Anda di halaman 1dari 12

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan ekonomi sebagian dari pembangunan nasional, merupakan salah
satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan demokrasi yang mandiri
dan handal guna mewujudkan terciptanya masyarakat adil makmur secara meluas,
selaras, adil dan merata. Pembangunan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesengajaan sosial
guna mencapai kesejahteraan manusia.
Kegiatan ekonomi dapat dilakukan oleh siapa saja, baik subjek hukum perorangan
maupun badan hukum. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan menjalankan usaha dalam
bidang perekonomian yang dilakukan dengan cara dan tahap-tahap sebagai berikut :1
1. Dilakukan secara terus menerus dan tidak putus-putus atau kegiatan yang
berkelanjutan;
2. Dilakukan secara terang-terangan, sah bukan ilegal sesuai ketentuan peraturan
yang berlaku; dan
3. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan untuk diri
sendiri dan orang lain.
Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukan arah yang semakin
menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang
pembangunan nasional. Sementara itu, perkembangan ekonomi saat ini senantiasa
bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai penyesuaian kebijakan dibidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga
diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional.
Perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Sitem ini
mencakup uang, kredit, perbankan, sekuritas, investasi, valuta asing, penjaminan emisi,
kepialangan, trust dan sebagainya. Sistem keuangan merupakan sistem yang dibentuk
dari semua lembaga keuangan yang ada, yang kegiatan utamanya dibidang keuangan

1
Sri Rezeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, (Malang : Bayumedia, 2007), hal.40

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yaitu menarik dana dari dan menyalurkan kepada masyarakat.2 Kegiatan pinjam-
meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah
mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua
masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagia suatu yang sangat
diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan
uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya,
pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang
tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwapihak peminjam meminjam uang kepada
pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kegiatan usahanya. Dengan demikian,
kegiatan pinjam-meminjam uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
saat ini.
Dalam perkembangan ekonomi nasional maupun internasional akan dapat
diketahui betapa besar peranan yang terkait dengan kegiatan pinjam-meminjam uang
pada saat ini. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu
pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonimian dengan memberikan pinjaman
uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu
usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota ,masyarakat yang
memerlukan dana.
Dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi tersebut, maka semakin terasa
pula perlunya sumber-sumber dana untuk membiaya kegiatan usaha. Hubungan antara
pertumbuhan kegiatan ekonomi ataupun pertumbuhan kegiatan usaha erat kaitannya
dengan sektor pembiayaan. Salah satu sumber pendanaan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuahn dalam dunia usaha diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam.
Kegiatan pinjam meminjam ini dapat dilakukan kepada lembaga perbankan maupun
kepada lembaga keuangan lainya. Hak ini disebabkan karena dunia perbankan ataupun
lembaga keuangan lainya merupakan mitra usaha bagi perusahaan-perusahaan jasa non
keuangan lainnya.
Di Indonesia masalah terkait Bank diatur dalam Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Undang – Undang

2
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2005), hal. 1

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nomor 10 Tahun 1998 (Selanjutnya disebut Undang – Undang Perbankan. Bank adalah
lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perseorangan, badan usaha swasta, badan-
badan usaha milik negara, bahkan lembaga Pemerintah yang menyimpan dana yang
dimilikinya. Dalam Black’s Law Dictionary, Bank dirumuskan sebagai berikut :
“An institutioan, usually incopated, whose business to receive money on deposit,
cast, check or drafts, discount commercial paper, make loans and issue
promissory notas payable to bearer known as bank notas”.3

(Sebuah lembaga, biasanya berbadan hukum, yang usahanya untuk menerima


uang pada deposito, cor, cek atau wesel, diskon kertas komersial, membuat
pinjaman dan menerbitkan promissory notas hutang kepada pembawa dikenal
sebagai bank notas)

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Perbankan, yang menyebutkan bahwa


perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitasnasional
kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.4 Sektor perbankan yang memiliki posisi
strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan
itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya
mencakup upaya penyehatan Bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem
Perbankan secara menyeluruh. Apabila upaya tersebut tidak bekerja dengan baik,
perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai.5
Mengkaji peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai
perantara keuangan. Dalam perannya, terdapat hubungan antar bank nasabah didasarkan
pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu Bank hanya
dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya apabila masyarakat “percaya”
untuk menempatkan uangnya dalam bentuk produk-produk perbankan yang ada pada

3
Ibid, Hal. 7
4
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
5
Thomas Suyatno, dkk., Kelembagaan Perbankan ,(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 1

3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bank tersebut. Dalam oprasional sebuah bank diperlukan seperangkat peraturan yang
meberikan batasan-batasan bagi para pihak dalam transaksiperbankan.
Bank berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
“Fungsi utama Bank perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat”.6 Untuk menjamin kesehatan Bank suatu lembaga keuangan wajib
melakukan penilaian penilaian secara khusus dan hati-hati agar menjamin kredit yang
diberikan dapat lunas sesuai dengan kesepakatan yang dibuat (Perjanjian Kredit). Untuk
menjamin pelunasan kredit yang diberikan Bank diperkenanankan meminta jaminan
tambahan kepada Debitur baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Pengertian Jaminan dalam hal ini dalah jaminan khusus bukan jaminan umum
sebagaimana diataur dalam pasal 1131 KUH Perdata. Didalam Dunia Perbankan, Bank
dilarang memberikan kredit tanpa ada jaminan yang cukup dan hal tersbut telah diatur
pada Pasal 24 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok – Pokok
Perbankan menyatakan dengan jelas bahwa “Bank Umum dilarang memberikan kredit
kepada siapapun juga tanpa jaminan yang cukup”.7Demikian pula sebagaimana dalam
pasal 8 Undang – Undang Perbankan disebutkan bahwa “Dalam memberikan kredit,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisa mendalam atas
kesanggupan dan kemampuan debitur untuk mengembalikan pinjaman sesuai dengan
perjanjian”.8 Dalam hal ini jaminan yang diserahkan oleh peminjam kepada Bank
merupakan salah satu alat yang ampuh untuk menjamin pengembalian pinjaman sesuai
dengan kesepakatan yang sudah disepakati diawal. Pihak Bank sebagai Kreditur selalu
berpedoman pada asa Commanditerings Verbood yang artinya bahwa Bank tidak mau
menanggung resiko usaha debitur kredit yang diberikan.9
Jaminan yang tercantum didalam perjanjian kredit merupakan salah satu unsur
yang penting didalam perbankan memberikan kredit dimana dalam penyaluran kredit.
Pada proses persetujuan pemberian kredit bank harus memperhatikan asas kehati-hatian

6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
7
Pasal 24 Undang – Undang nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok – Pokok Perbankan
8
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
9
Kopong Paron Pius, Hukum Perbankan, (Program Pasca sarjana Universitas Jember, 2011), hal. 33

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bank atau juga disebut Prudential Banking. Prudential Banking tercemin dalam 5 C yaitu
Caracter, Capacity, Capital, Collateral, & Condition of economi.
Dari kelima aspek penilaian tersebutdiatas Kita membahas terkait Collateral atau
jaminan tambahan daripada calon debitur atau debitur yang meminjam dana dalam
bentuk kredit dari Bank. Pengajuan kredit dengan jaminan benda bergerak maka diikat
dengan jaminan fidusia, kedudukan bank adalah sebagai kreditur yang dalam fidusia
sebagai penerima fidusia. Lembaga keuangan (Bank) yang didalam melaksanakan
usahanya berkeinginan agar hak-haknya dapat dilindungi, karena resikonya demikian
besar dan umumnya kredit yang diberikan adalah untuk pembelian suatu benda, dimana
benda tersebut tetap dikuasai debitur, maka lembaga keuangan tersebut untuk
menghindari resikodengan memilik lembaga jaminanfidusia.10
Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan kebendaan.11 Dengan adanya Jaminan
Fidusia maka terjadi peralihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan jaminan
dari Pemberi Fidusia (debitur) kepada Penerima Fidusia (kreditur) tanpa ada perpindahan
atas pengusaan secara fisik benda tersebut (constitutum posesorium) sehingga pemilik
masih dapat menguasai benda tersebut hanya saja kepemilikannya secara sementara
beralih kepada kreditur hingga debitur menyelesaikan kewajiban hutangnya. Dengan
demikian debitur masih tetap dapat memanfaatkan bendanya untuk kebutuhan sehari-hari
atau kebutuhan usahanya, sehingga jaminan tidak mematikan produktifitas debitur.
Kekuatan eksekutorial dalam Sertifikat Jaminan Fidusia mengalami perubahan
makna setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menguji konstitusionalitas
Pasal 15 ayat (2)dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (selanjutnya disebut UU No. 42 Tahun 1999), yang diajukan oleh Aprilliani Dewi
dan Suri Agung Prabowo (selanjutnya disebut Pe-mohon).12Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut MK) memutuskan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “yang
sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional apabila
tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji

10
Agus Subandriyo., Aspek Hukum Lembaga Jaminan Fidusia Terhadap Lembaga Keuangan, (Tanpa
Penerbit dan Tahun) , h.1
11
Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun 1999
12
Adhi Wicaksono, ‘Putusan MK: Penarikan Barang Leasing Harus Melalui Pengadilan’ CNN Indonesia
(Jakarta, 13 Januari 2020) <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200113 112552-12-464820/putusan-mk-
penarikan-barang-leasing-harus-melalui-pengadilan>

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara suka-rela objek yang menjadi
jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan
eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Begitu
pula frasa “cidera janji” dinilai inkonstitusional apabila tidak dimaknai bahwa “adanya
cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor melainkan atas dasar
kesepakatan antara kreditor dengan debitor atau atas dasar upaya hukum yang
menentukan telah terjadinya cidera janji”.13
Hal-hal yang melatar belakangi permohonan judicial review adalah Pemohon I
dan Pemohon II (selanjutnya disebut para Pemohon) merupakan perorangan warga
negara Indonesia yang secara konstitusional dijamin haknya untuk mendapatkan
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
sebagaimana ketentuan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut Pasal 28 G ayat (1)
UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakuan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Didalam kedudukan hukum (legal stading) para pemohon menjelaskan terkait
kedudukannya dalam dalam perkara ini yaitu Pemohon I merupakan Pemberi Fidusia
dalam Sertifikat Jaminan Fidusia (Pemberi Fidusia) Nomor W11.01617952.AH.05.01
yang mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia
yangdilakukan oleh Penerima Fidusia. Pemohon II merupakan suami dari Pemohon I
yang secara faktual terlibat aktif dalam pembayaran cicilan atau kredit mobil yang
menjadi objek jaminan fidusia, sehingga ketika Penerima Fidusia melakukan tindakan
penarikan objek jaminan fidusia maka Pemohon II, baik secara langsung maupun tidak
langsung mengalami kerugian yang sama sebagaimana dialami Pemohon I. Dengan
berlakunya pasal a quo yang dimohonkan para Pemohon,senyatanya telah merugikan hak
konstitusional para Pemohon. Kekuasaan yang berlebihan dan tanpa kontrol mekanisme
hukum yang sewajarnya,dengan menyetarakan kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia

13
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, telah mengakibatkan tindakan


sewenang-wenang Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan
fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta tanpa melalui prosedur
hukum yang benar, Bahwa tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Penerima Fidusia
dilakukan dengan cara menyewa jasa debt collector, untuk mengambil alih barang yang
dikuasai Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Ada beberapa momentum
tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan,
dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan
membunuh Para Pemohon. Atas tindakannya itu, terdapat Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan
Penerima Fidusia sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu, Penerima Fidusia bahkan telah diberikan sanksi untuk membayar denda
baik Materiil maupun Immateriil. Adapun Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel menyatakan sebagai berikut:

Dalam Gugatan Konvensi:

o Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),T3 (M.
Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untukseluruhnya;
o Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON I;
3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;
4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp.
200.000.000,-;
5. Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi
putusan ini;
Akan tetapi dalam pelaksanaannya meskipun telah ada Putusan Pengadilan terkait
perselisihan antara Pemberi dan Penerima Fidusia tersebut di atas, Penerima Fidusia tetap

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminan Fidusia pada
tanggal 11 Januari 2019, dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah
berkekuatan hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal yang sedang
dimohonkan a quo. Berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang dialami para
Pemohon bersifat spesifik dan aktual. Jika ketentuan pasal a quo tidak ada atau paling
tidak, dapat dimaknai seperti permohonan a quo maka kerugian konstitusional para
Pemohon tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon menilai perlindungan hak
milik pribadi, kehormatan, harkat, dan martabat yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar 1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 42/1999 yang memberikan kesempatan kepada penerima fidusia
untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau paling tidak menafsirkan pasal a quo
sehingga bertindak sewenang-wenang dengan menindas harkat dan martabat serta
kehormatan Para Pemohon, sehingga secara mutatis mutandis kerugian konstitusional
yang dialami para Pemohon bersifat spesifik dan aktual sekaligus kerugian yang dialami
para Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causalitas) dengan berlakunya ketentuan
pasal yang sedang dimohonkan pengujian a quo.
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang a quo, pada prinsipnya
memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap Penerima Fidusia
(Kreditur) dalam memberikan kredit terhadap Pemberi Fidusia (Debitur). jaminan dan
perlindungan kepastian hukum itu, terlihat secara tegas dalam konsideran menimbang
yang merupakan landasan dibentuknya Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dimana
Undang-undang ini lahir atas kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana. Oleh karena itu diperlukan jaminan Fidusia sebagai lembaga
jaminan agar mampu memacu pembangunan nasional pada saat krisis ekonomi sedang
melanda. Agar juga memberikan jaminan kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak berkepentingan. Bahwa bentuk jaminan dan
perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit tersebut, ditunjukkan dengan
pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan menyamakan kekuatan
eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap vide Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Oleh
karena itu, dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” layaknya sebuah putusan


pengadilan vide Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang a quo, prinsip utama lembaga fidusia ini
adalah memberikan kepastian hukum untuk serta mertadapat melakukan eksekusi
terhadap objek fidusia. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo, telah memberikan
penguatan hak kepada Penerima Fidusia (Kreditur) untuk menjual benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri, dalam hal debitur cidera janji.
Pengaturan dalam pasal a quo, hanya berfokus untuk memberikan kepastian
hukum atas hak Penerima Fidusia (Kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi
Objek Fidusia secara serta merta. Oleh karena itulah, ketentuan ini menemukan
kelemahannya khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang
justru dapat melanggar hak-hak Pemberi Fidusia (Debitur). Bahwa ketentuan pasal a quo,
justru luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang
sama dihadapan hukum,serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia
(Debitur). Akibatnya, pengaturan ini luput untuk menjelaskan tentang kedudukan
Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme dan
prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera
janji debitur.
Dengan putusan tersebut, Sertifikat Jaminan Fidusia ada beberapa yang
menafsirkan bahwa dapat menghilangkan kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila tidak memenuhi
syarat pertama, terdapat kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), dan kedua,
debitor secara sukarela menyerahkan objek jaminan.14 MK berpendapat bahwa, pertama,
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak mencerminkan adanya
pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.15Kedua,
substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak
memberikan kepastian hukum tentang kapan cidera janji itu dianggap telah terjadi dan
siapa yang berhak menentukan.

14
Y. Sogar Simamora, Prinsip Eksekutabilitas Atas Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK (Seminar
Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Surabaya, Februari 2020).
15
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum lahirnya putusan MK tersebut bahwa


bukti daripada pemegang jaminan fidusia Bank dalam hal ini sebagai kreditur
mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan sertifikat tersebut kreditur memiliki hak
menjual atas jaminan tersebut bilamana debitur melakukan wanprestasi atau cidra janji.
Tidakan penjualan jaminan tersebut dapat dilakukan karena Sertifikat Jaminan Fidusia
memiliki Kekuatan Eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetapi sebagaimana adanya pencantuman irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada sertifikat
jaminan fidusia. Akan tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019 banyak sekali perdebatan serta multitafsir terkait kepastian hukum
atas eksekusi jaminan fidusia bilamana debitur melakukan wanprestasi / ingkar janji.
Karena tiadanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28 D ayat (1),
oleh karena terciptanya kedudukan yang lebih berat pada satu pihak dimana kreditur
harus membawa perkara ini ke pengadilan, sementara debitur tidak harus membawa
perkara ini ke pengadilan. Bertentangan dengan prinsip negara hukum karena memberi
celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang sehingga memberikan ruang
bagi terjadinya kejahatan. Melanggar hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
karena menambahkan "sukarela terhadap eksekusi", padahal sukarela ada karena ketika
kontrak ditandangani dimana debitur setuju membayar sesuai jangka waktu yang
ditentukan. Ketimpangan hak yang menjadi berat ke debitur oleh karena sekalipun
diperjanjian dituliskan syarat wanprestasi, debitur tetap bisa mengelak dengan
mengatakan tiada syarat wanprestasi sehingga harus dibuktikan kepengadilan. Akibatnya,
kreditur yang beritikad baik sesuai prosedur tetap saja terjegal dan tidak mendapatkan
perlindungan hukum yang adil. “Sukarela saat eksekusi" bertentangan dengan prinsip
negara hukum yang harusnya menjamin aturan yg mencegah terjadinya potensi
kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur harus minta restrukturisasi bukannya
justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.

B. KEBAHARUAN PENELITIAN
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa
hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

suatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan


perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman
yang mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang
memerlukan, sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu
melakukan peminjaman uang tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa pihak
peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna
pembiayaan usahanya.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi dimasyarakat
dapat diperhatikan bahwa pada umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan
jaminan oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan dapat berupa
barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji
penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan
memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan. Kewajiban untuk menyerahkan
jaminanan utang oleh pihak peminjanjam dalam rangka peminjaman uang sangat terkai
dengan kesepakatan diantara pihak-pihak yang memerlukan pinjam meminjam uang.
Sedangkan kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah membahan terkait
Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019 dan NOMOR 2/PUU-XIX/2021 yaitu membahas dan mengkaji
terkait jaminan kebendaan yang diserahkan kepada pihak pemberi pinjaman tidak semua
benda tidak bergerak akan tetapi juga dapat berupa benda tidak bergerak yang
pengikatannya berupa fidusia. Kembali pada tujuan utama daripada penyerahkan
jaminan adalah untuk mengikat secara emosional dan jaminan pengembalian atau
pelunasan pinjaman bilamana terjadi perselisihan. Dalam penelitian ini tidak hanya
meneliti terkait implementasi dan kepastia hukum terkait jaminan kebendaan akan tetapi
memberikan solusi terkait peberima fidusia agar tetap mendapatkan jaminan untuk
pelunasan pinjaman yang telah ia keluarkan.

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
menyusun rumusan masalah untuk dapat dikaji lebih jelas, rinci, dan terarah dalam
pembahasannya. Adapun rumusan masalah yang dapat disusun dalam tesis ini antara
lain:
1. Apakah Putusan MK nomor 18/PUU- XVII/2019 dan NOMOR 2/PUU-
XIX/2021 sudah menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan?
2. Bagaimanakah upaya hukum bagi penerima fidusia agar tetap mendapat
jaminan atas kebendaan yang sudah dijaminkan bilamana debitur wanprestasi ?
D. TUJUAN PENELITIAN
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan
bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menganalisa kepastian hukum yang berkeadilan dari eksekusi
jaminan fidusia berdasarkan putusan MK Nomor 18/PUU- XVII/2019 dan
Nomor 2/PUU-XIX/2021
2. Mengentahui dan menganalisa upaya hukum bagi penerima fidusia agar tetap
mendapatkan jaminan atas kebendaan bilamana debitur wanprestasi

E. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagamana berikut :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya dalam bidang study
konsentrasi hukum bisnis serta menambah khasanah perpustakaan.
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan hukum mengenai solusi hukum bagi penerima fidusia agar
tetap mendapat jaminan atas kebendaan yang sudah dijaminkan bilamana
debitur wanprestasi pasca putusan MK Nomor 18/PUU- XVII/2019 terhadap
kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.

12

Anda mungkin juga menyukai