Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sektor perbankan sampai sekarang menempati posisi yang strategis

dalam menunjang perekonomian nasional. Di Indonesia perkembangan

perbankan saat ini tumbuh semakin pesat. Dalam perkembangan peran bank

sebagai salah satu lembaga keuangan sangat besar dalam membantu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semua sektor bank

seperti: industri, perdagangan, perkebunan, pertanian, jasa dan yang lainnya

sangat membutuhkan bank sebagai mitra dalam mengembangkan usahanya.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,

bank dapat diartikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup masyarakat.

Sektor perbankan itu sendiri memiliki peran yang sangat penting,

antara lain, bertujuan untuk membantu mendorong pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan

pembangunan dan hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional,

dapat meningkatkan kearah taraf hidup orang banyak. Kelancaran dari uang

sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Oleh karena itu,

maka harus diperlukannya kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat.
Hukum perbankan adalah suatu aturan atau peraturan hukum yang

mengatur kegiatan operasional bank serta transaksi keuangan yang dilakukan

oleh bank, seperti pengambilan dan penyimpanan uang, pemberian kredit,

pengelolaan dana dan lain sebagainya. Hukum perbankan bertujuan untuk

menjamin keamanan dan ketertiban kegiatan perbankan serta melindungi hak

dan kepentingan nasabah. Dalam pelaksanaannya, hukum perbankan

mencakup peraturan perundang-undangan yang berlaku, prinsip-prinsip

hukum umum serta aturan yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas

perbankan. Hal ini juga mencakup tata cara penyelesaian sengketa dalam

hubungan antara bank dengan nasabah maupun antar bank itu sendiri.1

Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga

intermediasi dan penunjang sistem perbankan merupakan faktor yang sangat

menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu,

maka dibutuhkannya suatu penyempurnaan untuk sistem perbankan nasional

yang tidak hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual tetapi

juga penyehatan sistem secara keseluruhan. Upaya penyehatan perbankan

nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, bank itu sendiri

dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama

tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional,

sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pembangunan memerlukan dana yang tidak

1
Annisan Medina Sari, apa itu hukum perbankan, https://fahum .umsu.ac.id/apa-itu-hukum-
perbankan, diakses pada tanggal 13 Juni 2023 pukul 14;43 WIB
sedikit dan berkesinambungan. Dalam hal ini pengerahan dana masyarakat

tidak dapat dikesampingkan peranan lembaga perbankan.

Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan

masyarakat, memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam

pembangunan nasional. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat

(financial intermediary), bank menjadi perantara pihak-pihak yang memiliki

kelebihan dana (surflus of founds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan

memerlukan dana (lack of founds).2 Di Indonesia lembaga perbankan

mempunyai tujuan dan fungsi sebagai agen pembangunan nasional dalam

rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas

nasional ke arah peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat.

Sebagai agen dari pembangunan, bank diharapkan dapat memberikan

kontribusi pada usaha meningkat tabungan nasional. Menumbuhkan kegiatan-

kegiatan usaha dan meningkatkan alokasi sumber-sumber perekonomian.3

Pasal 1 angka 11 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan

memberikan penafsiran kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.4

Kredit macet adalah kondisi dimana debitur baik itu perorangan

maupun organisasi tidak mampu membayar utang atau cicilan pinjaman.


2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung, 2000 hal 67
3
Heru Soepratomo, Analisis ekonomi terhadap hukum perbankan, 10-11 Desember1996 hal 1
4
Lihat penjelasan Undang-Undang perbankan
Perencanaan keuangan yang kurang baik maupun penggunaan pinjaman tidak

pada tempatnya menjadi beberapa penyebab kredit macet. Apabila tidak

segera diselesaikan, skor kredit akan menumpuk dan berdampak pada riwayat

kredit yang buruk. Hal ini tentu akan memiliki serentetan efek negatif lainnya

seperti sulit mendapat bantuan finansial di masa depan. Kredit macet adalah

hal yang ingin dihindari mayoritas orang. Berikut beberapa penyebab ketidak

mampuan melunasi utang secara umum:

1. Utang Digunakan untuk Keperluan Konsumtif

Membeli barang atau jasa guna menaikkan status atau gaya hidup

bukanlah hal bijak dalam menggunakan dana pinjaman yang telah

diterima. Umumnya, kredit macet adalah kejadian yang dialami

seseorang karena alasan berikut.

Cara untuk menghindarinya, ingat bahwa menggunakan kredit

semestinya dialokasikan pada keperluan-keperluan finansial yang bersifat

produktif seperti investasi atau membangun usaha.

2. Kurang Baik dalam Pengaturan Keuangan

Mengajukan bantuan finansial mengharuskan adanya pemahaman

pribadi estimasi total nominal yang dibutuhkan dan kemampuan

melunasinya. Sebagai contoh, untuk membangun usaha, anda

memerlukan 80 juta. Oleh karenanya, usahakan untuk meminjam tidak

jauh lebih dari jumlah tersebut. Dikhawatirkan terjadinya pinjaman

dengan batas nilai pembiayaan yang terlalu tinggi sebab apabila situasi

ekonomi menjadi tidak stabil dan pemasukan terganggu, pelunasan


pembayaran utang akan terlambat. Ingat bahwa lembaga keuangan selalu

mengecek kapabilitas calon debiturnya dalam melunasi pinjaman.

Meskipun dalam kurun waktu tersebut anda mengajukan kemampuan,

kredit macet adalah hal yang bisa terjadi kepada siapa saja sebab kurang

optimalnya perencanaan keuangan sekaligus tidak terkendalinya faktor-

faktor eksternal. Maka dari itu, mengelola keuangan dengan baik adalah

kunci menghindari kredit macet dan dampak-dampak tidak baik yang

dimilikinya.

Ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang perbankan mengemukakan bahwa perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian. Hal ini menunjukan bahwa prinsip

kehati-hatian adalah salah satu prinsip terpenting yang wajib diterapkan

atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahnya.

Penerapan prinsip kehati-hatian dalam seluruh kegiatan perbankan

merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan

bahwa sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang

seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan

dari bank itu sendiri tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga

perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan

mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang

baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan


jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan

lengkap, semuanya itu bersetujuan agar kredit yang disalurkan tersebut

dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang meliputi

pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank

kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada

bank tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit maka kualitas kredit

digolongkan menjadi Non Performing Loan (NPL).5 Maka dari itu bank

untuk memberikan kredit kepada seorang nasabah harus menerapkan

prinsip kehati-hatian yaitu 5 c yakni character, collateral, capacity,

capital dan condition of economic. Dan apabila bank tersebut tidak

menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap nasabah maka akan terjadi

yaitu kredit macet. PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk mencatatkan

rasio kredit bermasalah yang terus meningkat sepanjang 4 tahun terakhir.

Rasio kredit bermasalah paling tinggi terjadi pada semester I/2019

tercatat sebesar 2,52 persen. Sebelumnya pada semester I/ 2018 dan

semester I/2017, rasio NPL BRI masing-masing adalah 2,41 persen dan

2, 34 persen. Artinya, sepanjang empat tahu terakhir, NPL BRI terus

mengalami kenaikan. Secara tahunan, rasio NPL perseroan pada 2017

adalah 2,24 persen, 2018 sebesar 2,28 persen, dan 2019 sebesar 2,80

persen.

Berdasarkan data uraian diatas maka penulis ingin memahami dan

mendalami masalah mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dari

latar belakang yang sudah di uraikan sebelumnya, penulis akan


5
Ismail, Manajemen Perbankan, Jakarta, Kencana 2010 Hlm 123
melakukan penelitian mengenai : “PELAKSANAAN PRINSIP

KEHATI-HATIAN TERHADAP PENGELUARAN KREDIT PT

BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) Tbk KANTOR CABANG

TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN”.

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan prinsip kehati-hatian perbankan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perbankan.

2. Untuk mengetahui tentang cara pelaksanaan prinsip kehati-hatian

perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

C. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaturan prinsip kehati-hatian dalam sistem perbankan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perbankan?

2. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pengeluaran kredit

di bank BRI berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ?

D. Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat kita ambil dalam penelitian ini adalah kita bisa

mengetahui tentang hukum perbankan di Indonesia dan prosedur yang haru

kita lalui untuk mengajukan sebuah kredit dan juga tahu tentang prinsip yang

dilaksanakan untuk meminjam kredit ke bank.


E. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu perhubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang

satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, berkewajiban

untuk memenuhi tuntutan itu.

Menurut pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian sendiri

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih megikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari perumusan pasal tersebut

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal

tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan

(verbintenissheppende overeenkomst) atau perjanjian yang abligator.6

Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan

kedua belah pihak, atau karena alasan-alassan yang ditentukan dengan

itikad baik”.

Itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan

ukuran obejektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya

pelaksanaan perjanjian harus berjalan diatas rel yang benar, yaitu harus

mengidandahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan. Perjanjian itu

mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjnajian yang telah

dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh


6
Ibid., hlm. 11
diatur atau dibatalkan secara sepihak.

Menurut subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

orang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saking

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah

suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamkan perikatan.

Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjajian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang ducapkan

atau ditulis.7

Menurut Abdul Kadir Muhammad definisi perjanjian dalam pasal

1313 kurang lengkap dan memiliki beberapa kelemahan antara lain :

a. Rumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena

kata mengikatkan hanya dating dari salah satu pihak

b. Definisi tersebut terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan

diri terbatas dalam lapangan hukum harta kekayaan, sehingga dapat

pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum

keluarga.

c. Tanpa menyebut tujuan, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak

mengikatkan diri. Sehingga dari kekurangan-kekurangan tersebut,

beliau melengkapi definisi perjanjian adalah sesuatu persetujuan

dengan mana dua orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan.8


7
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cetakan 20, Intermasa, Jakarta, hlm 1
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung, PT Citra Aditya Bakt, 2008,
Hlm 20-21
2. Tinjauan Umum tentang Prinsip Kehati-hatian

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menetapkan,

bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk

mempertegas makna asas demokrasi ini, penjelasasn umum dan

penjelasan pasal 2 berbunyi : “Yang dimaksud dengan demokrasi

ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan”.9

Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pembangunan memerlukan

dana yang tidak sedikit dan berkesinambungan. Dalam hal pengerahan

dana, masyarakat tidak dapat mengesampingkan peranan lembaga

perbankan. Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan

masyarakat memiliki peran dan posisi sangat strategis dalam

pembangunan nasional. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat

(financial intermediary), Bank menjadi media perantara pihak-pihak

yang memiliki kelebihan dana (surflus of funds) dengan pihak-pihak yang

kekurangan atau memerlukan dana (lacks of funds). Negara di Indonesia,

lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan

(agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang

9
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Perbankan Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2016
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekononomi dan stabilitas nasional kearah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.10

Prinsip kehatia-hatian (prudent banking principle) adalah suatu

asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan

fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka

melindungi dana masyarakat yang dipercaya padanya.11 Hal ini

disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa

perbankan Indonesia dalam menjalankan usahnya berasaskan usaha

demokrasi ekonomi menggunakan prinsip kehati-hatian. Penerapan

prinsip kehati-hatian yang digunakan dalam pemberian kredit yaitu

analisis prinsip 5 c yaitu penilaian watak (character), penilaian

kemampuan (capacity), penilaian modal (capital) penilaian agunan

(collateral) dan penilaian terhadap prospek usaha debitur (condition of

economy). Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu

dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan memenuhi

ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.

Prinsip kehati-hatian tertera dalam pasal 2 dan pasal 29 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998.

Bentuk-bentuk tanggung jawab perbankan :

1. Tanggung jawab prudential (bank harus sehat);


2. Tanggung jawab komersial (ban harus untung);
3. Tanggung jawab finansial (bank harus transparan);dan
10
Ibid
11
Rachamdi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka,
2001, hal 18
4. Tanggung jawab sosial (kemampuan mengakomodasi
harapan stake holders secara adil.12

Bank merupakan salah satu financial intermediary, sebagai

lembaga perantara keuangan, ban memiliki fungsi menghimpun dana

dari pihak yang memiliki kelebihan dana (suflus of funds) dan

menyalurkan kepada pihak yang memerlukan dana (lacks of funds).

Dalam hal penghimpunan dana masyarakat, kepercayaan masyarakat

untuk menyimpan dananya pada bank merupakan modal utama bank.

Jika dilihat dari prosebtase dana yang dikelola oleh bank, dana titipian

masyarakat pada bank memiliki prosentasi yang sangat besar, yaitu

sekitar 60-70% disbanding modal dari bank itu sendiri yang berkisar 30-

40%. Melihat besarnya dana yang dikelola oleh bank, betapa bank sangat

memerlukan dana masyarakat untuk bisa beroperasinya dengan

semestinya.13

3. Kajian Umum tentang Kredit

Pada masa Undang-Undang perbankan no 7 tahun 1967, dikenal

banyak lembaga yang melakukan kegiatan usaha perkreditan, seperti

bank pasar, lumbung desa, dan sebagainya. Lembaga seperti ini tumbuh

dan berkmebang dari lingkungan masyarkat Indonesia. Lembaga-

lembaga tersebut mempunyai dua berupa lembaga usaha keuangan

sederhana legal dengan administrasi yang jelas. Berubahnya perubahan

12
Yoyo Sudaryo, Investasi Bank dan Lembaga Keuangan, CV. ANDI OFFSET, Yogyakarta,
2017, halm 37
13
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama,
2016, hal 17-18
perbankan yang ada membawa korsekuensi terhadap lembaga-lembaga

perkreditan tersebut.14.

Berdasarkan -Undang Nomor 10 Tahun 1998, kredit bank adalah

“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersanmakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemerian bunga”. Prinsip-

prinsip kredit bank yaitu prinsip kepercayaan, prinsip kehati-hatian

prinsip 5-C, prinsip 5-P dan prinsip 3-R.

1. Prinsip kepercayaan bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya

untuk memenuhi perikatannya. Sesuai dengan asal kata kredit yang

berarti kepercayaan maka setiap pemberian sebenarnya mestilah

diikuti oleh kepercayaaan yakni kepercayaan dari kreditur akan

bermanfaatnya kredit bagi debitur

Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh kreditur

mestilah melihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria

yang biasanya diberlakukan terhadap suatu kredit sehingga timbul

prinsip lain yaitu prinsip kehati-hatian.

2. Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi

dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Di samping

itu, juga sebagai perwujudan dan prinsip prudent banking dari

seluruh kegiatan perbankan. Untuk mewujudkan prinsip ini dalam


14
Ibid
pemberian kredit, berbagai usaha pengawasan dilakukan, baik

pengawasan internal maupun eksternal. Untuk itu Bank Indonesia

(BI) mengeluarkan berbagai ketentuan antara lain, mengenai bartas

maksimum pemberian kredit (legal-lending limit).

3. Prinsip 5-C dikenal di dunia perbankan sebagai singkatan dari

unsur-unsur character, capacity, capital, condition, of economy

dan collateral. Character adalah watak /kepribadian/ perilaku/

calon/ debitur yang harus menjadi perhatian bank sebelum

perjanjian kredit ditandatangani. Capacity merupakan kemampuan

calon debitur sehingga di prediksi kemampuannya untuk melunasi

utangnya. Capital adalah permodalan dari suatu debitur yang harus

diketahui oleh seorang calon kreditur karena kemampuan

permodalan dan keuntungan dari debitur mempunyai korelasi

langsung dengan tingkat kemampuan membayar kredit. Condition

of economy, yaitu suatu kondisi perekonomian, baik secara mikro

maupun makro harus dianalisis sebelum kredit diberikan, terutama

yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur, misalnya

suatu bisnis yang sangat dipengaruhi oleh policy pemerintah

berkaitan dengan proteksiataupun hak monopoli yang diberikan

oleh pemerintah. Collateral atau agunan merupakan the last resort

bagi kreditur, tetapi tidak diragukan lagi betapa penting fungsi

agunan dalam setiap pemberian kredit. Agunan akan direalisasi

atau dieksekusi jika suatu kredit benar benar dalam keadaan macet.
4. Prinsip 5-P yaitu prinsip party atau para pihak. Purpose, yaitu

tujuan dari pemberian kredit harus dilihat apakah kredit akan

digunakan untuk hal-hal positif yang dapat menaikkan income

perusahaan. Payment atau pembayaran, masalah pembayaran kredit

yang sudah diberikan dalam keadaan lancar merupakan hal yang

sangat diharapkan bank. Protibality, yaitu penilaian terhadap

kemampuan calon debitur untuk memperoleh keuntungan dan

usahanya. Protection atau perlindungan, yaitu perlindungan dari

kelompok perusahaan atau jaminan dari holding atau jaminan

pribadi dari pemilik perusahaan merupakan hal yang penting untuk

diperhatikan.

5. Prinsip 3-R returns yaitu hasil yang akan diperoleh oleh debitur.

Repayment, yaitu kemampuan bayar dari pihak debitur. Risk

bearing ability atau kemampuan menanggung resiko terhadap hal-

hal di luar antisipasi kedua belah pihak.

F. Metode Penelitian

Berdasarkan objek kajian yang diteliti, dalam penelitian ini

menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu dengan menggambarkan

prinsip kehati-hatian di Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang digambarkan

sedemikian rupa, kemudian dianalisis terhadap penyaluran kredit untuk

memberikan kebebasan kepada para pihak yang akan mengadakan perjanjian.


1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis normatif

yang menempatkan Hukum sebagai norma atau kaidah sebagai pedoman

berperilaku manusia dalam hal ini hukum dimaksud berupa Undang-

undang Nomor 10 Tahun 1998.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terutama data sekunder

yang berupa dokumen-dokumen selain itu juga diperlukan data Primer

untuk mendukung data sekunder. Data primer di ambil dari responden di

bagian perkreditan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan tehnik

wawancara.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh melalui

penelitian lapangan, yaitu melakukan wawancara langsung dengan

pihak bagian kredit komersial PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) KC

Tasikmalaya yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian

bank dalam pemberian kredit.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang tidak langsung melainkan

diperoleh melalui studi kepustakaan dan peraturan (bahan hukum)

yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.


3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara.

Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan

secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.15 Wawancara merupakan

suatu proses interaksi dan komunikasi, pewawancara menyampaikan

pertanyaan-pertanyaan kepada yang diwawancara untuk dijawab,

menggali jawaban lebih dalam dan mencatat jawaban yang

diwawancarai.16 Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait

dengan permasalahan yang diangkat dengan mempersiapkan daftar

pertanyaan terlebih dahulu agar wawancara tetap terfokus pada

permasalahan yang akan diteliti dan memperoleh hasil yang dapat

dipertanggung jawabkan.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan

yang berupa teori-teori, pandangan dari para ahli dibidangnya,

penelaahan hukum yang ada, serta data-data yang diperoleh dari sumber

internet. Bahan-bahan hukum yang biasanya hanya tersedia di berbagai

ruang perpustakaan, sekarang sudah dapat diakses secara mudah melalui

internet.17

Metode wawancara yang digunakan adalah Wawancara

(interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face-to-

face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-

15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.Asdi Mahasatya, 2001, hlm 95
16
Ronny H.S, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia, 1990, , hlm 57
17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media
Publishing, 2006, hlm 323
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Dalam

mengumpulkan data penulis menggunakan metode wawancara semi

terstruktur yaitu dengan membuat daftar pertanyaan pokok dan

pertanyaan lanjutan disusun sesuai dengan perkembangan wawancara.

a) Bahan Hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat yang mencakup perundang-undangan yang berlaku

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Adapun

peraturan yang digunakan adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan;

5. Peraturan Bank Indonesia

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer yang meliputi:

1. Buku-buku/literatur yang erat kaitannya dengan masalah yang

akan diteliti;
2. Dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan permasalahan

yang akan diteliti;

3. Berbagai website yang berkaitan dengan Kredit Perbankan.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun kejelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

contohnya adalah kamus dan ensiklopedia. Data sekunder tersebut

merupakan landasan teori dalam mengadakan analisa data serta

pembahasan masalah.

4. Analisis Data

Data yang telah diperoleh, baik dari penelitian lapangan maupun

penelitian kepustakaan akan dianalisis dengan menggunakan metode

kualitatif dan metode deskriptif.

a) Metode Kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan

dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan

menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan

teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh

jawaban atas permasalahan yang diajukan.

b) Metode Deskriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang

menggambarkan keadaan sebenarnya dilapangan. Dalam analisis ini

menggunakan cara berfikir induktif yaitu menyimpulkan hasil

penelitian dari hal yang sifatnya khusus ke hal yang bersifat

kualitatif.

5. Tahapan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti akan menekankan

kepada Data kepustakaan yaitu suatu tehnik pengumpulan data melalui

studi kepustakaan dengan cara mempelajari beberapa literatur seperti

buku-buku, peraturan perundang-undangan, serta data lainnya yang ada

hubungannya dengan penelitian.

6. Lokasi Penelitian

Dalam Penelitian ini penulis melakukan penelitian di Bank

Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Tasikmalaya.


BAB II
PERJANJIAN KREDIT DAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA
SISTEM PERBANKAN DI INDONESIA

A. Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian: “suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.18

Pengertian perjanjian menurut para ahli antara lain yaitu :

1) Sudikno Mertokusumo

Perjanjian yaitu perbuatan berdasar kesepakatan dimana seorang

atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan akibat

hukum. Definisi tersebut menunjukkan adanya asas

konsensualisme, asas kepercayaan, dan asas keseimbangan. Bahwa

atas dasar kesepakatan dan kepercayaan, kedua pihak saling

mengikatkan dirinya dalam perjanjian sehingga ada perjanjian dan

keseimbangan hukum diantara keduanya.19

2) M. Yahya Harahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua

orang atau lebih yang memberikan kekuatan hukum kepada suatu

pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada

pihak lain untuk melaksanakan prestasi.20

18
Ahmadi Miru, Hukum Perikatan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal 63
19
Sudikno Mertokusumo, Mengenai hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 97

20
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, PT Alumni, Bandung, 1982, Hal 03
3) R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji

melaksanakan suatu hal.21

4) Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta

benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau

dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menurut

pelaksanaan janji itu22

2. Macam-macam perjanjian

a. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh

salah satu pihak saja, akan tetapi berakibat kepada dua pihak, yaitu

pihak yang memiliki kreditur dan pihak debitur.

Contoh Perjanjian sepihak adalah hibah yang diatur dalam pasal

1666 KUHPerdata dan pasal lainnya yaitu dalam Pasal 875

KUHPerdata.

b. Perjanjian Cuma-Cuma dan atas Beban

Kedua jenis perjanjian ini diatur dalam Pasal 1314 KUHPerdata

Yang menyebutkan bahwa : “ suatu persetujuan adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu

21
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 1984, hlm. 1
22
Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 7
keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat

bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu

persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Dapat dikatakan bahwa perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian

yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak. Misalnya

ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata tentang hibah dan Pasal 875

KUHPerdata tentang testament, yang isinya telah disebutkan di

muka.23

c. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Perjanjian ini dapat dibaca dalam Pasal 1319 KUHPerdata bahwa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, terdapat dua

macam perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang

diberikan suatu nama khusus yang dapat disebut sebagai perjanjian

bernama (benoemde)dan ada juga perjanjian yang dalam undang-

undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, yang dapat

disebut sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde).Perjanjian

bernama adalah perjanjian-perjanjian yang dikenal dengan nama

tertentu dan mempunyai pengaturan secara khusus dalam undang-

undang. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian

yang tidak diberi nama dan pengaturan secara khusus dalam

undang-undang.

d. Perjanjian Konselsual dan Riil


23
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 50
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua

pihak atau lebih, dimana apabila mereka telah mencapai

persetujuan kehendak untuk mengadakan perikatan. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata perjanjian tersebut sudah

mempunyai kekuatan mengikat bagaikan undang-undang bagi

mereka. Perjanjian rill contoh misalnya perjanjian penitipan barang

yang diatur dalam Pasal 1694 KUHPerdata dan contoh lainnya

yaitu perjanjian pinjam pakai yang diatur dalam Pasal 1740

KUHPerdata. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perjanjian

rill adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana

keterikatan mereka ditentukan bukan karena consensus

(kesepakatan), akan tetapi terjadi setelah dilakukan penyerahan

(perbuatan rill) atas barang yang dijannjikan tersebut. Perjanjian ini

merupakan suatu perjanjian yang mengingkari asas konsesnsus.24

e. Perjanjian Obligator dan Kebendaan

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang hanya menyoalkan

kesepakatan para pihak untuk melakukan penyerahan suatu benda

kepada pihak lain. Hal ini dianut oleh sistem dalam KUHPerdata.

Misalnya, dalam jual beli, meskipun telah tercapai consensus antara

penjual dengan pembeli tentang barang dan harga (uang), belumlah

mengakibatkan beralihnya hak milik atas bend aitu dari tangan

penjual ke tangan pembeli. Maka dari itu, diperlukan perjanjian

24
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 52
kebendaan. Perjanjian kebendaan kebendaan yaitu suatu perjanjian

dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda

kepada pihak lain, atau suatu perjanjian yang membedakan

kewajiban pihak, untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak

lain. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

f. Perjanjian Formal

Perjanjian ini adalah suatu perjanjian yang tidak hanya harus

memenuhi asas konsesnsus, tetapi juga harus dituangkan dalam

suatu bentuk tertentu atau harus disertai dengan formalitas tertentu.

Contohnya perjanjian kuasa pembebanan hak tanggungan.

Perjanjian ini harus dibuat dalam bentuk autentik yang dibuat

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris.25

g. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian Liberatoir atau perjanjian yang menghapuskan perikatan

adalah perjanjian antara dua pihak yang isinya adalah untuk

menghapuskan perikatan yang ada antara mereka. Contohnya

disebutkan dalam Pasal 1438 KUHPerdata dan contoh lainnya

diatur dalam Pasal 1442.

h. Perjanjian Pembuktian

Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian yang memuat keinginan

para pihak untuk menetapkan alat-alat bukti yang digunakan dalam

hal terjadi perselisihan antara para pihak kelak. Perjanjian ini

25
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 54
bermanfaat dalam proses perkara, dan disebut juga sebagai

perjanjian hukum acara.

Pelanggaran terhadap perjanjian seperti ini hanya berakibat hukum

dalam bidang hukum acara sehingga tuntutan ganti rugi atas dasar

langgarannya sulit untuk diterima. Kecuali itu, ketentuan Buku III

KUHPerdata hanya secara analogi dapat diterapkan pada perjanjian

seperti ini.

i. Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian yang prestasi atau

objeknya yang ditentukan kemudian. Hal ini dapat dijumpai dalam

ketentuan Pasal 1774 KUHPerdata .26

j. Perjanjian Campuran

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mempunyai ciri-ciri

dua atau lebih perjanjian Bernama. Jenis perjanjian ini tidak diatur

dalm undang-undang, tetapi di dalamnya mempunyai nama sendiri,

yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur

perjanjian Bernama, yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa

sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang

berdiri sendiri. Contohnya perjanjian sewa beli.27

3. Syarat Syahnya Perjanjian

26
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 55
27
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 49-56
Perjanjian terdiri atas dua bagian, yaitu bagian inti (wejwnlijk oordeel)

disebut juga essensialia, merupakan sifat yang harus ada di perjanjian,

sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta

(constructive oordeel), seperti perjanjian para antara pihak dan objek

perjanjian.

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam dalam Pasal 1320

KUHPerdata yang menyatakan bahwaa;

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yakni

sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat

suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal”.

Syarat pertama dan kedua yang disebutkan di atas dinamakan syarat

subjektif, karena menyangkut soal orang-orang yang mengadakan

perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif,

karena menyangkut objek dari peristiwa yang dijanjikan.

1. Kesepakatan

Kesepakatan penting sekali untuk membuat sebuah perjanjian yang

mana kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak,

dalam artian masing masing pihak tidak mendapat suatu tekanan

yang mengakibatkan adanya cacat dalam mewujudkan

kehendaknya.

Menurutr Badrulzaman (1996:96), pengertian sepakat diartikan

sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh kedua belah

pihak. Pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte),


sedangkan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi

(acceptatice). Dan menurut Subekti (1983:135), kedua belah pihak

dalam suatu perjanjiaan mempunyai kemauan yang bebas untuk

mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Mengenai

pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas dan secara diam-diam.

Secara diam-diam umumnya terjadi di dalam kehidupan kita sehari-

hari, misalnya kalua seseorang naik kereta api, maka secara diam-

diam telah terjadi suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban

kepada kedua belah pihak, yaitu pihak penumpang membayar

harga karcis sesuai dengan tarif, dan kondektur mengangkut

penumpang denga naman ke tempat tujuan yang dikehendaki.

Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela),

Maka KUHPerdata menyebutkan ada 3 (tiga) sebab kesepakatan

tidak diberikan secara sukarela yaitu karena adanya paksaan,

kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Hal ini diatur dalam

Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan : Tiada sepakat yang sah

apabila sepakat ini diberikan karena kehilafan atau di[erolehnya

dengan paksaan atau penipuan”.

Kekhhilapan (dwaling) menyangkut hal-hal yang pokok dari yang

dijanjikan itu. Dalam hal ini meliputi mengenai objeknya, misalnya

membeli lukisan asli Afandi. Khilaf yang kedua mengenai

subjeknya. Contohnya seperti mengontrak penyanyi tersohor Roma

Irama, ternyata yang dating penyanyi lain yang hanya mirip Roma
Irama. Kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in pesona

dan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia.

Penipuan (bedrog), dinyatakan dalam Pasal 1328 KUHPerdata :

“Merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan,

apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah

sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain

tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat

tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.

Jadi, dalam hal ini satu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan yang palsu atau tidak benar disertai tipu muslihat untuk

membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang

menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak

lawannya.

Contohnya seperti mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya,

dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya (Subekti,

1987:24). Dalam praktik, suatu perbuatan bohong disyaratkan

paling sedikit harus ada rangkaian perbuatan yang dinamakan tipu

muslihat., seperti si penjual mobil yang tadi sudah dijelaskan.28

2. Kecakapan

28
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 61
Orang-orang atau pihak pihak dalam membuat suatu

perjanjian haruslah cakap menurut hukum, hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1329 KUHPerdata berikut :

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-

perikatan,jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Pasal 1330 KUHPerdata, yakni orang-orang yang belom

dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang

Perempuan dalam hal-hal yang diterapkan oleh undang-undang,

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai orang-orang yang belum dewasa, kriterianya

ditentukan oleh Pasal 330 KUHPerdata yaitu “belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu

tahun dan sebelumnya belum kawin”. Bila perkawinan mereka

putus (cerai) sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun

maka mereka tidak Kembali lagi dalam status belum dewasa.

Mengingat belum dewasa tidak tegas diatur dalam hukum adat,

maka berdasarkan ordonansi 31 Januari 1931 LN 1921-54 maka

kriteria yang disebutkan dalam Pasal 330 KUHPerdata dapat juga

diberlakukan untuk golongan Bumiputra.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan maka Indonesia menjadi jelas ukurannya


seorang dewasa seperti yang disebutkan dalam Pasal 50 ayat (1)

undang-undang itu, yaitu :

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernanh melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di

bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.

Pernyataan dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa

anak yang belum dewasa itu adalah anak yang berusia belum

mencapai 18 tahun atau belum pernanh melangsungkan

perkawinan.

Mengenai mereka yang ditaruh di bawah pengampunan,

Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,

sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampunan, pun

jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang

dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampunan karenan

keborosannya”.

Dalam keadaan yang disebutkan diatas, pembentuk

undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu

menjalani tangguang jawabnya dan oleh karena itu tidak cakap

bertindak untuk mengadakan perjanjian.

Apabila orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang

diletakan di bawah pengampunan melakukan perbuatan hukum

(termasuk membuat perjanjian), menurut hukum haruslah diwakili


oleh orang tua atau walinya. Untuk mereka yang disebutkan dalam

Pasal 433 KUHPerdata maka yang mewakili adalah pengampunya

atau kuratornya. 29

3. Hal Tertentu

Syarat keiga dari perjanjian haruslah memenuhi “hal

tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki

objek (bepaald onderwarp) tertentu yang sekurang-kurangnya dapat

ditentukan. Objek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333

KUHPerdata menyatakan:

“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang

paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan

bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian

dapat ditentukan atau dihitung”.

Dalam hal yang disebutkan belakangan itu, maksudnya

tidaklah barang itu harus ada, atau sudah ada di tangannya si

berutang pada waktu perjanjian itu dibuat. Begitu juga jumlahnya

tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau

ditetapkan. Misalnya, perjanjian membeli hasil panen kopi dari

suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah karena telah

memenuhi syarat hal tertentu (Pasal 1333 KUHPerdata), tetapi

sebaliknya membeli mobil tanpa keterangan lain tidaklah

memenuhi hal tertentu.

29
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 64
Objek tertentu itu dapat berupa benda, yang sekarang ada

dan nanti aka nada, kecuali warisan. Hal ini diterangkan oleh Pasal

1334 KUHPerdata yang antara lain menyebutkan :

“… tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan

warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan

sesuatu hal mengenai warisan yang menjadi pokok persetujuan

itu…”.30

4. Sebab (Causa) yang Halal

Perkataan “sebab” yang dalam bahasa Belanda disebut

oorzaak, dan dalam Bahasa Latin disebut Causa, merupakan syarat

keempat dari suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320

KUHPerdata sebagai “sebab yang halal”. Menurut Badrulzaman

(1996:100), causa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab akibat,

sehingga pengertian causa disini tidak mempunyai hubungan sama

sekali dengan ajaran causaliteit, bukan juga sebab yang mendorong

pihak untuk mengadakan perjanjian. Karena apa yang menjadi

motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak

menjadi perhatian.

Misalnya, apabila seorang membeli rumah karena

mencegah nilai uangnya turun, hal ini tidak menjadi perhatian

hukum. Perhatian hukum uangnya turun, hal ini tidak menjadi

perhatian hukum. Perhatikan hukum adalah membeli rumah

tersebut, si pembeli ingin memiliki rumah itu dan si penjual ingin


30
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 68
memperoleh uang dari penjualan tersebut. Jadi, sesuatu yang

menyebabkan sesorang membuat sesuatu perjanjian atau dorongan

jiwa untuk membuat suatu perjanjian tidak diperhatikan undang-

undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada

dalam gagasan orang atau apa yang dicita-citakan seseorang, yang

menjadi perhatian hukum atau undang-undang Tindakan orang-

orang dalam Masyarakat.

Yurisprudensi menafsirkan causa sebagai isi atau maksud

dari perjanjian. Causa menempatkan perjanjian di bawah

pengawasan hakim. Karena hakim dapat menguji, apakah tujuan

perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan (Pasal 1335-1337 KUHPerdata).31

5. Asas Asas Perjanjian

a) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas konsesualisme yang diuraikan sebelumnya

mempunyai korelasi dengan asas kebebasan berkontrak yang

diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan

bahwa :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas,


31
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 69
pancaran dari hak manusia. Kebebasan berkontrak dilatar

belakangi oleh paham individualisme yang secara embryonal

lahir di zaman Yunani, yang menyatakan bahwa setiap orang

bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya, dalam

Hukum Perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam “kebebasan

berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez fair, dianggap

sebagai the invisible hand, karenanya pemerintah tidak boleh

mengadakan intervensi (Badrilzaman, 1995: 110), paham

individualisme memberi peluang yang luas bagi golongan yang

lemah. Dengan kata lain, pihak yang kuat menentukan

kedudukan yang lemah.

Pada akhir abad XIX akibat desakan paham etis sosialis,

paham individualisme muali memudar. Paham ini mulai tidak

mencerminkan keadilan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak

lagi diberi arti mutlak, tetapi diberi arti relatif dan dikaitkan

dengan kepentingan umum. Mulailah perjanjian diawasi

pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum. Mulailah

perjanjian diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan

umum dan menjaga keseimbangan kepentingan individu dan

kepentingan Masyarakat. Melalui penerobosan Hukum

Perjanjian oleh pemerintah, sehingga terjadi penggeseran hukum

perjanjian ke bidang hukum publik.32

b) Asas Konsesualisme
32
I Ketut Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 46
Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam system

hukum Civil Law maupun Common Law. Dalam KUHPerdata

asas ini disebutkan dalam Pasal 1320 yang mengandung arti :

“kemauan atau will” para pihak untuk saling berpartisipasi

mengikatkan diri (Badrulzaman, 1995 : 109).

Lebih lanjut dikatakan, kemauan itu membangkitkan

kepercayaan (vetrouwen) bahwa perjanjian itu akan dipenuhi.

Asas konsesualisme mempunyai nilai etis yang bersumber dari

moral. Manusia terhormat akan memelihara janjinya, (Egen

dalam Badrulzaman, 1995: 109).

Asas konsesualisme menekankan suatu janji lahir pada detik

terjadi consensus (kesepakatan atau persetujuan antara kedua

belah pihak) mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi

objek perjanjian. Apabila perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis

maka bukti tercapainya consensus adalah saat ditandatanganinya

perjanjian itu oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Namun

demikian, tidak semua perikatan tunduk dengan asas ini, karena

terhadapnya ada pengecualian yakni terhadap perjanjian formal

(hibah,perdamaian, dan lain-lain) serta perjanjian riil (pinjam

pakai, pinjam-meminjam, dan lain-lain).

c) Asas Kepribadian

Asas ini diatur dalam Pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUHPerdata.

Bunyi Pasal 1315 KUHPerdata:


“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji selain dari pada

untuk dirinya sendiri”.

Sedangkan menurut Pasal 1340 KUHPerdata:

“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya……”.

Karena suatu perjanjian itu hanya berlaku bagi yang

mengadakan perjanjian itu sendiri, maka pernyataan tersebut

dapat dikatakan menganut asas kepribadian dalm suatu

perjanjia.

Menurut Badrulzaman, (1995:94) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata membedakan 3 (tiga) golongan tersangkut

dalam suatu perjanjian, yaitu:

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;


b. Para ahli mereka dan mereka yang mendapat hak dari
padanya;
c. Pihak ketiga.33

d) Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian tersebut secara seimbang. Kreditur

mempunyai hak untuk menuntut prestasi, bila perlu melaui

kekayaan debitur, tetapi ia juga berkewajiban melaksanakan

33
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 47
janji itu dengan iktikad baik. Dengan demikian, terlihat hak

kreditur kuat yang diimbangi dengan kewajiban

memperhatikan itikad baik, sehingga kreditur dan debitur

keduanya seimbang.

e) Asas Kepastian Hukum

Suatu perjanjian merupakan perwujudan hukum sehingga

mengandung kepastian hukum. Hal ini tersirat dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata. Kepastian ini terungkap dari kekuatan

mengikat perjanjia itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para

pihak.

f) Asal Moral

Asas ini dapat dijumpai dalam perbuatan sukarela dari seseorang

seperti zaakwaarneming yang diatur dalam Pasal 1354

KUHPerdata. Begitu juga asas ini dapat ditemui dalam Pasal

1339 KUHPerdata yang memberi motivasi kepada pihak-pihak

untjuk melaksanakan perjanjian.yang tidak hanya hal-hal dengan

tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga kebiasaan dan

kepatuhan (moral).34

g) Asas Kepatutan

Asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1339

KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa :


34
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 48
“Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara

tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu

yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan …”.

Asas ini selayaknya tetap dipertahankan karena melalui asas

kepatutan ini dapat diketahui bahwa hubungan para pihak

ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat

(Badrulzaman, 2001:89).35

6. Pengertian Kredit

Kredit menurut Undang-Undang Perbankan adalah Kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga.36

Pengertian Kredit Menurut Amir R. Batubara adalah kredit

suatu pemberian prestasi yang kontra yang mana prestasinya akan

menjadi sejumlah uang di masa yang akan mendatang. Sedangkan

menurut Anwar Iqbal Qureshi, mendefinisikan kredit sebagai suatu

pemberian prestasi (jasa) dari pihak yang satu kepada pihak yang

lainya serta prestasinya akan dikembalikan lagi yang mana sesuai

dengan jangka waktu tertentu beserta dengan uang untuk

kontraprestasinya (balas jasa).

35
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal 49
36
Undang-Undang No 10 Tahun 1998
Pengertian lain dikemukakan oleh Brymont P. Kent

menjelaskan pengertian kredit sebagai hak dalam menerima

pembayaran maupun sebuah kewajiban dalam melakukan sebuah

pembayaran dengan waktu yang telah diminta atau pada waktu

yang akan datang, dalam penyerahan suatu barang-barang pada

waktu sekarang. Selanjutnya Kasmir mengemukakan pengertian

kredit sebagai suatu pembiayaan yang dapat berupa uang maupun

suatu tagihan yang nilainya bisa ditukar dengan uang.37

7. Unsur-unsur Kredit

Intisari dari kredit, yaitu unsur kepercayaan, sedangkan

unsur yang lainnya bersifat sebagai sesuatu yang berguna dalam

rangka pertimbangan yang menyeluruh dalam mendapatkan atau

memperoleh keyakinan dan kepercayaan untuk terjadinya suatu

hubungan atau perikatan hukum dalam bidang perkreditan tersebut.

a) Kepercayaan : yaitu suatu masa yang memisahkan antara

pemberian prestasi dan kontroprestasi yang akan diterima

pada masa yang akan dating. Dalam unsur waktu ini,

terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang

ada sekarang lebih tinngi nilainya dari uang yang akan

diterima pada masqa yang akan dating.

b) Tenggang waktu : yaitu suatu masa yang memisahkan antara

pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima


37
https://www.idntimes.com/business/economy/seo-intern/pengertian-kredit-menurut-para-ahli-
wajib-tahu
pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini,

terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang

ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan di

terima pada masa yang akan datang.

c) Degree of risk : yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi

sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan

antara pemberian prestasi dan kontrapresi yang akan diterima

kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin

tinggi pula tingkat resikonya karena sejauh-jauhnya

kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka

masih selalu terdapat unsur ketidakketentuan yang tidak

dapat diperhitungkan. Inilah yang ajan menyebabkan

timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah

maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.

d) Prestasi : prestasi atau objek kredit itu saja diberikan dalam

bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa.

Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini

didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang

menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik

perkreditan.38

8. Fungsi Kredit

38
Drs. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
2012, hal 422
Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya

untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong

untuk tujuan pencapaiannya kebutuhan, baik dalam bidang usaha

maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapatkan kredit

harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi berupa

kemajuan-kemajuan pada usahnya atau mendapatkan pemenuhan

atas kebetuhannya. Adapun bagi pihak yang yang memberi kredit,

secara materiil dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan

perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit dan

secara spiritual mendapatkan kepuasan dengan dapat membantu

pihak lain untukmencapai kemajuan.

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial

ekonomis, baik bagi debitur , kreditur, maupun masyarakat

membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Maksudnya,

baik pihak debitur maupun kreditur mendapatkan kemajuan.

Kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan

mempunyai fungsi sebagai berikut :

a) Meningkatkan daya guna uang


b) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
c) Meningkatkan daya guna dan peredaran uang
d) Salah satu alat stabilitas ekonomi
e) Meningkatkan kegairahan berusaha
f) Meningkatkan pemerataan pendapatan dan
g) Meningkatkan hubungan internasional39

9. Jenis Kredit Menurut Kelembagaan


39
Drs. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
2012, hal 424
1. Krdit Perbankan : Kredit perbankan yang diberikan oleh bank

milik negara atau bank swasta kepada Masyarakat untuk

kegiatan usaha dan atau konsumsi. Kredit diberikan kepada

dunia usaha untuk ikut membiayai Sebagian kebutuhan

permodalan dan atau kepada individu untuk membiayai

pembelian kebutuhan hidup, baik yang berupa barang maupun

jasa.

2. Kredit Likuiditas : yaitu kredit yang diberikan oleh bank

sentral kepada bank-bank yang ada dan berperasi di Indonesia,

yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai

kegiatan perkreditannya. Pelaksanaan kredit ini merupakan

operasi Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugasnya

yang diemban sebagai bank sentral menurut ketentuan lama,

yaitu Pasal 29 Undang-Undang Bank Sentral 1968 dan

sekarang tercantum dalam ketentuan Pasal 10 dan 11 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yaitu

bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah kepada bank (kredit likuiditas ini) dimaksudkan hanya

dilakukan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya

ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil

dibandingkan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan

dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif. Namun

demikian Bank Indonesia dalam memberikan bantuan


likuiditas tersebut hanya tertuju pada bank yang memenuhi

persyaratan, misalnya, secara nyata berdasarkan informasi

yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan

mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek; memiliki

agunan yang cukup; dan apabila diperlukan, akan dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut.

3. Kredit langsung : Kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia

kepada lembaga pemerintah atau semipemerintah (kredit

program), misalnya, Bank Indonesia memberikan kredit

langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program

pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada

Pertamina, atau kepada pihak ketiga lainnya. Model kredit

seperti ini berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tidak dapat dilakukan lagi

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 Ayat (1), yaitu Bank

Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah.

Apabila terjadi suatu perjanjian pemberian kredit dari Bank

Indonesia kepada pemerintah, perjanjian tersebut batal demi

hukum.

4. Kredit (pinjaman antarbank) : kredit ini diberikan oleh bank

yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana.

Peminjaman model ini merupakan sarana yang paling

gampang dilakukan oleh bank yang memerlukan tambahan


dana, baik dalam keadaan darurat maupun dalam keadaaan

bisa dalam arti sekadar memerlukan tambahan dana untuk

dapat diputar kembali. Pelaksanaannya dapat menggunakan

surat, sarana telekomunikasi, ataupun dengan wesel unjuk, cek,

promes (promissory note) atau sarana lainnya. Pinjam-

meminjam dana antarbank merupakan transaksi umum dan

biasa dilakukan setiap hari kerja oleh bank, baik antarbank di

dalam negeri maupun antarbank di luar negeri, yang semuanya

dijalankan melalui mekanisme pasar uang(money market).

Dalam transaksi ini terkait bank pemberi pinjaman (lending

bank), yakni bank yang kelebihan dana (over cash ratio) dan

bank peminjam (borrowing bank) yang membutuhkan dana.

10. Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu

1. Kredit Jangka Pendek (Short term loan) : yaitu kredit yang

berjangka waktu maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa

kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan

kredit wesel. Weawl juga dapat berbentuk kredit modal kerja,

yaitu kredit untuk membiaya kebutuhan modal kerja usaha atau

proyek.

2. Kredit Jangka Menengah (medium term loan) : yaitu kredit

berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun. Bentuknya

dapat berupa kredit investasi jangka menengah.


3. Kredit Jangka Panjang : yaitu kredit yang berjangka waktu

lebih dari 3 tahun. Kredit jangka Panjang ini pada umumnya,

yaitu kredit investasi yang bertujuan menambah modal

perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitisi,

ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.40

11. Jenis Kredit Menurut Penggunaanya

Kredit Konsumtif : yaitu kredit yang diberikan oleh bank

pemerintah atau bank swasta yang diberikan kepada perseorangan

untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-

hari.

Kredit Poduktif, baik kredit investasi maupun kredit

eksploitasi : kredit investasi, yaitu kredit yang ditujukan untuk

penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan

produksi, gedung, dan mesin-mesin, juga untuk membiayai

rehabilitasi,ekspansi, relokasi proyek, atau pendirian proyek baru.

Kredit eksploitasi, yaitu kredit yang ditunjukan untuk penggunaan

pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa

persediaan bahan baku, persedian produk akhir, barang dalam

proses pruduksi, serta piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku

pendek.

Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif

(semikonsumtif dan semiproduktif) : khusus untuk pemerintah

40
Drs. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 2012,
hal 430
daerah, kredit atau pinjaman daerah hanya diperkenankan untuk

alternatif sumber pembiayaan APBD dan / atau untuk menutup

kekurangan kas. 41

12. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen

Kredit Ekspor : yaitu semua bentuk kredit sebagai sumber

pembiayaan bagi usaha ekspor. Jadi, bisa dalam bentuk kredit

langsung ataupun tidak langsung, seperti pembiayaan kredit modal

kerja jangka pendek ataupun kredit investasi untuk jenis industry

yang beririentasi ekspor.

Kredit Impor : unsur dan ruang lingkupm dari kredit impor

pada dasarnya hamper sama dengan kredit ekspor karena jenis

kredit tersebut merupakan kredit berdokumen.

13. Jaminan Kredit

Ketidakmampuan nasabah dalam melunasi kreditnya, dapat

ditutupi dengan suatu jaminan kredit . Fungsi jaminan kredit adalah

untuk melindungi bank dari kerugian. Dengan adanya jaminan

14. Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau hubungan hukum

antara debitur (berhutang) dan kreditur (pemberi hutang) yang isi

mengatur tentang hak dan kewajiaban kedua belah pihak,

41
Drs. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 2012,
hal 431
perjanjian ini biasanya diikuti dengan perjanjian “jaminan

penanggungan” (perorangan).42

Setiap perjanjian kreditur dan debitur, memberikan

kepastian hukum untuk pengajuan dan pemberian kredit, maka

dalam pemberian kredit tersebut bank selalu meminta jaminan

perorangan dan kepada debitur, jaminan yang diminta oleh pihak

bank sesuai dengan kredit yang diajukan dan pihak bank juga

meminta jaminan penanggungan terhadap utang tersebut, jaminan

ini biasanya disebut jaminan perorangan atau melakukan perjanjian

dengan pihak ketiga guna demi kepentingan debitur mengikatkan

diri untuk memenuhi perikatannya.

15. Macam Macam Kredit

a) Kredit Konsumtif : Kredit ini diberikan untuk tujuan

mendapatkan atau membeli barang-barang kebutuhan yang

sifatnya konsumtif.

b) Kredit Produktif : Kredit yang diberikan kepada nasabah untuk

mendukung kelancaran proses produksi usahanya.

c) Kredit Perdagangan : Kredit perdagangan maksudnya adalah

pemberian kredit dengan tujuan membeli barang-barang untuk

kemudian dijual kembali. Kredit ini ada dua macam, yaitu kredit

perdagangan dalam dan luar negeri.

16. Pihak-pihak dalam perjanjian kredit

42
https://www.neliti.com/id/publications/149154/tanggung-jawab-penanggung-dalam-perjanjian-
kredit.
1) Pihak pemberi atau kreditur pihak adalah bank atau lembaga

pembiayaan lain selain banka misalnya Perusahaan leasing.

2) Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang mana

bertindak sebagai subjek hukum. Subjek hukum adalah orang

atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk

melakukan suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak

maupun perbuatan dua pihak.

17. Jaminan Kredit

Secara umum jaminan kredit dapat didefinisikan sebagai

penyerahan kekayaan, atau pernyataan kesanggupan seseorang

untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Jadi pada

dasarnya seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan dan

diperuntukkan bagi pemenuhan kewajiban, kepada semua kreditur

secara bersama-sama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1131

KUHPER yang menyatakan bahwa ”segala kebendaan si berutang,

baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah

ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. 43

Jenis-jenis jaminan yang diterima kreditur / bank yaitu :


1. Jaminan perorangan yaitu penanggungan atau borgtocht;
2. Jaminan kebendaan antara lain :
43
Elizabeth Karina Leonita, FH UI, 2010
a. Jaminan atas benda bergerak seperti Gadai dan Fidusia;
b. Jaminan atas benda tidak bergerak seperti Hipotik dan Hak
Tanggungan

B. Prinsip Kehati-Hatian dalam Sistem Perbankan

1. Tinjauan Umum tentang Perbankan

a. Pengertian Perbankan

Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998

tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud

dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya

dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak . Dari

pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih luas lagi bahwa bank

merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan,

artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang

keuangan. Sehingga berbicara mengenai bank tidak terlepas dari

masalah keuangan.44

b. Dasar Hukum Perbankan

1. Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.

2. Undang-Undang pokok di bidang perbankan dan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998.

a. Peraturan Pokok

44
Dr.Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2017,
hal 24
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

beserta perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan perubahan terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia menjadi Undang-Undang

3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan.

4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah.

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan.

b. Peraturan pendukung

1. Undang-Undang yang mengatur bahan usaha atau

Lembaga yang berkaitan dengan perbankan, seperti

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitian

Urusan Piutang Negara;Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1962 tentang Perusahaan Daerah, Undang-Undang


nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasian, Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara,; Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, kecil, dan

menegah.

2. Undang-Undang pengesahan yang berkaitan dengan

perjanjian internasional, baik di bidang perbankan

maupun sektor ekonomi, seperti Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing Trade Organization.

3. Undang-Undang yang mengatur kegiatan ekonomi

lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995

tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun

1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar,

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat

Utang Negara, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2007

tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan Ekspor di Indonesia, Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana,

dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata

Uang.

c. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang

Program Rekapitulasi Bank Umum

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang

Ketentuan dan Tata cara Pembukaan Kantor Cabang,

Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari

Bank yang berkedudukan di luar negeri.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuiditasi

Bank.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang

Pembelian Saham Bank Umum .

6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992

tentang Bank Umum sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73


Tahun 1998, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992

tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank

berdasarkan prinsip bagi hasil.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2005 tentang Penjamin Simpanan Nasabah Bank

berdasarkan Prinsip Syariah.

d. Peraturan Presiden

1. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005 tentang

Pengakhiran Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban

Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat; dan

2. Peraturan Presiden lainnya.

e. Keputusan Menteri Keuangan .

f. Peraturan Bank Indonesia45

c. Jenis-Jenis Bank

1. Bank Umum

2. Bank Pembangunan

3. Bank Pasar

4. Bank Desa

5. Lumbung Desa

6. Bank Pegawai

7. Dan bank jenis lainnya.


45
Drs Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2012, hal 9
Kemudian menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor

7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-

Undang RI Nomor 10 Tahun 1998, maka jenis perbankan

terdiri dari dua jenis bank yaitu :

a. Bank Umum
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)46

2. Asas-Asas Umum Perbankan

1. Asas demokrasi ekonomi

2. Asas kehati-hatian (prudential principle)

3. Asas kepercayaan (Fiduciary Principle)

4. Asas kerahasiaan (confidential principle)

5. Asas mengenal nasabah (know your customer principle)47

3. Tinjauan Umum Prinsip Kehati-Hatian

1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian adalah prinsip yang menegaskan

bahwa dalam menjalankan fungsi utamanya, bank wajib untuk

bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat.

Begitupun dalam rangka pemberian kredit kepada perusahaan-

perusahaan atau masyarakat untuk kepentingan pembiayaan.

2. Dasar Hukum Prinsip Kehati-hatian

Prinsip ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan

Nomor 10 Tahun 1998, yaitu :

46
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2008, hal 20
47
http://repository.untag-sby.ac.id
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya,

berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan

prinsip kehati-hatian”.48

48
https://www.dhp-lawfirm.com/prinsip-kehati-hatian-dalam-pemberian-kredit-oleh-perbankan
BAB III
PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT PADA BANK BRI CABANG
TASIKMALAYA

A. Sejarah, Struktur dan Fungsi Bank Rakyat Indonesia (BRI)

a) Sejarah Bank Indonesia

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut

“BRI” atau “Perseroan”) didirikan dan mulai beroperasi secara komersial

pada tanggal 18 Desember 1968 berdasarkan Undang-undang No. 21

Tahun 1968. Pada tanggal 29 April 1992, berdasarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia (“Pemerintah”) No. 21 Tahun 1992,

bentuk badan hukum BRI diubah menjadi Perusahaan Perseroan

(Persero). Pengalihan BRI menjadi Persero didokumentasikan dengan

akta No. 133 tanggal 31 Juli 1992 Notaris Muhani Salim, S.H. dan telah

disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat

Keputusan No. C2-6584. HT.01.01.TH.92 tanggal 12 Agustus 1992, serta

diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 73, Tambahan

No. 3A tanggal 11 September 1992. Anggaran Dasar BRI kemudian

diubah dengan Akta No. 7 tanggal 4 September 1998 Notaris Imas

Fatimah, S.H., pasal 2 tentang “Jangka Waktu Berdirinya Perseroan” dan

pasal 3 tentang “Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Usaha” untuk

menyesuaikan dengan ketentuan Undangundang Republik Indonesia No.

1 Tahun 1995 tentang “Perseroan Terbatas” dan telah disahkan oleh

Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No.

C2-24930.HT.01.04.TH.98 tanggal 13 November 1998 dan telah


diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 86, Tambahan

No. 7216 tanggal 26 Oktober 1999 dan akta No. 7 tanggal 3 Oktober

2003 Notaris Imas Fatimah, S.H., antara lain tentang status perusahaan

dan penyesuaian dengan Undang-undang Pasar Modal dan telah disahkan

oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dengan Surat Keputusan No. C-23726 HT.01.04. TH.2003 tanggal 6

Oktober 2003 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia No. 88, Tambahan No. 11053 tanggal 4 November 2003.

Berdasarkan Surat Keputusan Bank Indonesia No.

5/117/DPwB2/ PWPwB24 tanggal 15 Oktober 2003, tentang “SK

Penunjukan BRI sebagai bank umum devisa”, BRI telah ditetapkan

sebagai bank devisa melalui Surat Dewan Moneter No. SEKR/BRI/328

tanggal 25 September 1956.

Berdasarkan akta No. 51 tanggal 26 Mei 2008 Notaris Fathiah

Helmi, S.H., telah dilakukan perubahan terhadap Anggaran Dasar BRI,

antara lain untuk penyesuaian dengan ketentuan Undang-undang

Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang “Perseroan Terbatas” dan

Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

(“Bapepam-LK”) (fungsinya sejak 1 Januari 2013 dialihkan kepada

Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”)), No. IX.J.I tentang “Pokok-pokok

Anggaran Dasar Perseroan yang Melakukan Penawaran Umum Efek

Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik”, yang telah mendapatkan

persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik


Indonesia dengan Surat Keputusan No. AHU-48353.AH.01.02. Tahun

2008 tanggal 6 Agustus 2008 dan telah diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia No. 68, Tambahan No. 23079 tanggal 25 Agustus

2009.

Selanjutnya, Anggaran Dasar BRI telah mengalami beberapa

kali perubahan. Perubahan terakhir didokumentasikan dalam Akta

Notaris Fathiah Helmi S.H., No. 3 tanggal 09 Maret 2021, mengenai

perubahan-perubahan terhadap beberapa ketentuan dari Anggaran Dasar

BRI, yang telah mendapatkan Penerimaan Perubahan Anggaran Dasar

dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan

Surat Keputusan No.AHU-AH.01.03-0159493 Tanggal 12 Maret 2021

dan yang terakhir kali diubah dalam Akta Nomor 4 Tanggal 06 Oktober

2021 yang dibuat dihadapan Fathiah Helmi, SH Notaris di Jakarta dan

telah mendapatkan Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Anggaran

Dasar dari Menteri Hukum HAM RI Nomor AHU AH.01.03-0457763

Tanggal 07 Oktober 2021. Perubahan dilakukan dalam rangka

penyesuaian dengan Peraturan OJK (“POJK”) No. 15/ POJK.04/2020

tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham

(“RUPS”) Perusahaan Terbuka dan POJK No. 16/POJK.04/2020 tentang

Pelaksanaan RUPS Perusahaan Terbuka Secara Elektronik, serta modal

disetor.

Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar BRI, ruang lingkup

kegiatan BRI adalah melakukan usaha di bidang perbankan serta


optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki BRI untuk

menghasilkan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk

mendapat keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dengan

menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. BRI dimiliki oleh

Pemerintah Republik Indonesia selaku pemegang saham mayoritas.

Tabel Riwayat Pendirian Bank Rakyat Indonesia (BRI)

NO Perihal Akta/Peraturan Tanggal Notaris

Terkait

Pendirian BRI PP Nomor 1 22 Februari

Tahun 1946 1946

tentang Bank

Rakyat

Indonesia

Pendirian BRI UU Nomor 21 18 Desember

Tahun 1968 1968

tentang Bank

Rakyat

Indonesia

Penyesuaian PP Nomor 21 29 April 1992

bentuk hukum Tahun 1992

Persero tentang

Penyesuaian

Bentuk Hukum
Bank Rakyat

Indonesia

menjadi

Perusahaan

Perseroan

Persetujuan Akta Nomor 31 Juli 1992 Muhani Salim,

Akta Pendirian 133 tentang S.H.

Perseroan Perusahaan

Terbatas Perseroan

(Persero) PT

Bank Rakyat

Indonesia

(Persero

Initial Public Akta Nomor 7 3 Oktober Imas Fatimah,

Offering tentang Status 2003 S.H

Perusahaan &

Penyesuaian

dengan

Undang-

undang Pasar

Modal

Visi dan Misi Bank Rakyat Indonesia


1. VISI

The Most Valuable Banking Group in Southeast Asia & Champion of

Financial Inclusion.

2. MISI

a. Memberikan yang Terbaik

Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan

mengutamakan pelayanan kepada segmen mikro, kecil, dan

menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.

b. Menyediakan Pelayanan yang Prima

Memberikan pelayanan prima dengan fokus kepada nasabah

melalui sumber daya manusia yang profesional dan memiliki

budaya berbasis kinerja (performance-driven culture), teknologi

informasi yang handal dan future ready, dan jaringan kerja

konvensional maupun digital yang produktif dengan

menerapkan prinsip operational dan risk management

excellence.

c. Bekerja dengan Optimal dan Baik

Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada

pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan

memperhatikan prinsip keuangan berkelanjutan dan praktik

Good Corporate Governance yang sangat baik.

Selain Visi dan Misi BRI juga menerapkan Prinsip-prinsip

Good Corporate, Kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip good


corporate governance (GCG) juga dirasakan sangat kuat dalam industri

perbankan, situasi eksternal dan internal perbankan semakin kompleks.

Risiko kegiatan usaha perbankan semakin beragam. Keadaan tersebut

semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata kelola perusahaan

yang sehat (good corporate governance) di bidang perbankan. Penerapan

prinsip-prinsip GCG selain untuk meningkatkan daya saing bank itu

sendiri, juga untuk lebih memberikan perlindungan kepada kepada

masyarakat. Penerapan GCG menjadi suatu keniscayan mengingat sektor

perbankan mengelola dana nasabah.

Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam

melaksanakan kegiatan usahanya Bank wajib senantiasa menganut

prinsip-prinsip GCG sebagai berikut:

1) Transparansi (Transparency) Keterbukaan dalam melaksanakan

proses pengambilan keputusan dan keterbukaan mengemukakan

informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan;

2) Akuntabilitas (Accountability) Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan

terlaksana secara efektif; apabila prinsip ini diterapkan secara

efektif maka aka nada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan

wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan

komisaris dan dewan direksi, prinsip ini mensyaratkan agar

perusahaan di kelola secara professional tanpa ada benturan.


3) Pertanggungjawaban (Responsibility) Kesesuaian di dalam

pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; bentuk

pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan

terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya masalah pajak,

hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja,

perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis

yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya kepentingan

dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak

sesuai dengan peraturan-peraturan yan berlaku.

4) Kemandirian (Independence) Suatu keadaan di mana perusahaan

dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan

pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-

prinsip korporasi yang sehat; dan

5) Kewajaran (Fairness) Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi

hak-hak stake holders yang timbul berdasarkan perjanjian dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Budaya Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) One Culture

dijadikan pedoman melaksanakan dan membangun budaya perusahaan

yang kuat untuk mencapai visi perusahaan. BRI One Culture terdiri dari

Core Values Akhlak, BRILiaN Belief, dan BRILiaN Ways sebagai

perilaku kunci yang mampu mendorong pencapaian kinerja perusahaan.


Tugas Bank BRI pada umumnya sama seperti bank lainnya yaitu:

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

1. Menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi

yang ditetapkannya

2. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara

termasuk tetapi tidak terbatas kepada:

1) Operasi pasar terbukadi pasar uang, baik rupiah maupun valuta


asing
2) Penetapan tingkat diskonto
3) Penetapan cadangan wajib minimum dan
4) Pengaturan kredit dan pembiayaan

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran

1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan ijin atas jasa

pembayaran;

2. Mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk

menyampaikan laporan tentang kegiatannya;

3. Menetapkan penggunaan alat pembayaran.

c. Mengatur dan mengawasi Bank

B. Pelaksanaan Pemberian Kredit Pada Bank BRI Cabang Tasikmalaya

1. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit

Proses pemberian kredit sebelum suatu fasilitas kredit diberikan

maka bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar

akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit

sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat

dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan nasasbah


yang benar-benar beritikad baik, seperti melalui prosedur penilaian yang

benar, akurat, dan sungguh-sungguh.

Dalam melakukan penilaian kredit, kriteria-kriteria serta aspek

penilainnya tetap sama. Begitu pula dengan ukuran -ukuran yang

ditetapkan sudah menjadi standar penilaian oleh setiap bank. Dalam

melakukan penilaian, yang umum dan harus dilakukan oleh bank untuk

mendapatkan nasabah yang benar-benar layak diberikan, lakukan dengan

analisis 5C dan 7P melalui taha[pan penilaian yang sering dilakukan

sebelum sampai ke tahap skoring antara lain sebagai berikut :

1. The five C’s of credit, yang dikenal dengan sebutan 5C

2. Penilaian aspek prospek seperti : hukum, manajemnen, pemasaran,

teknik/produksi, keuangan, pasar dan pemasaran, operasi dan teknis,

ekonomi social dan jaminan.

Prinsip perkreditan yang sering disebut dengan konsep 5C pada

dasarnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik

(willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah

untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya. Selain itu, perlu

diketahui bahwa besar kecilnya suatu risiko pinjaman yang diberikan oleh

bank sangat tergantung dari kualitas hasil penyidikan dan analisis yang

dilakukannya.

Dalam menilai risiko tersebut, umumnya bank memperhatikan

minimal “5C” dan “7P” dari debitur, yaitu sebagai berikut.

1) Character (karakter)
Karakter merupakan sifat yang menunjukkan kemungkinan

calon debitur dengan jujur berusaha memenuhi kewajibannya.

Karakter dimaksud ditentukan oleh sifat pribadi yang pada dasarnya

terbentuk dari lingkungan keluarga, suku bangsa, lingkungan

pergaulan, dan sebagainya. Untuk mengetahui karakter seorang calon

debitur dapat dilihat melalui latar belakang, catatan masa lalu,

kebiasaan, teman sejawat, saudara-saudara, dan gaya hidup.

2) Capabilty (Kapasitas)

Kapasitas merupakan kemampuan calon debitur untuk

memperoleh hasil usaha, sehingga dengan hasil usaha tersebut dia

sanggup dan mampu untuk membayar atau melunasi kembali kredit

yang diterima tepat pada waktunya sesuai dengan syarat yang telah

ditentukan. Hal ini dapat diteliti melalui perkembangan usaha masa lalu

dan observasi terhadap laporan usaha calon debitur. Adapun manfaat

yang kan diperoleh oleh bank, dengan memperhatikan capability calon

debitur untuk melihat kemampuan calon debitur dalam membayar

kredit yang dihubungkan dengan kemampuan mengelola bisnis serta

kemampuan calon debitur untuk memperoleh usaha sehingga dengan

hasil tersebut calon debitur sanggup membayar kembali atau melunasi

kredit yang sudah diterima tepat pada waktunya sesuai dengan syarat

atau ketentuan yang ditetapkan oleh bank.

3) Capital (Modal)
Capital/modal merupakan modal atau net worth (kekayaan

bersih) yang dimiliki oleh calon debitur. Hal ini dapat dinilai dari posisi

laporan keuangan calon debitur yang bersangkutan. Adapun yang perlu

diperhatikan untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kredit

macet adalah capital atau modal. Penilaian terhadap struktur modal

yang dimiliki calon debitur merupakan persyaratan yang paling

mendasar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh

kemampuan modal sendiri dari calon debitur dalam memperoleh

keuntungan (rentabilitas modal sendiri) dengan cara menganalisis

neraca minimal 2 (dua) tahun terakhir, mengadakan Analisa rasio untuk

mengetahui likuiditas, solvabilitas, dan rentabiliotas dari usaha calon

peminjam/debitur.

4) Collateral (jaminan)

Jaminan merupakan kekayaan yang dimiliki oleh calon debitur

dan disediakan untuk menjadi jaminan kredit. Dalam hal ini, dapat

dilihat dari aktiva yang dijadikan barang jaminan atas kredit tersebut

dan penguasaaannya secara hukum. Collateral/ jaminan yang diberikan

oleh calon debitur kepada bank dengan terlebih dahulu meneliti

kepemilikan jaminan, mengukur stabilitas nilainya, memperhatikan

kemamopuan untuk dijadikan uang dalam waktu yang relatif singkat

tanpa mengurangi nilainya, dan memperhatikan pengikatan barang-

barang yang benar menjamin kepentingan bank yang sesuai ketentuan

hukum yang berlaku. Collateral / jaminan hendaknya harus melebihi


jumlah kredit yang diberikan, juga harus diteliti keabsahannya sehingga

apabila terjadi sesuatu permasalahannya akibat dari pemberian krredit

tersebut, maka jaminan yang dititipkan/ diserahkan oleh calon debitur

kepada pihak bank dapat dipergunakan dengan cepat. Fungsi jaminan

adalah sebagai kompensasi bagi bank dari risiko kerugian yang

mungkin timbul.

5) Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)

Kondisi ekonomi merupakan kondisi sebagai akibat pengaruh

langsung dari perkembangan ekinomi pada umumnya terhadap usaha

calon debitur yang bersangkutan. Melalui perkembangan khusus dalam

suatu bidang ekonomi tertentu yang mungkin mempunyai dampak

terhadap kemampuan calon debitur untuk memenuhi kewajibannya.

Penilaian kredit terhadap analisis “7P” dengan unsur penilaian

antara lain sebagai berikut.

1. Personality

Penilaian terhadap personality dapat digunakan untuk menilai

nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari

maupun kepribadiannya masa lalu. Penilaian personality juga

mencakup sikap, emosi, tingkah laku , dan tindakan nasabah dalam

mengahadapi suatu masalah dan menyelesaikan.

2. Party

Penilaian terhadap party berfungsi untuk mengklasifikasikan

nasabaah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan


terntentu, berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya. Nasabah

yang digolongkan ke dalam keadaan tertentu akan mendapatkan

fasilitas yang berbeda dari bank.

3. Purpose

Penilaian terhadap purpose bermanfaat untuk mengetahui tujuan

nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang

diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-

macam sesuai kebutuhan. Sebagai contoh, apakah kredit tersebut

digunakan untuk modal kerja, investasi, konsumtif, produktif, dan

lain-lainnya.

4. Prosfect

Penilaian terhadap profect digunakan untuk menilai usaha

nasabah di masa yang akan datang. Apakah menguntungkan atau

tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal

ini penting, mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa

mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi akan tetapi juga

nasabah.

5. Payment

Penilaian terhadap payment merupakan ukuran bagaimana cara

nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber

mana saja dana untuk mengembalikan kredit yang telah diambil atau

dari sumber mana saja untuk pengembalian kredit. Semakin banyak


sumber penghasilan debitur makan akan semakin baik. Sehingga jika

salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh usaha lainnya.

6. Profitability

Penilaian terhadap profitability digunakan untuk menganalisis

bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Protability

diukur dari periode, apakah akan tetap sama atau akan semakin

meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.

7. Protection

Penilaian terhadap protection tujuannya adalah bagaimana

menjaga agar kredit yang diberikan mendapatkan jaminan

perlindungan, sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman.

Perlindungan yang diberikan oleh debitur dapat berupa jaminan

barang, orang, atau jaminan asuransi.

2. Prosedur dan Pemberian Kredit

Adapun tahap-tahap prosedur pemberian kredit adalah pengajuan

proposal, dan dokumen-dokumen yang diperlukan, pemeriksaan keaslian

dokumen, analisis kredit, sampai dengan kredit dicairkan. Tahapan -

tahapan kredit kita kenal dengan nama Prosedur Pemberian Kredit. Tujuan

prosedur pemberian kredit adalah untuk meyakinkan dan memastikan

kelayakan suatu kredit apakah diterima atau ditolak. Untuk menentukan

layak atau tidaknya suatu kredit, maka setiap tahap selalu dilakukan
penilaian yang cermat dan akurat. Jika dalam pelaksanaan penilaian

barangkali ada kekurangan, maka pihak bank dapat meminta kembali

kepada nasabah bahkan langsung dapat ditolak.

Prosedur penilaian dan pemberian kredit oleh dunia perbankan,

secara umum antar bankyang lain tidak jauh berbeda. Yang

membedakannya adalah terletak pada persyaratan dan ukuran penilaian

yang ditetapkan oleh bank dengan pertimbangan masing-masing bank

yang menyalurkan kredit. Dalam praktiknya, prosedur penilaian dan

pemberian kredit, secara umum dibedakan antara pinjaman perseorangan

dengan pinjaman oleh suatu badan hukum, dan dapat juga ditinjau dari

segi tujuan yaitu apakah digunakan untuk kegiatan produktif atau

konsumtif.

Secara umum , prosedur penilaian dan pemberian kredit dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1. Pengajuan Proposal atau Berkas

Untuk memperoleh fasilitas kredit, tahap pertama adalah calon debitur

atau debitur mengajukan permohonan kredit secara tertulis dalam

suatu proposal yang dilampiri dengan dokumen-dokumen lainnya

sebagaimana yang dipersyaratkan oleh bank. Dala, setiap pengajuan

proposal suatu kredit, yang perlu diperhatikan antara lain sebagai

berikut.
a. Nama pengurus berikut latar belakang pendidikan, jenis bidang

usaha, riwayat hidup perusahaan, perkembangan Perusahaan, dan

wilayah pemasaran hasil produksinya.

b. Tujuan pengambilan kredit, dalam hal ini tujuan pengambilan

kredit harus jelas, yaitu untuk meningkatkan kapasitas produksi

atau mendirikan pabrik baru (perluasan), memperbesar omzet

penjualan, atau untuk tujuan lainnya. Kemudian yang perlu juga

mendapat peehatian adalah keguanaan kredit yaitu apakah untuk

investasi atau modal kerja.

c. Besarnhya kredit yang duajukan atau dimohonkan dan jangka

waktunya, dalam proposal, pemohon mengajukan berapa nominal

kredit yang diinginkan dan berapa lama waktunya.

d. Cara calon debitur atau debitur untuk mengembalikan pokok

pinjaman dan bunga pinjaman perlu dijelaskan secara rinci

apakah dari hasil usaha penjualan atau dengan cara lainnya.

e. Jaminan kredit yang diberikan dalam bentuk sertifikat atau dalam

bentuk surat.

Penilaian jaminan kredit yang diberikan oleh debitur kepada

bank haruslah jelas dan akurat dengan tujuan agar sengketa, palsu dan

lain-lain. Biasanya setiap jaminan kredit diikat dengan asuransi yang

bersedia dan dapat melindungi kredit tersebut.

Kemudian proposal tersebut dilampiri dengan berkas-berkas

sebagaimana yang telah dipersyaratkan, seperti :


a. Akta pendirian Perusahaan

b. Bukti identitas diri

c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

e. Neraca dan laporan laba rugi 3 (tiga) tahun terakhir

f. Fotokopi sertifikat yang dijadikan sebagai jaminan/agunan

g. Daftar penghasilan bagi perorangan

h. Kartu Keluarga (KK) bagi perseorangan

i. Dan lain-lain yang dipersyaratkan

2. Penyelidikan Berkas Pinjaman

Adapun tujuan penyelidikan berkas pinjaman adalah untuk

mengetahui apakah berkas yang diajukan oleh calon debitur atau

debitur sudah lengkap sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Apabila menurut pihak bank belum lengkap atau belum cukup, maka

nasabah diminta untuk segera melengkapi kekurangan tersebut, dan

jika sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup melengkapi

kekurangan persyaratan, maka sebaiknya permohonan kredit tersebut

dibatalkan saja. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan

berkas pinjaman adalah membuktikan keaslian dan kebenaran dari

berkas-berkas yang diserahkan oleh calon debitur, misalnya keaslian

dan kebenaran Kartu Tanda Penduduk (KTP), Tanda Daftar

Perusahaan (TDP), akta notaris dan surat-surat jaminan seperti

sertifikat tanah, BPKB ke instansi yang berwenang mengeluarkannya.


Selanjutnya, apabila berkas yang dijaminkan oleh calon debitur atau

debitur ke bank benar dan asli, maka pihak bank menganalisis dan

membuat perhitungan atau kalkulasi jumlah kredit yang diajukan

apakah cocok atau sesuai dengan kemampuan calon debitur atau

debitur untuk membayar berdasarkan perhitungan rasio keuangan

yang ada.

3. Wawancara 1

Merupakan penyidikan yang dilakukan oleh bank kepada calon

peminjam/debitur yang berhadapan secara langsung dengan tujuan

yaitu untuk meyakinkan apakah berkas-berkas yang diserahkan oleh

peminjam atau debitur sesuai dan lengkap sebagaimana yang

dipersyaratkan oleh bank. Wawancara tahap pertama ini juga

dilakukan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang

sebenarnya.

Dalam wawancara ini dibuat dan dirancang sebaik mungkin sehinggga

hasil wawancara yang dilakukan oleh bank dapat memberikan hasil

yang maksimal sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh bank.

4. On the spot

On the spot adalah kegiatan pemeriksaan dan peninjauan

berbagai objek yang akan dijadikan oleh calon debitur sebagai usaha

atau jaminan. Selanjutnya, hasil on the spot disesuaikan dengan hasil

wawancara pertama. Untuk mendapatkan informasi yang akurat,


apabila bank ingin melakukan on the spot, sebaiknya jangan

diberitahu kepada calon debitur bahwa petugas dari bank datang ke

lokasi atau objek jaminan, sehingga apa yang dilihat di lapangan

sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

5. Wawancara II

Wawancara kedua merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

bank untuk perbaikan berkas, apabila terdapat kekurangan-kekurangan

setelah pelaksanaan on the spot di lapangan, maka bank dapat

mencocokkan dan menyesuaikan data saat wawancara pertama dengan

data yang diperoleh dari hasil on the spot, catatan yang ada pada

permohonan dan saat wawancara pertama disesuaikan dengan catatan

yang diperoleh pada saat on the spot terdapat kesesuaian atau

kebenaran data yang diberikan oleh cslon debitur dengan hasil yang

diperoleh petugas bank melalui on the spot .

6. Keputusan Kredit

Keputusan kredit merupakan penentuan apakah kredit dapat

disetujui atau ditolak, apabila disetujui, maka calon debitur akan

menyiapkan administrasi dan keputusan yang mencakup, antara lain :

a. Jumlah uang yang disetujui


b. Jangka waktu kredit
c. Bunga kredit
d. Biaya-biaya yang dibayar

Biasanya keputusan kredit merupakan keputusan tim. Demikian

juga dengan penolakan kredit, sebaiknya dikirim surat penolakan

sesuai dengan alasan penolakan. Biasanya bank mengirimkan surat


penolakan kepada calon debitur dengan tidak menyebutkan alasan

penolakan, namun cukup dengan menyebutkan alasan belum dapat

disetujui.

7. Penandatanganan akad kredit /perjanjian lainnya

Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya merupakan

kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan

terlebih dahulu calon debitur menandatangani akad kredit, mengikat

jaminan dengan hipotek (hak tanggungan), dan surat pernyataan, atau

perjanjian yang dianggap perlu.

8. Realisasi Kredit

Realisasi kredit dapat diproses atau diberikan kepada calon

debitur setelah seluruh persyaratan dinyatakan lengkap secara

administrasi dan sebagai persetujuan, maka bank menyerahkan

Perjanjian Kredit (PK) kepada calon debitur untuk dibaca ulang

kembali dan calon debitur memahami isi dan maksud perjanjian

tersebut, maka calon debitur menandatangani di depan petugas bank,

kemudian membuka rekening atau giro sebagai penampungan realisasi

kredit tersebut. Kemudian untuk memudahkan bank melakukan

pendebitan pokok pinjaman dan bunga, maka bank menyarankan agar

seluruh transaksi keuangannya dilakukan di bank yang bersangkutan.

9. Penyaluran/Penarikan Dana
Pencairan atau penarikan uang dari rekening sebagai realisasi

atas pemberian kredit, dapat diambil sesuai dengan ketentuan dan

tujuan kredit yaitu penarikan dan secara bertahap atau sekaligus.

Petunjuk Pengisian

Pendapat mengenai pernyataan-pernyataan di bawah ini dengan memberikan

tanda check list (√) (STS) = sangat tidak setuju, (TS) = tidak setuju, (RR) =

Ragu-ragu, (S) = setuju, (SS) = Sangat Setuju.

Pernyataan terhadap Character

No Pertanyaan STS TS RR S SS

1. Itikad dan rasa tanggung ✓


jawab yang dimiliki

calon debitur menjadi

penilaian kelayakan

pemberian pembiayaan.

2. Watak, pola perilaku, dan ✓


gaya hidup calon debitur

sebagai evaluasi kelayakan

untuk pemberian kredit.

3. Komitmen pembayaran oleh ✓


calon debitur menjadi

evaluasi kelayakan

pemberian kredit.
Pernyataan terhadap capacity

No Pertanyaan STS TS RR S SS

1. Sumber pendapatan dan ✓


penghasilan calon debitur

sebagai evaluasi penilaian

kelayakan dalam memberikan

kredit.

2. Kesanggupan pembayaran ✓
angsuran calon debitur

sebagai evaluasi kelayakan

untuk memberikan kredit.

3. Kemampuan dalam ✓
menyelesaikan pinjaman

tepat waktu menjadi penilaian

kelayakan dalam memberikan

kredit.

Pernyataan terhadap capital

No Pertanyaan STS TS RR S SS

1. Calon debitur yang memiliki ✓

sumber penghasilan tetap

akan disetujui permohonan

kredit.
2. Calon debitur dengan banyak ✓
bidang usaha sebagai sumber

penghasilan akan disetujui

permohonan kredit

3. Calon debitur yang ✓


mempunyai tabungan atau

simpanandi bank/BUM Desa

dengan penyetujuan oleh

permohonan kredit.

Pernyataan terhadap Collateral

No Pertanyaan STS SS TS S SS

1. Nilai jaminan yang digunakan ✓


melampaui atau sebanding

nilai plafond kredit sebagai

persetujuan pemberian kredit

pada calon debitur.

2. Penyetujuan kredit jika ✓


terdapat penjaminan seperti

jaminan non fisik ataupun

fisik.

3. Kepemilikan jaminan dan ✓


keaslian dokumen sebagai
persetujuan pemberian kredit

pada calon debitur.

Pernyataan condition of economy

No Pertanyaan STS SS RR S SS

1. Perkembangan usaha calon ✓


debitur menjadi penilaian

kelayakan dalam memberikan

kredit.

2. Perkembangan ekonomi ✓
calon debitur sebagai evaluasi

kelayakan untuk memberikan

kredit.

3. Kondisi sosial ekonomi calon ✓


debitur sebagai evaluasi

kelayakan untuk memberikan

kredit.
BAB IV
PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP
PENGELUARAN KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

A. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Perbankan dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan :

“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib

melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.

Maksud dari pasal yang disebutkan diatas adalah bank harus menjaga tingkat

kesehatan dengan cara menerapkan prinsip kehati-hatian. Apabila tidak

dilaksanakannya prinsip kehati-hatian maka akan menjadikan kredit menjadi

tidak sehat yaitu terjadinya kredit macet.

B. Analisis Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengeluaran Kredit

Pihak perbankan yang mengeluarkan kredit kepada calon debitur dan yang

sudah menjadi debitur, perlu memperhatikan 2 unsur berikut :

1. Tingkat risiko (risk), maksudnya adalah tingkat resiko yang akan dihadapi

oleh bank terhadap kemungkinan melesetnya perolehan laba bank dari

kredit yang disalurkan.


2. Tingkat perolehan dana (return), maksudnya jumlah laba yang akan

diperoleh atas penyaluran kredit. Apabila bank tersebut menghendaki

supaya penilaiannya baik, maka pihak bank harus memenuhi ketentuan

penilaian kredit yang telah ditetapkan serta menjaga kualitas kredit yang

telah disalurkan. Untuk memenuhi tingkat perolehan laba bank agar

memenuhi kriteria penilaian kesehatan bank yang berlaku, maka perlu

diperhatikan 4 (empat) faktor berikut ini :

1) Tingkat Return on Assets (RoA)


2) Return on Equity (RoE)
3) Timing of Return (waktu perolehan laba)
4) Future prospect (prosfek ke depan atau di masa yang akan datang)

Selanjutnya, tingkat perolehan laba bank juga harus mengetahui

risiko-risiko yang akan dihadapinya. Risiko ini merupakan kondisi dan

situasi yang akan dihadapi di masa yang akan datang sangat besar

pengaruhnya terhadap perolehan laba bank. Secara umum, jenis jenis

risiko yang mungkin dihadapi atas kualitas kredit antara lain sebagai

berikut:

1) Risiko Lingkungan : risiko yang berkaitan dengan lingkungan


perbankan terutama yang berkaitan dengan lingkungan eksternal
atau lingkungan dari luar perbankan. Risiko lingkungan terdiri atas
beberapa risiko, yaitu risiko persaingan atau kompetisi, risiko
ekonomi, dan risiko peraturan .
2) Risiko Keuangan : Risiko keuangan sangat erat kaitannya dengan
pengaruh internal dan eksternal bank, misalnya : risiko likuiditas,
risiko suku bunga, risiko kredit, dan risiko internasional.
3) Risiko Manajemen : maksudnya risiko yang berkaitan dengan
risiko internal atau risiko dari dalam perushaan, seperti : risiko
kemampuan, risiko organisasi, dan risiko kegagalan.
4) Risiko Penyerahan: risiko yang terpengaruh oleh internal bank baik
risiko strategis, risiko operasional, dan risiko perkembangan
teknologi.
Seperti diketahui, dalam manajemen kredit terdapat beberapa

fungsi untuk memudahkan pihak bank menjalankan kegiatan atau aktivitas

kreditnya. Oleh sebab itu, pemisahan fungsi dalam organisasi kredit perlu

diperhatikan antara lain :

1) Analisis kredit
2) Pemasaran kredit
3) Taksasi jaminan
4) Audit kredit

Adapun tujuan pemisahan fungsi kredit adalah supaya pengelolaan suatu

permohonan kredit dapat dipeoses secara benar, teliti, lengkap, dan

sempurna, yang tujuannya agar memilik risiko yang rendah dan tidak

menimbulkan masalah di kemudian hari. Penilaian kredit dilakukan sejak

permohonan awal sampai dengan kredit tersebut lunas.

Menurut ketentuan Bank Indonesia, kualitas kredit dapat

digolongkan sebagai berikut.

1. Lancar (pas)
2. Dalam perhatian khusus (special mention)
3. Kurang lancer (substandard)
4. Diragukan (doubtful)
5. Macet (loss)

Cara untuk mengetahui tingkat Kesehatan suatu bank, maka ditetapkan ketentuan

kriteria kualitas kredit sebagai berikut.

No Kriteria Bobot %

1. Permodalan (capital adequacy Ratio/CAR) 20,0

2. Aktiva Produktif

a. Non Performing Loan (NPL) 12,5


b. Pemenuhan PPAP 7,5

3. Rentabilitas

a. Return on Average Assets 10,0

b. Return on Average Equity 10,0

4. Likuiditas

a. Loan to Deposit 15,0

b. Pertumbuhan 5,0

5. Efisiensi

a. Beban Operasional 10,0

b. Net Interest Margin (NIM) 10,0

Total 100,0

C. Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet pada Bank Rakyat Indonesia

(BRI) Cabang Tasikmalaya

Faktor penyebab terjadinya kredit macet ada 2 faktor yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internalnya yaitu kebijakan perkreditan yang

ekspansif, menyimpang dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad

kurang baik dari pemilik, pengurus atau pegawai bank, lemahnya sistem

informasi kredit macet.

Faktor eksternalnya yaitu kegagalan usaha debitor, pemanfaatan iklim

persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur, serta menurunnya

kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan diatas

bahwa bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian untuk

menjaga atau merawat Kesehatan bank yang sesuai dengan pasal

29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan. Dampak yang akan terjadi dari bank yang tidak

melaksanakan pemberian kredit menggunakan prinsip kehati-

hatian adalah membuat tingkat Kesehatan bank menurun atau

bank tidak sehat yang menyebabkan terjadinya kredit macet dan

tentunya faktor yang menyebabkan kredit macet yaitu ada di

faktor eksternal dan faktor internal.

B. Saran

Saran yang dapat saya berikan yaitu untuk pihak bank

ataupun pihak calon debitur untuk lebih memperhatikan aturan

yang ada tentunya, pihak bank sendiri yaitu untuk lebih

memperhatikan ketentuan yang ada dalam Undang_undang

perbankan yaitu menggunakan prinsip kehati-hatian agar

terhindar dari dampak bank menjadi tidak sehat.

Anda mungkin juga menyukai