Anda di halaman 1dari 28

1

PROPOSAL TESIS

“EFEKTIVITAS KLAUSULA ATAU COVENANT


DALAM PERJANJIAN KREDIT”

Diajukan oleh :
DISTARA RIMADHANA PRADIPTA
2020215320018

PROGRAM MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
Januari,2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada perkembangan dan peranan lembaga keuangan seperti perbankan

menjadi salah satu hal penting dalam perkembangan ekonomi di suatu

Negara, karena bukan hanya sebagai sumber pembiayaan tetapi juga mampu

untuk mempengaruhi siklus usaha dalam perekonomian secara keseluruhan.1

Pada Alinea pertama dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah menjadi Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan

masyrakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945, berkesinambungan dan peningkatan

pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan, perlu

senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka

pelaksanaan pembangunan ekonomi harus keseimbangan unsur-unsur

pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

pada point “a” juga menyatakan bahwa untuk memelihara kesinambungan

pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

1
Alamsyah, Halim. 2005. Banking Disintermediation and Its Implication for Monetery
Policy : The Case of Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Maret 2005 : 499 ± 521.

1
2

pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya

perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan merata,

mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah internasional.

Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang dimana menjadi tempat

bagi para perusahaan, badan-badan pemerintahan, dan swasta, ataupun

perorangan untuk menyimpan dana. Adapun berbagai fasilitas lainnya yang

disediakan oleh Bank, seperti perkreditan dan berbagai jasa lainnya yang

diberikan untuk melayani segala kebutuhan pembiayaan serta untuk

melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor

perekonomian.

Bank memiliki pengertian secara konkrit yang terdapat dibeberapa

buku, adapun istilah yang dijelaskan oleh Abdurrachman yaitu Bank berasal

dari Bahasa Itali “Banca” yang mengartikan suatu bangku tempat duduk,

sebab pada saat zaman pertengahan, pihak banker yang memberikan fasilitas

pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan cara duduk di bangku-bangku

halaman pasar.2

Pendapat Black Henry Campbell yang telah dikutip oleh Hermansyrah

memberi penjelasan bahwa bank merupakan suatu institusi yang telah

memiliki peran besar dalam dunia komersil dan mempunyai wewenang untuk

menerima deposito, pinjaman, menerbitkan promissory notes yang sering

disebut dengan bank bills atau bank notes. Sehingga fungsi bank yang

original yaitu hanya menerima deposito berupa uang logam, emas, plate, dan

2
Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1991, hlm. 43
3

lain-lain.

Secara ringkas perbankan di Indonesia muncul untuk pertama kalinya

sejak didirikan Nederlandche Handel Maatschappij (NHM), pada masa

pendudukan Belanda untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi Vereenidge

Oost-Indishche Compagnie (VOC). NHM kemudian berubah menjadi Bank

Ekspor Impor Indonesia. Pemerintahan Hindia-Belanda juga mendirikan De

Javasche Bank pada tahun 1827 yang kini dikenal luas sebagai Bank

Indonesia (BI) dan NV Escompo Bank.

Bank dapat didefinisikan juga sebagai suatu badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan

kepada masyarakat kembali dalam rangka meningkatkan taraf hidup

masyrakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998, yang menjelaskan bahwa bank disebutkan sebagai badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Sejalan dengan karakteristik dari bank berdasarkan beberapa penjelasan

di atas maka dapat disimpulkan bahwa bank merupakan suatu segmen usaha

yang kegiatannya banyak diatur oleh pemerintah.3 Salah satu kegiatannya

yaitu dengan menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya

kepada masyarakat.

3
Siamat, Dahlan.2005. Manajemen Lembaga Keuangan : Kebijakan Moneter dan
Perbankan.Jakarta : FE UI.
4

Pemberian kredit menjadi pelayanan yang nyata dari bank terhadapan

perkembangan dan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Kredit

merupakan penyediaan uang atau tagihan yang berdasarkan pada persetujuan

atau kesepekatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan para pihak peminjam untuk melunasi utang setelah jangka waktu

yang ditentukan dengan adanya pemberian bunga.4 Penyaluran kredit ini

sangat berperan penting dalam perbankan, karena selain mensejahterakan

masyarakat, bank juga mendapatkan laba yang menjadi sumber utama

pendapatannya melalui bunga dari pinjaman kredit yang akan wajib dibayar.

Menurut pendapat O.P. Simorangkir, kredit merupakan pemberian

prestasi (misalnya uang / barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan

terjadi pada waktu prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang

sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif

antara pemberi kredit dan penerima kredit atau antara kreditor dengan debitor.

Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. singkatnya kredit

dalam arti luas berdasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko

dan pertukaran ekonomi dimasa mendatang.5

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

menjelaskan bahwa kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

4
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Butir 11 tentang Perubahan atas
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
5
Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian
Kredit Bank ( Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 10.
5

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam melunasi utangnya setelah jangkwa waktu pemberian bunga.6

Pada pelaksanaan pemberian kredit, bank terlebih dahulu berkeyakinan

bahwa debitur memiliki kesanggupan dan kemampuan untuk melunasi utang-

utang kredit sesuai yang telah diperjanjikan dengan melakukan beberapa

penilaian terhadap modal perusahaan, kemampuan perusahaan, jaminan

perusahaan, dan prospek lainnya.

Apabila bank dan debitur telah menyetujui untuk dilakukan proses

kredit, maka tahap selanjutnya bank akan membuat sebuah perjanjian kredit

yang berbentuk kalusula baku dan akan dibuat oleh pihak bank untuk dapat

dipenuhi oleh para pihak debitur. Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata

menjelaskan bahwa perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan

klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

terlah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.7

Sehingga perjanjian kredit bank dalam kegiatan perbankan merupakan

suatu perjanjian standar yang telah dibuat oleh pihak bank walaupun pada

dasarnya tidak sepadan bagi pihak debitur ataupun konsumen.

Berdasarkan dengan hal di atas, maka penulis akan mengkaji lebih jauh

mengenai klausula atau covenant dalam suatu perjanjian kredit dengan judul

6
Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
6

tesis “EFEKTIVITAS KLAUSULA ATAU COVENANT DALAM

PERJANJIAN KREDIT”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah klausula atau covenant dalam suatu perjanjian kredit telah

efektif?

2. Bagaimana upaya Pasal 1243 KUH Perdata untuk menangani debitur

yang lalai terhadap klausula atau covenant perjanjian kredit?

C. Keaslian Penelitian

Karya-karya ilmiah yang telah dipublikasikan dan dapat penulis temukan

yang mana judul dan rumusan masalahnya telah diangkat sebelumnya dan

berhubungan dengan penelitian tesis yang penulis teliti, yaitu:

1. Etty Nuryani M pada Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas

Indonesia Tahun 2009. Judul Tesis: Kalusula Baku Yang Tidak

Seimbang Dalam Perjanjian Kredit Bank dan Kaitannya Dengan

Perlindungan Konsumen.

Rumusan masalah:

a. Bagaimana isi dan bentuk klausula baku dalam perjanjian kredit

bank?

b. Apakah kalusula baku dalam perjanjian kredit perbankan

merugikan konsumen?

c. Apakah klausula baku dalam perjanjian kredit bank bertentangan


7

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsume?

Kesimpulan:

a. Belum terdapat keseragaman mengenai pengertian perjanjian baku,

namun pengertian perjanjian baku yang terdapat dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen dan yang lainnya, pada pokoknya

adalah sama yaitu telah dipersiapkan secara sepihak dan bersifat

mengikat. Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tidak lain dari upaya negara

menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera sebagaimana yang

diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, karena Undang-

Undang Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan yang

seimbang kepada konsumen dan pelaku usaha melalui hak dan

kewajibannya. Di berbagai negara, seperti Inggris, Jerman,

Australia dan India terdapat pula ketentuan-ketentuan sebagai

upaya negara memberi rasa keadilan bagi pelaku usaha dan

konsumen.

b. Klausula baku dalam perjanjian kredit bank dibuat sepihak oleh

bank. Isinya tidak mencerminkan kebebasan berkontrak yang diatur

dalam KUH Perdata. Kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas


8

mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Pasal-pasal

KUH Perdata terhadap asas ini. Pasal 1320 KUH Perdata

menentukan syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu: sepakat, cakap,

hal tertentu dan sebab yang halal. Kemudian pembatasan terhadap

kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) yang

menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan

itikad baik. Klausula baku dalam perjanjian kredit bank memuat

hak dan kewajiban bank, serta hak dan kewajiban konsumen,

namun klausula tersebut memberikan kewajiban kepada konsumen

lebih banyak dibandingkan bank.

c. Perjanjian kredit dari tiga bank, yakni Bank Central Asia, Bank

Mandiri dan Standard Chartered Bank Indonesia isinya memuat

klausula baku yang sangat merugikan konsumen. Klausula baku

tersebut memberikan tanggung jawab kepada konsumen lebih

banyak dibandingkan dengan bank, bahkan tanggung jawab yang

seharusnya ada pada bank dialihkan kepada konsumen. Klausula

baku dalam perjanjian kredit Bank Central Asia, Bank Mandiri dan

Standard Chartered Bank Indonesia tersebut isinya bertentangan

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 18 yang memuat

larangan terhadap klausula baku. Pengawasan dan penegakkan

hukum terhadap pelanggaran ketentuan pencantuman klasula baku

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999


9

tentang Perlindungan Konsumen dalam praktek masih belum

dilaksanakan.

2. I Made Sukma Aryawan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya tahun 2019. Judul Tesis: Perlindungan

Hukum Bagi Debitor Akibat Dari Pencantuman Klausula Eksenorasi

Dalam Perjanjian Kredit Bank.

Rumusan masalah:

a. Apa bentuk perlindungan hukum bagi debitor akibat dari

pencantuman klausula eksenorasi dalam perjanjian kredit bank ?

Kesimpulan:

a. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 62 ayat (1) yang berbunyi Pelaku usaha yang

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal

9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,

huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling

banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pada Pasal 21 dan

Pasal 22. Pengaturan penggunaan syarat-syarat dalam pembuatan

perjanjian baku merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

melindungi konsumen terhadap pelaku usaha di bidang layanan

jasa keuangan.
10

c. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor1/POJK.07/2014 tentang

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa disektor Jasa

Keuangan. Pada Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa: “bila lembaga

alternatif penyelesaian sengketa belum terbentuk, konsumen dapat

mengajukan permohonan fasilitasi penyelesaian sengketa kepada

OJK”.

d. Suatu perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi, sifatnya

batal demi hukum, namun jika perjanjian itu telah terlanjur

disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua belah pihak

(Penggugat dan Tergugat atau debitur dan kreditur), maka

kekuatannya menjadi tidak bisa batal demi hukum, melainkan

dapat dibatalkan melalui pengadilan

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Dalam penelitian ini ada tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

a. Untuk menganalisis apakah klausula atau covenant dalam suatu

perjanjian kredit telah efektif.

b. Untuk menganalisis upaya Pasal 1243 KUH Perdata untuk

menangani debitur yang lalai terhadap klausula atau covenant

perjanjian kredit.

2. Kegunaan

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai


11

pengembangan ilmu dalam pengetahuan klausula atau covenant pada

suatu perjanjian kredit bank.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi

ilmu pengetahuan, khususnya untuk menangani debitur yang lalai

terhadapa klausula atau covenant dalam perjanji kredit.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan sekumpulan abstarksi dari hasil pemikiran

atau kerangka acuan dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu

penelitian ilmiah dalam hal ini khususnya penelitian hukum.8 Kerangka

teori juga merupakan sebuah dasar pemikiran dalam menyusun sebuah

penelitian untuk menentukan arah dan tujuan penelitian bagi penulis

sehingga mampu memberi jawaban atas permasalahan yang akan

dibahas.

a. Teori Perjanjian

Perjanjian adalah suatu persitiwa yang terjadi dalam hal satu

orang yang telah berjanji kepada orang lain atau setidaknya ada dua

orang atau lebih yang saling berjanji untuk melakukan akan suatu

hal.9 Perjanjian juga salah satu sumber perikatan yang dapat dilihat

dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang tertulis bahwa perikatan

bersumber dari perjanjian dan Undang-Undang. Sedangkan


8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UniversitasIndonesia, 1986),
hlm. 32
9
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2019), hlm. 1
12

pengertian perjanjian berdasarkan Burgerlick Wetboek Pasal 1313

menyatakan bahwa suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sehingga

penjelasan pengertian perjanjian yaitu meliputi prestasi yang harus

dipenuh oleh semua para pihak, yang dimana kreditur memiliki hak

atas suatu prestasi yang telah disepakati dengan debitur memiliki

kewajiban untuk melaksanakan prestasi tersebut.10 Pada Pasal 1234

KUH Perdata menjelaskan mengenai memenuhi prestasi dalam suatu

perjanjian, yaitu terdiri dari kegiatan untuk memberikan sesuatu,

untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.Perjanjian

dapat dikatakan sah dengan empat syarat yang sesuai dengan Pasal

1320 KUH Perdata, yaitu:

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

2) Kecekapan untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu pokok persoalan tertentu

4) Suatu sebab yang tidak terlarang.

Adapun asas-asas yang penting dalam suatu perjanjian yaitu asas

kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas pacta sun servanda,

asas itikad baik, dan asas kepribadian (personality).11

1) Asas kebebasan berkontrak

Dalam asas ini mempunyai kaitan erat dengan isi, bentuk, dan

10
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, edisi ke-1, cetakan ke-2, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014, hlm 179
11
Salim H. S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Konntrak, Sinar Grafika,
Jakarta, cetakan ke-10, 2014, hlm. 9
13

jenis dari perjanjian yang dibuat. Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Sehingga kata “semua” yang terdapat dalam

penjelasan tersebut ternyata memiliki makna tersendiri, yaitu:

a) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak

mengadakan perjanjian;

b) Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dengan

siapapun;

c) Setiap orang bebas menentukan bentuk perjanjian yang

dibuatnya;

d) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum,

maksudnya bebas untuk memilih pada hukum apa yang

akan dibuat dalam perjanjian.

Asas kebebasa berkontrak dalam membuat perjanjian juga

terdapat dalam Buku III KUHPerdata, yang memaparkan bahwa

setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal

tidak melanggar ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum. Buku III KUHPerdata secara umum hanya

merupakan hukum pelengkap yang artinya bahwa konkrit dapat

disimpangi oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Buku III

KUHPerdata juga menganut sistem terbuka yang artinya setiap

orang dapat mengadakan perjanjian-perjanjian lain selain yang


14

diatur didalam KUHPerdata. Berbeda dengan Buku II yang

menganut sistem tertutup, sehingga orang tidak dapat membuat

atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain yang diatur

oleh KUHPerdata.

Adapun penjelasan lain dari Pasal 1338 KUHPerdata yaitu,

bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya bahwa

tiap perjanjian itu mengikat kedua belah pihak.

2) Asas Konsesualisme

Asas ini menjelaskan bahwa suatu perjanjian itu lahir sejak

adanya kata sepakat diantar para pihak. Didalam Pasal 1338 ayat

(1) dan Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata terdapat asas

konsesualisme yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang mebuatnya. Maka berdasarkan dari kedua pasal tersebut

menyimpulkan bahwa perjanjian telah lahir sejak saat

tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan

perjanjian. Sehingga apabila perjanjian itu telah lahir dan sudah

mencapai kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok

yang menjadi obyek perjanjian dan tidak perlu adanya

formalitas tertentu selain yang telah ditentukan undang-undang.

Asas konsensualisme juga memiliki pengecualian terhadap

undang-undang yang ditetapkan untuk formalitas tertentu yang


15

beberapa macam perjanjian dengan ancaman batalnya perjanjian

tersebut apabila tidak memenuhi bentuk yang ditetapkan.

Misalnya seperti perjanjian hibah yang berupa benda tidak

bergerak namun harus dengan akta notaris, seperti perjanjian

perdamaian yang harus dengan bentuk tertulis, seperti perjanjian

yang pembuatannya menggunakan formalitas-formalitas tertentu

disebut dengan perjajian formil. Namun pengecualian juga

berlaku terhadap perjanjian riil, karena perjanjian riil merupakan

lahirnya perjanjian yang terjadi pada saat obyek perjanjian

diserahkan secara nyata. Misalnya seperti perjanjian penitipan

barang yang diatur dalam Pasal 1694 KUHPerdata.

Kesimpulan dari Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUHPerdata perihal

asas konsensualisme adalah syarat sahnya perjanjian dengan

adanya kata sepakat. Karena tidak dijelaskan perihal formalitas

tertentu didalam pasal tersebut maka setiap perjanjian itu sudah

dapat dikatakan sah atau mengikat apabila telah tercapai sebuah

kesepakatan perihal yang pokok dari dalam perjanjian tersebut.

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Pada asas ini ternyata memiliki hubungan dengan akibat suatu

perjanjian dan telah diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan ayat

(2) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya para

pihak harus mematuhi perjanjian yang telah mereka buat,


16

sehingga apabila ada salah satu pihak yang dianggap melanggar

ketentuan perjanjian maka akan dikenakan sanksi hukum. Oleh

karena itu asas pacta sunt servanda memiliki akibat bagi sebuah

perjanjian, seperti perjanjian tidak dapat ditarik tanpa sebuah

persetujuan dari pihak lain yang terlibat dalam perjanjian

tersebut. Karena sesuai penjelasan Pasal 1338 ayat (2)

KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali

selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-

alasan yang oleh undang-undang dinyatak cukup untuk itu.

4) Asas Itikad Baik

Suatu perjanjian akan memiliki kaitannya dengan asas itikad

baik, hal ini difaktorkan bahwa asas itikad baik memiliki tujuan

agar apa yang telah diperjanjikan dari para pihak harus

dilakukan dengan sesuai ketentuan yang tidak melanggar

kepatutan. Artinya kepatutan dalam perjanjian ini adalah jangan

sampai dalam pemenuhan kepentingan perjanjian salah satu

pihak merasa terdesak, namun harus diseimbangi dengan antar

pihak. Didalam keadilan yang memiliki makna setiap kepastian

untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dalam

pemenuhan perjanjian harus sesuai dengan norma-norma yang

berlaku. Sesuai dengan ketentuan yang ada didalam Pasal 1338

ayat (3) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian harus dilaksanakan

dengan itikad baik. Adapun terdapat dua pengertian perihal


17

itikad baik, yaitu:

a) Itikad baik subyektif

Pasal 1977 KUHPerdata menjelaskan bahwa itikad baik

diartikan sebafai kejujuran seseorang dalam melakukan

suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap batin

seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

b) Itikad baik obyektif

Makna didalam itikad baik obyektif ini adalah pelaksanaan

suatu perjanjian harus didasarkan pada norma, kepatutan,

atau apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam

masyarakat. Sehingga didalam pelaksanaan perjanjian

tersebut harus sesui dengan norma-norma kepatutan dan

kesusilaan serta harus berjalan diatas yang benar. Seperti

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu

kebebasan pada hakim untuk mengawasi dalam pelaksanaan

perjanjian, sehingga pelaksanaan perjanji tersebut tidak

melanggar norma atau kaidah-kaidah kepatutan dan

keadilan.

5) Asas Kepribadian

6) Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata memiliki hubungan

dengan subyek hukum yang memiliki kaitan dengan

pelaksanaan perjanjian. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan

bahwa pada umumnya tidak seorang dapat mengikatkan diri atas


18

nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada

untuk dirinya sendiri. Serta Pasal 1340 KUHPerdata

menegaskan dengan suatu perjanjian hanya berlaku antar pihak-

pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa

rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak-pihak ketiga

mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur oleh

Pasal 1317. Maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 1340

KUHPerdata menerangkan perjanjian hanya mengikat para

pihak dalam perjanjian saja, artinya perjanjian tidak bisa

menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga, dan

tidak bisa mendatangkan kepentingan hingga kerugian kecuali

telah ditentukan lain oleh undang-undang.

Sehingga asas perjanjian ini yang mengandung pemahaman

bahwa perjanjian hanya mengikat pribadi bagi orang-orang yang

membuatnya dan tidak dapat membawa akibat bagi orang yang

bukan merupakan pihak dalam perjanjian tersebut. Adapun

pengecualian didalam asas ini yaitu, perihal janji terhadap pihak

ketiga yang disebutkan dalam Pasal 1340 KUHPerdata,

pengecualian tersebut terdapat pada Pasal 1317 KUHPerdata

yang menjelaskan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk

meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang

pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh

seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang


19

dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang

seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu,

tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak tersebut telah

menyatakan hendak mempergunakannya.

Sehingga asas kebebasan berkontrak menjadi asas

keseimbangan dalam perjanjian kredit. Hal ini menjadikan

setiap para pihak dibebaskan dalam menentukan apa saja yang

dapat dan tidak dapat dicantumkan didalam perjanjian kredit.

b. Teori Perlindungan Hukum

Fitgerarld mengemukakan teori perlindungan hukum yang

dikembangkan oleh Salmond yang menjelaskan bahwa hukum

bertujuan untuk menyatukan dan mengkoordinasikan berbagai hak

dan kewajiban berbagai pihak dalam kehidupan bermasyarakatan

dengan cara membatasi kepentingan masing-masing pihak. 12

Perlindungan hukum juga merupakan kegiatan untuk melindungi

kepentingan individu dengan melaraskan hubungan nilai-nilai atau

kaidah-kaidah yang terkandung dalam sikap dan tindakan sehingga

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesame

manusia.13 Selain itu menurut Phillipus M. Hadjon menyatakan

perlindungan hukum adalah bentuk perlindungan hukum bagi rakyat

sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. 14

12
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-8, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014, hlm.
23
13
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta:
Magister Ilmu Hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003, hlm. 14
14
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 96
20

Adapun penjelasan dari perlindungan hukum preventif dan

perlindungan hukum represif, yaitu:

1) Perlindungan hukum preventif yang oleh pemerintah untuk

bertujuan mencegah sebelum adanya suatu sengketa. Sehingga

hal tersebut dituangkan didalam peraturan Perundang-undangan

dengan maksud mengarahkan tindakan pemerintah yang

bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan berdasarkan

diskresi.

2) Perlindungan hukum represif merupakan sebuah perlindungan

akhir yang berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman

tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi pelanggaran.

Sehingga hal ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

apabila terjadi,

2. Kerangka Kenseptual

Kerangka konseptual merupakan pemaparan terhadap konsep tertentu

yang menggambarkan kumpulan atau memiliki arti dengan istilah yang

akan diteliti atau diuraikan pada karya ilmiah hukum. Kerangka

konseptual dalam penulisannya dapat diuraikan secara keseluruan

didalam karya tulis ilmiah atau salah satunya.15 Berikut kerangka

konseptual yang akan dipaparkan oleh penulis terkait sebatas definisi-

definisi yang bersifat operasional yakni sebagai berikut:

a. Perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dimana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal
15
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 96
21

1313 KUHPerdata).

b. Kredit adalah penyedia uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998).

c. Perjanjian kredit termasuk dalam pinjam meminjam yang berarti

adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu kepada pihak

yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabisi

karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini

akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan

yang sama pula (Pasal 1754 KUHPerdata).

d. Klausula merupakan sebuah ketentuan tersendiri dari suatu isi

perjanjian yang salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau

dibatasi.

e. Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku yang dimana isi atau

klausula perjanjian tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam

bentuk formulis (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk

tertentu.16

f. Wanprestasi adalah kondisi dimana debitur dinyatakan lalai dengan

surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan

16
Marsidah, Jurnal Bantuk Klausula-Klausula Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank, 2019,
hlm. 298
22

kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

mengakibatkan debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan (Pasal 1238 KUHPerdata).

F. Metode Penelitan

Metode penelitian merupakan cara-cara ilmiah yang digunakan

dalam memperoleh data yang valid, dengan tujuan dapat menemukan,

mengembangkan dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu, sehingga dapat

digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi suatu

masalah.17

1. Jenis Penelitian30

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan jenis penelitian hukum

normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan dasar

hukum yang tertulis sehingga dapat dikaji melalui teori-teori, konsep-

konsep, asas-asas hukum serta Peraturan Perundang-undangan yang

berhubungan dengan penelitian ini. Menurut Soerjono Soekanto

menyebutkan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti suatu bahan pustaka atau

data sekunder belaka.

2. Tipe Penelitian32

Pada penelitian ini disusun menggunakan tipe penelitian yang sistematik

hukum. Penelitian dalam sitematik hukum dapat dilakukan pada

Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
17

Depok: Prenadademia Group, 2016, hlm. 3.


23

peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan

pokoknya yaitu untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-

pengertian pokok atau dasar dalam hukum yaitu.

3. Pendekatan Penelitian33

Berkaitan dengan jenis penelitian normatif maka dalam penelitian ini

penulis menggunakan pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach)

Pendekatan perundang-undangan ini merupakan suatu pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah berbagai aturan hukum yang

berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.18

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekataan konsep ini berpacu pada pandangan atau doktrin dari

para ahli hukum yang berkembang dalam ilmu hukum.19 Maka

pandangan dan doktrin tersebut diperoleh dari buku-buku literatur,

jurnal, dan berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan tulisan.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini membangun argumentasi hukum dalam prespektif

kasus yang terjadi di lapangan, sehingga tujuannya yaitu untuk

mencari nilai kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa

yang terjadi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.20 Sehingga

18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta: Kencana, 2011,
hlm. 19
Ibid, hlm. 93
19

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
20

Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016, hlm. 14


24

pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telah pada kasus yang

berkaitan dengan isu-isuk hukum.

4. Sumber Bahan Hukum34

Bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

bahan hukum primer, hukum sekunder, dan hukum tersier. Berikut

adalah bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini:

a. Bahan hukum primer merupakan sebuah bahan hukum yang bersifat

autoratif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan putusan hakim.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer.21 Sehingga dalam penelitian ini


21
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke-6, Jakarta: PT Rineka Cipta,
25

penulis menggunakan buku, jurnal, karya tulis skripsi dan tesis yang

memiliki hubungan dengan permasalahan yang akan dikaji.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum tambahan yang memiliki

sifat untuk menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.22 Sehingga bahan hukum tersier ini meliputi kamus,

ensiklopedia, surat kabar dan bahan hukum lainnya yang akan

menunjang bahan hukum primer dan sekunder.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini maka

penulis menggunakan studi kepustakaan yang dimana peneliti mencari

sebuah landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya. 23 Hal ini

dilakukan dengan cara mempelajari asas-asas, norma dari peraturan

perundang-undangan, serta doktrin dari para ahli hukum melalui

pengumpulan data dari bahan hukum primer, hukum sekunder, dan

hukum tersier.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik analisi yang digunakan yaitu analisis

deskriptif kualitatif yang mana hasil penelitian akan di deskriptif dalam

bentuk penjelasan yang disusun secara sistematis untuk dapat ditarik

kesimpulan secara deduktif terhadap pokok bahasan yang diteliti.24

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

2010, hlm 103


22
Ibid, hlm 104
23
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cetakan ke-16, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016, hlm 112
24
Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006, hlm. 68
26

Penarikan kesimpulan menggunakan metode deduktif yaitu dengan suatu

pola pikir yang didasarkan pada suatu fakta yang bersifat umum, dan

akan ditarik sebuah kesimpulan.25 Sehingga teknik penarikan kesimpulan

deduktif ini menjadi teknik yang menggunakan pikiran secara umum

terlebih dahulu dan akan memperinci menjadi suatu kesimpulan yang

bersifat khusus.26

G. Sistematika Penulisan

Pada penelitian tesis ini sistematika penulisan dapat mempermudah untuk

mengetahui secara menyeluruh terhadap uraian singkat tentang proposal tesis

ini. Pada proposal tesis ini tertulis 4 (empat) bab yang masing- masing bab

terdiri dari beberapa sub-sub bab yang memiliki hubungan satu sama lain,

sehingga dapat membentuk suatu uraian yang sistematis dalam satu kesatuan

sebagai berikut:

Bab I Berisi perihal pendahuluan yang

menguraikan tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II Menguraikan tentang pembahasan

25
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, cetakan ke-1, Malang: Setara
Press, 2013, hlm 91
26
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014, hlm 18
27

pertama. Apakah klausula atau covenant

didalam perjanjian kredit telah efektif.

Bab III Menguraikan tentang pembahasan kedua

yaitu. Bagaimana upaya Pasal 1243

KUHPerdata dalam menangani debitur

yang lalai terhadap klausula atau covenant

perjanjian kredit .

Bab IV Merupakan penutup yang terdiri dari

kesimpulan atas pembahasan yang ada

dalam rumusan masalah, dan terdiri dari

saran terhadap pokok permasalah yang

diberikan oleh penulis.

Anda mungkin juga menyukai