Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

ANALISIS EMPIRIS TENTANG PENYELESAIAN KASUS TINDAK


PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEPEMILIKAN OBAT-
OBATAN DENGAN DOSIS KERAS (OBAT WAJIB APOTEK) TANPA
RESEP DOKTER DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN

OLEH

SEPTIAN DWI NUGROHO


NPM. 17.81.0478

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)


MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
BANJARMASIN
2021

i
ANALISIS EMPIRIS TENTANG PENYELESAIAN KASUS TINDAK
PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEPEMILIKAN OBAT-
OBATAN DENGAN DOSIS KERAS (OBAT WAJIB APOTEK) TANPA
RESEP DOKTER DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad Al Banjari

OLEH

SEPTIAN DWI NUGROHO


NPM. 17.81.0478

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)


MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
BANJARMASIN
2021

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “ANALISIS EMPIRIS TENTANG PENYELESAIAN


KASUS TINDAK PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN
KEPEMILIKAN OBAT-OBATAN DENGAN DOSIS KERAS (OBAT
WAJIB APOTEK) TANPA RESEP DOKTER DI WILAYAH KOTA
BANJARMASIN” disusun oleh SEPTIAN DWI NUGROHO (NPM.17810478),
telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penilai Skripsi Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan, pada:

Hari :
Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Faris Ali Sidqi, SH., M.H M.Yusran Bin Darham, S.H., M.H
NIDN : 1117047901 NIDN : 8846433420

ii
PENGESAHAN

Proposal Skripsi dengan judul “ANALISIS EMPIRIS TENTANG


PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA TERHADAP
PENYALAHGUNAAN KEPEMILIKAN OBAT-OBATAN DENGAN DOSIS
KERAS (OBAT WAJIB APOTEK) TANPA RESEP DOKTER DI WILAYAH
KOTA BANJARMASIN” disusun oleh SEPTIAN DWI NUGROHO
(NPM.17810478),, telah dipertahankan di hadapan Tim Penilai Skripsi Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan, pada:
Hari :
Tanggal :
KETUA

Faris Ali Sidqi, SH., M.H


NIDN : 1117047901

Anggota Anggota

M.Yusran Bin Darham, S.H., M.H Sri Herlina, S.H.,M.H.


NIDN : 8846433420 NIDN : 1131089102

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Uniska

Dr. Afif Khalid S.H,I, S.H, M.H


NIDN.1117048501

iii
BERITA ACARA

iv
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : Septian Dwi Nugroho
NPM : 17810478
Menyatakan bahwa proposal skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS JUAL
BELI PAKAIAN PADA MEDIA INTERNET ANTARA PELAKU USAHA
DAN KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN DAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”
adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari diketahui
adanya plagiat maka saya siap mempertanggungjawabkan secara hukum.

Banjarmasin, 12 Juni 2021


Yang Menyatakan,

Septian Dwi Nugroho


NPM : 17810478

v
ABSTRAK

Septian Dwi Nugroho, 17810478. Tinjauan Yuridis Jual Beli Pakaian Pada Media
Internet Antara Pelaku Usaha Dan Konsumen Dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Dan Informasi Dan Transaksi Elektronik”, Pembimbing
I Muhammad Arief, S.H.,M.H.,Ph.D dan Pembimbing II Fathan Anshori , S.H,M.H

Di Banjarmasin, penjualan Zenith bak kacang goreng. Biasanya warga dari


kalangan ekonomi lemah membeli tiap butirnya, kemudian dikonsumsi dengan
dalih agar badan fit. Padahal, ujung-ujungnya untuk memperoleh efek mabuk atau
kondisi 'trance'. Dalam dosis tertentu, Zenith yang dikonsumsi bisa menimbulkan
efek itu
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu
suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian
nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat
Hasil peneliyian bahwa Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan yang bertujuan
memindahtangankan, menyebarluaskan obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika. Jadi yang berhak melakukan peredaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan hanyalah orang orang tertentu yang telah memiliki izin dan bagi mereka
yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa adanya izin dinyatakan
telah melakukan tindak pidana.Perlunya izin mendistribusikan sediaan farmasi dari
Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan (BPOM) karena obat mempunyai
kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena merupakan produk yang
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat..Badan
Pengawas Obat-Obatan dan Makanan (BPOM) Banjarmasin yang penulis temui
pun tidak banyak menyimpan data mengenai penertiban terhadap peredaran sedian
farmasi berupa obat keras yang termasuk daftar G yang sudah dicabut izin edarnya.
Pihaknya hanya menyatakan bahwa bersama-sama dengan pihak Kepolisian Resort
Kota Banjarmasin dalam melakukan penertiban, jadi yang lebih berperan besar
adalah dari pihak kepolisian.Dalam hal penertiban terhadap obat keras daftar G
yang sudah tidak memiliki izin edarnya di Banjarmasin BPOM dan Kepolisian
Resort Kota Banjarmasin melakukan kordinasi yaitu dimana Kordinator Pengawas
(Korwas) yang merupakan penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan kordinasi
dengan pihak Reskrimum Polresta Banjarmasin yang masing-masing sudah terlebih
dahulu mendapatkan surat tugas dalam menjalankan kewajibannya melakukan
penertiban terhadap Target Operasi. Jika Target Operasi sudah dapat diamankan
maka keduanya kemudian memanggil saksi ahli dalam mengumpulkan bukti
petunjuk sehingga setelah lengkap 2 (dua) alat bukti serta keterangan ahli maka
setelah berkas dikatakan lengkap pihak BPOM menyerahkan kasus kepada Polresta
Banjarmasin untuk selanjutnya diteruskan dilakukan penyidikan dan tahap
selanjutnya.
Kata Kunci : Jual Beli Pakaian, Media Internet,Pelaku Usaha Konsumen

vi
ABSTRACT

Septian Dwi Nugroho, 17810478. Juridical Review of Buying and Selling Clothing
on Internet Media Between Business Actors and Consumers in the Law on
Consumer Protection and Information and Electronic Transactions”, Supervisor I
Muhammad Arief, SH, MH, Ph.D and Supervisor II Fathan Anshori, SH,MH

In Banjarmasin, selling Zenith is like hotcakes. Usually, people from economically


weak groups buy each grain, then consume it under the pretext of keeping the body
fit. In fact, in the end to get the effect of drunkenness or a state of 'trance'. In certain
doses, Zenith consumed can cause that effect
The type of research that the researcher uses is empirical legal research, which is
a legal research method that functions to see the law in a real sense and examines
how the law works in the community.
The results of the research that the circulation of pharmaceutical preparations and
medical devices is an activity or series of activities aimed at transferring,
disseminating drugs, medicinal ingredients, traditional medicines and cosmetics.
So, those who have the right to distribute pharmaceutical preparations and medical
devices are only certain people who already have a permit and those who distribute
pharmaceutical preparations and medical devices without a permit are declared to
have committed a crime. Permit to distribute pharmaceutical preparations is
needed from the Food and Drug Supervisory Agency. (BPOM) because medicine
has a special position in society because it is a product that is needed to maintain
and improve people's health. hard drugs which are included in list G whose
distribution permit has been revoked. His party only stated that together with the
Banjarmasin City Resort Police in carrying out control, the police had a bigger
role to play. In terms of controlling hard drugs, List G, which had no distribution
permit in Banjarmasin, BPOM and the Banjarmasin City Resort Police, carried out
coordination, namely where the Supervisory Coordinator (Korwas) who is a Civil
Servant investigator coordinates with the Banjarmasin Police Criminal
Investigation Unit, each of which has previously received a letter of assignment in
carrying out their obligations to control the Operational Target. If the Operational
Target has been secured, both then call expert witnesses in collecting evidence, so
that after completing 2 (two) pieces of evidence and expert testimony, after the file
is said to be complete, the BPOM will submit the case to the Banjarmasin Police
for further investigation and the next stage.
Keywords: Buying and Selling Clothing, Internet Media, Consumer Business Actors

vii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikukum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur kepada Allah SWT berkat
Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya kepada kita Tinjauan Yuridis Jual Beli
Pakaian Pada Media Internet Antara Pelaku Usaha Dan Konsumen Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Informasi Dan Transaksi
Elektronik” skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi
pada program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan.
Saya menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof.Abd. Malik, SPt., M.Si., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin
2. Bapak Dr. Afif Khalid S.H.I, S.H, M.H Selaku Dekan Fakultas Hukum
UNISKA
3. Ibu Muthia Septarina, SH., MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum
UNISKA.
4. Bapak Muhammad Arief, SH., MH selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak memberikan masukan yang bermanfaat.
5. Bapak Fathan Anshori, SH., MH selaku dosen pembimbing II yang telah
banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam pembuatan proposal
skripsi ini
6. Ibu Ningrum Ambarsari, S.H.,M.H. selaku dosen penguji atas bimbingan,
koreksi, dan arahan yang diberikan
7. Segenap Dosen Fakultas Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis
8. Orang tua yang sangat saya cintai, saudara-saudara saya,sahabat-sahabat
saya, atas doa, bimbingan, serta kasih sayang yang selalu tercurah selama
ini.

viii
9. Istri tercinta Rizka Soraya yang selalu mendampingi dan memberikan
support hingga terselesainya pendidikan akademik ini
10. Keluarga besar Fakultas Hukum, khususnya teman-teman seperjuangan
saya di Program studi Ilmu Hukum, fakultas Hukum atas semua dukungan,
semangat, serta kerjasamanya,
11. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum yang telah memberikan
dukungan moril kepada saya.
12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas
bantuan dan dukungan kepada saya selama studi hingga penyelesaian
proposal skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat
ganda atas kebaikan yang telah diberikan. Aaminn
Saya menyadari skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga
akhirnya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan
penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut. Aamiin.

Banjarmasin, 04 September 2021

SEPTIAN DWI NUGROHO


NPM.17810478

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
BERITA ACARA ................................................................................................. iv
LEMBAR ORISINALITAS.................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penulisan .............................................. 7
D. Sistematika Penulisan................................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10


A. Tindak Pidana............................................................................................ 10
B. Tinjauan Umum Tentang Obat.................................................................. 14
C. Bentuk-bentuk Obat ................................................................................. 15
D. Obat ilegal dan Izin edar ........................................................................... 18
E. Penyelidikan dan Penyidikan .................................................................... 21

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 27


A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 27
B. Sifat Penelitian .......................................................................................... 27
C. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 27
D. Populasi/Objek Penelitian ......................................................................... 29
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 29

x
F. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ................................................... 29
G. Analisis Data ............................................................................................. 30

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 31


A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Kepemilikan Obat-Obatan Dosis Keras
Tanpa Resep Dokter .................................................................................. 31
B. Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Kepemilikan Obat dosis Keras
Tanpa Resep Dokter di Wilayah Kota Banjarmasin ................................. 43

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 53


A. Kesimpulan ............................................................................................... 53
B. Saran.......................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan. Diawali

dari pencegahan, diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi salah satu

komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan pada pelayanan

kesehatan. Namun di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi

persyaratan, bila disalahgunakan atau bila digunakan secara tidak tepat. Oleh

karena itu berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, peredaran obat diatur

sedemikian rupa agar terjamin keamanan, mutu dan ketepatan penggunaannya.

Ketepatan penggunaan ini menjadi aspek penting dalam penggunan obat karena

ketidaktepatan penggunaan obat dapat menyebabkan banyak kerugian, baik itu

kerugian dari sisi finansial maupun kerugian untuk kesehatan.

Ketepatan penggunaan obat itu ditandai dengan Penggunaan Obat secara Rasional

(POR) atau Rational Use of Medicine (RUM). POR merupakan suatu kampanye yang

disebarkan oleh World Health Organization (WHO) ke seluruh dunia, termasuk di

Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat

Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan

klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang

sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat.

1
2

Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai

dengan, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif .1

Golongan obat keras sering juga disebut dengan obat daftar G dari kata gevaarlijk

yang berarti berbahaya, hanya dapat diserahkan oleh apotek atas dasar resep dokter.

Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah penggunaan yang salah ataupun

penyalahgunaan obat dari golongan ini. Penggunaan yang tidak tepat dari obat

golongan ini memiliki risiko yang cukup tinggi bagi kesehatan sesuai dengan asal

katanya yang berarti berbahaya. Atas risiko tersebut maka undang-undang memberikan

batasan-batasan terhadap peredaran obat keras.

Obat keras hanya dapat diperoleh di sarana-sarana kesehatan tertentu, salah

satunya adalah apotek, penyerahannya pun hanya boleh dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang berwenang yaitu Apoteker, dan Apoteker di apotek hanya dapat

mengeluarkan obat keras berdasarkan permintaan resep dokter. Dengan

dikeluarkannya Kepmenkes Nomor 347 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotik,

beberapa obat keras diperbolehkan untuk diserahkan oleh Apoteker di Apotek tanpa

resep. Namun untuk obat keras yang tidak masuk dalam daftar Obat Wajib Apotek

penyerahannya harus tetap berdasarkan resep.2

Akan tetapi saat ini terjadi fenomena penyimpangan dari peredaran obat keras di

masyarakat. Salah satu dari kasus kepemilikan terhadap obat keras ini baru saja terjadi

dengan melibatkan aktirs ternama Tora Sudiro. Polres Mero Jaya melakukan

1
The Pursuit of Responsible Use of Medicines: Sharing and Learning from Country
Experiences, 2012, ttp://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/index.html, diakses tanggal
10 Agustus 2017
2
Yustina Sri Hartini dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek
Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 71.
3

penangkapan terhadap Tora Sudiro pada tanggal 3 Agustus 2017, dikediamannya yang

terletak di Jalan Denpasar, Kelurahan Pisangan, Ciputat Timur. Penangkapan terhadap

Tora Sudiro merupakan hasil pengembangan kasus terhadap kepemilikan obat-obatan

keras sebelumnya. Benar saja setelah digeledah oleh pihak yang berwajib

dikediamannya Tora Sudiro kedapatan memiliki dan menyimpan 30 (tiga puluh) butir

obat jenis Dumolid. Tidak hanya Tora Sudiro, pihak kepolisian juga turut

mengamankan istrinya yaitu Aktris Mieke Amalia.Hasil tes urine keduanya juga

dinyatakan positif mengonsumsi Benzo. Zat yang bernama lengkap Benzodiazepin

adalah jenis obat yang memiliki efek sedatif atau menenangkan.3 Benzodiazepin

diresepkan bagi mereka yang cemas atau tertekan dan dapat digunakan dalam

pengobatan jangka pendek pada beberapa masalah tidur tertentu. Obat tersebut dapat

diresepkan oleh dokter.

Dalam dunia farmasi, Dumolid, Zenith atau Carnophen sebenarnya adalah obat

kimia yang bersifat racun. Namun jika dikonsumsi dalam dosis yang tepat bisa

sebagai penawar. carnophen mengandung carisoprodol yaitu relaksan otot untuk

menangani nyeri otot yang akut. Metabolit dari carisoprodol yaitu Meprobamate

merupakan depresan sistem saraf pusat dan digunakan untuk menangani gejala

gangguan cemas. Sebaliknya jika dikonsumsi berlebihan dalam dosis tertentu bisa

menimbulkan efek yang dikenal dengan Fly atau mabuk. Obat inilah yang saat ini

sering disalahgunakan karena adanya efek sedatifhipnotiknya.

3
Dian Reinis Kumampung. 2017. Ini Kronologi Penangkapan Tora Sudiro Menurut
Kepolisian.http://entertainment.kompas.com/read/2017/08/04/115853810/ini-kronologis-
penangkapan-tora-sudiro-menurut-polisi. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2017.
4

Maraknya kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya carnophen

ini bukan hanya pada orang dewasa saja bahkan anak yang belum cukup umur

seperti pelajar juga sudah mengenal dan mengkonsumsinya. Dampak yang

ditimbulkan akibat penggunaan carnophen ini dapat memberikan efek

ketergantungan yang tinggi bagi si pemakai. pemakai menganggap menggunakan

carnophen merupakan suatu kebutuhan untuk penghangat badan dan menambah

stamina (Dopping). Maka tak jarang beberapa orang pekerja keras

menggunakannya, Misalnya saja seperti kuli bangunan, anak jalanan, pekerja

tambang yang butuh tenaga ekstra. Sehingga digunakannya untuk keperluan sehari-

hari dalam melakukan aktivitasnya ketika sedang bekerja.

Faktor penyebab tingginya penyalahgunaan carnophen salah satunya adalah

kemudahan dalam mendapatkan barang tersebut dan dapat membelinya dengan

harga yang terjangkau. Namun banyak yang belum mengetahui apa bahaya

mengkonsumsi carnophen sebenarnya. Potensi terburuk mengkonsumsi zenith atau

carnophen dalam jumlah berlebihan dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan

dalam jangka panjang, over dosis konsumsi obat kimia tersebut dapat

mengakibatkan kerusakan ginjal dan kerusakan hati.

Carnophen atau biasa disebut Zenith dan Dextro ini telah merambah hampir

seluruh wilayah di Kalimantan selatan. Hal itu menunjukkan betapa progresifnya

peredaran pil ini di masyarakat. Beberapa kali penggerebekan oleh aparat

kepolisian, didapat barang bukti dalam jumlah sangat banyak. Peredaran obat yang
5

izin peredarannya sudah dicabut oleh BPOM ini tidak hanya di ibu kota, tapi sudah

merambah ke kabupaten hingga pedesaan. 4

Di Banjarmasin, penjualan Zenith bak kacang goreng. Biasanya warga dari

kalangan ekonomi lemah membeli tiap butirnya, kemudian dikonsumsi dengan

dalih agar badan fit. Padahal, ujung-ujungnya untuk memperoleh efek mabuk atau

kondisi 'trance'. Dalam dosis tertentu, Zenith yang dikonsumsi bisa menimbulkan

efek itu.

Dari penelusuran sumber, untuk Zenith, cukup mengeluarkan uang Rp 25 ribu

untuk satu keping berisi 10 butir. Seperti yang dialami Abidin alias Udin, warga

Jalan Gerilya Kelayan B RT 18, Banjarmasin Timur, yang digelandang Unit Patroli

Kota Satuan Sabhara Polresta Banjarmasin karena membawa beberapa butir Zenith.

"Minum zenith sehari dua biji, biar kerja tidak capek," katanya kepada BPost

Online, Sabtu (31/1/2015).5

Penyalahgunaan zenith atau carnophen menjadi 'primadona' di Banjarmasin

sepanjang 2015. Bahkan mengalahkan ekstasi dan sabu-sabu. Jumlah barang bukti

yang disita meningkat hingga lebih dari 2.000 persen dibanding 2014. Kapolresta

Banjarmasin, Kombes Pol Wahyono, pada kesempatan paparan Kaleidoskop atau

kilas balik perkara mengatakan pada tahun 2014 tindak pidana narkoba sebesar 278

kasus dan pada tahun 2015 sebesar 354 kasus. Ada kenaikan 76 kasus atau 27

persen.

“Pil Zenith Cengkeram Pelajar,” Banjarmasin Post, 14 Maret 2016, 1. Bpost Online
4

Diakses pada tanggal 30 Agustus 2018


5
http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/31/zenith-lebih-dipilih-daripada-ekstasi-
karena-murah. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2018
6

Untuk perbandingan kembali, di tahun 2014 pelaku tindak pidana narkoba yang

berhasilkan diamankan sebanyak 385 orang sedangkan pada 2015 sebanyak 474

orang. Alami kenaikan 90 orang (23 persen). Untuk sabu pun alami kenaikan

sebanyak 204 persen. Pada 2014, barang bukti sabu seberat 790,96 gram sedangkan

tahun 2015 mencapai 2.407,11 gram. Ekstasi justru malah alami penurunan. Di

tahun 2014 ekstasi yang disita jadi barang bukti sebanyak 2.138 butir namun di

2015 cuma 1.200 butir. Carnophen atau zenith, di 2014 sebanyak 15.396 butir

sedangkan di tahun 2015 ini sebanyak 402.842 butir alami kenaikan hingga 2.517

persen.6

Namun yang menjadi masalah kemudian adalah banyak timbulnya pro dan kontra

terhadap kasus kepemilikan obat keras tanpa resep dokter ini. Banyak pihak yang

menyatakan kepemilikan terhadap benda ini adalah bukan merupakan tindak pidana.

Padahal Bagian menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang

bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat

merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak

teratur menurut takaran atau dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental

bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna

6
Nia Kurniawan, “Sepanjang 2015, di Banjarmasin Sitaan Pil Zenith Kalahkan Narkoba
Lainnya,” Banjarmasin Post, 29 Desember 2015
7

itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk

mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas sehiingga dalam penelitian ini

Penulis berkeinginan untuk menganalisis terhadap penertiban obat tanpa izin edar di

Banjarmasin.

B. Rumusan Masalah

Untuk menghindari agar penelitian ini tidak keluar dari pokok masalah, maka

dalam penelitian ini, permasalahannya akan peneliti batasi sebagai berikut :

1. Bagaimana penertiban obat tanpa izin edar di Kota Banjarmasin?

2. Bagaimana kordinasi kelembagaan badan pengawas obat dan makan dan

kepolisian resort Kota Banjarmasin dalam penertiban kasus obat tanpa izin

edar di Kota Banjarmasin?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana penertiban obat tanpa izin edar di Kota

Banjarmasin.

2. Untuk mengetahui bagaimana kordinasi kelembagaan badan pengawas obat

dan makan dan kepolisian resort Kota Banjarmasin dalam penertiban kasus

obat tanpa izin edar di Kota Banjarmasin

Sedangkan kegunaan dari penulisan skripsi hukum ini adalah :


8

1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya

menyangkut obat tanpa izin edar, kepemilikan obat-obatan dengan tujuan

pengobatan sesuai prosedur yang berlaku.

2. Bagi Dinas Kesehatan yang dalam hal ini bekerja secara sinergi dengan

Balai Obat dan Pengawas Makanan untuk tetap melakukan pengawasan

peredaran obat yang termasuk daftar yang memiliki izin edar maupun yang

tidak.

3. Bagi Pihak Kepolisian dalam hal ini Polresta Banjarmasin agar terus

bekerjasama dengan BPom maupun Dinas Kesehatan dalam melakukan

pengawasan serta penertiban terhadap penyalalahgunaan obat tanpa izin

edar di Kota Banjarmasin.

Sistematika Penulisan.

Penelitian skripsi ini akan disusun dalam lima bab, dengan sistematika

penulisan sebagai berikut:

Pada penulisan Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, mulai dari Bab I sampai

Bab V yang secara garis besar isinya sebagai berikut;

Bab I. Pendahuluan, mengemukakan Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka, akan menjelaskan teori-teori mengenai

permasalahan dalam skripsi ini.


9

Bab III. Metode Penelitian, menguraikan tentang metode penelitian yang

digunakan dalam penyusunan skripsi ini.

Bab IV. Pembahasan, Menguraikan tentang issu hukum sebagaimana

dirumuskan dalam perumusan masalah

Bab IV. Adalah Penutup yang berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil

penelitian dan saran merupakan akhir dari skripsi ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang

menjadi titik perhatiannya. Masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi

masalah tindak pidana, kesalahan dan pidana serta korban.Istilah tindak pidana

adlah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar

feit. Istilah ini terdapat dalam WvS belanda dan demikian juga dalam WvS Hindia

belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resma tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit itu.7

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata yakni straf,baar, dan feit. Berbagai istilah yang

digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan

sebagai pidana dan hukum. Percatan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh ,

sedangkan untuk katra feit diterjemahkan dengan tidak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan.8

Tindak pidana merupakan suatu peristiwa dasar dalam hukum pidana. Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain hanya dengan istilah perbuatan

jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Isi dari

pengertian tindak pidana tersebut dalam kenyataannya tidak ada kesatuan pendapat

diantara para sarjana.

7
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.. Hlm.
67
8
Ibid. Hlm. 69

10
11

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakam oleh Bambang Poernomo,

pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:

a. Definisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar

dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah

suatu kejadian feit yang oleh peraturan perundangan-undangan dirumuskan

sebagai perbuatan yang dapat dihukum.9

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di

atas, J.E Jonkers juga telah memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua

pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo, yaitu:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian

yang dapat diancam pidana adalah Undang-undang.

b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian strafbaar feit adalah

suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja

atau alfa yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk

setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-undang yang dibuat

oleh pembentuk Udang undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain

daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang, dan pendapat umum

tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-

9
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan. Hlm. 40
12

undang. Defininisi yang panjang lebih menitikberatkan lepada sifat melawan

hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah

dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara

diam-diam dianggap ada.

Pendapat Moeljanto sebagaimana yang dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R

Sianturi, memilih perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit. Beliau

memberikan perumusan atau pembantasan sebagai perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan

itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh menghambat akan tercapainya tata pergaulan masyarakat yang dicita citakan.

Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus termasuk dalam unsur formal, yaitu

mencocoki rumusan Undang-undang, dan Unsur materil, yaitu bertentangan dengan

cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum.10

Pengertian perbuatan hukum pidana tidaklah diikuti oleh hukum pidana kita.

Menurut sistem hukum adat tidaklah diadakan pemisahan antara pelanggaran

hukum yang memungkinkan reaksi dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran

yang hanya dapat digugat dilapangan hukum perdata. Berdasarkan hal tersebut,

apabila terjadi suatu pelanggaran hukum maka petugas hukum mengambil tindakan

konkrit yang membetulkan hukum yang dilanggar. 11

Secara literlijk kata straf artinya pidana artinya pidana, baar artinya dapat atau

boleh dan feit adalah perbuatan. Kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh

10
E.Y.Kanter & S.R Sianturi.2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan. Penerapannya.
Jakarta: Storia Grafika. Hlm. 204
11
Roeslan Saleh. 2006.Pertannggungjawaban Pidana.Jakarta: Rieneka Cipta.Hlm.65
13

ternyata diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu

adalah berupa terjemahan dari kata recht seolah olah arti straf sama dengan recht,

yang sebenarnya tidak demikian halnya.

Kata baar mempunyai 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara

literlijk bisa kita terima. Kata feit biasa digunakan 4 istilah yakni tidak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk feit memang lebih pas untuk

diterjemahkan sebagai perbuatan. Kata perbuatan lebih lazim digunakan dalam

perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtreding sebagai

lawan dari istilah kejahatan terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam

buku III dan buku II KUHP.12

Sanksi pidana yang diberikan kepada pengedar obat tanpa nomor izin edar

tercantum pada pasal 197 UU Kesehatan yang berbunyi : “Setiap orang yang

dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106

ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah)”.

Sanksi pada UUPK tercantum pada Pasal 62 ayat (1) yang berbunyi : “Pelaku usaha

yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat

(2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”.

12
Adami Chazawi. Op.Cit. Hlm. 69
14

B. Tinjauan Umum Tentang Obat

1. Pengertian Macam-macam obat

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat, obat adalah obat jadi yang

merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi dan

kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem

fisiologi atau dalam keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan peningkatan kesehatan.13

Menurut Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Tahun 2011 Tentang Kriteria Tata Laksana Registrasi Obat, jenis-jenis obat

antara lain:

1) Obat copy adalah obat yang mengandung zat aktif dengan komposisi,

kekuatan, bentuk sediaan, rute pemberian, indikasi dan posologi sama

dengan obat yang sudah disetujui.

2) Obat impor adalah obat yang dibuat oleh industri farmasi luar negeri dalam

bentuk produk jadi atau produk ruahan dalam kemasan primer yang akan

diedarkan di Indonesia.

3) Obat kontrak adalah obat yang pembuatanya dilimpahkan kepada farmasi

lain.

4) Obat lisensi adalah obat yang dibuat oleh industri farmasi lain dalam negeri

atas dasar lisensi.

13
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat
15

5) Obat produksi dalam negeri adalah obat yang dibuat dan/ atau dikemas

primer oleh industri farmasi di Indonesia.

6) Obat yang dilindungi paten adalah obat yang mendapatkan perlindungan

paten berdasarkan Undang-Undang paten yang berlaku di Indonesia.

7) Obat Paten adalah obat baru yang ditemukan berdasarkan riset dan

pengembangan, diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu

dan dilindungi hak patennya selama nomimal 20 tahun.

8) Obat Generik adalah obat yang dapat diproduksi dan dijual setelah masa

paten suatu obat inovator habis. Obat Generik adalah obat yg dipasarkan

berdasarkan nama bahan aktifnya.

9) Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan

tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan.14

C. Bentuk-bentuk Obat

Dalam penggunaannya, obat mempunyai berbagai macam bentuk, diantaranya:

a. Serbuk (pulvis) merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia

yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar.

b. Pulveres merupakan serbuk yang dibagi bobot yang kurang lebih sama,

dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali

minum.

14
Ibid.
16

c. Tablet (compresi) merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa

cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau

cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan

tambahan.

1) Tablet kempa, bentuk serta penandaannya tergantung desain cetakan.

2) Tablet cetak dibuat masa lembab dalam lubang cetakan.

3) Tablet trikurat tablet kempa atau cetak bentuk kecil.

4) Tablet hipodermik dibuat dari bahan yang mudah larut.

5) Tablet sublingual, diletakan tablet di bawah lidah.

6) Tablet bukal, digunakan dengan meletakan diantara pipi dan gusi.

7) Tablet Effervescent, tablet larut dalam air.

8) Tablet kunyah, cara penggunaannya dikunyah.

9) Pil (pilulae) merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil

mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat

ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul.

10) Kapsul (capsule) merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat

dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut.

11) Kaplet (kapsul tablet) merupakan sedian padat kompak dibuat secara

kempa cetak, bentuknya oval seperti kapsul.

12) Larutan (solutiones) merupakan sedian cair yang mengandung satu

atau lebih zat kimia yang dapat larut.

13) Suspensi (suspensiones) merupakan sediaan cair mengandung partikel

padat tidak larut terdispersi dalam fase cair.


17

14) Emulsi (elmusiones) merupakan sediaan berupa campuran dari dua

fase dalam sistem dispersi.

15) Galenik merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal

dari hewan atau tumbuhan yang disari.

16) Ekstrak (extractum) merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi zat dari simplisisa nabati atau simplisia hewani.

17) Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi

simplisia nabati dengan air pada suhu 90 derajat celcius selama 15

menit.

18) Imunoserum (immunosera) merupakan sediaan yang mengandung

imunoglobulin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan

pemurnian.

19) Salep (unguenta) merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk

pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.

20) Suppositoria merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan

bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra.

21) Obat tetes (guttae) merupakan sediaan cair berupa larutan,emulsi atau

suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar.

22) Injeksi (injectiones) merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi

atau suspensi atau serbuk yang disuntikan dengan cara merobek

jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.15

15
Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
18

D. Obat ilegal dan Izin edar

Suatu barang dikatakan ilegal apabila bertentangan atau dilarang oleh hukum,

khususnya hukum pidana. Jadi obat-obatan ilegal adalah obat-obatan yang

bertentangan oleh hukum baik izin edarnya ataupun kandungannya yang tidak

sesuai dengan seharusnya.16

Obat yang beredar di Indonesia adalah obat yang harus memiliki izin edar. Hal

ini berdasarkan pada pasal 2 ayat (1), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1010/Menkes/Per/XI/2008 Tentang Registrasi Obat, yang berbunyi, “Obat yang

diedarkan di Wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk

memperoleh Izin Edar”. Dengan adanya regulasi ini seluruh obat yang beredar di

Indonesia wajib memiliki izin dari pemerintah, yang diberi peran untuk memberi

izin edar adalah Menteri dengan melimpahkan kepada Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM). Hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan (3) Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 Tentang Registrasi Obat

yang berbunyi : “(2) Izin Edar diberikan oleh Menteri. (3) Menteri melimpahkan

pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”.

Regulasi tentang izin edar bertujuan memberikan obat yang sesuai standar

mutu, memiliki keamanan, dan memiliki manfaat. Hal ini wajib dilakukan

pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat atau melindungi masyarakat

dari obat-obat yang tidak layak konsumsi. Dalam pasal 13 ayat 1 PP Nomor 72

Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Izin edar

16
ibid
19

dapat diberikan setelah obat atau sediaan farmasi dinyatakan melewati atau lulus

dalam pengujian.

Pelaksanaan pengujian obat dilakukan dengan dua tahap yaitu, melalui

pengujian laboratorium serta penilaian manfaat dan keamanan obat tersebut. Hal ini

tercantum dalam Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, yang berbunyi: “Pengujian sediaan farmasi

dan alat kesehatan dilaksanakan melalui:

a. Pengujian laboratorium berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat

kesehatan

b. Penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat

kesehatan.”17

Selanjutnya pada pasal 3, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata

Laksana Registrasi Obat, menerangkan obat yang memiliki izin edar harus

memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji

non-klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu

pengetahuan yang bersangkutan.

b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) spesifikasi dan metode analisis terhadap

semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih.

17
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang

Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat


20

c. Penandaan dan informasi produk berisi informasi lengkap, objektif, dan tidak

menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan

aman.

d. Khusus psikotropika baru harus memiliki keunggulan dibandingkan dengan

obat yang telah disetujui beredar di Indonesia dan untuk kontrasepsi atau obat

lain yang digunakan dalam program nasional dapat dipersyaratkan.

Begitu juga dengan obat tradisional, menurut Pasal 4 Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Tata

Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional, Obat herbal Terstandar dan Fitofarmaka

tahun 2011, Untuk dapat memiliki izin sebagai berikut:

a. Menggunakan bahan berkhasiat dan kemanfaatan/khasiat

b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku.

c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan objektif yang dapat menjamin

penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara

tepat, rasional, dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka

pendaftaran.18

Dengan adanya keterangan kriteria obat yang memiliki izin edar diatas dapat

disimpulkan bahwa kriteria obat tanpa nomor izin edar adalah:

a. Izin edar palsu.

b. Tidak memiliki nomor registrasi

18
Peredaran Obat Tanpa Memiliki Nomor Izin Edar. http://www.fh.unpad.ac.id/ repo/p=318. (diakses tanggal 6

Agustus 2017)
21

c. Substandard atau obat yang kandungannya tidak sesuai dengan seharusnya.

d. Obat impor yang masuk secara ilegal, tanpa koordinasi dengan pihak BPOM.

e. Obat yang izin edarnya dibekukan tetapi masih tetap beredar.

f. Obat tradisional tanpa nomor izin edar.19

E. Penyelidikan dan Penyidikan

Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur

dalam Undang-undang.20

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam Undang-

undang ini.

Fungsi penyidik dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas

untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi

dan bertugas mambuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar

permulaan penyidikan.

Penyelidikan dilakukan berdasarkan :

1. Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh

penyelidik/penyidik

19
ibid
20
M. Husein harun. Penyidik dan penuntut dalam proses pidana. PT rineka cipta. Jakarta. 1991
hlm 56
22

2. Laporan polisi

3. Berita Acara pemeriksaan di TKP

4. Berita Acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi.21

Proses penyidikan tindak pidana penyelidikan dilakukan untuk: Mencari

keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu peristiwa yang di

laporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak pidana atau bukan. Melengkapi

keterangan dan bukti bukti yang telah di proses agar menjadi jelas sebelum

dilakukan penindakan selanjutnya Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau

pemeriksaan.

Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri melainkan hanya merupakan

salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan.22

Pengertian penyidikan

Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada Tahun 1961, yaitu sejak

dimuatnya dalam Undang-Undang pokok kepolisian No. 13 Tahun 1961.

Sebelumnya dipakai istilah pengusutan yang merupakan terjemah dari bahasa

Belanda, yaitu opsporin.

Pasal 1 butir 2 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP

diuraikan bahwa :

“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang, mencari dan mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya” Berbicara mengenai penyidikan tidak lain dari

21
M. Husein harun. Op,Cit hlm 57
22
Himpunan bujuklak,bujuklap,bujukmin. Proses penyidikan tindak pidana. Jakarta, 1990 hlm 17
23

membicarakan masalah pengusutan kejahatan atau pelanggaran, orang Inggris


lazim menyebutnya dengan istilah ”criminal investigation"
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan

kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah

dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun

keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.23

Penyidikan yang diatur dalam undang-undang, ini dapat dilaksanakan setelah

diketahui bahwa suatu peristiwa telah terjadi tindak pidana dimana dalam Pasal 1

butir 2 KUHAP berbunyi bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang

terjadi guna menemukan tersangkanya. Penyidikan dimulai sesudah terjadinya

tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :

1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan

3. Dimana tindak pidana itu dilakukan

4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan

5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan

6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan

7. Siapa pembuatnya

Tugas dan Kewenangan penyidikan yang ditentukan di dalam KUHAP

Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP,

namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap beberapa tindak pidana tertentu ada

23
M. Husein harun, Op,Cit hal 58
24

penyidik-penyidik yang tidak disebutkan di dalam KUHAP. Untuk itu pada subbab

ini akan dipaparkan siapa sajakah penyidik yang disebutkan di dalam KUHAP dan

siapa saja yang juga yang merupakan peyidik namun tidak tercantum di dalam

KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah: Pertama, membuat

berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75

KUHAP. (Pasal 8 ayat (1) KUHAP) Kedua, menyerakan berkas perkara kepada

penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2) KUHAP), Ketiga, penyidik yang mengetahui,

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut

diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan penyidikan yang

diperlukan (Pasal 106 KUHAP), Keempat, menyerahkan tanggung jawab atas

tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP),

Kelima, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang

merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut

umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), Keenam, wajib segera menyerahkan berkas

perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika penyidikan dianggap telah selesai.

(Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Ketujuh, dalam hal penuntut umum mengembalikan

hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan

tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (3)

KUHAP), Kedelapan, setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib

melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat

(2) KUHAP), Kesembilan, Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib

memberitahukan kepada orang yang disangka melakukan suatutindak pidana

korupsi, tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam
25

perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP),

Kesepuluh, wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi

tersangka (Pasal 116 ayat (4) KUHAP), Kesebelas , wajib mencatat dalam berita

acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2)

KUHAP), Keduabelas, wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka

dan atau saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP),

Ketigabelas, dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah

penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122

KUHAP), Keempatbelas, dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib

terlebih dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya

(Pasal 125 KUHAP), Kelimabelas, membuat berita acara tentang jalannya dan hasil

penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP), Keenambelas, membacakan

terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang

bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka atau

keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi

(Pasal 126 ayat (2) KUHAP), Ketujuhbelas, wajib menunjukkan tanda pengenalnya

terlebih dahulu dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP)

Kedelapanbelas, memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan

dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh

Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saks (Pasal 129 ayat (1)

KUHAP), Kesembilanbelas, Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129

ayat (2) KUHAP), Keduapuluh, menyampaikan turunan berita acara penyitaan

kepada atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP),
26

Keduapuluh satu, menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal 130

ayat (1) KUHAP), Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah: Sesuai

dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7 ayat

(1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian hukum empiris,

yaitu suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam

artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan

masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan

hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan

sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum

yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum

atau badan pemerintah.

B. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan suatu hal, memaparkan dan memperoleh

gambaran lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu

mengenai gejala yuridis yang ada dalam masyarakat.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berasal dari dat

primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

27
28

lapangan berupa data yang berasal dari hasil wawancara dengan pihak terkait

seperti lembaga dan pihak yang berwajib (Kepolisian).

Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi dokumen atau

kepustakaan yang berkenaan dengan objek yang diteliti.

Dalam data sekunder, peneliti menggunakan pengkajian 3 (tiga) bahan

hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier degan rincian sebagai

berikut :

1. Bahan hukum primer terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

2. Bahan hukum sekunder terdiri dari :

Data-data yang diperoleh dari literature antara lain buku-buku, majalh-

majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan sebagainya yang

berkaitan dengan obat tanpa izin edar.

3. Bahan hukum tersier, yang terdiri dari :

Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan bahan hukum

primer maupun sekunder antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan

Terminologi Hukum.
29

D. Populasi/Objek Penelitian

Populasi adalah jumlh dari keseluruhan objek yang diteliti. Dalam penelitian

ini populasinya adalah kasus terhadap kepemilikan obat keras tanpa izin edar di

Kota Banjarmasin.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data di lapangan, teknik pengumpulan dilakukan

melalui :

1. Pengamatan (Observasi) melalui kasus-kasus yang terjadi seputar peredaran

obat yang tidak memiliki izin edar, kemudian melakukan observasi terhadap

kasus yang diliput melalui media cetak.

2. Wawancara.

3. Studi dokumn atau studi kepustakaan dengan berusaha mengumpulkan data

melalui dokumen tertulis yang dihasilkan dari hasil wawancara.

F. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Data-data yang didapat dari hasil penelitian kan diolah dengan cara sebagai

berikut :

1. Data primer yang diolah diperoleh berdasarkan hasil wawancara

diklasifikasikan masing-masing untuk selanjutnya disusun secara sistematis

kemudian dirancang menjadi satu kesatuan dalam bentu hasil penelitian.


30

2. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan melakukan

pengumpulan data sekunder yang kemudian disusun secara sistematis guna

memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti.

G. Analisis Data

Analisis data diperoleh dari hasil penelitian, kemudian diklasifikasikan dan

disajikan dalam bentuk narasi, serta dianalisis secara kualitatif.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Kepemilikan Obat-Obatan Dosis Keras

Tanpa Resep Dokter

Penyalahgunaan narkoba bukan hal baru di Indonesia. Kasus penyalahgunaan

narkoba, khususnya obat–obatan terlarang, mengalami peningkatan setiap tahun.

Penyalahgunaan obat obatan terlarang tidak hanya terjadi di Kota Besar di

Indonesia. Penyalahgunaan obat–obatan terlarang juga marak terjadi di daerah,

tidak terkecuali di daerah Kota Banjarmasin. Tercatatnya data perkara Narkoba dan

Obaya Tahun 2017 oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kalimantan

Selatan Resort Kota Banjarmasin sekitar 255 kasus narkotika dan 121 kasus obaya

atau obat bahan berbahaya, data ini menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan setelah sebelumnya di tahun 2016 data yang tercatat untuk kasus

narkotika sebanyak 311 kasus dan 98 kasus obaya. 24

Peningkatan yang cukup signifikan adalah jelas terlihat dari banyaknya kasus

penyalahgunaan obat bahan berbahaya atau obat yang berdosis keras namun

dibawah kepemilikan perseorangan tanpa resep dokter.

Istilah “penyalahgunaan obat” (drug abuse) sebenarnya kurang tepat oleh

karena istilah tersebut mengandung arti berbeda bagi setiap orang. Ada hal yang

membedakan arti istilah penyalahgunaan obat dari “penggunaan secara salah pada

24
Data Perkara Narkoba, Kepolisian Resort Banjarmasin.

31
32

obat” (drug misuse).25 Penyalahgunaan obat cenderung ditafsirkan sebagai

penggunaan obat dengan tujuan non medis, biasanya untuk mengubah kesadaran.

Sedangkan penggunaan secara salah pada obat cenderung pada arti kesalahan

indikasi, kesalahan dosis atau penggunaan yang terlalu lama.

Ketergantungan merupakan fenomena biologi yang sering dikaitkan dengan

“penyalahgunaan obat”. Ketergantungan psikologis dimanifestasikan oleh

dorongan perilaku abnormal dimana individu menggunakan obat secara

berulangkali untuk kepuasan pribadi yang seringkali dihadapkan pada resiko

kesehatan.

Ketergantungan psikologis terjadi ketika penggunaan ulang obat

menghasilkan withdrawl efect (efek putus obat). Hal ini menunjukan bahwa tubuh

menyesuaikan untuk tingkat homeostasis baru selama penggunaan obat yang

memperlihatkan reaksi yang berlawanan ketika keseimbangan yang baru

terganggu.26

Pengertian Obat itu sendiri adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk

biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia, hal ini diperjelas

di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Peredaran

obat-obatan diatur secara eksplisit didalam pasal 197 jo pasal 98 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan.

25
Bertram G. Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2002, hlm
327
26
Ibid. hlm 328
33

Pada pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

menyatakan sebagai berikut:

setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan


farmasi dan/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dengan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).

Kemudian pasal 98 ayat 2 menyatakan sebagai berikut :

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang


mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat. Dari dua ketentuan diatas, ditegaskan
bahwa orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar dikenakan pidana penjara dan denda.

Mengenai pengaturan tindak pidana perdaran obat secara ilegal yang

sebelumnya diatur dalam Pasal 80 Ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan, “Barangsiapa dengan sengaja memproduksi dan

atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau

bahan obat yang tidak memenuhi syarat Farmakope Indonesia dan atau buku

standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak

Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” sekarang mengalami perluasan

pengaturan yaitu dengan diaturnya tindak pidana peredaran obat dalam 3 (tiga)

pasal yaitu Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, dan Pasal 201 Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Namun di sisi lain hukum juga mengatur tentang obat atau bahan yang

bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan

ilmu pengetahuan namun disalahgunakan dalam pemakaiannya yang biasa dikenal


34

dengan jenis psikotropika. Peredaran psikotropika di Indonesia jika dilihat dari

aspek yuridis adalah sah keberadaannya, apabila memenuhi syarat sebagaimana

yang telah diatur oleh Undang-Undang.

Penyalahgunaan psikotropika menjadi tren baru dikalangan remaja pada masa

milenial. Remaja era modern dan cendrung menyalahgunakan obat-obatan yang

sesungguhnya tidak murni termasuk dalam golongan narkoba ataupun psikotropika.

Psikotropika merupakan zat kimia yang dapat mengubah fungsi otak dan

menghasilkan perubahan dalam persepsi, suasana hati, kesadaran pikiran, emosi,

dan prilaku. Efeknya dapat menimbulkan adiksi atau ketagihan, oleh sebab itu

psikotropika hanya dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan serta penelitian dan

perkembangan ilmu pengetahuan.

Jenis psikotropika golongan IV menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika, yaitu psikotropika dengan daya adiktif ringan dan dapat

digunakan untuk pengobatan. Jenis ini banyak dijumpai di apotik dan toko obat

yang dijual berdasarkan resep dokter atau dijual bebas tanpa harus menyertakan

resep dokter. Seperti diazepam, nitrazepam (dumolid, riklona, mogadon, BK).

Obat-obat tersebut biasanya digunakan untuk relaksasi otot, bius, mengatasi

gangguan tidur dan sebagai obat rehabilitasi bagi pengguna narkoba psikoaktif.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika hanya melarang

terhadap penggunaan psikotropika tanpa izin yang dalam kenyataannya sering

disalahgunakan dan tidak untuk kepentingan kesehatan melainkan dijadikan

sebagai salah satu objek bisnis dan berdampak pada kegiatan merusak mental, baik

fisik maupun psikis generasi muda. Maraknya penyalahgunaan psikotropika


35

golongan IV dikalangan remaja sebagai alternatif karena tidak mendapatkan

narkotika dan dirasa legal oleh penggunanya. Meski secara hukum dilarang dan

peredarannya diawasi secara ketat, namun tidak sedikit orang yang tanpa hak ikut

menggunakan obat psikotropika dengan tidak semestinya. Salah satu jenis obat

golongan IV yang sangat dicari adalah Dumolid. Obat Dumolit merupakan nama

merek dari obat generic Nitrazepam 5mg yang termasuk dalam kelas obat

Benzodiazepin (obat penenang).

Obat-obat golongan psikotropika hanya dapat diberikan dengan resep dokter.

Ketika seseorang tanpa resep mendapatkan dan mengonsumsi obat tersebut untuk

mendapatkan efek penenangnya, penggunaan berubah menjadi penyalahgunaan

seperti halnya kasus Tora Sudiro dan Isterinya Mieke Amalia. Namun data Polres

Kota Banjarmasin dari tahun 2016 dan 2017 belum ada tercatat adanya

penyalahgunaan psikotropika atau obat yang termasuk golongan IV ini, tetapi justru

peredaran atau kepemilikan terhadap obaya atau obat berbahan bahaya yang

termasuk daftar-G ini justru sangat marak, pada tahun 2016 barang bukti yang

berhasil di amankan adalah sebanyak 1.187.462 butir dan meningkat tajam pada

tahun 2017 sebnyak 12.237.375 butir.27

27
Data Perkara Narkoba, Kepolisian Resort Banjarmasin.
36

Tabel 1

Tabel 2
37

Table 3

Table 4

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penyidik pada satuan

resnarkoba Polres Kota Banjarmasin justru menerangkan bahwa timnya tidak

menangani perkara penyalahgunaan kepemilikan obat-obatan dosis keras (daftar G)

yang masih ada ijin edarnya namun hanya menangani sebatas masalah obat dosis

keras (daftar G) yang tidak ada izin edarnya, sehingga justru terkesan hanya sebatas

permasalahan izin edar bukan malah penanganan terhdap kepemilikan dan


38

konsumsi obat dosis keras tanpa resep dokter padahal seharusnya Undang-Undang

RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini dapat bersinergi dengan aturan

yang mengatur tentang penyalahgunaan obat-obatan yang seharusnya berfungsi

untuk kesehatan namun kemudian disalahgunakan dalam prakteknya sebagaimana

di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Membahas tentang apakah kemudian terhadap kepemilikan terhadap obat

dosis keras tanpa resep dokter termasuk dalam kategori tindak pidana kejahatan

ataukah hanya sekedar pelanggaran terhadap ijin edar?

J.Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan

yang memenuhi rumusan delik. Diantaranya, bersifat melawan hukum, dilakukan

dengan kesalahan.28 Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika

sebelumnya seseorang telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana.29

Kesalahan merupakan unsur subyektif dari tindak pidana. Kesalahan dapat berupa

ketidak sengajaan (culpa) dan kesengajaan (dolus).30 Kealpaan terjadi jika pelaku

mengetahui namun secara tidak sempurna seseorang mengalami sifat kekurang

hati-hatian ataupun kurang teliti. Unsur kesalahan sangat penting bagi penegak

hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat

mempertanggungjawabkan dan patut dipidana.

Hanya Undang-Undang yang dapat menentukan perbuatan mana sajakah

yang dapat dipidana, serta sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan –perbuatan apa

yang dapat dijatuhkan pidana. Dalam kasus penyalahgunaan obat psikotropika yang

28
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang,hlm.32.
29
Chairul Huda, 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.20.
30
Sudarto, Op.cit, Hlm 30
39

dilakukan oleh Tora Sudiro, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika telah melakukan pembatasan mengenai unsur kesalahan yang

dilakukannya. Tora dijerat dengan Pasal 62 yang berbunyi:

“Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan atau membawa


psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”

Unsur tanpa hak membuktikan kesalahan yang dilakukan Tora Sudiro dengan

memiliki, menyimpan obat Dumolid yang memiliki kandungan Nitrazepam dan

termasuk kedalam Psikotropika Golongan IV. Kandungan Nitrazepam inilah yang

dilarang dan diawasi perederannya jika telah diolah dalam bentuk obat. Maka dari

itu pemberiannya diperlukan pengawasan dengan menggunakan resep dokter

ataupun kartu pasien sebagai upaya pengendalian peredaran obat psikotropika

tersebut. Unsur tanpa hak dalam Pasal 62 ini diperjelas dengan ketentuan Pasal 14

ayat (4) Undang-Undang No.5 Tahun 1997 bahwa Penyerahan psikotropika oleh

apotek, puskesmas, dan balai pengobatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Maka disinilah terlihat adanya unsur

kesalahan dan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh Tora Sudiro terlihat

berdasarkan Undang Undang No.5 Tahun 1997.

Menurut Moeljatno tindak pidana harus memenuhi unsur perbuatan yakni

perbuatan manusia sebagai syarat materiil yang harus ada karena perbuatan tersebut

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut

dilakukan serta bertentangan dengan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat


40

yang dicita-citakan. Unsur kedua yakni, memenuhi rumusan Undang-Undang yang

merupakan syarat formil dari tindak pidana.31

Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah

tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahan tersebut.Dengan demikian, konsepsi

tentang kesalahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana

dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai “dapat dicela”, maka

pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.

Pembuktian unsur kesalahan diperlukan sepanjang hal tersebut menjadi

bagian dari tindak pidana, serta tidak perlu dibuktikan jika menjadi unsur diam-

diam. Perbuatan pidana mutlak harus bersifat melawan hukum, maka disebutkan

atau tidaknya kata “melawan hukum” dalam rumusan pasal perundang-undangan

tetap harus dibuktikan unsur kesalahannya. Bukan berarti tindak pidana yang tidak

memuat perkataan “melawan hukum” tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat

melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Melawan

hukum dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Melawan hukum

dipandang sebagai unsur tindak pidana, sekalipun tidak dirumuskan. Jika “melawan

hukum” tidak dirumuskan dalam bunyi pasal dan tidak terbukti maka menyebabkan

putusan pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum.

Untuk dapat dikatakan perbuatan yang dilakukan Tora sebagai tindak pidana

yang merupakan bagian dari kesalahannya serta dapat dipertanggungjawabkan,

maka diperlukannya suatu pembuktian mengenai kesalahannya tersebut. Pasal 14

ayat (4) Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah menyebutkan

31
Ibid. Hlm 27
41

bahwa untuk mendapatkan obat psikotropika diperlukan resep dokter sehingga

analogi dalam Pasal 62 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 “secara tidak sah” dapat

dibuktikan dengan dapat menunjukan atau tidak dapat menunjukannya resep dokter

tersebut, serta telah ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No.5

Tahun 1997.

Jika seseorang tidak dapat menunjukannya maka patut dicurigai terjadi

penyalahgunaan obat psikotropika tersebut secara berlebihan dan didapatkan secara

tidak sah serta melawan hukum menurut ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun

1997. Maka sesorang dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan

dijatuhi pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika seseorang patut diduga memiliki,

menyimpan, membawa tanpa hak psikotropika ataupun obat psikotropika dan dapat

menunjukan bukti kepemilikannya berupa resep dokter maka orang tersebut lepas

dari segala tuntutan. Penggunaan obat psikotropika tanpa menggunakan resep dan

petunjuk dokter merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan.

Adanya celah antara penggunaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

justru ternyata dimanfaatkan oleh pelaku tindak kriminal yang memiliki obat dosis

keras yang dalam hal ini adalah carnophen zineth sering berlindung di balik aturan

undang-undang kesehatan terutama sebagaimana dijelaskan dalam wawancara

dengan satreskrim narkoba Polres Kota Banjarmasin bahwa yang selama ini

ditangani hanya berupa permasalahan ijin edar saja.


42

Namun dengan meningkatnya kasus obat dosis keras tersebut akhirnya pada

tanggal 6 Maret 2018 secara resmi obat dosis keras (daftar G) carnophen zineth

yang dilarang ini masuk pada narkotika golongan 1 berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan

Narkotika dengan ancaman 15 tahun penjara.32 Sehingga dengan adanya aturan ini

terhadap kepemilikan obat dosis keras (daftar G) adalah termasuk penyalahgunaan

obat-obatan terlarang golongan I.

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai 148 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang merupakan ketentuan

khusus, meskipun didalam undang-undang tidak disebutkan dengan tegas bahwa

tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, namun tidak perlu

disangsikan bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang merupakan

kejahatan. Apabila narkotika hanya untuk kepentingan pengobatan dan ilmu

pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut

sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari

penggunaan narkotika secara tidak sah sangat membahayakan jiwa manusia.

Secara umum tindak pidana narkotika merupakan hal yang berkaitan dan

menyangkut pembuat, pengedar, dan pengguna atau penyalahgunaan narkotika

yang bertentangan dengan beraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan tersebut diantaranya adalah:Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan

32
Budi Yulianto. 2018. Zenith Resmi Masuk Golongan Narkotika.
https://www.borneonews.co.id/berita/89914-zenith-resmi-masuk-golongan-narkotika. Diakses
pada tanggal 1 Juni 2018
43

Undangundang Nomor 17 Tahun 2006 atas perubahan Undang-undang Nomor 10

Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, dimana Undang-undang ini dapat dipakai untuk

pelaku, pengimpor, atau para penyelundup narkotika mengingat barang-barang

haram tersebut banyak didatangkan dari luar negeri. Sehingga sangat jelas bahwa

dengan masuknya beberapa daftar obat dosis keras (daftar G) ke dalam kategori

Golongan I Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka siapa saja

yang memiliki obat dosis keras tersebut jelas telah memenuhi unsure tindak pidana

narkotika.

B. Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Kepemilikan Obat dosis Keras

Tanpa Resep Dokter di Wilayah Kota Banjarmasin

Sebelum lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 7

Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika pada tanggal 6 Maret 2018

sesuai dengan hasil wawancara dengan pihak satresnarkoba Polresta Banjarmasin

memang dikenakan dan didakwakan terhadap aturan Undang-Undang Republik

Indonesia Tahun 2009 tentang Kesehatan karena diduga keras menjual atau

mengedarkan sediaan farmasin yang tidak memiliki ijin edar, bahkan pada tanggal

8 Maret 2018 Polresta Banjarmasin berhasil menyita sebanyak 25.000 butir pil

Zineth dari lima pengedar yang ditangkap.33

Berjarak sekitar 2 bulan pasca terbitnya aturan pada tanggal 21 Mei 2018

aparat Satresnarkoba Polresta Banjarmasin pun ternyata menemukan sebanyak

33
Gunawan Wibisono. 2018. Polresta Banjarmasin Sita 25.000 butir pil
zenit.https://www.antaranews.com/berita/691985/polresta-banjarmasin-sita-25000-butir-pil-zenith.
Diakses pada tanggal 3 April 2018
44

2.400 butir tablet warna putih berlogo satu diantara sisinya berlogo zenith tersebut.

Namun kali ini pengedar zenith kini terancam undang-undang berlapis, yaitu pasal

197 UU No 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan, pelaku juga dijerat Pasal 112 ayat

1 dan 2 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.34

Sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, terhadap

penyelesaian perkara penyalahgunaan kepemilikan obat-obatan dosis keras tanpa

resep dokter di wilayah Kota Banjarmasin dilakukan dengan kerjasama bersama

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), hal ini juga bersesuaian dengan hasil

wawancara dengan aparat Satresnarkoba Polresta Banjarmasin yang hanya

menangani sebatas permasalahan tidak adanya ijin edar sedangkan untuk

kepemilikan yang dikhususkan untuk pemakaian menjadi celah tersendiri karena

aturan yang tidak cukup memayungi fakta yang terjadi dilapangan.

Sepanjang tahun 2016 lalu, BBPOM di Banjarmasin telah menangani

sembilan perkara tindak pidana di bidang Obat dan Makanan. Kesembilan perkara

tersebut ditindaklanjuti secara pro-justitia.35

Sebagaimana Keputusan Kepala Badn Pengwas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.72.4473 tentang Prosedur Tetap Penyidikan Tindak

Pidana Di Bidang Obat Dan Makanan.

Pada poin V Pelaksanaan angka 3 dijelaskan langkah-langkah Pro Justitia

sesuai Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Bagi PPNS Badan POM yaitu :

34
Rizki Abdul Gani. 2018. satresnarkoba Polresta Banjarmasin Jerat Pengedar Zenith dengan
Undang-Undang Narkotika.http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/05/23. diakses pada tanggal 28
April 2018
35
Hukmas BPOM Banjarmasin. 2017. Badan BPOM Perangi Penyalahgunaan Obat Ilegal.
45

1. Melaksanakan Pemeriksan di tempat kejadian perkara (TKP) dan dituangkan

dalam Berita Acara

2. Melaksanakan Penggeledahan dan dituangkan dalam Berita Acara (BA)

3. Melaksanakan Penyitaan Barang Bukti dan dituangkan dalam Berita Acara

(BA).

4. Meminta persetujuan/penetapan kepada pengadilan Negeri setempatatas

tindakan penggeledahan.

5. Meminta persetujuan/penetapan kepada pengadilan Negeri setempat atas

tindakan penyitaan

6. Melaksanakan Penyisihan Barang Bukti untuk pengujian secara

Laboratorium dan dituangkan dalam Berita Acara (BA), bila diperlukan.

7. Melaksanakan GELAR PERKARA pelanggaran Tindak pidana, bila

diperlukan

8. Membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya penyidikan (SpDp) kepada Jaksa

penuntut Umum melalui Penyidik polri

9. Memanggil para Saksi/Saksi

10. Melaksanakan pemeriksaan para Saksi/Saksi Ahli dan dituangkan dalam

Berita Acara (BA)

11. Memanggil para Tersangka

12. Melaksanakan pemeriksaan para Tersangka dan dituangkan dalam

13. Berita Acara (BA)

14. Melaksanakan tindakan lain sesuai ketentuan KUHAP

15. Menyelesaikan Administrasi Penvidikan meniadi Berkas Perkara.


46

16. Menyerahkan Berkas Perkara kepada Jaksa penuntut Umum melalui Penyidik

Polri untuk diteliti kelengkapannya

17. Melaksanakan koordinasi fungsional kepada penyidik polri dan Jaksa

Penuntut Umurn untuk meiengkapi Berkas perkara, sesuai petunjuk Jaksa

Penuntut Umum (p-18), (p-19) sampai Berkas perkara dinyatakan lengkap (p-

21)

18. Menyerahkan tanggungjawab atas Tersangka dan Barang Bukti kepada Jaksa

Penuntut Umum.

19. Menghadiri Sidang Perkara di pengadilan negeri setempat, sebagai Saksi

Petugas atau Saksi ahli.

(segala kegiatan bila diperlukan dapat dibantu oleh pihak kepolisian)

Namun dengan telah diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika maka

secara otomatis penanganan perkara kepemilikan obat dosis keras tanpa resep

dokter maka menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Pada prinsipnya, penegakan hukum pidana di bidang narkotika ini memiliki

proses yang sama pada penegakan hukum pidana pada umumnya seperti yang diatur

dalam KUHAP. Meskipun narkotika dan psikotropika merupakan delik khusus dan

diatur dalam Undang-Undang khusus pula, akan tetapi tidak menutup kemungkinan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu dikesampingkan walaupun asas

hukum yang berlaku adalah Lex specialis derogate legi generalis, namun demikian
47

penegakan hukum narkotika juga harus merujuk pada KUHP dan KUHAP sebagai

hukum materil dan formil pidana.

Padahal dalam UU Narkotika tersebut, untuk mengetahui ia pengedar ataupun

pecandu meskipun penguasaan dan kepemilikan barang haram tersebut ada pada si

pelaku, bukan berarti ia adalah pelaku sebenarnya, melainkan harus dibuktikan

terlebih dahulu melalui serangkaian tes positivitas penggunaan narkotika tersebut.

Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut menyebutkan sebagai berikut:

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Terhadap unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, dan menyediakan”

tersebut khususnya “memiliki dan menguasai” bahwa ketentuan mengenai unsur

pasal 112 ini tidak dapat disamakan dengan ketentuan “bezit” atau penguasaan

seperti yang terdapat dalam Buku II, BAB II KUHPerdata tentang Bezit pasal 529

jo pasal 1977 KUHperdata. Pasal 529 KUHPerdata sendiri menyebutkan bahwa

“yang dinamakan kedudukan berkuasa ialah, kedudukan seseorang yang menguasai

suatu kebendaan, baik diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang

mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.”

Artinya adalah yang dikatakan sebagai seseorang menguasai suatu benda

menurut pasal 529 KUHPerdata tersebut adalah orang yang memiliki baik secara
48

pribadi maupun dengan perantaraan orang lain, dengan mempertahankan benda itu

ataupun menikmati benda yang ada padanya itu. Dengan kata lain, apabila ia

memegang benda tersebut, lalu ia menggunakan benda itu baik untuk dikonsumsi,

dinikmati, dipakai sesuai kegunaannya, maka benda tersebut adalah dalam

penguasaannya. Begitu juga yang termuat dalam pasal 1977 KUHperdata yang

menyebutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun

piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barangsiapa yang

menguasainya dianggap telah memilikinya.”

Sementara di dalam unsur pidana pasal 112 ayat (1) tersebut, Mahkamah

Agung Republik Indonesia pada putusannya nomor 1386/K/Pid.sus/2011

memberikan pertimbangan hukum (rechts onvoldoende gemotiveerd) yang isinya

yaitu:

“bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu Narkotika dan sejenisnya


harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya
tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-Undang
tersebut.”

Hal ini berarti bahwa harus dibuktikan terlebih dahulu baik oleh penyidik

ataupun penuntut umum dalam sidang pembuktian perkara pidana terhadap

“maksud” atau oogmerk dari si pemegang barang narkotika atau sejenisnya

tersebut. Mahkamah Agung memberikan pengertian bahwasannya tidak boleh

seseorang itu dihukum karena dia telah membawa barang haram tersebut dengan

demikian berarti dia adalah pengedar.

Namun penyidik ataupun penuntut umum dalam membuktikan apakah pelaku

tersebut adalah pelaku yang merupakan pengedar, ataukah pelaku yang sebenarnya

korban atau bahkan pelaku yang tidak sebenarnya. Itulah mengapa sebabnya
49

Mahkamah Agung dalam putusannya nomor 1071/K/Pid.sus/2012 menyebutkan

bahwa pasal 112 adalah merupakan pasal keranjang sampah atau pasal karet.

Adapun bunyi putusan MARI No. 1071/K/Pid.Sus/2012 itu adalah sebagai

berikut:

“Bahwa ketentuan pasal 112 adalah merupakan ketentuan keranjang sampah


atau pasal karet. Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau
memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan
terlepas dari jeratan pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini
adalah keliru dalam menerapkan hukum, sebab tidak mempertimbangkan
keadaan atau hal-hal yang mendasari terdakwa menguasai atau memiliki
barang tersebut dengan niat atau maksud (oogmerk) terdakwa.”

Maka oleh karena itulah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur

kesalahan (schuld) pada diri si pelaku yang dituduhkan itu. Dalam proses peradilan

pidana, untuk dapat ditetapkannya seseorang sebagai tersangka ataupun terdakwa

haruslah diukur terlebih dahulu seberapa jauh kesalahan (schuld) yang terdapat

pada dirinya yang untuk kemudian dapat pula diukur pertanggungjawaban pada

dirinya. Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-asas hukum pidana menyebutkan

bahwa “orang tidak mungkin mempertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia

tidak melakukan perbuatan pidana”.36

Walaupun narkoba memiliki hukum acara tersendiri namun masih digunakan

KUHAP apabila tidak diatur dalam undang undang narkoba. Penegakan hukum

narkotika sendiri tidak boleh keluar dari koridor KUHAP. Dalam beberapa kasus,

kadang pada tingkat penyidikan masih ada proses penegak hukum yang sedikit

melenceng dari aturan KUHAP.

36
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 168
50

Tahapan pada kasus tindak pidana selalu bermula dari penyelidikan dan

penyidikan. Secara umum penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut dengan

penelitian adalah langkah awal atau upaya untuk mengidentifikasi benar dan

tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi. Dalam perkara pidana, penyelidikan atau

penelitian itu adalah langkah-langkah untuk melakukan penelitian berdasarkan

hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peristiwa

pidana itu benar-benar terjadi atau tidak terjadi.37

Dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 2 KUHAP tersebut,

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah setiap tindakan

penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung

keyakinan bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan

pidana benar-benar telah terjadi.38

Pengumpulan bahan keterangan untuk mendukung keyakinan bahwa

perbutan pidana itu benar-benar terjadi, harus dilakukan dengan cara

mempertimbangkan dengan seksama makna dari kemauan hukum yang

sesungguhnya, dengan parameter apakah perbuatan atau peristiwa pidana

(criminal) itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup pada dalam masyarakat

setempat.

Kaidah hukum, lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan

bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar

kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaidah pada hakikatnya

37
Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana melalui pendekatan Hukum Progresif,
Sinar grafika, Jakarta, 2012 hlm. 18-19
38
Ibid. Hlm 32
51

merupakan perumusan suatu pandangan objektif mengenai sikap yang seyogyanya

dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.

Ketentuan hukum acara pidana mempunyai korelasi erat dengan hukum

pidana sebagai suatu rangkaian peraturan peraturan yang memuat cara bagaimana

badan-badan pemerintah berkuasa. Badan-badan pemerintah itu adalah kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan

mengadakan hukum pidana yang ketentuan tersebut sebagian besar terdapat dalam

KUHP (wetboek van strafrecht) dan sebagian lagi dimuat dalam pelbagai peraturan,

baik dari perundang-undangan pusat maupun perundang-undangan daerah.39

Membahas permasalahan dan problematika penegakan hukum narkotika

sendiri yang pada dasarnya selalu mengalami perbedaan pandangan antara

penyidik, penuntut umum, hakim dan Penasihat hukum sendiri dalam proses

persidangannya. Pada tahap I proses pidana narkotika, penyidik dan penuntut

umum sendiri dalam Dakwaannya selalu memuat unsur pasal 112 UU No. 35 Tahun

2009 kepada orang yang disangka oleh penyidik telah memiliki dua alat bukti yang

sah, bahkan telah sah dan meyakinkan sebagai pengedar narkoba tersebut.

Dalam proses pembuktian perkara tindak pidana narkotika, tidak berbeda

pada bentuk pembuktian di dalam persidangan pidana pada umumnya. Agar

seseorang dapat dijatuhi hukuman, maka perlu dilakukan pembuktian terlebih

dahulu. Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur

tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang

39
Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 14-15
sebagaimana yang dikutip oleh Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, Thafa
Media, Yogyakarta, 2015, hlm. 2
52

sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui

fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat

syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk

menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

pemeriksaan di sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-

undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,

maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman sesuai pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa hasil dari pemeriksaan di sidang

kesalahan terdakwa atas perbuatannya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sebaliknya, kalau

kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam pasal

184, terdakwa dinyatakan “bersalah”, kepadanya akan dijatuhi hukuman.40

Apabila perbuatannya itu ternyata memang benar-benar telah memenuhi

semua unsur yang terdapat di dalam suatu rumusan delik dan tidak ada sesuatu dasar

yang terdapat dalam hukum positif yang meniadakan sifat yang melanggar hukum

dari perbuatannya itu, maka dengan pasti mereka akan mengatakan bahwa

perbuatan dari orang tersebut bersifat wederrechtelijkheid dan oleh karenanya

orang itu dapat dihukum.

40
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia,
Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2014, hlm. 21
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan kegiatan atau serangkaian

kegiatan yang bertujuan memindahtangankan, menyebarluaskan obat, bahan obat,

obat tradisional dan kosmetika. Jadi yang berhak melakukan peredaran sediaan

farmasi dan alat kesehatan hanyalah orang orang tertentu yang telah memiliki izin dan

bagi mereka yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa adanya izin

dinyatakan telah melakukan tindak pidana.

Perlunya izin mendistribusikan sediaan farmasi dari Badan Pengawas Obat-Obatan

dan Makanan (BPOM) karena obat mempunyai kedudukan yang khusus dalam

masyarakat karena merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun demikian, penggunaan obat yang salah,

tidak tepat dan tidak rasional dapat membahayakan masyarakat. Tujuan dari

pemberian izin dalam peredaran sediaan farmasi adalah untuk melindungi masyarakat

dari sediaan farmasi yang tidak memenuhi syarat (TMS), melindungi masyarakat dari

penyalahgunaan dan salah penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan (BPOM) Banjarmasin yang penulis

temui pun tidak banyak menyimpan data mengenai penertiban terhadap peredaran

sedian farmasi berupa obat keras yang termasuk daftar G yang sudah dicabut izin

edarnya. Pihaknya hanya menyatakan bahwa bersama-sama dengan pihak Kepolisian

Resort Kota Banjarmasin dalam melakukan penertiban, jadi yang lebih berperan besar

adalah dari pihak kepolisian.

53
54

2. Dalam hal penertiban terhadap obat keras daftar G yang sudah tidak memiliki izin

edarnya di Banjarmasin BPOM dan Kepolisian Resort Kota Banjarmasin melakukan

kordinasi yaitu dimana Kordinator Pengawas (Korwas) yang merupakan penyidik

Pegawai Negeri Sipil melakukan kordinasi dengan pihak Reskrimum Polresta

Banjarmasin yang masing-masing sudah terlebih dahulu mendapatkan surat tugas

dalam menjalankan kewajibannya melakukan penertiban terhadap Target Operasi.

Jika Target Operasi sudah dapat diamankan maka keduanya kemudian memanggil

saksi ahli dalam mengumpulkan bukti petunjuk sehingga setelah lengkap 2 (dua) alat

bukti serta keterangan ahli maka setelah berkas dikatakan lengkap pihak BPOM

menyerahkan kasus kepada Polresta Banjarmasin untuk selanjutnya diteruskan

dilakukan penyidikan dan tahap selanjutnya.

B. Saran

Bahwa selama penelitian dilakukan Peneliti sangat kesulitan dalam mencari dan

mengumpulkan data di BPOM Banjarmasin, padahal peran BPOM sangatlah besar dalam

hal penertiban ini, namun selama ini terkesan BPOM Banjarmasin bersifat pasif dan

menyerahkan segala urusan kepada pihak kepolisian sehingga menurut Penulis tindakan

Preventif terhadap peredaran obat keras yang sudah dicabut izin edarnya sama sekali

kurang oleh karenanya Penulis memberikan saran agar tidak hanya aturan terhadap

penertibannya tapi pada perangkat aparat hukumnya sendiri haruslah ada tindakan tegas.
55

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di

Indonesia, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2014

Bertram G. Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta,

2002

Chazawi, Adami 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

E.Y.Kanter & S.R Sianturi.2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan.

Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Huda, Chairul 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta

Hartini, Yustina Sri dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah

Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan

Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Harun, M. Husein Penyidik dan penuntut dalam proses pidana. PT rineka cipta.

Jakarta. 1991

Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana melalui pendekatan Hukum

Progresif, Sinar grafika, Jakarta, 2012


56

Himpunan bujuklak,bujuklap,bujukmin. Proses penyidikan tindak pidana. Jakarta,

1990

Hukmas BPOM Banjarmasin. 2017. Badan BPOM Perangi Penyalahgunaan Obat

Ilegal.

Mertokusumo, Sudikno, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 14-

15 sebagaimana yang dikutip oleh Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian

Sengketa Medis, Thafa Media, Yogyakarta, 2015

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Roeslan Saleh. 2006.Pertannggungjawaban Pidana.Jakarta: Rieneka Cipta

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang

Peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

PP Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi
Obat
57

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi


Obat

Website
The Pursuit of Responsible Use of Medicines: Sharing and Learning from Country
Experiences, 2012, ttp://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/index.html,
diakses tanggal 10 Agustus 2017.

Dian Reinis Kumampung. 2017. Ini Kronologi Penangkapan Tora Sudiro Menurut
Kepolisian.http://entertainment.kompas.com/read/2017/08/04/115853810/ini-
kronologis-penangkapan-tora-sudiro-menurut-polisi. Diakses pada tanggal 10
Agustus 2017

“Pil Zenith Cengkeram Pelajar,” Banjarmasin Post, 14 Maret 2016, 1. Bpost


Online Diakses pada tanggal 30 Agustus
2018http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/31/zenith-lebih-dipilih-daripada-
ekstasi-karena-murah. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2018.

Budi Yulianto. 2018. Zenith Resmi Masuk Golongan Narkotika.


https://www.borneonews.co.id/berita/89914-zenith-resmi-masuk-golongan-
narkotika. Diakses pada tanggal 1 Juni 2018.

Gunawan Wibisono. 2018. Polresta Banjarmasin Sita 25.000 butir pil


zenit.https://www.antaranews.com/berita/691985/polresta-banjarmasin-sita-
25000-butir-pil-zenith. Diakses pada tanggal 3 April 2018.

Rizki Abdul Gani. 2018. satresnarkoba Polresta Banjarmasin Jerat Pengedar Zenith
dengan Undang-Undang
Narkotika.http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/05/23. diakses pada tanggal 28
April 2018

Anda mungkin juga menyukai