
yang merupakan penentu terjadinya atau lahimya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya
kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak.17 Kontrak yang lahir dari kesepakatan
(karena bertemunya penawaran dan penerimaan), pada kondisi normal adalah bersesuaian
antara kehendak dan pemyataan.18

16
Ahmadi Miru, op.cit., htm. 176.
17
Ahmadi Mini, op.cit., him. 17.
18
Agus Yudha Hemoko, op.cit., him. 149.
Akan tetapi, walaupun teijadi kesepakatan para pihak yang melahirkan peijanjian,
terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami
kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh peijanjian tersebut.19 Dalam BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan
alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu 20
1) Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW)
Terdapat kesesatan apabila terkait dengan "hakikat benda atau orang" dan pihak lawan
hams mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang
menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan (terkait syarat dapat
dikenali atau diketahui; kenbaarheidsvareiste). Dengan demikian, mengenai kesesatan
terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang, karena kesalahan
sendiri atau karena perjanjtan atau menumt pendapat umum menjadi risiko sendiri,
tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak.
2) Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323 - 1327 BW)
Paksaan timbula apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak (memberikan
kesepakatan) dibawah ancaman yang bersifat melanggar hukum. Ancaman bersifat
melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:
a) Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan,
penganiayaan).
b) Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancaman itu
dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.
3) Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 BW) Penipuan merupakan bentuk kesesatan
yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan
keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan
dari pihak lawan. Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan bahwa gambaran yang
keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kumtgrepen).

19
Ahmadi Miru, op.cit., him. 17.
20
Agus Yudha Hemoko, op.cit., him. 149-150
b. Kecakapan
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu
perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.36
Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut
belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun.
Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap,
kecuali karena suatu hat dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu,
sakit ingatan, atau pemboros.37
Dengan demikian dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila:
1) Belum benisia 21 tahun dan belum menikah
2) Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu, atau boros
Dalam Pasal 1330 BW dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk
membuat perjanjian-perjanjian adalah39:
1) Orang-orang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu (substansi ini dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun
1963 dan Pasal 31 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Beberapa undang-undang yang menegaskan standar usia 18 tahun merupakan standar usia
dewasa yang berkorelasi dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (vide Pasal 5 jo. 61)
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris (vide Pasal 39
jo. 30)
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(vide Pasal 5 jis. 6, 9, 21, 22,41).

20
Ahmadi Miru, op.cit.. him. 29.
21
Agus Yudha Hemoko, op.cit., him. 162.
c. Suatu Hal Tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal atau obyek tertentu (een bepaald onderwerp) dalam
Pasal 1320 BW syarat 3, adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang
bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pemyataan-pemyataan yang
menjadi kewajiban para pihak
Dalam BW dan pada umumnya sarjana hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat
berupa:
1) Menyerahkan/memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu; dan
3) Tidak berbuat sesuatu
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai
cara seperti: menghitung, mengukur, menimbang, atau menakar. Sementara itu, untuk
menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Sebab yaag Halal
Pengertian causa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud Pasal 1320 BW syarat
4, harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337 BW. Meskipun undang-
undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau
causa, namun yang dimaksudkan disini menunjuk pada adanya hubungan tujuan (causa
finalis), yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak pada saat penutupan kontrak.
5. Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Unsur-unsur pokok (essentalia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai asas
konsensualisme yang menjiwai hukum peijanjian BW, perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat mengenai barang dan jasa. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang
barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli
tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang berbunyi: "Jual beli dianggap sudah teijadi antara
kedua belah pihak seketUca seteiah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Konsensualisme berasal dari perkataan "consensus yang artinya adalah "kesepakatan",
bahwa Eqia yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga dikehendaki oleh yang lain atau
bahwa kehendak mereka adalah "sama".
sebenamya tidak tepat, Yang betui adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama
dalam kebalikannya"
6. Subjek Perjanjian Jnal Beli
Dalam jual beli ada dua subjek, yaitu si penjual dan pembeli, harus memenuhi syarat
umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam hal melakukan
perbuatan hukum yang sah, seperti peraturan pailit yang masing-masing mempunyai pelbagai
kewajiban dan pelbagai hak.
Untuk orang-orang yang belum dewasa, harus bertindak orang tua atau walinya, untuk
orang-orang yang tidak sehat pikirannya, harus bertindak seorang pengawasnya, dalam hal
"curatele''' seorang curator, untuk orang yang berada dalam pailit, harus bertindak curatomya
juga, yaitu Dewan Harta Peninggalan {Weeskamer)
7. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai
dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
Menumt Pasal 1437 BW disebutkan dua kewajiban pokok dari penjual, yaitu untuk
menyerahkan barang obyek jual beli dan untuk menanggung si pembeli.
a. Kewajiban Menyerahkan Barang
Penyerahan barang ini oleh Pasal 1475 BW ditegaskan sebagai penyerahan "dalam
kekuasaan dan pemegangan si pembeli" (overdrachl van het goed in de macht en het
bezitvan de koper). Dari penegasan ini adalah terang, bahwa yang dimaksud oleh BW
dengan "penyerahan barang" ini ialah penyerahan pemegangan barang secara nyata
(fettelijke in bezitsteling). BW mengenai tiga macam barang, yaitu:
1) Untuk Barang Bergerak
2) Untuk Barang Tetap (Tidak Bergerak)
3) Barang Tidak Bertubuh
b. Kewajiban Menanggung Kenikmatan Tentram dan Menanggung Cacat
Tersembunyi
Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi
daripada jaminan yang oleh penjual diberikan bahwa barang yang dijual dan dilever itu
adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari
sesuatu pihak.
Mengenai kewajiban untu menanggung cacad-cacad tersembunyi dapat diterangkan
bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacadcacad tersembunyi meskipun ia
sendiri tidak mengetahui adanya cacad-cacad itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian
, telah diminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun pada
barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tak dapat dipakai untuk keperluan
yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu, sehingga, seandainya si pembeli
mengetahui cacad-cacad tersebut, ia sama sekali tidak akan membeli barang itu atau tidak
akan membelinya selain dengan harga yang kurang
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata
maupun secara yuridis.
Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat
sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak
ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar
ditempat dan pada waktu dimana penyerahan (levering) barangnya harus dilakukan.
Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
1) Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat
2) Membayar bunga dari harga pembelian jika barang yang dijual dan diserahkan memberi
hasil atau lain pendapatan
3) Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan
sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya
8. Risiko Perjanjian Jual Beli
Risiko adalah kemgian yang timbul diluar kesalahan salah satu pihak baik. Dalam
perjanjian jual beli kerugian itu timbul diluar kesalahan pihak penjual maupun pihak pembeli,
misalnya barang yang dijual tersebut musnah karena kebakaran atau kebanjiran sebelum
penyerahan. Mengenai risiko dalam jual beli ini dalam B W ada tiga peraturan, yaitu:
a. Mengenai barang tertentu;
b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran; dan
c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan.
Apabila seseorang membeli barang yang telah ditentukan, risiko akan ditanggung oleh
pembeli sejak saat terjadinya kesepakatan, walaupun barang tersebut beium diserahkan kepada
pembeli. Ketentuan itu berlaku walaupun harga barang tersebut belum dibayar oleh pembeli.
Hal ini berarti bahwa penjual berhak menagih harga barang tersebut kepada pembeli walaupun
barang tersebut telah musnah sebelum diserahkan kepada pembeli.
9. Berakhirnya Perjanjian Jual Beli
Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan sepuluh cara mengakhiri perjanjian, yaitu:
a. Pembayaran
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c. Pembaruan utang
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
e. Percampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Musnahnya barang yang tenitang
h. Kebatalan atau Pembatalan
i. Berlakunya syarat batal
j. Kedaluwarsa
Sementara itu, menurut R. Setiawan, hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan
daripada hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang
merupakan sumbemya masih ada. R. Setiawan menambahkan bahwa persetujuan dapat hapus
karena ha-hal berikut ini:
a. Hapusnya persetujuan ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak
b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu,
persetujuan akan hapus
d. Pemyataan menghentikan persetujuan (opzegging)
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim
f. Persetujuan hapus karena tujuan persetujuan telah tercapai
g. Persetujuan hapus dengan persetujuan para pihak (herroping)
C. Pembahasan

A. Dalam Mempertimbangkan Harga Beli Rumah Yang Mempunyai Rasa Keadilan Bagi
Kedua Belah Pihak

Sebagai makhuk hidup, rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, sebagaimana halnya
seperti makanan dan pakaian. Selain sebagai kebutuhan dasar manusia, perumahan dan
pemukiman juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, peningkatan kualitas
generasi mendatang serta sebagai pemantapan jati diri. Akan tetapi, tidak semua masyarakat
dapat membangun rumah, diperlukan berbagai hal untuk dapat membangun rumah kemudian
ditempati. Seperti masalah keuangan, tes kelayakan, tanah, dan perizinan pendirian
pembangunan.
Meningkatnya perkembangan pembangunan perumahan yang dibangun oleh pengembang,
membuat masyakarat mempunyai banyak pilihan. Pilihan terhadap rumah yang tersedia lebih
banyak dengan kualitas dan harga yang bervariasi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan konsumen itu sendiri. tCosumen diberikan penawaran yang menarik seperti adanya
potongan harga khusus dan/atau adanya hadiah-hadiah yang menarik lainnya. Cara penyediaan
rumah yang dilakukan oleh pengembang juga beragam, seperti adanya rumah yang telah tersedia
lebih dahulu, sehingga calon pembeli dapat memilih rumah yang telah tersedia lebih dahulu
sesuai dengan keinginan mereka. Sedangkan, bagi rumah yang belum dibangun maka dibuat
perjanjian terlebih dahulu yang dilakukan antara pengembang dan konsumen mengenai lokasi
dan tipe atau bentuk rumah sesuai yang konsumen inginkan.
Salah satu perusahaan swasta yang bergerak dibidang real estate adalah termasuk salah satu
pengembang yang membangun rumah berdasarkan kesepakatan pesan terlebih dahulu, cara
seperti ini dikenal dengan "pesan-bangun". Pengembang ini awalnya hanya menyediakan tanah
dan kawasan perumahan miliknya untuk dijual kepada pembeli, sedangkan rumahnya akan
dibangun oleh pengembang seteiah pembeli melengkapi persyaratan Jual beli rumah serta telah
membayar uang muka
Di dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman menyatakan bahwa: "Badan hukum yang melakukan pembangunan
rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau
menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45”
Jika Pengembang melanggar Pasai 138 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, terdapat sanksi pidana berupa pidana kurungan paling lama satu tahun
atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pembeli diikat dengan perjanjian jual beli secara di bawah tangan dengan objek
perjanjiannya berupa tanah beserta rumah yang akan dibangun diatasnya. Perjanjian ini belum
berisikan perpindahan hak kepemilikan yang nantinya akan dilakukan seteiah para pihak telah
melaksanakan kewajiban dan menerima haknya, yang ditandai dengan serah terima rumah yang
telah selesai dibangun oleh pengembang dan pembuatan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat
Pembuatan Akta Tanah.
Dalam mempertimbangkan harga beli rumah yang mempunyai rasa keadilan bagi kedua
belah pihak, pengembang biasanya mempunyai beberapa pertimbangan dalam menentukan harga
untuk menjual rumah tersebut seperti lokasi rumah tersebut letaknya strategis, mempunyai
arsitek dan tenaga keija yang ahli dalam pembangunan rumah tersebut, dapat menyelesaikan
pembangunan nimah tersebut diselesaikan tepat seperti yang disepakati.
Perjanjian jual beli tersebut merupakan perjanjian baku, sehingga pembeli tidak
mempunyai kesempatan untuk bemegosiasi terlebih dahulu, baik itu mengenai harga rumah
ataupun isi dari perjanjian. Dalam membeli rumah, Pembeli tidak bisa dengan cepat memutuskan
untuk membeli rumah, Pembeli akan melakukan diskusi terlebih dahulu dengan orang lain dan
tak jarang membutuhkan waktu yang sangat lama sebelum akhimya membeli rumah tersebut.
Membeli mmah bukanlah persoalan yang mudah dan simple. Untuk itulah Pembeli seringkali
harus dihadapkan dengan banyak pertimbangan ketika membeli rumah, seperti adanya kesadaran
kebutuhan dalam dirinya, harga rumah yang harus disesuaikan dengan kemampuan mereka,
lokasi yaitu bagaimana kemudahan akses serta arah pengembangan
A. Kesimpulan

1. Pengembang biasanya mempunyai beberapa pertimbangan dalam menentukan harga untuk


menjual rumah tersebut seperti lokasi rumah yang letaknya strategis, mempunyai arsitek dan
tenaga keija yang ahli dalam pembangunan rumah, dapat menyelesaikan pembangunan rumah
dengan tepat seperti yang disepakati. Yang menjadi faktor pembeli dalam mempertimbangkan
harga beli mmah dapat dilihat dari kesadaran kebutuhan dalam dirinya, harga mmah yang hams
disesuaikan dengan kemampuan mereka, lokasi yang letaknya strategis, macam dan ketersediaan
fasilitas. Kualitas bangunan, keadaan lingkungan, desain mmah dan masih banyak lagi
pertimbangan lain
2. Berdasarkan Undang - Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) ditegaskan bahwa,
pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian mengenai memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi objek jual beli jasa, yang artinya bahwasanya adanya pengembalian uang yang
disesuaiakan dengan keuangan pemsahaan konsumen apabila perjanjian tersebut batal karena
konsumen belum membayar angsuran sebaimana yang tercantum di dalam Surat Perjanjian Jual
Beli Rumah Pasal 5.

B. Saran

1. Sebaiknya pengembang harus bertindak jujur dalam melaksanakan pembangunan rumah


tersebut sesuai dengan peijanjian. Akan tetapi, tidak semua pengembang bisa berlaku jujur dalam
proses pembangunan tersebut, misalnya tidak menggunakan bahan yang berkualitas untuk
pembangunan rumah tersebut atau bisa juga pengembang tidak memenuhi kewajibannya
walaupun dari pembeli telah melengkapi persyaratan administrasi dan melakukan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan. Maka, sebaiknya dalam proses pembangunan rumah tersebut perlu
adanya pengawasan dari pemerintah agar pembeli merasa tidak dirugikan.
2. Sebaiknya dalam melakukan perjanjian jual beli rumah tersebut, ada baiknya pihak
pengembang menjelaskan secara keseluruhan mengenai isi perjanjian tersebut kepada konsumen,
sebelum konsumen menyetujui isi dari perjanjian tersebut agar timbul keseimbangan, kesetaraan,
dan kedudukan kedua belah pihak.
Daftar Pustaka

A. Buku

[1] Salim, 2014, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cet ke-9, Jakarta: Sinar Grafika.
[2] Agus Yudha Hemoko, 2008, Hukum Perjanjian "Asas Proposionalitas dalam Kontrak
Komersiai" Surabaya: Laksbang Mediatama Yogyakarta
[3] Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
[4] Subekti, 2002, Hukum Perjajian, cet ke- 9, Jakarta: Intennasa.
[5] Sinaga Budiman, 2005, Hukum Kontrak dan penyelesaian sengketa dari Perspektif
Sekretaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
[6] Simatupang Richard Burton, 2003 Aspek Hukum Dalam Bisnis, cet ke-2, Jakarta: Rineka
Cipta.
[7] Naja Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: Citra Aditya Bakti.

B. Internet
1. R A Sukma "USU Institusional Repository" diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstreain/l 23456789/4423 l/4/Chapter%20I.pdf, pada tanggal 8
November 2016 Pukul 20.00
2. 3 http-7/repository.mu.ac.id/bitstreaiW123456789/57490/4/Chapter%20I.pdf di akses
pada tanggal 8 November 2016 Pukul 21.00
BIODATA

Nama : Regina Sangeeta PV Chatterjee

Tempat, Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 05 Agustus 2003

Hobi : Olahraga

Anda mungkin juga menyukai