Anda di halaman 1dari 151

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA
PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA

PRINCESS INNEZ PRIMANTARA


NIM : 1390561024

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA
PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA

PRINCESS INNEZ PRIMANTARA


NIM : 1390561024

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA
PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum


Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana

PRINCESS INNEZ PRIMANTARA


NIM : 1390561024

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

ii
LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 15 APRIL 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum

NIP. 196207311988031003 NIP. 195803211986021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)

NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001

iii
Tesis Ini Telah Diuji

Pada 14 April 2015

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor 968/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 7 April 2015

Ketua : Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, M.Hum

Sekretaris : Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.

2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum.

3. Dr. I Made Udiyana, S.H., M.H.

iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Princess Innez Primantara

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam

Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya penulis ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 14 April 2015


Yang menyatakan,

Princess Innez Primantara

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan bimbinganNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis

yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN

DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN

WISATA”.

Penyusunan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh

gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan

dukungan moral dari berbagai pihak. Karena itu, melalui kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, Rektor Universitas

Udayana, yang dengan segala kebijakannya banyak membantu dalam

memperlancar proses pendidikan;

2. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, S.H., M.H., LLM, Ketua Program

Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas segala

kebijakannya untuk dapat membantu memperlancar proses pendidikan;

vi
4. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, MH, Sekretaris Program

Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana;

5. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H, M.H., Pembimbing Akademik yang

telah membimbing penulis selama menjalani masa perkuliahan;

6. Bapak Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, MH., Dosen Pembimbing I

yang selalu memberikan motivasi dan arahan yang sangat bermanfaat

untuk proses penyelesaian tesis ini;

7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, MH, Dosen Pembimbing II

yang selalu memberikan motivasi dan arahan yang sangat bermanfaat

untuk proses penyelesaian tesis ini;

8. Para Penguji Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.,, Bapak Dr. I

Made Udiyana, S.H., M.H.,, dan Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H.,

M.H., atas masukan-masukan yang sangat berguna bagi penulis untuk

menyempurnakan tesis ini;

9. Dosen-Dosen pada Program Studi Magister Hukum Universitas

Udayana, khususnya konsentrasi Hukum Bisnis dan Pariwisata yang

telah banyak memberikan ilmu serta wawasan lebih kepada penulis;

10. Staff Tata Usaha Program Studi Magister Hukum dan Staff

Perpustakaan Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu

dalam hal pengurusan administrasi selama penulis mengikuti

perkuliahan dan penyusunan tesis ini;

11. Orang Tua saya, Putu Indra Primantara dan Evy Rossy Primantara,

kakak Kevin Doddy Primantara, S.H., serta adik-adik saya William

vii
Agung Primantara dan Richad Krishnadana Primantara yang telah

memberikan dukungan serta doa selama penyelesaian tesis ini;

12. Sahabat saya Ni Made Rahayu Dwikayani, S.E., yang selalu

memberikan motivasi untuk penyelesaian tesis ini.

13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 Magister Hukum, khususnya

konsentrasi Hukum Pariwisata yang telah memberikan dukungan kepada

penulis, Agus, Eva, Gung Rian, Andika, Sukma, Intan, Ditha, Milla,

serta teman-teman lain Angkatan 2013 yang tidak dapat penulis

sebutkan namanya satu per satu.

14. Rekan-rekan kerja di Avilla Hospitality Manajemen & Development,

yang sudah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk

dapat segera menyelesaikan tesis ini, yaitu Mbak Wulan, Vadilla, Ayu

Sudiani, dan khususnya kepada atasan saya Pak Herry Antolis, Pak

Paulus Budiharto dan Kak Jiesta Sudibya.

15. Semua pihak yang telah menjadi narasumber, dari H.I.S Tour & Travel,

Rama Duta Tour & Travel, Bayu Buana Travel Management, Melali

Bali, ASITA Bali, dan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu

Provinsi Bali, atas waktu dan informasinya, sehingga penelitian tesis ini

dapat selesai dengan baik.

Penulis berharap para pembaca mendapatkan informasi yang berguna dari

apa yang telah penulis uraikan dalam tesis ini. Penulis menyadari

ketidaksempurnaan tesis ini, karena itu penulis mengharapkan saran berupa

viii
kritikan-kritikan ataupun pendapat lainnya sebagai bahan pertimbangan dan

koreksi kedepannya. Akhir kata penulis mengucapkan Terima Kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, April 2015

Penulis

ix
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konstruksi norma


pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa
pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata dan mengetahui kesiapan Biro Perjalanan
Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan
jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Penelitian ini adalah penelitian
hukum empiris. Data dan sumber data yang digunakan adalah data primer, yang
berasal dari biro perjalanan wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung,
sedangkan data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik
Studi Dokumen dan Teknik Wawancara, dengan Teknik Pengambilan sampel atas
populasi penelitian yang digunakan adalah Teknik Non Probability Sampling.
Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data
Kualitatif.
Terhitung sejak tanggal 11 April 2014, Pemerintah telah menetapkan
peraturan tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata melalui Peraturan
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2014. Hal ini memungkinkan adanya masalah standarisasi Biro Perjalanan Wisata
sebagaimana ditentukan didalam peraturan menteri, dan kendala yang dialami
oleh Biro Perjalanan Wisata untuk memenuhi standarisasi. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka perlu adanya kajian lebih dalam tentang pelaksanaan perlindungan
hukum yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata, setelah adanya peraturan
menteri tersebut.

Kata kunci : Biro Perjalanan Wisata, Standarisasi, Perlindungan Hukum,


Hak-hak Wisatawan.

x
ABSTRACT

The Purpose of this research is identify the construction of norms about


security and safety standard of tourist in the supply of tourism services by Tour
Operator and the readiness of Tour Operator in implementing tourists protection
regulations in the supply of tourism services by Tour Operator. The research
method employed in this research is empirical legal research. Data and sources
of data used are primary data, which derives from Tour Operator located around
Denpasar and Badung, while secondary data used consisted of primary legal
materials, secondary, and tertiary. Data collection techniques used are
Documents Study Techniques and Interview Techniques, with the sampling
technique used on the population is Non-Probability Sampling Techniques. The
analysis used in this research is the Qualitative Data Analysis.
As from April 11, 2014, the Government has set rules on Standards
Service of Business Travel through Regulation of the Minister of Tourism and
Creative Economy Number 4 of 2014. This allows for Tour Operator
standardization problem as provided in the ministerial regulations, and
constraints experienced by the Tour Operator to fulfill that standardization. In
this regard, it is necessary to study more about the implementation of the
protection of the law by a Tour Operator, after the ministerial regulation.

Keywords : Tour Operator, Standardization, Legal Protection, Traveler's rights.

xi
RINGKASAN

Tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam


Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata” ini, terdiri dari 5 bab. Bab I
adalah Bab Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Ruang Lingkup Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas
Penelitian, Landasan Teoritis, dan Metode Penelitian. Dalam latar belakang,
dijelaskan bahwa penelitian ini didasari oleh ditetapkannya Peraturan Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata tanggal 11 April 2014. Mengingat baru
ditetapkannya peraturan menteri ini, maka dianggap perlu untuk mengidentifikasi
konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan
dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata dan mengetahui
kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan
wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Penelitian
ini adalah penelitian hukum empiris dengan sifat penelitian deskriptif. Adapun
teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut adalah teori
hukum murni, teori tanggung jawab, teori perlindungan hukum, dan teori
efektifitas hukum.
Bab II merupakan bab yang memuat tinjauan umum tentang perlindungan
hukum terhadap wisatawan yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata. Secara
khusus, dalam bab ini dibahas tentang Konsep dan Pengaturan Perlindungan
Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata, Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan
Wisata, dan Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan
Hukum.
Bab III merupakan bab yang memuat tentang pembahasan atas rumusan
masalah pertama, yaitu konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan
keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh biro perjalanan
wisata. Pada intinya dalam bab ini menguraikan secara jelas tentang norma-norma
yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4
tahun 2014 tentang standar usaha pariwisata j.o. Peraturan Menteri Pariwisata dan

xii
Ekonomi Kreatif Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha
Jasa Perjalanan Wisata dan sanksi-sanksi yang ditentukan.
Bab IV merupakan bab yang membahas tentang rumusan masalah kedua,
yaitu kesiapan biro perjalanan wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan
wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh biro perjalanan wisata. Dalam bab
ini diuraikan hasil penelitian penulis terhadap kesiapan biro perjalanan wisata
yang berada di sekitar denpasar dan badung, untuk memenuhi standarisasi
sebagaimana diatur dalam peraturan menteri pariwisata dan ekonomi kreatif
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Perjalanan Wisata. Secara lebih
mendalam dibahas tentang standar usaha yang wajib dipenuhi oleh Biro
Perjalanan Wisata, yang terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu aspek produk, yang terdiri
dari 20 (duapuluh) unsur; aspek pelayanan, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur; dan
aspek pengelolaan, yang terdiri dari 11 (sebelas) unsur.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan akhir atas jawaban
rumusan masalah yang telah disampaikan dalam bab III dan bab IV, serta
disampaikan pula saran-saran yang diberikan oleh penulis kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dengan standar usaha jasa perjalanan wisata ini.

xiii
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN SAMPUL DALAM …………………………………………… i

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. ii

PERSYARATAN GELAR MAGISTER …………………………………… iii

PERNYATAAN TELAH DIUJI ……………………………………………. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………… v

UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………….. vi

ABTRAK …………………………………………………………………… ix

ABSTRACT ………………………………………………………………… x

RINGKASAN ………………………………………………………………. xi

DAFTAR ISI ………………………………………………………………... xiv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang ………………………………………………….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………. 9

1.3. Ruang Lingkup Masalah ………………………………………... 9

1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 10

1.4.1. Tujuan Umum ………………………………………… 10

1.4.2. Tujuan Khusus ………………………………………… 10

1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………………. 10

xiv
1.5.1 Manfaat Teoritis ………………………………………. 10

1.5.2 Manfaat Praktis ……………………………………….. 10

1.6. Orisinalitas Penelitian …………………………………………... 11

1.7. Landasan Teoritis ………………………………………………. 13

1.8. Metode Penelitian ………………………………………………. 20

1.8.1. Jenis Penelitian ……………………………………….. 21

1.8.2. Sifat Penelitian ……………………………………….. 21

1.8.3. Data dan Sumber Data ………………………………… 22

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data ……………………………. 24

1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian …………………. 25

1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data ………………………… 27

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM


TERHADAP WISATAWAN YANG DILAKUKAN OLEH
BIRO PERJALANAN WISATA ………………………………. 28

2.1. Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha ………………………. 28

2.1.1. Konsep Perlindungan Hukum ………………………… 28

2.1.2 Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha


Wisata ………………………………………………… 34

2.2. Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata ……………....... 40

2.2.1. Konsep Biro Perjalanan Wisata ………………………. 40

2.2.2. Pengaturan Biro Perjalanan Wisata …………………… 49

xv
2.3. Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan atas Perlindungan
52
Hukum …………………………………………………………...

2.3.1. Konsep Wisatawan ……………………………………. 52

Pengaturan Hak-Hak Wisatawan atas Perlindungan


2.3.2.
Hukum ………………………………………………… 58

BAB III KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN STANDAR


KEAMANAN DAN KESELAMATAN WISATAWAN
DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO
PERJALANAN WISATA ……………………………………… 64

3.1. Pengaturan Perlindungan Wisatawan oleh Biro Perjalanan


Wisata berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi
kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa
Perjalanan Wisata ……………………………………………….. 64

3.2. Sanksi terkait Pelanggaran Terhadap Peraturan Menteri


Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata …………………………. 79

BAB IV KESIAPAN BIRO PERJALANAN WISATA DALAM


MELAKSANAKAN PERATURAN PERLINDUNGAN
WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA
OLEH BIRO PERJALANAN WISATA ………………………. 88

4.1. Standarisasi Keamanan dan Keselamatan Wisatawan Yang wajib


Dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata …………………………. 88

4.2. Kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan Peraturan


Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014
tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata ……………….... 100

xvi
BAB V PENUTUP 116

5.1. Simpulan ………………………………………………………… 116

5.2. Saran ……………………………………………………………. 120

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Wisatawan, adalah sebutan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan ke

tempat-tempat tertentu dengan tujuan untuk rekreasi dalam jangka waktu tertentu.

Motivasi wisatawan dalam melakukan perjalanan berbeda-beda, dimulai dari

untuk menjalankan tujuan-tujuan yang bersifat rekreasi, yang perlahan

berkembang menjadi untuk tujuan bisnis, menghadiri rapat atau pertemuan,

hingga perjalanan untuk mempelajari keunikan suatu tempat. Berdasarkan

sejarahnya, manusia melakukan perjalanan karena keinginan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Perjalanan identik dengan kegiatan untuk bersenang-senang

yang dilakukan dalam waktu tertentu. Selain bersenang-senang, kegiatan wisata

juga identik dengan jumlah wisatawan yang banyak dan berkelompok.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber devisa non Migas yang cukup

besar di Indonesia. Data statistik dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif pada Januari hingga Juli 2014 menunjukkan bahwa tingkat kunjungan

wisatawan mancanegara melalui 19 pintu masuk utama, sebesar 5.328.732 dengan

pertumbuhan sebesar 9.37%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pada bulan

Juli 2014, kunjungan wisatawan tertinggi adalah melalui Bandara Ngurah Rai,

Bali dengan tingkat kunjungan sebesar 358.907, yang selanjutnya diikuti dengan

Bandara Soekarno Hatta dengan jumlah kunjungan sebesar 169.135.1

1
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan Wisatawan
Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juli 2014,
1
2

Bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan ini, berdampak pada timbulnya

permintaan-permintaan berupa jasa pariwisata yang disediakan oleh masyarakat di

sekitar tempat kunjungan wisata.2 Industri Pariwisata dapat dipandang sebagai

sebuah sub sistem dari sistem pariwisata secara keseluruhan. Struktur Industri

Pariwisata dimulai dari travel generating region, dari mana calon wisatawan akan

merencanakan dan memulai perjalanan wisatanya. Hal ini berlaku apabila calon

wisatawan tersebut mencari jasa perjalanan pariwisata yang ada di negaranya

untuk merencanakan suatu perjalanan wisata. Sub sistem industri pariwisata akan

berlanjut sepanjang tempat/jalur transit yang mencakup pelayanan maskapai

penerbangan dan akomodasi selama transit penerbangan.3 Berdasarkan sistem

tersebut, maka dapat dilihat bahwa pentingnya keberadaan suatu usaha jasa

perjalanan wisata dalam Industri Pariwisata.

Dengan berwisata, merupakan cara untuk memenuhi rasa ingin tahu

seseorang terhadap tempat wisata yang akan dikunjunginya. Oleh sebab itu,

wisatawan sering menggunakan jasa pemandu wisata untuk memudahkan

perjalanannya dalam menjelajahi tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut. Hal

itu merupakan salah satu faktor yang mendorong muncul dan berkembangnya

berbagai macam usaha jasa perjalanan wisata.

http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf, diakses tanggal 6 September


2014.
2
Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, Cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h. 6.
3
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV. Andi Offset,
Yogyakarta, h. 63.
3

Usaha Jasa Perjalanan Wisata adalah perusahaan yang kegiatannya mengurus

keperluan orang yang mengadakan perjalanan baik darat, udara, maupun laut

dengan cara menjadi penghubung antara perusahaan yang menyediakan fasilitas

perjalanan dengan orang yang ingin melakukan perjalanan.4 Usaha Jasa

Perjalanan Wisata ini terdiri dari dua jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata dan Agen

Perjalanan Wisata.

Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan

utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan

perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab

sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan

tersebut.5 Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan,

Biro Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket

wisata untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata.

Paket wisata dapat diartikan sebagai suatu perjalanan wisata dengan beberapa

tujuan wisata yang tersusun dari berbagai fasilitas jasa perjalanan tertentu dan

terprogram dalam susunan acaranya dan dipasarkan kepada masyarakat dengan

harga yang telah ditetapkan.6 Dimana paket-paket tersebut meliputi layanan

akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam bentuk usaha wisata lainnya.

Paket wisata yang sudah dibuat dengan baik dapat dipasarkan langsung oleh biro

4
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, ibid, h. 124.
5
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, 2011, “Studi Kelayakan Pendirian PT. Medussa
Multi Bussines Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali (Kajian Aspek Pasar Finasial)”,
(tesis) Program Studi Magister (S2) Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana, h. 48.
6
Muljadi A.J., op.cit, h. 131.
4

perjalanan wisata itu sendiri ataupun melalui agen perjalanan wisata, yang

nantinya akan diperoleh imbalan berupa komisi penjualan paket wisata yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak.

Travel Agent menduduki posisi yang amat penting dalam industri pariwisata

karena Travel Agent menjadi perantara di antara perusahaan-perusahaan industri

pariwisata di satu pihak dan wisatawan potensial di lain pihak. Travel Agent

memiliki karakteristik utama berupa yaitu agent (agen). Berkaitan dengan hal itu,

Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton dalam bukunya yang berjudul

Tourism, Travel and Hospitality Law, menyatakan bahwa “At common law an

agent is a person who is authorized to represent or act on behalf of a second

person, called a principal, to transact some business or affair between the

principal and third person.”7

Travel Agent berfungsi untuk memberikan berbagai macam informasi kepada

calon wisatawan mengenai daerah tujuan wisata, dokumen perjalanan, peraturan

lalu lintas devisa, pakaian dan perlengkapan yang harus dibawa, memberi saran

kepada calon wisatawan, menyediakan tiket, memilih akomodasi, melakukan

reservasi hotel, mengatur perencanaan tour di daerah destinasi wisata.8

Seperti halnya usaha perdagangan jasa (trade in services) yaitu usaha

perdagangan yang menempatkan jasa sebagai komoditi yang mencakup

pengertian pelayanan dan bantuan untuk mendapatkan sesuatu atau suatu sistem

yang mengorganisir kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang atau


7
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, 1998, Tourism, Travel and Hospitality Law,
LBC Information Services, Australia, h.239.
8
Oka, A. Yoeti, 2006, Tours and Travel Management, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 32.
5

beberapa orang9, Biro Perjalanan Wisata maupun Agen Perjalanan Wisata

merupakan pihak yang memperoleh imbalan atas jasa yang diberikannya dari

wisatawan. Berdasarkan data dalam Direktori 2013 Dinas Pariwisata Provinsi

Bali, selama tahun 2013 terdapat 377 Biro Perjalanan Wisata di Bali, yang dibagi

dalam beberapa jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata (BPW), Cabang Biro

Perjalanan Wisata (CBPW), Biro Perjalanan Wisata MICE (BPW MICE), dan

Biro Perjalanan Wisata Lanjut Usia (BPW Lanjut Usia).

Keberadaan Biro Perjalanan Wisata di Bali telah diatur secara khusus dalam

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa

Perjalanan Wisata (UJPW). Dalam Pasal 1 Angka 13 Perda ini, disebutkan bahwa

usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan

perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk

penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara itu, dalam pasal 6 angka 1

disebutkan bahwa salah satu bentuk kegiatan Biro Perjalanan Wisata ini adalah

memberikan layanan angkutan/transportasi wisata.

Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan, Biro

Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket wisata

untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata. Paket-

paket tersebut meliputi layanan akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam

bentuk usaha wisata lainnya.

9
Ida Bagus Wyasa Putra, et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung,
h.1.
6

Namun keberadaan paket-paket perjalanan wisata yang ditawarkan oleh Biro-

Biro Perjalanan Wisata ini sering kali tidak ditunjang dengan faktor perlindungan

keselamatan wisatawan, yang jelas. Sangat jarang terlihat adanya perjanjian

khusus yang dibuat secara tertulis antara pihak Biro Perjalanan Wisata dengan

Wisatawan terkait keselamatan wisatawan itu sendiri. Padahal dalam Pasal 26

poin d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah

disebutkan dengan jelas bahwa Pengusaha Pariwisata berkewajiban untuk

memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan

wisatawan. Sedangkan dalam pasal 11 angka 1 Huruf a dalam Perda Provinsi Bali,

hanya menyebutkan bahwa Pengusaha UJPW wajib untuk memberikan

perlindungan kepada wisatawan, dalam bentuk jaminan keselamatan dan

keamanan selama wisatawan tersebut berada di Bali.

Maraknya kasus kecelakaan lalu lintas yang belakangan ini terjadi terhadap

Bus Pariwisata, seperti yang terjadi pada Bus Pariwisata Giri Indah, tanggal 21

Agustus 2013 di Jalan Raya Puncak-Bogor, atau kasus kecelakaan Bus Pariwisata

di Klatakan, Melaya, Kabupaten Jembrana tanggal 15 Desember 2012 ini, cukup

menjadi contoh pentingnya keberadaan jaminan keselamatan yang diberikan oleh

Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawannya. Sebab sejauh ini, bentuk

penyelesaian dari kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya terlihat tidak jelas.

Padahal sesungguhnya tingkat keberhasilan suatu Biro Perjalanan Wisata

bergantung pada kepuasan wisatawan yang menggunakan jasa mereka. Hal ini

dikarenakan layanan atau transaksi yang dilakukan adalah transaksi/pembayaran


7

atas pelayanan yang akan dinikmati kemudian (after sales services) dan

berdasarkan kepercayaan wisatawan.10

Kenyataan bahwa adanya kecelakaan-kecelakaan yang timbul tersebut

disebabkan oleh kurang mampunya Biro Perjalanan Wisata dalam membuat paket

wisata yang tersusun dan terkelola dengan baik. Perencanaan yang matang adalah

salah satu kunci penting untuk dapat menyelenggarakan suatu paket perjalanan

wisata yang sukses. Pada dasarnya, proses penyusunan paket wisata ini sangat

kompleks, karena harus menggabungkan beberapa produk jasa dari berbagai

macam usaha pariwisata. Disamping itu, dalam produk-produk tersebut yang

diutamakan adalah harga yang murah dan mampu menarik minat wisatawan,

sehingga sering kali mengabaikan standarisasi terhadap keamanan dan

keselamatan yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin perlindungan kepada

wisatawan. Padahal standarisasi yang jelas dan tepat merupakan salah satu

instrumen penting dalam suatu perlindungan hukum.

Namun terhitung sejak tanggal 11 April 2014, Pemerintah telah menetapkan

peraturan tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata melalui Peraturan

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2014. Dalam Pasal 9 ayat 4 huruf a telah disebutkan bahwa standar usaha bagi

Biro Perjalanan Wisata meliputi 3 aspek, yaitu 1. Produk, yang terdiri dari 20

unsur, 2. Pelayanan, yang terdiri dari 7 unsur, dan 3. Pengelolaan, yang terdiri dari

11 unsur. Penjelasan secara detail terkait unsur-unsur tersebut dijelaskan lebih

10
Oka A. Yoeti, op.cit, h.33.
8

lanjut dalam Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor

4 Tahun 2014.

Hal ini memungkinkan adanya masalah standarisasi Biro Perjalanan Wisata

sebagaimana ditentukan dalam peraturan menteri, dan kendala yang dialami oleh

Biro Perjalanan Wisata untuk memenuhi standarisasi. Peraturan tersebut belum

menentukan secara detail mengenai lembaga yang menguji standarisasi aspek

produk, pelayanan, dan pengelolaan suatu Biro Perjalanan Wisata. Perlindungan

hukum terhadap pengguna jasa pariwisata baik domestik maupun mancanegara

dan para pengusaha pariwisata sangat diperlukan,11 karena dalam hukum

internasional telah dinyatakan bahwa Negara wajib untuk melindungi Warga

Negaranya maupun orang asing yang berada di Negaranya. Sementara itu, apabila

dilihat dalam aspek ekonomi, adanya jaminan perlindungan hukum akan sangat

berpengaruh pada respon pasar dalam industri pariwisata.

Pariwisata merupakan salah satu andalan dalam perolehan devisa bagi

pembangunan baik nasional maupun daerah. Oleh sebab itu, pembangunan

pariwisata Indonesia harus mampu menciptakan inovasi baru untuk

mempertahankan dan meningkatkan daya saing secara berkelanjutan.12 Adanya

penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan kepada pihak-

pihak yang berkepentingan yaitu pemerintah dan biro-biro perjalanan wisata, agar

lebih bertanggung jawab dalam mengutamakan keselamatan wisatawan sesuai

11
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni,
Bandung, h. 59.
12
Made Metu Dhana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan,
Paramita, Surabaya, h. 1.
9

dengan standarisasi yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan. Maka

berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa

Pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat

beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun

permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan

keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan

Wisata?

2. Bagaimanakah kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan

peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro

Perjalanan Wisata?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan,

diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan

dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai

berikut :

1. Akan dijelaskan tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan

keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan

Wisata.
10

2. Akan dibahas mengenai kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam

melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa

pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah :

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bentuk tanggung

jawab yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan

keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan

Wisata.

b. Mengetahui kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan

perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan

Wisata.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu:

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian lainnya

yang berkaitan dengan Biro Perjalanan Wisata.


11

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi saran dan masukan

kepada Pemerintah maupun Biro Perjalanan Wisata, untuk lebih mengintensifkan

perlindungan hukum terhadap wisatawan.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemukan beberapa jenis karya

ilmiah yang sama-sama membahas tentang Biro Perjalanan Wisata namun dengan

metode dan pembahasan yang berbeda, yaitu:

1. Judul Penelitian: Pengaturan Usaha Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali,

oleh I Ketut Suparta, Pascasarjana Universitas Udayana Tahun Penelitian

2013.

Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Dalam tesis ini

dibahas tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur

Usaha Biro Perjalanan Wisata dan Pengawasan terhadap Usaha Biro

Perjalanan Wisata di Provinsi Provinsi Bali.

Sementara tesis peneliti, menggunakan metode penelitian hukum empiris

dengan pembahasan tentang konstruksi norma baru pengaturan perlindungan

biro perjalanan wisata terhadap wisatawan dan kesiapan Biro Perjalanan

Wisata dalam melaksanakan peraturan baru tentang perlindungan wisatawan

oleh Biro Perjalanan Wisata.

2. Judul Penelitian: Tinjauan Yuridis Sosiologis Perijinan Usaha Biro dan Agen

Perjalanan Wisata di Kota Malang, oleh Bambang Toto Widodo, Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2007.


12

Tesis ini mengambil lokasi penelitian di Kota Malang. Dan membahas

tentang perijinan Usaha Biro dan Agen Perjalanan Wisata di kota tersebut.

Tesis ini menggunakan metode peneilitian empiris. Sedangkan Tesis penulis

menggunakan metode penelitian yang sama, namun membahas lebih khusus

mengenai tanggung jawab biro perjalanan wisata terhadap wisatawan. Dan

disasarkan pada Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan

Wisata.

3. Judul Penelitian: Aspek Yuridis Pelaksanaan Asuransi Terhadap Wisatawan

Yang Mengalami Kecelakaan Di Lingkungan Obyek Wisata, oleh Setyo

Boedi Mumpuni Harso, Magister Hukum Universitas Gajah Mada, Tahun

2008.

Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan asuransi wisatawan oleh PT.

Jasa Raharja Putera di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan metode

penelitian yuridis normatif. Dengan pembahasan terkait tentang faktor-faktor

penghambat pelaksanaan asuransi wisatawan di Daerah Istimewa Yogyakarta,

dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya santunan

terhadap wisatawan bila terjadi di lingkungan obyek wisata.

Sedangkan tesis peneliti membahas tentang tanggung jawab yang diberikan

oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan yang menggunakan jasanya.

Objek kajian tesis penulis adalah Biro Perjalanan Wisata, sehingga

pembahasannya tidak hanya terbatas pada asuransi, namun juga bentuk

standarisasi yang harus dimiliki oleh Biro Perjalanan Wisata untuk dapat
13

memberikan perlindungan kepada wisatawan, sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

1.7. Landasan Teoritis

Dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini,

diperlukan berbagai teori yang ada relevasinya dengan penelitian ini, yaitu:

A. Teori Hukum Murni

Teori Hukum Murni adalah teori yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Teori ini

berusaha menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu itu sendiri, dengan menggunakan

metode ilmu hukum itu sendiri, dan dengan menghilangkan pengaruh ilmu lain

dalam menganalisa hukum, dengan tujuan agar kajiannya hanya bertumpu pada

jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu.13

Suatu norma hukum dengan norma hukum yang lainnya semestinya tidak

saling bertentangan, karena norma hukum berada pada sebuah sistem yang

tersusun secara hierarkis, yang seluruhnya bersumber pada satu sistem besar yang

merupakan satu norma dasar (groundnorm), yaitu konstitusi. Sementara itu, Hans

Kelsen menyatakan bahwa, pertentangan antara suatu kaidah hukum dengan

kaidah hukum lainnya adalah wajar terjadi, mengingat ketika berbicara dalam

tataran yang lebih konkrit maka dimungkinkan adanya penafsiran antara satu

sama lain.14

Selanjutnya, teori hukum murni ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky.

Dalam pengembangannya, Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum


13
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, h. 127.
14
Munir Fuady, ibid, h. 133.
14

dalam suatu Negara juga berjenjang dan bertingkat hingga membentuk suatu tertib

hukum, sehingga norma yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada

norma yang lebih tinggi. Norma dalam Negara itu juga membentuk kelompok

norma hukum yang terdiri atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :15

1. Staatfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

2. Staatgrundgesetz (Aturan dasar/pokok Negara)

3. Formellgesetz (Undang-undang)

4. Verordnung dan Autonome Satzung (Pelaksana dan Aturan Otonom)

Teori Hukum Murni ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah

pertama, yaitu tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan

keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan

Wisata. Pengaturan tentang standar usaha jasa perjalanan wisata ini merupakan

peraturan yang baru dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 11 April 2014, sehingga diperlukan

adanya kajian secara mendalam terkait pasal-pasal dalam peraturan ini, untuk

mengetahui tentang letak peraturan menteri ini dalam sistem hukum di Indonesia

dan ada atau tidaknya norma-norma yang bertentangan, baik dalam peraturan

menteri itu sendiri, ataupun dengan peraturan-peraturan lain yang ada di atasnya.

B. Teori Tanggung Jawab Hukum

Teori tanggung jawab hukum merupakan teori yang mengkaji dan

menganalisis tentang kesediaan dari subjek hukum atau pelaku tindak pidana

15
Hoemam Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky,
http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky, diakses tanggal
7 September 2014.
15

untuk membayar sejumlah denda atau memberikan ganti rugi ataupun

melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya.16 Teori ini

kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen, Wright, Maurice Finkelstein, dan

Amad Sudiro.

Tanggung jawab hukum dapat dibagi dalam tiga bidang tanggung jawab,

yaitu Tanggung Jawab bidang Perdata, bidang Pidana, dan bidang Adminsitrasi.

Adanya tanggung jawab dalam bidang perdata disebabkan oleh tidak

dilaksanakannya suatu kewajiban oleh subjek hukum dan atau subjek hukum

tersebut melakukan suatu tindakan yang melawan hukum. Pertanggungjawaban

dalam bidang administrasi dapat dikenakan pada subjek hukum yang melakukan

kesalahan administratif. Salah satu contohnya adalah, apabila dalam mendirikan

usahanya, pelaku usaha tidak melengkapi syarat-syarat perizinan sebagaimana

yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pelaku usaha tersebut berhak untuk

dinakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Sementara itu dalam

bidang pidana, pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya dalam

bentuk penjatuhan sanksi pidana, yang terdiri dari pidana pokok dan pidana

tambahan.

Menurut Hans Kelsen, tanggung jawab dibedakan menjadi dua macam,

yaitu:17

16
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi (Buku Kedua), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim
HS dan Erlies Septianan Nurbani I), h. 208.
17
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, h. 95.
16

1. Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan. Tanggung jawab ini

dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan suatu

perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, yang disebabkan oleh

adanya kekeliruan atau kealpaannya.

2. Tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab ini dibebankan kepada seseorang

apabila perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh

pembuat undang-undang, dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan

dengan akibat yang ditimbulkan.

Teori Tanggung Jawab Hukum dari Hans Kelsen ini berkaitan dengan

rumusan masalah pertama yang membahas tentang norma dan sanksi terhadap

Biro Perjalanan wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri tentang Standar

Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Teori ini digunakan untuk menganalisis tanggung

jawab yang dapat dibebankan kepada Biro Perjalanan Wisata yang tidak mampu

menjaga keamanan dan keselamatan wisatawan pengguna jasanya, yang

diakibatkan oleh tidak dipenuhinya standarisasi terkait produk, pelayanan, dan

pengelolaan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri tersebut.

C. Teori Perlindungan Hukum

Fokus kajian Teori Perlindungan Hukum ini adalah perlindungan hukum yang

diberikan kepada masyarakat, terutama masyarakat-masyarakat yang berada di

posisi lemah, baik secara aspek yuridis maupun aspek ekonomis.18 Sementara itu,

menurut Santjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah “Memberikan

18
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS dan Erlies
Septianan Nurbani II) h. 259.
17

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

hak yang diberikan oleh hukum.”19

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang

tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia.20 Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.21

Hukum adalah salah satu alat untuk melindungi kepentingan manusia.

Sehingga apabila dilihat berdasarkan isinya, norma hukum sangatlah berbeda

dengan norma-norma lainnya. Karena dalam norma hukum, terdapat suatu

perintah dan/atau larangan, serta kewajiban dan hak. Menurut Sudikno

Mertokusumo, untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai pelindung kepentingan

manusia, hukum memiliki suatu tujuan pokok, yaitu menciptakan tatanan

masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Sehingga

dalam mencapai tujuannya tersebut, hukum memiliki tugas untuk membagi hak

19
Santjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.
20
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 3.
21
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14.
18

dan kewajiban setiap orang dalam suatu masyarakat, membagi wewenang, dan

mengatur cara memecahkan masalah hukum, serta memelihara kepastian

hukum.22

Teori Perlindungan Hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno

Mertokusumo ini, digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Sehingga

dengan teori ini, akan dikaji terkait kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam

melaksanakan peraturan menteri tentang standar usaha jasa perjalanan wisata,

terkait dengan hak dan kewajiban, wewenang yang dimiliki oleh Biro Perjalanan

itu sendiri maupun wisatawan pengguna jasa.

D. Teori Efektivitas Hukum

Teori Efektivitas Hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis

tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam

pelaksanaan dan penerapan hukum. Teori ini diperkenalkan oleh Bronislaw

Malinowski, Lawrence M. Friedman, Soerjono Soekanto, Clearence J. Dias,

Howard dan Mummers.23

Soerjono Soekanto menyajikan teori efektivitas dengan memperhatikan 5

faktor dalam penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan yang

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

22
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 269.
23
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 303.
19

nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian dalam masyarakat.24 Berikut 5 faktor dalam penegakan hukum, yaitu:

1. Faktor hukum atau undang-undang

Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis

yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

Peraturan dibagi 2 macam, yaitu peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga

negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian

wilayah negara dan peraturan setempat hanya berlaku suatu tempat atau daerah

saja.

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan

tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Para penegak

hukum, yaitu mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,

kepengacaraan, dan pemasyarakatan.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk

mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas, meliputi tenaga

kerja manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan

yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak

terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

24
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 307.
20

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan

terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dalam

konteks penegakan hukum erat kaitannya, di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan diartikan sebagai karya, cipta dan rasa yang tersebut harus

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Teori Efektivitas Hukum dari Soerjono Soekanto, digunakan untuk menjawab

rumusan masalah kedua yang membahas tentang kesiapan biro perjalanan wisata dalam

melaksanakan standar usaha jasa perjalanan wisata. Melalui teori ini, akan dikaji tentang

bagaimana peraturan menteri ini dapat ditegakkan dengan baik. Karena kelima faktor

sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto tersebut, wajib untuk diperhatikan

secara seksama dalam proses penegakan hukum, agar dapat terciptanya suatu penegakan

hukum yang adil dan tepat.

1.8. Metode Penelitian

Hakekat keilmuan dari ilmu hukum merupakan kajian yang menarik karena

terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan yakni fakta kemasyarakatan dan

kaidah hukum. Disinilah peran metode penelitian hukum

mempertanggungjawabkan sifat ilmiah ilmu hukum sebagai ilmu yang mandiri.

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini

adalah sebagai berikut :


21

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Empiris, karena

penelitian ini menyangkut tentang data25. Dimana penelitian ini beranjak dari

adanya kesenjangan antara das solen dan das sein, yaitu adanya kesenjangan

antara keadaan teoritis dengan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam penelitian ini, kesenjangan terlihat pada adanya aturan yang

menyatakan bahwa suatu usaha jasa perjalanan wisata wajib memberikan

perlindungan kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Sementara dalam

prakteknya, belum semua Biro Perjalanan Wisata memberikan perlindungan

hukum yang sesuai berkaitan dengan keselamatan wisatawan yang menggunakan

jasanya. Dimana paket-paket wisata yang ditawarkan terkadang belum sesuai

dengan standarisasi produk yang aman diberikan kepada wisatawan.

1.8.2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi

Penelitian yang sifatnya eksploratif (Penjajakan atau penjelajahan), Penelitian

yang sifatnya deskriptif, dan Penelitian yang sifatnya eksplanatoris. Adapun yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian yang sifatnya deskriptif.

Dalam penelitian yang sifatnya deskriptif, teori-teori, ketentuan peraturan,

norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal,

doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya

25
Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 2
22

cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga

tidak.

Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan

hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang

akan menjadi obyek kajian.

1.8.3. Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis, yaitu:

a.) Data Primer, adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yaitu

suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan, yaitu

baik dari responden maupun informan.

Dalam penelitian ini, data primer yang digunakan adalah data yang didapat

dari Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung.

b.) Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan,

yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,

melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumentasikan dalam

bentuk bahan-bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari :

i. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi

atau putusan pengadilan, peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan dan

perjanjian internasional (traktat).


23

Menurut Peter Mahmud Marzuki,26 bahan hukum primer ini bersifat otoritatif,

artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Adapun bahan

hukum primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

4. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;

5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;

6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Usaha Jasa

Perjalanan Wisata.

ii. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer27, yang dapat berupa rancangan

peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal

ilmiah, surat kabar koran), pamphlet, brosur, karya tulis hukum atau

26
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 144 -
154.
27
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 251-262.
24

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di

internet.

Terkait penelitian ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-

buku, peraturan perundang-undangan, karya tulis hukum atau pandangan ahli

hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang

berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai Perlindungan

Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata oleh Biro

Perjalanan Wisata.

iii. Bahan Hukum Tersier, atau menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan

bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, leksikon,

dan lain-lain.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan

data, yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran

quisioner/angket. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik

Studi Dokumen dan Teknik Wawancara.

Teknik Studi Dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap

sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara

membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian

dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam

penulisan penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan

bahan-bahan hukum diperoleh melalui :


25

1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang

bersumber dari buku-buku, rancangan undang-undang, jurnal nasional

maupun asing, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat

dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan

permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini.

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian, yang dilakukan

secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara

langsung informasi-informasi ataupun keterangan.28 Teknik Wawancara

merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam

penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan

sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan

yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian kepada responden maupun informan.

1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian,

karena sampling menentukan validitas eksternal dari suatu hasil penelitian,

dengan makna bahwa menentukan seberapa besar atau sejauh mana keberlauan

generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan dalam sampling akan

28
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
h. 83.
26

menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan yang berkaitan

dengan hasil penelitian tersebut.

Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian.

Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-

kasus, waktu, aatau tempat, dengan sifat dan ciri yang sama. Sedangkan sampel

adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Dalam suatu penelitian,

umumnya observasi dilakukan bukan terhadap populasi melainkan terhadap

sampel.29

Populasi dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata dan sampel

dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar

Denpasar dan Badung. Penentuan lokasi sampel penelitian ini didasarkan pada

data Direktori Pariwisata Bali 2013, yang menunjukkan bahwa hampir seluruh

Biro Perjalanan Wisata yang ada di Propinsi Bali berdomisili di Daerah Kota

Denpasar dan Kabupaten Badung.

Secara garis besar teknik sampling dari populasi dibedakan atas dua cara,

yaitu Probabilitas Sampling atau Random Sampling dan Nonprobabilitas

Sampling atau Non-random sampling. Teknik Pengambilan sampel atas populasi

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Non Probability

Sampling.

Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus

diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Dan bentuk Teknik Non

29
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 119.
27

Probability Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling, dimana

penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau

ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel

didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat

atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya.

1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal model-model analisis

seperti: Analisis Data Kualitatif dan Analisis Data Kuantitatif. Adapun analisis

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Penelitian

yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Dalam analisis ini, data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang

terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka, data sukar diukur

dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak

dapat disusun kedalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas,

sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan

pedoman wawancara.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP WISATAWAN YANG DILAKUKAN OLEH BIRO

PERJALANAN WISATA

2.1. Konsep dan Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata

2.1.1. Konsep Perlindungan Hukum

Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu

melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan hukum

(rechtsbetrekkingen)30. Suatu hubungan hukum akan memberikan hak dan

kewajiban yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga

apabila dilanggar akan mengakibatkan pihak pelanggar dapat dituntut di

pengadilan.31 Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban,

selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan

kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk

mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan

melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek

hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang

bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 32 Dengan kata lain

30
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
31
Soedjono Dirjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
131.
32
Anonim, Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses
tanggal 22 Januari 2015.

28
29

perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep

dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,

kemanfaatan dan kedamaian

Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dalam unsur suatu

negara hukum. Hal tersebut dianggap penting, karena dalam pembentukan suatu

negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya.

Dalam perkembangannya, antara suatu Negara dengan warga negaranya akan

terjalin suatu hubungan timbal balik, yang mengakibatkan adanya suatu hak dan

kewajiban antara satu sama lain, dan perlindungan hukum merupakan salah satu

hak yang wajib diberikan oleh suatu Negara kepada warga negaranya.

Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep

Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan

memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Konsep

Rechtsct muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius

Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of

Law) yang dipelopori oleh A.V.Dicey. menurut A.V. Dicey menguraikan adanya

3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut dengan Rule of Law, yaitu :33

1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan,

sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat

pemerintah.

33
Nuktoh Arfawie Kurdie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 19.
30

3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan

pengadilan.

Sehingga dapat dikatakan, jika suatu Negara mengabaikan dan melanggar hak

asasi manusia dengan sengaja dan menimbulakn suatu penderitaan yang tidak

mampu diatasi secara adil, maka Negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

suatu Negara hukum dalam arti sesungguhnya.34

Secara gramatikal, perlindungan berarti tempat untuk berlindung atau hal

(perbuatan) memperlindungi.35 Memperlindungi adalah menjadikan atau

menyebabkan berlindung.36 Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan

bahwa hukum adalah kumpulan peraturan dan kaedah yang mempunyai isi yang

bersifat umum, karena dapat berlaku bagi setiap orang, dan normatif, karena

sebagai dasar untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh

dilakukan, ataupun apa yang harus dilakukan, serta mengatur tentang cara

melaksanakan kaedah-kaedah tersebut.37 Dengan demikian, dapat diartikan bahwa

perlindungan hukum adalah suatu perbuatan untuk menjaga kepentingan subyek-

subyek hukum dengan peraturan-peraturan atau kaidah yang berlaku.

Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah Upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan

34
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
133.
35
Anonim, Definisi „perlindungan‟, http://www.artikata.com/arti-370785-perlindungan.html,
diakses tanggal 22 Januari 2015.
36
ibid.
37
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.
38.
31

kepada orang tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi

kepentingannya.38 Sementara itu, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa,

Perlindungan Hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan

pertolongan kepada subyek hukum, dengan menggunakan perangkat-perangkat

hukum.39 Sedangkan menurut CST Kansil, Perlindungan Hukum adalah berbagai

upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan

berbagai ancaman dari pihak manapun. Menurut Muktie A. Fadjar, Perlindungan

Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya

perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait

pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia

sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta

lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban

untuk melakukan suatu tindakan hukum.40

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dijelaskan bahwa perlindungan hukum adalah

segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang

dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan

38
Satjipto Raharjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, h. 121.
39
Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 10.
40
Anonim, 2014, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli,
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 22
Januari 2015.
32

pengadilan. Sedangkan pengertian perlindungan yang tertuang dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap

Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, adalah

suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau

aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada

korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak

manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan

hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :41

1. Adanya pengayoman dari Pemerintah terhadap warga negaranya;

2. Jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu

Perlindungan yang bersifat preventif dan Perlindungan Represif. Perlindungan

Hukum Preventif merupakan perlindungan yang sifatnya pencegahan, sebelum

seseorang dan/atau kelompok melakukan suatu kegiatan yang bersifat negatif atau

melakukan suatu kejahatan yang diniatkan, sehingga dapat menghindarkan atau

meniadakan terjadinya tindakan yang kongkrit.42 Adanya perlindungan hukum ini

41
Dinni Harina Simanjuntak, 2011, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi
Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20III-V.pdf, diakses tanggal 22
Januari 2015.
42
Made Metu Dahana, op.cit, h. 58.
33

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat berarti bagi tindakan

pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Hal ini juga mendorong

pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena rakyat

juga dapat mengajukan keberatan ataupun dimintai pendapatnya mengenai

rencana keputusan tersebut.

Sementara perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan

apabila terjadi sengketa.43 Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif

bagi rakyat Indonesia, terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya.

Badan-badan tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;

2. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah

yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding

terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan

pemerintah tersebut. Sehingga, instansi pemerintah yang berwenang untuk

mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perlindungan

Hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang

warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan

sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

43
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, h. 2.
34

2.1.2. Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata

Secara yuridis produk hukum yang dapat dicermati terkait dengan

pengaturan perlindungan hukum terhadap wisatawan adalah Undang-undang No.

10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Ketentuan Pasal 20 huruf c dari undang-

undang ini menyatakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh perlindungan

hukum dan keamanan.

Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat

mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka

barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

banyak.44 Dalam hal ini, wisatawan adalah konsumen barang dan/atau jasa,

sehingga dalam perannya sebagai konsumen, masyarakat Indonesia berhak atas

perlindungan hukum yang berkaitan dengan kualitas barang dan/atau jasa yang

disediakan oleh pelaku usaha. Perkembangan perekonomian yang pesat,

mengakibatkan timbulnya berbagai macam jenis barang dan/atau jasa di

Indonesia. Pada satu sisi, hal ini memberikan keuntungan kepada konsumen untuk

dapat memilih berbagai macam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku

usaha.

Sementara itu, adanya persaingan yang tidak sehat dari pelaku usaha untuk

menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa memberikan kerugian pada pihak

konsumen. Karena sering kali dalam persaingan tersebut, pelaku usaha lebih

mengutamakan profit atau keuntungan dibandingkan dengan kualitas barang dan

44
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 98.
35

atau/jasa yang dihasilkannya. Sehingga hal ini membuat adanya kedudukan yang

tidak seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen yang menggunakan barang

dan/atau jasanya. Hal inilah yang mendorong timbulnya suatu peraturan yang

mengatur tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa

perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu

meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau

menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta

mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku

pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.45 Menurut Bussiness English

Dictionary, Perlindungan Konsumen adalah protecting consumers against unfair

or illegal traders. Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen

itu sendiri.46

Jasa merupakan suatu fenomena yang rumit (complicated). Kata jasa

mempunyai banyak arti dan ruang lingkup, dari pengertian yang paling sederhana,

yaitu hanya berupa layanan dari seseorang kepada orang lain, bisa juga diartikan

45
AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi
Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
hal 6-7.
46
Zulham, op.cit, h. 21.
36

sebagai mulai dari pelayanan yang diberikan oleh manusia, baik yang dapat dilihat

(explicit service) maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya bisa dirasakan

(implicit service) sampai kepada fasilitas–fasilitas pendukung yang harus tersedia

dalam perjanjian jasa dan benda-benda lainnya. Jenis jasa perjalanan dapat

berlangsung berdasarkan hubungan baik antara penyedia jasa perjalanan dengan

pelanggan (relationship with customer), perusahaan-perusahaan jasa mempunyai

peluang-peluang yang besar untuk membina hubungan jangka panjang dengan

konsumen karena umumnya konsumen jasa melakukan transaksi langsung dengan

orang sebagai penyedia jasa. Hal ini sangat berbeda dengan perusahaan

manufaktur dimana konsumen tidak berhubungan langsung dengan produsen.47

Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, dijelaskan tentang pengertian

Pelaku Usaha, yaitu :

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan


usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.”

Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK

sangat luas. Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen,

melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen

dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).

47
Siti Nurhayati, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro
Perjalanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Jurnal, Volume 2 Nomor 2, Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan.
37

Berdasarkan penjelasan tersebut, Biro Perjalanan Wisata dapat dinyatakan

sebagai produsen dan wisatawan dapat dinyatakan sebagai konsumen, yang

tentunya menunjukkan adanya hubungan hukum antara pihak-pihak tersebut.

Adanya hubungan hukum tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :48

1. Hubungan Langsung

Hubungan langsung yang dimaksud adalah hubungan antara produsen dengan

konsumen yang terikat secara langsung dalam perjanjian. Tanpa mengabaikan

jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen ke konsumen,

pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara

lisan maupun tertulis. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang banyak dikenal

adalah perjanjian baku, yaitu bentuk perjanjian yang banyak digunakan, jika salah

satu pihak sering berhadapan dengan pihak lain dengan jumlah yang banyak dan

memiliki kepentingan yang sama.

Perjanjian baku yang banyak ditemukan dalam praktik pada dasarnya

dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal

1338 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara

sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

2. Hubungan Tidak Langsung

Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan disini adalah hubungan antara

produsen dan konsumen yang tidak secara langsung terikat pada perjanjian,

karena adanya pihak di antara pihak konsumen dengan produsen.

48
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 34-36.
38

Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen

dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak

berhak menuntut ganti rugi kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki

hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang

melahirkan perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu

perjanjian dan udang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini

masih dapat dibagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena

perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan melanggar hukum

Dalam rangka untuk memperkuat pemberdayaan konsumen, UUPK telah

mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produksi (product

liability) barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dan pengguna jasa.

Tanggung jawab tersebut perlu diperhatikan karena mempersoalkan kepentingan

konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani

tanggung jawab dan sampai batas mana pertangungjawaban itu dibebankan

padanya.

Seperti diketahui berlaku prinsip hukum bahwa setiap orang yang

melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab

yang diperbuatnya. Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan

tuntutan kompensasi dan ganti rugi pada pihak yang mengakibatkan terjadinya

kerugian itu. Selanjutnya dalam upaya mempergunakan haknya dalam

mengajukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya, konsumen dapat menempuh

jalur hukum. Proses penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X Pasal

45 sampai Pasal 48 UUPK 1999. Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK 1999
39

penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

diselesaikan di luar Pengadilan (non litigasi) atau diselesaikan melalui jalur

Pengadilan (litigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibagi menjadi 2

(dua) kelompok, yaitu:

1. Penyelesaian secara damai, yang meliputi penyelesaian antara para pihak,

penyelesaian melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM), penyelesaian melalui Direktorat Perlindungan

Konsumen.

2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

yang meliputi Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase.49

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan (litigasi) dimungkinkan

dengan 3 (tiga) instrumen hukum yaitu melalui hukum administrasi negara,

hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian sengketa melalui sanksi

administrasi dilakukan apabila terdapat “ketidakberesan” pada kinerja 2 (dua)

badan yang didirikan oleh pemerintah yang bertugas untuk melindungi konsumen

yaitu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila terdapat penyalahgunaan tugas dan

wewenang dari kedua badan tersebut, maka konsumen yang merasa telah

dirugikan dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.

Penyelesaian sengketa konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

pelaku usaha melalui gugatan perdata dapat diajukan kepada peradilan umum

49
Ahmadi Miru, op.cit, h. 157.
40

yang menangani perkara pidana dan perdata yang meliputi Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

2.2. Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata

2.2.1. Konsep Biro Perjalanan Wisata

Industri Pariwisata merupakan suatu industri yang memiliki pengaturan yang

cukup kompleks, karena mencakup pengaturan perjalanan wisatawan dari tempat

asalnya menuju tempat wisata yang diinginkannya, hingga kembali lagi ke tempat

asalnya. Dalam proses tersebut, terdapat berbagai bidang jasa pariwisata yang

terlibat, seperti misalnya penginapan, restoran, transportasi, bahkan pemandu

wisata, apabila diperlukan. Biro Perjalanan Wisata sebagai salah satu bentuk

usaha perjalanan wisata di Indonesia, merupakan penghubung antara wisatawan

dengan penyedia jasa pariwisata lainnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, dijelaskan secara khusus

tentang pengertian Usaha Pariwisata yaitu Kegiatan yang bertujuan

menyelenggarakan jasa pariwisata, menyediakan atau mengusahakan objek dan

daya tarik pariwisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dengan

bidang-bidang tersebut, yang terdiri dari Biro Perjalanan Wisata dan Agen

Perjalanan Wisata. Namun dalam peraturan ini tidak dijelaskan mengenai definisi

dari masing-masing usaha perjalanan jasa tersebut.

Menurut Dennis L. Foster, dalam bukunya yang berjudul First Class an

Introduction to Travel & Tourism menyatakan bahwa, Biro Perjalanan Wisata

adalah sebuah perusahaan perjalanan yang menjual sebuah rancangan perjalanan

dan menjual produk-produk wisata lain yang berhubungan dengan perjalanan


41

tersebut secara langsung kepada masyarakat.50 Perusahaan tersebut membuat dan

mendesain berbagai macam produk wisata dari berbagai jasa pariwisata yang ada,

menjadi sebuah paket perjalanan wisata yang menarik untuk wisatawan. Produk

wisata yang terdapat dalam paket tersebut umumnya berupa jasa akomodasi dan

transportasi.51

Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan

utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan

perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab

sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan

tersebut.52 Namun menurut Oka A. Yoeti, suatu Biro Perjalanan wisata atau Tour

Operator, tidak selalu suatu perusahaan perjalanan, perusahaan tersebut dapat

pula berupa suatu maskapai penerbangan (airlines) yang bertujuan untuk menjual

tempat duduk (seats) pesawatnya. Atau dapat pula berupa suatu hotel yang

terletak dalam suatu “tourist resort”, yang bertujuan untuk menjual kamarnya.53

Sementara itu, Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton, menyatakan bahwa

Biro Perjalanan Wisata memiliki peran yang penting dalam suatu kegiatan

pariwisata, menurut mereka “This is the party, regardless of name, who organizes

the package, that is selects and arranges the components. The tour operator may

50
Muljadi, op.cit, h. 125.
51
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 64.
52
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, loc.cit.
53
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 30.
42

also be a travel agent.”54 Sedangkan Armin D. Lehmann dalam bukunya yang

berjudul travel and tourism menjelaskan bahwa “Tour Operator is a company

that creates (packages) or markets inclusive tours, selling them through Travel

agent or directly to the public that may perform tour services or sub-contract for

such services.”55

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat terlihat bahwa kegiatan usaha yang

diutamakan oleh Biro Perjalanan Wisata adalah perencanaan perjalanan wisata

(tours) yang dikombinasikan dengan penawaran-penawaran jasa usaha pariwisata

lainnya, dan dikemas dalam suatu paket wisata yang dijual langsung kepada

wisatawan ataupun disalurkan melalui travel agent, dan apabila paket wisata

tersebut sudah laku terjual, maka Biro Perjalanan Wisata wajib untuk

melaksanakan tour tersebut kepada wisatawan, sesuai dengan tour itinerary yang

telah disepakati.

Dalam kaitannya dengan pariwisata berkelanjutan, dalam buku yang berjudul

Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive

Tourism, dikatakan bahwa “Tourism is a major force in the global economy

which is founded on uniquely special relationships between the environment

(global and local) and the many millions of people who participate in the sector

as consumers and suppliers”.56 Sehingga dalam hal ini, biro perjalanan wisata

54
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 215.
55
Oka A. Yoeti, loc.cit.
56
World Tourism Organization, 2010, Joining Forces Collaborative Processess for
Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Madrid, h. 1. (selanjutnya
disebut World Tourism Organization I)
43

memiliki peran dalam pariwisata berkelanjutan, dengan cara memberikan

pelayanan terbaik kepada setiap wisatawan yang menggunakan jasanya dan

berpartisipasi aktif untuk menjaga daerah tujuan wisata yang dikunjunginya.

Sebuah Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan aktifitasnya haruslah

memiliki ijin usaha yang disebut Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP).

Berdasarkan pasal angka 8 Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor

PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan

Wisata menyebutkan bahwa, Tanda Daftar Usaha Pariwisata adalah dokumentasi

resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha

telah tercantum di dalam Daftar Usaha Pariwisata. Selanjutnya dalam peraturan

ini dijelaskan beberapa syarat untuk pengajuan TDUP tersebut, yaitu :

a. Pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat

kedudukan kantor dan/atau gerai penjualan. (Pasal 3 ayat 1)

b. Biro Perjalanan Wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum

(Pasal 6 ayat 2)

c. Permohonan pendaftaran usaha pariwisata ditujukan secara tertulis oleh

pengusaha, dengan menyertakan dokumen : (Pasal 9 ayat 1 dan 2)

1. Fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha jasa

perjalanan wisata sebagai maksud dan tujuannya, beserta perubahannya,

apabila ada.

2. Fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.


44

3. Surat Pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa data dan dokumen yang

diserahkan tersebut adalah benar, absah dan sesuai dengan fakta.

Untuk dapat memperluas jaringan yang dimilikinya, Biro Perjalanan Wisata

dapat mendirikan kantor cabang di ibukota provinsi dan dapat membuka gerai jual

yang belum memiliki kantor cabang. Cabang Biro Perjalanan Wisata memiliki

kegiatan yang sama dengan Biro Perjalanan Wisata Pusat, sedangkan kegiatan

gerai jual hanya dapat melakukan penjualan terhadap paket wisata yang dibuat

oleh Biro Perjalanan Wisata serta menyediakan jasa pelayanan, pemesanan

akomodasi, tempat makan, tempat konvensi, dan tiket pertunjukan seni budaya,

ataupun kunjungan ke lokasi daya tarik wisata lainnya. 57 Dalam

menyelenggarakan sebuah paket perjalanan wisata, Biro Perjalanan Wisata harus

berkoordinasi dengan beberapa pihak agar program yang dibuat dapat berjalan

dengan lancar. Pihak – pihak tersebut adalah sebagai berikut :

1. Airlines/maskapai penerbangan

Airlines/maskapai penerbangan adalah penyedia jasa transportasi udara,

dimana jasa mereka akan sangat dibutuhkan jika program yang ditangani oleh

sebuah Biro Perjalanan Wisata jaraknya sangat jauh dan akan menghabiskan

banyak waktu jika ditempuh dengan transportasi darat maupun laut.

2. Penginapan/Hotel

Usaha perjalanan membuatuhkan sarana penginapan bagi peserta wisata yang

dibuat dan diselenggarakannya. Selain itu, suatu usaha jasa perjalanan juga dapat

memberikan jasa untuk pelayanan jasa pemesanan kamar hotel oleh konsumen

57
Muljadi, op.cit, h. 126.
45

dan akan mendapat komisi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan

manajemen penginapan/hotel. Dalam SK Menteri Parpostel No.

KM37/PW.304/MPPT-86, disebutkan bahwa Hotel adalah suatu jenis akomodasi

yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa

penginapan, makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi umum dan dikelola

secara komersial.58

3. Penyedia Jasa transportasi darat

Penyedia jasa transportasi darat adalah perusahaan maupun perseorangan yang

menyediakan fasilitas kendaraan darat yang dapat disewa dalam beberapa waktu.

Beberapa contoh dari transportasi darat adalah :

- Sepeda motor maupun sepeda tidak bermotor

- Angkutan umum (Becak, Andong, Bajaj, Taksi, Bus trayek, dll)

- Mobil & bus rental.

4. Rumah makan/Restaurant

Rumah makan/Restaurant adalah penyedia jasa makan dan minum (meals)

dan akan sangat dibutuhkan karena pada hakikatnya setiap peserta dalam

perjalanan wisata harus terjamin kebutuhan makan dan minumnya.

5. Guide/Pemandu Wisata

Peranan guide sangat penting dalam sebuah perjalanan wisata karena memiliki

tugas untuk menjelaskan setiap hal yang berkaitan dengan perjalanan wisata itu

sendiri baik selama di perjalanan maupun setelah tiba di obyek wisata. Beberapa

jenis guide menurut spesialisasi dan lisensi yang dimiliki :

58
Muljadi, op.cit, h. 147-148.
46

1. Guide berbahasa asing,

2. Guide berbahasa Indonesia,

3. Lokal guide (guide yang hanya memiliki lisensi pada sebuah obyek

wisata saja)

6. Dinas/Perusahan yang terkait dengan dokumen perjalanan

Adalah dinas/perusahaan yang memiliki fungsi untuk mengeluarkan dokumen

perjalanan yang dibutuhkan dalam sebuah perjalanan wisata, seperti :

- Tiket obyek wisata

- Paspor

- Fiskal

- Visa, dan lain-lain

7. Tour leader

Tour leader adalah pemimpin rombongan yang bertugas untuk mengatur

setiap jadwal yang tercantum dalam itinerary agar perjalanan wisata berjalan

lancar tanpa hambatan.

8. Porter

Porter bertugas untuk memindahkan luggage (barang) milik peserta dari satu

tempat ke tempat lain. Biasanya porter dapat dijumpai di Airport, Pelabuhan,

Stasiun, Obyek wista maupun di Terminal bus.

9. Art shop

Art shop adalah penyedia barang oleh – oleh atau cinderamata yang biasanya

harus ada dalam sebuah paket perjalanan wisata. Hal tersebut dimaksudkan agar
47

setiap peserta memiliki kenang–kenangan yang dapat dibawa pulang kembali ke

tempat asal masing–masing setelah program perjalanan berakhir.

Seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat, usaha perjalanan saat

ini telah memiliki asosiasi yang bersifat nasional maupun internasional. Dalam

lingkup nasional, asosiasi itu bernama Association of the Indonesian Tour &

Travel Agency (ASITA). ASITA adalah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata

Indonesia yang didirikan di Jakarta, pada 7 Januari 1971 dan Kantor Pusatnya

berkedudukan di Jakarta. ASITA memiliki 31 Dewan Pimpinan Daerah (DPD)

yang tersebar di seluruh Indonesia, yang salah satunya terdapat di Bali. DPD

ASITA Bali didirikan pada tahun 1974, dan merupakan salah satu anggota

Stakeholder Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali atau yang lebih

dikenal dengan sebutan Bali Tourism Board. Anggota ASITA Bali terdiri dari 359

Biro Perjalanan Wisata (BPW) serta 13 Associate Member (sekolah dan cruise)

yang tersebar di seluruh Bali. Untuk memudahkan pengawasan pasar utamanya

terkait dalam hal promosi, ASITA Bali telah terbentuk divisi-divisi yang

berkonsentrasi di pangsa pasarnya masing-masing, antara lain:59

a. Bali Rasa Sayang : Pangsa Pasar Jepang

b. Bali Liang : Pangsa Pasar Mandarin

c. Privet Bali : Pangsa Pasar Rusia

d. Cinta Bali : Pangsa Pasar Domestik

e. Bali Hai : Pangsa Pasar Amerika dan India

59
ASITA Bali, 2014, About Us, http://www.asitabali.org/aboutus.htm, diakses tanggal 23
Februari 2015.
48

Sedangkan dalam lingkup internasional, terdapat 2 asosiasi yang menaungi

usaha perjalanan, yaitu Pasific Area Travel Association (PATA) dan World

Association of Travel Agencies (WATA). PATA adalah organisasi pariwisata

yang tidak mencari keuntungan (non-profit) di kawasan Asia Pasifik. Asosiasi ini

dibentuk pada tahun 1951 dan berkantor pusat di San Fransisco, Amerika Serikat.

Sedangkan, WATA adalah himpunan travel agent internasional.60

Selain PATA dan WATA, terdapat juga asosiasi internasional yang berkaitan

dengan usaha perjalanan wisata, yaitu International Air Transport Association

(IATA). Tujuan utama menjadi anggota IATA, yaitu :61

a. Menjamin penerbangan yang aman bagi penumpang di seluruh dunia;

b. Sarana untuk menyatukan dari banyak perusahaan penerbangan dalam

memberikan pelayanan yang baik;

c. Melakukan kerjasama dengan International Civil Aviation Organization

(ICAO).

Sebagai anggota IATA, suatu usaha perjalanan wisata wajib untuk memiliki

pengaturan dan kemampuan terkait aturan-aturan yang menyangkut, antara lain :62

a. Semua data dokumen penerbangan termasuk tiket;

b. Segala jenis rute perjalanan;

c. Menghitung biaya perjalanan, baik tarif normal maupun tarif khusus;

60
Ketut Sumadi, 2008, Kepariwisataan Indonesia : Sebuah Pengantar, Sari Kahyangan
Indonesia, Denpasar, h. 34.
61
Muljadi A.J., op.cit, h. 128.
62
Muljadi A.J., op.cit, h. 129.
49

d. Melakukan re-route, re-issue, mengubah validitas endorsement tiket

sesuai aturan yang berlaku;

e. Melakukan setoran pembayaran sesuai jadwal yang ditentukan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Biro Perjalanan

Wisata adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa pariwisata,

dan memiliki kegiatan usaha utama berupa perencanaan dan penyelenggaraan

paket wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan.

2.2.2. Pengaturan Biro Perjalanan Wisata

Di Indonesia, Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata pertama kali diatur dalam

Surat Keputusan Direktur Jendral Pariwisata No.Kep.16/U/II/88 Tgl 25 Februari

1988 tentang pelaksanaan Ketentuan Usaha jasa Perjalanan, dan disebut dengan

Biro Perjalanan Umum. Dalam Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa Biro

Perjalanan Umum adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha

perjalanan ke dalam negeri dan atau di dalam negeri dan atau ke luar negeri. 63

Selanjutnya dalam Pasal 4 Bab II dijelaskan bahwa Biro Perjalanan Umum ini

memiliki ruang lingkup kegiatan usaha yang terdiri dari :

1. Membuat, menjual dan menyelenggarakan paket wisata;

2. Mengurus dan melayani kebutuhan jasa angkutan bagi perorangan dan atau

kelompok orang yang diurusnya;

3. Melayani pemesanan akomodasi, restoran, dan sarana wisata lainnya.

4. Mengurus dokumen perjalanan;


63
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 28.
50

5. Menyelenggarakan panduan perjalanan wisata;

6. Melayani penyelenggaraan konvensi.

Selanjutnya, Usaha Biro Perjalanan Wisata juga diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan, seperti :

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan;

3. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor

KM.105/PW.304/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Pariwisata;

4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor

KM.10/HK/PM.102/MPPT-93 tentang Ketentuan Usaha Jasa Biro Perjalanan

Wisata dan Agen Wisata;

5. Keputusan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Nomor KEP.339/M-

PSB/1998 tentang Biro Perjalanan Wisata Penyelenggara Perjalanan

Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara.

Seiring dengan perubahan jaman, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990,

dianggap sudah tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga dibentuklah Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Namun dalam Undang-

Undang ini, hanya mengatur secara umum tentang usaha jasa perjalanan wisata.

Pengaturan secara khusus tentang usaha perjalanan wisata dapat ditemukan dalam

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010

tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dalam Pasal 1

dijelaskan bahwa, Biro Perjalanan Wisata adalah usaha penyediaan jasa


51

perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata,

termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara dalam Pasal 6, peraturan

ini dijelaskan bahwa pengusaha jenis usaha Biro Perjalanan wisata berbentuk

badan usaha Indonesia berbadan hukum, yang dalam hal ini berarti Perseroan

terbatas atau Koperasi.

Persyaratan utama untuk menjalankan usaha Biro Perjalanan Wisata ini adalah

tersedianya tenaga professional dalam jumlah dan kualitas yang memadai serta

dimilikinya kantor tetap yang memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5, dijelaskan bahwa Pengusaha Pariwisata

adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata

di bidang usaha jasa perjalanan wisata. Ketentuan tentang badan usaha Indonesia

tersebut memberikan makna bahwa peraturan ini hanya memperbolehkan pelaku

usaha yang berbadan usaha Indonesia saja yang boleh mengadakan usaha jasa

perjalanan wisata. Disamping itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang biro perjalanan wisata belum sepenuhnya dapat mengakomodir dan

mengantisipasi perkembangan usaha biro perjalanan wisata yang semakin

berkembang. Terutama masalah pengaturan standarisasi mutu pelayanan secara

umum, masalah standarisasi harga, masalah perlindungan konsumen, perizinan

dan juga masalah tenaga kerja.64

64
I Putu Gelgel, op.cit, h. 83.
52

2.3. Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum

2.3.1. Konsep Wisatawan

Pengertian tentang wisatawan pertama kali dibahas di Forum Internasional

oleh Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (Economic Commission of the League

of Nations) pada tahun 1937. Dalam forum tersebut dinyatakan bahwa, “tourist is

any person travelling for a period of 24 hours or more in a country other than

that in wich be usually resides”65. Dalam pengertian tersebut terlihat bahwa

kriteria batasan seorang dapat dikatakan sebagai wisatawan terletak pada lama

waktu tinggal dan tujuan kunjungannya ke suatu tempat. Sedangkan menurut G.A.

Schmol, wisatawan adalah individu atau kelompok yang mempertimbangkan dan

merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk melakukan suatu perjalanan,

yang tertarik pada perjalanan pada umumnya berdasarkan motivasi perjalanan

yang telah dilakukan, untuk menambah pengetahuan, tertarik pada pelayanan yang

diberikan oleh suatu daerah tujuan wisata, yang nantinya dapat menarik

pengunjung di masa yang akan datang.66

Selanjutnya dalam United Nations Conference on Travel and Tourism

disebutkan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi Negara

bukan merupakan tempat tinggalnya, untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk

mencari pekerjaan atau penghidupan dari Negara yang dikunjungi.67 Menurut

John Kester, “A tourist is a person temporarily involved in a trip lasting at least

65
Muljadi, op.cit, h. 9.
66
Ketut Sumadi, op.cit, h. 51.
67
I Gede Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi Offset, Yogyakarta, h.
43.
53

one night, but less than a year, in a destination outside their usual

environment.”68 Sementara dalam World Tourism Organization (WTO),

disebutkan bahwa wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang

melakukan perjalanan ke suatu atau beberapa negara di luar tempat tinggal

biasanya (home base), untuk periode kurang dari 12 (dua belas) bulan dan

memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan usaha.69

Meskipun terdapat berbagai macam batasan dalam mengartikan wisatawan,

ada beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati secara internasional,

yaitu :70

1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih

lokalitas.

2. Visitor, adalah orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan

merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan

perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari

nafkah, pendapatan, atau penghidupan di tempat tujuan.

3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak

satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi.

Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan, disebutkan secara sederhana bahwa Wisatawan adalah

68
World Tourism Organization, 2011, Policy and Practice For Global Tourism, World
Tourism Organization, Madrid, h. 33. (selanjutnya disebut World Tourism Organization II)
69
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata : Konsep dan
Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, h. 3
70
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 45-46.
54

orang yang melakukan wisata. Departemen Pariwisata menggunakan definisi

wisatawan sebagai setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk

sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya, untuk salah satu atau beberapa

alasan selalu mencari pekerjaan. Berdasarkan pengertian tersebut wisatawan

dibagi menjadi dua yaitu:71

1. Wisatawan Domestik (dalam negeri)

Wisatawan yang melakukan wisata dan rekreasi ke suatu wilayah lain di

negaranya, dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang berbeda dengan

lingkungan sekitarnya. Sehingga tujuan utamanya adalah memenuhi rasa

penasaran terhadap tempat yang diyakini menyenangkan ataupun menakjubkan.

2. Wisatawan Mancanegara

Pengertian wisatawan mancanegara didefinisikan sebagai orang yang

melakukan perjalanan diluar negara tempat tinggal biasanya selama kurang dari

12 bulan dari negara yang dikunjunginya, dengan tujuan bukan untuk memperoleh

penghasilan. Tujuan utamanya adalah menikmati suasana tempat yang baru

dikunjunginya dan mengamati sejarah suatu obyek wisata dengan seksama.

Sebuah faktor penting yang harus dipahami sebelum sebuah destinasi

pariwisata dikembangkan, adalah motivasi yang menjadi latar belakang seseorang

untuk berwisata. R.W. Mc Intosh menjelaskan bahwa motivasi yang mendorong

seseorang untuk melakukan perjalanan adalah sebagai berikut:72

71
Anonim, Wisatawan Domestik, http://www.anneahira.com/wisatawan-domestik.htm, diakses
tanggal 22 Januari 2015.
72
Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan Di
Indonesia, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=101&id=1152, diakses tanggal 26 Januari
2015.
55

1. Pleasure (bersenang-senang), seseorang melakukan kegiatan wisata dengan

tujuan untuk “melarikan diri” sementara dari rutinitas yang selama ini

dilakukannya.;

2. Relaxation, rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress),

dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut

antara lain dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan

yang dilihatnya sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan

damai dan menyehatkan, seperti misalnya suasana pedesaan, gunung, ataupun

pantai.;

3. Health (kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu

menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit;

4. Participation in sports (olah raga yang bersifat rekreasi), mengikuti suatu

kegiatan olah raga, merupakan salah satu hal yang melatar belakangi adanya

suatu kegiatan wisata;

5. Curiousity and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan

kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena

perkembangan teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan.

Motivasi yang menjadi latar belakang seseorang melakukan kunjungan dalam

hal ini adalah keinginan untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki

nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi or yang menyelenggarakan

aktivitas budaya yang sangat penting, seperti festival musik, festival seni,

teater dan sebagainya;


56

6. Ethnic and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus

berkaitan dengan kesamaan etnik, orang dapat termotivasi untuk

mengunjungi suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran

nenek moyangnya.

7. Spiritual and Religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan), hal

lain yang dewasa ini sering dilakukan oleh wisatawan adalah mengunjungi

tempat-tempat yang memiliki kesan spiritual dan keagamaan untuk

menenangkan pikiran. Hal ini biasanya dilakukan oleh wisatawan yang

tingkat kepenatannya sudah sangat tinggi, sehingga wisatawan tersebut

memutuskan untuk mencari tempat yang tenang dan spiritual, untuk dapat

leebih mendekatkan diri dengan Tuhan;

8. Status and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan

untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status

sosial dan gengsi yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi

pariwisata tertentu; dan,

9. Professional or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan

profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau

konferensi.

Sebelum melakukan suatu perjalanan wisata, seorang wisatawan lebih dahulu

melakukan suatu pertimbangan untuk menentukan tujuan, waktu, dan cara yang

akan digunakan untuk mencapai tempat wisata tersebut, yang akhirnya membuat

wisatawan mengambil suatu keputusan untuk berwisata. Menurut Mathieson dan


57

Wall, proses pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada lima fase yang

telah dilalui, yaitu :73

1. Kebutuhan atau keinginan untuk melakukan perjalanan.

Tujuan dari perjalanan dirasakan oleh wisatawan, yang selanjutnya akan

dipertimbangkan apakah perjalanan tersebut perlu dilakukan atau tidak.

2. Pencarian dan penilaian informasi.

Dalam hal ini, wisatawan akan melakukan pencarian terkait detail informasi

tempat wisata yang akan dituju, melalui biro ataupun agen perjalanan wisata,

brosur-brosur di media cetak, atau berdiskusi dengan orang-orang yang telah

melakukan perjalanan terlebih dahulu.

3. Keputusan melakukan perjalanan wisata.

Hal ini meliputi: daerah tujuan wisata, jenis akomodasi, cara bepergian, dan

aktivitas yang akan dilakukan.

4. Persiapan perjalanan dan pengalaman wisata.

Wisatawan melakukan booking, yang dilengkapi dengan segala persiapan

pribadi, yang akhirnya perjalanan wisata dilakukan.

5. Evaluasi kepuasan perjalanan wisata.

Secara sadar ataupun tidak, setelah melakukan perjalanan wisata, wisatawan

akan melakukan evaluasi pribadi terhadap perjalanan wisata yang telah

dilakukan. Dimana hasil evaluasi tersebut akan mempengaruhi keputusan

dalam perjalanan wisata selanjutnya.

73
Sarbini Mbah Ben, 2010, Paradigma Baru Pariwisata : Sebuah Kajian Filsafat, Kaukaba
Dipantara, Yogyakarta, h. 76.
58

2.3.2. Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum

Wisata adalah hak yang dimiliki setiap orang untuk melakukan perjalanan ke

berbagai tempat yang diinginkannya dengan tujuan untuk mengistirahatkan fisik

dan pikirannya setelah merasa lelah menjalani rutinitasnya sehari-hari. Pada

hakekatnya, pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan secara

bebas, sukarela dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan dan

eksistensi manusia itu sendiri.74 Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal

13 ayat 1 dan Pasal 24 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),

yang pada dasarnya menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas

dalam bergerak, beristirahat, dan berlibur. Pengaturan ini pun selanjutnya diatur

lebih rinci dalam ketentuan-ketentuan pasal 8 dan 12 International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, serta dalam pasal 6, 7, dan 8

International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966.

Wisatawan adalah faktor utama penentu maju atau mundurnya suatu industri

pariwisata. Untuk dapat memajukan industri pariwisata, diperlukan berbagai

macam usaha untuk dapat menarik minat wisatawan berkunjung pada suatu

daerah tujuan wisata. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan untuk

dapat menarik minat wisatawan adalah dengan memberikan perlindungan

terhadap hak-hak yang dimilikinya, sehingga wisatawan tersebut rasa nyaman dan

aman. Menurut Made Metu Dahana, dalam melakukan perjalanan wisata terdapat

tiga jenis gangguan yang mungkin dihadapi oleh wisatawan, yaitu : 75

74
Muljadi A.J., op.cit, h. 21.
75
Made Metu Dahana, op.cit, h. 15.
59

1. Gangguan Langsung terhadap Wisatawan

Gangguan ini merupakan gangguan langsung yang ditujukan kepada

wisatawan itu sendiri. Gangguan ini dapat terjadi di tempat kedatangan,

perjalanan, penginapan, tempat makan, atau di tempat-tempat hiburan. Contoh

gangguan tersebut, yaitu pencurian, pencopetan, penganiayaan, pembunuhan,

dan pemerasan.

2. Gangguan Tidak Langsung

Gangguan ini adalah gangguan yang tidak langsung ditujukan kepada

wisatawan, namun mampu mendatangkan rasa tidak aman dan nyaman kepada

wisatawan. Misalnya saja terjadi perkelahian masal, demonstrasi yang anarkis,

kerusuhan, ataupun SARA.

3. Gangguan Kecelakaan

Gangguan ini dapat terjadi karena adanya kelalaian dari wsiatawan itu sendiri,

ataupun kelalaian dari petugas pelayanan wisatawan. Misalnya saja terjadinya

kecelakaan saat mendaki gunung ataupun panjat tebing, yang dikarenakan

wisatawan tidak mematuhi peraturan-peraturan yang telah diberikan oleh

pemandu wisata, ataupun terjadinya kecelakaan bus pariwisata yang

disebabkan oleh supir bus yang tidak disiplin atau tidak memenuhi standar

yang ada.

4. Gangguan Teroris

Gangguan yang dilakukan oleh teroris dapat terjadi dimana-mana. Kegiatan

teroris merupakan kegiatan atau usaha yang menimbulkan rasa takut kepada

masyarakat luas dan dilakukan secara konsepsional melalui perencanaan yang


60

matang, kriminal, dan politik. Kegiatan teroris ini tidak hanya merugikan

perorangan atau kelompok, namun juga pemerintah atau Negara dan para

wisatawan.

Secara internasional, hak-hak wisatawan secara implisit terlihat dalam Pasal

IV Tourism Bill of Right and Tourist Code, yang menyatakan bahwa wisatawan

memiliki hak untuk mendapat jaminan keselamatan atas diri dan harta yang

dimilikinya, serta mendapat jaminan kesehatan lingkungan yang bersih, sehingga

terbebas dari ancaman penyakit-penyakit menular. Sementara itu, dalam Pasal 8

Global Code, disebutkan bahwa hak-hak wisatawan, yaitu :

1. Wisatawan berhak memiliki kebebasan untuk berkunjung dari satu tempat ke

tempat lainnya tanpa dibatasi oleh formalitas dan perlakuan diskriminasi;

2. Wisatawan berhak memiliki akses kepada semua bentuk komunikasi, jasa

administratif, hukum dan kesehatan, serta berhak menghubungi wakil konsuler

negaranya sesuai dengan ketentuan hokum internasional di bidang diplomatik

yang berlaku;

3. Wisatawan memiliki hak mengenai kerahasiaan data dan informasi pribadi

lainnya;

4. Prosedur administrasi mengenai lintas batas seperti, formalitas pengurusan

visa, kesehatan, dan kepabeanan sepatutnya tidak menjadi penghambat

kebebasan wisatawan untuk mengunjungi suatu wilayah Negara lain untuk

kunjungan wisata;

5. Wisatawan memperoleh kebebasan untuk menukar mata uang yang

dibutuhkan untuk perjalanan.


61

Seorang wisatawan mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh

penyelenggara jasa pariwisata. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa, Setiap wisatawan berhak

memperoleh :

(a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;


(b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
(c) perlindungan hukum dan keamanan;
(d) pelayanan kesehatan;
(e) perlindungan hak pribadi; dan
(f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.

Selanjutnya dalam Pasal 21 dijelaskan bahwa, wisatawan yang memiliki

keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus

sesuai dengan kebutuhannya.

Selain dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, apabila dikaitkan dengan UUPK, maka sesuai dengan pengertian

yang ada dalam undang-undang tersebut seorang wisatawan dapat disebut sebagai

konsumen, yang dalam hal ini adalah konsumen jasa di bidang pariwisata. Sebagai

konsumen, maka wisatawan mempunyai hak-hak yang diatur dalam pasal 4

UUPK, sebagai berikut :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;
62

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebelum diatur dalam peraturan perundang undangan yang lain, UUPK dapat

digunakan untuk melindungi dan mengatur hak dan kewajiban seorang wisatawan

atau konsumen jasa pariwisata. Pengertian ini tidak hanya terbatas wisatawan

asing maupun domestik, tetapi juga berlaku bagi pelaku usaha yang melakukan

usaha dalam wilayah hukum Indonesia. Selain hak sebagai konsumen, wisatawan

juga dikenakan kewajiban seperti apa yang diatur dalam pasal 5 UUPK.

Kewajiban lain yang harus diperhatikan adalah, wisatawan wajib memperhatikan

dalm memelihara dalam segala hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitar

obyek pariwisata. Hal ini penting untuk diketahui dan benar-benar dilaksanakan
63

oleh wisatawan, agar terhindar dari kerugian akibat tidak mengetahui hak dan

kewajibannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaturan

tentang hak-hak wisatawan tidak hanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, namun juga dapat digunakan acuan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena

dalam hal ini, wisatawan juga bertindak sebagai konsumen pengguna jasa

pariwisata.
BAB III

KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN STANDAR

KEAMANAN DAN KESELAMATAN WISATAWAN DALAM

PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN

WISATA

3.1. Pengaturan Perlindungan Wisatawan oleh Biro Perjalanan Wisata

berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4

Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata

Salah satu faktor penunjang industri pariwisata adalah adanya Keamanan dan

Pelayanan terhadap wisatawan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia,

tanpa membeda-bedakan ras, agama, dan bangsa tertentu. Pelayanan tersebut tidak

hanya semata-mata tentang pelayanan fisik, namun juga pelayanan yang berkaitan

dengan rasa aman dan nyaman yang dirasakan oleh wisatawan. Pada saat

melakukan perjalanan wisata, besar kemungkinan wisatawan akan mengalami

suatu kejadian yang dapat mebahayakan nyawa ataupun harta bendanya. Misalnya

saja, wisatawan tersebut mengalami kecelakaan, pencurian, penipuan, atau

diperlakukan dengan tidak adil dan tidak sesuai dengan haknya sebagai manusia,

yang mungkin disebabkan oleh alasan politik atau hal-hal yang terjadi akibat

adanya perubahan situasi keamanan Negara.

Biro Perjalanan Wisata sebagai salah satu pelaku usaha yang bergerak di

bidang usaha jasa perjalanan wisata, memiliki peranan penting untuk ikut

berpartisipasi dalam memberikan perlindungan dan keamanan kepada wisatawan,

64
65

khususnya wisatawan yang menggunakan jasanya. Wisatawan sebagai individu

merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajiban yang melekat

padanya, yang harus dihormati dan dilindungi. Oleh sebab itu, pelaku usaha

pariwisata terutama Biro Perjalanan Wisata harus semakin tanggap dalam

menghadapi permintaan-permintaan pelanggan terhadap daerah tujuan wisata

yang aman dan selalu mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan

melalui pemilihan alat transportasi yang tepat.

Dalam Global Code of Ethic, dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban

untuk memberi perlindungan kepada wisatawan dan harta bendanya, mengingat

dimungkinkan adanya tindak kejahatan dan kekerasan yang akan dialami oleh

wisatawan tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah wajib untuk menyediakan sarana

keamanan, asuransi, dan segala bantuan yang sesuai dengan kebutuhan

wisatawan.76

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan Pasal 26 huruf (d), telah diatur tentang kewajiban Pihak

pengusaha pariwisata untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan

keamanan dan keselamatan kepada wisatawan. Permasalahan yang selanjutnya

berkembang adalah dalam Undang-Undang Kepariwisataan tersebut belum

mengatur secara jelas terkait standarisasi yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha,

yang dalam hal ini adalah Biro Perjalanan Wisata, untuk dapat menjalankan

kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 huruf (d) tersebut. Karena

76
I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa
(GATS – WTO), Implikasi Hukum dan Antisipasinya, Refika Aditama, Bandung, h. 88.
66

dalam Pasal 53-55 yang mengatur tentang Standarisasi dan Sertifikasi, hanya

menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 dan sertifikasi usaha sebagaimana

tercantum dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 2012 Pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi

Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan dalam ketentuan

Pasal 18, yang menyatakan bahwa :

(1) Penyusunan Standar Usaha Pariwisata untuk setiap bidang usaha, jenis
usaha dan subjenis usaha pariwisata mencakup aspek produk, pelayanan
dan pengelolaan usaha.
(2) Penyusunan Standar Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara bersamasama oleh instansi pemerintah terkait,
asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan akademisi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Usaha Pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sehingga pada tanggal 11 April 2014, Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif (Permenparekraf) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha

Jasa Perjalanan Wisata.

Apabila dikaji berdasarkan Teori Hukum Murni, adanya perjenjangan dalam

pengaturan standarisasi dan sertifikasi usaha ini menunjukkan bahwa hukum yang

lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah.

Dibuatnya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa

Perjalanan Wisata merupakan perintah dari Peraturan Pemerintah Nomor 52

Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang

Pariwisata, dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang


67

Kepariwisataan. Berdasarkan teori hukum murni, Negara merupakan tatanan

sosial yang harus identik dengan hukum, paling tidak dengan tatanan hukum

spesifik yang relaif sentralistis, yakni tatanan hukum nasional yang membedakan

dengan hukum internasional yang desentralistis. Teori hukum murni

menghilangkan dualisme antara hukum dan keadilan, sebagaimana

menghilangkan dualisme antara hukum dan Negara.77 Oleh sebab itu, lahirnya

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini merupakan suatu bentuk pengaplikasian

teori hukum murni, yang memiliki dasar peraturan yang jelas.

Peraturan Menteri ini mengatur secara detail tentang standar yang harus

dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata dalam

melaksanakan usahanya. Standar Usaha Jasa Perjalanan Pariwisata yang dimaksud

dalam Peraturan Menteri ini, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 3,

adalah “Rumusan klasifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan/atau klasifikasi

Usaha Jasa Pariwisata yang mencakup aspek produk, pelayanan dan pengelolaan

Usaha Jasa Perjalanan Wisata”. Sehingga secara garis besar, dalam Pasal 2

dinyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mengatur dan menetapkan batasan

tentang :

a. Persyaratan Minimal dalam penyelenggaraan Usaha Jasa Perjalanan

Wisata;

b. Pedoman best practices dalam pelaksanaan Sertifikasi Usaha Jasa

Perjalanan Wisata.

77
Yayan M. Royani, 2012, Negara dan Teori Hukum Murni, http://elsaonline.com/?p=1323,
diakses tanggal 26 Januari 2015.
68

Selanjutnya, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kegiatan usaha Biro Perjalanan

Wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan usaha jasa

pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata termasuk perjalanan ibadah, yang

berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum. Adanya ketentuan dalam pasal

5 ini menegaskan kembali bahwa Biro Perjalanan Wisata haruslah berbentuk

badan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam menjalankan usahanya

harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus

tentang badan hukum di Indonesia.

Kewajiban Pelaku Usaha Perjalanan Wisata untuk memiliki Sertifikat Usaha

Jasa Perjalanan Wisata tercantum dalam Pasal 7 ayat (1), yang menyatakan bahwa

“Setiap Usaha Jasa Perjalanan Wisata, termasuk kantor cabang Usaha Jasa

Perjalanan Wisata, wajib memiliki Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan

melaksanakan Sertifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata, berdasarkan persyaratan

dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.” Kata wajib, yang

terdapat dalam ketentuan pasal tersebut mengartikan bahwa Sertifikat Usaha Jasa

Perjalanan Wisata ini adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa

perjalanan wisata, yang apabila tidak dipenuhi maka akan menimbulkan sanksi

tertentu.

Sementara itu, dalam Pasal 9 dijelaskan terkait persyaratan yang harus

dipenuhi untuk dapat melaksanakan sertifikasi usaha jasa perjalanan wisata, yaitu:

(1) Untuk keperluan sertifikasi dan penerbitan Sertifikat Usaha Jasa


Perjalanan Wisata, harus dilakukan penilaian terhadap:
a. pemenuhan persyaratan dasar; dan
b. pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
(2) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah
Tanda Daftar Usaha Pariwisata Bidang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
69

(3) Dalam hal persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
terpenuhi, maka sertifikasi tidak dapat dilakukan.
(4) Pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang berlaku bagi Usaha Jasa
Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
mencakup:
a. Standar Usaha bagi Biro Perjalanan Wisata, yang meliputi aspek:
1. produk, yang terdiri dari 20 (dua puluh) unsur;
2. pelayanan, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur; dan
3. pengelolaan, yang terdiri dari 11 (sebelas) unsur.

Sebagaimana telah dibahas dalam bab II, Ketentuan mengenai Persyaratan

administrasi untuk memiliki Ijin Usaha Jasa Perjalanan Wisata diatur dalam

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010

tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dalam peraturan ini

dijelaskan beberapa syarat untuk pengajuan TDUP, yaitu :

a. Pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat

kedudukan kantor dan/atau gerai penjualan. (Pasal 3 ayat 1)

b. Biro Perjalanan Wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum

(Pasal 6 ayat 2)

c. Permohonan pendaftaran usaha pariwisata ditujukan secara tertulis oleh

pengusaha, dengan menyertakan dokumen : (Pasal 9 ayat 1 dan 2)

1. Fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha jasa

perjalanan wisata sebagai maksud dan tujuannya, beserta perubahannya,

apabila ada.

2. Fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Surat Pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa data dan dokumen yang

diserahkan tersebut adalah benar, absah dan sesuai dengan fakta.


70

Pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang wajib dipenuhi oleh Biro

Perjalanan Wisata, sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (4) Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014, berkaitan erat dengan paket wisata yang disediakan oleh

Biro Perjalanan Wisata. Paket wisata merupakan hasil dari berbagai produk

wisata. Produk adalah barang atau jasa yg dibuat dan ditambah gunanya atau

nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu.78

Menurut Muljadi A.J., Produk wisata adalah kumpulan dari berbagai macam jasa

dimana antara satu dan lainnya memiliki keterkaitan dan dihasilkan oleh berbagai

perusahaan pariwisata, seperti restoran/tempat makan, akomodasi, daya tarik

wisata, angkutan wisata, dan perusahaan lainnya yang terkait. 79 Sehingga dalam

pelaksanaannya, unsur-unsur jasa pariwisata tersebut haruslah memberikan

pelayanan yang terbaik, karena mereka tergabung dalam suatu paket wisata, yang

apabila salah satu memberikan kesan yang buruk maka akan berdampak pada

unsur-unsur jasa lainnya. Menurut Gamal Suwantoro, suatu produk wisata

memiliki ciri-ciri khusus, yaitu :80

1. Hasil suatu produk wisata tidak dapat dipindahkan. Dikatakan demikian

karena dalam proses penjualannya tidak mungkin produk tersebut dibawa

kepada konsumen. Tetapi konsumenlah yang datang untuk mendapatkan

produk wisata tersebut.

78
Anonim, 2015, Produk, http://kbbi.web.id/produk, diakses tanggal 22 Februari 2015.
79
Muljadi A.J., op.cit, h. 47.
80
Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, Andi, Yogyakarta, h. 48-49.
71

2. Produksi dan konsumsi terjadi pada saat dan tempat yang sama, karena

tanpa adanya pembelian maka tidak akan terjadi produksi.

3. Produk wisata tidak menggunakan suatu standar ukuran fisik, namun

menggunakan standar pelayanan yang didasarkan pada suatu kriteria

tertentu.

4. Konsumen tidak dapat mencoba contoh produk itu sebelumnya, atau

bahkan mengetahui dan menguji produk itu sebelumnya.

5. Hasil suatu produk wisata tergantung pada tenaga manusia dan hanya

sedikit yang menggunakan mesin.

6. Produk wisata merupakan usaha yang mengandung resiko besar.

Dikatakan demikian, karena adanya produk wisata ini sangat bergantung

kepada adanya wisatawan. Apabila tidak ada wisatawan yang

menggunakan produk wisata tersebut, maka tidak akan terjadi proses

produksi.

Menurut Middleton, dalam industri pariwisata produk dapat dipahami dalam

dua tingkatan, yaitu :81

1. Produk wisata secara keseluruhan (total tourist product), yaitu kombinasi

dari keseluruhan produk dan jasa yang dikonsumsi oleh wisatawan,

dimulai saat wisatawan tersebut meninggalkan tempat tinggalnya, hingga

wisatawan tersebut kembali lagi. Dalam hal ini, produk meliputi suatu ide,

81
Ike Janita Dewi, 2011, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata
Yang Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing), Pinus Book Publisher, Jakarta, h. 52.
72

suatu harapan atau gambaran mental (mental construct) dalam benak

konsumen, pada saat penjualan suatu produk wisata.

2. Produk secara spesifik, yaitu produk komersial yang merupakan bagian

dari produk wisata secara keseluruhan, seperti misalnya akomodasi,

transportasi, atraksi, daya tarik wisata, dan juga fasilitas pendukung

lainnya, seperti penyewaan mobil ataupun penukaran uang asing (money

changer).

Penjelasan tersebut sesuai dengan definisi paket wisata yang disampaikan

oleh Nelson Jones dan Stewart, sebagaimana dikutip dalam buku Tourism, Travel

and Hospitality Law karya Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton. Menurut

mereka paket wisata atau package holidays adalah : 82

“Package Holidays… are holidays the elements of which are packaged


together to form a whole which is sold at an inclusive price. The creator of
the package is the tour operator who makes arrengements for transport
companies, hotels, etc to provide the travel, accommodation, meals and other
items which together constitute a particular holiday. In some cases the tour
operator, or companies under common ownership and control, will own the
airline and hotels which feature in the package. But many substantial
operators do not own any airplines or hotels … and even operators who [do]
… will often use some which they do not own.”

Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul Tourism a New Perspective,

Peter M. Burns dan Andrew Holden berpendapat bahwa “Perhaps in reality what

tourist are seeking is the familiar, and the package industry helps transform both

tourist perception of their destination through advertising, and the reality of the

82
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 214.
73

destination through creating the necessary hotels, services, and amenities”.83

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa paket

wisata merupakan hasil yang jelas atau produk dari suatu industri pariwisata, yang

berperan penting dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat.

Berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh Biro Perjalanan Wisata,

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 mengatur tentang 20 unsur yang harus

dipenuhi, yang terdiri dari 6 fokus utama, yaitu :

a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan;

b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan sekurang-

kurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri;

c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang paket wisata;

d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa;

e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau menjadi

bagian dari usaha jasa pramuwisata;

f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader);

Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat

tidak kasat mata yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen dengan

karyawan atau hal-hak lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan

yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan.84

83
Peter M. Burns and Andrew Holden, 1995, Tourism a New Perspective, Prentice Hall,
London, h. 28.
84
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Jakarta, h.
2.
74

Menurut Lovelock, terdapat lima prinsip untuk dapat meningkatkan kualitas

dalam pelayanan, yaitu :85

1. Tangibles, yaitu berkaitan dengan penampilan fisik, peralatan, personal,

dan komunikasi.

2. Reliability, yaitu kemampuan untuk membentuk pelayanan yang sudah

dijanjikan dengan tepat dan memberikan dampak ketergantungan.

3. Responsiveness, yaitu adanya rasa tanggung jawab terhadap mutu

pelayanan.

4. Assurance, yaitu adanya jaminan terhadap pengetahuan, perilaku, dan

kemampuan pegawai.

5. Empathy, yaitu adanya perhatian perorangan atau personal terhadap

pelanggan.

Pelayanan merupakan hal yang paling penting dalam usaha yang memiliki

komoditas utama berupa jasa. Dengan adanya pelayanan yang ramah dan

menyenangkan, akan memberikan kesan positif kepada pengguna jasa, sehingga

membuat pengguna jasa ingin kembali menggunakan jasa tersebut. Dalam

pariwisata, pelayanan kepada wisatawan meliputi semua pelayanan normal yang

diberikan sebuah kota, seperti layanan keamanan dari polisi dan pemadam

kebakaran, kesehatan dan sanitasi, dan fasilitas publik lainnya, sampai dengan

85
Silahudin, 2010, Standard Pelayanan Publik,
http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/standard-pelayanan-publik.html?m=1, diakses tanggal 23
Februari 2015.
75

pelayanan dari pelaku usaha maupun masyarakat sekitar, yang membuat suatu

kota berkesan untuk dikunjungi.86

Dalam hal pelayanan, Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, menetapkan 7

unsur yang harus dipenuhi, dengan 2 fokus utama, yaitu :

a. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi pelaksanaan

tamu di kantor BPW;

b. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam pelaksanaan

perjalanan wisata.

Menurut Soekanto, Pengelolaan adalah suatu proses yag dimulai dari proses

perencanaan, pengaturan, pengawasan, penggerak sampai dengan proses

terwujudnya tujuan. Sedangkan menurut Prajudi, pengelolaan ialah pengendalian

dan pemanfaatan semua faktor sumber daya yang menurut suatu perencana

diperlukan untuk penyelesaian suatu tujuan kerja tertentu.87

Pengelolaan yang wajib dilakukan oleh Biro Perjalanan Wisata berdasarkan

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, mencakup 11 unsur, dengan 5 fokus

utama, yaitu :

a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan

keluarga/rumah tangga;

b. BPW memiliki tata kelola perusahaan;

86
Robert Christie Mill, 2000, Tourism The International Business Edisi Bahasa Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 279.
87
Anonim, 2011, Pengertian Pengelolaan, Pengertian Perencanaan dan Pengertian
Pelaksanaan, http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-pengelolaan-perencanaan-
dan.html#_ , diakses tanggal 23 Februari 2015.
76

c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan

tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail;

d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha;

e. Pengembangan sumber daya manusia.

Konsekuensi yang ditentukan oleh Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014,

apabila Biro Perjalanan Wisata tidak memenuhi standar usaha tersebut tercantum

dalam Pasal 11 ayat (1), yang menyatakan bahwa “Pengusaha Pariwisata yang

tidak memenuhi Standar Usaha yang berlaku bagi Biro Perjalanan Wisata

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a, tidak dapat digolongkan

dan tidak dapat mendalilkan diri sebagai Biro Perjalanan Wisata”. Sementara itu,

Pasal 12 menyatakan bahwa “Pengusaha Pariwisata yang telah memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), dan telah memperoleh

Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, berwenang untuk menyelenggarakan dan

dapat mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata, sesuai

penggolongan yang berlaku.” Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (2), dijelaskan

tentang lembaga yang berhak melakukan sertifikasi, dengan penjelasan sebagai

berikut “Penilaian atas pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang berlaku

bagi Usaha Jasa Perjalanan Wisata dalam rangka sertifikasi dan penerbitan

Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, diselenggarakan oleh LSU Bidang

Pariwisata.”

Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata adalah lembaga mandiri

yang berwenang melakukan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata sesuai

ketentuan peraturan Perundang-Undangan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi


77

Kreatif telah menunjuk dan menetapkan 17 (tujuh belas) Lembaga Sertifikasi

Usaha (LSU) bidang Pariwisata yaitu:88

1. PT. Sucofindo International Certification Service, Jakarta;

2. PT. Sai Global Indonesia, Jakarta;

3. PT. Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan, Jakarta;

4. PT. Sertifindo Wisata Utama, Semarang;

5. PT. Karsa Bhakti Persada, Bandung;

6. PT. Megah Tri Tunggal Mulia (National Hospitality Certification), Surabaya;

7. PT. Tribina Jasa Wisata, Jakarta;

8. PT. Graha Bina Nayaka, Jakarta;

9. PT. El John Prima Indonesia, Jakarta;

10. PT. Adi Karya Wisata, Yogyakarta;

11. PT. Indonesia Certification Services Management, Jakarta;

12. PT. Sertifikasi Usaha Pariwisata Indonesia, Jakarta;

13. PT. Bhakti Mandiri Wisata Indonesia, Yogyakarta;

14. PT. Tuv Rheinland Indonesia, Jakarta;

15. PT. Mutuagung Lestari, Jakarta;

16. PT. Enhai Mandiri 186, Bandung;

17. PT. Sertifikasi Usaha Pariwisata Nasional, Denpasar.

88
Puskom Publik, 2014, “Siaran Pers : Launching Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang
Pariwisata Era Baru Menuju Industri Pariwisata Indonesia yang Berdaya Saing Global”,
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=2756, diakses tanggal 22 Januari 2015.
78

Tata Cara Pendirian Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata

diatur dalam Pasal 7 Permenparekraf Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata, yaitu :

(1) Permohonan pendirian LSU Bidang Pariwisata diajukan oleh Pemohon


kepada Menteri melalui Komisi Otorisasi dengan menyerahkan Dokumen
Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata yang berisi:
a. salinan akta pendirian badan usaha yang maksud dan tujuannya bergerak
di bidang sertifikasi;
b. rencana kerja LSU Bidang Pariwisata minimum untuk 3 (tiga) tahun
mendatang;
c. rencana anggaran biaya pengelolaan LSU Bidang Pariwisata minimum
untuk 3 (tiga) tahun mendatang;
d. memiliki perangkat kerja, antara lain:
1. materi audit usaha pariwisata;
2. pedoman pelaksanaan audit usaha pariwisata; dan
3. panduan mutu.
e. daftar riwayat hidup pengelola dilengkapi dengan pas foto;
f. daftar riwayat hidup Auditor dilengkapi dengan pas foto; dan
g. salinan KTP/tanda pengenal Auditor.
(2) Dokumen Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebanyak 7 (tujuh) rangkap, yaitu 2 (dua)
eksemplar dokumen asli dan 5 (lima) salinan dokumen.
(3) Komisi Otorisasi memeriksa kelengkapan Dokumen Permohonan Pendirian
LSU Bidang Pariwisata dan apabila masih terdapat kekurangan, Pemohon
harus melengkapi kekurangan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah pemberitahuan.
(4) Komisi Otorisasi mengundang Pemohon yang dokumen permohonannya telah
lengkap untuk mempresentasikan rencana pendirian dan kegiatan LSU Bidang
Pariwisata selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
undangan dikirimkan.
(5) Komisi Otorisasi melakukan verifikasi lapangan ke lokasi dimana LSU
Bidang Pariwisata akan didirikan.
(6) Komisi Otorisasi memberikan keputusan penilaian diterima atau ditolaknya
Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja setelah dilakukan verifikasi lapangan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Pariwisata

merupakan peraturan yang lahir atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
79

2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata,

dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan. Adanya Permenparekraf ini bertujuan untuk mendukung

peningkatan mutu produk, pelayanan, dan pengelolaan, serta peningkatan daya

saing usaha jasa perjalanan wisata, dengan cara memenuhi unsur-unsur

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a.

3.2. Sanksi terkait Pelanggaran Terhadap Peraturan Menteri Pariwisata dan

Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan

Wisata

Pada hakikatnya, usaha jasa perjalanan wisata yang dalam hal ini adalah biro

perjalanan wisata, adalah jenis usaha yang bertumpu pada kepercayaan.

Kepercayaan biasanya didapat dalam bentuk pembayaran terlebih dahulu dan janji

bahwa akan diperolehnya pelayanan yang belum pernah didapat sebelumnya, serta

kepercayaan dari usaha angkutan dan perhotelan yang memberikan jasa pelayanan

atas dasar kredit.89 Secara singkat dapat dikatakan bahwa adanya kepercayaan dari

wisatawan atau pengguna jasa merupakan modal utama terhadap keberlangsungan

suatu usaha yang bergerak di bidang jasa.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, paket wisata merupakan salah

satu produk yang dihasilkan oleh Biro Perjalanan Wisata. Dalam menjalankan

usahanya, pelaku usaha Biro Perjalanan Wisata wajib untuk melakukan upaya

pengawasan terhadap paket-paket wisata yang telah dihasilkan, apakah sudah

89
Salah Wahab, 2003, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 237.
80

sesuai dengan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku

dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014. Dalam pasal 17, Permenparekraf ini

mengatur tentang pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan sertifikasi

usaha jasa perjalanan wisata, yaitu :

(1) Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan penerapan dan


pemenuhan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata, sesuai kewenangannya.
(2) Pengawasan yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud ayat (1)
melalui evaluasi penerapan standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
(3) Pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud ayat (1)
melalui evaluasi laporan kegiatan penerapan standar Usaha Jasa Perjalanan
Wisata di wilayah kerja.
(4) Bupati/Walikota melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melalui evaluasi terhadap Persyaratan Dasar, dan kepemilikan Sertifikat
Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

Selanjutnya, apabila pelaku usaha tidak melaksanakan dan/atau melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 13, maka

pelaku usaha akan dikenakan sanksi administratif, sebagaimana tercantum dalam

Pasal 18 ayat (2) sampai (5) Permenparekraf ini, yaitu :

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:


a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata; dan
c. pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dilakukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali dan dilaksanakan
secara patut dan tertib, dengan selang waktu di antara masing-masing teguran
tertulis paling cepat selama 30 hari kerja, dan harus dikenakan sebelum
sanksi-sanksi administrasi yang lain dikenakan.
(4) Pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, dikenakan apabila Pengusaha Pariwisata tidak
mematuhi teguran tertulis ketiga dan jangka waktu selang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) selama paling cepat 30 hari kerja, sudah terlampaui.
(5) Pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, dikenakan apabila Pengusaha Pariwisata
tidak mematuhi teguran tertulis ketiga dan telah lewat jangka waktu selama
paling cepat selama 60 (enam puluh) hari kerja, terhitung sejak tanggal
teguran tertulis ketiga dikenakan.
81

Adanya ketentuan mengenai sanksi administrasi ini menunjukkan bahwa

Sertifikasi ini merupakan suatu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh Biro

Perjalanan Wisata dalam menjalankan usahanya. Karena biro perjalanan wisata

selaku perantara antara pengusaha pariwisata dengan wisatawan, dalam hal ini

memiliki tanggung jawab untuk memberikan produk, pelayanan, dan pengelolaan

yang sesuai dengan standar. Menurut Algra, dkk, “Tanggung jawab adalah

kewajiban memikul pertanggungjawaban yang diderita (bila dituntut), baik dalam

hukum maupun dalam bidang administrasi.”90 Selanjutnya berkaitan dengan paket

wisata yang dihasilkan, Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton berpendapat:91

“In tourism, travel and hospitality, consumers are particulary vulnerable


under the old common law rules. The product is usually intangible (consider,
for example, a package holiday) and often distributed through intermediaries.
There is usually no opportunity to look, see, touch, feel or sample the product
before purchase or consumption. … The product is usually deleivered, used
and consumed all at the same time.”

Adanya pendapat tersebut memperjelas bahwa pentingnya dilakukannya

sertifikasi tersebut, karena paket wisata yang dihasilkan biasanya tidak dapat

dicoba terlebih dahulu oleh wisatawan. Sementara itu, berkaitan dengan pihak

yang bertanggung jawab terhadap paket wisata, Trevor C. Atherton and Trudie A.

Atherton, memiliki pendapat lain yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :92

90
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I, loc.cit.
91
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 178-179.
92
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 216.
82

1. The Tour Operator is the mere agent (Biro Perjalanan Wisata hanya sebuah

agen.)

Dalam pendapat ini, dikatakan biro perjalanan wisata hanyalah agen yang

menyanggupi untuk mengatur sebuah pelayanan yang nantinya akan

dilakukan oleh pihak lain. Hal ini adalah definisi pelayanan biro perjalalan

wisata secara sempit, yang juga menunjukkan bahwa tanggung jawab biro

perjalanan wisata juga sempit.

2. The Tour Operator is the principal contractor (Biro Perjalanan Wisata adalah

kontraktor utama.)

Dalam pendapat ini, biro perjalanan wisata adalah kontraktor utama yang

menyanggupi untuk menyediakan sebuah pelayanan yang nantinya akan

dilakukan sendiri oleh mereka ataupun dilakukan oleh pihak lain. Pendapat

ini menunjukkan tanggung jawab biro perjalanan wisata secara luas. Hal ini

melibatkan tanggung jawab utama biro perjalanan wisata dalam memastikan

paket pelayanan wisata yang disediakan sudah dengan wajar dan dengan

keahlian yang tepat.

Sehingga, apabila dikaji melalui teori tanggung jawab hukum oleh Hans

Kelsen, yang menyatakan bahwa tanggung jawab dibedakan menjadi dua macam,

yaitu:93

1. Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan. Tanggung jawab ini

dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan suatu

93
Hans Kelsen, loc.cit.
83

perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, yang disebabkan oleh

adanya kekeliruan atau kealpaannya.

2. Tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab ini dibebankan kepada seseorang

apabila perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh

pembuat undang-undang, dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan

dengan akibat yang ditimbulkan. Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan

sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan produsen yakni,

menerapkan tanggung jawab kepada pihak yang menjual produk yang cacat,

tanpa adanya beban bagi konsumen atau pihak yang diragukan untuk

membuktikan kesalahan tersebut.94

Maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab yang dibebankan kepada

biro perjalanan wisata, berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, adalah

tanggung jawab mutlak. Dikatakan demikian, karena akibat dari tidak

dilaksanakannya sertifikasi standar usaha perjalanan sebagaimana diatur dalam

Permenparekraf ini, akan menimbulkan kerugian kepada wisatawan yang

menggunakan barang dan/atau jasanya. Dan terdapat suatu hubungan antara

perbuatan biro perjalanan wisata yang tidak memenuhi standar usaha tersebut,

dengan kerugian yang diderita oleh konsumen pengguna jasanya.

Sehubungan dengan baru berlakunya peraturan ini pada tanggal 11 April

2014, maka diatur pula ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 19, 20,

dan 21. Dalam pasal 19, disebutkan bahwa apabila Pemerintah Daerah belum

94
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 1.
84

dapat menyelenggarakan dan menerbitkan TDUP Bidang Usaha Jasa Perjalanan

Wisata, saat berlakunya Peraturan Menteri ini, maka pemenuhan ketentuan dalam

Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dapat dilakukan dalam bentuk surat keterangan atau

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

Selanjutnya, dalam Pasal 20 dikatakan bahwa sertifikat untuk

menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang telah dimiliki pelaku usaha

sebelum berlakunya peraturan menteri ini, tetap dapat digunakan untuk

menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai dengan masa berlakunya

berakhir. Namun masa berlakunya tidak lebih lama dari 2 (dua) tahun, terhitung

sejak berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, dan pembaruannya atau

perpanjangannya dilaksanakan berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014.

Dalam hal, pelaku usaha belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan

Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata sebagaimana diatur dalam

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, namun telah menyelenggarakan dan/atau

mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata, maka Pasal 21

menyatakan bahwa pelaku usaha tersebut wajib untuk menyesuaikan diri dalam

jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya

Permenparekraf ini.

Selanjutnya, dalam jangka waktu 2 bulan setelah berlakunya Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014, pemerintah melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif mengeluarkan peraturan baru, yaitu Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif


85

Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

Dikeluarkannya Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014 ini pada tanggal 26 Juni

2014, didasarkan pada tujuan untuk mengoptimalisasikan penerapan

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014.

Adanya Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014, membuat ketentuan Pasal 20

berubah. Sehingga Pasal 20, yang sebelumnya menyatakan :

Pengusaha Pariwisata yang telah memiliki sertifikat untuk menyelenggarakan


Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini,
tetap dapat menggunakan sertifikat dimaksud untuk menyelenggarakan
Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai dengan masa berlakunya berakhir
namun tidak lebih lama dari 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya
Peraturan Menteri ini, dan pembaruannya atau perpanjangannya dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Berubah menjadi sebagai berikut:

(1) Pengusaha Pariwisata yang telah memiliki sertifikat Usaha Jasa Perjalanan
Wisata sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dan masih berlaku
setelah tanggal 11 April 2014, tetap dapat menggunakan sertifikat
dimaksud untuk menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai
dengan masa berlakunya berakhir namun tidak lebih lama dari 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014.
(2) Setelah berakhirnya masa berlaku sertifikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pengusaha Pariwisata wajib memiliki sertifikat dan memenuhi
persyaratan standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata berdasarkan Peraturan
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

Perubahan terletak pada penyebutan tanggal masa berlakunya Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014 dan penambahan ayat (2) yang menjelaskan secara detail

tentang pembaruannya atau perpanjangan sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata,

yang wajib memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014.


86

Selanjutnya, diantara Pasal 20 dan Pasal 21, disisipkan 1 Pasal baru yaitu

Pasal 20A, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal masa berlaku sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata telah
berakhir sebelum atau pada saat berlakunya Peraturan Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa
Perjalanan Wisata, maka Pengusaha Pariwisata wajib menyesuaikan diri
dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun
2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata dalam jangka waktu
paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014.

Perubahan juga terjadi dalam ketentuan Pasal 21, yang sebelumnya menyatakan :

Pengusaha Pariwisata yang belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa


Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata berdasarkan
Peraturan Menteri ini, namun telah menyelenggarakan dan/atau mendalilkan
diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata pada saat berlakunya Peraturan
Menteri ini, wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan
Menteri ini.

Berubah menjadi sebagai berikut:

Pengusaha Pariwisata yang belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa


Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata berdasarkan
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014
tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata, namun telah
menyelenggarakan dan/atau mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan
Wisata, wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini dalam jangka
waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014.

Dalam pasal 21 ini, terlihat sebuah perubahan penting, yaitu jangka waktu

penyesuaian Usaha Perjalanan Wisata yang telah mendalilkan diri saat berlakunya

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, yang sebelumnya dinyatakan 1 (tahun),

selanjutnya diubah menjadi 2 (dua) tahun sejak tanggal 11 April 2014.

Diantara Pasal 21 dan Pasal 22 juga disisipkan 1 Pasal, yaitu Pasal 21A, yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal Usaha Jasa Perjalanan Wisata termasuk dalam kategori usaha
mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi, maka standar usaha
87

yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif


Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata tidak
wajib diterapkan sebelum tangal 11 April 2018.
(2) Sebelum tanggal 11 April 2018, Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang
termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
meminta dilakukan sertifikasi terhadap Usaha Jasa Perjalanan Wisatanya
secara sukarela berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan
Wisata.
(3) Sertifikat yang diterbitkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memiliki kekuatan yang sama seperti sertifikat yang
diterbitkan apabila penerapan standar usaha telah diwajibkan.
(4) Terhadap Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan pembinaan agar mampu memenuhi persyaratan sertifikasi.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanksi terhadap

biro perjalanan wisata yang tidak memenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam

Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 13 Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 pada jangka

waktu yang ditentukan, yaitu pelaku usaha akan dikenakan sanksi administratif

berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata, dan

pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata.


BAB IV

KESIAPAN BIRO PERJALANAN WISATA DALAM

MELAKSANAKAN PERATURAN PERLINDUNGAN

WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH

BIRO PERJALANAN WISATA

4.1. Standarisasi Keamanan dan Keselamatan Wisatawan Yang wajib Dipenuhi

oleh Biro Perjalanan Wisata

Biro Perjalanan Wisata memiliki peran yang cukup penting dalam industri

pariwisata yaitu sebagi penyelenggara kegiatan wisata. Dalam hal ini, wisatawan

yang menggunakan jasa biro perjalanan wisata merasakan bahwa pihak yang

bertanggung jawab terhadap keberadaan mereka selama berada di suatu daerah

wisata adalah tanggung jawab Biro Perjalanan tersebut. Salah satu fokus penting

yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha biro perjalanan wisata adalah

perlindungan terhadap hak-hak wisatawan, sebagaimana tercantum dalam Pasal

20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu :

(a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;


(b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
(c) perlindungan hukum dan keamanan;
(d) pelayanan kesehatan;
(e) perlindungan hak pribadi; dan
(f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.

Dalam Pasal 20 huruf b undang-undang tersebut, dikatakan bahwa wisatawan

berhak atas pelayanan kepariwisasataan sesuai dengan standar. Standar adalah

kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan, dimana didalamnya

membahas tentang spesifikasi-spesifikasi teknis atau kriteria-kriteria yang akurat,


88
89

yang digunakan sebagai peraturan, petunjuk, atau definisi-definisi tertentu untuk

menjamin suatu barang, produk, proses, atau jasa sesuai dengan yang telah

dinyatakan.95 Berkaitan dengan standar tersebut, dalam Lampiran Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014, telah diatur dan dijelaskan tentang 38 unsur yang wajib

dilengkapi oleh Biro Perjalanan Wisata, untuk mendapatkan Sertifikasi Usaha

Jasa Perjalanan Wisata, yaitu :

1. Aspek Produk :

a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan :

1. Paket Wisata

2. Voucher Akomodasi

3. Tiket Perjalanan

4. Jasa Angkutan Wisata

b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan sekurang-

kurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri.

c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang :

1. Nama Paket Wisata

2. Durasi Perjalanan Wisata

3. Rute dan kegiatan perjalanan wisata (itinerary)

4. Harga Paket Wisata dalam mata uang Rupiah

5. Moda Transportasi

95
Anonim, Sekilas Mengenai ISO,
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INF
O_VI02/V_VI02.htm, diakses tanggal 24 Feburari 2015.
90

6. Jenis Akomodasi

7. Perlindungan Asuransi perjalanan wisata bagi wisatawan

d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa.

e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau menjadi

bagian dari usaha jasa pramuwisata, berdasarkan ketentuan sebagai

berikut:

1. Tenaga pemandu wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi yang

masih berlaku.

2. Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan

mancanegara, tenaga pemandu wisata tersebut mampu berbahasa asing

sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan mancanegara,

atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris.

3. Tenaga pemandu wisata tersebut dilindungi asuransi perjalanan wisata.

f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader),

berdasarkan ketentuan sebagai berikut :

1. Pimpinan perjalanan wisata dilengkapi dengan surat tugas dari BPW.

2. Pimpinan perjalanan wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi

yang masih berlaku.

3. Pimpinan perjalanan wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi

yang masih berlaku.

4. Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan

mancanegara, pimpinan perjalanan wisata tersebut mampu berbahasa


91

asing sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan

mancanegara, atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris.

5. Pimpinan perjalanan wisata tersebut dilindungi asuransi perjalanan

wisata.

Berkaitan dengan aspek produk yang dihasilkan oleh biro perjalanan wisata,

terdapat suatu hubungan yang erat antara biro perjalanan wisata dengan pelaku

usaha pariwisata lainnya, seperti perusahaan angkutan, perhotelan, bar dan

restoran, objek wisata dan lain-lain. Pola hubungan tersebut dimulai dengan

adanya kontrak atau kerjasama berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak

dimana dalam hubungan kerjasama tersebut, biro perjalanan wisata berperan

sebagai pihak yang mempromosikan suatu usaha jasa pariwisata dan sebagai

gantinya usaha jasa pariwisata akan memberikan imbalan atas kinerja biro

perjalanan wisata tersebut.

Perjanjian kerja sama antara biro perjalanan wisata dan pelaku usaha

pariwisata lainnya, idealnya mengandung jangka waktu kerja sama, nilai kerja

sama, hak dan kewajiban para pihak, serta syarat dan ketentuan dalam perjanjian

yang biasanya memuat tentang kewajiban biro perjalanan wisata dalam

memberikan data dan informasi yang lengkap mengenai calon wisatawan. Biro

perjalanan wisata tidak boleh memberikan harga yang melebihi tarif yang telah

ditentukan, sehingga dapat merugikan wisatawan dan pengusaha pariwisata atau

syarat dan ketentuan lainnya yang telah disepakati oleh para pihak.

Sebagaimana ditentukan dalam Lampiran Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014 tersebut, dikatakan bahwa paket wisata yang diselenggarakan oleh biro
92

perjalanan wisata memuat minimum keterangan tentang nama paket wisata, durasi

perjalanan wisata, rute dan kegiatan perjalanan wisata (itinerary), harga paket

wisata dalam mata uang rupiah, moda transportasi, jenis akomodasi, dan

perlindungan asuransi perjalanan wisata bagi wisatawan. Adanya kalimat “…

memuat minimum keterangan tentang …”, menunjukkan kewajiban biro

perjalanan wisata yang bertindak sebagai perantara antara pelaku usaha pariwisata

dengan wisatawan, haruslah memberikan suatu informasi yang lengkap dan tepat

dalam setiap paket wisata yang ditawarkan. Disamping itu, adanya kalimat

tersebut juga menyatakan bahwa perlindungan dalam bentuk asuransi, bukanlah

suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh biro perjalanan wisata.

Berdasarkan pasal 20 huruf f Undang-Undang Kepariwisataan, dikatakan

bahwa “setiap wisatawan berhak memperoleh perlindungan asuransi untuk

kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi”. Selanjutnya dalam pasal 26 huruf e dan

penjelasannya, disebutkan bahwa setiap pengusaha pariwisata berkewajiban untuk

memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata yang memiliki resiko

tinggi, seperti misalnya wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet

coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam

bebas.

Menurut I.G.N. Parikesit Widiatedja, tujuan dari adanya perlindungan asuransi

ini dilihat dari sudut liberalisasi jasa, dapat menjadi alternatif solusi untuk

meningkatkan pendapatan pariwisata secara keseluruhan.96 Sehingga dapat

96
I.G.N. Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita,
Udayana University Press, Denpasar, h. 114.
93

disimpulkan bahwa, walaupun undang-undang maupun peraturan menteri tidak

mewajibkan biro perjalanan wisata untuk melengkapi paket wisatanya dengan

perlindungan asuransi, namun sebaiknya biro perjalanan wisata memiliki asuransi

untuk dapat ditawarkan kepada wisatawan, sehingga akan memberikan rasa aman

dan nyaman kepada wisatawan pengguna jasa biro perjalanan tersebut. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton yang

menyatakan bahwa :97

“There are so many things which can and do go wrong for travellers. They
may lose their baggage or have their money stolen, their travel plans may be
disrupted or cancelled, causing losses, or they may suffer injury or
illnesswhile away, thus incurring medical expenses. Although it is not
compulsory for travellers to take out travel insurance, it is certainly
advisable.”

2. Aspek Pelayanan

a. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi pelaksanaan

tamu di kantor BPW, yang meliputi :

1. Penyambutan kedatangan tamu.

2. Menerima dan melakukan panggilan telepon.

3. Pemberian penjelasan tentang produk yang disediakan/ditawarkan

BPW.

4. Pemesanan dan/atau penjualan produk yang disediakan BPW.

b. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam pelaksanaan

perjalanan wisata, yang meliputi :

97
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 145.
94

1. Pelayanan bagi wisatawan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau

pimpinan perjalanan wisata selama perjalanan wisata.

2. Penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan

wisata, oleh tenaga pemandu wisata, oleh tenaga pemandu wisata

dan/atau pimpinan perjalanan wisata.

3. Permintaan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan

wisata kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi

perjalanan wisata.

Adanya standarisasi dalam aspek pelayanan yang diberikan oleh Biro

Perjalanan Wisata bertujuan agar setiap biro perjalanan wisata dapat memberikan

standar pelayanan yang baik bagi wisatawan. Dalam buku yang berjudul

International Tourism : A Global Perspective, dikatakan bahwa “A critical part of

sustaining a quality destination is establishing standards of performance in

tourism jobs and certifying workers who posses the skills meeting those

standards.”98 Pelayanan adalah kunci utama dalam industri pariwisata. Keramah-

tamahan dan kejelasan informasi akan membuat wisatawan merasa aman dan

nyaman saat menggunakan jasa pariwisata tersebut.

Untuk dapat memberikan suatu pelayanan yang memuaskan, setiap pelaku

usaha harus memahami karakter dan budaya wisatawan yang menggunakan

jasanya. Menurut Merry Yudhistira, Assistant HR & GA Manager H.I.S Tour and

Travel, dalam wawancara tanggal 22 Januari 2015, kendala dalam memberikan

98
World Tourism Organization, 1997, International Tourism : A Global Perspective, World
Tourism Organization, Madrid, h. 347. (selanjutnya disebut World Tourism Organization III)
95

pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan adalah adanya perbedaan budaya.

Misalnya saja hal-hal yang wajar dan sopan terjadi di Indonesia ternyata dianggap

tidak wajar atau tidak sopan di Negara lain. Oleh sebab itu, dalam menjalankan

usaha di bidang pariwisata, pelaku usaha tidak hanya dituntut untuk memiliki

keahlian dalam berbahasa asing, namun juga harus memiliki pen getahuan yang

luas tentang budaya-budaya dalam suatu Negara.

3. Aspek Pengelolaan

a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan

keluarga/rumah tangga :

1. Tempat usaha/kantor memiliki alamat yang jelas, nomor telepon dan

faksimili, serta alamat e-mail yang masih berfungsi.

2. Tempat usaha/kantor terdiri dari ruang kerja dan ruang penerimaan

tamu.

3. Tempat usaha/kantor dilengkapi dengan sarana, prasarana dan

peralatan kantor yang memadai.

b. BPW memiliki tata kelola perusahaan yang meliputi minimum :

1. Uraian mengenai struktur organisasi dan susunan pengurus yang

memuat nama, jabatan dan uraian tugas setiap bagian.

2. Sistem penatausahaan secara tertib dan baik atas seluruh transaksi

pemesanan dan/atau penjualan, serta surat menyurat yang terkait, yang

dipelihara dan disimpan minimum selama 3 (tiga) tahun.

c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan

tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail, yang meliputi :


96

1. Data pelanggan.

2. Data rekanan/pemasok jasa.

3. Pengusaha Daya tarik wisata.

d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha.

e. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) :

1. Memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya.

2. Melaksanakan program pengembangan SDM

Penetapan standarisasi dalam aspek pengelolaan ini lebih difokuskan pada

sistem administrasi dan manajemen yang dilakukan oleh suatu usaha biro

perjalanan wisata. Dengan adanya sistem administrasi dan manajemen

pengelolaan yang baik akan memudahkan pelaku usaha untuk mengembangkan

usahanya dengan baik. Dalam sektor pariwisata, aspek pengelolaan ini dikenal

dengan prinsip tata kelola pariwisataan yang baik (Good Tourism Governance).

Prinsip penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik adalah adanya

koordinasi dan sinkronisasi program antar pemangku kepentingan (stake holder),

serta adanya partisipasi aktif yang terpadu dan saling menguatkan antara

pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat setempat yang terkait. 99 Ciri dalam

penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik tersebut adalah berdasar

pada prinsip-prinsip sebagai berikut :100

99
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 77.
100
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 78-80.
97

1. Partisipasi Masyarakat Terkait

Adanya partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam

penyelenggaraan pariwisata. Dengan adanya partisipasi masyarakat untuk

ikut mengawasi atau mengontrol penyelenggaraan pariwisata akan

memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan dan pengelolaan daya

tarik wisata.

2. Keterlibatan segenap Pemangku Kepentingan

Pemangku Kepentingan dalam hal ini adalah kelompok dan institusi lembaga

swadaya masyarakat (LSM), kelompok sukarelawan, Pemerintah Daerah,

Asosiasi Industri Pariwisata, Asosiasi Bisnis, dan pihak-pihak lain yang

berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima manfaat dari

kegiatan kepariwisataan.

3. Kemitraan Kepemilikan Lokal

Pembangunan Kepariwisataan harus memberikan manfaat yang berkualitas

kepada masyarakat setempat, sehingga dapat menunjang kepemilikan

masyarakat local dalam berbagai usaha pariwisata.

4. Pemanfaatan Sumber Daya secara berlanjut

Kegiatan-kegiatan pembangunan pariwisata harus menghindari adanya

penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara

berlebihan. Pembangunan Pariwisata harus mampu menjamin sumber daya

alam dan buatan yang ada, dapat dipelihara dan diperbaiki sesuai dengan

standar internasional yang berlaku.


98

5. Mengakomodasikan aspirasi masyarakat

Kepedulian terhadap aspirasi masyarakat sangat diperlukan, agar tercipta

keharmonisan antara wisatawan, pelaku usaha, dan masyarakat setempat.

6. Daya dukung lingkungan

Setiap pembangunan dalam sektor pariwisata harus didasari dengan

pertimbangan terhadap daya dukung lingkungan.

7. Monitor dan Evaluasi Program

Pemantauan dan evaluasi terhadap program-program yang telah dijalankan

adalah mutlak diperlukan, sehingga pelaksanaannya harus meliputi skala

internasional, nasional, regional, dan lokal.

8. Akuntabilitas Lingkungan

Penggunaan sumber daya yang ada harus dilakukan secara bertanggung

jawab dan tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. Pelatihan pada masyarakat terkait

Pelatihan pada masyarakat terkait sebaiknya diarahkan pada topic yang

membahas tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan secara

berkelanjutan, dan hal-hal yang berkaitan dengan wawasan keberlangsungan

pembangunan kepariwisataan yang holistik.

10. Promosi dan Advokasi Nilai Budaya Kelokalan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan seharusnya bertujuan untuk mewujudkan

pengalaman wisata yang berkualitas dan berkesan bagi wisatawan, sehingga

dibutuhkan adanya program-program promosi dan advokasi penggunaan

lahan, serta kegiatan yang mampu memperkuat identitas budaya setempat.


99

Disisi lain, dalam aspek pengelolaan ini pengembangan Sumber Daya

Manusia juga menjadi suatu perhatian. Berkaitan dengan Sumber Daya Manusia

tersebut, Bambang Sunaryo memberikan definisi khusus tentang Sumber Daya

Manusia Pariwisata, yaitu :

“Potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya


sebagai mahluk sosial yang adaptif dan transformatif, yang mampu
mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam
menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang
dan berkelanjutan di bidang kepariwisataan.”101

Sementara itu, menurut Inskeep, Human Resources Planning terdiri dari:102

a. Evaluating the present utilization of human resources in tourism and


identifying any existing problems and needs.
b. Projecting the future human resources needed by estimating the number of
personnel required in each category of employment and determining the
qualification for each category of job.
c. Evaluating the human resources available in the future.
d. Formulating the education and training programs required to provide the
requisite qualified human resources.

Adanya perhatian khusus dalam hal pengembangan sumber daya manusia ini

merupakan suatu kemajuan yang positif untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kepada wisatawan. Sehingga diperlukan adanya sertifikasi dan pelatihan-pelatihan

kepada orang-orang yang bekerja di bidang pariwisata. Karena profesionalisme,

keahlian yang efektif dan efisien, serta kesopanan sebagai karakteristik pelayanan

tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang

dilakukan secara terus-menerus.

101
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 200.
102
World Tourism Organization III, op.cit, h. 342.
100

Apabila dikaji melalui Teori Perlindungan Hukum, adanya sertifikasi Biro

Perjalanan Wisata dalam aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan ini

merupakan suatu langkah preventif. Perlindungan Hukum preventif bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah

bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan

perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

termasuk penanganannya di lembaga peradilan.103 Dengan menjalankan sertifikasi

ini dengan benar, biro perjalanan wisata akan mampu mendukung peningkatan

mutu pariwisata dalam aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan.

4.2. Kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri

Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha

Jasa Perjalanan Wisata

Kesiapan sistem hukum nasional merupakan hal yang penting untuk dimiliki

oleh suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, dalam memasuki era globalisasi.

Dalam suatu Negara, hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana ketertiban dan

keamanan masyarakat serta stabilitas nasional. Karena hukum juga berperan

sebagai sarana pembangunan nasional. Dengan kata lain, hukum merupakan

transformasi masyarakat menuju struktur, organisasi, dan nilai-nilai kehidupan

103
Maria Alfons, 2010, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk
Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang, h.
18.
101

berbangsa dan bernegara dalam naungan Republik Indonesia yang pada saatnya

bersamaan hidup dalam suasana globalisasi masyarakat dunia.104

Menurut Rouscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Intruduction to

the Philosophy of law, hukum dikatakan sebagai suatu sarana perekayasaan

masyarakat (Tool of Social Engneering) dan tidak sekedar sebagai alat penertiban

masyarakat semata-mata, menurut Rouscoe Pound hukum memiliki tujuan

sebagai berikut :

1. Hukum bertujuan untuk mempertahankan kedamaian di dalam masyarakat.

2. Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo social yaitu dengan

menempatkan manusia sesuai dengan “sophrosynenya“ masing-masing

atau sesuai dengan bidang dan tempat masing-masing orang di dalam

masyarakat, dengan ini dimaksudkan agar tidak terjadi bentrokan antar

sesama warga masyarakat.

3. Hukum juga bertujuan untuk memungkinkan tercapainya perkembangan

pribadi secara maksimum baik mengenai kehendaknya maupun

kewenangannya serta kemampuannya.

4. Hukum bertujuan untuk memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan

masyarakat.105

Berkaitan dengan pernyataan dari Rouscoe Pound, Mochtar Kusumaatmadja

menyatakan, bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini

didasarkan pada suatu anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban ini
104
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
h. 96.
105
ibid.
102

merupakan suatu hal yang diinginkan bahkan dipandang perlu. Lebih jauh lagi

anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum

yang memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atat sarana pembangunan dalam

arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan

atau pembaharuan.106 Dari konsep tentang hukum dan fungsi hukum, Mochtar

Kusumaatmadja berpendapat bahwa, pembinaan hukum nasional harus diarahkan

pada usaha-usaha :

1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang

baru dengan menyesuaikan pada tuntutan perkembangan jaman tanpa

mengabaikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsisinya

masing-masing.

3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban para penegak hokum

4. Membina kesadaran hukum dalama masyarakat dan membina sikap para

penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan

serta perlindungan terhadap harkat manusia dan ketertiban serta kepastian

hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.107

106
Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, Bandung, h. 183.
107
Johanes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis : Dalam Persepsi Manusia
Modern, Rafika Aditama, Bandung, h. 55.
103

Dalam kaitannya dengan pembangunan, Suryati Hartono menyebutkan ada 4

(empat) fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :108

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

2. Hukum sebagai sarana pembangunan

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan

4. Hukum sebagai sarana pendidikan

Berdasarkan uraian fungsi hukum diatas, akan menjadi sangat relevan apabila

fungsi hukum tersebut bermanfaat diterapkan dalam masyarakat. Impelementasi

suatu ketentuan dapat berjalan efektif atau tidak efektif tergantung dari kesadaran

hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga masyarakat

sebagai dasar sahnya hukum positif ditemukan dalam ajaran Rechtsgefuhl atau

Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat

warga masyarakat kecuali atas kesadaran hukumnya. Kesadaran hukum sering

kali dikatikan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan efektifitas

hukum.

Adanya kesadaran hukum yang berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh

dalam masyarakat, sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Soerjono

Soekanto, bahwa masyarakat mentaati hukum karena sesuai dengan nilai-nilai

yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi

hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut

108
Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang, h.
20.
104

telah meresap pada diri masyarakat. Terdapat 4 (empat) indikator kesadaran

hukum dalam masyarakat, yaitu :109

1. Pengetahuan hukum

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa

perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan

dengan perilaku yang dilarang atau perilaku yang diperbolehkan oleh

hukum. Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa

masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan

tersebut telah diundangkan.

2. Pemahaman hukum

Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang

mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain

pemahaman hukum dalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari

suatu hukum tertentu baik tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya

bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.

3. Sifat hukum

Sikap hukum, suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya

penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau

menguntungkan jika itu ditaati.

109
Gede Agus Santiago, 2012, “Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan
Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali”, (tesis) Program
Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, h. 111-112.
105

4. Pola perilaku hukum

Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena

disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat.

Berkaitan dengan pendapat Soerjono Soekanto tersebut, hadirnya

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 yang baru ditetapkan pada tanggal 11 April

2014 ini menimbulkan reaksi positif dari pelaku usaha. Hal tersebut menunjukkan

bahwa sudah adanya kesadaran hukum dari pemerintah maupun pelaku usaha

terkait, untuk menetapkan suatu standar terhadap produk, pelayanan, dan

pengelolaan dari usaha perjalanan wisata. Menurut Didik Widyatmoko yang

merupakan Assesor kompetensi LSP Pariwisata, sisi positif dari hadirnya standar

usaha ini adalah konsumen pengguna jasa perjalanan wisata tidak akan menjadi

korban dari Biro Perjalanan Wisata ataupun Agen Perjalanan Wisata yang tidak

jelas. Dengan adanya standar usaha perjalanan wisata, konsumen akan lebih

merasa terlindungi dan menjadi yakin karena diurus oleh orang dan perusahaan

yang kompeten dan mampu melayaninya dengan baik.110

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 20 Februari 2015 dengan Monica

Budiono, selaku Operational Manager Rama Duta Tour and Travel, dikatakan

bahwa adanya permenparekraf tersebut merupakan hal yang baik, karena dengan

adanya standar usaha yang jelas, biro perjalanan wisata dapat memberikan

pelayanan yang lebih baik kepada para tamu.

110
Anonim, 2014, Terdapat 38 Unsur yang Diukur Dalam Standar Usaha Perjalanan Wisata,
tersedia di website http://lsupariwisata.com/terdapat-38-unsur-yang-diukur-dalam-standar-usaha-
perjalanan-wisata/, diakses tanggal 22 Februari 2015.
106

Sementara itu, pendapat berbeda disampaikan oleh Carmelia Murwanti,

selaku Branch Manager Bayu Buana Travel Management. Berdasarkan

wawancara pada tanggal 25 Februari 2015, disampaikan bahwa menurutnya

pemerintah kurang melakukan sosialisasi terhadap Permenparekraf ini. Berkaitan

dengan hal tersebut, dalam wawancara tanggal 23 Februari 2015 dengan Ida

Bagus Suartana dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT)

Provinsi Bali menyampaikan bahwa, kewenangan pengurusan perijinan usaha

perjalanan wisata tidak lagi berada pada BPMPT Provinsi Bali, sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor

85/HK.501/MKP/2010 sampai dengan Nomor 97/HK.501/MKP/2010. Namun,

hingga saat ini beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota yang dilimpahkan

kewenangan tersebut menyatakan belum siap untuk menjalankan kewenangan

tersebut. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada belum tersosialisasinya

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini dengan baik.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab III, berkaitan dengan standar usaha

ini, dalam Pasal 20 sampai 22 Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 j.o.

Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014, disebutkan bahwa usaha jasa perjalanan

wisata wajib untuk memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang

dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun

terhitung sejak tanggal 11 April 2014.

Berdasarkan hasil penelitian penulis di Harum Indah Sari (HIS) Tours and

Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar, secara garis besar unsur-unsur yang

telah dinyatakan dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 telah dipenuhi dan
107

berjalan dengan baik. Namun ada satu hal yang belum dipenuhi oleh HIS Tours

and Travel dalam aspek pelayanan, yaitu belum adanya Standard Operating

Procedure dalam perjalanan wisata yang meliputi penanganan permasalahan dan

keluhan yang muncul selama perjalanan wisata, oleh tenaga pemandu wisata

dan/atau pimpinan perjalanan wisata. Belum terpenuhinya unsur tersebut

disebabkan oleh adanya perbedaan budaya sebagaimana yang telah disampaikan

sebelumnya. Perbedaan budaya tersebut membuat perusahaan sulit untuk

menentukan standar tepat yang dapat diberlakukan bagi seluruh wisatawan yang

menggunakan jasa HIS Tour and Travel.

Sedangkan hasil penelitian penulis pada Bayu Buana Travel Services yang

berkedudukan di Kabupaten Badung, menunjukkan bahwa terdapat 1 (satu) unsur

yang belum dipenuhi, yaitu berkaitan dengan perlindungan asuransi perjalanan

wisata yang diberikan kepada tenaga pemandu wisata. Terkait dengan hal ini

Carmelia Murwanti, menjelaskan bahwa pemandu wisata tersebut telah memiliki

asuransi secara pribadi.

Sementara itu, penelitian penulis pada Rama Duta Tours and Travel yang

berkedudukan di Kota Denpasar, menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) unsur

dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 yang belum dipenuhi, terdiri dari 3

(tiga) unsur dalam aspek produk dan 1 (satu) unsur dalam aspek pelayanan, yaitu :

1. Belum disediakannya minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan jasa

angkutan wisata;

2. Belum disediakannya jasa pengurusan paspor dan visa;


108

3. Belum adanya perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan

kepada tenaga pemandu wisata;

4. Belum adanya standard operating procedures tentang permintaan oleh

tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata kepada

wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi perjalanan wisata.

Berkaitan dengan unsur-unsur yang belum dipenuhi tersebut, Monica Budiono

mengungkapkan bahwa, untuk dapat memenuhi unsur-unsur dalam

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tersebut, pihaknya akan mempelajari

peraturan tersebut secara lebih dalam, mengembangkan kerjasama dengan

perusahaan yang bergerak dibidang pariwisata baik hotel, penerbangan, obyek

wisata dan lain lain.

Hal yang serupa juga terjadi di Melali Bali, salah satu Biro Perjalanan Wisata

yang berkedudukan di kabupaten badung. Menurut Ketut Jaman, selaku

Managing Director Melali Bali, sekaligus sebagai Kepala Bidang (Kabid) SDM

ASITA Bali, dalam wawancara tanggal 17 Maret 2015, menyatakan bahwa belum

dipenuhinya unsur-unsur dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini

disebabkan oleh belum adanya sosialisasi resmi dari pemerintah, sehingga

menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa unsur yang

belum dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang harga paket wisata dalam mata uang rupiah.


109

Dalam hal ini, Ketut Jaman mengatakan bahwa keterangan mengenai

harga paket wisata dicantumkan secara terpisah, yaitu dalam confidential

tariff.

2. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang perlindungan asuransi perjalanan bagi wisatawan.

Menurut Ketut Jaman, keterangan tentang perlindungan asuransi tidak

selalu dicantumkan dalam paket wisata. Karena perlindungan asuransi

merupakan penawaran tambahan yang diajukan sesuai dengan paket

wisata yang dipilih oleh wisatawan. Sehingga wisatawan berhak memilih

untuk menggunakan perlindungan asuransi tersebut ataupun tidak.

3. Tenaga Pemandu Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata.

Dalam hal ini, Melali Bali bekerjasama dengan Himpunan Pramuwisata

Indonesia (HPI), sehingga asuransi biasanya telah disediakan oleh HPI

sesuai dengan rute perjalanan yang diikuti.

4. Pimpinan Perjalanan Wisata (Tour Leader) memiliki sertifikat kompetensi

yang masih berlaku.

Menurut Ketut Jaman, pengalaman adalah fokus utama dalam pemilihan

pimpinan perjalanan wisata. Sehingga pimpinan perjalanan wisata dari

Melali Bali tidak selalu memiliki sertifikat kompetensi.

5. Pimpinan Perjalanan Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata.

Serupa dengan pemandu wisata, pemberian asuransi perjalanan wisata

kepada pimpinan perjalanan wisata disesuaikan dengan rute perjalanan


110

yang diikuti, sehingga tidak semua pimpinan perjalanan wisata

mendapatkan asuransi perjalanan wisata.

Disisi lain, selaku Kabid SDM ASITA Bali, Ketut Jaman menjelaskan bahwa

ASITA belum mempersiapkan program khusus untuk menjalankan

Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini kepada anggota-anggotanya. Sejauh ini,

fokus ASITA terhadap biro perjalanan wisata yang ingin bergabung menjadi

anggotanya adalah kelengkapan perijinannya. Apabila biro perjalanan tersebut

sudah memiliki perijinan yang lengkap dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh

ASITA, maka biro perjalanan tersebut dapat menjadi anggota ASITA. Adapun

persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat bergabung dalam ASITA, yaitu :

1. Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi

dan perubahan-perubahannya (kalau ada);

2. Focotocopy Surat Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM RI;

3. Fotocopy Ijin Usaha dari Instansi terkait;

4. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

5. Melampirkan Status Kantor (apabila sewa atau kontrak dilampiri fotocopy

perjanjiannya);

6. Struktur Organisasi Perusahaan;

7. Surat Rekomendasi (asli) dari 2 perusahaan BPW/CBPW Anggota Asita Bali;

8. Pas photo Pimpinan Perusahaan ukuran 4x6 (1 lembar);

9. Fotocopy KTP Pimpinan Perusahaan (1 lembar);

10. Biaya Keanggotaan sebesar Rp 9.750.000,-.


111

Berkaitan dengan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar

Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang baru ditetapkan ini, Ketut Jaman

mengungkapkan bahwa ASITA akan mencoba mempelajarinya terlebih dahulu.

Perlu dipelajari dengan detail terkait sanksi yang ditetapkan dalam

Permenparekraf tersebut, apakah memberikan dampak terhadap bisnis usaha

perjalanan wisata atau tidak. Sehingga efektivitas berlakunya Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014 ini tergantung pada biro perjalanan wisata masing-masing,

apakah menurut biro perjalanan tersebut adanya sertifikasi ini akan memberikan

dampak positif bagi perkembangan usaha biro perjalanan wisata tersebut.

Selanjutnya Ketut Jaman menambahkan, peraturan ini masih perlu dikaji

ulang, terkait dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Misalnya saja dalam

aspek produk, biro perjalanan wisata menyediakan jasa pengurusan paspor dan

visa. Berkaitan dengan unsur tersebut, menurut Ketut Jaman, tidak semua biro

perjalanan wisata harus menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. Karena

apabila lingkup usahanya hanya inbound atau dalam negeri, maka biro perjalanan

tersebut tidak perlu menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. Dalam buku

International Tourism : A Global Perspective, terdapat pengertian tentang Tour

Wholesalers inbound dan outbound, yaitu :111

a. The inbound wholesaler arranges tour packages for tourist visiting the
country where the wholesaler is based. Inbound wholesalers do not
necessarily operate only in the country where they offer tours and some
maintain sales branches in other countries.
b. The outbound wholesaler arranges packaged travel for tourists who wish
to travel to destinations outside the country where the wholesaler is
located. Unlike inbound wholesaler, outbound wholesaler does not usually

111
World Tourism Organization III, op.cit, h. 101.
112

focus on a single destination, but may offer wide variety of packages and
destinations. However, both of these wholesalers tend to cater to the needs
of the mass market in order to have the necessary volume leverage.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa biro perjalanan

wisata yang menjalankan usaha dalam lingkup inbound, hanya menyediakan paket

wisata untuk wisatawan yang ingin berkunjung ke Negara tempat biro perjalanan

wisata tersebut berada. Sedangkan, biro perjalanan wisata yang menjalankan

usaha dalam lingkup outbound, menyediakan berbagai macam paket wisata, yang

tidak hanya fokus pada satu tujuan Negara, namun juga terdapat paket wisata

untuk wisatawan yang ingin pergi ke berbagai Negara.

Secara lebih ringkas, hasil penelitian terkait kesiapan Biro Perjalanan Wisata

di daerah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dapat dilihat dalam tabel

berikut: (Tabel 1)

Rama Bayu Melali


No ASPEK UNSUR HIS
Duta Buana Tour
BPW menyediakan minimum jasa
1 PRODUK A
pemesanan dan/atau penjualan :
1 Paket Wisata √ √ √ √
2 Voucher Akomodasi √ √ √ √
3 Tiket Perjalanan √ √ √ √
4 Jasa Angkutan Wisata √ x √ √
BPW menyelenggarakan lebih
dari 1 (satu) paket wisata, dan
B 5 sekurang-kurangnya 1 (satu) √ √ √ √
diantaranya adalah paket
wisata buatan sendiri.
Paket wisata yang diselenggarakan
C oleh BPW memuat minimum
keterangan tentang :
6 Nama Paket Wisata √ √ √ √
113

Rama Bayu Melali


No ASPEK UNSUR HIS
Duta Buana Tour
7 Durasi Perjalanan Wisata √ √ √ √
Rute dan kegiatan perjalanan
8 √ √ √ √
wisata (itinerary)
Harga Paket Wisata dalam
9 √ √ √ x
mata uang Rupiah
10 Moda Transportasi √ √ √ √
11 Jenis Akomodasi √ √ √ √
Perlindungan Asuransi
12 perjalanan wisata bagi √ √ √ x
wisatawan
BPW menyediakan jasa
D 13 √ x √ √
pengurusan paspor dan visa
BPW menggunakan jasa tenaga
pemandu wisata mandiri atau
E menjadi bagian dari usaha jasa
pramuwisata, berdasarkan
ketentuan sebagai berikut :
Tenaga pemandu wisata
tersebut memiliki sertifikat
14 √ √ √ √
kompetensi yang masih
berlaku.
Dalam hal BPW
menyelenggarakan paket
wisata untuk wisatawan
mancanegara, tenaga
pemandu wisata tersebut
15 mampu berbahasa asing √ √ √ √
sesuai dengan bahasa yang
digunakan oleh wisatawan
mancanegara, atau
sekurang-kurangnya mampu
berbahasa inggris.
Tenaga pemandu wisata
16 tersebut dilindungi asuransi √ x x x
perjalanan wisata.
BPW mempekerjakan pimpinan
perjalanan wisata (tour leader),
F
berdasarkan ketentuan sebagai
berikut :
Pimpinan perjalanan wisata
17 dilengkapi dengan surat √ √ √ √
tugas dari BPW.
Pimpinan perjalanan wisata
tersebut memiliki sertifikat
18 √ √ √ x
kompetensi yang masih
berlaku.
114

Rama Bayu Melali


No ASPEK UNSUR HIS
Duta Buana Tour
Dalam hal BPW
menyelenggarakan paket
wisata untuk wisatawan
mancanegara, pimpinan
perjalanan wisata tersebut
19 mampu berbahasa asing √ √ √ √
sesuai dengan bahasa yang
digunakan oleh wisatawan
mancanegara, atau
sekurang-kurangnya mampu
berbahasa inggris.
Pimpinan perjalanan wisata
20 tersebut dilindungi asuransi √ √ √ x
perjalanan wisata.
Menerapkan Standard Operating
Procedures (SOP) bagi pelaksanaan
2 PELAYANAN A
tamu di kantor BPW, yang
meliputi:
Penyambutan kedatangan
1 √ √ √ √
tamu
Menerima dan melakukan
2 √ √ √ √
panggilan telepon
Pemberian penjelasan
tentang produk yang
3 √ √ √ √
disediakan/ditawarkan
BPW
Pemesanan dan/atau
4 penjualan produk yang √ √ √ √
disediakan BPW
Menerapkan Standard Operating
Procedures (SOP) dalam
B
pelaksanaan perjalanan wisata,
yang meliputi :
Pelayanan bagi wisatawan
oleh tenaga pemandu
5 wisata dan/atau pimpinan √ √ √ √
perjalanan wisata selama
perjalanan wisata
Penanganan permasalahan
dan keluhan yang muncul
selama perjalanan wisata,
oleh tenaga pemandu
6 x √ √ √
wisata, oleh tenaga
pemandu wisata dan/atau
pimpinan perjalanan
wisata.
115

Rama Bayu Melali


No ASPEK UNSUR HIS
Duta Buana Tour
Permintaan oleh tenaga
pemandu wisata dan/atau
pimpinan perjalanan
7 wisata kepada wisatawan √ x √ √
untuk mengisi kuisioner
untuk evaluasi perjalanan
wisata.
BPW memiliki tempat
3 PENGELOLAAN A usaha/kantor yang terpisah dari
kegiatan keluarga/rumah tangga
Tempat usaha/kantor
memiliki alamat yang
jelas, nomor telepon dan
1 √ √ √ √
faksimili, serta alamat e-
mail yang masih
berfungsi.
Tempat usaha/ kantor
terdiri dari ruang kerja
2 √ √ √ √
dan ruang penerimaan
tamu.
tempat usaha/kantor
dilengkapi dengan sarana,
3 √ √ √ √
prasarana dan peralatan
kantor yang memadai.
BPW memiliki tata kelola
B perusahaan yang meliputi
minimum :
Uraian mengenai struktur
organisasi dan susunan
4 pengurus yang memuat √ √ √ √
nama, jabatan dan uraian
tugas setiap bagian.
Sistem penatausahaan
secara tertib dan baik
atas seluruh transaksi
pemesanan dan/atau
5 penjualan, serta surat √ √ √ √
menyurat yang terkait,
yang dipelihara dan
disimpan minimum
selama 3 (tiga) tahun.
BPW memiliki dan memelihara
basis data yang memuat
C keterangan tentang nama,
alamat, nomor telepon dan e-
mail, yang meliputi :
6 Data pelanggan √ √ √ √
Data rekanan/pemasok
7 √ √ √ √
jasa
116

Rama Bayu Melali


No. ASPEK UNSUR HIS
Duta Buana Tour
Pengusaha Daya tarik
8 √ √ √ √
wisata
BPW memiliki rencana
D 9 √ √ √ √
pengembangan usaha
Pengembangan sumber daya
E
manusia
Memiliki sertifikat
10 √ √ √ √
kompetensi di bidangnya.
Melaksanakan program
11 √ √ √ √
pengembangan SDM

Tabel 1

Sehubungan dengan efektifitas berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014 ini, menurut Soerjono Soekanto terdapat 5 faktor yang berpengaruh dalam

penegakan hukum, yaitu:112

1. Faktor hukum atau undang-undang

Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis

yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata telah memiliki dasar berlaku

yang jelas dan dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

112
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I, loc.cit.
117

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan

tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai).

Dalam hal ini, Permenparekraf tidak menetapkan secara jelas pihak yang

ditentukan sebagai penegak hukum. Dalam pasal 15, hanya disebutkan bahwa

Kementerian dan Pemerintah Daerah bertugas untuk melaksanakan pembinaan

dan pengawasan dalam rangka penerapan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk

mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas, meliputi tenaga

kerja manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan

yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak

terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Pariwisata sebagai lembaga mandiri yang

berwenang untuk melakukan sertifikasi usaha di bidang pariwisata, sudah

dibentuk sebanyak 17 lembaga oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif. Namun hingga saat ini, khususnya di Bali, belum terlihat adanya

sosialisasi untuk membahas tentang standarisasi ini.

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan

terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dalam
118

konteks penegakan hukum erat kaitannya, di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud adalah biro perjalanan wisata yang

berada di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, belum adanya

sosialisasi untuk penjelasan tentang standarisasi ini menimbulkan ketidakjelasan

dalam pelaksanaannya.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan diartikan sebagai karya, cipta dan rasa yang harus didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan adalah seperangkat nilai-nilai

sosial umum seperti gagasan, pengetahuan, seni, lembaga-lembaga, pola-pola sikap, pola

perilaku, dan hasil material. Hukum merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai suatu

budaya masyarakat, yang dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum merupakan

penjelmaan lain dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat.113

Berkaitan dengan hal ini, sebelum berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014, biro perjalanan wisata telah memiliki standar tersendiri dalam menjalankan

usahanya. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, standar-standar

tersebut sudah cukup memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan yang

menggunakan jasanya.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya biro

perjalanan wisata, khususnya yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung telah

siap untuk melaksanakan Permenparekraf tersebut. Karena sebelum adanya

Permenparekraf tersebut, biro perjalanan wisata telah memiliki standar tersendiri dalam

menjalankan usahanya. Dimana standar yang ditetapkan tersebut, sudah mampu

113
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 145.
119

memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan yang menggunakan jasanya.

Namun tidak adanya sosialisasi dari pemerintah daerah mengesankan bahwa kurangnya

persiapan dari pemerintah daerah untuk menjalankan peraturan ini.


BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

5.1.1. Konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan

wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata

adalah Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha

Pariwisata. Dimana Permenparekraf tersebut merupakan peraturan yang

lahir atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang

Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan

bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan. Adanya Permenparekraf ini bertujuan untuk mendukung

peningkatan mutu produk, pelayanan, dan pengelolaan, serta peningkatan

daya saing usaha jasa perjalanan wisata, dengan cara memenuhi unsur-

unsur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a, yaitu :

1. Dalam Aspek Produk, terdapat 20 unsur yang harus dipenuhi, yang

terdiri dari 6 fokus utama, yaitu :

a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan;

b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan

sekurang-kurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan

sendiri;

120
121

c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang paket wisata;

d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa;

e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau

menjadi bagian dari usaha jasa pramuwisata;

f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader);

2. Dalam Aspek Pelayanan, terdapat 7 unsur yang harus dipenuhi, dengan

2 fokus utama, yaitu :

a. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi

pelaksanaan tamu di kantor BPW;

b. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam

pelaksanaan perjalanan wisata.

3. Dalam Aspek Pengelolaan, mencakup 11 unsur yang harus dipenuhi,

dengan 5 fokus utama, yaitu :

a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan

keluarga/rumah tangga;

b. BPW memiliki tata kelola perusahaan;

c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan

tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail;

d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha;

e. Pengembangan sumber daya manusia.


122

5.1.2. Biro Perjalanan Wisata, khususnya yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten

Badung telah siap untuk melaksanakan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014

tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Hal itu terlihat dari sudah

dipenuhinya sebagian besar unsur yang ditentukan oleh Permenparekraf tersebut,

dengan data sebagai berikut :

1. Satu hal yang belum dipenuhi oleh HIS Tours and Travel yang

berkedudukan di Kota Denpasar, yaitu belum adanya Standard

Operating Procedure dalam perjalanan wisata yang meliputi

penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan

wisata, oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan

wisata. Belum terpenuhinya unsur tersebut disebabkan oleh adanya

perbedaan budaya yang membuat perusahaan sulit untuk menentukan

standar tepat yang dapat diberlakukan bagi seluruh wisatawan yang

menggunakan jasa HIS Tour and Travel.

2. Bayu Buana Travel Services yang berkedudukan di Kabupaten

Badung, menunjukkan bahwa terdapat 1 (satu) unsur yang belum

dipenuhi, yaitu perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan

kepada tenaga pemandu wisata. Hal tersebut terjadi karena pemandu

wisata tersebut telah memiliki asuransi secara pribadi, yang didapat

dari Himpunan Pramuwisata Indonesia.

3. Rama Duta Tours and Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar,

menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) unsur dalam Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014 yang belum dipenuhi, yaitu :


123

a. Belum disediakannya minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan

jasa angkutan wisata;

b. Belum disediakannya jasa pengurusan paspor dan visa;

c. Belum adanya perlindungan asuransi perjalanan wisata yang

diberikan kepada tenaga pemandu wisata;

d. Belum adanya standard operating procedures tentang permintaan

oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata

kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi

perjalanan wisata.

Unsur-unsur tersebut belum dapat dipenuhi, karena belum adanya

pemahaman secara mendalam tentang Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014 ini.

4. Melali Bali, yang berkedudukan di Kabupaten Badung, menunjukkan

adanya 5 unsur yang belum dipenuhi, yaitu :

a. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang harga paket wisata dalam mata uang rupiah. Hal

tersebut terjadi karena keterangan mengenai harga paket wisata

dicantumkan secara terpisah, yaitu dalam confidential tariff.

b. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum

keterangan tentang perlindungan asuransi perjalanan bagi

wisatawan. Hal tersebut terjadi karena perlindungan asuransi

merupakan penawaran tambahan yang diajukan sesuai dengan paket

wisata yang dipilih oleh wisatawan. Sehingga wisatawan berhak


124

memilih untuk menggunakan perlindungan asuransi tersebut

ataupun tidak.

c. Tenaga Pemandu Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata.

Dalam hal ini, Melali Bali bekerjasama dengan Himpunan

Pramuwisata Indonesia (HPI), sehingga asuransi biasanya telah

disediakan oleh HPI sesuai dengan rute perjalanan yang diikuti.

d. Pimpinan Perjalanan Wisata (Tour Leader) memiliki sertifikat

kompetensi yang masih berlaku. Fokus utama dalam pemilihan

pimpinan perjalanan wisata oleh Melali Bali adalah Pengalaman,

sehingga pimpinan perjalanan wisata dari Melali Bali tidak selalu

memiliki sertifikat kompetensi.

e. Pimpinan Perjalanan Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata.

Serupa dengan pemandu wisata, pemberian asuransi perjalanan

wisata kepada pimpinan perjalanan wisata disesuaikan dengan rute

perjalanan yang diikuti, sehingga tidak semua pimpinan perjalanan

wisata mendapatkan asuransi perjalanan wisata.

5.2. Saran

5.2.1. Pemerintah wajib untuk melakukan sosialisasi tentang Permenparekraf

Nomor 4 Tahun 2014 kepada Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, dan

mengadakan kerjasama-kerjasama dengan ASITA dan Lembaga

Sertifikasi Usaha Pariwisata yang sudah disahkan oleh Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.


125

5.2.2. Pemerintah sebagai pihak yang bertugas untuk melaksanakan pembinaan

dan pengawasan dalam rangka penerapan Standar Usaha Jasa Perjalanan,

wajib untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang efektif kepada

Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, agar unsur-unsur sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 9 ayat 4 huruf (a) Permenparekraf Nomor 4 Tahun

2014 dapat dipenuhi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Alfons, Maria, 2010, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-


Produk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual,
Universitas Brawijaya, Malang.

Atherton, Trevor C., and Trudie A. Atherton, 1998, Tourism, Travel and
Hospitality Law, LBC Information Services, Australia.

Ben, Sarbini Mbah, 2010, Paradigma Baru Pariwisata : Sebuah Kajian Filsafat,
Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.

Burns, Peter M., and Andrew Holden, 1995, Tourism a New Perspective, Prentice
Hall, London.

Dewi, Ike Janita, 2011, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran


Pariwisata Yang Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing),
Pinus Book Publisher, Jakarta.

Dhana, Made Metu, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap


Wisatawan, Paramita, Surabaya.

Dirjosisworo, Soedjono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta.

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta.

Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi


Perdagangan Jasa (GATS – WTO), Implikasi Hukum dan Antisipasinya,
Refika Aditama, Bandung.

Hadjon, Philipus M., dan Titiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Hadjon, Philipus M. 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina
Ilmu, Surabaya.

______________, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung.

HS, Salim, dan Erlies Septianan Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

___________, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan


Disertasi (Buku Kedua), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ibrahim Johanes, dan Lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis : Dalam Persepsi
Manusia Modern, Rafika Aditama, Bandung.

J., Muljadi A., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, Cetakan ke-3, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusa Media,
Bandung.

Kurdie, Nuktoh Arfawie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Mananda, I Gusti Putu Bagus Sasrawan, 2011, “Studi Kelayakan Pendirian PT.
Medussa Multi Bussines Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali
(Kajian Aspek Pasar Finasial)”, (tesis) Program Studi Magister (S2)
Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Mas, Marwan, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

Mertokusumo, Sudikno, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,


Yogyakarta.

Mill, Robert Christie, 2000, Tourism The International Business Edisi Bahasa
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di


Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum


Nasional, Bina Cipta, Bandung.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.

Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press,
Malang.

Narbuko, Cholid, dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi


Aksara, Jakarta.

Nasution, AZ., 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal


Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Nurhayati, Siti, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro
Perjalanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Jurnal, Volume 2 Nomor 2, Universitas
Pembangunan Panca Budi, Medan.

Pitana, I Gede, dan Putu G. Gayatri, 2005, I Gede, Sosiologi Pariwisata, Andi
Offset, Yogyakarta.

Pitana, I Gde, dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV.
Andi Offset, Yogyakarta. 2

Putra, Ida Bagus Wyasa, et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama,
Bandung.

Raharjo, Santjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

____________, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta.

Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar,
Jakarta.

Riswandi, Budi Agus, dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan
Budaya Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan


Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta.

Santiago, Gede Agus, 2012, “Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan


Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan
Instrumental Bali”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana.
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Setiyono, 2013, Teori-Teori & Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawaban


Pidana Korporasi, Bayu Media Publishing, Malang.

Simatupang, Violetta, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT.


Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soeroso, R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sumadi, Ketut, 2008, Kepariwisataan Indonesia : Sebuah Pengantar, Sari


Kahyangan Indonesia, Denpasar.

Sunaryo, Bambang, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep


dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta.

Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta.
Suwantoro, Gamal, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, Andi, Yogyakarta.

Wahab, Salah, 2003, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta.

Widiatedja, I.G.N. Parikesit, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata
Kita, Udayana University Press, Denpasar.

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan


Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

World Tourism Organization, 1997, International Tourism : A Global


Perspective, World Tourism Organization, Madrid.

________________, 2010, Joining Forces Collaborative Processess for


Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization,
Madrid.
________________, 2011, Policy and Practice For Global Tourism, World
Tourism Organization, Madrid.
Yoeti, Oka A. 2006, Tours and Travel Management, Pradnya Paramita, Jakarta.
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
2. Internet

Anonim, 2011, Pengertian Pengelolaan, Pengertian Perencanaan dan Pengertian


Pelaksanaan, http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-
pengelolaan-perencanaan-dan.html#_ , diakses tanggal 23 Februari 2015.

Anonim, 2014, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli,


http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-
ahli/, diakses tanggal 22 Januari 2015.

Anonim, 2014, Terdapat 38 Unsur yang Diukur Dalam Standar Usaha


Perjalanan Wisata, tersedia di website http://lsupariwisata.com/terdapat-
38-unsur-yang-diukur-dalam-standar-usaha-perjalanan-wisata/, diakses
tanggal 22 Februari 2015.

Anonim, 2015, Produk, http://kbbi.web.id/produk, diakses tanggal 22 Februari


2015.

Anonim, Definisi „perlindungan‟, http://www.artikata.com/arti-370785-


perlindungan.html, diakses tanggal 22 Januari 2015.

Anonim, Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-


hukum.html, diakses tanggal 22 Januari 2015.

Anonim, Sekilas Mengenai ISO, tersedia di website


http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGA
N_KEHUTANAN/INFO_VI02/V_VI02.htm, diakses tanggal 24 Feburari
2015.

Anonim, Wisatawan Domestik, http://www.anneahira.com/wisatawan-


domestik.htm, diakses tanggal 22 Januari 2015.

Antariksa, Basuki, 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan


Kepariwisataan Di Indonesia,
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=101&id=1152, diakses tanggal
26 Januari 2015.

ASITA Bali, 2014, About Us, http://www.asitabali.org/aboutus.htm, diakses


tanggal 23 Februari 2015.
Fahmi, Hoemam Fairuzy, 2012, Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky,
http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-
Nawiansky, diakses tanggal 7 September 2014

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan


Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan
Juli 2014,
http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf,
diakses tanggal 6 September 2014.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan


Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan
Juli 2014,
http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf,
diakses tanggal 6 September 2014.

Puskom Publik, 2014, “Siaran Pers : Launching Lembaga Sertifikasi Usaha


Bidang Pariwisata Era Baru Menuju Industri Pariwisata Indonesia yang
Berdaya Saing Global”,
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=2756, diakses tanggal
22 Januari 2015.

Royani, Yayan M., 2012, Negara dan Teori Hukum Murni,


http://elsaonline.com/?p=1323, diakses tanggal 26 Januari 2015.

Silahudin, 2010, Standard Pelayanan Publik,


http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/standard-pelayanan-
publik.html?m=1, diakses tanggal 23 Februari 2015

Simanjuntak, Dinni Harina, 2011, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan


Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1997,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20III-
V.pdf, diakses tanggal 22 Januari 2015.

3. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
3821.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
11.

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4


Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 462.

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 8


Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 931.

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa
Perjalanan Wisata Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2010 Nomor 1.
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Merry Yudhistira

Jabatan : Assistant HR & GA Manager

Nama Perusahaan : H.I.S Tour and Travel

2. Nama : Monica Budiono

Jabatan : Operational Manager

Nama Perusahaan : Rama Duta Tour and Travel

3. Nama : Carmelia Murwanti

Jabatan : Branch Manager

Nama Perusahaan : Bayu Buana Travel Management

4. Nama : Ketut Jaman,

Jabatan : Managing Director

Nama Perusahaan : Melali Bali

5. Nama : Ketut Jaman,

Jabatan : Kepala Bidang (Kabid) SDM

Nama Instansi : ASITA Bali

6. Nama : Ida Bagus Suartana

Jabatan : Kepala Bidang Penanganan Ijin Pariwisata

Nama Instansi : Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu

(BPMPT) Provinsi Bali

Anda mungkin juga menyukai