Anda di halaman 1dari 33

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

Edisi Revisi

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.

A. Riwayat Perkembangan

Menurut Rene David Perbaandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu

hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru

pada abad-abad ini. Demikian pula Adof F. Schnitzer mengemukakan, bahwa

baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang

khusus dari ilmu hukum.

Perkembangan pada abad ke-19 itu terutama terjadi di Eropa (khususnya

Jerman, Prancis, Inggris), Dan Amerika.

Pada mulanya minat terhadap studi perbandingan hukum bersifat perseorangan,

sepperti di lakukan oleh:

o Montesquieu (Prancis)

o Mansfield (Inggris) dan

o Von Feuerbach, Thibaut dan Gans (di Jerman).

Kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan. Di Prancis misalnya:

o Tahun 1832 berdiri institut perbandingan hukum di college de france; dan

o Tahun 1846 berdiri institute perbandingan hukum di University of Paris.

Di Inggris pada 1846, sebuah panitia pendidikan hukum (di bawah

pengawasan house of common) mengajukan rekomendasi agar


perguruan-perguruan tinggi di Inggris di bentuk institut tentang

perbandingan hukum. Usul ini sangat berhubungan erat dengan

kerajaan Inggris yang menghadapi berbagai system hukum asing di

negara-negara jajahan (misal hukum hindu di India). Usul tersebut baru

terwujud pada 1869 dengan terbentuknya badan/lembaga historical and

comparative jurisprudence di Oxford dengan ketuanya Sir Henry Maine.

B. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum

Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingaan hukum ini, antara lain:

Comparative law, Comparative jurisprudence, Foreigen Law (istilah Inggris);

Droit Compare (istilah Prancis); Rechtsvergelijking (istilah belanda); dan

Rechtsvergeleichung atau Verleichende (istilah jerman).

Ada pendapat ang membedakan antara Comparative law dengan Foreeign Law

yaitu:

o Comparative law:

Mempelajari berbagai system hukum asing dengan maksud untuk

membandingkannya,

o Foreign Law:

Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui

sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud

untuk membandingkannya dengan system hokum yang lain.

Didalam black’s law dictionary dikemukakan, bahwa comparative

juriispudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum

dengan melakukan perbandingan berbagai macam system hukum ( the


study of pprinciples of legal science by the comparison of various system

of law).

W. EWALD (dalam esin orucu, critical comparative law)

mengemukakan, bahwa pperbandingaan hukum pada hakikatnya

mrupakan kegiatan yang bersifat filosofis (comparative law is an

essentially philosophical activity). Perbandingan hukum adalah suatu

setudi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi intelektual yang ada

di balik institusi/lembaga hukum yang pokok dari satu atau beberapa

system hukum asing.

C. Perbandingaan Hukum Sebagai Suatu Metode Penelitian/Keilmuan

Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (comparative law, 1959) mengemukakan

antara lain:

o Comparative law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk

memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum

tertentu.

o Comparative law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas

hukum (bukan suatu cabang hukum)

o Comparative law adalah teknik ataau cara menggarap unsur hukum asing

yang actual dalam suatu masalah hokum.

Bertolak dari pengertian tersebut, maka tepatlah digunakan istilah “perbandingan

hukum dan bukan hokum perbandingan.

Menurut van Apeldoorn:


“Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyaraakatan. Ilmu hukum

tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi ruang lingkup hukum itu sendiri,

tetapi juga menjelaskan hubungan gejala hukum dengan gejala sosia lainnya.

Untuk mencapai tujuan itu maka digunakan metode sosiologis, sejarah, dan

perbandigan hokum.

o Metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan antara hukum

dengan gejala-gejala social lainnya.

o Metode sejarah, untuk meneliti peerkembangaan hokum, dan

o Metode perbandingan hukum untuk membandingkan berbagai tertib

hukum dari bermacam-macam msyarakat.

Sehubungan dengan yang di kemukakan Apeldoorn di atas, Prof. Dr. Soerjono

Soekanto mengemukakan ketida metode tersebut saling berkaitan dan hanya

dapat di bedakan tetapi tidak bias di pisahkan.

Selanjutnya dikemukakan pula oleh Soejono Soekanto bahwa dengan demikian

ketiga metode tersebut saling mengisi dalam menghubungkan penelitian hukum.

Seoran ilmuan dibidang hokum yang berhasil menerapkan ketiga metode

tersebut, melakkukuan penelitian ang sangat perguna dan mendekati ke

lapangan.

Sehubungan dengan yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto dapat lebih di

tegaskan bahwa metode atau pendekatan yuridis normatif juga memerlukan

pendekatann empiris (sosiologis), historis, dan komparatif. Keempat metode atau

pendekatan itu sangat penting karena kecenderungan penelitian hokum masa

kini tidak lagi dapat mengunakan hanya satu metode atau satu pendekataan
saja. Ditegaskan ole Dr. Sunaryati Hartono, bahwa untukk meneliti satu

fenomena social sering kali di butuhkan kombinasi berbagai metode penelitian,

walaupun selalu bertitik tolak dan di dominasi oleh satu disiplin ilmu.

Eratnya hubungan antara perbandingan hokum dengan sejarah hokum dan

sosiologi hukum, terlihat pula dari para sarjana berikut ini.

1. Van der Velden

Perbaandingan hukum sulit dibedakan dari sejarah hokum. Membedakan

perbandingan hokum dari sosiologi hokum lebih sulit lagi.

2. Sir Frederic Pollock (193)

Tidak ada perbedaan antara ilmu sejarah hokum dan ilmu perbandingan

hukum kedua-duanya berarti sejarah umum dari hokum.

3. Joseph Kuhler

Istilah “sejarah hokum universal” (universale rechtsgeschichte) sama

dengan “perbandingan hokum” (verglrichende rechtwissen schaft)

4. Max Rheinstein

Dalam bukunya yang berjudul Einfuhrung in die

Rechtsvergleichung (pengantar perbandingan hukum) ia mengemukakan,

bahwa bukunya ituu bias juga digunakan sebaga pengantar sosiologi

hukum.

Ditegaskan olehnya, bahwa apabila perbandingan hukum itu tidak

hanya berusaha atau bermaksud untuk lebih memahami hukumnya

sendiri. Melainkan mencari kejelasan tentang fungsi social dari hukum

pada umumnya, maka ituu sebenarnya sosiologi hukum. Perbandingan


hukum yang bersifat empiris ini terutama menggunakan metode fungsional

dan mencari hukum-hukum (menurut statisstik) sehubungan dengan asal

mula, pertumbuhan, jatuhnya, maksud, bentuk dan perwujudan hukum

sebagai gejala social budaya.

Adanya pendaapat seperti dikemukakan diatas adalah wajar,

karena memang pada hakikatnya perbanndingan hukum, sejarah hokum,

dan sosiologi hukum merupakan bagian dari ilmu hukum, khususnya ilmu

tentang kenyataan hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan

social. Oleh karena itu wajar apabila Hessel E. Yntema menyatakan:

“Perbandingan hokum hanyalah nama lain untuk ilmu hukum dan

bagian integral dari bidang yang lebih luas dari ilmu pengetahuan sosial.

Sebab, seperti cabang ilmu pengetahuan lain ia mempunyai pandangan

kemanusiaan yang universal, ia memaandan meskipun tekniknya berbeda

bahwa masalah keadilan pada dasarnya ama menurut waktu dan tempat

di seluruh dunia.”

Akhirnya perlu di kemukakan, bahwa walaupun sama-sama

bagian dari ilmu hukum namun ada pendapat, bahwa perbandingan

hokum tidak sama dengan sosiologi hukum. Pendpat ini antara lain

dikemukakan oleh G.J. Sauveplaanne:

“metode fungsional menammbah pada perbandingan hukum

sama dengan sosiologi hokum. Perbaandingan hukum tidak hanya

bergerak di bidang penelitian empiris, akan tetapi juga berusaha untuk


mencapai tujuan dibidang sendiri, yang menuju kepada perbandingan dan

penilaian kritis bahan yang di temukan.”

Dari pendapat ppara sarjana yang dikemukakan diaatas, dperoleh

gambaran bahwa:

a. Perbandingan hukum bukan suatu cabang hukum, bukan suatu

perangkat peaturan;

b. Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum; dan

c. Perbaandingan hukum meruapakan metode penelitian.

Mengenai perbandingan hokum sebagai metode penelitian, Prof.

Dr. Soerjono Soekanto menegaskan, bahwa “dalam penelitian hukum

normative perbandingan hukum merupakan suatu metode.”

Dijelaskan selanjutnya:

o Di dalam ilmu hukum dan praktik hukum metode perbandingan

sering di terapkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh

ahli-ahli hukum yyang tidak mempelajari ilmu-ilmu social lainnnya,

metode peerbandingan dilakukan tanpa sistematik atau pola

tertentu.

o Oleh karena itu, penelitian-penelitaan hukum yang menggunakan

metode perbandingan bisanya merupakan penelitian sosiologi

hukum, antopologi hukum, pesikologii hukum dan sebagainya yang

merupakan penelitian hukum empiris.


o Walaupun belum ada kesepakatan, namun ada beberapa model

atau pradigma tentu mengenai penerapan metode perbandingan

hukum antara lain:

 Constantinesco

Ia mempelajari proses perbandingaan hukum dalam tiga fase.

a. Fase pertama:

Mempelajari kkonsep-konsep (yang diperbandingkan) dan

menerangkannya menurut sumber aslinya ( stadying the concepts and

examining them at their original source );

Mempelajari konsep-konsep itu didalam kompleksitas dan teorilitas

dan sumber-sumber hukum dengan pertimbangaan yang sungguh-

sungguh, yaitu dengan melihat hirarki sumber hukum itu dan

menafsirkannya dengan menggunakan metode yang tepat atau sesuai

dengan taata hukum yang bersangkutan.

b. Fase kedua:

Memahami konsep-konsep yang diperbandingkan, yang berarti

mengintegrasikan konsep konsep itu kedalam tata hukum mereka sendiri,

dengan memahami pengaruh-pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-

konsep itu dengan menentukan unsur-unsur dar system dan factor diluar

hukum, serta mempelajari sumber-sumber social dari hukum positif.

c. Fase ketiga:
Melakukan penjajaran (mennempaatkan secara berdampingan)

konsep-konsep itu untuk di perbandingkan.

Fase ketiga ini merupakan fase yang agak rumit dimana metode-

metode perbandingan hukum yang sesungguhnya digunaakan. Metode-

metode inilah melakukkan deskripsi, analisis dan eksplanasi yang

membuat generalisasi dan harus cukup luas meliputi pengidentifikasian

hubungan-hubungan dan sebab-sebab dari hubungan-hubungan itu.

 Kamba

Dengan menekankan, bahwa penjelasan mengenai perbedaan

dan persamaan merupakan suatu yang seharusnya ada pada

perbandingan hukum, ia juga membicarakan tiga fase: deskripsi, analisis,

dan eksplanasi. Ia juga menekankan pendekatang fungsional dan

pendekatan pemecahan masalah sebagai sesuatu yang sangat di

perlukan bagi perbandingan lintas-budaya (cross-cultural comparison).

Ialah membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.

 Schmidlin

Ia mengemukakan tiga pendekatan yaitu:

a. Analisis menurut hokum (legal analysis);

b. Analisis menurut morfologi-struktural;

c. Analisis yang bersifat evolusi-hisstoris dan fungsional.

 Soerjono Soekanto
Perbandingan hukum mungkin diterapkan dengan memakai

unsur-unsur sistem hukum sebagi titik tolak perbandingan sistem hukum

mencakup tiga unsur pokok, yakni:

a. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum,

b. Substansi hukum yang mncakup perangkat kaaidah atau perilaku

teratur, dan

c. Budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang di anut.

Menurut Soerjono Soekanto, perbandingan dapat dilakukan

terhadap masing-masing unsur atau secara komulatif terhadap

semuanya. Dengan metode perbandingaan hukum dapat dilakukan

penelitian terhadap berbagai subsistem hukum yang berlaku di

suatu masyaaraakat tertentu atau secara linas sektoral terhadaap

sistem-sistem hukum berbagai masyarakat yang berbeda-beda.

D. Metode Perbandingan Hukum: Metode Fungsional

Menurut Kontrad Zweigert dan Kurt Siehr, perbandingan hukum modern

menggunakan metode yang kritis, realistik, dan tidak dogmatis:

- Kritis, karena para komparatist (sarjana perbandiingaan hukum) sekarang

tidak mementingkan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan dari

berbagai tata hukum semata maataa sebagai fakta, tetapi yang di pentingkan

ialah “apakah penyelesaian secara hukum atas sesuatu masalah itu cocok dapat

di praktikan, adil, dan mengapa penyelesaiannya itu demikian”.

- Realistis, karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-

undangan, keputusan peradilan dan doktrin tetapi juga semua motif yang nyata
yang menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, pesikologis, ekonomis, dan motif-

motif dari kebijakan legislatif.

- Tidak dogmatis, karena perbandingan hukum tidak hendak berkembang

dalam kekakuan dogma seperti sering terjadi pada setiap tata hukum. Meskkipun

dogma mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma ddapat mengaburkan

dan menyerongkan (distort) pandangan dalam menemukan “penyelesaian

hukum yang lebih baik.”

Jadi perbandingan hukum menggunakan pendekatan fungsional. Dijelaskan oleh

Zweigert:

“Seorang ssarjana perbandingaan hhukum tentu terutama tertarik pada “hakikat

sesuatu. Ia pertama harus menentukan hakikat problema yang dihadapi, sebab

dengan cara demikian ia menemukan kaidah hukum yang tepat. Ia tidak dapat

memulai pekerjaannya sebelum ia menetaapkan konsep-konsepnya, atau

dengan kata lain menetapkan kategori-kategori fungsi dan bukan kategori-

kategori norma. Misalnya tiap system hukum perdata harus memecahkan

problema yang menyangkut “penggantian kerugian atau pembelian kekayaan

yang diperoleh secara tidak sah”, tetapi setiap sistem mempunyai cara sendiri

untuk memecahkan problema itu.”

Akhirnya patut dikemukakan pendapat H.U. Jessurun d’Oliveira (1980) yyang

mengemukakan:

“Penggunaan istilah perbandingan hukum menimbulkan kesan keliru, bahwa

yang dipelajari hanya norma-norma hukum dan bukannya norma-norma dan

gejala-gejala sosial lainnya. Perbandingaan hukum secaara prinsipil hanya


berhenti mempelajri norma-norma hukum akan melupakan ilmu pengetahuan

yang perlu di kasihani, sebab ia membuat dirinya tidak mampu untuk memberi

jawaban secara penuh atas persoalan-persoalan hukum.”

Dengan demikian, melakukan perbanddingaan hukum bukanlah hal yang

mudah. Menurut Rene David dan Brierley, kesulitan itu antara lain di sebabkan:

- Perbedaan Bahasa dan perbenddaharaan (language and vocabulary);

Di tegaskan oleh mereka:

“tidak adanya persesuaian yang tepaat mengenai konsep-konsep dan kategori-

kategori hukum diantara sistem-sistem hukum yang berbeda, merupakan

salahsatu kesulitan terbesar yang dijumpai/dihadapi dalam penganalisisan

perbandingan hukum.”

- Tidak ada pendidikan persiapan yang khusus di dalamm bidang

perbandingaan hokum.

Disamiping keulitan yang di kemukakaan di atas, yang jalas sulit adalah

mengetahui sistim nilai yang melatarblakangi sistem hukum yang ingin

diperbandingkan itu.

E. Keluarga Hukum atau Famili Hukum

Untuk melakukaan perbaandingan hukum, perlu terlebih dahulu mempelajari

sistem hukum dari negara asing. Setiap negara mempunyai hukumnya sendiri-

sendiri.

Mempelajari beberapa sistem hukum negara asing.

o Tiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri

o Mencari lebih dulu titik persamaan dan titik perbedaan


o Digolongkan/dikelompokkan persamaannya menjadi Genus

o Kemudian, dicari perbedaannya ke dalam species

o Proses genus species= kualifikasi

Melakukan klasifikasi keluarga hukum.

o Sistem hukum yg sama dikelompokkan dalam apa yg dinamakan

keluarga hukum (legal familier) atau families de droits.

o Keluarga hukum adalah sistem-sistem hukum (hukum nasional) berbagai

negara yang mempunyai banyak persamaan yg dikelompokkan menjadi

satu.

o Melakukan klasifikasi adalah dasar bagi seorang comparist/pembanding

untuk melanjutkan pekerjaannya.

Keluarga hukum adalah suatu kelompok besar sistem hukum dimana

beberapa sistem hukum dapat dimasukkan di dalamnya.

Mempunyai ciri-ciri khusus yang di kemukakan oleh beberapa ahli:

•Oleh Rene David dinamakan keluarga hukum atau family law (formelle de droit)

Pembagian keluarga hukum di dunia:

• Rene david:

1. Keluarga hukum Romawi Germania

2. Keluarga Hukum common law

3. Keluarga hukum sosialis

4. Keluarga hukum agama/tradisi

Zweigert-Kotz:
1. Keluarga Hukum Romawi

2. Keluarga Hukum Germania

3. Keluarga hukum Skandinavia

4. Keluarga Hukum common law

5. Keluarga hukum Sosialis

6. Keluarga hukum Timur jauh

7. Keluarga hukum Islam

8. Keluarga hukum Hindu

Dasar Penentuan Keluarga Hukum di dunia:

Rene David:

•Teknik serta metode dari sistem hukum (prinsip hukum, filasafat hukum,

politik dan ekonomi)

Konrad Zweigert:

•Asal-usul perkembangan historis

•Cara pemikiran hukum dan

•Ideologi hokum

Hein Kotz:

•Asal-usul perkembangan historis

•Cara pemikiran lembaga-lembaga hukumnya

•Sumber-sumber hukumnya

•Ideologi hokum

Mempelajari stelsel hukum dunia merupakan hal yang sangat penting dalam

mengungkapkan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari berbagai sistem hukum yang
berlaku dewasa ini. Marc Ancel membedakan sistem hukum dunia menjadi 5 jenis hukum

yang dikelompokkan dalam satu keluarga berdasarkan asal-usulnya, sejarah

perkembangannya serta metode penerapannya (their origin, their historis development and

their methods of application). 

 Stelsel Hukum Civil Law

Pada mulanya negara Eropa tergabung pada sistem Eropa Kontinental. Ciri khusus dari

stelsel hukum Eropa Kontinental atau civil law yakni:

1. Hukum merupakan produk legislatif.

2. Hukum adalah peraturan perundang-undangan.

3. Sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum romawi.

4. Semua sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law dikodifikasi dalam

suatu peraturan perundang-undangan.

5. Keputusan pengadilan dalam sistem hukum kontinental atau civil law bukan

sumber hukum yang pertama tetapi hanya keterangan mengenai hukum.

6. Dalam commom law memberi tempat yang sangat penting pada pengadilan

sedangkan pada sistem Eropa Kontinental atau civil law tidak demikian,

hukum tidak hanya penuntutan tetapi sebagaian besar mengenai fungsi

umumnya.

7. Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan sebagaimana dalam commom

law tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law.

8. Semua sistem civil law berbeda dalam substansi dan prosedur antara

hukum perdata dengan hukum administrasi.

 Stelsel Hukum Common Law


1. Sistem hukum commom law mulanya berasal dari kebiasaan di Inggris

kemudian berkembang sejak abad XI. Sistem hukum commom law dikenal

juga dengan istilah Anglo Saxon atau Anglo Amerika. Pada dasarnya sistem

hukum ini menekankan pada unwritten law. Sistem hukum commom law

mempunyai ciri-ciri:

2. Sebagian hukum commom law adalah hasil dari pertumbuhan historis yang

terlaksana secara bertahap sehingga masih mempunyai dan menunjukkan

unsur-unsur feodalnya.

3. Putusan pengadilan dalam sistem hukum commom law adalah salah satu

sumber hukum yang sangat penting.

4. Dualisme hukum kebiasaan dalam kepatutan dengan sistem hukum

commom law yang diakui dan ini tidak dikenal dalam sistem civil law.

5. Semua hukum civil law berbeda dalam substansi dan prosedur dalam

hukum perdata dan hukum administratif, hukum commom law menolak

pembagian dalam dua bagian ini dan berpegang setidak-tidaknya dalam

teori, pada prinsipnya berlaku asas perlakuan yang sama di muka hukum.

6. Sistem hukum commom law memberi tempat yang sangat penting dan

istimewa kepada pengadilan.

7. Semua sistem commom law masih menundukkan diri berdasarkan

kebiasaan sedangkan dalam sistem hukum civil law semua hukum

dikodifikasikan, ada dalam peraturan perundang-undangan dan merupakan

produk hukum legislatif.


Dalam sistem hukum commom law hakim di pengadilan dapat membuat

hukum sendiri dengan melihat kasus-kasus dan fakta-fakta. Hal ini sering

diistilahkan dengan judge made law atau case law. Pada hakikatnya hakim

berfungsi sebagai legislatif. Meskipun dalam sistem hukum commom law hakim

mengikuti the doctrine of precedent (stare dececis) tetapi dalam penggunaan

doktrin tersebut hakim harus mempergunakan ukuran:

o Setiap perkara harus bersifat einmalig artinya hanya satu kali saja terjadi

dan tidak mungkin persis sama dengan perkara-perkara sebelumnya. Dalam hal

ini hakim hanya diwajibkan mengikuti the doctrine of precedent bila ada hal-hal

yang berhubungan langsung dengan produk perkara (racio decidendi) sedangkan

hal-hal yang bersifat tambahan atau ilustrasi (obiter dicta) dapat

mengesampingkannya atau menurut keyakinannya.

o Harus reasonabless yakni harus dilihat dalam rangka sistem hukum yang

bersangkutan dalam rangka kemungkinan atau keadilan. Jadi putusan yang

terdahulu kalau tidak reasonabless tidak perlu diikuti.

Sistem juri merupakan ciri khas dari commom law yaitu orang-orang sipil yang

mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang

perkara. Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-

orang yang kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam

yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan.

Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara

dan menentukan juri pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri
kecuali untuk alasan-alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau

mengenal terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari 

para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh

mereka dalam menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam

pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada

undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang

bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan,

hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-

undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang

dihadapi.

Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna

kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula

dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan

semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan

sebagai pranata khas common law. Demikian juga dengan eksistensi pranata

equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar

nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden

yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim

menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama

putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan

yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga

menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.


 Sistem Hukum Timur Tengah

Sistem hukum timur tengah dianut oleh Irak, Yordania, Saudi arabia,

Libanon, Siria, Maroko, Sudan. Sistem hukum timur tengah berasal dari agama

Islam sehingga disebut dengan stelsel hukum Islam. Stelsel hukum Islam

bersumber kepada:

1. Qur’an yaitu kitab suci kaum muslimin yang merupakan wahyu Allah yang

diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW 

2. Hadis yakni ucapan, pesan, perbuatan serta sikap Nabi Muhhamad SAW

yang kemudian dijadikan pedoman oleh para pengikutnya.

3. Ijma yaitu kesepakatan para ulama mengenai suatu hukum terhadap

sesuatu yang belum diatur pada Al-Qur’an dan al-Hadis Rasullah SAW.

4. Ijtihad para mujtadid terhadap suatu hukum terhadap suatu masalah hukum

yang ada hukumnya.

5. Hadis Riwayat Abu Daud.

Sistem hukum Islam mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sistem

hukum yang lain yakni:

a. Merupakan ketentuan yang tidak berubah yakni takanul yaitu

sempurna, bulat dan tuntas.

b. Menempuh jalan tengah, yakni keseimbangan antara kejiwaan dan

kebendaan.

c. Kemampuan yang bergerak dan berkembang, mempunyai daya

hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan

kemajuan.
Di dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah, yang

dijadikan sebagai patokan untuk mengukur perbuatan manusia baik

beribadah maupun bermuamalah. Kelima jenis kaidah tersebut

disebut dengan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum

yang lima yaitu: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. 

 Sistem Hukum Timur Jauh

Sistem hukum Timur jauh merupakan sistem hukum yang kompleks

yang merupakan perpaduan antara sistem civil law, common law, dan

Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat. Sistem hukum

timur jauh ini dianut oleh negara-negara seperti Cina dan Jepang.

Sistem hukum timur jauh yang merupakan kompilasi dari beberapa

sistem hukum yang ada di dunia ini ketika diimplementasikan dalam

budaya hukum masyarakat menunjukkan sifat yang tertutup dan

terisolasi. Kompleksitas dari sistem hukum ini menyebabkan sistem

hukum ini terlalu berkembang jika dibandingkan dengan sistem hukum

anglosaxon dan eropa kontinental.

 Stelsel Hukum Sosialis

Sistem hukum sosialis berasal dari hukum Uni Soviet yang

dikembangkan sejak 1917, dimana pada tahun ini terjadi Revolusi

Oktober yang mengakhiri pemerintah kerajaan Rusia. Hukum ini

mengalami penyebaran melalui politik demokrasi rakyat ke negara-

negara di Eropa dan Asia. Pokok stelsel hukum sosialis adalah hukum
yang dijiwai ajaran unmarxis-Lenimisme yang dianut oleh para pakar

hukum di Uni Soviet serta ajaran materialisme dan teori evolusi dimana

dikatakan bahwa materi merupakan satu-satunya benda nyata di dunia

ini.

R. Sardjono mengatakan hukum di negara-negara sosialis

dimaksudkan untuk membangun masyarakat baru, untuk menunjang

terjadinya masyarakat baru sesuai dengan ajaran marxisme yang

fundamental berlainan dengan keadaan sebelumnya dimana faktor

ekonomi merupakan faktor utama dan faktor penentu dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Dalam arti bahwa segala sesuatunya harus

tunduk kiehendak penguasa yang bertugas memimpin transformasi dari

susunan masyarakat lama ke arah terciptanya masyarakat baru yang

dijiwai oleh ajaran komunis yang mengutamakan asas kolektivitas dalam

bentuknya yang mutlak. Akibatnya hubungan individu menjadi berkurang

sebab semuanya menjadi publik. Dengan demikian yang diutamakan

adalah kepentingan umum dan kepentingan negara.

Menurut sistem hukum sosialis, hukum merupakan suatu alat untuk

menekan kelas tertindas yaitu kepentingan dan ketidakadilan. Hukum

yang adil berarti menyerukan suatu ideologi. Fungsi hukum sosialis

bukan untuk mengekspresikan konsep keadilan tertentu tetapi

mengorganisasi kekuatan-kekuatan ekonomi bangsa dan

mentransformasikan tingkah laku dan sikap warga negara. Dengan

demikian negara-negara yang mengut sistem hukum sosialis ini hanya


mengenal konsep hukum publik sedangkan konsep hukum privat tidak

ada. Stelsel hukum sosialis yang berbasis doktrin komunis mengabaikan

prinsip-prinsip keadilan dan moral. Doktin hukum sosialis yang berbasis

pada doktrin marxisme mengajarkan bahwa hukum sebenarnya adalah

suatu struktur yang melayani kepentingan-kepentingan ekonomi. Bagi

kaum marxisme hukum adalah alat kebijaksanaan bagi mereka yang

memerintah. Hukum yang berlaku di Uni Soviet tidak memiliki nilai

absolut pada dirinya.

Ajaran Marxisme Lenisme menolak prinsip pembagian kekuasaan dalam

sistem pemerintahannya. Seluruh kekuasaan terkonsentrasi di tangan

pemegang kekuasaan tertinggi, kekuasaan eksekutif, legislatif dan

yudisial dijalankan secara eksekutif oleh pemegang kekuasaan tertinggi.

F. Kegunaan atau Manfaat Perbandingan hukum

Mamfaat atau Kegunaan Perbandingan Hukum

Para ahli yg berpendapat antara lain:

Prof. Sudarto, Kene David, Binery, Soerjono Soekanto dan Tahir Nungrah.

Mamfaat perbandingan hukum tersebut adalah:

1. Pembaharuan hukum Nasional Misalnya dari HIR menjadi KUHAP

2. Untuk menghargai/menghormati hukum bangsa-bangsa Asing.

3. Menghindari rasa/sifat Kolonialisme terhadap hukum sendiri.

Didalam perbandingan hukum yg diperbanding adalah Persamaan atau

perbedaan-perbedaan dengan system hukum yg lain dan untuk mengetahui


bagaimana fungsinya aturan-aturan hukum yg diperbandingkan.

Contoh : Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Narkotika dg ancaman yg

bersifat elastis artinya boleh memilih dari salah satu hukuman yg telah

ditentukan dlm pasal 10 KUHP.

Malaysia juga memiliki Undang-undang tentang Narkotika, namun apabila telah

sampai waktu tertentu terdakwa akan di hukum mati.

Dalam Perbandingan Hukum yg diperbandingkan juga Yaitu:

Faktor-faktorr yuridis, Faktor-faktor politis, Faktor-faktor ekonomis dan Faktor-

fakktor budaya.

Sejarah singkat Perbandingan Hukum

1. Kene David.

Menurut Kene David perbandinga hukum sudah berkembang sejak ada ilmu

hukum itu sendiri tapi perkembangannya baru dilihat pada ahir abad ke 19.

2. Rudolf F. Schinitzer

Meunurut dia Mula-mula perbandingan hukum ini hanya dipelajari secara

perorangan.

3. Perancis (Montesque)

Secara kelembagaan di Perancis tahun 1832 yaitu “Institut Perbandingan”

(College de France). Kemudian di Universitas Paris pd tahun 1846.

Menurut sejarah Montesque itulah yg menjadi bapak perbandinga hukum karena

beliau yang pertama kali menyatakan bahwa “The rule of law” tidak dipandang
sesuatu yang bersifat abstrak tapi harus dipandang sebagai suatu latar belakang

historis dari lingkungan dimana hukum itu berfungsi.

4. Inggris (Mansfield)

Di Inggris tahun 1846 didirikan atau dibuat panitia pendidikan hukum dibawah

pengawasan Hose Common dan direkomendasikan agar setiap Universitas di

Inggris diajarkan mata kuliah perbandingan hukum. Kemudian pada tahun 1869

didirikan lagi “Institut Historical, Comparative, Jurisprudence” maksud dari Inggris

supaya Universitas di belajarkan perbandingan hukum untuk mempelajari

hokum-hukum yg berkembang di Negara-negara jajahannya.

Misalnya: Malaysia.

Kemudian pada abad ke 20 perbandingan hukum berkembang pesat dengan

adanya Konferensi Den Hac menghasilkan traktat dilapangan transportasi,

kereta api, hak cipta, hak milik industri dan sebagainya. Kedudukan

Perbandingan Hukum

1. Guiten de Borgonisennotun.

Bahwa perbandingan hukum bukan ilmu hokum tapi hanya suatu metode studi

untuk menyelidiki tentang hukum yakni dengan cara perbandingan.

2. Prof. Hartono.

Bahwa perbandingan hukum bukan cabang dari ilmu hukum tapi hanya sekedar

sebagai metode penelitian hukum saja. Oleh karena perbandingan hukum tidak

melahirkan nama-nama hukum atau asas-asas hukum. Makanya tidak dikenal

ada namanya perbandingan hukum pidana atau perdata.

G. Sumber Hukum Pidana Inggris


1. Common Law

Yaitu bagian dari hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau adat

istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan.

Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dalam memecahkan masalah atau

kasus-kasus tertentu yang dikembangkan dan unifikasikan dalam keputusan-

keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena itu

common law ini sering juga disebut Case law atau juga disebut Hukum

Preseden.

Common law yang dikembangkan dalam keputusan-keputusan pengadilan ini

mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena di Inggris berlaku asas state

decisis atau asas the binding force of precedents. Asas ini mewajibkan hakim

untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya. Pada asasnya

kekuatan mengikat ini berlaku bagi keputusan pengadilan yang lebih tinggi,

namun dapat juga berlaku untuk keputusan pengadilan yang setingkat, asal tidak

ada preseden yang saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi secara per

incuriam, artinya tidak terjadi karena kekeliruan dalam hukum

Kekuatan mengikat dari hukum preseden ini terletak pada bagian putusan yang

disebut ratio decidendi, yaitu semua bagian putusan atau pertimbangan hukum

yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus konkret. Hal-hal lain yang berupa

penyebutan fakta-fakta yang tidak ada relevansinya secara langsung dengan

perkaranya, yang disebut obiter dicta tidak mempunyai kekuatan mengikat dalam

prakteknya sistem preseden itu tidak seketat yang dibayangkan, sebab hakim

dapat menghindari kekuatan mengikat dari ratio decidendi itu apabila ia dapat
menunjukkan bahwa perkara yang sedang dihadapi itu ada perbedaan dengan

perkara yang diputus terdahulu. Hakim atau advokat dapat menggunakan

distinction (pembedaan) seperti itu untuk melumpuhkan kekuatan mengikat dari

preseden.

2. Statute law

Ialah hukum yang berasal dari perundang-undangan. Seperti halnya dengan

common law, statute law ini pun mempunyai binding authority (kekuatan

mengikat). Hukum Undang-undang (statute law) di Inggris hanya memuat

perumusan tindak pidana (kejahatan) tertentu, misalnya:

a. Undang-Undang mengenai tindak pidana terhadap orang ( Offences against

the Person Act) tahun 1861.

b. Undang-Undang Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.

c. Undang-Undang tindak Pidana Seksual ( Sexual Offecens Act) 1956.

d. Undang-Undang mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.

e. Undang-Undang mengenai pembunuhan anak ( Infanticide Act) 1922, yang

telah diubah dengan UU tahun 1938.

f. Undang-Undang mengenai pembunuhan berencana atau UU mengenai

penghapusan pidana mati (Murder/Abolition of death Penalty Act) tahun 1965.

g. Undang-Undang mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1967.

h. Undang-Undang mengenai pencurian ( Theft Act) tahun 1968.

i. Undang-Undang mengenai obat-obatan berbahaya ( The Dangerous Drugs

Act) tahun 1965.


j. Undang-Undang mengenai pembajakan pesawat udara ( Hijacking Act) 1971.

Dari contoh Undang-undang di atas terlihat, bahwa perumusan tindak pidana di

Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara tunggal,

tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang tersendiri. Di damping kedua

sumber hukum tersebut (Common law dan Statute law), ada pula beberapa

textbook yang memuat pendapat atau ajaran/doktrin dari para penulis terkenal.

Textbook atau pendapat para penulis ini tidak mempunyai binding authority

(kekuatan mengikat), tetapi beberapa diantaranya mempunyai kekuatan

persuasif, artinya yang bersifat memberikan keyakinan/dorongan kuat.

Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana di Inggris

1. Asas Legalitas

Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-

undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena

bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya

berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House

of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan

delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada

pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam

pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan

sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan

yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam


perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute

law).

2. Asas Mens Rea

Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang

dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang ( artus reus) dan ada

sikap batin jahat/tercela(mens rea). Artus reus tidak hanya menunjuk pada suatu

perbuatan (an act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas,

yaitu meliputi:

a. Perbuatan dari si terdakwa

b. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.

c. Keadaan-keadaan yang tercantum/terkandung dalam perumusan tindak

pidana, misalnya dalam perumusan delik pencurian disebut barang milik orang

lain.

3. Strict Liability

Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea, namun di Inggris ada delik-

delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Si pembuat sudah dapat

dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa

yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat

pertanggungjawaban tanpa kesalahan.

Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap tiga macam delik, yaitu:

a. Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan

raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).


b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).

c. Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)

4. Vicarious Liability

Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum

seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat

sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.

Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan orang lain?

a) Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa

seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak

pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh

pelayannya.

b) Menurut Undang-undang (Statute law) Vicarious Liability dapat terjadi

dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya

menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip

pendelegasian (the delegation principle).

2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum

perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi, apabila si

pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan sebagai pembuat intelektual.


5. Pertanggungjawaban Korporasi

Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious Liability dapat dihubungkan

dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan

perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-

undang, maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang

dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum

oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan dari pelayan, korporasi dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi hanya bertanggungjawab atas

sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik undang-undang yang cukup dengan

adanya strict liability.

6. Penyertaan (Participation in a crime)

Ada empat kategori participation, yaitu:

a.    A principal in the first degree (pelaku tingkat pertama; pelaku utama atau

pembuat materiil/ actual offender).

b.    A principal in the second degree (pelaku tingkat kedua; yaitu pembantu/

aider abettor).

c.    An accessory before the fact (pembantu sebelum tindak pidana).

d.   An accessory after the fact (pembantu setelah tindak pidana).

7. Inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf

permulaan)

Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau didahului oleh berbagai

aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan tindak pidana pokok.
Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak pidana pokok yang

sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat sebagai tindak

pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena itu dapat

disebut sebagai preliminary crimes (kejahatan pada taraf

persiapan/permulaan/pendahuluan). Preliminary crimes inilah yang dalam

kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate offences, yang meliputi:

a.      Incitement (Penganjuran).

b.      Conspiracy (Permufakatan jahat).

c.       Attempt (Percobaan).

8. Alasan penghapusan pidana (exemptions from liability)

Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan

pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Seperti: mistake (kesesatan),

compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk alkohol), automatism

(gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak di bawah

umur), dan consent of the victim (persetujuan korban).

Tindak Pidana di Inggris

Ada beberapa tindak pidana tertentu di Inggris, antara lain:

1.      Homicide, Murder dan Manslaughter.

2.      Contempt of Court

o Homicide

Ialah pembunuhan manusia oleh manusia, yang dibedakan menjadi:


1. Lawful homicide (pembunuhan ynag tidak melawan hukum), misalnya:

a.       Pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan yang

berwenang.

b.      Kematian yang timbul dalam usaha menegakkan/mendahulukan

keadilan.

c.       Kematian yang timbul dari perbuatan seseorang yang melakukan

pembelaan diri atau harta bendanya.

d.      Kematian yang timbul karena kecelakaan

2. Unlawful homicide (pembunuhan yang melawan hukum), seperti murder,

manslaughter dan infanticide.

o Murder

Ialah pembunuhan melawan hukum dengan maksud jahat yang dipikirkan

sebelumnya atau disebut pembunuhan berencana. Adapun tindak pidana

murder ini berdasarkan Homicide Act 1957, yaitu semua orang yang melakukan

murder dikenakan pidana mati. Dengan keluarnya The Murder Act 1965, pidana

mati untuk murder itu telah dihapuskan dan diganti dengan pidana penjara

seumur hidup.

o Manslaughter

Ialah suatu pembunuhan melawan hukum yang dilakukan tidak dengan maksud

jahat yang dipikirkan sebelumnya atau bisa disebut pembunuhan biasa (tidak

berencana).

o Contempt of Court
Contempt of Court merupakan istilah umum untuk menggambarkan perbuatan-

perbuatan (tidak melakukan perbuatan) yang apda hakikatnya ingin mencampuri

atau menganggu proses peradilan atau melarang anggota masyarakat

memanfaatkan sistem peradilan dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

Contempt of Court dapat dibagi dua, yaitu:

1.      Civil contempt, yaitu ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah

pengadilan, jadi merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum. Misal:

menolak untuk mematuhi perintah pengadilan (dalam perkara perdata) untuk

menghentikan gangguan, untuk membayar kerugian dan sebagainya. Sanksi

terhadap Civil contempt ini bersifat paksaan.

2.      Criminal contempt, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan menganggu

atau merintangi penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi, merupakan bentuk

perlawanan terhadap penyelenggaraan peradilan. Sanksi terhadap criminal

contempt ini bersifat pidana. Misal:

a) Gangguan di muka atau di ruang pengadilan.

b) Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak

memihak.

c) Perbuatan-perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi

pengadilan.

d) Menganggu pejabat pengadilan di luar sidang pengadilan.

e) Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan.

f) Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama

proses pengadilan berjalan.

Anda mungkin juga menyukai